Kajian Kerangka Hukum Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 Maret, 2017 Pernyataan Dokumen ini dimungkinkandengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan Food and Rural Affairs (DEFRA). Isi daridokumen iniadalah pendapat para penulis dari Wildlife Conservation Society Indonesia Program dan tidakmencerminkanpandangan USAID atauPemerintah Amerika Serikat.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Kajian Kerangka Hukum Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa
Liar Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999
Maret, 2017
Pernyataan
Dokumen ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan
Internasional Amerika Serikat (USAID) dan Food and Rural Affairs (DEFRA). Isi dari dokumen
ini adalah pendapat para penulis dari Wildlife Conservation Society Indonesia Program dan
tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
1
DAFTAR ISI
PENULIS ................................................................................................................................... 3
I. PENDAHULUAN ............................................................................................................. 7
Latar Belakang ......................................................................................................................................................... 7
Tujuan dan Pertanyaan Kajian ............................................................................................................................. 8
Pengumpulan Data dan Wawancara ................................................................................................................ 10
II. STRUKTUR KERANGKA HUKUM PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA
LIAR DI INDONESIA ............................................................................................................ 10
Dasar Hukum Bagi Peraturan Pemerintah Tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar ............ 11
Aturan Turunan .................................................................................................................................................... 13
Ratifikasi Konvensi Internasional ...................................................................................................................... 18
III. MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH PEMANFAATAN TUMBUHAN
DAN SATWA LIAR ............................................................................................................... 21
Lingkup Muatan Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 dan Kesesuaian Normanya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 .................... 21
Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan ..................................................................................................... 25
Perdagangan ........................................................................................................................................................... 29
Budidaya Tanaman dan Obat-Obatan .............................................................................................................. 32
Pemeliharaan Untuk Kesenangan ..................................................................................................................... 32
IV. PENYELENGGARAAN URUSAN PEMANFAATAN KEANEKARAGAMAN
HAYATI OLEH PEMERINTAH ............................................................................................ 33
Penetapan daftar klasifikasi tumbuhan dan satwa liar .................................................................................. 34
Penetapan kuota maupun pembatasan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar ..................................... 37
Penyelenggaraan perizinanan dalam pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar .......................................... 41
Izin terkait pengambilan atau penangkapan................................................................................................ 44
Izin terkait pemanfaatan ................................................................................................................................. 47
Pelaksanaan tata usaha dan pengendalian peredaran dalam pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar 55
Pembinaan, pengawasan, pengendalian dan penegakan hukum terkait pemanfaatan tumbuhan dan
3. Penguatan prosedur pengambilan keputusan dan kriteria terkait perizinan pemanfaatan TSL.
4. Penyusunan kriteria-kriteria untuk peraturan yang terkait dengan pembinaan, pengawasan,
pengendalian dan penegakkan hukum.
5. Penguatan dan pengaturan strategi penegakan hukum yang sesuai dengan tujuan pelestarian
dalam pemanfaatan TSL.
7
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Sebagai salah satu dari 10 negara dengan mega-keanekaragaman hayati dan penyedia produk
tumbuhan dan satwa liar di Asia, baik legal maupun ilegal, Indonesia memiliki beragam kerangka
hukum yang mengatur pemanfaatan keanekaragaman hayati. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
beserta turunannya, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan
dan Satwa Liar, telah berlaku selama hampir dua dekade untuk memberikan dasar hukum bagi
pengelolaan dan pengendalian dalam pemanfaatan sumber daya hayati. Kerangka tersebut mengatur
pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia, mulai dari penentuan kuota pemanfaatan, perizinan,
hingga penegakan hukum, dengan berbagai perkembangan seiring dengan kesadaran global atas
pentingnya perlindungan sumber daya hayati dan ekosistemnya. Indonesia juga memiliki kerangka
hukum lain seperti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur
pentingnya konservasi dan perlindungan tumbuhan dan satwa liar yang berada di dalam kawasan
hutan. Sementara itu, terkait biota kelautan dan perikanan, pemerintah mengaturnya dalam Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009. Pemerintah Indonesia juga terlibat secara aktif dalam upaya
perlindungan keanekaragaman hayati dalam perdagangan internasional yaitu dengan meratifikasi
Konvensi Untuk Perdagangan Internasional terhadap Spesies Tumbuhan dan Satwa Liar yang
Terancam Punah (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) tahun 1978.
Bagi masyarakat Indonesia, pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar memiliki nilai yang sangat penting
dalam berbagai sendi kehidupan. Selain perdagangan produk hasil hayati, spesies liar juga menjadi
sumber protein utama khususnya bagi masyakat yang tinggal di sekitar hutan (Meijaard dkk. 2006).
Selain itu, beberapa spesies bahkan dimanfaatkan untuk kebutuhan ritual dan kebudayaan, seperti bulu
cendrawasih, kulit musang dan bulu rangkong (Pattiselano 20041; Schiller 20072), dan sebagai sumber
pengobatan. Tingginya kebutuhan terhadap tumbuhan dan satwa liar tidak hanya terjadi di Indonesia,
tetapi juga berdasarkan permintaan pasar global, hal ini mendorong peningkatan upaya pemanfaatan
khususnya penangkaran maupun perdagangan. Menurut data Statistik Direktorat Jenderal KSDAE
2015, tercatat peningkatan jumlah penangkaran, hingga saat ini terdaftar setidaknya 999 unit.
Kemudian perdagangan ekspor TSL menghasilkan nilai perkiraan devisa mencapai 4,56 trilyun rupiah3.
Perkembangan bentuk dan kebutuhan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, termasuk juga
kesadaran untuk memperkuat pengelolaan dan pengendaliannya tidak lagi dapat diakomodasi oleh
norma-norma aturan yang ada saat ini. Dalam pelaksanaannya saat ini, pengelolaan tumbuhan dan
satwa liar menghadapi berbagai kendala, baik yang terkait penyenggaraan administrasi oleh
pemerintah seperti koordinasi antarlembaga dan tata niaga lintas negara, dan strategi penegakan
hukum4, maupun yang terkait dengan celah hukum seperti pemanfaatan tumbuhan di luar wilayah
habitat konservasi5. Kelemahan-kelemahan tersebut menjadi penyebab terjadinya kendala dalam
pengelolaan sumber daya hayati, hingga berdampak pada degradasi keanekaragaman tumbuhan dan
satwa liar Indonesia yang tidak terkendali.
1 Freddy Pattiselanno, Wildlife Utilization and Food Security in West Papua, 2004, Indonesia, SEARCA
Agriculture and Development Seminar Series. 2 Anne Schiller, Activism and Identities in an East Kalimantan Dayak Organization, 2007, The Journal of Asian Studies 66(1): 63-95. 3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Statistik Direktorat Jenderal KSDAE Tahun 2015, 2015, hal.
44. 4 Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, ‘Pemanfaatan Tumbuhan Dan Satwa Liar’, dalam
Refleksi Pelaksanaan Tugas Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004, hal. 4. 5 Erik Meijaard dkk, Life after Logging, 2005, hal. 39.
8
Hal ini dapat dilihat dari total kerugian ekonomi yang berasal dari perdagangan tumbuhan dan satwa
ilegal yang sebanding dengan kerugian ekonomi akibat perdagangan kayu ilegal yaitu mencapai 1
milyar dolar per tahunnya atau setara dengan 13 triliun rupiah, yang kemudian harus dikompensasi
dengan berbagai bentuk kerugian termasuk lingkungan hidup dan beban sosial yang besar.
Perdagangan ilegal mengancam kehidupan beragam spesies di Indonesia, empat terbesar di antaranya
adalah badak sumatera, harimau sumatera, gajah sumatera, dan trenggiling biasa. Selain menjadi
eksportir, Indonesia juga menjadi negara transit bagi perdagangan ilegal bagi berbagai tumbuhan dan
satwa liar, khususnya untuk gading afrika (CITES, 2013). Situasi ini mendorong pemerintah Indonesia
untuk memperbaiki kondisi pengelolaan tumbuhan dan satwa liar dan memastikan penegakan hukum
berjalan efektif, termasuk melalui evaluasi terhadap kerangka regulasi yang ada saat ini.
Sejak tahun 2015, pemerintah memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 ke dalam
prioritas legislasi nasional yang akan mengubah pelaksanaan pengelolaan sumber daya hayati.
Momentum tersebut menjadi dasar untuk mengkaji ulang beragam aturan organis yang mendasarkan
pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, termasuk di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999. Berkaitan dengan hal tersebut, kajian
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk memperkuat kerangka hukum dalam pemanfaatan
tumbuhan satwa liar di Indonesia secara lestari, termasuk mengantisipasi perubahan kebijakan yang
terjadi pasca revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990.
Sementara itu, perkembangan kebijakan hukum terkait lainnya, seperti berbagai putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun terbitnya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang akan berpengaruh terhadap penyelenggaraan pengelolaan sumber daya hayati. Rencana
amandemen atau revisi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga menambah daftar catatan
penting untuk meninjau kembali kerangka hukum mengenai pengelolaan keanekaragaman hayati.
Berbekal latar belakang tersebut, evaluasi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999
perlu diutamakan untuk dapat mencari kembali bentuk atau kerangka hukum yang lebih baik dalam
hal pengelolaan dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar di Indonesia.
Tujuan dan Pertanyaan Kajian Kajian ini bertujuan untuk menguji efektivitas peraturan di bidang pemanfaatan tumbuhan dan satwa
liar dengan cara mencermati titik kritis dalam pengaturan dan pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1999 dalam hal administrasi pemanfaatan dan keberlanjutan tumbuhan dan satwa
liar. Kelemahan regulasi yang ditemukan dalam kajian ini menjadi pijakan dalam merumuskan berbagai
rekomendasi. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, beberapa perangkat pertanyaan penting
diajukan untuk menemukan kelemahan regulasi dalam pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar,
termasuk:
Pertama, bagaimana kerangka hukum dan kondisi pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar di Indonesia?
Dalam perangkat pertanyaan tersebut, termasuk juga beberapa pertanyaan lainnya:
▪ Bentuk dan cakupan pemanfaatan apa saja yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 1999 dan bagaimana pelaksanaannya?
▪ Apa saja kelemahan dan celah regulasi yang menyebabkan pelaksanaan terhadap urusan
pemanfaatan TSL tidak berjalan efektif, baik yang disebabkan oleh regulasi itu sendiri maupun
karena ketiadaan normanya?
Kedua, bagaimana penyelenggaraan urusan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang dilaksanakan
oleh pemerintah dan pengaturannya? Dalam lingkup pertanyaan tersebut termasuk di antaranya
pertanyaan lainnya, yaitu:
▪ Apa saja peran pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar?
9
▪ Bagaimana hubungan kerja dan pembagian peran antarlembaga maupun antara pusat dan
daerah dalam pelaksanaan penyelenggaraan urusan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar?
▪ Bagaimana kebijakan penegakan hukum dalam pengendalian pemanfaatan tumbuhan dan satwa
liar dilaksanakan?
Ketiga, bagaimana perubahan kerangka hukum yang ada terkait dengan penyelenggaraan urusan
sumber daya alam secara keseluruhan maupun dalam kerangka hukum internasional dan dampaknya
terhadap pemanfaatan keanekaragaman hayati?
▪ Perubahan apa yang terjadi di dalam peraturan perundang-undangan yang terkait baik nasional
maupun internasional yang memiliki dampak terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1999?
Metodologi Penelitian evaluatif ini secara umum akan memverifikasi penerapan norma-norma Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999, kemudian menguji apakah penerapannya telah sesuai dengan
tujuan yang diharapkan. Dalam konteks ini dilihat kemampuan norma dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1999 sebagai dasar hukum yang efektif untuk pengelolaan pemanfaatan tumbuhan
dan satwa liar.
Pengujian reliabilitas norma-norma yang ada dalam peraturan tersebut dilaksanakan dengan tiga
ukuran, yaitu: kejelasan rumusan, validitas formalnya, dan kapasitas kelembagaan untuk menjalankan
aturan6. Aspek akurasi memastikan norma yang ada diatur dengan cakupan, gramatikal, dan
konsistensi yang presisi sehingga memberikan kepastian kepada pelaksanaan hukumnya, sementara
aspek kelembagaan memeriksa cakupan kewenangan dan kapasitas yang memadai untuk
melaksanakan norma tersebut.
Regulasi Kriteria
Kejelasan rumusan Cakupan, transparansi, akses
Indeterminasi
Interpretasi, konsistensi
Kongruensi
Validitas formal Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan muatan
Kelembagaan Cakupan kewenangan dan ketepatannya
Kapasitas kelembagaan
Tabel 1. Ukuran Kehandalan Pengaturan
Keandalan regulasi tidak hanya berkaitan dengan validitas norma tersebut dalam struktur peraturan
perundang-undangan, koherensi dan akurasi pengaturan, maupun kelembagaan dan cakupan
kewenangan secara internal, tetapi juga perlu dilihat dalam beragam lingkup arena hukum secara
vertikal, horizontal, diagonal, baik itu secara internal, eksternal, maupun kekuasaan politik serta aktor
informal yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, elemen-elemen regulasi yang ada dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 juga perlu diperiksa dalam kaitannya dengan berbagai area
6 Morgan dan Yeung, hal. 176. Lihat juga azas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 5
UU 12/2011 yaitu: 1) kejelasan tujuan, 2) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, 3) kesesuaian antara
jenis, hierarki dan materi muatan, 4) dapat dilaksanakan, 5) kedayagunaan dan kehasilgunaan, 6) kejelasan
rumusan, dan 7) keterbukaan.
10
kerangka hukum. Setiap peraturan tidak hanya menjadi bagian konsensus terhadap momen teknis
yang diatur, tetapi juga konsep maupun agenda politik dan filosofis yang dianut oleh pembentuk
undang-undang.
Elemen Regulasi Pelaksanaan
Administrasi
Kerangka Hukum
Internal
Lingkup Politik
Hukum Eksternal
Definisi dan cakupan Norma yang bertentangan
Pihak dan kewenangan
Tata usaha atau
pengaturan prosedur
Kerangka tujuan hukum
dan pemenuhan prinsip
Tujuan dan prinsip yang bertentangan
Tabel 2. Analisis Kesenjangan Regulasi
Pengumpulan Data dan Wawancara Proses pengumpulan data untuk proses analisis mencakup tiga hal, yaitu: 1) kondisi pemanfaatan
tumbuhan dan satwa liar; 2) pelaksanaan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, termasuk tata usaha
yang dilaksanakan pemerintah, pengaturan kewenangan, serta hubungan antarlembaga; 3) cakupan dan
konten norma yang menjadi kerangka hukum dalam pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. Ketiga
jenis data tersebut dikumpulkan dengan metode pengumpulan beragam termasuk wawancara, studi
literatur, dan pengumpulan data sekunder berupa sumber-sumber hukum yang terkait. Wawancara
akan dilakukan baik secara langsung, maupun melalui konfirmasi terfokus dalam sebuah diskusi
bersama para pemangku kepentingan.
II. STRUKTUR KERANGKA HUKUM PEMANFAATAN
TUMBUHAN DAN SATWA LIAR DI INDONESIA
Poin Utama Terkait Kerangka Hukum Pemanfaatan Tumbuhan Dan Satwa Liar Di
Indonesia
1. Meski UU 5/1990 mengatur mengenai pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, norma yang
tegas mengenai pemanfaatan dan kelembagaannya baru hadir pasca terbitnya PP 8/1999.
2. Kerangka hukum pemanfaatan TSL tidak hanya ditentukan oleh PP 8/1999, tetapi juga aturan
lain di luar payungnya UU 5/1990 maupun hukum Internasional yang diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia, seperti CITES dan CBD.
3. Secara materil, pengaturan pemanfaatan TSL lebih dominan dilakukan melalui aturan turunan
di tingkat kementerian, sehingga memberikan beban dan kerentanan di tingkat kementerian
untuk menjadi pelaksana sekaligus pengatur terkait pemanfaatan TSL. Hal ini juga
mempengaruhi efektivitas dalam koordinasi antar kelembagaan dalam pelaksanaan
Dasar Hukum Bagi Peraturan Pemerintah Tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa
Liar Pengaturan khusus tentang pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar utamanya diatur dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya7. Undang-
undang ini berfungsi sebagai dasar hukum bagi pengelolaan seluruh jenis tumbuhan dan satwa liar,
baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi, dengan cara yang lestari8. Pemanfaatan tumbuhan dan
satwa liar yang lestari dapat dicapai dengan memerhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan
keanekaragaman jenisnya. Norma dasar tersebut menjadi acuan bagi aturan turunan undang-undang
untuk mengatur pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.
Melalui terbitnya UU 5/1990, sumber daya hayati khususnya dalam politik hukum konservasi menjadi
salah satu bidang yang dilakukan penyelenggaraan urusannya oleh pemerintah. Namun,
penyelenggaraan urusan perihal pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, baru dapat dikatakan memiliki
pijakan kelembagaan setelah penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999. Kemudian
penguatannya dilakukan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.447/KPTS-II/2003 tentang
Tata Usaha Pengambilan Atau Penangkapan Dan Peredaran Tumbuhan Dan Satwa Liar (Kepmenhut
447/2003). Sebelum berlakunya PP 8/1999 dan turunannya Kepmenhut 447/2003, administrasi yang
diselenggarakan pemerintah belum pernah secara spesifik diatur. Kerangka hukum untuk kelembagaan
dalam perizinan dan instrumen administrasi yang menyertainya baru terbentuk pasca PP 8/1999 dan
khususnya aturan turunannya yang kemudian direvisi oleh Kepmenhut 447/20039.
Sebagaimana mandat Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pemanfaatan tumbuhan
dan satwa liar diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 memberikan
norma terhadap bentuk-bentuk pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar secara lestari sekaligus juga
bentuk penyelenggaraan yang dilakukan oleh pemerintah – termasuk penegakan hukumnya. Selain itu,
norma Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 juga mengatur berbagai arahan untuk
membentuk aturan turunan sebagai penjabaran mekanisme maupun kriteria guna menjalankan norma
yang ada di dalam peraturan pemerintah ini. Hampir seluruh norma mengenai pemanfaatan TSL diatur
di dalam PP 8/1999 dan turuanannya. Kecuali terkait dengan perburuan yang diatur khusus melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru (PP 13/1994).
Seperti disebutkan sebelumnya, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 adalah norma organis
dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Hal ini berarti bahwa peraturan ini secara tegas memang
dimandatkan oleh undang-undang dengan tujuan untuk mengatur lebih lanjut ketentuan atau norma
yang ada di dalam undang-undang. Hubungan ini juga terlihat dari konsideran Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1999 yang menyebutkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan arah kebijakan
hukum di dalamnya untuk mengatur pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar agar memerhatikan
kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis. Dengan posisi demikian, keberadaan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tidak hanya sebagai pendetailan undang-undang
mengenai pemanfaatan tetapi juga bahwa norma yang diatur didalamnya terikat pada undang-undang
di atasnya sebagai meta norma yang harus dirujuk. Hal ini juga berarti apabila terjadi perubahan
7 Indonesia. Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU No. 5 Tahun
1990. LN Tahun 1990 No. 49. Selanjutnya disebut UU 5/1990. 8 Lihat Pasal 5, UU 5/1990. 9 Sebelum terbitnya Kepmenhut 447/2003, aturan mengenai penangkapn dan peredaran diatur di dalam
berbagai aturan yaitu: 1) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 62/Kpts-II/1998 tentang Tata Usaha Peredaran
Tumbuhan dan Satwa Liar; 2) Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 460/Kpts-II/1998 tentang
Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No. 62/Kpts-II/1998 tentang Tata Usaha Peredaran Tumbuhan dan
Satwa Liar; dan 3) Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 104/Kpts-II/2000 tentang Tata Cara
Mengambil Tumbuhan Liar dan Menangkap Satwa Liar.
12
terhadap undang-undang yang menjadi dasar hukumnya, peraturan pemerintah tersebut juga harus
diubah sesuai dengan norma yang mendasarinya.
Hingga saat ini, belum ada perubahan baik di dalam undang-undang maupun norma dalam peraturan
pemerintah tersebut. Namun, cakupan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 masih sangat
mungkin berubah karena keberadaan berbagai undang-undang baru yang mengatur secara khusus
aspek-aspek terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. Beberapa perkembangan yang mungkin
berpengaruh terhadap materi muatan maupun cakupan norma dalam PP 8/1999 di antaranya:
Satu. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menggantikan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan. Pasca berlakunya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, pemanfaatan terhadap tumbuhan dan satwa liar di kawasan
hutan harus berdasarkan izin pejabat yang berwenang10. Namun, undang-undang tidak mengatur
bagaimana perolehan izin tersebut dilakukan. Ketidak jelasan dapat terjadi mengingat Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tidak mengatur bagaimana administrasi terhadap pemanfaatan TSL
di peruntukkan lainnya.
Dua. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Berdasarkan undang-undang ini, sumber daya hayati
perikanan menjadi diatribusikan dalam kewenangan kepada menteri yang mengurusi perikanan.
Undang-undang tersebut mengatur kewenangan menteri dan memastikan pemanfaatan perikanan
dilakukan secara lestari11, termasuk menetapkan rencana pengelolaan perikanan, menetapkan potensi
dan alokasi sumber daya ikan di dalam wilayah pengelolaan perikanan, menetapkan jenis, jumlah,
ukuran alat penangkapan, serta daerah dan jalur penangkapan12. Potensi tumpang tindih rentan untuk
terjadi apabila pengaturan tentang klasifikasi jenis diatur berbeda dan penentuan kewenangan
Otoritas Pengelola CITES.
Tiga. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, upaya konservasi sumber daya
alam didefinisikan sebagai salah satu upaya pemeliharaan lingkungan hidup. Oleh karena itu, berbagai
instrumen untuk pemeliharaan lingkungan hidup kemudian diberlakukan juga terhadap konservasi.
Sebagai contoh, Kajian Lingkungan Hidup Strategis salah satunya harus memerhatikan juga tingkat
ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati13. Dengan demikian seluruh rencana dan program
pembangunan harus melihat kelestarian tumbuhan dan satwa liar. Selain itu, Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 juga memandatkan agar pemerintah bertugas dan berwenang untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan non-hayati, keanekaragaman hayati,
sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik14.
Empat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU 32/2014). Di
dalam undang-undang ini, keharusan untuk menjaga sumber daya hayati di dalam kelautan khususnya
perikanan dipertegas15, namun upaya untuk mencapai kelestarian tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut.
10 Lihat Pasal 50, UU 41/1999. 11 Lihat Pasal 3 huruf i, UU 31/2004. 12 Lihat Pasal 7 huruf a sampai h, UU 31/2004 . 13 Lihat Pasal 16 huruf f, UU 32/2009. 14 Lihat Pasal 63 ayat 1 (i), UU 32/2009. 15 Lihat Pasal 17 ayah 2 (a), UU 32/2014.
13
Bagan 1. Kerangka hukum eksternal terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar
Aturan Turunan PP 8/1999 menginstruksikan penerbitan berbagai aturan turunan untuk melaksanakan norma yang ada
di dalamnya. Setidaknya ada 14 arahan aturan turunan dengan berbagai muatan, mulai dari mekanisme
untuk menetapkan lembaga konservasi, standar penangkaran, hingga administrasi perdagangan
tumbuhan dan satwa liar. Arahan tersebut dapat berbentuk pendetilan pengaturan terhadap bentuk
pemanfaatan tertentu, maupun pendetilan pengaturan kriteria terhadap suatu fungsi pemerintahan
tertentu misalnya perizinan. Dari 14 pasal arahan untuk membentuk aturan turunan bisa dikatakan
telah semuanya terealisasikan (Tabel 3).
Secara umum, materi PP 8/1999 lebih banyak menggantungkan pengaturan rinci dalam aturan
turunannya. Sebagaimana juga akan dibahas pada bagian berikutnya, minimnya pengaturan normatif di
dalam UU 5/1990 dan PP 8/1999 mengenai pemanfaatan TSL, memberikan beban pengaturan kepada
aturan turunan yang diterbitkan oleh Menteri yang membidangi, yang sekaligus juga merupakan
pelaksana dari kegiatan administrasi terhadap pemanfaatan TSL. Posisi yang demikian memiliki
kerentanan, khususnya apabila dikaitkan dengan potensi konflik kepentingan yang terjadi di tingkat
kementerian. Di sisi lain, secara legitimasi, peraturan turunan di tingkat menteri tidak memiliki
nilai legitimasi yang memadai, menimbang secara formil tidak termasuk dalam urutan peraturan
perundang-undangan 16.
No Pasal Materi Perintah Turunan Aturan
1 Pasal 5 Pengkajian, penelitian dan
pengembangan.
Diatur lebih
lanjut oleh
menteri
Kepmenhut
447/Kpts-II/2003
Tata Usaha
Pengambilan Atau
Penangkapan Dan
16 Lihat Pasal 7. Indonesia. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No. 12
Tahun 2011. LN Tahun 2011 No. 82. TLN No. 5234. Selanjutnya disebut UU 12/2011.
UUD 1945
UU 5/1990 Konservasi Sumber Daya Hayati
UU 41/1999 Kehutanan PP 45/2004 jo. PP 60/2009
UU 32/2014 Kelautan
UU 45/2009 jo. UU 31/2004 Perikanan
PP 60/2007
UU 32/2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
14
No Pasal Materi Perintah Turunan Aturan
Penetapan lembaga penelitian
dan/atau lembaga konservasi yang
bertugas mendokumentasikan,
memelihara, dan mengelola hasil
pengkajian, penelitian, dan
pengembangan
Peredaran
Tumbuhan Dan
Satwa Liar
Permenhut
P.31/Menhut-II/2012
Lembaga Konservasi
2 Pasal 8 ayat
(2)
Pengambilan jenis tumbuhan dan
penangkapan satwa liar dari alam
untuk keperluan penangkaran
Diatur lebih
lanjut oleh
menteri
Kepmenhut
447/Kpts-II/2003
Tata Usaha
Pengambilan Atau
Penangkapan Dan
Peredaran
Tumbuhan Dan
Satwa Liar
3 Pasal 9 ayat
(4)
Standar kualifikasi penangkaran Diatur oleh
menteri
Permenhut
P.69/Menhut-II/2013
jo. P.19/Menhut-
II/2005 Penangkaran
Tumbuhan dan Satwa
Liar
4 Pasal 14 ayat
(2)
Sistem dan tata cara penandaan
dan sertifikasi tumbuhan dan
satwa penangkaran
Diatur oleh
menteri
Kepmenhut
355/Kpts-II/2003
Penandaan Spesimen
Tumbuhan dan Satwa
Liar
5 Pasal 15 ayat
(3)
Pengajuan permohonan kegiatan
penangkaran
Kewajiban dalam kegiatan
penangkaran
Diatur lebih
lanjut oleh
menteri
Permenhut
P.69/Menhut-II/2013
jo. P.19/Menhut-
II/2005 Penangkaran
Tumbuhan dan Satwa
Liar
5 Pasal 16 ayat
(2)
Penetapan status purna
penangkaran dan pengembalian
ke habitat alam satwa titipan
negara
Diatur lebih
lanjut dengan
Keputusan
Menteri
Permenhut
P.69/Menhut-II/2013
jo. P.19/Menhut-
II/2005 Penangkaran
Tumbuhan dan Satwa
Liar
6 Pasal 17 (2) Perburuan untuk keperluan olah
raga, perolehan trofi, dan
perburuan tradisional oleh
masyarakat
Diatur dalam
Peraturan
pemerintah
PP 13/1994
Perburuan Satwa
Buru
15
No Pasal Materi Perintah Turunan Aturan
7 Psl. 20 ayat
(2)
Ketentuan pelaksanaan
perdagangan jenis tumbuhan dan
satwa
Diatur lebih
lanjut oleh
menteri
Kepmenhut
447/Kpts-II/2003
Tata Usaha
Pengambilan Atau
Penangkapan Dan
Peredaran
Tumbuhan Dan
Satwa Liar
8 Pasal 23 Perdagangan tumbuhan dan
satwa liar dalam negeri
Diatur lebih
lanjut dengan
keputusan
menteri
Kepmenhut
447/Kpts-II/2003
Tata Usaha
Pengambilan Atau
Penangkapan Dan
Peredaran
Tumbuhan Dan
Satwa Liar
9 Pasal 24 ayat
(3)
Tentang dokumen perdagangan
sebagaimana dimaksud ayat (2)
Diatur lebih
lanjut dengan
keputusan
menteri
Kepmenhut
447/Kpts-II/2003
Tata Usaha
Pengambilan Atau
Penangkapan Dan
Peredaran
Tumbuhan Dan
Satwa Liar
10 Pasal 29 Perolehan dan penggunaan jenis
tumbuhan dan satwa liar yang
dilindungi untuk keperluan
peragaan
Diatur lebih
lanjut dengan
keputusan
menteri
Permenhut
P.40/Menhut-II/2012
jo. Permenhut
P.52/Menhut-II/2006
Peragaan Jenis
Tumbuhan dan Satwa
Liar Dilindungi
11 Pasal 30 ayat
(2)
Standar teknis kesehatan dan
keamanan tumbuhan dan satwa
liar untuk peragaan
Menteri
mengatur
P.31/Menhut-II/2012
Lembaga Konservasi
12 Pasal 36 Budidaya tanaman obat-obatan Diatur dengan
Peraturan
Pemerintah
tersendiri
PP 28/2004
Keamanan, Mutu dan
Gizi Pangan
13 Pasal 39 ayat
(2)
Pengambilan tumbuhan liar dan
penangkapan satwa liar untuk
keperluan pemeliharaan dan
kesenangan
Diatur lebih
lanjut oleh
menteri
Kepmenhut
447/Kpts-II/2003
Tata Usaha
Pengambilan Atau
Penangkapan Dan
Peredaran
16
No Pasal Materi Perintah Turunan Aturan
Tumbuhan Dan
Satwa Liar
14 Pasal 40 ayat
(2)
Ketentuan pelaksanaan mengenai
kewajiban pemeliharaan jenis
tumbuhan dan satwa liar
Diatur lebih
lanjut dengan
Keputusan
Menteri
P.31/Menhut-II/2012
Lembaga Konservasi
Tabel 3. Aturan turunan yang diperintahkan oleh PP 8/1999
Selain memandatkan pembentukan peraturan (regeling), Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999
juga memerintahkan pebentukan ketetapan menteri sebagai turunan pelaksanaannya. Pengaturan
tersebut menggambarkan penyelenggaraan urusan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam
melaksanakan adminsitrasi terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. Dibaca dari ketetapan dan
aturan turunan yang disebutkan dalam PP 8/1999, jika diperhatikan dari materi muatannya, berbagai
kewenangan yang diatur dalam peraturan pemerintah tersebut lebih banyak terpusat pada satu
kementerian, yaitu yang membidangi kehutanan. Mengingat setiap fungsi penyelenggaraan urusan akan
melibatkan berbagai kewenangan pemerintah, tidak hanya satu kementerian, dalam pembentukan
suatu peraturan pemerintah seluruh kementerian akan terlibat, meskipun inisiasinya diusulkan oleh
kementerian atau lembaga yang sesuai dengan bidang tugasnya. Sehingga secara normatif, sebuah
peraturan pemerintah lazimnya dijalankan oleh berbagai kementerian atau lembaga secara bersama-
sama atau terkoordinasi.
17
Bagan 2. Kerangka hukum terkait dengan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dalam lingkup UU 5/1990
Selain kementerian yang membidangi kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999
sebenarnya juga mengatur kewenangan lembaga lainnya, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
untuk berperan dalam hal: 1) memberikan rekomendasi penetapan daftar klasifikasi, kuota
penangkapan dan perdagangan termasuk ekspor, re-ekspor, impor, introduksi dari laut, semua
spesimen tumbuhan dan satwa liar; 2) memonitor izin perdagangan dan realisasi perdagangan, serta
memberikan rekomendasi pembatasan pemberian izin perdagangan tumbuhan dan satwa liar
berdasarkan evaluasi secara biologis; dan 3) bertindak sebagai pihak yang independen memberikan
rekomendasi terhadap konvensi internasional di bidang konservasi tumbuhan dan satwa liar. Akan
tetapi, pengaturan tersebut masih sangat minim untuk mengatur norma dan prosedur untuk
memastikan koordinasi antara berbagai lembaga pemerintah.
Kepmenhut 447/Kpts-II/2003 Tata Usaha Pengambilan Atau Penangkapan Dan Peredaran Tumbuhan Dan Satwa
Liar
Permenhut P.31/Menhut-II/2012 Lembaga Konservasi
Kepmenhut 355/Kpts-II/2003 Penandaan Spesimen Tumbuhan dan
Satwa Liar
Permenhut P. 52/Menhut-II/2005 tentang Peragaan Tumbuhan dan
Satwa Liar Dilindungi
Kepmenhut 284/Menhut-II/2007 tentang Pelimpahan Wewenang
Pemberian Izin Pengambilan dan atauPengangkutan Sampel Berupa Bagian-Bagian Tumbuhan dan atau satwa liar
dan atau hasil daripadanya untukkepentingan Penelitian
PP 13/1994 Perburuan Satwa Buru
Permenhut P.17/Menhut-II/2010 Permohonan, Pemberian, Dan
Pencabutan Izin Pengusahaan Taman Buru
18
No Aturan Muatan Ketetapan
1 Pasal 33 Pembentukan tim penilai keseimbangan konservasi
2 Pasal 38 Batas maksimum jumlah tumbuhan dan satwa liar yang dapat dipelihara untuk
kesenangan
3 Pasal 43 Penetapan daftar klasifikasi tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan
dilindungi
4 Pasal 44 ayat
(1)
Penetapan kuota pengambilan dan penangkapan setiap jenis dan jumlah
tumbuhan dan satwa liar yang dapat diambil atau ditangkap dari alam untuk
setiap kurun waktu 1 (satu) tahun
5 Pasal 44 ayat
(3)
Wilayah habitat pertumbuhan dan populasi tumbuhan dan satwa liar
6 Pasal 47 ayat
(1)
Penetapan kuota setiap jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa liar
yang tidak dilindungi untuk keperluan perdagangan dalam setiap kurun waktu
1 (satu) tahun
Tabel 4. Ketetapan yang diperintahkan oleh PP 8/1999
Ratifikasi Konvensi Internasional Selain yang didasarkan pada aturan dan kepentingan nasional, Indonesia juga mengikuti perkembangan
arah kebijakan yang didasarkan kerangka hukum yang dibangun dalam hubungan internasional.
Keterlibatan Indonesia dalam konvensi terkait dengan pemanfaatan TSL, secara khusus diratifikasi
melalui berbagai peraturan perundang-undangan di nasional. Indonesia sendiri menganut sistem dualis,
sehingga keterlibatan dan penandatanganan pemerintah dalam konvensi internasional tidak serta
merta menjadi kerangka hukum di tingkat nasional. Untuk dapat diresepsi, ketentuan tersebut, tidak
hanya harus diratifikasi, tetapi juga kemudian harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku di tingkat nasional.
Beberapa konvensi yang saat ini telah diratifikasi dan mempengaruhi kebijakan pemanfaatan TSL di
Indonesia, yaitu meliputi:
Satu. Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). CITES
merupakan kesepakatan internasional sebagai tindak lanjut terhadap Rekomendasi Nomor 99.3 yang
dikeluarkan oleh Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972, yang berfungsi
sebagai kerangka hukum internasional untuk mengendalikan perdagangan tumbuhan dan satwa liar
yang terancam punah. Pada saat penandatanganan tersebut, sebanyak 21 negara hadir menyepakati
CITES dan secara legal konvensi tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1975. Indonesia kemudian
meratifikasinya melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978.
UUD 1945
Kepres 43/1978 CITES
UU 5/1994 CBD
UU 21/2004 Cartagena Protocol
UU 11/2013 Nagoya Protocol
19
Secara umum, CITES mengatur mekanisme pengendalian perdagangan tumbuhan dan satwa liar
berdasarkan tingkat keterancaman dan legalitasnya. Untuk itu, CITES juga meminta adanya Otoritas
Pengelolaan dan Otoritas Keilmuan untuk melaksanakan pengendalian perdagangan internasional
tumbuhan dan satwa liar di setiap negara anggota CITES. Melalui konvensi ini, para pihak negara
diwajibkan untuk menggunakan klasifikasi keterancaman yang ada dalam Apendiks CITES untuk
melakukan pengawasan terhadap perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar17, menerbitkan
sertifikat atau izin ekspor dan impor18, mengatur penghukuman dan penyitaan terhadap pelanggaran
dalam pengendalian perdagangan yang diatur CITES19, serta melakukan penatausahaan terhadap
perdagangannya20. Dengan meratifikasi CITES, Indonesia secara resiprokal dapat berperan aktif
untuk turut dan terbantu dalam mengendalikan perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang terancam
punah atau ilegal secara global.
Ratifikasi hukum CITES tidak menyebabkan segala ketentuan yang berlaku dalam CITES secara
otomatis berlaku di Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 memiliki tingkat aturan
yang lebih rendah dibandingkan undang-undang dan peraturan pemerintah, sehingga Keputusan
Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tidak dirujuk dalam dua peraturan tersebut meskipun keduanya
diterbitkan pasca ratifikasi CITES. Di sisi lain, Indonesia juga menganut sistem dualis, sehingga
ketentuan yang ada dalam CITES harus terlebih dahulu diadaptasi dalam sistem hukum Indonesia agar
dapat berlaku secara efektif. Oleh karena itu, secara normatif, keberlakuan CITES dalam sistem
hukum Indonesia harus dilihat dari kesesuaian norma yang ada di dalam CITES dengan sistem hukum
Indonesia.
Di dalam berbagai kerangka hukum, adaptasi CITES dalam sistem hukum Indonesia sebenarnya
beragam. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 sama sekali tidak merujuk atau menyebutkan istilah
yang sama dengan konvensi CITES, bahkan tidak menyinggung mekanisme yang ada dalam CITES
sama sekali. Meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tidak menganut klasifikasi
tumbuhan dan satwa liar yang ada dalam CITES atau merujuk CITES sebagai salah satu sumber
hukum, peraturan ini mengadaptasi mekanisme yang ada di dalam CITES, termasuk kelembagaannya
dalam bentuk penunjukan Otoritas Pengelolaan dan Otoritas Keilmuan. Bentuk ini berbeda dengan
pengaturan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Sumber Daya Ikan
yang secara khusus merujuk Apendik CITES untuk klasifikasi jenis ikan yang dilindungi.
Adaptasi CITES lebih lengkap ditemukan di dalam aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 1999, yaitu Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha
Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar (Kepmenhut 447/2003). Di
dalam aturan tersebut, klasifikasi CITES, mekanisme pengendalian, dan kelembagaannya diadopsi
secara utuh. Oleh karena itu, Kepmenhut 447/2003 tersebut menjadi jembatan antara norma yang
ada dalam sistem hukum Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dengan CITES yang diratifikasi dalam Kepres 43/1978. Kajian
selanjutnya akan menjabarkan lebih lanjut mengenai kesesuaian materi muatan antara CITES dengan
kerangka hukum nasional yang ada didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999.
Dua. Convention on Biological Diversity (CBD). CBD merupakan konvensi di antara negara-
negara di dunia yang diselenggarakan dengan 3 tujuan utama:
1. Konservasi keanekaragaman hayati;
2. Pemanfaatan keanekaragaman hayati dengan cara berkelanjutan; dan
17 Article II, CITES. 18 Article VI, CITES. 19 Article VIII, CITES. 20 Article III, IV, and V, CITES.
20
3. Pembagian manfaat yang adil dan merata dalam pemanfaatan sumber daya genetik.
Awalnya negara-negara di dunia, khususnya dengan dorongan United Nation on Environmental
Program (UNEP) membentuk Ad Hoc Working Group untuk mempersiapkan instrumen hukum
internasional dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati. Hingga kemudian pada tahun
1992 dalam Konferensi Nariobi, para anggota sepakat untuk mengadopsi teks dari konvensi mengenai
keanekaragaman hayati tersebut. Di dalam teks konvensi tersebut diatur berbagai ketentuan guna
memperkuat kerangka hukum dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati. Termasuk
di antaranya, dengan memperhatikan konservasi maupun pemanfaatan hayati berkelanjutan sebagai
bagian dari kerangka hukum nasional21 maupun memberikan insentif terhadap kegiatan konservasi22.
Dalam kerangka hukum Indonesia, konvensi tersebut kemudian diratifikasi melalui Undang Nomor 5
Tahun 199423.
Pasca CBD, konvensi tersebut juga mengadakan berbagai pertemuan selanjutnya untuk menyepakati
beberapa protokol, yaitu Cartagena Protocol dan Nagoya Protocol. Ratifikasi terhadap terhadap
CBD maupun kedua protokolnya dilakukan secara terpisah dalam hukum Indonesia. Ratifikasi
terhadap Protokol Nagoya dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 201324, sementara
untuk Protokol Cartagena dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 200425. Cartagena
Protocol on Biosafety (Protokol Kartagena untuk Keamanan Biologis) merupakan perjanjian
internasional yang ditujukan untuk memastikan keamanan dalam transportasi dan penggunaan dari
organisme hidup dimodifikasi (living modified organism) yang dapat memiliki dampak negatif,
terutama dengan mempertimbangkan juga risikonya terhadap kesehatan manusia. Negara-negara
peserta konvensi pertama kali mengadopsinya pada tanggal 29 Januari 2000 dan efektif berjalan pada
tanggal 11 September 2003. Sementara itu, Nagoya Protocol on Access to Genetic Resource and the
Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising From Their Utilization to the Convention on Biological
Diversity (Protokol Nagoya untuk Akses Terhadap Sumber Daya Genetik dan Bagi Hasil Yang Adil
Dan Merata Terhadap Pemanfaatan Sumber Daya Genetik) berlaku sejak tanggal 12 Oktober 2014
dengan tujuan untuk membangun mekanisme bagi hasil yang adil dalam pemanfaatan sumber daya
genetik26.
21 Article 10, CBD. 22 Article 11, CBD. 23 Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). UU No. 5 Tahun 1994. LN Tahun
1994 No. 41. TLN No. 3556. Selanjutnya disebut UU 5/1994. 24 Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan Nagoya Protocol On Access To Genetic Resources And The Fair And Equitable Sharing Of Benefits Arising From Their Utilization To The Convention On Biological Diversity (Protokol Nagoya Tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik Dan Pembagian Keuntungan Yang Adil Dan Seimbang Yang Timbul Dari Pemanfaatannya Atas Konvensi Keanekaragaman Hayati). UU No. 11 Tahun
2013. LN Tahun 2013 No. 73. TLN No. 5412. Selanjutnya disebut UU 11/2013. 25 Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan Cartagena Protocol On Biosafety To The Convention On Biological Diversity (Protokol Cartagena Tentang Keamanan Hayati Atas Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati). UU No. 21 Tahun 2004. LN Tahun 2004 No. 88. No. TLN No. 4414. Selanjutnya disebut UU 21/2004. 26 Article 1, Nagoya Protocol, CBD.
21
III. MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH
PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Poin Utama Terkait Kerangka Hukum Pemanfaatan Tumbuhan Dan Satwa Liar Di
Indonesia
1. Pengaturan relasi norma antara Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 hanya sebatas cakupan pemanfaatan. Kriteria pemanfaatan
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tidak teriterasi ulang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999.
2. Ketidaklengkapan pengaturan kewenangan dalam PP 8/1999 membuat beban pengaturan
tersebut jatuh ke menteri yang menyelenggarakan urusan pemanfaatan TSL. Beban yang
berlebih tidak hanya berpotensi menyebabkan kerentanan dalam akuntabilitas, tetapi juga
potensi diskresi dalam pengambilan keputusan terkait perizinan.
(a) Pengaturan izin pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap TSL yang tidak
dilindungi hanya ditemukan di dalam Kepmenhut 447/2003, tetapi tidak diatur dalam PP
8/1999.
(b) PP 8/1999 mengatur lembaga konservasi sebagai lembaga yang tidak memerlukan izin
untuk melakukan pemanfaatan peragaan, sementara mengenai lembaga konservasi sendiri
tidak diatur perizinan atau penetapannya di dalam PP 8/1999.
3. Relasi antara norma dalam peraturan yang setara tidak teriterasi dengan baik sehingga rentan
untuk saling tumpang tindih. Misalnya, pengaturan pemanfaatan perburuan antara PP 8/1999
dengan PP 13/1994.
4. Pengaturan norma pemanfaatan tidak memperhatikan bentuk kepentingan atau sifat
komersial dari pemanfaatan itu sendiri.
5. Pengaturan norma pemanfaatan TSL tidak secara konsisten menerangkan sumber TSL yang
dapat digunakan untuk melakukan pemanfaatan TSL tertentu.
Lingkup Muatan Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 dan Kesesuaian Normanya dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1999 Tujuan pengaturan mengenai pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar di dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1990 tercantum di bagian konsideran yang menyatakan bahwa agar pemanfaatan sumber
daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, diperlukan langkah-langkah
konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu
mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri. Dengan tujuan tersebut,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 menjadi dasar hukum yang bersifat umum untuk mengatur
pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. Akan tetapi, apabila dilihat dari ruang lingkupnya, pengaturan
mengenai pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar masih sangat minim, tidak banyak norma yang
menjabarkan lebih lanjut untuk mencapai tujuan tersebut.
Sebagian besar ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tersebut mengatur tentang
cakupan pemanfaatan di Pasal 5, Pasal 26 dan Pasal 36, mengenai kriteria normatif dalam pemanfaatan
yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 36 ayat (1), sementara sisanya mengatur mengenai
perintah adanya aturan turunan terkait dengan pemanfaatan. Dalam pasal-pasal mengenai cakupan
pemanfaatan dijelaskan berbagai bentuk pemanfaatan TSL maupun posisinya tersebut dalam kerangka
konservasi sumber daya hayati. Kemudian, pasal-pasal yang mengatur kriteria menyebutkan norma-
22
norma yang menjadi ukuran dalam pemanfaatan TSL yang lestari, maupun elemen penting yang harus
ada dalam pemanfaatan TSL.
No Pasal Rumusan Keterangan
1 Pasal 5 c. Konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: c.
pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati
dan ekosistemnya.
Cakupan pemanfaatan
2 Pasal 26 b. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: b.
pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Cakupan pemanfaatan
3 Pasal 28 Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan
dengan memerhatikan kelangsungan potensi, daya
dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa liar.
Kriteria pemanfaatan
4 Pasal 36
ayat (1)
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat
dilaksanakan dalam
bentuk: a. pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b. penangkaran; c. perburuan; d. perdagangan; e.
peragaan; f. pertukaran; g. budidaya tanaman obat-
obatan; h. pemeliharaan untuk kesenangan.
Cakupan pemanfaatan
5 Penjelasan
Pasal 36
ayat (1)
Dalam pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar
harus dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan
populasi dengan habitatnya.
Kriteria pemanfaatan
6 Pasal 36
ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Perintah organis
Tabel 5. Muatan norma mengenai pemanfaatan dalam UU 5/1990
Pengaturan mengenai cakupan pemanfaatan diarahkan untuk merumuskan bahwa pemanfaatan
tumbuhan dan satwa liar harus ditempatkan sebagai bagian dari konservasi sumber daya hayati dan
ekosistemnya. Berbagai lingkup pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1990 yang terdiri atas 7 (tujuh) kegiatan termasuk 1) pengkajian, penelitian dan
Bagan 3. Klasifikasi TSL yang dapat diperdagangkan dan tidak dapat diperdagangkan
Meski tidak menjelaskan tata cara untuk menentukan klasifikasi dilindungi, PP 8/1999 mengatur
kriteria untuk jadi bahan pertimbangan dalam penentuan klasifikasi perlindungan TSL. Di dalamnya
tidak disebutkan CITES secara langsung, tetapi perkembangan upaya perlindungan jenis TSL yang
disepakati konvensi internasional menjadi salah satu kriteria pengklasifikasian status dilindungi. Tanpa
mekanismenya, tidak dijelaskan apakah klasifikasi tersebut merujuk pada CITES. Sementara CITES
membagi klasifikasinya berdasarkan jenis keterancamannya, yang kemudian diusulkan dalam
Konferensi Anggota Konvensi untuk kemudian diamandemen ke dalam Apendiks CITES. Jika
dibandingkan dengan pengaturan CITES, dapat terlihat bahwa klasifikasi yang ada dalam Kepmenhut
447/2003 maupun PP 8/1999 tidak terlalu tegas. PP 8/1999 hanya membagi klasifikasi menjadi dua
yaitu yang dapat dan tidak diperdagangkan, sementara CITES mengatur pengendalian terhadap
peredaran atau perdagangannya berdasarkan jenis keterancaman TSL itu sendiri.
Aturan UU 5/1990, PP 8/1999 dan
Kepmenhut 447/2003
CITES
Klasifikasi UU 5/1990 mengatur klasifikasi
tumbuhan satwa liar dilindungi
atau tidak dilindungi.
Dalam PP 8/1999 untuk TSL
yang tidak dilindungi dipilah
lebih khusus menjadi yang
boleh dan tidak boleh
diperdagangkan.
Kepmenhut 447/2003
menggunakan klasifikasi lindung
dan tidak lindung serta CITES.
CITES mengatur klasifikasi
perlindungan ke dalam 3 (tiga)
apendiks. Apendiks I hingga
Apendiks 3.
Kriteria PP 8/1999 mengatur
kriterianya termasuk:
1) Perkembangan upaya
perlindungan jenis TSL
yang disepakati
konvensi internasional
2) Upaya konservasi yang
dilakukan di Indonesia
Kepentingan pemanfaatan jenis
Apendiks I) terancam – larang
ekspor-impor, kecuali non-
komersil secara ketat;
Apendiks II) klasifikasi spesies
yang walaupun saat ini belum
langka, akan tetapi dapat
menjadi langka apabila
perdagangannya tidak
dikendalikan;
Tumbuhan dan satwa liar
DilindungiTidak
dilindungi
Dapat diperdagangkan
Tidak dapat diperdagangkan
36
Aturan UU 5/1990, PP 8/1999 dan
Kepmenhut 447/2003
CITES
Apendiks III) dimintakan untuk
dikontrol melalui CITES karena
kondisi populasi di salah satu
negara terancam
Mekanisme PP 8/1999 tidak mengatur
tatacara penetapan klasifikasi
Kempen 447/2003 tidak
mengatur mekanisme
penentuan klasifikasi.
Diusulkan melalui Konferensi
Anggota Konvensi sebagai
amandemen Apendiks CITES.
Tabel 14. Klasifikasi TSL berdasarkan PP 8/1999 dan CITES
Klasifikasi yang digunakan dalam PP 8/1999 sendiri tidak lagi dipergunakan dalam Kepmenhut
447/2003. Di dalam Kepmenhut 447/2003 klasifikasi TSL dibagi berdasarkan status perlindungannya,
sumber, habitat, maupun posisinya dalam Apendiks CITES yang diatur saling melengkapi dan menjadi
dasar bagi administrasi dan pengendalian terhadap pemanfaatan TSL oleh pemerintah. Ketiadaan
norma dalam PP 8/1999 dan Kepmenhut 447/2003 yang mengatur administrasi pemanfaatan TSL
berdasarkan keterancaman TSL, tidak berarti bahwa aturan a quo tidak memiliki instrumen
pengendalian untuk mencegah pemanfaatan yang berlebih terhadap TSL. Sebagaimana akan dijelaskan
pada bagian berikutnya, setiap pemanfaatan terhadap TSL akan dikendalikan melalui mekanisme kuota
dan berbagai bentuk pembatasan lainnya. Dalam pelaksanaannya, dualisme klasifikasi baik berdasarkan
kepentingan nasional maupun melalui CITES justru membuat konservasi jenis di Indonesia dinilai lebih
kuat. Meski pengaturan dalam PP 8/1999 tidak mengatur apabila TSL dimaksud berasal dari luar
negeri. Tidak ada mekanisme administrasi terhadap TSL yang dibawa dari luar negeri untuk
dimanfaatkan di Indonesia.
CITES Sumber Perlindungan Habitat
Disebutkan dalam
Apendiks CITES
Wilayah Indonesia Dilindungi Habitat alam
Penangkaran
Tidak dilindungi Habitat Alam
Penangkaran
Luar negeri Tidak diatur Tidak diatur
Tidak tercantum
dalam Apendiks CITES
Wilayah Indonesia Dilindungi Habitat alam
Penangkaran
Tidak dilindungi Habitat Alam
Penangkaran
Luar negeri Tidak diatur Tidak diatur
Tabel 15. Klasifikasi TSL berdasarkan sumber spesimen
Dari cakupannya, penentuan klasifikasi dilindungi seharusnya merupakan lingkup yang ditentukan oleh
PP 7/1999 ataupun UU 5/1990. Dengan demikian, PP 8/1999 tidak perlu mengatur kriteria baru
terhadap status perlindungan tersebut. Pengaturan di kedua aturan yang setara tersebut, meski dalam
kurun waktu yang berbeda rentan menimbulkan tumpang tindih. Hal ini terbukti dengan perbedaan
37
kriteria untuk penentuan klasifikasi yang diatur diatur dalam kedua peraturan pemerintah,
sebagaimana dijelaskan dalam tabel di bawah. Perbedaan kriteria ini akan menimbulkan ketidak
pastian dalam penentuan klasifikasi status perlindungan TSL.
Pengaturan PP 7/1999 PP 8/1999
Klasifikasi Perlindungan Klasifikasi dibagi ke dalam spesies
lindung dan non lindung.
Klasifikasi dibagi ke dalam spesies
lindung dan non lindung.
Kriteria Perlindungan Kriteria untuk satwa yang
dilindungi52:
a. Mempunyai populasi yang
kecil
b. Penurunan tajam pada jumlah
individu di alam
c. Daerah penyebaran yang
terbatas
Penetapan daftar klasifikasi53:
memperhatikan:
a. Perkembangan upaya
perlindungan jenis TSL yang
disepakati dalam konvensi
internasional
b. Upaya konservasi yang
dilakukan di Indonesia
c. Kepentingan pemanfaatan jenis
TSL
Tabel 16. Perbedaan kriteria status perlindungan antara PP 7/1999 dan PP 8/1999.
Penetapan kuota maupun pembatasan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar Mengacu pada ketentuan di dalam PP 8/1999, selain menetapkan daftar klasifikasi TSL, pemerintah
juga berkewajiban untuk menetapkan daftar kuota terhadap seluruh pemanfaatan TSL54. Seperti
dijelaskan dalam Pasal 44 dan 47 PP 8/1999, penetapan kuota yang dimaksud termasuk kuota
penangkapan dan pengambilan, serta kuota perdagangan55. Kuota penangkapan dan pengambilan
ditentukan sebagai dasar untuk memenuhi kebutuhan semua bentuk pemanfaatan TSL yang diperoleh
dari alam56. Sementara kuota perdagangan disebutkan untuk memenuhi kebutuhan perdagangan TSL
baik domestik maupun internasional. Prosedur dalam menentukan kuota tidak banyak diatur dalam
PP 8/199957. Secara umum, penetapan kuota dilakukan oleh menteri setelah mendapatkan
rekomendasi dari Otoritas Ilmiah, dengan masa berlaku 1 tahun. Proses dasar pengambilan
kebijakannya58 dan penetapan kuota pengambilan atau penangkapan dilakukan dengan memerhatikan
pertumbuhan populasi TSL dari wilayah habitat yang bersangkutan59. Wilayah habitat spesies tersebut
ditetapkan oleh menteri60 namun tanpa ada penjelasan tata cara penetapan wilayah habitat itu sendiri.
Penjelasan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan dan kriteria kuota diatur dalam Kepmenhut
447/2003. Kuota untuk pengambilan atau penangkapan TSL dari alam ditentukan pada seluruh
klasifikasi TSL, baik yang masuk dalam Apendiks CITES maupun tidak, dilindungi maupun tidak
dilindungi61. Perbedaan menonjol yang dapat ditemukan dalam Kepmenhut 447/2003 yaitu bahwa di
dalam aturan menteri tersebut tidak dikenal istilah kuota perdagangan. Berbeda dengan PP 8/1999,
Kepmenhut 447/2003 menggunakan istilah kuota ekspor. Penggunaan kuota ini namun demikian
sumber daya hayati75. Berdasarkan berbagai pertimbangan dan pembahasan tersebut, Otoritas Ilmiah
menyampaikan rekomendasinya kepada Otoritas Pengelolaan. Selanjutnya menteri menetapkan kuota
berdasarkan hasil rekomendasi Otoritas Ilmiah.
Grafik 2. Jumlah kuota tangkap dan ekspor dari tahun 2010-2015. (Sumber: Dit. KKH).
Rekomendasi diberikan oleh Otoritas Ilmiah dengan mempertimbangkan berbagai sumber informasi,
termasuk76:
1. Data populasi
2. Dokumen realisasi kuota beberapa tahun terakhir
3. Dokumen usulan kuota tahun berjalan dan tahun yang akan datang
4. Literatur dan laporan lainnya
5. Korespondensi dengan otoritas ilmiah dari beberapa negara
Pengumpulan informasi untuk menghasilkan rekomendasi yang obyektif adalah salah satu persoalan
yang utama mengingat minimnya data yang tersedia mengenai TSL77. Wilayah Indonesia yang luas dan
kepulauan serta ragam topografi dan keragaman hayatinya menjadi hambatan untuk mendapatkan
angka populasi yang aktual dan menyeluruh. Selain itu, banyaknya jenis tumbuhan dan satwa liar yang
diusulkan dimanfaatkan tidak sebanding dengan kemampuan untuk menyediakan data bagi jenis dan
tumbuhan yang diperdagangkan. Untuk mengatasi keterbatasan lembaga Otoritas Ilmiah maupun
pemerintah secara umum, Kepmenhut 447/2003 mengatur agar kegiatan inventarisasi dan monitoring
tersebut tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi termasuk juga oleh lembaga akademisi lainnya,
maupun organisasi non pemerintah. Hal ini tidak sepenuhanya bisa berjalan, mengingat begitu luasnya
variasi jenis yang dimanfaatkan. Sementara tidak banyak akademisi yang melakukan inventarisasi
terhadap spesies yang non maskot78. Dengan kondisi tersebut, penentuan kuota yang dilakukan
selama ini belum dapat sepenuhnya didasari atas dukungan data ilmiah yang diharuskan secara
normatif.
Kriteria Kuota Kendala
Didasarkan pada inventarisasi
dan monitoring.
Inventarisasi dan monitoring yang berjalan tidak mungkin
memenuhi kebutuhan penetapan kuota yang ditentukan tiap
tahun.
75 Wawancara dengan narasumber. 76 Wawancara dengan narasumber. 77 Wawancara dengan narasumber. 78 Wawancara dengan narasumber.
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
3500000
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Jatah Tangkap
Jatah Ekspor
40
Kriteria Kuota Kendala
Inventarisasi dan monitoring
dapat dilakukan para pihak
termasuk lembaga akademisi
dengan pedoman dari LIPI.
Metodologi mempengaruhi tingkat keandalan data yang
disediakan. Keandalan belum menjadi indikator dalam
pengambilan keputusan dan rekomendasi.
Data inventarisasi dapat
digantikan dengan data
sekunder.
Data sekunder realibilitasnya tidak sepenuhnya teruji, belum
ada sistem yang informasi kuota atau TSL secara umum yang
dapat menjadi alat validasi data sekunder terhadap TSL.
Tabel 17. Permasalahan dalam sistem penentuan kuota
Kepmenhut 447/2003 memang memberikan ruang untuk melakukan pengambilan informasi
didasarkan pada data sekunder seperti realisasi kuota beberapa tahun terakhir atau pengalaman dan
pengamatan para pakar terhadap spesies yang diusulkan. Data sekunder tersebut tidak selalu bisa
diandalkan, karena beberapa kasus memiliki perbedaan data realisasi pemanfaatan79. Untuk
melengkapi pertimbangan rekomendasi, LIPI juga melakukan pembahasan dengan berbagai pihak,
termasuk BKSDA, Otoritas Pengelolaan, maupun akademisi dan pemerhati hayati lainnya. Selain
melalui berbagai pembahasan, LIPI juga selama ini telah melakukan kerjasama dengan para pemangku
pihak untuk bersama-sama mencari data populasi jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang siginifikan
secara ekonomi (penentuan jenisnya dibantu oleh pihak pengusaha tumbuhan dan satwa) dan
melakukan penelitian bersama-sama (bisa dilakukan di lokasi kerja masing-masing) dengan mengacu
kepada metode penelitian yang dikeluarkan oleh LIPI. Walaupun dalam banyak kasus, apabila data dan
informasi mengenai TSL yang dimanfaatkan sangat terbatas, Otoritas Ilmiah cenderung mengambil
keputusan untuk mengurangi jenis tumbuhan dan satwa liar yang dimanfaatkan80.
Selain dalam bentuk kuota, seperti yang sempat disinggung sebelumnya, pemerintah juga menentukan
batasan perolehan TSL yang berasal dari penangkaran – pengembangbiakkan maupun penetasan
telur81. Pembatasan jumlah hasil penangkaran merupakan jumlah maksimal dan jenis spesimen TSL
yang dapat diambil dari usaha penangkaran. Seperti halnya kuota, pembatasan tersebut diberlakukan
terhadap satwa yang bersumber dari penangkaran baik terhadap satwa yang dilindungi, maupun tidak
dilindungi, masuk dalam CITES maupun tidak tercantum dalam Apendiks CITES. Khusus terhadap
jenis dilindungi dari habitat alam atau generasi pertama penangkaran, sebelum dapat dimanfaatkan
TSL tersebut harus terlebih dahulu ditetapkan sebagai satwa buru. Pembatasan tersebut ditetapkan
bagi setiap unit usaha penangkaran berdasarkan pada kemampuan penangkaran untuk
mengembangkan dan menghasilkan populasi. Data dan informasi mengenai kemampuan penangkaran
tersebut dilaporkan oleh pelaku usaha yang diverifikasi Kepala Balai atau tim penilai independen yang
ditunjuk Direktur Jenderal. Seperti halnya kuota, pembatasan terhadap TSL hasil penangkaran
ditetapkan setahun sekali.
Appendiks
CITES
Kelas Nama Spesies Kuota
Nasional
Realisasi
Kuota
Unit
Appendiks II Reptil Naja sputatrix (daging) 0 9400 pcs
Naja sputatrix (daging) 0 11222 pcs
Ptyas mucosa (daging) 0 3000 kg
79 Wawancara dengan narasumber. 80 Wawancara dengan narasumber. Prinsip ini mengikuti prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang
berlaku dalam lingkup tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam. 81 Lihat Pasal 19, Kepmenhut 447/2003.
41
Appendiks
CITES
Kelas Nama Spesies Kuota
Nasional
Realisasi
Kuota
Unit
Python reticulatus (daging) 0 27000 kg
Crocodylus novaeguineae (daging) 0 350 kg
Crocodylus porosus (horn back) 0 100 pcs
Ptyas mucosa (daging) 0 29450 kg
Python curtus (empedu) 0 110 kg
Tabel 18. Daftar jenis yang memiliki perbedaan jumlah kuota dalam konteks perencanaan dan realisasi. (Sumber: Dit. KKH)
Berbeda dengan yang bersumber dari habitat alam, pemanfaatan terhadap TSL yang bersumber dari
penangkaran tidak melibatkan Otoritas Ilmiah dalam prosesnya. Tidak ada pertimbangan dari Otoritas
Ilmiah yang diperlukan untuk penentuan pembatasan dan tidak ada juga penyampaian informasi
kepada Otoritas Ilmiah terkait TSL yang dihasilkan dari penangkaran dan pembatasannya. Sebagai
catatan, Kepmenhut 447/2003 tidak menjelaskan tata cara verifikasi, yang dapat melemahkan
akuntabilitas dalam pengambilan keputusan pembatasan hasil penangkaran tersebut.
Bagan 5. Tata cara penetapan pembatasan hasil penangkaran
Penyelenggaraan perizinanan dalam pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar Berbagai bentuk pemanfaatan TSL didasarkan pada sistem perizinan yang diatur pada berbagai pasal
dalam PP 8/1999. Meski demikian tidak semua pemanfaatan diatur dengan mekanisme perizinan.
Beberapa pemanfaatan yang diatur dengan mekanisme perizinan misalnya kegiatan pengkajian,
penangkaran, perdagangan maupun pengiriman TSL. Sebagai misal, untuk budidaya tanaman obat,
pemeliharaan, maupun untuk perburuan. Selain itu, untuk beberapa bentuk pemanfaatan, pengaturan
izinnya itu sendiri masih belum diterangkan dengan jelas. Misalnya, terkait dengan dalam hal
perdagangan tersebut dilakukan untuk keperluan pemanfaatan domestik.
Jenis Pemanfaatan Aturan Mengenai Perizinan
Pengkajian, penelitian dan
pengembangan
Izin menteri untuk satwa yang dilindungi
Penangkaran Izin menteri
Perburuan Tidak dijelaskan
Perdagangan Izin menteri untuk ekspor, impor dan re-ekspor
Peragaan Izin menteri untuk peragaan yang dilakukan di luar lembaga
konservasi dan lembaga pendidikan formal
Pertukaran Persetujuan presiden untuk jenis tertentu
Budidaya tanaman obat Tidak diatur
Pemeliharaan untuk kesenangan Tidak diatur
Pelaporan unit usaha
penangkaran
Verifikasi oleh Kepala Balai
atau Direktur Jenderal
Penetapan pembatasan jumlah hasil penangkaran
Izin pemanfaatan
42
Jenis Pemanfaatan Aturan Mengenai Perizinan
Pengiriman Izin pengiriman
Tabel 19. Daftar jenis kegiatan pemanfaatan beserta pengaturan perizinannya menurut PP 8/1999
Alur penyelenggaraan administrasi perizinan dimulai setelah penetapan kuota. Sebelum melakukan
pemanfaatan baik komersil maupun non-komersil, perolehan TSL dari pengambilan atau penangkapan
maupun peredarannya dikendalikan melalui mekanisme perizinan terpisah. Izin untuk pengambilan dan
penangkapan dibedakan berdasarkan klasifikasi pemanfaatan komersil dan non-komersil, sedangkan
izin peredaran dikelompokkan berdasarkan cakupan peredarannya, baik itu domestik maupun
internasional. Khusus peredaran untuk pemanfaatan komersil hanya dapat dilakukan oleh pedagang
atau pengedar yang terdaftar dan diakui82. Sementara itu, penangkapan dan pengambilan yang
komersil hanya dapat dilakukan oleh pengedar dalam negeri83.
Bagan 6. Alur penetapan kuota dan perizinan
Administrasi untuk pengambilan atau penangkapan tersebut dimulai dengan tindakan kepala balai
untuk melakukan penetapan lokasi pengambilan atau penangkapan. Penetapan lokasi dan jumlah
kuotanya merupakan dasar untuk penerbitan izin84. Kepmenhut 447/2003 juga melarang penerbitan
izin di luar dari kuota dan lokasi yang ditetapkan85. Pembagian kuota untuk kepentingan ekspor
dibagikan oleh Direktur Jenderal dengan mempertimbangkan saran dari asosiasi86. Berdasarkan
Kepmenhut 447/2003, proses penetapan lokasi pengambilan atau penangkapan yang dilakukan oleh
kepala balai harus mempertimbangkan status kawasan, kelimpahan populasi, kondisi habitat, rencana
ketentuan lebih lanjut terhadap pasal yang bersifat kumulatif eksternal dengan sanksi pidana,
khususnya untuk TSL yang dilindungi. Pemanfaatan TSL secara ilegal justru tidak saja terjadi terhadap
TSL yang dilindungi, tetapi juga terjadi terhadap TSL yang tidak dilindungi. Dari statistik kejahatan
pemanfaatan TSL ilegal tercatat jumlah yang cukup signifikan terhadap pemanfaatan TSL yang tidak
dilindungi secara ilegal.
Grafik 4. Jumlah denda minimum, maksimum dan rata-rata yang dijatuhkan pada pelaku kejahatan terhadap satwa liar pada tahun 2010-2015. (Sumber: Dit. KKH).
Jenis sanksi administrasi yang diatur dalam PP 8/1999 cukup lengkap. Mulai dari sanksi denda hingga
ke pencabutan, bahkan pembekuan aktivitas usaha. Akan tetapi jumlah dendanya belum
memperhitungkan insentif yang didapat pelanggar hukum pemanfaatan TSL. Sanksi tidak juga
memperhitungkan kerugian akibat pemanfaatan TSL yang melanggar hukum tersebut. Sehingga sering
kali dijatuhkan tidak sebanding dengan beban penegakan hukum itu sendiri apalagi kalau harus
membuat jera pelaku. Selain itu, untuk menghilangkan insentif, jenis sanksi juga dapat dikembangkan
dengan memastikan bahwa pelaku harus melakukan pemulihan atau dengan memasukkan pelaku
dalam daftar hitam pemanfaatan TSL. Dengan demikian pelaku dapat benar-benar kehilangan
insentifnya apabila melakukan pemanfaatan TSL secara terlarang107.
Tabel 27. Jumlah denda minimum, maksimum dan rata-rata yang dijatuhkan pada pelaku kejahatan terhadap satwa liar pada tahun 2010-2015. (Sumber: Dit. KKH).
Dari segi kelembagaan, kelemahan PP 8/1999 yang tidak mengatur tata laksana pengendalian dan
penegakan hukum menyebabkan kerancuan pelaksanaan penegakan hukum – khususnya ketika terjadi
perubahan dalam struktur kelembagaan administrasi. Dalam wawancara dengan narasumber,
perubahan kelembagan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, membuat balai dalam
posisi tidak pasti untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan TSL. Posisi ini sudah
diklarifikasi oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum di KLHK, akan tetapi kerancuan masih tetap
terjadi mengingat mekanisme administratif yang sangat bergantung pada tata laksanananya di dalam
regulasi. Sebagai tambahan, tidak adanya mekanisme sanksi pidana terhadap pelanggaran pemanfaatan
TSL yang tidak dilindungi dalam UU 5/1990, menyebabkan Dirjen Gakkum hanya dapat berpedoman
pada PP 8/1999 khususnya Pasal 64 ayat (2) yang menyamakan perlakuan terhadap TSL yang tidak
dilindungi dengan TSL yang dilindungi yaitu dirampas untuk negara. Sehingga dalam praktiknya Gakum
biasa menyita barang bukti dan melepaskan pelaku108.
Pada tahap penindakan khusus TSL, Gakum biasa berkoordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan.
Model koordinasi ini akan sangat menentukan bagaimana proses penegakan hukum berlangsung.
Proses koordinasi selama ini dilakukan per kasus, yang dilakukan oleh Penyelidik/Penyidik PPNS di
KLHK dengan Bagian Tindak Pidana Tertentu Mabes Polri dan juga dengan Kejaksaan. Proses
koordinasi ini akan memengaruhi tahapan selanjutnya yaitu perihal menghadirkan barang bukti di
persidangan. Peraturan mengenai perlakuan barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana
kehutanan sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutaan No. P.4/Menhut-II/2010
tentang Pengurusan Barang Bukti Tindak Pidana Kehutanan. Namun, Permenhut P.4/2010 tersebut
hanya mengatur perihal penggolongan barang bukti dan perlakuan barang bukti. Penyediaan barang
bukti di persidangan bisa berbeda-beda tergantung pada persyaratan dari jaksa yang berwenang,
dikarenakan belum adanya sistem yang jelas pada model koordinasi antara penegak hukum. Hal ini
rentan menimbulkan masalah di persidangan, misalnya ketidakpastian kewajiban untuk membawa
sitaan ke persidangan atau menunjukkan foto dan keterangan keberadaan satwa, atau barang bukti
satwa yang semula hidup dan setelah dilakukan penyitaan lantas mati karena berbagai alasan109.
Barang bukti satwa yang mati setelah dilakukan penyitaan salah satunya disebabkan karena tidak
diterapkannya mekanisme keberlangsungan TSL seperti yang dikelola oleh lembaga konservasi,
termasuk mekanisme rehabilitasi atau penempatan ulang. Peraturan Menteri Kehutanan P.63/Menhut-
II/2013 tentang Tata Cara Memperoleh Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar untuk Lembaga
Konservasi, mengatur perihal penyerahan TSL hasil perampasan, baik TSL asli Indonesia maupun TSL
108 Ibid 109 ibid.
64
asing. Prosedur penyerahan TSL hasil sitaan atau rampasan ke lembaga konservasi, yang diatur dalam
Permenhut P.63/2013 tidak menjelaskan secara detail kriteria lembaga konservasi yang layak untuk
menerima penyerahan sehingga sepenuhnya menjadi diskresi dari UPT untuk menunjuk lembaga
konservasi. Hal ini perlu diperhatikan karena kenyatannya belum banyak lembaga konservasi yang
dapat dikategorikan memiliki standar yang baik untuk rehabilitasi atau penangkaran.
Contoh Kasus Keterangan
Pembubaran LK Putung
Sewu
Satwanya terpaksa didistribusikan ke berbagai LK.
Pembubaran Kebun
Binatang Blitar
Kasus Kebun Binatang di Blitar, akhirnya harus dibubarkan setelah
beberapa kali upaya pembinaan gagal. Ini pun dilakukan setelah
diadvokasi oleh AI sejak lama.
Pembubaran Taman
Rekreasi Kota Malang
Satwa dilindunginya harus disebar ke berbagai LK lain.
Tabel 28. Contoh kasus penutupan Lembaga Konservasi
Penyebab lain sulitnya menghentikan perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa, termasuk tumbuhan
dan satwa yang masuk ke appendiks CITES, karena rendahnya kapasitas dalam melakukan identifikasi
jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang diperdagangkan, termasuk status perlindungannya. Rendahnya
kesadaran mengenai peraturan perlindungan tumbuhan dan satwa, terutama yang masuk ke dalam
Apendiks I CITES, juga dikhawatirkan akan menyebabkan kepunahan jenis-jenis tersebut.
Satwa Rampasan
Terhadap satwa yang berasal dari hasil kejahatan dirampas untuk negara. Sesuai dengan Pasal 24 UU
No. 5 1990 jo Pasal 64 PP 8/1999. Secara khusus Pasal 24 (2) memerintahkan bahwa TSL yang
dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan ke habitatnya atau
diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali
apabila keadaannya tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.
Perampasan dalam konteks hukum pidana merupakan bentuk pidana tambahan.110 Permenkumham
No. 16 Tahun 2014 mengartikan barang rampasan sebagai benda sitaan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara.
Dalam rangkaian penegakan hukum, sebelum terjadinya perampasan terlebih dahulu melewati tahapan
penyitaan. Penyitaan berdasarkan Pasal 1 angka 6 KUHAP yaitu serangkaian tindakan penyidikan
untuk mengambil alih dana tau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan. Definisi benda seitan kemudian diberikan oleh Permenkumham No. 16
Tahun 2014 yaitu benda yang disita oleh negara untuk keperluan proses peradilan.
UU 5/1990 maupun PP 8/1999 tidak mengatur sama sekali mengenai benda sitaan ini dalam konteks
penegakan hukum atas kejahatan dalam pemanfaatan TSL, sehingga tidak jelas bagaimana perlakuan
terhadap TSL sitaan. Sementara, dalam rangkaian penegakan hukum, sebelum dilakukannya
perampasan harus melewati tahapan penyitaan. Oleh karena itu, dalam proses penyitaan terhadap
hasil kejatahan di bidang TSL ini mengacu pada ketentuan umum yang berlaku di KUHAP maupun
dalam Permenkumham 16 Tahun 2014 dalam hal perlakuan terhadap benda sitaan. Namun, hal ini
dinilai berpotensi menimbulkan persoalan mengingat perlakuan khusus yang dibutuhkan oleh TSL
yang tidak bisa disamakan dengan benda sitaan lainnya.
110 Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
65
Khusus TSL yang berasal dari kawasan konservasi, perlakuan terhadap temuan, sitaan, dan rampasan
dapat mengacu pada Permenhut P.48/Menhut-II/2006 yang telah diubah berdasarkan Permenhu
P.47/Menhut-II/2009. Dalam konteks TSL, permenhut ini hanya mencakup TSL yang berasal dari
hutan konservasi. Tujuan dari permenhut ini sendiri yaitu untuk mengamankan barang bukti dan
menjaga hak-hak negara dari kerugian akibat pencurian, kerusakan, penyusutan, dan penurunan
kualitas karena penyimpanan dalam waktu lama. Terhadap TSL yang berasal dari hutan konservasi
tidak dapat dilelang, termasuk hasil hutan kayu dari hutan lindung. Oleh sebab itu terhadap barang
rampasan maupun benda sitaan tetap mengacu pada ketentuan umum. Sesuai dengan Permenkumham
No. 16/2014 barang rampasan atau benda sitaan itu ditempatkan di rumah penyimpanan111 atau
tempat penyimpanan112.
Terhadap benda sitaan harus disimpan hingga proses perkara di pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Pengelolaan terhadap benda sitaan dilakukan oleh Rubasan melalui kegiatan penyimpanan,
pengamanan, pemeliharaan, dan penyelamatan. Penempatan benda sitaan atau barang rampasan ini
dikategorikan menjadi lima yaitu kategori umum, ditempatkan pada gudang umum, kategori berharga
ditempatkan pada gudang berharga, kategori berbahaya ditempatkan pada gudang berbahaya, kategori
terbuka ditempatkan pada gudang terbuka, dan kategori hewan ternak/tumbuhan ditempatkan pada
gudang hewan ternak/tumbuhan. Berdasakrkan pengkategorian tersebut tidak menyebut kategori
TSL.
Namun, bagi TSL sebagaimana Pasal 24 UU 5/1990 terhadap hasil rampasan harus dikembalikan ke
habitatnya, atau kalau tidak memungkinkan diserahkan ke lembaga konservasi TSL. Namun demikian,
kekosongan hukum justru terjadi pada tahap penyitaan. Walau Permenkumham 16/2014 membuka
ruang untuk menyerahkan benda sitaan kepada instansi yang bertanggungjawab secara yuridis113 pada
tataran implementasi justru tidak ada pengaturan terhadap perlakuan TSL sitaan di otoritas pengelola.
Berkaitan dengan penyerahan TSL ke lembaga konservasi diatur secara khusus dalam Permenhut No.
P.63/Menhut-II/2013. Permenhut ini menggunakan terminologi penyerahan sitaan atau rampasan.114
Namun, dalam penjabarannya justru TSL yang dapat diserahkan ke lembaga konservasi setelah
berkekuatan hukum mengikat. Ada kekeliruan dalam penggunaan terminologi sitaan pada Permenhut
ini, dengan menyamakan sitaan dan rampasan. Oleh sebab itu, dengan adanya permenhut ini justru
terhadap TSL sitaan tidak dapat diserahkan ke lembaga konservasi, karena belum memiliki kekuatan
hukum mengikat. Hal ini, bentuk inkonsistensi dalam pengaturan terhadap perlakuan TSL sitaan.
Mengingat proses penegakan hukum menempuh waktu yang cukup lama, juga menjadi kendala dalam
mengelola TSL sitaan. Apalagi dalam beberapa kali persidangan bukti harus dihadirkan di muka
persidangan. Hal ini oleh aparat penegak hukum disiasati dengan mendokumentasikan TSL sitaan
secara patut, yang kemudian dijadikan bukti dalam persidangan. Sementara terhadap TSL sitaan
dilakukan pengeluaran atau dilepas kembali ke habitat, atau ditempatkan di lembaga konservasi. Yang
menjadi persoalan kemudian ketika TSL dilepas ke habitat alami, ternyata terdakwa terbukti tidak
bersalah berdasarkan putusan pengadilan, dan terhadap benda sitaan harus dikembalikan ini juga akan
menjadi persoalan. Tidak jarang terhadap TSL sitaan yang tetap dipaksakan untuk dipelihara hingga
perkara selesai, justru mati atau musnah sebelum perkara tersebut diputus.
111 Rumah penyimpanan benda sitaan negar yaitu tempat penyimpanan dan pengelolaan benda sitaan dan barang
rampasan negara (Pasal 1 angka 1 Permenkumham 16/2014). 112 Tempat penyimpanan yaitu tempat penyimpanan benda sitaan yang berada di tempat lain yang ditetapkan
oleh Kepala Rupbasan berdasarkan peraturan-perundangang yang berlaku (Pasal 1 angka 2 Permenkumham
16/2014). 113 Lihat Pasal 10 Permenkumham 16/2014. 114 Lihat Pasal 6 huruf a Permenhut P.63/Menhut-II/2013.
66
Terhadap TSL sitaan maupun rampasan ini, perlu adanya penegasan dalam revisi UU 5/1990 sebagai
norma umum, dan pengaturan lebih detail dalam peraturan pemerintah di bidang pemanfaatan. Sebab,
tanpa ada pengaturan yang lebih jelas mengenai prosedur penyiataan dan perampasan TSL, justru
proses pengekan hukum yang bertujuan untuk menyelamatkan TSL tersebut menjadi tidak tercapai.
67
V. PENDEKATAN KEBIJAKAN PELESTARIAN DALAM
PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Poin Utama terkait Kerangka Hukum Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar di
Indonesia
1. Pendekatan kebijakan dalam pelestarian atau konservasi melalui pemanfaatan TSL sangat
bergantung pada model pengaturan-pengendalian, sementara mekanismenya belum diatur
dengan baik dan akuntabilitasnya belum memenuhi prasyarat.
2. Perencanaan dalam kegiatan pemanfaatan TSL, melalui penentuan klasifikasi dan penetapan
kuota serta pembatasan hasil penangkaran sudah dirumuskan untuk mencapai tujuan
pelestarian, namun prosedur pengambilan keputusan dan insentif kelembagaannya belum
terbangun. Di samping itu, pelibatan publik dalam pelaksanaannya sudah dilakukan, akan tetapi
ada beberapa prasyarat yang tidak terpenuhi di antaranya:
a. Akuntabilitas dalam penentuan kuota masih sangat terbatas, terutama karena informasi
mengenai inventarisasi dan pengambilan kebijakan melalui kuota tidak memiliki
pengaturan yang mendorong keterbukaan.
b. Ukuran keberhasilan dari penentuan kuota tidak dirumuskan secara memadai, sehingga
pertanggungjawaban publiknya sulit untuk dipastikan.
3. Pengawasan dan pengendalian dalam pemanfaatan tumbuhan satwa liar pun tidak dirumuskan
dengan arah kebijakan yang dapat secara efektif mendorong kepatuhan seluruh pihak,
termasuk masyarakat, untuk melestarikan TSL secara komprehensif.
a. Rumusan fungsi pemerintah dalam pengawasan dan pengendalian masih sangat terbatas,
dan tidak ada mekanisme yang jelas dalam melaksanakan fungsi tersebut.
b. Ukuran keberhasilan dalam pengawasan maupun pengendalian pemanfaatan TSL belum
memiliki acuan yang memadai.
Berdasarkan uraian yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kerangka
hukum menyediakan berbagai bentuk dan instrumen untuk perlindungan TSL guna memastikan
pemanfaatannya dilakukan secara lestari. Uraian mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1999 dan turunannya, khususnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447 Tahun 2003,
menempatkan kedua aturan tersebut sebagai aturan yang kritis dalam upaya perlindungan dan
pelestarian TSL di Indonesia. Materi normatif yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomo 8
Tahun 1999 dan turunannya menjelaskan bagaimana politik hukum, pendekatan kebijakan, dan
pengaturan kelembagaan yang ada di Indonesia dalam menjamin tercapainya konservasi sumber daya
hayati melalui pemanfaatan TSL secara lestari.
Untuk mencapai politik hukum tersebut, berbagai bentuk penyelenggaraan urusan oleh pemerintah
diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dan turunannya. Di antaranya dengan
melakukan penetapan kuota, mengadministrasi perizinan, dan melakukan pengawasan dan
pengendalian. Salah satu karakteristik yang dominan dalam urusan yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tersebut, yaitu bahwa pendekatan kebijakan dan kelembagaannya
lebih banyak mengarah pada model pengaturan (command and control). Model ini menekankan pada
pentingnya peran pemerintah untuk secara aktif memperkuat kepatuhan masyarakat dan memastikan
tercapainya tujuan politik hukum. Melalui pendekatan tersebut, pemerintah diharuskan membangun
rambu-rambu untuk mencapai tujuan pelestarian dalam pemanfaatan TSL.
68
Model pengaturan tersebut berulang kali dikritisi115, khususnya karena efektivitasnya tidak mudah
diukur dan secara inheren dianggap tidak efisien. Hal ini menyebabkan perkembangan dalam hukum
administrasi terkait perlindungan lingkungan cenderung mengarah pada penggunaan berbagai
pendekatan lainnya, termasuk pendekatan insentif (market oriented) dan pendekatan partisipasi
publik secara luas untuk melengkapi pendekatan pengaturan tersebut. Namun, perkembangan
tersebut tidak serta merta diarusutamakan dalam kerangka hukum di Indonesia, karena berbagai
pengaturan perundang-undangan di sektor sumber daya alam sendiri masih sangat bergantung pada
model command and control terlepas dari berbagai kelemahannya. Bab ini akan menjabarkan secara
ringkas bagaimana pendekatan regulasi tersebut dalam upaya penegakan hukum terkait pemanfaatan
TSL.
Kriteria Perencanaan dan
pembatasan pemanfaatan
Perizinan pemanfaatan dan
peredaran
Pendekatan Model partisipasi publik, melalui
mekanisme penetapan klasifikasi
lindung, kuota, dan pembatasan.
Model pengaturan, melalui
administrasi perizinan dan evaluasi
kinerja perizinan.
Kriteria Keberhasilan Kuota dan pembatasan hasil
penangkaran dapat menyediakan
pembatasan yang deliberatif
terhadap kegiatan pemanfaatan
TSL.
Pemanfaatan dilakukan dengan dasar
kuota, ketaatan terhadap kewajiban,
dan pelaksanaan pelaporan.
Pengawasan Tidak diatur. Pengawasan dilakukan dengan
pemeriksaan silang laporan realisasi
pemegang izin dan pemantauan
berkala di tempat-tempat dilakukan
pengambilan atau penangkapan.
Pengendalian dan
penegakan hukum
Tidak diatur. Larangan terhadap penerbitan izin
melebihi kuota di Kepmenhut
447/2003, mengatur sanksi
administratif bagi pemanfaatan yang
tidak memiliki izin dan tidak
melaksanakan kewajiban.
Koordinasi
kelembagaan
LIPI sebagai Otoritas Keilmuan
dapat berkoordinasi dengan
berbagai lembaga lainnya,
termasuk bekerjasama dengan
lembaga akademik dan non-
pemerintah.
Pengaturan mengenai koordinasi
kelembagaan lebih dominan pada
urusan penerbitan izin, tetapi masih
terbatas dalam hal pengawasan dan
pengendalian.
Tabel 29. Pendekatan kebijakan yang dilakukan untuk masing-masing bentuk pengaturan pemanfaatan TSL.
Perencanaan dan pembatasan pemanfaatan melalui klasifikasi dan penetapan kuota Pembatasan untuk pemanfaatan dalam kerangka hukum pemanfaatan TSL yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1990 dan turunannya, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1999, diarahkan pada pengaturan pembatasan normatif dalam bentuk kriteria jenis yang dapat
dimanfaatkan. Setelah dipilah dalam klasifikasi lindung dan non-lindung yang diperkenalkan melalui
Uundang-undang Nomor 5 Tahun 1990, pembatasan pemanfaatan selanjutnya diatur dengan
penetapan kuota terhadap jenis yang dapat dimanfaatkan-berdasarkan hasil rekomendasi dari
Otoritas Keilmuan. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447 Tahun 2003 mempertegas
pengaturan mengenai kuota, hingga mengatur larangan bagi pemberi izin untuk menerbitkan izin yang
melebihi kuota yang telah ditetapkan. Meskipun demikian, rumusan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 1999 masih bermasalah dalam hal menjelaskan ukuran kriteria keberhasilan terkait
115 Nagara, G. 2017.
69
perencanaan pemanfaatan tersebut. Pengaturan mengenai kuota dan pembatasan hasil penangkaran
belum menyediakan pembatasan yang sesuai dengan tujuan pelestarian TSL.
Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, penentuan klasifikasi lindung dan kuota memerlukan
partisipasi publik. Proses penentuan kuota banyak mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh
akademisi, maupun pertimbangan dari organisasi pemerhati sumber daya hayati. Pemberian
rekomendasi dibahas secara terbuka oleh Otoritas Keilmuan, sehingga memberikan ruang bagi publik
untuk turut menilai, meskipun masih terbatas. Sayangnya, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1999 tidak menjelaskan bagaimana mekanisme untuk menguji penentuan kuota tersebut. Selama ini,
informasi kuota tidak terbuka secara luas, begitu juga dengan dasar pengambilan keputusannya.
Partisipasi public dapat mendorong akuntabilitas, namun model ini belum memadai apabila
pendekatannya tidak memerhatikan insentif dalam urusan tersebut. Pemerintah perlu memerhatikan
bahwa penentuan kuota pada dasarnya berkaitan dengan insentif ekonomi untuk mengusahakan
sumber daya hayati. Tanpa insentif yang jelas untuk melestarikan TSL, kepentingan pengusahaan
cenderung akan bersifat lebih dominan.
Administrasi perizinan pemanfaatan dan peredaran tata usaha tumbuhan dan satwa
liar Berbeda dengan perencanaan atau kuota dalam pemanfaatan TSL, administrasi perizinan pemanfaatan
dan peredaran tata usaha kayu diatur lebih lengkap. Dominasi pendekatan pengaturan terlihat sangat
jelas karena hampir seluruh model pemanfaatan dilakukan dengan dasar perizinan. Sementara itu,
untuk peredaran administrasinya biasanya dikendalikan melalui pengaturan dokumen angkut untuk
beragam bentuk pengedaran. Khususnya di dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447 Tahun
2003, pengaturan mengenai peredaran tersebut juga memerhatikan kerangka hukum dalam CITES
yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Untuk mendorong kepatuhannya, Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 juga mengatur beban pertanggungjawaban terhadap pelanggaran
pemanfaatan yang tidak memiliki dasar perizinan maupun pengangkutan yang tidak memiliki dokumen.
Pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan pemanfaatan dan peredaran TSL tidak banyak diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999116. Pengaturan yang detil terhadap mekanisme
pengawasan tersebut ditemukan dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447 Tahun 2003.
Pengawasan terhadap pemanfaatan izin dilakukan dengan pemeriksaan ulang terhadap laporan
realisasi atau berkala pemegang izin. Seperti dijelaskan dalam
Pasal 88, bahwa pengendalian yang dilakukan bertujuan untuk:
a. Pemanfaatan tidak melebihi kuota yang ditetapkan;
b. Pengambilan atau penangkapan dilakukan pada tempat dan lokasi yang telah ditetapkan;
c. Pengambilan atau penangkapan dilakukan dengan tidak merusak habitat atau populasi di alam.
Di dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447 Tahun 2003, pengawasan terhadap pemanfaatan
yang melebihi kuota diatur dalam Pasal 87. Diterangkan bahwa pengawasan dilakukan salah satunya
dilakukan oleh Balai Konservasi, dengan melakukan pemeriksaan silang terhadap laporan hasil
penangkapan atau pengambilan maupun dengan pemantauan berkala pada tempat-tempat yang biasa
menjadi tempat penangkapan atau pengambilan TSL. Namun demikian, aturan yang ada tidak
menyediakan norma terhadap perlakuan terhadap temuan pasca pengawasan, termasuk jika
ditemukan adanya pelanggaran terhadap kuota yang telah ditetapkan. Selain itu, Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 447 Tahun 2003sendiri mengatur larangan bagi Kepala Balai untuk menerbitkan
izin melebihi kuota, akan tetapi konsekuensi hukum terhadap pelanggaran larangan tersebut tidak
diatur lebih lanjut. Sebagai tambahan, baik Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 maupun
116 Lihat Pasal 48, PP 8/1999
70
aturan turunannya tidak mengatur bagaimana koordinasi kelembagaan yang harus dijalankan untuk
memastikan penerbitan izin atau pemanfaatannya tidak melebihi kuota.
Apabila dilihat dari ancaman pertanggungjawabannya, perlu dicatat bahwa pengawasan dan
pengendalian dalam kegiatan pemanfaatan dan peredaran TSL lebih banyak mengedepankan aspek
formal. Meskipun berbagai kewajiban diatur dalam bentuk-bentuk pemanfaatan, tidak ada mekanisme
pengendalian untuk memastikan kepatuhan kewajiban tersebut. Sebagai misal, tidak ada ancaman
sanksi terhadap kegiatan penangkapan atau pemanfaatan yang menyebabkan kerusakan habitat.
Kelemahan terkait penataan pemanfaatan TSL lainnya adalah pembebanan pertanggungajawaban, baik
melalui pidana maupun administratif, cenderung sangat ringan. Dari tahun ke tahun, sanksi yang
dijatuhkan masih sangat rendah, sementara tidak ada instrumen lain untuk mendorong perilaku yang
mendukung pelestarian TSL, misalnya melalui insentif ekonomi.
Grafik 5. Hukuman pidana yang dijatuhkan pada pelaku kejahatan terhadap TSL pada tahun 2002-2015. (Sumber: Wildlife Crime Unit).
Mengacu pada karakteristik pengaturan pengawasan dan pengendalian serta pertanggungjawaban
hukum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 447 Tahun 2003, dapat disimpulkan bahwa kebijakan penegakan hukum mengenai
pemanfaatan TSL cenderung terfragmentasi. Tulisan ini tidak akan membahas secara rinci perihal hal
tersebut, karena penulis menilai bahwa kebijakan penegakan hukum perlu dikaji lebih lanjut secara
menyeluruh, termasuk di antaranya penguatan terhadap pendekatan kebijakan pelestarian.
42
18
42
3
20
36
18 18
24
18
12
18
30
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 2016
Jum
lah
bu
lan
Tahun
Average
Max
Min
71
VI. ARAH KEBIJAKAN HUKUM SUMBER DAYA ALAM DAN
KORELASINYA DENGAN KERANGKA HUKUM PEMANFAATAN
TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Selain terhadap catatan yang telah dibahas pada bagian-bagian berikutnya, penting agar pembenahan
kebijakan dan pengaturan terhadap kerangka hukum pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar ke
depannya memperhatikan lingkup kerangka hukum secara lebih luas.
Kerangka Hukum di Sektor Kehutanan Berdasarkan UU 41/1999 Keberlakuan UU 41/1999 mengatur beberapa segi normatif yang berkaitan dengan pemanfaatan TSL.
Penegasan pengaturan peruntukkan ruang kawasan hutan menempatkan kawasan konservasi sebagai
ruang yang dipergunakan dengan fungsi untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan serta satwa.
Dari seluruh materi yang ada di dalamnya, UU 41/1999 tidak mengatur secara khusus terhadap
penyelenggaraan urusan terkait dengan tumbuhan dan satwa liar.
Akan tetapi, UU 41/1999 mengatur pembatasan pemanfaatan TSL, di luar dari pembatasan yang telah
diatur dalam UU 5/1990 dan turunannya, termasuk PP 8/1999. Pembatasan tersebut yaitu dengan
mengatur larangan pengambilan dan penangkapan TSL dari dalam kawasan hutan tanpa seizin pejabat
yang berwenang. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai larangan tersebut, kecuali bahwa
pelanggaran pasal tersebut dapat dibebankan pertanggung jawaban pidana berupa penenjara 1 tahun
dan denda 50 juta rupiah.
Pengaturan hal tersebut menjadi signifikan secara faktual mengingat kawasan hutan Indonesia saat ini
meliputi 70% luas daratan Indonesia. Di sisi lain, perlu diperhatikan juga bahwa UU 41/1999 tidak
mengatur administrasi terhadap TSL yang berada dalam kawasan hutan yang dialokasikan untuk
konsesi-konsesi pengusahaan hutan. Hal ini menjadi celah hukum dalam perlindungan TSL yang
berada di dalam kawasan hutan itu sendiri. Walaupun Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan yang direvisi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009
maupun Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 mengatur kewajiban untuk menjaga tumbuhan
dan satwa di dalam konsesi, tidak ada ancaman hukuman terhadap pelanggarannya.
Kerangka Hukum di Sektor Perikanan Berdasarkan UU 45/2009 Terbitnya UU 45/2009 dan aturan pendahulunya UU 31/2004 memberikan dimensi urusan
penyelanggaraan yang khusus dari konservasi sumberdaya hayati yang diatur secara umum melalui UU
5/1990 dan turunannya. Dalam undang-undang tersebut diperkenalkan istilah konservasi sumber daya
ikan yang secara khusus melingkupi sumber daya ikan. Sehingga berlaku menjadi cakupan khusus
ketimbang yang telah diatur sebelumnya dalam UU 5/1990. Dengan UU 45/2009 tersebut kemudian
juga diatur berbagai administrasi penyelenggaraan konservasi di bidang perikanan. Selain itu, di dalam
UU 45/2009 tersebut, cakupan bentuk konservasi justru diatur lebih luas. Konservasi tidak hanya
diatur dalam bentuk pemanfaatan ekosistem dan jenis, tetapi juga pemanfaatan genetik.
72
Cakupan UU 5/1990 UU 45/2009 jo. UU
31/2004
Definisi konservasi Konservasi sumber daya alam hayati adalah
pengelolaan sumber daya alam hayati yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana
untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas keanekaragaman
dan nilainya117.
Sumber daya alam hayati adalah unsur-
unsur hayati di alam yang terdiri dari
sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan
sumber daya alam hewani (satwa) yang
bersama dengan unsur non hayati di
sekitarnya secara keseluruhan membentuk
ekosistem118.
Konservasi Sumber Daya
Ikan adalah upaya
perlindungan, pelestarian,
dan pemanfaatan sumber
daya ikan, termasuk
ekosistem, jenis, dan
genetik untuk menjamin
keberadaan,
ketersediaan, dan
kesinambungannya
dengan tetap memelihara
dan meningkatkan
kualitas nilai dan
keanekaragaman sumber
daya ikan119.
Cakupan konservasi Konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: a.
perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya120.
Pemanfaatan termasuk: a. pemanfaatan
kondisi lingkungan kawasan pelestarian
alam, b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar121.
Konservasi ekosistem,
jenis, dan genetik122.
Tabel 30. Ruang lingkup konservasi dan pemanfaatan yang dimuat pada UU 5/1990 dan UU 31/ 2004
Di tingkat yang lebih peraturan yang lebih rendah, urusan yang diselenggarakan berdasarkan PP
8/1999 dan PP 60/2007 diatur hampir serupa mulai dari penggologan atau klasifikasi jenis ikan, hingga
ke pengawasan, pengendalian dan penegakan hukumnya. Terlepas dari berbagai perbedaan baik istilah,
cakupan maupun kriteria yang diatur di dalam kedua peraturan pemerintah tersebut, secara umum
karakteristiknya serupa. Dengan kedua aturan tersebut, pemerintah harus melakukan pengawasan
dan pengendalian pemanfaatan TSL dan ikan secara khusus di mulai dengan pemilahan klasifikasi jenis
yang dilindungi dan tidak dilindungi. Pengendalian tahap berikutnya dilakukan dengan sistem perizinan
dan tata usaha terhadap peredaran. Termasuk juga diakhir dengan melaksanakan pengawasan dan
menentukan bentuk pertanggungjawabannya apabila subyek hukum melakukan pelanggaran.
Membaca aturan-aturan yang disediakan dalam PP 60/2007, ketentuan yang ada di dalamnya seolah
memberikan kewenangan yang serupa dengan Otoritas Pengelolaan berdasarkan PP8/1999 dan
Kepmenhut 447/2003. Dengan adanya pembagian kewenangan berdasarkan ketentuan di sektor
perikanan tersebut, secara normatif kewenangan kementerian bidang kehutanan sebagai Otorita
Pengelolaan untuk biota perairan dan kelautan menjadi beralih kepada kementerian yang mengurusi
bidang tersebut.
Regulasi Otoritas Keilmuan Otoritas Pengelolaan
PP 7/1999 Tugas Otorita Kelimuan untuk
memberikan pertimbangan kepada
Menteri mengenai perubahan dari jenis
yang dilindungi menjadi jenis yang tidak
dilindungi dan sebaliknya127.
Tidak diatur.
PP 8/1999 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) ditetapkan sebagai Otoritas
Keilmuan (Scientific Authority)128
Otoritas Pengelola (Management
Authority) Konservasi Tumbuhan dan
Satwa Liar adalah Departemen yang
bertanggung jawab di bidang
kehutanan129.
PP 60/2007 Tugas Otoritas Keilmuan untuk
memberikan rekomendasi kepada
Menteri terhadap pemanfaatan jenis
ikan dilindungi dan jenis ikan tidak
dilindungi130.
Otoritas Pengelola (Management
Authority) konservasi sumber daya
ikan adalah Departemen/
Kementerian yang bertanggungjawab
di bidang perikanan131.
Tabel 33. Perbedaan kewenangan Otoritas Keilmuan dan Otoritas Pengelolaan dalam rangka pemanfaatan TSL
Arah Perubahan Kebijakan Pemanfaatan TSL Berdasarkan Revisi UU 5/1990 Perubahan revisi UU 5/1990 memiliki berbagai titik krusial dalam arah kebijakan pemanfaatan TSL di
Indonesia. Berbagai diskusi baik di antara pemerintah, masyarakat sipil, maupun dewan masih belum
selesai mengambil kesimpulan terhadap hal-hal yang bersifat prinsipil. Meskipun demikian, beberapa
penguatan kerangka hukum pemanfaatan TSL sudah dapat dilihat dari arah cakupan revisinya – baik
untuk versi DPR maupun versi KLHK. Pengaturan mengenai pemanfaatan dalam beberapa hal
berubah drastis, terutama karena norma kunci terkait pelestarian TSL juga berubah, seperti terkait
klasifikasi lindung terhadap TSL. Beberapa yang menjadi arah materi perubahan dalam revisi UU
5/1990 diantaranya132:
127 Lihat Pasal 4 ayat (3) 128 Lihat Pasal 65ayat (2) 129 Lihat Pasal 65 ayat (1) 130 Lihat Pasal 35 ayat (3) 131 Lihat Pasal 53 huruf a. 132 Materi diresume dari paparan tim Kelompok Kerja Revisi, Raynaldo Sembiring (2017) dalam diskusi
kelompok terbatas.
75
1) Lingkup jenis pemanfaatan.
2) Prinsip dalam kesejahteraan satwa dalam pemanfaatan TSL.
3) Penguatan rumusan normat dalam jenis-jenis pemanfaatan.
4) Kebijakan kelembagaan Otorita Pengelolaan.
5) Penguatan pengawasan dan sanksi pidana serta administratif.
Lingkup jenis pemanfaatan dan penguatan normanya.
Lingkup jenis pemanfaatan diatur lebih lengkap dalam revisi UU 5/1990. Baik itu versi DPR maupun
KLHK menyediakan jenis pemanfaatan yang beragam dan menyesuaikan perkembangan pemanfaatan
TSL yang aktual. Akomodasi kebutuhan medis, maupun konsumsi, serta regili atau budaya menjadi
tambahan baru dalam lingkup jenis pemanfaatan. Selain itu, pemanfaatan tersebut juga diatur
berdasarkan sumber spesimennya. Norma yang sebelumnya tidak diatur dalam UU 5/1990 saat ini.
Dengan penambahan ini, PP 8/1999 sendiri perlu melihat dalam pengaturan yang lebih rinci. Beberapa
hal yang perlu diantisipasi untuk ditambahkan ke dalam PP 8/1999 termasuk:
a) Mengatur batasan terhadap pemanfaatan TSL, untuk memastikan kondisinya tetap lestari.
b) Menjelaskan pengaturan administrasinya. Baik itu berbentuk izin maupun pendaftaran atau
pencatatan oleh pemerintah.
c) Menjelaskan prosedur dan dasar pengambilan keputusan, apabila administrasinya dalam
bentuk perizinan.
d) Mengatur mekanisme pembinaan, pengawasan dan pengendalian yang efektif terhadap
berbagai bentuk jenis pemanfaatan yang akan ditambahkan berdasarkan revisi UU 5/1990.
Selain jenisnya, arah perubahan UU 5/1990 juga diharapkan dapat menyelesaikan berbagai persoalan
teknis terkait pemanfaatan TSL yang selama ini terjadi. Sebagai misal, mengenai pengawasan terhadap
generasi F2 sebagai hasil penangkaran yang akan dimanfaatkan.
Lingkup
Pengaturan
UU 5/1990 RUU versi DPR RUU versi KLHK
Sumber
Spesimen
Tidak diatur Diatur Diatur
Jenis
Pemanfaatan
1. Pengkajian,
penelitian, dan
pengembangan
2. Penangkaran
3. Perburuan
4. Perdagangan
5. Peragaan
6. Pertukaran
7. Budidaya
tanaman obat-
obatan
1. Penelitian atau
pengembangan
2. Perdagangan
3. Peragaan
4. Tukar menukar
5. Medis
6. Konsumsi
7. Pemeliharaan
untuk kesenangan
8. Kepentingan religi
atau budaya
9. Budidaya
1. Penelitian
dan/atau
pengembangan
2. Perdagangan
3. Peragaan
4. Tukar menukar
5. Medis
6. Pemeliharaan
untuk
kesenangan
7. Kepentingan
religi atau budaya
8. Budidaya
76
Lingkup
Pengaturan
UU 5/1990 RUU versi DPR RUU versi KLHK
8. Pemeliharaan
untuk
kesenangan
10. Komersialisasi
informasi yang
didapat dari
kegiatan
pemanfaatan
spesies
9. Komersialisasi
informasi yang
didapat dari
kegiatan
pemanfaatan
spesies
Tabel 34. Lingkup jenis pemanfaatan dalam arah kebijakan revisi UU 5/1990.
Prinsip dalam kesejahteraan satwa dalam pemanfaatan TSL.
Prinsip kesejahteraan satwa menjadi salah satu prinsip yang dirumuskan dalam arah pengaturan revisi
UU 5/1990. Meski dalam berbagai aturan turunan PP 8/1999, prinsip tersebut telah dijelaskan.
Kedepannya, revisi UU 5/1990 lebih tegas mendefinisikan dan membangun konstruksi normatif
terhadap prinsip tersebut.
Kebijakan kelembagaan Otorita Pengelolaan.
Sebagaimana juga dibahas sebelumnya, keberadaan UU 45/2009 jo. UU 31/2004 dan PP 60/2007
memberikan peran bagi kementerian di bidang kelautan dan perikanan untuk menyelenggaraan urusan
pemerintah sebagai Otoritas Pengelolaan dalam tata kelola pelestarian sumber daya hayati.
Perkembangan tersebut menjadi salah satu persoalan prinsipil dalam arah revisi UU 5/1990. Hal ini
memberikan pilihan politik hukum terhadap revisi UU 5/1990. Apabila UU 5/1990 akan menjadi
payung hukum bagi pelestarian TSL, maka kewenangan kementerian bidang perikanan untuk
mengurus pelestarian TSL perikanan – baik itu sebagai biota perairan secara luas maupun di laut,
harus diakomodir. Sementara, apabila revisi UU 5/1990 hanya meliputi biota di darat, maka akan
terjadi dualisme dalam pelestarian TSL. Dalam rancangan revisi UU 5/1990, Dewan Perwakilan
Rakyat merumuskan peran Otoritas Pengelolaan dibagi ke dua kementerian, tidak hanya kehutanan
tetapi juga perikanan.
Penguatan pengawasan dan sanksi pidana serta administratif.
Penguatan pengendalian dan penegakan hukum dalam arah kebijakan revisi UU 5/1990 dilakukan
dengan memperkuat sanksi denda dan menambah jenis perbuatan yang dapat dipidana. Penguatan
tersebut misalnya dengan menambahkan sanksi denda minimum dan memperbesar nilai dendanya.
Sementara, penambahan dilakukan dengan juga mengkriminalisasi perbuatan mengimpor atau
memasukkan TSL yang diperoleh secara melawan hukum di negara asal, ke Indonesia.
77
VII. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan Secara umum, kajian ini menemukan kuatnya upaya dan komitmen Pemerintah Indonesia dalam
memastikan tercapainya upaya pelestarian TSL. Berbagai aspek penting dalam upaya perlindungan
lingkungan hidup dan sumber daya alam, maupun demokrai dan keadilan, telah dirumuskan dalam
pengaturan pemanfaatan TSLTSL, baik di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 beserta
turunannya, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999. Rumusan norma akan selalu
menghadapi tantangan dinamika yang berkembang di dalam masyarakat yang tidak jarang membawa
ekses negatif, sehingga tidak dapat dengan mudah diselesaikan. Perkembangan modus-modus
perdagangan TSL ilegal, pemanfaatan terhadap jenis yang merusak populasi dan habitat, dan semakin
terdesaknya habitat sumber daya hayati Indonesia menjadi tantangan utama pelaksanaan pelestarian
TSL.
Perkembangan tersebut membawa tantangan sekaligus peluang untuk memperkuat, di antaranya
karena tidak hanya aspek-aspek perlindungan lingkungan itu sendiri yang berkembang, tetapi juga
dimensi dalam hukum administrasi dan bagaimana negara berelasi dengan masyarakat berkembang.
Terjadinya pergeseran, perkembangan, dan inovasi-inovasi penting untuk membangun kerangka
perlindungan lingkungan dan sumber daya hayati yang lebih efektif terjadi di berbagai belahan dunia.
Peluang-peluang tersebut mendorong aspirasi public yang luas untuk memperkuat kerangka hukum
yang terkait dengan pemanfaatan TSL. Mengantisipasi aspirasi yang sedang berjalan, khususnya dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang sedang dalam proses revisi, Wildlife Conservation
Society dan Yayasan Auriga berinisiatif melakukan kajian terhadap kerangka hukum pemanfaatan TSL
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999.
Berdasarkan kajian yang dilakukan, penulis menemukan beragam catatan penting untuk menjadi
masukan perubahan kerangka hukum terkait pemanfaatan TSL. Catatan tersebut dipilah ke dalam dua
jenis, yaitu catatan umum terkait Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999, maupun aturan lain
yang terkait; dan catatan khusus mengenai bagian-bagian norma yang terkait administrasi
penyelenggaraan urusan pemanfaatan TSL oleh pemerintah termasukkegiatan pemanfaatannya itu
sendiri.
Kesatu. Cakupan rumusan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 sangat minim dan
terfragmentasi untuk dapat menyediakan norma bagi penyelenggaraan urusan pemanfaatan TSL yang
akuntabel dan efektif. Rumusan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999:
a. Norma-norma yang tersedia dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tidak
dibangun dengan relasi antarnorma yang baik, sehingga pengaturannya seolah terfragmentasi
dan tidak akurat.
b. Tidak sepenuhnya menyediakan norma yang memadai dalam pengambilan keputusan berbagai
penyelenggaraan urusan pemanfaatan TSL. Penentuan kriteria untuk pengambilan keputusan
penerbitan izin belum dirumuskan rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999.
c. Kewenangan perizinan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 belum diatur
lengkap, beberapa kewenangan pemberian izin justru ditetapkan dalam peraturan setingkat
menteri.
d. Secara materil, pengaturan pemanfaatan TSL lebih dominan dilakukan melalui aturan turunan
di tingkat kementerian, sehingga memberikan beban dan kerentanan di tingkat kementerian
untuk menjadi pelaksana sekaligus pengatur pemanfaatan TSL. Hal ini juga mempengaruhi
efektivitas dalam koordinasi antar kelembagaan dalam pelaksanaan penyelenggaraan
administrasi terkait pemanfaatan TSL.
78
e. Pengaturan kewenangan dan kelembagaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1999 tidak menyediakan mekanisme kerja antara lembaga pemerintah sehingga berpotensi
melemahkan efektivitas pelaksanaan norma dalam Peraturan Pemerintah maupun penegakan
hukumnya.
f. Relasi antara norma dalam peraturan yang setara tidak teriterasi dengan baik sehingga rentan
untuk saling tumpang tindih. Misalnya, pengaturan pemanfaatan perburuan antara Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994.
g. Pengaturan norma pemanfaatan TSL tidak secara konsisten menerangkan sumber TSL yang
dapat digunakan untuk melakukan pemanfaatan TSL tertentu.
Kedua. Politik hukum pelestarian TSL dalam kerangka pemanfaatan terlalu bergantung pada satu
pendekatan, yaitu model command and control, sementara pengaturan mengenai prasyaratnya tidak
terumuskan dengan baik termasuk di antaranya akuntabilitas layanan publik.
Ketiga. Mekanisme koordinasi dalam penyelenggaraan urusan pemanfaatan TSL belum dirumuskan
dengan baik. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 lebih mengatur kelembagaan dalam lingkup
Otorita Pengelolaan. Selain itu, dengan berlakunya beragam kerangka hukum yang beririsan dengan
aturan konservasi sumber daya alam hayati seperti Uundang-undang Nomor 41 Tahun 1999 maupun
Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009, terjadi perbedaan perspektif dalam penentuan klasifikasi
lindung dan non-lindung. Hal ini memerlukan koordinasi kelembagaan antar kementerian dalam
pelaksanaan pengawasan dan pengendalian yang belum disediakan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 1999.
Keempat. Penyelenggaraan urusan pemerintah terkait dengan TSL belum mengatur lebih detil
mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya hayati. Kebijakan fiskal dari
hayati perlu dipertimbangkan sebagai penggantian sumber daya alam yang dimanfaatkan. Selain itu,
administrasi tersebut berguna untuk mengukur kegiatan pemanfaatan TSL di Indonesia.
Selain catatan umum tersebut, tulisan ini juga menemukan berbagai catatan khusus yang berkaitan
dengan rumusan maupun pelaksanaan administrasi pemerintah dalam bidang pemanfaatan TSL.
Klasifikasi perlindungan jenis TSL
1) Pengaturan antara Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2007 maupun ketentuan lainnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 1999 tidak mengatur secara harmonis penentuan kriteria status perlindungan.
Pengaturan mengenai klasifikasi status perlindungan TSL harus ditentukan di tingkat undang-
Klasifikasi perlindungan
Penetapan kuota Penangkapan
dan pengambilan
Perizinan pemanfaatan
Tata usaha peredaran
Pengawasan dan penegakan
hukum
1 1
1 1
1 1 1 1 1
1
1
Catatan terkait kejelasan rumusan
Catatan terkait validitas formal
Catatan terkait kelembagaan 1
1
1
79
undang, agar tidak menimbulkan ketidakpastian peraturan perundang-undangan di tingkat
yang lebih rendah. Perbedaan kriteria antara Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999
dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 berpotensi menimbulkan ketidakpastian
dalam pengambilan keputusan penetapan klasifikasi lindung.
2) Norma yang mengadopsi CITES tidak secara jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 1999. Klasifikasi yang ada dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447 Tahun
2003 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 mengarah pada tujuan yang
berbeda. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 hanya membagi klasifikasi menjadi dua,
yaitu yang dapat dan tidak diperdagangkan; sementara CITES mengatur pengendalian
terhadap peredaran atau perdagangannya berdasarkan jenis keterancaman masing-masing
TSL.
Penetapan kuota terhadap pemanfaatan TSL
1) Penentuan kuota secara sistematis memiliki berbagai kendala, terutama karena Indonesia
memiliki kekhasan geografis dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Untuk itu, perlu
dimuskan kebijakan nasional untuk melakukan pengambilan keputusan secara deliberatif
dalam penentuan kuota yang sesuai dengan konteks Indonesia.
2) Tidak ada norma untuk pengambilan keputusan penetapan kuota dan ketersediaan data
pendukung sesuai mandat Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999.
3) Akuntabilitas dalam penentuan kuota masih sangat terbatas, terutama karena informasi
mengenai inventarisasi dan pengambilan kebijakan melalui kuota tidak memiliki pengaturan
yang mendorong keterbukaan.
4) Ukuran keberhasilan dari penentuan kuota tidak dirumuskan secara memadai, sehingga
pertanggungjawaban publiknya tidak dapat dipastikan.
5) Istilah kuota dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dan turunannya, tidak
harmonis. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 mengatur mengenai penetapan kuota
perdagangan yang mengacu pada kebutuhan perdagangan dalam negeri dan untuk tujuan
ekspor, re-ekspor, atau impor. Sementara pada aturan turunannya, Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 447 Tahun 2003 mengatur khusus pada penetapan kuota untuk
pengambilan atau penangkapan.
Penangkapan dan pengambilan TSL
1) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tidak mengatur kewenangan administrasi
perizinan untuk penangkapan dan pengambilan.
Administrasi perizinan pemanfaatan TSL
1) Penyelenggaraan perizinan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dan
kewajibannya belum terumuskan dengan baik. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999
seharusnya mampu berfungsi sebagai payung hukum untuk menjelaskan norma, prosedur
umum, dan kriteria baku dalam pengambilan keputusan terkait perizinan. Seluruh
kewenangan administrasi yang dijalankan oleh lembaga pemerintah maupun dengan partisipasi
masyarakat seharusnya dapat dirumuskan secara lengkap pada tingkat peraturan
pemerintah.3) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tidak membagi dengan jelas
perbedaan administrasi untuk kegiatan pemanfaatan yang bersifat komersil maupun non-
komersil. Tidak ada pengaturan terhadap pembatasan pemanfaatan yang bersifat komersil,
kecuali berdasarkan jenis pemanfaatannya itu sendiri;
2) Dalam proses izin, tidak ada penjelasan bagaimana kepala balai melakukan penelaahan
terhadap permohonan izin penangkapan atau pengambilan TSL untuk non-komersil.5) Pada
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999, izin penangkaran diberikan oleh Menteri, tetapi
tidak menegaskan apakah hal tersebut berlaku untuk TSL yang dilindungi atau tidak dilindungi.
80
Sementara itu, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447 Tahun 2003 menegaskan bahwa
perizinan untuk TSL dilindungi atau tidak dilindungi diberikan oleh Kepala Balai.
Ketidaksesuaian ini terjadi karena Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tidak
mengatur secara detail mengenai kewenangan yang didelegasikan ke Menteri.
Tata usaha peredaran TSL
1) Meski mengatur administrasi terkait tata usaha peredaran TSL, Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 1999 tidak mengatur norma-norma yang memadai untuk kelembagaan maupun
kriteria pengambilan keputusan penerbitan surat angkut tersebut.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tidak membedakan antara pengangkutan dan
izin pengedaran. Pada tataran peraturan yang lebih teknis (Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 447 Tahun 2003) justru mengatur hal yang berbeda, dengan membedakan antara
dokumen pengangkutan (SATS-DN dan SATS-LN) dan izin usaha pengedar.
Pengawasan dan pengendalian maupun penegakan hukum
1) Pembinaan, pengawasan, pengendalian dan penegakan hukum TSL dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tidak terumuskan dengan baik, sehingga belum memiliki
arah kebijakan yang jelas tentang bentuk perlindungan TSL yang efektif dilakukan dalam
pemanfaatan TSL. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tidak mengatur secara khusus
urusan pengawasan dan pengendalian dalam pemanfaatan TSL. Pengaturan pengawasan ini
dapat ditemukan dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447 Tahun 2003. Pengaturan
pengawasan izin pemanfaatan ini perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1999 sebagai peraturan yang menjadi dasar pembentukan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 447 Tahun 2003.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 mengatur sanksi administrasi terhadap
pelanggaran dalam pemanfaatan TSL yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi. Namun,
penerapan sanksi administrasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 ini sulit
diterapkan sebab tidak ada penjelasan yang lebih detail perihal penerapan sanksi administrasi
seperti yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999, khususnya untuk
TSL yang tidak dilindungi.
3) Selain di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999, Kepmenhut 447/2003 mengatur
beragam kewajiban bagi para pihak dalam pemanfaatan TSL, akan tetapi kewajiban tersebut
tidak disertai dengan ancaman sanksi administrasinya.
4) Sanksi yang disediakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 lebih banyak
menghentikan perbuatan atau menghukum, tetapi upaya pemulihan terhadap kerusakan tidak
diatur.
5) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999
tidak mengatur sama sekali mengenai barang sitaan dalam konteks penegakan hukum atas
kejahatan pemanfaatan TSL.
Rekomendasi Kajian ini merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
Kesatu. Urgensi untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999. Terlepas dari
persoalan perumusan yang ada di dalamnya, perkembangan dalam berbagai bidang, termasuk arah
politik hukum pelestarian TSL beserta kelembagaannya, memberikan rasionalisasi terhadap
kepentingan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999. Peraturan ini telah berlaku selama
17 tahun, sementara Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang menjadi meta-aturan organisnya,
sedang dalam proses revisi.
81
Kedua. Penguatan mekanisme kuota dalam pemanfaatan TSL. Untuk memastikan pemanfaatan TSL
dapat berjalan, penguatan terhadap pengaturan mekanisme terkait penetapan kuota merupakan salah
satu faktor yang paling penting. Dengan penetapan kuota yang lebih rasional, maka pengendalian lebih
lanjut terhadap pemanfaatan TSL dapat berjalan lebih efektif. Selain itu, akuntabilitas publik juga perlu
dibangun, misalnya dengan membangun sistem informasi yang dapat memberikan informasi kepada
khalayak luas terhadap kuota TSL di Indonesia.
Ketiga. Perumusan yang lebih lengkap mengenai prosedur dan kriteria pengambilan keputusan untuk
perizinan pemanfaatan TSL. Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 penting untuk
memerhatikan perumusan dalam pengambilan keputusan terkait dengan perizinan. Pengaturan yang
lebih rinci dapat menghindarkan ketidakpastian hukum dan menutup celah diskresi dalam pengambilan
kebijakan.
Keempat. Pengaturan yang lebih lengkap terhadap pembinaan, pengawasan, pengendalian dan
penegakkan hukum. Agar tujuan dalam pemanfaatan TSL dapat berjalan efektif, penguatan terhadap
pembinaan, pengawasan dan pengendalian perlu dirumuskan secara detil, tidak hanya terkait dengan
kewenangannya, tetapi juga membangun kriteria keberhasilan dalam kegiatan-kegiatan tersebut.
Pembinaan, pengawasan dan pengendalian maupun penegakan hukum juga perlu dirumuskan dalam
logika yang koheren satu sama lain.
Kelima. Penguatan penaatan dan pengaturan strategi penegakan hukum yang sesuai dengan tujuan
pelestarian dalam pemanfaatan TSL. Berbagai upaya penguatan penaatan dan kebijakan penegakan
hukum perlu dibangun menjadi satu bagian, untuk memastikan seluruh instrumennya saling
mendukung. Secara strategis, pemerintah juga perlu membangun insentif dan disinsentif yang efektif
untuk mendorong kepatuhan terhadap hukum dalam pemanfaatan TSL. Penguatan terhadap ancaman
dapat menjadi salah satu cara dengan menambahkan jenis sanksi, memberlakukan kumulasi,
menambah beban hukuman seperti memperbesar denda, maupun dengan memberlakukan sanksi
pemulihan dan penetapan daftar hitam bagi pelaku pelanggar hukum.
82
RUJUKAN
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Ksonservasi Alam, ‘Pemanfaatan Tumbuhan Dan Satwa
Liar’, in Refleksi Pelaksanaan Tugas Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004
Haq, Hayyan Ul, ‘Epistemology and Method in Law’, 2014
Hoecke, Mark Van, Methodologies of Legal Research, 2011
Meijaard, Erik, Douglas Sheil, Robert Nasi, David Augeri, Barry Rosenbaum, Djoko Iskandar, and
others, Life after Logging, 2005
Morgan, Bronwen, and Karen Yeung, An Introduction to Law and Regulation, 2007
Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.4/Menhut-II/2010 tentang Pengurusan
Barang Bukti Tindak Pidana Kehutanan.
Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.39/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara
Penegakan Sanksi Administrasi terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan.
Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 355/Kpts-II/2003 tentang Penandaan
Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar.
Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha
Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1978 tentang Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1978 Nomor 51).
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.31/Menhut-II/2012 tentang Lembaga
Konservasi.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.40/Menhut-II/2012 jo. Permenhut
P.52/Menhut-II/2006 tentang Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.63/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara
Memperoleh Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.69/Menhut-II/2013 jo. P.19/Menhut-
II/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005
tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administrasi di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Perlindungan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 14).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan
Satwa Liar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 15).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 19).
83
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi
Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 107).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007 tentang Sumber Daya Ikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 8).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati
dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 154).
84
LAMPIRAN
Lampiran 1. Wawancara Dengan BKSDA Jakarta KAJIAN KERANGKA HUKUM TERKAIT SISTEM PENGELOLAAN
DAN PEMANFAATAN TSL DI INDONESIA
BKSDA Jakarta
Jakarta, 23 September 2016
Peran Nama Instansi Jabatan
Narasumber utama Wahyu Balai Konservasi Sumber
Daya Alam (BKSDA) DKI
Jakarta
Staf Bagian Pemanfaatan TSL
Pendamping Ida Kepala Seksi Wilayah III
Pendamping Azizah TU
Pendamping Adi Kepala Seksi Wilayah I
Pewawancara Grahat Nagara Yayasan Auriga Peneliti
Pewawancara Nuruliawati Widlife Conservation
Society
Peneliti Muda
NO PERTANYAAN TANGGAPAN
1 Tupoksi BKSDA
BKSDA Jakarta dan Bali tidak melakukan survei populasi, sehingga tidak
menyampaikan kuota. Hal ini dikarenakan habitat alami bagi TSL di Jakarta
sudah jarang, sedangkan di Bali wilayahnya kecil. BKSDA hanya melakukan
pengawasan aliran satwa yang keluar masuk dari luar daerah maupun dari
Jakarta. Barang-barang yang diekspor ke luar, maupun barang yang datang dari
satu daerah ke daerah lain, semua akan melewati Jakarta.
2 Pengelolaan
pemanfaatan TSL
Pengawasan peredaran TSL dan juga pemanfaatannya dalam lingkup pengelolaan
kawasan konservasi (termasuk cagar alam, suaka margasatwa, dan taman wisata
alam). Kami berbeda dengan balai taman nasional yang khusus mengelola
kawasan saja, namun kami akan berkoordinasi dengan mereka jika ada
permasalahan kawasan.
3 Pengawasan
peredaran TSL
Terdapat petugas BKSDA di titik-titik rawan seperti pelabuhan resmi dan juga
di pasar.
4 Administrasi
kuotaTSL
o Kuota 1 tahun dibagi per-perusahaan (bergantung pada asosiasinya. Misal:
kuota gaharu akan dibagi per jumlah perusahaan yang tergabung di asosiasi
gaharu tersebut).
o Setiap tahun, BKSDA mengusulkan kuota berdasarkan rumus yang dibuat
oleh LIPI (kecuali BKSDA Jakarta dan Bali), bersama dengan LSM daerah
dan kahian yang dilakukan di daerah setempat. Penentuan habitat
melibatkan pertimbangan dari banyak pihak.
o Hanya 20-25% kuota yang terealisasi untuk ekspor.
85
NO PERTANYAAN TANGGAPAN
o Untuk spesies yang belum memiliki kuota atau di luar kuota, dapat
diusulkan ke LIPI atas bukti populasi yang ditemukan di wilayah tersebut,
dan LIPI akan melakukan survey atas bukti yang diberikan.
o Data populasi terdapat di BKSDA setempat dan di LIPI. Sementara
pengumpulan data terdapat di KKH.
o Data kuota yang dicatat/direkam hanya diklasifikasi berdasarkan wilayah.
o KKH akan menyiapkan sistem data Kehati, salah satunya untuk kuota (yang
akan terintegrasi dengan Balai Kliring Kehati).
o Penggunaan kuota dapat dilihat dari setiap log pengeluaran SAT-DN.
o Untuk satwa buru, kuota ditetapkan oleh pemerintah daerah (Gubernur).
Misalnya, rusa timor di Papua yang status satwa burunya ditetapkan oleh
Dirjen, dan ikan arwana yandini papua yang diternakkan.
5 Penangkaran TSL o Tidak ada kuota untuk hasil penangkaran, namun ada pendataan setiap
bulan.
o Pengawasan dilakukan dengan BAP stok yang dilaporkan oleh perusahaan
setiap bulannya. Biasanya akan ada petugas yang datang untuk melakukan
pengecekkan stok dan dokumen.
o Jika indukan mati, maka akan ada laporan kepada petugas untuk dibuatkan
berita acara kematian. Anakan yang sudah cukup besar, bisa menggantikan
indukan yang mati.
o Kepmenhut 447 diganti oleh Permenhut No.19 (untuk pedoman
penangkar). Bagi pedagang atau perorangan boleh memperdagangkan
spesies yang tidak dilindungi (maksimal berjumlah 2 ekor; jika lebih dari 2
ekor harus disertai dengan izin sesuai Kepmenhut 447).
o Data Pedagang dan Penangkar TSL ada di BKSDA.
6 Perizinan
pemanfaatan
o Kasus pelanggaran yang biasa dilakukan oleh pemegang izin adalah kasus
paket tertukar.
o Pemegang izin di Jakarta lebih banyak peruntukkannya untuk hobi
perorangan, sisanya untuk pengedar dalam negeri (lebih banyak ikan: beli,
tampung, jual) dan pengedar luar negeri (buaya: produksi sendiri).
o Untuk spesies yang tidak dilindungi mengacu kepada Pasal 56 PP7/1999 dan
diperlakukan sama dengan spesies yang dilindungi. Namun, tidak ada rincian
kriterianya.
o Negara yang mengirim harus memiliki surat angkut (baik untuk spesies
CITES maupun non-CITES) yaitu SAT-LN (ekspor). Pengiriman tanpa
dokumen tidak bisa dilakukan.
o Data perizinan terdapat di BKSDA setiap wilayah.
o Perihal urusan aktivitas impor akan ditangani juga oleh Karantina.
o SAT-DN tidak bisa diberikan untuk spesies dilindungi. Setiap SAT-DN yang
dikeluarkan dapat terlihat log penggunaan kuota.
7 Penindakan kasus
pemanfaatan TSL
o Penindakan pemanfaatan TSL berada di bawah otoritas penuh Gakkum.
BSKDA berkoordinasi dengan Polisi untuk melakukan operasi gabungan.
Jika tertangkap tangan oleh BKSDA, maka BKSDA bisa tangani dengan
membuat Laporan Kejadian untuk penahanan sementara. Penyitaan barang
bukti dilakukan oleh PPNS.
o Kasus yang terjadi ditindak dengan pasal yang tertinggi, tidak ada hukuman
minimal.
o Sanksi untuk kasus yang terjadi di perbatasan, diharapkan dapat ditangani
oleh Karantina, Bea Cukai dan juga KSDAE ke depannya, agar dapat
dikenakan pasal berlapis dan menimbulkan efek jera.
86
NO PERTANYAAN TANGGAPAN
8 Permasalahan lintas
sektor
o Koordinasi antara BKSDA (pelibatan dalam verifikasi TSL yang masuk)
dengan Bea Cukai belum terjalin. Eksistensi KSDAE sebagai instansi yang
kompeten untuk memverifikasi tidak ada/tidak diberdayakan di pelabuhan.
o Verifikasi spesies jarang dilakukan. Karantina akan memeriksa terkait
dengan isu kesehatan, namun jarang melibatkan KSDAE.
o Polemik dengan KKP adalah konflik mengenai status spesies, di mana suatu
spesies dimasukkan ke dalam status dilindungi di sektor KLHK, namun
menjadi komoditi perikanan di sektor KKP. Contohnya adalah pengeluaran
SAT-LN untuk ekspor kaki kodok (swikee), sirip hiu, yang kemudian
dicekal oleh Bea Cukai.
9 Tambahan informasi o Terkait dengan satwa migrasi, BKSDA melakukan pendataan sarang di
lokasi pembiakan.
o Tidak ada pengawasan untuk burung-burung berbendera. Pengawasan
hanya dilakukan secara suka rela oleh komunitas.
87
Lampiran 2. Wawancara Dengan BKSDA Jawa Timur KAJIAN KERANGKA HUKUM TERKAIT SISTEM PENGELOLAAN
DAN PEMANFAATAN TSL DI INDONESIA
BKSDA Jawa Timur
Selasa, 25 Oktober 2016
Peran Nama Instansi Jabatan
Narasumber Ayu Dewi Utari Balai Konservasi Sumber
Daya Alam (BKSDA) Jawa
Timur
Kepala BKSDA Jatim
Narasumber Sam Staf Bagian P2 (Pengamanan dan
Perlindungan), spesifikasi Perizinan dan
Peredaran
Narasumber Nia Staf Bagian P2 (Pengamanan dan
Perlindungan), spesifikasi BNPB
Narasumber Agustin Fungsional
Narasumber Sarjono Staf Bagian P3 (Perencanaan,
Perlindungan dan Pengawetan)
Narasumber Sumarsono Penyidik (Senior)
Pewawancara Grahat Nagara Yayasan Auriga Peneliti
Pewawancara Azizah Yayasan Auriga Peneliti
Pewawancara Nuruliawati Widlife Conservation Society Peneliti Muda
NO PERTANYAAN TANGGAPAN
1 Tupoksi
BKSDA
• Tupoksi BKSDA Jatim mengacu pada peraturan yang berlaku, yaitu Permen
LHK P.8/2016.
• Kewenangan BKSDA tidak hanya terbatas pada kawasan konservasi, tetapi juga
di luar kawasan konservasi. Kewenangan BKSDA adalah pengawasan terhadap
kawasan konservasi (cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam) dan
peredaran TSL (termasuk lalu lintas satwa seperti perdagangan burung yang
ilegal dan penangkaran).
• Bagian Resort dan Seksi bertugas untuk melakukan pembinaan (termasuk
penangkaran), sedangkan Bidang bertugas untuk supervisi.
• Pengamanan dan pelindungan dilakukan oleh Polhut, sedangkan teknis
penangkaran dan perlindungan dilakukan oleh Pengendali Ekosistem Hutan
(PEH) di lapangan.
2 Penegakan
hukum
Kendala Penegakkan Hukum
• Kendala yang dihadapi adalah jumlah aparat yang terbatas. Selain itu, vonis
masih rendah yaitu kurang dari 1 tahun untuk pidana penjara, bahkan vonis
bebas. Hal ini terjadi pada kasus trenggiling di tahun 2012 di mana penyidik
tidak ada akses untuk mengawal ke pengadilan di Medan, karena tidak memiliki
Surat Pelaksanaan Tugas.
88
NO PERTANYAAN TANGGAPAN
• Indikasi terhadap perdagangan TSL lebih sulit dibandingkan narkoba. Pengguna
narkoba dapat dideteksi melalui karakteristiknya, namun tidak dengan pedagang
TSL.
Perdagangan TSL Online
• Peredaran online juga masih sulit ditangani. Upaya penjebakan dilakukan oleh
BKSDA untuk penanganan peredaran online. Warga yang ditangkap berdagang
online, banyak mengaku tidak tahu bahwa ada aturan yang melarang untuk
memperdagangkan satwa.
• BKSDA berhasil melakukan aksi tangkap tangan untuk beberapa kasus
perdagangan TSL yang dilindungi.
Penegakkan hukum
• Saat ini, BKSDA bergerak bersama Polda, Polres, Mabes yang ikut bergerak
dalam penanganan peredaran satwa.
• Penegakan hukum dilakukan bersama dengan rekan-rekan Gakkum, tetapi
masih dalam lingkup personal, belum dapat dilakukan koordinasi yang formal.
• Kasus pidana tidak diperoleh dari pelaporan masyarakat, melainkan berdasarkan
penyidikan oleh PPNS. Masyarakat sering merasa takut jika diminta menjadi
saksi. Pelaporan aktif oleh masyarakat masih rendah karena kasus TSL sendiri
masih dianggap sebagai bukan tindakan kriminal. Sanksi sosial yang berdampak
setelahnya juga ditakuti oleh masyarakat, karena di Indonesia, hukuman sosial
biasanya lebih berat dibandingkan dengan hukuman pengadilan. Penyidik belum
pernah menangani kasus perdata, bunyinya hanya di UU.
• Kendala terkait dengan kerjasama antarlembaga adalah belum adanya
kesepahaman antara PPNS, Jaksa, Penyidik, dan Pengadilan sehingga berimbas
pada vonis yang kurang berdampak pada efek jera.
• Selain itu, belum ada pemegang izin yang dikenakan sanksi administratif karena
sistemnya kemitraan.
• Contoh kasus: dokter hewan di Banyuwangi yang berdagang lutung. Meskipun
lutung bukan spesies yang dilindungi, hal ini tetap dianggap tidak etis mengingat
profesinya sebagai dokter hewan.
3 Penangkaran
BKSDA berhasil melakukan penangkaran terhadap Jalak Bali dengan jumlah individu
yang cukup banyak (level komersil, diperdagangkan). Di Jatim sendiri, TSL nya
cukup lengkap ada anggrek, kupu-kupu, dan koral.
Kontrol Penangkaran
• Kontrol satwa penangkaran masih sangat terbatas (untuk mengetahui F2 dengan
menggunakan tagging), khususnya untuk mamalia (rusa). BKSDA sudah
mencoba berbagai cara, mulai dari harga biasa hingga yang lebih tinggi
(microchip) tetapi masih belum mendapat hasil sesuai harapan. Khusus untuk
aves, system penandaan dan sertifikatnya sudah lengkap.
Izin penangkaran
89
NO PERTANYAAN TANGGAPAN
• Izin penangkaran mengacu kepada Permenhut P.19/2005. Terkait dengan hal
tersebut, kendala yang dihadapi: untuk instansi di luar jenis yang diperbolehkan,
izin yang dijalankan adalah izin perseorangan.
• Dari P.19, izin penangkaran sendiri dapat diajukan dari beberapa macam instansi
seperti koperasi, yayasan, perorangan dan badan usaha. Kami terbentur pada
instansi. Contohnya Angkatan Darat yang ingin menangkarkan rusa, tapi tidak
bisa karena bentuknya belum diakomodir. Untuk itu, kami sudah melakukan
alternatif dengan izin perorangan namun dengan persetujuan instansi bahwa
yang tertera diberitanggungjawab untuk penangkaran. Contoh lainnya adalah
Pemda dan Universitas.
• Kendala lain yang ditemukan adalah belum adanya pencabutan izin untuk
penangkaran yang tidak memenuhi kaidah regulasi. Jika ada hal-hal yang kurang
sesuai (seperti fasilitas), namun bukan terkait prinsip, akan didukung oleh
BKSDA.
Penangkaran
• Tujuan penangkaran ditujukan untuk kepentingan komersil.
• Presentase tujuan penangkaran sendiri memang lebih banyak untuk kepentingan
komersil, seperti hobi. Namun sangat disayangkan jika melakukan hobi tanpa
ada keuntungan ekonomi yang didapat. Maka dari itu, kami memotivasi mereka
untuk bisa menghasilkan uang dari penangkaran dan bertanggung jawab
terhadap satwanya. Sesuai dengan peraturan yang terdapat di Kepmenhut 447,
tujuan penangkaran adalah untuk kepentingan komersil dan non-komersil.
Namun sejak P19 dikeluarkan, hal ini sudah tidak diberlakukan lagi. Dasar
pemerintah saat ini adalah konservasi dan ekonomi harus berjalan beriringan.
• Pelaporan penangkaran dilakukan setiap bulan. Evaluasi penangkaran dilakukan
dengan monitoring evaluation (monev) dan supervisi (pembinaan). Penangkaran
tetap dikontrol melalui laporan yang disampaikan oleh petugas lapangan.
Pengawasan penangkaran dinyatakan aman dari indikasi laundering.
• Jika PNPB naik, kuota dari alam menurun jumlahnya, sehingga memunculkan
dorongan untuk menangkarkan. Penangkaran didorong oleh antusiasme
masyarakat yang tinggi.
Penangkar
• Hubungan antara penangkar dan BKSDA adalah mitra kerja. Terkait dengan
para penangkar, BKSDA melihat kesadaran terhadap kewajiban sebagai
penangkar masih rendah, contohnya 10% dari hasil penangkaran harus
dikembalikan ke alam yang menjadi habitatnya.
• SDM sudah cukup baik dalam penanganan TSL, termasuk evakuasi, tagging,
pemberian nutrisi (untuk penangkaran). Meskipun demikian, BKSDA mengakui
membutuhkan tenaga ahli untuk penangkar.
• Penangkar buaya di Jatim sendiri sudah memiliki izin, namun belum
menghasilkan F2.
• Contoh penangkaran yang berhasil dimotivasi: Penangkaran merak oleh Mbah
Surah di Madiun. Kendala penangkar merak yang biasa ditemui adalah prosesnya
hanya berhenti sampai bertelur, tapi tidak sampai menjadi anakan. Sedangkan
Mbah Surah, dengan motivasi dan bantuan dari BKSDA selama proses
penangkaran, berhasil menangkarkan merak hingga dapat diperdagangkan secara
legal.
90
NO PERTANYAAN TANGGAPAN
4 Lembaga
konservasi
Lembaga Konservasi yang tercatat hingga saat ini sudah mencapai lebih dari 100
instansi. LK berfungsi untuk membantu rehabilitasi satwa hidup.
Kendala
• Kesadaran terhadap kewajiban sebagai penangkar masih rendah, contohnya
kewajiban untuk pelepasan liar. Seperti disebutkan sebelumnya, sebanyak 10%
dari hasil penangkaran harus dikembalikan ke alam yang menjadi habitatnya.
• Contoh kasus 1: Kebun Binatang Surabaya (KBS). KBS terbukti sukses
menangkarkan komodo, bekantan, dan jalak bali. Komodo di KBS tercatat ada
60 individu, yang ditempatkan dalam kandang-kandang berukuran 6mx10m (1
kandang berisi 11 individu); Bekantan di KBS mencapai 60 individu yang
dimasukkan ke dalam 3 kelompok (dengan luas area 3 hektar); begitu pula jalak
bali yang mencapai 100 individu lebih. Hal ini menunjukkan overpopulasi,
sehingga dikawatirkan menyebabkan zoonosis. Seharusnya sebagian dari
populasi dilepasliarkan ke alam. Namun Ibu Walikota (Ibu Risma) tidak
menginginkan demikian, dikarenakan adanya paham bahwa satwa tersebut
adalah milik negara. BKSDA sudah bertindak dan menegur, namun terjadi salah
pengertian. Status KBS sebagai BUMD juga menyulitkan karena kewenangannya
dipegang langsung oleh Pemkot.
• Contoh kasus 2: Lumba-lumba tersesat hingga kemudian mati akibat stress yang
ditimbulkan oleh kerumunan warga. BKSDA disalahkan atas kejadian tersebut
karena tidak bergerak untuk menyelamtakan satwa tersebut.
5 Lintas
Kementerian
• Koordinasi yang dilakukan dengan KKP berjalan melalui sharing informasi dalam
rapat. Kami berupaya membangun koordinasi dan berharap ada sinergi antar
instansi dan tidak mengedepankan ego sektoral. Misal, di peraturan tidak
tertera dibutuhkan adanya rekomendasi dari sektor kelautan untuk
rekomendasi kuota tangkap.
• Koordinasi dengan Kepolisian saat penyidikan berjalan dengan lancar.
• Koordinasi dengan Bea Cukai dan Karantina masih belum berjalan.
6 Data dan
informasi
• Data TSL masih terbatas.
• Bappenas berencana membuat sistem data terintegrasi daring (online) .
• Data pelaporan penangkaran terbagi atas seksi dan resort, namun bermuara di
BKSDA.
• Contoh kasus: trenggiling banyak ada di alam. Kalau tidak banyak, mana
mungkin sekali tertangkap (perdagangan), dalam jumlah yang banyak. Elang Jawa
juga tidak habis, masih banyak karena yang diperdagangkan banyak. Hanya saja
kedua data tersebut belum ada.
7 Operasional • SDM secara keseluruhan terbatas. Satu resort hanya terdiri dari 3 orang. Setiap
satu resort membawahi 2 kabupaten atau lebih, dan membawahi penangkaran
25 buah. Namun mereka bergerak terus untuk aktif mendapatkan data.
• Sosialisasi (baik pengetahuan terkait konservasi, tupoksi BKSDA maupun
regulasi) terbatas. Akibatnya, pemahaman bahwa menangkarkan satwa
dilindungi diperbolehkan asal memiliki izin tertentu belum dipahami masyarakat.
Pemahaman yang ada di masyarakat berbeda, sehingga mereka tidak berani
melaporkan tetangga yang terdeteksi memelihara satwa dilindungi karena takut
hubungan sosial dengan tetangga menjadi tidak akur.
91
NO PERTANYAAN TANGGAPAN
• Dana terbatas, yang tercatat: 70% anggaran hanya untuk gaji. Dana ditunjang
juga dari program penangkaran.
• Kurang ada LSM yang mau menjadi sparring partner BKSDA. Hingga saat ini
hanya ada ProFauna dan Javan Langur.
8 Sistem kuota • TSL terbagi atas dua: alam dan penangkar.
• Kuota tangkapan dari alam ditentukan oleh Dirjen KSDAE dengan rekomendasi
dari LIPI.
Perizinan
• Izin peredaran mengacu kepada SK 447, dengan SK Kepala Balai.
• Saat izin keluar, pengedar harus membayar PNBP sebelum bisa memanfaatkan.
Sehingga jika kuota yang diberikan tidak digunakan sepenuhnya, tidak masalah.
Pembayaran PNBP dilakukan berdasarkan perencanaan kuota di awal.
• Masalah izin pemanfaatan TSL, belum ada persamaan izin antara pemohon dan
pengelola.
• Izin pemanfaatan untuk masyarakat tradisional (non-komersil), harus tetap
mengajukan izin sesuai aturan.
Penentuan kuota
• Pertimbangan penentuan kuota: kemampuan perusahaan dan finansial (PNBP).
PNBP saat ini lebih bersaing (mahal), jika perusahaan mampu, biasanya
mengambil lebih banyak. Namun jika keinginan banyak, tetapi tidak mampu
menyediakan, akan jadi pertimbangan lebih. Realisasi juga dipertimbangkan.
• Rapat kuota dilakukan satu, dua sampai tiga kali setahun yang melibatkan
pemerintah (KLHK, LIPI, KKP), asosiasi dan juga LSM.
• Pengusulan kuota dilakukan setiap tahun berdasarkan kuota yang sudah ada
yang ditetapkan oleh Dirjen KSDAE/ realisasi kuota (tidak berdasarkan
pertimbangan populasi dan penetapan wilayah habitat. Keduanya terkendala
untuk dilakukan karena SDM dan dana terbatas).
• Penentuan kuota terkadang suka tidak ekonomis. Misal 25 individu sebagai
kuota spesies A, namun tujuannya bukan untuk indukan. Sedangkan di pasar
ekspor, permintaannya tinggi. Hal tersebut tidak realistis, meskipun berpihak
pada konservasi.
• Untuk TSL yang tidak memiliki kuota, peredarannya tetap disita meski tidak ada
payung hukumnya. Mekanismenya belum ada untuk yang tidak memiliki kuota
(seperti burung kicau).
• Alur penentuan kuota ditentukan dari pusat, kemudian dibagi berdasarkan
pemohon. Penentuan izin tangkap dilakukan berdasarkan aturan, misalnya
dengan menyediakan peta dengan perbandingan 1:25.000.
• RKT mencantumkan izin, laporan, kegiatan ekspor, peraturan yang terkait
instansi lain, penyesuaian SAT-LN dengan Jakarta, dan pajak yang sudah rinci
dan lengkap.
Peredaran organisme laut
• Pengawasan penangkapan organisme laut (koral) memiliki keterbatasan dana
dan fasilitas. Data didapat dari mitra penangkar. Isu untuk kewenangan terhadap
92
NO PERTANYAAN TANGGAPAN
pemanfaatan organisme laut, lebih baik diambil alih saja oleh KKP. Secara
sarpras lebih menunjang di KKP.
• Mendorong terbentuknya asosiasi koral di Banyuwangi yang menginduk juga di
AKKI.
• AKKI, LIPI, dan BKSD akan dilakukan survey untuk koral.
Peredaran reptil
• Peredaran reptile sifatnya khas karena yang diedarkan adalah limbahnya atau
daging untuk konsumsi. Biasanya reptil dikirim ke Jakarta.
9 Tambahan info Terkait dengan satwa migrasi, BKSDA melakukan pendataan sarang di lokasi
berbiak. Untuk burung-burung berbendera tidak ada pengawasan. Pengawasan
dilakukan secara voluntary oleh komunitas.
93
Lampiran 3. Wawancara Dengan Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem
DAFTAR PERTANYAAN
KAJIAN KERANGKA HUKUM PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Otoritas Pengelolaan dan Kewenangan
No Pertanyaan Tanggapan
1 Apa saja kewenangan Dirjen
Konservasi di KLHK sebagai Otoritas
Pengelolaan
Management Authority (MA) bertanggung jawab dalam aspek
administratif pelaksanaan CITES, baik perizinan, pelaksanaan
Melalui operasi penegakkan hukum gabungan bersama dengan
aparat hukum dan instansi terkait sampai pemberkasan
96
No Pertanyaan Tanggapan
diterima oleh Jaksa melalui Polisi (P21) dan operasi penegakan
hukum rutin.
9 Apa saja kendala yang terjadi dalam
proses pengawasan, pengendalian
dan penegakkan hukum?
• Kurangnya pengetahuan dan keterampilan petugas
(termasuk untuk keperluan forensik)
• Terbatasnya kewenangan petugas pada pos pengawasan
terminal, pelabuhan laut, dan bandara.
• Kurangnya koordinasi antar petugas di pos pengawasan
• Terbatasnya kesadaran masyarakat.
• Kurangnya sarana dan prasarana yang memadai
• Proses penyidikan, penuntutan dan vonis di sidang
pengadilan belum berhasil memberi dampak jera
97
Lampiran 4. Wawancara Dengan Ditjen Pengelolaan Ruang Laut DAFTAR PERTANYAAN
KAJIAN KERANGKA HUKUM PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
TERKAIT PENYELENGGARAAN URUSAN PERIKANAN
NO PERTANYAAN TANGGAPAN
1 Apakah penyelenggaraan urusan
terkait dengan pemanfaatan
perikanan masih menggunakan PP 8
/1999 sebagai dasar hukum?
a. Penyelenggaraan urusan (penerbitan export permit),
termasuk izin pengusahaan untuk jenis “ikan” appendiks
CITES sampai saat ini masih dilaukan oleh KLHK, dengan
mengacu pada PP No. 8 tahun 1999.
b. Untuk jenis “ikan” yang tidak termasuk dalam daftar
appendiks CITES, semua otoritas perizinan pemanfaatan
ada di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
2 Bagaimana Pelaksanaan CITES dan
kerangka hukum nasional dalam
lingkup konservasi keanekaragaman
hayati laut
a. Secara nasional, terdapat 2 (dua) Peraturan Pemerintah
yang terkait dengan pelaksanaan CITES di Indonesia,
yaitu :
(1) PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Tuumbuhan dan Satwa Liar, menunjuk KLHK
sebagai MA CITES dan LIPI sebagai SA CITES;
(2) PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi
Sumber Daya Ikan, menunjuk KKA sebagai MA
CITES untuk jenis “ikan” dan LIPI sebagai SA
CITES
b. Sampai dengan saat ini pelayanan MA CITES dilaksanakan
oleh KLHK.
3 Apa saja peran LIPI sebagai Scientific
Authority CITES dan Koordinasinya
dengan Kementerian Kelautan dan
Perikanan dalam hal pemanfaatan
perikanan
a. LIPI selaku SA CITES berperan dalam memberikan
pertimbangan ilmiah terhadap pemanfaatan spesies
appendiks CITES, sehingga pemanfaatan yang dilakukan
tidak membahayakan kesinambungan spesies tersebut di
habitat alam.
b. Dalam konteks KKP, pemanfaatan sumber daya ikan
didasarkan pada hasil kajian Komite Nasional Pengkajian
Stock Ikan, dimana jumlah ikan yang boleh dimanfaatkan
ditentukan berdasarkan angka JTB (Jumlah Tangkapan yang
Diperbolehkan).
Terkait administrasi pemanfaatan atau pengusahaan perikanan
No Pertanyaan Tanggapan
1 Apa saja kewenangan
pemberian izin dalam
pengusahaan perikanan
oleh Kementerian Kelautan
dan Perikanan?
bagaimana pembagian
kewenangannya?
a. Dalam kontek CITES, khusus untuk jenis ikan (9 kelompok taksa,
bagian penjelasan UU No 45/2009), adalah otoritas KKP, namun
demikian karena MA yang terdaptar di CITES baru Kementerian
KLHK, maka secara defacto semua perizinan masih di KLHK;
b. Jenis-jenis perizinan pemanfaatan biota perairan appendiks CITES
sebagaimana diatur dalam PP 60 tahun 2007 meliputi :
(1) Izin pengambilan;
98
No Pertanyaan Tanggapan
(2) Izin pengembangbiakan;
(3) Izin perdagangan;
(4) Izin aquaria;
(5) Izin pemeliharaan untuk kesenangan;
(6) Izin akuaria;
(7) Izin penelitian dan pengembangan;
(8) Izin pengangkutan di dalam negeri; dan
(9) Izin pengangkutan luar negeri
c. Kewenangan peberbitan perizinan ada pada Direktur Jenderal,
namun demikian ada sebagian yang dideligasikan ke UPT, yaitu izin
pengambilan/penangkapan dan izin peberbitan surat angkut dalam
negeri.
2 Apa kriteria yang dijadikan
pertimbangan utama dalam
penerbitan izin
pengusahaan atau
pemanfaatan perikanan?
Kriteria yang digunakan sebagai pertimbangan dalam penerbitan izin
pemanfaatan biota perairan / jenis ikan yang masuk dalam daftar
appendiks CITES diantaranya adalah :
a. Aspek keberlanjutan, Status sumberdaya atau kelimpahan stock di
habitat alam. Jumlah yang boleh dimanfaatkan didasarkan pada
kajian ilmiah yang dilakukan oleh LIPI dan/atau Badan Litbang KP,
yang mengatur tingkat pemanfaatkan diperbolehkan. Penentuan
angka tersebut disesuaikan dengan karakteristik spesies;
b. Aspek legalitas, pemanfaat harus memenuhi persyaratan
administrasi dan teknis yang dipersyaratkan;
c. Ketelusuran, setiap sumber daya yang akan dimanfaatkan harus
dapat ditelusuri asal usulnya.
3 Apakah ada kendala dalam
administrasi penerbitan izin
pemanfaatan atau
pemanfaatan perikanan
Potensi kendala yang mungkin dihadapi dalam penerbitan izin
pemanfaatan jenis ikan yang masuk dalam daftar appendik CITES
diantaranya adalah :
a. Keterbatasan data dan informasi, sampai dengan saat ini informasi
yang cukup detil tentang status sumberdaya;
b. Luas wilayah perizinan membutuhkan SDM dengan jumlah yang
cukup banyak dan mempunyai kualifikasi dalam teknik
pengidentifikasian spesies;
4 Bagaimana koordinasi
antara kementerian
Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dengan
Kementerian Kelautan dan
Perikanan dalam hal
perizinan pemanfaatan
tumbuhan dan satwa liar
dan perikanan
Koordinasi antara KKP dan KLHK berjalan baik, terutama saat
penentuan kuota penangkapan dan pengawasan peredaran yang
dilakukan oleh Badan Karantina Ikan.
99
Terkait administrasi penetapan kuota
No Pertanyaan Tanggapan
1 Kewenangan apa saja yang
dimiliki KKP dalam hal
pembatasan pemanfaatan
atau pengusahaan
perikanan ? bagaimana
kewenangannya
Memberikan Pertimbangan teknis, yang meliputi:
a. kelayakan usaha baik secara administratif dan keuangan;
b. kelayakan produksi berupa kemampuan produksi untuk pengambilan
jenis ikan dan genetik ikan dari alam, atau hasil pengembangbiakan;
c. kelayakan bio-ekologis berdasarkan kemampuan populasi, habitat, dan
penyebaran jenis ikan dan genetik ikan;
d. pemahaman pemegang izin tentang konservasi jenis ikan dan genetik
ikan
2 Apa kriteria yang dijadikan
pertimbangan untuk
penetapan kuota
penangkapan ikan
Status populasi,
MSY
Tingkat pemanfaatan
3 Apakah ada kendala dalam
penetapan kuota
penangkapan ikan
Ketersediaan data yang masih terbatas dan tersebar di berbagai insansi
Terkait dengan pengawasan , pengendalian dan penegakan hukum:
No Pertanyaan Tanggapan
1 Pengawasan apa yang dilakukan
kementerian kelautan dan perikanan
terhadap pelaksanaan izin
pengusahaan perikanan?
Bagian ini sebaiknya dikoordinasikan ke Direktorat
Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan
2 Bagaimana pengelolaan data dan
informasi terkait perikanan dalam
lingkup kementerian kelautan dan
perikanan
3 Apakah pemerintah melakukan
pengawasan berkala atau secara
target terhadap pemegang izin?
4 Bagaimana penegakan hukum dan
penjatuhan sanksi administrasi
dilakukan?
5 Bagaimana perlakuan terhadap ikan
(misal yang dilindungi) pasca
penegakan hukum?
100
No Pertanyaan Tanggapan
6 Apakah ada kerja sama antara
penegak hukum konservasi luar
negeri?
7 Bagaimana prosedur koordinasi
dengan aparat penegak hukum
lainnya?
8 Apa saja kendala yang terjadi dalam
proses pengawasan , pengendalian
dan penegakan hukum
101
Lampiran 5. Perbandingan Pengaturan Antara PP 8/1999 dan Kepmenhut 447/2003 Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
Klasifikasi
Perlindunga
n TSL
Tumbuhan dan satwa
liar dilindungi dan
tidak dilindungi
Spesimen tumbuhan
dan satwa liar yang
termasuk maupun
tidak termasuk
dalam daftar
Appendiks CITES
baik jenis yang
dilindungi maupun
tidak dilindungi
undangundang.
Jenis-jenis yang
termasuk dalam
Appendiks CITES
maupun Non-
Appendiks CITES,
yang dilindungi
maupun yang tidak
dilindungi; b. Dalam
maupun dari luar
wilayah Republik
Indonesia.
Kuota Definisi Kuota Tidak mengenal
definisi kuota dalam
Ketentuan Umum
Kuota adalah batas
maksimum ukuran
dan satuan tumbuhan
dan satwa liar dari
alam untuk setiap
jenis yang dapat
dimanfaatkan selama
satu tahun takwim.
Ruang Lingkup
Kuota
Kuota yang
ditetapkan untuk
spesimen tumbuhan
dan satwa liar yang
termasuk maupun
tidak termasuk
dalam daftar
Appendiks CITES
baik jenis yang
dilindungi maupun
tidak dilindungi
undangundang.
Jenis Kuota Kuota pengambilan
dan penangkapan
Kuota pengambilan
atau penangkapan
102
Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
Definisi per
jenis kuota
Kuota pengambilan
adalah jumlah jenis
TSL yang dapat
diambil dari alam
setiap kurun waktu 1
tahun
Kuota pengambilan
atau penangkapan
spesimen tumbuhan
dan satwa liar dari
habitat alam
merupakan batasan
jenis dan jumlah
spesimen tumbuhan
dan satwa liar yang
dapat diambil atau
ditangkap dari
habitat alam.
Kuota penangkapan
adalah kuota yang
juga meliputi hasil
perburuan satwa liar
secara tradisional di
sekitar Taman Buru
atau sekitar Areal
Buru
Penetapan kuota
untuk jenis dilindungi
harus terlebih dahulu
dilakukan penetapan
jenis satwa dimaksud
sebagai satwa buru.
Asal kuota Alam dan hasil
penangkaran
Alam dan hasil
penangkaran
Dasar
Penetapan
Kuota
Penetapan kuota
pengambilan dan
penangkapan wajib
memperhatikan
pertumbuhan
populasi tumbuhan
dan satwa
liar pada wilayah
habitat yang
bersangkutan.
Dalam penetapan
lokasi pengambilan
atau penangkapan
spesimen tumbuhan
dan satwa liar,
Kepala Balai
memperhatikan
status kawasan,
kelimpahan populasi,
kondisi habitat,
rencana penggunaan
lahan, dan aspek-
aspek sosial budaya
masyarakat
setempat.
Tujuan
penetapan
kuota
Keperluan
perdagangan (dalam
negeri dan luar negeri
(ekspor, re-ekspor,
atau impor), dalam
setiap kurun waktu 1
tahun
Keperluan
pemanfaatan di
dalam negeri dan
luar negeri (ekspor)
103
Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
Waktu
penetapan
kuota
Penetapan kuota
dilakukan dalam
setiap kurun waktu 1
tahun
1 tahun takwim
Kewenangan
penetapan
kuota
Penetapan dilakukan
oleh Menteri setelah
mendapatkan
rekomendasi dari
Otoritas Keilmuan
Penetapan kuota
pengambilan atau
penangkapan
dilakukan oleh
Direktur Jenderal
dengan
memperhatikan
rekomendasi dari
Otoritas Keilmuan
Direktur Jenderal
menelaah
rekomendasi
Otoritas Keilmuan
dan selanjutnya
menetapkan kuota
pengambilan dan
penangkapan
spesimen tumbuhan
dan satwa liar dari
habitat alam.
Peninjauan kembali
kuota yang telah
ditetapkan dapat
dilakukan pada tahun
berjalan, dengan
tetap berdasar pada
rekomendasi
Otoritas Keilmuan.
Tata Usaha Pengambilan
atau
Penangkapan
Diatur lebih lanjut
oleh Menteri
Non-komersial:
Ada, tata cara
pelaksanaan (Pasal 30
ayat 1 dan 2)
Peredaran Wajib dilengkapi
dokumen pengiriman
atau pengangkutan.
Harus ada Surat
Angkut berdasarkan
lingkup:
Domestik: Surat
Angkut Tumbuhan
dan Satwa Liar –
Dalam Negeri
(SATS-DN)
104
Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
Luar Negeri: Surat
Angkut Tumbuhan
dan Satwa Liar –
Luar Negeri (SATS-
LN)
Pengkajian,
penelitian, dan
pengembanga
n
Diatur lebih lanjut
oleh Menteri
Ada, tata cara
pelaksanaan (Pasal 30
ayat 2: untuk jenis
dilindungi dan atau
jenis yang termasuk
Appendiks I CITES
atau yang tidak
dilindungi yang tidak
terdapat di dalam
kuota)
Penangkaran Diatur lebih lanjut
oleh Menteri
Diatur dalam
Permenhut
P.69/Menhut-II/2013
jo. P.19/Menhut-
II/2005 Penangkaran
Tumbuhan dan
Satwa Liar
Perburuan Diatur lebih lanjut
oleh Menteri
PP 13/1994 tentang
Perburuan Satwa
Buru
Perdagangan Diatur lebih lanjut
oleh Menteri
Ada, tata cara dan
prosedur
memperoleh Izin
Pengedar atau
Perdagangan (Pasal
44)
Peragaan Diatur lebih lanjut
oleh Menteri
Ada, tata cara dan
prosedur
memperoleh Izin
Peragaan Komersial
Dalam Negeri (Pasal
48)
Pertukaran Diatur lebih lanjut
oleh Menteri
Ada, diperuntukkan
untuk jenis TSL yang
tidak dilindungi
diterbitkan oleh
Kepala Nalai dan TSL
dilindungi dilindungi
oleh Menteri (Pasal
35).
105
Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
Budidaya
tanaman obat-
obatan
Diatur lebih lanjut
dalam PP
Ada, PP 28/2004
Keamanan, Mutu dan
Gizi Pangan
Izin Budidaya
Tanaman Obat
Komersial yang
diberikan khusus bagi
jenis-jenis dilindungi,
diterbitkan oleh:
a. Menteri
untuk
spesimen
dari habitat
alam atas
saran
Direktur
Jenderal
b. Kepala Balai
untuk
spesimen
hasil
perbanyaka
n tumbuhan
Pemeliharaan
untuk
kesenangan
Diatur lebih lanjut
oleh Menteri
Ada, P.31/Menhut-
II/2012
Lembaga Konservasi.
Perizinan
Pemanfaatan
Pengambilan
atau
Penangkapan
Umum Dibedakan menjadi 2
kelompok: yang
dilindungi dan tidak
dilindungi (termasuk
satwa buru), baik
komersil dan non-
komersil
Ada pemerisaan stok
jika peruntukan
bersifat komersil
Dasar
pemberian
izin
Kuota yang telah
ditetapkan
merupakan dasar
penerbitan izin
pengambilan atau
penangkapan
spesimen tumbuhan
106
Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
dan satwa liar oleh
Kepala Balai.
Pengambilan atau
penangkapan
tumbuhan dan satwa
liar dari habitat alam
hanya dapat
dilakukan di luar
kawasan pelestarian
alam, kawasan suaka
alam atau taman
buru.
Pengambilan atau
penangkapan
tumbuhan dan satwa
liar yang bersumber
dari hasil
penangkaran hanya
dapat dilakukan dari
unit usaha
penangkaran sesuai
ketentuan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
Pengambilan atau
penangkapan
spesimen jenis
tumbuhan dan satwa
liar harus sesuai
dengan izin
pengambilan atau
penangkapan yang
meliputi lokasi
pengambilan atau
penangkapan, serta
dilakukan oleh
perorangan atau
kelompok yang
dianggap mampu
secara teknis atau
terampil dalam
melakukan
pengambilan atau
penangkapan.
Pengambilan atau
penangkapan
spesimen jenis
107
Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
tumbuhan dan satwa
liar dilakukan dengan
memperhatikan
kelestarian dan tidak
menyebabkan
kematian atau luka
pada spesimen
tumbuhan atau satwa
liar yang ditangkap.
Cara mengambil atau
menangkap spesimen
jenis tumbuhan dan
satwa liar juga tidak
menyebabkan
terganggunya atau
rusaknya populasi,
habitat dan
lingkungan.
Khusus untuk satwa,
penangkapan yang
dilakukan wajib
memperhatikan
kesejahteraan satwa
(animal welfare)
yaitu tidak menyakiti,
melukai, mematikan
atau perlakuan lain
yang menyebabkan
tertekan (stress)
pada individu yang
ditangkap maupun
kelompok atau
populasi yang
ditinggalkan di
habitat alamnya.
Bentuk izin Izin pengambilan atau
penangkapan
meliputi lokasi
pengambilan atau
penangkapan, serta
dilakukan oleh
perorangan atau
kelompok yang
dianggap mampu
secara teknis atau
terampil dalam
melakukan
108
Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
pengambilan atau
penangkapan.
Non-
komersial
Dapat diberikan
kepada: a.
Perorangan; b.
Lembaga konservasi;
c. Lembaga
penelitian; d.
Perguruan Tinggi; e.
Lembaga Swadaya
Masyarakat
(Organisasi Non-
Pemerintah).
Diperbolehkan untuk
seluruh jenis.
Dibedakan menjadi 2
kelompok: yang
dilindungi dan tidak
dilindungi (termasuk
satwa buru)
Kelompok 1
diberikan oleh
Menteri setelah
mendapatkan
rekomendasi dari
Otoritas Keilmuan
bahwa pengambilan
atau penangkapan
tersebut tidak akan
merusak populasi di
habitat alam.
Kelompok 2
diberikan oleh
Kepala Balai.
Komersial Diberikan kepada:
a. Perorangan; b.
Koperasi; c. Badan
Usaha Milik Negara;
d. Badan Usaha Milik
Daerah; atau e.
Badan Usaha Milik
Swasta.
109
Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
Hanya boleh untuk
Kelompok 2 dan
diterbitkan oleh
Kepala Balai
Peredaran Surat Angkut TSL
Dalam Negeri
(SATS-DN)
Surat Angkut TSL
Dalam Negeri
(SATS-LN), dengan
dilengkapi Izin atau
sertifikat CITES dan
atau non-CITES
(Pasal 67)
Pengkajian,
penelitian dan
pengembanga
n
Izin penggunaan TSL
dilindungi diberikan
oleh Menteri
Untuk jenis yang
tidak ditetapkan
dalam kuota, izinnya
diberikan oleh
Direktur Jenderal
dengan rekomendasi
dari Otoritas
Keilmuan
Penangkaran Izin penangkaran
diberikan oleh
Menteri
Termasuk izin untuk
menjual setelah
memenuhi standar
kualifikasi
penangkaran
Izin Penangkaran
diterbitkan oleh
Kepalai Balai untuk
jenis yang dilindungi
dan jenis tidak
dilindungi
Perburuan Diatur dalam PP
tersendiri
- Surat Izin
Berburu,
diberikan
oleh
Menteri
oleh pejabat
yang
ditunjuk
olehnya.
Diatur lebih
lanjut dala
110
Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
Permenhut
No.18
tahun 2010.
Izin
pengusahaa
n taman
buru
Izin
pengusahaa
n kebun
buru
Perdagangan Dokumen
perdagangan yang bisa
didapat dengan syarat:
- Memiliki
SATS (DN
atau SN)
- Izin ekspor,
re-ekspor,
atau impor
- Rekomendas
i SA
Izin Pengedar atau
Perdagangan Dalam
atau Luar Negeri
(Pasal 43 dan Pasal
50)
Peragaan Izin dikeluarkan oleh
Menteri (Pasal 27)
Izin Peragaan
Komersial Dalam
Negeri:
a. Menteri
untuk F1
hasil
penangkara
n atas saran
Direktur
Jenderal
b. Kepala Balai
untuk F2
hasil
penangkara
n dan
berikutnya
serta hasil
perbanyaka
n tumbuhan
(Pasal 43)
111
Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
Pertukaran Izin Pemanfaatan
Non-Komersial
untuk tujuan
pertukaran.
TSL yang tidak
dilindungi diterbitkan
oleh Kepala Nalai
dan TSL dilindungi
dilindungi oleh
Menteri (Pasal 35).
Budidaya
tanaman obat-
obatan
Diatur dengan PP Izin Budidaya
Tanaman Obat.
Spesimen dari habitat
alam oleh Menteri
atas saran Direktur
Jenderal
Spesimen hasil
perbanyakan
tumbuhan oleh
Kepala Balai (Pasal
43).
Pemeliharaan
untuk
kesenangan
Ditetapkan oleh
Menteri
Izin pemeliharaan
untuk pemanfaatan
non-komersial TSL
yang tidak dilindungi
diterbitkan oleh
Kepala Balai (Pasal
36).
Penegakan
Hukum
Pengendalian Pemerintah
mengendalikan impor
TSL ke Indonesia
(Pasal 48), dengan
memperhatikan upaya
perlindungan TSL
sejenis di Indo dan
juga konvensi
internasional.
Pengendalian khusus
untuk pengambilan
atau penangkapan
TSL secara spesifik.
Dilakukan oleh
Kepala Balai dan
Masyarakat. (Pasal
87)
112
Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
Pengambilan
dan
Penangkapan
Pengambilan TSL
tanpa izin akan
didenda dengan Pasal
50
Kepala Balai atau
Kepala Dinas
dilarang menerbitkan
izin pengambilan dan
penangkapan tanpa
didasari oleh kuota
yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal.
Peredaran Ekspor, re-ekspor,
impor TSL tanpa izin
atau tanpa dokumen
atau pemalsuan
dokumen atau
penyimpangan dari
syarat-syarat
dokumen (Pasal 59)
Pengiriman atau
pengangkutan TSL
tanpa dokumen
pengiriman atau
pengangkutan atau
menyimpang dari
syarat-syarat atau
tidak memenuhi
kewajiban atau
memalsukan
dokumen (Pasal 63).
Pengkajian,
penelitian, dan
pengembanga
n
Kegiatan pengkajian,
penelitian dan
pengembangan yang
tidak memenuhi
kewajiban akan
didenda dengan Pasal
51
Penangkaran Kegiatan penangkaran
TSL tanpa izin akan
didenda dengan Pasal
52
Kegiatan penangkaran
TSL tidak memenuhi
standar kualifikasi
akan didenda dengan
Pasal 53 dengan
113
Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
denda atau
pencabutan izin
Untuk TSL yang
dilindungi akan
dikenakan pasal 21
UU5/90
Penangkar yang tidak
memenuhi kewajiban
(Pasal 55)
Perburuan
Perdagangan Kegiatan perdagangan
TSL yang belum
memenuhi kategori
dan tidak memenuhi
kewajiban akan
dikenakan pasal 21
UU5/90. Sanksi adalah
denda atau
pencabutan izin usaha
Perdagangan TSL
dilindungi akan
dikenakan pasal 21
UU5/90
Perdagangan TSL
selain oleh badan
usaha dan masyarakat
akan dihukum sebagai
penyelundupan. (Pasal
57)
Badan Usaha yang
tidak memenuhi
kewajiban (Pasal 58)
akan dikenakan denda
atau pembekuan
kegiatan usaha
Peragaan Peragaan tanpa izin
(Pasal 60)
Pertukaran Pertukaran TSL yang
menyimpang (Pasal
61)
114
Topik Sub-topik Kategori PP8/99 tentang
Pemanfaatan TSL
Kepmenhut
447/2003 tentang TU
Pengambilan atau
Penangkapan TSL
PP No.
13/1994
tentang
Perburuan
Satwa Buru
Budidaya
tanaman obat-
obatan
Pemeliharaan
untuk
kesenangan
Pemeliharaan yang
tidak memenuhi
kewajiban (Pasal 62)
Perampasa
n TSL yang
dilindungi
dan tidak
dilindungi
dari semua
kegiatan
yang
termasuk
ke dalam
pelanggaran
administrasi
(Pasal 64)
115
Lampiran 6. Perbandingan Perlakuan Administrasi Berdasarkan Jenis Klasifikasi Perlindungan dan Apendiks CITES Kategori Sub-kategori Dilindungi Tidak dilindungi
Non-komersil Komersil Non-komersil Komersil
App I Izin pengambilan atau
penangkapan dari habitat alam
Izin pengambilan atau
penangkapan diterbitkan
oleh Menteri sesuai
rekomendasi SA bahwa
penangkapan tidak akan
merusak populasi di alam.
(Pasal 29 ayat 2)
Izin pemanfaatan
komersial dalam negeri
untuk spesimen yang telah
ditetapkan sebagai satwa
buru (Pasal 43 ayat 1).
Izin pengambilan
atau penangkapan
diterbitkan oleh
Kepala Balai (Pasal
29 ayat 2).
Izin pengambilan atau
penangkapan diterbitkan
oleh Kepala Balai (Pasal
31 ayat 2).
Izin pemanfaatan dalam negeri Izin pemanfaatan untuk
tujuan pengkajian,
penelitian, dan
pengembangan
diterbitkan oleh Menteri
(Pasal 34 ayat 1b)
Izin pemanfaatan untuk
perdagangan diterbitkan
oleh Kepala Balai (Pasal
43 ayat 3)
Izin pemanfaatan
untuk pengkajian,
penelitian,
pengembangan
diterbitkan oleh
Kepala Balai (Pasal
34 ayat 1a)
Izin pemanfaatan untuk
perdagangan diterbitkan
oleh Kepala Balai (Pasal
43 ayat 3)
Izin pemanfaatan untuk
tujuan pertukaran
diterbitkan oleh Menteri
(Pasal 35 ayat 1b)
Izin pemanfaatan untuk
penangkaran diterbitkan
oleh Kepala Balai (Pasal
43 ayat 4)
Izin pemanfaatan TSL
untuk tujuan
pertukaran
diterbitkan Kepala
Balai (Pasal 35 ayat
1a)
Izin pemanfaatan untuk
penangkaran diterbitkan
oleh Kepala Balai (Pasal
43 ayat 4)
n/a Izin pemanfaatan untuk
tujuan peragaan, khusus
untuk spesies dilindungi,
diterbitkan oleh (Pasal 43
ayat 5):
- Menteri untuk habitat
alam dan F1
- Kepala Balai untuk F2
Izin pemanfaatan
untuk tujuan
pemeliharaan untuk
kesenangan
diterbitkan Kepala
Balai (Pasal 36 ayat 1
dan 2)
116
Kategori Sub-kategori Dilindungi Tidak dilindungi
Non-komersil Komersil Non-komersil Komersil
dan berikutnya serta hasil
perbanyakan tumbuhan
Izin pemanfaatan untuk
peragaan non-komersial
hanya dapat diberikan
kepada Lembaga
Konservasi/nirlaba yang
disetujui oleh Menteri,
dan diterbitkan oleh
Menteri (Pasal 37 ayat 2
dan 3a)
Izin pemanfaatan untuk
budidaya tanaman obat,
khusus untuk spesies
dilindungi, diterbitkan
oleh (Pasal 43 ayat 6):
- Menteri atas saran
Dirjen untuk habitat alam
- Kepala Balai untuk
perbanyakan tumbuhan
Izin pemanfaatan
untuk peragaan non-
komersial
diterbitkan oleh
Kepala Balai (Pasal
37 ayat 2 dan 3b)
Izin pemanfaatan
peredaran specimen TSL
ke atau dari luar negeri
untuk perdagangan dan
peragaan komersial.
Izin pemanfaatan luar negeri Izin pemanfaatan luar
negeri untuk pengkajian,
penelitian dan
pengembangan, termasuk
koleksi museum dan
herbarium (Pasal 38 ayat
2a)
Izin pemanfaatan untuk
tujuan perdagangan
diterbitkan oleh Dirjen
(Pasal 50 ayat 2).
Izin tidak diberikan pada
WNA atau penanam
modal asing atau penanam
modal dalam negeri yang
sebagian modalnya modal
asing (Pasal 53 ayat 1),
kecuali untuk satwa
pengembangbiakan,
perbanyakan tumbuhan,
atau spesimen bukan asli
Indonesia (Pasal 53 ayat
2).
Izin hanya diberikan bagi
TSL dilindungi hasil
Izin pemanfaatan luar
negeri untuk
pengkajian, penelitian
dan pengembangan,
termasuk koleksi
museum dan
herbarium (Pasal 38
ayat 2a)
Izin pemanfaatan untuk
tujuan perdagangan
diterbitkan oleh Dirjen
(Pasal 50 ayat 2).
Izin tidak diberikan pada
WNA atau penanam
modal asing atau penanam
modal dalam negeri yang
sebagian modalnya modal
asing (Pasal 53 ayat 1),
kecuali untuk satwa
pengembangbiakan,
perbanyakan tumbuhan,
atau spesimen bukan asli
Indonesia (Pasal 53 ayat
2).
Izin hanya diberikan bagi
TSL yang tidak dilindungi
117
Kategori Sub-kategori Dilindungi Tidak dilindungi
Non-komersil Komersil Non-komersil Komersil
penangkaran, dan
spesimen jenis dilindungi
yang ditetapkan sebagai
satwa buru (Pasal 54 ayat
2b).
yang diambil atau
ditangkap dari alam dan
terdaftar dalam kuota
serta dari hasil
penangkaran termasuk
hasil pengembangan
populasi berbasis alam
(Pasal 54 ayat 2b).
Izin pemanfaatan luar
negeri untuk tukar
menukar spesimen TSL
(Pasal 38 ayat 2b)
Izin pemanfaatan untuk
tujuan peragaan
diterbitkan oleh Dirjen
(Pasal 50 ayat 3).
Izin pemanfaatan luar
negeri untuk tukar
menukar spesimen
TSL (Pasal 38 ayat
2b)
118
Kategori Sub-kategori Dilindungi Tidak dilindungi
Non-komersil Komersil Non-komersil Komersil
Izin pemanfaatan untuk
pemeliharaan untuk
kesenangan, termasuk
barang bawaan pribadi
dan cinderamata (Pasal
38 ayat 2c)
Izin pemanfaatan
untuk pemeliharaan
untuk kesenangan,
termasuk barang
bawaan pribadi dan
cinderamata (Pasal
38 ayat 2c)
Izin pemanfaatan luar
negeri hanya dapat
diberikan untuk
keperluan pengkajian,
penelitian dan
pengembangan, tukar
menukar antarlembaga
ilmiah atau lembaga yang
melakukan
pengembangbiakan untuk
kepentingan konservasi
jenis, reintroduksi ke
habitat alamnya.
Pengecualian dapat
dilakukan hanya untuk
hasil penangkaran yang
telah memenuhi
persyaratan yang diatur
di PP8/1999, salah
satunya, negara tujuan
telah mengeluarkan izin
impor CITES (Pasal 39
ayat 1 dan 2)
119
Kategori Sub-kategori Dilindungi Tidak dilindungi
Non-komersil Komersil Non-komersil Komersil
Ekspor spesimen biologis Ekspor spesimen yang
berbentuk biologis dapat
dilakukan bagi keperluan
mendesak dan keperluan
pengkajian, izin
diterbitkan oleh Dirjen
(Pasal 40 ayat 1 dan 3)
Spesimen dilarang untuk
dibawa baik ekspor, re-
ekspor maupun impor
sebagai barang bawaan
pribadi, cinderamata
(Pasal 41 ayat 2),
termasuk penjualan di
tempat keberangkatan
internasional (Pasal 41
ayat 3). Pengecualian
diberikan bagi specimen
trofi berburu yang
ditetapkan sebagai satwa
buru (Pasal 41 ayat 4).
App II Izin pengambilan atau
penangkapan dari habitat alam
Izin pengambilan atau
penangkapan untuk jenis
yang ditetapkan sebagai
satwa buru diterbitkan
oleh Kepala Balai (Pasal
29 ayat 2).
Izin pengambilan atau
penangkapan TSL yang
ditetapkan sebagai satwa
buru diterbitkan oleh
Kepala Balai (Pasal 31 ayat
2).
120
Kategori Sub-kategori Dilindungi Tidak dilindungi
Non-komersil Komersil Non-komersil Komersil
Izin pemanfaatan luar negeri Izin pemanfaatan luar
negeri hanya dapat
diberikan untuk
keperluan pengkajian,
penelitian dan
pengembangan, tukar
menukar antarlembaga
ilmiah atau lembaga yang
melakukan
pengembangbiakan untuk
kepentingan konservasi
jenis, reintroduksi ke
habitat alamnya.
Pengecualian dapat
dilakukan hanya untuk
hasil penangkaran yang
telah memenuhi
persyaratan yang diatur
di PP8/1999, salah
satunya, negara tujuan
telah mengeluarkan izin
impor CITES (Pasal 39
ayat 1 dan 2)
Ekspor spesimen biologis Ekspor spesimen yang
berbentuk biologis dapat
dilakukan bagi keperluan
mendesak dan keperluan
pengkajian, izin
diterbitkan oleh Dirjen
(Pasal 40 ayat 1 dan 3)
121
Kategori Sub-kategori Dilindungi Tidak dilindungi
Non-komersil Komersil Non-komersil Komersil
Izin untuk ekspor,
reekspor maupun impor
sebagai barang bawaan
maupun cinderamata
setelah mendapatkan izin
CITES (Pasal 42 ayat 1).
App III Izin pengambilan atau
penangkapan dari habitat alam
Izin pengambilan atau
penangkapan untuk jenis
yang ditetapkan sebagai
satwa buru diterbitkan
oleh Kepala Balai (Pasal
29 ayat 2).
Izin pengambilan atau
penangkapan TSL yang
ditetapkan sebagai satwa
buru diterbitkan oleh
Kepala Balai (Pasal 31 ayat
2).
Izin pemanfaatan luar negeri Izin pemanfaatan luar
negeri hanya dapat
diberikan untuk
keperluan pengkajian,
penelitian dan
pengembangan, tukar
menukar antarlembaga
ilmiah atau lembaga yang
melakukan
pengembangbiakan untuk
kepentingan konservasi
jenis, reintroduksi ke
habitat alamnya.
Pengecualian dapat
dilakukan hanya untuk
hasil penangkaran yang
telah memenuhi
persyaratan yang diatur
di PP8/1999, salah
satunya, negara tujuan
122
Kategori Sub-kategori Dilindungi Tidak dilindungi
Non-komersil Komersil Non-komersil Komersil
telah mengeluarkan izin
impor CITES (Pasal 39
ayat 1 dan 2)
Ekspor spesimen biologis Ekspor spesimen yang
berbentuk biologis dapat
dilakukan bagi keperluan
mendesak dan keperluan
pengkajian, izin
diterbitkan oleh Dirjen
(Pasal 40 ayat 1 dan 3)
Izin untuk ekspor,
reekspor maupun impor
sebagai barang bawaan
maupun cinderamata
setelah mendapatkan izin
CITES (Pasal 42 ayat 1).
Non-App Izin pengambilan atau
penangkapan dari habitat alam
Izin pengambilan atau
penangkapan untuk jenis
yang ditetapkan sebagai
satwa buru diterbitkan
oleh Kepala Balai (Pasal
29 ayat 2).
Izin pengambilan atau
penangkapan TSL yang
ditetapkan sebagai satwa
buru diterbitkan oleh
Kepala Balai (Pasal 31 ayat
2).
123
Lampiran 7. Perbandingan Perlakuan Administrasi Terhadap Jenis Lindung dan Tidak Dilindungi Kategori Dilindungi Tidak dilindungi
Pengkajian, penelitian dan
pengembangan
Izin dari Menteri (Pasal 4 ayat 2)
Pengambilannya diatur lebih lanjut oleh Menteri (Pasal 4 ayat 3)
Pengkajian, penelitian dan pengembangan oleh orang asing harus sesuai perundang-undangan (Pasal 6 ayat 1)
Pengkajian, penelitian dan pengembangan dapat dilakukan setelah dapat rekomendasi dari SA (Pasal 6 ayat 2)
Penangkaran Berlaku untuk dilindungi dan tidak dilindungi (Pasal 7 ayat 2)
Perizinan penangkaran untuk TSL diperoleh dan diatur lebih lanjut oleh Menteri (Pasal 9 ayat 1 dan 4)
Hasil penangkaran yang dapat
digunakan adalah generasi kedua dan
berikutnya (Pasal 11 ayat 1)
Hasil penangkaran tumbuhan liar dapat digunakan untuk perdagangan
dinyatakan sebagai tidak dilindungi (Pasal 10 ayat 1 dan 2)
Penangkaran tidak diizinkan untuk:
- Anoa
- Babi rusa
- Badak jawa
- Badak sumatera
- Biawak komodo
- Cendrawasih
- Elang jawa, elang garuda
- Harimau sumatera
- Lutung mentawai
- Orangutan
- Owa jawa
Jenis ini hanya dapat dipertukarkan
atas persetujuan Presiden (Pasal 34)
Generasi kedua dan berikutnya dari hasil penangkaran satwa liar,
dikelompokkan sebagai satwa tidak dilindungi (Pasal 11 ayat 2)
Satwa liar yang dilindungi yang
diperoleh dari alam untuk keperluan
penangkarang dinyatakan sebagai satwa
titipan negara (Pasal 16 ayat 1)
124
Kategori Dilindungi Tidak dilindungi
Perburuan Dilakukan untuk keperluan olah raga
buru, perolehan trofi, dan perburuan
tradisional oleh masyarakat setempat
(Pasal 17 ayat 1)
Perdagangan TSL yang dapat diperdagangkan adalah jenis yang tidak dilindungi (Pasal 18)
Perdagangan hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut
hukum Indonesia setelah mendapat rekomendasi Menteri (Pasal 19 ayat 1),
kecuali dalam skala terbatas oleh masyarakat setempat (Pasal 19 ayat 2)
Perizinan:
- Dokumen pengiriman atau pengangkutan
- Izin ekspor, re-ekspor, atau impor
- Rekomendasi SA
Peragaan Peragaan TSL dapat dilakukan oleh lembaga konservasi dan lembaga pendidikan formal (Pasal 28 ayat 1)
Peragaan TSL di luar lembaga tersebut harus seizin Menteri (Pasal 28 ayat 2)
Diatur lebih lanjut dengan Kepmen
(Pasal 29)
Pertukaran Pertukaran hanya dapat dilakukan
terhadap jenis TL yang dipelihara
Lembaga Konservasi (Pasal 32 ayat 1)
Pertukaran hanya dapat dilakukan oleh
dan antar Lembaga Konservasi dan
pemerintah (Pasal 32 ayat 2)
Budidaya tanaman obat-obatan Diatur dalam PP tersendiri (Pasal 36)
Pemeliharaan untuk kesenangan Hanya dapat dilakukan untuk jenis tidak dilindungi (Pasal 37 ayat 2)
Pengambilan TSL diatur lebih lanjut oleh Menteri (Pasal 39 ayat 2)
Pelaksanaa kewajiban diatur lebih lanjut dengan Kepmen (Pasal 40 ayat 2)