KAJIAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA (Studi Kasus: Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan Tegakan Mahoni Cikabayan) Oleh: MUNGKI EKA PRATIWI E34101066 DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
96
Embed
KAJIAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KAJIAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR
KUALITAS UDARA (Studi Kasus: Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan
Tegakan Mahoni Cikabayan)
Oleh: MUNGKI EKA PRATIWI
E34101066
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
KAJIAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR
KUALITAS UDARA (Studi Kasus: Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan
Tegakan Mahoni Cikabayan)
Oleh:
MUNGKI EKA PRATIWI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
Mungki Eka Pratiwi. E 34101066. Kajian Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara (Studi Kasus : Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan Tegakan Mahoni Cikabayan). Dibawah bimbingan: Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si. Pencemaran udara adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara baik secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia. Pencemaran udara yang disebabkan oleh aktivitas manusia dapat berasal dari kegiatan transportasi dan industri, hal tersebut akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan berupa polusi udara. Udara bagi kehidupan merupakan komponen abiotik pada atmosfer yang dibutuhkan oleh berbagai organisme seperti tumbuhan. Polusi udara dapat mempengaruhi kondisi tumbuhan termasuk lumut kerak secara fisiologis. Beberapa jenis lumut kerak dilaporkan dapat menjadi bioindikator yang peka terhadap pencemaran udara. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan lumut kerak dihubungkan dengan lokasi tertentu dengan kualitas udara yang diduga berbeda, dengan ruang lingkup mengkaji jenis-jenis morfologi lumut kerak, jenis tanaman dan beberapa faktor lingkungan (suhu, kelembaban udara dan kandungan polutan). Penelitian dilakukan pada kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur Jakarta, dan tegakan mahoni Cikabayan. Lokasi-lokasi tersebut diduga sebagai memiliki kualitas udara relatif tercemar (kawasan industri Pulo Gadung dan arboretum Cibubur) dan relatif tidak tercemar (tegakan mahoni Cikabayan). Pengamatan talus lumut kerak secara makroskopik dilakukan terhadap tiap unit contoh pohon. Ciri-ciri makroskopik talus yang diamati antara lain adalah warna, bentuk, dan keadaan talus serta luas talus lumut kerak pada batang tanaman yang terletak pada jarak 5 meter, 10 meter, dan 25 meter dari titik pengukuran kualitas udara. Pengambilan data pertumbuhan lumut kerak juga diamati pada kedua sisi batang pohon (menghadap dan membelakangi titik pengukuran kualitas udara ambien). Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung ditemukan 3 jenis lumut kerak (Phaeographis sp., Strigula sp. dan Dirinaria cf. picta). Pada arboretum Cibubur ditemukan 6 jenis lumut kerak (Strigula sp., Verrucaria sp., Graphidaceae, Heterodermia sp. dan Parmelia cf.austrosinensis). Pada tegakan mahoni Cikabayan ditemukan 10 jenis lumut kerak (Graphidaceae, Strigula sp. dan Verrucaria sp., Phaeographis sp., Parmelia sp. dan Heterodermia sp.). Jumlah lumut kerak yang temukan pada lokasi pengamatan semakin bertambah dengan nilai kualitas udara ambien yang semakin bersih (kandungan polutan rendah). Dari 12 jenis lumut kerak yang ditemukan, 3 jenis lumut kerak tidak teridentifikasi (2 tipe crustose dan 1 tipe foliose). Pada lokasi pengamatan di kawasan industri, nilai rata-rata luas talus lumut kerak pada jarak 5 m, 10 m, dan 25 m pada masing-masing spesies tidak terlalu berbeda nyata. Hal tersebut diduga karena dalam jarak yang diambil terlalu dekat. Rata-rata luas talus D. cf.picta pada jarak pengamatan 5 meter dari titik pengukuran kualitas udara dengan titik pengamatan membelakangi titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 16,52 cm2, memiliki nilai yang relatif jauh lebih besar dibanding dengan menghadap titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 0,01 cm2). Hal tersebut diduga karena pengaruh polutan yang ada. Pada arboretum Cibubur, rata-rata luas talus lumut kerak memiliki nilai yang relatif lebih besar dibanding dengan lokasi lainnya. Hal tersebut diduga karena umur ukuran keliling batang tanaman yang lebih besar dibanding dengan lokasi lainnya, namun jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan pada tegakan mahoni Cikabayan lebih bervariasi.
2
Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan berdasarkan hasil pengukuran kelembaban udara rata-rata diperoleh kelembaban udara sebesar 72%, 86% dan 90%, dengan suhu udara pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung berkisar antara 29,4-31,8 ºC, pada arboretum Cibubur berkisar antara 25,8-30,0 ºC dan pada tegakan mahoni Cikabayan berkisar antara 24,8-27,8 ºC. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, tipe morfologi talus crustose lebih mudah ditemukan bila dibanding dengan tipe morfologi foliose. Strigula sp. dapat ditemukan pada masing-masing lokasi pengamatan. Hal tersebut menggambarkan bahwa jenis tersebut mampu bertahan hidup pada segala kondisi kualitas udara ambien. Heterodermia sp. pada arboretum Cibubur memiliki warna talus cenderung pucat dibanding dengan warna talus yang berada di tegakan mahoni. Pada kawasan industri Pulo Gadung tidak dijumpai lumut kerak dari kelompok marga Parmelia, sedangkan pada arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan dapat ditemukan marga dari kelompok Parmelia meskipun frekuensi perjumpaan marga ini pada arboretum Cibubur tidak sebesar di tegakan mahoni Cikabayan. Pada kawasan industri Pulo Gadung, D. cf picta ditemukan dengan nilai frekuensi perjumpaan yang tidak terlalu tinggi dibanding dengan jenis lumut kerak lainnya dan sebelumnya telah dilaporkan bahwa jenis ini sebagai bioindikator udara kotor. Parmelia sp. hanya ditemukan pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan, dimana telah dilaporkan sebelumnya bahwa jenis lumut kerak ini sebagai bioindikator udara bersih.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 Februari
1984 dari pasangan Prakoso dan St.Rukiyah. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMUN 54
Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama lulus seleksi masuk
IPB melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada Program
Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi anggota
HIMAKOVA dan Kelompok Pemerhati Burung (KPB) “Prenjak”. Pada bulan Juni-
Agustus 2004 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Hutan di BKPH Rawa
Timur-KPH Banyumas Barat dan BKPH Gunung Slamet-KPH Banyumas Timur
serta praktek pengelolaan hutan di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pada
bulan Februari-April 2005, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan,
penulis melakukan penelitian dan menyusun karya ilmiah dengan judul “Lumut
kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara (Studi Kasus : Kawasan Industri Pulo
Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan)” dibawah
4. jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung ..................................................................................... 18
5. Kondisi Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung .......... 19
6. Jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur ................. 20
7. Kondisi Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur .............................. 20
8. Kondisi Lokasi Pengamatan di Tegakan Mahoni Cikabayan ........... 21
9. Suhu dan Kelembaban Udara Rata-rata .......................................... 23
10. Jumlah Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan Berdasarkan Tipe Morfologi Talus ................................................................................. 24
11. Kulit Batang Tanaman Tanjung sebagai Substrat Spesies III .......... 26
12. Bentuk dan Warna Talus Lumut Kerak secara Umum ..................... 32
13. Warna Talus Spesies II .................................................................... 38
14. Warna Talus Spesies IV ................................................................... 39
15. Struktur Talus pada Tipe Talus Foliose ............................................ 40
16. Rizoid pada Tipe Talus Foliose ........................................................ 41
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan ........................................ 57
2. Hasil Analisis Pengukuran Kualitas Udara Ambien ........................... 58
3. Rekapitulasi Data Iklim Mikro (Suhu dan Kelembaban Udara) ......... 59
4. Struktur Makroskopis dan Mikroskopis Talus Lumut Kerak ............... 60
5. Rekapitulasi Luas Talus Lumut Kerak (Cm2) ..................................... 69
6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 .................................. 81
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah
satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain,
pembangunan pusat-pusat industri juga dapat menimbulkan berbagai dampak
negatif seperti penurunan kualitas lingkungan berupa polusi udara, polusi air,
tanah dan suara. Dalam aktivitas produksinya, industri tersebut menyebabkan
timbulnya polutan-polutan yang dibebaskan dalam udara yang dapat
menyebabkan pencemaran udara. Pencemaran udara adalah masuknya zat
pencemar ke dalam udara baik secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia
(Ryadi, 1982; Soedomo, 2001). Aktivitas manusia tersebut dapat berupa
meningkatnya kendaraan bermotor.
Menurut Ryadi (1982), udara bagi kehidupan merupakan komponen abiotik
pada atmosfer yang dibutuhkan oleh berbagai organisme seperti tumbuhan.
Polusi udara dapat mempengaruhi kondisi tumbuhan secara fisiologis, sehingga
menyebabkan adanya tingkatan kepekaan, yaitu sangat peka, peka dan kurang
peka (resisten). Oleh karena itu, tumbuhan dapat digunakan sebagai bioindikator
yang akan menunjukan perubahan keadaan, ketahanan tubuh, dan akan
memberikan reaksi sebagai dampak perubahan kondisi lingkungan yang akan
memberikan informasi tentang perubahan dan tingkat pencemaran lingkungan
(Kovacs, 1992). Lumut kerak merupakan tumbuhan indikator yang peka
terhadap pencemaran udara, dengan pertumbuhan kerak tidak hanya mengalami
kemunduran di daerah yang terkena polusi berat tetapi menjadi langka atau
orbicularis, Physia aipolia, Opegrapha varia, P. cerperta, P.a acetabulum, G.
11
scripta, G. elegans, dan Anaptychia ciliaris. Jenis–jenis lumut kerak yang tumbuh
di daerah yang bersih adalah Usnea rubicunda, U. subfloridana, U. florida, U.
articulata, Teloschistes flavicans, Lobaria pulmonaria, P. perlata, Lobaria
scrobiculata, R. fastigiata, R. fraxinea, R. calicaris, Pannaria rubiginosa, dan
Degelia plumbea.
Menurut Clark et al. (1999) diacu dalam Wijaya (2004), ada beberapa sifat
lumut kerak yang ideal sebagai bioindikator antara lain :
1) Secara geografis penyebarannya luas
2) Morfologinya tetap meskipun terjadi perubahan musim
3) Tidak memiliki kutikula, sehingga mempermudah air, larutan dan logam serta
mineral diserap oleh lumut kerak
4) Nutrisinya tergantung dari bahan-bahan yang diendapkan dari udara
5) Mampu menimbun pencemar selama bertahun-tahun
Menurut Kovacs (1992), lumut kerak sangat peka terhadap emisi pencemar
bila dibanding dengan tumbuhan tinggi. Adapun kepekaan tersebut dikarenakan
adanya perbedaan fisiologis dan morfologi, yaitu :
1) Kandungan klorofil yang sangat kurang, sehingga mengakibatkan laju
fotosintesis dan metabolisme yang rendah serta kemampuan regenerasi yang
terbatas.
2) Tidak adanya kutikula, maka pencemar dapat dengan mudah masuk ke
dalam talus.
3) Lumut kerak golongan corticolous, dapat menyerap air dan nutrien langsung
dari udara.
4) Keseimbangan air di dalam lumut kerak hampir sepenuhnya untuk menjaga
kelembaban atau presepitasi, sehingga menyebabkan kesempatan untuk
asimilasi dan regenerasi menjadi terbatas.
5) Lumut kerak dapat mengakumulasi berbagai macam bahan tanpa melakukan
seleksi.
6) Sekali bahan pencemar diserap, maka akan diakumulasikan dan tidak
dieksresikan.
7) Terjadi perubahan warna talus, akibat adanya bahan pencemar.
Kadar tertentu zat pencemar udara akan mampu menghambat
pertumbuhan lumut kerak, tetapi logam-logam berat tidak banyak mempengaruhi
pertumbuhan lumut kerak. Lumut kerak dan Bryophyta akan mampu menimbun
12
logam-logam berat yang dipancarkan ke udara lebih cepat daripada tanaman
tinggi (Noer dan Bonito, 1982 diacu dalam Soedaryanto et al., 1992).
Menurut Garty (2000) diacu dalam Wijaya (2004), berdasarkan daya
sensitivitasnya terhadap pencemar udara maka lumut kerak dikelompokkan
menjadi tiga yaitu: sensitif, merupakan jenis yang sangat peka terhadap
pencemaran udara, pada daerah yang telah tercemar jenis ini tidak akan
dijumpai; toleran merupakan jenis yang tahan (resisten) terhadap pencemaran
udara dan tetap mampu hidup pada daerah yang tercemar; pengganti
merupakan jenis yang muncul setelah sebagian besar komunitas lumut kerak
yang asli rusak karena pencemaran udara.
Menurut Noer (2004), terdapat beberapa parameter yang dapat
dipergunakan dalam penelitian lumut kerak untuk mengukur adanya pencemaran
udara :
1) Keanekaan ; jumlah jenis yang terdapat di setiap substrat yang diamati. Pada
daerah dimana pencemaran telah terjadi, jumlah jenis yang ada sedikit dan
jenis-jenis yang peka sekali akan hilang.
2) Pertumbuhan ; diamati dengan melihat keadaan morflogi dan warna
talusnya. Lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya kurang
baik, warnanya pucat atau berubah.
3) Kesuburan ; dilihat ada tidaknya alat berkembangbiak yaitu soredia, isidia,
lobules, chypellae dan chepaloidia. Pada daerah tercemar, lumut kerak yang
ada kurang subur dan alat berkembang biak tidak ada.
4) Frekuensi ; penyebaran dan pengelompokan lumut kerak pada setiap
substrat yang diamati, sedangkan frekuensi adalah kehadiran lumut kerak
pada setiap pohon contoh di masing-masing stasiun pengamatan.
5) Persentase penutupan (density) ; diukur dengan menghitung luas penutupan
lumut kerak pada substrat atau habitat yang diamati.
III. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur
Jakarta, dan tegakan mahoni Cikabayan. Pengambilan data di lapangan,
dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2005.
B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat yang digunakan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Bahan dan Alat yang Digunakan dalam Penelitian No Nama Fungsi
Bahan 1 Peta lokasi Melihat lokasi penelitian 2 Plastik transparan Menggambar lumut kerak 3 Amplop Menyimpan sampel lumut kerak 4 Akuades, laktofenol-analin blue,
tissue Membuat preparat
Alat 5 Pita meteran Mengukur keliling batang pohon 6 Kape, pahat, dan martil Mengambil sampel lumut kerak 7 Termometer bola basah dan bola
kering Mengukur suhu (ºC) dan kelembaban udara (%)
8 Planimeter Mengukur luas lumut kerak 9 Imvinger dan dust sampler Mengukur kualitas udara 10 Alat tulis dan tally sheet Mencatat hasil 11 Kamera Dokumentasi 12 Object glass, cover glass, pinset,
pipet, pisau silet, dan mikroskop Melihat ciri-ciri mikroskopik
C. Metode 1. Pemilihan Lokasi Contoh Lokasi contoh pengamatan pada masing-masing lokasi ditentukan secara
purposive/sengaja yaitu dengan kriteria lokasi merupakan habitat tumbuhnya
lumut kerak dengan dugaan memiliki kondisi kualitas udara yang berbeda.
Pemilihan lokasi pengamatan yaitu di kawasan industri Pulo Gadung (A) dan
arboretum Cibubur (B) dan tegakan mahoni Cikabayan (C) merupakan daerah
relatif tidak tercemar.
14
2. Jenis Data Talus lumut kerak yang diamati terbagi secara makroskopik dan
mikroskopik. Pengamatan secara mikroskopik mencakup bentuk, keadaan serta
warna talus lumut kerak, luas talus lumut kerak serta frekuensi perjumpaan serta
melakukan komposisi jenis (melalui pendekatan tipe morfologi talus lumut kerak).
Pengamatan secara mikroskopik dilakukan untuk melihat struktur jaringan
penyusun talus lumut kerak.
Jenis data faktor biotik yang diperoleh adalah jenis tanaman sebagai
substrat bagi lumut kerak dan keliling batang atas tanaman, sedangkan jenis
data faktor abiotik yang diperoleh adalah iklim mikro, terdiri dari suhu dan
kelembaban udara rata-rata serta kandungan udara ambien.
3. Prosedur Pengambilan Data a. Data Lumut Kerak
Membuat lokasi contoh pengamatan berbentuk lingkaran seluas 0,1 ha,
kemudian melakukan pengamatan secara makroskopik terhadap tiap unit contoh
pohon. Ciri-ciri yang diamati antara lain adalah warna, bentuk, dan keadaan talus
serta luas talus lumut kerak pada batang tanaman yang terletak pada jarak 5
meter, 10 meter, dan 25 meter dari titik pengukuran kualitas udara. Pengambilan
titik pengamatan data lumut kerak yang tumbuh pada kedua sisi batang pohon
(menghadap dan membelakangi titik pengukuran kualitas udara ambien).
Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengukur luas lumut kerak
sebagai berikut :
1) Mengukur lingkar batang bawah pohon pada ketinggian 150 cm dari
permukaan tanah dan lingkar batang pohon pada tepat di atas permukaan
tanah.
2) Menggambar luas lumut kerak tersebut pada batang pohon bagian bawah
pada plastik transparan.
3) Menghitung luas lumut kerak pada setiap pohon dengan menggunakan
planimeter.
Contoh talus yang diambil adalah yang tumbuh pada batang tanaman pada
ketinggian 0-150 cm di atas permukaan tanah. Contoh talus disimpan dalam
amplop, kemudian diberi label/keterangan. Contoh talus tersebut akan di
identifikasi di Herbarium Bogorensis dan dilakukan pengamatan secara
mikroskopik.
15
Pengamatan secara mikroskopik dilakukan pada beberapa jenis lumut
kerak. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui struktur internal jaringan talus
lumut kerak. Lumut kerak diiris setipis mungkin dengan menggunakan silet. Irisan
diletakkan di atas gelas objek, kemudian diberi beberapa tetes air dan diberi
gelas penutup lalu diamati strukturnya dengan menggunakan mikroskop. Setelah
mendapatkan struktur lumut kerak yang jelas, baru ditambahkan laktofenol-analin
blue dengan cara meneteskannya disamping gelas penutup dan kelebihan
larutan diserap dengan menggunakan tissue (Trisusanti, 2003).
b. Faktor Abiotik
Melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara dengan digantungkan
pada ketinggian sekitar 120 cm di atas permukaan tanah (Pukul 07.30; 13.30;
dan 17.30 WIB). Pengukuran dilakukan dalam kurun waktu satu bulan dan
kemudian melakukan pengukuran kandungan polutan (NO2, CO2, SO2, dan
debu) di udara dengan menggunakan satu set alat pengukur kualitas udara
(impvinger dan dust sampler).
4. Analisis Data a. Luas Talus Lumut Kerak
Menentukan luas suatu jenis lumut kerak dengan menggunakan
planimeter. Luas areal yang diamati sampai setinggi 150 cm pada setiap pohon
contoh dihitung berdasarkan rumus trapesium sebagai berikut (Noer, 2004):
Luas areal yang diamati = ½ x (A+B) x C
Keterangan :
A = Keliling batang atas pohon B = Keliling batang bawah pohon
C = Tinggi batang pohon sampai setinggi 150 cm
b. Frekuensi Perjumpaan Lumut Kerak
Perjumpaan lumut kerak digunakan untuk melihat penyebaran jenis lumut
kerak pada tiap lokasi. Rumus yang digunakan dalam analisis ini adalah :
Perjumpaan jenis = Jumlah titik pengamatan ditemukan suatu jenis lumut kerak
Jumlah seluruh titik pengamatan
c. Ciri Makroskopik Talus Lumut Kerak
Analisis ciri talus lumut kerak secara makroskopik dilakukan secara
deksriptif kualitatif yaitu dengan melihat bentuk, keadaan serta warna talus lumut
kerak pada masing-masing lokasi.
16
d. Ciri Mikroskopis Lumut Kerak
Analisis ciri-ciri mikroskopis terhadap lumut kerak dilakukan secara
deskriptif kualitatif yaitu dengan melihat jaringan-jaringan yang menyusun talus
lumut kerak tersebut.
e. Suhu Udara Harian Rata-rata
Suhu udara rata-rata pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan
pengukuran 3 kali sehari yaitu pada pukul 07.30, 13.30, dan 17.30 WIB, dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
Suhu Udara (T) = (2 x T pagi) + ( T siang) + (T sore)
4
f. Kelembaban Udara Harian Rata-rata
Kelembaban udara rata-rata pada masing-masing lokasi penelitian
dilakukan pengukuran 3 kali sehari. Rumus yang digunakan untuk menghitung
kelembaban udara harian adalah:
Kelembaban udara (KU) = (2 x KU pagi) + ( KU siang) + (KU sore)
4
g. Kandungan Udara Ambien
Analisis hasil kandungan udara ambien dilakukan secara deskriptif
kualitatif, kemudian membandingkan dengan peraturan pemerintahan yang ada
yaitu Peraturan Pemerintahan No. 41 Tahun 1999.
D. Kerangka Pemikiran
Udara merupakan penunjang utama kehidupan. Pada saat kondisi normal,
udara yang terdiri atas campuran berbagai gas dan debu memiliki komposisi
yang relatif konstan dan udara normal ini berkualitas baik. Namun, bila terjadi
kontaminan pada konsentrasi yang sudah melebihi ambang batas maka
komposisi udara tersebut dapat berubah dan kualitasnya pun akan turun.
Menurut Noer (2004), apabila batas tersebut dilampaui akan timbul
berbagai kerugian karena terjadi perubahan keseimbangan ekosistem. Batas
toleransi tersebut sulit untuk diketahui, akan tetapi beberapa tumbuhan dan
hewan yang mempunyai kepekaan terhadap perubahan lingkungan dapat
17
dipakai sebagai petunjuk secara dini untuk mengetahui adanya pencemaran
udara. Tumbuhan yang peka tersebut dapat digunakan sebagai indikator biologi.
Adapun pengetahuan tentang jenis-jenis lumut kerak dalam hal ini pada batang
pohon (corticolous) dan respon tumbuhnya, hubungannya dengan tingkat
pencemaran udara merupakan hal dasar untuk mempelajari kepekaan suatu
jenis lumut kerak dan peranannya sebagai indikator biologi.
Gambar 3. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
Kualitas udara Polutan
Lumut kerak corticolous
Bioindikator
Jumlah jenis lumut kerak pada batang pohon
Luas koloni lumut kerak pada batang pohon
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil 1. Karakteristik Tempat Hidup Lumut Kerak a. Kawasan Industri Pulo Gadung
Kawasan industri Pulo Gadung ditetapkan melalui Surat Keputusan
Gubernur No. 1b.3/2/35/69 pada tanggal 20 Mei 1969 dengan luas 415 ha serta
Surat Keputusan No. 424 tanggal 29 April 1988 dan revisi Surat Keputusan No.
519 tanggal 14 Maret 1988 dengan tambahan luas 183 ha. Pada saat ini terdapat
± 420 unit perusahaan, yang dalam komponen kegiatannya dapat berpotensi
menimbulkan perubahan lingkungan (PT. JIEP & PT. NINCEC Multi Dimensi,
2005).
Kawasan industri Pulo Gadung merupakan daerah yang datar dengan
curah hujan sedang (2000-2300 mm) per tahun dan dengan ketinggian dari
permukaan laut berkisar 7-14 m (PT. JIEP & PT. NINCEC Multi Dimensi, 2005).
Tanaman yang ada pada lokasi pengamatan terdiri atas 5 jenis yaitu
Kondisi iklim mikro pada lokasi pengamatan kawasan industri yang terdiri
atas suhu udara rata–rata berkisar antara 29,4-31,8ºC dan kelembaban udara
rata-rata berkisar antara 69-75%. Pada arboretum Cibubur Jakarta memiliki suhu
udara rata–rata berkisar antara 25,8–30,0ºC dengan kelembaban udara rata–rata
berkisar antara 78-95%, sedangkan pada tegakan mahoni Cikabayan memiliki
suhu udara rata–rata berkisar antara 25,3–27,8ºC dengan kelembaban udara
rata–rata berkisar antara 84–95% (Gambar 9; Lampiran 3).
Keterangan: A = Kawasan industri Pulo Gadung B = Arboretum Cibubur C = Tegakan mahoni Cikabayan
Gambar 9. Suhu dan Kelembaban Udara Rata-rata
3. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Ditemukan
a. Jenis Lumut Kerak yang ditemukan pada tiga lokasi pengamatan
Jenis lumut kerak yang ditemukan selama penelitian sebanyak 12 jenis.
Lumut kerak yang tidak teridentifikasi terdiri atas 3 jenis lumut kerak, terdiri atas
2 jenis lumut kerak dengan tipe morfologi crustose dan 1 jenis lumut kerak
dengan tipe morfologi foliose (Tabel 6).
30,46 27,4 26,1
72
86 90
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
100
A B C
Kelembaban udara (%)
Suhu udara (°C)
24
Tabel 3. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan pada Tiga Lokasi Pengamatan No Kode Jenis lumut kerak Lokasi
A B C 1 Spesies I Phaeographis sp. v - v 2 Spesies II Strigula sp. v v v3 Spesies III Dirinaria cf. picta v - - 4 Spesies IV Heterodermia sp. - v v5 Spesies V Parmelia cf autrosinensis - v - 6 Spesies VI - - v v7 Spesies VII Verrucaria sp. - v v8 Spesies VIII Parmelia sp. - - v9 Spesies IX - - - v10 Spesies X - - - v11 Spesies XI Grapidaceae - - v12 Spesies XII Grapidaceae - v vKeterangan: A : Lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung B : Lokasi pengamatan arboretum Cibubur C : Lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan v : hadir/ditemui
b. Tipe Morfologi Talus Lumut Kerak
Jenis lumut kerak berdasarkan tipe morfologi talus, pada masing-masing
lokasi pengamatan terdiri atas tipe talus crustose dan foliose. Jenis lumut kerak
dengan tipe morfologi crustose lebih banyak ditemukan dibanding dengan tipe
morfologi foliose (Gambar 10).
Keterangan: A = Lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung B = Lokasi pengamatan arboretum Cibubur C = Lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan
Gambar 10. Jumlah Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan Berdasarkan Tipe Morfologi Talus
23
7
12
3
0
2
4
6
8
A B C
Crustose
Foliose
25
Pada lokasi pengamatan kawasan industri ditemukan 3 jenis lumut kerak
yaitu Spesies I, Spesies II dan Spesies III (Tabel 4). Dengan tipe morfologi talus terdiri atas 2 tipe crustose dan 1 tipe foliose. Jumlah yang ditemukan pada jalur
pengamatan 5 meter dari sumber polutan ditemukan sebanyak 1 jenis, 10 meter
dari sumber polutan sebanyak 2 jenis dan jarak 25 meter dari sumber polutan
sebanyak 2 jenis.
Tabel 4. Jenis Lumut Kerak Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung
No Suku Jenis Tipe morfologi talus
1 Graphidaceae Spesies I (Phaeographis sp.) Crutose
2 Strigulaceae Spesies II (Strigula sp.) Crutose 3 Physiceace Spesies III (Dirinaria cf. picta) Foliose Pada lokasi pengamatan di arboretum Cibubur ditemukan sebanyak 6 jenis
lumut kerak, terdiri atas 4 tipe talus crustose dan 2 tipe talus foliose (Tabel 5).
Pada lokasi pengamatan jarak 5 meter ditemukan 6 jenis lumut kerak, pada jarak
10 meter dari titik pengukuran dapat ditemukan 5 jenis lumut kerak dan pada
jarak 25 meter dapat ditemukan 3 jenis lumut kerak.
Tabel 5. Jenis Lumut Kerak Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur No Suku Jenis Tipe morfologi talus
1 Parmeliaceae Spesies IV (Heterodermia sp.) Foliose
2 Parmeliaceae Spesies V (Parmelia cf austrosinensis) Foliose
3 Strigulaceae Spesies II (Strigula sp.) Crustose
4 - Spesies VI (Tidak teridentifikasi) Crustose
5 Verrucariacae Spesies VII (Verrucaria sp.) Crustose 6 Graphidaceae Spesies XII (Graphidaceae) Crustose
Pada tegakan mahoni Cikabayan, jenis lumut kerak yang ditemui cukup
banyak dengan warna yang bervariasi. Jenis-jenis lumut kerak yang ditemukan,
yaitu terdiri atas 10 jenis lumut kerak, dengan rincian 7 jenis merupakan tipe
talus crustose dan 3 jenis lumut kerak merupakan tipe talus foliose (Tabel 6).
26
Tabel 6. Jenis Lumut Kerak Lokasi Pengamatan Tegakan Mahoni Cikabayan No Suku Jenis Tipe morfologi talus
1 Graphidaceae Spesies I (Phaeographis sp.) Crustose 2 Strigulaceae Spesies II (Strigula sp.) Crustose 3 Parmeliaceae Spesies IV (Heterodermia sp.) Crustose 4 Graphidaceae Spesies VI (Tidak teridentifikasi) Foliose 5 Verrucariaceae Spesies VII (Verrucaria sp.) Crustose 6 Parmeliaceae Spesies VIII (Parmelia sp.) Foliose 7 - Spesies IX (tidak teridentifikasi) Foliose 8 - Spesies X (tidak teridentifikasi) Crustose 9 Graphidaceae Spesies XI (Graphidaceae) Crustose 10 Graphidaceae Spesies XII (Graphidaceae) Crustose
c. Penggunaan Kulit Batang Tanaman sebagai Substrat Lumut Kerak
Pada lokasi pengamatan di kawasan industri, tercatat bahwa jenis Spesies
III cenderung untuk menggunakan kulit batang jenis tanaman tanjung sebagai
substrat (Tabel 7).
Tabel 7. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman sebagai Substrat pada Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung
No Jenis tanaman Jenis lumut kerak
Spesies I Spesies II Spesies III 1 Tanjung (Mimosops sp. ) - - v 2 Angsana (Pterocarpus indicus) v - - 3 Johar (Cassia siamea) v v - 4 Mahoni (Swietenia sp.) v v - Keterangan: v = hadir/ditemui
Gambar 11. Kulit Batang Tanaman Tanjung sebagai Substrat Spesies III
27
ada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, jenis tanaman yang diamati
diantaranya adalah angsana dan mahoni. Dengan jenis lumut kerak yang
ditemukan antara lain jenis Spesies II, Spesies IV, Spesies V dan Spesies VII.
Jenis lumut kerak yang ditemukan pada substrat kulit batang tanaman (Tabel 8).
Tabel 8. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman sebagai Substrat pada Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur
No Jenis tanaman Jenis lumut kerak
SpesiesII
Spesies IV
Spesies V
SpesiesVI
Spesies VII
Spesies XII
1 Angsana (Pterocarpus indicus)
v v v v v -
2 Mahoni (Swietenia sp.)
v v - v v -
3 Saga (Adenanthera pavonina)
v v - v v -
4 Tanjung (Mimosops elingi)
v - - - v v
5 Karet (Hevea sp.)
v - - - v -
6 Kiputri (Podocarpus nerifolii)
v - - - v -
7 Jamuju (Podocarpus imbricata)
v - - v -
8 Kayu Manis (Cinnamomum sp.)
v - - v v -
9 Krey Payung (Filicium desipiens)
v V - v v -
Keterangan: v = hadir/ditemui
Dari hasil pengamatan yang dilakukan tercatat bahwa terdapat beberapa
spesies yang hanya menggunakan jenis pohon tertentu sebagai substratnya,
yaitu Spesies V hanya menggunakan kulit batang pohon angsana sebagai
substratnya dan Spesies XII dengan jenis kulit tanaman tanjung sebagai
substratnya.
28
Pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB
Darmaga, jenis lumut kerak yang menggunakan batang kulit jenis tanaman
mahoni sebagai substrat terdiri atas Spesies I, Spesies II, Spesies IV, Spesies
VI, Spesies VII, Spesies VIII, Spesies IX, Spesies X, Spesies XI dan Spesies XII.
4. Ciri Makroskopik Talus Lumut Kerak.
a. Bentuk Talus secara Umum
Pengamatan dilakukan secara makroskopik dengan melihat bentuk dan
warna talus. Berdasarkan morfologi talus lumut kerak, lumut kerak yang
ditemukan tergolong ke dalam kelompok crustose dan foliose. Menurut
Januardania (1995), ciri-ciri makroskopik yang paling mudah diamati dan
dibedakan adalah bentuk dan warna talus. Hal tersebut memungkinkan talus
lumut kerak dapat dianalisis secara deskriptif. Talus lumut kerak secara
makroskopik disajikan pada Lampiran 4. Bentuk talus secara umum ditemukan beragam, ada yang memiliki bentuk
lonjong (memanjang), lingkaran serta bentuk yang tidak teratur (Tabel 9; Gambar
12).
Tabel 9. Bentuk Talus Lumut Kerak secara Umum No Jenis lumut
kerak Bentuk Talus
Cenderung membulat
Memanjang vertikal
Memanjang horisontal
Tidak beraturan
A B C A B C A B C A B C1 Spesies I v - - - v - v - - - - - 2 Spesies II v v v - - - - - - - - - 3 Spesies III v - - - - - - - - - - - 4 Spesies IV - - v - - - - - - - v - 5 Spesies V - - - - - - - - - - v - 6 Spesies VI - - - - v - - - - - v v 7 Spesies VII - v v - - - - - - - - - 8 Spesies VIII - - v - - - - - - - - - 9 Spesies IX - - v - - - - - - - - - 10 Spesies X - - v - - - - - - - - - 11 Spesies XI - - - - - - - - - - - v 12 Spesies XII - - - - - - - - - - v vKeterangan: A = Lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung B = Lokasi pengamatan di arboretum Cibubur C = Lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB Darmaga v = hadir/ditemui
29
Spesies I ditemukan pada dua lokasi pengamatan yaitu lokasi kawasan
industri dan tegakan mahoni Cikabayan. Pada kawasan industri, sebagian besar
bentuk talus Spesies I dengan mahoni sebagai substrat memiliki bentuk
memanjang horisontal. Namun, dengan angsana sebagai substrat memiliki
bentuk yang cenderung membulat. Pada tegakan mahoni, beberapa koloni
spesies I ditemukan dalam bentuk memanjang horisontal.
Menurut Wolsely & Hudson (1994), apotesia merupakan tubuh buah yang
biasa terdapat pada permukaan atas talus, dapat dalam bentuk memanjang
(elongated) dan lirella (lip-like). Berdasarkan hal tersebut, spesies I
(Phaeographis sp.) memiliki apotesia dalam bentuk lirella.
Spesies II dapat ditemukan pada tiga lokasi pengamatan. Jenis ini memiliki
koloni dengan batas talus yang cukup jelas, sehingga mudah untuk dilakukan
pengukuran luas koloni talus. Spesies II memiliki tipe morfologi talus crustose
non-lirella. Pada kawasan industri, bentuk talus cenderung membulat dengan
ukuran yang relatif kecil. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, kehadiran
lumut kerak ini cenderung untuk bergerombol atau berkelompok. Pada tegakan
mahoni Cikabayan, memiliki kondisi bentuk talus hampir sama dengan lokasi
pengamatan di kawasan industri yaitu dalam memiliki kondisi yang tidak
bergerombol atau mengelompok.
Spesies III ditemukan dengan bentuk talus yang cenderung membulat
dengan batas koloni talus yang kurang tegas. Namun, memiliki keadaan yang
cenderung menggerombol atau mengelompok. Pada spesies ini dapat terlihat
soredia berupa serbuk halus pada permukaan talus.
Spesies IV ditemukan pada dua lokasi yaitu, arboretum Cibubur dan
tegakan mahoni Cikabayan. Spesies ini memiliki ukuran lobus atau cuping yang
relatif kecil bila dibanding Spesies IV dan Spesies V. Pada arboretum Cibubur,
spesies ini berkembang pada tanaman angsana dan saga dalam bentuk talus
yang relatif tidak beraturan dan pecah-pecah. Pada tegakan mahoni Cikabayan
dengan tanaman mahoni sebagai substrat koloni lumut kerak ini, memiliki bentuk
yang relatif cenderung membulat, meskipun tidak teratur.
Jenis lumut kerak Spesies V, pada penelitian ini hanya ditemukan pada
lokasi pengamatan di arboretum Cibubur. Jenis ini cenderung ditemukan dalam
bentuk membulat dengan ukuran lobus atau cuping yang relatif lebih besar dari
jenis Spesies IV. Jenis lumut kerak ini ditemukan pada batang tanaman angsana.
30
Jenis lumut kerak Spesies VI ditemukan pada dua lokasi pengamatan yaitu
pada arboretum cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Bentuk talus Spesies
VI pada arboretum Cibubur, cenderung memiliki bentuk talus yang memanjang
(lonjong) secara vertikal dan dengan kondisi pecah-pecah, khususnya pada
tanaman mahoni. Bentuk talus cenderung dalam bentuk yang tidak teratur dan
pecah-pecah (pada kulit tanaman angsana, saga dan krey payung). Pada
tegakan mahoni, secara umum koloni spesies ini berkembang dalam bentuk
yang tidak teratur. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, warna talus
pada bagian batang 0-50 cm dari permukaan tanah terlihat lebih tebal dan pada
beberapa pohon dapat terlihat jelas apotesianya.
Jenis Spesies VII ditemukan pada dua lokasi pengamatan, yaitu pada
arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Jenis ini memiliki tipe
morfologi talus crustose lirella. Bentuk talus spesies ini memiliki bentuk yang
relatif mirip dengan spesies II dengan warna talus yang relatif sama, yaitu
memiliki warna hijau kebiruan.
Jenis Spesies VIII dan Spesies IX memiliki tipe morfologi foliose. Spesies
VIII ditemukan pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan dengan
bentuk talus cenderung menyerupai lingkaran (membulat). Spesies IX ditemukan
pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan. Spesies ini memiliki bentuk
talus yang cenderung membulat dengan batas talus jelas.
Jenis spesies X memiliki tipe morfologi talus crustose non-lirella. Pada
lokasi pengamatan yaitu pada tegakan mahoni Cikabayan, jenis ini memiliki
bentuk yang relatif mirip dengan spesies II dan VII.
Jenis spesies XI dan XII ditemukan pada tegakan mahoni Cikabayan dan
arboretum Cibubur. Jenis lumut kerak ini memiliki tipe morfologi talus crustose
non-lirella, dengan apotesia pada permukaan talus. Bentuk talus ini cenderung
dalam bentuk yang tidak beraturan, namun sering ditemukan memanjang secara
horisontal pada batang tanaman.
b. Warna talus lumut kerak secara umum
Warna talus lumut kerak yang ditemukan cukup beragam. Warna talus
yang ditemukan antara lain warna putih, hijau, dan warna putih agak pudar
(Tabel 10; Gambar 12).
31
Tabel 10. Warna Talus Lumut Kerak secara Umum No Jenis lumut
kerak Warna Talus
Hijau tua Hijau muda
Hijau keabuan/kusam
Putih Putih keabuan
A B C A B C A B C A B C A B C 1 Spesies I - - - - - - - - - - - - v - v 2 Spesies II v v v v - - - - - - - - - - -3 Spesies III v - - - - - v - - - - - - - - 4 Spesies IV - - v - - - - v - - - - - - - 5 Spesies V - - - - - v - v - - - - - - - 6 Spesies VI - - - v v - - - - - - - - - 7 Spesies VII - - - - - - - - - - v v - v - 8 Spesies VIII - v - - - - - - - - - - - - - 9 Spesies IX - - v - - v - - - - - - - - - 10 Spesies X - - - - - v - - - - - - - - - 11 Spesies XI - - - - - - - - - - - - - - v * 12 Spesies XII - - - - - - - - - - - - - - v * Keterangan: A = Lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung B = Lokasi pengamatan arboretum Cibubur C = Lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan v* = Permukaan talus tidak terlihat jelas
Spesies I memiliki warna talus putih kusam atau abu-abu. Perbedaan
warna pada lokasi pengamatan yang berbeda tidak ditemukan, hal tersebut di
duga karena tipe morfologi talusnya yang melekat pada substrat.
Spesies II mempunyai talus berwarna hijau tua dengan warna putih perak
melingkar pada bagian pinggir talus, sehingga terlihat seperti batas talus. Pada
lokasi pengamatan arboretum Cibubur, beberapa koloni ditemukan bulatan kecil
berwarna kuning kemerahan di tengah talus (apotesia).
Spesies III memiliki kisaran warna talus hijau tua hingga hijau kusam.
Spesies IV memiliki warna lebih tua pada lokasi tegakan mahoni Cikabayan
dibanding dengan spesies yang berkembang pada arboretum Cibubur.
Sedangkan, Spesies V memiliki warna talus hijau keabuan hingga hijau muda.
Spesies VI, spesies VII, dan spesies X memiliki tipe morfologi talus yang
sama namun memiliki warna talus yang berbeda. Spesies VI memiliki warna
putih pada semua bagian talusnya, Spesies VII memiliki warna talus hijau muda,
dan Spesies X memiliki warna talus hijau. Adapun, persamaan antara spesies II
dan Spesies VII adalah memiliki batas berwarna keperakan yang melingkar pada
pinggir koloni talus. Namun, pada Spesies X tidak ditemukan batas yang
melingkari koloni talus.
32
Spesies VIII dan Spesies IX secara makroskopik memiliki tipe talus foliose,
akan tetapi memiliki warna yang relatif berbeda. Pada spesies VIIII talus
berwarna hijau tua hingga hijau muda, sedangkan Spesies IX memiliki warna
talus hijau tua hingga hijau muda keputihan dengan keadaan tengah talus
terdapat bulatan berwarna putih.
Spesies XI dan XII merupakan tipe morfologi crustose lirella dengan warna
talus yang kurang jelas sehingga akan sulit untuk menentukan batas koloni talus.
Adapun perbedaan antar dua spesies ini adalah pada warna apotesia, pada
spesies XI memiliki warna hitam dan spesies XII memiliki warna putih tipis.
(a)
(a)
(b)
( c )
(d) Gambar 12. Bentuk dan Warna Talus Lumut Kerak secara Umum. (a) Bentuk
Cenderung Membulat serta Talus Berwarna Hijau Tua pada Talus Tipe Morfologi Foliose (b) Bentuk Tidak Beraturan serta Talus Berwarna Hijau Keabuan pada Tipe Morfologi Talus Foliose (c) Bentuk Cenderung Membulat serta Warna Talus Hijau Muda pada Talus Tipe Morfologi Crustose (d) Bentuk Memanjang Horisontal serta Warna Putih Keabuan pada Talus Tipe Morfologi Crustose
5. Ciri Mikroskopik Lumut Kerak Spesies I memiliki tipe morfologi crustose lirella, dengan struktur
mikroskopis yang tidak terlalu jelas. Namun, terlihat bahwa struktur talus
sederhana. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya susunan lapisan-lapisan pada
talus. Lapisan sederhana ini biasa disebut dengan homomerous, yaitu struktur
yang menyusun talus sederhana, jaringan hifa dan sel-sel alga menyebar secara
merata.
33
Spesies II memiliki tipe morfologi talus crustose dengan struktur talus
homomerous. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, beberapa koloni
ditemukan apotesia berbentuk bulatan kecil berwarna kuning kemerahan. Secara
mikroskopis dapat dilihat hymenium dan askus.
Pada Spesies III terdapat lapisan yang menyusun talus, namun tidak dapat
terlihat dengan jelas. Akan tetapi, pada jenis ini ditemukan rizoid yaitu struktur
yang terbentuk dari kumpulan fungi yang berfungsi untuk melekatkan talus pada
substrat. Pada Spesies IV memiliki ciri mikroskopis talus adanya lapisan yang
menyusun talus, diantaranya terlihat korteks lapisan atas, lapisan medulla, serta
ditemukannya rizoid.
Spesies VII memiliki tipe morfologi talus crustose lirella. Pada
pengamatan secara mikroskopik pada irisan penampang melintang apotesia
dapat terlihat askokarp dan ascospora.
Spesies VIII dan Spesies IX memiliki tipe morfologi talus foliose. Hasil
pengamatan secara mikroskopis terlihat lapisan-lapisan yang menyusun talus
yaitu terlihatnya lapisan korteks bagian atas dan lapisan medula dan terlihat
rizoid, sehingga jenis ini memiliki struktur talus heteromerous. Namun, pada ciri
mikroskopis Spesies IX ditemukan bagian yang menyerupai klostesium
Spesies X, Spesies XI dan Spesies XII memiliki tipe morfologi crustose.
Spesies X memiliki tipe morfologi talus crustose dengan struktur mikroskopis
yang tidak terlalu jelas. Namun, terlihat bahwa struktur talus sederhana. Hal
tersebut dikarenakan tidak adanya susunan lapisan-lapisan pada talus. Spesies
XI dan XII memiliki tipe morfologi talus crustose lirella. Struktur mikroskopis talus
ini, tidak terlalu terlihat jelas, namun pada irisan penampang melintang
apotesium terlihat ascocarp, hymenium dan askospora.
6. Luas Talus Lumut Kerak dan Frekuensi Perjumpaan a. Frekuensi Perjumpaan Jenis Lumut Kerak
Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung dengan 90 titik
pengamatan didapatkan frekuensi perjumpaan berturut-turut dari yang terbesar
yaitu Spesies I (24,4 %), Spesies II (8,89 %) dan Spesies III (6,67%).
Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur diantara 86 titik
pengamatan, didapatkan frekuensi perjumpaan berturut-turut dari yang terbesar
yaitu Spesies II (73.25%), Spesies VI (63,95%), Spesies VII (60,46%), Spesies
IV (19,77%), Spesies V (10,46%) dan spesies XII (1,16%).
34
Pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan diantara 56 titik
pengamatan, didapatkan frekuensi perjumpaan berturut-turut dari yang terbesar
yaitu: Spesies IV (73,21%), Spesies VI (73,21%), Spesies IX (58,93%), Spesies
VII (57,14%), Spesies XI (44,64%), Spesies XII (39,28%), Spesies II (32,14%),
Spesies I (28,57%), Spesies X (28,57%) dan Spesies VIII (16,67%).
b. Luas Talus Lumut Kerak
Pengetahuan tentang talus dalam hubungannya dengan tingkat
pencemaran udara merupakan hal dasar dalam mengetahui respon
perkembangan talus lumut kerak (Tabel 11).
Tabel 11. Luas Talus Lumut Kerak (Cm2) pada Ketinggian Batang Tanaman hingga 150 Cm dari Permukaan Tanah
No Jenis Luas talus lumut kerak (cm2)
Kawasan industri Pulo Gadung
Arboretum Cibubur Tegakan mahoni
Cikabayan 1 Spesies I 6,4891 - 3,12321 2 Spesies II 0,39 189,9012 7,750 3 Spesies III 1,8367 - - 4 Spesies IV - 8,4732 12,09 5 Spesies V - 1,6709 - 6 Spesies VI - 100,8860 19,92327 Spesies VII - 40,1105 29,0786 8 Spesies VIII - - 11,275 9 Spesies IX - - 22,7125 10 Spesies X - - 12,57 11 Spesies XI - - 20,0589 12 Spesies XII - 0,1814 16,0686
Jumlah rata-rata 8,7158 341,2232 154,65 Keterangan: 1) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 90 titik pengamatan/45 unit contoh 2) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 86 titik pengamatan/43 unit contoh 3) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 56 titik pengamatan/28 unit contoh Secara rinci, rekapitulasi luas talus lumut kerak disajikan pada Lampiran 5
dan Tabel 16.
35
Tabel 12. Luas Talus Rata-rata (cm2) per Jarak Pengamatan Lokasi Jarak luas
Keterangan : D: Pengamatan pada bagian kulit batang menghadap titik pengukuran kualitas udara B: Pengamatan pada bagian kulit batang membelakangi titik pengukuran kualitas udara 1) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 90 titik pengamatan/45 unit contoh 2) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 86 titik pengamatan/43 unit contoh 3) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 56 titik pengamatan/28 unit contoh
35
B. Pembahasan 1. Jenis lumut Kerak yang ditemukan a. Morfologi Talus Lumut Kerak
Berdasarkan morfologi talus, pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo
Gadung ditemukan 3 jenis lumut kerak yang terdiri atas 2 jenis memiliki morfologi
talus crustose (Spesies I dan Spesies II) dan 1 jenis lumut kerak talus foliose
(Spesies III). Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur ditemukan 2 jenis lumut
kerak yang memiliki tipe morfologi talus foliose (Spesies IV dan Spesies V) dan 4
jenis lumut kerak tipe crustose (Spesies II, Spesies VI, Spesies VII dan Spesies XII).
Pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan, ditemukan 10 jenis lumut
kerak dengan 3 jenis lumut kerak yang tergolong kelompok foliose (Spesies IV,
Spesies VIII dan Spesies IX) dan 7 jenis tipe morfologi talus crustose (Spesies I,
Spesies II, Spesies VI, Spesies VII, Spesies X, Spesies XI dan Spesies XII). Beberapa jenis lumut kerak belum semua dapat teridentifikasi, karena lumut
kerak tersebut belum memiliki struktur alat reproduksi yaitu tubuh buah. Hal tersebut
didukung oleh pernyataan Purvis (2000) bahwa lumut kerak mempunyai rata-rata
pertumbuhan yang lambat pada masing-masing habitatnya sehingga kebanyakan
lumut kerak yang ditemukan belum memiliki alat reproduksi (tubuh buah).
Menurut Baron (1999), tipe talus crustose memiliki ciri-ciri bentuk seperti
kerak yang yang melekat pada substratnya. Tipe talus foliose memiliki ciri-ciri
dengan talus mudah terkelupas dari substratnya. Perbedaan tipe morfologi talus
lumut kerak dapat dilihat dan ditentukan secara makroskopis.
b. Bentuk dan Keadaan Talus secara Umum
Bentuk talus yang ditemukan beragam, terdiri atas bentuk lonjong
(memanjang), melingkar/membulat serta bentuk yang tidak teratur. Bentuk talus
lumut kerak dengan jenis yang sama dengan lokasi pengamatan yang sama dapat
berbeda. Hal tersebut ditentukan oleh faktor tempat tumbuh seperti keadaan
permukaan tempat tumbuh. Pada kulit permukaan batang tanaman yang tidak
pecah-pecah, pertumbuhan talus lumut kerak dapat utuh dan batas antar koloni
terlihat dengan jelas. Secara umum perkembangan talus lumut kerak akan
cenderung membulat. Pada kulit batang pohon yang pecah-pecah, perkembangan
bentuk talus lumut kerak cenderung akan mengikuti pola pecahan permukaan kulit
batang pohon tersebut.
Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, permukaan kulit batang angsana
relatif tidak pecah-pecah sehingga memungkinkan untuk talus berkembang ke
segala arah, sedangkan pada tanaman mahoni di lokasi arboretum Cibubur memiliki
kulit batang yang pecah–pecah. Hal tersebut akan mempengaruhi bentuk talus
lumut kerak, sehingga bentuk dan keadaan talus ditentukan oleh keadaan tempat
tumbuh yaitu umur dan sifat tanaman itu sendiri sebagai faktor substrat.
Pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan, bentuk talus yang
ditemukan cenderung memiliki bentuk yang relatif membulat (untuk tipe talus
foliose) dan pada tipe talus crustose juga cenderung membulat, akan tetapi
terkadang memiliki bentuk yang tidak beraturan.
Fink (1961) menyatakan bahwa bentuk talus khususnya untuk tipe talus
crustose, akan ditemukan dalam bentuk yang tidak tetap serta beberapa jenis lumut
kerak memiliki bentuk talus yang cenderung berbentuk menyerupai lingkaran tetapi
juga dapat ditemukan pada keadaan tidak beraturan. Keadaan yang tidak beraturan
dapat tumbuh pada permukaan batang kayu, kayu yang sudah lapuk dan batu.
Keadaan talus terlihat dalam berbagai macam keadaan, diantaranya
ditemukan utuh, pecah-pecah dan saling tumpang tindih antar satu jenis talus
dengan jenis lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, pada lokasi
arboretum Cibubur dan tegakan mahoni beberapa koloni Spesies VI ditemukan
tertindih oleh jenis Spesies IV, akan tetapi keadaan sebaliknya tidak ditemukan. Dari
keadaan tersebut, terlihat kemungkinan kolonisasi pada permukaan kulit batang
tanaman dimulai dari jenis Spesies VI, kemudian jenis Spesies IV. Namun tidak
harus selalu demikian, karena jenis Spesies IV juga dapat ditemukan langsung
tumbuh pada permukaan kulit batang.
c. Warna talus secara Umum
Warna talus tidak hanya dapat terjadi pada jenis lumut kerak yang berbeda,
namun dapat terjadi pada jenis yang sama dengan lokasi pengamatan yang
berbeda. Warna talus lumut kerak yang ditemukan cukup beragam. Warna talus
yang ditemukan antara lain warna putih, hijau, dan warna putih agak pudar. Spesies II di lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung memiliki
warna lebih muda bila dibanding dengan lokasi pengamatan lainnya, hal tersebut
selain diduga pertumbuhannya kurang baik akibat faktor lingkungan juga
dikarenakan umur tanaman di kawasan industri Pulo Gadung lebih muda dibanding
dengan umur tanaman yang berada pada lokasi pengamatan lainnya. Warna talus
dapat semakin menggelap seiring dengan bertambahnya umur serta khasnya akan
mengikuti tempat kondisi dari tempat tumbuhnya (Fink, 1961) (Gambar 13).
(a)
(b)
(c)
Gambar 13. Warna Talus Spesies II. (a) Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo
Berbeda halnya dengan Spesies IV (tipe morfologi foliose), spesies ini pada
arboretum Cibubur memiliki warna talus yang lebih muda dibanding dengan di lokasi
pengamatan tegakan mahoni Cikabayan. Hal tersebut diduga karena pengaruh
faktor kualitas udara. Umur tanaman sebagai substrat Spesies IV lebih tua
dibanding dengan umur tanaman di lokasi tegakan mahoni Cikabayan, sehingga hal
tersebut diduga disebabkan pengaruh faktor kualitas udara. Noer (2004)
menyatakan bahwa lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya akan
kurang baik dengan warna menjadi pucat atau berubah (Gambar 14).
Perubahan warna dapat terjadi karena adanya perubahan kadar klorofil pada
talus lumut kerak, yang disebabkan gas-gas yang bersifat racun/pencemar (Kovaks,
1992; Hawksworth & Rose, 1976 diacu dalam Wijaya, 2004). Hal tersebut didukung
oleh penelitian yang dilakukan Wijaya (2004), bahwa jenis P. wallichiana (tipe
morfologi foliose) di wilayah Alun-alun, Jamika, Mohamad Toha dan Antapani yang
memiliki talus berwarna hijau pucat keabuan sampai putih dan abu-abu keputihan
nampaknya sudah terpengaruh oleh pencemar yang berasal dari kendaraan
bermotor dan industri kecil maupun besar.
(a)
(b)
(c )
Gambar 14. Warna Talus Spesies IV. (a) Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur
(b) dan (c) Lokasi Pengamatan Tegakan Mahoni Cikabayan
d. Ciri mikroskopik talus lumut kerak
Menurut Baron (1999), sebagian besar elemen fungi menyusun jaringan talus
lumut kerak dengan sel-sel alga menyusun sekitar 5-15% dari talus. Pada lumut
kerak, penyatuan cabang hifa fungi membentuk hubungan benang seperti rambut
yang merupakan bagian terbesar dalam menyusun talus. Benang-benang hifa akan
terbagi dalam bentuk sekat atau dinding pemisah, namun dapat menyalurkan
substansi sel dari satu sel ke sel lainnya. Menurut Dharmaputra et al. (1989), hifa
adalah satuan struktur pada fungi (Gambar 15).
Gambar 15. Jalinan Hifa pada Tipe Talus Foliose
Aspek mikroskopik dilakukan untuk mengetahui lapisan-lapisan yang
menyusun talus lumut kerak. Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis yang
dilakukan, sebagian besar tipe morfologi talus lumut kerak yang ditemukan
termasuk ke dalam jenis talus crustose dan 3 jenis diantaranya termasuk crustose
lirella. Pengamatan secara mikroskopis pada tipe morfologi talus crustose sulit
untuk dilakukan, karena talusnya yang tipis dan melekat pada substrat. Ahmadjian &
Hale (1973) menyatakan pada umumnya tipe talus crustose hanya terbagi ke dalam
lapisan korteks atas, lapisan alga, dan medula; tidak pernah memiliki lapisan
korteks bawah sehingga pelekatan dengan substratnya langsung menggunakan
medula; bersifat homoiomerous, artinya tidak memiliki stratifikasi pada lapisan-
lapisan tersebut, miselium menyebar di atas substrat berupa filamen tipis kusut
yang menyelubungi alga. Adapun ciri-ciri struktur mikroskopis pada masing-masing
jenis lumut kerak yang ditemukan disajikan pada Lampiran 3.
Salah satu jenis lumut kerak yang ditemukan saat pengamatan diantaranya
adalah dari marga Graphidaceae (Spesies I, Spesies XI dan Spesies XII) dan dari
suku Pyrenorales (Spesies II dan Spesies VII). Menurut Trisusanti (2003), Fissurina,
Graphis, Phaeographis, Graphina, dan Phaeographina memiliki apotesium tunggal
dengan memiliki ukuran yang pendek sampai panjang.
Apotesia pada kelompok crustose lirella dapat berada dalam bentuk tunggal
atau berkelompok (mesokarp). Pada pengamatan terhadap jenis lumut kerak
crustose lirela yang ada termasuk ke dalam bentuk apotesium tunggal. Menurut
Dharmaputra et al. (1989); Misra & Agriwal (1978), apotesia merupakan badan buah
yang berbentuk seperti mangkuk yang menonjol di permukaan atas talus, terdapat
askokarp dengan hymenium terbuka pada waktu askospora menjadi matang.
Menurut Trisusanti (2003); Fink (1961), spesies I memiliki apotesium tunggal
dengan ukuran pendek sampai panjang; askospora berwarna kecokelatan dengan
tipe askospora berupa fragmospora (askospora dengan sekat melintang); dan
menurut spesies ini memiliki phycobiont Trentepohlia yang termasuk kedalam
kelompok alga hijau (Chlorophyta), phycobiont ini banyak ditemukan di daerah
tropis.
Tipe talus foliose secara makroskopis memiliki bentuk seperti lembaran daun,
sedangkan secara mikroskopis tipe talus ini memiliki batasan antar lapisan tidak
terlalu terlihat jelas. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Fink (1961), yang
menyatakan bahwa lapisan dermis pada kebanyakan tipe talus foliose tidak dapat
dibedakan dengan lapisan atasnya. Namun, pada tipe talus ini terlihat adanya rizoid,
yaitu struktur yang terbentuk dari kumpulan hifa fungi yang berfungsi untuk
memperkuat kedudukan talus sehingga dapat melekat pada substrat. Meskipun
struktur ini mirip akar, akan tetapi tidak berperan penting sebagai penyalur bahan
mineral seperti fungsi akar (Fink, 1961; Baron, 1999).
Menurut Baron (1999), pada tipe talus foliose terbentuk rizoid yang terdiri dari
kumpulan hifa yang dapat berbentuk bercabang maupun sederhana. Akan tetapi
tidak semua jenis lumut kerak pada tipe talus foliose memiliki rizoid (Gambar 16).
Gambar 16. Rizoid pada tipe talus foliose
Hasil identifikasi terhadap jenis–jenis lumut kerak yang ditemukan yaitu
menurut Fink (1961), untuk jenis P. cf austrosinensis Zahllar, Parmelia sp. dan
Heterodermia sp. termasuk ke dalam kelas Ascolichens, subkelas Gymnocarpeae,
marga Parmeliaceae, sedangkan Graphidaceae dan Pheographis sp. termasuk ke
dalam kelas Ascolichens subkelas Gymnocarpeae, marga Graphidaceae.
Sedangkan Strigula sp. termasuk ke dalam bangsa Pyrenocarpaceae, suku
Strigulaceae.
Rizoid
Menurut Baron (1999), untuk mengidentifikasi jenis alga pada lumut kerak,
khususnya sampai tingkat jenis cukup sulit. Menurut Fink (1960), ciri-ciri
mikroskopis beberapa golongan lumut kerak adalah sebagai berikut :
1. Kelas Ascolichens ; memiliki ciri–ciri yang membedakan dari kelas lainnya yaitu
spora yang dihasilkan dalam askus.
2. Bangsa Lecanorales ; ciri utama adalah hymenium yang dihasilkan dalam
struktur yang terbuka, yang menyerupai bentuk cawan.
3. Suku Parmeliaceae (Lecanorales) ; ciri yang paling membedakan dari suku lain
yang ada pada bangsa Lecanorales adalah bahwa suku Parmeliaceae
merupakan lumut kerak bertalus foliose dan inang alga termasuk golongan
Chlorophyceae. Ciri lain yaitu struktur talus berlapis, pada permukaan bawah
terdapat rizoid, yang berfungsi untuk melekatkan pada substrat, cyphella atau
penutup padat yang merupakan jalinan hifa fungi padat yang berwarna gelap
serta spora tidak bersepta.
e. Kulit batang tanaman sebagai substrat
Pada penelitian ini lumut kerak yang diamati adalah lumut kerak yang
menempel pada kulit pohon (corticolous), sehingga kulit pohon tersebut akan
menjadi substrat bagi lumut kerak. Sifat dan kondisi dari kulit batang tanaman
secara langsung akan mempengaruhi bentuk dan keadaan talus yang berkembang.
Menurut Boiret (1921) diacu dalam Tophan (1977) diacu dalam Januardania (1995),
menyatakan bahwa perbandingan antara garis tengah mendatar dan tegak pada
bentuk talus dipengaruhi oleh jenis tempat tumbuh dalam hal ini adalah permukaan
kulit pohon.
Dari hasil penelitian ditemukan, Spesies V (Parmeliaceae) dan Spesies IV
(Parmeliaceae) dapat tumbuh pada kulit batang tanaman angsana. Hal tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wijaya (2004) yang menggunakan jenis
lumut kerak P. wallichiana (Parmeliaceae) yang menjadikan tanaman jenis rasamala
dan angsana sebagai substrat.
f. Luas dan Frekuensi Perjumpaan Talus Lumut Kerak
Luas talus dihitung berdasarkan luas koloni talus yang menempel pada
batang tanaman dengan ketinggian sampai 150 cm dari permukaan tanah. Pada
Tabel 12, terlihat bahwa lokasi pengamatan arboretum Cibubur memiliki rata-rata
luas talus lumut kerak yang relatif lebih besar. Hal tersebut dikarenakan umur
tanaman yang berada pada lokasi pengamatan yang akan mempengaruhi ukuran
talus lumut kerak. Menurut Fitting et al. (1954) & Ryan (1986) diacu dalam
Ronoprawiro (1989), bahwa talus lumut kerak memiliki pertumbuhan yang pada
umumnya sangat lambat, hanya kurang dari 1 cm dalam setahun dan tubuh buah
fungi baru dapat terbentuk setelah bertahun-tahun. Adanya perbedaan antara luas talus lumut kerak pada batang pohon dengan
letak dan jarak tempat tumbuh yang berbeda selain karena adanya pengaruh
sumber polutan pada kawasan industri dan arboretum Cibubur diduga juga
disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti tingkat kelembaban udara, umur pohon,
dan jenis tanaman sebagai substrat.
Pada kawasan industri Pulo Gadung, Spesies I merupakan spesies yang
memliki penyebaran talus yang relatif lebih sering dijumpai dibanding dengan jenis
lainnya yang berada pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung. Hal
tersebut dapat dilihat pada frekuensi perjumpaan talus dan rata-rata luas talus
berturut-turut dari yang terbesar yaitu Spesies I sebesar 24,4 % dengan rata-rata
luas talus 6,489 cm2. Spesies II memiliki frekuensi perjumpaan sebesar 8,89 %
dengan rata-rata luas talus 0,39 cm2 dan Spesies III memiliki frekuensi perjumpaan
sebesar 6,67 % dengan rata-rata luas talus 1,8367 cm2. Pada 5 meter dari titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) jenis lumut
kerak yang ditemukan adalah Spesies III, akan tetapi pada Lampiran 6 dapat dilihat
bahwa rata-rata luas talus Spesies III pada titik pengamatan membelakangi titik
pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 16,52 cm2 , memiliki nilai
yang relatif jauh lebih besar dibanding dengan menghadap titik pengambilan
kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 0,01 cm2 (Tabel 12). Hal tersebut diduga
tejadi karena pengaruh zat pencemar.
Pada jarak 10 meter hanya ditemukan 2 jenis lumut kerak. Spesies I tidak
memiliki perbedaan nilai rata-rata talus talus yang berbeda jauh antara
membelakangi dan menghadap titik pengukuran kualitas udara. Demikian pula
dengan jenis Spesies II memiliki nilai rata-rata luas talus yang relatif lebih besar
pada titik pengamatan yang menghadap jalan raya meskipun tidak terlalu berbeda
jauh.
Pada jarak 25 meter, Spesies I memiliki nilai rata-rata luas talus yang relatif
lebih besar pada titik pengamatan yang membelakangi jalan raya yaitu sebesar
5,8412 cm2. Sedangkan Spesies II, memiliki nilai rata-rata luas talus pada titik
pengamatan yang menghadap jalan raya sebesar 0,5412 cm2 dan yang titik
membelakangi jalan raya 0,2235 cm2.
Pada lokasi pengamatan di kawasan industri, nilai rata-rata luas talus lumut
kerak pada jarak 5 m, 10 m, dan 25 m pada masing-masing spesies tidak terlalu
berbeda jauh. Hal tersebut diduga karena dalam kawasan industri yang memiliki
sumber polutan titik dan bergerak (transportasi) akan memberi pengaruh pada
lingkungan sekitar dan tidak hanya memberikan pengaruh pada tanaman yang
berada pada jarak 5 m, 10 m dan 25 m.
Pada arboretum Cibubur, rata-rata luas talus lumut kerak memiliki nilai yang
relatif lebih besar dibanding dengan lokasi lainnya. Hal tersebut diduga karena umur
tanaman yang akan mempengaruhi ukuran keliling batang tanaman sehingga
diduga akan meningkatkan luasan talus lumut kerak. Frekuensi perjumpaan dan rata-rata luas koloni talus lumut kerak berturut-
turut dari yang tertinggi: Spesies II (73,25%) dengan rata-rata luas talus 189,9012
cm2, Spesies VI (63,95%) dengan rata-rata luas talus 100,8860 cm2 dan Spesies VII
(60,46%) dengan rata-rata luas talus 40,1105 cm2.
Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, Spesies IV dan Spesies V
memiliki nilai luas talus yang lebih tinggi pada bagian atau letak batang pohon yang
menghadap jalan. Rata-rata luas koloni talus berturut-turut pada Spesies IV dan
Spesies V, yaitu Spesies IV (395,25 cm2); Spesies V (330,45 cm2) pada bagian
batang yang menghadap titik pengukuran kandungan udara ambien dan Spesies IV
(6,24 cm2); Spesies V (0,62 cm2) pada bagian batang yang membelakangi titik
pengukuran kandungan udara.
Nilai luas talus yang semakin kecil seiring dengan bertambahnya jarak dari
jalan. Hal tersebut terjadi diduga karena faktor substrat, yaitu kulit tanaman
angsana. Kulit batang tanaman tersebut memiliki kemampuan untuk menyerap air
lebih besar bila dibanding dengan jenis tanaman lainnya yang berada pada jarak 10
meter dan 25 meter. Terlihat pada keadaan batang tanaman yang basah dan
dengan kulit yang cukup lunak. Hal tersebut didukung oleh pernyataan berbagai
jenis pohon memiliki sifat kimia dan fisika yang berbeda (LeBlanc & De Sloover,
1970 diacu dalam Lubis, 1996), sebagaimana juga diungkapkan oleh Hale (1983)
diacu dalam Lubis (1996) yang menyatakan bahwa tiap jenis pohon memiliki
kemampuan menyimpan air yang berbeda-beda, sangat tergantung pada porositas
dan tekstur batang. Pada pohon yang memiliki kulit lunak, kapasitas penyimpanan
air lebih dan laju penguapan lebih lambat, bila dibandingkan dengan pohon yang
berkulit keras. Akibat faktor-faktor tersebut, setiap jenis lumut kerak lebih menyukai
jenis-jenis pohon yang kondisinya sesuai untuk pertumbuhannya.
Pada tegakan mahoni Cikabayan, nilai luas talus pada tiap jenis tidak terlalu
berbeda nyata. Hal tersebut diduga karena tempat tumbuh pada tiap letak dan jarak
yang dipilih untuk pengamatan memiliki keadaan yang relatif sama untuk
perkembangan talus. Meskipun rata-rata luas talus pada batang kulit tanaman tidak
sebesar di arboretum Cibubur, namun jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan
lebih bervariasi.
2. Hubungan Karakteristik Lingkungan dengan Pertumbuhan Lumut Kerak
a. Kualitas Udara Ambien
Menurut Soedomo (2001), pengukuran udara ambien dilakukan untuk
mengetahui tingkat pencemaran udara di suatu daerah, dengan mengacu kepada
ketentuan dan peraturan mengenai kualitas udara yang berlaku dan baku mutu
udara yang berlaku. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999, terlihat
bahwa semua parameter masih berada di bawah ambang batas baku mutu
(Lampiran 8). Akan tetapi, pada hasil analisis tiga lokasi tersebut terlihat bahwa
kawasan industri Pulo Gadung memiliki nilai pengukuran yang relatif lebih tinggi
pada semua parameter.
Pencemaran udara tersebut baik berupa gas maupun partikel dapat
menyebabkan kerusakan pada tumbuhan secara fisiologik, termasuk lumut kerak.
Menurut Chamberlain (1986) diacu dalam Karliansyah (1997), masuknya pencemar
tersebut kedalam jaringan tumbuhan sangat tergantung pada karakteristik
tumbuhan tersebut dan sifat pencemar secara alami yang kadang-kadang
dipengaruhi oleh faktor cuaca.
Lumut kerak dapat tumbuh dengan baik pada kondisi udara yang bersih.
Faktor-faktor tersebut diduga akan mempengaruhi fotosintesis lumut kerak, yang
akan dilakukan oleh lapisan alga yang berklorofil. Hale (1983) diacu dalam Lubis
(1996) menyatakan bahwa pertumbuhan lumut kerak ditentukan oleh faktor iklim
(40%) dan substrat (60%). Serta didukung oleh pernyataan Seaward (1977) diacu
dalam Noer (2004) bahwa distribusi lumut kerak dipengaruhi oleh morfologi dan
respon fisiologi lumut kerak terhadap pengaruh kondisi ekstrim, iklim, substrat dan
pencemaran udara.
Menurut Treshow (1989); Jeran et al. (2000) diacu dalam Wijaya (2004),
lumut kerak dapat menyerap seluruh nutrien dalam bentuk berupa endapan basah
ataupun kering dari atmosfer. Fungi dapat menyediakan kebutuhan utama dari
lumut kerak, termasuk tempat jaringan alga berada, menerima air dan melindungi
dari pengaruh lingkungan yang buruk. Hal tersebut didukung oleh keadaan lumut
kerak yang tidak memiliki kutikula atau pelindung, sehingga lumut kerak akan
menyerap semua unsur-unsur termasuk polutan yang berbahaya tanpa adanya
penyeleksian melalui permukaan talus dan diakumulasikan dalam talusnya.
Akumulasi logam-logam tersebut tidak pernah diseksresikan sehingga terus
ditimbun oleh talus lumut kerak. Hal tersebut yang memungkinkan pemakaian lumut
kerak untuk pemantauan pencemaran udara akibat logam-logam yang diemisikan
oleh sumber-sumber pencemar (Kovacs, 1992).
Lumut kerak merupakan simbiosis dari dua organisme. Untuk kelangsungan
hidupnya, salah satu organisme melakukan fotosintesis yaitu alga. Menurut
Soedaryanto et al. (1992), lumut kerak sebagai tumbuhan fotosintetik membutuhkan
CO2 sampai batas tertentu. Jika kadar CO2 telah melampaui batas yang
dibutuhkan, justru akan menurunkan laju fotosintesis. Fotosintesis lumut kerak
dilakukan oleh lapisan alga yang berklorofil dan proses tersebut dipengaruhi oleh
kelembaban udara, sinar matahari, temperatur udara dan karbon dioksida. Jika
faktor-faktor tersebut tidak optimal bagi masing-masing spesies maka fotosintesis
tidak maksimal.
Pada hasil pengukuran kualitas udara ambien, lokasi pengamatan kawasan
industri Pulo Gadung memiliki nilai kandungan SO2 yang relatif lebih tinggi
dibanding lokasi pengamatan lainnya, meskipun relatif tidak terlalu jauh. SO2 dapat
bereaksi dalam tubuh lumut kerak yaitu dapat membuat talus menjadi asam dan
merusak klorofil menjadi phaeophytin, sehingga lumut kerak tidak dapat
melanjutkan proses fotosintesis. Klorofil dapat kembali normal hanya bila pengaruh
SO2 tidak terlalu lama dan lingkungan memungkinkan untuk kembali normal (Cooke,
1977; Hale, 1963). Menurut Connel & Miller (1995) bahwa SO2 dan hujan asam
mempunyai bermacam-macam hubungan timbal balik dengan fisiologi dan biokimia
tanaman (Varshney & Garg, 1979 diacu dalam Connel & Miller, 1995).
Menurut Fardiaz (1992), pengaruh partikel terhadap tanaman antara lain,
dalam bentuk debunya dan jika debu tersebut bergabung dengan uap air atau air
hujan akan membentuk kerak tebal pada permukaan. Lumut kerak corticolous
merupakan lumut kerak yang menjadikan kulit batang pohon sebagai substratnya.
Lapisan kerak tersebut diduga dapat mengganggu proses fotosintesis karena akan
menghambat masuknya sinar matahari dan dapat mencegah pertukaran CO2
dengan atmosfer.
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan lumut kerak. Pencemaran udara sebagai salah satu faktor lingkungan
diduga dapat mempengaruhi iklim mikro suatu tempat. Hal tersebut didukung oleh
pernyataan Soedaryanto et al. (1992), yang menyatakan dengan meningkatnya SO2
dan CO2 di udara akan meningkatkan suhu udara di sekitar lingkungan dan dengan
suhu yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi dan menurunkan laju fotosintesis.
Jika hal tersebut terus menerus berlangsung, akan menyebabkan kematian pada
lumut kerak (Soedaryanto et al., 1992).
b. Suhu dan Kelembaban Udara
Kondisi iklim mikro yang diukur adalah kelembaban dan suhu udara. Hal
tersebut diharapkan menggambarkan kondisi lingkungan sekitar. Pada kawasan
industri memiliki suhu udara rata-rata yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan
dengan lokasi lainnya. Hal tersebut dikarenakan adanya aktivitas industri dan
kurangnya vegetasi penghijauan. Menurut Dahlan (2004), tumbuhan yang tinggi
dan luasan yang cukup akan dapat mengurangi efek pemanasan. Namun, dengan
semakin berkurangnya lahan yang tertutup pepohonan sebagai akibat dari
pembangunan, maka lingkungan kota menjadi semakin panas. Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung, arboretum
Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan berdasarkan hasil pengukuran kelembaban
udara rata-rata diperoleh kelembaban udara sebesar 72%, 86% dan 90%,
sedangkan menurut Noer (2004), menyatakan bahwa lumut kerak menyukai tempat
yang kering dengan kelembaban 40% sampai 69 %. Hal tersebut, menggambarkan
bahwa pertumbuhan dan perkembangan talus lumut kerak pada suatu wilayah tidak
hanya ditentukan oleh faktor kelembaban udara. Pertumbuhan dan perkembangan
talus lumut kerak diduga juga dipengaruhi oleh tingkat pencemaran udara.
Pengukuran suhu udara pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo
Gadung berkisar antara 29,4-31,8 ºC, pada arboretum Cibubur berkisar antara 25,8-
30,0 ºC dan pada tegakan mahoni Cikabayan berkisar antara 24,8-27,8 ºC. Menurut
Lubis (1996); Baron (1999), suhu yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi dan
menurunkan laju fotosintesis. Jika hal tersebut terus berlangsung akan
menyebabkan kematian pada lumut kerak. Pengambilan, penahanan, dan
pengeluaran air merupakan hal yang sangat penting dalam lumut kerak, karena
lumut kerak dapat mengabsorbsi air hujan, air larian, dan air embun sehingga
mampu menciptakan kelembaban yang diperlukan (Landecker, 1996 diacu dalam
Rahmatia, 2003).
c. Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara
Menurut Noer (2004), pada daerah dimana pencemaran telah terjadi, jumlah
jenis yang ada sedikit dan jenis-jenis yang peka sekali akan hilang. Hal tersebut
juga didukung oleh hasil penelitian Soedaryanto et al., (1992) yang menemukan 3
jenis lumut kerak pada daerah yang relatif tercemar dan 7 jenis lumut kerak pada
daerah kontrol di Denpasar, Bali. Cahyono (1987) diacu dalam Herlinda (1990),
menyatakan bahwa lumut kerak dapat dijadikan sebagai tumbuhan indikator untuk
pencemaran udara dari kendaraan bermotor, dimana dengan adanya pencemaran
udara akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan lumut kerak dan penurunan
jumlah jenis dengan beberapa marga yang dapat dijadikan indikator polusi yaitu
Parmelia, Hypogymnia dan Strigula. Menurut Boonpragob (2003) di Thailand,
dengan memilih 20 pohon pada masing-masing lokasi didapatkan pada daerah
yang terpolusi ditemukan 7 jenis lumut kerak yaitu: Buelia punctata, Laurera
bengaulensis, Lecanora paliida, D. picta, Trypethelium tropicum, Graphis liberta,
Cryptothecia sp.
Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung hanya ditemukan 3
jenis lumut kerak, pada arboretum Cibubur ditemukan 6 jenis lumut kerak dan pada
tegakan mahoni Cikabayan sebagai daerah yang diduga memiliki tingkat
pencemaran yang rendah, ditemui 10 jenis lumut kerak (Tabel 13).
Tabel 13. Pengukuran Kualitas Udara dan Jumlah Lumut Kerak yang Ditemukan
Parameter Lokasi Pengamatan
Kawasan industri Pulo Gadung
Arboretum Cibubur
Tegakan mahoni Cikabayan
Debu (μg/Nm3) 61 45 22 Karbon dioksida (CO2) (ppmv)
342 336 325
Nitrogen dioksida (NO2) (μg/Nm3/Jam)
21 15 10
Sulfur dioksida (SO2) (μg/Nm3/Jam)
12 8 6
Jumlah lumut kerak yang ditemukan
3 6 10
Daerah kawasan industri Pulo Gadung memiliki nilai pengukuran kandungan
udara ambien yang konsentrasinya relatif lebih tinggi bila dibanding dengan lokasi
lainnya (Tabel 2; Tabel 13). Hal tersebut dikarenakan pada kawasan industri telah
mengalami perubahan kondisi lingkungan yang diduga karena adanya pencemaran
udara akibat emisi buangan yang berasal dari kegiatan industri dan transportasi
berupa CO2, SO2, NO2, dan debu. Pada kawasan industri, unsur-unsur tersebut
secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan beberapa hal yang
dapat menghambat pertumbuhan maupun keberadaan lumut kerak.
Daerah arboretum Cibubur memiliki kadar kandungan udara ambien yang
sedang pada semua parameter, hal ini dikarenakan lokasi pengamatan merupakan
daerah luas yang cukup untuk konservasi dan menyerap pencemar udara. Keadaan
ini yang memungkinkan terjadinya penurunan kadar kandungan udara ambien
sehingga terukur rendah, walaupun daerah ini terdapat aktivitas transportasi.
Tegakan mahoni Cikabayan memiliki kadar pencemaran yang sangat rendah,
karena daerah ini merupakan daearah dengan pencemaran yang ada hanya
dihasilkan oleh sepeda motor yang tidak terlalu banyak.
Pengaruh kadar masing-masing zat pencemar terhadap talus lumut kerak
secara khusus belum dapat diketahui, akan tetapi diharapkan respon dari kondisi
lingkungan tersebut dapat terlihat dari morfologi talus yang dapat dilihat secara
makroskopik. Pertumbuhan lumut kerak di kawasan industri dan Cibubur tidak
memiliki pertumbuhan sebaik di tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB.
Pertumbuhan lumut kerak diduga akan kurang baik salah satunya apabila
daerahnya telah tercemar.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, Spesies II dapat ditemukan
pada masing-masing lokasi pengamatan. Hal tersebut menggambarkan bahwa jenis
tersebut mampu bertahan hidup pada segala kondisi kualitas udara ambien.
Berdasarkan atas nilai frekuensi perjumpaan Spesies II, berturut-turut mulai dari
yang terbesar adalah lokasi pengamatan arboretum Cibubur, tegakan mahoni
Cikabayan dan kawasan industri Pulo Gadung. Hal tersebut diduga dapat terjadi
karena adanya pengaruh umur tanaman, pada arboretum umur tanaman lebih tua
dibanding dengan tegakan mahoni Cikabayan.
Spesies IV ditemukan pada arboretum Cibubur dan tegakan mahoni
Cikabayan. Dengan nilai frekuensi perjumpaan Spesies IV di arboretum Cibubur
tidak sebesar pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan yaitu sebesar
73,21 %. Pada kawasan industri Pulo Gadung tidak dijumpai lumut kerak dari
kelompok marga Parmelia, sedangkan pada arboretum Cibubur dan tegakan
mahoni Cikabayan dapat ditemukan marga dari kelompok Parmelia meskipun
frekuensi perjumpaan marga ini pada arboretum Cibubur tidak sebesar di tegakan
mahoni Cikabayan.
Pada kawasan industri Pulo Gadung, Spesies III ditemukan dengan nilai
frekuensi perjumpaan yang tidak terlalu tinggi dibanding dengan jenis lumut kerak
lainnya. Menurut Boonpragob (2003), Dirinaria picta dapat ditemukan di daerah
yang tercemar di Thailand.
Pada lokasi pengamatan terlihat bahwa lumut kerak dengan tipe morfologi
talus crustose memiliki frekuensi perjumpaan dan rata-rata luas talus yang relatif
lebih tinggi dibanding dengan tipe foliose. Hal tersebut mengambarkan bahwa tipe
talus crustose mudah tumbuh. Boonpragob (2003) mengatakan bahwa tipe talus
crustose merupakan tipe talus yang paling resisten dibandingkan dengan tipe talus
lainnya. Hal tersebut terjadi karena lumut kerak dengan tipe morfologi talus crustose
terlindung dari potensi kehilangan air dengan bertahan pada substratnya, mengingat
tipe ini memiliki sifat melekat erat pada substratnya dan tipe jaringan talus
homoiomerous, yaitu keadaan dimana phycobiont (alga) berada di sekitar hifa
(Baron, 1999).
Tipe talus foliose memiliki tipe jaringan talus heteromerous, sehingga talus ini
terdiri dari beberapa lapisan. Tipe talus ini dapat memelihara kelembaban, yang
dilakukan pada lapisan medula. Menurut Baron (1999), meskipun lumut kerak tidak
dapat mengendalikan kadar air, seperti tumbuhan tingkat tinggi namun tidak berarti
bahwa tidak ada variasi dalam genus dan spesies lumut kerak yang berbeda dalam
mengabsorbsi dan melepaskan air. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab
yang memungkinkan tipe talus ini mampu hidup dengan kondisi lingkungan yang
berbeda. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Prasetyo & Hastuti
(1992), yang menunjukan hasil penelitiannya terhadap lumut kerak dengan tipe
morfologi talus foliose dapat mengabsorbsi kation-kation logam dengan senyawa
kimia yang berbeda.
Menurut Ahmadjian (1967) diacu dalam Soedaryanto et al. (1992),
mengatakan bahwa pada umumnya lumut kerak tahan terhadap perubahan
temperatur dan kekeringan, tetapi ada juga yang tidak tahan serta terdapat
beberapa jenis lumut kerak yang mampu hidup di daerah industri serta kota besar.
Sehingga jenis lumut kerak yang ada pada kawasan industri Pulo Gadung dengan
kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang merupakan
jenis yang mampu hidup dengan kondisi kandungan polutan relatif memiliki nilai
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi pengamatan lainnya, hal tersebut
dapat dilihat pada hasil pengukuran kualitas udara ambien pada masing-masing
lokasi pengamatan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung ditemukan 3 jenis
lumut kerak (Phaeographis sp., Strigula sp. dan D. cf picta). Pada arboretum
Cibubur ditemukan 6 jenis lumut kerak (Strigula sp., Verrucaria sp.,
Graphidaceae, Heterodermia sp dan P. cf austrosinensis). Pada tegakan mahoni
Cikabayan ditemukan 10 jenis lumut kerak (Graphidaceae, Strigula sp. dan
Verrucaria sp., Phaeographis sp., Parmelia sp. dan Heterodermia sp.).
2. Dari 12 jenis lumut kerak yang ditemukan, 3 jenis lumut kerak belum
teridentifikasi (2 tipe crustose dan 1 tipe foliose).
3. Jumlah lumut kerak yang temukan pada lokasi pengamatan semakin bertambah
dengan nilai kualitas udara ambien yang semakin bersih (kandungan polutan
rendah).
4. Tipe morfologi talus crustose lebih mudah ditemukan dibanding dengan tipe
morfologi foliose. Strigula sp. diduga mampu bertahan hidup pada kondisi
kualitas udara ambien yang ada.
5. D. cf picta hanya ditemukan pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo
Gadung dan Parmelia sp. hanya ditemukan pada lokasi pengamatan tegakan
mahoni Cikabayan.
6. Pada kawasan industri Pulo Gadung, lumut kerak yang ditemukan hanya terdiri
atas satu tipe morfologi talus dalam batang tanaman. Pada arboretum Cibubur
dan tegakan mahoni, tipe morfologi talus yang ditemukan dapat lebih dari satu
tipe morfologi talus. Bentuk talus lumut kerak dipengaruhi oleh faktor substrat
yaitu umur dan jenis tanaman. Heterodermia sp. pada arboretum Cibubur
memiliki warna talus cenderung pucat dibanding dengan warna talus yang
berada di tegakan mahoni.
B. Saran Hal–hal yang harus diperhatian pada penelitian selanjutnya, adalah :
1. Penelitian ini hanya membahas lumut kerak sebagai bioindikator dengan melihat
bentuk fisiknya saja, sehingga salah satunya perlu dilakukan penelitian dengan
melihat kandungan zat pencemar yang diterima oleh lumut kerak.
2. Pengelompokan berdasarkan marga masih sangat terbatas terhadap spesies
yang ditemukan, sehingga diperlukan penelitian selanjutnya untuk melakukan
identifikasi pada beberapa sampel lumut kerak yang belum diketahui.
3. Memperhatikan lokasi penelitian dengan kondisi yang relatif sama, diantaranya
adalah jenis tanaman/substrat, umur tanaman dan kondisi iklim mikro.
4. Kajian lumut kerak sebagai bioindikator perlu diteliti lebih lanjut dengan
memperluas daerah penelitian dan stasiun pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulos, C.J & C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology, Third Edition. John Wiley and sons, Inc. New York.
Ahmadjian, V. 1967. The Lichen Symbiosis. Blaisdell Publishing Company Waltham,
Massachusetts.Toronto-London. Ahmadjian, V & Hale, M.E. 1973. The Lichens. Academic Press, A Subsidiary of
Harcourt Brace Javanovich. New York. Baron, G. 1999. Understanding Lichens. The Richmond Publishing Co.ltd. England.
Boonpragob, K. 2003. Using Lichens as Bioindicator of air pollution. http://www.nfofile.pcd.go.thair31_LichenAcidDep.pdf. [11 Mei 2006].
Cook, R. 1977. The Biology of Simbiotic Fungi. John Wiley and Sons. Chichecter. New York
Connel & Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Koestoer,Y (terj).
Universitas Indonesia. Jakarta . Dahlan, E.N. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City), Bernuasa Hutan Kota.
IPB Press. Bogor. Departemen Kehutanan. 1991. Arboretum Wanawisata Pramuka, Cibubur Jakarta.
Kantor Wilayah Departemen Kehutanan DKI Jakarta. Jakarta. Dharmaputra, O.S; Wydia, A & Nampiah, G. 1989. Penuntun Praktikum Mikologi
Dasar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dobson, F.S. Lichens: An Illustrated Guide to British and Irish Species, Morphology.
http://www.ucmp.berkeley.edu/fungi/lichens/lichenmm.html [30 Agustus 2005]
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. Fink, B. 1961. The Lichen Flora of The United States. Ann Harbor, The University of
Michigan. United State of America. Hale, M.E. 1979. How to Know The Lichens, Second Edition. WCB McGraw-Hill.
Boston. Herlinda, M. 1990. Identifikasi Lumut Kerak dari Gunung Tangkuban Perahu
sebagai Studi Pendahuluan. Skripsi. Departemen Biologi. Fakultas Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Januardania, D. 1995. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Berkembang pada Tegakan Pinus dan Karet di Kampus IPB Darmaga Bogor. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Karliansyah, N.S.W. 1997. Kerusakan Daun Tanaman sebagai Bioindikator Pencemaran Udara (Studi Kasus : Tanaman Peneduh Jalan Angsana dan Mahoni dengan Pencemaran Udara NOX dan SO2). Tesis. PascaSarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Jakarta.
Kovacs, M. 1992. Indicators in Environmental Protection. Ellis Horwood. New York. Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. ANDI. Yogyakarta. Lubis, H. 1996. Tingkat Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) di Kawasan Medan,
Analisa Lumut Kerak. Laporan Penelitian. Jurusan Teknik Mesin. Fakultas Teknik Industri. Institut Teknologi Medan. Medan.
Misra, A & Agrawal, R.P. 1978. Lichens (A Preliminary Text).Oxford & IBH Publishing. India.
Moore, E. 1972. Fundamental of The Fungi, 4th Edition. Landecker Prentince Hall
International Inc. Noer, I.S. 2004. Bioindikator Sebagai Alat Untuk Menengarai Adanya Pencemaran
Udara. Forum Komunikasi Lingkungan III, Kamojang. Bandung. Pandey, S.N & Trivendi, P.S. 1977. A Text Book of Botany (Algae, Fungi, Bacteria,
Hycoplasma, Viruses, Lichens and Elementary Plant Pathology), Volume I. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. No 41 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran Udara. PT. Persero JIEP&PT. NINCEC Multi Dimensi. 2005. Pemantauan Pelaksanaan
RKL dan RPL di Kawasan Industri Pulo Gadung. Laporan akhir. PT. Persero JIEP&PT. NINCEC Multi Dimensi. Jakarta.
Polunin, N. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan beberapa Ilmu Serumpun.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Prasetyo, T.I & Hastuti , U.S. 1992. Lichens sebagai salah satu alternatif dalam
penanggulangan polusi logam berat. Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA IKIP Malang. Makalah disajikan pada pertemuan ilmiah tahunan perhimpunan Mikrobiologi Indonesia.Bandung.
Purnomohadi, S. 1995. Peranan Ruang Terbuka Hijau dalam Pengendalian Kualitas
Udara di DKI Jakarta. Disertasi. PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Purvis, W. 2000. Lichens. Smithsonian Institution Press. Washington. D.C.
Rahmatia, D. 2003. Hubungan Mikroklimat dan pH Substrat di Hutan Pinus, Hutan Transisi dan Hutan Campuran Gunung Tangkuban Perahu terhadap Kadar Asam Usnat Lumut kerak Usnea. Skripsi. Departemen Biologi. Fakultas Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Ryadi, S. 1982. Pencemaran Udara. Usaha Nasional. Surabaya. Ronoprawiro, S. 1989. Gulma Lumut dan Lumut Kerak terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Teh (Camellia sinensis.L). Disertasi. Universitas Gajah Mada. Yogjakarta.
Simonson, S. 1996.Lichen and Lichen-Feeding Moths (Arctiidae: Lithosiinae) as Bioindicators of Air Pollution in the Rocky Mountain Front Range. http://www.colostate.edu/Depts/Entomology/courses/en570/papers_1996/simonson.html. [05 Agustus 2005].
Bioindikator Pencemaran Udara di Jalan Pb. Sudirman, Denpasar. Laporan Penelitian. Universitas Udayana. Bali.
Soedomo, M. 1999. Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara. ITB.
Bandung. Suwarso, W.P. 2004. Lichens, Tanaman Suku Rendah yang Berkhasiat sebagai
Obat. http://www.Sinar Harapan.co.id. [30 Agustus 2005]. Tjitrosoepomo, G. 1981. Taksonomi Tumbuhan Schizophyta, Thallophyta,
Bryophyta, Pteridopyta. Bhantara Karya Aksara. Jakarta. Treshow, M. 1989. Plant Stess From Air Pollution. John Wiley & Sons Ltd. Britain.
Inggris.
Trisusanti, D. 2003. Inventarisasi Liken Krustos Lirela Asal Jawa Barat dan Pengenalan Bentuk Kristalnya. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wijaya, L.F. 2004. Biomonitoring Beberapa Kandungan Logam Mempergunakan
Parmelia wallichiana Tayl di Wilayah Muntakul Buruz Bandung. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjajaran. Bandung.
Lampiran 1a. Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung
LanjutanLokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahB1 5 1 Angsana 0 0 0 20,3 56,1 229,1 34,1 0 0 0 0 0 339,6
Jumlah 219,4 244,8 281,9Rata-rata 24,3778 27,2 31,3222
72
LanjutanLokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahB2 5 1 Saga 0 61,2 0 301,4 0 1563,7 138 0 0 0 0 0 2064,3
Jumlah 895,2 54,5 18Rata-rata 127,886 7,78571 2,57143
73
LanjutanLokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahC 5 1 Mahoni 7,1 0 0 9 0 29 0 344,5 69,4 0 0 0 459
Keterangan :A : Kawasan industri Pulo GadungB1 : Arboretum Cibubur IB2: Arboretum Cibubur 2C: Tegakan mahoni Cikabayan JT : Jenis tanaman
75
Lampiran 5b. Rekapitulasi Luas Koloni Lumut Kerak (cm2) pada Bagian Membelakangi Titik PengukuranLOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahA 5 1 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
LanjutanLOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahB1 5 1 Angsana 0 0 0 42,4 14,7 91,1 158,4 0 0 0 0 0 306,6
Jumlah 387,7 526,5 460,5Rata-rata 43,0778 58,5 51,167
78
LanjutanLOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahB 2 5 1 Saga 0 1805,3 0 0 0 323,4 0 0 0 0 0 0 2128,7
Jumlah 1804,7 23,8 113,9Rata-rata 257,814 3,4 16,271
79
LanjutanLOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahC 5 1 Mahoni 1,3 0 0 8,5 0 63,5 7,7 0 0 0 7,2 0 88,2
LanjutanLOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahC 25 1 Mahoni 0 0 0 15 0 4,2 101,1 34,6 105,5 0 0 0 260,4
Keterangan :A : Kawasan industri Pulo GadungB1 : Arboretum Cibubur IB2: Arboretum Cibubur 2C: Tegakan mahoni Cikabayan JT : Jenis tanaman
81
81
Lampiran 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 41 TAHUN 1999 TANGGAL : 26 MEI 1999
BAKU MUTU UDARA AMBIEN NASIONAL
No. Parameter Waktu Pengukuran
Baku Mutu Metode Analisis
Peralatan
1 SO2 1 Jam 900 ug/Nm3 Pararosanilin Spektrofotometer
(Sulfur Dioksida)
24 Jam 365 ug/Nm3
1 Thn 60 ug/Nm3
2 CO 1 Jam 30.000 ug/Nm3 NDIR NDIR Analyzer
(Karbon Monoksida)
24 Jam 10.000 ug/Nm3
1 Thn -
3 NO2 1 Jam 400 ug/Nm3 Saltzman Spektrofotometer
(Nitrogen Dioksida)
24 Jam 150 ug/Nm3
1 Thn 100 ug/Nm3
4 O3 1 Jam 235 ug/Nm3 Chemiluminescent Spektrofotometer
(Oksidan) 1 Thn 50 ug/Nm3
5 HC 3 Jam 160 ug/Nm3 Flame Ionization Gas
(Hidro Karbon) Chromatogarfi
6 PM10 24 Jam 150 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
(Partikel < 10 um )
PM2,5 (*) 24 Jam 65 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
(Partikel < 2,5 um )
1 Thn 15 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
7 TSP 24 Jam 230 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
(Debu) 1 Thn 90 ug/Nm3
82
Lampiran 6 (Lanjutan)
8 Pb 24 Jam 2 ug/Nm3 Gravimetric Hi – Vol
(Timah Hitam) 1 Thn 1 ug/Nm3 Ekstraktif
Pengabuan AAS
9. Dustfall 30 hari
(Debu Jatuh ) 10 Ton/km2/Bulan
(Pemukiman)
Gravimetric Cannister
20 Ton/km2/Bulan
(Industri)
10 Total Fluorides (as F)
24 Jam 3 ug/Nm3 Spesific Ion Impinger atau
90 hari 0,5 ug/Nm3 Electrode Countinous Analyzer
11. Fluor Indeks 30 hari 40 u g/100 cm2 dari kertas limed filter
Colourimetric Limed Filter
Paper
12. Khlorine & 24 Jam 150 ug/Nm3 Spesific Ion Impinger atau
Khlorine Dioksida
Electrode Countinous Analyzer
13. Sulphat Indeks 30 hari 1 mg SO3/100 cm3
Colourimetric Lead
Dari Lead Peroksida
Peroxida Candle
Catatan : Nomor 10 s/d 13 Hanya di berlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar Contoh : - Industri Petro Kimia - Industri Pembuatan Asam Sulfat.