KALIBRASI KADAR HARA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guinensis) BELUM MENGHASILKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE SEKAT PERTUMBUHAN TERBAIK Oleh : DEWI RATNASARI (A24104056) DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
61
Embed
Kalibrasi kadar hara kelapa sawit dgn metode sekat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KALIBRASI KADAR HARA TANAMAN KELAPA SAWIT
(Elaeis guinensis) BELUM MENGHASILKAN DENGAN
MENGGUNAKAN METODE SEKAT PERTUMBUHAN
TERBAIK
Oleh :
DEWI RATNASARI
(A24104056)
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SUMMARY
DEWI RATNASARI. Calibration of Nutrient Content of Young Oil Palm Plant by Using the Best Growth Boundary Method. Under guidance of Atang Sutandi and Suwarno. Fertilization must be suited with nutrient availability level in soil. It can be estimated by plant analysis. Nutrient content of plant is determined by the nutrient requirement of the crop and the nutrient supplying power of the soil. The value of plant analysis in quantifying nutrient requirements depends on careful sampling and analysis and using test that are calibrated with plant response (growth and yiaeld).The aim of calibration is to describe results of plant analysis in simple terms and to make simple the process of making fertilizer recommendation according to nutrient content cathegory in plants. The growth variables used for calibration were length of frond,leaf area and average of frond number which is adjusted to plant age. Calibration result of N, P, K, Ca, Mg, Cu and Zn in young oil palm plant indicated that nutrient sufficient range (NSR) of K, P,Mg, Ca, and Zn were wider than criteria of Von Uexkull (1992) and criteria of Jhon, Jr. et al. (1991). The nutrient sufficient range of N was lower but wider than criteria of Von Uexkull (1992) and criteria of Jhon, Jr. et al. (1991). In addition, the nutrient sufficient range of Ca was more narrow compared with criteria of Von Uexkull (1992) but wider than of criteria Jhon, Jr. et al. (1991).
RINGKASAN
DEWI RATNASARI. Kalibrasi Kadar Hara Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis) Belum Menghasilkan (TBM) dengan Menggunakan Sekat Pertumbuhan Terbaik. (Di bawah bimbingan Atang Sutandi dan Suwarno).
Pemberian pupuk harus disesuaikan dengan tingkat ketersediaan hara dalam tanah. Hal tersebut dapat diperkirakan dengan analisis tanaman. Kadar hara suatu tanaman ditentukan oleh kebutuhan hara tanaman dan kemampuan suplay hara dari tanah. Nilai analisis tanaman dalam menentukan kebutuhan hara tanaman tergantung pada pengambilan contoh dan analisis tanaman yang baik serta penggunaan hasil analisis yang dikalibrasi dengan respon tanaman (pertumbuhan atau produksi). Tujuan kalibrasi kadar hara tanaman adalah untuk mendeskripsikan hasil analisis tanaman dalam istilah yang mudah dimengerti dan untuk menyederhanakan proses pembuatan rekomendasi pemupukan menurut kategori kadar hara tanaman.
Variabel pertumbuhan yang digunakan untuk kalibrasi hara adalah panjang pelepah, luas daun dan rataan jumlah pelepah yang terlebih dahulu dilakukan peneraan dengan data umur tanaman. Hasil kalibrasi kadar hara N, P, K, Ca, Mg, Cu dan Zn pada tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut: unsur hara K, P, Mg, Cu, dan Zn: memilki selang kecukupan hara yang lebih lebar di bandingkan dengan kriteria menurut Von Uexkull (1992) dan kriteria John, Jr. et al (1991). Selang kecukupan hara N hasil kaibrasi berada di bawah tetapi lebih lebar daripada kriteria menurut Von Uexkull (1992) dan kriteria John, Jr. et al (1991). Unsur Ca memiliki selang kecukupan hara yang lebih sempit daripada kriteria menurut Von Uexkull, tetapi lebih lebar dibandingkan kriteria John, Jr. et al (1991).
KALIBRASI KADAR HARA TANAMAN KELAPA SAWIT
(Elaeis Guinensis) BELUM MENGHASILKAN DENGAN
MENGGUNAKAN METODE SEKAT PERTUMBUHAN
TERBAIK
Skripsi
Sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh :
DEWI RATNASARI
(A24104056)
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Judul KALIBRASI KADAR HARA TANAMAN KELAPA SAWIT BELUM MENGHASILKAN (Elaeis guineensis) DENGAN MENGGUNAKAN SEKAT PERTUMBUHAN TERBAIK.
Nama Mahasiswa Dewi Ratnasari
Nrp A24104056
Program Studi Ilmu tanah
Menyetujui,
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si. Dr. Ir. Suwarno, M.Sc.
NIP : 130 937 427 NIP : 131 803 642
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.
Nip : 131 124 019
Tanggal Disetujui :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kecamatan karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya,
Provinsi Jawa Barat pada tanggal 19 Januari 1987. Penulis merupakan anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Hapidi dan Ibu Nani Sumartini.
Penulis memulai pendidikan pada tahun 1992 di SD Negeri 111
Karangnunggal, Tasikmalaya. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan
ke sekolah MTS Negeri 1 Karangnunggal Kecamatan Karangnunggal, Kabupaten
Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2004.
Penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada Tahun
2004, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi
yang berjudul “KALIBRASI KADAR HARA TANAMAN KELAPA SAWIT
(Elaeis guinensis) BELUM MENGHASILKAN DENGAN MENGGUNAKN
METODE SEKAT PERTUMBUHAN TERBAIK” ini dengan baik dan lancar.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana
Pertanian di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Penulis mengucapakan terimakasih kepada :
1. Dr. Ir. Atang Sutandi M.Si. selaku dosen pembimbing satu yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis.
2. Dr. Ir. Suwarno, M.Sc. selaku dosen pembimbing dua yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan saran kepada penulis.
3. Ayah, Ibu dan adik yang telah memberikan bantuan moril maupun
materil kepada penulis.
4. Semua pihak yang telah membantu sehingga penulis bisa
menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar.
Bogor, Maret 2009
Penulis
Dewi Ratnasari
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL .................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ ix
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang .......................................................................... 1
1.2. Tujuan penelitian ...................................................................... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Syarat tumbuh tanaman kelapa sawit ....................................... 3
2.2. Karakteristik hara dalam tanah dan tanaman ........................... 5
2.2.1. Nitrogen dalam tanah dan tanaman ................................. 5
2.2.2. Fosfor dalam tanah dan tanaman.................................... 6
2.2.3. Kalium dalam tanah dan tanaman ................................... 7
2.2.4. Kalsium dalam tanah dan tanaman ................................. 9
2.2.5. Magnesium dalam tanah dan tanaman ............................ 10
2.2.6. Tembaga dalam tanah dan tanaman ................................ 10
2.2.7. Seng (Zn) dalam tanah dan tanaman ............................... 11
2.3. Analisis tanaman ..................................................................... 11
2.4. Serapan hara tanaman .............................................................. 12
2.5. Batas kritis dan kisaran kecukupan hara ................................. 13
3. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan waktu penelitian .................................................. 18
3.2. Bahan dan alat ......................................................................... 18
3.3. Metode penelitian .................................................................... 18
1. Metode analisis tanaman ...................................................................... 20
2. Nilai kadar hara pada selang kurang, cukup dan tinggi .................... 32
3. Konsentrasi hara dalam daun kelapa sawit pada kondisi defisiensi, optimum dan berlebih ....................................................................... 32
4. Kriteria kecukupan hara tanaman kelapa sawit belum menghasilkan . 34
Lampiran
5. Kadar hara tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis) belum
menghasilkan(TBM) ............................................................................. 38 6.. Pertumbuhan tertinggi tanaman kelapa sawit (Elaeis giuneensis) belum
menghasilkan (TBM) .......................................................................... 45 7. Contoh perhitungan untuk menentukan nilai X1 dan X2 pada grafik
unsur hara nitrogen ............................................................................... 47
DAFTAR GAMBAR
No Halaman 1. Pengaruh suplai hara terhadap produksi dan kadar hara ...................... 14 2. Hubungan antara produksi dengan kadar hara ..................................... 15 3. Diagram sebar hubungan produksi dengan kadar hara N daun............ 16 4. Respon tanaman terhadap fackor pembatas ........................................ 17 5. Hubungan variabel pertumbuhan panjang pelepah kelapa sawit
sebelum dilakukannya peneraan dengan umur tanaman .................... 23 6. Hubungan variabel pertumbuhan panjang pelepah kelapa sawit
setelah dilakukannya peneraan dengan umur tanaman ...................... 24 7. Hubungan variabel pertumbuhan panjang pelepah kelapa sawit
dengan umur tanaman dimana umur tanaman dianggap sama............ 24 8 .Hubungan variabel pertumbuhan luas daun kelapa sawit sebelum
dilakukannya peneraan dengan umur tanaman .................................. 24 9 Hubungan variabel pertumbuhan luas daun kelapa sawit setelah
dilakukannya peneraan dengan umur tanaman ................................. 25 10 .Hubungan variabel pertumbuhan luas daun kelapa sawit dengan
umur tanaman dimana umur tanaman dianggap sama ...................... 25 11. Hubungan variabel pertumbuhan jumlah pelepah kelapa sawit
sebelum dilakukannya peneraan dengan umur tanaman .................... 25 12. Hubungan variabel pertumbuhan jumlah pelepah kelapa sawit
setelah dilakukannya peneraan dengan umur tanaman ...................... 26 13. Hubungan variabel pertumbuhan jumlah pelepah kelapa sawit
dengan umur tanaman dimana umur tanaman dianggap sama........... 26 14. Hubungan kadar hara nitrogen dengan parameter pertumbuhan
panjang pelepah .................................................................................... 27 15 .Hubungan kadar hara nitrogen dengan parameter pertumbuhan luas daun 27 16 Hubungan kadar hara nitrogen dengan parameter pertumbuhan jumlah
Pengertian dari batas kritis hara juga mencakup keadaan difisiensi hara
pada pertumbuhan maksimum, konsentrasi dimana pertumbuhan tanaman
menurun dan jumlah hara terkecil dalam tanaman untuk menghasilkan produksi
tinggi (Tisdale et al. 1985).
Kurva produksi bersifat sigmoid dengan kenaikan pemberian hara, tetapi
hubungan dengan konsentrasi hara perubahannya relatif kecil. Bila produksi
dihubungkan dengan kadar hara terlihat bahwa perubahan kadar hara yang sedikit
saja telah menyebabkan produksi naik lebih tinggi (Leiwakbessy dan Sutandi,
1988).
Metode yang dipakai adalah dengan membandingkan status hara tanaman
yang diteliti dengan tabel referensi. Apabila konsentrasi hara lebih rendah dari
tabel referensi yang dipakai maka hal tersebut dapat menyebabkan penurunan
pertumbuhan tanaman, penurunan produksi secara kualitas dan kuantitas. Pada
dasarnya metode ini hanya dapat menunjukan jenis defisiensi dalam satu kali
pengamatan (Ulrich dan Hills, 1973)
Ulrich dan Hills (1967) dalam Leiwakabessy dan Sutandi (2004)
menetapkan batas kritis pada pusat daerah transisi atau titik sebelum terjadi
penurunan produksi atau perumbuhan umumnya dipakai titik belok 5-10 % dari
pertumbuhan atau produksi maksimum.
Gambar 1. Pengaruh Suplai Hara terhadap Produksi dan Kadar Hara (Leiwakabessy dan Sutandy, 2004) Gambar 1. menunjukan bahwa kenaikan pemberian hara menghasilkan
kurva produksi yang bersifat tidak linear, sedangkan pengaruhnya terhadap
konsentrasi hara menghasilkan perubahan relatif kecil. Bila produksi dihubungkan
dengan kadar hara terlihat jelas bahwa perubahan kadar hara sedikit saja akan
menyebabkan produksi meningkat lebih tinggi (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).
Standar baku untuk batas kritis hara tanaman umumnya sudah banyak
dibuat. Kelemahan metode ini terletak pada variasi kadar hara dengan umur, oleh
karena itu, Summer (1979) dalam Leiwakabessy dan Sutandi (2004) menyarankan
agar dilakukan : a) pembuatan batas kritis pada berbagai umur tanaman, atau b)
koreksi terhadap kadar hara sejalan dengan peningkatan berat kering dan umur
tanaman, atau c) pembuatan batas kritis menjadi suatu kisaran , misal kisaran
kecukupan hara. Selanjutnya Muson dan Nelson (1973) serta Dow Robert (1982)
dalam Leiwakabessy dan Sutandi (2004) juga mengusulkan batas kritis berupa
suatu kisaran yang dihubungkan dengan umur tanaman.
Kisaran kecukupan hara merupakan pengembangan dari batas kritis, yang
pertama dikembangkan untuk menganalisis status hara tanaman. Namun sekarang
orang lebih banyak menggunakan kisaran kecukupan hara. Interpretasi kisaran
kecukupan hara diperoleh dari hubungan antara produksi atau pertumbuhan
tanaman dengan kadar hara (Gambar 2) (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).
Gambar 2. Hubungan antara produksi dengan kadar hara (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).
Lengkungan pada Gambar 2 menggambarkan hubungan produksi dengan
kadar hara makro dalam daun tanaman. Bentuk C pada gambar 2 disebut dengan
Steenbjerg effect, yang merupakan hasil kombinasi dari kadar hara dengan
pengurangan berat kering. Kesalahan interpretasi mungkin terjadi apabila kurang
memahami hubungan interaksi kadar hara dengan berat kering.
Identifikasi tingkat kelebihan dan keracunan hara esensial menjadi sama
pentingnya dengan identifikasi tingkat defisiensi, namun sangat sedikit informasi
yang detail tentang kisaran kadar hara penuh dari tingkat kurang sampai ketingkat
keracunan. Penetapan kisaran kecukupan hara kebanyakan tidak berasal dari range
kadar hara mulai dari defisiensi sampai keracunan, tetapi dikembangkan dari
kisaran rendah, cukup dan tinggi. Kisaran rendah umumnya mendekati atau sama
dengan batas kritis, sedangkan kisaran tinggi berasal dari kadar hara diatas
normal, dimana kisaran cukup berada diantaranya (Jones, et al. 1991).
2.6. Metode Garis Batas (Boundary Line Methods)
Tahap pertama dalam metode garis batas adalah penetapan standar. Satu
set data yang menggambarkan hubungan antara produksi dengan kadar hara diplot
ke dalam diagram sebaran seperti pada gambar 3.
Gambar 3. Diagram Sebar Hubungan Produksi Dengan Kadar Hara N daun (Walworth dan Sumner, 1987) Kelompok produksi tinggi merupakan cerminan dari kondisi yang
optimal,yang faktor pembatasnya sudah banyak berkurang dibanding pada
kelompok produksi rendah. Keadaan ini diilustrasikan pada gambar 4 dibawah ini.
Gambar 4. Respon tanaman terhadap faktor pembatas (Walworth dan Sumner, 1987)
Dari gambar tersebut terlihat sejumlah n faktor pembatas yang membatasi
produksi pada tingkat rendah, kemudian semakin dikurangi faktor pembatas
tersebut maka produksi bertambah tinggi (Walworth dan Sumner, 1987)
Boundary line methods adalah metode garis batas, dimana garis
membungkus diagram sebar hubungan antara produksi dan kadar hara. Garis
tersebut membatasi data aktual,sehingga sangat kecil peluangnya akan
ditemukannya data yang terletak di luar garis pembungkus tersebut. Garis batas
ini terdapat dibagian batas sebelah kiri dan kanan sebaran data, serta mengerucut
keatas, artinya semakin tinggi pertumbuhan atau produksi semakin kecil selang
kadar hara atau ekspresi hara (sumbu x). Dengan kata lain semakin tinggi kadar
hara semakin tinggi produksi sampai tingkat tertentu. Kemudian produksi turun
kembali dengan semakin tingginya kadar hara. Penggambaran seperti ini sangat
bermanfaat dalam mendiagnosis kemungkinan perolehan produksi maksimum
yang konsisten dengan nilai apapun dari faktor pertumbuhan tertentu yang dapat
ditentukan (Walworth, et al. 1987)
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di Perkebunan kelapa sawit dengan nama kebun di
antaranya adalah : Agritasari Prima, Banyu Bening Utama, Johan Santosa, Palma
Persada 1 (Wirata1), Wirata Daya Bangun Persada 2 (Wirata 2), Ledo Lestari,
Ceria Prima 2, dan Ceria Prima 3 yang tersebar dipropinsi Kalimantan Barat dan
Riau. Penelitian dilakukan pada akhir November 2007 sampai Mei 2008 dengan
cara mengambil contoh daun dan pelepah kelapa sawit belum menghasilkan
(TBM). Penanganan, persiapan dan analisis contoh daun dan pelepah kelapa sawit
dilakukan di laboratorium Tanah dan Sumberdaya Lahan , Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
3.2. Bahan dan alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh daun
kelapa sawit serta bahan-bahan kimia untuk analisis jaringan tanaman di
laboratorium seperti HNO3, HCl, HClO4, H2SO4 pekat, NaOH dan air destilata.
Alat yang digunakan selama pengambilan contoh tanaman adalah gunting
pengambil contoh dan perlengkapanya, meteran, kantong contoh, timbangan,
peralatan tulis, dan golok. Peralatan yang digunakan dalam analisis tanaman
adalah oven, dan peralatan laboratorium lainnya untuk analisis daun tanaman
sawit.
3.3. Metode penelitian
3.3.1 Pengamatan pertumbuhan
Pengamatan pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan
kelapa sawit (Elaeis guineensis) belum menghasilkan (TBM). Variabel
pertumbuhan yang diamati adalah: panjang pelepah, luas daun dan jumlah
pelepah.
3.3.2. Pengambilan sampel tanaman
Penelitian menggunakan metode survei, yaitu dengan cara pengambilan
sampel daun secara acak pada pelepah ke-3 dari 20 pohon dari setiap blok kebun.
Contoh daun diambil pada bagian ekor kadal pelepah ketiga dengan cara
mengambil sepasang daun pada bagian kanan dan kiri, contoh daun yang
digunakan untuk sempel adalah satu pertiga di bagian tengah dari sepasang daun
yang dibuang lidinya. Sampel daun yang diambil kemudian dimasukkan ke dalam
kantong plastik dan diberikan label sesuai dengan kode blok kebun tempat
diambilnya sampel tersebut. Sampel daun yang telah diambil sesegera mungkin
dikeringkan dengan menggunakan alat pengering.
Jumlah total contoh daun yang diambil dari beberapa lokasi tersebut
adalah 286 sampel tanaman. Banyaknya jumlah contoh dimaksudkan untuk
memperkecil adanya variabilitas data.
3.3.3. Penanganan dan penyiapan contoh analisis
Contoh daun dibersihkan terlebih dahulu dari kontaminan (debu dan
tanah) dengan menggunakan kapas, tisu, dan aquades. Selanjutnya, contoh daun di
masukkan ke dalam oven pada suhu 60-65 derajat Celcius. Pengeringan dilakukan
untuk menghentikan reaksi enzimatik yang terjadi dalam daun, menurunkan berat
kering tanaman, dan menjaga berat konstan. Contoh daun yang telah kering
kemudian dihaluskan dengan menggunakan mesin penggiling guna mempercepat
penghancuran pada saat analisis dan menghomogenkan jumlah contoh daun.
Selanjutnya, contoh disimpan sampai dilakukan analisis jaringan tanaman.
Penyiapan dan penanganan contoh tanaman dilakukan dengan sangat hati-hati, hal
ini dimaksudan untuk meminimumkan terjadinya perubahan fisik dan kimia dari
sampel tersebut.
3.3.4. Analisis jaringan tanaman
Metode analisis jaringan tanaman secara garis besar dapat dibagi ke dalam
dua tahap yaitu tahap destruksi dan tahap pengukuran. Tahap destruksi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu pengabuan basah dan pengabuan kering. Pada
analisis ini menggunakan pengabuan basah dan tahapan pengukuran.
Prosedur pengabuan basah dilakukan dengan cara menimbang 0,2 gram
sample tanaman yang telah digiling dan dihomogenkan kemudian masukan
kedalam labu takar 50 ml. Sample tanaman yang telah dimasukan kedalam labu
takar kemudian diberi 5 ml HNO3 dan HClO4 pekat dengan perbandingan 2:1.
Diamkan selama satu malam, setelah itu panaskan di atas hot plate kurang lebih
satu jam sampai larut dan berubah warnanya menjadi cairan bening. Setelah
cairan diangkat kemudian dinginkan dan ditera dengan cara menambahkan
aquades, dan pindahkan ke dalam botol untuk diukur dengan menggunakan alat
seperti Spectrofotometer.
Tabel 1. Metode analisis tanaman yang digunakan adalah :
Jenis Analisis Ekstraksi Pengukuran
N Kjedhal, Titrasi P Pengabuan basah, Spectrofotometer K Pengabuan Basah, Flamefotometer Ca Pengabuan Basah, AAS Mg Pengabuan Basah, AAS Cu Pengabuan Basah, AAS Zn Pengabuan Basah, AAS
3.3.5. Pengolahan data dan Penetapan Kisaran Kecukupan Hara
Penetapan kisaran hara dilakukan dengan cara melihat sebaran kadar hara
tertinggi dan terendah hubungannya dengan umur tanaman. Penetapan ini
diperoleh berdasarkan rata-rata % kadar hara dengan standar deviasi pada umur
tanaman tertentu yang sebelumnya dilakukan peneraan telebih dahulu. Peneraan
dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan pengaruh umur tanaman.
Variabel pertumbuhan yang digunakan untuk menetapkan kisaran
kecukupan hara adalah panjang pelepah, luas daun dan jumlah pelepah. Karena
umur tanaman bervariasi, maka terlebih dahulu dilakukan peneraan umur tanaman
dengan menggunakan persamaan :
Yti = � + (Yi-Ýi)
Keterangan :
Yti = parameter pertumbuhan contoh ke i (tera).
Yi= parameter pertumbuhan contoh ke i.
� = Rataan umum contoh.
Ýi = Dugaan parameter pertumbuhan dari persamaan.
Pemilihan parameter terbaik dilakukan dengan cara membandingkan
diagram sebar hubungan kadar hara N, P, K, Ca, Mg, Cu dan Zn dengan
parameter pertumbuhan panjang pelepah, luas daun dan jumlah pelepah. Dari
ketiga parameter pertumbuhan tersebut, dipilih parameter yang terbaik sebarannya
didasrkan pada bentuk digram yang mengerucut ke atas (skewxess).
Selang kecukupan hara diperoleh dari kalibrasi kadar hara tanaman kelapa
sawit belum menghasilkan (TBM) dengan menggunakan sekat pertumbuhan.
Dalam kalibrasi ini, data pertumbuhan yang digunakan adalah 20 % dari 286
contoh tanaman yang digunakan. Sekat produksi membagi dua kelompok yaitu
pertumbuhan tinggi dan rendah. Nilai selang kecukupan hara diperoleh dari
perpotongan garis sekat produksi dengan garis batas. Garis batas dibuat dari titik-
titik terluar sehingga garis yang dihasilkan sebagai garis yang menghubungkan
data. Gars tersebut memisahkan antara data yang real dan non real (data pencilan),
sehingga sangat kecil peluang ditemukan diluar garis tersebut. Model atau
persamaan garis batas dipilih yang paling sesuai dengan titik terluar, yaitu dipilih
dengan nilai R2 (koefisien determinasi) yang paling besar.
Nilai kisraran kecukupan harahasil kalibrasi, kemudian dibandingkan
dengan tabel referensi kisaran keckupan hara yang telah ada. Hal ini dimaksudkan
untuk mengetahi apakah selang kecukupan hara hasil kalibrasi yang kita tetapkan
lebih lebar atau lebih sempit dari tabel referensi kisaran kecukupan yang
digunakan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan tanaman merupakan resultan dari proses katabolisme dan
anabolisme yang dilakukan oleh tanaman. Pertumbuhan tanaman ditentukan oleh
beberapa faktor genetik dan lingkungan. Kedua faktor ini sangat menentukan
kondisi hara tanaman. Keterkaitan dan keefektifan suatu faktor tumbuh selalu
tergantung pada proporsi, intensitas, dan kualitas faktor tumbuh lain yang aktif
pada saat itu. Dengan demikian, kadar hara yang terkandung dalam tanaman
tergantung dari interaksi faktor-faktor tumbuh di atas dalam mempengaruhi
pertumbuhan tanaman.
Dalam penentuan kisaran kecukupan hara tahapan-tahapan yang perlu
dilakukan diantaranya adalah dengan melihat hubungan umur dengan variabel
pertumbuhan dalam rangka menghilangkan pengaruh umur pada variabel yang
diamati. Berdaraskan variabel pertumbuhan yang telah ditera, maka dilakukan
pemilhan variabel yang sesuai dengan kriteria yaitu sebaran titik-titiknya lebih
terpusat dan mengerucut keatas. Selanjutnya untuk penentuan kisaran kecukupan
hara dilakukan dengan cara membandingkan hasil kalibrasi kadar hara dengan
standar.
4.1 Hubungan Umur dengan Variabel Pertumbuhan
Variabel yang digunakan pada pengamatan ini adalah panjang pelepah,
luas daun dan jumlah pelepah yang sebelumnya dilakukan peneraan.
Peneraan dilakukan dengan meluruskan garis persamaan regresi antara
variabel panjang pelepah, luas daun dan jumlah pelepah (y) dengan umur tanaman
sejajar dengan garis x. Garis peneraan ini merupakan rataan total dari populasi
data secara keseluruhan. Dengan demikian pertumbuhan atau produksi tidak lagi
dipengaruhi oleh umur tanaman. Gambar diagram hubungan antara variabel
pertumbuhan panjang pelepah dengan umur tanaman disajikan pada gambar
5,sedangkan hasil peneraannya dapat dilihat pada gambar 6. Gamabr diagram
hubungan variabel pertumbuhan luas daun dengan umur tanaman disajikan pada
gambar 8, dan peneraannya disajikan pada gambar 9, sedangkan untuk gambar
diagram hubungan variabel jumlah pelepah dengan umur tanaman disajikan pada
gambar 11 dan hasil peneraanya disajikan pada gambar 12.
Hubungan parameter pertumbuhan dengan umur tanaman (gambar 5,8 dan
11) ditunjukan dengan kurva persamaan regresi sebagai berikut : Hubungan umur
(x) dengan panjang pelepah (y) dipilih model terbaik dengan melihat koefisien
determinasi (R2) yang terbesar yaitu : Y = - 0,1101X2 + 9,8619 X + 34,171, R2
yang diperoleh adalah 0,656, hubungan umur (x) dengan luas daun (y) model
terbaiknya Y= -0,0005X2 + 0,089X -0,0668 dan R2 yang diperoleh adalah 0,5429,
sedangkan untuk hubungan umur (x) dengan variabel pertumbuhan jumlah
pelepah (y) model terbaiknya adalah Y = -0,0106 X2 +1,0657 X + 8,6071, R2 yang
didapat adalah : 0,5409. Sedangkan untuk persamaan dari hasil peneraan
ditunjukan oleh gambar (6,9 dan 12) .
Dengan melihat ketiga persamaan di atas, jelas bahwa setelah dilakukan
peneraan nilai R2 yang diperoleh adalah mendekati nol, atau dengan kata lain
umur dari masing-masing tanaman sudah tidak berpengaruh lagi. Dalam hal ini
umur tanaman sudah tidak lagi mempengaruhi penetapan kisaran kecukupan hara.
Berikut adalah gambar hubungan variabel pertumbuhan panjang pelepah,
luas daun, dan rataan jumlah pelepah.
Gambar 5. Hubungan variabel pertumbuhan panjang pelepah kelapa sawit
sebelum dilakukannya peneraan dengan umur tanaman
y = -0.1101x2 + 9.8619x + 34.171
R2 = 0.655
0
50
100
150
200
250
300
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Umur
Panja
ng
Pele
pah
Gambar 6 Hubungan variabel pertumbuhan panjang pelepah kelapa sawit setelah dilakukannya peneraan dengan umur tanaman.
Gambar 7 Hubungan variabel pertumbuhan panjang pelepah kelapa sawit dengan umur tanaman dimana umur tanaman dianggap sama.
Gambar 8 Hubungan variabel pertumbuhan luas daun kelapa sawit sebelum dilakukannya peneraan dengan umur tanaman
0
50
100
150
200
250
300
0 5 10 15 20
umur
pa
nja
ng
pe
lep
ah
te
ra
0
50
100
150
200
250
300
0 5 10 15 20
umur
pa
nja
ng
pe
lep
ah
te
ra
y = -0.0005x2 + 0.089x - 0.0668
R2 = 0.5429
0
1
2
3
4
5
6
0 5 10 15 20 25 30
umur
lua
s d
au
n
Gambar 9. Hubungan variabel pertumbuhan luas daun kelapa sawit
setelah dilakukannya peneraan dengan umur tanaman
Gambar 10. Hubungan variabel pertumbuhan luas daun kelapa sawit dengan umur tanaman dimana umur tanaman dianggap sama.
Gambar 11. Hubungan variabel pertumbuhan jumlah pelepah kelapa sawit sebelum dilakukannya peneraan dengan umur tanaman
0
1
2
3
4
5
6
0 5 10 15 20 25 30
umur
lua
s d
au
n
0
1
2
3
4
5
6
0 5 10 15 20 25 30
umur
lua
s d
au
n
y = -0.0106x2 + 1.0657x + 8.6071
R2 = 0.5409
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
0 5 10 15 20
umur
jum
lah
pe
lep
ah
Gambar 12. Hubungan variabel pertumbuhan jumlah pelepah kelapa sawit setelah dilakukannya peneraan dengan umur tanaman.
.
Gambar 13. Hubungan variabel pertumbuhan jumlah pelepah kelapa sawit dengan umur tanaman dimana umur tanaman dianggap sama.
4.1. Pemilihan variabel pertumbuhan terbaik
Pemilihan variabel pertumbuhan terbaik dilakukan dengan cara
membandingkan variabel pertumbuhan panjang pelepah dengan unsur nitrogen,
hubungan variabel pertumbuhan luas daun dengan unsur nitrogen dan variabel
pertumbuhan jumlah pelepah dengan unsur nitrogen.
Pemilihan variabel pertumbuhan terbaik dilakukan berdasarkan pada teori
kisaran kecukupan hara yaitu bahwa kisaran kecukupan hara akan semakin baik
apabila sebaran titik-titiknya lebih terpusat dan mengerucut keatas, seperti yang
ditunjukan oleh model Farina (1980) dalam Walworth, et al, (1987).
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 5 10 15 20
umur
jum
lah
pe
lep
ah
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 5 10 15 20
umur
jum
lah
pe
lep
ah
Salah satu bentuk kekerucutan ini dapat dilihat pada gambar hubungan
antara kadar hara N dengan variabel pertumbuhan panjang pelepah, luas daun dan
jumlah pelepah.
Berikut ini adalah contoh grafik untuk mengetahui persamaan dalam
penentapan selang kecukupan kadar hara N dengan mengunakan variabel
pertumbuhan panjang pelepah, luas daun dan jumlah pelepah.
Gambar14. Hubungan kadar hara nitrogen dengan vaiabel pertumbuhan panjang
pelepah.
Gambar 15. Hubungan kadar hara nitrogen dengan variabel pertumbuhan luas daun.
y = 286.58Ln(x) + 39.585
R2 = 0.9118y = -323.32Ln(x) + 504.04
R2 = 0.9622
0
50
100
150
200
250
300
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
N
Panja
ng p
ele
pah
y = 0.5133x3.1389
R2 = 0.97 y = 0.1043x2 - 2.3838x + 7.5493
R2 = 0.9655
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0 1 2 3 4 5
N
Lu
as D
au
n T
era
an
Gambar 16. Hubungan kadar hara nitrogen dengan variabel pertumbuhan jumlah
pelepah.
Dengan melihat ketiga gambar tersebut terlihat jelas bahwa variabel
pertumbuhan luas daun merupakan variabel pertumbuhan paling baik, karena
sebaran titik-titiknya lebih terpusat dan mengerucut ke atas. Sesuai dengan prinsip
metode bondary line atau metode garis batas, sebaran data yang semakin
mengerucut ke atas, artinya semakin tinggi pertumbuhan atau produksi, semakin
kecil selang kadar hara atau ekspresi hara (sumbu x). Dengan kata lain semakin
tinggi kadar hara, semakin tinggi produksi tanaman sampai pada tingkat tertentu.
Produksi rendah terjadi bilamana kadar hara rendah, demikian pula produksi
rendah dapat terjadi pada satatus kadar hara tinggi. Pada kadar hara rendah bisa
disebabkan karena faktor pembatas serapan hara atau tertekan oleh hara lain yang
bersifat antagonis. Pada kadar hara tinggi bisa juga menekan hara lain dan
menjadikan antagonis dengan hara lainnya, sehingga produksinya menurun.
Penggambaran seperti ini sangat bermanfaat dalam mendiagnosis kemungkinan
perolehan produksi maksimum yang konsisten dengan nilai apapun dari faktor
pertumbuhan yang dapat ditentukan.
Berikut ini adalah grafik hubungan sebaran hara N, P, K, Ca, Mg, Cu dan
Zn dengan variabel pertumbuhan luas daun
y = -5.2081x2 + 34.601x - 13.194
R2 = 0.7728
y = -3.5662x2 + 5.4897x + 40.908
R2 = 0.9617
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
N
jum
lah p
ele
pah
Gambar17. Hubungan sebaran hara N dengan variabel pertumbuhan luas daun
Gambar 18. Hubungan sebaran hara P dengan variabel pertumbuhan luas daun
Gambar 19. Hubungan sebaran hara K dengan variabel pertumbuhan luas daun
y = 0.5133x3.1389
R2 = 0.97 y = 0.1043x2 - 2.3838x + 7.5493
R2 = 0.9655
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0 1 2 3 4 5
N
Lu
as D
au
n T
era
an
y = 4.3385Ln(x) + 12.163
R2 = 0.9921y = 0.0223x-2.6078
R2 = 0.9794
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45
P
luas d
aun
y = -5.7416Ln(x) + 4.3899
R2 = 0.982
y = 5.675Ln(x) + 3.2211
R2 = 0.891
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
K
LUAS D
AUN T
ERAAN
Gambar 20. Hubungan sebaran hara Ca dengan variabel pertumbuhan luas daun
Gambar 21. Hubungan sebaran hara Ca dengan variabel pertumbuhan luas daun
Gambar 22. Hubungan sebaran hara Cu dengan variabel pertumbuhan luas daun
y = 2.2289Ln(x) + 4.7317
R2 = 0.9631 y = 0.33x-3.6455
R2 = 0.7838
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Ca
LU
AS
DA
UN
TE
RA
AN
y = -0.1309x2 - 1.9372x + 3.9079
R2 = 0.908
y = 46.519x2.1068
R2 = 0.7681
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0 0.5 1 1.5 2Mg
Luas D
aun T
era
an
y = 0.0108x2 - 0.5923x + 9.2638
R2 = 0.9946
y = 1.2014x0.3965
R2 = 0.8637
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
0 5 10 15 20 25 30
Cu
Lu
as
Da
un
Te
raa
n
Gambar 23. Hubungan sebaran hara Cu dengan variabel pertumbuhan luas daun.
Dari gambar di atas kita bisa menghitung dan menetapkan kisaran
kecukupan hara dengan cara memproyeksikan titik potong antara garis batas
(bondary line) dengan sekat produksi adalah luas daun. Proyeksi atau titik potong
sekat pertumbuhan dengan garis batas sebelah kiri pada sumbu X merupakan
batas bawah dari kisaran kecukupan hara yang dinotasikan dengan X1, atau secara
matematik nilai X1 diperoleh dengan mendistribusikan sekat pertumbuhan luas
daun, ( �-m2) ) dengan persamaan garis sebelah kiri. Demikian pula dengan X2
merupakan batas atas kisaran kecukupan hara yang diperoleh dengan cara
mendistribusikan sekat perumbuhan luas daun dengan persamaan garis sebelah
kanan. Hasil perhitungan tersebut merupakan nilai kadar hara pada selang
defisiensi sampai berlebih. Nilai � X1 diperoleh dari persamaan merupakan nilai
kadar hara pada keadaan defisiensi, sedangkan � X2 merupakan nilai kadar hara
pada keadaan berlebih. Selang optimum dalam penentuan selang kecukupan hara
diperoleh dari selang nilai antara batas defisiensi sampai dengan nilai pada selang
hara berlebih.
y = 2019x-1.7794
R2 = 0.7899
y = 1.9811Ln(x) - 3.7187
R2 = 0.7986
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
0 20 40 60 80 100 120
Zn
Lu
as
Da
un
Te
ra
Berikut ini adalah tabel kisaran kecukupan hara dari hasil perhitungan untuk unsur hara N, P, K, Ca,Mg, Cu, dan Zn
Tabel 2. Nilai kadar hara pada selang kurang, cukup dan tinggi
Unsur Hara (Satuan)
Status Hara
Kurang cukup Tinggi N (%) < 1,60 1,60-2,49 > 2.49
P (%) < 0,06 0,06-0,48 > 0,48
K (%) < 0,73 0,70-1,77 > 1,77
Ca (%) < 0,12 0,12-0,86 > 0,86
Mg (%) < 0,10 0,10-1,67 > 1,67
Cu (ppm) < 2,00 2,00-20,0 > 20,0
Zn (ppm) < 11,6 11,6-72,0 > 72,0
Tabel 3. Konsentrasi hara dalam daun kelapa sawit pada kondisi defisiensi, optimum, dan berlebih.untuk tanaman muda (< 6 tahun)
Sumber: Von Uexkull (1992)
Tabel 2 merupakan tabel kadar kecukupan unsur hara dengan
menggunakan variabel pertumbuhan luas daun. Pada variabel pertumbuhan luas
daun selang kisaran kecukupan hara unsur nitrogen pada Tabel hasil kalibrasi
jauh lebih lebar dibawah selang kisaran kecukupan hara kriteria menurut Von
Uexkull (1992). Nilai kadar hara unsur nitrogen pada Tabel hasil kalibrasi adalah
<1,6 % pada keadan defisiensi, 1,6-2,49 % pada kondisi optimum dan > 2,49 %
pada kondisi berlebih, sedangkan pada tabel referensi nilai kadar hara N pada
kondisi defisiensi adalah <2,5 %, pada keadaan optimum 2,6-2,9 %, dan pada
keadaan berlebih kadar haranya adalah >3,1%. Dengan demikian, terlihat jelas
bahwa kadar hara nitrogen pada Tabel hasil kalibrasi lebih rendah dibandingkan
dengan kriteria menurut Von Uexkull (1992). Berbeda dengan unsur hara
Unsur Hara
Satuan
Defisiensi Optimum Berlebih
N % < 2,500 2,60-2,90 > 3,100
P % < 0,15 0,16-0,19 > 0,250
K % < 1,000 1,10-1,30 > 1,900
Mg % < 0,200 0,30-0,45 > 0,700
Ca % < 0,300 0,50-0,70 > 1,000
Cu ppm < 3,000 5,00-7,00 > 15,00
Zn ppm < 10,00 15,0-20,0 > 50,00
nitrogen,nilai kadar kecukupan hara fosfor pada Tabel hasil kalibrasi justru lebih
tinggi dibandingkan dengan kriteria menurut Von Uexkull (1992).
Pada kondisi defisisensi, nilai kadar hara fosfor adalah <0,06 %, pada
kondisi optimum adalah 0,06-0,48% dan pada kondisi berlebih adalah >0,48%.
Sedangkan nilai kadar hara fosfor menurut kriteria Von Uexkull (1992) pada
kondisi defisiensi adalah <0,15%, pada kondisi optimum kadar haranya adalah
0,016-0,19%, dan pada kondisi berlebih kadar haranya adalah > 0,25%. Unsur
hara kalsium pada Tabel hasil kalibrasi lebih rendah dibandingkan dengan kriteria
menurut Von Uexkull (1992), sedangkan unsur hara kalium selang kecukupan
haranya lebih lebar daripada kriteria menurut Von Uexkull (1992).
Unsur hara Mg pada Tabel hasil kalibrasi memiliki selang kecukupan hara
yang lebih lebar dibandingkan kriteria menurut Von Uexkull(1992). Hal ini dapat
dilihat pada kondisi defisiensi kadar hara pada Tabel hasil kalibrasi lebih kecil
yaitu <0,1% dan nilai kadar hara Mg pada kriteria menurut Von Uexkull(1992)
adalah <0,2%, tetapi pada kondisi berlebih nilai kisaran kecukupan hara Mg pada
Tabel hasil kalibrasi lebih besar yaitu >1,67%, sedangkan pada kriteria menurut
Von Uexkull (1992) nilai kadar hara Mg pada kondisi berlebih adalah >0.7%
Seperti halnya unsur hara Mg, unsur hara Cu pada Tabel hasil kalibrasi
memiliki selang kecukupan hara yang lebih lebar dibandingkan dengan kriteria
menurut Von Uexkull (1992). Hal ini dapat dilihat pada kondisi defisiensi nilai
kadar haranya lebih rendah yaitu < 2 ppm dan nilai kadar hara pada kriteria
menurut Von Uexkull (1992) adalah <3 ppm, sedangkan pada kondisi berlebih
nilai kadar hara Cu pada Tabel hasil kalibrasi lebih tinggi yaitu > 20 ppm, dan
pada kriteria menurut Von Uexkull (1992) adalah >15 ppm.
Unsur hara Zn pada Tabel hasil kalibrasi memiliki selang kecukupan hara
yang lebih lebar dibandingkan dengan selang kecukupan hara Zn kriteria menurut
Von Uexkull (1992). Nilai kadar hara Tabel hasil kalibrasi pada kondisi defisiensi
adalah 11,6 ppm, pada kondisi optimum adalah 11,6-72,0 ppm, dan pada kondisi
berlebih adalah >72 ppm, sedangkan pada kriteria menurut Von Uexkull (1992),
nilai kadar hara pada kondisi defisiensi adalah <10 ppm, pada kondisi optimum
adalah 15-20 ppm, sedangkan pada kondisi berlebih adalah >50 ppm.
Selain dibandingkan dengan kriteria menurut Von Uexkull, selang
kecukupan hara hasil kalibrasi juga dibandingkan dengan referensi lain seperti
kriteria kecukupan hara tanaman sawit belum menghasilkan menurut kriteria
John, Jr. et al. (1991)
Tabel 4. Kriteria kecukupan hara tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM)
Unsur Hara Kecukupan Hara (TBM)
N 2,80-3,00
P 0,19-0,21
K 1,50-1,80
Ca 0,30-0,50
Mg 0.30-0.35 Cu - Zn -
Sumber Plant Analysis Hand Book (J.Benton Jones, Jr Benjamin Wolf dan Harry A. Mills )
Mengacu pada referensi standar (Tabel 4), unsur hara N pada Tabel 2
memiliki kisaran kecukupan hara lebih lebar di bawah kisaran kecukupan hara
pada tabel 4 (referensi), ini artinya kecukupan hara N jauh lebih rendah
diabndingkan dengan kriteria kecukupan hara menurut kriteria John, Jr. et al.
(1991)
Selang kecukupan hara P, K, Ca, dan Mg pada Tabel 2 lebih lebar
dibandingkan dengan kecukupan hara pada Tabel 4, ini artinya kecukupan hara P,
K, Ca dan Mg berada diatas kriteria kecukupan hara menurut kriteria John, Jr. et
al. (1991)
Dengan melihat perbandingan selang kecukupan hara pada Tabel 2
dengan kriteria kecukupan menurut kriteria John, Jr. et al. (1991), dapat dikatakan
bahwa kecukupan hara tanaman kelapa sawit hasil kalibrasi pada umumnya
terbilang cukup baik, hal ini dapat dlihat pada selang kecukupan hara tabel 2
berada diatas kriteria selang kecukupan hara menurut kriteria John, Jr. et al.
(1991), kecuali unsur hara N. Kekurangan unsur hara N ini diduga karena
mobilitasnya tinggi atau dosis yang berikan belum mencukupi untuk mencapai
produksi yang optimum
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Hasil kalibrasi kadar hara N, P, K, Ca, Mg, Cu dan Zn pada tanaman kelapa
sawit (Elaeis guineensis) belum menghasilkan (TBM) dengan menggunakan
sekat perumbuhan tanaman terbaik adalah sebagai berikut :
a. Selang kecukupan hara K, P, Mg, Cu dan Zn pada Tabel hasil kalibrasi
lebih lebar dibandingkan kriteria menurut Von Uexkull (1992) dan
Tabel kecukupan hara menurut kriteria John, Jr. et al. (1991) .
b. Selang kisaran kecukupan unsur hara nitrogen pada Tabel hasil kaibrasi
berada dibawah tetapi lebih lebar dibandingkan kriteria menurut Von
Uexkull (1992) dan kriteria menurut John, Jr. et al. (1991) Selang
kisaran kecukupan hara dan Ca pada Tabel hasil kalibrasi lebih sempit
dibandingkan dengan kriteria menurut Von Uexkull (1992)
c. Selang kecukupan hara Ca pada Tabel hasil kalibrasi lebih lebar
daripada kritera kriteria menurut Von Uexkull (1992).
5.2. Saran
Saran yang diberikan penulis antara lain adalah:
1. Sebaiknya perlu dilakukannya lagi penelitian lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrich, S.R. 1973. Plant Analysis : Problem and opportunities. In L.M.Walsh, and J.D. Beaton (eds). Soil Testing and Plant Analysis. Soil Sci. Soc. Am.Madison, WI. Pp. 213-221.
Brady, N .C. 1974. The Nature and Properties of Soils. 8 th ed. McMillan Publ.
Co, Inc. New York Jonnes JB Jr, B Wolf dan HA Mills. 1991. Plant Analysis Hand Book; A Practical
sampling, preparation, analysis and interpretation guide. Micro-macro Publishing, Inc. New York.
Leiwakabessy, F.M. 1988. Kesuburan Tanah. Departemen Ilmu-ilmu Tanah,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Leiwakabessy, F.M. dan A. Sutandi. 1988. Pupuk dan Pemupukan. Departemen
Ilmu-ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Leiwakabessy, F.M. dan A. Sutandi. 2004. Bahan Kuliah Pupuk dan Pemupukan.
Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor Leiwakabessy, F.M., U.M. Wahjudin, Suwarno. 2005. Diktat Kuliah Kesuburan
Tanah, Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lubis, A. U. 1992. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Indonesia.
Pusat Penelitian Perkebunan Marihat. Bandar Kula, Pemantang Siantar. 435 hal.
Millar, C. E. 1955. Soil Fertility. John Wiley and Sons, Inc., New York. Nelson, L.B 1976. The Mineral Nutrition of Corn as Related to Its Growth and
Culture. Advanced in Agronomy. Academic Press Inc. New York. Pahan, I. 2007. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta. Soepardi , G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Ilmu- Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian, IPB. Bogor. Tisdale, S.L., W.L. Nelson dan J.D.Benton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. .
Macmillan Publ. Co.Inc. New York. Ulrich , and F. J. Hills . 1973. Plant Analysis as an aid in Fertilizing sugar corp :
Part I. Sugar Beets. In leo M. Walsh and James D. Beaston (Eds) Soil Testing and Plant Analysis (Reviced Ed). Soil Sci. Soc. Am, Inc., Madison, WI . PP. 271-288.
Von Uexkull, “Oil palm (Elaeis guineensis Jacq.)”, p.245-253, In W. Wichmann (Ed), IFA World Fertilizer Use Manual, http:// www.fertilizer. Org, 1992.
Walworth, J. L., dan M. E. Sumner. 1987. The Diagnosis and Recommendation
Integretid System (DRIS). Adv. Soil. Sci 6 : 149-188. Widjaya Adhi , I . P . G . 1993 . Konsep Pengelolaan Hara Tanaman berdasarkan
Uji Tanah dan A nalysis Tanaman. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat . Bogor .
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1. Kadar Hara Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis)
Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)
No Kebun kode blok
kebun Umur
(bulan) Rataan
Luas Daun BK
Pelepah Kadar Hara
(m2) (g)
N P K Ca Mg Cu Zn %
1 Agrita Sari Prima E1 6 0.60 32 1.94 0.12 0.98 0.36 0.23 7.23 16.87
2 Agrita Sari Prima E 52 24 1.13 150 2.05 0.1 0.95 0.53 0.24 7.4 32.08
3 Agrita Sari Prima E 46 12 0.76 150 1.94 0.1 0.85 0.61 0.32 14.81 34.57
4 Banyu Bening Utama M 46 31 1.81 261 2.53 0.17 1.84 0.69 0.32 9.55 29.33
5 Banyu Bening Utama M 45 31 1.98 234 1.86 0.13 0.99 0.57 0.38 7.34 24.47
6 Banyu Bening Utama M 43 31 2.01 275 1.6 0.12 1.1 0.41 0.22 4.87 34.06
7 Banyu Bening Utama M 41 31 1.46 160 1.78 0.14 1.08 0.3 0.26 7.43 17.33
8 Banyu Bening Utama M 39 31 1.95 181 1.61 0.1 1.22 0.36 0.23 7.31 46.32
9 Banyu Bening Utama M 37 29 1.57 159 1.61 0.14 1.31 0.59 0.33 10 21.88
10 Banyu Bening Utama L-44 31 1.95 349 2.09 0.15 1.16 0.42 0.26 2.45 31.86
11 Banyu Bening Utama L 42 31 2.14 317 2.02 0.1 1.2 0.58 0.38 9.62 40.53
12 Banyu Bening Utama L 40 31 2.87 469 1.85 0.13 1.21 0.43 0.29 4.89 17.1
13 Banyu Bening Utama L 38 30 2.29 383 1.88 0.18 1.15 0.45 0.32 4.82 33.72
14 Banyu Bening Utama L 29 30 2.46 267 1.97 0.13 1.27 0.42 0.29 10 19.85
15 Banyu Bening Utama L 27 30 2.54 700 2.07 0.13 1.3 0.58 0.32 9.85 41.85
16 Banyu Bening Utama L 20 30 3.09 399 2.24 0.12 1.31 0.47 0.31 6.92 29.81
17 Banyu Bening Utama L 18 29 2.41 571 2.09 0.15 1.2 0.53 0.32 6.32 30.5
18 Banyu Bening Utama K 45 32 2.20 204 1.96 0.15 1.38 0.36 0.25 9.78 27.12
19 Banyu Bening Utama K 43 31 2.25 381 1.9 0.15 1.4 0.42 0.28 9.66 31.4
20 Banyu Bening Utama K 41 31 1.69 215 1.88 0.12 1.23 0.52 0.4 4.97 32.29
21 Banyu Bening Utama K 37 31 1.93 365 2.07 0.12 1.49 0.35 0.28 8.96 21.57
22 Banyu Bening Utama K 32 31 1.90 284 2.22 0.14 1.3 0.41 0.3 9.56 35.41
23 Banyu Bening Utama K 30 31 1.99 391 2.09 0.11 1.19 0.73 0.34 7.4 32.05
24 Banyu Bening Utama K 28 31 1.99 398 1.99 0.13 1.1 0.39 0.26 7.29 27.45
25 Banyu Bening Utama K 26 30 2.04 333 2.04 0.16 1.25 0.43 0.3 7.95 22.19
26 Banyu Bening Utama K 24 30 2.04 396 2.27 0.16 1.26 0.62 0.44 7.25 39.14
27 Banyu Bening Utama K 22 30 2.25 541 2.34 0.12 1.28 0.41 0.34 14.43 40.51
28 Johan Santosa I 9 30 3.76 625 1.56 0.1 1.09 0.39 0.22 4.97 17.4
29 Johan Santosa I 7 30 4.90 748 1.9 0.14 1.11 0.55 0.31 12.36 44.49
30 Johan Santosa I 5 30 2.93 323 1.48 0.09 1.02 0.61 0.32 9.69 33.93
31 Johan Santosa I 3 30 2.63 322 1.87 0.12 1.22 0.58 0.37 7.91 36.28
32 Johan Santosa I 16 30 3.50 406 2.17 0.12 1.13 0.41 0.28 9.87 24.67
33 Johan Santosa I 15 30 2.07 580 2.85 0.19 1.2 0.65 0.4 14.92 44.75
34 Johan Santosa I 14 30 3.35 697 1.99 0.13 1.06 0.42 0.26 9.76 43.9
Tabel Lampiran 1. Lanjutan
No Kebun
kode blok kebun
Umur (bulan)
Rataan Luas Daun
BK Pelepah Kadar Hara
(m2) (g)
N P K Ca Mg Cu Zn %
35 Johan Santosa I 13 30 2.60 509 2.72 0.2 1.18 0.69 0.35 14.33 24.33
36 Johan Santosa I 1-2 30 4.08 615 2 0.12 0.93 0.56 0.31 14.42 21.63