KAJIAN ILMIAH TENTANG HIZBIYYAH, DAN BAGAIMANAKAH HIZBIYYAH YANG
DILARANG OLEH SYARIAT [1]
Kajian Tentang Hizbiyyah dan Tandzim dalam Dawah Islamiyyah
KAJIAN ILMIAH TENTANG HIZBIYYAH, DAN BAGAIMANAKAH HIZBIYYAH YANG
DILARANG OLEH SYARIAT [1]?Salah satu sifat yang dikhawatirkan oleh
Nabi Muhammad ShallaLLAHu alaihi wa Sallam terjadi pada ummatnya
adalah sifat ghuluw (ekstrem) dan tatharruf (menjauh dari
kebenaran), yang merupakan sifat yang sangat dilarang oleh syariah,
sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad ShallaLLAHu alaihi wa Sallam
berikut ini:
Takutlah kalian terhadap sikap ekstrem dalam beragama, karena
sesungguhnya yang telah mencelakakan ummat sebelum kalian adalah
sikap ekstrem dalam beragama. [2]
Salah satu bentuk dari sikap ghuluw tersebut adalah vonis baru
(baca : bidah) yang tidak dikenal dalam referensi utama kaum
muslimin, laa fil Quraan wa laa fis Sunnah, yaitu vonis hizbiyyah.
Herannya lagi, bahwa vonis ini dilontarkan oleh sebagian orang yang
mengaku-mengaku sebagai pemegang panji-panji Ahlus Sunnah dan
pengikut Salafus Shalih, inna liLLAHi wa inna ilayhi rajiun..
Di berbagai forum dan tulisan - sebagian mereka dengan getolnya
melemparkan vonis tersebut kepada sesama saudara mereka muslim,
para pejuang As-Sunnah dan penegak kalimat Tauhid, hanya karena
mereka yang disebut terakhir ini membuat kelompok, atau partai
ataupun jamaah, yang tujuannya demi memudahkan kerja dakwah mereka.
Kemudian mereka sematkanlah berbagai label seperti hizbiyyun,
ahlul-hawa (para pengikut hawa nafsu), ahlul bidah, Sufi yang
Sesat, dsb.
Mereka kemudian mencari-mencari dalil untuk membenarkan klaim
mereka tersebut, dan memvonis berbagai kelompok kaum muslimin
sesama Ahlus Sunnah wal Jamaah, lalu mereka menemukan ayat yang
kelihatannya bisa dipakai untuk mendukung klaim mereka itu dan
dengan itu mereka berusaha membodohi orang-orang yang bodoh,
membingungkan orang yang bingung dan menakut-nakuti orang yang
penakut.
Potongan ayat yang mereka dengung-dengungkan dan mereka anggap
melarang membuat kelompok, jamaah atau partai itu menurut mereka
yaitu ayat: Kullu hizbin bima ladayhim farihun.. (Setiap
partai/kelompok/jamaah merasa bangga/bergembira dengan apa yang ada
pada kelompok masing-masing). Kemudian ayat: Innalladzina farraqu
dinahum wa kanu syiyaan lasta minhum fi syaiin.. (Sesungguhnya
orang yang memecah-belah agama mereka sehingga mereka menjadi
berkelompok-kelompok lepas tanggung jawabmu atas mereka wahai
Muhammad..)
Ikhwan wa akhwat fiLLAH, marilah saya ajak antum semua untuk
membuka berbagai rujukan kitab-kitab tafsir karangan Imam Salafus
Shalih secara inshaf (obyektif) dan wasith (adil), jauh dari sifat
ghuluw wa tatharruf dan jauh dari kepentingan apapun, kecuali
ikhlas mencari keridhaan ALLAH SWT semata. Hanya kepada ALLAH-lah
kita bertawakkal dan hanya kepada-NYA lah kita akan
dikembalikan.
Potongan ayat tersebut terdapat di 3 tempat, potongan yang
pertama yaitu di QS Al-Muminun, 23/53 dan di QS Ar-Rum, 30/32;
lengkapnya adalah sbb:
Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama
mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. tiap-tiap golongan
merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).
(QS. 23/53)
Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan
apa yang ada pada golongan mereka. (30/32)
Sementara potongan yang kedua pada QS Al-Anam, 6/159. Lengkapnya
adalah sbb:
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka
menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada
mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah,
Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah
mereka perbuat. (QS. 6/159)
Makna ayat dalam QS Al-Muminun, 23/53 menurut kitab-kitab tafsir
adalah sbb:
Berkata Imam At-Thabari [3] dalam tafsirnya [4], bahwa maknanya:
Maka berpecah-belahlah kaum yang diperintahkan oleh ALLAH SWT dari
ummat Nabi Isa alayhis salam untuk bersatu atas agama yang satu Dan
setiap firqah tersebut beragama dengan kitab yang berbeda satu
dengan yang lain, sebagaimana orang Yahudi memegang kitab Taurat
dan mendustakan hukum-hukum dalam kitab Injil dan Al-Quran,
demikian pula orang-orang Nasrani yang berpegang menurut sangkaan
mereka pada kitab Injil dan mendustakan kitab Al-Quran. Dan ini
diperkuat oleh makna ummatan-wahidah pada ayat sebelumnya, yaitu
maknanya menurut Imam At-Thabari: Innal ummah alladzi fi hadzal
maudhu: Ad-Din wal Millah (makna ummat dalam konteks ayat ini
adalah ummat dalam masalah agama) [5]. Jelas bahwa makna HIZB dalam
ayat tersebut menurut Imam At-Thabari adalah HIZB dalam Ad-Din wal
Millah (perbedaan & kelompok-kelompok yang berbeda dalam
aqidah), lalu dimanakah letak larangannya jika HIZB tersebut tidak
berbeda dalam Ad-Din wal Millah?
Imam Ibnul Jauzy dalam tafsirnya [6] menyatakan bahwa ada 2
pendapat tentang tafsir ayat ini, yaitu pendapat pertama: Mereka
adalah Ahli Kitab (Yahudi & Nasrani) dari Mujahid; dan pendapat
kedua: Mereka adalah Ahli Kitab & kaum Musyrikin Arab dari Ibnu
Saib. Demikian pula pendapat Imam Al-Mawardi [7] dalam tafsirnya
[8], nampak bagi kita semua bahwa larangan tersebut amat jelas
yaitu larangan berbeda-berbeda dalam aqidah, atau berbeda dalam
kitab suci persis sebagaimana perbedaan Yahudi dan Nasrani atau
musyrikin, sama sekali tidak ada larangan yang berkaitan dengan
larangan membentuk organisasi, atau jamaah atau partai.
Berkata Imam Al-Baghawi [9] dalam tafsirnya [10], bahwa makna
kullu hizbin bima ladayhim farihun = bima indahum minad din (dari
apa-apa yang ada disisi mereka dari agama), dalam hal ini beliau
mengkaitkan dengan tafsir ayat sebelumnya bahwa makna fataqaththau
amrahum = dinahum, lalu makna baynahum = berpecah-belah, maka
mereka berpecah-belah menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi.
Demikianlah pendapat para Imam Salafus Shalih mengenai masalah ini,
yaitu bahwa HIZB yang dilarang adalah HIZB yang berbeda dalam
aqidah dan agama (Ad-Din wal Millah) dan SAMA SEKALI BUKAN HIZB
DALAM DAKWAH DAN PERJUANGAN.
Berkata Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya [11]: Bahwa mereka ada
yang mengikuti firqah Taurat, firqah Zabur, firqah Injil lalu
mereka masing-masing mengubah kitab-kitab tersebut dan
menyimpangkan maknanya. Hal ini juga pendapat Imam Al-Biqaiy [12]
dalam tafsirnya [13], Imam An-Nasafiy [14] dalam tafsirnya[15], Abu
Saud[16] dalam tafsirnya[17], Imam As-Suyuthi[18] dalam
tafsirnya[19], Imam Al-Khazin [20] dalam tafsirnya [21], Imam
Ats-Tsaalabiy[22] dalam tafsirnya[23], dll. Lalu apakah hizb,
jamaah dan partai Islam yang mereka tuduh tersebut mengubah
Al-Quran? Menyimpangkan makna Al-Quran? Seperti firqah Taurat,
firqah Zabur dan firqah Injil? Inna liLLAHi wa inna ilayhi rajiun..
Ana yakin mereka tidak akan berani menuduh sejauh itu! Qul haatuu
burhanakum in kuntum shadiqiin..
HUJJAH KEDUAIkhwan wal akhawat rahimakumuLLAH, setelah kita
mengetahui tafsir yang dikemukakan oleh para Imam Salafus Shalih
atas QS Al-Muminun, 23/53 (yang juga sama dengan Ar-Rum, 30/32)
tersebut pada kajian yang lalu, maka demikianlah pula tafsir atas
QS Al-Anam, 6/159. Lengkapnya ayatnya adalah sbb:
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka
menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada
mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah,
Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah
mereka perbuat. (QS. 6/159)
Makna ayat dalam QS Al-Anam, 6/159 menurut kitab-kitab tafsir
adalah sbb:
Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya [24] bahwa makna
farraqu-dinahum dalam ayat tersebut adalah bahwa agama ALLAH SWT
ini adalah satu yaitu agama Ibrahim semoga salam ALLAH baginya-,
lalu berpecah-belahlah Yahudi & Nasrani sehingga mereka menjadi
agama yang berbeda-berbeda, adapula yang menjadi Majusi sehingga
mereka menjauh dari agama yang haq [25].
Demikianlah tafsir yang benar mengenai masalah ini.
HUJJAH KETIGADemikian pula berbagai ayat yang ada dan bertaburan
di dalam Al-Quran seperti PERINTAH UNTUK MEMBENTUK KELOMPOK KECIL
(dari sebuah kelompok besar) sepanjang kelompok kecil tersebut
bertujuan untuk berdakwah, berjihad & melakukan amar maruf nahi
munkar, salah satunya adalah ayat di bawah ini:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang
munkar [217]; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Aali
Imraan, 3/104)
Berkata Imam Abu Jafar At-Thabari ketika mengawali tafsirnya
atas ayat ini [26]: Berkata ALLAH Yang Maha Perkasa lagi Maha
Terpuji: WALTAKUN MINKUM wahai orang-orang beriman; UMMATUN yaitu
Jamaah [27]; YADUNA yaitu pada manusia; ILAL KHAYRI yaitu pada
Islam & syariatnya yang telah ditetapkan-NYA bagi
hamba-hamba-NYA; WA YAMURUNA BIL MARUFI, yaitu memerintahkan
manusia untuk mengikuti Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH
yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri
beliau- dan agama yang dibawanya; WA YANHAUNA ANIL MUNKARI, yaitu
mencegah mereka dari kekafiran pada ALLAH -Yang Maha Suci lagi Maha
Tinggi- dan penentangan pada Nabi Muhammad -semoga shalawat dan
salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah
pada diri beliau- dan dari agama yang dibawanya, yaitu melalui
Jihad di jalan-NYA baik dengan tangan maupun anggota badan,
sehingga mereka mengikuti dengan ketaatan (Perhatikanlah bahwa Imam
At-Thabari menyebutkan agar ada & terbentuknya suatu jamaah
diantara ummat ini)..
Imam Jalaluddin As-Suyuthi bahkan lebih maju lagi, beliau dalam
tafsirnya [28] setelah menjelaskan berbagai hadits shahih berkaitan
ayat ini, menyebutkan atsar dari Ibnu Abi Hatim dari Muqatil bin
Hayyan: Bahwa hendaklah ada suatu kaum, baik 1 atau 2 atau 3
kelompok atau lebih dari itu dan itulah baru disebut sebagai ummat.
Kemudian ia berkata lagi: Lalu (hendaklah) ada imamnya yang
memimpin untuk amar maruf & nahi munkar. Lebih jauh beliau
menyitir hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Dzarr
-semoga ALLAH Yang Maha Gagah lagi maha Tinggi- meridhoinya- : Dua
orang lebih baik dari 1 orang, 3 orang lebih baik dari 2 orang, dan
4 orang lebih baik dari 3 orang, maka hendaklah kalian bersama
Al-Jamaah, karena ALLAH tidak akan mengumpulkan ummatku kecuali
atas petunjuk [29].
Imam -Muhyis Sunnah- Abu Muhammad Al-Baghawi menyebutkan dalam
tafsirnya [30] bahwa huruf lam pada kata waltakun bermakna
kewajiban.. sementara min dalam kata minkum ummah bermakna shilah
dan bukan lit-tabidh (menunjukkan sebagian) [31] sebagaimana dalam
ayat: FAJTANIBUR RIJSA MINAL AWTSANI [32].. Yang maknanya:
Hendaklah mereka menjauhi semua berhala & bukan hanya sebagian
berhala saja.. Kemudian Imam Al- Baghawi menyebutkan beberapa
hadits, diantaranya dari Umar -semoga ALLAH Yang Maha Suci laga
Maha Tinggi meridhoinya- Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam
ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri
beliau- bersabda: Barangsiapa yang menginginkan puncaknya Jannah
maka wajib atasnya menetapi Al-Jamaah, karena sesungguhnya Syaithan
itu bersama orang yang sendirian, dan terhadap 2 orang ia lebih
menjauh [33].
Imam Ibnu Asyur dalam tafsirnya [34] bahwa makna ummah adalah
jamaah, kelompok, sebagaimana dalam ayat yang lain disebutkan:
KULLAMAA DAKHALAT UMMATUN LAANAT UKHTAHA [35].. Karena asal kata
ummat dalam bahasa Arab adalah sekelompok orang yang memiliki 1
tujuan yang sama, bisa berupa keturunan, atau agama, atau lainnya,
dan kejelasannya diketahui melalui keterkaitannya (idhafah) dengan
kata setelahnya, semisal: Ummatul-Arab atau Ummatun-Nashara,
dll.
Imam Abi AbduLLAH Syamsuddin Al-Qurthubi Al-Anshari Al-Khazraji
dalam kitabnya [36] berpendapat bahwa min dalam kata minkum ummah
bermakna lit-tabidh (menunjukkan sebagian)[37], karena orang-orang
yang memerintahkan yang maruf itu haruslah berilmu, sementara tidak
semua orang berilmu, maka kewajiban ini bersifat fardhu kifayah,
jika sebagian kaum muslimin sudah melakukannya maka yang lain tidak
berdosa [38].
Sayyid Quthb -semoga ALLAH Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi
menjadikan beliau Syahid- menyatakan dalam tafsirnya [39]: Tidak
bisa tidak ayat ini memerintahkan agar terwujudnya sebuah Jamaah
Islamiyyah yang selalu berdakwah kepada kebaikan, memerintahkan
yang maruf & mencegah yang munkar. Dan hendaklah ada sebuah
pemerintahan yang tegak berdiri di atas bumi ini melakukan hal
tersebut, sehingga ayat ini tidak hanya berbunyi yaduuna (berdakwah
saja) melainkan juga yamuruuna (memerintah) dan yanhauna (melarang)
yang keduanya itu tidak akan tegak kecuali adanya sebuah
pemerintahan yang Islami.. Sampai kata beliau -semoga ALLAH Yang
Maha Suci lagi Maha Tinggi menjadikan beliau Syahid- pada akhir
penjelasannya atas ayat tersebut: Untuk demi tercapainya hal
tersebut di atas, maka tidak dapat tidak haruslah ada sebuah
kelompok/jamaah yang memiliki 2 kekuatan di atas [40] yaitu Iimaanu
biLLLAAH (QS Aali-Imraan, 3/102) dan Ukhuwwatu-fiLLAAH (QS
Aali-Imraan, 3/103) baru bisa mewujudkan ayat ini (QS Aali-Imraan,
3/104)
Demikianlah maka berdasarkan dalil2 di atas bahwa tegaknya
Al-Jamaah merupakan dharurah-syariyyah, yang kesemuanya tidak akan
dapat tegak dengan kerja infiradiyyah (sendiri-sendiri) dan hanya
mengharapkan dari tarbiyyah & tashfiyyah saja, melainkan
memerlukan suatu tanzhim yang kuat & rapi untuk menggapainya..
Jika dikatakan bahwa As-Salafus Shalih pasca generasi sahabat
-semoga ALLAH Yang Maha Mulia lagi maha Tinggi meridhoi mereka
semua- tidak membuat tanzhim, maka saya jawab bahwa dimasa mereka
sudah ada Al-Jamaah & Al-Khilafah, maka haram hukumnya membuat
kelompok baru yang berbeda dari Jamaah kaum muslimin. Adapun
sekarang, maka tidak ada Khilafah, tidak ada Al-Jamaah & tidak
ada Al-Hukumah, maka tiada jalan lain kecuali membentuk &
mendirikannya.. Dan persoalan ini jauh lebih mendesak & lebih
penting dari mendalami & bertele-tele dalam masalah
ibadah-mahdhah, cukuplah sunnah para sahabat -semoga ALLAH Yang
Maha Mulia lagi maha Tinggi meridhoi mereka semua- yang sampai
meninggalkan pengurusan & pemakaman jenazah Nabi Muhammad
-semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi
senantiasa tercurah pada diri beliau- untuk memilih Khalifah
menjadi dalil atas hal tersebut.
HUJJAH KEEMPATOleh sebab itu maka seorang yang alim hendaklah
berhati-hati dalam berucap dan berfatwa, karena tidak semua orang
bisa dibodohi oleh berbagai fatwa yang kelihatan seolah-olah benar
dan memvonis tetapi sesungguhnya rapuh dan sangat menyesatkan.
Sebagai contoh istilah madzhabiyyah adalah buruk & tercela,
tapi bermadzhab tidaklah buruk, tidak bidah & tidak pula
dilarang. Maka demikian pula hizbiyyah adalah tercela & buruk,
namun demikian membuat hizb seperti beberapa hizb (partai Islam)
yang ada di Indonesia, hal tersebut sama sekali tidak ada
larangannya, bahkan jika umat sangat membutuhkannya maka ia bisa
menjadi berkedudukan mustahabbah bahkan wajib berdasarkan kaidah
ushul: Maa laa yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib.
HUJJAH KELIMAMaka mencap orang yang berpartai &
berorganisasi sebagai hizbiyyun berdasarkan paparan di atas oleh
karenanya adalah sesat & menyesatkan, dan perbuatan ini dalam
istilah para Ahli Ilmu dinamakan sebagai tingkat kejahilan ketiga
yaitu Al-Jahlu Al-Murakkab (diantara 6 tingkat kejahilan seseorang
Tholabul Ilmi). Dan orang-orang seperti ini perlu membaca &
mempelajari secara mendalam tentang siyasatus-syariyyah, karena
serampangan memfatwakan masalah ini akan sangat berbahaya bagi
masyarakat, karena semua hal yang berkaitan dengan realitas di masa
sekarang akan menjadi bidah semua, seperti Presiden juga bidah,
negara Indonesia ini adalah bidah, parlemennya, menterinya,
departemennya, dsb semuanya menjadi bidah. Dan semua ini dibuktikan
dengan fatwa mereka tentang haramnya PEMILU, beberapa waktu yang
lalu. Dan jika mereka konsisten, maka kedudukan Raja secara
turun-temurun juga adalah bidah, karena tidak ditemukan dalam
khairal qurun, diamnya sebagian shahabat tidak bisa dijadikan hujah
untuk masalah ini, karena mereka diam bukan berarti ridha tetapi
berdasarkan fiqh muwazanah pada saat itu. Maka sebagian mereka yang
membrontak dan membuat tanzhim pun tidak dihukumi ahli bidah, maka
siapakah yang berani menyatakan para sahabat sekualitas Al-Husein
bin Ali, Muawiyah bin Abi Sufyan, AbduLLAH Ibnu Zubair, dll sebagai
ahli bidah karena mereka membuat tanzhim, membuat hizb, membuat
pasukan perang & kemudian memberontak? Qul haatuu burhaanakum
in kuntum shaadiqiin!
KESIMPULANOleh sebab itu, kesimpulannya hizbiyyah adalah
semangat fanatisme mazhab, golongan, syaikh, ustaz, ulama, dsb. Dan
hizbiyyah bukanlah pada sikap bermazhab pada 1 mazhab, bergolongan
atau meminta fatwa pada seorang ulama, syaikh, dsb. Seorang yang
membatasi hanya mau menerima fatwa dari Syaikh Fulan dari negara
Fulan, misalnya, dan tidak mau menerima fatwa dari selainnya itu
adalah sikap hizbiyyah dan orang-orangnya dinamakan hizbiyyun.
Demikian pula sikap orang yang memfatwakan bahwa ulama-mujtahid di
dunia ini hanya ada 3 orang saja, itu adalah sikap para hizbiyyun.
Sikap mencaci para ulama besar yang diakui dunia, kemudian
menyebar-nyebarkan isu baik dalam ceramah-ceramah maupun
tulisan-tulisan & buku-buku (yang belum dikonfirmasikan dan
ditegakkan hujjah kepada sang ulama yang dicurigai tsb), adalah
sikap para hizbiyyun. Semoga ALLAH SWT melindungi kita dari sikap
hizbiyyah yang amat tercela (qabihah) ini, aaamiin ya RABB
Catatan Kaki:[1] Sebenarnya tulisan ini sudah pernah ana muat di
millist (Al-Ikhwan) ini beberapa waktu yang lalu, namun ana melihat
tulisan tsb mendapat respon yang luar biasa di sebuah website milik
saudara-saudara kita fiLLAAH yang ana kritik tsb, maka ana kemudian
mempelajari bantahannya dan kemudian menjawabnya pada setengah
bagian dari tulisan ini, Liyahlika man Halaka an Bayyinah wa Yahya
man Hayya an Bayyinah, faliLLAAHil hamdu wal minah.
[2] HR An-Nasai, X/83; Ibnu Majah, IX/134; Al-Baihaqi, V/127;
Al-Hakim, IV/256; At-Thabrani, X/301; Ibnu Habban, XVI/243.
[3] Beliau adalah Abu Jafar Muhammad bin Jarir bin Yazid bin
Katsir bin Ghalib Al-Amali At-Thabari, digelari Imam Abu Jafar
At-Thabari atau juga Imam Ibnu Jarir At-Thabari, beliau wafat th
310-H.
[4] Jamiul Bayan fi Tafsiril Quran, XIX/41.
[5] Ibid. Imam Thabari menyandarkan tafsirnya ini dari atsar
yang shahih sbb : Telah menceritakan pada kami Al-Qasim, telah
menceritakan pada kami Al-Husain, telah menceritakan pada saya
Hajjaj dari Ibnu Juraij makna ayat tersebut seperti di atas.
[6] Zadul Masir, IV/415
[7] Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib Al-Bashri
Al-Baghdadi yang lebih dikenal dengan Imam Al-Mawardi, beliau wafat
th 450-H.
[8] An-Naktu wal Uyun, III/141
[9] Beliau adalah Imam Abu Muhammad Al-Husein bin Masud
Al-Baghawi, digelari oleh para ulama sebagai Muhyis Sunnah (Yang
Menghidupkan As-Sunnah), beliau wafat pada th 516-H.
[10] Maalimut Tanzil, V/420
[11] Fathul Qadir, V/161.
[12] Beliau adalah Imam Ibrahim bin Umar bin Hasan Ar-Ribath bin
Ali bin Abi Bakr Al-Biqaiy, beliau wafat th 885-H.
[13] Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayati was Suwar, V/416.
[14] Beliau adalah AbduLLAH bin Ahmad bin Mahmud Hafizhuddin
Abul Barakat An-Nasafiy, beliau wafat th 710-H.
[15] Madrak At-Tanzil wa Haqaiqut Tawil, II/385.
[16] Beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Musthafa Al-Amadiy,
Mufti dan Mufassir, beliau wafat th 982-H.
[17] Irsyad Al-Aqlis Salim Ila Mazaya Al-Kitab Al-Karim,
V/5.
[18] Beliau adalah AbduRRAHMAN bin Abi Bakr, diberi gelar
Jalaluddin, beliau wafat th 911-H.
[19] Ad-Durr Al-Mantsur, VII/210.
[20] Beliau adalah Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin
Umar Asy-Syihi, beliau wafat th 741-H.
[21] Lubab At-Tawil fil Maani At-Tanzil, IV/469
[22] Beliau adalah Abu Zaid AbduRRAHMAN bin Muhammad bin Makhluf
Ats-Tsaalabiy, beliau wafat th 876-H.
[23] Al-Jawahirul Hasan fi Tafsiril Quran, III/54.
[24] Jamiul Bayan, XX/100
[25] Ibid, XII/268
[26] Jaamiul Bayaan fi Tawiilil Quraan, VII/91
[27] Ini juga pendapat Imam Al-Biqaiy, lih. Tafsirnya Nuzhmud
Durar fii Tanaasubil Aayaati was Suwar, II/94
[28] Ad-Durrul Mantsur fit Tawili bil Matsur, II/405
[29] Saya berusaha men-takhrij hadits ini, dan saya menemukannya
bukan hanya dalam Musnad Ahmad (43/297); melainkan jg oleh Ibnu
Asakir (38/206); berkata Al-Albani dalam Fii Zhilalil Jannah
(80-84) bahwa hadits ini maudhu namun akhir kalimat dalam hadits
ini terdapat syawahid dari hadits shahih.
[30] Maalimut Tanzil, II/84
[31] Ini juga pendapat Imam Ibnul Jauzy, lih. Zaadul Masiir,
I/391. Tapi beliau juga menerima pendapat yang menyatakan kewajiban
membentuk jamaah ini fardhu kifayah, dan beliau menyamakan
kedudukannya seperti jihad fi sabiliLLAAH.
[32] Al-Hajj, 22/30
[33] HR Tirmidzi, VI/383-386; Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah,
I/42 (dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam taliq-nya atas kitab
tersebut); Al-Lalikai dalam Syarah Ushul Itiqad Ahlus Sunnah wal
Jamaah, I/106-107; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, I/114; Ahmad dalam
Al-Musnad, I/18.
[34] At-Tahriru wat Tanwiru, III/178
[35] QS Al-Araaf, 7/38
[36] Al-Jami li-Ahkamil Quran, I/1081
[37] Ini juga pendapat Imam An-Nasafiy, lih. Madrak at-Tanzil wa
Haqaiqu at-Tawil, I/174; demikian juga Al-Khazin, lih. Lubab
at-Tawil fil Maani at-Tanzil, I/434.
[38] Ini juga pendapat Imam Asy-Syaukani, lih. Fathul Qadir,
II/8. Ada baiknya bagi yang berminat untuk merujuknya, ada ulasan
beliau yang amat berharga tentang masyruiyyah-nya ikhtilaf dalam
masalah2 furu dikalangan para ulama salafus-shalih, dan mereka
menamakan ikhtilaf tersebut sebagai bentuk ijtihad (demikian pula
paparan Imam Abu Saud dalam kitabnya Irsyadul Aqlis Salim ila
Mazayal Quranil Kariem, I/432).
[39] Fii Zhilaalil Quran, I/413
[40] Maksud beliau -rahimahuLLAAH- adalah penjelasan beliau atas
tafsir ayat sebelumnya (QS Aali-Imraan, III/102-103)
MASYRUIYYATU AT-TANZHIM FI AD-DAWAH AL-ISLAMIYYAH
AL-MUASHIRAHDan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah
dari yang munkar [217]; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS
Aali Imraan, 3/104)
[217] Maruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada
Allah, sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita
dari pada-Nya.
MUQADDIMMAHSalah satu dakwaan aneh dari para tokoh kaum
Zhahiriyyah dari ummat ini, di antaranya adalah bahwa Islam tidak
membenarkan tanzhim (struktur organisasi) dalam berdakwah, membuat
tanzhim menurut mereka adalah adalah bidah yang tidak dikenal oleh
generasi As-Salafus Shalih, maka oleh karena ia tidak ada dimasa
As-Salafus Shalih, maka menurut mereka ia harus ditolak
sejauh-jauhnya & para pelakunya yang menggunakan tanzhim dalam
dakwah mereka dianggap Ahli Bidah sehingga harus di-tahdzir. Inna
liLLAAHi wa inna ilaihi raajiuun..
Tentunya dakwaan ini keluar tiada lain karena telah
menyimpangnya mereka dari Al-Haqq dan karena sikap ekstrem
(ghuluww) yang telah berurat berakar di antara mereka. Padahal Nabi
Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha
Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- telah mengingatkan
kita semua dari sikap ekstremitas ini dalam sabdanya: Wahai
sekalian manusia berhati-hatilah kalian pada sikap ekstrem dalam
beragama, karena sesungguhnya yang telah mencelakakan ummat sebelum
kalian adalah sikap ekstrem dalam beragama [1].
Tanzhim dalam aktifitas dakwah adalah merupakan sebuah hal yang
bersifat dharuriy (tidak bisa tidak) dalam fiqh, berdasarkan kaidah
ushul-fiqh: Maa laa yatimmul waajib illa bihi fahuwa waajib (suatu
kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain,
maka yang lain itu menjadi wajib pula hukumnya), jangankan untuk
berdakwah, sedangkan untuk memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut
kita saja, tidak mungkin tercapai tanpa adanya tanzhim, coba anda
bayangkan jika tidak ada pabrik pupuk, perusahaan cangkul,
perusahaan pestisida, pasar, dsb. Apakah mungkin nasi itu bisa
mencukupi untuk seluruh bangsa Indonesia ini?! Jika sekedar untuk
urusan perut saja membutuhkan sebuah tanzhim, maka apatah lagi
dalam urusan iqamatuddin dan ustadziyyatul-alam!
Kebodohan macam apa lagi yang menimpa ummat ini, sehingga mereka
bisa melahirkan orang-orang yang berfikir sepicik mereka itu?!
Tetapi kita memang tidak perlu heran, karena mereka memang telah
memunculkan banyak fatwa yang menggelikan & sekaligus
membingungkan ummat, di antaranya bahwa kata mereka di dunia
sekarang ini tidak ada ulama mujtahid kecuali hanya 3 orang saja,
yaitu Ibni Baaz, Al-Albani & Ibnu Utsaimin. Terlepas dari
pengakuan kita pada kapasitas keulamaan ketiga ulama tersebut, tapi
adakah seorang yang berilmu membatasi ulama mujtahid hanya 3 orang
saja? Lalu coba antum tanyakan kepada mereka: Lalu siapa yang bisa
membatasi ulama cuma 3 orang itu saja?! Antum?! Fa man antum?!
Ikhwah wa akhwat rahimakumuLLAAH, membuat tanzhim dalam gerakan
dakwah merupakan sebuah kemestian (hatmiyyah) yang tidak bisa
ditawar-tawar & ditunda-tunda lagi, baik berdasarkan
dharuriyyah-fiqhiyyah di atas, juga berdasarkan sunnah-kauniyyah
(yaitu bahwa alam semesta ini merupakan sebuah nizham-alamiyy, yang
semuanya menempati posisi & fungsi yang berbeda-beda dan telah
tetap & ditentukan), juga berdasarkan ihtiyajaat-basyariyyah
(kebutuhan kemanusiaan, dalam segala hal dalam kemanusiaan kita
memerlukan pengorganisasian yang rapi & terstruktur) serta
dharuriyyah-harakiyyah (kebutuhan mendesak kebangkitan Islam
kontemporer).
Sebenarnya logika sehat sederhana di atas sudah cukup bagi orang
yang berakal untuk menunjukkan urgensi organisasi
(ahamiyyah-tanzhim) dalam dakwah di era modern ini. Namun
sebagaimana biasanya, maka kelompok zhahiriyyun-ghullat
(tekstualis-ekstrem) itu tidak akan mau menerima kecuali
bil-lughati qawmihim (hanya dengan bahasa kaumnya), maka supaya
tidak dituduh aqlaniyyin (kelompok yang menuhankan akal), maka ana
akan menunjukkan dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih
tentang Masyruiyyatu Tanzhim fid-Dakwah Al-Islamiyyah Al-Muashirah
(Dalil-Dalil disyariatkannya tanzhim dalam Dakwah di Era Modern),
supaya liyahlika man halaka an bayyinah wa yahya man hayya an
bayyinah..
TAFSIR AYATBerkata Imam Abu Jafar At-Thabari ketika mengawali
tafsirnya atas ayat ini [2]: Berkata ALLAH Yang Maha Perkasa lagi
Maha Terpuji: WALTAKUN MINKUM wahai orang-orang beriman; UMMATUN
yaitu Jamaah [3]; YADUNA yaitu pada manusia; ILAL KHAYRI yaitu pada
Islam & syariatnya yang telah ditetapkan-NYA bagi
hamba-hamba-Nya; WA YAMURUNA BIL MARUFI, yaitu memerintahkan
manusia untuk mengikuti Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH
yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri
beliau- dan agama yang dibawanya; WA YANHAUNA ANIL MUNKARI, yaitu
mencegah mereka dari kekafiran pada ALLAH -Yang Maha Suci lagi Maha
Tinggi- dan penentangan pada Nabi Muhammad -semoga shalawat dan
salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah
pada diri beliau- dan dari agama yang dibawanya, yaitu melalui
Jihad di jalan-NYA baik dengan tangan maupun anggota badan,
sehingga mereka mengikuti dengan ketaatan (Perhatikanlah bahwa Imam
At-Thabari menyebutkan agar ada & terbentuknya suatu jamaah di
antara ummat ini)..
Imam Jalaluddin As-Suyuthi bahkan lebih maju lagi, beliau dalam
tafsirnya [4] setelah menjelaskan berbagai hadits shahih berkaitan
ayat ini, menyebutkan atsar dari Ibnu Abi Hatim dari Muqatil bin
Hayyan: Bahwa hendaklah ada suatu kaum, baik 1 atau 2 atau 3
kelompok atau lebih dari itu dan itulah baru disebut sebagai ummat.
Kemudian ia berkata lagi: Lalu (hendaklah) ada imamnya yang
memimpin untuk amar maruf & nahi munkar. Lebih jauh beliau
menyitir hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Dzarr
-semoga ALLAH Yang Maha Gagah lagi maha Tinggi meridhoinya-: Dua
orang lebih baik dari 1 orang, 3 orang lebih baik dari 2 orang, dan
4 orang lebih baik dari 3 orang, maka hendaklah kalian bersama
Al-Jamaah, karena ALLAH tidak akan mengumpulkan ummatku kecuali
atas petunjuk [5].
Imam -Muhyis Sunnah- Abu Muhammad Al-Baghawi menyebutkan dalam
tafsirnya [6] bahwa huruf lam pada kata waltakun bermakna
kewajiban.. sementara min dalam kata minkum ummah bermakna shilah
dan bukan lit-tabidh (menunjukkan sebagian) [7] sebagaimana dalam
ayat: FAJTANIBUR RIJSA MINAL AWTSANI [8].. yang maknanya: Hendaklah
mereka menjauhi semua berhala & bukan hanya sebagian berhala
saja. Kemudian Imam Al-Baghawi menyebutkan beberapa hadits, di
antaranya dari Umar -semoga ALLAH Yang Maha Suci laga Maha Tinggi
meridhoinya- Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang
Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau-
bersabda: Barangsiapa yang menginginkan puncaknya Jannah maka wajib
atasnya menetapi Al-Jamaah, karena sesungguhnya Syaithan itu
bersama orang yang sendirian, dan terhadap 2 orang ia lebih menjauh
[9].
Imam Ibnu Asyur dalam tafsirnya [10] bahwa makna ummah adalah
jamaah, kelompok, sebagaimana dalam ayat yang lain disebutkan:
KULLAMAA DAKHALAT UMMATUN LAANAT UKHTAHA [11].. Karena asal kata
ummat dalam bahasa Arab adalah sekelompok orang yang memiliki 1
tujuan yang sama, bisa berupa keturunan, atau agama, atau lainnya,
dan kejelasannya diketahui melalui keterkaitannya (idhafah) dengan
kata setelahnya, semisal: Ummatul-Arab atau Ummatun-Nashara,
dll.
Imam Abi AbduLLAH Syamsuddin Al-Qurthubi Al-Anshari Al-Khazraji
dalam kitabnya [12] berpendapat bahwa min dalam kata minkum ummah
bermakna lit-tabidh (menunjukkan sebagian) [13], karena orang-orang
yang memerintahkan yang maruf itu haruslah berilmu, sementara tidak
semua orang berilmu, maka kewajiban ini bersifat fardhu kifayah,
jika sebagian kaum muslimin sudah melakukannya maka yang lain tidak
berdosa [14].
Sayyid Quthb -semoga ALLAH Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi
menjadikan beliau Syahid- menyatakan dalam tafsirnya [15]: Tidak
bisa tidak ayat ini memerintahkan agar terwujudnya sebuah Jamaah
Islamiyyah yang selalu berdakwah kepada kebaikan, memerintahkan
yang maruf & mencegah yang munkar. Dan hendaklah ada sebuah
pemerintahan yang tegak berdiri di atas bumi ini melakukan hal
tersebut, sehingga ayat ini tidak hanya berbunyi yaduuna (berdakwah
saja) melainkan juga yamuruuna (memerintah) dan yanhauna (melarang)
yang keduanya itu tidak akan tegak kecuali adanya sebuah
pemerintahan yang Islami.. Sampai kata beliau -semoga ALLAH Yang
Maha Suci lagi Maha Tinggi menjadikan beliau Syahid- pada akhir
penjelasannya atas ayat tersebut: Untuk demi tercapainya hal
tersebut di atas, maka tidak dapat tidak haruslah ada sebuah
kelompok/jamaah yang memiliki 2 kekuatan di atas [16] yaitu Iimaanu
biLLLAAH (QS Aali-Imraan, 3/102) dan Ukhuwwatu-fiLLAAH (QS
Aali-Imraan, 3/103) baru bisa mewujudkan ayat ini (QS Aali-Imraan,
3/104)
Demikianlah maka berdasarkan dalil-dalil di atas bahwa tegaknya
Al-Jamaah merupakan dharurah-syariyyah, yang kesemuanya tidak akan
dapat tegak dengan kerja infiradiyyah (sendiri-sendiri) dan hanya
mengharapkan dari tarbiyyah & tashfiyyah saja, melainkan
memerlukan suatu tanzhim yang kuat & rapi untuk menggapainya..
Jika dikatakan bahwa As-Salafus Shalih pasca generasi sahabat
-semoga ALLAH Yang Maha Mulia lagi maha Tinggi meridhoi mereka
semua- tidak membuat tanzhim, maka saya jawab bahwa dimasa mereka
sudah ada Al-Jamaah & Al-Khilafah, maka haram hukumnya membuat
kelompok baru yang berbeda dari Jamaah kaum muslimin. Adapun
sekarang, maka tidak ada Khilafah, tidak ada Al-Jamaah & tidak
ada Al-Hukumah, maka tiada jalan lain kecuali membentuk &
mendirikannya.. Dan persoalan ini jauh lebih mendesak & lebih
penting dari mendalami & bertele-tele dalam masalah
ibadah-mahdhah, cukuplah sunnah para sahabat -semoga ALLAH Yang
Maha Mulia lagi maha Tinggi meridhoi mereka semua- yang sampai
meninggalkan pengurusan & pemakaman jenazah Nabi Muhammad
-semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi
senantiasa tercurah pada diri beliau- untuk memilih Khalifah
menjadi dalil atas hal tersebut.
Saya akhiri penjelasan ini dengan sebuah hadits Nabi Muhammad
-semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi
senantiasa tercurah pada diri beliau- berikut: Sebaik-baik jihad
adalah perkataan yang benar yang disampaikan di depan penguasa yang
zhalim [17]. ALLAAHu alamu bish Shawaab
Catatan Kaki:[1] Hadits ini di-takhrij oleh Imam An-Nasai, X/83;
Ibnu Majah, IX/134; Al-Baihaqi dalam Al-Kubra, V/85; Al-Hakim,
IV/256; At-Thabrani dalam Al-Kubra, X/301 dan dalam Al-Awsath,
V/234; Abu Yala, V/481; Shahih Ibnu Habban, XVI/243; Shahih Ibnu
Khuzaimah, X/284. Dan hadits ini shahih. Jangan anda tertipu dengan
orang yang menyatakan hadits ini telah di-dhaif-kan oleh Al-Albani
dalam kitab Silsilah Ahaadits Adh-Dhaifah; orang tersebut telah
berdusta atas nama Al-Albani, bahkan hadits ini shahih &
di-shahih-kan oleh Albani dalam berbagai kitabnya, diantaranya
Silsilatu Ahaadits Ash-Shahihah, III/278 dan V/177; juga dalam
kitabnya Shahih wa Dhaif Sunan An-Nasai, VII/129; juga dalam
kitabnya Shahih wa Dhaif Sunan Ibnu Majah, VII/29; juga dalam
kitabnya Shahih wa Dhaif Jami Shaghir, X/392.
[2] Jaamiul Bayaan fi Tawiilil Quraan, VII/91
[3] Ini juga pendapat Imam Al-Biqaiy, lih. Tafsirnya Nuzhmud
Durar fii Tanaasubil Aayaati was Suwar, II/94
[4] Ad-Durrul Mantsur fit Tawili bil Matsur, II/405
[5] Saya berusaha men-takhrij hadits ini, dan saya menemukannya
bukan hanya dalam Musnad Ahmad (43/297); melainkan jg oleh Ibnu
Asakir (38/206); berkata Al-Albani dalam Fii Zhilalil Jannah
(80-84) bahwa hadits ini maudhu namun akhir kalimat dalam hadits
ini terdapat syawahid dari hadits shahih.
[6] Maalimut Tanzil, II/84
[7] Ini juga pendapat Imam Ibnul Jauzy, lih. Zaadul Masiir,
I/391. Tapi beliau juga menerima pendapat yang menyatakan kewajiban
membentuk jamaah ini fardhu kifayah, dan beliau menyamakan
kedudukannya seperti jihad fi sabiliLLAAH.
[8] Al-Hajj, 22/30
[9] HR Tirmidzi, VI/383-386; Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah,
I/42 (dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam taliq-nya atas kitab
tersebut); Al-Lalikai dalam Syarah Ushul Itiqad Ahlus Sunnah wal
Jamaah, I/106-107; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, I/114; Ahmad dalam
Al-Musnad, I/18.
[10] At-Tahriru wat Tanwiru, III/178
[11] QS Al-Araaf, 7/38
[12] Al-Jami li-Ahkamil Quran, I/1081
[13] Ini juga pendapat Imam An-Nasafiy, lih. Madrak at-Tanzil wa
Haqaiqu at-Tawil, I/174; demikian juga Al-Khazin, lih. Lubab
at-Tawil fil Maani at-Tanzil, I/434.
[14] Ini juga pendapat Imam Asy-Syaukani, lih. Fathul Qadir,
II/8. Ada baiknya bagi yang berminat untuk merujuknya, ada ulasan
beliau yang amat berharga tentang masyruiyyah-nya ikhtilaf dalam
masalah2 furu dikalangan para ulama salafus-shalih, dan mereka
menamakan ikhtilaf tersebut sbg bentuk ijtihad (demikian pula
paparan Imam Abu Saud dalam kitabnya Irsyadul Aqlis Salim ila
Mazayal Quranil Kariem, I/432).
[15] Fii Zhilaalil Quran, I/413
[16] Maksud beliau -rahimahuLLAAH- adalah penjelasan beliau atas
tafsir ayat sebelumnya (QS Aali-Imraan, III/102-103)
[17] HR Abu Daud, XI/419; Ibnu Majah, XII/15; Ahmad, XXII/261;
Hakim, XIX/443; Thabrani dalam Al-Kabir, VII/327; Al-Baihaqi, dalam
Syuabul Iman, XVI/120; Abu Yala, III/107; Bahkan Imam Tirmidzi
menulis 1 bab khusus tentang tema ini, yaitu : Maa Jaaa Afdhalul
Jihaad Kalimatu Adlin Inda Sulthanin Jaair, VIII/82; Al-Albani
men-shahih-kan hadits ini dalam Ash-Shaahihah, I/490 juga dalam
Misykaatul Mashaabiih, II/343.
APAKAH BERBAIAT KEPADA JAMAAH MINAL MUSLIMIN MERUPAKAN
BIDAH?
(Hal Al-Bayah Lil Jamaah Minal Muslimin Hiyal Bidah?)
Baiah Menurut Arti LughahBerasal dari kata ba-ya-a yang artinya
menjual atau juga membeli. Dikatakan bitu-syaiin artinya syaraytuhu
(aku telah menjualnya); ia juga bisa berarti isytaraytuhu (aku
telah membelinya), sehingga ia memiliki arti ganda [1].
Juga dapat bermakna ketaatan, al-bayah (Indonesia: baiah atau
baiat) artinya al-mutabaah (mengikuti) wa ath-thaah (mentaati) [2].
Disebut Al-Bayah karena kesiapan sang penerima bayah tersebut untuk
mengikuti & taat [3].
Juga berarti akad atau janji, al-aqdu / al-ahdu, sebagaimana
dalam hadits disebutkan: Dosa yang paling besar dari dosa-dosa
besar adalah kalian memerangi kaum yang ada perjanjian dengan
kalian [4].
Ia juga dapat berarti gereja, al-biiah, sebagaimana dalam kitab
Shahih Al-Bukhari, dalam bab Ash-Shalatu fil Biah (Hukum Shalat di
dalam Gereja) [5]
Baiah Dalam Al-QuranKedua makna baiah di atas dapat kita temukan
dalam Al-Quran Al-Karim, sementara makna yang ketiga kita dapatkan
dalam Al-Hadits.
Dalam makna pertama (jual-beli), seperti dalam QS Al-Baqarah
2/282 berikut ini:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya
jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka
hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu) jika
tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang
lupa maka yang seorang mengingatkannya, janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya, yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan
lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu, (tulislah muamalahmu itu), kecuali jika
muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan
saksi saling sulit menyulitkan, jika kamu lakukan (yang demikian),
maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Dalam makna kedua (ketaatan & mengikuti perintah) terbagi
menjadi 2, yaitu bayah-nisa (hanya mendengar & taat)
sebagaimana dalam QS Al-Mumtahanah 60/12 sbb:
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan
menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak
akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka
ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia
mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka.
Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam QS Al-Fath 48/10 dan ayat 18-nya sbb:
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia [6] kepada kamu
Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah di
atas tangan mereka [7], maka barangsiapa yang melanggar janjinya
niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri
dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan
memberinya pahala yang besar.
Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin
ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah
mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan
ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya) [8].
Baiah Dalam As-SunnahBaiah yang disebutkan dalam As-Sunnah
adalah sangat banyak, di antaranya adalah sebagaimana disebutkan
dalam hadits-hadits shahih & hasan berikut ini:
1. Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh ALLAH SWT pada
Hari Kiamat dan orang yang telah mem-baiat seorang Imam lalu jika
Imam itu memberi kepadanya maka iapun setia dan jika Imam itu tidak
memberinya maka iapun tidak setia kepadanya. [9]
2. Barangsiapa mem-baiat seorang Imam lalu Imam tersebut
memberikan buah hatinya dan mengulurkan tangannya, maka hendaklah
ia mentaatinya sedapat mungkin dan apabila ada Imam lain yang
menyainginya maka hendaklah mereka memukul leher Imam yang datang
belakangan itu. [10]
3. Adalah Bani Israil dipimpin oleh para Nabi, tiap kali sang
nabi wafat, maka digantikan oleh Nabi berikutnya. Dan sesungguhnya
tidak ada lagi Nabi setelahku, tetapi akan ada para Khalifah,
mereka banyak jumlahnya. Para sahabat bertanya: Apa yang Anda
perintahkan kepada kami? Nabi SAW bersabda: Patuhilah baiah
pertama, berikanlah hak mereka, karena ALLAH akan menanyakan kepada
mereka apa yang menjadi tanggungjawab mereka. [11]
4. Lalu apa yang anda perintahkan kepadaku wahai RasuluLLAH?
Maka Nabi SAW bersabda: Penuhilah baiah yang pertama karena itulah
yang utama dan berikanlah pada mereka hak mereka, karena
sesungguhnya ALLAH SWT akan menanyakan pada mereka tentang
tanggungjawab mereka. [12]
5. Barangsiapa mem-baiat seorang Amir tanpa bermusyawarah dengan
kaum muslimin, maka tidak ada baiat baginya dan tidak ada baiat
bagi yang mem-baiat-nya. [13]
6. Apabila di-baiat 2 orang Khalifah, maka bunuhlah Khalifah
yang terakhir dari keduanya. [14]
7. Barangsiapa yang meninggal dan di lehernya tidak ada baiah
maka ia mati dalam keadaan Jahiliyyah. [15]
Baiah Boleh Dilakukan Kepada Selain Imamah-Uzhma Pada Masa
As-Salafus-Shalih1. Sebagian kaum muslimin mem-baiah Muawiyah
semoga ALLAH meridhoinya - saat Ali bin Abi Thalib semoga ALLAH
meridhoinya - masih menjabat sebagai khalifah yang sah [16], dan
hal ini tidak diingkari oleh Nabi semoga shalawat & salam
selalu tercurah pada beliau -, beliau hanya menyebut Ali semoga
ALLAH meridhoinya - lebih dekat pada kebenaran [17].
2. Bahkan sebagian Ulama yang tajam bashirahnya, menyatakan
bahwa terdapat hikmah besar dari peristiwa peperangan di masa Ali
semoga ALLAH meridhoinya - karena dengan keluhuran & keluasan
ilmunya sebagai sahabat generasi pertama kita dapat meletakkan
dasar-dasar & kaidah-kaidah syariat yang amat berharga tentang
jika terjadi perselisihan antara 2 kelompok kaum muslimin serta
hukum-hukum fiqh di sekitar peperangan antara sesama Ahli Kiblat
[18].
3. Sebagian kaum muslimin ber-baiah pada Ummul Muminin Aisyah
semoga ALLAH meridhoinya - dan berperang bersamanya melawan
Khalifah Ali semoga ALLAH meridhoinya - dan Nabi semoga shalawat
& salam selalu tercurah pada beliau - tidak mencaci Aisyah
semoga ALLAH meridhoinya - bahkan meminta Ali semoga ALLAH
meridhoinya - agar memperlakukannya dengan halus [19].
4. Sebagian kaum muslimin juga mem-baiah Al-Hasan bin Ali semoga
ALLAH meridhoinya - di masa pemerintahan Muawiyyah semoga ALLAH
meridhoinya - masih berkuasa, dan tidak diingkari oleh para
shahabat yang lainnya semoga ALLAH meridhoinya [20]. Dan Nabi
semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau - menamakan
kedua kelompok tersebut keduanya muslim, sebagaimana dalam
sabdanya: Cucuku ini adalah pemimpin pemuda Ahli Syurga, semoga
ALLAH mendamaikan 2 kelompok kaum muslimin yang berselisih melalui
dirinya. [21]
5. Sebagian kaum muslimin juga mem-baiah Yazid bin Muawiyah,
sementara sebagiannya mem-baiah Al-Husein bin Ali semoga ALLAH
meridhoinya [22].
6. Kaum muslimin mem-baiah para tokoh selain Khalifah, seperti
yang dilakukan oleh qabilah Nakhai terhadap Al-Asytar, menjelang
perang Shiffin [23].
Menolak Ber-Baiah Pada Penguasa Yang Sah Karena Sesuatu Hal Juga
Tidak Diingkari Oleh As-Salafus-Shalih1. Ali semoga ALLAH
meridhoinya - berkata pada Saad bin Abi Waqqash semoga ALLAH
meridhoinya: Ber-baiatlah Engkau! Saad menjawab: Aku tidak akan
ber-baiat sebelum orang-orang semua ber-baiat. Tapi demi ALLAH
tidak ada persoalan apa-apa bagiku. Mendengar itu Ali semoga ALLAH
meridhoinya - berkata: Biarkanlah dia. Lalu Ali semoga ALLAH
meridhoinya - menemui Ibnu Umar semoga ALLAH meridhoinya - dan
berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umar semoga ALLAH meridhoinya:
Aku tidak akan ber-baiat sebelum orang-orang semua ber-baiat. Jawab
Ali semoga ALLAH meridhoinya: Berilah aku jaminan. Jawab Ibnu Umar
semoga ALLAH meridhoinya: Aku tidak punya orang yang mampu memberi
jaminan. Lalu Al-Asytar berkata: Biar kupenggal lehernya! Jawab Ali
semoga ALLAH meridhoinya: Akulah jaminannya, biarkan dia. [24]
2. Imam Al-Waqidi mencatat ada 7 orang shahabat besar semoga
ALLAH meridhoinya - yang tidak memberikan baiat pada Khalifah Ali
semoga ALLAH meridhoinya - yaitu: Sad bin Abi Waqqash, AbduLLAH bin
Umar, Shuhaib bin Sinan, Zaid bin Tsabbit, Muhammad bin Maslamah,
Salamah bin Aqwa dan Usamah bin Zaid semoga ALLAH meridhoinya
[25].
Keluar dari Ketaatan dan Memberontak Kepada Imamah Uzhma Juga
Dibenarkan Oleh As-Salafus-Shalih Sepanjang Bisa Menghasilkan
Mashlahat Dawah yang Lebih Besar1. Said bin Jubair, Syurahbil bin
Amir Asy-Syabiy, dan Al-Asyats bin Qays memerangi Al-Hajjaj bin
Yusuf Ats-Tsaqafiy, di antaranya pada peperangan yang terkenal
sebagai peristiwa Dairul Jamahim [26].
2. Bahkan di dalam kitab-kitab Ash-Shahih selain hadits-hadits
tentang perintah agar kaum muslimin bersabar kepada penguasa yang
zhalim, dibolehkan juga memberontak kepada Khalifah jika telah
ditemui tanda-tanda kekufuran yang terang-terangan [27].
Batasan Sahnya Jumlah Orang yang Mem-Baiat Menurut Para Ulama
Ushul1. Sebagian Ahli Ushul berpendapat bahwa baiah shah dilakukan
oleh minimal 5 orang, baik kelimanya yang mengusulkan maupun salah
satu mengusulkan dan disepakati oleh yang lainnya, hal ini
berdasarkan dalil pengangkatan Abubakar semoga ALLAH meridhoinya -
dilakukan oleh 5 orang shahabat. Bahkan para fuqaha Kufah
berpendapat 3 orang sudah sah, karena didasarkan pada sahnya akad
nikah [28].
2. Imam Al-Mawardi berkata bahwa pengangkatan Imam ini hukumnya
fardhu kifayah, dan kewajiban ini sejajar dengan kewajiban jihad
& menuntut ilmu. Sehingga jika seseorang telah melakukannya dan
ia memang mememnuhi syarat sesuai syariah, maka lepas kewajiban
masyarakat pada umumnya [29].
Bahayanya Berpegang Kepada Zhahir Hadits Saja dan Mengabaikan
Fiqh Maqashid-Syariah dalam Masalah IniDisebutkan dalam
hadits-hadits shahih bahwa jika kaum muslimin saling berperang maka
kedua kelompok yang berperang tersebut masuk neraka, sbb:
1. Apabila 2 orang muslim berhadapan dengan pedangnya
masing-masing maka yang membunuh & terbunuh di neraka. [30]
2. Dunia ini tidak akan Kiamat sebelum datang pada manusia suatu
zaman saat pembunuh tidak tahu kenapa ia membunuh & yang
dibunuh pun tidak tahu kenapa ia dibunuh. Tanya para sahabat semoga
ALLAH meridhoinya: Bagaimana nasib mereka wahai RasuluLLAH? Jawab
Nabi semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau:
Binasa! Pembunuh & yang dibunuh akan masuk neraka. [31]
Jelaslah jika kita hanya berpegang kepada zhahir hadits saja,
tanpa mendalami ilmu fiqh, maka berdasarkan zhahir hadits di atas
kedua kelompok para sahabat semoga ALLAH meridhoinya - yang
berperang sebagaimana disebutkan di atas, keduanya akan masuk
neraka, kita berlindung kepada ALLAH Yang Maha Suci lagi Maha
Tinggi - dari pemahaman seperti ini..
Wahai ikhwan wa akhwat fiLLAH, takutlah kepada ALLAH dari sikap
suuzhan kepada sesama kaum muslimin yang berijtihad, dan hendaklah
kita berperasangka baik kepada saudara-saudara kita dari kelompok
muslimin yang lain, karena ilmu itu bukan monopoli seseorang atau
sekelompok orang saja, wa fawqa kulla dzii ilmin aliim..
WaLLAHu alam bish ShawabCatatan Kaki:[1] Ash-Shihhah fil Lughah,
Al-Jauhary, I/60; Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, VIII/23; Tajul Arus,
Az-Zubaidi, I/5119
[2] Al-Mukhashshish, Ibnu Sayyidihi, I/276
[3] Tahdzibu Al-Lughah, Al-Azhariy, I/392
[4] Al-Qamus Al-Fiqhi, I/213
[5] Al-Jamius-Shahih, Al-Bukhari, II/213
[6] Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah nabi Muhammad
s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk
melakukan umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah
lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan
mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan
maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. Mereka menanti-nanti
kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang Karena Utsman ditahan
oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman Telah
dibunuh. Karena itu nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan
baiah (janji setia) kepada beliau. Merekapun mengadakan janji setia
kepada nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama nabi
sampai kemenangan tercapai. perjanjian setia ini telah diridhai
Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, Karena itu
disebut Baiatur Ridwan. Baiatur Ridwan ini menggetarkan kaum
musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan
untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian
ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.
[7] Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan,
caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul
di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di
atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah
sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan Allah di atas
tangan orang-orang yang berjanji itu, hendaklah diperhatikan bahwa
Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai
makhluknya.
[8] Yang dimaksud dengan kemenangan yang dekat ialah kemenangan
kaum muslimin pada perang Khaibar.
[9] HR Al-Bukhari, V/9; lih. juga dalam Al-Fath, XIII/35
[10] HR Muslim III/1472-1473; Nasai, VII/152-153; Abu Daud,
IV/97; Ibnu Majah, II/1306
[11] HR Bukhari, V/401; Muslim, III/1471; Ibnu Majah, II/958;
Ahmad, II/297
[12] HR Muslim, III/1472 ini adalah lafazh-nya; Bukhari, V/403;
Al-Fath, VI/495; Ibnu Majah, II/958-959; Ahmad, II/297
[13] HR Ahmad dalam Al-Musnad, dan ini adalah lafzh-nya;
Al-Fath, XII/145
[14] HR Muslim, III/1480; Ahmad, III/95
[15] HR Muslim, III/1478
[16] Usud Al-Ghabah, Ibnul Atsir, I/113
[17] HR Muslim, VII/168
[18] At-Tamhid fi Ar-Radd alal Mulhidah, Al-Baqillani, hal.
229
[19] HR Al-Hakim, Al-Mustadrak ala Shahihain, III/119
[20] Ibid, I/265
[21] HR Al-Bukhari, VIII/94
[22] Ibid, II/193
[23] HR Ibnu Abi Syaibah & Al-Hakim, dari Umar bin Said
An-Nakhai
[24] Al-Milal wa An-Nihal, Ibnu Hazm, IV/103 dari riwayat Imam
At-Thabari
[25] Tarikh Ar-Rusul, Al-Waqidi, IV/429
[26] Tarikh Ar-Rusul wal Mulk, At-Thabary, VI/346
[27] HR Al-Bukhari, VIII/88
[28] Tarikh Ar-Rusul wal Mulk, At-Thabary, IV/497-498
[29] Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal. 4
[30] Fathul Bari, Ibnu Hajar, XIII/34
[31] Fathul Bari, XIII/34
SAMPAI SEJAUH MANAKAH PERBEDAAN DITOLERIR DALAM ISLAM?
Assalamu alaykum, Innal hamda liLLAHi, alladzi allafa bayna
qulubina fa ashbahna binimatiHI Ikhwana, Ash Shalatu was Salamu ala
Sayyidil Mursalin wa Imamil Mujahidin Muhammad wa ala alihi, Amma
Badu.
Ikhwa wa akhwat fiLLAH rahimakumuLLAH,
Dalam materi Bahtsul-Kutub (Bedah Buku) kali ini, kami ingin
mengajak antum semua untuk melihat salah satu fenomena dalam
kehidupan keseharian kita para aktifis dakwah, dimana kita melihat
berbagai perbedaan di kalangan kaum muslimin/ah saudara-saudara
kita, terdapatnya beragam pemikiran, mazhab dan kelompok,
pertanyaan yang mengemuka adalah: Apakah perbedaan seperti ini
dibenarkan dan ditolerir oleh Islam? Kalau jawabannya ya, maka
sampai sejauh mana hal itu dibolehkan?
Dalam mensikapi fenomena ini maka terdapat dua kelompok ekstrem
di masyarakat kita:
Pertama, kelompok yang membenarkan semuanya, mereka ini
berpendapat bahwa Islam adalah bagaikan Pelangi, kita tidak bisa
memvonis semua kelompok yang ada tersebut, karena jika kita
memberikan justifikasi, maka siapa yang memberikan kewenangan untuk
itu? Karena semuanya menurut kelompok ini sangat tergantung sudut
pandang masing-masing. Oleh karenanya menurut pemahaman kelompok
ini, kebenaran adalah relatif, karena sangat dipengaruhi oleh cara
pandang seseorang/sekelompok orang terhadap hal tersebut.
Kedua, adalah kelompok yang memvonis semua kelompok di luar
kelompoknya sebagai salah, sesat dan oleh karenanya pastilah masuk
neraka. Yang benar adalah kelompoknya sendiri, kemudian kelompok
yang kedua ini memperkuat pandangannya dengan beberapa ayat dan
hadits yang nampak bersesuaian dengan pandangannya, maka jadilah
vonis mubtadi, sempalan atau bahkan kafir dan musyrik menjadi
pembenaran atas hal ini.
Lalu bagaimanakah kita mensikapi fenomena ini? Apakah pada
pemahaman kelompok pertama yang cenderung filosofis? Atau pada
pemahaman kelompok kedua yang cenderung simplistis? Salah seorang
tokoh pemikir Islam, DR Muhammad Immarah, membuat tulisannya untuk
membahas masalah ini secara detil dan rinci, lengkap dengan
argumentasi yang ilmiah, baik dari sisi literaturnya yang berbobot
maupun dari sisi logika akal sehatnya yang juga tajam dan
argumentatif.
Inti dari tulisan ini adalah, DR Immarah mencoba membatasi
permasalahan keanekaragaman pemikiran dan mazhab dalam Islam
tersebut pada dua titik-tolak, yaitu pada masalah-masalah prinsip
Islam (ushul) dan masalah-masalah cabang islam (furu). Menurut DR
Immarah perbedaan pemahaman pada masalah-masalah dasar syariah
adalah terlarang dan berbahaya, dan hendaklah semua kelompok
menyatukan pemahamannya pada kesepakatan kaum muslimin sejak dulu
sampai sekarang, karena barangsiapa yang menyimpang darinya maka ia
telah keluar dari The Basic Islamic Mindframe dan oleh karenanya
tidak dapat ditoleransi. Hal-hal ini seperti menyangkut
masalah-masalah aqidah, dasar-dasar Ibadah & dasar-dasar
Muamalah.
Adapun perbedaan pendapat, pemikiran dan aliran pada aspek-aspek
cabang-cabang syariah maka hal tersebut dibolehkan dan ditolerir
oleh Islam, sepanjang masih didasarkan pada dalil-dalil yang kuat
dan benar, serta metode pengambilan hukumnya (istinbath ad-dalil)
juga telah dilakukan secara benar. Hal-hal ini biasanya berkaitan
dengan masalah wasilah (sarana), uslub (metode) dan style/gaya
berbagai aliran dalam memahami dalil-dalil yang multi-interpretatif
(masalah-masalah ijtihadiyyah), sehingga ada yang menggunakan qiyas
(reasoning by analogy), istihsan (preference), mashalih-mursalah
(utility), dll.
Pada akhir tulisannya, Ustaz Immarah melengkapinya dengan
ilustrasi tadabbur dan tafakkur kita terhadap fenomena penciptaan
di alam semesta ini, yaitu senantiasa saling berkelindannya antara
berbagai ciptaan dan hukum ALLAH SWT antara hal-hal yang mesti satu
(unvariat) yang pada saat yang sama selalu berjalan seiring dengan
hal-hal yang bersifat variatif.
Untuk lebih jelasnya kami persilakan akhi dan ukhti fiLLAH
mendalami makalah DR Immarah, yang insya ALLAH akan sangat berguna
sebagai dasar dalam memahami kaidah-kaidah dalam Fiqh Ikhtilaf
(salah satu cabang fiqh yang membahas tentang mengapa terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ulama Islam beserta dalil-dalilnya).
Nafaani wa iyyakum
AlhamduliLLAHi was Shalatu was Salamu ala ibadiHI
alladzinasthafa, Assalamu alaykum,
Abu AbduLLAH
BAHTSUL-KUTUB: PLURALITAS DALAM PANDANGAN ISLAM: MENSIKAPI
PERBEDAAN DAN KEMAJEMUKAN DALAM BINGKAI PERSATUANDiterjemahkan dan
Diringkas dari Kitab AL-ISLAM WA AT-TAADDUDIYYAH: AL-IKHTILAF WA
AT-TANAWWU FI ITHARI WIHDAH
Karangan DR Muhammad Immarah
MUQADDIMMAHIslam mengakui bahwa sifat ketunggalan (yang tidak
memiliki arti plural) adalah bagi bagi ALLAH SWT, dan tidak bagi
makhluk-NYA. Sedangkan semua makhluqnya, baik malaikat, manusia,
hewan, tumbuhan dan materil semuanya berdiri di atas kemajemukan
dan perbedaan. Dan bahkan pluralitas ini disebut oleh ALLAH SWT
sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-NYA yang
hanya bisa difahami oleh orang-orang yang mengetahui saja.
Firman-NYA:
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-NYA ialah menciptakan langit
dan bumi dan berbeda-bedanya bahasa kalian dan warna kulit kalian,
sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi orang yang mengetahui. (QS. Ar Rum, 30/22)
Ini adalah undang-undang Ilahiah, sehingga ALLAH SWT mengajak
ummat Islam agar menjadi ummat yang moderat, yang berusaha menjadi
saksi yang menengahi dan menyeimbangkan dari berbagai kemajemukan
yang ada dan bukan dengan membiarkannya apa adanya tapi bukan pula
menghilangkan sama sekali perbedaan tersebut. Firman-NYA:
Dan demikianlah KAMI telah menjadikan kamu ummat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan Rasul menjadi
saksi atas kalian.. (QS. Al Baqarah, 2/143)
Banyak orang yang salah mengartikan berbagai ayat, sehingga
menganggapnya sebagai ayat yang mencela perbedaan dan mewajibkan
untuk menghilangkan perbedaan tersebut, seperti contohnya ayat:
Jikalau RABB-mu menghendaki niscaya DIA menjadikan manusia ummat
yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali
orang-orang yang dirahmati ALLAH, dan untuk itulah ALLAH
menciptakan mereka (QS. Hud, 11/118-119).
Padahal para mufassir menafsirkan ayat ini sebagai: Perbedaan,
kemajemukan dan pluralitas dalam syariat merupakan keadaan yang
tidak bisa tidak dalam penciptaan makhluk, sehingga makna: Dan
untuk itulah ALLAH menciptakan mereka, maka pluralitas merupakan
illat (alasan) keberadaan wujud makhluk ini. [1]
Pluralitas, sepanjang pada hal-hal yang dibenarkan, adalah
motivator untuk menghadapi ujian serta untuk berkompetisi dan
berkarya diantara masing-masing pihak yang berbeda tersebut, karena
jika hanya satu ummat saja maka tidak akan ada lagi motivasi untuk
berlomba tersebut yang merupakan tujuan dari penciptaan manusia.
Hal ini sesuai dengan firman ALLAH SWT yang lainnya sebagai
berikut:
Untuk tiap-tiap ummat diantara kalian KAMI berikan aturan dan
jalan yang terang, sekiranya ALLAH menghendaki niscaya kalian
dijadikan-NYA satu ummat saja, tetapi ALLAH hendak menguji kalian
terhadap pemberian-NYA kepada kalian, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan (QS. Al Maidah, 5/48)
Bahkan dikalangan non muslimpun ALLAH SWT tidak menyamaratakan
mereka semua sebagai jahat semua atau memusuhi kaum muslimin semua,
ALLAH SWT Sang Maha Adil menyatakan dengan keadilan-NYA bahwa
diantara mereka (non muslim) terjadi juga pluralitas dan ada yang
masih memiliki nilai-nilai kebaikan, sebagaimana firman-NYA:
Mereka itu tidak sama, diantara ahli-kitab itu ada golongan yang
berlaku lurus (QS. Ali Imran, 3/113-115).
Dalam firman-NYA yang lain:
dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada
Rasul, kalian lihat mata-mata mereka mencucurkan airmata disebabkan
kebenaran al-Quran (QS. Al Maidah, 5/82-83)
(Bersambung Insya ALLAH)
REFERENSI:[1] Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Quran, Darul
Kutub al-Mishriyyah, juz-9, hal 114-115.
SAMPAI SEJAUH MANAKAH PERBEDAAN DITOLERIR DALAM ISLAM? (BAGIAN
KE-2)
Assalamualaykum, AlhamduliLLAH wash Shalatu was Salamu ala
rasuliLLAH wa ala alihi, Wa Badu. Pada bagian kedua Bedah Buku kita
kali ini (melanjutkan tulisan bagian-1 yang lalu), al-ustaz DR
Muhammad Immarah menjelaskan berbagai fatwa dan pendapat ulama
salafus-shalih tentang hujjiyyatu at-tanawwu (kehujjahan
pluralitas) dalam syariat Islam.
Dimana dalam tulisan ini beliau menunjukkan bagaimana sikap
salafus-shalih yang alim dan faqih membenarkan dan bahkan
menjustifikasi perbedaan pendapat, sepanjang dalam masalah-masalah
furuiyyah dan ijtihadiyyah dan bahwa merekapun dalam kehidupan
mereka membiarkan perbedaan tersebut terjadi, mereka baru bereaksi
dan melarang jika perbedaan yang terjadi adalah dalam
masalah-masalah dasar agama. Mari kita simak fatwa-fatwa ulama
salafush-shalih tersebut sebagai berikut:
SIKAP PARA ULAMA SALAFUS-SHALIH TERHADAP PLURALITAS DALAM MAZHAB
DAN FATWA1. Imam al-Qurthubi: Karena berbeda-bedalah maka ALLAH SWT
menciptakan mereka manusia. [1]
2. Imam Ghazali: Bagaimana mungkin ummat akan bersatu
mendengarkan satu pendapat saja, padahal mereka telah ditetapkan
sejak di alam azali bahwa mereka akan terus berbeda pendapat
kecuali orang-orang yang dirahmati ALLAH (para Rasul as), dan
karena hikmah perbedaan itulah mereka diciptakan. [2]
3. Abu Hayyan at-Tauhidi: Tidak mungkin manusia berbeda pada
bentuk lahir mereka lalu tidak berbeda dalam hal batin mereka, dan
tidak sesuai pula dengan hikmah penciptaan mereka, jika sesuatu
yang terus menerus membanyak sementara tidak berbeda2. [3]
4. Sayyid Quthb: Adalah tabiat manusia untuk berbeda, karena
perbedaan adalah dasar diciptakannya manusia yang mengakibatkan
hikmah yang sangat tinggi, seperti perbedaan mereka dalam berbagai
potensi dan tugas yang diemban, sehingga akan membawa perbedaan
dalam kerangka berfikir, kecendrungan metodologi dan tehnik yang
ditempuh. Kehidupan dunia ini akan membusuk jika ALLAH SWT tidak
mendorong manusia melalui manusia lainnya, agar energi berpendar,
saling bersaing dan saling mengungguli, sehingga mereka akan
menggali potensi terpendam mereka untuk terus berupaya memakmurkan
bumi ini yang akhirnya akan membawa pada kebaikan, kemajuan dan
pertumbuhan. Itulah kaidah umum yang tidak akan berubah selama
manusia masih tetap disebut sebagai manusia. [4]
5. Imam Syihabuddin al-Qarafi: Telah ditetapkan dalam ushul-fiqh
bahwa hukum-hukum syariat seluruhnya dapat diketahui disebabkan
oleh adanya ijma bahwa seluruh mujtahid, jika zhan (kecendrungan
terkuat menurutnya) mencapai suatu hukum tertentu maka itulah hukum
ALLAH SWT bagi dirinya dan bagi para pengikutnya. [5]
6. Imam Malik (pemimpin mazhab Maliki) pernah diminta oleh
khalifah abu Jafar al-Manshur untuk menyatukan semua ummat di dalam
mazhab fiqh-nya, maka jawab Imam Malik: Wahai amirul muminin jangan
lakukan itu, karena manusia telah banyak menerima pendapat ulama
lainnya, mereka pun telah mendengar dan meriwayatkan banyak hadits,
dan setiap kaum telah berhukum sesuai dengan riwayat yang telah
lebih dulu sampai pada mereka, maka biarkanlah mereka mengambil
hukum sesuai dengan pilihan mereka sendiri. [6]
7. Lebih lanjut dimasa Harun ar-Rasyid, Imam Malik kembali
diminta untuk menyatukan manusia dalam mazhab-nya, maka kembali
ditolak oleh Imam Malik, katanya: Jangan lakukan itu karena
sahabat-sahabat rasuluLLAH SAW telah berbeda pendapat dalam masalah
furu hukum dan mereka telah berpencar di banyak wilayah, dan setiap
sunnah telah didengar dan dijalankan orang. Mendengar itu khalifah
ar-Rasyid merasa puas dan memuji Imam Maliki seraya berkata: Semoga
ALLAH SWT memberikan taufiq kepada anda wahai abu AbdiLLAH. [7]
(Bersambung insya ALLAH )
REFERENSI:[1] Al-Jami li Ahkam al-Quran, juz 9, hal 114-115.
[2] Al-Qisthas al-Mustaqim, hal.61. Bagian dari kumpulan kitab
al-Qushur al-Alawi min Rasail al-Imam al-Ghazali. Maktabah
al-Jundi, Kairo.
[3] Al-Imtina wa al-Muassanah, juz 3, hal 99, Kairo (tahqiq
Ahmad Amin dan Ahmad az-Zain).
[4] Fi Zhilalil Quran, juz 1, hal 171, 215 dan juz 4, hal
2425.
[5] Al-Umniyyah fi Idrak Anniyyah, hal 515, dalam kumpulan kitab
Al-Qarafi wa Atsaruhu fi al-Fiqh al-Islami (tahqiq AbduLLAH Ibrahim
Shalah)
[6] Risalah ash Shahabah dalam Jamharah Rasail al-Arab, Ahmad
Zaki Shafwat, no.26 dikutip dari An Nazhariyyah Ammah lisy Syariah
Islamiyyah, hal 200.
[7] HujjatuLLAH al-Balighah, Syah WaliuLLAH ad-Dahlawi, juz 1,
hal 145.
SAMPAI SEJAUH MANAKAH PERBEDAAN DITOLERIR DALAM ISLAM? (BAGIAN
KE-3)
Assalamu alaykum, AlhamduliLLAHi wash Shalatu was Salamu ala
RasuliLLAH wa ala alihi, Wa Badu. Ikhwah wa akhwat fiLLAH pada
bagian ketiga Bahtsul-Kutub (Bedah-Buku) kita dari tulisannya DR
Muhammad Immarah beliau menjelaskan point penting dari Perbedaan
Pendapat dalam Islam, yaitu dimana kita boleh berbeda pendapat dan
dimana yang tidak boleh berbeda pendapat. Nafaani waiyyakum
AlhamduliLLAH wash Shalatu was Salamu ala RasuliLLAH wa ala
alihi.
PLURALITAS ANTARA YANG DIBENARKAN DAN YANG DILARANGPluralitas
dalam ijtihad furu bukan berarti perbedaan dalam pokok agama, dan
pluralitas dalam masalah ini tidak termasuk perpecahan ummat dan
perbedaan yang dilarang. Berkata Imam Syafii: Aku mendapati ahli
ilmu pada masa lalu dan kini berbeda pendapat dalam sebagian
masalah, apakah itu dibolehkan? Lalu ia menjawabnya sendiri:
Perbedaan pendapat ada 2 macam: Ada yang diharamkan dan ada yang
tidak, yang diharamkan adalah segala hal telah ALLAH SWT berikan
hujjah-NYA baik dalam kitab-NYA atau melalui lisan nabi-NYA secara
jelas dan tegas maka hal ini tidak boleh berbeda pendapat bagi yang
mengetahuinya. Maka ALLAH melarang perbedaan pendapat pada masalah
yang telah dijelaskan secara tegas dalam nash-nash al-Quran dan
as-Sunnah. [1]
Imam asy Syatibi menjelaskan lebih rinci, sebagai berikut:
Perpecahan yang dilarang adalah perpecahan dalam agama (QS 6/159
dan QS 3/7) dan bukan perbedaan dalam hukum agama. Perbedaan yang
kedua ini kita dapatkan para sahabat ra setelah wafatnya nabi SAW
berbeda pendapat dalam berbagai hukum agama. Pendapat mereka
berbeda-beda tetapi mereka menjadi terpuji karena mereka telah
berijtihad dalam masalah yang memang diperintahkan untuk itu.
Bersamaan dengan itu mereka adalah orang-orang yang saling
mencintai satu sama lain serta saling menasihati dalam persaudaraan
Islam. [2]
Hikmah yang tinggi ini hanya dapat difahami oleh orang-orang
yang mendalam ilmunya tentang syariat, lihatlah bagaimana jawaban
khalifah Ali ra ketika ditanyakan padanya: Bagaimana hukum
orang-orang yang memerangi beliau apakah mereka kafir? Maka jawab
Imam Ali ra: Justru mereka itu adalah orang-orang yang lari dari
kekafiran! Lalu ditanya lagi: Apakah mereka itu orang-orang
munafiq? Maka jawab Imam yang mendalam ilmunya ini: Orang munafiq
adalah orang yang tidak menyebut nama ALLAH kecuali sedikit, tidak
mendirikan shalat kecuali merasa malas dan tidak berinfaq kecuali
merasa berat. Lalu ditanya lagi: Lalu apa hukum mereka itu? Maka
jawab khalifah: Mereka adalah saudara-saudara kita yang sedang
memberontak terhadap kita, maka sebab itulah kita memeranginya.
Lalu khalifah yang adil ini berkhutbah: Wahai sekalian manusia!
Kita telah berhadapan dengan mereka, Tuhan kita satu, nabi kita
satu, dan dakwah kita satu. Kita tidak pernah menganggap keimanan
kita kepada ALLAH lebih baik dari mereka, serta pembenaran kita
kepada rasuluLLAH SAW lebih baik dari mereka, dan mereka pun tidak
beranggapan lebih baik dari kita. Yang menjadi masalah kita adalah
satu, yaitu perbedan pendapat kita tentang darah Utsman, sedang
kita bebas dari hal tersebut. [3]
Demikianlah bahwa perselisihan dan perbedaan pendapat tidak
selalu berarti perpecahan dalam agama yang diharamkan, selama hal
tersebut dalam masalah-masalah cabang syariat (furu) dan bukan pada
masalah-masalah pokok (ushul), serta masih berada dalam koridor
Islam dan dilakukan demi terwujudnya hukum-hukum syariat, demi
hikmah penciptaan yang sudah difitrahkan bagi manusia.
(Bersambung insya ALLAH)
REFERENSI:[1] Ar-Risalah lisy Syafii, hal 560, Maktabah
Ilmiyyah, Kairo (tahqiq Ahmad Muhammad Syakir).
[2] Al-Muwafaqaat lisy Syatibi, juz 4, hal 121, 124.
[3] Syarh Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, juz 17, hal 141.
SAMPAI SEJAUH MANAKAH PERBEDAAN DITOLERIR DALAM ISLAM? (BAGIAN
KE-4, TAMAT)
Assalamu alaykum, AlhamduliLLAHi wash Shalatu was Salamu ala
rasuliLLAH wa ala alihi, Amma Badu. Pada bagian terakhir
bahtsul-kutub (bedah-buku) kita kali ini, saya sampaikan bagian
terakhir dan paling menarik dari tulisan ustadz DR Immarah, yaitu
tentang SENANTIASA BERPADUNYA ANTARA KESATUAN DAN KEANEKARAGAMAN,
seolah-olah RABB dan ILAH kita yang Maha Mengetahui, Maha Teliti
dan Maha Meliputi segala sesuatu ingin menekankan kepada kita bahwa
SELALU ADA BAGIAN-BAGIAN POKOK (USHUL) YANG TIDAK BOLEH BERBEDA,
harus 1 pemahaman, 1 penafsiran dan 1 sikap diantara kaum muslimin;
yang pada sisi yang sama bagian-bagian itu SELALU MENGANDUNG
BAGIAN-BAGIAN LAINNYA YANG MERUPAKAN CABANG-CABANGNYA (FURU) yang
boleh bahkan kadangkala harus berbeda, bervariasi, memungkinkan
multi-penafsiran dan multi pemikiran
Bagian terakhir ini juga menepis pemahaman sebagian saudara kita
kaum muslimin (sebagaimana yang telah saya jelaskan pada bagian
pertama dari bedah buku ini), yaitu sikap ekstremitas diantara 2
kelompok kaum muslimin, antara; Pertama, kelompok yang membenarkan
semua perbedaan, yaitu yang berpendapat bahwa Islam adalah bagaikan
Pelangi, kebenaran adalah relatif, karena sangat dipengaruhi oleh
cara pandang seseorang/sekelompok orang terhadap hal tersebut.
Kedua, adalah kelompok yang berpendapat Islam semuanya tidak boleh
ada perbedaan dan harus 1 kelompok saja, lalu memvonis semua
kelompok di luar kelompoknya sebagai salah, sesat dan oleh
karenanya pastilah masuk neraka. Yang benar adalah kelompoknya
sendiri.
Pemahaman kedua kelompok ekstrem di atas oleh karenanya kurang
tepat, yang benar adalah Islam mengharuskan adanya kesatuan
pemahaman dalam masalah-masalah dasar aqidah, dasar ibadah dan
dasar muamalah; sementara Islam mentolerir multi pemikiran dalam
masalah-masalah cabang aqidah, cabang ibadah dan cabang muamalah.
Kedua sisi ini bagaikan 2 sisi dari 1 mata uang yang tidak
terpisahkan satu sama lain, tidaklah orang yang berusaha
membebaskan semuanya ataupun menyatukan semuanya kecuali ia akan
menyimpang dan terlepas dari jalan yang benar
Ikhwah wa akhwat fiLLAH, demikian akhir dari Bedah Buku kita
atas kitab karangan ustadz DR Muhammad Immarah: AL-ISLAM WA
AT-TAADDUDIYYAH: AL-IKHTILAF WA AT-TANAWWU FI ITHARI WIHDAH,
nafaani waiyyakum
Subahana RABBika RABBil Izzati amma yashifun wa Salamun alal
mursalin walhamduliLLAHi RABBil alamin
Abu AbduLLAH
SENANTIASA BERKELINDANNYA PENCIPTAAN ALLAH SWT ANTARA
SINGULARITAS DAN PLURALITAS1. Tuhan yang Satu tapi Pluralitas dalam
Sifat dan Asma-NYA: Salah satu konsekuansi dari syahadah kita
adalah menyatakan dan meyakini bahwa RABB kita dan ILAH kita adalah
Satu, tiada sekutu bagi-NYA dan DIA adalah Pemilik kita dan
kepada-NYA kita akan kembali. Tetapi Tuhan yang Maha Satu itu
ternyata memiliki pluralitas dalam Sifat dan Asma-NYA (diantaranya
termasuk 99 asma ALLAH SWT) yang barangsiapa menghafal dan
mengaplikasikannya akan masuk Jannah.
2. Awal Penciptaan Makhluq yang Satu tapi Pluralitas dalam
Jenis-jenisnya: Firman-NYA: Tidakkah kamu memperhatikan bahwa
sesungguhnya ALLAH menurunkan air dari langit maka diatur-NYA
menjadi sumber-sumber air di bumi, lalu ditumbuhkan-NYA dengan air
itu tanaman yang bermacam-macam warnanya (QS 39/21). ALLAH SWT
menciptakan angin, lalu DIA membeda-bedakan angin tersebut menjadi
angin yang sangat dingin (QS 3/117), angin yang baik (QS 10/22),
angin topan (16/69), angin yang membinasakan (QS 51/41), angin yang
mengawinkan (QS 15/22), angin yang membawa berita gembira (QS
30/46).
3. Agama yang Satu dan Pluralitas dalam Syariat, Metode dan
Politik. Agama yang diridhoi disisi ALLAH SWT hanya satu yaitu
Islam (QS 3/19-20, 52, 67, 85). Ibnul Qayyim mengatakan: Ada
politik yang fariyyah karena disesuaikan dengan maslahat yang
berbeda karena perbedaan zaman, dan ada pula syariat-syariat yang
umum yang harus terus menjadi aturan ummat sampai hari Kiamat.
Adapun politik yang fariyyah yang mengikuti maslahat-maslahat
tertentu ia terbatas dalam lingkup zaman dan tempat tertentu, dan
tentang hal ini para fuqaha telah bersepakat.[1]
4. Syariat yang Satu tapi Pluralitas dalam Fatwa dan Hukum.
Syariat adalah satu tetapi penerapan hukumnya bisa beragam dan
berbeda-beda, renungkanlah jawaban khalifah Ali ra ketika kaum
Khawarij meneriakkan yel-yel: Tidak ada keputusan hukum kecuali
hanya bagi ALLAH! Maka jawab Ali ra: Itu adalah kalimat yang benar,
tapi digunakan secara salah[2] Masalah syariat menjadi tidak boleh
berbeda jika dalilnya berkekuatan qathi tsubut dan qathi dilalah,
dan sebaliknya masalah tersebut menjadi boleh beragam penafsiran
jika dalilnya zhanni tsubut atau zhanni dilalah. Berkata Imam Ibnu
Hazm: Diantara bagian dari syariat ALLAH adalah memberikan hak
perumusan hukum tertentu bagi selain ALLAH SWT.[3] Berkata Imam
Ghazali: Masalah Imamah tidak termasuk masalah pokok (ushul), tapi
ia adalah masalah fiqh furu Kesalahan dalam imamah, penentuan dan
syarat-syaratnya serta yang berhubungan dengan negara dan politik
tidak sedikitpun berimplikasi pada pengkafiran.[4] Berkata pula
Imam al-Haramain: Sesungguhnya pembicaraan dalam masalah Imamah
bukan termasuk ushul aqidah.[5] Berkata Imam aj-Jurjani:
Sesungguhnya imamah bukan termasuk ushul agama dan akidah, tapi ia
adalah bagian furu yang juzi yang berkaitan dengan orang-orang yang
mukallaf.[6] Ditambahkan oleh Asy Syahrastani: Benar bahwa imamah
bukan termasuk bagian ushul dari aqidah.[7] Ibnu Khaldun seorang
pakar politik Islam berkata: Imamah bukan termasuk rukun agama,
karena ia adalah bagian dari maslahat yang diserahkan pada hasil
pemikiran manusia.[8]
5. Satu Kemanusiaan tapi Pluralitas dalam Ummat, Suku, Bangsa
dan Ras. Firman-NYA: Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada
RABB-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu dan darinya
ALLAH menciptakan istrinya dan dari keduanya ALLAH
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.. (QS 4/1)
Dan bahkan hal ini dimasukkan sebagai salah satu tanda-tanda
kekuasaan-NYA (QS 30/22). Bahkan golongan Jin pun disebutkan
memiliki pluralitas pula: Dan diantara kami (Jin) ada orang-orang
yang shalih dan ada pula yang tidak demikian, adalah kami menempuh
jalan yang berbeda-beda. (QS 72/11)
6. Ummat yang Satu tapi Pluralitas dalam Partai Politik.
Lihatlah fatwa pemimpin Salafi paling terkemuka syaikh Abdulaziz
bin Baaz (mufti Saudi) yang sangat berbeda dengan para bawahannya,
ketika beliau ditanya tentang perbedaan berbagai jamaah Islamiyyah
yang ada di negara-negara kaum muslimin, jawab beliau: Keberadaan
jamaah-jamaah ini adalah baik bagi kaum muslimin dan agar setiap
jamah Islam seperti Jamaah Tabligh, Ittihad Thalabil Muslimin,
Al-Ikhwanul Muslimin, Asy Syubbanul Muslimin, Anshar as Sunnah al
Muhammadiyyah, al Jamiah asy Syariyyah dll bekerjasama satu dengan
lainnya dalam kebenaran yang mereka sepakati dan agar saling
memaklumi akan sisi-sisi perbedaan diantara mereka.[9]
7. Peradaban yang Satu tapi Pluralitas dalam Budaya. Terminologi
al-Quran menyebutkannya dengan umran dan bukan hadharah (lih QS
11/61 dan 30/9), peradaban Islam memiliki ciri-ciri yang
bersendikan tauhid, rabbaniyyah (tidak materialistik), wasathiyyah
(moderat), insaniyyah (kemanusiaan), naqliyyah wa aqliyyah
(bersumber pada dalil dan akal). Tetapi Islam juga menghormati
perbedaan budaya (urf), seni, bahasa, dst, semua hal ini dibolehkan
dan dikembangkan dalam Islam sepanjang tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah pokok syariat.
(Selesai)
REFERENSI:[1] Ath Thuruq al Hakimah fis Siyasatis Syariyyah, hal
25-27 (tahqiq DR Jamal Ghazy).
[2] Nahjul Balaghah, hal 65.
[3] Al Mufadhalah baina as Shahabah, hal 66 dalam Nizhamul
Khilafah fil Fikr al-Islami, DR Musthafa Hilmy, hal 171, Darud
Dawah, Iskandariah.
[4] Fayshalah at Tafriqah bainal Islam wa az Zanadiqah, hal
15.
[5] Al-Irsyad, hal 410, Kairo, 1950.
[6] Syarh al-Mawaqif, juz 3, hal 261, Kairo.
[7] Nihayah al Iqdam, hal 478.
[8] Al-Muqaddimmah, hal 168, Kairo.
[9] Ar Raddul Wajiz ala syaikh Rabi bin Hadi al Madkhali, hal
60-61, DR AbduRRAHMAN abdul Khaliq.