perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user KAJIAN KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN SENSORI TEPUNG TEMPE ”BOSOK” SEBAGAI BUMBU MASAK PADA VARIASI SUHU PENGERINGAN Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Oleh : Lorenzia Ajeng Pradipta H 0607019 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
56
Embed
KAJIAN KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN SENSORI …/Kajian... · KAJIAN KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN SENSORI TEPUNG TEMPE ”BOSOK” SEBAGAI BUMBU MASAK PADA VARIASI SUHU PENGERINGAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KAJIAN KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN SENSORI
TEPUNG TEMPE ”BOSOK” SEBAGAI BUMBU MASAK
PADA VARIASI SUHU PENGERINGAN
Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh derajat Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Program Studi Teknologi Hasil Pertanian
Oleh :
Lorenzia Ajeng Pradipta
H 0607019
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Kajian Karakteristik Fisikokimia Dan Sensori Tepung
Tempe ”Bosok” Sebagai Bumbu Masak Pada Variasi Suhu Pengeringan”.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
mencapai gelar Sarjana Strata (S-1) pada program studi Teknologi Hasil
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Ir. Bambang Sigit Amanto, MSi selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian.
3. Ir. M. A. Martina Andriani, MS selaku Pembimbing Utama Skripsi yang telah
memberi bimbingan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ir. Nur Her Riyadi Parnanto, MS selaku Pembimbing Pendamping Skripsi dan
Pembimbing Akademik yang memberi masukan sehingga skripsi ini dapat
KAJIAN KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN SENSORI TEPUNG TEMPE ”BOSOK” SEBAGAI BUMBU MASAK PADA VARIASI SUHU
PENGERINGAN
Lorenzia Ajeng Pradipta
(H0607019)
RINGKASAN
Tempe “bosok” merupakan tempe kedelai segar yang fermentasinya
diperpanjang selama 3-5 hari sehingga menjadi “bosok”. Tempe “bosok” digunakan sebagai penyedap untuk membuat masakan oleh masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah. Pada umumnya, tempe “bosok” dijual dan dikonsumsi dalam bentuk tempe “bosok” segar. Jika fermentasi tempe “bosok” dilanjutkan terlalu lama, maka tempe “bosok” menjadi berbahaya untuk dikonsumsi. Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi untuk memperpanjang umur simpan dan mempermudah penggunaannya yaitu dengan menjadikan tepung tempe “bosok” melalui proses pengeringan menggunakan berbagai suhu pengering. Pembuatan tempe “bosok” mengacu pada Standard Operating Procedure (SOP) Tempe Overripe, tempe kedelai diinkubasi pada inkubator dengan menggunakan suhu terkendali 30°C selama 5 hari atau 120 jam (tempe overripe 1).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisik (bulk density, kelarutan tepung, dan daya serap air), kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein terlarut, kadar lemak, kadar gula reduksi dan aktivitas antioksidan), dan sensori tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak dengan variasi suhu pengeringan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui suhu pengeringan yang efektif dalam menghasilkan karakteristik fisikokimia dan karakteristik sensori yang disukai. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu berbagai variasi suhu pengeringan pada suhu 55°C, 60°C, dan 65°C.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung tempe “bosok” pada suhu pengeringan 60°C mempunyai karakteristik fisik dan kimia yang efektif serta karakteristik sensori yang disukai panelis. Tepung tempe “bosok” dengan suhu pengeringan 60°C menghasilkan rendemen 28,10%, bulk density 0,53 g/cm3, kelarutan tepung 99,9972%, daya serap air 1,96 ml/g, kadar air 8,45%, kadar abu 4,03%, kadar lemak 6,73%, kadar protein terlarut 4,55%, kadar gula reduksi 2,07%, dan aktivitas antioksidan sebesar 32,09%. Karakteristik sensori tepung tempe “bosok” dengan suhu pengeringan 60°C yang disukai panelis adalah tepung tempe “bosok” yang memiliki warna coklat, aroma khas tempe “bosok” yang tidak terlalu menyengat, dan tekstur yang halus dan kering. Kata kunci : Tempe “bosok”, tepung tempe “bosok”, suhu pengeringan,
karakteristik fisik, kimia, sensori
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
STUDY OF PHYSICOCHEMICAL AND SENSORY CHARACTERISTICS TEMPE “BOSOK” FLOUR AS FOOD SEASONING ON DRYING
TEMPERATURE VARIATION
Lorenzia Ajeng Pradipta
(H0607019)
SUMMARY
Tempe “bosok” is a fresh soybean tempe fermentation was extended for 3-
5 days to become overripe. Tempe “bosok” is used as food seasoning to make some food by the Java community, especially in Central Java. Generally, tempe “bosok” is sold and consumed in the form of tempe “bosok” fresh. If the fermentation tempe “bosok” continued too long, tempe “bosok” to be dangerous for consumption. Therefore need a technology to extend shelf life and facilitate its use is to make tempe “bosok” flour through a process of drying using different drying temperatures. Making tempe “bosok” refers to the Standard Operating Procedure (SOP) Tempe Overripe, soybean tempe were incubated in an incubator with controlled temperature of 30°C for 5 days or 120 hours (tempe overripe 1).
This study aims to determine the physical characteristics (bulk density, solubility, and water absorption), chemical (moisture content, ash content, soluble protein content, fat content, reducing sugar content and antioxidant activity), and sensory tempe “bosok” flour as food seasoning with drying temperature variations. In addition, this study also purpose to determine the effectiveness of drying temperature during process to produce the physicochemical and sensory characteristics are preferred. This research used Completely Randomized Design (CRD) with one factor, that are variety of drying temperature at 55°C, 60°C, and 65°C.
The results showed that the tempe “bosok” flour on the drying temperature of 60°C is more effective to produce the physical and chemical characteristics and preferred characteristics of the sensory panelists. Tempe “bosok” flour with the drying temperature of 60°C results in 28,10% yield, 0,53 g/cm3 bulk density, 99,9972% starch solubility, 1,96 ml/g water absorption, 8,45% water content, 4,03% ash content, 6,73% fat content, 4,55% soluble protein content, 2,07% reducing sugar content, and 32,09% antioxidant activity. Sensory characteristics tempe “bosok” flour with the drying temperature of 60°C. The preferred panelists are tempe “bosok” flour that has a brown color, typical aroma tempe “bosok” is not too oppressive, and the texture is smooth and dry. Key words: Tempe “bosok”, tempe “bosok” flour, drying temperature,
characteristics of physical, chemical, and sensory
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tempe merupakan makanan tradisional hasil proses fermentasi
yang dikonsumsi oleh hampir semua lapisan masyarakat. Tempe dapat
dibuat dari berbagai macam bahan, tetapi tempe yang disukai dan dikenal
oleh masyarakat pada umumnya yaitu tempe kedelai (Kasmidjo, 1990).
Proses fermentasi merupakan tahap terpenting dalam proses pembuatan
tempe karena terjadi penguraian senyawa-senyawa dalam kedelai yang
menjadi lebih kecil sehingga dapat dicerna oleh tubuh dengan mudah.
Fermentasi pada tempe jika dibiarkan secara terus-menerus untuk waktu
yang lama pada suhu ruang dapat disebut sebagai tempe overripe atau tempe
“bosok” (Kiriakidis S, 2005). Fermentasi yang terus berlanjut akan terjadi
peningkatan ammonia yang semakin bertambah, pada permukaan tempe
akan terbentuk lapisan hitam dan terdapat bintik-bintik hitam.
Pembuatan tempe kedelai khas budaya pulau Jawa dan tidak
banyak dilakukan di pulau-pulau lainnya. Seperti halnya juga tempe
”bosok” yang dibuat dan digemari oleh masyarakat Jawa, khususnya
masyarakat Jawa Tengah. Tempe “bosok” yaitu tempe kedelai segar yang
diperpanjang masa fermentasinya sehingga menjadi “bosok” dengan
berwarna beludru kehitam-hitaman (Aminah, 1996). Tempe “bosok” sangat
digemari oleh masyarakat Jawa karena memiliki rasa dan aroma yang khas.
Tempe “bosok” sering digunakan untuk membuat masakan, sebagai
penyedap masakan, yang dapat membuat masakan lebih sedap dan dapat
meningkatkan cita rasa.
Bumbu masak merupakan substansi dengan aroma yang kuat dan
rasa yang tajam dan digunakan untuk meningkatkan cita rasa makanan
(Odebunmi, 2006). Biasanya zat pembangkit cita rasa yang sering
digunakan dalam bahan tambahan pangan masih berasal dari senyawa
sintetik yang dapat menghasilkan aroma dan flavor khas. Senyawa-senyawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
sintetik untuk meningkatkan cita rasa tersebut jika digunakan secara
berlebihan akan memberikan efek yang tidak baik bagi kesehatan, maka
diperlukan adanya pengembangan pembangkit cita rasa yang alami, yang
lebih aman bagi kesehatan. Oleh karena itu, bumbu masak yang berbahan
baku dari tempe “bosok” dapat dijadikan sebagai bahan pembangkit cita
rasa alami yang dapat memberikan rasa dan flavor yang khas.
Dalam perkembangannya di masyarakat tempe “bosok” masih
dijual atau dikonsumsi dalam bentuk basah atau tempe “bosok” yang
difermentasi dari tempe segar. Jika tempe “bosok” fermentasinya
dilanjutkan terlalu lama, maka tempe “bosok” akan menjadi berbahaya jika
dikonsumsi. Menurut penelitian Andriani (2011), tempe “bosok” yang
sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) yaitu tempe “bosok”
yang diinkubasi dengan menggunakan inkubator pada suhu 30°C dengan
waktu inkubasi 120 jam (tempe overripe 1). Habibi (2011) menyatakan
bahwa tempe “bosok” yang disukai oleh konsumen yaitu tempe yang
mengalami 5 hari fermentasi (120 jam) atau tempe yang mengalami
perpanjangan fermentasi selama 3 hari setelah tempe jadi atau disebut juga
tempe overripe 1. Mengingat manfaat yang begitu besar dari tempe “bosok”
yang digunakan sebagai bumbu penyedap masakan maka diperlukan suatu
teknologi untuk pengembangannya. Teknologi untuk mengembangkan
tempe “bosok” untuk memperpanjang umur simpan dan mempermudah
penggunaannya yaitu dengan teknik pengeringan. Tempe “bosok”
dikeringkan dan ditepungkan sehingga menghasilkan tempe “bosok” yang
lebih awet dan mudah untuk digunakan sebagai bumbu penyedap masakan.
Proses pengeringan dan penepungan dalam pembuatan tepung tempe
“bosok” sebagai bumbu masak untuk mempermudahkan penggunaan tempe
“bosok” sebagai bumbu masak dan memperpanjang umur simpan tempe
“bosok” sebagai bumbu masak.
Dalam pembuatan tempe “bosok” tersebut dibuat dalam bentuk
kering, yaitu dalam bentuk tepung. Proses pembuatan menjadi tepung
dilakukan melalui beberapa proses yaitu pengeringan, penepungan, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pengayakan. Selama proses tersebut akan terjadi perubahan sifat-sifat bahan
pangan. Pada proses pengeringan akan terjadi perubahan sifat bahan pangan
dari bahan pangan yang masih segar dengan kadar air yang cukup tinggi
menjadi bahan pangan dengan kadar air yang rendah sehingga dapat
memperpanjang umur simpan bahan pangan.
Suhu pengeringan yang digunakan selama proses pengeringan
tempe “bosok” diduga berpengaruh terhadap karakteristik kimia maupun
fisik tepung tempe “bosok” yang dihasilkan. Suhu pengeringan diduga dapat
menyebabkan perubahan senyawa yang terdapat dalam bahan pangan
(Muchtadi, 2008) sehingga akan berpengaruh pada komponen kimia tepung
tempe “bosok” yang dihasilkan. Karakteristik kimia maupun fisik tepung
tempe “bosok” yang dihasilkan diduga dipengaruhi oleh proses
pembuatannya yaitu pengeringan.
Pada penelitian ini dilakukan pembuatan tempe sesuai dengan
Standard Operating Procedure (SOP) Tempe Overripe Andriani (2011)
dengan lama fermentasi 5 hari (120 jam) atau tempe overripe 1. Tempe
yang sudah menjadi “bosok” dengan lama fermentasi 5 hari kemudian
dikeringkan dengan menggunakan variasi suhu pengeringan. Tempe
“bosok” yang sudah dikeringkan, ditepungkan menjadi tepung tempe
“bosok” kemudian ditentukan karakteristik kimia, fisik, dan sensorinya
sebagai bumbu masak melalui panelis. Panelis yang digunakan adalah
masyarakat Surakarta yang sering menggunakan tempe “bosok” yang
meliputi pembuat dan penjual sambal tumpang.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka pada penelitian ini
tepung, dan daya serap air) tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak
pada variasi suhu pengeringan?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
2. Bagaimanakah karakteristik kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein
terlarut, kadar lemak, kadar gula reduksi dan antioksidan) tepung tempe
“bosok” sebagai bumbu masak pada variasi suhu pengeringan?
3. Bagaimanakah karakteristik sensori yang disukai dari tepung tempe
“bosok” sebagai bumbu masak pada variasi suhu pengeringan?
4. Perlakuan suhu pengeringan manakah yang efektif dalam menghasilkan
karakteristik fisikokimia dan karakteristik sensori yang disukai?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui karakteristik fisik (rendemen, bulk density, kelarutan tepung,
dan daya serap air) tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak pada
variasi suhu pengeringan.
2. Mengetahui karakteristik kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein
terlarut, kadar lemak, kadar gula reduksi dan antioksidan) tepung tempe
“bosok” sebagai bumbu masak pada variasi suhu pengeringan.
3. Mengetahui karakteristik sensori yang disukai dari tepung tempe
“bosok” sebagai bumbu masak pada variasi suhu pengeringan.
4. Mengetahui suhu pengeringan yang efektif dalam menghasilkan
karakteristik fisikokimia dan karakteristik sensori yang disukai.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi pengaruh suhu pengeringan terhadap
karakteristik fisikokimia dan sensoris tepung tempe “bosok” sebagai
bumbu masak.
2. Memberikan informasi makanan tradisional dapat dikembangkan sebagai
bumbu masak.
3. Menghasilkan tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak dengan
karakteristik fisikokimia dan sensori yang disukai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Tempe Kedelai
Tempe adalah sumber protein yang penting bagi pola makanan di
Indonesia, terbuat dari kedelai. Pembuatan tempe kedelai dilakukan
sebagai berikut kedelai kering dicuci, direndam semalam pada suhu 25°C
esok paginya kulit dikeluarkan dan air rendam dibuang. Kedelai kemudian
dimasak selama 30 menit. Sesudah itu didinginkan, diinokulasikan dengan
spora Rhizopus oligosporus, R. oryzae, diletakkan dalam panci yang
dangkal dan diinkubasikan pada suhu 30°C selama 20-24 jam. Dalam
waktu itu kedelai terbungkus sempurna oleh miselia putih dari jamur.
Kemudian tempe siap untuk dikonsumsi (Muchtadi, 2008). Tempe
biasanya dibungkus menggunakan daun pisang, tempe yang siap
dikonsumsi mempunyai warna putih seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Tempe Kedelai
Selama proses fermentasi kedelai menjadi tempe terjadi banyak
perubahan fisik, biokimia, dan mikrobiologi sehingga tempe menjadi lebih
bergizi dan berfungsi sebagai makanan sehat. Komposisi gizi tempe baik
kadar protein, lemak dan karbohidratnya tidak banyak berubah
dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim pencernaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
yang dihasilkan oleh kapang tempe maka protein, lemak dan karbohidrat
pada tempe menjadi mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang
terdapat dalam kedelai. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari
meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas,
asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor proteinnya
(Astawan, 2004). Tetapi menurut Widianarko (2002) dalam Astuti (2009)
secara kuantitatif nilai gizi tempe sedikit lebih rendah daripada kedelai
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi Dalam 100 gram Kedelai dan Tempe
Zat Gizi Komposisi Zat Gizi 100 gram Kedelai Tempe
Energi 381 kal 201 kal Protein 40,4 g 20,8 g Lemak 16,7 g 8,8 g Hidrat arang 24,9 g 13,5 g Serat 3,2 g 1,4 g Abu 5,5 g 1,6 g Kalsium 222 mg 155 mg Fosfor 682 mg 326 mg Besi 10 mg 4 mg Karotin 31 mkg 34 mkg Vitamin A 0 SI 0 SI Vitamin B 0,52 mg 0,19 mg Vitamin C 0 mg 0 mg Air 12,7 g 55,3 g
Sumber : Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia Depkes RI Dir. Bin Gizi Masyarakat dan Puslitbang Gizi, 1991.
Tempe yang baik harus memenuhi syarat mutu secara fisik dan
kimiawi. Menurut Kasmidjo (1990), tempe memiliki mutu fisik dengan
ciri-ciri sebagai berikut :
a. Warna Putih
Adanya warna putih karena miselia kapang yang tumbuh pada
permukaan biji kedelai.
b. Tekstur Tempe Kompak
Miselia-miselia kapang yang menghubungkan antara biji-biji kedelai
juga menyebabkan tekstur tempe menjadi kompak. Kompak atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
tidaknya tekstur tempe diketahui dengan lebat tidaknya miselia yang
tumbuh pada permukaan tempe. Apabila miselia tampak lebat hal ini
menunjukkan bahwa tekstur tempe telah membentuk masa yang
kompak.
c. Aroma dan Rasa Tempe Khas
Terbentuk aroma dan rasa yang khas pada tempe disebabkan terjadinya
degradasi komponen-komponen dalam tempe selama berlangsungnya
proses fermentasi.
2. Tempe “Bosok”
Salah satu bumbu masak untuk masakan Jawa adalah tempe
“bosok”. Tempe sebenarnya termasuk kedelai yang sudah berjamur tetapi
tidak beracun. Bila tempe yang sudah jadi dibiarkan sehari menjadi tempe
semangit atau baunya agak sangit. Sementara orang lebih menyukai tempe
semangit ini untuk dimasak walau kurang enak terasa bagi yang belum
biasa. Tempe yang sudah jadi dibiarkan 3-5 hari menjadi tempe “bosok”.
Di pasar juga dijual tempe “bosok” itu sebagai bumbu beberapa masakan
Jawa. Walau bosok tetapi salah satu bumbu itu memberikan aroma dan
rasa yang khas pada masakan. Barangkali hanya di Jawa khususnya Solo
dan sekitarnya yang menggunakan tempe “bosok” tersebut sebagai bumbu.
Berbeda juga dengan sambal tumpang yang 30% berbahan baku tempe
“bosok” (Elfarid, 2007).
Tempe yang dibiarkan pada suhu ruang untuk waktu yang lebih
lama, diklasifikasikan sebagai tempe overripe. Fermentasi ini
menyebabkan tingkatan ammonia menjadi bertambah, dengan sporulasi
yang terbentuk lapisan hitam dan terdapat bintik-bintik hitam pada
permukaan tempe. Tempe overripe atau tempe “bosok” sering digunakan
untuk membuat masakan tertentu, seperti potongan kubus kecil tempe
“bosok” direbus dengan choko dan sayuran segar dimasak dalam santan,
disertai dengan nasi dan mungkin dapat juga disertai dengan sambal
kacang. Makanan seperti ini merupakan makanan yang mempunyai
kandungan protein yang tinggi (Kiriakidis S, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Di Indonesia, tempe yang dapat digunakan terdiri dari empat
tahapan yang berbeda dalam proses fermentasi. Biasanya, tempe
digunakan ketika tempe sudah matang, tetapi tempe yang setelah matang
dan memiliki aroma seperti Camembert cheese dan lembut juga sangat
popular. Tempe yang pertama disebut dengan Premature tempe
merupakan tempe kedelai yang dipindahkan dari inkubator 4 sampai 6 jam
lebih awal sebelum miselia terbentuk secara utuh dan biasanya disebut
dengan Mendoan. Tempe yang kedua yaitu Mature tempe atau tempe yang
sudah jadi merupakan tempe kedelai yang dipindahkan dari incubator 24
sampai 48 jam setelah inokulasi. Tempe yang ketiga disebut dengan
Slightly overripe tempe atau tempe semangit merupakan tempe kedelai
yang digunakan 2 atau 3 hari setelah mencapai tingkat kematangan. Tempe
yang keempat disebut dengan Overripe tempe atau tempe “bosok”
merupakan tempe kedelai yang digunakan 3 atau 5 hari setelah mencapai
tingkat kematangan dan disimpan pada suhu ruang. Tempe “bosok” seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.2 memiliki permukaan yang cokelat,
aroma yang khas seperti Camembert cheese, dan teksturnya lembut
(Akiko, 1983).
Gambar 2.2 Tempe “Bosok”
Tempe “bosok” memiliki sifat fisik dengan ciri-ciri antara lain:
memiliki tekstur permukaan yang berwarna cokelat, terdapat bercak hitam
pada permukaan tempe, adanya bau amoniak atau alkohol (Astawan,
2004). Habibi (2011) menjelaskan bahwa karakteristik sensori tempe
overripe 1 yang menurut konsumen paling tepat digunakan sebagai bumbu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
masak mempunyai ciri-ciri antara lain kenampakan agak layu berwarna
kecoklatan, tekstur keset, halus, kering, lunak, serta memiliki aroma
leteng; menyengat seperti amoniak, dan cemplang; berbau harum dan
sedap. Selain itu tempe overripe 1 merupakan tempe yang dibusukkan
selama 3 hari dan belum ada ulatnya. Menurut Aminah (1996) hasil
analisis kimiawi proximate principle pada kedua macam tempe kedelai
terjadi peningkatan yang dapat ditunjukkan pada Tabel 2.2.
Tempe “bosok” bukanlah tempe “bosok” yang gagal dalam
pembuatannya, melainkan tempe segar yang fermentasinya sengaja
diperpanjang lebih lanjut antara 1-3 hari sehingga diperoleh tempe yang
seakan-akan menjadi “bosok”. Tempe “bosok” tidak berbahaya bila
dimakan, jika proses peragiannya tidak berlanjut terlalu lama. Nilai
gizinya masih cukup baik. Tempe “bosok” sangat disukai ibu-ibu sebagai
bahan bumbu masakan. Sayuran yang dimasak dengan tambahan tempe
“bosok” sebagai bumbu, rasanya menjadi lebih sedap dan dapat
menambah nafsu makan (Sarwono, 2000).
Tempe “bosok” merupakan tempe kedelai yang telah mengalami
proses fermentasi lanjut. Kandungan gizi tempe “bosok” tidak jauh beda
dengan kandungan gizi tempe kedelai (Siswani, 2009). Menurut Aminah
(1996), tempe “bosok” adalah tempe kedele biasa yang mengalami
perpanjangan masa fermentasi, merupakan makanan kesukaan khusus
masyarakat Jawa Tengah. Tempe kedele segar yang diperpanjang masa
fermentasinya sehingga menjadi busuk dengan berwarna beludru kehitam-
hitaman. Tempe kedele “bosok” diperoleh dengan memperpanjang masa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
fermentasi tempe kedele selama 3 X 24 jam, pada suhu kamar (28–35°C)
sampai terlihat jamur mulai berwarna hitam dan berbau khas tempe
“bosok”.
3. Pengeringan
Pengeringan terjadi melalui penguapan cairan dengan pemberian
panas ke bahan pangan basah. Panas dapat melalui konveksi (pengering
langsung), konduksi (pengering sentuh atau tak langsung), dan radiasi
dengan menempatkan bahan pangan basah dalam medan elektromagnetik
gelombang mikro. Pengeringan dapat menyebabkan penurunan mutu fisik
maupun kimia. Perubahan fisik yang mungkin terjadi meliputi
pengkerutan, penggumpalan, kristalisasi, dan transisi gelas. Pada beberapa
kasus, dapat terjadi reaksi kimia atau biokimia yang diinginkan atau tidak
diinginkan, yang menyebabkan perubahan warna, tekstur, aroma atau sifat
lain padatan yang dihasilkan (Tambunan, 2001).
Suatu bahan pangan dapat diperpanjang daya tahan atau umur
simpannya dengan cara sebagian air dalam bahan harus dihilangkan
dengan berbagai cara tergantung dari jenis bahan. Umumnya dilakukan
pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan alat pengering buatan.
Pada pengeringan bahan makanan ini, terdapat 2 tingkat kecepatan
penghilangan air. Pada awal pengeringan, kecepatan jumlah air yang
hilang per satuan waktu tetap, kemudian akan terjadi penurunan kecepatan
penghilangan air per satuan waktu (Winarno, 2004).
Proses pengeringan merupakan proses perpindahan panas dari
sebuah permukaan bahan sehingga kandungan air pada permukaan bahan
berkurang. Perpindahan panas dapat terjadi karena adanya perbedaan
temperatur yang signifikan antara dua permukaan. Semakin tinggi suhu
pengeringan maka semakin besar kadar air yang teruapkan. Laju
pengeringan menunjukkan semakin lama waktu pengeringan, laju
pengeringan akan semakin turun dan mendekati konstan (Arlin, 2010).
Proses pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat
pengering (artificial drying), atau dapat juga dilakukan dengan cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
menjemur di bawah sinar matahari (sun drying). Jenis alat pengering dapat
sangat bervariasi, tergantung bahan yang akan dikeringkan, serta tujuan
pengeringan. Berikut ini disampaikan berbagai jenis alat pengering yang
terdapat di masyarakat, yaitu : kiln dryer, cabinet dryer, continuous dryer,
air lift dryer, spray dryer, drum dryer, vacuum dryer, dan sebagainya.
Proses pengeringan menggunakan alat mempunyai keuntungan karena
suhu dan aliran udara dapat diatur, sehingga waktu pengeringan dapat
ditentukan. Komposisi udara dapat mempengaruhi proses pengeringan.
Udara di sekitar bahan pangan yang dikeringkan dibedakan menjadi dua
macam, yaitu udara kering dan udara basah. Udara kering jika kandungan
uap airnya rendah, sedangkan udara basah jika kandungan uap airnya
tinggi. Bila udara kering berada di atas permukaan bahan pangan yang
akan dikeringkan, maka akan terjadi penguapan bahan pangan dengan
cepat. Semakin kering udara maka semakin cepat terjadinya pengeringan
(Winarno, 2007).
4. Tepung Bumbu Masak
Bumbu masak mempunyai bau yang kuat dan tajam biasanya
digunakan untuk meningkatkan dan menyesuaikan cita rasa makanan.
Bumbu masak biasanya berasal dari rempah-rempah yang biasanya
digunakan sebagai penguat cita rasa, aroma, dan kenampakan makanan.
Bumbu masak juga dapat meningkatkan selera makan (Odebunmi, 2010).
Menurut SNI (1998) tepung bumbu masak adalah bahan makanan
berupa tepung yang digunakan sebagai penambah rasa masakan dengan
atau tanpa penambahan bahan lain dan bahan makanan yang diizinkan.
Persyaratan mutu untuk tepung bumbu antara lain mempunyai bau dan
rasa yang khas, kadar air maksimum 12%, bahan tambahan seperti
pengawet dan pewarna.
5. Analisis Karakteristik Kimia
Zat makanan yang berupa karbohidrat, protein, lemak, air, dan abu
dari suatu bahan makanan sangat penting bagi tubuh manusia. Karbohidrat
merupakan sumber kalori utama, dimana setiap manusia membutuhkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
kalori sebagai sumber energi yang utama. Protein juga zat makanan yang
sangat penting bagi tubuh, karena protein selain berfungsi sebagai bahan
bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur.
Demikian juga dengan lemak yang merupakan zat makanan yang penting
untuk menjaga kesehatan tubuh. Kadar abu yang berkaitan dengan mineral
suatu bahan makanan juga salah satu zat yang penting dalam tubuh.
Kandungan air dalam bahan sangat berpengaruh terhadap konsistensi
bahan pangan, keawetan suatu bahan pangan mempunyai hubungan erat
dengan kadar air yang dikandungnya (Winarno, 2004).
Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan
bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan Aw,
yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhannya. Penetapan kandungan air dapat dilakukan dengan
beberapa cara. Hal ini tergantung pada sifat bahannya. Pada umumnya
penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven
pada suhu 105-110°C selama 3 jam atau sampai berat konstan. Penentuan
kadar air juga dapat dilakukan dengan cara destilasi dengan pelarut
tertentu, biasanya digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai kadar
air yang tinggi dan mempunyai senyawa-senyawa yang mudah menguap
(volatile) (Winarno, 2004).
Lemak dalam biji kedelai merupakan senyawa cadangan energi
yang terdiri dari trigliserida dengan sedikit fosfolipida (termasuk lesitin),
dan senyawa-senyawa derivat trigliserida seperti senyawa zat warna,
sterol, dan tokoferol. Kadar lemak kedelai akan mengalami penurunan
akibat fermentasinya menjadi tempe. Wegenknecht dalam Kasmidjo
(1990) menyatakan bahwa lebih dari sepertiga lemak netral dari kedelai
terhidrolisis oleh enzim lipase selama 3 hari fermentasi oleh Rhizophus
oligosporus pada suhu 37°C. Menurut peneliti lainnya dalam Kasmidjo
(1990) menyatakan setelah 48 jam fermentasi tempe 20% lemak akan
terhidrolisis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Proses pembuatan tempe satu-satunya cara untuk mengubah
kedelai menjadi mudah dicerna. Dengan membuat tempe, kadar protein
yang larut dalam air akan meningkat akibat aktivitas enzim proteolitik
(Van Veen dan Schaefer, 1950 dalam Kasmidjo, 1990). Bahan padat
terlarut, nitrogen terlarut dan asam amino terlarut (dinyatakan sebagai nilai
formol) tempe meningkat sebesar berturut-turut 40%, 23%, dan 25%, jika
biji kedelai yang telah direndam dan direbus digiling dahulu sebelum
difermentasi oleh jamur tempe (Kuswanto, 1978 dalam Kasmidjo, 1990).
Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Tidak
seperti makronutrien lemak dan karbohidrat, protein berperan lebih penting
pada dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi
(Sudarmadji dkk, 2007). Protein terdiri dari unsur-unsur oksigen, karbon,
hidrogen, dan nitrogen. Nilai mutu protein tergantung pada kandungan
asam aminonya yang merupakan bagian terkecil dari protein (Muchtadi,
2008).
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan
organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan
dan cara pengabuannya. Kadar abu berhubungan dengan mineral suatu
bahan (Sudarmadji dkk, 2007). Tempe mengandung mineral makro dan
mikro dalam jumlah yang cukup. Kapang tempe dapat menghasilkan
enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat (yang mengikat beberapa
mineral) menjadi fosfor dan inositol, dengan terurainya asam fitat,
mineral-mineral tertentu (seperti besi, kalsium, magnesium, dan zink)
menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh.
Di dalam tempe ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk
isoflavon. Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid, isoflavon juga
merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan
reaksi pembentukan radikal bebas. Dalam kedelai terdapat tiga jenis
isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Pada tempe, di samping
ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat antioksidan faktor II (6,7,4
trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis
pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri
Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium (Astawan, 2003). Selama
proses fermentasi terjadi peningkatan antioksidan yang dijelaskan oleh
Ralston (2005) dalam Siswani (2009), kecap yang dibuat dari tempe busuk
memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan yang dibuat dari
kedelai, karena mengandung kadar isoflavon, seperti genestein yang jauh
lebih tinggi daripada kedelai dan tempe jadi. Hal ini disebabkan adanya
proses biosintesis dari flavonoid menjadi isoflavon selama proses
fermentasi oleh ragi tempe.
Senyawa antioksidan adalah senyawa yang berperanan untuk
menghambat proses autooksidasi dalam minyak atau lemak. Antioksidan
hanya berfungsi sebagai penghambat reaksi oksidasi dan tidak dapat
menghentikan sama sekali proses autooksidasi pada lemak sehingga pada
akhir proses ketengikan akan selalu terjadi (Ketaren, 1986). Astawan
(2003) menjelaskan bahwa di dalam tubuh, antioksidan berfungsi untuk
menghentikan reaksi radikal bebas. Radikal bebas adalah atom atau
molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan,
sehingga sangat reaktif dan dapat menyebabkan tumor, kanker, penuaan,
dan kematian sel. Radikal bebas dapat berasal dari makanan sehari-hari
yang kita makan atau reaksi yang terjadi di dalam tubuh. Adanya
antioksidan dalam makanan akan mencegah terbentuknya radikal bebas
tersebut.
6. Analisis Karakteristik Fisik
Densitas merupakan salah satu sifat fisik bahan pangan. Sebagian
besar partikel makanan memiliki densitas padat sekitar 1,4-1,5 g/cm3.
Densitas produk berbentuk bubuk (food powder) dipengaruhi oleh
komposisinya. Densitas kamba (Bulk density) adalah massa partikel yang
menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh
berat wadah yang diketahui volumenya dan merupakan hasil pembagian
dari berat bubuk dengan volume wadah. Porositas merupakan bagian yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
tidak ditempati oleh partikel atau bahan padatan. Bubuk bersifat
compressible sehingga densitas kambanya diberi sifat-sifat tambahan,
seperti loose bulk density, tapped bulk density (setelah getaran), atau
densitas yang kompak/ compact density (densitas setelah dimampatkan).
Nilai densitas dari berbagai makanan berbentuk bubuk umumnya antara
0,3-0,8 g/cm3. Hal ini menunjukkan bahwa makanan berbentuk bubuk
memiliki porositas yang tinggi, yaitu sekitar 40-80%. Perubahan densitas
kamba dapat menyebabkan perubahan dari sifat-sifat bubuk
(Wirakartakusumah, 1992).
Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan
dengan volume ruang yang ditempatinya dan dinyatakan dalam satuan
g/ml. Nilai densitas kamba menunjukkan porositas dari suatu bahan.
Perhitungan densitas kamba ini sangat penting, selain dalam hal konsumsi
terutama juga dalam hal pengemasan dan penyimpanan. Makanan dengan
densitas kamba yang tinggi menunjukkan kepadatan produk ruang yang
kecil (Agustina, 2008).
Daya serap air atau Wettability adalah waktu yang dibutuhkan oleh
sampel tepung dalam menyerap air. Kualitas tepung yang dihasilkan salah
satunya ditentukan oleh daya dispersi yang dimilikinya. Semakin besar
daya dispersi bahan pangan maka semakin mudah larut tanpa harus
dilakukan pengadukan (Agustina, 2008). Menurut Barbosa-Canovas dan
Vega-Mercado (1996) dalam Agustina (2008) menjelaskan bahwa terdapat
beberapa sifat fungsional dari bahan yang dikeringkan, yaitu 1) wettability,
merupakan kemampuan tepung untuk menyerap air. Sifat ini dipengaruhi
oleh proses aglomerasi, jumlah yang terserap, adanya partikel non-
aglomerat; 2) sinkability, merupakan kemampuan tepung untuk tenggelam
setelah dibasahi air. Sifat ini dipengaruhi oleh densitas partikel; 3)
solubility, merupakan kecepatan untuk melarut atau disebut juga dengan
total kelarutan. Sifat ini dipengaruhi oleh daya pengembangan dan
adanya flek; 4) dispersibility, merupakan kemampuan tepung untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
terdistribusi seluruhnya pada air tanpa membentuk gumpalan. Sifat ini
dipengaruhi oleh ukuran partikel dan keberadaan aglomerat.
7. Organoleptik
Mutu bahan pangan baik dalam bentuk mentah maupun bentuk
pangan jadi sangat ditentukan oleh penilaian indera konsumen. Penilaian
tersebut sebagai uji organoleptik atau uji indera (sensory evaluation).
Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian dengan menggunakan
indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan
terhadap produk. Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting
dalam penerapan mutu. Metode ini disepakati sebagai metode pengujian
yang praktis dalam menentukan kecepatan dan ketepatan (Embrio, 2011).
Dalam pengujian inderawi dikenal beberapa tipe pengujian. Cara
klasifikasi untuk tipe-tipe pengujian bermacam-macam. Cara klasifikasi
yang paling banyak dikenal adalah pengelompokan tipe pengujian menjadi
uji pembedaan kesukaan (preference test) dan uji pembedaan (difference
test). Uji kesukaan umumnya digunakan untuk menilai atau
memperhitungkan reaksi konsumen terhadap sampel yang diujikan. Uji
kesukaan pada dasarnya merupakan pengujian yang panelisnya
mengemukakan responnya yang berupa senang atau tidaknya terhadap
sifat bahan yang diuji. Pada pengujian ini dilakukan oleh panelis yang
belum terlatih (Kartika dkk, 1988).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
B. Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah variasi suhu pengeringan diduga
akan mempengaruhi karakteristik fisikokimia dan sensori tepung tempe
“bosok”.
Tempe kedelai makanan fermentasi.
Tempe “bosok” makanan fermentasi yang dapat digunakan sebagai bumbu masak.
Pengeringan dapat memperpanjang umur simpan tempe “bosok”.
Mengkaji karakteristik fisikokimia dan sensori tepung tempe “bosok” dengan variasi suhu pengeringan.
Tempe “bosok” dibuat menjadi tepung tempe “bosok”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Sentra Industri Kecil Tempe Desa
Manang, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah,
Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, dan
Laboratorium Pangan dan Gizi Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2012 sampai dengan
Maret 2012.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa tempe
“bosok” overripe 1. Tempe dibuat di UKM Sentra Industri Kecil Tempe
Desa Manang, Kecamatan Grogol, Kabupaten. Sukoharjo, Jawa Tengah
seperti yang sudah dibakukan oleh Standard Operating Procedure (SOP)
Andriani (2011). Kedelai yang digunakan sesuai dengan Standard
Operating Procedure (SOP) Andriani (2011) yaitu kedelai kuning
(Glycine max) dengan merk GCU USA Soy Beans No. 1 dari Amerika
(impor) dan ragi yang digunakan merupakan inokulum yang diproduksi
LIPI dengan merk RAPRIMA. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan
untuk analisis antara lain:
a. Analisis Protein Terlarut : Lowry A, Lowry B, Standar BSA,
aquadest.
b. Analisis Gula Reduksi : Arsenomolibdat, aquadest, Nelson.
c. Analisis Kadar Lemak : Petroleum eter dan kertas saring.
d. Analisis Antioksidan : DPPH (Diphenyl picrylhydrazyl) dan metanol.
e. Analisis Kelarutan Tepung dan Daya Serap Air : aquadest dan kertas
saring.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
2. Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan tepung tempe “bosok”
yaitu inkubator, cabinet dryer dengan 3 macam suhu (55°C, 60 °C, dan
65°C), dan mesin penepungan dengan ayakan 80 mesh. Sedangkan alat-
alat yang digunakan untuk analisis antara lain :
a. Analisis Kadar Air : gelas krus/botol timbang dan oven.
b. Analisis Protein Terlarut : tabung reaksi, pipet volume, erlenmeyer,
labu ukur, dan spektrofotometer UV mini 1240 Shimadzu.
c. Analisis Gula Reduksi : tabung reaksi, pipet volume, erlenmeyer, labu
ukur, dan spektrofotometer UV mini 1240 Shimadzu.
d. Analisis Kadar Lemak : alat ekstraksi soxhlet, saringan timbel, alat
kondensor, botol timbang, dan oven.
e. Analisis Kadar Abu : krus porselen, kompor, dan tanur abu.
f. Analisis Aktivitas Antioksidan : spektrofotometer UV mini 1240
Shimadzu, kuvet, pipet volume 5 ml dan 1 ml, tabung reaksi dan
vortex.
g. Analisis Bulk Density : timbangan, jangka sorong, dan wadah kuboid
kecil.
h. Analisis Kelarutan Tepung: oven, desikator, beker glass, corong, dan
erlenmeyer.
i. Analisis Daya Serap Air: gelas ukur 10 ml, corong, beker glass, dan
erlenmeyer.
j. Uji Organoleptik: plastik dan borang.
C. Tahap Penelitian
1. Persiapan Alat dan Bahan
Tahap penelitian yang pertama yaitu menyiapkan peralatan dan
bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan tempe, peralatan dan bahan
yang digunakan untuk pembuatan tepung tempe, serta bahan-bahan yang
digunakan untuk pengujian sampel atau analisis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
2. Pembuatan Tempe “Bosok”
Tahap penelitian yang kedua yaitu pembuatan tempe mengacu
pada Standard Operating Procedure (SOP) Andriani (2011) yang sudah
dibakukan oleh UKM di Sentra Industri Kecil Tempe sehingga metode
pembuatannya berdasarkan dari pengrajin tempe yang sudah dibakukan.
Secara umum metode pembuatan tempe adalah kedelai disortasi, kedelai
kemudian dicuci sampai bersih, lalu direbus selama antara 25 menit ± 2.
Kedelai yang telah direbus tadi kemudian direndam ± 15 jam. Setelah
perendaman, kulit kedelai dikupas dan dicuci atau direbus lagi selama 25
menit ± 2. Setelah didinginkan dan ditiriskan, kemudian diberi
laru/ragi/inokulum, dicampur secara merata, dan dibungkus menggunakan
daun. Tempe yang telah dibungkus kemudian diinkubasi pada inkubator
dengan menggunakan suhu terkendali 30°C (Andriani, 2011) inkubasi
tempe dilakukan selama 5 hari (tempe “bosok” overripe 1) untuk
menjadikan “bosok” yang disukai menurut konsumen mengacu pada
penelitian Habibi (2011).
3. Pengeringan
Tahap penelitian yang ketiga yaitu pengeringan tempe “bosok”
overripe 1, proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air
dalam tempe “bosok”. Proses pengeringan ini dilakukan dengan variasi
suhu pengeringan yaitu suhu 55°C, 60°C, dan 65°C.
4. Penepungan
Tahap penelitian yang keempat yaitu proses penepungan. Proses
penepungan dilakukan menggunakan mesin penepung. Selanjutnya tepung
diayak menggunakan ayakan 80 mesh.
5. Analisa Fisikokimia Tepung Tempe “Bosok”
Berikut ini merupakan beberapa analisis yang dilakukan pada
tepung tempe “bosok” yang meliputi karakteristik fisikokimia yang
terkandung di dalam tepung tempe “bosok” di antaranya adalah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
a. Sifat Fisik Tepung Tempe “Bosok”
Tabel 3.1 Metode Analisis Sifat Fisik Tepung Tempe “Bosok”
No Macam Analisis Metode 1 Rendemen Penimbangan 2 Bulk Density Pengujian Sederhana (Tien R Muchtadi, 1992) 3 Kelarutan Tepung Pengujian Sederhana (Dedi Fardiaz, 1992) 4 Daya Serap Air Pengujian Sederhana (Dedi Fardiaz, 1992
dalam Prabowo, 2010)
b. Sifat Kimia dan Sensori Tepung Tempe “Bosok”
Tabel 3.2 Metode Analisis Sifat Kimia dan Sensori Tepung Tempe “Bosok”
No Macam Analisis Metode 1 Kadar Air Thermogravimetri (Sudarmadji, 1997) 2 Protein Terlarut Lowry (Sudarmadji, 1997) 3 Kadar Lemak Lemak kasar, ekstraksi Soxhlet (Sudarmadji, 1997) 4 Kadar Abu Cara Kering (Sudarmadji, 1997) 5 Kadar Gula Reduksi Nelson Somogyi (Sudarmadji, 1997) 6 Aktivitas Antioksidan DPPH (Subagio, 2002 dalam Subagio, 2001) 7 Organoleptik Uji Kesukaan (Kartika, 1988)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Tempe Standard Operating Procedure (SOP) Andriani (2011)
Perebusan I (25 menit ± 2)
Pencucian II
Pemisahan
Pembelahan Biji Kedelai
Penirisan dan Pencucian I
Perendaman (± 15 jam)
Air Bersih
Penirisan dan Pendinginan
Perebusan II (25 menit ± 2)
Air Bersih
Pengadukan
Inokulasi
Pembungkusan
Ragi Tempe
Kertas dan Daun Pisang
Fermentasi tempe 48 jam suhu 30°C
Kedelai
TEMPE
Kedelai yang telah direbus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Gambar 3.2 Diagram Alir Rancangan Penelitian Tepung Tempe “Bosok”
D. Rancangan Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan menggunakan satu faktor, yaitu suhu pengeringan (suhu 55°C, 60°C,
dan 65°C). Penelitian ini dilakukan dengan tiga kali pengulangan untuk setiap
perlakuan dan dua kali pengulangan analisis. Tabel rancangan percobaan acak
Tempe
Tempe Kedelai inkubasi suhu 30°C
Fermentasi diperpanjang 3 hari pada suhu 30°C
Tempe “Bosok” overripe 1
Pengeringan dengan variasi suhu pengering (suhu 55°C, 60°C, dan 65°C)
Tempe “Bosok” overripe 1 kering
Penepungan dan Pengayakan 80 mesh
Tepung Tempe “Bosok” overripe 1
Analisis sifat fisik : 1. Rendemen 2. Bulk density 3. Kelarutan tepung 4. Daya serap air
Analisis sifat kimia : 1. Kadar air 2. Kadar protein terlarut 3. Kadar lemak 4. Kadar abu 5. Kadar gula reduksi 6. Aktivitas Antioksidan
Analisis sifat sensori
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
lengkap dengan satu faktor, yaitu suhu pengeringan dapat dilihat pada Tabel
3.3.
Tabel 3.3 Rancangan Penelitian Acak Lengkap Satu Faktor
Percobaan A B C 1 A1 B1 C1 2 A2 B2 C2 3 A3 B3 C3
Keterangan :
A = Suhu 55°C
B = Suhu 60°C
C = Suhu 65°C
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis statistik menggunakan uji
analisis varian (ANOVA). Analisis Varian (ANOVA) bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya perbedaan pada masing-masing suhu pengeringan
dan jika ada perbedaan antar perlakuan maka dilanjutkan dengan analisis
Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat signifikansi α = 0,05.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tempe “bosok” merupakan salah satu makanan fermentasi lanjutan dari
tempe kedelai yang fermentasinya secara sengaja dilanjutkan 1-5 hari sehingga
tempe menjadi “bosok”. Tempe “bosok” tidak berbahaya jika dikonsumsi atau
sebagai campuran bumbu masak, jika proses fermentasi tidak berlanjut terlalu
lama. Tempe “bosok” sangat disukai dan sudah sangat dikenal oleh ibu-ibu
khususnya masyarakat Jawa yang digunakan sebagai bumbu masak. Tetapi tempe
“bosok” memiliki kelemahan yaitu tidak dapat disimpan terlalu lama, jika
disimpan terlalu lama proses fermentasi akan terus berlanjut dan akan berbahaya
jika dikonsumsi. Untuk memperpanjang umur simpan agar dapat disimpan lebih
lama dan praktis dalam penggunaannya, maka tempe “bosok” dibuat dalam
bentuk tepung atau bubuk.
Pembuatan tepung tempe “bosok” melalui beberapa tahapan yaitu
pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Pada penelitian ini, proses
pengeringan menggunakan suhu yang berbeda yaitu suhu 55°C, 60°C, dan 65°C.
Tempe “bosok” yang sudah dikeringkan dilakukan penepungan dan pengujian
untuk mengetahui kualitas tepung tempe “bosok” dengan suhu yang berbeda.
Parameter pengujian yang diamati yaitu karakteristik kimia, fisik, dan sensori.
Karakteristik kimia yang diamati yaitu kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar
protein terlarut, kadar gula reduksi, dan aktivitas antioksidan. Karakteristik fisik
diamati dari rendemen, bulk density, kelarutan tepung, dan daya serap air.
Sedangkan untuk karakteristik sensori parameter yang diamati yaitu warna,
aroma, tekstur, dan overall.
A. Karakteristik Kimia
Hasil pengujian karakteristik kimia tepung tempe “bosok” dengan
melalui proses pengeringan pada suhu yang berbeda dapat dilihat pada Tabel
4.1. Pada pengujian karakteristik kimia didapatkan hasil yang berbeda-beda
pada setiap perlakuan suhu yang berbeda seperti yang terlihat pada Tabel 4.1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Tabel 4.1 Karakteristik Kimia Tepung Tempe “Bosok”