KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour) SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN PELANCAR PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI) Oleh: NUR FAIZAH FITRIAH F 34103053 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
100
Embed
KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN SOP DAUN … · KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour) ... keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour)
SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN PELANCAR PRODUKSI
AIR SUSU IBU (ASI)
Oleh:
NUR FAIZAH FITRIAH
F 34103053
2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Nur Faizah Fitriah (F34103053). Packaging and Storage Study of Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Leaf Sop as a Additive Food to Stimulate Breast Milk Production. Supervised by Dr. Ir Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik M.Rep. Sc. P.hD.
SUMMARY Indonesia has many types of plant, especially leaf, which is believed to
stimulate the breast milk production (laktagogum). Among them are katuk (Souropus androgynus), papaya and Torbangun (Coleus amboinicus Lour). Torbangun is originating from North Sumatera. Since years ago, Batak people believed that Torbangun could stimulate the breast milk production or even could used to recover for mother’s health status after give a birth. Torbangun is consumed as soup. The soup is produced from leaf, spices, and coconut milk. As modern life, the soup is now very prospective to be marketed. However, as a commercial product, the soup need to be improved in quality and practicability. The content of coconut milk in this in the leaf soup makes the product become susceptible against rancidity and microbiological damage. It is therefore, the study should be conducted corcerning on packaging and storage of Torbangun leaf soup.
The main objective of this study is to improve the quality and to pro long shelf life of the Torbangun leaf soup. To achieve the objective mention, the study is proposed to apply many package types and storage conditions. The specific objective of the study are (i) to get the best package type, (ii) to recognize the most suitable storage condition, (iii) to obtain the quality reduction of Torbangun leaf soup during storage period, and (iv) to obtain the shelflife from this product.
There are three types of packaging used in this study. They are glass, LDPE plastic, and microwavable plastic (CPET). It is also three temperatures used i.e. cold storage temperature (3-5oC), refrigerator temperature (12-15 oC) and normal temperature (27-30oC). Torbangun leaf soup is stored for 8 days duration for cold storage and 2 days for normal storage based from preliminary research result. The primary research is done twice. Along the storage, soup is analyzed its quality including rancidity test (Thiobarbituric Acid Value), microbiology test (Total Plate Count), acidity level (pH), and Titrated Acid Total (TAT).
The preliminary study resulted that Torbangun leaf soup has 84,43235% water , 7,6683% carbohydrate, 3,83975% protein, 3,1591 % fat, and 0.90055% ash content. This result is used to know the characteristic of Torbangun leaf soup treatment. Moreover, the soup rancidity during storage with many package types can be observed by the Thiobarbituric Acid value test (TBA). The kind analysis against TBA value shows that TBA value of Torbangun leaf soup is obviously influenced by temperature factor at 95% significant level at the 2nd day. The TBA value is more equally increased with the increase of storage temperature. At 3-5oC and 12-15oC, TBA value tends to be lower than normal temperature. However, this TBA test does not really affect the package factor used at the 95% significant level.
The result of kind examination for TPC parameter shows that the factor giving real effect at the 5 % level against TPC value is the package factor at the 3rd, 4th, 7th, and 8th day . The high of TPC value is shown by the LDPE, then is followed microwavable plastic (CPET). While, the glass shows the lowest TPC in this product. Generally, TPC value is also influenced by temperature along the storage. With a rise of the temperature, microorganism will increase in number. At normal temperature storage, it is seen that microbe is rapidly increased in all kind of package. At the 3rd day, TPC value is also influenced by the interaction between package factor and temperature storage at the 95% significant level.
The calculation of TAT value can be used to know the acidity level or acid content from the product. The longer the storage, the higher the TAT value. In normal temperature TAT value tends to increase dramatically at the two days storage. After the third (3rd) day, the lower TAT average value is shown by product which stored in temperature of 3-5oC. The rare of increasing TAT is faster in normal temperature (27-30oC) than cold temperature (3-5oC and 12-15oC). While, based on kind examination analysis, the package factor give obvious difference (interaction value <0.05) at the 6th day storage.
Another quality factor is pH. The parameter value will become the important factor for a food product if it is connected with product quality. The result shows that pH product is influenced by package factor at the 5 % level on the 5th, 6th, 7th, and 8th day storage. If the storage is longer, the pH value will tend to decrease. The highest value of pH will be obtained in the product which storage in the highest temperature. Significantly, pH value is influenced by the package factor at the 5 % level on the 1st, 2nd and 5th day storage. At the 1st day storage, the interaction between the temperature storage and package factor is influence the pH factor. It means, the longer period of storage, the product will tends to be acid.
The best type of packaging and temperature of storage is determined by weighting technique. In this technique, all factor influenced the decision are gave a weight. The weighting factor are price, packaging, product display, distribution, and practicability. The higher rank obtained from this technique, the best package for the product. The technique resulted that the CPET is the best packaging to package the Torbangun leaf soup. The other alternatives are glass as the second best, and LDPE as the third best. The combination of the best type of packaging and the optimal temperature will minimize the damage of this product. The best combination for this Torbangun leaf soup is CPET package on the cold storage (3-5oC).
KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour)
SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN PELANCAR PRODUKSI
AIR SUSU IBU (ASI)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
NUR FAIZAH FITRIAH
F 34103053
2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour)
SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN
PELANCAR PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh: NUR FAIZAH FITRIAH
F34103053
Tanggal Lulus Bogor, 27 April 2007
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Ir. Endang Warsiki, MT, Ph. D Drh.M.Rizal M.Damanik, M.Rep.Sc, Ph.D
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 19 Juni 1985
dengan nama lengkap Nur Faizah Fitriah. Penulis adalah anak
keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak H.A. Gani
Ibrahim dan Ibu Udji Prihati. Penulis mengawali jenjang
pendidikannya di TK Aisyiyah XI Purwokerto pada tahun
1989-1991 dan menempuh pendidikan dasar di SDN
Purwokerto Selatan 02 pada tahun 1991-1997, dilanjutkan ke jenjang sekolah
lanjutan di SLTPN 1 Purwokerto pada tahun 1997-2000 serta SMUN 2
Purwokerto pada tahun 2000-2003.
Penulis lulus seleksi masuk IPB pada tahun 2003 melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar di Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian - Institut Pertanian Bogor (Fateta - IPB),
dengan nomor induk F34103053. Di bangku perkuliahan, penulis aktif mengikuti
berbagai kegiatan akademik dan non akademik, diantaranya menjadi asisten
praktikum mata kuliah Pengemasan dan Penyimpanan I, serta aktif dalam
kepengurusan Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) periode
2004-2005. Dalam periode kepengurusan tersebut, penulis aktif dalam berbagai
kepanitian serta menjabat sebagai staff Biro Minat dan Bakat, Departemen Human
Resources Development (HRD). Penulis melakukan Praktek Lapang dengan topik
“Studi Mengenai Aspek Pengemasan dan Penyimpanan Produk di PT. Sweet
Candy Indonesia (Studi Kasus Penggunaan Kemasan Varnish-Non Varnish pada
Dragee)” pada tahun 2006. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian
dengan tema “Kajian Pengemasan dan Penyimpanan Sop daun Torbangun sebagai
Makanan Tambahan Pelancar Produksi Air Susu Ibu” di bawah bimbingan Dr.Ir.
Endang Warsiki, MT dan Drh. M Rizal M. Damanik M. Rep.Sc. PhD.
Nur Faizah Fitriah (F34103053) Kajian Pengemasan Sop Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Sebagai Makanan Tambahan Pelancar Produksi Air Susu Ibu (ASI). Di bawah bimbingan Dr. Ir Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik M.Rep. Sc. P.hD.
RINGKASAN
Kaum ibu di Indonesia mengenal beberapa jenis tanaman yang dipercaya dapat menambah produksi ASI (laktagogum) seperti daun katuk dan daun pepaya. Torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu tanaman obat yang dipercaya masyarakat suku Batak untuk menambah produksi Air Susu Ibu (ASI) serta memulihkan tenaga pasca melahirkan. Sop daun Torbangun umumnya dikonsumsi dalam bentuk sop bersantan. Produk ini sangat prospektif untuk dipasarkan, namun kandungan santan pada sop daun Torbangun menjadikan produk ini rentan terhadap kerusakan seperti ketengikan dan kerusakan mikrobiologis. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian mengenai teknik pengemasan dan penyimpanan bagi produk sop daun Torbangun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan berbagai jenis kemasan dan kondisi penyimpanan untuk memperpanjang umur simpan sop daun Torbangun. Tujuan khusus penelitian adalah untuk memperoleh jenis kemasan terbaik untuk sop daun Torbangun, mengetahui kondisi penyimpanan yang paling sesuai untuk sop daun Torbangun serta mengetahui penurunan mutu sop daun Torbangun selama penyimpanan. Selain itu dari penelitian ini dapat diketahui umur simpan produk tanpa penambahan bahan pengawet.
Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan, dilakukan penentuan umur simpan sop daun Torbangun dan analisa proksimat awal untuk mengetahui karakteristik produk. Perlakuan dalam penelitian ini adalah jenis pengemasan dan suhu serta lama penyimpanan. Kemasan yang digunakan terdiri dari gelas, plastik LDPE dan plastik microwavable (CPET) dengan suhu penyimpanan dingin (3-5oC dan 12-15oC) dan suhu ruang (27-30oC). Sop daun Torbangun disimpan selama 8 hari untuk penyimpanan suhu dingin dan 2 hari untuk penyimpanan suhu ruang berdasarkan hasil dari penelitian pendahuluan. Penelitian utama dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Analisis mutu yang dilakukan meliputi pengujian ketengikan (Bilangan Thiobarbituric Acid), uji mikrobiologi (Total Plate Count), derajat keasaman (pH) dan Total Asam Tertitrasi (TAT).
Sebelum penyimpanan, dilakukan analisa untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Hasil analisa proksimat menunjukkan bahwa sop daun Torbangun memiliki kadar lemak yang cukup tinggi yaitu memiliki kadar air sebesar 84,43235 %, kadar karbohidrat sebesar 7,6683%, kadar protein sebesar 3,83975%, kadar lemak sebesar 3,1591, dan kadar abu sebesar 0,90055%.
Nilai ketengikan sop selama penyimpanan dengan berbagai jenis kemasan dapat dilihat melalui pengujian bilangan Thiobarbituric Acid (TBA). Hasil analisis ragam terhadap bilangan TBA menunjukkan bahwa bilangan TBA sop daun Torbangun dipengaruhi secara nyata oleh faktor suhu pada taraf 5 % pada hari kedua. Penyimpanan pada suhu 3-5oC tidak berbeda nyata dengan suhu 12-15oC. Nilai bilangan TBA pada kedua suhu ini cenderung lebih rendah
dibandingkan suhu yang lebih tinggi yaitu pada suhu 27-30oC. Semakin lama disimpan, nilai rata-rata TBA cenderung semakin meningkat. Uji bilangan TBA ini tidak berpengaruh nyata untuk faktor kemasan yang digunakan pada taraf 5%.
Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan memberikan pengaruh nyata pada taraf 5 % terhadap nilai TPC di hari ketiga, keempat, ketujuh dan kedelapan. Nilai TPC yang tinggi ditunjukkan oleh kemasan LDPE, kemudian diikuti oleh kemasan microwavable plastic (CPET) dan kemudian kemasan gelas. Faktor suhu juga memberikan pengaruh yang nyata untuk taraf 5 % pada penyimpanan di hari pertama, kedua, ketiga, keempat, ketujuh, dan kedelapan. Peningkatan suhu akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Pada penyimpanan suhu kamar terlihat pertumbuhan mikroba yang sangat pesat pada semua jenis kemasan. Pada hari ketiga, interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan juga memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5%.
Nilai pH menjadi faktor penting untuk suatu produk makanan bila dihubungkan dengan kualitas produk. Nilai pH produk tersebut dipengaruhi oleh faktor kemasan untuk taraf 5 % pada penyimpanan di hari kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa di hari pertama, kedua dan kelima, nilai pH dipengaruhi oleh faktor suhu pada taraf 5 %. pH yang semakin asam dihasilkan oleh suhu yang semakin tinggi. Pada hari pertama, interaksi antara suhu dan jenis kemasan juga mempengaruhi nilai pH produk pada taraf 5 %.
Perhitungan nilai TAT dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman atau kandungan asam suatu produk. Semakin lama penyimpanan, nilai TAT semakin meningkat, dan suhu ruang cenderung menunjukkan nilai TAT yang meningkat secara drastis pada penyimpanan selama 2 hari. Setelah hari ketiga, rata-rata nilai TAT yang lebih rendah ditunjukkan oleh produk yang disimpan pada suhu 3-5oC. Pada suhu ruang, nilai TAT cenderung meningkat dengan cepat dibandingkan pada suhu dingin (3-5oC dan 12-15oC). Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan memberikan perbedaan yang nyata pada penyimpanan di hari keenam untuk taraf 5 %.
Pengambilan keputusan untuk mendapatkan alternatif kemasan terbaik dilakukan dengan metode pembobotan. Metode ini melibatkan faktor harga, kemudahan dalam proses pengemasan, tampilan produk setelah dikemas, kemudahan dalam proses distribusi, serta kepraktisan konsumen. Berdasarkan pembobotan dari faktor-faktor tersebut, kemasan CPET menunjukkan bobot tertinggi, sehingga kemasan ini merupakan kemasan terbaik bagi produk. Alternatif kemasan yang lain yaitu kemasan gelas yang menunjukkan bobot menengah dan kemasan LDPE yang memiliki bobot terendah.
Kombinasi antara kemasan yang baik dan suhu optimal dapat meminimalisasi tingkat kerusakan produk. Kombinasi antara kemasan dan kondisi penyimpanan terbaik untuk sop daun Torbangun ini adalah kemasan CPET pada suhu penyimpanan dingin 3-5˚C. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai umur simpan produk ini dengan mempertimbangkan penggunaan bahan pengawet atau antioksidan, serta perhitungan tingkat migrasi kemasan terhadap produk. Selain itu, perlu dikaji penggunaan kemasan berwarna untuk mengurangi tingkat oksidasi lemak pada produk.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Skripsi yang berjudul Kajian Pengemasan Sop Daun Torbangun Sebagai Pelancar
Air Susu Ibu (ASI). Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik
M.Rep.Sc. Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan dorongan, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat
bagi penulis.
2. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA sebagai dosen penguji yang banyak memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada penulis.
3. Ibu Evy Damayanti, yang telah memberikan kesempatan dan banyak
masukan kepada penulis.
4. Kedua orangtua tercinta, serta kakak dan keponakan-keponakan tersayang
atas dukungan moril dan materiil.
5. Mas Sugeng Supriadi, atas segala bantuan, dorongan, dukungan, kasih
sayang dan perhatian yang diberikan kepada penulis.
6. Keluarga baruku, Bapak Soenaryo sekeluarga, terimakasih atas dukungan,
perhatian, dan dorongan semangatnya sehingga semuanya dapat berjalan
sesuai rencana.
7. Devinanda Pricy DR C29, Veny dan Viranda Talitha, kalian sahabat-
sahabat terbaik yang pernah kumiliki.
8. Pak Mashudi, Pak Sugiardi, Bu Ega, Bu Rini, Pak Gun, Pak Edi dan
seluruh laboran di laboratorium Teknologi Industri Pertanian, atas
bantuannya selama penulis melakukan penelitian
9. Mas Deny Best, Tim Torbangun GM (Kak Deny, Devi, Betsy), Mas Adi,
skatole, dan asam lemak. Perubahan mikrobiologi disebabkan oleh pertumbuhan
mikroba pada bahan pangan. Pertumbuhan mikroba tersebut akan menyebabkan
timbulnya pembusukan yang akan mengakibatkan munculnya karakteristik
17
sensori yang tidak diinginkan dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan bahan
pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (Singh, 1994). Selanjutnya
dijelaskan oleh Muchtadi (1989), kerusakan sensori yang diakibatkan oleh
mikroba dapat berupa pelunakan, terjadinya asam, terbentuknya gas, lendir, busa
dan lain-lain. Mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan
antara lain bakteri, kapang dan khamir.
2.4.2. Uji kerusakan pangan
Uji yang dilakukan sebagai parameter kerusakan pangan dalam penelitian
ini adalah uji ketengikan (bilangan TBA), uji mikrobiologis (TPC), pengukuran
derajat asam (pH), dan Total Asam Tertitrasi (TAT). Menurut Ketaren (1989), uji
ketengikan minyak secara kualitatif dan kuantitatif dilakukan dengan mendeteksi
senyawa-senyawa yang menimbulkan bau tengik dalam minyak misalnya
aldehida, keton dan peroksida yang dapat menguap. Macam-macam uji
ketengikan antara lain Uji Kreis, Issoglio, Schiff, Lea dan Uji Thiobarbituric Acid
(TBA).
Uji Thiobarbituric Acid (TBA) didasarkan atas terbentuknya pigmen
berwarna merah sebagai hasil dari reaksi kondensasi antara dua molekul TBA
dengan salah satu molekul malonaldehida. Lemak yang tengik mengandung
aldehida dan kebanyakan sebagai malonaldehida. Persenyawaan maloneldehida
secara teoritis dapat dihasilkan oleh pembentukan di-peroksida pada gugus
pentadiena yang disusul dengan pemutusan rantai molekul atau dengan cara
oksidasi lebih lanjut 2-enol yang dihasilkan dari penguraian monohidro peroksida.
Nawar (1985) menjelaskan bahwa malonaldehida terbentuk dari penguraian
senyawa peroksida yang mempunyai lebih dari dua ikatan rangkap (Gambar 3).
Malonaldehida bila direaksikan dengan Thiobarbiturat akan membentuk kompleks
warna merah. Intensitas warna merah sesuai dengan jumlah malonaldehida yang
ada dan absorbansinya dapat ditentukan dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 528 nm (Tarladgis et al., 1960).
18
C – C – C = C – C – C – C = C – C – C – O O* C – C – *C – C – C – C – C = C – C – C – O O C – C – C – C – C – C – C = C – C – C – O* O* C – C – C C – C – C C = C – C – C – Propana O O
Malonaldehida
Gambar 3. Reaksi pembentukan malonaldehida
Menurut Ketaren (1986), kelebihan dari uji TBA dibandingkan dengan
metode yang lainnya adalah uji ini dapat digunakan langsung untuk menguji
lemak dalam suatu bahan tanpa harus mengekstraksi fraksi lemaknya terlebih
dahulu. Kelemahan dari uji TBA ini adalah adanya kemungkinan beberapa
persenyawaan selain hasil oksidasi lemak berupa asam akan tersuling bersama uap
dan selanjutnya terhadap destilat dilakukan uji TBA. Telah diketahui pula bahwa
asam Thiobarbituric bersifat tidak stabil dan mengalami dekomposisi di bawah
kondisi pengujian (yaitu dengan adanya pemanasan dan asam keras), terutama
karena adanya peroksida. Hasil degradasi tersebut mempunyai warna yang sama
(diabsorpsi dengan panjang gelombang yang sama) dengan kompleks TBA-
malonaldehida.
Nilai pH dapat digunakan untuk menentukan produk bersifat asam, netral
atau basa (Soeparno, 1994). Nilai pH merupakan minus logaritma dari konsentrasi
ion H+ yang dinyatakan dalam satuan mol/liter. Konsentrasi ion H+ ditentukan
oleh molekul-molekul yang dapat melepaskan maupun yang dapat mengikat ion
ke dalam larutan. Nilai pH berkaitan dengan umur simpan produk karena
mempengaruhi penilaian organoleptik dan kandungan mikroorganisme produk.
Menurut Fardiaz (1989), nilai pH medium sangat mempengaruhi jasad renik yang
dapat tumbuh. Perubahan nilai pH yang signifikan dapat merubah rasa dari suatu
19
produk makanan. Intensitas rasa dalam makanan dapat dipengaruhi oleh beberapa
parameter, yaitu aroma, pH, dan tekstur makanan (Belitz et al., 1999).
Menurut Ketaren (1986), ketengikan terbentuk oleh aldehida, dan bukan
oleh peroksida. Menurut Djatmiko dan Widjaja (1973), kerusakan karena proses
hidrolisa dapat terjadi pada bahan pangan berlemak yang mengandung asam
lemak jenuh dalam jumlah cukup besar, dalam hal ini kelapa mengandung asam
laurat yang cukup banyak. Bau tengik disebabkan oleh asam lemak bebas yang
terbentuk dalam proses hidrolisa.
Total asam tertitrasi berbeda dengan nilai pH. Total asam tertitrasi
menunjukkan potensi asam suatu produk (kandungan ion hidrogen), sedangkan
pH menunjukkan konsentrasi hidrogen bebas suatu bahan pangan (Egan et al.,
1981). Nilai TAT selalu berbanding terbalik dengan nilai pH. (Eackles et al.,
1957).
Hasil pemecahan suatu komponen kimia yang terdapat di dalam substrat
berbeda-beda tergantung spesies mikrobanya. Fardiaz (1989) menjelaskan bahwa
hasil pemecahan karbohidrat oleh mikroba dapat berupa asam-asam organik (asam
laktat, asetat, butirat, atau propionat), produk-produk netral (aseton, butil alkohol,
atau etil alkohol) dan bermacam-macam gas (metana, hidrogen, karbondioksida).
Pemecahan komponen protein menjadi peptida dan asam-asam amino dapat
menghasilkan produk-produk sampingan seperti NH3, indol, dan H2O, sedangkan
hasil pemecahan lemak oleh mikroba berupa gliserol dan asam lemak. Adanya
hasil pemecahan komponen-komponen kimia tersebut dapat mempengaruhi
keasaman suatu produk.
2.5. Penyimpanan
2.5.1. Kondisi Penyimpanan
Metode-metode untuk pengawetan pangan menurut Syarief et al.,(1989)
adalah pendinginan dan refrigerasi, pembekuan, pengawetan kimia dan
pemanasan. Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau
mencegah reaksi-reaksi kimia enzimatis atau mikrobiologi. Pendinginan dapat
menghambat reaksi metabolisme. Oleh karena itu, menurut Winarno et al.,
20
(1983), penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa
hidup dari jaringan di dalam bahan pangan tersebut.
Penggunaan suhu rendah dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu
penyimpanan sejuk, pendinginan dan penyimpanan beku. Penyimpanan sejuk
biasanya dilakukan pada suhu sedikit di bawah suhu kamar dan tidak lebih rendah
dari 15oC (Winarno et al., 1983). Pendinginan refrigerasi adalah penyimpanan
produk pangan pada suhu 0oC sampai dengan 10oC (Syarief et al., 1989). Menurut
Fardiaz (1982), pendinginan dapat memperpanjang umur simpan suatu makanan
karena selama pendinginan pertumbuhan dapat dicegah atau diperlambat.
Tujuan penyimpanan dingin atau pendinginan adalah mencegah kerusakan
tanpa mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan. Penyimpanan dingin ini
dapat mempertahankan komoditas dalam kondisi yang dapat diterima dan dapat
dikonsumsi selama mungkin oleh konsumen. Penyimpanan dingin dapat
mencegah pertumbuhan mikroorganisme termofilik dan mesofilik. Beberapa jenis
mikroorganisme psikrofilik dapat menyebabkan pembusukan, tetapi jenis ini tidak
bersifat patogen (Fellows, 1990). Penyimpanan dingin mempunyai pengaruh yang
kecil terhadap cita rasa, warna, tekstur, nilai gizi, serta bentuk dan penampakan
bahan pangan, namun perlu mengikuti prosedur standar dengan lama
penyimpanan tertentu (Daulay, 1998). Potter (1973) menyatakan bahwa suhu
pendinginan yang biasa diterapkan berkisar antara -2.22oC sampai dengan
+15.56oC dan pada lemari pendingin rumah tangga bersuhu antara 4.44oC sampai
dengan 7.22oC.
Proses pendinginan (refrigerasi) adalah produksi pengusahaan dan
pemeliharaan tingkat suhu dari suatu bahan atau ruangan pada tingkat yang lebih
rendah daripada suhu lingkungan atau atmosfer sekitarnya dengan cara penarikan
atau penyerapan panas dari bahan atau ruangan tersebut (Ilyas, 1993). Sedangkan
menurut Winarno (1997), pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas
suhu pembekuan yaitu sekitar 2-10oC. Fellows (1990) mendefinisikan
pendinginan sebagai unit operasi dengan suhu penyimpanan suatu bahan pangan
diturunkan. Proses ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan biokimia, fisik, dan
mikrobiologi. Selain itu, penggunaan suhu dingin untuk penyimpanan juga
bertujuan untuk memperpanjang umur simpan produk segar maupun olahan.
21
Umur simpan produk olahan yang disimpan pada suhu dingin ditentukan oleh tipe
makanan, tingkat kerusakan mikroba atau aktivitas enzim akibat proses
pengolahan, kontrol sanitasi selama proses pengolahan dan pengemasan, barrier
pada kemasan, dan suhu selama distribusi dan penyimpanan (Fellows, 1990).
Pendinginan dapat menghambat atau memperlambat pertumbuhan mikroba
karena mikroorganisme mempunyai suhu maksimal dan minimal sebagai batas
suhu untuk pertumbuhannya. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan
mikroorganisme disebabkan suhu mempengaruhi aktivitas enzim yang
mengkatalisasi reaksi-reaksi biokimia dalam sel mikroorganisme. Di bawah suhu
optimum, keaktifan enzim dalam sel menurun dengan semakin rendahnya suhu,
akibatnya pertumbuhan sel juga terhambat. Pada suhu pembekuan, semua
keaktifan metabolisme juga akan terhenti. Enzim terhenti juga karena semua sel
kekurangan cairan di sekelilingnya yang digunakan untuk menyerap zat makanan
dan mengeluarkan sisa metabolisme yang mengakibatkan pertumbuhan sel
terhenti sama sekali (Fardiaz, 1982). Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh
berbagai faktor lingkungan diantaranya adalah suhu, pH, aktivitas air, adanya
oksigen dan tersedianya zat makanan. Oleh karena itu, kecepatan pertumbuhan
mikroba dapat diubah dengan mengubah faktor lingkungan tersebut. Semakin
rendah suhu yang digunakan dalam penyimpanan maka semakin lambat pula
reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff,
1979)
2.5.2. Umur simpan
Umur simpan menurut Robertson (1991) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu
(1) karakterisasi produk (sifat fisik, sifat kimia, sifat mikrobiologi), (2)
lingkungan (suhu, kelembaban), dan (3) bahan pengemas atau sistem pengemasan.
Menurut Syarief et al., (1989), secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi
umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut :
a. Keadaan alamiah atau sifat bahan pangan dan mekanisme berlangsungnya
perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan
terjadinya perubahan-perubahan kimia dan fisik
b. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume
22
c. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat
bertahan selama distribusi dan sebelum digunakan
d. Ketahanan keseluruhan kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan
bau termasuk dari perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat
Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dapat dilakukan
dengan mengamati produk tersebut selama penyimpanan sampai terjadi perubahan
yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Syarief dan Halid (1991)
menyatakan bahwa penurunan mutu makanan sangat menentukan umur simpan
suatu produk. Untuk menganalisis mutu makanan diperlukan beberapa
pengamatan terhadap parameter-parameter yang dapat diukur secara kuantitatif
dalam bentuk pengukuran kimiawi, uji organoleptik, uji kadar vitamin C, skor uji
citarasa, tekstur, warna, total mikroba dan sebagainya. Menurut Desrosier (1988),
untuk menetapkan daya simpan suatu bahan pangan diperlukan data yang
berkenaan dengan perubahan warna, bau, cita rasa, tekstur, zat gizi, kadar air,
keapekan, ketengikan, dan seluruh perubahan yang mempengaruhi tingkat
penerimaan produk oleh konsumen.
23
III. METODOLOGI
3.1. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sop daun Torbangun
diantaranya adalah daun torbangun, bumbu-bumbu berupa bawang merah,
Tabel 6 menunjukkan total pembobotan dari faktor mutu produk untuk
masing-masing jenis kemasan. Dari pembobotan tersebut, nampak bahwa
kemasan gelas mendominasi perolehan nilai. Hal ini dikarenakan kemasan ini
memiliki sifat yang sangat baik untuk melindungi mutu produk. Kemasan gelas
merupakan kemasan yang memilki permeabilitas yang sangat rendah terhadap gas
maupun uap air. Plastik CPET menduduki peringkat kedua dalam
mempertahankan mutu produk dan kemasan LDPE mendapatkan poin terendah.
Tabel 6. Total pembobotan untuk faktor mutu produk (TAT, TBA, pH, TPC)
Parameter mutu Jenis kemasan
Gelas LDPE CPET
pH 12 6 8
TPC 12 8 9
TAT 5 3 4
TBA 4 4 4
Total bobot 33 21 25
Pembobotan untuk faktor tampilan produk dan kepraktisan konsumen,
didapatkan melalui kuisioner dengan 30 responden. Jenis kemasan yang memiliki
tampilan paling menarik berdasarkan hasil kuisioner tersebut diberi bobot 2, nilai
menengah diberi bobot 1, dan terkecil diberi nilai 0. Untuk faktor kemudahan
47
distribusi, dilakukan pembobotan dengan bantuan 5 orang pakar di bidang
pengemasan. Pembobotan untuk faktor harga dan kemudahan mengemas
didasarkan pada hasil pengamatan selama penelitian ini dilakukan. Keseluruhan
pembobotan yang didapatkan untuk produk sop daun Torbangun ini disajikan
dalam Tabel 7.
Tabel 7. Total pembobotan untuk pemilihan kemasan terbaik bagi produk sop daun Torbangun
Faktor Jenis kemasan
Gelas LDPE CPET
Tampilan produk 2 0 1
Kemudahan distribusi 0 1 2
Kemudahan mengemas 1 0 2
Kepraktisan konsumen 0 2 1
Perlindungan mutu produk 2 0 1
Harga 1 2 1
Total bobot 6 5 8
Dari tabel di atas, terlihat bahwa kemasan CPET menunjukkan bobot
tertinggi dibandingkan dengan jenis kemasan lain, sehingga CPET merupakan
alternatif kemasan terbaik untuk produk sop daun Torbangun yang digunakan
untuk kepentingan komersial. Kemasan kedua terpilih adalah kemasan gelas.
Walaupun kemasan ini memberikan perlindungan terbaik terhadap produk, namun
kini mulai ditinggalkan karena sifatnya yang mudah pecah sehingga kurang
praktis dalam penggunaannya. LDPE merupakan kemasan terbaik terakhir,
dimana kemasan ini memiliki harga yang relatif lebih murah, namun kemasan ini
kurang baik dalam pemberian perlindungan terhadap produk. Tampilan kemasan
ini juga kurang menarik dibandingkan dengan kemasan lain.
48
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Sop daun Torbangun bersantan tanpa penambahan bahan pengawet setelah
dikemas memiliki umur simpan selama 2 hari untuk penyimpanan pada suhu
ruang (27-30oC). Pada penyimpanan suhu dingin (3-5oC dan 10-12oC), produk ini
dapat bertahan hingga 8 hari. Selama penyimpanan, terjadi penurunan mutu
produk yang dapat ditekan dengan menggunakan bahan pengemas yang tepat dan
suhu penyimpanan yang sesuai. Penurunan mutu yang terjadi yaitu ketengikan,
meningkatnya kadar asam produk, serta adanya pertumbuhan mikroba.
Nilai bilangan TBA pada setiap kemasan dan suhu cenderung meningkat
selama waktu penyimpanan. Hasil analisis ragam terhadap bilangan TBA
menunjukkan bahwa bilangan TBA sop daun Torbangun dipengaruhi secara nyata
oleh faktor suhu pada taraf 5% pada hari kedua. Penyimpanan pada suhu 3-5oC
tidak berbeda nyata dengan suhu 12-15oC. Nilai bilangan TBA pada kedua suhu
ini cenderung lebih rendah dibandingkan suhu yang lebih tinggi yaitu pada suhu
27-30oC. Semakin lama disimpan, nilai rata-rata TBA cenderung semakin
meningkat.
Produk ini sangat rentan terhadap kerusakan akibat mikroorganisme.
Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan memberikan pengaruh nyata
pada taraf 5% terhadap nilai TPC di hari ketiga, keempat, ketujuh dan kedelapan.
Nilai TPC yang tinggi ditunjukkan oleh kemasan LDPE, kemudian diikuti oleh
kemasan microwavable plastic (CPET) dan kemudian kemasan gelas. Faktor suhu
juga memberikan pengaruh yang nyata untuk taraf 5% pada penyimpanan di hari
pertama, kedua, ketiga, keempat, ketujuh, dan kedelapan. Peningkatan suhu akan
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Pada penyimpanan suhu kamar
terlihat pertumbuhan mikroba yang sangat pesat pada semua jenis kemasan. Pada
hari ketiga, interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan juga
memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5%.
Tingkat keasaman produk dapat dilihat dari uji pH dan TAT. Nilai TAT
meningkat dan berbanding terbalik dengan nilai pH. Semakin lama penyimpanan,
nilai pH cenderung semakin mengecil, dan pH yang semakin asam dihasilkan oleh
49
suhu yang semakin tinggi. Nilai pH produk tersebut dipengaruhi oleh faktor
kemasan untuk taraf 5% pada penyimpanan di hari kelima, keenam, ketujuh dan
kedelapan. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa di hari pertama, kedua
dan kelima, nilai pH dipengaruhi oleh faktor suhu pada taraf 5%. pH yang
semakin asam dihasilkan oleh suhu yang semakin tinggi. Pada hari pertama,
interaksi antara suhu dan jenis kemasan juga mempengaruhi nilai pH produk pada
taraf 5%. Semakin lama disimpan nilai TAT semakin meningkat, dan suhu ruang
cenderung menunjukkan nilai TAT yang meningkat secara drastis pada
penyimpanan selama 2 hari. Faktor kemasan memberikan perbedaan yang nyata
pada penyimpanan di hari keenam.
Pengambilan keputusan untuk mendapatkan alternatif kemasan terbaik
dilakukan dengan metode pembobotan. Metode ini melibatkan faktor harga,
kemudahan dalam proses pengemasan, tampilan produk setelah dikemas,
kemudahan dalam proses distribusi, serta kepraktisan konsumen. Berdasarkan
pembobotan dari faktor-faktor tersebut, kemasan CPET menunjukkan bobot
tertinggi, sehingga kemasan ini merupakan kemasan terbaik bagi produk.
Alternatif kemasan yang lain yaitu kemasan gelas yang menunjukkan bobot
menengah dan kemasan LDPE yang memiliki bobot terendah.
5.2. Saran
Perlu dilakukan studi lanjut mengenai penentuan umur simpan produk sup
daun Torbangun dengan mempertimbangkan penggunaan bahan pengawet
makanan yang dapat mempertahankan mutu selama penyimpanan, serta
perhitungan jumlah migrasi bahan kemasan ke dalam produk. Selain itu, perlu
dikaji penggunaan kemasan berwarna (tidak transparan) untuk mengurangi tingkat
oksidasi lemak pada produk.
50
DAFTAR PUSTAKA
Adcock, E.P. 1997. Closures and Dispensing Devices for Glass and Plastic Containers In F.A. Paine. The Packing Media. Blackie and Son, London.
Anggraeni, Dian. 2002. Mempelajari Daya Tahan Simpan Cendol pada
Penyimpanan Suhu Kamar dan Suhu Refrigerator. Skripsi. Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian.IPB. Bogor.
Apriyantono, A.D. Fardiaz, N.L.Puspitasari, Sedarnawai, dan S. Budiyanto.1989.
Analisa Pangan. Petunjuk Laboratorium. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Ariyanti, N.D. 2003. Sifat Fisik, Kimia, Mikrobiologi dan Organoleptik Abon
Ayam Kampung dengan Penambahan Kunyit Selama Penyimpanan. Skripsi. IPT. Fakultas Peternakan. IPB, Bogor.
Belitz, H.D, W. Grosch. 1987. Food Chemistry. Berlin: Springer-Verlag. Briston, John H., dan Leonard L.Katan.1974. Plastic in Contact with Food. The
Anchor Press Ltd., Great Britain. Brown, W.E. 1992. Plastic in Food Packaging : Properties, Design and
Fabrication. Marcell Dekker, Inc., New York. Buckle, K.A., R.A, Edwards, G.H.Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.
Terjemahan. UI-Press.Jakarta. Dahle, L.K., E.G. Hill dan R.T. Holman.1962.Arch.Biochem. Biophys.98.253 Damanik R, Z. Daulay, S. Saragih, R. Premier, N.Wattanapenpaiboon & ML.
Wahlqvist. Consumption of Bangun-Bangun Leaves (Coleus amboinicus Lour) to Increase Breast Milk Production Among Bataknese Women in North Sumatera Island, Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition 2001;10(4): S67
Damanik R. Effect of Consumption Torbangun Soup (Coleus amboinicus Lour)
on Micronutrient Intake of the Bataknese Lactating women. Media Gizi & Keluarga Vol 29(1) Juli 2005: 68-73.
Damanik R. Fatty Acid Intake of the Bataknese Lactating Women Consuming the
Torbangun Soup (Coleus amboinicus Lour). Media Gizi & Keluarga Vol 29(1) Juli 2005: 74-80.
Daulay, D. 1998. Pendinginan dan Pembekuan dalam Pengawetan Pangan.
Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press, Jakarta.
51
Djatmiko,B., dan A.P. Widjaja. 1973. Minyak dan Lemak. Departemen Teknologi
Hasil Pertanian, Fatemeta. IPB. Bogor. Eackles, C.H., W.B. Combs dan H. Macy. 1957. Milk and Milk Products. Mc
Graw Hill Publishing Co.Ltd. New Delhi. Egan, H., R.S. Kirk, dan R. Sawyer.1981. Pearson’s Chemical Analysis of Foods.
Churchill Livingstone. London. Ellis, M.J. 1994. The Methodology of Shelf Life Determination. Di dalam Man
C.M.D. dan A.A. Jones (eds.). Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie Academic and Professional, London.
Ilmu dan Teknologi Pangan. Fateta, IPB. Bogor. Frazier, W.C. dan D. Westhoff. 1978. Food Microbiology Third Edition. Mc.
Graw-Hill Book Company, New York. Fellows, P. 1992. Food Processing Technology: Principles and Practice. Ellis
Horwood Ltd., England. Gordon, M.H. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action in vitro. Di dalam
Hudson, B.J.F. (ed). Food Antioxidant. Elsevier Applied Science.London. Hamilton, R. J.1983. The Chemistry of Rancidity in Foods. Di dalam Allen, J.C.
dan R.J. Hamilton (eds). Rancidity in Foods. Applied Science Publisher. London dan New York.
Harrington, James P., dan Wilmer A. Jenkins.1991. Packaging Foods with
Plastic. Technomic Publishing Co.,Inc., Lancaster. USA. Hine, D.J. 1987. Modern Processing, Packaging and Distribution System for
Foods. Blackie Academic and Professional. London. Hoseney, R.C.1998. Principles Cereal Science and Technology. Second Edition.
American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press,
Jakarta. Mahmud, Mien, K., Slamet, DS., Apriyantono, R.R., Hermana. 1990. Komposisi
Zat Gizi Pangan Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian & Pengembangan Gizi: Jakarta.
52
Muchtadi, T.R. 1989. Petunjuk Laboratorium Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nawar, W.W. 1985. Lipids. Di dalam : Fennema, O.R (ed). Food Chemistry.
Marcell Dekker, Inc., New York. Peterson, G.T. 1969. Methods of Producing Vacum in Cans. di dalam Laboratory
Manual for Food Canners & Processors Vol.2. AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.
Potter, N.N.1973. Food Science. The Avi Publishing Company Inc. Westport.
Connecticut. Reksohadinoto, S. 1991. Peranan Kemasan di dalam Memperpanjang Daya
Tahan Produk. Hyatt Regency : Surabaya. Robertson, Gordon, L. 1991. Predicting the Shelf Life of Packaging Foods.
Journal Asean Food 6 : 43-51. Robertson, Gordon, L. 1993. Food Packaging : Principles and Practice. Marcell
Dekker, Inc., New York. Siagian, M.H. dan M. Rahayu.2000. Laporan Penelitian Etnobotani Plecantrus
amboinicus Lour Spreng di daerah Batak Toba, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Makalah disajikan pada Kongres Nasional Obat Tradisional Indonesia, Surabaya.
Silitonga, M.1993. Efek Laktogagum Daun Jinten (Coleus amboinicus, L) pada
Tikus Laktasi. Tesis. Program Studi Biologi. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Singh, R.P. 1994. Scientific Principles of Shelf Life Evaluation. Di dalam Man
C.M.D. dan A.A. Jones (eds.). Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie Academic and Professional, London.
Somaatmadja. D., Atih S.H. dan Adjuk Mardjuki. 1974. Pengolahan Kelapa III
Pengawetan Santan Kelapa. Balai Penelitian Kimia Bogor. Syarief, R., dan H. Halid .1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Ancor, Jakarta. Syarief, Rizal, S. Santausa dan S. Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.
Laboratorium Rekayasa Bioproses Pangan. PAU IPB : Bogor. Syarief, R., dan A. Irawati.1983. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian.
MSP, Jakarta.
53
Tarladgis, B.G., Watts,B.M., Younathan, M.T., dan L.R. Dugan, Jr.1990. A Distillation Method for the Quantitative determination of Malonaldehide in Rancid Foods. Journal of American Oil Chamistry Society.37. 44-48
Winarno, F.G. 1986. Kimia Pangan. Penerbit Gramedia. Jakarta. Winarno, F.G dan B.S.L. Jennie. 1983. Kerusakan Bahan Pangan dan Cara
Pencegahannya. Ghalia Indonesia, Yakarta. Zaitsev, V., I. Kizevetter, L.Lagunov, T. Makarova, L. Minder and V.
Podsevalov. 1969. Fish Curing and Processing. Mir Publisher. Moscow. Uni Sovyet.
LAMPIRAN
54
Lampiran 1. Sketsa wadah gelas dan dimensinya
55
Lampiran 2.a. Prosedur Analisa Total Asam Tertitrasi (AOAC, 1984)
Total asam ditentukan dengan cara titrasi. Bahan ditentukan sebanyak 10
gram. Setelah itu dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml, kemudian ditepatkan
sampai tanda tera dengan menambah air suling. Selanjutnya dilakukan
penyaringan dengan kapas dan filtrat yang diperoleh sebanyak 25 ml dan dititrasi
dengan larutan NaOH 0,01 M dengan indikator phenolphtalein sampai terbentuk
warna merah muda pada akhir titrasi.
100
10064)100/(×
××××=
YPNNaOHmlggasamTotal
Keterangan : N : Normalitas NaOH yang telah distandarisasi
Y : Bobot sampel
P : Faktor pengenceran
64 : ekuivalensi asam sitrat
Lampiran 2.b. Prosedur Analisa pH (AOAC, 1984)
Sebelum digunakan untuk mengukur pH, terlebih dahulu pH meter
dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pH 4 atau 7. Setelah pH meter
dikalibrasi, sampel diukur. Elektrode dibilas dengan menggunakan aquades dan
dikeringkan dengan kertas tissue. Elektroda dicelupkan pada larutan sampel.
Elektrode dibiarkan tercelup beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang
stabil dan catat pH sampel.
Lampiran 2.c. Prosedur Analisa Total Plate Count (Fardiaz, 1987)
Pembuatan media agar dilakukan dengan mencampurkan 23 g Nutrient agar
ke dalam 1 liter aquades dalam gelas piala. Larutan yang terbentuk dipanaskan
sambil diaduk sampai mendidih sehingga semua agar terlarut. Sterilisasi
dilakukan terhadap larutan agar beserta peralatan yang lain yang akan digunakan
seperti pipet, blender, dan larutan agar dalam autoklaf selama 15 menit. Larutan
agar disimpan dalam pemanas air suhu 45oC. Pembuatan larutan pengencer
dengan pencampuran 8,5 g NaCl ke dalam 1000 ml aquades. Larutan pengencer
kemudian didestilasi.
56
Pembuatan larutan sampel dengan mencampurkan 1 g bahan (campuran sop
daun Torbangun) dan dihancurkan bersama larutan pengencer sebanyak 9 ml
sampai larutan menjadi homogen. Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1 ml
larutan sampel yang sudah homogen dengan pipet steril sehingga terbentuk
pengenceran 10-1 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen.
Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan penelitian. Pemipetan dilakukan dari
masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan sampel dan
dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet
steril. Media agar ditambahkan ke dalam setiap cawan petri sebanyak 20 ml dan
digoyangkan sampai dengan merata (metode tuang). Cawan petri (agar yang
sudah membeku) diinkubasi dalam inkubator bersuhu 30oC selama 48 jam.
Lampiran 2.d. Analisa Thiobarbituric Acid (TBA) (Apriyantono et al., 1989)
Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti lalu dimasukkan ke dalam
waring blender, ditambahkan 50 ml aquades dan dihancurkan selama 2 menit.
Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci
dengan 47.5 ml aquades. Ditambahkan ± 2.5 ml HCl 4M sampai pH menjadi 1.5.
Kemudian, ditambahkan batu didih dan pencegah buih (anti foaming agent)
secukupnya dan dipasangkan labu destilasi pada alat destilasi.
Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 ml
destilat selama 10 menit pemanasan. Destilat yang diperoleh diaduk merata,
kemudian 5 ml destilat dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup. Ditambahkan 5
ml pereaksi TBA, ditutup dan dicampur merata lalu dipanaskan selama 35 menit
dalam air mendidih. Dibuat blanko dengan menggunakan 5 ml aquades dan 5 ml
pereaksi, lakukan seperti pada penetapan sampel.
Tabung reaksi didinginkan dengan pendingin selama ± 10 menit, kemudian
diukur absorbansinya (D) pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko
sebagai titik nol. Digunakan sampel sel berdiameter 1 cm. Bilangan TBA dihitung
dan dinyatakan dalam mg malanoldehid per kg sampel. Bilangan TBA = 7.8 D.
57
Lampiran 3a. Data hasil uji pH kemasan gelas pada tiga suhu penyimpanan
Hari ke-
Nilai pH kemasan gelas Suhu 3-5˚C Suhu 10-12˚C Suhu 27-30˚C I II I II I II
Lampiran 43. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-4
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .001(a) 5 .000 .121 .982 Intercept 1.468 1 1.468 1126.996 .000 suhu .000 1 .000 .236 .645 kemasan 3.31E-005 2 1.65E-005 .013 .987 suhu * kemasan .000 2 .000 .172 .846 Error .008 6 .001 Total 1.477 12 Corrected Total .009 11
Lampiran 44. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-6
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .008(a) 5 .002 1.576 .296 Intercept 2.078 1 2.078 2171.138 .000 suhu 5.42E-005 1 5.42E-005 .057 .820 kemasan .005 2 .003 2.820 .137 suhu * kemasan .002 2 .001 1.092 .394 Error .006 6 .001 Total 2.091 12 Corrected Total .013 11
Lampiran 45. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-8
Source Type II Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .002(a) 5 .000 1.295 .376 Intercept 2.234 1 2.234 5788.900 .000 suhu 5.63E-007 1 5.63E-007 .001 .971 kemasan .002 2 .001 2.226 .189 suhu * kemasan .001 2 .000 1.012 .418 Error .002 6 .000 Total 2.239 12 Corrected Total .005 11
78
Lampiran 46. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 27-30oC
Lama Penyimpanan
Jenis Kemasan
Parameter mutu
Warna Bau Buih/busa Kapang/khamir Keadaan kemasan
Hari-1 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal
Hari-2 Gelas Santan pecah Normal - - Normal
Kaleng Santan pecah
Agak tengik - - Normal
PP Normal Normal - - Agak menggembung
PET Santan pecah
Agak tengik + - Normal
Hari-3 Gelas daun naik ke atas Tengik + - Normal
Kaleng daun naik ke atas Tengik - +
Agak menggembung
PP daun naik ke atas Tengik - + Menggembung
PET daun naik ke atas Tengik + + Menggembung
Hari-4 Produk dianggap sudah tidak layak
79
Lampiran 47. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 10-12oC
Lama Penyimpanan
Jenis Kemasan
Parameter mutu
Warna Bau Buih/busa Kapang/khamir Keadaan kemasan
Hari-1 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-2 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-3 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-4 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-5 Gelas Normal Normal - - Normal
Kaleng
Kecoklatan di bagian atas Normal + - Normal
PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-6 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal + - Normal PP Normal Agak tengik - - Normal PET kecoklatan Agak tengik - - Normal Hari-7 Gelas Normal Agak tengik - - Normal Kaleng Normal Tengik - + Normal PP Normal Normal - - Normal
PET Normal Agak tengik - - Agak menggembung
Hari-8 Gelas Santan pecah Agak tengik - - Normal
Kaleng Santan pecah Agak tengik - +
Agak menggembung
PP Normal tengik - + Agak menggembung
PET Santan pecah tengik + - Normal
Produk sudah dinggap tidak layak
80
Lampiran 48. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 3-5oC
Lama Penyimpanan
Jenis Kemasan
Parameter mutu
Warna Bau Buih/busa Kapang/khamir Keadaan kemasan
Hari-1 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-2 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-3 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-4 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal - - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Normal Normal - - Normal Hari-5 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal + - Normal PP Normal Normal - - Normal PET Kecoklatan Normal - - Normal Hari-6 Gelas Normal Normal - - Normal Kaleng Normal Normal + - Normal PP Normal Normal - - Normal
PET Normal Agak tengik - - Normal
Hari-7 Gelas Normal Normal - - Normal
Kaleng Normal Agak tengik - + Normal
PP Normal Normal - - Normal
PET Normal Agak tengik - - Normal
Hari-8 Gelas Santan pecah
Agak tengik - - Normal
Kaleng Santan pecah
Agak tengik - + Normal
PP Normal Agak tengik - + Normal
PET Santan pecah
Agak tengik + - Normal
Produk sudah dinggap tidak layak
81
Lampiran 49. Gambar sop daun Torbangun dalam kemasan gelas
Lampiran 50. Gambar sop daun Torbangun dalam kemasan LDPE