POLA KOMUNIKASI ORGANISASI AKSI CEPAT TANGGAP (ACT) DALAM PENANGANAN BENCANA GUNUNG KELUD DI KECAMATAN PARE KABUPATEN KEDIRI Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Disusun oleh : MUHAMMAD RIFKI 109051000045 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H./ 2014 M
128
Embed
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26723/1/MUHAMM… · Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
POLA KOMUNIKASI ORGANISASI AKSI CEPAT TANGGAP (ACT) DALAM
PENANGANAN BENCANA GUNUNG KELUD DI KECAMATAN PARE
KABUPATEN KEDIRI
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Disusun oleh :
MUHAMMAD RIFKI
109051000045
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1435 H./ 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
persyratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlalu di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 1 juli 2014
Muhammad Rifki
i
ABSTRAK
Muhammad Rifki Pola Komunikasi Organisasi Aksi Cepat Tanggap (ACT) Dalam Penanganan Bencana Gunung Kelud di Kecamatan Pare Kabupaten Kediri.
Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah organisasi kemanusiaan yang menggerakkan humanity (kemanusiaan), philanthropy (kedermawanan), dan volunteerism (kerelawanan). Komunikasi dalam suatu organisasi sangat diperlukan. Dengan adanya komunikasi, maka tujuan dari suatu organisasi akan mudah tercapai. Karena itu, diperlukan pola komunikasi yang efektif dan efisien baik melalui lisan dan tulisan. Dalam menyampaikan informasi perusahaan kepada semua karyawan. Berdasarkan konteks di atas, maka pertanyaan mayornya adalah bagaimana pola komunikasi organisasi ACT dalam penanganan bencana gunung Kelud di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri? Adapun pertanyaan minornya adalah apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian pra-bencana? Apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian saat bencana? Apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian pasca-bencana? Pola komunikasi organisasi yang digunakan oleh ACT adalah pola lingkaran. Pola lingkaran adalah semua anggota organisasi dapat berkomunikasi dengan yang lainnya, tidak mempunyai pemimpin serta setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya. Dimana semua anggota ACT dapat berkomunikasi dengan siapa saja baik secara langsung maupun tidak langsung. Serta adanya komunikasi berjenjang yang dilakukan tiap harinya. Sehingga komunikasi berjalan dengan baik. Teori yang digunakan adalah pola komunikasi organisasi. Pola adalah bentuk (struktur) yang tepat. Komunikasi adalah pesan yang disampaikan dari komunikator kepada komunikan melalui lisan atau tulisan kemudian terjadinya feedback. Organisasi adalah sejumlah individu yang diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Pola komunikasi ini terbagi menjadi lima yaitu pola roda, rantai, Y, lingkaran, dan bintang atau semua saluran. (DeVito, 2011). Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Tahapan penelitiannya menggunakan pedoman wawancara dan dokumentasi. Waktu penelitiannya adalah Desember 2013 sampai Maret 2014. Teknik pengumpulan datanya adalah data primer dan data sekunder. Pola komunikasi pada saat pra-bencana, saat bencana dan pasca-bencana cenderung menggunakan pola lingkaran. Ini tampak pada rapat-rapat manajemen dan saat mitigasi bencana. Pada saat bencana dan pasca-bencana, pola lingkaran ini digunakan berdasarkan struktur yang dibuat dilapangan. Tetapi tetap melakukan briefing yang menjadi pola dasar dari ACT. Briefing dilakukan untuk evaluasi dan persiapan tim dilapangan agar tidak ada kendala dalam berkomunikasi dilapangan. Pola komunikasi yang digunakan ACT adalah pola lingkaran. Pola lingkaran, komunikasi yang dilakukan secara berjenjang melalui rapat-rapat manajemen. Komunikasi yang dilakukan tidak hanya pekerjaan. Tetapi kedekatan emosional dan spritual serta campaign, mengedukasi masyarakat, happening art, dan unjuk kepedulian di area publik pun mereka lakukan. Media yang digunakan adalah bbm, e-mail, group facebook, , maupun secara langsung. Kata Kunci : Komunikasi, Organisasi, Pola, ACT, dan bencana.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohim
Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur Alhamdulillah kepada
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, Dialah Allah yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan nikmat Iman, Islam
dan Ihsan kepada seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini. Dialah Tuhan
yang menciptakan akal sebagai mediator untuk berfikir dan merenung tentang
kekuasaan-Nya, untuk mempelajari lautan ilmu-Nya, dan yang terpenting, untuk
menyadari, mengetahui, mengingat dan menyaksikan akan eksistensi-Nya setiap
saat.
Bersama rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dan merupakan
kewajiban akademis di Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar
Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan seluruh pengikutnya
yang senantiasa istiqamah dalam mengikuti dan memegang teguh ajaran-Nya dan
menjalankan agama Allah SWT. Semoga uswatu hasanah yang beliau contohkan,
menjadikan penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya pengikut yang
senantiasa mengikutinya dalam kehidupan sehari-hari.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. Wb.
Tiada kata yang patut kita lantunkan selain puji syukur kehadirat Allah SWT
Tuhan yang Maha Agung yang dengan limpahan anugerah dan nikmat yang tak
terukur kepada peneliti, sehingga dapat memulai dan menyelesaikan penelitian ini.
Shalawat teriring salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan baginda Nabi
Besar Muhammad SAW. Amin.
Peneliti menyadari adanya kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri
peneliti, khususnya pada penyelesaian skripsi ini. Namun, Alhamdulillah dengan
keterbatasan dan kekurangan ini akhirnya peneliti bias menyelesaikan penelitian ini.
Hal ini tidak terwujud sendirinya melainkan karena dukungan dan bantuan dari
banyak pihak baik moril maupun materil, sehingga banyak ucapan terimakasih
peneliti ucapkan kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Pembantu Dekan Bidang Akademik Dr. Suprato, M.ED,
Pembantu Dekan Bidang Adminitrasi Drs. Jumroni, M.SI, Pembantu
Dekan Bidang Kemahasiswaan Drs. Sunandar MAg.
2. Rachmat Baihaky, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam yang telah memberikan sarana dan prasarana yang baik selama
peneliti berada di kampus ini.
iii
3. Umi Musyarofah selaku Sekertaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan nilai akademis
di kampus tercinta ini.
4. Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D. selaku pembimbing yang telah sabar
dalam membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik
dan telah meluangkan waktunya untuk membolehkan dating kerumah,
hingga lebih dari 10 kali untuk mengarahkan, membimbing, dan
membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi.
5. Bapak Drs. Masran, MA selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah
memandu dan memberikan dukungan sejak pertama kuliah hingga penulis
dapat menyelesaikan perkuliahan.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, khususnya
jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang telah memberikan
wawasan keilmuan, mendidik dan mengarahkan peneliti selama peneliti
berada pada masa kuliah.
7. Segenap staf akademik dan staf Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi yang telah membantu peneliti dalam mencari berbagai
literatur yang menunjang untuk skripsi ini.
8. Terimakasih kepada aktivis dan pimpinanACT beserta stafnya sebagai
objek penelitian, dan yang telah membantu peneliti dalam observasi,
wawancara, dan dokumentasi untuk melengkapi penyelesaian skripsi.
iv
9. Terimakasih kepada Ayah saya, Muhammad Ali yang telah ikut
memberikan semangat, membelikan buku, dan menanyakan selalu sudah
sampai mana skripsi yang peneliti buat.
10. Terimakasih kepada Ibu saya, Ibu Mulyani yang telah menyarankan
peneliti untuk berdiskusi, meminta bantuan dengan saudara-saudara, dan
ikut membantu mendoakan peneliti supaya cepat menyelesaikan skripsi.
11. Terimakasih kepada Adik dan Kakak saya yang ikut memberikan
semangat setiap hari kepada peneliti.
12. Teman-teman KPI B angkatan 2009 yang telah bersama-sama berjuang
dan menimba ilmu di kampus tercinta dan terus menjaga kekompakkan
satu sama lain.
13. Teman-teman KKN Ceria 2009 yang telah memberikan ilmu pendidikan
kepada masyarakat di daerahCisarua Bogor.
14. Teman-teman dekat yang selalu membantu, mendukung, dan bertukar
pikiran sehari-hari.
15. Serta pihak-pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan
skripsi ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu namun tidak
mengurangi rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada mereka semua.
Peneliti merasa perlu memberikan ucapan terimakasih yang sebanyak-
banyaknya kepada mereka yang telah peneliti sebutkan di atas, berkat dukungan,
semangat, serta do’a yang tulus kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Tentu saja skripsi ini jauh dari nilai kesempurnaan, namun besar harapan peneliti
v
bahwa skripsi ini dapat member manfaat khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi
pembaca. Amin
Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Jakarta, 31 Maret2014
Muhammad Rifki
109051000045
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang ......................................................................... 1
B. Identifikasi, Batasan, danRumusanMasalah ........................... 5
C. TujuandanManfaatPenelitian .................................................. 6
D. TinjauanPustaka ...................................................................... 8
E. BingkaiTeori ........................................................................... 10
F. MetodePenelitian..................................................................... 12
G. SistematikaPenulisan .............................................................. 15
BAB II LANDASAN TEORITIS
A. PolaKomunikasiOranisasi ....................................................... 17
Sebuah bencana yang disebabkan oleh manusia menciptakan serangkaian
"bencana alam" yang merangsang bencana sosial dalam jangka waktu yang
panjang yang melebihi masa hidup manusia normal. Bencana ini sangat
berdampak pada kelangsungan hidup orang banyak serta membuat peradaban
manusia menjadi rusak. Para manusia yang mendapatkan dampak besar seperti
kehilangan tempat tinggal, keluarga, harta benda maupun yang lainnya. hal ini di
sebabkan perubahan iklim yang ekstrim, perang, sistem ekonomi yang terjebak
dunia dalam krisis global. Ini tentu mendapat perhatian khusus bagi setiap Negara
untuk membentuk sebuah tim pemerintahan dalam mengantisipasi maupun
memberikan pertolongan dengan cepat kepada para korban.
Di Indonesia sendiri telah banyak instansi pemerintah maupun lembaga-
lembaga lokal untuk ikut berpartisipasi dalam menangani bencana tersebut. Salah
satunya adalah Aksi Cepat Tangap (ACT). yang berdiri di Jakarta tahun 2005.
Sebuah organisasi kemanusiaan yang menggerakkan humanity (kemanusiaan),
philanthropy (kedermawanan), dan volunteerism (kerelawanan). Humanity adalah
wujudnya desain program kemanusiaan, kedermawanan menjadi salah satu
sumber pembiayaannya yang digalang dengan mekanisme kampanye diberbagai
media komunikasi, dan kerelawanan menjadi sumber daya
pelaksanaan/implementasi program kemanusiaan.1
1 Wawancara pribadi dengan Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT, Jakarta, Menara
165, 20 Desember 2013.
2
ACT berdiri pada tahun 2005 sebagai institusi resmi dan mandiri. Program
yang ditangani berkembang tidak lagi hanya berkisar pada bencana alam, namun
juga mengembangkan konsentrasinya pada bencana sosial atau bencana
kemanusiaan. Termasuk di antaranya, gizi buruk, rawan pangan, anak-anak,
masalah kesehatan dan sanitasi lingkungan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi,
pembangunan masyarakat, hingga konflik sosial. Tak hanya memberikan bantuan
kepada para korban bencana, ACT juga memiliki aktivitas yang meliputi:
pelatihan, konsultasi, dan penelitian berbasis keahlian akademis praktis dan
empiris di bidang penanganan bencana alam dan sosial secara terpadu. Pelatihan,
konsultasi, dan penelitian yang dilakukan mencakup mitigasi, kesiapsiagaan,
emergensi, rehabilitasi, rekonstruksi, hingga prosedur mutu dalam tugas-tugas
kemanusiaan dan kebencanaan.
Hal ini tentu tidak lepas dari hubungan komunikasi yang dibangun antara
pegawai dan manajemen ACT, sehingga terhindar dari masalah konflik yang
biasanya sering terjadi dalam sistem organisasi dan hubungan antara bawahan dan
atasan sangat akrab dan harmonis. Komunikasi merupakan suatu aktivitas
manusia yang sanga penting. Bukan hanya dalam suatu organisasi, tetapi dalam
kehidupan manusia secara umum. Tiada hari tanpa komunikasi, sepanjang nafas
dan detak jantung masih ada komunikasi sangat diperlukan. Tanpa komunikasi,
kita tidak dapat berinteraksi dengan sesama manusia dan memahami apa yang
sedang dilakukan oleh manusia. Komunikasi tidak hanya melalui lisan, tetapi
dapat juga dilakukan melalui tulisan. Komunikasi menduduki suatu tempat yang
3
utama karena susunan keluasan dan cakupan organisasi secara keseluruhan
ditentukan oleh teknik komunikasi.2
“Komunikasi memberikan sesuatu kepada orang lain dengan kontak tertentu
atau dengan memergunakan sesuatu alat. Banyak komunikasi terjadi dan
berlangsung tetapi kadang-kadang tidak tercapai kepada sasaran tentang apa yang
dikomunikasikan itu.”3
Menurut William J. Seller komunikasi adalah proses dengan di mana simbol
verbal dan nonverbal dikirimkan, diterima, dan diberi arti. Hakikatnya komunikasi
merupakan pengiriman pesan yang akan diinterpretasikan oleh si penerima pesan.4
Sementara itu menurut Harold Lasswell, “dalam berkomunikasi dia menggunakan
lima pertanyaan yang perlu dipertanyakan dan dijawab dalam bila komunikasi,
yaitu who (siapa), says what (mengatakan apa), in which medium (melalui media
apa), to whom (kepada siapa), dan dengan what effect (apa efeknya).”5
Komunikasi menjadi lebih terstruktur dan terhubung saat dikaitkan dengan
organisasi. Suatu pendekatan objektif yang menyarankan bahwa sebuah organisasi
adalah sesuatu yang bersifat fisik dan kongkrit, dan merupakan sebuah wadah
yang mengumpulkan orang-orang dan mempunyai tujuan yang sama. Sementara
itu, pendekatan yang subjektif memandang organisasi adalah proses atau
tindakan-tindakan, yang dilakukan orang-orang dalam struktur organisasi.6
2 Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 337.
3 H.A.W. Widjaja, Komunikasi & Hubungan Masyarakat (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),
h..5. 4 Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 4-5. 5 Michael Burgoon, Approachingn Spech/Communication Process (New York, Holt, Rinehart dan Winston, 1974), h. 10
6 R. Wayne Pace dan Doon F. Faules, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 11.
4
Untuk memajukan organisasi, maka sangat diperlukan komunikasi yang
baik. Oleh karena itu, kita harus mengetahui lebih banyak mengenai sistem secara
keseluruhan dan bagaimana mencocokkan ke dalam sistem yang lebih luas.7
Dalam organisasi, manusia membutuhkan komunikasi yang efektif agar cepat
mencapai tujuan yang diinginkan. Setiap individu harus mampu berkomunikasi
yang baik agar terciptanya keharmonisan sehinga terhindar dari konflik.
Keharmonisan komunikasi dan kepuasan kerja menunjukkan secara tidak
langsung bahwa pegawai haruslah mempunyai informasi yang diperlukan untuk
megerjakan pekerjaan.
Komunikasi memungkinkan orang untuk mengoordinir kegiatan untuk
mencapai tujuan bersama, tetapi komunikasi itu tidak hanya menyampaikan
informasi atau mentransfer makna saja.8 Dalam suatu organisasi, diperlukan
komunikasi yang efektif dan efisien. Karena, jika dalam suatu organisasi tidak
melakukan komunikasi kepada atasan maupun sesama pegawai, maka organisasi
tersebut tidak dapat mengoordinasi tugas yang harus dilaksanakan, tidak adanya
keterbukaan di antara para pegawai, dan tidak tercapainya tujuan bersama.
Komunikasi dalam organisasi menjadi sistem aliran yang menghubungkan dan
membangkitkan kinerja antar bagian dalam organisasi sehingga menghasilkan
sinergi.
Dibandingkan pada lembaga lain, ACT merupakan lembaga nonprofit
sehingga dibangun komunikasi yang baik di dalamnya. Dalam mencapai tujuan
dan harapan di suatu organisasi, maka organisasi tersebut harus membangun
komunikasi yang efektif dan efesien di dalam internal organisasi tersebut. Oleh
7Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, h. 92. 8 Abdullah Masmuh, Komunikasi Organisasi dalam Perspektif Teori dan Praktik (Malang: UMM Press, 2008), h. 7.
5
karena itu, sebuah organisasi tidak terlepas dari adanya komunikasi. Tanpa
komunikasi organisasi, tidak akan berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan
bersama. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian
dengan judul “Pola Komunikasi Organisasi Aksi Cepat Tanggap (ACT)
dalam Penanganan Bencana Gunung Kelud di Kecamatan Pare Kabupaten
Kediri.”
B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Masalah yang ingin diteliti adalah hanya pada pola komunikasi yang
digunakan ACT dalam menangani bencana. Kendala dalam komunikasi yang
biasa terjadi adalah miss komunikasi, yang menimbulkan konflik maupun salah
paham, keadaan alam sekitar yang tidak mendukung, alat komunikasi yang
minim, dan adanya kesenjangan jabatan yang membuat komunikasi menjadi tidak
efektif. Masalah-masalah ini yang perlu diminimalir dalam komunikasi, oleh
karena itu peneliti mencoba membahas pola komunikasi apa yang digunakan
dalam penanganan bencana di gunung Kelud.
2. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pembatasan masalah hanya
menekankan pada pola komunikasi yang digunakan Aksi Cepat Tanggap (ACT)
saat menangani bencana di fase pra-bencana, fase saat bencana, dan fase pasca-
bencana pada kejadian letusan gunung Kelud di Kecamatan Pare Kabupaten
Kediri.
6
3. Rumusan Masalah
Pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimana pola komunikasi organisasi
Aksi Cepat Tangap (ACT) dalam penanganan bencana letusan gunung Kelud?
sedangkan pertanyaan minor adalah:
a. Pola komunikasi apa yang digunakan pada bagian pra-bencana?
b. Pola komunikasi apa yang digunakan pada bagian saat bencana?
c. Pola komunikasi apa yang digunakan pada bagian pasca-bencana?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Dengan mengacu pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan di
atas, maka tujuan dari penelitian ini adala mengetahui bagaimana pola komunikasi
organisasi di Aksi Cepat Tanggap (ACT) dalam penanganan bencana letusan
gunung Kelud, khususnya:
a. Mengetahui apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian pra-
bencana.
b. Mengetahui apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian saat
bencana.
c. Mengetahui apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian pasca-
bencana.
2. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Manfaat akademis memperkaya ilmu komunikasi organisasi melalui
lembaga kemanusiaan nasional seperti ACT.
7
b. Manfaat praktis, secara praktis penelitian ini diharapkan akan menjadi
sebuah masukan dan menambah wawasan bagi mahasiswa dan
masyarakat. Serta bagi para praktisi komunikasi dalam hal pola
komunikasi organisasi penangan bencana, tulisan ini dapat dijadikan
masukan buat lembaga kemanusian lain di Indonesia.
3. Pernyataan Penelitian
Pada dasarnya ACT telah menggunakan pola komunikasi yang
berstruktur dalam berkomunikasi sesama karyawan. Pada saat
penangangan bencana di gunung Kelud, pola komunikasi yang digunakan
oleh ACT adalah pola lingkaran dan pola rantai. Pola lingkaran terjadi pada saat
pra-bencana, di mana terjadi komunikasi berjenjang. Sedangkan, pola rantai
terjadi pada saat bencana dan pasca-bencana karena adanya komunikasi ke atas
dan ke bawah melalui tingkatan hirarki yang bersifat kaku. Keadaan terpusat juga
terdapat di sini. Orang yang berada di posisi tengah lebih berperan sebagai
pemimpin dari pada mereka yang berada di posisi lain.
Pola komunikasi ini memungkinkan para relawan dan aktivis
penanganan bencana yang ada untuk mempermudah mengoordinir
kegiatan mereka di lapangan untuk mencapai tujuan bersama. Komunikasi
itu dilakukan berdasarkan tingkatan hirarki yang beralaku. Hal ini
bertujuan untuk mengurangi tingkat penyimpangan dalam berkomunikasi
di lapangan. Komunikasi ini juga di lakukan dengan adanya rapat-rapat
manager baik di kantor maupun di lapangan.
8
D. Tinjauan Pustaka
Langkah awal sebelum melakukan penelitian suatu karya ilmiah adalah
proses penelaahan peneliti terlebih dahulu, kemudian peneliti memeriksa skripsi
dan penelitian sebelumnya yang mempunyai judul atau objek dan subjek
penelitian yang sama atau hampir sama dengan yang diteliti. Dengan demikian,
peneliti dapat mengetahui apa yang diteliti sebelumnya. Sehingga, penelitian
karya ilmiah ini tidak sama dengan penelitian skripsi terdahulu.
Setelah mengadakan suatu penelitian kepustakaan skripsi yang memiliki judul
hampir sama dengan yang akan diteliti, judul skripsi tersebut adalah:
1. Maulisa Suderajat, mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam angkatan
tahun 2014 berjudul, “Pola Komunikasi Organisasi Di Lembaga
Kemanusiaan Nasional Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU).” Skripsi ini
menjelaskan tentang pola komunikasi yang digunakan dalam PKPU
adalah pola bintang. PKPU menggunakan komunikasi dua arah. Teknik ini
Perbedaan skripsi ini dengan yang diteliti ini terletak pada subjek
penelitiannya.9
2. Dini Novianti, mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam angkatan
tahun 2009 berjudul, “Pola Komunikasi Organisasi Di Balai Besar
Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Kampung utan Tangerang.” Skripsi
ini menjelaskan bahwa pola komunikasi yang digunakan adalah
komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, komunikasi horizontal dan
informal. Media yang digunakan adalah melalui website, telepon, radio,
9 Maulisa Suderajat, “Pola Komunikasi Organisasi Di Lembaga Kemanusiaan Nasional
Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU).” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h. 70.
9
fax, email, brosur dan koran untuk pelayanan jasa. Perbedaan skripsi ini
dengan yang diteliti terletak pada objek penelitian.10
3. Ika Soleha, mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam angkatan tahun
2013 berjudul, “Pola Komunikasi Organisasi Di PT. Arga Bangun Bangsa
ESQ Leadership Center.” Skripsi ini menjelaskan tentang pola komunikasi
yang digunakan PT. Arga Bangun Bangsa ESQ Leadership Center adalah
pola bintang. Perbedaan pada skripsi ini adalah objek penelitiiannya.11
4. Andreas Meissner, dkk, pada tahun 2002 membuat jurnal yang berjudul
“Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System.” 12 Jurnal ini menjelaskan bahwa
pola komunikasi yang digunakan dalam penanganan bencana secara
terpadu menggunakan komunikasi buttom-up. Perbedaan skripsi ini
dengan yang diteliti terletak pada objek penelitian.
10 Dini Novianti, “Pola Komunikasi di Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Kampung Utan Tangerang.” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 59.
11Ika Soleha, “Pola Komunikasi Organisasi Di PT. Arga Bangun Bangsa ESQ Leadership Center.” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 80.
12
Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” The First IEEE Workshop on Disaster Recovery Network, New York City, 24 Juni 2002. h. 1.
10
E. Bingkai Teori
GAMBAR 1.1
Pola komunikasi organisasi
Aksi Cepat
Tanggap
(ACT)
Korban Letusan
Gunung Kelud
Pra-Bencana) Saat Bencana
Pasca-Bencana
Pola Roda Pola Bintang Pola Lingkaran Pola Rantai Pola Y
Joseph A. DeVito
11
Gambar 0.1 menjelaskan, bahwa pola komunikasi merupakan bentuk yang
digunakan dalam memberikan informasi. Beberapa teori digunakan untuk
mengetahui pola yang digunakan sebuah organisasi tanggap bencana. ACT adalah
lembaga kemanusiaan yang bergerak membantu korban bencana alam maupun
bencana sosial. Sejak berdirinya pada tahun 2005, ACT telah banyak ikut
berpartisipasi dalam membantu wilayah-wilayah yang terkena bencana, seperti di
gunung Sinabung, gunung Merapi, dan banjir Jakarta. Hal ini tentu saja tidak
lepas dari komunikasi yang dibangun ACT. Pola komunikasi yang digunakan
ACT inilah yang membuat ACT lebih dikenal masyarakat. Pola yang di bangun
ACT memudahkan proses penyampaian informasi kepada semua pegawai dan
relawan ACT.
Dalam proses penyampaian pesan, biasanya dalam komunikasi internal
organisasi, proses penyampaiannya terbagi menjadi dua, yakni vertikal dan
horizontal. Proses penyampaian pesan vertikal, yakni komunikasi ke bawah
berupa tugas-tugas, maupun intruksi, dan ke atas yang berupa laporan maupun
masukan untuk perusahaan. Sedangkan horizontal adalah penyampaian pesan ke
sesama kayawan berupa koordinasi maupun kesiapan yang dibutuhkan. Dalam
menyampaikan informasi, baik komunikasi ke bawah, ke atas, dan horizontal
membutuhkan sarana komunikasi, baik media elektronik maupun non elektronik,
sehinga komunikasi dalam menyampaikan informasi ke semua pegawai ACT
dapat menghemat cost, tenaga, dan waktu. Hal inilah yang hendak diteliti, yakni
bagaimana pola komunikasi organisasi dalam lembaga ACT.
12
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian
ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian ini dilaksanakan sejak tanggal 20 Desember sampai
tanggal 20 Maret pada tahun 2014. Lokasi penelitian dalam hal ini bertempat
di perkantoran Ciputat Indah Peramai, Tangerang Selatan dan Menara ESQ
Center 165, jalan TB Simatupang Kav. 1 Cilandak Timur, Jakarta Selatan,
dan sempat melakukan observasi di lokasi bencana letusan gunung Kelud
kecamatan Pare kabupaten Kediri, tanggal 23 Febuari 2014.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek peneltian ini adalah organisasi ACT dan okjek penelitiannya
adalah bagaimana pola komunikasi yang diterapkan oleh ACT dalam
penanganan bencana letusan gunung Kelud.
3. Metode Penelitian
Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, dengan
pendekatan kualitatif. Peneliti berusaha untuk menggambarkan secara jelas
yang terjadi di lapangan dan kemudian dianalisis untuk mendapatkan hasil
yang digunakan sebagai bahan penelitian. Pendekatan kualitatif ini menitik
beratkan pada data-data penelitian yang akan dihasilkan melalui pengamatan,
dan wawancara. Selain itu, jenis penelitian ini bersifat deskriptif, yakni
berusaha memberikan gambaran rinci mengenai pola komunikasi ACT dalam
penanganan bencana letusan gunung Kelud.
13
Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum
yang ada. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dan
gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dan
masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh kategorisasi.13
4. Data Penelitian
a. Field Research (penelitian lapangan)
Penelitian ini dilaksanakan dengan terjun langsung ke lokasi penelitian
yang dalam hal ini bertempat di Menara ESQ Center 165 lantai 11 dan 14
juga tempat kejadian bencana letusan gunung Kelud di Kediri Jawa Timur
tanggal 23 Febuari 2014.
b. Library Research (penelitian kepustakaan)
Peneliti mengumpulkan dan menelaah beberapa literatur seperti, buku-
buku ilmiah, jurnal, surat kabar, majalah, brosur, dan sumber-sumber lain
yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Cara ini dilakukan untuk
mendapatkan gambaran mengenai kerangka teoritis dan pendapat para ahli
dan lembaga yang terkait dengan masalah ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya
dapat berkerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan
yang diperoleh melalui observasi.14 Observasi merupakan pengamatan
dan pencatatan dengan sistematika dengan fenomena yang diselidiki.
13 Jumroni. Metode-Metode Penelitian Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 28.
14 Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi Mixed Methods (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 309.
14
Dengan metode ini penulis akan mengetahui tentang bagaimana pola
komunikasi organisasi di ACT dalam penanganan bencana letusan gunung
Kelud.
b. Wawancara
Wawancara adalah salah satu alat untuk mengumpulkan atau
memperoleh informasi langsung tentang beberapa jenis data.15 Wawancara
ini berkaitan dengan masalah penelitian, sehingga dapat menemukan data
atau keterangan mengenai pola komunikasi organisasi dalam lembaga
ACT dalam penanganan bencana letusan gunung Kelud. Wawancara ini
dilakukan di menara ESQ 165 bersama bapak Iqbal Setyarso Direktur
Komunikasi ACT, serta Insan Nurrahman Vice Presiden ACT, Erlid
Riandilanta Relawan ACT, Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI
Bojonegoro.
c. Studi Dokumentasi
Studi ini digunakan untuk mengambil data dari berbagai dokumen yang
telah dimiliki kantor ACT berupa buku, bulletin, dan foto-foto yang
kemudian akan menjadi rujukan untuk kemudian diteliti lebih lanjut.
“Dokumen-dokumen ini dapat mengungkapkan bagaimana subjek
mendefinisikan dirinya sendiri, lingkungan, dan situasi yang dihadapinya
suatu saat, dan bagaimana kaitan antara definisi diri tersebut dalam
hubungan dengan orang-orang di sekelilingnya dengan tindakan-
tindakannya.”16
15 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Jogjakarta: Andi Offset, 1983), h. 49. 16 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h. 195.
15
6. Teknik Pengolahan Data
Dalam menyederhanakan data, peneliti melakukan beberapa tahap, yaitu
data dikelompokkan, disederhanakan, lalu dikemas dalam tabel, grafik,
maupun bagan. Dan dalam penulisan ini, peneliti berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) terbitan
CeQDA (Center for Quality Development and Assurance).17
7. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah menganalisis proses berlangsungnya suatu
fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses
tersebut dan menganalisis makna yang ada di balik informasi, adat, dan
proses suatu fenomenan sosial itu.18
G. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis menguraikannya ke dalam
beberapa bab sebagai berikut:
Peneliti memulai skripsi ini dengan sebuah pendahuluan. Bab I ini berisikan:
latar belakang masalah, identifikasi masalah, fokus dan rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, pernyataan penelitian, bingkai teori, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan yang merupakan gambaran umum dalam
penulisan skripsi.
Selanjutnya, kajian teoritis peneliti tempatkan pada bab II, yang meliputi:
penjelasan teori yang relevan digunakan untuk menganalisis dan merancang
sistem yang diperoleh dari berbagai sumber seperti buku referensi maupun
17
Tim Penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Jakarta: CeQDA, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007). 18 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana, 2010), h. 153.
16
internet yang menjadi landasan penulisan skripsi ini di antaranya tentang pola
komunikasi organisasi.
Adapun gambaran umum lembaga Aksi Cepat Tanggap, diuraikan pada bab
III. Dalam bab ini, penulis kemukakan aspek sejarah ACT, kemudian visi dan
misi ACT, selanjutnya program-progam kegiatan ACT, serta struktur lembaga
ACT.
Inti skripsi ini ada pada bab temuan dan analisis. Bab IV ini berisi tentang
pola komunikasi organisasi di ACT, pola komunikasi bintang, pola komunikasi y,
pola komunikasi rantai, pola komunikasi lingkaran, dan pola komunikasi roda.
Akhirnya, peneliti tutup skripsi ini, dengan format kesimpulan dan saran. Bab
V ini, penulis menjawab pertanyaan minor yang dikemukakan pada bab
pendahuluan.
Di akhir skripsi ini terdapat daftar bacaan dan disusul dengan lampiran.
17
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pola Komunikasi Organisasi
1. Pengertian Pola Komunikasi Organisasi
Pola komunikasi terdiri atas pola dan komunikasi. Pola dikatakan sebagai
model, yaitu cara untuk menunjukkan sebuah objek yang mengandung
kompleksitas proses di dalamnya dan hubungan antara unsur-unsur
pendukungnya.1 Sementara, komunikasi organisasi merupakan serangkaian kata
dari dua kata, yaitu komunikasi dan organisasi. Untuk lebih jelasnya, dari dua kata
tersebut akan diuraikan dengan penjelasan masing-masing.
Menurut Onong Uchjana Effendi “istilah komunikasi berasal dari bahasa
Inggris yaitu communication yang berarti ‘pemberitahuan’ atau ‘pertukaran
pikiran.’ Maka hakikat dari communication itu berarti ‘sama’ atau ‘kesamaan
arti.”’ 2
Sedangkan secara terminologi, komunikasi berarti proses penyampaian suatu
pernyataan oleh seseorang kepada orang lain yang disampaikan baik secara
langsung yakni berupa lisan atau tatap muka maupun secara tidak langsung
melalui media yang bertujuan untuk memberitahukan atau mengubah sikap,
pendapat, dan prilaku, orang lain.3
Organisasi berasal dari bahasa Latin organigare, yang secara umum berarti
sistem dari bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Organisasi
adalah orang-orang yang berkumpul yang mempunyai suatu tujuan yang sama
1 Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 9. 2 Onong Uchjana Effendi, Spektrum Komunikasi (Bandung: Bandar Maju, 1992), h. 1.
3 Onong Uchayana Effendi, Dinamika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet. ke-empat, h. 3-4.
18
dengan melalui pembagian tugas kerja dan saling bergantungan dengan yang lain
untuk mencapai tujuannya.4
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang yang berkomunikasi
berarti mengharapkan agar orang lain ikut berpartisipasi atau bertindak sesuai
dengan tujuan, harapan, dan isi pesan yang disampaikan. Jadi di antara orang yang
terlibat dalam kegiatan komunikasi harus memiliki kesamaan makna atau arti
pada lambang-lambang yang digunakan untuk berkomunikasi, dan harus bersama-
sama mengetahui hal-hal yang dikomunikasikan.
Menurut Veithzal Rivai, organisasi adalah wadah yang memungkinkan
masyarakat dalam meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu
secara sendiri-sendiri. Organisasi merupakan suatu unit yang terkoordinasi yang
terdiri setidaknya dua orang berfungsi mencapai satu sasaran tertentu atau
serangkaian sasaran.5
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, organisasi adalah kesatuan
(susunan dsb) yang terdiri atas bagian-bagian (orang dsb) dalam perkumpulan
untuk tujuan tertentu, kelompok kerjasama antara orang-orang yang diadakan
untuk mencapai tujuan bersama.6
Sondang P. Siagian dalam bukunya yang berjudul Peranan Staf dan
Manajemen menyatakan bahwa:
“organisasi adalah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama, dan terkait secara formal dalam satu ikatan hirarki di mana selalu terdapat hubungan antara seseorang
4 Nurani Suyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h.
179 5 Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, h. 188. 6 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-tiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 803.
19
atau sekelompok orang yang disebut pimpinan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut bawahan.”7 Sementara itu komunikasi organisasi dapat dikatakan juga komunikasi antar
manusia (human communication) yang terjadi dalam konteks organisasi di mana
terjadi jaringan-jaringan pesan satu sama lain yang saling bergantung satu sama
lain untuk mencapai tujuan yang sama. Dengan demikian, komunikasi organisasi
adalah “komunikasi yang terjadi dalam suatu organisasi antara pemimpin dengan
pegawai atau sesama pegawai untuk mencapai suatu tujuan tertentu baik melalui
media maupun face to face.”8
Sementara itu menurut Dedy Mulyana, komunikasi organisasi adalah
komunikasi yang terjadi yang berlangsung di dalam jaringan kelompok yang besar
dan komunikasinya bersifat formal mapun informal.9
R. Wayne Pace dan Don F. Faules mendefinisikan komunikasi organisasi
menjadi dua bagian penting yaitu definisi fungsional yang menyatakan bahwa
komunikasi organisasi sebagai suatu bentuk hubungan yang hirarkis dalam proses
kegiatan penafsiran pesan dalam unit-unit komunikasi yang menjadi bagian dari
struktur organisasi tertentu. Sedangkan definisi interpretatif menyatakan
komunikasi organisasi lebih berfokus kepada sebuah proses kegiatan penafsiran
pesan lebih lanjut yang terdapat dalam ruang lingkup batasan organisasi dilihat
dari dua aspek pandangan subjektif dan objektif.10
7Sondang P. Siagian, Peranan Staf dan Manajemen (Jakarta: Gunung Agung, 1976), cet. ke-satu, h. 20.
8 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2007), h. 274.
9 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007),h.83.
10 R. Wayne Pace dan Don F. Faules, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan
Kinerja Perusahaan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, h. 34
20
Dari berbagai definisi pola komunikasi organisasi di atas, dapat disimpulkan
bahwa pola komunikasi organisasi adalah bentuk pengiriman dan penerimaan
informasi dalam organisasi yang kompleks. Yang mencakup dalam bidang ini
adalah komunikasi internal, komunikasi eksternal, hubungan persatuan pengelola,
komunikasi ke bawah atau komunikasi dari atasan kepada bawahan, komunikasi
ke atas atau dari bawahan kepada atasan dan komunikasi dari orang-orang yang
sama tingkatnya dalam organisasi, menulis dan komunikasi evaluasi program.
Karena dengan adanya komunikasi ke bawah, ke atas, dan horizontal, koordinasi
pekerjaan dapat berjalan lancar dan tujuan organisasi bisa dicapai.
2. Macam-macam Pola Komunikasi Organisasi
Pola komunikasi organisasi adalah bentuk komunikasi yang digunakan dalam
organisasi yang kompleks. Dalam suatu organisasi para anggota pasti saling
bertukar pesan dengan anggota lainnya. Pertukaran pesan tersebut terjadi dengan
melalui suatu jalan yang dinamakan pola aliran informasi atau jaringan
komunikasi.11
Dalam organisasi ada beberapa pola yang biasa digunakan untuk
berkomunikasi, menurut Joseph A. DeVito dan Sthephen P. Robbins ada lima
pola komunikasi yang biasa digunakan dalam berkomuniikasi, yakni:
a. Pola Lingkaran
Menurut Joseph A. DeVito dalam pola lingkaran semua anggota
organisasi dapat berkomunikasi dengan yang lainnya, mereka tidak
11 Abdullah Masmuh, Komunikasi Organisasi dalam Perspektif Teori dan Praktik, h. 57
21
mempunyai pemimpin serta setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua
anggota lain di sisinya.12
Di sisi lain menurut Stephen P. Robbins pola lingkaran adalah adanya
interaksi pada setiap tiga tingkatan hirarki, namun tidak adanya interaksi
lanjutan pada hirarki yang lebih tinggi. Misalnya komunikasi terjadi secara
interaksi antar sesama bawahan dengan atasannya langsung (komunikasi
berjenjang).13
b. Pola Roda
Menurut Joseph A. DeVito, pola roda disini memiliki pimpinan yang
jelas, sehingga kekuatan pimpinan berada pada posisi sentral dan
berpengaruh dalam proses penyampaian pesannya yang mana semua
informasi yang berjalan harus terlebih dahulu disampaikan kepada
pimpinan.14
Sementara itu Stephen P. Robbins, pola roda merupakan sistem jaringan
komunikasi yang menjadikan semua laporan, instruksi, perintah kerja dan
kepengawasan terpusat satu orang yang memimpin dengan empat bawahan
atau lebih dan tidak adanya komunikasi sesama bawahan yang lain.15
c. Pola Rantai
Menurut Joseph A. DeVito, pola rantai ini tidak memiliki pemimpin
sama halnya pola lingkaran. Tetapi orang yang berada diposisi tengah
12
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, Penerjemah Agus Maulana (Pamulang: KARISMA Publising Grup, 2011), edisi ke-lima, h. 383.
13
Stephen P. Robbins, Organization Behaviour (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2009), h. 134.
14 Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383.
15
Stephen P. Robbins, Organization Behaviour, h. 134.
22
lebih berperan sebagai pemimpin daripada orang yang berada di posisi
lain. Serta orang yang paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan
satu orang saja.16
Sedangkan menurut Stephen P. Robbins, pola komunikasi rantai di sini
terdapat lima tingkatan dalam jenjang hirarkisnya dan hanya dikenal
sebagai sistem komunikasi arus ke atas (upward) dan ke bawah
(downward) begitu juga sebaliknya. Artinya model tersebut menganut
hubungan komunikasi garis langsung (komando) baik ke atas atau ke
bawah tanpa terjadi suatu penyimpangan.17
d. Pola Bintang atau Semua Saluran
Menurut Joseph A. DeVito, dalm pola ini semuanya anggota memiliki
kekuatan yang sama untuk memengaruhi anggota lainnya dan setiap
anggota lainnya memungkinkan adanya partisipasi anggota secara
optimum.18
Sedangkan menurut Stephen P. Robbins dalam pola ini semua tingkatan
dalam jaringan ini dapat melakukan interaksi timbal balik tanpa melihat
siapa yang menjadi tokoh sentralnya. dan setiap staf/bawahan tidak
dibatasi dan bebas melakukan interaksi dengan berbagai pihak/pimpinan
atau sebaliknya.19
e. Pola Y
16
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383.
17 Stephen P. Robbins, Organization Behaviour, h. 134.
18
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383.
19 Stephen P. Robbins, Organization Behaviour, h. 134.
23
Menurut Joseph A. DeVito, pola Y juga terdapat pimpinan yang jelas
dan setiap anggota dapat mengirimkan dan menerima pesan dari dua orang
lainnya.20
Menurut Stephen P. Robbins, pola Y ini terdapat empat level jenjang
hirarki, satu supervisor mempunyai dua bawahan dan dua atasan yang
mungkin berbeda devisi atau department.21
Bagan 02. Pola Komunikasi
Sumber: Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia.22
Pola-pola yang telah disebutkan merupakan pola aliran informasi yang biasa
digunakan dalam organisasi dan digunakan hanya untuk berkomunikasi secara
internal, atau hanya dalam lingkup organisasi saja.
20
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383.
21 Stephen P. Robbins, Organization Behaviour, h. 134.
22
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383.
24
B. Bencana
1. Pengertian Bencana
Istilah bencana dapat diartikan sebagai sesuatu yang “menimbulkan
kesusahan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan marabahaya.”23
Bencana merupakan “kejadian yang luar biasa, di luar kemampuan normal
seseorang menghadapinya, menakutkan dan juga mengancam keselamatan jiwa.
Akibatnya, berbagai bangunan penting hancur, korban jiwa berjatuhan dan
memengaruhi kondisi psikologis dari mereka yang terkena dampak bencana.”24
“Bencana merupakan gangguan atau kekacauan pada pola normal kehidupan.
Gangguan atau kekacauan ini biasanya hebat, terjadi tiba-tiba, tidak disangka-
sangka dan wilayah cangkupan sangat luas.” 25 Adapun dampak kepada manusia
seperti kehilangan jiwa, luka-luka dan kerugian harta benda. Dampak yang paling
utama yakni struktur sosial dan ekonomi seperti kerusakan infrastruktur berupa
sistem jalan, air bersih, listrik, komunikasi dan pelayanan penting lainnya.
Dalam UU RI No. 24 tahun 2007 dikatakan bahwa:
“bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat yang disebabkan baik faktor alam atau non-alam maupun faktor manusia sendiri, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.”26
Dengan demikian, maka dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa pengertian bencana yaitu suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
dapat menimbulkan ancaman dan gangguan terhadap kehidupan masyarakat yang
23 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005) h. 100. 24 Nani Nurrachman, ed. Pemulihan Trauma: Pandan Praktis Pemulihan Trauma Akibat
Bencana Alama (Jakarta, LPSP3Fakultas Psikologi UI, 2007), h. 3. 25 Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 67. 26 Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI;
Penanggulangan Bencana, h. 11.
25
melebihi batas kemampuannya, sehingga mengakibatkan kerusakan, kerugian
serta penderitaan bahkan sampai jatuhya korban jiwa, baik terjadi karena alam
ataupun non-alam ataupun karena faktor keduanya.
2. Jenis-Jenis Bencana
Dalam UU RI No. 24/2007 berdasarkan jenis dan klasifikasinya, bencana
yang terjadi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:27
a. Bencana Alam
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angina topan, dan tanah longsor.
b. Bencana Non-Alam
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non-
alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik,
dan wadah penyakit.
c. Bencana Sosial
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
karena manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar
komunitas masyarakat dan terorisme.
3. Letusan Gunung Kelud
“Letusan gunung merupakan peristiwa yang terjadi akibat endapan magma
di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi.”28
Dari letusan-letusan seperti inilah gunung berapi terbentuk. Letusannya yang
27
Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 10.
28 “Letusan Gunung,” diakses pada hari Sabtu 1 Maret 20014 dari
www.Wikipedia.org.id.
26
membawa abu dan batu menyembur dengan keras sejauh radius 18 km atau lebih,
sedangkan lavanya bisa membanjiri daerah sejauh radius 90 km. Letusan gunung
berapi bisa menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar sampai ribuan
kilometer jauhnya dan bahkan bisa memengaruhi putaran iklim di bumi ini. Hasil
letusan gunung berapi berupa; gas vulkanik, lava dan aliran pasir serta batu panas,
Lahar, Abu Letusan.29
Letusan gunung api adalah bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal
dengan istilah erupsi. Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas,
lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir
lahar.30
“Gunung Kelud (sering disalah tuliskan menjadi Kelut yang berarti "sapu"
dalam Bahasa Jawa; dalam Bahasa Belanda disebut Klut, Cloot, Kloet, atau
Kloete) adalah sebuah gunung berapi di Provinsi Jawa Timur, Indonesia, yang
tergolong aktif.”31 Gunung ini berada di perbatasan antara Kabupaten Kediri,
Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang , kira-kira 27 km sebelah timur pusat
Kota Kediri. Gunung Kelud dikenal sebagai gunung api dengan kawah berupa
danau yang terbentuk akibat dari letusan pada tahun 2007.32
Gunung Kelud merupakan salah satu gunung aktif di Jawa Timur yang
“erupsinya didominasi oleh erupsi-erupsi eksplosif yang menghasilkan endapan
29
Abdillah Rikito, “Pengertian Gunung Meletus,” diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari http://alampenuhbencana.blogspot.com/p/gunung-meletus.html.
30 Pusat Data dan Informasi dan Humas, “Definisi dan Jenis Bencana”, diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari www.bnpb.go.id.
31 Faiz Wildan, “Sejarah Letusan Gunung Kelud diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari http://guswildancenter.blogspot.com/2014/02/sejarah-letusan-gunung-kelud.html .
32 Palupi Annisa Auliani, “Gunung Kelud, Sejarah Panjang dan Anomali Letusan,”
kompas.com, diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014.
27
aliran dan jatuhan piroklastik.”33 Oleh karena itu di sebagian utama bentuk
gunung tersebut banyak dikelilingi oleh endapan-endapan tersebut. Sehingga
kubah lava, sumbat lava, dan aliran lava yang ada hanya terdapat di daerah sekitar
pusat erupsi utama dan erupsi samping gunung Kelud.
Sementara itu, Gubernur Jawa Timur, Bapak Soekarwo menyatakan, masa
tanggap darurat erupsi gunung Kelud mulai 13 Februari hingga 12 Maret 2014
sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi DIY memutuskan masa tanggap darurat
berlaku selama tujuh hari dimulai 14 Februari hngga 20 Februari 2014.34
C. Tahapan Penanganan Bencana
Tahapan penanggulangan bencana dapat diartikan sebagai suatu proses yang
berkelanjutan untuk meminimalisir dampak suatu bencana, hal ini ditandai dengan
“serangkaian kegiatan berupa pencegahan bencana, tanggap darurat, rehabilitasi
dan rekontruksi.”35 Berikut tahapan penanggulangan bencana, yang meliputi
kegiatan pra-bencana (pencegahan, kesiapsiagaan, mitigasi), tanggap darurat (saat
bencana), dan pasca-bencana (rehabilitas, rekonstruksi).
1. Pra-Bencana
Persiapan menghadapi bencana adalah berbagai kegiatan yang
dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya bahaya dari
bencana.36 Upaya yang dilakukan pada saat pra bencana antara lain:
33
Akhmad Zaennuddin, “Prakiraan Bahaya Erupsi Gunung Kelud,” Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Vol. 4 No. 2, Agustus 2009, h. 1.
34 Dompet Dhuafa, “Situasi Respons Erupsi Gunung Kelud,” Disaster Manangement Dompet Dhuafa (14-17 Februari 2014), h. 2.
35 Warto, dkk, Uji Coba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah (Yogyakarta: Departemen Sosial RI, 2003), h. 15. 36 Warto, dkk, Uji Coba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah, h. 12.
28
a. Pencegahan, adalah “serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui
pengurangan bencana maupun kerentanan pihak yang terancam
bencana.”37
b. Kesiapsiagaan, adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencan melalui pengorganisasian dan langkah yang
tepat guna serta berdaya guna.38
c. Mitigasi, adala segala “kegiatan yang bertujuan memperkecil kerugian
yang timbul akibat peristiwa bencana, terutama terhadap jiwa raga
manusia, harta benda dan berbagai bangunan.”39
2. Saat Bencana
Penanganan saat terjadi bencana adalah kegiatan yang dilakukan ketika
bencana melanda, yang tujuannya adalah menyelamatkan korban manusia
(jiwa-raga) dan harta benda untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa.
Kegiatan yang biasanya dilakukan saat kejadian yaitu; evakuasi korban ke
tempat penampungan sementara, penyelenggaraan dapur umum, distribusi
atau penyaluran bantuan dalam bentuk pangan, sandang, obat-obatan, bahan
bangunan, peralatan ekonomis-produktif (seperti alat pertanian dan
pertukangan), serta uang sebagai modal awal hidup pasca-bencana, pendataan
korban dan jumlah kerugian material.40
37
Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h.12. 38 Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h.11. 39 Warto, dkk, Uji Coba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah, h. 15. 40 Warto, dkk, Uji Coba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah, h. 12.
29
Rencana darurat biasanya dibangun dan disesuaikan dengan konteks di
mana rencana darurat itu beroperasi, biasanya rencana darurat yang
“mencangkup komunikasi, search and rescue, mengoordinasikan tugas-tugas
emergency, sektor transportasi, kesejahteraan sosial, kesehatan dan tenaga
medis, polisi dan keamanan, militer dan tenaga sukarelawan.”41
Fase tanggap darurat adalah di mana pemerintah bersama-sama
masyarakat melakukan langkah tanggap darurat, termasuk diantaranya
mengumumkan status bencana. Kemudian melakukan penyelamatan
dokumen-dokumen Negara, menyediakan informasi kepada publik mengenai
korban bencana, melakukan prosesi pemakaman korban meninggal,
menyediakan posko informasi, menyediakan rumah sakit darurat, melakukan
koordinasi sesama lembaga terkait, masyarakat dan instansi pemerintah.42
“Jangka waktu masa tanggap darurat, beragam sesuai dengan besar
kecilnya skala bencana. Umumnya adalah dua minggu sampai satu bulan
setelah terjadinya bencana dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan
dari Presiden/Kepala Daerah.”43
3. Pasca-bencana
Pasca-bencana lebih disebut dengan massa recovery. Recovery menurut
UU RI No. 24/ 2007 adalah “serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan
41
A.B. Susanto, Sebuah pendekatan strategi manajemen: disaster Manangement di Negeri Rawan Bencana (Jakarta: PT Aksara Grafika Pratama, 2006), h. 76. 42 Saru Arifin, “ Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel: Studi Kasus di Kabupaten Bantul”, Yogyakarta,” Jurnal Fenomena Volume 6-Nomor 1 (Maret 2008): h. 8. 43 Syamsul Maarif, “ Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor Enam Tahun 2008: Penggunaan Dana Siap Pakai,” Perka BNPB (Desember 2008), h. 12.
30
memfungsikan kembali kelembagaan, pra-sarana dan sarana dengan
melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi.”44
Rehabilitasi menurut UU RI NO. 24/ 2007 adalah “perbaikan pemulihan
semua aspek pelayanan publik atau masyarakat untuk normalisasi semua
aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca-
bencana.”45 Tindakannya meliputi; perbaikan prasarana dan sarana umum,
pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial
psikologis, pelayanan kesehatan dan lain-lain.
Rekonstruksi Menurut UU RI No. 24/ 2007 adalah pembangunan kembali
semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah bencana, baik pada
tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama yaitu
tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pasca-bencana.46
D. Penanganan Bencana Terpadu
Secara geografis Indonesia berada di kawasan rawan bencana alam, akibat
kegagalan teknologi dan akibat ulah manusia lainnya. Masalah yang terjadi akibat
bencana alam menyebabkan timbulnya kerugian berupa gangguan kehidupan dan
penghidupan manusia dan kerusakan lingkungan. Adanya diskoordinasi dan
kelemahan manajemen penanggulangan bencana merupakan hal yang harus
diatasi. Perbaikan koordinasi dan manajemen penanggulangan di daerah rawan
bencana merupakan salah satu prioritas upaya kesiapsiagaan.
Upaya kesiapsiagaan dan penaggulangan bencana dijelaskan Andreas
Meissner, dkk, mereka mengidentifikasi sebuah sketsa komunikasi dan sistem
informasi terpadu untuk tanggap bencana dan pemulihan bencana, mereka juga
memasukan pokok pembahasan mengenai jaringan, layanan dan konfigurasi
perangkat, manajemen data dan penjadwalan sumber daya. Dalam rangka
menerapkan arsitektur sistem tersebut.47
Lebih jauh Meissner, dkk membuat sebuah gambar sketsa komunikasi
“Lembaga Pemadam Kebakaran” yang digunakan dalam penangan bencana
kebakaran. Mereka mengambarkan secara deskriptif bagaimana aliran informasi
dan komunikasi saling terhubung di antara personil garis depann, pos komando
kantor pusat yang terhubung satu sama lain dengan pemerintah yang saling
berkomunikasi menggunakan alat komunikasi tertentu.48
Bagan 03. Sketsa Komunikasi
47 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” The First IEEE Workshop on Disaster Recovery Network, New York City, 24 Juni 2002. h. 1.
48 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 2.
32
Bagan 03. menunjukkan sebuah hubungan komunikasi yang tersambung
secara sistematis antara pemerintah, kantor pusat (HQs), pos komando dan
personil garis depan. Andreas Meissner, dkk, menggambarkan “ketika pos
komando menetapkan lokasi bencana, mereka terhubung oleh link nirkabel atau
satelit terestrial ke markas masing-masing. Untuk "hot spot" di tempat
komunikasi, LAN nirkabel (infrastruktur, ad hoc, atau keduanya) sudah diatur.” 49
Maksudnya, saat bencana terjadi pos komando membuat sebuah jaringan nirkabel
(wireless) yang terhubung dengan markas masing-masing. “hot spot” berguna
sebagai penghubung komunikasi antar personil garis depan dan antar pos
komando. Hal ini digunakan untuk menciptakan konektivitas dan untuk
mambantu personil garis depan mengindentifikasi masalah-masalah yang mereka
hadapi saat proses penanganan bencana.
Menciptakan konektivitas komunikasi saat menanggulangi bencana
memang menghendaki kecepatan dan keefektifan kerja. Maka dari itu dalam
proses tersebut memerlukan alat komunikasi yang dapat menyelesaikan masalah
komunikasi. Dengan dukungan teknologi, keanekaragaman pesan dapat
disebarkan dengan baik, sebagaimana pendapat Wood, bahwa “teknologi
komunikasi dapat mempercepat laju pengaruh interaksi antar manusia, bagaimana
kita berpikir, bekerja dan membentuk hubungan yang lebih kohesif.”50 Dengan
mempercepat laju informasi, diharapkan proses penanggulangan bencana dapat
berjalan cepat dan terkoordinasi dengan baik.
49 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” h. 2. 50 Julia T. Wood. Communication Theories in Action, (Canada: Thomson – Wadsworth
Publishing, 2004). H. 19.
33
Meissner, dkk, mengambil pendekatan bottom-up untuk menggambarkan
bagaimana arus informasi mengalir dari personil garis depan seperti petugas
pemadam kebakaran dan pekerja penyelamat saat beroperasi di medan yang sulit.
Berikut penerjemahan penulis atas kutipan meissner, dkk :
"Peralatan pemadam kebakaran sering kali berisi sensor dan detektor, misalnya untuk radiasi atau gas mudah meledak. Pembacaan secara tradisional ditularkan oleh komunikasi suara kepada para pemimpin skuad. Transmisi data yang lebih cepat dan handal dapat dicapai dengan menggunakan sensor cerdas terkait, melalui jaringan, ke komputer di dalam kendaraan pemimpin regu, di mana mereka akan segera dianalisis dan dimasukkan ke dalam konteksnya."51
Ungkapan di atas menjelaskan sistem komunikasi dari petugas pemadam
sebagai sumber data. Sebagai sumber data petugas akan menginformasikan segala
kendala yang dihadapinya di lokasi. Setiap informasi itu kemudian akan diolah
dan diinformasikan kembali kepada petugas, sehingga mereka dapat bertugas
dengan cepat dan terkoordinasi dengan baik. Petugas akan mendapatkan data
seperti, pesan, peringatan tentang bahan-bahan berbahaya, peta, dan data orang
hilang yang ditransmisikan ke perangkat mobile yang mereka gunakan.52
Di sisi lain, staf di kantor pusat harus sering membuat penjadwalan dan
melakukan koordinasi pekerjaan, dan mereka bertindak sebagai penghubung
untuk instansi dan masyarakat, karena jarak fisik mereka ke lokasi bencana yang
jauh, sehinga mereka bergantung pada informasi-informasi baru. Dalam
terjemahan penulis, Meissner, dkk mengatakan:
“HQs biasanya memiliki sejumlah besar data yang tersimpan, misalnya pada bahan-bahan berbahaya, yang mungkin perlu diakses secara on-site personil. Ini panggilan untuk aplikasi terintegrasi bangunan di area luas link data antara kantor pusat dan pos komando situs. Jika bencana
51
Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 2.
52 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 2.
34
meluas, bahkan HQs mungkin perlu direlokasi, atau direktur operasi dapat memutuskan untuk bergerak lebih dekat ke tempat kejadian, sehingga sangat penting untuk menyediakan "lingkungan informasi portabel" siap untuk relokasi. Ini menempatkan persyaratan tambahan pada database dan lingkungan koperasi disediakan untuk HQs.”53
Kantor pusat harus selalu menyimpan data-data penting yang dapat
membantu petugas. Hal ini, untuk membangun aplikasi yang terintegrasi pada
jaringan antara kantor pusat dan pos komando. Sehingga jika bencana menyebar
sudah dapat diatasi bagaimana langkah untuk merelokasi tempat bantuan bencana.
1. Jaringan Komunikasi (Communication Networks)
a. Komunikasi Luas (Wide Area Communications)
Meissner, dkk mengusulkan “Dengan demikian akan, misalnya,
memanfaatkan panggilan grup, prioritas, dan enkripsi kemampuan
TETRA (alat komunikasi internet) ini.” 54 Namun menurutnya, setiap
peralatan yang digunakan mempunyai kelemahan. Penggunaan
satelitpun bisa menjadi alternatif setidaknya untuk komunikasi dua
arah. Di sini pos komando bertindak sebagai gateway antara WAN dan
jaringan situs hot spot.
b. Hot Spot Communications (Komunikasi Hot spot)
Komunikasi Hot spot di daerah bencana dibagi oleh Meissner, dkk,
menjadi dua kategori yaitu sebagai daerah kritis dan komunikatif.
Menurut Meissner, dkk yang penulis terjemahkan sebagai berikut:
" Sebagian besar daerah kritis: ini adalah tempat pusat bahaya dan titik fokus untuk menghentikan atau mengendalikan bagian utama dari bencana. Terutama di daerah yang paling kritis personil garis depan yang terlibat dalam memerangi bencana perlu
53 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” h.2. 54Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” h. 3.
35
berkonsentrasi sebanyak mungkin pada sumber bencana dan jelas dalam situasi yang paling berbahaya dan kritis. Oleh karena itu mereka perlu diinformasikan segera dan tanpa penundaan dalam kasus situasi meningkat dan baik parameter lingkungan mendekati ambang kritis atau orang tertentu parameter penting menjadi kritis. Selain itu mereka perlu untuk tetap berhubungan dengan tim pengawas memberikan informasi yang dikumpulkan dari sumber-sumber tidak langsung tersedia bagi personil garis depan. Dalam hal apapun semua informasi harus diberikan kepada orang-orang ini tanpa mengharuskan mereka untuk secara manual berinteraksi dengan setiap jenis perangkat. Informasi harus diberikan secara otomatis dan sebagian pidato dikontrol melalui teknologi tampilan yang sesuai, pengeras suara dan indikator lainnya.”55
Ungkapan di atas menjelaskan bentuk komunikasi hot spot sebagai
daerah kritis. Dapat digambarkan bahwa bentuk komunikasi hot spot
saat daerah kritis adalah sebagai tempat pusat bahaya dan "focal point"
untuk menghentikan bagian utama dari bencana. Di sana personil garis
depan yang terlibat dalam menangani bencana perlu berkonsentrasi
sebanyak mungkin pada sumber bencana. Oleh kerena itu mereka
memerlukan informasi dengan segera dan tanpa penundaan.
Bagaimana pun informasi harus diberikan secara otomatis tanpa harus
setiap personil bergerak sendiri.56
Sebagai daerah komunikatif, penulis terjemahkan ungkapain
Meissner, dkk:
"Ini adalah tempat di mana informasi dari semua sumber yang berbeda yang relevan harus tersedia, dianalisis, dikombinasikan atau, dalam istilah umum, segera diproses. Sumber informasi mungkin statis seperti sistem lokal komputer atau peralatan pengukuran, semi-dinamis seperti informasi yang diterima melalui koneksi berbasis jaringan (telepon, internet), atau dinamis seperti perangkat mobile (misalnya komputasi berbasis PDA atau perangkat penyimpanan) bergerak masuk dan keluar dari
55
Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 3.
56 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 3.
36
komunikatif hot spot. Dalam rangka untuk mengumpulkan, menggabungkan dan mengolah informasi dari berbagai sumber, mekanisme dinamis, jaringan sebagian nirkabel ad hoc harus dikembangkan dan diimplementasikan untuk berbagai perangkat dan teknologi jaringan. "57
Meissner, dkk, menjelaskan ini sebagai tempat informasi dari
semua sumber yang berbeda, yang relevan dan harus tersedia,
dianalisis, dikomunikasikan atau, dalam istilah umum, segera
diproses.58
2. Service and Device Configuration
Dalam pandangan Meissner, dkk, sistem yang diusulkan harus
dapat mengelola data dalam jumlah besar di semua tingkatan. bertukar
data secara real time antara entitas yang tepat adalah tantangan utama.59
a. Motivation for Auto-configuration (Motivasi untuk konfigurasi
otomatis)
Meissner, dkk, menyebutkan “Tanpa konfigurasi yang benar
dari host dalam jaringan, mereka tidak dapat menemukan satu
sama lain, atau untuk berkomunikasi satu sama lain”.60 Maka tanpa
konfigurasi dari host dalam jaringan, mereka tidak dapat
berkomunikasi satu sama lain. Oleh karena itu, konfigurasi
perangkat adalah penting. Hal ini dapat dilakukan baik statis atau
57
Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 3.
58 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 4.
59 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 4.
60 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 4.
37
dinamis. Perangkat yang permanen terhubung ke jaringan biasanya
ukuran konfigurasi menjadi tugas administrator.
b. Communication Spheres
Meissner, dkk menyebutkan ada tiga jenis pelaku dalam sistem
yang berkaitan dengan tingkat mobilitas dalam pengangan bencana:61
1) Stationary actors: Polisi, Kantor Pusat (misalnya kantor
pemadam, dokter, dll) Pemerintah, dan bahkan pemerintah
asing atau organisasi swasta.
2) Semi-mobile actors: pos komando.
3) Mobile actors: personil garis depan, misalnya petugas
pemadam kebakaran.
Komunikasi yang dilakukan dalam struktur hirarki yang jelas.
Sehingga komunikasi bersifat komando hal ini yamg memudahkan
informasi tanpa adanya penyimpangan.
c. Configuration of Devices (perangkat konfigurasi)
Meissner, dkk, menjelaskan setiap data serta sumber data harus
mengetahui sedang berkonfigurasi dengan siapa dalam berkomunikasi.
Perangkat antarmuka harus dikonfigurasi dengan alamat yang unik
(kode). Tugas duplikasi alamat harus terdeteksi, dan tabrakan pesan
harus dikelola.62 Lebih jauh penulis kitipkan terjemahan pendapat
Meissner, dkk:
“Biasanya, aktor ponsel akan beroperasi (baik secara manual atau secara otomatis) perangkat sensor, yang mengumpulkan
61 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” h. 4. 62 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” h. 4.
38
berbagai jenis data. Beberapa data, seperti jumlah gas meledak di udara, relevan baik untuk dirinya secara pribadi, serta untuk pos komando. Data lain, seperti informasi posisi, mungkin tidak penting bagi aktor mobile, melainkan untuk atasannya di pos komando.”63
Mobile actors akan beroperasi menggunakan perangkat sensor, yang bertugas
mengumpulkan berbeda jenis data baik untuk dirinya, ataupun untuk pos
komando.
63 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management
Communication and Information System,” h. 4.
39
BAB III
GAMBARAN UMUM AKSI CEPAT TANGGAP (ACT)
A. Sejarah Berdirinya Organisasi ACT
Aksi Cepat Tanggap (ACT) foundation adalah organisasi kemanusiaan yang
berfokus pada penanganan bencana alam dan kemanusiaan terpadu, meliputi
darurat, penyelamatan, medis, bantuan, rekonstruksi dan pemulihan. ACT
didirikan pada 2005 sebagai lembaga resmi dan independen.1 Program-program
yang kami ditangani telah berkembang melampaui bencana alam, tetapi juga
fokus pada bencana sosial atau bencana kemanusiaan. Masalah ini termasuk gizi
buruk, kelaparan, anak-anak, kesehatan dan sanitasi, pendidikan, pemberdayaan
ekonomi, pengembangan masyarakat, dan juga konflik sosial.
Dengan visi kami untuk menjadi pelopor untuk kebangkitan jiwa kasih
sayang dengan dasar kesukarelaan menuju kemandirian masyarakat, ACT selalu
membawa nilai-nilai compassion, pengabdian masyarakat, dan masyarakat
kemerdekaan dalam setiap proyek tunggal yang kita lakukan. ACT bersifat
independen, objektif netral, non-diskriminatif, transparan, dan akuntabel. Oleh
karena itu, ACT membantu semuanya, ACT tidak membedakan suku, ras, agama,
atau pihak ketika melakukan program dalam negeri dan juga internasional.
ACT, asal dana program berasal dari sumbangan masyarakat dan perusahaan,
Corporate Social Responsibility (CSR) dana, yang pemanfaatannya akan di audit
oleh akuntan publik sebagai bentuk transparansi kepada stakeholder. Untuk
mencapai manfaat menyebar ke daerah-daerah terpencil, ACT dalam
melaksanakan program-program yang dikembangkan jaringan relawan lokal di
1 Wawancara pribadi dengan Ibu Hidayatun Ni’mah, Public Relation ACT, Jakarta,
Menara 165, 29 Oktober 2013.
40
bawah bendera Masyarakat Relawan Indonesia (MRI), Indonesia Volunteer
Society. Keberadaan MRI membuat pelaksanaan ACT, maupun program ACT
lebih efisien dan efektif .
ACT juga mendirikan Disaster Management Institute of Indonesia (DMII)
yang merupakan pusat referensi dari seluruh ACT, pengetahuan dan pengalaman
dalam mengelola bencana ACT. DMII memberikan pelatihan bencana dan darurat
ke beberapa perusahaan, sekolah, pemerintah, dan lembaga-lembaga publik. DMII
berfokus pada sosialisasi Pengurangan Risiko Bencana (PRB). DMII juga telah
merumuskan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk bencana dan manajemen
darurat, dan juga menjadi konsultan untuk pusat pendidikan kebencanaan.
B. Visi dan Misi Organisasi ACT
Visi:
1. Pelopor dalam mengubah jiwa-jiwa dalam berbasis kerelawanan menuju
kemandirian masyarakat.
Misi
1. Mengembangkan model manajemen bencana terpadu (MBT).
2. Memperkuat sinergi kemitraan.
3. Memperkuat komunikasi lembaga.
4. Mengerakkan partisipasi kepedulian masyarakat.
5. Memperkuat komunitas donator.2
2 Wawancara pribadi dengan Ibu Hidayatun Ni’mah, Public Relayion ACT, Jakarta
Selatan, Menara 165, 29 Oktober 2013.
41
C. Struktur Organisasi ACT
1. Presiden.
2. Senior Vice President Glbal Strategi Comunications
a. Public Relation.
b. General Philanthropy Media.
c. Creative Comunication.
d. Digital marketing.
3. Vice Presiden Philanthropy Network Development
a. CSR Management & development.
b. Community Philanthropy development.
4. Vice President Operational
a. Finance Accounting.
b. Information Tchnology.
c. Head Resource Development.
d. General Affair.
5. Senior Vice Presiden Humanity Network & Development
a. Program:
1) Disaster Emergency Response.
2) Comdev.
b. Masyarakat Relawan Indonesia.
c. Disaster Management Institut of Indonesia.
d. Global Qurban.3
3 www.act.or.id.
42
D. Program Kegiatan Organisasi ACT
1. GHR (Global Humanity Response)
GHR adalah “bagian dari ACT yang siap merespon peristiwa kemanusiaan
global seperti bencana alam, dan konflik yang mengakibatkan ribuan orang
mengungsi dan menderita. Bermitra dengan lembaga-lembaga kemanusiaan di
Negara tujuan,” 4 program ini merupakan program pemberian bantuan emergency,
dan relief untuk korban bencana seperti bahan pangan, sandang, obat-obattan,
juga layanan kesehatan. Program GHR mengajak relawan-relawan yang berasal
dari Indonesia yang tinggal di Negara terdampak bencana atau mengajak relawan
lokal untuk terlibat membantu pengungsi.
2. Masyarakat Relawan Indonesia (MRI)
MRI merupakan kepanjangan dari Masyarakat Relawan Indonesia (Indonesia
Volunteer Society). Kontruksi MRI terdiri dari tiga penggal kata, yaitu:
Masyarakat, Relawan, dan Indonesia. Masyarakat merupakan kumpulan individu-
individu dari satu komunitas, baik komunitas mikro maupun makro. Relawan
merupakan individu atau sekumpulan individu yang bersedia berkontribusi
terhadap perubahan posistif pada lingkungannya atas dasar prinsip kesukarelaan,
tanpa pamrih. Indonesia merupakan suatu identitas dari sebuah negara.5
3. Tabungan Qurban
Qurban sejatinya adalah “kesediaan setiap muslim untuk peduli terhadap
kepentingan orang lain karena ibadah qurban merupakan salah satu bentuk
tanggung jawab sosial masyarakat muslim kepada sesamanya.”6 Program ini
4 www.act.or.id.
5 www.act.or.id.
6 www.act.or.id.
43
bertujuan untuk melatih jiwa kedermawanan sosial (philanthropy), sehingga
potensi luar biasa yang dimiliki qurban bisa berperan sebagai solusi untuk
mengatasi kemiskinan dan membangun kesejahteraan.
ACT yang berdiri pada tahun 2005 adalah lembaga kemanusiaan yang
bergerak dalam penanganan bencana alam dan bencana kemanusiaan secara
terpadu. Sejak berdiri, salah satu program yang unggulan yang dijalankan ACT
adalah program qurban yang disalurkan kepada masyarakat korban bencana,
daerah minus, dan daerah rawan pangan. Sepanjang perjalanannya, program
Qurbanku telah mendistribusikan “qurban di daerah gempa, banjir, tsunami,
longsor, daerah minus serta daerah endemi penyakit & gizi buruk di Sumatera
Barat, Lampung, Banten, Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Jawa Barat,
Yogyakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur.”7
Konsisten untuk berbagi kebahagiaan dengan saudara-saudara kita yang diuji
keterbatasan dan bencana. “Program global qurban tahun 2012 mengangkat tema
qurban untuk 1.000.000 Penerima Manfaat.” Lebih dari itu, ikhtiar gobal qurban
adalah memberi nilai lebih qurban masyarakat, dan memastikannya sampai ke
tangan mereka yang benar-benar membutuhkan. Sasaran baru calon penerima
qurban selain melanjutkan program sebelumnya adalah pengungsi Suriah,
Rohingya, dan Afghanistan.
Global qurban berupaya memberikan layanan terbaik bagi pengqurban
melalui transaksi donasi qurban yang sangat mudah dan transparan dengan
dukungan teknologi sms dan rekening virtual (virtual account). Global Qurban
juga terus mengembangkan kapasitasnya untuk dapat menggugah, menampung,
7 www.act.or.id.
44
dan menyalurkan donasi qurban dari mereka-meraka di luar negeri dengan
memanfaatkan account paypal. Sudah saatnya qurban menjadi bukti indahnya
persaudaraan, dari muslim dunia untuk muslim dunia bersama global qurban.
4. Komite Indonesia Untuk Solidaritas Somalia
“Bencana kelaparan dahsyat melanda Somalia, hingga saat ini tidak kurang
29.000 balita merenggang nyawa akibat kelaparan. Jutaan lagi terancam jiwanya
jika tidak mendapat pertolongan segera.” 8 ACT sebagai lembaga kemanusiaan
global menggagas Komite Indonesia Untuk Solidaritas Somalia (KISS) untuk
membantu para korban di Somalia.
5. Sympathy of Solidarity Palestina
Sympathy of Solidarity Palestina atau SOS Palestina adalah program
internasional ACT untuk membantu masyarakat Palestina yang menderita akibat
konflik dan penjajahan berkepanjangan. SOS Palestina merupakan program nyata
masyarakat Indonesia.9
6. CSR Management dan Development
CSR sebagai sebuah kepedulian dan tanggung jawab sosial perusahaan
kepada masyarakat dan memperkuat eksistensi dan keamanan asset perusahaan.
Diharapkan program CSR akan menjadi solusi ketertinggalan masyarakat baik di
bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan sosial sampai pada
penyediaan fasilitas umum yang akan membuat masyarakat lebih baik.
7. Management Institute of Indonesia (DMII)
“Program edukasi dan manajemen kebencanaan untuk masyarakat yang
mengusung konsep Manajemen Bencana Terpadu (MBT) dengan aktivitas
8 www.act.or.id.
9 www.act.or.id
45
meliputi; pelatihan, konsultasi dan penelitian berbasis keahlian akademis praktis
dan empiris di bidang penanganan bencana alam dan sosial secara terpadu.”10
Pelatihan, konsultasi dan penelitian yang dilakukan mencakup mitigasi,
kesiapsiagaan, emergency, rehabilitasi, rekonstruksi hingga prosedur mutu dalam
tugas-tugas kemanusiaan dan kebencanaan. Adapun visi dan misi program ini
adalah:
a. VISI
1) Menjadi institusi terdepan dalam pengembangan ilmu dan
manajemen kebencanaan berbasis Total Disaster Management
(TDM).
b. MISI
1) Mengembangkan wawasan keilmuan tentang kebencanaan berbasis
akademis dan pengalaman praktis (based practice), Mengembangkan
sinergi dan kemitraan dalam pengurangan resiko bencana (disaster
risk reduction).
2) Mewujudkan masyarakat sadar & siaga bencana.
Sebagai bentuk keseriusan ACT Foundation dalam penanganan bencana,
ACT Foundation membentuk Disaster management Institute of Indonesia
(DMII), yang merupakan pusat referensi dari seluruh pengetahuan dan
pengalaman praktis ACT dalam perjalanannya menangani bencana sejak lebih
dari 15 tahun yang lalu. DMII memberikan training emergency dan
kebencanaan, di berbagai perusahaan, sekolah, lembaga pemerintahan dan
publik, dengan penekanan pada pemasyarakatan Pengurangan Resiko Bencana
10
www.act.or.id
46
atau mitigasi (Disaster Risk Reduction – DRR). DMII juga telah menghasilkan
Standard Operational Procedure (SOP) penanggulangan bencana dan kondisi
darurat, selain juga menjadi konsultan untuk pusat-pusat pendidikan
kebencanaan.
8. ACT Community Development
ACT community development mendasarkan setiap aktivitas pada sebuah
cita-cita membangun kemandirian masyarakat. ACT menyadari bahwa
kemandirian sejati merupakan akumulasi dari kemandirian pada setiap sendi
kehidupan. Oleh sebab itu ACT memulai program dengan membenahi sendi-
sendi substansial dalam kehidupan masyarakat.11
11
www.act.or.id.
47
BAB IV
TEMUAN DAN HASIL ANALISIS
A. Pola Komunikasi Aksi Cepat Tanggap
Berdasarkan hasil di atas, penulis berusaha menganalisi pola komunikasi
ACT dalam penanganan bencana di gunung Kelud. Sebelum membahas pola
komunikasi maka harus berbicara tentang komunikasi organisasi, berarti
membahas komunikasi dan organisasi, artinya ada hubungan yang harus kita
fahami dari dua unsur ini, dan keberhasilan komunikasi yang terjadi di dalamnya.
Memperbaiki organisasi biasanya ditafsirkan sebagai, memperbaiki hal-hal untuk
mencapai tujuan. Dengan kata lain, orang mempelajari komunikasi organisasi
diharapkan juga mengembangkan untuk menjadi pemimpin yang lebih baik.
Begitu pun komunikasi yang dibangun ACT. Hal ini pun diperjelas oleh pak Ikbal
selaku direktur komunikasi ACT, yang menyatakan bahwa.
“Organisasi tanpa komunikasi, lumpuh; komunikasi tanpa organisasi hanya obrolan yang tak akan menghasilkan sesuatu yang bernilai strategis. Komunikasi mengaktivasi gagasan, mengontrol proses dan mengakselerasi program yang mengalami kelambatan; memecahkan stagnasi lintas lini; menjamin keberadaan organisasi tetap hidup: tumbuh dan berkembang. Organisasi dengan komunikasi yang sehat, mengedukasi semua SDM di dalamnya”1
Pada dasarnya ACT telah mempunyai pola tersendiri dalam berkomunikasi
yakni pola manajemen terpadu. Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh Pubik
Relation ACT yakni “.Pola yang kami gunakan biasanya intergreted manajemen
dimulai dari level emergency, rescue, rehabilitasion, dan recovery.”2
1Wawancara pribadi dengan Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT, Jakarta, Menara 165, 20 Desember 2013.
2 Wawancara pribadi dengan Hidayatun Ni’mah, Public Relation ACT, Jakarta,
Menara 165, 29 Oktober 2013.
48
Akan tetapi bila dilihat dari pola komunikasi yang digunakan di dalam
organisasi ACT, serta merujuk pada teori pola komunikasi Joseph A. DeVito, dari
lima pola komunikasi yang ada, ACT termasuk menggunakan pola komunikasi
lingkaran. Pola lingkaran adalah semua anggota organisasi dapat berkomunikasi
dengan yang lainnya, mereka tidak mempunyai pemimpin serta setiap anggota
bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya.3 Bila dilihat dari
pengertian pola lingkaran hal ini sesuai dengan pernyataan Bu ni,mah yakni:
“Setiap habis rapat manejemen setiap senin, itukan hanya manajemen, dari manajemen itu di lanjutkan rapat direktorat, nah itu hasil dari manejemen berupa penugasan, kebijakan itu disampaikan kepada bawahan melalui briefing, manajemen direktorat itu, jadi kami mempunyai jadwal masing-masing yang rutin. Misal jadwal direktorat komunikasi punya rapat hari apa, yang dilanjutkan dari hasil rapar manajemen tiap hari senin itu. Itu yang disampaikan, jadi terus mengalir gitu, artinya tidak terputus sampai rapat manajemen saja, tetapi keputusan hasil rapat manajemen sampai ke bawahan”4
Hal ini rangat relevan dimana dengan pola komunikasi lingkaran berdasarkan
teori Joseph A. DeVito dimana komunikasi dapat dilakukan dengan siapa saja dan
tidak mempunyai pemimpin yang tetap meskipun dalam struktur organisasi ACT
mempunya pemimpin. Tetapi pemimpin ACT bila dalam rapat masuk kedalam
rapat manajemen sehingga sama dengan para pegawai ACT yang berposisi
sebagai manager di ACT.
Selain itu, karena ACT mengadakan rapat-rapat berjenjang sesuai dengan
struktur yang ada, maka komunikasi sesama pegawai ACT bisa kapan saja
dilakukan bahkan dengan beda departemen maupun beda jabatan.
“karena di ACT engga ada sekat, antar divisi kami bebas, keliling bisa kemana saja, divisi-divisi lain bahkan department lain, bahkan koordinasi itu udah engga
3 Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, Penerjemah Agus Maulana
(Pamulang: KARISMA Publising Grup, 2011), edisi ke-lima, h. 383
4 Wawancara pribadi dengan Hidayatun Ni’mah, Public Relation ACT, Jakarta, Menara 165, 29 Oktober 2013.
49
ada sekat-sekat, kami juga punya milis yang terbuka untuk yayasan, jadi semua informasi itu benar-benar hanya satu ACT yang tahu. Bahkan dari level atas sampai bawah semuanya tahu, tapi tentu ada informasi-informsi yang hanya pada level tertentu dan memberikan laporan hanya pada atasan atau setiap departemen.”5 Selain itu semua anggota dapat berkomunikasi dengan siapa pun sesuai
dengan keperluannya. ”Komunikasi terjalin dengan lancar, semua lini bisa
membicarakan apa saja seperti; ide, saran dan masukannya, jika tidak langsung
menghadap bisa menggunakan media seperti email, telp, WA dll”6
Pernyataan ini merelevankan pola lingkaran yang biasanya ACT gunakan
dalam struktur organisasi ACT bahwa para karyawan ACT dapat berkomunikasi
dengan dua anggota lain di sisinya yakni dengan departemen lain maupun dengan
direktorat lainnya.
Dalam kasus penanganan bencana ACT melakukan upaya penerapan
manajemen penanggulangan bencana terpadu, melalui 3 (tiga) tahapan sebagai
berikut:7
1. Tahap pra-bencana yang dilaksanakan ketika sedang tidak terjadi bencana
dan ketika sedang dalam ancaman potensi bencana.
2. Tahap tanggap darurat yang dirancang dan dilaksanakan pada saat sedang
terjadi bencana.
3. Tahap pasca-bencana yang dalam saat setelah terjadi bencana.
5 Wawancara pribadi dengan Hidayatun Ni’mah, Public Relation ACT, Jakarta,
Menara 165, 29 Oktober 2013.
6 Wawancara pribadi dengan Yhogi S Gunawan, Manager HRL ACT, Jakarta, Menara 165, 20 November 2013.
7 Wawancara pribadi dengan Erlid Setiawan ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014.
50
1. Fase Pra-Bencana
Peneliti hendak menjelaskan dahulu temuan mengenai kegiatan pada fase pra-
bencana yang dilakukan ACT selama menangani bencana letusan gunung Kelud
di Pare Jawa Timur. Pra-bencana merupakan pengaturan upaya penanggulangan
bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang mengurangi resiko secara
terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada saat sebelum terjadinya
bencana. Pada fase pra-bencana ada beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain;
“pertama melakukan pencegahan bencana yakni serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. Kedua mitigasi, yakni serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Serta yang ketiga kesiapsiagaan, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam fase ini juga terdapat peringatan dini yaitu serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.” 8
Dalam upaya pencegahan bencana, ACT telah melakukan berbagai kegiatan
salah satunya adalah penanaman pohon, hal tersebut dilakukan sebagai upaya
mencegah bencana banjir yang kerap kali terjadi.9 Selain untuk mencegah banjir,
kegiatan tersebut juga dapat mengurangi jumlah polusi yang dapat menyebabkan
terjadinya global warming. Cuaca buruk akibat global warming sendiri masih ada
kaitannya dengan stabilitas gunung berapi, jika global warming terjadi maka
8 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, Modul Khusus Fasilisator,
Pengolahan Penanganan Bencana, diakses pada hari Minggu, 09 Maret 2014 dari http://www.p2kp.org/
9 Wawancara pribadi dengan Pak Insan Nurrahman, Vice Presiden ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014.
51
sistem alam akan berubah dan bencana gunung berapi semakin sulir diprediksi
atau boleh jadi malah menyebabkan terjadinya letusan gunung berapi.
Kegiatan lain yang dilakukan ACT dalam upaya fase pra-bencana adalah
melakukan rapat-rapat koordinasi secara formal di kantor pusat yang berada di
Menara 165 tepatnya lantai 11 dan 14 Jakarta Selatan. Kegiatan ini bertujuan
untuk merumuskan Standar Oprasional Prosedur (SOP) penanggulangan bencana
secara keseluruhan. Pembuatan SOP dimaksudkan agar nantinya relawan tidak
kebingungan saat melaksanakan tugas dilapangan. Sehingga para relawan akan
secara sistematis bekerja dan mereka tidak kebingungan mencari informasi saat
bertugas.
Kebutuhan informasi amat penting saat kondisi seperti bencana gunung Kelud.
Hal seperti ganggunan jaringan dan keterbatasan sarana membuat relawan dan
masyarakat akan mencoba mencari dari mana saja tenang informasi yang mereka
butuhkan. Dengan komunikasi yang baik, maka dapat menciptakan suatu
fleksibilitas dalam melaksanakan kegiatan organisasi tanpa harus melakukan
penyimpangan terhadap peraturan yang ada. Dengan demikian, komunikasi dapat
menciptakan fleksibilitas dalam pelaksanaan kegiatan, namun tetap berpijak
kepada aturan dan norma yang disepakati bersama.
Menurut Iqbal Setyarso,“Direktur Komunikasi ACT” menyebutkan, ACT
selalu melakukan rapat setiap hari Senin rutin, diikuti level manager ke atas.
Rapat hari Kamis khusus Departemen. Rapat hari Jumat, khusus BOD Holding.
Di luar hari-hari itu secara fleksibel bisa dilakukan rapat direktorat. 10
Komunikasi lainnya berupa:
10 Wawancara pribadi dengan Pak Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT,
Jakarta, Menara 165, 20 Desember 2013.
52
1. Evaluasi SDM: Tahap Pertama, self assesment pertahun dari bawahan
disampaikan ke atasan berupa form isian standar, memuat sejumlah:
a. Item evaluasi kinerja yang skornya versi bawahan dicek atasan
langsung;
b. Pendapat karyawan tentang diriya dalam konstalasi organisasi;
c. Rencana kerja dan harapannya dalam organisasi;
d. Pembekalan/pelatihan/arahan yang masih diperlukannya untuk
meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya dalam organisasi;
e. Rekomendasi atasan langsung serta pendapat atasan dari atasan
langsung.
Tahap Kedua, Evaluasi SDM di tingkat Bord of Director yang hasil
akhirnya berupa pengumuman promosi/demosi/mutasi karyawan pada
pertemuan pleno karyawan di akhir renstra (pembayaran online) tahunan.
Pada kesempatan ini semua karyawan saling mengenal dan mendengarkan
orasi top leader (dari Presiden ACT).11
2. Evaluasi Kelembagaan. Pertama, berlangsung per-catur wulan. Per-
Direktorat dan per-Departemen melakukan evaluasi sendiri dan hasilnya
diplenokan (semua Departemen). Di sini menjadi ajang eksplorasi
kapasitas SDM lintas Departemen, saat pimpinan Departemen memberi
kesempatan para Direkturnya mempresentasikan summary evaluasi
Departemen (diikuti perwakilan Departeman, Direktur dan SDM yang
dipandang strategis untuk hadir dalam event tahunan. Ini ajang
11 Wawancara pribadi dengan Pak Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT,
Jakarta, Menara 165, 20 Desember 2013.
53
mengedukasi level leader dari pimpinan Departemen hingga para
manager. Top leader (Presiden ACT) menyampaikan inspiring speech di
awal renstra, mengikuti dan mengkritisi seluruh rangkaian presentasi
Departemen dan Direktorat, meliputi aspek: Evaluasi Tahun Berjalan
(SWOT), perencanaan strategis memuat program dan budgeting.12
3. Pembinaan Karyawan. Ada pembinaan spiritual/kajian keagamaan
karyawan dua pekan sekali (rabu) bergantian dengan in house training
seputar peningkatan kemampuan manajerial level manager ke bawah. 13
ACT juga mewajibkan level Manager ke atas hingga Board of Directors
menggunakan Blackberry. Dengan Blacberry ini dibuat sejumlah group–
berlapis/berjenjang: group BOD Holding, group BOD Jejaring, group
Management dan group ACT (representasi). Selain itu, ada group Direktorat,
Group Departemen, Group Antar-Departemen. Melalui Blackberry Messenger,
pembahasan isu-isu kelembagaan berlangsung setiap hari: arahan manajemen
yang terkait dengan pengambilan keputusan; pencerahan leader (baik top leader
maupun di bawahnya); informasi ringan untuk relaksasi (hiburan), foto-foto
aktivitas lapangan. Melalui BBM Group, top leader mengetahui dan mengarahkan
tim leaders; memantau potensi dan sikap serta narasi manejerial para bawahan.
Melalui BBM, anak buah bisa melaporkan kinerjanya, progress report harian dan
pekanan, mempersiapkan kompilasi untuk penyusunan final report, dll.14
12 Wawancara pribadi dengan Pak Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT,
Jakarta, Menara 165, 20 Desember 2013. 13 Wawancara pribadi dengan Pak Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT,
Jakarta, Menara 165, 20 Desember 2013. 14 Wawancara pribadi dengan Pak Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT,
Jakarta, Menara 165, 20 Desember 2013.
54
Kegiatan rapat tersebut menunjukkan sebuah pola komunikasi berjenjang.
Pola komunikasi tersebut mengoptimalkan setiap divisi melakukan rapat yang
secara terorganisir, praktis dan efisien. Komunikasi dilakukan secara hirarki ke
atas dan ke bawah. Komunikasi berlangsung secara struktural dan sistematis.
Komunikasi ini dapat dikatakan pola komunikasi lingkaran, di mana ada
komunikasi yang berjenjang. Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh Pak Totok:
“koordinasi antar komandan dan posko rutin dilakukan pada pagi dan malam hari. Bentuknya briefing pagi sebelum ke lapangan, biasanya jam 05.30-06.30 Wib, berisi pemantapan agenda kerja hari itu, lengkap dengan pembagian tugas personil dan teknis pelaksanaannya. Kemudian, briefing malam, biasanya jam 20.00-22.00 Wib, berisi evaluasi tugas hari bersangkutan dan rencana tugas hari esoknya.”15
Pernyataan di atas, komunikasi dilakukan oleh para pemimpin komandan
yang dibentuk berdasarkan hasil rapat yang dilakukan di kantor pusat ACT. tentu
saja ini relevan dengan pola lingkaran dimana komunikasi dilakukan dengan yang
lainnya.
Briefing pada tahapan ini dilakukan untuk melakukan beberapa tindakan
seperti perencanaan pencegahan bencana, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Kegiatan
dilakukan oleh kantor pusat di Jakarta. Setiap kegiatan direncanakan dahulu
dengan matang sehingga saat bencana datang, ACT akan bergerak secara sitematis
dan praktis menanggapi bencana. Tidak hanya bencana letusan gunung Kelud,
kegiatan ini dimaksudkan untuk semua bencana baik bencana alam maupun
bencana non-alam.
Erlid Riandilanta, salah satu relawan ACT menyebutkan “pada fase pra-
bencana biasa kita mitigasi yaitu kita buat peta, cari jalur-jalurnya evakuasi dan
15
Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014.
55
mengedukasi masyarakat untuk mengungsi.”16 Erlid menjelaskan tugasnya saat
pertama kali dikirim oleh ACT ke lokasi letusan gunung Kelud. Ketika Erlid
dikirim ke lokasi bencana bukan tanpa tugas yang jelas melainkan sudah dibekali
SOP dari pihak ACT sehingga dia tidak kebingungan saat sampai di lokasi
bencana. Hal ini diberikan ACT kepada para relawan berdasarkan struktur yang
telah dibuat.
Erlid memberikan gambaran soal SOP yang telah dibuat ACT dan cara
menjalankan SOP itu dilaksanakan oleh Erlid sebagai relawan. Tentu koordinasi
di lapangan saat relawan bekerja sudah diperhatikan oleh ACT. Sebagai organisasi
berpengalaman, ACT membentuk sebuah jaringan komunikasi seperti:
2. Membuat peta jalur evakuasi dan zona evakuasi dan rambu–rambu bahaya.
3. Membangun shelter pengungsian yang dilengkapi dengan jalan dari
pemukiman penduduk ke shelter, serta sarana dan prasarana darurat di
pengungsian.
4. Mengadakan pelatihan evakuasi baik untuk masyarakat.
5. Memfasilitasi peningkatan pemahaman masyarakat melalui pendidikan
formal dan nonformal.
16
Wawancara pribadi dengan Erlid Setiawan, Relawan ACT, di Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014.
56
2. Fase Saat Bencana
Dalam fase darurat bencana atau lebih dikenal dengan tanggap darurat
bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat
kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta
pemulihan prasarana dan sarana.17
Dalam fase ini, ACT melakukan empat tindakan yakni: emergency, rescue,
medis dan relief. Dari masing-masing tindakan tersebut mempunyai kegiatan-
kegiatan tersendiri dalam menangani bencana yakni “evakuasi dan mendirikan
posko, dan memberikan bantuan dasar, mendirikan posko kesehatan, dan suplai
makanan.”18 Dalam tahapan ini pula komunikasi dilakukan dengan sistem
komando, akan tetapi koordinasi yang dilakukan lebih luas, yakni dengan
melibatkan pemerintah maupun instansi lainnya. “Kita semua koordinasi dengan
pak camat, pak lurah dan instasi lainnya, termasuk melakukan evakuasi, medis,
trauma healing, dan relief bantuan untuk pengunggsi dan dapur umum.”19 Serta
adanya ketua posko untuk mengontrol dan mengawasi kinerja para tim relawan.
Pada saat bencana, koordinasi di lapangan hanya menggunakan radio HT
maupun HP. Hal ini dikarnakan pada fase ini membutuhkan kecepatan dan
ketepatan dalam bertindak. Dalam melakukan segala kegiatan di lapangan,
relawan bekerja berdasarkan SOP yang ada, sehingga lebih mudah dalam
17 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, modul khusus Fasilisator, Pengolahan Penanganan Bencana, diakses pada hari Minggu, 09 Maret 2014 dari http://www.p2kp.org/. 18 Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014.
19 Wawancara pribadi dengan Pak Insan Nurrahman, Vice Presiden ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014.
57
menjalankan tugas. Biasanya para relawan pada fase ini dilengkapi peralatan
untuk mempermudah dan menjadi pelindung para relawan. Alat yang disediakan
biasanya “senter, HT, masker untuk evakuasi,kaca mata, mobile, HP, kendaraan,
topi, jaket.”20
Pertama-tama ACT melakukan tindakan Emergency atau tanggap darurat
bencana. Emergency atau tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak
buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.21
Pada tahapan ini, tim ACT di Kelud ini ACT/MRI membatasi masa
emergency selama sepekan atau seminggu pasca bencana, 14-20 Februari 2014.
Selain itu juga mengikuti batas waktu tanggap darurat yang ditetapkan
pemerintah, baik kabupaten, provinsi ataupun pusat, yakni sebulan pasca bencana
dari 14 Februari 2014 hingga 14 Maret 2014. Pada tahapan ini, tim ACT
melakukan beberapa kegiatan yakni:
1. Evakuasi pengungsi ke tempat pengungsian di Kecamatan Pare (Masjid
Agung Annur dan Gedung Serba Guna).
2. Membuat dapur umum untuk pengungsi di halaman Kantor Kecamatan
Pare.
20 Wawancara pribadi dengan Erlid Setiawan, Relawan ACT, di Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014.
21 Awi Mulyadi Wijaya, “Pentingnya Tanggap Darurat Bencana Pada Kejadian Bencana,” diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://www.infodokterku.com/component/content/article/13-macam-macam-info/yang-perlu-anda-ketahui/118-pentingnya-tanggap-darurat-bencana-pada-kejadian-bencana.html.
58
3. Suplai logistik kepada pengungsi untuk kebutuhan pangan, sandang, dan
papan.
4. Pelayanan kesehatan keliling.
5. Trauma healing di posko pengungsian.
Pada tahapan ini ACT menurunkan dari 100 orang relawan plus 200
relawan lokal desa, untuk melakukan tugasnya masing-masing maka para relawan
terbagi dalam tujuh tim, yakni: “Tim rescue (15 relawan), Tim dapur umum (10
relawan), Tim logistik (15 relawan), Tim kesehatan (15 relawan), Tim trauma
healing (10 relawan), Tim administrasi dan dokumentasi (10 relawan), Tim
assesment dan mapping (30 relawan).”22
Selain itu pada tahapan ini juga dilakukan penyelamatan (rescue) yang
bertugas menyelamatkan warga maupun ternak atau harta benda warga ke daerah
aman dari bencana. Seperti yang dikatakan mas Toto sebagai berikut:
“Sebenarnya tidak dikenal istilah tahapan rescue, yang ada tim rescue, yang masuk tahapan emergency. Secara bahasa rescue itu artinya penyelamatan jiwa warga, bahkan ternak, di wilayah terdampak erupsi Kelud. Menghindarkan warga dan ternak dari ancaman bahaya material erupsi Kelud, seperti batu, pasir, abu vulkanik, awan panas dan lahar dingin.”23
Biasanya tim rescue tidak diperbolehkan berkoordinasi secara berlebihan,
karenan sistem pekerjaannya otomatis dengan apa yang terjadi di lapangan. Oleh
sebab itu tugas penting tim rescue adalah menyelamatkan warga ke tempat yang
aman, sehingga di perlukan kerja yang cepat dan tepat serta tanggap bertindak.
Adapun koordinasi yang biasa dilakukan yakni brefing pagi maupun sore sebelum
22
Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014.
23 Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014.
59
turun ke lapangan. Alat komunikasi yang digunakan berupa HP, SMS, Holky
Tollki (HT), BBM, maupun Form.
Selain itu, pada tahapan ini pula dilakukan kegiatan medis, yang masuk
tahapan emergency. Tim medis ini melayani pemeriksaan kesehatan dan
pengobatan jika ada korban Kelud yang sakit. Kegiatan yang dilakukan pada tim
ini biasanya pemeriksaan kesehatan dan pengobatan kepada warga terdampak
letusan Kelud di posko-posko pengungsian. Kadang diselingi juga penyuluhan-
penyuluhan hidup sehat. Untuk mengurangi dampak buruk yang diterima oleh
warga. Pada tim medis ini jumlah personil yang terlibat terbagi dalam dua tim
medis, masing-masing tujuh atau delapan relawan. Tiap tim terdiri satu atau dua
dokter, dua perawat/apoteker dan sisanya relawan pembantu umum.
Pada tahapan ini biasanya masalah yang dihadapi oleh relawan yakni
makanan, tempat tinggal yang layak, tikar, masker, MCK, listrik, maupun yang
lainnya. Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh salah satu relawan “karena saya
tim pertama yang turun ke sana, yakni pada awal datang ke posko pengungsian.
Paling umum itu makan, tempat tidur yang layak, matras ini kita bagikan,
meskipun mereka sudah bawa tikar, dan masker, dan air.”24 Meskipun begitu, ada
pun kendala yang paling penting, yakni memberikan setidaknya 1.500 nasi
bungkus tiap harinya untuk kebutuhan para pengunggsi.
Serta pada tahapan ini pula dilakukan tindakan relief, yakni penanganan
pengungsi bencana letusan gunung Kelud, terutama yang ditampung di posko-
posko pengungsian, pada tahapan ini kegiatan yang dilakukan adalah pemenuhan
kebutuhan pokok warga pengungsi, seperti air bersih, air minum, pangan,
24 Wawancara pribadi dengan Erlid Setiawan, Relawan ACT, Kediri Jawa Timur,
23 Febuari 2014.
60
sandang, papan yang nyaman. Termasuk juga bimbingan psikologis dan trauma
healing, serta kesehatan. Personil yang diturukan pada tahapan ini sekitar 50
orang yang terbagi dalam; tim dapur umum, tim logistik, tim trauma healing dan
tim medis.25
Penjelasan di atas menunjukkan pola komunikasi yang saat-bencana di atas
menunjukkan sebuah pola komunikasi, yaitu tentang rentetan aliran informasi
yang mengalir dari setiap pelaku organisasi ACT. Komunikasi bisa terjadi secara
formal ataupun non-formal tergantung dari kondisinya. Peneliti melihat bahwa
pola komunikasi ACT dalam menangani bencana letusan gunung Kelud pada fase
saat bencana menggunakan pola lingkaran. Dimana komunikasi yang dilakukan
dengan berkoordinasi dengan pak camat, pak lurah dan instasi lainnya, tetapi tetap
dilakukan dengan briefing yang dilakukan pagi dan malam untuk mengevaluasi
serta koordinasi satu sama lain, baik secara tatap muka maupun menggunakan HP
dan HT. hal ini relevan dengan pola lingkaran dimana setiap anggota komunikasi
dapat berkomunikasi dengan dua anggota lainnya. Dalam briefing yang dilakukan
ini untuk menentukan bantuan berupa suplai logistik kepada pengungsi, bantuan
kesehatan dan tenda” darurat.
3. Fase Pasca-Bencana
Pasca-bencana atau lebih dikenal dengan massa pemulihan adalah pengaturan
upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang dapat
mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana
dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana secara
25 Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI
Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014.
61
terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh setelah terjadinya bencana
dengan fase-fasenya.
Salah satunya dengan mengadakan tahapan rekonstruksi. Rekonstruksi adalah
perbaikan kembali fasilitas dan rumah yang rusak akibat letusan Kelud.
Rekonstruksi ini termasuk bagian dalam tahapan recovery, yakni tahapan
pemulihan pasca bencana menuju kepada kembalinya kemandirian para korban
selamat dalam melanjutkan kehidupan diri dan keluarganya.26
Dalam fase pasca-bencana ACT melakukan tahapan recovery dengan
mengembalikan warga ke rumah masing-masing. “Sekarang sudah recovery
warga sudah kembali ke rumah masing-masing.”27 Masalah yang dihadapi dalam
pasca-bencana sangat beragam, terutama genteng, “ada program lagi yang kita
survey banyak genteng yang bocor, jadi kita buat donasi paket bantuan 10.000
genteng buat satu rumah. Targetnya 5000 rumah. Mungkin itu juga yang baru
terlaksana.”28
Fase pasca-bencana di atas menunjukkan sebuah pola komunikasi, yaitu
tentang renteran aliran informasi yang mengalir dari setiap pelaku organisasi
ACT. Komunikasi bisa terjadi secara formal ataupun non-formal tergantung dari
kondisinya. Bentuk koordinasi masih sama, “yakni briefing pagi dan malam.
Namun dalam tahapan recovery, koordinasi bisa dilaksanakan juga di lapangan
26 Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI
Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 27 Wawancara pribadi dengan Erlid Setiawan, Relawan ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 28 Wawancara pribadi dengan Erlid Setiawan, Relawan ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014.
62
pada waktu kapan saja selama perlu dan ada sesuatu yang mendesak
dikoordinasikan.”29
Peneliti melihat pola komunikasi ACT dalam menangani bencana letusan
gunung Kelud pada fase pasca bencana menggunakan pola lingkaran, karena
setiap anggota dapat berkomunikasi dengan adanya briefing yang dilakukan di posko
dan hasil diskusi tersebut dilaporkan ke atasan untuk di proses, bisa lewat form maupun
datang langsung. Hal ini relevan dengan pengertian pola lingkaran dapat berkomunikasi
dengan semua anggota organisasi. Pada fase ini, briefing dilakukan untuk membahas apa
kebutuhan yang sangat di perlukan oleh warga. Kebutuhan warga pada fase ini adalah
genteng, karena banyak rumah warga yang rusak akibat terkena dampak letusan. Briefing
dilakukan pagi dan sore agar tidak menggagu aktivitas pada siang hari dan membantu
warga membangun kembali semua fasilitas yang ada.
B. Interpretasi
Berdasarkan hasil di atas, penulis berusaha menganalisi pola komunikasi
ACT dalam penanganan bencana di gunung Kelud. Pada dasarnya ACT telah
mempunyai pola tersendiri dalam berkomunikasi yakni pola manajemen terpadu.
Hal ini terlihat dengan adanya tim dalam penanganan bencana yang ACT bentuk
dan sudah professional yakni tim emergency, tim rescue, rehabilitasion, dan
recavry. Pola ini yang digunakan ACT dalam penangangan bencana-bencana di
Indonesia.
Akan tetapi bila dilihat dari pola komunikasi yang digunakan di dalam
organisasi ACT, serta merujuk pada teori pola komunikasi Joseph A. DeVito, dari
lima pola komunikasi yang ada, ACT termasuk menggunakan pola komunikasi
29
Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014.
63
lingkaran. Pola lingkaran adalah semua anggota organisasi dapat berkomunikasi
dengan yang lainnya, mereka tidak mempunyai pemimpin serta setiap anggota
bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya.30 Berdasarkan hasil
pengamatan peneliti, komunikasi yang dilakukan ACT sangat terbuka, dimana
setiap anggota dapat berkomunikasi dengan yang lainnya secara langsung maupun
tidak langsung. Dimana setiap anggota dapat berkomunikasi dengan anggota dari
departemen lain tanpa adanya batasan. Hal ini karenakan setiap anggota ACT
sudah mengetahui tanggung jawab dan peranan masing-masing di ACT.
Komunikasi ke atas dan ke bawah di ACT dilakukan dengan rapat berjenjang, dari
mulai rapat manajemen, rapat direktorat, maupun rapat yang lainnya.
Dalam hal ini sangat relevan dengan penjelasan pola lingkaran, dimana
dengan pola komunikasi lingkaran berdasarkan teori Joseph A. DeVito, semua
anggota dapat berkomunikasi dengan anggota lainnya dan tidak mempunyai
pemimpin, meskipun dalam struktur organisasi ACT mempunyai pemimpin.
Tetapi pemimpin ACT bila dalam rapat masuk kedalam rapat-rapat manajemen
sehingga sama dengan para pegawai ACT yang berposisi sebagai manager di
ACT. serta setiap anggota dapat berkomunikasi dengan dua anggota disisinya,
yakni para karyawan ACT dapat berkomunikasi dengan dua anggota lain di
sisinya yakni dengan departemen lain maupun dengan direktorat lainnya.
Setiap anggota berkomunikasi mengenai koordinasi, penyelesaian tugas,
motivasi maupun yang lainnya. Komunikasi yang terjalin sangat lancar, semua
lini bisa membicarakan apa saja seperti; ide, saran dan masukannya, jika tidak
langsung menghadap bisa menggunakan media seperti email, telp, WA.
30
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, Penerjemah Agus Maulana (Pamulang: KARISMA Publising Grup, 2011), edisi ke-lima, h. 383
64
Bila dilihat dari kasus penanganan bencana yang dihadapi, ACT tetap
menggunakan pola lingkaran
Dalam kasus penanganan bencana di gunung Kelud, ACT membuat
beberapa struktur sesuai dengan SOP yang ada di ACT. pada situasi penangangan
bencana struktur dan proses komunikasi menggunakan sistem komando, yang
terbagi dalam tingkatan, Komandan Besar (misi-visi strategis), Komandan Area
(terjemah strategis dan taktis) wilayah, Komandan Lapangan (teknis), Komandan
Posko (teknis aplikatif), Relawan Lapangan (aplikatif realisasi). Hal ini sangat
berkaitan dengan pola rantai, akan tetapi meskipun struktur penanganan bencana
yang ACT buat dalam penanganan bencana gunung Kelud sistem komando, dalam
aktifitas komunikasinya tetap menggunakan briefing yang dilakukan setiap pagi
dan malam hari untuk mengadakan evaluasi dan memberikan intruksi sebelum
kelapangan.
Dalam penanganan bencana ACT menggunakan tiga tahapan, yakni pra-
bencana, saat bencana, dan pasca bencana. Dalam setiap tahapan tersebut ACT
tetep menggunakan pola lingkaran yang sudah terbentuk di oraganisai ACT.
Dimana setiap anggota bebas berkomunikasi dengan anggota lainnya dan anggota
yang lain dapat berkomunikasi dengan dua anggota di sisinya serta dengan
mengadakan briefing yang menjadi agenda rutin tiap struktur yang ada untuk di
evalusi di kantor ACT maupun di tempat kejadian.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Pola
komunikasi organisasi yang digunakan di Aksi Cepat Tanggap (ACT) dalam
penanganan bencana gunung Kelud di kecamatan Pare kabupaten Kediri adalah
pola lingkaran. Pola lingkaran adalah semua anggota organisasi dapat
berkomunikasi dengan yang lainnya, mereka tidak mempunyai pemimpin serta
setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain disisinya.
1. Pola komunikasi yang digunakan pada pra-bencana yakni pola lingkaran
Pola lingkaran digunakan pada saat melalui rapat-rapat manajemen
sebelum adanya bencana untuk menyiapkan SOP yang akan dilakukan di
sana serta melakukan mitigasi bencana.
2. Pola komunikasi yang digunakan saat bencana pola lingkaran. Dimana
setiap anggota yang diterjukan ke lokasi bencana dapat berkomunikasi
dengan siapa saja tetapi tetap pada struktur yang ada. Dan setiap anggota
yang ada dapat berkomunikasi dengan dua anggota di sisinya baik secara
langsung maupun tidak langsung. Serta melakukanbriefing sebagai pola
komunikasi yang biasa dilakukan di ACT untuk mengevalusi tentang
kebutuhan logistik, kebutuhan kesehatan.
3. Pola komunikasi yang digunakan pasca-bencana adalah pola lingkaran.
Dimana setiap anggota dapat berkomunikasi dengan siapa saja tetapi tetap
pada struktur yang ada. Dan anggota yang ada dapat berkomunikasi
dengan dua anggota di sisinya baik secara langsung maupun tidak
66
langsung. Serta adanya briefing yang biasa dilakukan pagi dan sore untuk
mengevaluasi prasana dan saran apa saja yang akan di bangun.
Media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan informasi adalah
briefing, grup facebook, e-mail, bbm, sms, dantelepon. Selain itu, komunikasi
secara langsung tatap muka maupun langsung juga dilakukan bila keadaan
dilapangan memungkinkan, halini bertujuan untuk mempermudah koordinasi
antar sesama karyawaan.
B. Saran
Dari uraian yang dikemukakandanfakta yang ditemukan.Maka saran-saran
penulis sebagai berikut:
1. Penulis berharap ACT diharapkan lebih banyak melakukan aksi-aksi
bantuan kemanuasiaan baik dalam maupun luar Negeri.
2. Dalam tahapan pra bencana peneliti berharap ACT melakukan aksi-
kasinyata terutama memberikan bimbingan atau pelatihan kepada
msayarakat maupun kesekolah-sekolah yang tinggal di daerah rawan
bencana, sehingga pada saat bencana masyarakat telah memahami apa
yang akan dilakukan. Serta peyampaikan informasi tentang ACT atau pun
pekerjaan kepada seluruh karyawannya sebaiknya dilakukan melalui
media tulisan juga, karena jika hanya menggunakan media online dan
tidak semua karyawan selalu update membuka jejaring sosial yang
digunakan, serta terkendalanya tempat maupun jaringan sinyal yang ada.
3. Dalam tahapan saat bencana sebaiknya ACT pusat menyediakan
perlengkapan yang lebih baik lagi kepada para relawan saat berada di
tempat kejadian, sehingga keselamatan relawaan lebih diutamakan. Serta
67
komunikasi dengan pimpinan di lapangan harus selalu terjaga dengan baik
dan nyaman, karena pimpinan berkepentingan dalam segala hal. Sehingga
terbentuklah rasa persaudaraan, dan pekerjaan dapat lebih efektif dan
effesien.Serta lebih banya lagi para relawan atau pegawai ACT yang
terlibat, sehingga mempermudah saat melakukan evakuasi maupun yang
lainnya.
4. Pada tahapan pasca bencana, peneliti berharap ACT menyediakan bantuan
yang lebih banyak, dengan mengajak atau mengadakan kerjasama dengan
instansi atau perusahan lain, dan membantu secara terus-menerus tanpa
batas, demi menjaga persaudaraan dan terbentuknya rasa kekeluargaan.
68
DAFTAR PUSTAKA.
Agama. Kementrian RI.Al-Qur’an dan Terjemahnya.Jakarta: PT. Tehazed, 2010.
Jumroni. Metode-Metode Penelitian Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Kodoatie, Robert J. dan Roestam Sjarief.Pengelolaan Bencana Terpadu.Jakarta: Yarsif Watampone, 2006.
Littlejohn, Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss.Teori Komunikasi (Theories of Human Communication). terjemahan Mohammad Yusuf Hamdan, Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2009.
Masmuh, Abdullah.Komunikasi Organisasi dalam Perspektif Teori dan Praktek. Malang: UMMPress, 2008.
Meissner, dkk, Andreas. “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System.” The First IEEE Workshop on Disaster Recovery Network, Juni 2002.
Muhammad, Arni.Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
Nurrachman, Nani. ed. Pemulihan Trauma: Pandan Praktis Pemulihan Trauma Akibat Bencana Alam.Jakarta, LPSP3 Fakultas Psikologi UI, 2007.
69
Pace R. Wayne, dan Doon F. Faules.Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
P. Robbins, Stephen. Organization Behaviour. New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2009.
Rivai, Veithzal.Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Uchjana Effendi,Onong.Spektrum Komunikasi. Bandung: Bandar Maju, 1992.
Warto dkk.UjiCoba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah. Yogyakarta: Departemen Sosial RI, 2003.
Jurnal
Arifin, Saru. “ Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel: Studi Kasus di Kabupaten Bantul”, Yogyakarta,” Jurnal FenomenaVol. 6 No.1. Maret 2008.
Dhuafa, Dompet. “Situasi Respon Erupsi Gunung Kelud,” Disaster Manangement Dompet Dhuafa. 14-17 Februari 2014.
Maarif, Syamsul. “ Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor Enam Tahun 2008: Penggunaan Dana Siap Pakai,”Perka BNPB. Desember 2008.
70
Zaennuddin, Akhmad. “Prakiraan Bahaya Erupsi Gunung Kelud.” Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi.Vol. 4 No. 2. Agustus 2009.
Web.
Annisa Auliani, Palupi “Gunung Kelud; Sejarah Panjang dan Anomali Letusan.” kompas.com, diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014
www.act.or.id, di akses tanggal 22 Desember 2013 pukul 11.00 WIB.
“Letusan Gunung,” diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari www.Wikipedia.org.id.
Pusat Data dan Informasi dan Humas, “Definisi dan Jenis Bencana,” diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari www.bnpb.go.id.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, Modul Khusus Fasilisator, Pengolahan Penanganan Bencana. Modul Khusus Fasilisator, Pengolahan Penanganan Bencana. diakses pada hari Minggu, 09 Maret 2014 dari http://www.p2kp.org/
Rikito, Abdillah. “Pengertian Gunung Meletus,” diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari http://alampenuhbencana.blogspot.com/p/gunung-meletus.html.
Wildan, Faiz “Sejarah Letusan Gunung Kelud,” diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari http://guswildancenter.blogspot.com/2014/02/sejarah-letusan-gunung-kelud.html.
Skripsi
Novianti, Dini. “Pola Komunikasi Organisasi Di Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Kampung Utan Tangerang.” Skripsi S1 Fakultas Ilmukomunikasi dan Dakwah, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009.
Soleha, Ika “Pola Komunikasi Organisasi Di PT. Arga Bangun Bangsa ESQ
Leadership Center.”Skripsi S1 Fakultas Ilmu komunikasi dan Dakwah, Universitas Islam Negeri Jakarta, tahun 2013.
Suderajat, Maulisa, “Pola Komunikasi Organisasi Di Lembaga Kemanusiaan Nasional Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU).” Skripsi S1 Fakultas Ilmukomunikasi dan Dakwah, Universitas Islam Negeri Jakarta, tahun 2014.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Nama : Totok AP
Jabatan : Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro
Hari, Tanggal : 23 Febuari 2014
Lokasi : Kecamatan Pare, Kediri
Bertugas : Relawan Posko Logistik
Assalamualaikum
Nama saya Muhammad Rifiki. Saya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah yang
sedang mengerjakan tugas akhir skripsi. Izinkan saya untuk mewawancarai bapak
untuk keperluan akademis saya. Atas kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.
Penelitian saya berkenaan dengan program bantuan yang ACT lakukan di wilayah
bencana gunung Kelud. Saya ingin mengetahui bagaimana pola komunikasi dan
organisasi ACT dalam menangani bantuan yang diberikan kepada warga korban
bencana gunung Kelud. Mohon kerjasama bapak/ibu/saudara membantu saya
menyelesaikan keperluan akademis saya.
1. Apa yang dimaksud dengan tahapan emergency dalam penanganan bencana di
Kelud?
Tahap emergency adalah tahap tanggap-darurat penanggulangan korban bencana pada
saat terjadi bencana dan berlanjut setelahnya hingga batas waktu yang ditentukan
kemudian. Untuk di Kelud ini ACT/MRI membatasi masa emergency selama sepekan
atau seminggu pasca bencana, 14-20 Februari 2014.
Selain itu juga mengikuti batas waktu tanggap darurat yang ditetapkan pemerintah,
baik kabupaten, provinsi ataupun pusat, yakni sebulan pasca bencana dari 14 Februari
2014 hingga 14 Maret 2014.
2. Apa saja kegiatan yang dilakukan pada tahapan emergency dalam penanganan
bencana di Kelud?
Yang dilakukan pada tahap emergency:
a. Evakuasi pengungsi ke tempat pengungsian di Kecamatan Pare (Masjid
Agung Annur dan Gedung Serba Guna)
b. Membuat dapur umum untuk pengungsi di halaman Kantor Kecamatan Pare
c. Suplai logistik kepada pengungsi untuk kebutuhan pangan, sandang, dan
papan
d. Pelayanan kesehatan keliling
e. Trauma healing di posko pengungsian
3. Berapa personil/relawan yang diterjunkan pada tahapan emergency dalam
penanganan bencana di Kelud?
Personil yang diterjunkan lebih dari 100 orang relawan plus 200 relawan lokal desa
4. Apa saja tugas masing-masing tiap personil pada tahapan emergency dalam
penanganan bencana di Kelud?
Para relawan terbagi dalam 7 tim, yakni:
a. Tim rescue (15 relawan)
b. Tim dapur umum (10 relawan)
c. Tim logistik (15 relawan)
d. Tim kesehatan (15 relawan)
e. Tim trauma healing (10 relawan)
f. Tim administrasi dan dokumentasi (10 relawan)
g. Tim assesmen dan mapping (30 relawan)
5. Bagaimana proses komunikasi keatas dan kebawah pada tahapan emergency dalam
penanganan bencana di Kelud?
Pada situasi penangangan bencana tahap emergency struktur dan proses komunikasi
menggunakan sistim komando, yang terbagi dalam tingkatan:
- Komandan Besar (misi-visi strategis)
- Komandan Area (terjemah strategis dan taktis)
- Komandan lapangan (teknis)
- Komandan Posko (teknis aplikatif)
- Relawan lapangan (aplikatif realisasi)
Proses komunikasi dari atas dan bawah dilakukan bertahap menurut jenjang struktur
komando. Jadi misalnya komandan besar tidak perlu memerintah langsung komandan
posko atau relawan lapangan. Begitu juga sebaliknya.
6. Bagaimana bentuk koordinasi sesama personil pada tahapan emergency dalam
penanganan bencana di Kelud?
Pada fase emergency, koordinasi antar komandan dan posko rutin dilakukan pada
pagi dan malam hari. Bentuknya briefing pagi sebelum ke lapangan, biasanya jam
05.30-06.30 Wib, berisi pemantapan agenda kerja hari itu, lengkap dengan
pembagian tugas personil dan teknis pelaksanaannya. Kemudian, briefing malam,
biasanya jam 20.00-22.00 Wib, berisi evaluasi tugas hari bersangkutan dan rencana
tugas hari esoknya.
Sementara untuk koordinasi saat tugas di lapangan, siang harinya, biasanya para
relawan dan komandan berkoordinasi lewat telepon dan HT.
7. Apa yang dimaksud dengan tahapan rescue dalam penanganan bencana di Kelud?
Bagaimana jawabnya ya? sebenarnya tidak dikenal istilah tahapan rescue, yang ada
tim rescue, yang masuk tahapan emergency. Secara bahasa rescue itu artinya ya
penyelamatan jiwa warga, bahkan ternak, di wilayah terdampak erupsi Kelud.
Menghindarkan warga dan ternak dari ancaman bahaya material erupsi Kelud, seperti
batu, pasir, abu vulkanis, awan panas dan lahar dingin.
8. Apa saja kegiatan yang dilakukan pada tahapan rescue dalam penanganan bencana di
Kelud?
Paling inti ya mengevakuasi warga, juga hewan ternak, daerah terdampak, keluar dari
ring 1 dan ring 2 daerah bencana, yakni diluar jarak 20 kilometer dari puncak Kelud.
9. Berapa personil/relawan yang diterjunkan pada tahapan rescue dalam penanganan
bencana di Kelud?
Sekira 15 relawan
10. Apa saja tugas masing-masing tiap personil pada tahapan rescue dalam penanganan
bencana di Kelud?
Pembagian tugas ini biasanya otomatis terjadi saat beraksi di lapangan. Misalnya
yang pasti ada ya sopir mobil rescue, yang lain itu menyesuaikan kondisi lapangan
dan korban. Yang pasti tugas pokonya adalah penyelamatan jiwa.
11. Bagaimana proses komunikasi keatas dan kebawah pada tahapan rescue dalam
penanganan bencana di Kelud?
Proses komunikasi ke atas dan ke bawah harus tetap mematuhi jenjang strata
komando. Kalau di lapangan ya cukup lewat HT dan telepon.
12. Bagaimana bentuk koordinasi sesama personil pada tahapan rescue dalam
penanganan bencana di Kelud?
Kalau tim rescue itu tidak boleh banyak koordinasi he...he...he...mereka harus cepat
dan tepat, serta tanggap bertindak. Biasanya kalau relawan rescue itu “insting”
penolongnya akan bereaksi otomatis. Koordinasi dilakukan pada pagi, sebelum
beraksi, dan malam hari saja.
13. Apa yang dimaksud tahapan medis dalam penanganan bencana di Kelud?
Juga tidak dikenal tahapan medis, yang ada tim medis, yang masuk tahapan
emergency. Tim medis ini melayani pemeriksaan kesehatan dan pengobatan jika ada
korban Kelud yang sakit.
14. Apa saja kegiatan yang dilakukan pada tahapan medis dalam penanganan bencana di
Kelud?
Kegiatan intinya, ya pemeriksaan kesehatan dan pengobatan kepada warga terdampak
erupsi Kelud di posko-posko pengungsian. Kadang diselipi juga penyuluhan-
penyuluhan hidup sehat.
15. Berapa personil/relawan yang diterjunkan pada tahapan medis dalam penanganan
bencana di Kelud?
Sekira 15 relawan
16. Apa saja tugas masing-masing tiap personil pada tahapan medis dalam penanganan
bencana di Kelud?
Terbagi dua tim medis, masing-masing 7 atau 8 relawan. Tiap tim terdiri 1 atau 2
dokter, 2 perawat/apoteker dan sisanya relawan pembantu umum.
17. Bagaimana proses komunikasi keatas dan kebawah pada tahapan medis dalam
penanganan bencana di Kelud?
Proses komuniksi ke atas dan ke bawah harus tetap mematuhi jenjang strata
komando. Kalau di lapangan ya cukup lewat HT dan telepon.
18. Bagaimana bentuk koordinasi sesame personil pada tahapan medis dalam
penanganan bencana di Kelud?
Koordinasi dilakukan pada pagi, sebelum beraksi, dan malam hari saja
19. Apa yang dimaksud relief dalam penanganan bencana di Kelud?
Relief itu penanganan pengungsi bencana erupsi Kelud, terutama yang ditampung di
posko-posko pengungsian.
20. Apa saja kegiatan yang dilakukan pada tahapan relief dalam penanganan bencana di
Kelud?
Kegiatannya adalah pemenuhan kebutuhan pokok warga pengungsi, seperti air bersih,
air minum, pangan, sandang, papan yang nyaman. Termasuk juga bimbingan
psikologis dan trauma healing, serta kesehatan.
21. Berapa personil/relawan yang diterjunkan pada tahapan relief dalam penanganan
bencana di Kelud?
Sekira 50 relawan
22. Apa saja tugas masing-masing tiap personil pada tahapan relief dalam penanganan
bencana di Kelud?
Personil terbagi dalam; tim dapur umum, tim logistik, tim trauma healing dan tim
medis.
23. Bagaimana proses komunikasi keatas dan kebawah pada tahapan relief dalam
penanganan bencana di Kelud?
Proses komunikasi ke atas dan ke bawah harus tetap mematuhi jenjang strata
komando. Kalau di lapangan ya cukup lewat HT dan telepon.
24. Bagaimana bentuk koordinasi sesame personil pada tahapan relief dalam penanganan
bencana di Kelud?
Koordinasi dilakukan pada pagi, sebelum beraksi, dan malam hari saja
25. Apa yang dimaksud rekontruksi dan recovery dalam penanganan bencana di Kelud?
Rekonstruksi adalah perbaikan kembali fasilitas dan rumah yang rusak akibat erupsi
Kelud. Rekonstruksi ini termasuk bagian dalam tahapan recovery, yakni tahapan
pemulihan pasca bencana menuju kepada kembalinya kemandirian para korban
selamat dalam melanjutkan kehidupan diri dan keluarganya.
26. Apa saja kegiatan yang dilakukan pada tahapan rekontruksi dan recovery dalam
penanganan bencana di Kelud?
Kegiatan rekonstruksi yang dilakukan adalah memperbaiki dan mengganti atap
genteng rumah warga dan fasilitas umum dan ibadah yang pecah akibat tertimpa
material vulkanis Kelud. Saat ini ACT sudah menyerahkan 200 ribu biji genteng baru
kepada korban Kelud di Desa Satak, kec. Puncu dan Desa Asmarabangun, Kec,
Puncu. Selanjutnya bantuan ini akan terus bertambah seiring banyaknya donasi dan
wakaf genteng dari publik dan perusahaan.
Secara umum recovery, nanti ada juga pemulihan kondisi ekonomi dan sosial yang
berorientasi pada terjadinya multiplier effect, berkelanjutan dan berbasis sumber daya
lokal.
27. Berapa personil/relawan yang diterjunkan pada tahapan rekontruksi dan recovery
dalam penanganan bencana di Kelud?
Sekira 200 relawan, mayoritas relawan lokal dari desa terdampak
28. Apa saja tugas masing-masing tiap personil pada tahapan rekontruksi dan recovery
dalam penanganan bencana di Kelud?
Tugas disesusaikan kondisi di lapangan, misalnya ada yang jadi relawan pemetaan
dan pendekatan pada warga yang daerahnya menjadi sasaran program, ada yang
menjadi fasilitator program, relawan tukang kayu, relawan pendamping,
administratur, dan sebagainya
29. Bagaimana proses komunikasi keatas dan kebawah pada tahapan rekontruksi dan
recovery dalam penanganan bencana di Kelud?
Karena tahap recovery berbeda dengan tahap emergency, maka proses
komunikasinya lebih partisipatif. Artinya, proses komunikasi berlangsung cair,
meskipun tetap mempertimbangkan strata komando. Kapan saja dan dengan siapa
saja proses komunikasi bisa dilakukan. Media komunikasinya bisa linsan, tertulis,
lewat telepon, sms, HT, email, BBM dan lainnya.
30. Bagaimana bentuk koordinasi sesame personil pada tahapan rekontruksi dan
recovery dalam penanganan bencana di Kelud?
Bentuk koordinasi yang baku masih sama, yakni briefing pagi dan malam. Namun
dalam tahapan recovery, koordinasi bisa dilaksanakan juga di lapangan pada waktu
kapan saja selama perlu dan ada sesuatu yang mendesak dikoordinasikan. Lebih
fleksibel daripada tahapan emergency
31. Apakah relawan/personil bias langsung memberikan informasi/laporan ke kantor
ACT pusat?
Setiap relawan diberi hak dan kewajiban untuk memberikan informasi atau laporan
terkait bencana dan program penanganannya, kepada kantor ACT Pusat. Informasi-
laporan bisa dilakuakn secara lisan lewat telepon, atau tertulis lewat sms, FB, BBM,
WA, tweeter, email atau media lain.
Narasumber pewawancara
Totok AP (Muhammad Rifki)
HASIL WAWANCARA
Nama : Insan Nurrahman
Jabatan : Vice Presiden ACT (Ketua Posko Bantuan Nasional ACT).
Hari/Tanggal : Sabtu, 23 Febuari 2014.
Lokasi : Posko Logistik ACT.
Assalamualaikum
Nama saya Muhammad Rifiki. Saya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
yang sedang mengerjakan tugas akhir skripsi. Izinkan saya untuk wawancara
dalam keperluan akademis saya. Atas kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.
Penelitian saya berkenaan dengan program bantuan yang ACT lakukan di wilayah
bencana gunung Kelud. Saya ingin mengetahui bagaimana pola komunikasi dan
organisasi ACT dalam menangani bantuan yang diberikan kepada wagra korban
bencana gunung Kelud. Mohon kerjasama bapak/ibu/saudara/i membantu saya
menyelesaikan keperluan akademis saya.
Pertanyaan:
1. Berapa umur bpk/ibu/sdr?
42 tahun
2. Apa saja tugas pos komando (bpk/ibu/sdr) dalam program bantuan
ini?
Yah, kita punya induk posko nasional di Jakarta yang membawahi seluruh
bencana Naisonal, saya baru ketua posko Nasional di Jakarta, kita engga
cuma di Kelud, ada di Sinabung. Masih membangun infrastruktur dan air
bersih, kita juga punya program di manado. Pantura dan di Kelud, Dll.
Maka kita sebut posko Nasional. Tiap wilayah kita punya nama nya posko
induk atau posko wilayah, kalo Kelud karena ada 3 kabupaten maka di
buat posko induk. Yah tugasnya memastikan semua kegiatan penanganan
bencana ditanggap darurat dan memasuki fase recovery inikan sudah
setengah recovery, seluruh kegiatan kita di posko harus bertangung jawab,
mulai dari logistic kesehatan yang belum disini trauma healling. Tapi
besok baru trauma healling, kita di undang kak Setto di 2 sekolah. Kita
semua koordinasi dengan pak Camat, pak Lurah dan instasi lainnya. Serta
adanya Srimullat. Yah semacam menghiburlah, agar mereka melepas
lelah, termasuk melakukan evakuasi, medis, trauma healling, dan relief
bantuan untuk pengunggsi dan dapur umum, dari tanggal 14 sampai hari
ini, sekarang masuk recovery memberikan bantuan sekitar 190.000
genteng sampai hari ini, kita kan terus berlanjut termasuk infrastruktur
kelurahan dan sekolah satta, posko induk memastikan semuanya, yakni
bagaimana mengelola relawan, resous, membangun kemitraan, butuh data
dari sakorlak, dan instasi lain di sini, kaya besok saya bertemu dengan
Dinas Sosial, kepala Dinas UKM, bagaimana memastikan recovery nya
jalan. Kita komando ada di pemerintah, Saya bertemu meraka agar fase
recovery tidak over lepping dengan mereka. Saya sampe pak Camat, dan
en aarok, lainnya. Posko induk bisa berjalan, sehingga temen di lapangan
berkoordinasi dengan baik, posko induk kita juga berkomunikasi dengan
pusat tentang bantuan makanan, sumber daya lapangan, dan bantuan dari
pusat, posko induk menjadi pusat komando laporan informasi dilapangan.
Kalo posko unit, untuk mempermudah jangkauan-jangkauan kita, untuk
berkomunikasi dan berkordinasi kebutuhan kita. Disini karena kita kurang
kuat jadi Cuma mendirikan induk posko unit di sini.
3. Apa saja bentuk informasi yang diberikan pos komando (bpk/ibu/sdr)
kepada para relawan?
Yah posko kan punya pengurus atau struktur, bicara komando, saya punya
alur komando, di sinilah struktur berjalan, saya engga semudah langsung
ke bawah, walaupun saya punya wewenang itu, saya disini bukan sebagai
komando wilayah disini, saya memang punya staf di sini dari Jakarta, yang
menjadi komandan saya disni, saya merepisi temen-temen untuk
membentuk posko induk disini, saya tetep berkoordinasi dengan pusat,
yang tugasnya memastikan struktur di sini dapat berjalan. Kalo langsung
ke bawah saya hanya memberikan arahan, dan motivasi, tapi intruksi dari
staf saya dan komandan saya disini, mas Andika namanya. Dari sanalah
beliau yang men-delivery kegiatan kesehatan, relief dan recovery, trauma
healling. Kita punya sub komando.
4. Apa aplikasi yang digunakan pos komando (bpk/ibu/sdr) untuk
mengolah dan menganalisis laporan/informasi dari para relawan?
Saya mempunyai struktur komando, saya punya grup sendiri tentang
posko wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, saya punya grup dengan puluhan
wilayah, aplikasinya WA (WhatsAap) dan BBM (Blackberry Messenger)
untuk menjalankan roda organisasi, semua bergabung dengan MRI,
bagian dari anggotanya ACT, jadi kejadian yang terjadi di relawan
maupun dilapangan saya mengetahui. Kerena kan relawan butuh di
manenite.
5. Bagaimana cara pos komando (bpk/ibu/sdr) menanggapi
informasi/laporan yang diberikan relawan?
yah pertama itu kita kroscek dulu, bila dari tim kami ada yang kenal
dengan relawan tersebut, dan relawan tersebut merupakan relawan kami,
maka kami akan memproses laporan yang diberikan dan langsung di
proses di pos komando kemudiaan memberikan apa yang di butuhkan oleh
relalawan.
6. Apa saja alat yang disediakan pos komando (bpk/ibu/sdr) untuk para
relawan?
Radio dan HT serta radio ralling untuk mengetahui keadaan relawaan
dilapangan, sehingga bila ada bencana langsung saya kasih tau pada
relawan dilapangan.
7. Bagaimana cara pos komando (bpk/ibu/sdr) membagi informasi
penting samapi tidak penting?
Kita kan punya informasi tidak satu pihak, setelah dapat informasi, di
kroscek, jejaring lokal itu penting, karena saya mendapat informasi dari
penyeimbang juga seperti dari media maupun warga setempat, misal ada
posko yang belum terkena itu informasi dari setiap posko, kalo dari
sakorlak itu berartikan formal, dan penting. Bila ada informasi tidak
penting itu belum terjadi, kecuali ada seseorang yang melapor dan tidak
kenal baru saya tidak respon. Karenan ini organisasi jadi struktur dan
fungsi jelas. Jadi kami tau semua.
8. Bagaimana proses penginformasian yang dilakukan pos komando
(bpk/ibu/sdr) kepada para relawan?
Dari organisai, karena saya orang kedua lah dari organisasi, dari pusat.
Saya dapet informasi dari atas, saya sampaikan ke posko Nasional, ke
posko induk, posko daerah, baru kerelawan. begitu dapat informasi dari