LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN KEBIJAKAN TATANIAGA BERAS, BAWANG MERAH DAN DAGING SAPI MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN LAPORAN KOMODITAS BERAS Oleh: Muchjidin Rachmat Pantjar Simatupang Mohamad Maulana PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2016
137
Embed
KAJIAN KEBIJAKAN TATANIAGA BERAS, BAWANG MERAH DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_09.pdf · lokasi kajian. Untuk itu, kami menyampaikan banyak terima kasih
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN
KAJIAN KEBIJAKAN TATANIAGA BERAS, BAWANG MERAH DAN DAGING SAPI MENDUKUNG
1.3. Luaran dan Manfaat….……………………………..……………………………………………………………. 2
II. Metodologi…………….......……………………………………………………………………………………………. 2
III Produksi, Konsumsi dan Harga Beras di Indonesia…..…………………………………………………………… 4
IV Efektivitas Tataniaga Gabah dan Beras (Kasus Kabupaten Karawang, Jawa Barat)d….…………………….. 7
V Efektivitas Tataniaga Gabah dan Beras Introduksi……...………………………………………………………… 10
5.1. Tataniaga PUPM-TTI Gabah dan Beras di Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur dan Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat………………..……….…………………………………………………………...
10
5.2. Tataniaga Melalui Jaringan Rumah Pangan Kita (RPK-Bulog)……………………………………………... 14
VI Pertimbangan Kebijakan………………………….….……………………………………………………………….. 17
6.1. Kemungkinan Memperpendek Rantai Tataniaga Gabah-Beras...…………………………………………... 17
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………………………………. 19
DAFTAR TABEL
No. Judul Tabel Hal
1. Produksi, konsumsi dan provinsi surplus/defisit beras tahun 2014 (ton), serta harga rata-
rata beras (Rp/kg) dan koefisien variasi harganya 2008-2015 (%)....................................... 6
2. Biaya dan keuntungan tiap-tiap pelaku tataniaga gabah dan beras per penjualan 1 ton
Gabah Kering Panen di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, 2016 (Rp).…………………...... 9
3. Biaya dan keuntungan tiap-tiap pelaku tataniaga gabah dan beras per penjualan 1 ton
gabah pada jalur distribusi PUPM di Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur dan Kabupaten
Bandung Barat, Jawa Barat, 2016 (Rp).…………………………………………………………. 12
4. Biaya dan keuntungan tiap-tiap pelaku tataniaga gabah dan beras per penjualan 1 ton
gabah melalui tataniaga Rumah Pangan Kita Bulog, 2016 (Rp).……………………………... 16
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Gambar Hal
1. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras di Kabupaten Karawang, Jawa Barat 2016……….. 8
2. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras Program PUPM Kementan di Kabupaten
Karawang, Jawa Barat dan Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur, 2016.………………………. 11
3. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras Program RPK Bulog 2016.……….…………………. 15
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tataniaga adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa kepada kelompok pembeli. Semua unsur, baik perorangan, perusahaan, atau lembaga yang secara langsung terlibat dalam proses pengaliran barang dari produsen ke konsumen disebut lembaga tataniaga. Kegiatan pemasarandisalurkan melalui lembaga-lembaga perantara atau lembaga distribusi. Semakin panjang saluran distribusi yang dilalui suatu produk maka semakin tinggi harga yang harus dibayarkan konsumen akhir. Kondisi ini terkadang berdampak dimana produsen/petani biasanya mendapatkan keuntungan yang kecil dibandingkan pedagang.
Sistem tataniaga dianggap baik dan efisien apabila memenuhi tiga indikator: (1)
mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen kepada konsumen dengan harga yang wajar, (2) mampu menjamin stabilisasi pasokan dan harga, dan (3) mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut didalam kegiatan produksi dan tataniaga barang tersebut. Sistem tataniaga yang tidak efisien akan mengakibatkan kecilnya keuntungan yang diterima oleh produsen, jadi harga yang diterima produsen dapat juga dijadikan ukuran efisiensi sistem tataniaga (Mubyarto, 1989: 166).
Dalam tahun terakhir terjadi gejolak harga pangan pokok nasional. Harga pangan
strategis cenderung meningkat tidak terkendali antara lain akibat dari masalah kelancaran pasokan, sementara harga ditingkat petani cenderung tetap yang berarti disparitas harga pangan antara produsen dan konsumen semakin besar. Kondisi ini memunculkan pertanyaan sebarapa jauh sistem tata niaga yang terbangun saat ini dinilai baik dan effisien, seberapa jauh pelaku pasar telah bekerja dengan baik, dan seberapa jauh pemerintah dapat berperan untuk melakukan tugasnya dalam mengatur dan kalau perlu mengintervensi sehingga terbangun sistem tataniaga yang baik dan effisien.
Dalam upaya stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok tersebut, Kementerian
Pertanian telah melakukan kegiatan intervensi dengan cara mendorong dilakukannya pembelian langsung gabah/beras dan/atau mendorong kelompok tani menjualnya langsung ke konsumen melalui Toko Tani Indonesia (TTI). Upaya tersebut ditujukan dalam rangka memotong rantai pasokan yang dianggap terlalu panjang dan tidak effisien yang menyebabkan terjadinya permasalahan dalam kontinuitas pasokan, harga yang tidak stabil dan disparitas harga yang besar ditingkat produsen dan konsumen. Dengan upaya tersebut diharapkan petani dapat menikmati harga yang wajar, pasokan lancar dan konsumen dapat membeli dengan harga yang lebih murah. Langkah intervensi dilakukan terutama menjelang bulan puasa dan lebaran.
2
Intervensi tataniaga tersebut dinilai berhasil sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dengan langkah intervensi pemerintah tersebut, beberapa peran pelaku dalam tataniaga menjadi hilang dan digantikan oleh Bulog. Pertanyaannya adalah apakah langkah intervensi tersebut dapat berlanjut kedepan untuk menggantikan sistem tataniaga yang selama ini telah terbangun sekian lama? Apakah langkah intervensi dalam tataniaga tersebut dapat dilaksanakan secara nasional atau hanya bersifat lokal? dan apakah kebijakan intervensi tersebut berakibat ongkos sosial besar yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat.
1.2. Tujuan
Berdasarkan uraian di atas, pada intinya, tujuan kajian ini ialah merumuskan alternatif tataniaga komoditi stategis yang baik dan effisien. Secara lebih rinci, tujuan kajian ini ialah:
1. Mengkaji sistem tataniaga beras yang berlaku saat ini, 2. Mengevaluasi efektifitas sistem tataniaga yang berlaku di pasar umum dan sistem
tataniaga introduksi, 3. Merumuskan rekomendasi alternatif sistem tataniaga beras yang dinilai baik dan
effisien.
1.3. Luaran dan Manfaat
Hasil kajian ini diharapkan memberikan alternatif rumusan kebijakan sistem tataniaga beras yang dinilai baik dan effisien yang dapat meningkatan perbaikan penyampaian hasil-hasil dari produsen kepada konsumen dengan harga yang wajar, menjamin stabilisasi harga, dan terjadi pembagian yang adil diantara pelaku tataniaga.
II. METODOLOGI
Istilah tataniaga sering juga diartikan sama dengan pemasaran atau distribusi yaitu suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen (Mubyarto, 1973). Menurut Sihombing (2010), kegiatan tataniaga adalah sebagian dari kegiatan distribusi. Distribusi menimbulkan suatu kesan seolah-olah orang-orang yang bergerak di dalam bagian ini bersifat statis, menunggu saja apa yang akan mereka peroleh dari produsen untuk dibagi-bagikan lagi kepada konsumen.
Fungsi tataniaga mengusahakan agar pembeli memperoleh barang yang
diinginkan pada tempat, waktu dan bentuk serta harga yang tepat. Fungsi tataniaga terdiri dari tiga fungsi pokok, yaitu: (1) Fungsi pertukaran, meliputi: (a) penjualan, yaitu menjual barang kepada konsumen dengan harga yang memuaskan dan (b) pembelian, yaitu membeli barang dari penjual dan kemudian menjualnya kembali dengan harga yang telah disepakati. (2) Fungsi pengadaan secara fisik, meliputi: (a) pengangkutan, yaitu pemindahan barang dari tempat produksi dan atau tempat penjualan ke tempat-
3
tempat dimana barang tersebut akan terpakai (kegunaan tempat), dan penyimpanan, yaitu penahanan barang selama jangka waktu antara dihasilkan atau diterima sampai dijual (kegunaan waktu) serta pengolahan. (3) Fungsi pelancar/fasilitas, meliputi: (a) pembiayaan, yaitu mencari dan mengurus modal uang yang berkaitan dengan transaksi-transaksi dalam arus barang dari sektor produksi sampai sektor konsumsi, (b) penanggungan risiko, usaha untuk mengelak atau mengurangi kemungkinan rugi karena barang yang rusak, hilang, turunnya harga dan tingginya biaya, (c) standardisasi dan grading, yaitu penentuan atau penetapan dasar penggolongan (kelas atau derajat) untuk barang dan memilih barang untuk dimasukkan ke dalam kelas atau derajat yang telah ditetapkan dengan jalan standardisasi, dan (d) informasi pasar, yaitu mengetahui tindakan-tindakan yang berhubungan dengan fakta-fakta yang terjadi, penyampaian fakta, menafsirkan fakta dan mengambil kesimpulan akan fakta yang terjadi.
Saluran tataniaga adalah jalur yang dilalui komoditas dari titik produsen sampai
titik konsumen akhir. Dengan mengikuti saluran tataniaga dapat diketahui : (a) jumlah produk yang dijual petani kepada tengkulak atau langsung ke konsumen akhir atau ke pedagang besar, (b) peranan dari pelaku tataniaga termasuk peranan petani dan (c) tempat terjadinya informasi. Panjang pendeknya saluran tataniaga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : (a) jarak produsen – konsumen, (b) cepat lambatnya produk rusak (c) skala produksi, (d) posisi keuangan perusahaan, (e) derajat standardisasi, (f) kemewahan produk, (g) nilai unit dari produk, (h) bentuk pemakaian produk, dan (i) struktur pasar (Nasruddin, 1999).
Lembaga tataniaga mempunyai peranan dalam menjembatani kesenjangan-
kesenjangan yang ada antara titik produsen dan titik konsumen, yang menyangkut kesenjangan karena waktu, bentuk, pemilikan, informasi dan nilai. Lembaga atau perantara tataniaga dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu pedagang perantara dan agen perantara. Golongan yang pertama menguasai dan memiliki barang, sedangkan golongan yang kedua menguasai tetapi tidak memiliki barang dagangan (Nasruddin, 1999).
Keragaan pasar merupakan hasil akhir yang dicapai akibat dari penyesuaian yang dilakukan oleh lembaga tataniaga pada struktur pasar tertentu, didefinisikan sebagai seberapa bagus sistem pemasaran bisa memenuhi harapan masyarakat dan pelaku pasar. Secara teoritis keragaan suatu industri ditentukan oleh 2 faktor yaitu: struktur industri (jumlah dan ukuran perusahaan, derajat diferensiasi produk, dan kemudahan keluar masuk pasar); dan market conduct (harga di tingkat produsen, produk dan strategi promosi). Ada dua indikator penting yang menggambarkan keragaan pasar, yaitu biaya tata niaga dan marjin tataniaga, dan effisiensi tataniaga.
Pengeluaran yang harus dilakukan untuk menyalurkan komoditi dari produsen ke
konsumen disebut biaya tataniaga (Utami, 2009). Hammond dan Dahl (1977), yang dikutip dalam Utami (2009), menyatakan bahwa marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga ditingkat produsen (Pf). Setiap lembaga pemasaran melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang berbeda sehingga
4
menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan yang lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir.
Marjin tataniaga didefinisikan sebagai perbedaan harga atau selisih harga yang
dibayar konsumen dengan harga yang diterima petani produsen atau dapat pula dinyatakan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen sampai ke titik konsumen akhir.
Efisiensi tataniaga adalah selisih antara total biaya dengan total nilai produk yang
dipasarkan, atau dapat dirumuskan :
EP=(TBTNP)x 100%
Dimana: EP = Efisiensi Pemasaran
TB = Total Biaya
TNP= Total Nilai Produk
Berdasarkan rumus tersebut, dapat diartikan bahwa setiap ada penambahan
biaya pemasaran memberi arti bahwa hal tersebut menyebabkan adanya pemasaran yang tidak efisien. Begitu pula sebaliknya, kalau semakin kecil nilai produk yang dijual berarti terjadi pemasaran yang tidak efisien (Sherpherd, 1962 dalam Soekartawi, 1989). Untuk menilai efisiensi juga dapat diukur dari tingkat integrasi pasar melalui analisa transmisi harga antar tingkat pelaku pasar.
Analisis Efektivitas Kebijakan Pemerintah.
Dalam melancarkan pasokan pangan strategis, menstabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, dan mengurangi disparitas harga pangan antara produsen dan konsumen, pemerintah melalui Kementerian Pertanian melakukan kegiatan intervensi dengan cara mendorong dilakukannya pembelian langsung gabah/beras dari petani/peternak dan//atau mendorong Kelompok tani menjualnya langsung ke konsumen melalui Toko Tani Indonesia (TTI). Kebijakan tersebut perlu dievaluasi dalam hal kemungkinannya dapat dikembangkan berlanjut kedepan untuk menggantikan sistem tataniaga yang selama ini telah terbangun, apakah kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara nasional atau hanya bersifat lokal, dan ongkos sosial yang kemungkinan ditanggung pemerintah dan masyarakat.
III. PRODUKSI, KONSUMSI DAN HARGA BERAS DI INDONESIA
Tataniaga merupakan keseluruhan dari kegiatan-kegiatan untuk merencanakan,
menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa kepada
kelompok pembeli. Dalam pendistribusian gabah dan beras, produksi dan konsumsinya
di suatu wilayah menjadi hal penting dalam menentukan jumlah yang akan
didistribusikan sehingga harga beras di wilayah tersebut dapat stabil dan masyarakat
5
dapat memperoleh beras dengan mudah mengingat beras merupakan kebutuhan pokok
yang harus tersedia setiap hari. Pendistribusian beras melalui lembaga-lembaga
perantara atau lembaga distribusi yang semakin banyak harus dilalui, menyebabkan
semakin tinggi harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir.
Pada bagian ini, ditunjukkan provinsi-provinsi yang mengalami surplus atau
defisit jumlah beras medium dan perkembangan harga rata-rata beras medium serta
variasinya. Analisa ini dilakukan untuk melihat keterkaitan antara ketersediaan dan
pasokan beras dengan fluktuasi harga beras di tiap-tiap provinsi. Diduga bahwa rata-
rata harga beras medium di provinsi-provinsi defisit dan variasinya akan tinggi serta
korelasi antara satu daerah defisit dengan daerah-daerah surplus terdekat akan tinggi
yang menunjukkan pasokan untuk provinsi defisit tersebut secara logis seharusnya
dipasok oleh provinsi-provinsi surplus terdekat sehingga rantai pasok tidak panjang dan
harga relatif tidak tinggi.
Dengan menggunakan data produksi beras dari BPS dan konsumsi beras dari
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS pada tahun 2014, diketahui bahwa
data produksi beras secara nasional dibandingkan konsumsinya menunjukkan surplus
beras sebesar 12,76 ton. Produksi beras dihitung dengan mengalikan data produksi
GKG yang diterbitkan BPS dengan faktor konversi 62,74 persen setelah sebelumnya
mengurangi angka produksi GKG dengan rata-rata disparitas angka ramalan (ARAM)
produksi GKG, dengan angka tetap (ATAP) produksi GKG dari BPS selama 10 tahun
terakhir sebesar 17 persen, untuk tingkat nasional dan tiap-tiap provinsi (Tabel 1).
Sementara untuk perhitungan konsumsi beras diperoleh dari data SUSENAS BPS
tahun 2014 yang merupakan angka konsumsi beras langsung, kemudian ditambahkan
dengan proyeksi kebutuhan beras untuk non konsumsi langsung atau untuk industri
sebesar 15 persen dari angka konsumsi langsung SUSENAS 2014. Dengan
mengurangi konsumsi dari produksinya di tiap-tiap provinsi, diperoleh provinsi–provinsi
yang mengalami surplus dan defisit beras.
Berdasarkan perhitungan perbedaan produksi dan konsumsi diatas, terdapat 7
provinsi yang pada tahun 2014 mengalami defisit beras yaitu DKI Jakarta, Riau,
Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, Kalimantan Timur dan Bali (Tabel 1). Di DKI
Jakarta, dengan populasi sekitar 9 juta orang dan luas lahan pertanian yang sangat
minim, sudah dapat dipastikan bahwa Jakarta merupakan konsumen beras. Untuk
provinsi Riau, lahan pertanian diutamakan untuk perkebunan sawit, sementara Nusa
Tenggara Timur dan Kalimantan Timur difokuskan untuk menjadi lokasi pengembangan
ternak sapi dan untuk usaha tambang batubara. Sementara di Maluku dan Papua,
beras bukan menjadi pangan utama melainkan sagu dan ubi jalar, sedangkan Bali
menjadi provinsi yang lahannya diutamakan untuk daerah pariwisata. Sementara
provinsi lain mengalami surplus beras dengan lima provinsi teratas yang surplus beras
adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Sumatera
Selatan.
6
Tabel 1. Produksi, konsumsi dan provinsi surplus/defisit beras tahun 2014 (ton), serta
harga rata-rata beras (Rp/kg) dan koefisien variasi harganya 2008-2015 (%) .
Provinsi Produksi
Beras Konsumsi
Beras + / -
Harga Rata-Rata (Rp/kg)
Koefisien Variasi (%)
2008-‘11 2012-‘15 2008-‘11 2012-‘15
DI Aceh 947,783 542,447 405,336 6,874 9,435 13.81 5.66
Sumatera Utara 1,890,835 1,593,106 297,729 6,909 9,244 12.41 6.87
beras (untuk pedagang besar) dan Rp.1.300 ribu/ton beras (untuk pengecer).Dalam
tataniaga pola umum ini, harga jual gabah dan beras dari masing-masing pelaku
tataniaga mengikuti harga pasar yang berlaku saat transaksi dilakukan (Tabel 2).
asi: Menilik Tujun, Manfaat, dan Efeknya'
Petani
Perantara
Agen / Pengumpul
UPGB
Bulog
Rekanan Non Rekanan
Pedagang
Lain
Pengecer
Pedagang
Satgas Sub
Divre
Dolog
G
A
B
A
H
G
A
B
A
H
B
E
R
A
S Konsumen
9
Tabel 2. Biaya dan keuntungan tiap-tiap pelaku tataniaga gabah dan beras per
penjualan 1 ton Gabah Kering Panen di Kabupaten Karawang, Jawa Barat,
2016 (Rp).
No Pelaku Tataniaga Kegiatan Satuan Volume Harga/kg Nilai 1 Petani HPP GKP Rp/kg GKP 1,000 3,700 3,700,000
Harga jual GKP/Pendapatan Petani Rp/kg GKP 1,000 4,375 4,375,000 Selisih Harga Aktual - HPP GKP Rp/kg GKP 1,000 675 675,000 2 Perantara Harga beli GKP dari petani Rp/kg GKP 1,000 4,375 4,375,000
+ Komisi perantara Rp/kg GKP 1,000 100 100,000 Harga jual GKP perantara Rp/kg GKP 1,000 4,475 4,475,000 3 Penggilingan Padi Harga beli GKP dari Perantara Rp/kg GKP 1,000 4,475 4,475,000
+ Biaya operasional pengumpul GKP Rp/kg GKP 1,000 28 28,000 + Biaya transport GKP petani ke RMU Rp/kg GKP 1,000 20 20,000 Harga GKP di penggilingan Rp/kg GKP 1,000 4,523 4,523,000 + Biaya penjemuran GKP Rp/kg GKP 1,000 150 150,000 + Biaya oven Rp/kg GKP 1,000 20 20,000 + Biaya Listrik Rp/kg GKP 1,000 15 15,000 + Ongkos giling Rp/kg Beras 575 400 230,000 + Biaya Pengemasan dan karung kemasan Rp/kg Beras 575 130 74,750 Total Biaya Pengolahan Gabah Rp/kg Beras 1,000 5,013 5,012,750 Pendapatan produk sampingan beras: - Produksi Menir Rp/kg 30 5,000 150,000 - Produksi Dedak Rp/kg 70 1,200 84,000 Biaya Pokok Produksi Beras Rp/ton gabah 4,778,750 Biaya Pokok Per Ton Beras Rp/ton beras 8,310,870 Penjualan beras ke pedagang besar: + Biaya bongkar muat Rp/kg Beras 1,000 15 15,000
+ Biaya perantara di pasar Rp/kg Beras 1,000 40 40,000 + Biaya transport beras dr RMU Rp/kg Beras 1,000 22 22,000
ke Pedagang Keuntungan RMU Rp/ton beras 412,130 Harga beras di pedagang besar pasar Rp/ton beras 8,233,870 4 Pedagang Besar Harga beli dari penggilingan padi Rp/kg Beras 1,000 8,800 8,800,000 Biaya operasional Rp/kg Beras 1,000 400 400,000
Keuntungan pedagang Rp/ton beras
800,000 Harga jual beras ke pengecer Rp/kg Beras 1,000 10,000 10,000,000 5 Pedagang Harga beli dari pedagang besar Rp/ton beras
Harga jual beras ke konsumen Rp/kg Beras 1,000 11,500 11,500,000 Sumber: primer, diolah. Keterangan: angka dalam kurung menunjukkan negatif.
Peraturan Presiden RI No. 48 Tahun 2016 Tentang Penugasan Kepada Perusahaan Umum (Perum Bulog) Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional
Peraturan Presiden RI No. 48 Tahun 2016 berisi tentang penugasan pemerintah kepada Perusahaan Umum (Perum) Bulog untuk menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen. Tidak hanya beras, penugasan Bulog tersebut menyangkut komoditi lain yaitu jagung, kedelai, gula, minyak
10
goreng, tepung terigu, bawang merah, cabe, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam. Namun, komoditas prioritasnya adalah beras, jagung dan kedele.
Dalam melaksanakan penugasan tersebut Bulog dapat melakukan penambahan cadangan pangan dengan cara mengimpor sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Selain itu, Bulog juga memiliki kewajiban untuk mengembangkan industri berbasis beras, termasuk produksi gabah/beras dan pengolahan gabah/beras. Terkait stabilisasi harga gabah/beras, Bulog dapat melakukan pembelian gabah/beras dipasaran berada diatas HPP, dengan persyaratan dan koordinasi pembelian ditetapkan melalui Keputusan Rapat Koordinasi dari beberapa kementerian. Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 63/M-DAG/PER/9/2016 Tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen Peraturan Menteri Perdagangan No. 63 ini dikeluarkan dalam rangka menjamin ketersediaan, stabilitas dan kepastian harga beberapa komoditas strategis termasuk komoditas beras sebagai yang utama. Dalam aturan tersebut, ditetapkan harga acuan pembelian gabah dan beras ditingkat petani dan harga jual beras dikonsumen. Harga acuan pembelian GKP, GKG dan beras di Petani berturut-turut adalah sebesar Rp. 3.700/kg GKP, Rp. 4.600/kg GKG, dan Rp. 7.300/kg beras. Sementara harga acuan penjualan beras di konsumen adalah Rp. 9.500/kg beras. Harga-harga acuan ini diperbaiki setiap empat bulan. Harga acuan pembelian gabah dan beras di petani dan harga acuan penjualan beras dikonsumen ditetapkan dengan telah mempertimbangkan struktur biaya yang wajar mencakup antara lain biaya produksi, biaya distribusi, keuntungan dan biaya lain.Terkait Bulog, dalam melakukan pembelian dan penjualan gabah dan beras disebutkan dalam aturan ini mengacu pada peraturan ini.
V. EFEKTIVITAS TATANIAGA GABAH DAN BERAS INTRODUKSI
5.1. Tataniaga PUPM-TTIGabah dan Beras di Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur
dan Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) merupakan salah
satu upaya pemerintah melalui Kementerian Pertanian untuk menjaga stabilitas harga
pangan utamanya beras baik ditingkat petani/produsen dan di tingkat konsumen. Dalam
program ini, gapoktan, atau disebut sebagai Lembaga Usaha Pangan Masyarakat
(LUPM) dalam aturannya, dan Toko Tani Inonesia (TTI) diberdayakan untuk dapat
menjalankan fungsi sebagai lembaga distribusi dalam suatu rantai distribusi yang lebih
efisien sehingga dapat mengurangi disparitas harga antara produsen dan konsumen.
Tujuan utama penggunaan LUPM dan TTI ini memang untuk memotong saluran
distribusi gabah dan beras.
Dalam jalur distribusi gabah dan beras melalui program PUPM (Pengembangan
Usaha Pangan Masyarakat) Kementerian Pertanian, Gapoktan diamanatkan untuk
11
membeli gabah petani dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP) dan/atau Gabah
Kering Giling (GKG) dengan harga sesuai HPP GKP (Rp. 3.700/kg) dan HPP GKG (Rp.
4.600,-/kg), atau dengan harga diatas HPP sesuai dengan rancangan harga pembelian
gabah petani yang diajukan gapoktan dalam program ini berdasarkan proyeksi
volatilitas harga gabah/beras dimasing-masing wilayah kerja gapoktan.Dua kasus
jaringan PUPM yaitu (1) dimulai dengan penjualan gabah oleh petani yaitu petani
menjual GKG di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat dan (2) diawali petani menjual
GKP di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur disajikan pada Tabel 3 untuk menunjukkan
besarnya keuntungan dan kerugian yang diperoleh masing-masing pelaku tataniaga
dalam program LUPM.Pola distribusi gabah dan beras di program ini adalah Petani-
perantara-gapoktan/penggilingan padi-Toko Tani (TTI)-konsumen.
Gambar 2. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras Program PUPM Kementan di
Kabupaten Karawang, Jawa Barat dan Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur, 2016.
Untuk kasus pertama, setiap musimnya rata-rata harga pembelian GKG petani
oleh gapoktan adalah sebesar Rp. 5.000,- per kg. Dibandingkan dengan pilihan menjual
GKG sesuai HPP GKG (Rp. 4.600,-/kg), terdapat selisih sebesar Rp. 400,-/kg, atau Rp.
400.000,- per ton GKG (Tabel 3).
Penggilingan padi melakukan pengangkutan GKG dari lokasi petani ke
penggilingan, lalu menggiling GKG menjadi beras. Total biaya pengolahan GKG
menjadi beras adalah Rp. 5,73 juta/ton GKG. Ditambah pendapatan dari produksi menir
dan dedak, maka biaya pokok produksi beras adalah sebesar Rp. 5,59 juta/ton GKG
atau setara Rp. 8,92 juta/ton beras (Rp. 5,59 juta/ton GKG x 1/0,6274). Beras ini
kemudian dijual ke TTI dengan tambahan biaya berupa biaya bongkar muat dan
transport ke TTI sehingga harga jual beras di TTI seharusnya sebesar Rp. 9,27 juta/ton
2 Perantara Harga beli GKP dari petani Rp/kg GKP 1,000 4,200 4,200,000
+ Komisi perantara Rp/kg GKP 1,000 100 100,000
Harga jual GKP perantara Rp/kg GKP 1,000 4,300 4,300,000
3 Penggilingan Padi Harga beli GKP dari Perantara Rp/kg GKP 1,000 4,200 4,200,000
Biaya transport GKP petani ke RMU Rp/kg GKP 1,000 20 20,000
Harga GKP di penggilingan Rp/kg GKP 1,000 4,220 4,220,000
Biaya penjemuran GKP Rp/kg GKP 1,000 150 150,000
Upah giling Rp/kg Beras 575 403 231,725
Biaya Listrik Rp/kg 1,000 15 15,000
Biaya Plastik/Karung kemasan Rp/kg 575 33 19,167
Biaya Pengemasan Rp/kg 575 100 57,500
Total Biaya Pengolahan Gabah Rp/kg Beras
4,693,392
Pendapatan produk sampingan beras:
Produksi Menir Rp/kg 30 1,900 57,000
Produksi Dedak Rp/kg 70 1,200 84,000
Biaya Pokok Produksi Beras Rp/ton gabah
4,552,392
Biaya Pokok Per Ton Beras Rp/ton beras
7,917,203
Penjualan beras ke pedagang besar:
Biaya bongkar muat Rp/kg Beras 575 15 8,625
Biaya transport beras dr RMU ke Bulog Rp/kg Beras 575 19 10,925
Keuntungan RMU Rp/ton beras
719,857
Harga beras di pedagang besar pasar Rp/ton beras
8,000,000
4 Bulog Harga beli Rp/kg Beras 1,000 8,000 8,000,000
Harga jual Rp/kg Beras 1,000 10,000 10,000,000
Biaya operasional Rp/kg Beras 1,000 250 250,000
Keuntungan Rp/kg Beras 1,000 1,750 1,750,000
5 Toko RPK Harga beli dari penggilingan padi Rp/kg Beras 1,000 10,000 10,000,000
Harga jual beras Rp/kg Beras 1,000 10,750 10,750,000
Keuntungan pedagang Rp/kg Beras 1,000 750 750,000
Sumber: primer, diolah.
17
Bulog menjual beras premium tersebut ke Kios RPK-Bulog sebesar Rp. 10.000,-
/kg. Dengan perbedaan antara harga beli beras dari penggilingan padi rekanan dan
harga jual ke RPK-Bulog sebesar Rp. 2.000,-/kg dan dikurangi biaya operasional
sebesar Rp. 250.-/kg beras, maka keuntungan yang diperoleh Bulog adalah sebesar
Rp. 1,75 juta/ton beras.
Sementara untuk Toko RPK-Bulog, terdapat kewajiban untuk menjual beras ke
konsumen dengan marjin keuntungan Rp. 750,-/kg beras dengan penetapan harga beli
beras dari Bulog ditetapkan oleh pihak Bulog sendiri dengan mengacu pada harga
pasaran beras saat transaksi. Keuntungan Toko RPK-Bulog mencapai Rp. 750 ribu/ton
beras premium yang di jual.
VI. PERTIMBANGAN KEBIJAKAN
6.1. Kemungkinan Memperpendek Rantai Tataniaga Gabah-Beras
Rantai pemasaran beras dapat menjadi demikian panjang dan tidak efektif yang
terlihat dari banyaknya mata rantai yang sebenarnya bisa diperpendek, seperti salah
satunya karena adanyaperantara dalam rantai pemasaran beras tersebut.
Pendistribusian beras yang panjang tersebut menyebabkan keuntungan yang dibagikan
untuk tiap-tiap mata rantai pemasaran beras menjadi besar. Hal ini membuat harga
pembelian gabah dan beras tertekan sedangkan harga jual beras menjadi tinggi.
Dari hasil analisa data sekunder per provinsi menunjukkan bahwa harga beras
yang semakin tinggi namun variasi harga beras yang semakin kecil. Hal ini
mengindikasikan harga beras di konsumen yang stabil pada tingkat harga tinggi. Hal ini
harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk menurunkan harga beras
tersebut dan mampu menyediakan beras bagi masyarakat dengan harga murah.
Dua pola pemasaran gabah dan beras yang menjadi pembanding dalam kajian
ini yaitu pola pemasaran pada program PUPM/TTI Kementerian Pertanian dan saluran
distribusi melalui program Rumah Pangan Kita-Bulog, merupakan upaya untuk
memangkas jalur pemasaran gabah-beras dan menstabilkan harga beras. Namun, hasil
kajian menunjukkan bahwa gapoktan yang terlibat dalam program TTI mengalami
kerugian karena subsidi yang diberikan terlampau kecil dan harga jual beras ke TTI
yang telah ditentukan tidak mampu memberikan marjin pemasaran yang cukup untuk
memberikan keuntungan ke gapoktan. Padahal, dalam Peraturan Menteri Perdagangan
No. 63 disebutkan bahwa harga acuan penjualan beras di konsumen adalah Rp. 9.500,-
/kg.
Tetapi, ditengah gejolak kerugian yang diperoleh gapoktan dalam program ini,
kegiatan program ini dapat terus berjalan dengan keputusan gapoktan untuk melakukan
aksi ambil untung dengan melakukan penjualan yang tidak sesuai dengan ketentuan
atau aturan dalam program LUPM ini. Oleh sebab itu, terkait tujuan kajian ini, program
18
TTI dipertimbangkan untuk tidak dijadikan model pemasaran untuk memperpendek
rantai pemasaran gabah dan beras.
Dilain sisi, Program RPK-Bulog mampu memotong rantai pemasaran gabah-
beras, namun tidak dapat menyentuh esensi untuk ‘memaksa’ menurunkan harga jual
beras ke konsumen karena penentuan harga jual beras yang mengikuti harga beras di
pasaran. Selain itu, program ini dilakukan oleh unit usaha komersial beras Bulog yang
memasarkan beras premium yang jumlah beras dalam usaha ini sangat kecil sehingga
sangat sulit untuk dapat memperkuat usaha menurunkan dan menstabilkan harga beras
di pasaran.
Kemudian dengan mempertimbangkan tataniaga gabah dan beras yang ada,
kajian ini menilai sangat tidak memungkinkan untuk memotong langsung lembaga
pemasaran yang ada dalam tataniaga tersebut seperti menghilangkan atau mengganti
keberadaan perantara mengingat perannya yang sangat terintegrasi dengan pihak
penggilingan padi dan petani. Perannya sangat diperlukan walaupun konsekuensinya
memperpanjang tataniaga dan meningkatkan biaya tataniaga.
6.2. Opsi Kebijakan
Pertama, Program PUPM/TTI tidak layak untuk menjadi model memperpendek
rantai tataniaga beras karena ongkos transaksi yang tinggi serta terdapatnya senjang
harga beras di pasar dan harga patokan disepakati dalam program tersebut yang
sangat besar. Senjang harga beras ini menciptakan peluang bagi gapoktan dan
penggilingan padi untuk dimanfaatkan namun tidak sesuai dengan aturan main yang
dibuat.
Kedua, jejaring distribusi beras melalui program RPK-Bulog belum dapat
bersaing karena ongkos transaksi yang juga tinggi dan infleksibilitas manajerial. Selain
itu, program ini dilakukan oleh bagian komersial Bulog sehingga harga penjualan beras
melalui jalur tataniaga ini mengikuti harga pasaran yang menyebabkan upaya menekan
harga beras secara umum sangat sulit dilakukan. Menimbang bahwa jumlah beras yang
dijual pada tataniaga ini sangat kecil dan karena yang melakukannya adalah divisi
komersialisasi Bulog dimana jumlah penjualannya sangat dibatasi maka akan sulit
untuk berkembang kedepannya terkait tugas utama Bulog untuk menyediakan beras
medium bersubsidi.
Ketiga, pemerataan wilayah produksi padi merupakan pilihan terbaik.Hal ini
dilakukan dengan prioritas pertama untuk menumbuhkan dan mengembangkan daerah-
daerah atau provinsi-provinsi sekitar lokasi atau area defisit. Dengan semakin
banyaknya wilayah-wilayah sentra produksi disekitar wilayah defisit akan memudahkan
penyaluran beras di daerah-daerah defisit tersebut dengan rantai pasok yang lebih
pendek dan ongkos tataniaga yang lebih murah. Selain itu, upaya pengembangan
wilayah-wilayah produksi akan mendukung peningkatan produksi gabah beras secara
nasional yang pada akhirnya mampu mendukung pencapaian swasembada beras.
19
VII. PENUTUP
Kajian ini merupakan salah satu penelitian analisis kebijakan yang dilakukan oleh tim
peneliti analisis kebijakan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)
pada akhir tahun 2016. Kajian ini dilakukan dalam waktu singkat dan hanya dilakukan
pada dua kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Timur dan menggunakan data sekunder
dan sumber informasi melalui FGD dan wawancara dengan beberapa responden,
sehingga jika dilakukan dengan lokasi survei yang lebih luas dan jumlah responden
yang lebih banya, hasilnya bisa berbeda,
Kajian ini menggunakan studi kasus, sehingga tidak dapat menggambarkan secara
utuh dan lengkap terkait kondisi tataniaga beras yang ada di Indonesia. Hasil kajian ini
tidak dapat digunakan sebagai gambaran pasti kondisi tataniaga beras di Indonesia.
Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan riset yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Mubyarto. 1973. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) . Jakarta. Nasruddin, Wasrob. 1999. Tataniaga Pertanian. [Diktat Kuliah]. Universitas Terbuka : Jakarta. Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Raja Grafindo Persada. Malang. Sihombing, Luhut. 2010. Tataniaga Hasil Pertanian. USU Press. Medan. (Online, usupress.usu.ac.id, diakses pada 13 Juli 2016). Utami, Yuniarni. 2009. Analisis Cabang Usahatani dan Tataniaga Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca. sp)(Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). [Skripsi]. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor.(Online,http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/15548, diakses pada 13 juli 2016)
mengevaluasi, mengawasi, pengendalian, dan pelaporan kegiatan PUPM ke Gubernur
dan Pusat; (d) Melakukan verifikasi terhadap CPCL Gapoktan yang diusulkan oleh
kabupaten/kota, Gapoktan yang memiliki usaha/bisnis dan berjalan baik dapat prioritas;
dan (e) Melakukan sosialisasi, koordinasi, integrasi, dan advokasi dengan instansi
terkait dalam pelaksanaan kegiatan PUPM.
Tugas dan tanggung jawab Tim Teknis Kabupaten/Kota adalah: (a) Membina,
memantau, mengevaluasi, mengawasi, pengendalian, dan pelaporan kegiatan PUPM ke
Bupati/Walikota dan Gubernur; (b) Mengidentifikasi CPCL Gapoktan dan Pedagang TTI
yang diusulkan oleh Gapoktan; (c) Mengusulkan CPCL Gapoktan, dan Pedagang TTI
yang diusulkan oleh Gapoktan kepada provinsi; (d) Mengusulkan pendamping kegiatan
58
PUPM kepada provinsi; dan (e) Mendampingi Gapoktan dalam proses pengusulan
pencairan dana bantuan pemerintah untuk kegiatan TTI. Disarankan Tim Teknis juga
melakukan pendampingan dalam pengelolaan dan penggunaan dana bantuan
pemerintah sehingga tepat sasaran dalam penggunaan.
Tugas dan tanggung jawab Gapoktan adalah: (a) Bersedia dan sanggup
melaksanakan kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM); (b)
Bersedia dan sanggup melakukan identifikasi CPCL untuk pedagang TTI; (c) Melakukan
pembelian bahan pangan pokok dan strategis (tercakup komoditas daging sapi) kepada
petani/mitra dengan harga yang menguntungkan bagi petani; (d) Melakukan pasokan
dan menjaga stabilisasi pasokan bahan pangan pokok dan strategis (tercakup
komoditas daging sapi) yang berkualitas secara berkelanjutan kepada pedagang TTI;
dan (e) Membuat pembukuan penerimaan dan penyaluran (penjualan) serta
mengirimkan laporan kepada PPK dan BKP provinsi melalui BKP kabupaten/kota.
Disarankan bagi Gapoktan yang memiliki unit usaha, seperti koperasi, pengembangan
TTI dapat terintegrasi ke dalam kelembagaan Gapoktan.
Tugas dan tanggung jawab Toko Tani Indonesia (TTI) adalah: (a) Bersedia dan
sanggup melaksanakan kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM);
(b) Melakukan penjualan bahan pangan pokok dan strategis (tercakup komoditas
daging sapi) sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan; (c) Menjaga stabilisasi
stok komoditas pangan pokok dan strategis secara berkelanjutan dengan harga yang
wajar; (d) Bekerjasama dengan Gapoktan untuk menjaga kontinuitas penyaluran dan
kualitas pangan (komoditas strategis) dengan harga yang wajar; (e) Membuat
pembukuan penerimaan dan penyaluran (penjualan) serta mengirimkan laporan kepada
Gapoktan; dan (f) Melakukan stock opname dan tutup buku pada akhir tahun.
Tugas dan tanggung jawab tenaga pendamping TTI meliputi: (a) Mendampingi
dan membimbing Gapoktan dan TTI sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Tim
Pembina Provinsi dan Tim Teknis Kabupaten/Kota; (b) Membuat rencana kerja dan
jadwal pelaksanaan kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) secara
tertulis mengenai kegiatan pendampingan dan pembinaan kepada Gapoktan dan
59
pedagang TTI; (c) Melaksanakan kunjungan dan pembinaan secara rutin minimal satu
kali dalam dua minggu kepada Gapoktan dan pedagang TTI; (d) Membuat laporan
secara berkala tentang kegiatan pendampingan yang dilakukan.
Pengembangan TTI secara nasional memiliki prospek jika dipersiapkan secara
matang, namun pengembangan TTI tidak dapat diseragamkan untuk semua wilayah
dan seluruh komoditas pangan strategis. Hasil kajian di lapang menunjukkan secara
teknis TTI dapat diterapkan di lokasi penelitian baik di daerah sentra produksi pangan
di perdesaan maupun pusat-pusat konsumsi di perkotaan. Secara ekonomi, usaha TTI
memberikan keuntungan yang sangat terbatas, sehingga diduga kurang memberikan
insentif yang memadai kepada Gapoktan dan pedagang pengelola TTI. Sebagai ilustrasi
keuntungan yang dianggap wajar bagi pedagang TTI sebesar Rp 5.000 – 7.500,-/Kg,
sementara BKP hanya memberikan keuntungan bersih hanya 2,5 % atau setara Rp
2.125,-/Kg, karena pedagang TTI memperhitungkan susut dan resiko tidak terjual.
Keberlanjutan program TTI sangat ditentukan oleh aspek pelaksanaan, aspek
pendukung, dan aspek promosi. Dalam aspek pelaksanaan harus dipersiapkan secara
baik beberapa hal penting berikut : (1) Juklak atau Juknis Program TTI (Toko Tani
Indonesia) bersifat sederhana sehingga mudah dipahami dan diimplementasikan; (2)
Sosialisasi program secara berkala pada berbagai tingkatan pelaksana agar mereka
termotivasi untuk melaksanakan TTI; (3) Pendampingan secara berkala sehingga tujuan
tercapai sesuai dengan yang direncanakan; dan (4) Melakukan monitoring dan evaluasi
secara berkala untuk mendapatkan umpan balik guna penyempurnaan TTI dan
pemecahan masalah baik teknis, ekonomi, maupun manajemen.
Aspek pendukung yang perlu mendapatkan perhatian adalah: (1) Perlu
direncanakan dan disiapkan oleh pihak tertentu tentang jenis, jumlah dan kualitas
bahan pangan strategis tercakup komoditas daging sapi; (2) Perlu penyedia fasilitas,
seperti tempat usaha, timbangan, tempat penyimpanan, dan alat lainnya; (3)
Kelembagaan pengelola TTI secara partisipatif berbasis kelembagaan
Gapoktan/Kelompok Tani/Kelompok Peternak; (4) Sebaiknya yang menjadi leading
institution adalah Badan Ketahanan Pangan (BKP) provinsi dan Kabupaten; (5)
60
Pengembangan usaha berbasis komoditas pangan unggulan sesuai kebutuhan
masyarakat konsumen; (6) Kelembagaan Gapoktan/Kelompok Tani/Kelompok Peternak
yang mampu memasok komoditas pangan yang ditransaksikan. Kesiapan aspek
pendukung saat ini di daerah sentra produksi dan pusat konsumsi masih kurang,
terlebih untuk komoditas daging sapi yang mudah rusak.
Aspek promosi dapat dilakukan melalui: (1) Temu lapang secara berkala untuk
memotivasi dusun/desa sekitar yang belum melaksanakan Program TTI; (2) Advokasi
secara berkala ke Pemangku kebijakan tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi
tentang manfaat dan keuntungan ekonomi dari TTI (Toko Tani Indonesia); (3) Kegiatan
lomba dan penghargaan dalam pengelolaan TTI pada berbagai level atau tingkatan
(desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional).
Keberlanjutan program TTI juga sangat ditentukan adanya sinergi antara
Program TTI dengan PUPM. Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam perencanaan dan
implementasinya perlu dirumuskan bersama terutama dalam aspek : (1) Lokasi tempat
usaha yang strategis (dusun, desa, kecamatan, kabupaten); (2) Terjaminnya jenis,
jumlah dan kontinyuitas pasokan komoditas pangan, tercakup komoditas daging sapi;
(3) Pendampingan Gapoktan dan pengelola TTI, baik oleh Tim Pembina Provinsi, Tim
Teknis kabupaten/kota, maupun petugas pendamping; (4) Manajemen rantai pasok
terpadu untuk komoditas pangan srategis produksi setempat; dan (5) Promosi,
diseminasi, dan replikasi Program TTI ke lokasi atau wilayah lain.
61
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Upaya pemerintah menurunkan harga daging di Indonesia melalui membuka
impor daging kerbau, membuka RPK dan TTI, serta memfasilitasi Kapal Ternak,
khususnya di DKI Jakarta dan daerah sekitarnya terlihat belum memberikan dampak.
Akan tetapi dengan upaya yang dilakukan telah memberikan alternatif bagi rumah
tangga kurang mampu untuk membeli daging dengan harga murah, yaitu berupa
daging kerbau beku asal impor dari India dan daging sapi lokal yang disalurkan Pemda
DKI Jakarta melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP). Selain itu, adanya alternatif daging
dengan harga murah, sampai saat ini mampu menekan naiknya harga daging segar di
DKI jakarta dan sekitarnya.
Bervariasnya sumber daging dengan harga yang berbeda. Sebaiknya penjualan
daging sapi lokal, daging sapi impor, dan daging kerbau impor dijual dengan harga
yang berbeda dan agar tidak rembesan atau oplosan diantaranya perlu dilakukan
pengawalan oleh pemerintah. Untuk mensosialisasi adanya perbedaan harga jual
berdasarkan sumber daging sebaiknya melibatkan TTI, RPK Bulog, Toko Daging Milik
PD Dharma Jaya dan PD Pasar Jaya, super market.
Untuk menghindari kenaikan harga yang melonjak menjelang puasa dan lebaran,
diharapkan saluran tata niaga yang diintroduksi pemerintah selama ini seperti RPK, TTI,
KJP diharapkan dapat berperan lebih maksimal. Upaya yang perlu dilakukan adalah
menambah volume penjualan dan memperbanyak outlet termasuk melalui kegiatan
operasi pasar yang diinformasikan melalui media sosial. Operasi pasar dilakukan dengan
memperhitungkan waktu yang tepat, yaitu sebelum terjadi kenaikan harga.
Pengaruh pasokan daging impor dan daging asal sapi bakalan impor
menyebabkan harga daging di Jakarta dan sekitarnya menjadi lebih murah
dibandingkan sentra produksi sapi lokal seperti Jawa Tengah. Untuk meningkatkan daya
saing usaha penggemukan sapi di Jawa Tengah dan mungkin juga daerah lain dapat
dilakukan dengan melakukan integrasi usaha secara vertikal, integrasi usaha secara
horizontal, dan melakukan diferensiasi produk.
62
Kebijakan yang dipandang relevan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
sistem tata niaga ternak sapi dan daging sapi adalah: (1) Pengembangan Bulog
Ditribution Management System (BDMS) terutama untuk daging sapi dan daging kerbau
asal impor; (2) Pengembangan pola distribusi dan tata niaga kontrak kerjasama jual-
beli antara PD Dharma Jaya dengan pedagang pengirim dari NTT via Tol Laut dengan
Kapal Camara Nusantara I, pemotongan dengan RPH PD Dharma Jaya dan distribusi
tata niaga melalui pasar yang dikelola PD Pasar Jaya dan program Kartu Jakarta Pintar;
dan (3) Pengembangan pola Toko Tani Indonesia (TTI) terutama di daerah-daerah
sentra produksi yang mampu menghasilkan daging sapi secara efisien yang
diintegrasikan dengan kebijakan pemerintah daerah setempat.
Kebijakan yang dipandang relevan untuk stabilisasi harga daging sapi khusnya di
DKI Jakarta dan Jawa barat adalah : (1) Percepatan peningkatan produksi sapi
domestik dengan pengembangan industri pembibitan dan pakan ternak berbahan baku
lokal, (2) Revitalisasi pasar hewan dengan sistem informasi pasar yang transparan dan
penggunaan sistem timbang, (3) Meningkatkan efektivitas dan efisensi sistem tata
niaga ternak sapi dan daging sapi dari daerah-daerah sentra produksi ke pusat-pusat
konsumsi melalui Tol Laut Kapal Camara Nusantara I; (4) Adanya rencana 5 unit kapal
ternak yang akan dialokasikan untuk NTT 3 unit, NTB 1 unit dan Bali 1 unit,
diperkirakan akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi sistem tata niaga ternak sapi.
Namun agar tidak terjadi pengurasan sapi lokal asal NTT maka disarankan agar
pedagang pengirim juga melakukan usaha pembibitan dan budidaya melalui pola
kemitraan usaha; (5) Penerapan kebijakan harga referensi komoditas daging sapi
secara tepat dan diperbaharui setiap tahun; dan (6) Kebijakan impor yang tepat
sebatas menutupi kekurangan pasokan dari sapi domestik sehingga ada tetap ada
insentif bagi peternak untuk meningkatkan produksi ternak sapi lokal.
63
DAFTAR PUSTAKA
Azzaino, 1981. Pengantar Tata niaga Pertanian. Diktat. Departemen Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor
Asmarantaka, R. W. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian dalam Bunga Rampai
Agribisnis Seri Pemasaran. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
BULOG, 2016. Operasionalisasi Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan Pokok. Dalam
Seminar Rutin Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada 29 Juni 2016. Bogor.
BKP. 2016. Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) Melalui Toko Tani
Indonesia (TTI) ”Konsep dan Implementasi”. Dalam Seminar Rutin Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada 29 Juni 2016. Bogor.
Dahl, Dale C. and Jerome W. Hamond. 1977. Market and Price Analysis. The Agriculture
Industries. McGraw – Hill. USA.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015. Statistik Peternakan 2012. Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Ilham, N., Basuno, E., Winarso, B., Zakaria, A.K., dan Nurasa, T. 2013. Kajian Efisiensi
Moda Transportasi Ternak dan Daging Sapi dalam Mendukung Program Swasembada Pangan. Pusat Sosial dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Ilham, N., Saptana, A. Purwoto, Y. Supriatna, Dan T. Nurara. 2015. Kajian Pengembangan Industri Peternakan Mendukung Peningkatan Produksi Daging.
Laporan Penetian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Kemendag. 2014a. Outlook Pasar Daging Sapi 2015-2019. Kementerian Perdagangan.
Jakarta.
Kemendag. 2014b. Laporan Hasil Survei Pemetaan Komoditas Agro 2014. Kerjasama PT Sucofindo, Tbk dengan Kementerian Perdagangang Republik Indonesia.
Jakarta.
Mubyarto. 1973. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta
Nasruddin, W. 1999. Tata niaga Pertanian. [Diktat Kuliah]. Universitas Terbuka. Jakarta.
Saptana dan H. P. Saliem. 2015. Tinjauan Konseptual Makro-Mikro Pemasaran dan Implikasinya Bagi Pembangunan Pertanian. Forum Agro Ekonomi, Volume 38 No.
2, Desember 2015, hal: 1-18.
Sihombing, Luhut. 2010. Tata niaga Hasil Pertanian. USU Press . Medan. (Online,
usupress.usu.ac.id, diakses pada 13 Juli 2016).
Utami, Yuniarni. 2009. Analisis Cabang Usahatani dan Tata niaga Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca. sp)(Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). [Skripsi]. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor.(Online, http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/15548, diakses pada 13 juli 2016)
Tomeck, W. G., and Kenneth L. Robinson. 1990. Agricultural Product Prices. Cornell
University Press. Third Edition. Ithaca and London.
LAPORAN PENELITIAN ANALISIS KEBIJAKAN (ANJAK) TA 2016
KAJIAN KEBIJAKAN TATANIAGA BERAS, BAWANG MERAH, CABAI DAN DAGING SAPI MENDUKUNG
KEDAULATAN PANGAN:
Laporan Komoditas Bawang Merah
Tim Peneliti
Muchjidin Rahmat Adang Agustian
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN 2016
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI ...................................................................................... ii DAFTAR TABEL.................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR.............................................................................. iv
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang............................................................................ 1
1.2. Tujuan....................................................................................... 2 1.3. Output dan Manfaat.................................................................... 3
II. METODOLOGI............................................................................................ 3
2.1. Lokasi dan Sampel Kajian............................................................ 3 2.2. Metode Analisa........................................................................... 3
III. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................... 8
3.1. Kabupaten Brebes...................................................................... 8
3.1.1. Dinamika dan Pola produksi Bawang Merah di Sentra Produksi Kabupaten Brebes.......................................... 8
3.1.2. Dinamika Harga Komoditas Bawang Merah di Tingkat Petani ........................................................................ 11 3.1.3. Tataniaga Bawang Merah............................................. 12
3.2. Kabupaten Nganjuk................................................................... 19 3.2.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah
di Jawa Timur............................................................. 19
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN............................................ 34
4.1. Kabupaten Brebes..................................................................... 34 4.2. Kabupaten Nganjuk................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 40
iii
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Perkembangan Produksi dan kebutuhan Bawang Merah di Indonesia, 2012-2015...................................................................................... 9
2. Perkembangan Analisa Usahatani, Komponen Biaya Produksi dan BEP Usahatani Bawang Merah Di Brebes Tahun 2012-2016...................... 13
3. Perbedaan Harga di Berbagai Tingkatan Lembaga Pemasaran Bawang
Merah, 2016.................................................................................. 18 4. Analisis Usahatani Bawang Merah Per Hektar di Kabupaten Nganjuk,
2. Penyebaran Produksi Bawang Merah 3 tahun terakhir, 2012-2015 di
Kabupaten Brebes (Ton).................................................................... 9
3. Pola Produksi dan Luas Tanam Bawang merah di Kab. Brebes, 2016..... 10 4. Perkembangan Harga Bawang Merah Bulanan di Tingkat Petani,
Tengkulak, Distributor dan Eceran, 2016............................................ 12
5. Perkembangan Harga Benih Bawang Merah di Brebes Tahun 2010-2016....................................................................................... 14
6. Alur pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes, 2016................ 16
7. Produksi Bawang Merah dibeberapa sentra Produksi di Jawa Timur, 2015 (Ton)...................................................................................... 19
8. Bagan Pemasaran Komoditas Pada Toko Tani Indonesia.................... 24
9. Alur Pemasaran Bawang Merah dari Tingkat Petani di Lokasi Kajian Kabupaten Nganjuk-Jawa Timur, 2016............................................. 29
10. Alur Pemasaran Bawang Merah dari Tingkat Petani hingga Pedagang
Pasar Sukomoro Kabupaten Nganjuk-Jawa Timur, 2016................... 33
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tataniaga adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan yang
ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan
mendistribusikan barang dan jasa kepada kelompok pembeli. Semua unsur, baik
perorangan, perusahaan, atau lembaga yang secara langsung terlibat dalam proses
pengaliran barang dari produsen ke konsumen disebut lembaga tataniaga. Kegiatan
pemasaran disalurkan melalui lembaga-lembaga perantara atau lembaga distribusi.
Semakin panjang saluran distribusi yang dilalui suatu produk maka semakin tinggi
harga yang harus dibayarkan konsumen akhir. Kondisi ini terkadang berdampak
dimana produsen/petani biasanya mendapatkan keuntungan yang kecil dibandingkan
pedagang.
Sistem tataniaga dianggap baik dan efisien apabila memenuhi tiga indikator: (1)
mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen kepada konsumen dengan harga
yang wajar, (2) mampu menjamin stabilisasi pasokan dan harga, dan (3) mampu
mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan
konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut didalam kegiatan produksi dan
tataniaga barang tersebut. Sistem tataniaga yang tidak efisien akan mengakibatkan
kecilnya keuntungan yang diterima oleh produsen, jadi harga yang diterima produsen
dapat juga dijadikan ukuran efisiensi sistem tataniaga (Mubyarto, 1989 : 166).
Dalam tahun terakhir terjadi gejolak harga pangan pokok nasional. Harga
pangan strategis cenderung meningkat tidak terkendali antara lain akibat dari
masalah kelancaran pasokan, sementara harga ditingkat petani cenderung tetap
yang berarti disparitas harga pangan antara produsen dan konsumen semakin besar.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan sebarapa jauh sistem tata niaga yang
terbangun saat ini dinilai baik dan effisien, seberapa jauh pelaku pasar telah bekerja
dengan baik, dan seberapa jauh pemerintah dapat berperan untuk melakukan
tugasnya dalam mengatur dan kalau perlu mengintervensi sehingga terbangun sistem
tataniaga yang baik dan effisien.
2
Dalam upaya stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok tersebut, kementerian
pertanian telah melakukan kegiatan intervensi dengan cara mendorong dilakukannya
pembelian langsung gabah, bawang merah, cabai dan sapi dari petani/peternak dan
atau mendorong Kelompok tani menjualnya langsung ke konsumen melalui Toko Tani
Indonesia (TTI). Upaya tersebut ditujukan dalam rangka memotong rantai pasokan
yang dianggap terlalu panjang dan tidak effisien yang menyebabkan terjadinya
permasalahan dalam kontinuaitas pasokan, harga yang tidak stabil dan disparitas
harga yang besar ditingkat produsen dan konsumen. Dengan upaya tersebut
diharapkan petani/peternak dapat menikmati harga yang wajar, pasokan lancar dan
konsumen dapat membeli dengan harga yang lebih murah. Langkah intervensi
tersebut dilakukan dalam rangka menjamin pasokan dan stabilisasi harga menjelang
bulan puasa dan lebaran.
Intervensi tataniaga tersebut dinilai berhasil sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Dengan langkah intervensi pemerintah tersebut, beberapa peran pelaku
dalam tataniaga menjadi hilang dan digantikan oleh Bulog. Pertanyaannya adalah
apakah langkah intervensi tersebut dapat berlanjut kedepan untuk menggantikan
sistem tataniaga yang selama ini telah terbangun sekian lama?; Apakan langkah
intervensi dalam tataniaga tersebut dapat dilaksanakan secara nasional atau hanya
bersifat lokal?; dan apakah kebijakan intervensi tersebut berakibat ongkos sosial
besar yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat.
1.2. Tujuan
Berdasarkan uraian di atas, pada intinya, tujuan kajian ini ialah merumuskan
alternatif tataniaga komoditi stategis yang baik dan effisien. Secara lebih rinci,
tujuan kajian ini ialah:
1. Mengkaji sistem tataniaga komoditi strategis beras, bawang merah, cabai dan
daging sapi yang berlaku saat ini,
2. Mengevaluasi efektifitas sistem tataniaga yang berlaku di pasar umum dan
sistem tataniaga introduksi,
3. Merumuskan rekomendasi alternatif sistem tataniaga komoditi strategis yang
dinilai baik dan effisien.
3
1.3. Output dan Manfaat
Hasil kajian ini diharapkan memberikan alternatif rumusan kebijakan sistem
tataniaga komoditas beras, bawang merah, cabai dan daging sapi yang dinilai baik
dan effisien yang dapat meningkatan perbaikan penyampaian hasil-hasil dari
produsen kepada konsumen dengan harga yang wajar, menjamin stabilisasi harga,
dan terjadi pembagian yang adil diantara pelaku tataniaga.
II. METODOLOGI
2.1. Lokasi dan Sampel Kajian
Khusus pada laporan ini, komoditas yang dilaporkan adalah bawang merah.
Kajian di lakukan di sentra produksi bawang merah nasional yaitu di Kabupaten
Brebes, Jawa Tengah dan di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Kegiatan Analisis Kebijakan ini akan ditekankan kepada penelitian lapangan
tentang pelaksanaan tataniaga yang berlaku di masyarakat dan pola intervensi yang
dilakukan terhadap komoditi strategis. Sesuai dengan metoda analisa kegiatan
penelitian meliputi penelusuran komoditas mulai dari produsen/petani bawang merah
dan kelompok tani bawang merah, pedagang pengumpul bawang merah, pedagang
besar bawang merah (pengirim), pedagang bawang merah di pasar lokasi penelitian,
pedagang bawang merah di Pasar Induk Kramat Jati, hingga konsumen. Selain itu
juga terdapat responden kajian lainnya seperti aparat Dinas pertanian Tanaman
Pangan di provinsi dan kabupaten kajian, dan Asosiasi Bawang Merah Indonesia
(ABMI).
2.2. Metode Analisa
Istilah tataniaga sering juga diartikan sama dengan pemasaran atau distribusi
yaitu suatu macam kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan
barang dari produsen ke konsumen (Mubyarto, 1973). Menurut Sihombing (2010),
kegiatan tataniaga adalah sebagian dari kegiatan distribusi. Distribusi menimbulkan
suatu kesan seolah-olah orang-orang yang bergerak di dalam bagian ini bersifat
4
statis, menunggu saja apa yang akan mereka peroleh dari produsen untuk dibagi-
bagikan lagi kepada konsumen.
Fungsi tataniaga mengusahakan agar pembeli memperoleh barang yang
diinginkan pada tempat, waktu dan bentuk serta harga yang tepat. Fungsi tataniaga
terdiri dari tiga fungsi pokok, yaitu: (1) Fungsi pertukaran, meliputi : (a) penjualan,
yaitu menjual barang kepada konsumen dengan harga yang memuaskan dan (b)
pembelian, yaitu membeli barang dari penjual dan kemudian menjualnya kembali
dengan harga yang telah disepakati. (2) Fungsi pengadaan secara fisik, meliputi : (a)
pengangkutan, yaitu pemindahan barang dari tempat produksi dan atau tempat
penjualan ke tempat-tempat dimana barang tersebut akan terpakai (kegunaan
tempat), dan penyimpanan, yaitu penahanan barang selama jangka waktu antara
dihasilkan atau diterima sampai dijual (kegunaan waktu) serta pengolahan. (3)
Fungsi pelancar/fasilitas, meliputi : (a) pembiayaan, yaitu mencari dan mengurus
modal uang yang berkaitan dengan transaksi-transaksi dalam arus barang dari sektor
produksi sampai sektor konsumsi, (b) penanggungan risiko, usaha untuk mengelak
atau mengurangi kemungkinan rugi karena barang yang rusak, hilang, turunnya
harga dan tingginya biaya, (c) standardisasi dan grading, yaitu penentuan atau
penetapan dasar penggolongan (kelas atau derajat) untuk barang dan memilih
barang untuk dimasukkan ke dalam kelas atau derajat yang telah ditetapkan dengan
jalan standardisasi, dan (d) informasi pasar, yaitu mengetahui tindakan-tindakan
yang berhubungan dengan fakta-fakta yang terjadi, penyampaian fakta, menafsirkan
fakta dan mengambil kesimpulan akan fakta yang terjadi.
Saluran tataniaga adalah jalur yang dilalui komoditas dari titik produsen
sampai titik konsumen akhir. Dengan mengikuti saluran tataniaga dapat diketahui :
(a) jumlah produk yang dijual petani kepada tengkulak atau langsung ke konsumen
akhir atau ke pedagang besar, (b) peranan dari pelaku tataniaga termasuk peranan
petani dan (c) tempat terjadinya informasi. Panjang pendeknya saluran tataniaga
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : (a) jarak produsen – konsumen, (b)
cepat lambatnya produk rusak (c) skala produksi, (d) posisi keuangan perusahaan,
(e) derajat standardisasi, (f) kemewahan produk, (g) nilai unit dari produk, (h)
bentuk pemakaian produk, dan (i) struktur pasar (Nasruddin, 1999).
5
Lembaga tataniaga mempunyai peranan dalam menjembatani kesenjangan-
kesenjangan yang ada antara titik produsen dan titik konsumen, yang menyangkut
kesenjangan karena waktu, bentuk, pemilikan, informasi dan nilai. Lembaga atau
perantara tataniaga dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu pedagang perantara
dan agen perantara. Golongan yang pertama menguasai dan memiliki barang,
sedangkan golongan yang kedua menguasai tetapi tidak memiliki barang dagangan
(Nasruddin, 1999).
Atas dasar pemikiran diatas, maka metoda analisa tataniaga akan didasarkan
kepada analisa fungsi-fungsi tataniaga yaitu analisis Struktur, Perilaku, dan
Keragaan (Structure, Conduct, and Performance/SCP), Biaya dan Marjin Tataniaga,
Efisiensi Pemasaran dan Analisis Efektivitas Kebijakan Pemerintah.
a. Struktur Pasar
Struktur pasar dalam suatu industri akan menentukan perilaku dan kinerja
pasar tersebut. Struktur pasar menjelaskan tentang definisi industri dan perusahaan,
mengenai jumlah yang ada dalam satu pasar, distribusi perusahaan dengan berbagai
ukuran dan diferensiasi produk, serta syarat-syarat keluar masuk pasar (Azzaino,
1983). Menurut Dahl dan Hammond (1972) terdapat 4 karakteristik untuk
menentukan struktur pasar yaitu: (1) jumlah perusahaan yang terdapat pada suatu
pasar; (2) diferensiasi produk; (3) kemudahan memasuki pasar; (4) status
pengetahuan tentang biaya, harga dan kondisi pasar diantara pelaku pemasaran.
Pasar dapat diklasifikasikan sebagai pasar persaingan sempurna (banyak pembeli dan
penjual), monopolistik (banyak perusahaan), oligopoly (sedikit perusahaan) atau
monopoli (perusahaan tunggal). Pada pasar yang berbeda sistem pemasarannya juga
berbeda.
b. Perilaku Pasar
Perilaku pasar mengacu pada pola perilaku yang diikuti perusahaan-perusahaan
dalam menyesuaikan diri dengan pasar di mana mereka menjual atau membeli.
Perilaku itu meliputi metode dan kriteria yang digunakan oleh perusahaan atau
kelompok perusahaan dalam menentukan keluaran, kebijakan penetapan harga,
kebijakan produk, dan kebijakan promosi mereka serta hubungan mereka satu sama
6
lain. Mempelajari perilaku pasar yang tercermin dalam aksi yang dilakukan oleh suatu
perusahaan atau pembeli sangat membantu dalam memahami pemasaran.
c. Keragaan Pasar
Keragaan pasar merupakan hasil akhir yang dicapai akibat dari penyesuaian
yang dilakukan oleh lembaga tataniaga pada struktur pasar tertentu, didefinisikan
sebagai seberapa bagus sistem pemasaran bisa memenuhi harapan masyarakat dan
pelaku pasar. Secara teoritis keragaan suatu industri ditentukan oleh 2 faktor yaitu:
struktur industri (jumlah dan ukuran perusahaan, derajat diferensiasi produk, dan
kemudahan keluar masuk pasar); dan market conduct (harga di tingkat produsen,
produk dan strategi promosi)
d. Biaya dan Marjin Tataniaga
Marjin tataniaga didefinisikan sebagai perbedaan harga atau selisih harga yang
dibayar konsumen dengan harga yang diterima petani produsen atau dapat pula
dinyatakan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari
tingkat produsen sampai ke titik konsumen akhir. Pengeluaran yang harus dilakukan
untuk menyalurkan komoditi dari produsen ke konsumen disebut biaya tataniaga
(Utami, 2009). Hammond dan Dahl (1977), yang dikutip dalam Utami (2009),
menyatakan bahwa marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat
konsumen (Pr) dengan harga ditingkat produsen (Pf). Setiap lembaga pemasaran
melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan
harga jual dari lembaga satu dengan yang lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir.
e. Efisiensi Pemasaran
Efisiensi tataniaga adalah selisih antara total biaya dengan total nilai produk
yang dipasarkan, atau dapat dirumuskan :
EP=(TBTNP)x 100%
Dimana :
EP = Efisiensi Pemasaran
TB = Total Biaya
TNP = Total Nilai Produk
Berdasarkan rumus tersebut, dapat diartikan bahwa setiap ada penambahan
biaya pemasaran memberi arti bahwa hal tersebut menyebabkan adanya pemasaran
7
yang tidak efisien. Begitu pula sebaliknya, kalau semakin kecil nilai produk yang dijual
berarti terjadi pemasaran yang tidak efisien (Sherpherd, 1962 dalam Soekartawi,
1989).
f. Analisis Efektivitas Kebijakan Pemerintah.
Dalam melancarkan pasokan pangan strategis, stabilisasi pasokan dan harga
pangan pokok dan mengurangi disparitas harga pangan antara produsen dan
konsumen, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian melakukan kegiatan
intervensi dengan cara mendorong dilakukannya pembelian langsung gabah, bawang
merah, cabai dan sapi dari petani/peternak dan atau mendorong Kelompok tani
menjualnya langsung ke konsumen melalui Toko Tani Indonesia (TTI). Kebijakan
tersebut perlu dievaluasi dalam hal kemungkinannya dapat dikembangkan berlanjut
kedepan untuk menggantikan sistem tataniaga yang selama ini telah terbangun,
apakah kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara nasional atau hanya bersifat
lokal, dan ongkos sosial yang kemungkinan ditanggung pemerintah dan masyarakat.
8
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kabupaten Brebes
3.1.1. Dinamika dan Pola produksi Bawang Merah di Sentra Produksi
Kabupaten Brebes
Provinsi Jawa Tengah memiliki kontribusi produksi sebesar 38 % terhadap
produksi bawang merah nasional. Pada tahun 2015, total produksi bawang merah di
Jawa Tengah sebesar 471.692 ton, dengan sentra produksi utama terdapat di
Kabupaten Brebes (66%), Demak (10,37%), Kendal (5,41%), Pati (4,69%), Tegal
4,57%), Temanggung (2,64%), Boyolali (2,21%), Grobogan (1,13%) dan Kabupaten
lainnya (2,99%). Menurut Dinas Pertanian Jawa Tengah (2016) bahwa sentra
produksi khususnya Temanggung dan Boyolali merupakan sentra produksi bawang
merah dataran tinggi, dan daerah lainnya merupakan sentra dataran rendah.
Gambar 1. Produksi Bawang Merah dibeberapa sentra Produksi di Jawa Tengah, 2015 (Ton).
-
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
350.000 311.296
48.905 25.499
22.101 21.546 12.464
10.436 5.330 14.114
Produksi (Ton)
9
Tabel 1. Perkembangan Produksi dan kebutuhan Bawang Merah di Indonesia, 2012-2015.
No Tahun Produksi (Ton) Kebutuhan (Ton)
1 2012 929.296 890.916 2 2013 866.919 906.952
3 2014 1.029.655 941.417
4 2015 1.043.609 980.956
Sumber: BPS (2016)
Gambar 2. Penyebaran Produksi Bawang Merah 3 tahun terakhir, 2012-2015 di
Kabupaten Brebes (Ton)
Melihat data tersebut diatas bahwa produksi Bawang merah selama satu tahun
terlihat masih mencukupi untuk mensuply kebutuhan nasional , tetapi penyebaranya
tidak merata. Pada bulan Juli, agustus dan Desember produksinya dua kai lipat lebih
dari kebutuhan nasional terutama pada bulan Agustus mencapai 170.000 ton
(Kebutuhan nasional sekitar 76.000 Ton sampai dengan 81.746 ton per bulan).
Sebaliknya mulai bulan Pebruari sampai dengan April panen Bawang merah di
sentra-sentra prosuksi bawang cenderung mengalami penurunan, paling rendah pada
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
180000
PENYEBARAN PRODUKSI DALAM SATU TAHUN
PRODUKSI
10
bulan maret hanya mencapai kisaran 20.000 – 30.000 ton sehingga terjadi
kekurangan pasokan untuk bulan bulan tersebut.
Keadaan ini terjadi setiap tahun karena sifat bawang merah yang musiman dan
karateristik bawang merah itu sendiri. Pada bulan Pebruari sampai April di daerah
sentra produksi Bawang seperti Brebes, Tegal Cirebon, nganjuk dan probolinggo
umumnya petani tidak banyak yang menanam bawang tetapi mananam padi karena
nenanam bawang pada musim penghujan banyak resikonya (gangguan hama dan
penyakit serta produktifitas menurun) secara otomatis pasokan pada bulan tersebut
berkurang sedangkan kebutuhan konsumsi bawang merah relative tetap setiap bulan
bahkan cenderung meningkat.
Kemudian karakteristik bawang merah itu sendiri, Bawang merah salah satu
produk hortikultura yang tidak tahan lama di simpan, Penyimpanan dengan cara
konvensional Suhu ruangan dalam satu bulan penyusutan mencapai 20 - 30 %
.Kecuali penyimpanan dengan cold storage bisa mengurangi penyusutan, tetapi
biayanya tinggi dan tidak bisa dilakukan oleh petani.
Gambar 3. Pola Produksi dan Luas Tanam Bawang merah di Kab. Brebes, 2016
9.065 5.593
25.450
125.412
7.040
46.782
1.125 677 2.617
10.451
704
5.198
-
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
Jan-Peb Mar-Apr Mei-Jun Jul-Agus Sep-Okt Nop-Des
Produksi (Ton) Luas Tanam (Ha)
11
IV. 3.1.2. Dinamika Harga Komoditas Bawang Merah di Tingkat Petani
Dinamika harga bawang merah di Kabupaten Brebes relatif berfluktuatif antar
bulannya. Pada tahun 2016, perbedaan harga antar bulan dari Januari hingga
Agustus di tingkat produsen dan konsumen sangat besar dan kecenderungannya
terus melebar. Tatkala harga di tingkat petani/produken sulit bergerak (naik), justru
harga di tingkat konsumen semakin meningkat pesat, hal ini sebagaimana disajikan
pada Gambar 4. Harga bawang merah di tingkat pengecer dibandingkan dengan
harga di tingkat distributor dan tengkulak juga menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Terdapatnya berbagai biaya, pada alur tataniaga yang misalnya volume
bawang merah dibeli penebas 100 kg basah, dan dalam alur tataniaga di pedagang
pengecer sisanya hanya menjadi 65 kg. Selain itu, dengan terdapatnya resiko susut
dan biaya proses, maka dapat dipastikan total biaya juga tinggi. Oleh karena itu,
dalam rangka menekan resiko kerugian di tingkat pedagang pengecer akibat tidak
lakunya bawang merah eceran, maka upaya yang dilakukan dalah dengan
meningkatkan harga di eceran yang dapat mencapai 30-40% dari harga yang dibeli
dari pedagang besar di pasar induk.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ketidakefisienan dalam
pemasaran bawang merah, yaitu: (a) Tempat produksi (sentra produksi) jauh dari
pusat konsumsi, sehingga membutuhkan sarana transportasi dan berimplikasi
terhadap biaya yang cukup mahal, (b) Bersifat musiman, padahal konsumsi
berlangsung sepanjang waktu, (c) Komoditas bawang merah tidak dapat langsung di
konsumsi, namun harus melalui tahapan seperti: aktivitas proses, penjemuran,
sortasi, packing, dan lainnya, (d) Sifat mudah rusak, sehingga dalam penyimpanan
memerlukan teknologi tinggi dan biayanya relatif mahal, (e) Petani butuh
pembayaran tunai setelah panen, dan (f) Masih dominannya sistem pemasaran
bawang basah (Butong=cabut potong).
12
Gambar 4. Perkembangan Harga Bawang Merah Bulanan di Tingkat Petani, Tengkulak,
Distributor dan Eceran, 2016 (Sumber: ABMI, 2016a).
V. 3.1.3. Tataniaga Bawang Merah
Secara garis besar fenomena gejolak harga bawang merah berkaitan dengan
empat permasalahan dasar, yaitu: (1) Harga bawang merah dinilai tinggi dan terus
meningkat, (2) Manajemen produksi bawang, (3) Tataniaga bawang yang mengarah
ke oligopsony, dan (4) Margin harga bawang ditingkat produsen dan konsumen.
Terkait Permasalahan Pertama, bahwa biaya Produksi Bawang Merah Tinggi
dan Terus Meningkat. Harga bawang merah dinilai tinggi dan terus meningkat
berkaitan dengan tingginya biaya produksi usahatani dan menurunnya produktivitas.
Hasil kajian di Brebes menunjukkan, pada tahun 2012 -2016 biaya produksi
usahatani bawang merah meningkat dari Rp 72,7 juta/ha menjadi Rp 126,3 juta/ha
atau kenaikan sebesar 74 persen dalam kurun waktu 4 tahun (Tabel 2). Komponen
terbesar kenaikan biaya produksi tersebut adalah biaya benih, yang meningkat dari
28,0 persen dalam tahun 2012 menjadi 52,24 pada tahun 2016.
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
45.000
50.000
Di Tkt. Petani
Di Tkt PedagangPengumpul / Tengkulak
Di tkt Pedagang besar /Distributor
Eceran (di pasar Brebes)
Eceran di Jabotabek
13
Tabel 2. Perkembangan Analisa Usahatani, Komponen Biaya Produksi dan BEP Usahatani
dari sisi kemudahan petani menjual hasil produksi bawang dan meningkatkan posisi
tawar petani, Namun disisi lain, pola tebasan telah menyebabkan produk bawang
yang dipasarkan dalam bentuk rogolan basah atau Butong (cabut potong). Bawang
butong ini hanya baik dikonsumsi paling lama 5 hari setelah panen dan apabila lebih
dari lima hari tingkat kebusukan bawang meningkat tajam.
Berkembangnya pedagang besar dan pola tebasan juga memungkinkan
terbangunnya oligpsony pasar bawang dan dimungkinkannya pegadang besar
tersebut menentukan harga pasar bawang. Pada bagian lain, berkembangnya
pedagang besar yang membangun lapak sendiri dalam kegiatan pasca panen bawang
telah mematikan peran pasar induk di sentra produksi yangtelah lama berperan. Di
Brebes pasar induk sentra produksi Klampok praktis telah tidak berfungsi, hal yang
sama dengan pasar induk Sukomoro di Nganjuk yang perannya semakin menurun
hanya dalam transaksi penjualan bawang untuk pasar lokal
Terkait Permasalahan Keempat, yaitu margin Harga Bawang Ditingkat Produsen
Dan Konsumen. Pada dasarnya pembentukan harga bawang merah dimulai di pasar
induk (Kramat jati, Cibitung). Pada saat pasokan bawang ke pasar induk berkurang
harga akan naik dan sebaliknya pada saat pasokan melimpah harga menurun.
Dengan sistem komunikasi yang baik saat ini, memungkinkan informasi harga pasar
sangat terbuka, transparan dan dengan mudah dan cepat dapat diakses/diletahui
oleh setiap pelaku pasar. Informasi harga di pasar induk tersebut segera
ditransmisikan dan dipakai sebagai acuan pada transaksi antara penebas dengan
petani. Pada kondisi demikian dinamika harga di tingkat petani, tengkulak dan
distributor (pasar induk), tengkulak dan petani relatif searah.
Dapat dikatakan tataniaga bawang merah dari petani sampai distributor (pasar
induk) relatif effisien. Margin yang diambil oleh masing masing pelaku dinilai wajar,
dan perbedaan harga bergerak sejalan dengan pengeluaran/ biaya yang dikeluarkan
untuk perlakuan pasca panen dan biaya transport. Tentunya dalam transaksi penebas
juga mempertimbangkan resiko perubahan harga, resiko produksi dan penyusutan
(Tabel 3). Namun demikian dengan struktur pasar terkordinir oleh beberapa
18
pedagang besar bermodal, sistem tataniaga bawang merah mengarah ke oliigopsony,
dan pembentukan harga bawang di pasar induk dapat saja diintervensi oleh
pedagang besar yang memiliki stok cukup.
Tabel 3. Perbedaan Harga di Berbagai Tingkatan Lembaga Pemasaran Bawang Merah, 2016.
Uraian Tingkat
petani
Tingkat
penebas
Pedagang
besar/
pengirim
Pasar Induk Pasar eceran
tradisional
Pedagang
keliling eceran
Harga /kg Tebasan
Rp23.00g
Dasar tebasan
23.000/kg
pedagang
Rp 26.00
pasar induk
Rp 29.000
pasar eceran
Rp 30.000-
32.000
konsumen Rp
40.000- 42.000
Biaya /kg BEP=Rp
13.000/Kg
Biaya biaya:
calo = Rp 25/kg
cabut=Rp 300/kg
potong= Rp500/kg
angkut=Rp 250/kg
jemur= Rp 75/kg
Jasa Lapak= Rp25/kg
Biaya total=Rp1175/Kg
Biaya
transport Rp
300/kg
Susut 6 kg/
kw=Rp 1.560
/kg
Biaya Sewa
lapak,
pegawai,
listrik dan
linnya = Rp
1.000/kg
Biaya sewa
lapak dll
Rp 200/kg
Tanaga
transport
keliling
Atau
Warung
Faktor konversi /rendemen
100 kg tangkai basah
menjadi 85 kg butong
98,3 kg 90,1 kg 88,2 kg
81 kg
Keungunga
n/ margin
perkg
Rp 10000
Rp 18
Rp 290 Rp 1000 –
Rp 2000
Rp 2800 Rp 8000
Faktor Konversi : 1. Rendemen dari panen basah (Penebas) ke rogolan basah/butong (pedagang besar/pengirim ) = 85%
2. Potongan dari penebas ke pengirim = 1,7 % 3. Potongan dari pengirim ke pasar induk = 8,3 % 4. Rendemen dari butong ke bawang konsumsi pasar eceran tradisional = 88,22 %
5. Rendemen dari butong ke bawang konsumsi eceran diatas 7 hari = 80 % 6. Rendemen dari butong ke bawang konsumsi eceran diatas 7 hari = 65 %
19
3.2. Kabupaten Nganjuk
VI. 3.2.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah di Jawa Timur
Provinsi Jawa Timur memiliki kontribusi produksi sebesar 23 % terhadap
produksi bawang merah nasional. Pada tahun 2015, total produksi bawang merah di
Jawa Timur sebesar 278.034 ton, dengan sentra produksi utama terdapat di
Kabupaten Nganjuk dengan tingkat produksi sebesar 142.817 ton (51,37%) dan
Probolinggo sebesar 49.023 ton (17,61%) (Gambar 1). Menurut Dinas Pertanian Jawa
Timur (2016) bahwa sentra produksi dalam pengembangan bawang merah di Jawa
Timur dibagi dalam 3 wilayah, yaitu: (1) Wilayah Barat dan Tengah: Nganjuk, Kediri,
Magetan, Mojokerto, Bojonegoro, Malang Kota Batu; (2) Wilayah Timur: Probolinggo,
Bondowoso; dan (3) Wilayah Madura: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, serta
Sumenep.
Gambar 7. Produksi Bawang Merah dibeberapa sentra Produksi di Jawa Timur, 2015 (Ton)
Dalam mendukung peningkatan produksi bawang merah, diperlukan
ketersediaan baik kuantitas maupun kualitas benih bawang merah di tingkat petani.
Untuk memenuhi ketersediaan benih tersebut, saat ini sistem perbenihan bawang
-
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
160.000142.817
49.023
16.983 15.211 13.655 11.900 7.831 20.615
Produksi (Ton)
20
merah di Jawa Timur khususnya di sentra produksi Nganjuk sebagian besar berasal
dari sendiri (Sistem Jalur benih antar lapang/Jabal). Rendahnya ketersediaan benih
bawang merah bersertifikat yaitu 65,15 ton dari kebutuhan rata-rata setiap tahun
sebesar 28.356 ton (luas tanam rata-rata sebesar 23.630 ha), atau sebesar 0,2 %,
menyebabkan petani lebih banyak menggunakan benih JABAL. Dalam hal ini,
penyediaan benih Bawang Merah bersertifikat sebagian besar melalui pola percepatan
(pemurnian) bukan melalui pola baku sertifikasi. Benih yang digunakan berasal dari
umbi sehingga kurang efektif (jumlah besar dan transportasi khusus). Adapun alasan
adalah: (1) Bisa dibuat sendiri melalui proses sortir, (2) Harga lebih murah, (3)
Mudah didapat (sesuai waktu, jumlah, varietas yang dibutuhkan), dan (4)
Produktivitas tidak berbeda nyata dengan yang bersertifikat walaupun sebenarnya
benih jabal tidak memberikan kepastian daya tumbuh dan kemurnian varietas.
Adapun varietas komersial yang banyak digunakan petani di Kabupaten Nganjuk
adalah: Super Philip, Bauji, Tanjung, Katumi, Mentes, Manjung.
3.2.2. Analisis Usahatani Bawang Merah
Pada kegiatan usahatani bawang merah di Kabupaten Nganjuk, bawang merah
secara umum ditanam 2 kali dalam setahun yaitu saat musim MH (bulan Oktober-
Desember) dan disaat MK (bulan Mei-Juli). Umur bawang merah sekitar 60 hari,
dengan jenis varietas yang ditanam adalah Bauji (saat MH) dan Thailand (saat MK).
Dalam analisis semusim, rataan produktivitas usahatani bawang merah yang
dihasilkan sebesar 12 ton/ha. Dengan tingkat harga rata-rata yang diterima petani
sebesar Rp 18.000/kg, maka diperoleh penerimaan sebesar Rp 216,00
juta/ha/musim. Adapun biaya usahatani yang dikeluarkan mencapai Rp 123,55
juta/ha/musim, sehingga tingkat keuntungan usahatani yang diraih sebesar Rp 92,46
juta/ha/musim dengan R/C sebesar 1,75. Adapun BEP (Break Even Point) harga
bawang merah pada usahatani sebesar Rp 10.295/kg. Dengan demikian usahatani
bawang merah yang dilakukan petani di Kabupaten Nganjuk layak diusahakan dan
memberikan keuntungan yang signifikan bagi petani.
21
Tabel 4. Analisis Usahatani Bawang Merah Per Hektar di Kabupaten Nganjuk, 2016
(Rp/ha/musim).
No Uraian Volume Harga (Rp/kg) Nilai (Rp)
A Biaya Produksi
Benih (kg) 1.000 60.000 60.000.000
Pengolahan tanah 10.000.000
Tanam 2.100.000
Pupuk
NPK (Kg) 800 2.500 2.000.000
ZA (Kg) 400 3.600 1.440.000
KCl (Kg) 200 9.000 1.800.000
Penyiangan (HOK) 40 75.000 3.000.000
Pembumbunan (HOK) 12 75.000 900.000
Insektisida
Cair 2.500.000
Padat 1.400.000
Fungsisida 3.405.000
Sewa Lahan 20.000.000
Panen
Cabut 2.400.000
Penjemuran (HOK) 32 75.000 2.400.000
Angkut 3.000.000
Potong/Rogol (Rp/Kg) 600 12.000 7.200.000
Total Biaya 123.545.000
Biaya (Rp/Kg) 6.864
B Produksi (Kg) 12.000 18.000 216.000.000
C Keuntungan 92.455.000
D R/C 1,75
E Keuntungan (Rp/Kg) 5.136
F. BEP Harga (Rp/Kg) 10.295 Sumber: Data Primer (2016).
22
3.2.3. Tataniaga Bawang Merah
Tataniaga Komoditas Pertanian Strategis termasuk Bawang Merah melalui
Toko Tani Indonesia (TTI)
Kondisi harga komoditas pangan yang fluktuatif dapat merugikan petani sebagai
produsen, pengolah pangan, pedagang hingga konsumen dan berpotenso
menimbulkan keresahan sosial. Kenaikan harga bahan pangan juga digolongkan
sebagai komponen inflasi bergejolak karena mudah dipengaruhi masa panen.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka melakukan terobosan sebagai solusi dalam
mengatasi gejolak harga, yaitu melalui kegiatan Pengembangan Usaha Pangan
Masyarakat (PUPM) melalui Toko Tani Indonesia (TTI). Kegiatan tersebut, secara
tidak langsung berperan dalam mengatasi anjloknya harga pada masa panen raya
dan tingginya harga pada masa paceklik. Secara teknis, di lapangan Gapoktan akan
memasok komoditas pertanian strategis kepada TTI. Dari TTI tersebut, komoditas
strategis tersebut akan dijual kepada masyarakat dengan harga terjangkau. TTI
dalam hal ini adalah pedagang pangan yang menjadi mitra Gapoktan. Sasaran
kegiatan PUPM nasional, pada tahun 2016 mencapai 500 Gapoktan yang melayani
1000 TTI.
Toko Tani Indonesia (TTI) merupakan sebuah program baru dari pemerintah
yang mendekatkan antara petani dengan konsumen sehingga rantai pemasaran
produk pertanian bisa lebih pendek dan mengurangi biaya-biaya yang kurang efisien.
Toko Tani Indonesia membeli produk langsun dari petani melalui Bulog dengan harga
yang seharusnya menguntungkan pihak petani, produk dari petani akan di tampung
oleh Bulog kemudian dari Bulog akan dibagi menjadi 4 Toko Tani yaitu TTI 1 (Mitra
Bulog), TTI 2 (Outlet Bulog dan Bulogmart), TTI 3 (Perorangan dan Koperasi), dan
TTI 4 (LUPM dan Gapoktan) (Gambar 2). Setelah berada di tangan ketiga maka
produk pertanian dapat langsung dijual ke konsumen akhir dengan harga yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Berikut adalah bagan model bisnis toko tani Indonesia.
Petani pun bisa langsung menjual produknya tanpa harus melalui Bulog tetapi melalui
TTI 4 (LUPM dan Gapoktan) kemudian akan langsung dipasarkan konsumen tingkat
akhir.
23
Adapun Tujuan Toko Tani Indonesia adalah: (1) Menyerap produk pertanian
nasional khususnya bahan pangan pokok dan strategis, (2) Mendukung stabilitas
harga, dan (3) Memberikan kemudahan akses konsumen/masyarakat terhadap bahan
pangan pokok dan strategis. Sasaran Toko Tani Indonesia: (1) Terserapnya produk
pertanian nasional khususnya bahan pangan pokok dan strategis, (2) Terwujud
stabilitas harga, dan (3) Kemudahan akses konsumen/masyarakat terhadap bahan
pangan pokok dan strategis. Daerah konsumen utamanya yang menjadi barometer
fluktuasi harga dan pasokan komoditas pangan pokok dan stategis pada tahun 2015
di Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa
Timur, dan pada tahun 2016-2019 berada di 34 Provinsi Indonesia. Secara umum
kriteria penerima kegiatan TTI antara lain: (1) Pedagang tetap, (2) Memiliki tempat
usaha milik pribadi atau sewa, (3) Berlokasi strategis yang mudah dijangkau
konsumen, (4) Memiliki SIUP / NPWP / UD (surat izin usaha dari desa), (5)
Pengalaman usaha minimal 4 tahun, (6) Tidak sedang bermasalah dalam
hutang/piutang dengan pihak manapun, (7) Bersedia kerja sama dengan Perum
BULOG/Mitra perum BULOG yang tertuang dalam kontrak, (8) Bersedia menjual
produk pangan TTI, dan (9) Bersedia membuat catatan transaksi penjualan khusus
kegiatan TTI.
24
Gambar 8. Bagan Pemasaran Komoditas Pada Toko Tani Indonesia
Produk pertanian yang dijual di TTI seperti daging sapi Rp 80.000 kilogram,
gula pasir Rp 12.000 kilogram, daging ayam Rp 30.000 kilogram, bawang merah Rp
23.000 kilogram, bawang putih Rp 22.000 kilogram, beras premium Rp 7.900
kilogram, dan minyak goreng Rp 9.500/liter. Harga jual sudah ditetapkan oleh
pemerintah sehingga ada keseragaman harga dan tidak ada kesenjangan yang begitu
curam antar daerah. Toko Tani Indonesia sangat membantu mempertemukan antara
petani dengan konsumen akhir karena dengan demikian harga di petani sesuai
dengan harapan dan harga jual ke konsumen juga tidak terlalu tinggi. Pihak yang
terlibat dalam program TTI tentu adalah petani dengan konsumen dan ada beberapa
pihak lagi yang terlibat dalam TTI antara lain Kementerian Perindustrian,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian BUMN
sierad produce, Fajar Mulia Transindo serta Asosiasi Minyak Goreng Indonesia.
Khusus terkait dengan penanganan harga bawang merah ketika terjadi fluktuasi
harga, tampaknya secara nasional sudah mampu stabilisasi harga secara signifikan.
Seperti halnya diketahui bahwa Indonesia sebagai produsen bawang yang cukup
25
besar, sehingga pemerintah memandang perlunya turun langsungmenaganinya
dengan cara mengangkut bawang merah yang ada di tingkat petani seperti di Brebes
dan Bima kemudian bisa langsung dijual langsung ke konsumen tanpa banyak
perantara. Dalam program TTI ada 3 pihak yang harus saling menjaga satu sama lain
supaya harga-harga dan stok produk pertanian tetap terjaga yaitu petani, pemerintah
dan konsumen.
Setiap gapoktan bermitra dengan 2 Toko Tani Indonesia (TTI). Saat ini di Jawa
Timur terdapat 68 gapoktan/PUPM yang bermitra dengan 136 TTI. Toko Tani
Indonesia di Jawa Timur memiliki peran dalam pemasaran komoditas pertanian
seperti beras, bawang merah dan cabai merah, sehingga memiliki peran signifikan
dalam pengendalian inflasi daerah. TTI awalnya lebih banyak berperan dalam
menampung dan memasarkan komoditas beras dari gapoktan (gabungan kelompok
tani). Pada lokasi kajian di Kabupaten Nganjuk, TTI juga masih belum melakukan
pembelian bawang merah petani. Hal ini lebih disebabkan, lokasi TTI berada pada
wilayah gapoktan yang merupakan sentra produksi padi dan hanya sedikit petani
yang berusahatani bawang merah.
Tataniaga Komoditas Pertanian Strategis termasuk Bawang Merah melalui
Rumah Pangan Kita (BULOG)
Pada tahun 2016, Perum Bulog membangun jaringan distribusi pangan berbasis
kerakyatan, bernama Rumah Pangan Kita (RPK) diharapkan dapat menstabilisasi
harga kebutuhan pokok. Keberadaan RPK ini Pada tahun 2016, ditargetkan akan
berdiri sebanyak 3-4 ribu RPK di seluruh Indonesia. Konsep RPK merupakan usaha di
rumah untuk menyediakan kebutuhan pangan dengan harga murah, sehat dan stabil.
Selain itu mendekatkan akses konsumen dengan produsen, tanpa banyak perantara.
Rumah Pangan Kita (RPK) adalah outlet pemasaran bahan pangan dan produk
industri pangan strategis yang dibentuk untuk memotong mata rantai distribusi
sehingg semakin mendekatka produsen dan konsumen. Saat ini secara nasional
outlet Bulog yang sudah beroperasi sekitar 300 unit. Diharapkan pada akhir tahun
2016 jumlahnya sudah mencapai 1000 outlet. Bahkan, kalau memungkinkan jumlah
tersebut akan ditingkatkan hingga 3000 hingga 4000 outlet. Pihak yang ingin
26
kerjasama membuka outlet RPK, syaratnya harus cukup memiliki ruang
penyimpanan dan menebus barang senilai Rp 5 juta atau kelipatannya. Selain beras,
pasokan ke RPK juga termasuk komoditas lain seperti tepung terigu, gula
pasir, minyak goreng, dan daging.
Masyarakat yang bekerjasama membangun RPK dikenal dengan istilah Sahabat
RPK. Dalam rangka memperluas jaringan RPK di masyarakat ini Perum Bulog
membuka kesempatan kepada masyarakt luas untuk mendapatkan penghasilan
tambahan dengan bergabung menjadi Sahabat RPK. Menurut Bulog, beberapa
keuntungan menjadi sahabat RPK diantaranya penghasilan tambahan, modal awal
relatif kecil, jaminan harga yang lebih murah dari harga pasar, jaminan kualitas
produk, serta barang diantar langsung ke lokasi.
Khusus di Jawa Timur, terdapat sekitar 250 unit RPK. Diharapkan dari setiap 1
RW (Rukun Warga) terdapat 1 RPK. Komoditas yang ditangani saaat ini masih
terbatas untuk komoditas seperti beras, tepung terigu, gula pasair dan minyak
goreng. Khusus seperti beras tersedia di setiap RPK beras dengan beragam kaualitas
seperti premium dan medium. RPK juga masih belum melakukan pembelian bawang
merah petani/gapoktan. Hal ini lebih disebabkan, komoditas bawang merah perlu
penanganan khusus mengingat merupakan komoditas yang cepat busuk.
Sistem Panen dan Tataniaga Bawang Merah dari Tingkat Petani Dalam tataniaga/pemasaran bawang merah diperlukan kehadiran pemerintah
dalam menangani pembelian bawang merah. Pemerintah dapat memberdayakan
kelompoktani/gapoktan dalam pembelian bawang merah tersebut dengan pola sistem
resi gudang. Berbeda dengan dengan sistem resi gudang yang ada, dimana pola
yang diusulkan yaitu terbangunnya kerjasama antara kelembagaan gapoktan dengan
petani bawang merah. Gapoktan diharapkan dapat berperan dalam menjualkan
bawang merah petani dengan jaminan dana talangan dari pemerintah. Petani akan
mendapat resi atas jaminan bawang yang diserap oleh gapoktan melalui sistem resi
gudang. Bawang merah petani tetap disimpan di rumah petani dan dijaga petani.
Pada saat harga bawang tinggi, gapoktan akan menjual bawang merah sehingga
dapat memberikan keuntungan bagi petani.
27
Sistem panen bawang merah di Kabupaten Nganjuk dapat dilakukan dengan
sistem tebasan/borongan dan rogolan. Proporsi sistem panen yang ada di Kabupaten
Nganjuk untuk kedua sistem tersebut masing-masing sebesar 60 dan 40 persen.
Petani yang menjual bawang merah dengan sistem tebasan memiliki beberapa alasan
yang dapat dipahami seperti: (a) membutuhkan biaya cepat untuk menutupi hutang
saprotan dan pemenuhan kebutuhan keluarga, (b) tidak memiliki lantai jemur jika
harus panen bawang dengan sistem rogolan, dan petani juga merasa berat jika harus
mengeluarkan biaya pengeringan lanjut, dan (c) petani merasa khawatir jika harga
bawang merah jatuh saat panen dimana pemanenannya dengan sistem rogolan.
Oleh karena itu, pada sistem panen tebasan maka petani hanya mengeluarkan
biaya panen/cabut saja. Sementara jika harus panen dengan sistem rogolan, maka
petani disamping harus mengeluarkan biaya panen/cabut juga harus mengeluarkan
biaya potong/rogol, jemur (sekitar 2-3 hari) dan biaya pengangkutan ke rumah. Pola
tebasan bisa dilakukan misalnya seminggu sebelum panen tiba, atau pada saat dihari
siap panen.
Pada pedagang yang membeli bawang merah dengan sistem tebasan, maka
penebas akan memberikan DP (down payment) terlebih dahulu ke petani dengan
besaran sekitar 10-30% dari nilai jual yang telah disepakati. Pada pedagang yang
membeli bawang merah dengan sistem tebasan tersebut, jika harga beli saat panen
dengan kesepakatan harga yang lebih besar dari harga saat panen tiba (siap melepas
hasil panen) maka hampir dipastikan pedagang akan rugi. Umumnya pedagang akan
bersikap, daripada kerugian yang harus ditanggung semakin besar maka lebih baik
melepas DP yang sudah dibayarkan ke petani. Namun sebaliknya jika harga bawang
saat panen tiba lebih besar dari harga kesepakatan saat menebas, maka justru
petanilah yang tidak akan menikmati kenaikan harga bawang merah tersebut karena
bawang merahnya sudah ditebaskan.
Kegiatan panen dengan sistem tebasan pada usahatani bawang merah dapat
dilakukan oleh pedagang setempat/lokal atau oleh pedagang dari luar daerah/desa.
Pada pedagang setempat/lokal yang melakukan pembelian dengan sistem tebasan
akan langsung bertransaksi dengan petani bawang karena sudah saling mengenal.
Namun, jika pedagang dari luar daerah dalam melakukan pembelian dengan sistem
28
tebasan biasanya terlebih dahulu akan berhadapan dengan calo/perantara untuk
dapat menebas/membeli bawang merah ke petani karena belum saling mengenal.
Dalam konteks sistem pemasaran, calo/perantara akan mendapat fee dari
satu transaksi yang berkisar antara Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta yang tergantung
nilai jual pemasaran bawang merah tersebut. Terdapat 2 alur rantai tataniaga
bawang merah dari petani. Pada rantai pertama, petani menjual bawang merah ke
penebas, selanjutnya penebas menjual bawang merahnya ke pedagang
pengumpul/tengkulak atau menjual langsung ke pedagang besar (pengirim ke luar
kota/daerah). Pada Rantai kedua, petani dapat langsung menjual bawang merah ke
pedagang besar/pengirim. Selanjutnya bawang merah yang diperoleh oleh pedagang
besar/pengirim selanjutnya dijual ke Pasar Induk (PI) Kramat Jati- Jakarta atau PI
Cibitung-Bekasi serta pasar luar kota lainnya/luar Jawa. Sementara, bawang merah
yang dibeli oleh pedagang pengumpul kecil/tengkulak selanjutnya dijual ke pedagang
pasar lokal termasuk ke Pasar Sukomoro Nganjuk. Berdasarkan alur tersebut, tampak
bahwa alur pertama, pemasaran bawang merah dari petani cukup pendek/ringkas.
Permasalahan yang muncul dengan seringnya ada fenomena lonjak harga di tingkat
konsumen adalah akibat tingginya harga jual selepas dari pedagang di Pasar Induk
Kramat Jati/Cibitung. Secara lengkap alur pemasaran bawang merah dari tingkat
petani dengan pelibatan pedagang besar/pengirim di lokasi kajian disajikan pada
Gambar 9.
29
Gambar 9. Alur Tataniaga Bawang Merah dari Tingkat Petani di Lokasi Kajian Kabupaten Nganjuk-Jawa Timur, 2016.
Kehadiran pedagang besar (pengirim) dalam sistem tataniaga bawang merah di
Kabupaten Nganjuk memiliki peran signifikan. Satu pedagang besar dapat memasok
bawang merah ke Pasar Induk kramat Jati dan Cibitung berkisar antara 1- 3 truk,
dimana satu truk berkapasitas 6,5 ton bawang merah. Untuk mengirim bawang
merah ke pasar induk, biasanya pengirim akan mengontak terlebih dahulu pedagang
lapak di pasar induk. Dengan mengetahui harga di pasar induk, maka pengirim akan
memasang harga pembelian ke petani atau penebas sesuai dengan harga yang ada
Petani bawang
merah
Penebas
Pedagang Pengumpul
/Tengkulak
Pedagang
di Pasar Lokal
Peda-
gang Eceran
Konsu-
men
Pedagang besar/
Pengirim
Pedagang Psr Induk Jakarta
PedaganEceran
Konsu-men
Pedagang Pasar Luar Kota & Luar Jawa
30
di pedagang lapak pasar induk. Pedagang besar/pengirim biasanya akan membayar
bawang merah yang dibelinya ke petani sesuai harga kesepakatan saat transaksi
sekitar 1-2 hari. Jika dalam masa kesepakatan ternyata harga jatuh di Pasar Induk,
maka hal itu menjadi tanggungjawab pedagang/pengirim.
Pada proses pembelian bawang merah ke petani misalnya, pedagang
besar/pengirim harus mengeluarkan biaya seperti: karung (Rp 29/kg) dan ongkus kuli
menaikan barang sebesar Rp 216/kg. Adapun ongkos angkut bawang merah dari
Nganjuk ke Pasar Induk Cibitung jakarta sebesar Rp 2.800.000/truk atau sekitar Rp
431/kg. Umumnya pengirim akan menjual bawangnya ke pedagang lapak di pasar
induk yang merupakan pedagang langganannya. Pedagang lapak seperti halnya di
Pasar Induk Cibitung mampu menyerap sekitar 20 truk bawang merah per hari atau
sekitar 130 ton/hari. Menurut informasi dari pedagang, bahwa harga bawang di
Pasar Induk Jakarta akan relatif stabil, jika kiriman bawang dari berbagai pedagang
daerah masih dibawah 15 truk perhari atau 97,5 ton/hari. Namun jika kiriman
bawang dari berbagai pedagang daerah lebih dari 15 truk, maka kecenderungan
harga bawang di Pasar Induk akan menurun karena terjadi over supply.
Adapun biaya lain yang harus ditanggung pedagang besar/pengirim adalah:
biaya lain dan karcis sebesar Rp 59/kg). Pedagang juga harus menanggung biaya
penyusutan bawang selama pengangkutan sebesar 60 kg per truk atau sebesar Rp
167/kg. Selain itu, pedagang pengirim juga harus membayar komisi pada pedagang
Lapak di Pasar Induk sebesar Rp 1.000/kg. Total biaya yang harus dikeluarkan
pedagang besar/pengirim diluar biaya penyusutan sebesar Rp 1.735/kg. Dengan
demikian marjin pemasaran yang diraih pedagang besar/pengirim tampaknya cukup
kecil yaitu sebesar Rp 1.098/kg.
Pedagang Lapak di Pasar Induk, selain memperoleh komisis dari para pengirim,
juga akan memperoleh marjin dari pemasaran bawang merah ke pedagang yang
membeli ke pedagang pasar Induk. Umumnya pedagang yang membeli bawang
merah merupakan para pedagang disekitar pasar induk sebagi pedagang yang
nantinya bawang merah di jual ke para pengecer.
Khusus penebas, yaitu merupakan pedagang yang menebas dari petani untuk
penjualan bawang merah ke pedagang pengumpul/tengkulak akan mengeluarkan
31
biaya: karung (Rp 29/kg), ongkos angkut dan kuli sebesar Rp 293/kg. Dengan harga
tebasan yang lebih rendah dari harga rogolan saat panen, serta biaya pemasaran Rp
245/kg maka diperoleh marjin pemasaran pada penebas sebesar Rp 1.678/kg.
Tabel 5. Kinerja Harga dan Marjin Pemasaran Bawang Merah dari Tingkat Petani, Penebas dan Pengirim, 2006 (Rp/Kg)
No. Pelaku Pemasaran Susut
(Rp/ Kg)
Harga Beli (Rp/Kg)
Harga Jual (Rp/Kg)
Biaya Pemasaran & Penanganan (Rp/kg)
Marjin Pemasaran (Rp/Kg)
1 Petani - - 18.000 - -
2 Penebas - 17.000 19.000 322 1.678
3 Pengirim/Bandar 167 18.000 21.000 1.735 1.098
4. Pedagang Lapak Pasar Induk
- 21.000 ba ba ba
Sumber: Data primer penelitian (2016) Keterangan: ba=belum ada informasi
Bila dilihat dari aspek kelembagaan pemasaran di pasar Sukomoro Kabupaten
Nganjuk, bahwa saat ini volume bawang merah yang dipasarkan di pasar Sukomoro
berkisar antara 18-25 ton/hari. Volume tersebut tampaknya mengalami penurunan
dibandingkan dengan waktu 8-10 tahun yang lalu yang biasanya dapat mencapai 50
ton/hari. Hal ini antara lain karena semakin intensifnya pola panen dengan sistem
tebasan.
Secara faktual bahwa semakin berkembangnya sistem panen tebasan
berdampak terhadap kelembagaan pemasaran pasar di Sukomoro yaitu:
(a) Pendapatan pasar yang semakin menurun akibat volume bawang merah
yang masuk pasar menurun,
(b) Semakin sedikitnya volume bawang merah yang dipasarkan menyebabkan
banyak TK kuli pasar yang menganggur dan angkutan pasar (transportasi) di
pasar tidak optimal. Sebelum tahun 1990-an, pasar Sukomoro ramai oleh
penjual (pedagang besar) yang bertransaksi dengan pedagang yang datang
dari luar kota.
Makin banyaknya bandar besar yang langsung beli bawang merah ke petani dan
juga penebas beli bawang merah ke petani menyebabkan semakin sedikit petani
yang menjual langsung bawang merah ke pasar Sukomoro untuk bertransaksi
32
dengan pedagang. Namun beberapa petani tetap ada yang datang dari luar kota.
Petani yang akan bertemu dengan pedagang dari luar kota biasanya membawa
monster /contoh dan bertemu dengan makelar yang terdapat di pasar. Di Pasar
Sukomoro jumlah calo/makelar dapat mencapai 20 orang. Adapun jumlah pedagang
di pasar Sukomoro dapat mencapai 15-20 pedagang. Umumnya bawang merah yang
masuk ke pedagang pasar cukup bervariasi, ada kualitas super sedang dan kecil
(sortiran).
Pedagang kecil/tengkulak menjual ke pedagang di pasar Sukomoro dengan
mengeluarkan ongkos angkutan dan kuli sebesar Rp 106/kg. Marjin tataniaga yang
diraih pedagang pengumpul/tengkulak bawang hanya sebesar Rp 894/kg. Sementara
pada pedagang pasar di Pasar Sukomoro, dengan harga beli Rp 20.000/kg dan
menjualnya seharga Rp 22.000/kg, dengan sejumlah biaya yang harus dikeluarkan.
Adapun biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp 121/kg, dengan rincian: (a) Ongkos
angkutan kuli angkut Rp 106/kg dan retribusi serta timbangan sebesar Rp 15/kg.
Oleh karena itu, marjin tataniaga yang diperoleh hanya sebesar Rp 1.879/kg.
Adakalanya pedagang di pasar juga menjual dengan ukuran grade (ukuran)
sedang dan kecil. Harga bawang merah kualitas super misalnya seharga Rp
22.000/kg, maka untuk kualitas sedang seharga Rp 18.000- Rp 19.000/kg dan
kualitas kecil (sortiran) Rp 5.000-Rp 6.000/kg. Untuk bawang merah kualitas sortiran
terutama untuk mengisi industri bawang goreng dan indofood.
Ada kecenderungan para pedagang besar/pengirim kurang menyukai mengirim
atau membeli dari pedagang di pasar Sukomoro. Pengirim tidak menyukai terhadap
sikap pedagang pasar yang seringkali berbuat tidak fair yang mengatur bawang
dengan yang besar di pinggir karung (transparan) agar kelihatan isinya merupakan
bawang yang ukurannya besar, sementara didalamnya (karung) banyak yang kecil-
kecil.
33
Gambar 10. Alur Tataniaga Bawang Merah dari Tingkat Petani hingga Pedagang
Pasar Sukomoro Kabupaten Nganjuk-Jawa Timur, 2016.
Tabel 6. Kinerja Harga dan Marjin Pemasaran Bawang Merah dari Tingkat Petani di
Pasar Sukomoro (Rp/Kg) No. Pelaku Pemasaran Harga Beli
(Rp/Kg) Harga Jual (Rp/Kg)
Biaya Marjin
1. Petani Rp 18.000
2. Pedagang kecil/tengkulak Rp 19.000 Rp 20.000 106 894
3. Pedagang Pasar
Sukomoro
Rp 20.000 Rp 22.000 44 1.879
Petani bawang
merah
Penebas
Pedagang
Pengumpul/Tengkulak
Pedagang
di Pasar Sukomoro
Peda-
gang Eceran
Konsu-
men
Pedagang besar/
Pengirim
Pedagang Psr Induk
Jakarta & Luar Jawa
PedaganEceran
Konsu-men
Makelar
34
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
4.1. Kabupaten Brebes
1) Penyediaan benih bermutu dengan harga terjangkau merupakan langkah
strategis dalam peningkatan produksi, penurunan biaya produksi dan penurunan
harga bawang merah. Untuk itu perlu dibangun sistem perbenihan yang dapat
menyediakan kebutuhan benih setiap musim dan tidak mengandalkan impor.
Selama ini petani bawang di sentra bawang kurang berminat dalam usaha
bisnis benih bawang sejalan dengan lebih lamanya waktu yang dibutuhkan,
resiko dan tingkat penerimaannya dibanding usaha bawang konsumsi. Beberapa
alternatif pengembangan perbenihan bawang yaitu: (1) pengembangan sentra
perbenihan bawang di wilayah pengembangan baru diluar sentra produksi
bawang konsumsi, (2) penugasan kepada BUMN khusus untuk menangani benih
bawang, dan (3) pengembangan bawang secara mandiri secara kolektif di
sentra produksi bawang. Untuk mengurangi biaya benih, pengembangan benih
bawang dari biji (TSS ) perlu digalakkan. Selayaknya pengembangan TSS
dilakukan pada wilayah pengembangan baru (alternatif 1) dan atau penugasan
BUMN (alternatif 2).
2) Berkembangnya sistem tebasan dan penjualan sitem Butong yang telah
mengakibatkan bawang merah yang dipasarkan masih basah dan berdampak
kepada mutu bawang. Namun tetap saja kondisi pertanaman yang dapat
menghasilkan produk usahatani bermutu sangat menentukan nilai jual hasil
produksi (nilai tebasan). Dalam kaitan itu, penerapan cara cara budidaya yang
baik (GAP -Good Agricultural Practices) sangat menentukan keberhasilan
produksi.
3) Untuk menghasilkan prediksi tingkat produksi yang lebih akurat, sistem
manajemen produksi yang ada perlu lebih diperkuat dengan memperluas
cakupan wilayah perencanaan dan detail operasionalnya. Untuk mengatasi
kekurangan pasokan pada periode defisit (bulan Maret- April) perlu
diupayakan: (a) pengembangan penanaman Bawang merah di Luar Musim (Off
Season) yaitu pada bulan Desember - Januari sehingga akan panen pada bulan
Pebruari–Maret, melalui pendayagunaan lahan alternatif, lahan tadah hujan,
35
lahan kering di sekitar kawasan sentra produksi, dan (b) pengembangan
sentra/kawasan baru produksi bawang, terutama di daerah yang mempunyai
kemungkinan pola panen berbeda dengan sentra produksi utama
4) Pada kondisi suplus diperlukan penanganan kelebihan produksi agar pasokan
tidak terbuang dan harga tidak merosot tajam. Upaya yang dapat dilakukan
adalah:(1) penugasan kepada Bulog untuk terlibat dalam pengadaan stok
bawang, (2) pendayagunaan kelebihan produksi menjadi sumber benih bagi
penanaman musim tanam berikutnya, dan (3) pengembangan stock di
masyarakat dengan pola tunda jual melalui pengembangan sistem resi gudang
dan atau pemberian kredit pasca panen serta fasilitas pasca panen dan
pergudangan masyarakat.
5) Dengan kondisi saat ini dimana penjualan bawang merah dilakukan dalam
bentuk basah (Butong), diperlukan perbaikan manajeman pemasaran agar
bawang dari petani dapat segera dipasarkan dan diterimakan ke konsumen
paling lambat 5 hari setelah panen. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
membangun sistem tataniaga langsung mendekat ke konsumen. Assosiasi
Bawang Indonesia telah merintis penjualan langsung bawang merah ke
konsumen melalui pengembangan armada semut sepeda motor yang berkeliling
menjajakan bawang dengan harga dibawah harga di pasar. Rintisan ini perlu
didukung pihak terkait agar dapat berkembang sehingga cakupan wilayah
pemasaran dapat lebih luas. Pola ini juga dapat
dikordinasikan/dikerjasamakan dengan Toko Tani Indonesia (TTI) dan Rumah
Pangan Kita (RPK). Untuk meningkatkan peran TTI dan RPK, idealnya dalam
memasarkan TTI dan RPK juga mendekatkan diri ke konsumen dengan
semacam gerakan operasi pasar produk pertanian murah di tempat sekitar
perbelanjaan yang banyak dikunjungi konsumen, karena pada hakekatnya
konsumen berbelanja produk pertanian bersifat sambilan diikuti oleh kegiatan
lain, dan konsumen cenderung memilih produk bermutu dengan harga lebih
murah.
36
4.2. Kabupaten Nganjuk
1) Provinsi Jawa Timur memiliki kontribusi produksi sebesar 23 % terhadap
produksi bawang merah nasional. Pengembangan bawang merah di Jawa Timur
dibagi dalam 3 wilayah, yaitu: (1) Wilayah Barat dan Tengah: Nganjuk, Kediri,
Magetan, Mojokerto, Bojonegoro, Malang Kota Batu; (2) Wilayah Timur:
Probolinggo, Bondowoso; dan (3) Wilayah Madura: Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, serta Sumenep.
2) Dalam mendukung peningkatan produksi bawang merah, diperlukan
ketersediaan baik kuantitas maupun kualitas benih bawang merah di tingkat
petani. Untuk memenuhi ketersediaan benih tersebut, saat ini sistem
perbenihan bawang merah di Jawa Timur khususnya di sentra produksi Nganjuk
sebagian besar berasal dari sendiri (Sistem Jalur benih antar lapang/Jabal). Hal
ini didasarkan atas alasan: Bisa dibuat sendiri melalui proses sortir, Harga lebih
murah, Mudah didapat dan Produktivitas tidak berbeda nyata dengan yang
bersertifikat walaupun sebenarnya benih jabal tidak memberikan kepastian daya
tumbuh dan kemurnian varietas.
3) Usahatani bawang merah di Kabupaten Nganjuk, bawang merah secara umum
ditanam 2 kali dalam setahun yaitu saat musim MH (bulan Oktober- Desember)
dan disaat MK (bulan Mei-Juli). Umur bawang merah sekitar 60 hari, dengan
jenis varietas yang ditanam adalah Bauji (saat MH) dan Thailand (saat MK).
4) Dalam analisis semusim, rataan produktivitas usahatani bawang merah yang
dihasilkan sebesar 12 ton/ha. Dengan tingkat harga rata-rata yang diterima
petani sebesar Rp 18.000/kg, maka diperoleh penerimaan sebesar Rp 216,00
juta/ha/musim. Adapun biaya usahatani yang dikeluarkan mencapai Rp 123,55
juta/ha/musim, sehingga tingkat keuntungan usahatani yang diraih sebesar Rp
92,46 juta/ha/musim dengan R/C sebesar 1,75. Adapun BEP (Break Even Point)
harga bawang merah pada usahatani sebesar Rp 10.295/kg. Dengan demikian
usahatani bawang merah yang dilakukan petani di Kabupaten Nganjuk layak
diusahakan dan memberikan keuntungan yang signifikan bagi petani.
5) Kondisi harga komoditas pangan yang fluktuatif dapat merugikan petani sebagai
produsen, pengolah pangan, pedagang hingga konsumen dan berpotenso
37
menimbulkan keresahan sosial. Kenaikan harga bahan pangan juga digolongkan
sebagai komponen inflasi bergejolak karena mudah dipengaruhi masa panen.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka melakukan terobosan sebagai solusi
dalam mengatasi gejolak harga, yaitu melalui kegiatan Pengembangan Usaha
Pangan Masyarakat (PUPM) melalui Toko Tani Indonesia (TTI) dan Rumah
pangan Kita (Bulog). Namun dalam perkembangan seperti di lokasi kajian,
kedua kelembagaan pemasaran tersebut masih belum melakukan penyerapan
komoditas bawang merah dari petani di Kabupaten Nganjuk.
6) Sistem panen bawang merah di Kabupaten Nganjuk dapat dilakukan dengan
sistem tebasan/borongan dan rogolan. Proporsi sistem panen yang ada di
Kabupaten Nganjuk untuk kedua sistem tersebut masing-masing sebesar 60 dan
40 persen. Petani yang menjual bawang merah dengan sistem tebasan memiliki
beberapa alasan yang dapat dipahami seperti: (a) membutuhkan biaya cepat
untuk menutupi hutang saprotan dan pemenuhan kebutuhan keluarga, (b) tidak
memiliki lantai jemur jika harus panen bawang dengan sistem rogolan, dan
petani juga merasa berat jika harus mengeluarkan biaya pengeringan lanjut,
dan (c) petani merasa khawatir jika harga bawang merah jatuh saat panen
dimana pemanenannya dengan sistem rogolan.
7) Oleh karena itu, pada sistem panen tebasan maka petani hanya mengeluarkan
biaya panen/cabut saja. Sementara jika harus panen dengan sistem rogolan,
maka petani disamping harus mengeluarkan biaya panen/cabut juga harus
mengeluarkan biaya potong/rogol, jemur (sekitar 2-3 hari) dan biaya
pengangkutan ke rumah. Pola tebasan bisa dilakukan misalnya seminggu
sebelum panen tiba, atau pada saat dihari siap panen.
8) Dalam konteks sistem pemasaran, terdapat 2 alur rantai tataniaga bawang
merah dari petani. Pada rantai pertama, petani menjual bawang merah ke
penebas, selanjutnya penebas menjual bawang merahnya ke pedagang
pengumpul/tengkulak atau menjual langsung ke pedagang besar (pengirim ke
luar kota/daerah). Pada Rantai kedua, petani dapat langsung menjual bawang
merah ke pedagang besar/pengirim. Selanjutnya bawang merah yang diperoleh
oleh pedagang besar/pengirim selanjutnya dijual ke Pasar Induk (PI) Kramat
38
Jati- Jakarta atau PI Cibitung-Bekasi serta pasar luar kota lainnya/luar Jawa.
Sementara, bawang merah yang dibeli oleh pedagang pengumpul
kecil/tengkulak selanjutnya dijual ke pedagang pasar lokal termasuk ke Pasar
Sukomoro Nganjuk. Berdasarkan alur tersebut, tampak bahwa alur pertama,
pemasaran bawang merah dari petani cukup pendek/ringkas.
9) Kehadiran pedagang besar (pengirim) dalam sistem tataniaga bawang merah di
Kabupaten Nganjuk memiliki peran signifikan. Umumnya pengirim akan menjual
bawangnya ke pedagang lapak di pasar induk yang merupakan pedagang
langganannya. Pedagang lapak seperti halnya di Pasar Induk Cibitung mampu
menyerap sekitar 20 truk bawang merah per hari atau sekitar 130 ton/hari.
Menurut informasi dari pedagang, bahwa harga bawang di Pasar Induk Jakarta
akan relatif stabil, jika kiriman bawang dari berbagai pedagang daerah masih
dibawah 15 truk perhari atau 97,5 ton/hari. Namun jika kiriman bawang dari
berbagai pedagang daerah lebih dari 15 truk, maka kecenderungan harga
bawang di Pasar Induk akan menurun karena terjadi over supply.
10) Marjin pemasaran yang diraih pedagang besar/pengirim tampaknya cukup kecil
yaitu sebesar Rp 1.098/kg, sementara marjin pemasaran pada penebas relatif
lebih besar yaitu sebesar Rp 1.678/kg.
11) Bila dilihat dari aspek kelembagaan pemasaran di pasar Sukomoro Kabupaten
Nganjuk, bahwa saat ini volume bawang merah yang dipasarkan di pasar
Sukomoro mengalami penurunan dibandingkan dengan waktu 8-10 tahun yang
lalu. Secara faktual bahwa semakin berkembangnya sistem panen tebasan
berdampak terhadap kelembagaan pemasaran pasar di Sukomoro yaitu: (a)
Pendapatan pasar yang semakin menurun akibat volume bawang merah yang
masuk pasar menurun, dan (b) Semakin sedikitnya volume bawang merah yang
dipasarkan menyebabkan banyak TK kuli pasar yang menganggur dan angkutan
pasar (transportasi) di pasar tidak optimal. Sebelum tahun 1990-an, pasar
Sukomoro ramai oleh penjual (pedagang besar) yang bertransaksi dengan
pedagang yang datang dari luar kota.
12) Makin banyaknya bandar besar yang langsung beli bawang merah ke petani dan
juga penebas beli bawang merah ke petani menyebabkan semakin sedikit petani
39
yang menjual langsung bawang merah ke pasar Sukomoro untuk bertransaksi
dengan pedagang. Sementara pedagang kecil/tengkulak menjual ke pedagang
di pasar Sukomoro memperoleh marjin tataniaga sebesar Rp 894/kg. Sementara
pada pedagang pasar di Pasar Sukomoro, memperoleh marjin tataniaga yang
lebih tinggi sebesar Rp 1.879/kg.
13) Dengan demikian, marjin tataniaga yang diperoleh pada kelembagaan
pemasaran berkisar antara Rp 894- Rp 1.879/kg. Harga jual pada kelembagaan
pemasaran di sentra produsen tidak menunjukan harga yang terlalu ekstrim
dibandingkan dengan harga di tingkat petani. Dengan demikian, permasalahan
yang muncul dengan seringnya ada fenomena lonjak harga di tingkat konsumen
adalah akibat tingginya harga jual selepas dari pedagang di Pasar Induk Kramat
Jati/Cibitung.
14) Upaya memperpendek rantai tataniaga sebesarnya bukanlah opsi terbaik dalam
meperbaiki kinerja pemasaran bawang merah. Namun hal penting adalah
bagaimana membuat kebijakan tataniaga terutama mulai dari kelembagaan di
pasar induk agar tidak terlalu membuat fluktuasi harga terlalu ekstrim di pasar
konsumen. Peningkatan harga yang tinggi saat ini tidak memiliki dampak
simetris terhadap peningkatan harga di tingkat petani. Artinya transmisi harga di
tingkat pedagang besar dipasar induk dan eceran tidak mulus sampai di tingkat
petani.
15) Selain itu, dalam memperbaiki kebijakan harga maka Dalam
tataniaga/pemasaran bawang merah diperlukan kehadiran pemerintah dalam
menangani pembelian bawang merah. Pemerintah dapat memberdayakan
kelompoktani/gapoktan dalam pembelian bawang merah tersebut dengan pola
sistem resi gudang. Berbeda dengan dengan sistem resi gudang yang ada,
dimana pola yang diusulkan yaitu terbangunnya kerjasama antara kelembagaan
gapoktan dengan petani bawang merah. Gapoktan diharapkan dapat berperan
dalam menjualkan bawang merah petani dengan jaminan dana talangan dari
pemerintah. Petani akan mendapat resi atas jaminan bawang yang diserap oleh
gapoktan melalui sistem resi gudang. Bawang merah petani tetap disimpan di
40
rumah petani dan dijaga petani. Pada saat harga bawang tinggi, gapoktan akan
menjual bawang merah sehingga dapat memberikan keuntungan bagi petani.
DAFTAR PUSTAKA
Azzaino, 1983. Tataniaga Pertanian. Jurusan Sosek Pertanian. IPB Bogor.
ABMI (Asosiasi Bawang Merah Indonesia). 2016a. Distribusi dan Pemasaran Bawang
Merah di Kabupaten Brebes. Makalah ppt. Brebes.
__________________________________ . 2016b. Data Usahatani Bawang Merah di
Kabupaten Brebes. Makalah ppt. Brebes.
BPS . 2016. Data produksi Bawang Merah di Indonesia Per Provinsi. www.bps.go.id. 22 Okrober 2016.
Dinas Pertanian TPH Brebes. 2016. Data Produksi, Usahatani dan Harga Bawang Merah di Kabupaten Brebes. Brebes.
Dinas Pertanian TPH Nganjuk. 2016. Data Produksi, Usahatani dan Harga Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk. Nganjuk.
Mubyarto. 1973. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) . Jakarta
Nasruddin, Wasrob. 1999. Tataniaga Pertanian. [Diktat Kuliah]. Universitas Terbuka :
Jakarta.
Sihombing, Luhut. 2010. Tataniaga Hasil Pertanian. USU Press . Medan. (Online,
usupress.usu.ac.id, diakses pada 13 Juli 2016).
Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Raja Grafindo Persada. Malang.
Utami, Yuniarni. 2009. Analisis Cabang Usahatani dan Tataniaga Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca. sp)(Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). [Skripsi]. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan
Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor.(Online, http://repository.ipb.ac.id/ handle/123456789/15548, diakses pada 13 juli 2016) .