Top Banner
Volume 16 Nomor 2, Agustus Tahun 2019 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Research, Development and Inovation Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change BOGOR - INDONESIA p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221 TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 21/E/KPT/2018 JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN Forestry Socio and Economic Research Journal Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.16, No.2, Agustus 2019: 81-149
91

JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Jan 22, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Volume 16 Nomor 2, Agustus Tahun 2019

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Inovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

p-ISSN 1979-6013e-ISSN 2502-4221TERAKREDITASI

RISTEKDIKTI No. 21/E/KPT/2018

JURNALPENELITIANSOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANANForestry Socio and Economic Research Journal

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi K

ehutanan Vol.16, No.2, A

gustus 2019: 81-149

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Inovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

Page 2: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan telah terakreditasi berdasarkan Keputusan Kementerian Riset,Teknologi dan Pendidikan Tinggi (RISTEKDIKTI) Nomor 21/E/KPT/2018, termasuk peringkat kedua (Sinta-2), berlaku mulai 2016 sampai dengan 2020 Jurnal Penelitian Sosial . dan Ekonomi Kehutanan memuat karya tulis ilmiah dari hasil-hasil penelitian bidang sosial, ekonomi dan lingkungan kehutanan yang meliputi aspek: sosial ekonomi kemasyarakatan, sosiologi kehutanan, politik dan ekonomi kehutanan, studi kemasyarakatan, kebijakan lingkungan, ekonomi kehutanan/sumber daya hutan, ekonomi sumber daya alam, ekonomi pertanian, ekonomi ekoturisme, furniture value chain, kehutanan masyarakat, kebijakan kehutanan, kebijakan publik, perubahan iklim, ekologi dan manajemen lanskap, konservasi sumber daya alam, kebakaran hutan dan lahan, global climate change, konservasi tanah dan air, agroklimatologi dan lingkungan, mitigasi REDD+, adaptasi perubahan iklim. Terbit pertama kali tahun 2001, terakreditasi tahun 2006 dengan Nomor 60/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan terbit dengan frekuensi tiga kali setahun (April, Agustus, Desember).

Forestry Socio and Economic Research Journal (FSERJ) is an accredited journal, based on the decree of Ministry of Research, Technology and Higher Education (RISTEKDIKTI) Number 21/E/KPT/2018 with Second Grade (Sinta-2) from 2016 to 2020. This journal publishes result research in forest socio-economics and environment which cover: socio economics on community, sociology forestry, political dan economic on forestry, social studies, environmental policy, forest resource economics, natural reources economics, agricultural economy, ecotourism ekonomy, furniture value chain, community forestry, forestry policy, public policy, climate change, ecology and landscpae management, conservation of natural resources, land and forest fire, global climate change, soil and water conservation, agroclimatology and environment, mitigation REDD+, adaptation to climate change. First published in 2001, accredited by LIPI in 2006 with Number 60/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006. FSERJ is published three times annually (April, August, and December).

Penanggung Jawab (Advisory Editor) : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

DEWAN REDAKSI (EDITORIAL BOARD) :

Ketua (Editor in Chief) : Dr. R. Deden Djaenudin, S.Si, M.Si. (P3SEKPI)

Redaktur (Managing Editor) : Dana Apriyanto, S.Hut., M.T., M.Sc. (P3SEKPI)

Initial Reviewer : Dr. Nunung Parlinah, S.Hut., M.Si. (P3SEKPI)

Editor Bagian (Section Editors) : 1. M. Iqbal, S.Hut, M.Si. (P3SEKPI)2. Andri Setiadi K, S.E (P3SEKPI)3. Shella, A.Md (P3SEKPI)

Mitra Bebestari (Peer Reviewers) : 1. Prof. Ir. Yonariza,M.Sc.,Ph.D. (Manajemen Sumber Daya Hutan, Universitas Andalas)2. Prof. Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. (Kebijakan Kehutanan, Mitigasi, REDD+, Adaptasi Perubahan Iklim dan

Furniture Value Chain, CIFOR)3. Prof. Dr.Ir. Dudung Darusman, M.Sc. (Kebijakan Kehutanan, IPB)4. Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc. (Ekonomi dan Sumber Daya Hutan, IPDN)5. Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.Sc. (Ekonomi dan Manajemen Lanskap, IPB)6. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. (Kebakaran Hutan dan Lahan, Perusakan Lingkungan Hidup dan

Global Climate Change, IPB)7. Prof. Bahruni (Forestry Economic Science, IPB)8. Prof.Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S. (Fakultas Kehutanan, IPB)9. Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, M.S. (Konservasi Tanah dan Air, MKTI)10. Dr. Mety Ekayani,S.Hut, M.Sc. (Resources Economics, Ecotourism Economics, Environmental Policy, IPB)11. Prof.Dr.Ir. Didik Suhrdjito, M.S. (Sosiologi Kehutanan dan Kehutanan Masyarakat, IPB)12. Dr. Ir. Frida Sidik, M.Sc. (Mangrove, Konservasi Sumber Daya Pesisir, Perubahan Iklim, Kementerian Kelautan

dan Perikanan)13. Prof. Dr. Ir. Irsal Las, M.S. (Agroklimatologi, BBSDLP Kementerian Pertanian)14. Drs. Edi Basuno, M.Phil., Ph.D. (Sosiologi Pertanian, CIVAS)15. Dr. I Wayan Susi Dharmawan, S.Hut., M.Si. (Hidrologi dan Kesuburan Tanah, Pusat Litbang Hutan, Pusat Litbang

Hutan)16. Dr. Nurul Laksmi Winarndi (Climate Change Adaptation, UI)17. Dr. Sahara, S.P., M.Si. (Ekonomi Regional, Transformasi Pasar, Supply and Value Chain, IPB)

Anggota Dewan Redaksi (Reviewers) : 1. Prof. Herman Hidayat (Studi dan Kemasyarakatan, LIPI)2. Dr. Ir. Erwidodo, M.S. (Ekonomi Pertanian, Puslitsosek Pertanian)3. Dr. Ir. Satria Astana, M.Sc. (Ekonomi SDA & Lingkungan, P3SEKPI)4. Drs. Lukas R. Wibowo, M.Sc., Ph.D. (Sosiologi Lingkungan, P3SEKPI)5. Ir. Subarudi, M. Wood.Sc. (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)6. Dr. Fitri Nurfatriani, S.Hut, M.Si. (Ekonomi SDA & Lingkungan, P3SEKPI)7. Dr. Ir. Retno Maryani, M.Sc. (Kebijakan Publik, P3SEKPI)8. Dr. R. Deden Djaenudin, S.Si., M.Si. (Ekonomi SDA & Lingkungan, P3SEKPI) 9. Drs. Bugi Kabul Sumirat, M.Phill. (Sosiologi Lingkungan, P3SEKPI)10. Aneka Prawesti Suka, S.Sos., M.SE., M.A (Sosiol Ekonomi, P3SEKPI)11. Mega Lugina, S.Hut., M.For.Sc. (Ekonomi SDA & Lingkungan, P3SEKPI)12. Dr. M. Zahrul Muttaqin, S.Hut., M.For.Sc. (Ekonomi SDA & Lingkungan, Biro KLN)

REDAKSI PELAKSANA (EDITORIAL TEAM) :

Penyunying Bahasa (Copy Editors) : 1. Dana Apriyanto, S.Hut., M.T., M.Sc.2. Drh. Faustina Ida Harjanti, M.Sc.3. Drs. Haryono

Penyunting Tata Letak (Layout Editor) : Suhardi Mardiansyah

Administrasi Laman E-journal (Web Admin)

: Shella, AM.d

Proof Reader : Dr. Ir. Hariyatno Dwiprabowo, M.Sc.

Sekretariat (Secretariat) : 1. Fulki Hendrawan, S.Hut.2. Parulian Pangaribuan, S.Sos

Diterbitkan oleh (Published by):Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim(Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change)Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (Research, Development and Innovation Agency)Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ministry of Environment and Forestry)Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 272 Bogor 16118, IndonesiaTelepon (Phone) : 62-251-8633944Fax. (Fax.) : 62-251-8634924E-mail : [email protected]; [email protected] (Web) : www.puspijak.org

p-ISSN 1979-6013e-ISSN 2502-4221

No. 21/E/KPT/2018JURNAL PENELITIANSOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANANForestry Socio and Economic Research JournalVolume 16 Nomor 2, Agustus Tahun 2019

Page 3: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

p-ISSN 1979-6013e-ISSN 2502-4221

No. 21/E/KPT/2018JURNAL PENELITIANSOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANANForestry Socio and Economic Research Journal

Volume 16 Nomor 2, Agustus Tahun 2019

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Innovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

Page 4: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Ucapan Terima Kasih

Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah naskah-naskah yang dimuat pada edisi Vol. 16 No. 2, Agustus Tahun 2019. Mitra Bestari dimaksud adalah:

1. Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS 2. Dr. Ir. I Wayan Susi Dharmawan, S.Hut, M.Si 3. Dr. Ir. Boen M Purnama 4. Prof. Dr. Didik Suharjito, M.Si

Page 5: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

p-ISSN 1979-6013e-ISSN 2502-4221

No. 21/E/KPT/2018JURNAL PENELITIANSOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANANForestry Socio and Economic Research Journal

Volume 16 Nomor 2, Agustus Tahun 2019

DAFTAR ISI

ANALISIS MATA PENCAHARIAN DI LAHAN GAMBUT: KASUS KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT(Analysis of Livelihoods in Peat Land: The Case of Tanjung Jabung Barat Regency)Surati, Setiasih Irawanti, Dian Charity, Handoyo, Kuncoro Ariawan, Andri Setiadi Kurniawan, & R.M. Mulyadin .................................................................. 81-93

EVALUASI KINERJA SOSIAL EKONOMI DAS BRANTAS BERDASARKAN PENERAPAN P61/MENHUT-II/2014(Evaluation of Socio Economic Performance of the Brantas Watershed Based on Aplication of P61/Menhut-II/2014)Nur Ainun Jariyah ................................................................................................. 95-113

NILAI EKONOMI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN BUTON UTARA, PROVINSI SULAWESI TENGGARA(Social and Economic Valuation of Mangrove Forest Ecosystem in North Buton Regency, Southeast Sulawesi Province)Firman Syah, Leti Sundawati, & Bahruni ........................................................... 115-126

PENINGKATAN PERAN GENDER DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI KONAWE SELATAN, PROVINSI SULAWESI TENGGARA(Strengthening Gender Role in Managing Private Forests in South Konawe, South East Sulawesi Province)Nurhaedah Muin, Achmad Rizal H. Bisjoe, Bugi K. Sumirat, & Wahyudi Isnan.. 127-135

PERAN STAKEHOLDER DALAM IMPLEMENTASI IMBAL JASA LINGKUNGAN AIR DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG, KABUPATEN PANGKEP, SULAWESI SELATAN(The Role of Stakeholders in the Implementation of Payment forWater Environmental Services in The Bantimurung Bulusaraung National Park, Pangkep Regency, South Sulawesi)Nur Hayati & Abd. Kadir Wakka ........................................................................... 137-149

Page 6: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...
Page 7: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN

p-ISSN: 1979-6013e-ISSN: 2502-4221 Terbit : Agustus 2019

Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya

UDC(OSDCF) 630*652.2

Surati, Setiasih Irawanti, Dian Charity, Handoyo, Kuncoro Ariawan, Andri Setiadi Kurniawan, & R.M. Mulyadin

Analisis Mata Pencaharian di Lahan Gambut: Kasus Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No. 2, hal. 81- 93

Kegiatan yang dapat menjadi sumber mata pencaharian dan pendapatan di lahan gambut yaitu perkebunan, pertanian, dan hasil hutan lainnya. Pendapatan dari non lahan yaitu wirausaha, jasa tenaga, dan peternakan. Mata pencaharian masyarakat umumnya sebagai pekebun, komoditi andalan pinang, kopi, dan kelapa sawit. Pendapatan rata-rata lebih besar dari upah minimum provinsi yaitu Rp4.467.282,61 per bulan. Pendapatan dari lahan gambut dapat memenuhi kebutuhan hidup layak. Terdapat keterbatasan pengetahuan dalam mengolah lahan, pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi biofisik lahan gambut, serta cara mengatasi serangan hama penyakit tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu menyediakan pilihan kegiatan dan sumber mata pencaharian.

Kata kunci: Lahan gambut, mata pencaharian, pendapatan.

UDC(OSDCF) 630*652.4

Firman Syah, Leti Sundawati, & Bahruni

Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Kabupaten Buton Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No. 2, hal. 115-126

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan yang mempunyai fungsi ekonomi serta sebagai tempat untuk memijah mahluk hidup. Penelitian ini bertujuan menganalisis persepsi masyarakat terhadap ekosistem hutan mangrove dan melakukan valuasi ekonomi ekosistem mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat tentang manfaat hutan mangrove dan persepsi masyarakat tentang perlindungan hutan mangrove masih tergolong tinggi. Menurut persepsi masyarakat, penyebab utama kerusakan hutan mangrove adalah pengambilan kayu bakar yang sangat mendesak. Kuantifikasi seluruh nilai ekonomi ekosistem mangrove di Desa Kalibu sebesar Rp8.680.773.742 per tahun sedangkan di Desa Eelahaji sebesar Rp6.144.339.375 per tahun..

Kata kunci: Mangrove, masyarakat, persepsi, valuasi ekonomi.

UDC(OSDCF) 630*931

Eni Suhesti & Hadinoto

Evaluasi Kinerja Sosial Ekonomi DAS Brantas berdasarkan Penerapan P.61/Menhut-II/2014

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No. 2, hal. 95-113

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sistem pengelolaan DAS Brantas, mengevaluasi kinerja DAS agar dapat digunakan sebagai salah satu masukan bagi penetapan kebijakan dan perencanaan pengelolaan DAS, serta menyusun rekomendasi kebijakan pengelolaan DAS Brantas yang lebih baik dan berdayaguna mengevaluasi sistem pengelolaan DAS Brantas. Penelitian dilakukan di DAS Brantas tahun 2016. Metode menggunakan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.61/Menhut-II/2014. Data sekunder diperoleh dari dinas terkait. Hasil penelitian menunjukkan DAS Brantas dalam kondisi baik, yang menjadi perhatian penting adalah jumlah penduduk padat dan klasifikasi nilai bangunan air tinggi. Pemerintah perlu melakukan (1) alternatif mata pencaharian lain di luar sektor pertanian mengatasi tingginya tekanan penduduk, (2) pemeliharaan fungsi kawasan resapan beserta sumber-sumber air untuk mengurangi tingkat sedimentasi di bangunan airn.

Kata kunci: Pengelolaan DAS, DAS Brantas, monitoring, evaluasi, kinerja DAS.

UDC(OSDCF) 630*922.2

Nurhaedah Muin, Achmad Rizal H. Bisjoe, Bugi K. Sumirat, & Wahyudi Isnan

Peningkatan Peran Gender dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No. 2, hal. 127-135

Komposisi hutan rakyat terdiri dari tanaman kayu, pertanian, dan tanaman bawah, memungkinkan pembagian peran gender dalam pengelolaannya, seperti terjadi di Konawe Selatan. Penelitian menggunakan metode survei dan wawancara melalui Focus Group Discussion (FGD). Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki berperan dominan dalam pengelolaan tanaman kayu, sedangkan perempuan dominan dalam budidaya tanaman bawah. Keterlibatan perempuan membantu ekonomi keluarga melalui pemenuhan konsumsi serta kebutuhan sehari-hari lainnya. Kegiatan pendukung pengelolaan hutan rakyat seperti menghadiri pertemuan dan menjadi administrator kelompok tani didominasi laki-laki. Untuk alasan ini, perlu dipertimbangkan keterlibatan secara proporsional perempuan dalam pengelolaan hutan rakyat dan pendukungnya.

Kata kunci: Pendapatan keluarga, distribusi peran gender, hutan rakyat.

Page 8: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

UDC(OSDCF) 630*907.3

Nur Hayati & Abd. Kadir Wakka

Peran Stakeholder dalam Implementasi Imbal Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Pangkep, Sulawesi SelatanJurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Vol. 16 No. 2, hal. 137-149

Penelitian ini bertujuan memetakan stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan jasa lingkungan (jasa lingkungan) air di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) dan stakeholder yang perlu dilibatkan jika konsep pembayaran jasa lingkungan akan diterapkan di TN Babul. Data dianalisis dengan analisis stakeholder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stakeholder yang dapat dilibatkan secara langsung dalam pemanfaatan jasa lingkungan air terkait dengan kegiatan pembayaran jasa lingkungan air adalah masyarakat sekitar kawasan, industri, PDAM, TN Babul, dan pemerintah desa.

Kata kunci: Analisis stakeholder; pemetaan stakeholder; imbal jasa lingkungan air; TN Babul.

Page 9: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

FORESTRY SOCIO AND ECONOMIC RESEARCH JOURNAL

p-ISSN: 1979-6013e-ISSN: 2502-4221 Date of issue: August 2019

Keywords given are free term. The abstracts sheet may be reproduced without permission or charge

UDC(OSDCF) 630*652.2

Surati, Setiasih Irawanti, Dian Charity, Handoyo, Kuncoro Ariawan, Andri Setiadi Kurniawan, & R.M. Mulyadin

Analysis of Livelihoods in Peat Land: The Case of Tanjung Jabung Barat Regency

Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 16 No. 2, p. 81-93

Activities can be source of livelihood and income in peatland are plantation, agriculture, and other forest product. Income from non-land are entrepreneurship, services and livestock. People’s livelihoods are generally as plantation farmers, with main commodities are pinang, coffee, and palm oil, with average income greater than UMP up to Rp4,467,282.61. Income from peatland can fullfill their needs properly. There is limited knowledge of farmer in cultivating land, selection of plant species that can be adapted to biophysical conditions, and how to cope with pest and diseases. To overcome, it is necessary to provide alternative activities and sources of livelihood.

Keywords: Peatland, livelihood, income.

UDC(OSDCF) 630*652.4

Firman Syah, Leti Sundawati, & Bahruni

Social and Economic Valuation of Mangrove Forest Ecosystem in North Buton Regency, Southeast Sulawesi Province

Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 16 No. 2, p. 115-126

Mangrove forest is the main life-supporting ecosystem, which is important in coastal and marine areas that have economic function and as a spawning ground for living things. This study aim to analyze the community perception as well as find out economic value generated from mangrove ecosystem. The results showed that ccommunity perception to the benefit of mangrove forest and forest protection was still in high category. According to the community perception, the main reason of mangrove forest degradation was due to mangrove wood collection for fire wood. The quantification of all mangrove values for Kalibu village was IDR 765,124,068 per year while in Eelahaji village was IDR 621,370,000 per year..

Keywords: Community, mangrove, perception, economic valuation.

UDC(OSDCF) 630*931

Eni Suhesti & Hadinoto

Evaluation of Socio Economic Performance of the Brantas Watershed Based on Aplication of P61/Menhut-II/2014

Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 16 No. 2, p. 95-113

This article aims to (a) evaluate watershed management as input for watershed management policies and planning, (b) develop better and more efficient watershed management policy recommendations. The method used is Regulation of the Minister of Forestry No. P.61/Menhut-II/2014. Secondary data are obtained from relevant agencies. The results showed that the Brantas watershed in good condition, however, some important issues should be addressed, namely dense population and the classification of high water buildings value. The Government should take several actions such as (1) find other alternatives outside the agricultural sector to overcome the high population pressure, (2) maintain the functions of recharge areas along with water sources to reduce sedimentation rate in water building.

Keywords: Agroforestry; buffer zone; participation; perception; Tahura Sutan Syarif Hasyim.

DC(OSDCF) 630*922.2

Nurhaedah Muin, Achmad Rizal H. Bisjoe, Bugi K. Sumirat, & Wahyudi Isnan

Strengthening Gender Role in Managing Private Forests in South Konawe, South East Sulawesi Province

Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 16 No. 2, p. 127-135

Private forest consists of timber, agriculture, understory, and this phenomenon triggering gender role in smallholder managements as in South Konawe District. This research was carried out by using survey method and interview through Focus Group Discussion (FGD). The data were analyzed qualitatively and quantitatively. The result showed that men farmers had the dominant role in managing timber and supporting activities such as attending meeting and group management, while women had more responsibilities for understory and helped in fulfilling consumption as well as all other needs. Women’s involvement should be considered in managing private forest and other supporting activities.

Keywords: Family income, gender role sharing, private forest.

Page 10: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

UDC(OSDCF) 630*907.3

Nur Hayati & Abd. Kadir Wakka

The Role of Stakeholders in the Implementation of Payment forWater Environmental Services in The Bantimurung Bulusaraung National Park, Pangkep Regency, South Sulawesi

Forestry Socio and Economic Research Journal, Vol. 16 No. 2, p. 137-149

This study aims to map the stakeholders involved in the utilization of water environmental services in the Bantimurung Bulusaraung National Park (Babul National Park) and the stakeholders that need to be involved if the concept of payment for environmental services will be applied in Babul National Park. Data were analyzed by using stakeholder analysis. The results showed that stakeholders who could be directly involved in the utilization of water environmental services related to water environmental service payment activities were the community around the area, industry, PDAM, Babul National Park, and the village government.

Keywords: Stakeholder analysis; mapping stakeholder; payments of water environmental services; Babul NP.

Page 11: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 81-93p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221Terakreditasi Nomor 21/E/KPT/2018

ANALISIS MATA PENCAHARIAN DI LAHAN GAMBUT: KASUS KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

(Analysis of Livelihoods in Peat Land: The Case of Tanjung Jabung Barat Regency)

Surati, Setiasih Irawanti, Dian Charity, Handoyo, Kuncoro Ariawan, Andri Setiadi Kurniawan, & R.M. Mulyadin

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, 16118, Indonesia

E-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]; [email protected]; [email protected]; [email protected]; [email protected]

Diterima 23 Januari 2018, direvisi 08 Juli 2019, disetujui 09 Juli 2019.

ABSTRACT

Peatland is unique, marginal and fragile ecosystem, therefore its utilization should be based on careful research and planning, and requires support from stakeholders. The utilization of peatland by community is generally in the forms of yards, fields, and gardens. The study aims to examine community activities on peatland to be source of livelihood and income. Research was conducted in Bram Itam Raya and Mekar Jaya villages, Tanjung Jabung Barat District. Data were analyzed by using thematic, economic social dimension analysis, and SWOT analysis. The results show the activities that can be source of livelihood and income in peatland are plantation, agriculture, and other forest products while income from non-land are entrepreneurship, services and livestock. People’s livelihoods generally are plantation farmers (60.35%), with main commodities pinang, coffee, and palm oil, with average income greater than UMP namely up to Rp4,467,282.61per month. It illustrates that income from peatland can fulfill their needs properly. There is limited knowledge of farmer in cultivating land, selection of plant species that can be adapted to biophysical conditions and how to cope with pests and diseases. To overcome limitation of community knowledge, it is necessary to provide alternative activities and sources of livelihood with agroforestry techniques.

Keywords: Peatland, livelihood, income.

ABSTRAK

Lahan gambut merupakan ekosistem unik, marginal, dan fragile, dalam pemanfaatannya harus didasarkan penelitian dan perencanaan yang matang serta memerlukan dukungan berbagai pihak. Pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat umumnya berupa pekarangan, ladang, dan kebun. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kegiatan masyarakat di lahan gambut yang dapat menjadi sumber mata pencaharian dan pendapatan. Penelitian dilakukan di Desa Bram Itam Raya dan Kelurahan Mekar Jaya, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Data dianalisis menggunakan analisis tematik, economic social dimension analysis, dan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan yang dapat menjadi sumber mata pencaharian dan pendapatan di lahan gambut yaitu perkebunan, pertanian, dan hasil hutan lainnya. Pendapatan dari non lahan yaitu wirausaha, jasa tenaga, peternakan. Mata pencaharian masyarakat umumnya sebagai pekebun (60,35%), dengan komoditi andalan pinang, kopi, dan kelapa sawit, dengan pendapatan rata-rata lebih besar dari upah minimum provinsi (UMP) yaitu Rp4.467.282,61 per bulan. Hal ini menggambarkan bahwa pendapatan dari lahan gambut dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) masyarakat. Terdapat keterbatasan pengetahuan petani dalam mengolah lahan, pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi biofisik lahan gambut, serta cara mengatasi serangan hama penyakit tanaman. Untuk mengatasi keterbatasan pengetahuan masyarakat, perlu untuk menyediakan pilihan kegiatan dan sumber mata pencaharian dengan teknik agroforestri.

Kata kunci: Lahan gambut, mata pencaharian, pendapatan.

©2019 JPSEK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpsek.2019.16.2.81-93 81

Page 12: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

I. PENDAHULUANOne map policy merupakan kebijakan

yang menetapkan satu peta sebagai acuan dalam pembangunan di Indonesia, termasuk peta lahan gambut, dengan luasan sebesar 14,9 juta ha, yang didasarkan pada Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/2011 dan No. 6/2013 tentang Peta Indikatif Penundaan Ijin Baru di Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Lahan gambut di Indonesia mempunyai ketebalan bervariasi dari 25 cm hingga lebih dari 15 m (Daryono, 2009; Risnandar & Fahmi, 2017). Lahan gambut merupakan ekosistem yang unik, marginal, dan fragile sehingga dalam pemanfaatannya harus didasarkan atas penelitian dan perencanaan yang matang (Nurdin, 2011; Ratmini, 2012).

Pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat umumnya berupa lahan pekarangan yang ada di sekitar rumah, ladang atau sawah yang ditanami padi, serta kebun (Irawanti et al., 2017). Sebagian besar masyarakat sekitar kawasan hutan hidup di sektor pertanian sehingga lahan gambut merupakan faktor produksi utama yang diusahakan menjadi lahan pertanian dan perkebunan sebagai sumber mata pencaharian.

Pemanfaatan gambut untuk pertanian secara umum lebih problematik dibanding tanah mineral karena memerlukan input yang lebih banyak dan model pengelolaan air yang lebih kompleks serta adanya kemungkinan dampak negatif terhadap lingkungan (Noor et al., 2014). Permasalahan yang paling sering terjadi adalah pemanfaatan lahan gambut yang tidak sesuai dengan biofisik lahan, juga dikarenakan jenis tanaman yang ditanam pada lahan gambut tidak dapat tumbuh dengan baik jika akarnya tergenangi air yang bersifat asam, dan unsur haranya rendah (Napitupulu & Mudiantoro, 2015). Permasalahan tersebut akan berdampak pada mata pencaharian dan pendapatan yang diterima masyarakat.

Penelitian terkait lahan gambut telah banyak dilakukan tetapi hasil penelitian terkait mata pencaharian dan pendapatan

di lahan gambut masih belum banyak yang dipublikasikan, di antaranya adalah analisis finansial usahatani jeruk dan kontribusinya terhadap pendapatan petani di lahan gambut Sulawesi Barat (Rina, 2009); getah jelutung sebagai komoditi hasil hutan bukan kayu unggulan di lahan gambut yang dapat meningkatkan pendapatan petani (Harun, 2015) untuk meningkatkan pendapatan petani di lahan gambut, juga dilakukan penelitian usahatani bawang merah di lahan gambut Kalimantan Tengah (Firmansyah, Musaddad, Liana, Mokhtar, & Yufdi, 2014).

Tulisan ini menguraikan hasil penelitian terkait kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat di lahan gambut yang dapat menjadi sumber mata pencaharian dan pendapatan masyarakat. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi pembuat kebijakan untuk menentukan program dan kegiatan yang dapat menjadi sumber mata pencaharian dan meningkatkan pendapatan petani di lahan gambut.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Bram Itam

Raya, Kecamatan Bram Itam dan Kelurahan Mekar Jaya, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Lokasi tersebut merupakan daerah hilir yang secara periodik terendam air pasang surut, terletak di kesatuan hidrologis gambut (KHG) antara sungai Tungkal dan sungai Mandahara (KPHL Model Sungai Bram Hitam, 2017). Kawasan rawa gambut di wilayah ini mempunyai fungsi sebagai hutan lindung (HLG) yang berada di wilayah kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sungai Bram Hitam. Penelitian dilakukan pada bulan September–November tahun 2017.

B. Pengumpulan DataResponden penelitian adalah masyarakat

Desa Bram Itam Raya dan Kelurahan Mekar Jaya. Jumlah responden sebanyak 30 kepala

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 81-93

82

Page 13: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

keluarga (KK) dari masing-masing desa. Pengambilan sample responden ditentukan secara purposive sampling yaitu masyarakat yang mengolah lahan gambut.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data hasil dari kuesioner, wawancara mendalam, dan pengamatan langsung di lapangan, sedangkan data sekunder adalah data literatur terkait penelitian. Pengumpulan data dilakukan menggunakan metode diskusi kelompok terarah, analisis ranking matrik, metode wawancara mendalam, pengamatan lapangan, dan studi literatur.

C. Analisis DataAnalisis ranking matrik yang digunakan

dalam pengumpulan data adalah berdasarkan peringkat penilaian dari informasi yang diberikan oleh responden. Analisis ranking matrik adalah kegiatan yang digunakan untuk menganalisa dan memprioritaskan informasi dalam memfasilitasi diskusi kelompok saat memilih tindakan terbaik (Gay, Stubbs, & Gonzalez, 2016), yang dapat dicapai dengan memanfaatkan sistem prioritas kualitatif yang menghasilkan nilai numerik yang sesuai untuk dibandingkan dan digolongkan (Harder, Katzarkov, & Liu, 2013).

Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis tematik dan economic social dimension analysys (ESDA), selanjutanya untuk pengembangan mata pencaharian alternatif dilakukan analisis Strenght, Weakness, Opportunity, and Threats (SWOT). Analisis tematik digunakan untuk menganalisis informasi kualitatif dan secara sistematis mendapat pengetahuan dan empati tentang seseorang, interaksi, kelompok, situasi, organisasi, atau budaya (Komori, 2017). Analisis tematik digunakan untuk kategorisasi sumber-sumber mata pencaharian.

Economic social dimension analysis (ESDA) digunakan untuk menghitung kontribusi pendapatan petani yang terdiri

dari pendapatan berbasis lahan gambut dan non lahan, yaitu penjumlahan nilai moneter pendapatan per tahun per ha dari semua produk yang dihasilkan atau dipanen dari lahan gambut dan pendapatan lain per tahun yang tidak berbasis lahan sehingga kontribusi pendapatan rumah tangga diukur dalam nilai rupiah per tahun.

Untuk pengembangan mata pencaharian alternatif di dua desa yang diteliti juga dilakukan analisis faktor pendorong/kekuatan dan faktor penghambat/ancaman dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal (peluang dan ancaman) dengan faktor internal (kekuatan dan peluang) (Syahadat, 2014). Untuk memperoleh faktor internal dan eksternal disarikan dari hasil penggalian permasalahan, kemudian dilakukan diskusi secara mendalam untuk menentukan apa yang menjadi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan apa yang menjadi faktor eksternal (peluang dan ancaman).

Menurut Rangkuti (2013), hasil analisis SWOT dapat menghasilkan empat kemungkinan strategi alternatif yaitu:1. Strength-Opportunities (SO) yaitu strategi

yang dibuat berdasarkan jalan pikiran masyarakat, dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya;

2. Strategi Weaknesses-Opprtunities (WO), strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada;

3. Strategi Strength-Threats (ST), ini adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki masyarakat untuk mengatasi ancaman atau penghambat; dan

4. Strategi Weaknesess-Threats (WT), strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

Analisis Mata Pencaharian di Lahan Gambut:................(Surati, Setiasih Irawanti, Dian Charity, Handoyo, Kuncoro Ariawan, Andri Setiadi Kurniawan, & R.M. Mulyadin)

83

Page 14: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Tanjung Jabung Barat terletak

antara 0o53’–01o41’ Lintang Selatan dan antara 103o23’–104o21’ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat adalah 5.009,82 km2.

Luas kawasan hutan di KPHL Sungai Bram Hitam adalah 241.389,43 ha (Tabel 1), yang terdiri dari cagar alam, taman nasional, hutan lindung gambut, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, dan hutan produksi konversi. Hutan lindung gambut (HLG) yang ada di KPHL Sungai Bram Hitam dengan luas 15.050 ha merupakan ekosistem rawa gambut yang berada di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Pengabuan, Kecamatan Betara, dan Kecamatan Bram Itam. Kawasan HLG yang telah dirambah oleh masyarakat sekitar 5.000 ha telah ditanami komoditi perkebunan kelapa sawit, kelapa, kopi, dan pinang.

1. Desa Bram Itam RayaSecara geografis Desa Bram Itam Raya

terletak di bagian barat Kabupatan Tanjung Jabung Barat dengan luas wilayah + 19.000 ha. Sebelah timur berbatasan dengan Desa

Semau, sebelah utara dengan Kelurahan Bram Itam Kiri, sebelah selatan dengan Desa Bunga Tanjung, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Bram Itam Kanan.

Desa Bram Itam Raya, Kecamatan Bram Itam, yang berjarak ±16 km ke ibukota kabupaten dengan jalan darat (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Barat, 2017). Terletak di belahan anak-anak sungai Bram Itam, wilayahnya dibagi ke dalam 18 RT dan dua dusun yakni Dusun Bumi Suci (13 RT) dan Dusun Bumi Ayu (5 RT).

Desa Bram Itam Raya pada mulanya adalah bagian dari Desa Bram Itam Kiri yang mengalami pemekaran atas usulan yang diajukan pada pertengahan tahun 2009 (Irawanti et al., 2017). Jumlah penduduk desa Bram Itam Raya adalah 3.152 jiwa dengan jumlah keluarga sebanyak 849 KK. Penduduk wanita berjumlah 1.516 jiwa dan penduduk laki-laki berjumlah 1.643 jiwa. Penduduk cenderung terkumpul di daerah Kuala Parit 4 yakni RT 03, 15, 16, 17, 18, di mana RT 03 merupakan wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi.

Wilayah Desa Bram Itam Raya terdiri dari tanah sawah pasang surut ±4.000 ha, tanah pekarangan ±1.000 ha, tanah perkebunan ±8.000 ha, dan tanah hutan lindung gambut (HLG) ±6.000 ha (Pemerintah Desa Bram Itam Raya, 2017). Tanah Kas Desa (TKD) Bram Itam Raya seluas 2 ha, dengan rincian untuk kantor desa 1 ha dan ditanami kelapa sawit 1 ha. Hasil dari panen kelapa sawit di tanah milik desa dipergunakan untuk keperluan operasional sehari-hari kantor desa.

Sebanyak 31,40% penduduk Desa Bram Itam Raya bermata pencaharian sebagai petani. Sebesar 27,50% belum bekerja atau usia belum produktif, 25,33% adalah ibu rumah tangga, dan lainnya sebagai buruh bangunan, peternak, pedagang, nelayan, sopir, wirausaha, dan PNS. Sebanyak 3,62% tidak bekerja atau pengangguran.

84

Tabel 1 Fungsi hutan di KPHL Sungai Bram Hitam Table 1 Forest function in KPHL of Sungai Bram Hitam

No. Fungsi hutan(Forest function)

Luas hutan (Forest area) (ha)

1. Cagar alam (Natural reserve)

126,10

2. Taman nasional(National park)

11.520,00

3. Lindung gambut(Peat protection)

15.050,00

4. Produksi terbatas(Limited production)

34.355,00

5. Produksi tetap(Fixed production)

179.726,72

6. Hutan produksi konversi(Convertion production forest)

611,61

Jumlah (Total) 241.389,43Sumber (Source): KPHL Model Sungai Bram Hitam,

2017.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 81-93

Page 15: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

2. Kelurahan Mekar JayaLetak Kelurahan Mekar Jaya berbatasan

dengan Desa Mandala Jaya di sebelah selatan, sebelah barat dengan Desa Bram Itam, sebelah utara dengan Desa Bunga Tanjung, dan sebelah timur berbatasan dengan teluk Kulbi. Kelurahan Mekar Jaya berjarak 23 km dari ibukota Tanjung Jabung Barat, Kuala Tungkal.

Sebelum tahun 2006, Kelurahan Mekar Jaya adalah sebuah dusun bernama Dusun Sukorejo di Desa Teluk Sialang, yang meliputi wilayah Parit Tekad, Parit Tomo, Parit Lapis, Parit Pantingan, dan Parit Panglong. Setelah tahun 2006, Dusun Sukorejo berubah menjadi Desa Mekar Jaya yang meliputi wilayah Desa Bunga Tanjung dan Kelurahan Mekar Jaya sekarang. Pada Oktober 2010, Desa Mekar Jaya mengalami pemekaran menjadi Desa Bunga Tanjung serta Kelurahan Mekar Jaya yang merupakan ibukota Kecamatan Betara.

Letak geografi Kelurahan Mekar Jaya adalah dataran rendah, dari seluruh wilayah sepertiga merupakan kawasan HLG, seperempat dari wilayah merupakan daerah pemukiman, sisanya merupakan perkebunan warga. Lahan gambut sekitar 50% dari luas wilayah, sebesar 50% sisanya merupakan tanah mineral. Rata-rata warga menguasai 2 hektar lahan yang sudah bersertifikat (Harihadi, 2017).

Masyarakat Kelurahan Mekar Jaya adalah eks transmigran yang berasal dari Jawa Timur (Ponorogo). Mayoritas penduduknya adalah suku Jawa serta beberapa suku Banjar, Minang, Bugis, dan Batak. Bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat adalah bahasa Jawa. Kepemimpinan lokal yang ada hanya kepemimpinan pemuda yang setiap 3 tahun berganti, namun ada beberapa tokoh masyarakat yang berpengaruh di bidang politik, bidang ekonomi, serta bidang sosial (Irawanti et al., 2017).

B. Lahan Gambut sebagai Sumber Mata Pencaharian

Berdasarkan hasil identifikasi jenis-

jenis tanaman yang dibudidayakan di lahan masyarakat Desa Bram Itam Raya dan Kelurahan Mekar Jaya, baik di pekarangan, kebun, dan ladang, tanaman yang dapat memberi kontribusi pada kehidupan masyarakat di antaranya adalah kelapa sawit, kopi liberika, kelapa, pinang, pisang, sayur-sayuran, empon-empon, buah-buahan (nanas), dan palawija (jagung). Di Desa Bram Itam Raya, kopi termasuk komoditi yang diandalkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan besar (hajatan/pesta), yaitu kebutuhan yang memerlukan biaya besar dan sewaktu-waktu. Tanaman yang sangat diandalkan adalah kelapa sawit karena dapat memenuhi kebutuhan harian masyarakat.

Berdasarkan hasil ranking matrik (Tabel 2), di Desa Bram Itam Raya diketahui bahwa ada tiga jenis usaha tani yang paling diandalkan sebagai sumber mata pencaharian yaitu kelapa sawit, pinang, kopi. Di Kelurahan Mekar Jaya, ada tiga jenis usaha tani yang paling diandalkan sebagai sumber mata pencaharian yaitu pinang, kopi, dan kelapa sawit. Pinang paling besar perannya sebagai sumber mata pencaharian, kemudian kopi dan kelapa sawit. Pinang dapat dipanen setiap hari.

Kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan besar masyarakat Desa Bram Itam Raya dipenuhi dari hasil tanaman kelapa sawit. Komoditas yang berkontribusi terhadap pendapatan tahunan adalah kopi dan pinang. Dalam hal pengelolaan tanaman maka kelapa sawit dan pinang dipandang paling mudah, sedangkan kopi agak susah pengelolaannya.

Kebutuhan sehari-hari masyarakat Kelurahan Mekar Jaya dipenuhi dari hasil tanaman pinang dan kopi. Pemasaran pinang sangat mudah, umumnya tengkulak atau pengepul desa datang langsung ke petani. Pinang dari Mekar Jaya diekspor ke India, Pakistan, Bangladesh, semuanya terpusat di Kuala Tungkal. Hasil penelitian Asbiliyah, Alamsyah, & Nainggolan (2014) menyimpulkan bahwa pasar pinang Singapura dan Kuala Tungkal telah terintegrasi, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.

85

Analisis Mata Pencaharian di Lahan Gambut:................(Surati, Setiasih Irawanti, Dian Charity, Handoyo, Kuncoro Ariawan, Andri Setiadi Kurniawan, & R.M. Mulyadin)

Page 16: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Hal ini berarti bahwa perubahan harga pinang di pasar Kuala Tungkal dipengaruhi oleh perubahan harga pinang di pasar Singapura. Menurut Natassia & Utami (2016), terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari harga domestik terhadap volume ekspor pinang.

Dari hasil wawancara dengan pengepul dan eksportir bahwa pinang yang diekspor ke India dan beberapa negara biasanya digunakan untuk pembuatan permen. Hasil penelitian Satriadi (2011) menunjukkan bahwa pinang adalah tanaman dengan banyak manfaat tetapi belum dianggap sebagai komoditas utama. Selain untuk pembuatan permen, pinang juga mempunyai kadar tannin tinggi yang berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi produk seperti perekat kayu (Ismail, Runtuwene, & Fatimah, 2012).

Pemenuhan kebutuhan besar masyarakat di Kelurahan Mekar Jaya umumnya berasal dari hasil tanaman kopi. Usaha tani yang paling mudah dikelola adalah pinang, sedangkan kelapa sawit dan kopi perlu perawatan khusus, dari pemupukan, penyemprotan, sampai dengan penanggulangan hama dan penyakit, terutama hama babi.

Di Kelurahan Mekar Jaya sudah berkembang industri rumah tangga seperti industri kopi bubuk liberika karena mayoritas warganya adalah pekebun kopi liberika. Kopi liberika mempunyai keunggulan citarasa, di mana berdasarkan hasil analisis kafein ternyata kopi liberika memiliki kadar kafein hampir sebanding dengan kadar kafein kopi arabika (Sianipar, 2017). Kopi liberika juga mampu tumbuh dengan baik pada lahan-lahan gambut yang tidak mungkin ditanami

86

Tabel 2 Ranking matrik sumber mata pencaharianTable 2 Ranking matrix of source livelihoods

No.Alasan dianggap penting

(Reasons considered important)

Jenis usaha tani (Type of farming)Desa Bram Itam Raya

(Village of Bram Itam Raya)Kelurahan Mekar Jaya(Village of Mekar Jaya)

Sawit(Palm oil)

Pinang(Areca

nut)

Kopi(Coffee)

Pinang(Areca

nut)

Kopi(Coffee)

Sawit(Palm oil)

1. Untuk kebutuhan keluarga/ konsumsi (For family needs/ consumption)

10 9 5 8 6 8

2. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (To meet daily needs)

12 11 1 11 4 8

3. Untuk memenuhi kebutuhan besar dan se waktu-waktu (To meet large needs at anytime)

13 7 8 9 12 5

4. Kontribusi terhadap pendapatan tahunan (Contributions to annual income)

10 10 10 6 12 5

5. Kemudahan dalam pengelolaan (Ease of management)

15 15 0 11 2 4

6. Kemudahan dalam pemasaran (Ease in marketing)

7 5 4 6 6 5

Sumber (Sources): Data primer (Primary data).

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 81-93

Page 17: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

kopi jenis lainnya (Harni, Taufiq, & Martono, 2015).

Petani kopi di Kelurahan Mekar Jaya mengeluhkan bahwa populasi tanaman kopi liberika saat ini semakin menurun karena mudah terserang penyakit jamur akar putih yang belum dapat diatasi, hanya bisa diganti dengan jenis lain.

Volume hasil panen dari kebun kopi masyarakat adalah 500 kg/ha/th (Irawanti et al., 2017). Meskipun biji kopi kering selalu mudah dipasarkan namun diperkirakan volume produksinya akan terus menurun karena banyak tanaman yang mati akibat terserang penyakit.

Masyarakat di Desa Bram Itam Raya dan Kelurahan Mekar Jaya mempunyai mata pencaharian utama sebagai pekebun dengan komoditas andalan pinang, kopi, kelapa sawit, dan beberapa tanaman kelapa. Pada umumnya masyarakat menerapkan teknik agroforestri dengan cara mencampur tanaman kopi–pinang, kelapa sawit–pinang, atau dicampur dengan tanaman perkebunan lainnya misalnya kelapa. Selain jenis-jenis tanaman perkebunan, masyarakat juga masih menanam dan membiarkan tumbuhnya jenis-jenis tanaman kayu dan pohon penghasil buah di lahannya.

Permasalahan di Kelurahan Mekar Jaya selain produksi kopi yang semakin menurun, juga kualitas pinang yang dihasilkan. Saat ini, petani membelah pinang secara manual sehingga membutuhkan waktu yang lama, tenaga yang banyak, dan kualitas biji pinang belah yang dihasilkan kurang bagus. Menurut Hartono & Trismiyati (2016), klasifikasi biji pinang belah merupakan tahapan penting dalam menentukan kualitas dan nilai ekonominya.

Sumber mata pencaharian masyarakat di lahan gambut sangat tergantung dari kegiatan perkebunan, pertanian, dan perolehan dari hasil hutan lainnya.

C. Lahan Gambut sebagai Sumber PendapatanSecara garis besar pendapatan masyarakat

dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu pendapatan berbasis lahan dan pendapatan tidak berbasis lahan. Pendapatan masyarakat berbasis lahan meliputi pendapatan dari hasil usaha budidaya tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan, serta hasil hutan lainnya. Pendapatan tidak berbasis lahan meliputi pendapatan dari budidaya ternak, jasa tenaga kerja, wirausaha, dan lain-lain (Irawanti et al., 2017). Hasil budidaya tanaman dan ternak tidak seluruhnya diperjualbelikan. Hanya jenis-jenis tanaman dan ternak yang diusahakan dalam skala luas dan hasilnya dijual secara komersial yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani. Masih terdapat berbagai jenis tanaman yang dibudidayakan dalam skala kecil sehingga hasilnya hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Berdasarkan Tabel 3 dan Gambar 1 dapat diketahui bahwa hasil kegiatan perkebunan memberikan kontribusi terbesar (60,35%) terhadap pendapatan rumah tangga petani. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Bram Itam Raya dan Kelurahan Mekar Jaya mempunyai mata pencaharian utama sebagai pekebun. Kontribusi selanjutnya berasal dari kegiatan wirausaha (27,60%) dan jasa tenaga (8,18%). Kontribusi pendapatan terbesar dari lahan gambut yaitu dari perkebunan pinang, kelapa sawit, dan kopi, sedangkan dari non lahan yaitu dari wirausaha dan jasa tenaga.

Masyarakat umumnya mengandalkan kelapa sawit dan pinang sebagai komoditas yang ditanam karena kemudahannya untuk tumbuh di lahan gambut walaupun hasil produksi terus menurun. Berdasarkan hasil pengamatan, kelapa sawit kurang baik pertumbuhannya kalau ditanam di lahan gambut. Hasil penelitian Wibowo (2010); Suwondo, Sabiham, Sumardjo, & Paramudya (2012) menjelaskan bahwa penanaman kelapa sawit seharusnya dialokasikan dan diarahkan

87

Analisis Mata Pencaharian di Lahan Gambut:................(Surati, Setiasih Irawanti, Dian Charity, Handoyo, Kuncoro Ariawan, Andri Setiadi Kurniawan, & R.M. Mulyadin)

Page 18: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

pada lahan-lahan terdegradasi karena apabila lahan gambut ditanami kelapa sawit secara besar-besaran akan berakibat pada emisi gas rumah kaca, gambut akan menjadi kering dan mudah terbakar, yang akibatnya akan merusak

lingkungan. Menurut Krisnohadi (2011) dan Sabiham & Sukarman (2012), kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada tanah gambut tipis sampai dengan sedang. Darmawan, MTS, & Wibowo (2008) menyatakan bahwa

88

Tabel 3 Kontribusi pendapatan di desa gambut Table 3 Contribution of income in peat villages

No. Sumber pendapatan(Source of income)

Desa Bram Itam Raya(Bram Itam Raya

village)

Kelurahan Mekar Jaya

(Mekar Jaya village)

Rata-rata(Average) % % total

A Lahan (Land)1. Pertanian

(Agriculture)215.583,33 67.115,38 141.349.36 3,16 1,97

2. Perkebunan(Plantation)

3.177.493,63 5.462.353,63 4.319.923,63 96,70 60,35

3. Kehutanan(Forestry)

- - - - -

4. Hasil hutan lain (Other forest products)

- 6.009,62 6.009,62 0,14 0,08

Total A 3.393.076,96 5.535.478,63 4.467.282,61 100,00B Non lahan (Non

land)1. Peternakan (Farm) 62.291,67 5.288,46 67.580,13 2,51 0,952. Jasa tenaga

(Services)502.083,33 83.333,33 585.416,66 21,75 8,18

3. Wira usaha (Entrepreneurship)

1.817.013,89 158.733,97 1.975.747,86 73,41 27,60

4. Lain-lain (etc.) 61.805,56 801,28 62.606,84 2,33 0,87Total B 2.443.194,45 248.157,04 2.691.351,49 100,00Total A + B 5.836.271,41 5.783.635,68 7.158.634,10 100,00

Sumber (Sources): Data primer (Primary data).

Gambar 1 Pendapatan per kegiatan di Desa Bram Itam Raya dan Kelurahan Mekar JayaFigure 1 Income of activities from Bram Itam Raya village and Mekar Jaya sub-district

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 81-93

Page 19: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada lahan gambut apabila diatur atau dikendalikan muka air tanahnya, yaitu yang dekat dengan zona perakaran, kelembaban yang tersedia pada tanah harus cukup ideal.

Seperti terlihat pada Tabel 3, di Desa Bram Itam Raya dan Kelurahan Mekar Jaya ditemukan kontribusi pendapatan yang mengikuti pola kedalaman lapisan gambut. Kedua wilayah ini memiliki lahan yang didominasi oleh lapisan gambut tipis yaitu antara 0−1 meter yang berpengaruh terhadap kontribusi pendapatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Irawanti et al. (2017) bahwa ketebalan lapisan gambut berpengaruh terhadap hasil panen dan pendapatan yang di hasilkan oleh petani.

Pendapatan masyarakat dari pertanian hanya 1,97%, masyarakat umumnya memanen hasil pertanian untuk konsumsi sendiri dan hanya sedikit yang dijual. Hasil pertanian umumnya berupa padi dan tanaman pangan lainnya. Pendapatan dari lahan gambut berturut-turut dari kegiatan perkebunan, pertanian, dan hasil hutan lainnya seperti jahe, kunyit, lengkuas, kencur, dan lainnya; sedangkan pendapatan non lahan yaitu dari wirausaha, jasa tenaga, peternakan, dan lain-lain.

Pendapatan dari wirausaha umumnya berupa kegiatan berdagang dan warung/toko, sedangkan jasa tenaga kerja umumnya berasal dari buruh tani, kuli bangunan, kuli memetik hasil panen, dan gaji bulanan sebagai tenaga kontrak atau PNS. Pendapatan lain-lain berasal dari arisan, kiriman rutin dari anak, dan bantuan dari pemerintah.

Kontribusi pendapatan pada Tabel 3 tersebut dapat dipandang sebagai upah kerja yang diperoleh petani dari mengusahakan lahannya dan bekerja pada sektor non lahan.

Besarnya upah minimum provinsi (UMP) Jambi tahun 2017 adalah Rp2.063.948,63. Apabila pendapatan masyarakat Desa Bram Itam Raya dan Kelurahan Mekar Jaya dibandingkan dengan UMP, maka pendapatan rata-rata dari kedua wilayah tersebut lebih

besar dari UMP yaitu sebesar Rp4.467.282,61. Hal ini menggambarkan bahwa pendapatan dari lahan gambut dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) masyarakat.

D. Alternatif Sumber Mata Pencaharian MasyarakatHasil yang dicapai oleh petani dalam

pengelolaan lahan gambut tidak maksimal. Hal ini merupakan akibat dari kendala usahatani seperti kondisi biofisik serta serangan hama dan penyakit tanaman, keterbatasan pengetahuan petani dalam mengolah lahan, pemilihan jenis-jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi biofisik lahan gambut. Untuk mengatasi keterbatasan pengetahuan masyarakat tersebut, dipandang perlu untuk menyediakan pilihan-pilihan kegiatan dan sumber-sumber mata pencaharian bagi masyarakat di lahan gambut dengan teknik agroforestri yang sesuai biofisiknya (Tabel 4).

Teknik agroforestri di lahan gambut telah dipraktikkan di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Tumbang Nusa, Provinsi Kalimantan Tengah (Harun, 2015). Hasil pembelajaran berbagai pola agroforestri yang telah diusahakan sejak tahun 2003 di KHDTK Tumbang Nusa bertujuan menciptakan praktik pertanian yang tahan/resisten, yang sudah dikembangkan sejak 2004 dengan teknik agroforestri berbasis jelutung dikombinasikan dengan tanaman semusim seperti jagung, sawi, padi (Wardie, 2016; Wardie & Sintha, 2017). Salah satu tanaman palawija yang banyak ditanam di lahan gambut adalah jagung (Malta, 2011).

Sesuai dengan analisis SWOT dari alternatif sumber mata pencaharian pada Tabel 4, maka strategi yang merupakan antara kekuatan/ pendorong dengan peluang adalah:1. Dilakukan pengelolaan lahan gambut

dengan dukungan semua pihak, baik pemerintah daerah maupun pihak lain yang terkait yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan kelestarian ekologi di lahan gambut;

2. Pengembangan teknik agroforestri dengan

89

Analisis Mata Pencaharian di Lahan Gambut:................(Surati, Setiasih Irawanti, Dian Charity, Handoyo, Kuncoro Ariawan, Andri Setiadi Kurniawan, & R.M. Mulyadin)

Page 20: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

diversifikasi jenis tanaman kehutanan, perkebunan, dan pertanian; dan

3. Pengembangan industri rumah tangga dari hasil komoditas utama di lahan gambut.Dalam teknik agroforestri dapat dilakukan

diversifikasi jenis tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan tanaman semusim agar terjadi peningkatan produktivitas lahan sekaligus untuk memenuhi

kebutuhan hidup petani melalui diversifikasi panen dalam jangka harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Kelebihan teknik ini antara lain dapat menghasilkan bahan pangan. Kearifan tradisional masyarakat tentang berbagai pola agroforestri di lahan gambut tipis sampai dalam dapat menjadi pembelajaran untuk meningkatkan resiliensi pertanian di gambut.

90

Tabel 4 Matriks analisis faktor internal dan eksternal (SWOT) pengembangan alternatif sumber mata pencaharian Table 4 Matrix of internal and external factor analysis (SWOT) for development of alternative sources of livelihood

Strengthsa. Lahan yang sebagian bergambut

relatif suburb. Keberadaan kelompok tani

sesuai komoditas (kopi, pinang, dan sebagainya)

c. Penghasil bibit unggul pinang dan kopi yang telah bersertifikasi indikator geografis.

d. Modal sosial petani untuk bercocok tanam di lahan gambut cukup tinggi

Weaknessesa. Keterbatasan pengetahuan

petani dalam mengolah lahan dan pemilihan jenis yang sesuai dengan biofisiknya

b. Kurangnya pengetahuan dan ketersediaan teknologi pada proses pasca panen

c. Budidaya dalam skala kecil sehingga hasilnya hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga

d. Akses modal usaha

Opportunitiesa. Berkembangnya industri

rumah tanggab. Komitmen semua pihak

terhadap ekonomi masyarakat dan ekologi di lahan gambut

c. Akses pasar yang luasd. Teknik agroforestri yang

sesuai dengan biofisiknya

Stengths-Opportunities1. Pengelolaan lahan gambut yang

bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan kelestraian ekologi di lahan gambut

2. Pengembangan teknik agroforestri dengan diversifikasi jenis tanaman kehutanan, perkebunan, dan pertanian

3. Pengembangan industri rumah tangga dari hasil komoditas utama di lahan gambut

Weaknesses-Opprtuniities1. Peningkatan SDM dengan

pelatihan terkait budidaya di lahan gambut dan pengolahan pasca panen

2. Pengembangan teknik agroforestri yang sesuai dengan kearifan tradional masyarakat

3. Pengembangan industri rumah tangga dari hasil komoditas utama di lahan gambut dengan memberikan akses modal uasaha

Threatsa. Kendala perubahan iklim

dan banjir di musim hujanb. Kelapa sawit kurang baik

pertumbuhannya di lahan gambut

c. Kondisi biofisik dan serangan hama penyakit tanaman

d. Harga komoditas yang tidak stabil

Strengths-Threats1. Pengelolaan lahan gambut

dengan dukungan semua pihak2. Pengembangan teknik

agroforestri dengan jenis-jenis yang sesuai dengan biofisik lahan gambut

3. Penguatan lembaga kelompok tani dengan pengetahuan terkait proses penyimpanan hasil panen untuk menanggulangi harga turun pasca panen

Weaknesses-Threats1. Perlunya penanggulangan banjir,

adaptasi, dan mitigasi perubahan iklim

2. Pemanfaatan lahan gambut yang sesuai dengan biofisik lahan dan komoditas unggulan selain sawit

3. Pengembangan industri rumah tangga dari hasil panen

Sumber (Sources): Data diolah (Processed data)

Internal

Eksternal

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 81-93

Page 21: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Pola tanam dalam satu unit lahan dapat dilakukan secara bersamaan atau berurutan karena ada beraneka jenis tanaman tahunan dan musiman sehingga terbuka kesempatan bekerja sepanjang tahun untuk kegiatan penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan, serta akan dihasilkan pendapatan yang berkesinambingan atau terus-menerus, baik harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Jenis tanaman berkayu dapat dipilih jenis tanaman serbaguna atau pohon yang berfungsi lindung untuk tanaman pertanian atau perkebunan meskipun seringkali dipilih jenis yang bernilai ekonomi. Hasil penelitian Martin & Winarno (2010) menyatakan bahwa program rehabilitasi lahan gambut berbasis pohon juga bisa menjadi alternatif yang memungkinkan keberhasilannya di lahan gambut apabila didukung oleh berbagai pihak.

Pola agroforestri lainnya seperti pola rambutan-purun dimungkinkan untuk dikembangkan di lahan gambut tipis seperti Desa Bram Itam Raya dan Kelurahan Mekar Jaya. Purun adalah bahan anyaman tas, sandal, topi. Ada juga pola rambutan-sengon, jelutung-karet, atau jelutung-palawija (Harun, 2015; Wardie, 2016). Agrosylvofishery juga dapat dikembangkan namun budidaya ikannya disarankan tidak di kolam karena sebelum ikan dipanen dapat diserang oleh berang-berang. Pengembangan agrosylvofishery disarankan lebih untuk pembuatan kolam terpal.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Berdasarkan hasil ranking matrik

diketahui bahwa di Desa Bram Itam Raya dan Kelurahan Mekar Jaya ada tiga jenis usaha tani yang paling diandalkan sebagai sumber mata pencaharian yaitu kelapa sawit, pinang, dan kopi.

Secara garis besar pendapatan masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu pendapatan berbasis lahan dan pendapatan tidak berbasis lahan. Pendapatan masyarakat berbasis lahan meliputi usaha

budidaya tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan, serta hasil hutan lainnya, sedangkan pendapatan tidak berbasis lahan meliputi budidaya ternak, jasa tenaga kerja, wirausaha, dan lain-lain.

Pendapatan dari kegiatan perkebunan terutama pinang, kelapa sawit, dan kopi memberikan kontribusi paling besar terhadap pendapatan rumah tangga petani yaitu 60,35% sehingga masyarakat dari kedua wilayah tersebut mempunyai mata pencaharian sebagai pekebun. Pendapatan dari non lahan yaitu wirausaha sebesar 27,60% dan jasa tenaga sebesar 8,18%. Jasa tenaga yaitu yang berasal dari buruh tani, tukang bangunan, tenaga kontrak, dan gaji sebagai ketua rukun tetangga (RT).

Pendapatan rata-rata dari kedua wilayah tersebut lebih besar dari UMP yaitu sebesar Rp4.467.282,61. Hal ini menggambarkan bahwa pendapatan dari lahan gambut dapat memenuhi KHL masyarakat.

Dari hasil analisis SWOT, yang merupakan faktor pendorong/kekuatan adalah adanya lahan yang sebagian bergambut relatif subur, keberadaan kelompok tani sesuai komoditas (kopi, pinang, dan sebagainya), penghasil bibit unggul pinang dan kopi yang telah bersertifikasi indikator geografis, dan juga adanya modal sosial petani yang tinggi untuk becocok tanam di lahan gambut. Masalah yang menjadi hambatan adalah adanya kendala perubahan iklim dan banjir di musim hujan yang menyebabkan lahan gambut tergenang, kelapa sawit termasuk jenis yang kurang baik pertumbuhannya di lahan gambut, kondisi biofisik dan serangan hama-penyakit tanaman, serta harga komoditas yang tidak stabil. Hambatan/ancaman tersebut dapat diatasi bersama dengan dukungan dan komitmen semua pihak yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan kelestraian ekologi di lahan gambut.

B. SaranPetani perlu pengetahuan tentang teknik

agroforestri, terutama diversifikasi jenis

91

Analisis Mata Pencaharian di Lahan Gambut:................(Surati, Setiasih Irawanti, Dian Charity, Handoyo, Kuncoro Ariawan, Andri Setiadi Kurniawan, & R.M. Mulyadin)

Page 22: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan tanaman semusim agar terjadi peningkatan produktivitas lahan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan hidup petani dalam bentuk penyuluhan dan pelatihan. Melalui diversifikasi, petani dapat memanen dalam jangka harian, mingguan, bulanan, dan tahunan.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Restorasi Gambut yang telah mendanai kegiatan penelitian ini serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim yang telah menugaskan penulis untuk melakukan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Asbiliyah, Alamsyah, Z., & Nainggolan, S. (2014). Analisis integrasi pasar pinang Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Jurnal Sosio Ekonomika Bisnis, 17(2), 31–42.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Barat. (2017). Kecamatan Bram Itam dalam angka 2017. Kuala Tungkal: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Darmawan, H., MTS, J., & Wibowo, H. (2008). Perubahan muka air pada tanah gambut akibat penanaman kelapa sawit di Desa Mega Timur Kecamatan Sungai Ambawang. Jurnal Teknik Sipil UNTAN, 8(2).

Daryono, H. (2009). Potensi, permasalahan dan kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan hutan dan lahan rawa gambut secara lestari. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(2), 71–101.

Firmansyah, M., Musaddad, D., Liana, T., Mokhtar, M., & Yufdi, M. (2014). Uji adaptasi bawang merah di lahan gambut pada saat musim hujan di Kalimantan Tengah. J. Hort., 24(2), 114–123.

Gay, K., Stubbs, E., & Gonzalez, S. G. (2016). Matrix ranking: a tool for decision-making and prioritization. Retrieved 20 April 2017 from http://edis.ifas.ufl.edu/wc239.

Harder, A., Katzarkov, L., & Liu, Y. (2013). Perverse sheaves of categories and non-rationality. University of Alberta, Department of Mathematics, Edmonton.

Harihadi. (2017). Badan Restorasi Gambut: Profil Kelurahan Mekar Jaya. Kelurahan Mekar Jaya.

Harni, R., Taufiq, E., & Martono, B. (2015). Ketahanan pohon induk kopi liberika terhadap penyakit karat daun (Hemileia vastatrix B. Et Br.) di Kepulauan Meranti. Journal J. TIDP, 2(1), 35–42. https://doi.org/10.21082/jtidp .v2n1.2015.p35-42

Hartono, P., & Trismiyati. (2016). Klasifikasi biji pinang belah pada pengembangan mesin sortir pinang menggunakan pengolahan citra digital. Jurnal Riset Industri, 10(2), 61–82.

Harun, M. K. (2015). Getah jelutung sebagai hasil hutan bukan kayu unggulan di lahan gambut. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 12(1), 43–57.

Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/2011 dan No. 6/2013 tentang Peta Indikatif Penundaan Ijin Baru di Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Irawanti, S., Surati, Handoyo, Ariawan, K., Mulyadin, R. M., Kurniawan, A. S., & Charity, D. (2017). Analisis mata pencaharian masyarakat di lahan gambut (Laporan Hasil Penelitian). Bogor : BRG-Pusat Litbang Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (unpublished).

Ismail, J., Runtuwene, M. R., & Fatimah, F. (2012). Penentuan Total fenolik dan uji aktivitas antioksidan pada biji dan kulit buah pinang yaki (Areca vestiaria Giseke). Jurnal Ilmiah Sains, 12, 84–88.

Komori, M. (2017). Thematic analysis. Retrieved 8 January 2018 from http://designresearchtechniques.com/casestudies/thematic-analysis.

KPHL Model Sungai Bram Hitam. (2017). Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) KPHL Model Sungai Bram Hitam Tahun 2018-2027 Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Kuala Tungkal: KPHL Model Sungai Bram Hitam.

Krisnohadi, A. (2011). Analisis pengembangan lahan gambut untuk tanaman kelapa sawit Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Tek. Perkebunan & PSDL, 1, 1–7.

Malta. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja petani jagung di lahan gambut. Jurnal Mimbar, XXVII(1), 67–78.

Martin, E., & Winarno, B. (2010). Peran parapihak dalam pemanfaatan lahan gambut: studi kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(2), 81–95.

Napitupulu, S. M., & Mudiantoro, B. (2015). Pengelolaan sumber daya air pada lahan gambut. In Annual Civil Engineering Seminar. Pekanbaru: Pusat Studi Infrastruktur.

92

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 81-93

Page 23: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Natassia, R., & Utami, H. Y. (2016). Pengaruh harga pinang terhadap volume ekspor pinang: studi kasus pada perusahaan eksportir CV. Putra Al-Amin. Journal of Economic and Economic Education, 5(1), 6–12.

Noor, M., Masganti, Agus, F., Wahyunto, Nugroho, K., Ritung, S. R., …, & Mamat, H. S. (2014). Lahan gambut Indonesia: pembentukan, karakteristik, dan potensi mendukung ketahanan pangan (Edisi Revisi). (F. Agus, M. Anda, A. Jamil, & Masganti, Eds.). Jakarta: IAARD Press, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Nurdin, S. (2011). Analisis perubahan kadar air dan kuat geser tanah gambut lalombi akibat pengaruh temperatur dan waktu pemanasan. Jurnal SMARTek, 9(2), 88–108.

Pemerintah Desa Bram Itam Raya. (2017). Profil Desa Bram Itam Raya. Bram Itam Raya: Pemerintah Desa Bram Itam Raya.

Rangkuti. (2013). Analisis SWOT, teknik membedah kasus bisnis, cara perhitungan bobot, rating dan OCAI. Cetakan Ketujuh Belas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ratmini, N. S. (2012). Karakteristik dan pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian. Jurnal Lahan Suboptimal, 1(2), 197–206.

Rina, Y. (2009). Analisis finansial usahatani jeruk dan kontribusinya terhadap pendapatan petani di lahan gambut Sulawesi Barat. In Seminar Nasional Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian (pp. 649–659). Kerjasama BPTP Jawa Timur dengan FEATI dan Dinas Pertanian Jawa Timur. Malang 28 Juli 2009.

Risnandar, C., & Fahmi, A. (2017). Lahan gambut. Jurnal Bumi. Retrieved 8 January 2017 from https://jurnalbumi .com/lahan-gambut.

Sabiham, A., & Sukarman. (2012). Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa sawit di Indonesia. Jurnal Sumber Daya Lahan, 6(2), 55–66.

Satriadi, T. (2011). Kadar tanin biji pinang (Areca catechu L.) dari Pleihari. Jurnal Hutan Tropis, 12(32), 132–135.

Sawerah, S., Muljono, P., & Tjitropranoto, P. (2016). Partisipasi masyarakat dalam pencegahan kebakaran lahan gambut di Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Penyuluhan, 12(1), 89–102.

Sianipar, H. (2017). Keragaman genetik populasi kopi liberika (Coffea liberica W.Bull Ex.Hiern) di Kecamatan Betara berdasarkan karakter buah dan biji. Universitas Jambi.

Suwondo, Sabiham, S., Sumardjo, & Paramudya, B. (2012). Efek pembukaan lahan terhadap karakteristik biofisik gambut pada perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis. Jurnal Natur Indonesia, 14(2), 143–149.

Syahadat, E. (2014). Strategi percepatan pembangunan hutan tanaman industri: studi kasus di Provinsi Kalimantan Barat dan Jambi (Thesis). Bogor: Universitas Nusa Bangsa.

Takakai, F., Morishita, T., Hashidoko, Y., Darung, U., Kuramochi, K., Dohong, S., …, & Hatano, R. (2006). Effects of agricultural land-use change and forest fire on N2O emission from tropical peatlands, Central Kalimantan, Indonesia. Soil Science and Plant Nutrition, 52(5), 662–674. https://doi.org/10.1111/j.1747-0765.2006.00084.x.

Wardie, J. (2016). Analisis sustainabilitas usahatani padi pada lahan gambut di Kabupaten Kapuas. Jurnal AGRIC, 28(1 & 2), 87–94.

Wardie, J., & Sintha, T. Y. E. (2017). Analisis keberlanjutan usahatani pada lahan gambut di Kecamatan Bataguh Kabupaten Kapuas. Jurnal Pertanian Agros, 19(1), 21–28.

Wibowo, A. (2010). Konversi hutan menjadi tanaman kelapa sawit pada lahan gambut: implikasi perubahan iklim dan kebijakan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 7(4, Edisi Khusus), 251–260

93

Analisis Mata Pencaharian di Lahan Gambut:................(Surati, Setiasih Irawanti, Dian Charity, Handoyo, Kuncoro Ariawan, Andri Setiadi Kurniawan, & R.M. Mulyadin)

Page 24: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

94

Page 25: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

95

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 95-113p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221Terakreditasi Nomor 21/E/KPT/2018

EVALUASI KINERJA SOSIAL EKONOMI DAS BRANTAS BERDASARKAN PENERAPAN P61/MENHUT-II/2014

(Evaluation of Socio Economic Performance of the Brantas Watershed Based on Aplication of P61/Menhut-II/2014)

Nur Ainun Jariyah

1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo Jl. A. Yani, Pabelan, Kartasura, PO Box 295 Surakarta 57102, Indonesia

E-mail: [email protected]

Diterima 20 September 2018, direvisi 16 Juli 2019, disetujui 16 Juli 2019.

ABSTRACT

Brantas watershed is determined as a national priority watershed to be managed. Brantas watershed is the most critical watershed with various complex problems compared to other 29 watersheds in Java. So that, it becomes a national problem which needs to be solved. This article aims to (a) evaluate Brantas watershed management system to find out its performance, which can be used as an input for watershed management policies and planning, (b) develop better and more efficient Brantas watershed management policy recommendations. The method used the Regulation of the Minister of Forestry of the Republic of Indonesia No. P.61/Menhut-II/2014. The data used are secondary data obtained from Central Agency of Statistics, Brantas Watershed Management Center, Forestry Service, and Social Service. The results showed that Brantas watershed is in good condition, however, some important issues should be addressed, namely population density and the classification of high water building values. Some actions that need to be carried out by the Government, among others (1) finding out other alternative outside the agricultural sector to overcome the high population pressure, (2) necessary maintenance of the functions of recharge areas and water sources to reduce sedimentation in water building.

Keywords: Watershed management, Brantas watershed, monitoring, evaluation, watershed performance.

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas merupakan DAS prioritas nasional, dan DAS paling kritis di antara 29 DAS di Jawa dengan berbagai permasalahan yang komplek. Artikel ini bertujuan untuk mengevaluasi sistem pengelolaan DAS Brantas, mengevaluasi kinerja DAS agar dapat digunakan sebagai salah satu masukan bagi penetapan kebijakan dan perencanaan pengelolaan DAS, serta menyusun rekomendasi kebijakan pengelolaan DAS Brantas yang lebih baik dan berdayaguna mengevaluasi sistem pengelolaan DAS Brantas. Penelitian ini dilakukan di DAS Brantas pada tahun 2016. Metode yang digunakan adalah menggunakan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.61/Menhut-II/2014. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh di Badan Pusat Statistik, Balai Pengelolaan DAS Brantas, Dinas Kehutanan, dan Dinas Sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAS Brantas dalam kondisi baik, yang perlu menjadi perhatian penting adalah jumlah penduduk yang padat dan klasifikasi nilai bangunan air yang tinggi. Yang perlu dilakukan oleh Pemerintah adalah (1) alternatif mata pencaharian lain di luar sektor pertanian untuk mengatasi tingginya tekanan penduduk, (2) pemeliharaan fungsi kawasan resapan beserta sumber-sumber air untuk mengurangi tingkat sedimentasi di bangunan air.

Kata kunci: Pengelolaan DAS, DAS Brantas, monitoring, evaluasi, kinerja DAS

©2019 JPSEK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpsek.2019.16.2.95-113

Page 26: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

96

I. PENDAHULUANPengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional supaya dapat dimanfaatkan secara maksimum, lestari, dan berkelanjutan sehingga terwujud tata air dan ekosistem yang baik untuk mendukung kesejahteraan masyarakat, kelestarian, dan keberlanjutan konservasi DAS. Perubahan kondisi daya dukung DAS sebagai dampak dari pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air dapat mengakibatkan peningkatan erosi dan sedimentasi, penurunan penutupan vegetasi, dan percepatan degradasi lahan (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.61/Menhut-II/2014).

DAS Brantas merupakan DAS strategis dan prioritas nasional (SK. 328/Menhut-II/2009), dan DAS paling kritis di antara 29 DAS di Jawa (Widianto, Suprayogo, Sudarto, & Lestariningsih, 2010). DAS ini dijadikan sebagai DAS prioritas karena beberapa kriteria (Pemerintah Republik Indonesia, 2008), di antaranya adalah (1) kondisi spesifik biofisik, (2) sosial ekonomi, (3) lahan kritis pada bagian hulu DAS, (4) wilayah hutan yang rentan terhadap perubahan iklim. Permasalahan DAS Brantas antara lain besarnya proporsi perubahan fungsi lahan menjadi lahan pertanian dan pariwisata tanpa memperhatikan aspek konservasi lahan (Shodriyah, Sayekti, & Prasetyorini, 2014; Rejekiningrum, 2014; Hakim, 2010; Saridewi, Hadi, Fauzi, & Rusastra, 2014), degradasi lingkungan karena kompetisi penggunaan lahan yang menyebabkan defisit penggunaan air (Listyawati, 2010; Astuti, 2017), serta pengalihan fungsi bantaran sungai yang ditetapkan sebagai kawasan hijau yang beralih fungsi tidak sesuai dengan peruntukannya (Prasetyo, 2012; Lusiana, Rahadi, & Anugroho, 2017; Harini, Suyono, & Mutiara, 2012; Sofyan, Thamrin, & Mubarak, 2015).

Kondisi tersebut mendorong terjadinya erosi yang menyebabkan peningkatan sedimen dengan laju sedimentasi mencapai 10-34 ton/ha/th (Fadhli, 2011; Lusiana et al., 2017; Yuwono, 2012) serta pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan (Yetti, Soedharma, & Hariyadi, 2011; Farid, 2016; Kustamar, 2016). Posisi strategis dan kompleksitas permasalahannya membuat DAS Brantas menjadi permasalahan dan perhatian nasional yang perlu ditanggulangi, tidak saja secara teknis, tetapi juga regulasi dan kebijakan.

Solusi dan penanggulangan yang tepat harus didasarkan pada penelaahan, evaluasi, dan analisis permasalahan tersebut secara komprehensif. Penelitian dan penulisan artikel ini bertujuan untuk (a) mengevaluasi sistem pengelolaan DAS Brantas, (b) mengevaluasi kinerja DAS agar dapat digunakan sebagai salah satu masukan bagi penetapan kebijakan dan perencanaan pengelolaan DAS, (c) menyusun rekomendasi kebijakan pengelolaan DAS Brantas yang lebih baik dan berdayaguna.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi PenelitianPenelitian dilakukan di DAS Brantas pada

tahun 2016, meliputi 13 wilayah kabupaten/kota yaitu Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten Malang, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang, Kabupaten Nganjuk, Kota Kediri, Kota Blitar, Kota Malang, Kota Mojokerto, dan Kota Batu. Secara administratif dapat dilihat pada Gambar 1.

B. Pengumpulan DataData utama dalam penelitian ini adalah data

sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Brantas, Dinas Kehutanan, dan Dinas Sosial masing-masing kabupaten/kota yang masuk dalam DAS

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 95-113

Page 27: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

97

Brantas. Untuk verifikasi data menggunakan data primer yang diperoleh melalui wawancara dengan tokoh kunci di dinas-dinas yang dikunjungi yaitu Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten Malang, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang, Kabupaten Nganjuk, Kota Kediri, Kota Blitar, Kota Malang, Kota Mojokerto, dan Kota Batu. Tokoh kunci yang dipilih adalah orang yang menangani langsung pengelolaan DAS di kabupaten/kota masing-masing, seperti kepala seksi dan stafnya.

Selain itu juga dilakukan survei di wilayah DAS Brantas untuk mengetahui kondisi riil DAS Brantas. Survei dilakukan dengan mengamati langsung kondisi di lapangan dan melihat kesesuaian dengan data sekunder, baik kondisi sosial ekonomi, maupun biofisik.

Data sekunder yang dikumpulkan merupakan data series tahun 2011-2015. Data tersebut adalah tekanan penduduk, jumlah

penduduk, tingkat kesejahteraan penduduk, jumlah kepala keluarga (KK) miskin, pendapatan masyarakat, luas lahan pertanian, jumlah petani, keberadaan dan penegakan hukum, ketersediaan lahan, kebutuhan lahandan produktivitas lahan, dan nilai bangunan air.

C. Metode Untuk mengetahui kinerja DAS secara

sosial ekonomi, alat yang digunakan adalah Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.61/Menhut-II/2014 Tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Tabel 1).

D. Analisis DataAnalisis data dilakukan berdasarkan

kriteria pembobotan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.61/Menhut-II/2014. Nilai skor penilaian evaluasi kondisi daya dukung DAS diperoleh dari hasil analisis terhadap masing-masing

Sumber (Source): Adi et al., 2016Gambar 1 Peta administrasi kabupaten/kota yang termasuk dalam wilayah DAS BrantasFigure 1 Administrative map of districts/cities included in the Brantas watershed.

Evaluasi Kinerja Sosial Ekonomi DAS Brantas Berdasarkan Penerapan P61/Menhut-II/2014................(Nur Ainun Jariyah)

Page 28: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

98

Tabel 1 Sub kriteria, bobot, nilai dan klasifikasi tekanan penduduk, tingkat kesejahteraan penduduk, keberadaan dan penegakan hukum, klasifikasi kota, dan nilai bangunan air menurut P61/Menhut-II/2014

Table 1 Sub criteria, weight, value and classification population pressure, level of population, existence and law enforcement, city classification, and value of water of building.

Sub kriteria(Sub criteria)

Bobot (Weight) Parameter (Parameter) Nilai (Value) Kelas (Class) Skor

(Score)Tekanan penduduk (TP) (Population pressure)

10 Indeks Ketersediaan Lahan (IKL)1) (Land availability index)

IKL >4 Sangat tinggi (Very high)

0,5

2< IKL ≤4 Tinggi (High) 0,751< IKL ≤2 Sedang

(Medium)1

0,5< IKL ≤1 Rendah (Low) 1,25IKL ≤0,5 Sangat rendah

(Very low)1,5

Tingkat kesejahteraan penduduk (TKP)(Level of welfare)

7 a. % kepala keluarga (KK) miskin2)

(% of poor family heads)

TKP ≤5 Sangat baik (Very good)

0,5

5< TKP ≤10 Baik (Good) 0,7510< TKP ≤20 Sedang

(Medium)1

20< TKP ≤30 Buruk (Bad) 1,25TKP ≤30 Sangat buruk

(Very bad)1,5

b.Rata-rata pendapatan3)

(Average income)TKP >5 juta Sangat baik

(Very good)0,5

4< TKP ≤5 (juta rupiah)

Baik (Good) 0,75

3< TKP ≤4 (juta rupiah)

Sedang (Medium)

1

2< TKP ≤3 (juta rupiah)

Buruk (Bad) 1,25

TKP ≤2 juta rupiah Sangat buruk (Very bad)

1,5

Keberadaan dan penegakan aturan (The existence and enforcement of regulations)

3 Ada-tidaknya suatu aturan masyarakat di DAS yang berkaitan dengan konservasi (The presence or absence of a community regulation in the watershed relating to conservation)

Ada, dipraktikkan (Exist, practiced)

Sangat baik (Very good)

0,5

Ada, dipraktikkan sangat terbatas (Exist, practiced very limited)

Baik (Good) 0,75

Ada, tidak dipraktikkan (Exist, not practiced)

Sedang (Medium)

1

Tidak ada peraturan (No regulations)

Buruk (Bad) 1,25

Ada aturan tapi kontra konservasi (There are rules but counter conservation)

Sangat buruk (Very bad)

1,5

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 95-113

Page 29: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

99

nilai bobot dan skor dari indikator dan parameter-parameternya. Nilai bobot dan skor (diisi sesuai kondisinya) masing-masing parameter diklasifikasikan. Hasil akhir nilai evaluasi kondisi daya dukung dari suatu DAS dilakukan dengan menjumlahkan hasil kali nilai dan bobot dari masing-masing parameter. Kategori nilai evaluasi daya dukung DAS dan penilaiannya disajikan pada Tabel 3.

Hasil identifikasi akan mengindikasikan permasalahan utama pada DAS tersebut, dilihat dari parameter dan indikator. Kemudian permasalahan tersebut dievaluasi berdasarkan hasil yang diperoleh dari pembobotan dan penilaian dari parameter-parameter yang digunakan untuk dicari solusinya agar dapat diperbaiki dan ditindaklanjuti, yaitu melalui penyempurnaan perencanaan dan perbaikan pelaksanaan pengelolaan DAS/sub DAS yang disesuaikan dengan kondisi DAS/sub

Sub kriteria(Sub criteria)

Bobot (Weight) Parameter (Parameter) Nilai (Value) Kelas (Class) Skor

(Score)Klasifikasi kota (City classification)

5 Keberadaan dan status kota (The existence and status of the city)

Tidak ada kota (No city)

Sangat rendah (Very low)

0,5

Kota kecil (Small town)

Rendah (Low) 0,75

Kota madya (Municipalities)

Sedang (Medium)

1

Kota besar (Big city)

Tinggi (High) 1,25

Kota metropolitan (Metropolitan city)

Sangat tinggi (Very high)

1,5

Nilai bangunan air (Value of water building)

5 Nilai terkini investasi bangunan air: waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Present value of investment in water buildings: reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

IBA ≤15 miliar rupiah

Sangat rendah (Very low)

0,5

15< IBA ≤30 (miliar rupiah)

Rendah (Low) 0,75

30< IBA ≤45 (miliar rupiah)

Sedang (Medium)

1

45< IBA ≤60 (miliar rupiah)

Tinggi (high) 1,25

IBA >60 miliar rupiah

Sangat tinggi (Very high)

1,5

Keterangan (Explanation):1) ; 2) ; 3)

Sumber (Source):Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.61/Menhut-II/2014 (Regulation of the Minister of Forestry of the Republic of Indonesia No. P.61/Menhut-II/2014).

Tabel 2 Kriteria kawasan perkotaan berdasarkan jumlah penduduk

Table 2 Criteria of urban areas by population

No. Kawasan perkotaan (Urban area)

Jumlah penduduk, jiwa (Population, people)

1. Perkotaan kecil (Small urban area)

>50.000 s.d 100.000

2. Perkotaan sedang (Medium city)

100.000 s.d 500.000

3. Perkotaan besar (Large urban)

>500.000 s.d 1.000.000

4. Kota metropolitan (Metropolitan city)

>1.000.000

Sumber (Source):Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.61/Menhut-II/2014 (Regulation of the Minister of Forestry of the Republic of Indonesia No. P.61/Menhut-II/2014).

Evaluasi Kinerja Sosial Ekonomi DAS Brantas Berdasarkan Penerapan P61/Menhut-II/2014................(Nur Ainun Jariyah)

Page 30: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

100

DAS-nya. Parameter yang menjadi sasaran utama untuk diperbaiki adalah parameter-parameter yang menunjukkan nilai rendah yang menyebabkan jeleknya kinerja DAS.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HasilKondisi umum sosial ekonomi masyarakat

wilayah DAS Brantas dilihat dari penduduk dan perekonomiannya disajikan sebagai berikut:

1. Kondisi Umum Geografi dan Fisik DASDAS Brantas terletak pada 115017’0’’

- 118019’0’’ Bujur Timur dan 7055’30’’ - 7057’30’’ Lintang Selatan. Luas DAS Brantas adalah 12.150,30 km2 dengan outlet di Surabaya. Penutupan lahan DAS Brantas adalah sawah 35,8%, bangunan/pemukiman 17,8%, hutan produksi 16%, hutan lindung 11,3%, tegal 10,5%, kebun campuran 7 %, perkebunan 1,1%, dan tubuh air 0,5%. Jenis tanah di DAS Brantas didominasi oleh tanah inseptisol (87%) dengan kedalaman tanah yang lebih dari 90 cm (Adi & Savitri, 2017).

2. Kepadatan PendudukKepadatan penduduk adalah jumlah

penduduk di suatu wilayah dibandingkan luas wilayah dalam satuan jiwa per kilometer persegi atau banyaknya penduduk per km2 (BPS, 2015a). Kepadatan penduduk menjadi

indikator dalam pengelolaan DAS karena makin tinggi jumlah penduduk, cenderung semakin berisiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan akibat tekanan pemanfaatan lahan dan air yang lebih besar, terutama pengaruhnya terhadap tataguna lahan atau pengelolaan lanskap (Salminah, Alviya, Arifanti, & Maryani, 2014; Ruswansi, Rustiadi, & Mudikdjo, 2007; Dewi, Muryani, & Sarwono, 2015; Widiatmaka, Ambarwulan, Purwanto, Setiawan, & Effendi, 2015).

Dilihat dari Tabel 4, kepadatan penduduk semua kabupaten di DAS Brantas termasuk dalam kategori kepadatan sangat tinggi yaitu di atas 400 jiwa/km2 (Undang-Undang No. 56 tahun 1960; Paimin, Pramono, Purwanto, & Indrawati, 2012). Kepadatan penduduk tertinggi di DAS Brantas adalah di Kota Mojokerto, yaitu 7.717 jiwa/km2, sementara kepadatan penduduk terendah ada di Kabupaten Trenggalek, yaitu 630 jiwa/ km2. Semakin tinggi kepadatan penduduk akan berpengaruh terhadap pengelolaan DAS karena menurunnya rasio lahan terhadap penduduk. Diperlukan solusi untuk mengatur penduduk yang padat, di antaranya adalah bekerja di luar sektor pertanian (Ruhimat, 2015).

3. Pendapatan per Kapita Pendapatan per kapita adalah besarnya

pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara

Tabel 3 Bobot dan nilai dari parameter untuk evaluasi daya dukung DASTable 3 Quality and parameter values for evaluation of watershed carrying capacity

Kriteria/sub kriteria (Criteria/sub criteria) Bobot (Quality) (%)

Nilai (Value)Terendah (Lowest)

Tertinggi (Highest)

Kondisi sosial ekonomi (Socioeconomic conditions) 20 10 301. Tekanan penduduk (The population pressure) 10 5 152. Tingkat kesejahteraan penduduk (Level of

welfare)7 3,5 10,5

3. Keberadaan dan penegakan aturan (The existence and enforcement of regulations)

3 1,5 4,5

Nilai bangunan air (Value of water building) 10 5 151. Klasifikasi kota (City classification) 5 2,5 7,52. Klasifikasi nilai bangunan air (Building water

value classification)5 2,5 7,5

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 95-113

Page 31: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

101

atau wilayah (BPS, 2015b). Pendapatan per kapita tiap kabupaten yang masuk dalam DAS Brantas disajikan pada Tabel 5, menunjukkan bahwa pendapatan per kapita paling tinggi ada di Kota Kediri disusul Kota Malang, masing-masing sebesar Rp225.068.560 dan Rp40.071.011 dibanding dengan rata-rata sebesar Rp37.565.237.

Pendapatan per kapita di dua daerah tersebut didominasi oleh sektor industri untuk Kota Kediri dan sektor perdagangan untuk Kota Malang. Dominasi sumber pendapatan per kapita menjadi acuan bagi pemerintahan daerah untuk mengambil kebijakan dengan mengembangkan sektor yang dominan agar memberikan hasil yang lebih baik (Basuki & Gayatri, 2009). Selain itu, pendapatan per kapita menunjukkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Sylviani & Suryandari, 2017). Seperti di Kota Kediri dengan dominasi sektor industri, maka untuk perencanaan selanjutnya harus menjadi bahan pertimbangan yang pertama; begitu juga di Kota Malang, sektor perdagangan menjadi pertimbangan utama.

Pendapatan per kapita tertinggi

dibandingkan dengan batas kemiskinan yang ada di provinsi dijumpai di Kota Kediri (75,93 kali) dan Kota Malang (13,52 kali). Semakin tinggi pendapatan per kapita masyarakat, cenderung semakin tinggi kesejahteraan masyarakatnya dengan asumsi distribusi yang merata (Purwanto & Paimin, 2007). Kondisi ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut dalam kondisi baik atau lebih sejahtera dilihat dari batas kemiskinan provinsi. Perbandingan pendapatan dengan angka kemiskinan provinsi disajikan pada Tabel 6.

4. Pertumbuhan EkonomiPertumbuhan ekonomi menunjukkan

kecepatan kesejahteraan suatu masyarakat yang dapat dicapai (Purwanto & Paimin, 2007) dan merupakan suatu ukuran kuantitatif adanya pembangunan ekonomi di suatu wilayah (Sylviani & Suryandari, 2017). Menurut Suparmoko (2008) dalam Salminah et al. (2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kuantitas barang sumberdaya dan pertumbuhan ekonomi, tetapi sebaliknya terdapat hubungan negatif antara

Tabel 4 Kepadatan penduduk rata-rata tiap kabupaten di wilayah DAS BrantasTable 4 Average population density of each regency in the Brantas watershed

No. Kabupaten/kota (Regency/city)

Luas wilayah (Area) (km2)

Penduduk rata-rata (The average population) 2011-2015Jumlah orang

(Number of people)Kepadatan penduduk, org/km2

(Population density, persons/km2)1. Trenggalek 1.147,22 794.255 6302. Tulungagung 1.055,65 1.004.224 9513. Blitar 1.336,48 1.130.322 7114. Kediri 1.386,05 1.537.545 1.1185. Malang 3.530,65 2.466.609 8316. Mojokerto 717,83 1.138.865 1.6457. Jombang 1.115,09 1.246.637 1.1168. Nganjuk 1.224,25 1.029.762 8399. Kota Kediri 63,40 280.255 6.107

10. Kota Blitar 32,57 144.161 4.42711. Kota Malang 145,28 834.007 2.84012. Kota Mojokerto 16,47 133.072 7.71713. Kota Batu 136,74 211.067 1.047

Jumlah (Total) 1.112,29 11.950.781,40 29.979,26Rata-rata (Average) 919.291 2.306

Sumber (Source): BPS, 2011;BPS, 2012;BPS, 2013; BPS, 2014; BPS, 2015a.

Evaluasi Kinerja Sosial Ekonomi DAS Brantas Berdasarkan Penerapan P61/Menhut-II/2014................(Nur Ainun Jariyah)

Page 32: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

102

Tabel 5 Pendapatan per kapita masyarakat tiap kabupaten di DAS BrantasTable 5 Per capita income of community of each regency in the Brantas watershed

No. Kabupaten/kota (Regency/city)

Jumlah penduduk(Number of people)

PDRB (GRDP)*

(xRp1.000.000)PDRB per kapita, Rp/jiwa

(GRDP per capita, Rp/people)1. Trenggalek 794.255 9.043.498,52 11.386.1342. Tulungagung 1.004.224 18.981.008,90 18.901.1703. Blitar 1.130.322 17.737.278,78 15.692.2334. Kediri 1.537.545 18.839.139,57 12.252.7375. Malang 2.466.609 46.955680,00 19.036.5356. Mojokerto 1.138.865 39.080.920,00 34.315.6627. Jombang 1.246.637 19.546.625,93 15.679.4878. Nganjuk 1.029.762 12.773.810,67 12.404.6279. Kota Kediri 280.255 63.076.544,16 225.068.56010. Kota Blitar 144.161 3.258.932,54 22.606.20111. Kota Malang 834.007 33.419.520,00 40.071.01112. Kota Mojokerto 133.072 3.369.880,00 25.323.73513. Kota Batu 211.067 7.516.080,00 35.609.992

Jumlah(Total) 11.950.781 239.598.919 488.348.083Rata-rata(Average) 919.291 22.584.532 37.565.237

Keterangan (Explanation):*PDRB/GRDP (Produk Domestik Regional Bruto/Gross Regional Domestic Bruto)Sumber (Source): BPS, 2011; BPS, 2012; BPS, 2013; BPS, 2014; BPS, 2015a.

Tabel 6 Pendapatan per kapita dibandingkan dengan batas kemiskinan provinsiTable 6 Per capita income compared to province poverty limits

No. Kabupaten/kota(Regency/city)

Batas kemiskinan provinsi, Rp/kapita/th (Province

poverty line, Rp/capita/yr)

Pendapatan per kapita, Rp/jiwa (Per capita income, Rp/people)

Dibandingkan dengan batas kemiskinan (Compared with

poverty line)1. Trenggalek 2.964.000 11.386.134 3,842. Tulungagung 2.964.000 18.901.170 6,383. Blitar 2.964.000 15.692.233 5,294. Kediri 2.964.000 12.252.737 4,135. Malang 2.964.000 19.036.535 6,426. Mojokerto 2.964.000 34.315.662 11,587. Jombang 2.964.000 15.679.487 5,298. Nganjuk 2.964.000 12.404.627 4,199. Kota Kediri 2.964.000 225.068.560 75,9310. Kota Blitar 2.964.000 22.606.201 7,6311. Kota Malang 2.964.000 40.071.011 13,5212. Kota Mojokerto 2.964.000 25.323.735 8,5413. Kota Batu 2.964.000 35.609.992 12,01

Jumlah (Total) 38.532.000 488.348.083 165Rata-rata (Average)

2.964.000 37.565.237 13

Sumber (Source):Analisis data sekunder (Secondary data analysis) BPS, 2011; BPS, 2012; BPS, 2013; BPS, 2014; BPS, 2015a.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 95-113

Page 33: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

103

pertumbuhan ekonomi dengan cadangan sumberdaya alam yang ada di dalam bumi.

Peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu daerah kadangkala diikuti dengan penurunan kualitas kondisi ekologisnya. Percepatan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan peningkatan investasi, teknologi, dan keahlian serta peningkatan keterampilan sumberdaya manusianya dengan mempertimbangkan konservasi sumberdaya alam yang ada di dalam DAS Brantas (Purwanto & Paimin, 2007).

Parameter pertumbuhan ekonomi tiap kabupaten di DAS Brantas disajikan pada Tabel 7. Pertumbuhan ekonomi tertinggi ada di Kota Batu (7,15%), disusul Kabupaten Mojokerto (6,68%). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi berpotensi besar untuk dikembangkan menjadi lebih maju lagi. Sementara untuk kabupaten/kota dengan pertumbuhan ekonomi rendah diperlukan pemerataan pembangunan dengan melihat keunggulan daerah masing-masing (Cahyono & Wijaya, 2017).

5. Persentase Masyarakat MiskinKemiskinan merupakan permasalahan

pembangunan yang dihadapi oleh setiap negara (Syaf, Hidayat, & Achmad, 2013). Konsep kemiskinan di sini menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (BPS, 2015a).

Persentase penduduk miskin di wilayah DAS Brantas yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin paling tinggi ada di Kabupaten Kediri, yaitu sebesar 14,46%, sedangkan paling rendah ada di Kota Batu, yaitu sebesar 4,45%.

B. PembahasanPenilaian parameter monitoring

dan evaluasi kinerja sosial ekonomi DAS berdasarkan P.61/Menhut-II//2014

menggunakan 2 kriteria yaitu sosial ekonomi dan nilai investasi bangunan. Kegiatan monitoring dan evaluasi sosial ekonomi DAS dimaksudkan untuk memperoleh gambaran kondisi penghidupan (livelihood) masyarakat serta pengaruh hubungan timbal-balik antara faktor-faktor sosial ekonomi masyarakat dengan kondisi sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) di dalam DAS. Sementara itu monitoring dan evaluasi investasi bangunan dimaksudkan untuk mengetahui besar-kecilnya sumberdaya buatan manusia yang telah dibangun di DAS yang perlu dilindungi dari kerusakan yang disebabkan oleh degradasi DAS (P.61/Menhut-II/2014).

Pada kriteria sosial ekonomi, parameter yang dipakai adalah 1) Tekanan penduduk (TP), didekati dengan Indeks Ketersediaan Lahan (IKL) yang diperoleh melalui

Tabel 7 Pertumbuhan ekonomi tiap kabupaten di wilayah DAS BrantasTable 7 Economic growth in each regency in Brantas watershed area

No.

Kabupaten/kota

(Regency/city)

PDRB (GRDP)*

(x Rp1.000.000)

Pertumbuhan ekonomi

(Economic growth) (%)

1. Trenggalek 9.043.498,52 5,852. Tulungagung 18.981.008,90 6.083. Blitar 17.737.278,78 5,284. Kediri 18.839.139,57 5,935. Malang 46.955.680,00 6,186. Mojokerto 39.080.920,00 6,687. Jombang 19.546.625,93 5,878. Nganjuk 12.773.810,67 5,569. Kota Kediri 63.076.544,16 4,7310. Kota Blitar 3.258.932,54 6,3311. Kota Malang 33.419.520,00 6,0812. Kota

Mojokerto3.369.880,00 6,00

13. Kota Batu 7.516.080,00 7,15Jumlah (Total) 293.598.919 77,69Rata-rata (Average) 22.584.532 5,98

Keterangan (Explanation):*PDRB/GRDP (Produk Domestik Regional Bruto/Gross Regional Domestic Bruto)Sumber (Source):Analisis data sekunder (Secondary data analysis) BPS, 2011; BPS, 2012; BPS, 2013; BPS, 2014; BPS, 2015a.

Evaluasi Kinerja Sosial Ekonomi DAS Brantas Berdasarkan Penerapan P61/Menhut-II/2014................(Nur Ainun Jariyah)

Page 34: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

perbandingan antara luas lahan pertanian dengan jumlah kepala keluarga (KK) petani, 2) tingkat kesejahteraan penduduk (TKP), didekati dengan persentase KK miskin dalam wilayah (kabupaten) DAS atau perbandingan jumlah KK miskin dengan jumlah KK total atau rata-rata pendapatan per kapita per tahun, 3) keberadaan dan penegakan peraturan, didekati dengan ada-tidaknya suatu aturan masyarakat yang berkaitan dengan konservasi. Sementara untuk kriteria nilai investasi bangunan, menggunakan parameter klasifikasi kota dan nilai investasi bangunan.

Hasil penelitian tiap parameter dari kriteria sosial ekonomi disajikan sebagai berikut:

1. Tekanan Penduduk terhadap LahanTekanan penduduk terhadap lahan

diukur menggunakan IKL yang merupakan perbandingan antara luas lahan pertanian dengan jumlah KK petani di dalam DAS. Semakin tinggi nilai IKL menunjukkan tekanan penduduk yang rendah karena luas lahan pertanian dapat memenuhi kebutuhan KK untuk mengelola lahan pertanian. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS

menjadi lebih mudah dilakukan karena kemampuan wilayah dapat mencukupi kebutuhan penduduk akan lahan, begitu juga sebaliknya.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai IKL di wilayah DAS Brantas mencapai 1,35 (Tabel 9). Berdasarkan pedoman yang ada, nilai IKL ini masuk dalam kategori rendah atau buruk, berarti tekanan penduduk terhadap lahan adalah tinggi. Dari 13 kabupaten yang dianalisa, hanya tiga kabupaten yang masuk kategori sedang (dengan skor 1), yaitu Kota Kediri (IKL=1,63), Kota Malang (IKL=1,68), dan Kota Mojokerto (IKL=1,07), sedangkan yang lainnya mempunyai nilai rendah (skor 1,25), yaitu Kabupaten Mojokerto (IKL=0,55) dan Kabupaten Jombang (IKL=0,56). Sementara itu kategori sangat rendah (skor 1,5) ada delapan kabupaten yaitu Kabupaten Trenggalek (IKL=0,25), Kabupaten Tulungagung (IKL=0,34), Kabupaten Blitar (IKL=0,41), Kabupaten Kediri (IKL=0,39), Kabupaten Malang (IKL=0,21), Kabupaten Nganjuk (IKL=0,34), Kota Blitar (IKL=0,42), dan Kota Batu (IKL=0,22). Artinya, untuk wilayah DAS

Tabel 8 Persentase penduduk miskin tiap kabupaten di DAS BrantasTable 8 Percentage of poor people per regency in Brantas watershed

No.

Kabupaten/kota

(Regency/city)

Jumlahpenduduk

(Population)

2012 2013 2014 2015 Rata-rata

Jumlah (Number) % Jumlah

(Number) % Jumlah (Number) % Jumlah

(Number) % Jumlah (Number) %

1. Trenggalek 794.255 101.200 12,74 96.900 12,20 92.000 15,83 90.000 11,33 97.620 12,29

2. Tulungagung 1.004.224 98.700 9,83 94.600 9,42 91.700 9,13 89.000 8,86 96.925 9,65

3. Blitar 1.130.322 126.900 11,23 121.600 10,76 120.300 10,64 116.700 10,32 131.200 11,61

4. Kediri 1.537.545 218.100 14,18 209.000 13,59 202.700 13,18 196.800 12,80 225.450 14,66

5. Malang 2.466.609 287.400 11,65 275.500 11,17 288.600 11,70 280.300 11,36 297.100 12,04

6. Mojokerto 1.138.865 117.500 10,32 112.700 9,90 116.600 10,24 113.400 9,96 121.450 10,66

7. Jombang 1.246.637 156.000 12,51 149.600 12,00 137.500 11,03 133.500 10,71 161.250 12,93

8. Nganjuk 1.029.762 142.100 13,80 136.100 13,22 140.800 13,67 136.500 13,26 146.900 14,27

9. Kota Kediri 280.255 23.300 8,31 22.300 7,96 22.800 8,14 22.100 7,89 24.100 8,60

10. Kota Blitar 144.161 9.500 6,59 9.100 6,31 10.100 7,01 9.800 6,80 9.800 6,80

11. Kota Malang 834.007 45.500 5,46 43.500 5,22 41.000 4,92 40.600 4,87 47.000 5,64

12. Kota Mojokerto

133.072 8.300 6,24 8.000 6,01 8.300 6,24 8.000 6,01 8.600 6,46

13. Kota Batu 211.067 9.100 4,31 8.700 4,12 9.400 4,45 9.100 4,31 9.400 4,45

Jumlah (Total) 11.950.781 1.479.900 127.17 1.418.100 121,87 1.420.000 121,93 1.379.600 118,48 1.517.695 130,07

Rata-rata (Average) 919.291 105.707 9,78 101.429 9,37 101.429 9,38 98.543 9,11 108.407 10,01

Sumber (Source): BPS, 2012; BPS, 2013; BPS, 2014; BPS, 2015a.

104

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 95-113

Page 35: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Brantas hanya ada tiga kabupaten yang luas lahan pertaniannya hampir sebanding dengan jumlah kepala keluarga yang ada, sedang tiga kabupaten lagi masuk kategori rendah dan delapan kabupaten masuk kategori sangat rendah atau sangat buruk. Atau dapat diartikan juga jumlah KK jauh lebih besar dari ketersediaan lahan pertanian yang ada. Hal ini akan menjadi masalah karena apabila wilayah tidak mampu mencukupi kebutuhan wilayahnya maka penduduk harus berpindah ke daerah lain atau mencari pekerjaan baru di luar sektor pertanian (Ruhimat, 2015; Cahyadi, 2017; Vipriyanti, 2017).

Keterbatasan sumberdaya lahan dan banyaknya lahan yang terkonversi menjadi lahan di luar pertanian disebabkan karena tingginya tekanan penduduk terhadap lahan (Ariani & Harini, 2012; Sriutomo & Christanto, 2015). Sementara itu tingginya tekanan

penduduk terhadap lahan pertanian pada suatu DAS dapat menyebabkan (a) alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian, (b) pemanfaatan lahan tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahannya sehingga menyebabkan (c) terjadinya degradasi sumberdaya lahan yang pada akhirnya menyebabkan kesehatan DAS (watershed health) terganggu (Wuryanta & Susanti, 2015).

2. Tingkat Kesejahteraan PendudukPerbedaan kesejahteraan penduduk antar

wilayah akan memberikan dampak yang tidak baik terhadap perkembangan pembangunan semua wilayah (Cahyono & Wijaya, 2014; Ruswansi et al., 2007). Oleh karena itu tingkat kesejahteraan penduduk di DAS Brantas didekati dengan dua cara, yaitu pertama, melihat persentase keluarga miskin atau rata-rata tingkat pendapatan penduduk per

105

Evaluasi Kinerja Sosial Ekonomi DAS Brantas Berdasarkan Penerapan P61/Menhut-II/2014................(Nur Ainun Jariyah)

Tabel 9 Tekanan penduduk terhadap lahan di wilayah DAS BrantasTable 9 Population pressure on the land in Brantas watershed area

No. Kabupaten/kota(Regency/city)

Luas lahan pertanian (Area of

agricultural land) (ha)

Jumlah KK petani (Number of households)

IKL(Land

availability index)

Keterangan (Remark) Skor(Score)

1. Trenggalek 55.535,60 219.468 0,25 Sangat rendah (Very low) 1,52. Tulungagung 74.632,98 220.005 0,34 Sangat rendah (Very low) 1,53. Blitar 112.888,60 274.221 0,41 Sangat rendah (Very low) 1,54. Kediri 102.743,60 263.790 0,39 Sangat rendah (Very low) 1,55. Malang 103.300,73 500.668 0,21 Sangat rendah (Very low) 1,56. Mojokerto 62.534,60 112.744 0,55 Rendah (Low) 1,257. Jombang 89.530,74 159.637 0,56 Rendah (Low) 1,258. Nganjuk 73.736,40 218.422 0,34 Sangat rendah (Very low) 1,59. Kota Kediri 5.210,34 3.189 1,63 Sedang (Medium) 110. Kota Blitar 2.840,60 6.735 0,42 Sangat rendah (Very low) 1,511. Kota Malang 10.147,51 6.028 1,68 Sedang (Medium) 112. Kota Mojokerto 1.629,64 1.525 1,07 Sedang (Medium) 113. Kota Batu 6.608,72 30.041 0,22 Sangat rendah (Very low) 1,5

Rata-rata (Average) 53.991,38 148.420,90 0,62 Rendah (Low) 1,35

Sumber (Source): Analisis data sekunder (Secondary data analysis) BPS, 2012; BPS, 2013; BPS, 2014; BPS, 2015a

Keterangan (Remark): KK: Kepala keluarga (Number of households), IKL: Indeks Ketersediaan Lahan (Land availability index).

Page 36: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

kapita per tahun. Persentase keluarga miskin merupakan perbandingan antara jumlah keluarga miskin dengan jumlah total keluarga di wilayah DAS, yang didekati dengan wilayah kabupaten dominan. Kedua, melihat tingkat rata-rata pendapatan per kapita per tahun, merupakan perbandingan antara total pendapatan setahun dengan jumlah penduduk. Dalam penelitian ini digunakan cara yang kedua, yang hasilnya disajikan pada Tabel 10. Terlihat bahwa tingkat kesejahteraan rata-rata penduduk di wilayah DAS Brantas termasuk kategori sangat baik (skor 0,5) yaitu pendapatan/kapita/tahun lebih dari Rp5.000.000.

Meskipun tingkat kesejahteraan penduduk masuk kategori sangat baik, tetapi masih ada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (Tabel 8). Persentase penduduk miskin di wilayah DAS Brantas, paling tinggi ada di Kabupaten Kediri yaitu sebesar 14,46%, sedangkan paling rendah ada di Kota Batu yaitu sebesar 4,45%. Hal ini menunjukkan

bahwa tingkat kesejahteraan penduduk belum merata di setiap tempat. Permasalahan ini perlu diselesaikan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk yang masih berada di bawah garis kemiskinan.

Menurut Siregar & Wahyuni (2007), cara yang paling efektif untuk mempercepat pengurangan kemiskinan adalah dengan meningkatkan pertanian di perdesaan dan jasa di perkotaan. Namun dalam jangka panjang, fokus penekanan harus diarahkan pada pencapaian pertumbuhan menyeluruh yang kuat dalam sektor jasa. Selain itu penduduk dapat melakukan diversifikasi mata pencaharian untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Selain dapat mengurangi kerusakan terhadap sumberdaya alam, juga memberi kesempatan pada penduduk yang tidak mempunyai lahan pertanian atau penduduk yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dari kegiatan yang berhubungan dengan pertanian (Astuti, 2017).

Tabel 10 Tingkat kesejahteraan penduduk DAS BrantasTable 10 Welfare level of Brantas watershed area

No. Kabupaten/kota(Regency/city)

Total pendapatan (Total income)

(x Rp1.000.000)

Jumlah penduduk

(Total population)

TKP(Level of welfare)

Keterangan(Remark)

Skor(Score)

1. Trenggalek 9.043.498,52 794.255 11.386.134 Sangat baik (Very good) 0,52. Tulungagung 18.981.008,90 1.004.224 18.901.170 Sangat baik (Very good) 0,53. Blitar 17.737.278,78 1.130.322 15.692.233 Sangat baik (Very good) 0,54. Kediri 18.839.139,57 1.537.545 12.252.737 Sangat baik (Very good) 0,55. Malang 46.955.680,00 2.466.609 19.036.535 Sangat baik (Very good) 0,56. Mojokerto 39.080.920,00 1.138.865 34.315.662 Sangat baik (Very good) 0,57. Jombang 19.546.625,93 1.246.637 15.679.487 Sangat baik (Very good) 0,58. Nganjuk 12.773.810,67 1.029.762 12.404.627 Sangat baik (Very good) 0,59. Kota Kediri 63.076.544,16 280.255 225.068.560 Sangat baik (Very good) 0,510. Kota Blitar 3.258.932,54 144.161 22.606.201 Sangat baik (Very good) 0,511. Kota Malang 33.419.520,00 834.007 40.071.011 Sangat baik (Very good) 0,512. Kota Mojokerto 3.369.880,00 133.007 25.323.735 Sangat baik (Very good) 0,513. Kota Batu 7.516.080,00 211.072 35.609.992 Sangat baik (Very good) 0,5

Rata-rata (Average) 22.584.532,24 919.290,88 37.565.237 Sangat baik (Very good) 0,5

Sumber (Source): Analisis data sekunder (Secondary data analysis) BPS, 2012; BPS, 2013; BPS, 2014; BPS, 2015a

Keterangan (Remark): TKP: Tingkat kesejahteraan penduduk (Level of welfare population).

106

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 95-113

Page 37: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

3. Keberadaan dan Penegakan PeraturanMonitoring keberadaan dan penegakan

aturan dilakukan untuk mengetahui ada-tidaknya norma masyarakat, baik formal maupun nonformal, yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air, sampai pelaksanaan dari norma tersebut di masyarakat. Keberadaan dan penegakan peraturan didekati dari ada-tidaknya suatu aturan masyarakat di DAS yang berkaitan dengan konservasi. Penilaian dilakukan dalam lima klasifikasi, yaitu ada, dipraktikkan secara luas; ada, dipraktikkan terbatas; ada, tidak dipraktikkan; tidak ada peraturan; ada, tapi kontra konservasi.

Hasil penelitian keberadaan dan penegakan peraturan di wilayah DAS Brantas menunjukkan bahwa secara umum nilai keberadaan dan penegakan peraturan sudah mencapai nilai baik dengan skor 0,75 (Tabel 11). Hasil ini menunjukkan bahwa di wilayah DAS Brantas sudah ada peraturan, baik formal maupun non formal, namun dalam penerapannya masih terbatas. Peraturan non formal seperti anjuran untuk melakukan terasering hanya dilakukan sebagian, tidak dilakukan secara keseluruhan; masih ada

terasering yang miring ke luar, yang tentu saja akan meningkatkan erosi tanah. Hal tersebut biasanya dilakukan karena terasering miring ke dalam lebih sulit dan memerlukan waktu yang lama sehingga petani lebih banyak melakukan terasering miring ke luar karena lebih mudah dan tidak memerlukan waktu lama. Hal ini menunjukkan bahwa konservasi tanah sudah dilakukan tetapi belum sesuai dengan konservasi tanah secara benar.

Hasil penelitian ini juga tidak jauh beda seperti yang diungkapkan oleh Purwanto & Paimin (2007) dan Waskitho (2013) di DAS Brantas. Oleh karena itu, ke depannya pemerintah perlu mendorong dan melakukan sosialisasi peraturan yang ada. Sebagai contoh, Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air yang di dalamnya mensyaratkan bahwa pelaksanaan konservasi tanah dan air menjadi kewajiban semua orang atau instansi terkait.

4. Klasifikasi KotaKlasifikasi kota dilakukan untuk

mengetahui keberadaan dan status/kategori kota di DAS. Menurut PP No. 26 tahun

107

Evaluasi Kinerja Sosial Ekonomi DAS Brantas Berdasarkan Penerapan P61/Menhut-II/2014................(Nur Ainun Jariyah)

Tabel 11 Keberadaan dan penegakan hukum di DAS BrantasTable 11 The presence and law enforcement in the Brantas watershed area

No. Kabupaten/kota(Regency/city)

Keberadaan penegakan hukumThe presence and law enforcement )

Keterangan (Remark)

Skor (Score)

1. Trenggalek Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,752. Tulungagung Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,753. Blitar Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,754. Kediri Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,755. Malang Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,756. Mojokerto Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,757. Jombang Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,758. Nganjuk Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,759. Kota Kediri Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,7510. Kota Blitar Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,7511. Kota Malang Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,7512. Kota Mojokerto Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,7513. Kota Batu Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,75

Rata-rata (Average)

Ada, dipraktikkan terbatas (Exist, limited practice) Baik (Good) 0,75

Page 38: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Selain itu, klasifikasi kota juga dibedakan berdasarkan jumlah penduduk (Santoso, 2009; Harmantyo, 2007) seperti yang tertera pada Tabel 2. Perkotaan kecil, jumlah penduduk >50.000-100.000 jiwa; perkotaan sedang, jumlah penduduk 100.000-500.000 jiwa; perkotaan besar, jumlah penduduk >500.000 jiwa; dan kota metropolitan, jumlah penduduk >1.000.000 jiwa.

Jumlah penduduk sangat berpengaruh terhadap pemukiman dan aspek ruang atau lahan yang digunakan. Perluasan pemukiman akan berpengaruh terhadap perubahan bentang lahan yang tentu saja berpengaruh terhadap lingkungan, antara lain pengurangan wilayah resapan air, erosi tanah, dan longsor (Dewi, 2011). Peningkatan jumlah penduduk sangat mempengaruhi sistem regulasi dan kebijakan pengelolaan DAS. Semakin tinggi jumlah penduduk akan mengalami permasalahan yang lebih komplek, terutama permasalahan lingkungan (Mawardi, 2008; Landra & Setyono, 2012).

Dari hasil kajian, terdapat tujuh kabupaten di DAS Brantas yang masuk dalam kategori kota metropolitan yaitu Kabupaten Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, Mojokerto, Jombang, dan Nganjuk; dua kabupaten dalam kategori perkotaan besar, yaitu Kabupaten Trenggalek dan Kota Malang; empat kabupaten/kota dalam kategori perkotaan sedang, yaitu Kota Kediri, Kota Blitar, Kota Mojokerto, dan Kota Batu. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 12.

5. Klasifikasi Nilai Bangunan AirKlasifikasi nilai bangunan air dilakukan

untuk mengetahui nilai bangunan air di DAS. Bangunan air yang dimaksud adalah

waduk, dam, bendungan, dan saluran irigasi. Investasi pembangunan prasarana di bidang sumberdaya air semakin lama semakin mahal (Nugroho, 2003; Abdurrahman, Hasyim, & Pudyono, 2015) dan diperlukan waktu yang cukup lama, untuk irigasi berskala besar dan waduk besar diperlukan waktu sekitar 10 tahun (Pasandaran, 2005). Semakin besar nilai investasi dalam suatu DAS maka semakin penting penanganan konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan di DAS tersebut, karena aset dan nilai investasi bangunan air dalam suatu DAS mencerminkan besar-kecilnya sumberdaya buatan manusia yang perlu dilindungi dari bahaya kerusakan lingkungan DAS seperti banjir, tanah longsor, sedimentasi, dan kekeringan (Badaruddin, Kadir, & Sirang, 2016). Bangunan serbaguna bendungan dan waduk Karangkates dan Sengguruh harus dijaga kelestariannya karena bangunan yang diselesaikan pada tahun 1972 tersebut menghabiskan investasi ratusan miliar rupiah. Fungsi utama bangunan-bangunan ini adalah untuk pengendalian banjir Sungai Brantas bagian tengah, irigasi sawah seluas tidak kurang dari 25.000 ha, dan PLTA dengan kapasitas ribuan GWH per tahun (Waskitho, 2013).

Apalagi sekarang ini, akibat pendangkalan waduk maka umur efektif Bendungan Sutami yang direncanakan selama 100 tahun, berkurang menjadi hanya 30 tahun saja. Sementara itu tahun 2003, kapasitas efektif Waduk Sengguruh hanya tinggal 42% dan Waduk Sutami tinggal 57% dibanding saat pembangunan. Untuk menekan jumlah sedimen yang masuk ke sungai, diharuskan memelihara fungsi kawasan resapan beserta sumber-sumber airnya (Widianto et al., 2010).

Secara lebih jelas klasifikasi DAS Brantas dapat dilihat pada Tabel 13. Beberapa waduk yang ada di DAS Brantas antara lain adalah waduk Sengguruh, Sutami, Lahor, Wlingi, Lodoyo, dan Selorejo. Sementara itu juga dibangun bendung, antara lain bendung Genteng I, Tugu, Beng, Kedung-warak, Ketandan, Semantok, Kuncir, Babadan, Lesti

108

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 95-113

Page 39: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

III, Kepanjen, Lumbangsari, Kesamben, serta Karangkates IV dan V. Waduk dan bendung tersebut memerlukan biaya investasi yang tinggi. Selain itu bangunan air yang dibangun berupa bangunan irigasi yang tersebar di DAS Brantas (Balai Besar Wilayah Sungai Brantas, 2011).

6. Evaluasi Kinerja Sosial ekonomiHasil perhitungan kinerja sosial ekonomi

DAS Brantas dapat dilihat pada Tabel 14.Berdasarkan Tabel 14 diperoleh bahwa

tekanan penduduk yang ditunjukkan dengan IKL rendah dapat dikatakan kondisinya buruk. Tingkat kesejahteraan rata-rata penduduk di wilayah DAS Brantas termasuk kategori sangat baik, dengan pendapatan di atas Rp5 juta. Penegakan peraturan di wilayah DAS Brantas menunjukkan bahwa secara umum nilai keberadaan dan penegakan peraturan sudah mencapai nilai baik (ada dan dipraktikkan terbatas). Ini berarti konservasi tanah sudah dilakukan tetapi belum sesuai dengan konservasi tanah secara benar. Klasifikasi kota termasuk dalam kategori

perkotaan besar dan kategori tinggi. Sementara itu klasifikasi nilai bangunan air dilakukan untuk mengetahui nilai bangunan air di DAS. Bangunan air yang dimaksud adalah waduk, dam, bendungan, dan saluran irigasi sangat tinggi. Nilai investasi bangunan air di DAS Brantas masuk dalam kategori tinggi, terlihat dari banyaknya waduk, bendungan, dan irigasi yang dibangun.

Berdasarkan hasil telaah kinerja sosial ekonomi DAS Brantas, hal-hal yang menjadi perhatian khusus adalah IKL yang menunjukkan kondisi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah KK jauh lebih besar dari ketersediaan lahan pertanian. Oleh karena itu penduduk harus mencari pekerjaan baru di luar sektor pertanian.

Hal kedua yang menjadi perhatian khusus adalah tingginya nilai bangunan air. Melihat tingginya investasi untuk pembangunan bangunan air maka diperlukan pemeliharaan bangunan tersebut agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Agar sedimen yang masuk ke bangunan air dapat berkurang maka perlu melakukan konservasi tanah dan air di

109

Evaluasi Kinerja Sosial Ekonomi DAS Brantas Berdasarkan Penerapan P61/Menhut-II/2014................(Nur Ainun Jariyah)

Tabel 12 Klasifikasi kota di DAS BrantasTable 12 Classification of the Brantas watershed area

No.Kabupaten/

kota(Regency/city)

Jumlah penduduk (Total population)

Klasifikasi perkotaan(Urban classification)

Keterangan(Remark)

Skor(Score)

1. Trenggalek 794.255 Perkotaan besar (Large urban) Tinggi (High) 1,252. Tulungagung 1.004.224 Metropolitan (Metropolitan city) Sangat tinggi (Very high) 1,53. Blitar 1.130.322 Metropolitan (Metropolitan city) Sangat tinggi (Very high) 1,54. Kediri 1.537.545 Metropolitan (Metropolitan city) Sangat tinggi (Very high) 1,55. Malang 2.466.609 Metropolitan (Metropolitan city) Sangat tinggi (Very high) 1,56. Mojokerto 1.138.865 Metropolitan (Metropolitan city) Sangat tinggi (Very high) 1,57. Jombang 1.246.637 Metropolitan (Metropolitan city) Sangat tinggi (Very high) 1,58. Nganjuk 1.029.762 Metropolitan (Metropolitan city) Sangat tinggi (Very high) 1,59. Kota Kediri 280.255 Perkotaan sedang (Medium city) Sedang (Medium) 110. Kota Blitar 144.161 Perkotaan sedang (Medium city) Sedang (Medium) 111. Kota Malang 834.007 Perkotaan besar (Large urban) Tinggi (High) 1,2512. Kota

Mojokerto133.007 Perkotaan sedang (Medium city) Sedang (Medium) 1

13. Kota Batu 211.072 Perkotaan sedang (Medium city) Sedang (Medium) 1Rata-rata (Average) 919.290,88 Perkotaan besar (Large urban) Tinggi (High) 1,25

Sumber (Source): Analisis data sekunder (Secondary data analysis) BPS, 2012; BPS, 2013; BPS, 2014; BPS, 2015a.

Page 40: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

110

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 95-113

Tabel 13 Klasifikasi kota DAS BrantasTable 13 City classification of the Brantas watershed

No.

Kabupaten/kota

(Regency/city)

Parameter(Parameter)

Nilai investsi bangunan air

(Value of water building)

Keterangan(Remark)

Skor(Score)

1. Trenggalek Waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

>Rp60 miliar Sangat tinggi (Very high)

1,5

2. Tulungagung Waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

>Rp60 miliar Sangat tinggi (Very high)

1,5

3. Blitar Waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

>Rp60 miliar Sangat tinggi (Very high)

1,5

4. Kediri Waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

>Rp60 miliar Sangat tinggi (Very high)

1,5

5. Malang Waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

>Rp60 miliar Sangat tinggi (Very high)

1,5

6. Mojokerto Waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

>Rp60 miliar Sangat tinggi (Very high)

1,5

7. Jombang Waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

>Rp60 miliar Sangat tinggi (Very high)

1,5

8. Nganjuk Waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

>Rp60 miliar Sangat tinggi (Very high)

1,5

9. Kota Kediri Waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

>Rp60 miliar Sangat tinggi (Very high)

1,5

10. Kota Blitar Waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

>Rp60 miliar Sangat tinggi (Very high)

1,5

11. Kota Malang Waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

>Rp60 miliar Sangat tinggi (Very high)

1,5

12. Kota Mojokerto

Waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

>Rp60 miliar Sangat tinggi (Very high)

1,5

13. Kota Batu Waduk, dam, bendungan, saluran irigasi (Reservoirs, dams, dams, irrigation channels)

>Rp60 miliar Sangat tinggi (Very high)

1,5

Tabel 14 Hasil evaluasi kinerja sosial ekonomi DAS BrantasTable 14 Performance evaluation results socio-economic Brantas watershed

Indikator/parameter (Indicator/parameter)Bobot (Weight) Bobot (Weight)

x skor (score)% Skor (Score)Sosial ekonomi (Socio-economic) 20a. Tekanan penduduk (The population pressure) 10 1,34 13,4b. Tingkat kesejahteraan penduduk (Level of welfare of the

population)7 0,5 3,5

c. Keberadaan dan penegakan hukum (The existence and enforcement of regulations)

3 0,75 2,25

Nilai bangunan air (Value of water building) 10a. Klasifikasi kota (City classification) 5 1,32 6,6b. Klasifikasi nilai bangunan air (Building water value

classification)5 1,5 7,5

Rata-rata DAS (Average watershed) 33,25

Page 41: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

wilayah hulu. Selain itu perlu memelihara fungsi resapan beserta sumber-sumber airnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Hasil evaluasi pengelolaan DAS Brantas

berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.61/Menhut-II/2014 di bidang sosial ekonomi adalah (1) Tekanan penduduk tinggi, kondisi tersebut dapat dikatakan buruk di mana jumlah KK jauh lebih besar dari ketersediaan lahan pertanian sehingga diperlukan pengaturan tentang lahan, (2) Tingkat kesejahteraan rata-rata penduduk di wilayah DAS Brantas termasuk kategori sangat baik, pendapatan per kapita lebih dari Rp5.000.000, (3) Penegakan peraturan di wilayah DAS Brantas secara umum sudah mencapai nilai baik, dipraktikkan terbatas. Ini berarti konservasi tanah sudah dilakukan tetapi belum sesuai dengan konservasi tanah secara benar, (4) Klasifikasi perkotaan termasuk perkotaan besar dalam kategori tinggi, (5) Nilai investasi bangunan air di DAS Brantas masuk dalam kategori tinggi, terlihat dari banyaknya waduk, bendungan, dan irigasi yang dibangun sehingga diperlukan pemeliharaan fungsi bangunan agar dapat digunakan dalam jangka panjang.

B. SaranBerdasarkan hasil evaluasi tersebut maka

yang menjadi perhatian penting adalah jumlah penduduk yang padat dan penerapan konservasi tanah dan air yang belum dilakukan secara benar. Kedua permasalahan tersebut menjadi perhatian penting untuk segera diselesaikan.

Hal yang perlu dilakukan oleh Pemerintah adalah (1) alternatif mata pencaharian lain di luar sektor pertanian untuk mengatasi tingginya tekanan penduduk, (2) pemeliharaan fungsi kawasan resapan beserta sumber-sumber air untuk mengurangi tingkat sedimentasi di bangunan air.

Permasalahan sosial ekonomi yang menjadi perhatian utama dan perlu segera ditangani adalah kepadatan penduduk serta penerapan konservasi tanah dan air. Untuk mengatasi permasalahan kepadatan penduduk, perlu dilakukan pembatasan jumlah kelahiran dan melakukan transmigrasi atau penyebaran penduduk yang merata. Untuk praktik konservasi tanah dan air, pelu dilakukan penyuluhan yang intensif guna menyadarkan masyarakat tentang pentingnya konservasi tanah dan air yang benar.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada tim “Daya Dukung Lahan di DAS Brantas” yang telah banyak membantu penulis dalam pengumpulan data di lapangan. Kami ucapkan terima kasih kepada Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Surakarta yang telah memberi ijin terselenggaranya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, G., Hasyim, M. H., & Pudyono. (2015). Studi kelayakan investasi pembangunan waduk Jlantah Kabupaten Karanganyar dari aspek ekonomi. Jurnal Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, 1(3).

Adi, R. N., & Savitri, E. (2017). Daya dukung DAS Brantas berdasarkan evaluasi kriteria tata air. Prosiding Seminar Nasional Gegrafi UMS 2017 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Berkelanjutan. Muhammadiyah University Press.

Adi, R. N., Savitri, E., Wahyuningrum, N., Jariyah, N. A., Putra, P. B., Susanti, P. D., … Siswo. (2016). Daya dukung DAS di berbagai tipologi dan luasan DAS (Laporan Hasil Penelitian). Surakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS.

Ariani, R. D., & Harini, R. (2012). Tekanan penduduk terhadap lahan pertanian di kawasan pertanian (kasus Kecamatan Minggir dan Moyudan). Jurnal Bumi Indonesia, 1(3).

Astuti, H. P. (2017). Kajian implementasi pengelolaan sumber daya air terpadu (PSDAT) pada Daerah Aliran Sungai Brantas Hulu. Jurnal Kajian Teknik Sipil, 2(2), 18–28.

111

Evaluasi Kinerja Sosial Ekonomi DAS Brantas Berdasarkan Penerapan P61/Menhut-II/2014................(Nur Ainun Jariyah)

Page 42: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Badaruddin, Kadir, S., & Sirang, K. (2016). Peningkatan daya dukung DAS Satui dalam rangka pengendalian banjir di Provinsi Kalimantan Selatan (Laporan Akhir Hibah Kompetensi). Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat.

Balai Besar Wilayah Sungai Brantas. (2011). BBWS Brantas. Balai Besar Wilayah Sungai Brantas, 1–67.

Basuki, A. T., & Gayatri, U. (2009). Penentu sektor unggulan dalam pembangunan daerah: studi kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, 10(1), 34–50.

BPS. (2011). Provinsi Jawa Timur dalam Angka 2011. BPS.

BPS. (2012). Provinsi Jawa Timur dalam Angka 2012. BPS.

BPS. (2013). Provinsi Jawa Timur dalam Angka 2013. BPS.

BPS. (2014). Jawa Timur dalam Angka 2014. BPS.BPS. (2015a). Jawa Timur dalam Angka 2015. BPS.BPS. (2015b). Kebumen dalam Angka 2015. BPS.Cahyadi, A. (2017). Kajian permasalahan Daerah

Aliran Sungai Juwet Kabupaten Gunungkidul dan usulan penanggulanggannya. Seminar Nasional Geospatial Day 2012.

Cahyono, S. A., & Wijaya, W. W. (2014). Identifikasi sektor ekonomi unggulan dan ketimpangan pendapatan antar kabupaten di sub DAS Bengawan Solo Hulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(1), 32–43.

Cahyono, S. A., & Wijaya, W. W. (2017). Pertumbuhan dan ketimpangan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Seminar Nasional BAPPEDA Provinsi Jawa Tengah 2017 “Inovasi dan Kreasi Memajukan Jawa Tengah” (pp. 874–878).

Dewi, I. K. (2011). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan permukim di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor. Jurnal Ekologia, 11(1), 12–20.

Dewi, R. P., Muryani, C., & Sarwono. (2015). Perubahan daya dukung lahan Kabupaten Boyolali Tahun 2003 - 2012. Jurnal GeoEco, 1(1), 47–57.

Fadhli, A. (2011). Valuasi ekonomi sumberdaya alam sub DAS Biyonga dalam kawasan DAS Limboto. (Tesis). Institut Pertanian Bogor.

Farid, A. (2016). Studi kasus permasalahan dan pengelolaan sempadan sungai Brantas. Jurnal Agriment, 1.

Hakim, M. L. (2010). Dampak alih fungsi lahan terhadap keberlanjutan suplai air di Waduk Sutami, Malang, Jawa Timur. Widyariset, 13(3), 27–34.

Harini, S., Suyono, & Mutiara, E. (2012). Manajemen pengelolaan lahan kritis pada Brantas Hulu Berbasis Masyarakat (Pilot project Desa Bulukerto, Kota Batu). Jurnal SAINSTIS, 1(1), 92–111.

Harmantyo, D. (2007). Pemekaran daerah dan konflik keruangan. Kebijakan otonomi daerah dan implementasinya di Indonesia. Makara Sains, 11(1), 16–22.

Kustamar. (2016). Konservasi sumber daya air di hulu DAS. Prosiding Temu Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI).

Landra, J. U., & Setyono, J. S. (2012). Perkembangan sosial ekonomi kota kecil di Jawa Tengah. Jurnal Teknik Perencanaan Wilayah Kota, 1(1), 19–29.

Listyawati, H. (2010). Kegagalan pengendalian alih fungsi tanah dalam perspektif penatagunaan tanah di Indonesia. Mimbar Hukum, 22(1) 37–57.

Lusiana, N., Rahadi, B., & Anugroho, F. (2017). Identifikasi kesesuaian penggunaan lahan pertanian dan tingkat pecemaran air sungai di DAS Brantas Hulu Kota Batu. Jurnal Teknologi Pertanian, 18(2), 129–142.

Mawardi, I. (2008). Upaya meningkatkan daya dukung sumberdaya air Pulau Jawa. Journal Teknik Lingkungan, 9(1), 98–107.

Nugroho, S. P. (2003). Pergeseran kebijakan dan paradigma baru dalam pengelolaan daerah aliran sungai di Indonesia. Jurnal Teknologi Lingkungan P3TL-BBPT, 4(3), 136–142.

Paimin, Pramono, I. B., Purwanto, & Indrawati, D. R. (2012). Sistem perencanaan pengelolaan daerah aliran sungai. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR).

Pasandaran, E. (2005). Reformasi irigasi dalam kerangka pengelolaan terpadu sumberdaya air. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 3(3), 217–235.

Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana tata Ruang Wilayah Nasional.

Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan.

Peraturan Menteri Kehutanan No: P.61/Menhut-II/2014 tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Prasetyo, B. (2012). Studi pemodelan desa/kelurahan konservasi di kawasan hulu DAS/WS Brantas. Jurnal Politik Indonesia, 1(2).

Purwanto, & Paimin. (2007). Aspek sosial ekonomi dan kelembagaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Prosiding Workshop Peran Hutan Dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007, 283–298.

112

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 95-113

Page 43: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Rejekiningrum, P. (2014). Identifikasi kekritisan air untuk perencanaan penggunaan air agar tercapai ketahanan air di DAS Bengawan Solo. Seminar Nasional FMIPA-UT 2014, 23 September 2014, Universitas Terbuka. (pp. 170–184).

Ruhimat, M. (2015). Tekanan penduduk terhadap lahan di Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi. Jurnal Geografi Gea, 15(2).

Ruswansi, A., Rustiadi, E., & Mudikdjo, K. (2007). Dampak konversi lahan pertanian terhadap kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah : studi kasus di daerah Bandung Utara. Jurnal Agro Ekonomi, 25(2), 207–219.

Salminah, M., Alviya, I., Arifanti, V. B., & Maryani, R. (2014). Karakteristik ekologi dan sosial ekonomi lanskap hutan pada DAS kritis dan tidak kritis: studi kasus di DAS Baturusa dan DAS Cidanau. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(2), 119–136.

Santoso, E. B. (2009). Daya saing kota-kota besar di Indonesia. Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya ,29 Oktober 2009 “Menuju Penataan Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan, Berdaya saing, dan Berotonomi.

Saridewi, T. R., Hadi, S., Fauzi, A., & Rusastra, I. W. (2014). Penataan ruang Daerah Aliran Sungai Ciliwung dengan pendekatan kelembagaan dalam perspektif pemantapan pengelolaan usahatani. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, 32(2), 87–102.

Shodriyah, F., Sayekti, R. W., & Prasetyorini, L. (2014). Studi penentuan kinerja pengelolaan DAS (kelestarian lingkungan dan ekonomi) di sub DAS Brantas Hulu. Jurnal Pengairan.

Siregar, H., & Wahyuni, D. (2007). Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Economics Development, 1–28.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 328/Menhut-II/2009. (2009) tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010-2014.

Sofyan, H., Thamrin, & Mubarak. (2015). Model pengelolaan daerah aliran sungai terpadu (sub DAS Apung Kanan). Jurnal Ilmu Lingkungan, 9(1), 59–70.

Sriutomo, U. R. P., & Christanto, J. (2015). Daya dukung pertanian tanaman pangan terhadap kebutuhan pangan penduduk di Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Bumi Indonesia, 4(2).

Syaf, R., Hidayat, M. S., & Achmad, E. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga miskin di sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas (studi kasus desa-desa penyangga TNBD di Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batang Hari). Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah, 1(2), 127–136.

Sylviani, & Suryandari, E. Y. (2017). Dampak pengembangan sektor ekonomi terhadap potensi konflik di KPHP Delta Mahakam dan KPHL Sungai Beram Hitam. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 14(3), 171–190.

Undang-Undang No. 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Undang-Undang No. 37 tahun 2014 tentang Konservasi tanah dan Air.

Vipriyanti, N. U. (2017). Model penggunaan lahan berbasis budaya di DAS Tukad Pakerisan Bali. Prosiding Seminar Nasional Perencanaan Pembangunan Inklusif desa Kota (pp. 425–430).

Waskitho, N. T. (2013). Model budaya organisasi dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Brantas. Jurnal Humanity, 8(2), 75–82.

Widianto, Suprayogo, D., Sudarto, & Lestariningsih, I. D. (2010). Implementasi kaji cepat hidrologi (RHA) di hulu DAS Brantas, Jawa Timur. Bogor.

Widiatmaka, Ambarwulan, W., Purwanto, M. Y. J., Setiawan, Y., & Effendi, H. (2015). Daya dukung lingkungan berbasis kemampuan lahan di Tuban, Jawa Timur. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 22(2), 247–259.

Wuryanta, A., & Susanti. P. D. (2015). Analisis spasial tekanan penduduk terhadap lahan pertanian di sub DAS Keduang, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 12(3), 149–162.

Yetti, E., Soedharma, D., & Hariyadi, S. (2011). Evaluasi kualitas air sungai-sungai di kawasan DAS Brantas Hulu Malang dalam kaitannya dengan tata guna lahan dan aktivitas masyarakat di sekitarnya. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 1(1), 10–15.

Yuwono, E. (2012). Studi konservasi dengan konsep pendekatan vegetatif guna mengatasi kekritisan lahan pada sub DAS Brantas Hulu di wilayah Kota Batu. Jurnal Spectra, X(19), 1–16.

113

Evaluasi Kinerja Sosial Ekonomi DAS Brantas Berdasarkan Penerapan P61/Menhut-II/2014................(Nur Ainun Jariyah)

Page 44: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

114

Page 45: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

115

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 115-126p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221Terakreditasi Nomor 21/E/KPT/2018

NILAI EKONOMI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN BUTON UTARA, PROVINSI SULAWESI TENGGARA

(Social and Economic Valuation of Mangrove Forest Ecosystem in North Buton Regency, Southeast Sulawesi Province)

Firman Syah, Leti Sundawati, & Bahruni

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Jl. Lingkar Akademik, Kampus IPB, Dramaga, Bogor, 16680, Indonesia;

E-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]

Diterima 14 September 2018, direvisi 18 Juli 2019, disetujui 18 Juli 2019.

ABSTRACT

Mangrove forest is the main life-supporting ecosystem which is important for coastal and marine areas that have economic function as well spawning ground for living things. This study aims to analyze the community perception as well as to find out the economic value generated from mangrove ecosystem in Kalibu and Eelahaji villages, North Buton Regency. The study used purposive sampling method with the 50 respondents from both villages that were chosen in purposively. The results showed that ccommunity perceptions to the benefit of mangrove forests and forest protection in the Kalibu and Eelahaji vilages were still in high category. According to the community perception, the main cause of mangrove forest degradation was due to mangrove wood collection for fire wood. Economic valuation is an effort to provide quantitative value of goods and services provided by natural resources and environment in the form of direct use value, indirect use value, and option value. The direct value of mangrove forest benefit consists of fire wood, fish, crab, and shrimp. Indirect use value of mangrove forest is in the form of barrier to abrasion and sea- water intrusion while the option value is in the form of ecotourism. The quantification of all economic values from mangrove of Kalibu village results in IDR 8,680,773,742 per year while in Eelahaji village is IDR 6,144,339,375 per year.

Keywords: Community, mangrove, perception, economic valuation.

ABSTRAK

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan yang mempunyai fungsi ekonomi serta sebagai tempat memijah mahluk hidup. Penelitian ini bertujuan menganalisis persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove dan melakukan valuasi ekonomi ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji, Kabupaten Buton Utara, guna mengetahui persepsi masyarakat tentang hutan mangrove dan mengetahui nilai ekonomi yang dihasilkan dalam ekosistem mangrove. Penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling terhadap 50 responden dari kedua desa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat tentang manfaat hutan mangrove dan persepsi masyarakat tentang perlindungan hutan di Desa Kalibu dan Eelahaji masih tergolong tinggi. Menurut persepsi masyarakat, penyebab utama kerusakan hutan mangrove adalah pengambilan kayu bakar yang sangat mendesak. Valuasi ekonomi merupakan suatu upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan berupa nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, dan nilai pilihan. Nilai guna langsung hutan mangrove terdiri manfaat kayu bakar, ikan, kepiting, dan udang; nilai guna tidak langsung yaitu sebagai penahan abrasi dan penahan intrusi air laut, sedangkan nilai pilihan adalah ekowisata. Kuantifikasi seluruh nilai ekonomi mangrove di Desa Kalibu sebesar Rp8.680.773.742 per tahun, sedangkan di Desa Eelahaji sebesar Rp6.144.339.375 per tahun.

Kata kunci: Mangrove, masyarakat, persepsi, valuasi ekonomi.

©2019 JPSEK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpsek.2019.16.2.115-126

Page 46: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

I. PENDAHULUANHutan mangrove merupakan ekosistem

utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Selain fungsi lingkungan, hutan mangrove mempunyai fungsi ekonomi yang penting seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan, dan lain-lain (Saprudin & Halidah, 2012). Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam khas pesisir tropika yang mempunyai manfaat berganda dengan pengaruh yang sangat luas apabila ditinjau dari aspek ekologi, sosial, ekonomi (Sobari, Andrianto, & Azis, 2006).

Luas hutan mangrove di Indonesia saat ini sekitar 3,2 juta hektar yang tersebar di seluruh pulau besar dan kecil, hampir 21% dari total mangrove dunia, dengan jumlah spesies tidak kurang dari 75 spesies. Kondisi ini membuat Indonesia dikenal sebagai negara dengan mangrove terluas dengan tingkat keanekaragaman hayati yang relatif tinggi (Giri, Long, Abbas, & Murali, 2014). Luas mangrove untuk wilayah Sulawesi Tenggara sekitar 74.348,820 ha (RLPS-MOF 2007 dalam Hartini, Saputro, & Yulianto, 2010). Kabupaten Buton Utara memiliki luas hutan mangrove sekitar 13.393,42 ha yang tersebar di sebagian kecamatan dan desa yang ada, di antaranya Desa Eelahaji memiliki luas hutan mangrove sekitar 35 ha dan di Desa Kalibu sekitar 27 ha, kedua desa tersebut terletak di Kecamatan Kolisusu.

Kelestarian hutan mangrove di Kabupaten Buton Utara semakin terancam seiring dengan perkembangan dan pembangunan kota. Selain itu, juga dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dan petani, di mana kehidupan mereka tergantung dari hasil tangkapan ikan, udang, kepiting, serta penjualan kayu bakar yang berasal dari mangrove. Keberadaan hutan mangrove ini terancam oleh perilaku masyarakat yang merusak lahan hutan seperti penebangan pohon yang dijadikan kayu bakar untuk mencukupi kebutuhan hidup

mereka. Mangrove adalah harta berharga yang tak ternilai dari keanekaragaman hayati kita dengan ekologi yang sangat besar dan signifikansi ekonomi (Devi & Hema, 2015).

Ekosistem mangrove merupakan aset dan sumberdaya yang dapat menyediakan barang yang dapat dimanfaatkan secara langsung untuk kebutuhan manusia dan menghasilkan jasa yang tidak diorganisasikan melalui mekanisme pasar. Ekosistem mangrove memiliki nilai yang tinggi, baik nilai ekologis maupun nilai ekonomis bagi kelangsungan hidup manusia. Untuk mengetahui besarnya nilai ekonomi mangrove perlu diadakan valuasi ekonomi yang merupakan suatu upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan (Wahidin, Ola, Yusuf, & Sumber, 2013).

Kerangka nilai ekonomi yang digunakan dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam termasuk mangrove adalah konsep total economic value (TEV) yang secara garis besar terdiri atas dua kelompok yaitu nilai atas dasar penggunaan (use value) dan nilai yang terkandung di dalamnya atau nilai intrinsik (non use value) (Fadhila, Saputra, & Wijayanto, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Fahrudin, Riani, Sanusi, Zamani, & Putranto (2018) menyatakan bahwa nilai manfaat langsung mangrove adalah sebesar US$1.702.605,73/tahun. Kontribusi terbesar berasal dari nilai tidak langsung, yaitu sebagai penyangga abrasi atau sebagai penampung air, sebesar US$1.237.277,78/tahun. Oleh sebab itu penilaian ekonomi dan potensi sumberdaya alam merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya keberadaan ekosistem hutan mangrove. Diharapkan masyarakat terus menjaga ekosistem hutan mangrove agar tetap lestari, mengingat manfaat hutan mangrove sebagai tempat biota perairan yang dapat menunjang perekonomian masyarakat pesisir. Hal ini dapat dilihat dari besarnya penangkapan biota perairan pada mangrove

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 115-126

116

Page 47: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

yang baik dan mangrove yang rusak.Berdasarkan uraian di atas maka dapat

dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian yaitu: (1) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji? (2) Berapa besar nilai ekonomi ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji? Dengan demikian tujuan dari penelitian ini yaitu: (1) Menganalisis persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove dalam berbagai aspek di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji, (2) Menghitung nilai ekonomi ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan WaktuPenelitian dilakukan di Desa Kalibu

dan Desa Eelahaji, Kabupaten Buton Utara mulai bulan Februari hingga April 2017. Lokasi dipilih secara purposive yaitu di Desa Kalibu yang mangrovenya baik dan Desa Eelahaji yang memiliki hutan mangrove jarang. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004, kategori hutan mangrove baik yaitu kerapatan pohon sebanyak >1.000 sampai dengan <1.500 pohon/ha, sedangkan kategori hutan mangrove rusak adalah yang vegetasinya sangat jarang dengan kerapatan pohon adalah <1.000 pohon/ha.

B. Pemilihan RespondenMetode pengambilan sampel/responden

yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah responden 50, terdiri dari 25 orang untuk masing-masing desa.

C. Kerangka PikirHutan mangrove merupakan ekosistem

hutan peralihan antara daratan dan lautan yang diketahui memiliki banyak manfaat. Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam wilayah pesisir yang memiliki peran penting dari segi sosial, ekonomi, dan ekologis (Mariana & Zulkarnaini, 2016).

Penilaian jasa ekosistem adalah proses yang kompleks karena mencakup beberapa dimensi (ekologis, sosial-budaya, dan ekonomi) dan tidak semua dapat dikuantifikasi dalam satuan moneter (Guebas, Koedam, Huge, Sutherland, & Mukherjee, 2014).

Hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji, Kabupaten Buton Utara merupakan sumberdaya alam yang tidak hanya memiliki fungsi ekonomi, tetapi juga ekologi dan fisik yang tidak dapat dinilai secara langsung dengan uang karena tidak memiliki harga pasar sehingga dilakukan penelitian terkait nilai ekonomi total hutan mangrove. Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi sumberdaya hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji menggunakan analisis deskriptif guna mengetahui kondisi aktual hutan mangrove di daerah tersebut.

Penghitungan nilai ekonomi total (NET) berasal dari penjualan nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, dan nilai non-guna (Turner, 2016). Nilai kegunaan langsung (direct use value) yaitu output (barang dan jasa) yang terkandung dalam suatu sumberdaya yang secara langsung dapat dimanfaatkan, sedangkan nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value) yaitu barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya yang tidak secara langsung dapat diambil dari sumberdaya alam tersebut.

Identifikasi nilai manfaat hutan mangrove diperoleh melalui wawancara dengan responden menggunakan panduan kuesioner. Manfaat hutan mangrove yang diperoleh terdiri dari nilai guna dan nilai bukan guna. Nilai guna merupakan nilai dari manfaat yang langsung dapat diambil dari sumberdaya, sedangkan nilai bukan guna merupakan nilai dari manfaat yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya. Nilai guna dari hutan mangrove ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, nilai guna langsung yang diperoleh dari pemanfaatan langsung hutan mangrove yaitu pemanfaatan kayu bakar, penangkapan ikan, penangkapan udang, dan kepiting. Kedua, nilai guna tak langsung

Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Kabupaten Buton Utara,................(Firman Syah, Leti Sundawati, & Bahruni)

117

Page 48: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

yang diperoleh dari jasa lingkungan hutan mangrove yaitu pencegah intrusi air laut ke darat. Ketiga, nilai pilihan yang diperoleh dari kesediaan seseorang untuk membayar guna pemanfaatan ekowisata mangrove di masa yang akan datang. Seluruh nilai manfaat hutan mangrove kemudian dikuantifikasi ke dalam nilai uang sehingga diperoleh nilai ekonomi totalnya.

D. Analisis DataSecara umum metode analisis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, yaitu metode analisis yang berusaha menjelaskan objek kajian menurut kriteria tertentu sehingga memberikan gambaran sesungguhnya yang terjadi di tempat penelitian tersebut. Persepsi masyarakat dianalisis menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Metode yang digunakan untuk mengukur persepsi masyarakat adalah metode survei dengan menggunakan skala Likert. Urutan untuk skala Likert menggunakan 5 angka penilaian (Gumilar, 2012), yaitu: sangat setuju/SS (bobot 5), setuju/S (bobot 4), netral/abstain/A (bobot 3), tidak setuju/TS (bobot 2), sangat tidak setuju/STS (bobot 1).

Pengukuran tingkat persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji diukur berdasarkan skala Likert dari total skor terhadap delapan pernyataan penduga persepsi seperti yang tercantum dalam Tabel 1.

Penilaian ekonomi dari manfaat sumberdaya hutan mangrove, yaitu dengan mengidentifikasi manfaat dan fungsi-fungsi keterkaitan antar sumberdaya mangrove (Siahainenia, 2012), antara lain yang

ditetapkan pada hutan mangrove yang baik dan jarang. Manfaat langsung mangrove yang diukur yaitu kayu bakar, udang, kepiting, dan ikan. Hal ini karena masyarakat di lokasi penelitian lebih banyak melakukan kegiatan tersebut.1. Manfaat Langsung (Direct Use Value)

dari hutan mangrove, dengan rumus:

Keterangan: ML = Manfaat langsung pada hutan mangrove baik;ML1 = Penerimaan produksi kayu bakar (rupiah/ tahun);ML2 = Penerimaan produksi ikan (rupiah/tahun);ML3 = Penerimaan produksi udang (rupiah/tahun); danML4 = Penerimaan produksi kepiting (rupiah/tahun).

2. Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value)

Manfaat tidak langsung didekati dari manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi atau peredam gelombang. Nilai ekonominya dihitung melalui pendekatan biaya pemeliharaan dengan metode replacement cost dan biaya pembuatan tanggul sebagai penahan abrasi dengan mengukur dimensi beton (panjang, lebar, tinggi). Sementara manfaat hutan mangrove sebagai penahan intrusi air laut ke air sumur yang digunakan masyarakat didekati dengan mengetahui jumlah pemakaian air. Metode yang digunakan untuk menghitung nilai penahan intrusi air laut adalah subtitute cost.

Perhitungan nilai total manfaat tidak langsung dari hutan mangrove (Siahainenia, 2012) dengan menggunakan rumus:

Keterangan: MTL = Manfaat tidak langsung;MTL1 = Peredam gelombang (waterbreak) (rupiah/

tahun); danMTL2 = Penahan intrusi air laut (rupiah/tahun).

Tabel 1 Kategori tingkat persepsi masyarakatTable 1 Category of community perception level

No. Kategori (Category) Skor (Score)1. Tinggi (High) 30-402. Sedang (Medium) 19-293. Rendah (Low) 8-18

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 115-126

118

Page 49: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

3. Manfaat Pilihan (Option Value)Nilai manfaat pilihan adalah nilai

pilihan untuk melakukan preservasi bagi penggunaan barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan mangrove di masa yang akan datang yang tidak dapat digunakan pada saat sekarang (Fauzi, 2015). Hal ini dengan melakukan wawancara kepada masyarakat guna mengetahui kesediaan membayar untuk kelestarian hutan mangrove yang akan dijadikan sebagai tempat wisata di masa yang akan datang. Metode yang digunakan untuk mengetahui nilai pilihan ekowisata mangrove dengan teknik contingent valuation method (CVM), menggunakan rumus:

Keterangan: MP = Manfaat pilihan;MPi = Manfaat pilihan dari responden ke-i; dann = Jumlah responden.

Nilai ekonomi total merupakan penjumlahan seluruh macam nilai yaitu nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, dan nilai pilihan (Turner, 2016) dengan menggunakan rumus:NET = ML + MTL+ MP Keterangan:

NET = Nilai Ekonomi Total;ML = Manfaat Langsung;MTL = Manfaat Tidak Langsung; danMP = Manfaat Pilihan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Persepsi Masyarakat tentang Manfaat Hutan MangrovePersepsi merupakan produk atau proses

psikologi yang dialami seseorang setelah menerima stimulan yang mendorong tumbuhnya motivasi untuk memberikan respon melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan (Yuwuno, 2006 dalam Utami, 2017). Persepsi seseorang muncul terhadap suatu objek bersifat spontan sesuai dengan apa yang ada di dalam pikirannya yang didasari keyakinan kuat (Barkah, 2008 dalam Nugroho, Khairiansyah, & Zainal, 2018).

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam khas tropika yang mempunyai manfaat ganda dan pengaruh yang cukup luas apabila ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Tingkat persepsi masyarakat terhadap manfaat hutan dituangkan pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji, Kecamatan Kolisusu, mayoritas memiliki persepsi yang tinggi terhadap manfaat keberadaan hutan mangrove. Di Desa Kalibu sebanyak 23 responden memiliki persepsi tinggi, sedangkan masyarakat yang memiliki persepsi sedang sebanyak 2 respoden. Di Desa Eelahaji, yang memiliki tingkat persepsi tinggi sebanyak 25 responden, sedangkan untuk kategori sedang dan rendah tidak ada. Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar responden yang memiliki tingkat persepsi tinggi karena telah merasakan manfaat keberadaan hutan mangrove, seperti hutan mangrove sebagai penghasil kayu

Tabel 2 Distribusi responden berdasarkan persepsi tentang manfaat keberadaan hutan mangroveTable 2 Respondents distribution according to community perception of mangrove forest existence benefits

No. Persepsi (Perception) Desa Kalibu (Kalibu village) Desa Eelahaji (Eelahaji village)Jumlah (Total) % Jumlah (Total) %

Tinggi (High) 23 92 25 100Sedang (Medium) 2 8 0 0Rendah (Low) 0 0 0 0

Jumlah (Total) 25 100 25 100

Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Kabupaten Buton Utara,................(Firman Syah, Leti Sundawati, & Bahruni)

119

Sumber (Source): Data primer, diolah (Primary data, processed), 2018.

Page 50: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

yang bernilai ekonomi, dapat menambah kelimpahan biota air, dapat menahan intrusi air laut, serta sebagai tempat wisata. Responden yang memiliki persepsi sedang ialah responden yang mengetahui keberadaan kawasan hutan mangrove dan merasakan adanya manfaat dari keberadaan kawasan hutan mangrove namun tidak sepenuhnya memahami dan mengetahui tujuan dan fungsi adanya kawasan hutan mangrove tersebut. Responden yang memiliki persepsi rendah adalah responden yang tidak mengetahui secara baik tentang manfaat hutan mangrove.

Asmono (2014) dalam Ekawati, Halawane, Iwanudin, & Irawan (2017) menyatakan bahwa persepsi masyarakat akan baik apabila masyarakat memahami dengan baik bahwa dirinya bergantung hidup dari sumberdaya hayati hutan dan menginginkan agar sumberdaya tersebut dikelola secara lestari.

B. Persepsi Masyarakat tentang Penyebab Kerusakan Hutan MangrovePenyebab utama kerusakan ekosistem

hutan mangrove karena pengaruh faktor alam dan faktor manusia (Kusmana, 2003). Hasil penilaian persepsi masyarakat tentang penyebab kerusakan hutan yang paling berpengaruh di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji, Kecamatan Kolisusu, Kabupaten Buton Utara dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat tentang penyebab kerusakan hutan mangrove yang paling tinggi disebabkan oleh pengambilan kayu bakar yang sangat mendesak, yang digunakan untuk membakar batu merah dan kebutuhan rumah tangga, serta pembukaan wilayah tambak yang dilakukan masyarakat nelayan. Penurunan luasan mangrove di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan konversi mangrove

Tabel 3 Penyebab kerusakan hutan mangrove berdasarkan persepsi masyarakatTable 3 Mangrove forest damage cause according to community perception

Persepsi masyarakat (Community perception)Desa Kalibu

(Kalibu village)Desa Eelahaji

(Eelahaji village)SS S A TS STS SS S A TS STS

Kebutuhan kayu bakar yang mendesak (Urgent firewood needs)

2 22 2 0 0 0 25 0 0 0

Kerusakan mangrove karena kepentingan ekonomi (Mangrove damage due to economic interests)

2 22 1 0 0 2 23 0 0 0

Pembukaan lahan untuk kebutuhan tambak (Land clearing for pond needs)

2 16 4 3 0 7 8 0 0 0

Kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap masyarakat tentang hutan mangrove (Lack of government socialization of the community regarding mangrove forests)

0 17 5 3 0 1 19 5 0 0

Penegakan hukum lingkungan yang belum memadai (Enforcement of environmental law that is inadequate)

0 15 9 1 0 0 23 2 0 0

Kerusakan pesisir disebabkan faktor alam: banjir dan erosi (Coastal damage is caused by natural factors: flooding and erosion)

1 7 14 3 0 0 9 12 4 0

Masyarakat pendatang tidak menaati aturan dalam pengelolaan hutan mangrove (Community immigrants do not obey the rules in the management of mangrove forests)

1 7 14 3 0 0 9 12 4 0

Sumber (Source): Data primer, diolah (Primary data, processed), 2018.Keterangan (Information): SS = Sangat setuju (Strongly agree), S = Setuju (Agree), A = Abstain/netral (Abstain/

neutral), TS = Tidak setuju (Disagree), STS = Sangat tidak setuju (Strongly disagree).

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 115-126

120

Page 51: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

menjadi pertambakan (Anonymous, 2000 dalam Satri & Elhaq, 2011). Persepsi masyarakat yang paling rendah sebagai penyebab kerusakan hutan mangrove adalah karena faktor alam. Menurut masyarakat hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi dan ketegasan pemerintah setempat terhadap masyarakat yang melakukan perambahan hutan mangrove (illegal logging). Untuk pernyataan “penyebab kerusakan hutan mangrove adalah faktor alam”, mayoritas masyarakat memiliki persepsi tidak setuju.

Penyebab kerusakan hutan mangrove lainnya adalah kurangnya penyuluhan kepada masyarakat oleh Dinas Kehutanan dan tidak adanya aturan yang menimbulkan efek jera yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat perusak hutan mangrove. Selain itu pemerintah juga memberi ruang kepada masyarakat, seperti adanya ketentuan bahwa masyarakat dilarang mengambil kayu mangrove kecuali pohon mangrove sudah rebah.

Desmantoro, Wijayanto, & Sundawati (2016) menyatakan bahwa kerusakan hutan tidak mungkin dapat dihentikan tanpa dibangunnya kondisi yang memungkinkan tumbuhnya kepedulian masyarakat terhadap kelesatarian hutan. Oleh karena itu perlu keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sehingga alternatif yang dapat dipilih oleh pemerintah adalah menggulirkan kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Kartodihardji, 2007 dalam Desmantoro et al., 2016).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Suharti, Darusman, Nugroho, & Sundawati, 2016) tentang kelembagaan dan perubahan hak akses masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Sinjai Timur, pengelolaan hutan mangrove sangat berhasil dengan adanya keterlibatan masyarakat di dalamnya. Pengembangan hutan bakau terus dilaksanakan oleh masyarakat, baik secara swadaya maupun oleh pemerintah. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari peningkatan luasan mangrove dari tahun 2003 seluas 786 ha, dan di tahun 2015 meningkat menjadi 843 ha, dan tahun 2013 mencapai 1.157 ha (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Sinjai, 2013 dalam Suharti et al., 2016). Dengan demikian keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat penting.

C. Persepsi Masyarakat tentang Pengelolaan dan Perlindungan Hutan Mangrove Pengelolaan dan perlindungan hutan

mangrove merupakan suatu upaya pelestarian lingkungan yang mengutamakan pemanfaatan masa kini dan masa depan. Hal tersebut dapat meminimalisir kerusakan hutan. Masyarakat merupakan elemen penting karena menjadi pelaksana utama dalam upaya pengelolaan dan perlindungan hutan. Sistem pengelolaan mangrove untuk mempertahankan kelestariaan memerlukan adanya pola pengawasan terhadap ekosistem mangrove yang dikembangkan yaitu pola partisipatif, meliputi komponen yang diawasi, sosialisasi,

Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Kabupaten Buton Utara,................(Firman Syah, Leti Sundawati, & Bahruni)

Tabel 4 Distribusi responden berdasarkan persepsi tentang pengelolaan dan perlindungan hutan mangroveTable 4 Respondents distribution according to community perception of mangrove forest management and protection

No. Persepsi (Perception) Desa Kalibu (Kalibu village) Desa Eelahaji (Eelahaji village)Jumlah (Total) % Jumlah (Total) %

1. Tinggi (High) 18 72 13 522. Sedang (Medium) 7 28 12 483. Rendah (Low) 0 0 0 0

Jumlah (Total) 25 100 25 100

Sumber (Source): Data primer, diolah (Primary data, processed), 2018.

121

Page 52: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

122

pengawasan, insentif, dan sanksi. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang melibatkan masyarakat. Hal ini dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove.

Persepsi masyarakat tentang pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove dituangkan pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji terhadap pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove, mayoritas memiliki persepsi yang tinggi, sedangkan masyarakat yang memiliki persepsi sedang lebih sedikit. Persepsi tinggi adalah suatu persepsi yang mengetahui manfaat hutan mangrove dan terus menjaga kelestarian hutan mangrove. Persepsi sedang adalah suatu persepsi yang mengetahui manfaat hutan mangrove tetapi jarang melakukan kegiatan pelestarian hutan mangrove, sedangkan persepsi rendah merupakan msayarakat yang sama sekali tidak melakukan perlindungan dan tidak terlibat dalam pelestarian hutan mangrove.

Persepsi sedang masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji dipengaruhi oleh keinginanan masyarakat untuk dilibatkan langsung dalam pengelolaan hutan mangrove, bukan hanya pada saat ada kegiatan/proyek saja. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wibowo (2013) dalam Zainal, Khadapi, & Herdiansyah (2015) bahwa kelestarian hutan bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah, namun juga membutuhkan kesadaran atau peran partisipasi aktif masyarakat. Hal ini karena masyarakat sekitar hutan berhubungan langsung dengan keberadaan hutannya.

Masria, Golan, & Ihsan (2015) menyatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap hutan yang tergolong baik akan menjamin terjadinya sikap yang positif terhadap pengelolaan hutan. Selain itu juga perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan penduduk setempat dalam kegiatan pengelolaan kawasan

hutan mangrove. Pembentukan kelompok tani nelayan dapat mencegah masyarakat melakukan perombakan seperti pengambilan kayu bakar dari hutan mangrove di Kabupaten Buton Utara sehingga hutan mangrove tersebut dapat lestari. Hal ini sejalan dengan Umar (2009) yang menyatakan bahwa frekuensi masyarakat dalam beraktivitas memanfaatkan sumberdaya hutan merupakan aspek penting dalam pengelolaan hutan.

D. Nilai Ekonomi Total Manfaat Hutan MangroveKuantifikasi ekonomi dilakukan dengan

teknik penilaian terpilih berdasarkan kriteria yang sesuai dengan indikator penilaian. Nilai total ekonomi sumberdaya hutan mangrove adalah penjumlahan dari seluruh kompenen nilai, seperti nilai manfaat langsung, nilai manfaat tidak langsung, dan nilai pilihan.

Nilai guna langsung merupakan nilai yang langsung dirasakan oleh masyarakat yang tinggal sekitar hutan mangrove, seperti pengambilan kayu bakar, penangkapan ikan, udang, dan kepiting. Akhmad (2014) dalam Ismail (2017) menyatakan bahwa nilai guna tidak langsung adalah keseluruhan nilai produk dan jasa hutan mangrove yang harga dan nilainya ditentukan dengan shadow price. Hal ini dilakukan karena produk dan jasa mangrove tidak diperjual-belikan sehingga nilainya tidak dapat ditentukan secara langsung. Nilai guna tidak langsung mangrove terdiri dari penahan abrasi dan penahan intrusi air laut. Nilai pilihan merupakan nilai harapan masa yang akan datang terhadap komoditas yang saat ini digunakan maupun yang belum dimanfaatkan. Dalam penelitian ini, nilai yang digunakan adalah manfaat ekowisata hutan mangrove.

Hasil penelitian manfaat hutan mangrove yang dilakukan di Desa Kalibu dan Desa Eelehaji, Kecamatan Kolisusu berupa manfaat langsung seperti kayu bakar, ikan, udang, dan kepiting; manfaat tidak langsung berupa jasa lingkungan (penahan intrusi air laut dan penahan abrasi), dan manfaat pilihan.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 115-126

Page 53: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

123

Kuantifikasi seluruh manfaat hutan mangrove dapat dilihat pada Tabel 5.

Nilai masing-masing manfaat hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji sangat berbeda. Manfaat langsung yang selama ini diperoleh masyarakat merupakan sebagian dari keseluruhan manfaat hutan mangrove. Manfaat tidak langsung dan manfaat pilihan memiliki manfaat dan nilai yang sangat besar.

Nilai ekonomi total mangrove di Desa Kalibu yang kondisi mangrovenya relatif baik sebesar Rp8.680.773.742 per tahun, sedangkan di Desa Eelahaji yang kondisi mangrovenya sudah rusak/jarang sebesar Rp6.144.339.375 per tahun. Hasil ini lebih kecil bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Ahmad (2012) di Kabupaten Kubu Raya dengan total luas hutan mangrove 102.017 ha menghasilkan nilai ekonomi sebesar Rp400.018.397.288 per tahun. Penelitian yang dilakukan oleh (Mariana & Zulkarnaini, 2016) di Muara Indragiri menunjukkan bahwa estimasi total nilai ekonomi hutan mangrove sebesar Rp156.523.498.235 per tahun.

Keberadaan hutan mangrove memberikan kontribusi nilai ekonomi yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil perhitungan kuantifikasi manfaat hutan mangrove, kontribusi yang besar dihasilkan dari nilai manfaat tidak langsung, tetapi nilai manfaat langsung seperti nilai biota air dan pengambilan kayu bakar juga cukup tinggi. Manfaat langsung memiliki manfaat yang sangat penting

karena dapat membantu kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan. Perbedaan nilai ekonomi hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji disebabkan oleh perbedaan kondisi hutan mangrovenya. Hutan mangrove di Desa Kalibu masih dalam kategori baik, sedangkan di Desa Eelahaji sudah termasuk kategori rusak atau memiliki hutan mangrove yang jarang.

Keragaman jenis ikan dan jumlah hasil tangkapan di kawasan hutan mangrove dipengaruhi oleh kondisi hutannya. Hutan mangrove yang masih bagus akan lebih banyak karena kelimpahan ikan di daerah mangrove terkait erat dengan kebiasaan makan herbivora dan karnivora epifitik (Sri, 2003). Mangrove yang baik dapat menghasilkan serasah yang banyak. Keberadaan serasah mangrove menjadi faktor pendukung ketersediaan makanan bagi kepiting bakau sehingga mangrove yang bagus dapat memberikan perlindungan dan keberlangsungan kepiting bakau yang baik dibandingkan dengan mangrove yang sudah mulai rusak.

Mangrove dapat melindungi udang dari hempasan gelombang sehingga sebagian besar hidupnya berada di dalam ekosistem mangrove. Perairan lepas hanya digunakan untuk bertelur. Udang akan berpindah kembali ke ekosistem mangrove setelah larva muda lahir (Ismail, 2017). Keragaman jenis udang di ekosistem mangrove yang rapat akan lebih banyak. Kondisi ini diduga karena banyaknya pasokan hara dari serasah mangrove dan

Tabel 5 Nilai ekonomi total manfaat hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa EelahajiTable 5 Total eonomic value of mangrove forest benefit in Kalibu and Eelahaji villages

No. Kategori manfaat (Benefit category)Nilai manfaat, Rp/tahun (Benefit value, Rp/year)

Desa Kalibu (Kalibu village)

Desa Eelahaji (Eelahaji village)

1. Nilai guna langsung (Direct use value) 8.287.142.400 5.815.440.0002. Nilai guna tidak langsung (Indirect use value) 379.631.342 314.399.3753. Nilai pilihan (Options value) 14.000.000 14.500.000

Nilai ekonomi total (Total economic value) 8.680.773.742 6.144.339.375

Sumber (Source): Data primer, diolah (Primary data, processed), 2018.

Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Kabupaten Buton Utara,................(Firman Syah, Leti Sundawati, & Bahruni)

Page 54: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

124

daratan yang terendam (Umulia & Asbar, 2016 dalam Ismail, 2017).

Manfaat mangrove sebagai penahan intrusi air laut dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu melalui indra pengecap. Cara tersebut untuk membedakan rasa air sumur yang menjadi sampel dengan pembanding air sumur yang tidak mendapat pengaruh dari laut (air tawar). Jarak sumur disesuaikan pada kondisi lokasi penelitian atau pada jarak sumur yang dipengaruhi air laut sampai pada jarak sumur yang tidak dipengaruhi oleh air laut yang diukur dari garis mangrove luar dari bibir pantai. Selain itu juga ditetapkan berdasarkan kondisi mangrove baik dan jarang untuk mengetahui seberapa jauh hutan mangrove dapat menahan intrusi air laut.

Hutan mangrove memiliki manfaat sebagai penahan intrusi air laut ke sumur sehingga besarnya nilai mangrove sebagai penahan intrusi air laut ke sumur tergantung seberapa jauh air laut mengintrusi air sumur. Perhitungan intrusi air laut dilakukan dengan mengetahui luas desa dan jumlah rumah tangga dalam desa tersebut. Hal lain yang harus diketahui adalah lebar daerah terdampak, panjang daerah terdampak, dan luas daerah terdampak intrusi air laut. Setelah itu harus mengetahui jumlah RT terdampak intrusi air laut.

Nilai mangrove sebagai penahan intrusi air laut di Desa Kalibu masih relatif baik. Pengaruh intrusi air laut seluas 0,018 km2 dari hutan mangrove terluar. Jumlah rumah tangga yang terdampak sebanyak 1,15 RT dari 270 RT. Nilai manfaat air jika tanpa intrusi air laut adalah Rp488.160/KK/tahun (dihitung dari biaya pemakaian listrik dan harga pompa air). Jika mengalami intrusi air laut, nilai air adalah Rp3.109.920/KK/tahun. Dengan demikian maka besarnya manfaat mangrove sebagai penahan intrusi air laut terhadap air sumur sebesar Rp128.226.792 per tahun.

Untuk Desa Eelahaji, pengaruh intrusi air laut seluas 0,3 km2 sehingga rumah tangga yang terkena dampak sebanyak 2,5 RT dari 250 RT. Nilai manfaat air tanpa intrusi air

laut adalah Rp488.160/KK/tahun (dihitung dari biaya pemakaian listrik dan harga pompa air). Jika mengalami intrusi air laut, nilai air adalah Rp2.857.800/KK/tahun. Dengan demikian maka besarnya manfaat mangrove sebagai penahan intrusi air laut terhadap air sumur sebesar Rp104.895.500 per tahun. Menurut Heru (2013), tingkat salinitas sumur paling sedikit terdapat di lokasi dengan tingkat kerapatan hutan mangrove sangat tinggi. Dengan demikian maka semakin sedikit yang terkena dampak intrusi air laut maka nilai mangrove sebagai penahan abrasi semakin besar. Hal ini disebabkan karena jumlah wilayah yang diselamatkan semakin besar sehingga nilai ekonominya semakin besar pula.

Biaya pembuatan tanggul sebagai penahan abrasi dengan ukuran 1 m x 1,5 m x 2,5 m (p x l x t) sebesar Rp2.493.330 per meter dengan daya tahan selama 10 tahun. Dengan demikian maka biaya pembuatan tanggul adalah sebesar Rp249.333/meter/tahun (PT Widya Rahmat Karya, 2018). Desa Kalibu memiliki pantai sepanjang 1.080 meter, sedangkan panjang pantai Desa Eelahaji adalah 2.000 meter. Kondisi mangrove di Desa Kalibu relatif baik sehingga abrasi pantai hanya sejauh 0,03 km. Di Desa Eelahaji, terjadi abrasi sejauh 0,25 km karena kondisi mangovenya sudah mulai rusak. Dari hasil perhitungan, nilai manfaat mangrove sebagai penahan abrasi di Desa Kalibu adalah sebesar Rp232.781.991/km/tahun, sedangkan di Desa Eelahaji sebesar Rp209.503.875/km/tahun.

Nilai pilihan merupakan nilai harapan masa yang akan datang terhadap komoditas yang saat ini digunakan maupun yang belum dimanfaatkan. Dalam penelitian ini, nilai yang diharapkan akan digunakan di masa depan adalah pemanfaatan mangrove untuk ekowisata. Kesediaan masyarakat untuk membayar tergantung pada manfaat yang akan dirasakan setelah dijadikan tempat wisata, seperti membuat warung makan, menyewakan perahu, dan sebagai pemandu wisata. Kesediaan membayar masyarakat

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 115-126

Page 55: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

125

di Desa Kalibu sebesar Rp14.500.000 per tahun, sedangkan di Desa Eelahaji sebesar Rp14.000.000 per tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Soemarno, Polii, Harahab, & Mangkay (2013) di Minahasa Selatan menggambarkan bahwa nilai ekonomi pilihan hutan mangrove sebesar Rp27.362.863/tahun.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Mayoritas masyarakat Desa Kalibu

dan Desa Eelahaji memiliki persepsi yang tinggi terhadap manfaat dan pengelolaan hutan mangrove. Penyebab kerusakan hutan mangrove menurut persepsi masyarakat yang paling tinggi disebabkan oleh pengambilan kayu bakar untuk kebutuhan ekonomi. Nilai ekonomi total hutan mangrove di Desa Kalibu yang kondisi mangrovenya baik adalah Rp8.680.773.742 per tahun, lebih besar dari Desa Eelahaji yang mangrovenya rusak, yaitu Rp6.144.339.375 per tahun. Manfaat yang paling dominan memberikan kontribusi adalah manfaat langsung seperti penangkapan ikan, udang, dan kepiting serta pembambilan kayu bakar.

B. Saran1. Untuk menghindari kerusakan hutan

mangrove sebaiknya pemerintah melibatkan masyarakat di dalam pengelolaannya.

2. Pemerintah harus mengadakan sosialisasi kepada masyarakat bahwa kondisi hutan mangrove yang lestari akan meningkatkan niai ekonomi biota perairan dan menghasilkan manfaat perlindungan intrusi air laut terhadap air sumur.

3. Perlu dikembangkan penanaman jenis pohon yang mempunyai biomasa tinggi untuk kayu bakar sebagai pengganti kayu mangrove, seperti jenis kaliandra.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT, kedua dosen pembimbing Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc. Ftrop. dan Dr. Ir. Bahruni, M.S., kedua orang tua dan keluarga, Kepala Desa Eelahaji dan Desa Kalibu, Kepala KPHPL Peropaea Gantara, serta rekan-rekan yang telah membantu selama penulis menyelesaikan studi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, F. S. (2012). Valuasi ekonomi dan analisis strategi konservasi hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya. Provinsi Kalimantan Barat. (Tesis). Institut pertanian Bogor. Bogor.

Desmantoro, Wijayanto, N., & Sundawati, L. (2016). Kelayakan program hutan desa di Desa Tanjung Aur II Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan, 13(2): 85-106.

Devi, P.I. & Hema, M. (2015). Economic valuation of mangrove ecosystems of Kerala, India. Journal of Environmental Professionals Sri Lanka, 4(1): 1-16.

Ekawati, S., Halawane, J. E., Iwanudin, & Irawan, A. (2017). Analisis persepsi dan perilaku masyarakat terhadap keberadaan kawasan KPHP Poigar. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 14(1): 71-82.

Elhaq, I. H. & Satria, A. (2011). Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit. Jurnal Sosiologi Pedesaan. https://doi.org/10.22500/sodality.v5i1.5829.

Fadhila, H., Saputra, S. W., & Wijayanto, D. (2015). Nilai manfaat ekosistem mangrove di Desa Kartika Jaya Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Diponegoro Journal of Maquares, 4(3): 180-187.

Fahrudin, S., Riani, E., Sanusi, H.S., Zamani, N.P., & Putranto. S. (2018). Economic valuation and lost value of mangroves ecosystem due to oil spill in Peleng Strait, Banggai and Banggai Islands Regency Central Sulawesi. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science.doi:10.1088/1755-1315/176/1/012043.

Fauzi, A. (2015). Valuasi ekonomi dan penilaian kerusakan sumber daya alam dan lingkungan. Bogor: IPB Press.

Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Kabupaten Buton Utara,................(Firman Syah, Leti Sundawati, & Bahruni)

Page 56: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

126

Giri, C., Long, J., Abbas, S., & Murali, R, M. (2014). Distribution and dynamics of mangrove forests of South Asia. Journal of Enviromental Management, 12: 1–11.

Guebas. F.D., Koedam, N., Huge, J., Sutherland, W.J., & Mukherjee, N. (2014). Ecosystem service valuations of mangrove ecosystems to inform decision making and future valuation exercises. Plos One. 9(9): e107706.doi: 10.1371/journal.pone.0107706.

Gumilar, I. (2012). Partisipasi masyarakat pesisir dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjtan di Kabupaten Indramayu. Akuantika, III(2): 198–211.

Hartini, S., Saputro, G. B., & Yulianto, M. (2010). Assessing the Used of remotely sensed data for mapping mangroves Indonesia. Retrieved 23 Febr. 2019 from http://bakosurtanal.go.id.

Heru, S. (2013). Status ekologi hutan mangrove pada berbagai tingkat ketebalan. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallaceae, 2(2): 104-120.

Ismail, A. (2017). Penilaian ekonomi hutan mangrove di Kota Tanjungpinang Privinsi Kepulauan Riau. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kusmana, C. (2003). Teknik rehabilitasi mangrove. Bogor: IPB Press.

Mariana & Zulkarnaini. (2016). Economic valuation of mangrove forest ecosystem in Indragiri estuary. Journal of Oceans and Oceanography, 10(1): 13-17.

Masria, Golar, & Ihsan, M. (2015). Persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap hutan di Desa Labuan Toposo Kecamatan Kabuan Kabupaten Donggala. Warta Rimba, 3(2): 57–64.

Nugroho, J., Khairiansyah, M., & Zainal, S. (2018). The public perception of the existence of mangrove forest in Kuala Urban Village, West Singkawang Subdistrict, Singkawang District. Jurnal Hutan Lestari, 6(2): 416–427.

PT. Widya Rahmat Karya. (2018). Proyek pemasangan tanggul di Kolisusu. Buton Utara.

Saprudin, & Halidah. (2012). Potensi nilai manfaat jasa lingkungan hutan mangrove di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 7(3): 2013-2014.

Satri, A., & Elhaq, I. H. (2011). Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, 5(1): 97-103.

Siahainenia, S. M. (2012). Analisis ekonomi terhadap ekosistem hutan mangrove di Desa Tawiri. Jurnal Triton, 8(1): 12-19.

Sobari, M.P., Andrianto, L., & Azis, N. (2006). Analisis ekonomi alternatif pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Buletin Ekonomi Perikanan, VI(3):1-22.

Soemaeno, Polii, B., Harahab, N., & Mangkay, S.D. (2013). Economic valuation of mangrove forest ecosystem in Tatapan South Minahasa, Indonesia. Journal of Environmental Science, Toxicology, and Food Technology, 5(6): 51-57.

Sri, R. (2003). Kompisisi dan kelimpahan ikan ekosistem mangrove Kadungmalang, Jepara. Jurnal Ilmu Kelautan, 18: 54-60.

Suharti, S., Darusman, D., Nugroho, B., & Sundawati, L. (2016). Economic valuation as a basis for sustainable mangrove resource management: A case in East Sinjai, South Sulawesi. JMHT, 22(1), 13–23. https://doi.org /10.7226/jtfm.

Turner, R. K. (2016). Ecological, economics, and ecosistem services. In Potschin, M., Haines-Young, R., Fish, R., Turner, R. K. (Eds.). Routledge handbook of ecosystem services. London and New York.

Umar. (2009). Persepsi dan perilaku masyarakat dalam pelestarian fungsi hutan sebagai daerah resapan air (Studi kasus Hutan Penggaron Kabupaten Semarang). (Tesis). Universitas Diponegoro. Semarang.

Utami, A. R. (2017). Persepsi masyarakat dan stekholder terhadap pengelolaan hutan desa di Desa Sadewata, Ciamis, Jawa Barat. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wahidin, L. O., Ola, L., Yusuf, S., & Sumber, M. (2013). Valuasi ekonomi tegakan pohon mangrove (Soneratia alba) di Teluk Kendari, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Mina Laut Indonesia, 2(6): 120-127.

Zainal, S., Khadapi, M., & Herdiansyah, G. (2015). Persepsi masyarakat Desa Sungai Awan Kanan terhadap keberadaan hutan mangrove di Kawasan Pantai Air Mata Permai, Kabupaten Ketapang. Jurnal Hutan Lestari, 3(1): 108–116.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 115-126

Page 57: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 127-135p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221Terakreditasi Nomor 21/E/KPT/2018

PENINGKATAN PERAN GENDER DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI KONAWE SELATAN, PROVINSI SULAWESI TENGGARA

(Strengthening Gender Role in Managing Private Forests in South Konawe, South East Sulawesi Province)

Nurhaedah Muin1, Achmad Rizal H. Bisjoe1, Bugi K. Sumirat2, & Wahyudi Isnan1

1Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan MakassarJl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar, Sulawesi Selatan 90243, Indonesia

e-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected] Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan, dan Perubahan Iklim

Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia; e-mail: [email protected]

Diterima 26 November 2018, direvisi 07 Agustus 2019, disetujui 07 Agustus 2019.

ABSTRACT

National strategy on gender that stated in Presidential Instruction No. 9/2009, was also applied in private forest management. The composition of private forests which generally consist of woody plants, agricultural crops, and lower crops, allows for the sharing of gender roles in their management, as found in South Konawe. Research methods used survey method and interviews through Focus Group Discussion (FGD). Data were analyzed qualitatively and quantitatively. The results of the study indicate that there is a share-out of roles between men and women in private forest management in South Konawe. Men play a dominant role in the management of woody plants, starting from planting to logging while women are dominantly involved in the lower crop cultivation. Women’s involvement have greatly helped the family economy through selling vegetables and sago for family consumption as well as to meet daily needs. Supporting activities in private forest management such as attending farmer group meetings and being administrators of farmer groups are still dominated by men. For this reason, it is necessary to consider the proportional involvement of women in private forest management so that they can contribute more to the family needs.

Keywords: Family income, gender role distribution, private forest.

ABSTRAK

Strategi nasional tentang gender yang dinyatakan dalam Instruksi Presiden No. 9/2009, juga diterapkan dalam pengelolaan hutan rakyat. Komposisi hutan rakyat yang umumnya terdiri dari tanaman kayu, tanaman pertanian, dan tanaman bawah, memungkinkan pembagian peran gender dalam pengelolaannya, seperti yang ditemukan di Konawe Selatan. Penelitian menggunakan metode survei dan wawancara melalui focus group discussion (FGD). Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan rakyat di Konawe Selatan. Laki-laki memainkan peran dominan dalam pengelolaan tanaman kayu, mulai dari penanaman hingga pemanenan, sementara perempuan dominan terlibat dalam budidaya tanaman bawah. Keterlibatan perempuan sangat membantu perekonomian keluarga melalui produksi sayuran dan sagu untuk kebutuhan konsumsi keluarga serta dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kegiatan pendukung dalam pengelolaan hutan rakyat seperti menghadiri pertemuan kelompok tani dan menjadi administrator kelompok tani masih didominasi oleh laki-laki. Untuk alasan ini, perlu dipertimbangkan keterlibatan proporsional perempuan dalam pengelolaan hutan rakyatdan pendukungnya sehingga mereka dapat berkontribusi lebih banyak pada kebutuhan keluarga.

Kata kunci: Pendapatan keluarga, distribusi peran gender, hutan rakyat.

©2019 JPSEK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpsek.2019.16.2.127-135 127

Page 58: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

128

I. PENDAHULUANHutan Rakyat adalah hutan tanaman

yang tumbuh di lahan milik rakyat yang menghasilkan berbagai macam produk hutan seperti kayu dan non kayu (Puspitojati, Mile, Eva, & Darusman, 2014). Salah satu tujuan pembangunan hutan rakyat adalah untuk menyuplai permintaan kayu, sekaligus sebagai sumber penghidupan rakyat (Halder et al., 2014; Nichiforel et al., 2018; Quiroga et al., 2019; Stjepan et al., 2015). Hutan rakyat dikelola dengan berbagai cara, antara lain dengan tanaman monokultur, campuran kayu rimba, dan agroforestry (Lastini, 2012; Rodríguez-vicente & Marey-pérez, 2009; Sanudin & Fauziyah, 2015).

Di Sulawesi, umumnya hutan rakyat merupakan bentuk pengelolaan lahan yang mengusahakan tanaman kehutanan, tanaman pertanian, dan tanaman bawah dalam suatu hamparan lahan yang sama sehingga terkadang diistilahkan dengan kebun (Bisjoe et al., 2014). Pengelolaan hutan rakyat di Konawe Selatan melibatkan laki-laki dan perempuan dengan pembagian peran berdasarkan kesepakatan internal keluarga, namun belum optimal karena dipengaruhi faktor budaya serta nilai-nilai tradisional yang dianut oleh sekelompok masyarakat dalam satu wilayah (Varghese & Reed, 2012). Terdapat perbedaan persepsi dalam pengelolaan hutan antara laki-laki dan perempuan yang signifikan, dimana laki-laki lebih mendominasi peran yang jauh lebih penting dan beragam (Sunderland et al., 2014). Demikian pula hasil temuan di Konawe Selatan di mana segala keputusan terkait pengelolaan hutan rakyat didominasi oleh laki-laki (Agusnawati, 2006).

Pemerintah Indonesia melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.9 Tahun 2009 mendukung upaya penyetaraan peran antara laki-laki dan perempuan dengan memasukkan strategi pengarusutamaan gender sebagai salah satu strategi nasional. Untuk itu maka setiap bidang pembangunan, termasuk pengelolaan hutan rakyat selayaknya berbasis gender agar

pihak laki-laki dan perempuan dapat berperan bersama dalam mendukung pembangunan nasional (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016; Lestari, Marwah, & Pratiwi, 2017). Pelibatan perempuan bersama laki-laki dalam pengelolaan hutan rakyat dan pendukungnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani hutan rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut dapat terjadi melalui distribusi peran dalam kegiatan hutan rakyat (Rahmawati & Sunito, 2013).

Selama ini peran pencari nafkah identik dengan kaum laki-laki, sedangkan perempuan identik dengan peran domestik (Block, Croft, Souza, & Schmader, 2019; Wahid & Lancia, 2018), padahal masing-masing memiliki potensi dalam memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk dalam pengelolaan hutan rakyat. Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan namun tidak menunjukkan efek yang signifikan terhadap keterlibatan perempuan dalam praktik pengelolaan hutan. Praktik pengelolaan hutan umumnya difokuskan pada kegiatan budidaya tanaman kehutanan dan usaha non kehutanan (Hafizianor, Muhayah, & Zakiah, 2015; Leone, 2019; Umaerus, Nordin, & Lidestav, 2019) dimana laki-laki dan perempuan dapat mengambil peran masing-masing. Penelitian ini difokuskan pada distribusi peran gender dari aspek budidaya, panen sampai pemasaran, dan kegiatan sosial-ekonomi pendukungnya serta meninjau peran-peran yang banyak melibatkan kaum perempuan dalam pengelolaan hutan rakyat.

Penelitian ini bertujuan untuk: (a) mengkaji kondisi sosial-ekonomi pengelolaan hutan rakyat, (b) menganalisis distribusi peran gender dalam pengelolaan hutan rakyat, dan (c) menyusun strategi peningkatan pendapatan keluarga petani hutan rakyat melalui distribusi peran gender dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Konawe Selatan sebagai salah satu wilayah sentra pengembangan hutan rakyat di Sulawesi Tenggara.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No2, 2019: 127-135

Page 59: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

129

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi PenelitianPenelitian dilaksanakan pada tahun

2012 di Desa Lambakara, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan dengan pertimbangan adanya kegiatan pengelolaan hutan rakyat berorientasi pasar dan inisiasi pendampingan kelembagaan koperasi (Koperasi Hutan Jaya Lestari dan lembaga swadaya masyarakat. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.

Desa Lambakara terletak 5 km arah utara dari ibukota kecamatan dan 40 km dari ibukota Kabupaten Konawe Selatan. Dari ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, desa tersebut berjarak 65 km.

B. Pengumpulan DataPenelitian ini menggunakan kombinasi

penelitian kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif dan kuantitatif dapat digunakan bersama untuk meneliti pada objek yang sama tetapi dengan tujuan yang berbeda (Sugiyono, 2010). Metode kuantitatif digunakan untuk mengkaji kondisi sosial-ekonomi dan menganalisis distribusi peran gender dalam pengelolaan hutan rakyat.

Metode kualitatif digunakan untuk menyusun strategi peningkatan pendapatan keluarga petani hutan rakyat. Pengumpulan data dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu telaah pustaka (literature review), diskusi dengan informan kunci sebanyak 4 orang meliputi tokoh masyarakat, koperasi, kelompok tani, dan pemerintah desa, dan analisis gender melalui focus group discussion (FGD) dengan anggota kelompok tani pengelola hutan rakyat sebanyak 15 orang untuk membahas pembagian peran gender dalam pengelolaan hutan rakyat. Analisis gender memiliki tujuan untuk mengidentifikasi pembagian peran dan akses terhadap sumberdaya antara laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan rakyat. Data pendukung seperti demografi dan sosial-ekonomi masyarakat didapatkan dari instansi Pemerintah Desa Lambakara.

C. Pengolahan dan Analisis DataData diolah dengan menggunakan analisis

statistik deskriptif untuk memperoleh gambaran peran-peran gender dalam pengelolaan hutan rakyat.

Peningkatan Peran Gender dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Konawe Selatan ....................(Nurhaedah Muin, Achmad Rizal H. Bisjoe, Bugi K. Sumirat, & Wahyudi Isnan)

Desa Lambakara Kecamatan Laeya

Gambar 1 Lokasi penelitianFigure 1 Study area.

Page 60: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

130

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Sosial-EkonomiMata pencaharian masyarakat di Desa

Lambakara terdiri dari petani dan non petani. Distribusi mata pencaharian masyarakat berdasarkan jenis kelamin di Desa Lambakara Kabupaten Konawe Selatan disajikan pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 terlihat bahwa umumnya (63,79%) masyarakat di Desa Lambakara bermata pencaharian sebagai petani dan 29,31% di antaranya adalah perempuan. Sisanya sekitar 36,21% adalah PNS, wiraswasta, buruh, pensiunan, peternak, serta pekerjaan lainnya, 10,68% di antaranya adalah perempuan. Tabel 1 secara tidak langsung menggambarkan bahwa perempuan (gender) ikut terlibat langsung dalam kegiatan pemenuhan ekonomi keluarga, termasuk pengelolaan hutan rakyat.

Dalam hal pendidikan, baik laki-laki maupun perempuan seharusnya memiliki akses yang sama (Nasir, 2017). Karena pandangan dalam masyarakat, perempuan

selalu menjadi pihak yang termarjinalkan (Putra, 2014) sehingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi umumnya diperuntukkan bagi laki-laki. Demikian pula yang terjadi di Desa Lambakara di mana tingkat pendidikan sedang-tinggi masih didominasi oleh laki-laki (Tabel 2). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi memberikan peluang kemampuan pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik (Jolianis, 2014; Pongtuluran, 2015).

B. Peran Gender dalam Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan hutan rakyat di Konawe Selatan meliputi pengelolaan tanaman pohon/kayu, termasuk tanaman Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) sagu, serta tanaman pertanian/ semusim. Kegiatan pengelolaan melibatkan pihak laki-laki dan perempuan dengan mekanisme pembagian peran secara internal. Analisis gender pengelolaan tanaman kayu melalui FGD disajikan pada Gambar 2. Pengelolaan tanaman kayu atau pohon di Konawe Selatan, dalam hal ini tanaman jati lokal (Tectona grandis), jati putih (Gmelina

Tabel 1 Distribusi mata pencaharian masyarakat berdasarkan jenis kelamin di Desa Lambakara, Kabupaten Konawe Selatan

Table 1 Distribution of livelihoods based on gender within community in Lambakara village, South Konawe Regency

No. Jenis pekerjaan(Livelihood)

Laki-laki (Male)

Perempuan (Female)

Jumlah (Total)

Persentase (Percentage) (%)

1. Petani (Farmer) 100 85 185 63,792. Non petani (Non farmer) 74 31 105 36,21

Jumlah (Total) 174 116 290 100

Sumber (Source): Data sekunder (Secondary data), 2012.

Tabel 2 Tingkat pendidikan masyarakat di Desa LambakaraTable 2 Community education level in Lambakara village

No. Tingkat pendidikan(Level of education)

Laki-laki (Male)

Perempuan (Female)

Jumlah (Total)

Persentase (Percentage)

(%)1. Tidak sekolah (Never attended

school)100 98 198 47,48

2. Rendah (Low), SD/sederajat 70 79 149 35,733. Sedang (Moderate), SLTP-SLTA 28 19 47 11,274. Tinggi (High), D3/S1/S2 12 11 23 5,51

Sumber (Source): Data sekunder (Secondary data), 2012.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No2, 2019: 127-135

Page 61: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

131

arborea), dan jabon (Anthocephalus sp.) dominan ditangani oleh pihak laki-laki.

Alasannya adalah karena kegiatan penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan pohon lebih membutuhkan tenaga fisik dibanding tanaman semusim. Peran yang berkaitan dengan pekerjaan fisik dipersepsikan sebagai peran yang bersifat maskulin sehingga lebih dominan laki-laki yang terlibat (Sumarni, 2014; Yuliani, 2013). Peran dominan laki-laki meliputi penentuan jenis pohon yang akan ditanam, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.

Pada bagian pemasaran kayu yang sudah ditebang, khususnya tawar-menawar harga kayu dengan pedagang ternyata peran perempuan lebih dominan meskipun keputusan akhir tetap berdasarkan kesepakatan antara istri dan suami sebagai kepala rumah tangga, tetapi tidak membatalkan proses tawar-menawar yang telah dilakukan. Hasil wawancara terkait hal tersebut menunjukkan bahwa petani laki-laki menyerahkan kegiatan tawar-menawar harga kepada pihak perempuan dengan beberapa alasan seperti: (a) perempuan lebih cermat dalam perhitungan keuangan, (b) perempuan lebih sopan dalam komunikasi bisnis, (c) ketertiban pada pengelolaan anggaran belanja, (d)

kesungguhan untuk menjaga kualitas produk, (e) ketangguhan saat transaksi perniagaan, serta (f) ketelitian dalam mengatur waktu kerja terhadap beban domestiknya (Lutfiyah, 2013; Nurhaedah, Bisjoe, & Widianto, 2013; PT. Bermitra Inovatif Sistem Andalan, 2016).

Di Konawe Selatan, pemasaran kayu hutan rakyat difasilitasi oleh koperasi dengan standar harga dan ukuran yang sudah ditetapkan. Jika dijual melalui pedagang desa, belum ada standar sehingga petani dapat melakukan tawar-menawar dengan harga koperasi sebagai pembanding.

Berbeda dengan tanaman pohon, pengelolaan tanaman semusim didominasi oleh kaum perempuan (Gambar 3). Hal ini disebabkan tanaman semusim biasanya lebih mudah penanganannya dibanding tanaman pohon.

Adapun tanaman semusim yang sering diusahakan adalah jagung dan sayur-mayur serta tanaman perkebunan kakao. Keterlibatan perempuan pada usaha tanaman semusim seperti jagung mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan penjemuran, sampai pemasaran. Hampir sama halnya dengan tanaman sayuran, perempuan terlibat mulai penanaman hingga pemanenan dan pemasaran. Produk tanaman semusim seperti jagung dan sayuran selain dijual untuk belanja

Gambar 2 Peran gender pada pengelolaan tanaman kayu

Figure 2 Gender roles in the management of wooden trees.

Gambar 3 Peran gender pada pengelolaan tanaman semusimFigure 3 Gender roles in the management of crops

plants.

Peningkatan Peran Gender dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Konawe Selatan ....................(Nurhaedah Muin, Achmad Rizal H. Bisjoe, Bugi K. Sumirat, & Wahyudi Isnan)

Page 62: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

132

kebutuhan sehari-hari juga digunakan untuk konsumsi pangan keluarga. Kondisi ini umum terjadi di Indonesia dan negara berkembang lain, di mana sehari-hari perempuan bertanggung jawab atas pengumpulan dan pengelolaan produk hutan penting untuk kehidupan rumah tangga sehari-hari (Leone, 2013).

Kegiatan di luar usahatani yang merupakan kegiatan pendukung usaha hutan rakyat antara lain adalah menjadi pengurus organisasi, menghadiri pertemuan kelompok, menghadiri pertemuan desa, dan mengelola keuangan rumah tangga. Kegiatan pendukung, beberapa di antaranya masih didominasi oleh laki-laki seperti ditampilkan pada Gambar 4.

Minimnya keterlibatan perempuan pada aspek pendukung disebabkan oleh beberapa hal, antara lain undangan pertemuan kelompok dan desa (misalnya pembentukan kelompok tani, organisasi desa dan penyaluran bantuan) lebih dominan ditujukan pada kaum laki-laki, kecuali undangan desa berupa arisan PKK. Perempuan lebih banyak terlibat pada peran domestik yaitu mengurus keluarga (Kohri, Naasani, Iseki, & Miyazaki, 1996) serta perempuan dianggap memiliki keterbatasan karena faktor nilai sosial budaya, kelembagaan, beban kerja,

dan modal (Mukasa, Tibazalika, Mango, & Muloki, 2012; Mwangi & Mai, 2011). Kondisi tersebut menjadikan perempuan memiliki peluang terbatas untuk menghadiri pertemuan yang dapat menjadi momen untuk menerima input teknologi dan akses informasi.

C. Strategi Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Distribusi Peran GenderDi Konawe Selatan, hutan rakyat

merupakan satu kesatuan lahan untuk berbagai tanaman sehingga petani dapat memperoleh tiga jenis pendapatan, yaitu pendapatan jangka panjang melalui tanaman kayu, pendapatan jangka menengah (tanaman perkebunan/tahunan), dan pendapatan jangka pendek (tanaman semusim). Pengelolaan hutan rakyat melibatkan laki-laki dan perempuan yang masing-masing menunjukkan peran yang menonjol, namun peran tersebut belum berjalan optimal.

Hadirnya program pemerintah terkait pengarusutamaan gender diharapkan dapat memberdayakan pihak perempuan dan laki-laki secara optimal sehingga terjadi distribusi peran antara laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan rakyat. Pada pengelolaan hutan rakyat secara umum di Indonesia dan Konawe Selatan secara khusus, perempuan sudah diberi ruang untuk terlibat pada beberapa aspek kegiatan. Akan tetapi, seringkali perempuan tidak diikutsertakan dalam perencanaan atau pelaksanaan program pengelolaan hutan rakyat sehingga memiliki akses yang terbatas, terutama dalam hal pengambilan keputusan. Salah satu penyebabnya adalah karena perempuan identik dengan peran reproduksi dan peran domestik rumah tangga (Hidayati, 2015). Kondisi ini umumnya terjadi di Indonesia, termasuk di Konawe Selatan yang memposisikan perempuan lebih banyak menanggung peran domestik (Ahdiah, 2013) sehingga kurang diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.

Fakta menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan memiliki keinginan untuk terlibat

Gambar 4 Peran gender dalam kegiatanpendukung usaha hutan rakyat

Figure 4 Gender roles in activities supporting private forest businesses.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No2, 2019: 127-135

Page 63: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

133

pada pengambilan keputusan dan akses informasi (Naqvi & Ibrar, 2015; Widayati, 2015). Hasil wawancara beberapa responden perempuan yang telah mengikuti pelatihan peningkatan kapasitas petani hutan rakyat yang difasilitasi oleh tim peneliti menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyadari arti penting dan manfaat jika hasil pelatihan diterapkan di lahan hutan rakyat. Kendala yang dihadapi adalah dalam hal pengambilan keputusan karena suami belum memberi persetujuan.

Kesibukan keluarga petani dalam menjalankan peran masing-masing membuat terbatasnya waktuuntuk melakukan diskusi dengan keluarga terutama terkait pengelolaan hutan rakyat dan pendukungnya. Minimnya komunikasi mempengaruhi transfer ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga secara tidak langsung mempengaruhi pendapatan petani.

Di Konawe Selatan hutan rakyat memberikan kontribusi sebesar 12,1% terhadap total pendapatan petani (Nurhaedah et al., 2013). Peningkatan pendapatan keluarga petani membutuhkan dukungan anggota keluarga melalui distribusi peran antara laki-laki dan perempuan sehingga dibutuhkan beberapa strategi, antara lain: 1) Melibatkan secara bersama pihak perempuan dan laki-laki, baik pada kegiatan pengelolaan hutan rakyat maupun kegiatan pendukung; 2) Memberi ruang kepada pihak perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, baik kegiatan pengelolaan hutan rakyat maupun kegiatan pendukung; 3) Menjalin komunikasi yang baik antara pihak laki-laki dan perempuan terkait pengelolaan hutan rakyat dan pendukungnya misalnya transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh saat salah satu pihak mengikuti pelatihan.

Pelibatan perempuan dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan di luar rumah tangga dan dalam pengambilan keputusan untuk memperkuat tindakan bersama sesuai kapasitasnya (Godara, Poonia, & Jyani, 2014)

dan kondisi ini mungkin lebih mendukung keberhasilan pengelolaan hutan rakyat. Pada aspek demografi, penduduk Desa Lambakara Kabupaten Konawe Selatan didominasi (86%) oleh suku Tolaki yang tidak memiliki budaya sebagai perantau (Husba, 2015) sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidup lebih terkonsentrasi pada sumberdaya yang dimiliki. Dengan demikian, peran seluruh anggota keluarga, baik laki-laki maupun perempuan perlu dioptimalkan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanPihak perempuan terlibat dalam

pemenuhan ekonomi keluarga, baik sebagai petani maupun non petani. Laki-laki dan perempuan bersama-sama terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Konawe Selatan. Laki-laki memiliki peran dominan dalam budidaya tanaman pohon, sedangkan perempuan dominan dalam budidaya tanaman semusim. Namun, pada aspek pendukung masih didominasi oleh laki-laki. Strategi peningkatan pendapatan petani hutan rakyat adalah dengan melibatkan laki-laki dan perempuan secara proporsional dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat dan pendukungnya, melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan, dan menjalin komunikasi yang baik antara laki-laki dan perempuan.

B. SaranDistribusi peran gender dalam kegiatan

pengelolaan hutan rakyat dan pendukungnya perlu dioptimalkan agar laki-laki dan perempuan dapat berperan maksimal sesuai potensinya dalam menopang perekonomian keluarga.

Peningkatan Peran Gender dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Konawe Selatan ....................(Nurhaedah Muin, Achmad Rizal H. Bisjoe, Bugi K. Sumirat, & Wahyudi Isnan)

Page 64: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

134

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Ucapan terima kasih disampaikan kepada ACIAR selaku penyandang dana penelitian kerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar serta teman peneliti dan teknisi yang turut membantu dalam pengumpulan data lapang.

DAFTAR PUSTAKA

Agusnawati. (2006). Peran kaum perempuan dalam pengambilan keputusan pada masyarakat pengelola hutan kemiri di Mario Pulana. Center for International Forestry Research, 1–4. Retrieved from www.cifor.org/publications/pdf_files/govbrief/GovBrief0620.pdf

Ahdiah, I. (2013). Peran-peran perempuan dalam masyarakat. Jurnal Academica, 05(02), 1085–1092.

Bisjoe, A. R. H., Muin, N., Hasnawir, Hayati, N., Sumirat, B. K., Wakka, A. K., …, & Kusumedi, P. (2014). Social Forestry di Sulawesi. (Supratman, Murniati, & D. Rohadi, Eds.). Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar.

Block, K., Croft, A., Souza, L., & Schmader, T. (2019). Do people care if men don’t care about caring? The asymmetry in support for changing gender roles. Journal of Experimental Social Psychology, 83(July), 112–131.

Godara, A. S., Poonia, U., & Jyani, U. (2014). Role of women in decision-making process in agriculture sector: a case study of District Fatehabad. International Journal of Scientific and Reseaarch Publications, 4(2), 1–9.

Hafizianor, Muhayah, R., & Zakiah, S. (2015). Analisis gender dalam pengelolaan agroforestri dukuh dan kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga di Desa Kertak Empat Kecamatan Pengaron Kabupaten Banjar. Jurnal Hutan Tropis, 3(2), 133–144.

Halder, P., Paladinic, E., Stevanov, M., Orlovic, S., Hokkanen, T. J., & Pelkonen, P. (2014). Energy wood production from private forests – nonindustrial private forest owners – perceptions and attitudes in Croatia and Serbia. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 35(2014), 515–526. https://doi.org/10.1016/j.rser.2014.04.038.

Hidayati, N. (2015). Beban ganda perempuan bekerja (antara domesti dan publik). Muwazah, 7(2), 108–119.

Husba, Z. M. (2015). Tuturan Mekuku: sistem penanda etnis dalam interaksi sosial suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Jurnal Patanjala, 7(2), 327–334.

Jolianis. (2014). Pengaruh sumber daya alam dan sumber daya manusia terhadap penerimaan daerah. Journal of Economic and Economic Education, 3(1), 43–52.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2016). Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Retrieved from https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/4f9aa-buku-pmbg-2016-min.pdf.

Kohri, N., Naasani, I., Iseki, K., & Miyazaki, K. (1996). Improving the oral bioavailability of sulpiride by a gastric-retained form in rabbits. Journal of Pharmacy and Pharmacology, 48(4), 371–374. https://doi.org/10.1111/j.2042-7158.1996.tb05935.x.

Lastini, T. (2012). Tipologi desa hutan rakyat: kasus di Kabupaten Ciamis. Institut Pertanian Bogor.

Leone, M. (2013). Women as decision makers in community forest management in Nepal. Retrieved from http://dial2013.dauphine.fr/fileadmin/mediatheque/dial2013/documents/Papers/48_Italie_Leone.pdf.

Leone, M. (2019). Women as decision makers in community forest management: Evidence from Nepal. Journal of Development Economics, 138(May), 180–191. https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2019.01.002.

Lestari, S., Marwah, S., & Pratiwi, O. C. (2017). Potret pembangunan manusia berbasis gender di Kabupaten Banyumas 2015. Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan, 6, 1627–1635.Retrieved from http://jurnal.lppm.unsoed.ac.id/ojs/index.php/Prosiding/article/viewFile/545/506.

Lutfiyah. (2013). Pemberdayaan wanita berbasis potensi ungglan lokal. Sawwa, 8(2), 213–224.

Mukasa, C., Tibazalika, A., Mango, A., & Muloki, H. N. (2012). Gender and forestry in Uganda: Policy, legal and institutional frameworks. Working Paper 89, (53), 1–51. Retrieved from http://www.cabdirect.org/abstracts/20143006941. html;jsessionid= AB8BE9F8C3019A17A602583E.

Mwangi, E., & Mai, Y. H. (2011). Introduction to the special issue on forests and gender. International Forestry Review, 13(2), 119–122.

Naqvi, R. H., & Ibrar, M. (2015). Views and opinion of rural women of District Multan about their involvement and participation in family decisions: a means for women’s empowerment in Pakistani society. International Journal of

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No2, 2019: 127-135

Page 65: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

135

Social Science and Humanity, 5(2), 204–208. https://doi.org/10.7763/IJSSH.2015.V5.453.

Nasir, L. (2017). Persamaan hak: partisipasi wanita dalam pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 17(1), 36–46.

Nichiforel, L., Keary, K., Deuffic, P., Weiss, G., Jellesmark, B., Winkel, G., …, & Bouriaud, L. (2018). How private are Europe’s private forests? A comparative property rights analysis. Land Use Policy, 76(March), 535–552. https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2018.02.034

Nurhaedah, Bisjoe, A. R. H., & Widianto, T. (2013). Kajian forestry livelihood di Konawe Selatan. Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar.

Pongtuluran, Y. (2015). Manajemen sumber daya alam dan lingkungan. (A. Pramesta, Ed.). Yogyakarta: CV. Andi Offset.

PT. Bermitra Inovatif Sistem Andalan. (2016). Kajian kebijakan kepemimpinan perempuan dalam menggerakkan industri rumahan di Provinsi D.I. Yogyakarta. Jakarta.

Puspitojati, T., Mile, M. Y., Eva, F., & Darusman, D. (2014). Hutan rakyat sumbangsih masyarakat pedesaan untuk hutan tanaman. (Bahruni, Ed.). Bogor: PT. Kanisius.

Putra, T. A. A. (2014). Peran gender dalam pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Islam, III(2), 327–343. https://doi.org/10.14421/jpi.2014.32.325-343.

Quiroga, S., Suarez, C., Ficko, A., Feliciano, D., Bouriaud, L., Brahic, E., …, & Nybakk, E. (2019). What influences European private forest owners’ affinity for subsidies ? Forest Policy and Economics, 99(February), 136–144. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2018.08.008.

Rahmawati, F., & Sunito, M. A. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi akses dan kontrol laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan sumberdaya hutan rakyat. Jurnal Sosiologi Pedesaan, 01(03), 206–221.

Rodríguez-vicente, V., & Marey-pérez, M. (2009). Land-use and land-base patterns in non-industrial private forests : Factors affecting forest management in Northern Spain. Forest Policy and Economics, 11(7), 475–490. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2009.05.008.

Sanudin, & Fauziyah, E. (2015). Karakteristik hutan rakyat berdasarkan orientasi pengelolaannya: Studi kasus di Desa Sukamaju, Ciamis dan Desa Kiarajangkung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Biodiversiti Indonesia,1, 696–701. https://doi.org/10.13057/psnmbi/m010402.

Stjepan, P., Mersudin, A., Dzenan, B., Nenad, P., Makedonka, S., Dane, M., & Spela, P. M. (2015). Private forest owners’ willingness to supply woody biomass in selected South-Eastern European countries. Biomass and Bioenergy, 81(October), 144–153. https://doi.org/10.1016/j.biombioe.2015.06.011

Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D (10th ed.). Bandung: Alfabeta.

Sumarni. (2014). Perbedaan peran laki-laki dan perempuan pada usaha sapi potong di Desa Bentang Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Universitas Hasanuddin.

Sunderland, T., Achdiawan, R., Angelsen, A., Babigumira, R., Ickowitz, A., Paumgarten, F., …, & Shively, G. (2014). Challenging perceptions about men, women, and forest product use: A global comparative study. World Development, 64(S1), S56–S66. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2014.03.003.

Umaerus, P., Nordin, H. M., & Lidestav, G. (2019). Do female forest owners think and act “greener” ? Forest Policy and Economics, 99(February), 52–58. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2017.12.001.

Varghese, J., & Reed, M. G. (2012). Theorizing the implications of gender order for sustainable forest management. International Journal of Forestry Research, 2012, 1–11. https://doi.org/10.1155/2012/257280.

Wahid, U., & Lancia, F. (2018). Pertukaran peran domestik dan publik menurut perspektif wacana sosial halliday. Jurnal Komunikasi, 11(1), 106–118.

Widayati, E. (2015). Partisipasi perempuan dalam kelembagaan desa (studi kasus pada BKM Desa Umbulmartani dan Jogotirto). In Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta (pp. 566–578). Yogyakarta. Retrieved from http://repository.upy.ac.id/354/1/3EK14_Endang Widayati 566-578.pdf.

Yuliani, S. (2013). Perbedaan gender dalam penguasaan bahasa dipandang dari persfektif psikologi pendidikan. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 13(1), 47–51.

Peningkatan Peran Gender dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Konawe Selatan ....................(Nurhaedah Muin, Achmad Rizal H. Bisjoe, Bugi K. Sumirat, & Wahyudi Isnan)

Page 66: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

136

Page 67: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 137-149p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221Terakreditasi Nomor 21/E/KPT/2018

PERAN STAKEHOLDER DALAM IMPLEMENTASI IMBAL JASA LINGKUNGAN AIR DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG

BULUSARAUNG, KABUPATEN PANGKEP, SULAWESI SELATAN(The Role of Stakeholders in the Implementation of Payment forWater Environmental Services in The Bantimurung Bulusaraung National Park, Pangkep Regency, South

Sulawesi)

Nur Hayati & Abd. Kadir WakkaBalai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar

Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 Makassar 90243; e-mail: [email protected]; [email protected]

Diterima 27 Februari 2017, direvisi 19 Agustus 2019, disetujui 20 Agustus 2019.

ABSTRACT

The potentiality of water resources owned by Bantimurung Bulusaraung National Park (Babul NP) is abundant and has been utilized by the community around the area. The concept of payment for environmental services is very possible to be applied to Babul NP in an effort to preserve water resources. Therefore, stakeholders in the utilization of water environmental services in Babul National Park need to be identified. This study aims to map the stakeholders in the utilization of water environmental services in the Babul NP area, as well as the parties who need to be involved if the concept of payment for environmental services to be applied to the management of water environmental services in Babul NP. Data collection was carried out through direct observation, in-depth interviews, questionnaires filling by key informants, and focused group discussions. Data were analyzed by using stakeholders analysis. The results showed that stakeholders who could be directly involved in the utilization of water environmental services related to the payment for environmental services are among others the community around the area, industry, the Regional Water Company (PDAM), Babul NP, and the villages. The selection of the proper stakeholders will greatly affect the successful implementation of the payment for water environmental services concept in Babul NP.

Keywords: Stakeholder analysis; mapping stakeholder; payments of water environmental services; Babul NP.

ABSTRAK

Potensi sumberdaya air yang dimiliki Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) melimpah dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan. Konsep pembayaran jasa lingkungan sangat memungkinkan untuk diterapkan di TN Babul dalam upaya menjaga kelestarian sumberdaya air. Untuk itu, stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan jasa lingkungan air di TN Babul perlu diidentifikasi. Penelitian ini bertujuan memetakan stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan TN Babul serta stakeholder yang perlu dilibatkan jika konsep pembayaran jasa lingkungan akan diterapkan dalam pengelolaan jasa lingkungan air di TN Babul. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan langsung, wawancara mendalam, pengisian kuesioner oleh informan kunci, dan diskusi kelompok terfokus. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan analisis stakeholder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stakeholder yang dapat dilibatkan secara langsung dalam pemanfaatan jasa lingkungan air terkait dengan kegiatan pembayaran jasa lingkungan di lokasi kajian adalah masyarakat sekitar kawasan, industri, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), TN Babul, dan pemerintah desa. Pemilihan stakeholder yang tepat akan sangat menentukan tingkat keberhasilan pelaksanaan konsep pembayaran jasa lingkungan air di TN Babul.

Kata kunci: Analisis stakeholder; pemetaan stakeholder; imbal jasa lingkungan air; TN Babul.

©2019 JPSEK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpsek.2019.16.2.137-149 137

Page 68: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

138

I. PENDAHULUAN

Pemanfaatan jasa lingkungan air tidak hanya untuk menghasilkan nilai ekonomi dari sumberdaya air yang berasal dari dalam kawasan hutan, tetapi juga dalam upaya pelestarian hutan. Air yang bersumber dari dalam kawasan hutan akan mengalir terus ke areal di bawahnya dan dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan manusia, tidak hanya yang berada di dalam dan sekitar hutan, tetapi sampai di mana air tersebut mengalir. Selama ini masyarakat yang tinggal di sekitar sumber air secara tidak langsung ikut menjaga kawasan hutan dengan tidak merusak atau menebang pepohonan yang berada di hulu. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan timbal-balik (dependency) antara sumberdaya alam (air) dengan masyarakat sekitar. Hubungan timbal-balik yang tercipta harus dapat dikelola dengan baik untuk mencegah konflik antar sektor maupun antar kelompok masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mencegah terjadinya kerusakan sumberdaya alam. Untuk tujuan tersebut maka konsep imbal jasa lingkungan atau yang lazim dikenal dengan istilah Payment for Environmental Services (PES) perlu diterapkan (LP3ES, 2009).

Konsep imbal jasa lingkungan air adalah konsep berbagi manfaat dan tanggung jawab, di mana masyarakat, kelompok usaha dan/atau lembaga-lembaga non komersial serta pemerintah yang memanfaatkan air dari dalam kawasan hutan harus turut serta dalam menjaga kelestarian hutan dan sumber air. Imbal jasa lingkungan dapat pula dipahami sebagai transaksi sukarela antara pembeli dan penyedia jasa lingkungan yang telah didefinisikan secara jelas sesuai syarat yang disepakati bersama (ESCAP, 2009). Ada empat aspek yang ditekankan dalam konsep imbal jasa lingkungan: (1) transaksi sukarela, (2) jasa lingkungan yang terdefinisikan dengan baik, (3) pembeli dan penjual, dan (4) persyaratan transaksi (Fauzi & Anna, 2013). Kegiatan imbal jasa lingkungan air telah

dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, antara lain di DAS Citarum (Deviana & Sutriadi, 2011), DAS Cidanau Banten (Budhi, Kuswanto, & Iqbal, 2008), Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram (Sriani, 2012), sub DAS Cikapundung, Kabupaten Bandung Barat (Napitupulu, Asdak, & Budiono, 2013), dan Krueng Montala Aceh (Wardah & Farsia, 2013).

Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) merupakan catchment area bagi beberapa sungai besar di Provinsi Sulawesi Selatan, seperti Sungai Walanae, Sungai Pangkep, Sungai Bone, Sungai Pute, dan Sungai Bantimurung (Balai TN Babul, 2008). Potensi sumberdaya air yang dimiliki TN Babul melimpah dan telah digunakan oleh masyarakat untuk berbagai macam keperluan, seperti untuk pengairan persawahan, PDAM, industri, dan pemenuhan kabutuhan air bersih masyarakat yang ada di sekitarnya. Selama ini belum ada imbal jasa lingkungan yang diterima oleh pihak TN Babul dan masyarakat sekitar kawasan taman nasional, baik dari industri ataupun dari pihak PDAM yang telah memanfaatkan air di TN Babul.

Konsep imbal jasa lingkungan sangat memungkinkan untuk diterapkan dalam upaya menjaga kelestarian sumberdaya air yang terdapat di kawasan TN Babul. Hal ini dikarenakan mekanisme imbal jasa lingkungan air mampu mendorong masyarakat untuk melestarikan tegakan hutan (Khairiah, Prasetyo, Setiawan, & Kosmaryandi, 2016), dapat meningkatkan kualitas alam, melindungi lingkungan, sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat lokal, meningkatkan keperdulian dan rasa memiliki masyarakat sekitar terhadap hutan dan sumber air (Wardah & Farsia, 2013). Menurut Budhi et al. (2008), kegiatan ini berdampak pada kondisi lingkungan dan tingkat kesejahteraan petani yang semakin membaik.

Agar konsep mekanisme imbal jasa lingkungan dapat dilaksanakan dan sumberdaya air tersebut dapat dinikmati secara

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 137-149

Page 69: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

139

berkesinambungan, maka perlu diidentifikasi dengan jelas stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan jasa lingkungan air di TN Babul. Analisis stakeholder merupakan salah satu langkah kunci yang diperlukan dalam mengidentifikasi dan memahami keterkaitan antara para pemangku kepentingan yang relevan (Evers et al., 2012; Reed, 2008; Sabina & Stanghellini, 2010) khususnya dalam pemanfaatan jasa lingkungan air di TN Babul. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan jasa lingkungan air di Kawasan TN Babul serta stakeholder yang perlu dilibatkan jika konsep imbal jasa lingkungan akan diterapkan dalam pengelolaan jasa lingkungan air di TN Babul.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian dilaksanakan di Desa Panaikang

dan Kelurahan Biraeng, Kecamatan Minasate’ne, Kabupaten Pangkep yang berbatasan langsung dengan kawasan TN Babul. Desa dan kelurahan tersebut memiliki gua-gua (Leang Londrong, Ulu Ere, dan Leang Kassi) di mana di dalamnya terdapat mata air yang dipergunakan oleh masyarakat sekitar untuk berbagai keperluan seperti pengairan sawah, wisata air, PDAM, industri, dan kebutuhan rumah tangga masyarakat sekitar. Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan, dari April sampai dengan Desember 2015.

B. Kerangka TeoriStakeholder adalah semua pihak, baik

secara individu maupun kelompok yang memiliki perhatian, yang dapat mempengaruhi dan/atau dipengaruhi pengambilan keputusan serta pencapaian tujuan suatu kegiatan (Freeman, 1984; Salam & Noguchi, 2006; Ferrary, 2009).

Berdasarkan keterkaitannya, Townsley (1998) membedakan stakeholder menjadi dua yaitu stakeholder primer dan stakeholder sekunder. Stakeholder primer adalah pihak yang memiliki kepentingan langsung

terhadap suatu sumberdaya, baik sebagai mata pencaharian ataupun terlibat langsung dalam eksploitasi. Stakeholder sekunder adalah pihak yang memiliki minat/kepentingan secara tidak langsung, atau pihak yang tergantung pada sebagian kekayaan atau bisnis yang dihasilkan oleh suatu sumberdaya.

Menurut Reed et al. (2009) stakeholder dibedakan menjadi empat, yaitu:1. Key players, yaitu stakeholder yang aktif

dan mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap kebijakan imbal jasa lingkungan.

2. Context setters, yaitu stakeholder yang mempunyai pengaruh tinggi tetapi rendah kepentingannya sehingga dapat menjadi risiko yang signifikan untuk dipantau.

3. Subjects, yaitu stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruh yang rendah dan walaupun mendukung kegiatan tetapi kapasitasnya terhadap dampak adalah kecil. Stakeholder ini dapat meningkatkan pengaruh jika membentuk aliansi dengan parapihak lainnya.

4. Crowds, yaitu stakeholder yang memiliki sedikit kepentingan dan sedikit pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan menjadi pertimbangan untuk diikutsertakan dalam pengambilan keputusan.Payment for Enviromental Services (PES)

merupakan mekanisme kompensasi di mana penyedia jasa (service providers), dalam hal ini kelompok pengelola jasa, dibayar oleh penerima jasa (service users) (ESPUSAID, 2007), pembayaran jasa lingkungan tersebut menurut Sutopo & Mawardi (2010) digunakan sebagai dana konservasi dan rehabilitasi di wilayah hulu. Menurut Napitupulu et al. (2013), PES adalah sebuah transaksi sukarela (voluntary) yang melibatkan paling tidak satu penjual (one seller), satu pembeli (one buyer), dan jasa lingkungan yang terdefinisi dengan baik. Noordwijk & Leimona (2010) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan transaksi sukarela jasa lingkungan perlu didukung dengan peraturan perundangan.

Menurut Ekayani, Nuva, Yasmin,

Peran Stakeholder dalam Implementasi Imbal Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional ...........................(Nur Hayati & Abd. Kadir Wakka)

Page 70: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

140

Saffitri, & Bahroin (2014), penerapan PES dapat mengeliminir kerusakan hutan akibat perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Selain itu PES juga dapat menjembatani antara kepentingan ekonomi dengan ekologi (Vibrianto, Ismail, & Ekayani, 2015). Tujuan skema PES menurut Lau (2013) untuk mengubah perilaku masyarakat sekitar dalam penggunaan sumberdaya melalui insentif.

C. Pengumpulan DataPengumpulan data dilakukan melalui

kegiatan observasi, wawancara (interview), dan pengisian kuesioner oleh sejumlah informan kunci dan Focus Group Dicussion (FGD). Kegiatan observasi dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran pemanfaatan jasa lingkungan air oleh parapihak terkait (stakeholder) dalam kawasan TN Babul, khususnya di lokasi penelitian. Wawancara dan pengisian kuesioner dimaksudkan untuk memetakan posisi stakeholder, mendapatkan penjelasan mengenai kepentingan (interest), pengaruh (power), serta peran stakeholder dalam pemanfaatan jasa lingkungan air yang bersumber dari kawasan TN Babul.

Pemilihan informan kunci dilakukan secara purposive yang didasarkan pada kepakaran dan pengetahuan yang dimiliki. Informan kunci berasal dari Balai TN Babul, PDAM Kabupaten (Kab.) Pangkep, pemerintah desa dan kelurahan, Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian Kab. Pangkep, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Pangkep, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pangkep. Kegiatan FGD dimaksudkan untuk memetakan stakeholder yang perlu dilibatkan secara langsung jika konsep imbal jasa lingkungan dalam pemanfaatan air akan diterapkan di TN Babul.

D. Analisis DataPara pihak yang terlibat dalam pengelolaan

jasa lingkungan air di TN Babul dianalisis dengan menggunakan analisis stakeholder.

Analisis stakeholder digunakan untuk memetakan stakeholder berdasarkan kepentingan (interest) dan pengaruhnya (power) dalam konsep pembayaran jasa lingkungan air TN Babul melalui teknik scoring (Dewi & Iwanudin, 2007; Reed et al., 2009; Wakka, Awang, Purwanto, & Poedjirahajoe, 2013; Wang, Ge, & Qiang, 2013). Untuk mengetahui pengaruh dan kepentingan pihak-pihak yang terkait langsung dengan pengelolaan sumberdaya air di TN Babul, digunakan analisis rangking matrik (Indrizal, 2014).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air TN Babul

1. Leang Londrong Leang Londrong terletak di Desa

Panaikang, Kecamatan (Kec.) Minasate’ne, Kab. Pangkep. Masyarakat menggunakan air yang berasal dari kawasan Leang Londrong untuk pengairan sawah, wisata air, kebutuhan rumah tangga masyarakat sekitar dan karyawan PT. Semen Tonasa I. Air Leang Londrong mengairi sawah di empat wilayah yaitu Kelurahan Kassi, Desa Kabba, Desa Bontolangkasa, dan Desa Panaikang. Sawah seluas 1.228 ha sawah diairi menggunakan sumber air Leang Londrong (Dinas Pertanian, 2015). Panjang saluran induk yang telah dibangun sepanjang 6.786 meter dan saluran sekunder 2.632 meter (Dinas Pekerjaan Umum, 2015).

Sistem pembagian air untuk pengairan sawah dilakukan secara bergilir setiap tahun, yang diorganisir oleh petugas P3A. Setiap tahun ada dua desa yang dialiri air sehingga desa tersebut dapat melakukan panen padi tiga kali setahun, sedangkan desa yang tidak dialiri air hanya dapat dua kali panen setahun. Selain itu ada juga masyarakat yang memanfaatkan air dari Leang Londrong tersebut untuk tambak ikan air tawar sekitar 40 hektar, yaitu untuk tambak udang dan ikan bandeng.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 137-149

Page 71: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

141

Terdapat konflik pemanfaatan air di Leang Londrong antara masyarakat Desa Panaikang dengan PT. Semen Tonasa I, khususnya pada musim kemarau. PT. Semen Tonasa I mengambil air yang berasal dari Leang Londrong untuk mencukupi kebutuhan air bagi perumahan karyawannya yang berjumlah sekitar 300 KK. Pengambilan air tersebut berdampak pada berkurangnya jumlah air yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk pengairan sawah. Guna mengatasi masalah tersebut maka kedua belah pihak bersepakat untuk mengatur penggunaan air Leang Londrong. Pihak PT. Semen Tonasa I hanya boleh mengambil air selama dua jam di waktu pagi dan sore. Pemerintah desa mengharapkan ada bantuan dari pihak perusahaan (dana CSR) sebagai salah satu bentuk kompensasi bagi masyarakat akibat penggunaan air dari Leang Londrong oleh perusahaan.

Dari hasil wawancara dengan responden diperoleh informasi bahwa keberadaan industri pertambangan di sekitar Leang Londrong menyebabkan kualitas air menjadi keruh berwarna coklat susu pada saat musim hujan. Hal ini disebabkan oleh debu dari aktivitas pertambangan batu marmer.

2. Ulu EreSumber mata air Ulu Ere berada dalam

kawasan TN Babul yang secara administrasi terletak di Desa Panaikang, Kec. Minasate’ne, Kab. Pangkep. Masyarakat setempat memanfaatkan mata air tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, irigasi persawahan, sumber air baku PDAM Kab. Pangkep, dan usaha air kemasan. Di musim kemarau, debit air mengalami penurunan sehingga kebutuhan PDAM masih belum tercukupi.

Sejak pihak PDAM menggunakan air dari Ulu Ere sebagai sumber air baku, masyarakat Desa Panaikang sudah tidak bisa optimal menggunakan air dari mata air tersebut. Masyarakat hanya dapat

menggunakan air luapan dari mata air ini. Hal ini menyebabkan masyarakat Desa Panaikang tidak menghendaki Leang Londrong dijadikan sumber air baku PDAM karena masyarakat khawatir lahan sawah mereka tidak mendapatkan air irigasi.

3. Leang KassiLeang Kassi terletak di Kelurahan Biraeng,

Kec. Minasate’ne, Kab. Pangkep. Leang Kassi memiliki sumber mata air yang dimanfaatkan sebagai sumber air bersih oleh PDAM Kab. Pangkep, irigasi persawahan, usaha air kemasan, dan budidaya ikan hias. Selain itu, sumber air Leang Kassi dijadikan juga sebagai pemandian alam bagi masyarakat. Setiap hari Minggu pemandian ini ramai dikunjungi, baik masyarakat sekitar maupun masyarakat lokal.

Sawah yang dialiri sumber air Leang Kassi di Kelurahan Biraeng seluas 150 ha dan ada tiga RW yang memanfaatkan air dari Leang Kassi (Dinas Pertanian, 2015). Ada tiga penggiliran pemanfaatan air yaitu Bilae, Rising RK 2, dan Biraeng RW 1. Panjang saluran irigasi yang sudah dibangun oleh Dinas PU sepanjang 2.500 meter (Dinas Pekerjaan Umum, 2015).

Terdapat konflik pemanfaatan air di Leang Kassi antara pihak PDAM dengan masyarakat sehingga muncul kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melepaskan air pada malam hari selama dua bulan (Juli-Agustus), tergantung pola tanam. Menurut masyarakat, tidak ada kontribusi pihak PDAM kepada masyarakat yang tinggal di sekitar sumber air baku.

B. Identifikasi Stakeholder Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di TN BabulIdentifikasi stakeholder dilakukan untuk

menentukan stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan dan imbal jasa lingkungan air di TN Babul (Hayati, 2016). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sejumlah stakeholder dalam pemanfataan jasa lingkungan air di Leang Londrong, Ulu Ere, dan Leang Kassi yang terdapat dalam kawasan TN Babul, yaitu:

Peran Stakeholder dalam Implementasi Imbal Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional ...........................(Nur Hayati & Abd. Kadir Wakka)

Page 72: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

142

1. Balai TN Babul,2. PDAM Kab. Pangkep,3. PT. Semen Tonasa I,4. Masyarakat sekitar TN Babul,5. Pemerintah desa dan kelurahan,6. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A),7. Usaha air kemasan,8. Industri pertambangan,9. Dinas Pekerjaan Umum, 10. Dinas Pertanian Kab. Pangkep,11. Dinas Pertambangan,12. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab.

Pangkep, dan13. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.

Pangkep.Berdasarkan klasifikasi stakeholder

sebagaimana dikemukakan oleh Townsley (1998) maka stakeholder primer dalam pemanfaatan jasa lingkungan air di TN Babul terdiri atas: 1. Balai TN Babul, sebagai penyedia (seller)

jasa harus mampu menjamin tidak terjadi perubahan fungsi hutan yang dapat berpengaruh terhadap ketersediaan air. Jika kawasan taman nasional berubah menjadi pemukiman, persawahan, perkebunan, atau lokasi pertambangan maka kebutuhan air akan meningkat dan ketersediaan air berkurang karena daerah resapan air berkurang.

2. PDAM Kab. Pangkep, menggunakan mata air Ulu Ere dan Leang Kassi sebagai sumber air baku PDAM. PDAM Kab. Pangkep memperoleh pendapatan dari pemanfaatan mata air tersebut.

3. PT. Semen Tonasa I, memanfaatkan air dari Leang Londrong sejak tahun 1984 untuk memenuhi kebutuhan perumahan karyawannya. PT. Semen Tonasa I membayar retribusi ke pemda terkait pemanfaatan air yang berasal dari Leang Londrong. Hal tersebut sesuai dengan Surat Izin No. 10/ABT-DPE/2014 tanggal 21 Juli 2014 tentang Pemberian izin Penggunaan Air Bawah Tanah (ABT) PT. Semen Tonasa I yang dikeluarkan

oleh Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Pangkep. Selain membayar retribusi, PT. Semen Tonasa I juga memberikan dana CSR untuk desa-desa yang termasuk dalam kategori ring 1 (desa-desa yang bersinggungan dengan tapak pabrik). Desa Panaikang belum mendapatkan dana CSR karena tidak termasuk dalam kategori ring 1.

4. Masyarakat sekitar TN Babul, secara langsung maupun tidak langsung memanfaatkan air yang berasal dari TN Babul untuk irigasi persawahan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari (memasak, mandi, dan mencuci).

5. Pemerintah desa dan kelurahan, terlibat secara langsung dalam pengaturan pemanfaatan air untuk irigasi sawah dan pengelolaan wisata air Leang Londrong. Kawasan wisata Leang Londrong dikelola oleh pihak desa berdasarkan Peraturan Desa Panaikang No. 06 Tahun 2006 tentang Tarif Karcis Masuk Pemandian Alam Leang Londrong. Tarif untuk pengunjung dewasa adalah Rp1.500 per orang dan anak-anak Rp1.000 per orang.

6. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), mendapat manfaat secara langsung dari pengelolaan/pengaturan pemanfaatan air pada jaringan irigasi, air permukaan, embung/dam parit, dan air tanah.

7. Usaha air kemasan, memanfaatkan air dari Leang Kassi dan mata air Ulu Ere untuk usaha air galon dan air minum dalam kemasan.Adapun stakeholder sekunder dalam

pemanfaatan jasa lingkungan air di TN Babul terdiri dari:1. Industri pertambangan, khususnya

kegiatan penambangan marmer yang tidak terkendali yang dapat berakibat pada penurunan kualitas dan kuantitas air di sekitar kawasan karst.

2. Dinas Pekerjaan Umum, membangun bendungan dan saluran irigrasi.

3. Dinas Pertanian Kab. Pangkep,

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 137-149

Page 73: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

143

membutuhkan saluran irigrasi untuk mengairi lahan-lahan pertanian, perkebunan, dan perikanan.

4. Dinas Pertambangan, terkait kebijakan pemberian ijin penambangan marmer yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air di kawasan karst jika tidak memperhatikan daya dukung lingkungan.

5. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Pangkep, mengembangkan obyek wisata berbasis air (pemandian alam) seperti yang terdapat di Leang Londrong dan Leang Kassi.

6. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pangkep, membina masyarakat di sekitar zona penyangga (buffer zone) TN Babul dan menjaga kawasan hutan agar tetap lestari.

c. Pemetaan Stakeholder dalam Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di TN Babul

Setiap stakeholder memiliki kepentingan, kebutuhan, dan sudut pandang yang berbeda dan harus dapat dikelola dengan baik sehingga tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud (Friedman & Miles, 2006). Stakeholder dalam pemanfaatan jasa lingkungan air di

TN Babul memiliki kepentingan (interest) serta pengaruh (power) yang beragam. Ada yang bersifat positif (sejalan dengan tujuan pemanfaatan jasa lingkungan air di TN Babul) dan ada yang bersifat negatif, seperti mengeksploitasi kawasan TN Babul yang menyebabkan kerusakan sumberdaya air. Pemetaan stakeholder akan membantu bagaimana melibatkan stakeholder tersebut dalam pencapaian tujuan (Reed et al., 2009) dengan menyebutkan apa kepentingan masing-masing stakeholder dan bagaimana pengaruh masing-masing stakeholder (siapa mempengaruhi/dipengaruhi siapa).

Hasil pemetaan stakeholder (Gambar 1) menunjukkan bahwa hampir semua stakeholder memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pemanfaatan jasa lingkungan air sehingga diklasifikasikan sebagai key players (Reed et al., 2009; Grilli et al., 2015; Santoso, Muntasib, Kartodihardjo, & Soekmadi, 2015). Stakeholder ini harus lebih aktif dilibatkan secara penuh dalam pemanfaatan dan evaluasi strategi baru dalam pengelolaan jasa lingkungan air. Industri pertambangan diklasifikasikan sebagai subject karena

Peran Stakeholder dalam Implementasi Imbal Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional ...........................(Nur Hayati & Abd. Kadir Wakka)

Gambar 1 Pemetaan stakeholder berdasarkan kepentingan dan pengaruhFigure 1 Mapping the stakeholders based on interests and power.

Page 74: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

memiliki tingkat kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah. Industri pertambangan merupakan salah satu stakeholder yang terkait tidak langsung dengan pemanfaatan air yang berasal dari kawasan taman nasional. Apabila kegiatan penambangan terus dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian dan keseimbangan ekosistem maka akan berakibat pada penurunan kualitas dan kuantitas air di kawasan sekitar karst.

Hasil FGD yang melibatkan sejumlah stakeholder menunjukkan bahwa dari ke-13 stakeholder sebagaimana disebutkan, ada lima stakeholder yang dapat dilibatkan jika konsep pembayaran/imbal jasa lingkungan air akan diterapkan di TN Babul (kasus Leang Londrong, Ulu Ere, dan Leang Kassi). Kelima stakeholder tersebut yaitu masyarakat sekitar, industri (PT. Semen Tonasa dan industri air kemasan), PDAM Pangkep, Balai TN Babul, dan pemerintah desa/kelurahan.

Hasil analisis rangking matrik (Tabel 1 dan Tabel 2) pengaruh dan kepentingan

stakeholder dalam pengelolaan imbal jasa lingkungan air di Leang Londrong, Ulu Ere, dan Leang Kassime nununjukkan bahwa ada dua stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang tinggi yaitu masyarakat sekitar kawasan dan pemerintah desa/kelurahan. Tiga stakeholder lainnya yaitu industri (PT. Semen Tonasa dan industri air kemasan), PDAM Pangkep, dan Balai TN Babul memiliki pengaruh dan kepentingan yang rendah. Tabel 1 dan Tabel 2 juga menunjukkan bahwa pengaruh dan kepentingan masyarakat terhadap kelestarian ketersediaan sumberdaya air lebih besar dari TN Babul karena masyarakat secara langsung merasakan dampaknya jika ketersediaan air mengalami penurunan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Selain itu, tugas dan fungsi utama Balai TN Babul adalah menjaga kelestarian kawasan taman nasional yang dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar.

Hasil pemetaan stakeholder (Gambar 2)

Tabel 1 Ranking matrik pengaruh stakeholder dalam pengelolaan imbal jasa lingkungan air Leang Londrong, Ulu Ere, dan Leang Kassi

Table 1 Ranking matrix of stakeholders power in the management of payments for water environmental services in Leang Londrong, Ulu Ere, and Leang Kassi

Stakeholder (Stakeholder)

Pengaruh terhadap (Power of)

Masyarakat sekitar

kawasan (Community around the

area)

Industri (Industry)

PDAM (Regional

water company) Pengkep

Balai TN Babul

(Babul NP)

Pemerintah desa

(Village government)

1. Kelestarian ketersediaan sumberdaya air(Sustainability of water resources availability)

41 2 16 11 20

2. Penentuan kebijakan pemanfaatan air(Determination of water utilization policies)

1 - 10 41 38

3. Pemanfaatan air (Utilization of water) 45 15 8 6 164. Peran-serta masyarakat dalam

pengelolaan air (Community participation in water management)

11 - 9 17 53

5. Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar sumberdaya air air (Increasing the welfare of the community around water resources)

8 35 31 10 6

Total 106 52 74 85 133

Sumber (Source) : Analisis data primer (Primary data analysis), 2015.

144

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 137-149

Page 75: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

145

berdasarkan rangking matrik kepentingan dan pengaruh menunjukkan bahwa masyarakat sekitar kawasan dan pemerintah desa/kelurahan dikategorikan sebagai key players (kotak B). Stakeholder ini harus lebih aktif dilibatkan secara penuh termasuk dalam mengevaluasi strategi baru (Reed et al., 2009; Thompson, 2011). Stakeholder seperti pihak industri (PT. Semen Tonasa dan indusri air kemasan), PDAM Pangkep, dan Balai TN Babul dikategorikan sebagai crowd (kotak C). Stakeholder yang termasuk dalam kategori crowd perlu dipertimbangkan jika ingin dilibatkan lebih jauh karena kepentingan dan pengaruh yang dimilikinya dapat berubah seiring berjalannya waktu (Reed et al., 2009). Stakeholder ini harus tetap dimonitor dan dijalin komunikasi dengan baik (Thompson, 2011).

D. Peran Stakeholder dalam Imbal Jasa Lingkungan Air di TN BabulJasa lingkungan air adalah potensi

sumberdaya kawasan yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan TN Babul. Pemanfaatan air di TN Babul belum dilakukan melalui mekanisme yang dapat menguntungkan semua pihak terkait, padahal sebagai pengguna air, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat mempunyai tanggung jawab dan berkewajiban menjaga kelestarian hutan. Oleh karena itu masyarakat, kelompok usaha atau lembaga-lembaga non komersial serta pemerintah yang memanfaatkan air dari dalam kawasan hutan harus ikut serta menjaga kelestarian hutan dan sumber air.

Beberapa peran yang dapat dilakukan oleh setiap stakeholder dalam konsep imbal jasa lingkungan air di TN Babul adalah:

Tabel 2 Ranking matrik kepentingan stakeholder dalam pengelolaan imbal jasa lingkungan Air Leang Londrong, Ulu Ere, dan Leang Kassi

Table 2 Ranking matrix of stakeholders interests in the management of payments for water environmental services at Leang Londrong, Ulu Ere, and Leang Kassi

Stakeholder (Stakeholder)

Kepentingan terhadap (Power of)

Masyarakat sekitar kawasan

(Community around the

area)

Industri (Industry)

PDAM (Regional

water company) Pengkep

Balai TN Babul(Babul

NP)

Pemerintah desa (Village government)

1. Kelestarian ketersediaan sumberdaya air (Sustainability of water resources availability)

74 7 9 - -

2. Penentuan kebijakan pemanfaatan air (Determination of water utilization policies)

14 5 15 22 34

3. Pemanfaatan air (Utilization of water)

66 6 12 - 6

4. Peran-serta masyarakat dalam pengelolaan air (Community participation in water management)

4 - 12 30 44

5. Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar sumberdaya air (Increasing the welfare of the community around water resources)

34 - - 11 45

Total 192 18 48 63 129

Sumber (Source) : Analisis data primer (Primary data analysis), 2015.

Peran Stakeholder dalam Implementasi Imbal Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional ...........................(Nur Hayati & Abd. Kadir Wakka)

Page 76: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

146

1. Pemerintah Desa/KelurahanPemerintah desa/kelurahan memiliki

pengaruh dan kepentingan yang sangat besar dalam konsep imbal jasa lingkungan air di Leang Londrong, Ulu Ere, dan Leang Kassi. Oleh karena itu pemerintah desa/kelurahan memiliki peran yang sangat besar dalam merumuskan kebijakan pemanfataan air dan pelestarian sumber air. Pemerintah desa/kelurahan juga diharapkan berperan dalam meningkatkan peran-serta masyarakat sekitar untuk menjaga kelestarian hutan di sekitarnya. Pemerintah desa dapat bertindak sebagai penyedia jasa air (service providers) sehingga dapat memperoleh pendapatan dari retribusi masyarakat yang memanfaatkan sumber air tersebut melalui mekanisme imbal jasa lingkungan.

2. Masyarakat Sekitar TN Babul Masyarakat sekitar TN Babul memiliki

pengaruh dan kepentingan yang sangat besar dalam konsep imbal jasa lingkungan air di Leang Londrong, Ulu Ere, dan Leang Kassi. Masyarakat sekitar kawasan bertindak sebagai

penerima jasa (service users) sehingga dapat memanfaatkan air yang berasal dari kawasan TN Babul untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pengairan sawah. Masyarakat sekitar dapat berperan dalam menjaga dan memelihara kelestarian sumber air dengan jalan mencegah terjadinya kerusakan kawasan hutan. Kerusakan hutan di lokasi kajian disebabkan oleh adanya penebangan kayu dan kebakaran hutan.

3. Balai TN BabulBalai TN Babul berperan dalam

melaksanakan fungsi perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan air dalam kawasan dan berhak untuk menertibkan segala bentuk pemanfaatan air dalam kawasan sehingga kawasan hutan lestari, ketersediaan dan kebutuhan air terpenuhi (Khairiah et al., 2016). Keberadaan TN Babul berhubungan positif dengan ketersediaan sumberdaya air dari kawasan taman nasional. TN Babul dapat bertindak sebagai penyedia jasa air (service providers) sehingga dapat memeroleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 137-149

Gambar 2 Pemetaan stakeholder imbal jasa lingkungan air di TN BabulFigure 2 Mapping stakeholder payments for water environmental services in Babul NP.

Page 77: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

147

dari stakeholder yang telah memanfaatkan jasa lingkungan air dari kawasan TN Babul, khususnya untuk pemanfaatan air secara komersial.

4. PDAM Kabupaten PangkepPDAM bertindak sebagai penerima jasa

(service users) dalam konsep imbal jasa lingkungan karena PDAM telah menggunakan air dari kawasan TN Babul. PDAM berperan dalam mendistribusikan air bersih bagi masyarakat Kab. Pangkep dan memperoleh keuntungan dari jasa produksi air tersebut. Penguasaan sumber air yang dilakukan oleh PDAM berdampak pada jumlah lahan pertanian yang dapat diari oleh sumber air tersebut. Menurut masyarakat jumlah lahan pertanian yang dialiri air semakin berkurang. PDAM Kab. Pangkep diharapkan dapat berperan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar sumberdaya air dengan jalan menyisihkan sebagian pendapatan yang diperoleh untuk tujuan konservasi dan peningkatan usaha produktif masyarakat.

5. Industri (PT. Semen Tonasa I dan Industri Air Kemasan)Industri bertindak sebagai penerima

jasa (service users) dalam konsep imbal jasa lingkungan. PT. Semen Tonasa I telah mendapatkan manfaat dari sumber air yang tersedia guna memenuhi kebutuhan air untuk perumahan karyawan. Demikian juga halnya dengan industri air kemasan yang telah mendapatkan pendapatan dari mengolah dan memasarkan air yang bersumber dari Leang Londrong, Ulu Ere, dan Leang Kassi. Oleh karena itu, PT. Semen Tonasa I dan industri air kemasan diharapkan ikut berperan aktif dalam melestarikan sumber air serta upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar yang telah turut menjaga kelestarian sumber mata air.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanAnalisis stakeholder merupakan suatu

langkah yang penting dalam upaya inisiasi konsep imbal jasa lingkungan di TN Babul. Keberhasilan dalam merumuskan kebijakan dan dukungan terhadap pelaksanaan imbal jasa lingkungan sangat tergantung pada stakeholder yang dipilih. Pemilihan stakeholder yang tepat akan menentukan tingkat keberhasilan pelaksanaan kegiatan imbal jasa lingkungan air tersebut.

Masyarakat sekitar kawasan dan pemerintah desa/kelurahan merupakan stakeholder yang mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi, sedangkan industri (PT. Semen Tonasa I dan industri air kemasan), PDAM Kab. Pangkep, dan Balai TN Babul merupakan stakeholder yang mempunyai kepentingan dan pengaruh yang rendah. Stakeholder yang dapat dilibatkan secara langsung dalam pemanfaatan jasa lingkungan air terkait dengan imbal jasa lingkungan di lokasi kajian adalah masyarakat sekitar kawasan, industri (PT. Semen Tonasa I dan industri air kemasan), PDAM Kab. Pangkep, TN Babul, dan pemerintah desa

B. SaranPemerintah desa dan TN Babul perlu

secara aktif dan bersama-sama melakukan koordinasi dan negosiasi dengan pihak PDAM dan industri, terkait dengan kemungkinan dilakukan kegiatan imbal jasa lingkungan air. Upaya ini dilakukan agar stakeholder yang telah memanfaatkan jasa lingkungan air tersebut ikut berkontribusi dalam memelihara kelestarian hutan dan sumberdaya air yang berasal dari kawasan konservasi sehingga dapat dinikmati secara berkesinambungan.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Atas terselenggaranya kegiatan penelitian dan publikasi ini, kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya

Peran Stakeholder dalam Implementasi Imbal Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional ...........................(Nur Hayati & Abd. Kadir Wakka)

Page 78: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

148

disampaikan kepada Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan penelitian. Terima kasih dan apresiasi juga kami sampaikan kepada Zainuddin, S.Hut. dan Supardi, S.Hut. sebagai teknisi BP2LHK Makassar yang telah membantu pengumpulan data. Terima kasih dan apresiasi tak lupa pula kami sampaikan kepada staf TN Babul, Kepala Desa Panaikang, Lurah Biraeng, serta masyarakat sekitar TN Babul atas kerjasama yang baik dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Balai TN Babul. (2008). Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Periode 2008 – 2027. Maros: Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Budhi, G., Kuswanto, S., & Iqbal, M. (2008). Concept and implementation of PES program in the Cidanau watershed : A lesson learned for future environmental policy. Analisis Kebijakan Pertanian, 6(1), 37–55.

Deviana, F., & Sutriadi, R. (2011). Realisasi insentif imbal jasa lingkungan melalui kerjasama pengelolaan sumber air baku di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 3(1), 115–125.

Dewi, I. N., & Iwanudin. (2007). Kelembagaan pengelolaan DAS Limboto, Gorontalo. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 4(3), 221–231.

Dinas Pekerjaan Umum. (2015). Laporan Tahunan 2014. Kabupaten Pangkep.

Dinas Pertanian. (2015). Laporan Tahunan 2014. Kabupaten Pangkep.

Ekayani, M., Nuva, Yasmin, R., Saffitri, L. R., & Bahroin, I. (2014). Taman nasional untuk siapa? Tantangan membangun wisata alam berbasis masyarakat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jurnal Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, 1(1), 46–52.

ESCAP. (2009). Kebijakan sosial ekonomi inovatif untuk meningkatkan kinerja lingkungan; imbal jasa lingkungan. Bangkok: United Nations.

ESP_USAID. (2007). Kemitraan penggunaan air untuk konservasi TNGP (No. DAI Project Number : 53000201). Jakara.

Evers, M., Jonoski, A., Maksimovič, C., Lange, L., Ochoa Rodriguez, S., Teklesadik, A., …,

& Makropoulos, C. (2012). Collaborative modelling for active involvement of stakeholder in urban flood risk management. Natural Hazards and Earth System Science, 12(9), 2821–2842. http://doi.org/10.5194/nhess-12-2821-2012.

Fauzi, A., & Anna, Z. (2013). The complexity of the institution of payment for environmental services: A case study of two Indonesian PES schemes. Ecosystem Services, 6, 54–63. http://doi.org/10.1016/j.ecoser.2013.07.003.

Ferrary, M. (2009). A stakeholder’s perspective on human resource management. Journal of Business Ethics, 87(1), 31–43. http://doi.org/10.1007/s10551-008-9868-z.

Freeman, R. E. (1984). Strategic management. A stakeholder approach. Boston: Pitman Publishing Inc.

Friedman, A. L., & Miles, S. (2006). Stakeholder. Theory and practice. New York: Oxford University Press.

Grilli, G., Garegnani, G., Poljanec, A., Ficko, A., Vettorato, D., Meo, I. De, & Paletto, A. (2015). Stakeholder analysis in the biomass energy development based on the experts ’ opinions : the example of Triglav National Park in Slovenia. Folia Forestalia Polonica, 57(3), 173–186. http://doi.org/10.1515/ffp-2015-0017.

Hayati, N. (2016). Analisis stakeholder dalam pengelolaan kemitraan. In Supratman (Ed.), Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat : Pembelajaran dari Bulukumba, Sulawesi Selatan (1st ed., pp. 67–77). Bogor: Forda Press.

Indrizal, E. (2014). Pengkajian keadaan perdesaan secara partisipatif participatory rural appraisal (PRA): suatu pengantar pengenalannya. Retrieved February 2, 2017, from download.portalgaruda.org/article.php?...PENGKAJIAN KEA

Khairiah, R. N., Prasetyo, L. B., Setiawan, Y., & Kosmaryandi, N. (2016). Monitoring model of payment for environmental service (PES) implementation in Cidanau watershed with stands density approach. Procedia Environmental Sciences, 33, 269–278. http://doi.org/10.1016/j.proenv.2016.03.078.

Lau, W. W. Y. (2013). Beyond carbon : Conceptualizing payments for ecosystem services in blue forest on carbon and other marine and coastal ecosystem services. Journal of Ocean & Coastal Management, 83, 5–14. http://doi.org/http://doi.org/bqx8.

LP3ES. (2009). Program pembayaran jasa perlindungan DAS; mengembangkan mekanisme transaksi hulu-hilir untuk

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.2, 2019: 137-149

Page 79: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

149

meningkatkan kehidupan masyarakat. Jakarta: PSDAL-LP3ES & IIED.

Napitupulu, D. F., Asdak, C., & Budiono. (2013). Mekanisme imbal jasa lingkungan di sub DAS Cikapundung (Studi Kasus pada Desa Cikole dan Desa Suntenjaya Kabupaten Bandung Barat). Jurnal Ilmu Lingkungan, 11(2), 73–83.

Noordwijk, & Leimona. (2010). Principles for fairness and efficiency in enhancing environmental services in Asia: payments, compensation, or co-investment? Ecology and Society, 15(4), 17–26.

Reed, M. S. (2008). Stakeholder participation for environmental management: a literature review. Biological Conservation, 141(10), 2417–2431. http://doi.org/10.1016/j.biocon.2008.07.014.

Reed, M. S., Graves, A., Dandy, N., Posthumus, H., Hubacek, K., Morris, J., …, & Stringer, L. C. (2009). Who’s in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of Environmental Management, 90(5), 1933–1949. http://doi.org/10.1016/j.jenvman.2009.01.001.

Sabina, P., & Stanghellini, L. (2010). Stakeholder involvement in water management : the role of the stakeholder analysis within participatory processes. Water Policy, 12, 675–694. http://doi.org/10.2166/wp.2010.004.

Salam, M. A., & Noguchi, T. (2006). Evaluating capacity development for participatory forest management in Bangladesh’s Sal forests based on “4Rs” stakeholder analysis. Forest Policy and Economics, 8(8), 785–796. http://doi.org/10.1016/j.forpol.2004.12.004.

Santoso, H., Muntasib, E. K. S. H., Kartodihardjo, H., & Soekmadi, R. (2015). Peranan dan kebutuhan pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 12(3), 197–211.

Sriani, N. (2012). Kajian mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air (studi kasus di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sutopo, M. F., & Mawardi, M. I. (2010). Analisis kesediaan masyarakat menerima pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum di DAS Cisadane Hulu. Jurnal Hidrosfir Indonesia, 5(3), 1–11.

Thompson, R. (2011). Stakeholder analysis. Winning support for your projects. Retrieved February 20, 2011, from http://www.mindtools.com/pages/article/newPPM_07.htm.

Townsley, P. (1998). Social issues in fisheries. FAO Fisheries Technical Paper. No. 375. Retrieved July 23, 2011, from http://www.fao.org/DOCREP/003/W8623E/w8623e05. htm.

Vibrianto, N., Ismail, A., & Ekayani, M. (2015). Manfaat ekonomi dan daya dukung kawasan Pantai Lombang, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, 2(2), 152–159.

Wakka, A. K., Awang, S. A., Purwanto, R. H., & Poedjirahajoe, E. (2013). Analisis stakeholder pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 20(1), 11–21.

Wang, J., Ge, J., & Qiang, L. (2013). Stakeholder involvement in the drinking water supply system : a case study of stakeholder analysis in China. Journal of Water Supply and Technology, 62(8), 507–515. http://doi.org/10.2166/aqua.2013.066.

Wardah, & Farsia, L. (2013). Penerapan imbal jasa lingkungan dalam pelestarian daerah aliran sungai di Aceh. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, (59), 115–128.

Peran Stakeholder dalam Implementasi Imbal Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional ...........................(Nur Hayati & Abd. Kadir Wakka)

Page 80: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...
Page 81: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Petunjuk penulisan ini dibuat untuk keseragaman format penulisan dan kemudahan bagi penulis dalam proses penerbitan naskah di Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Penulis dapat menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah dalam bahasa Indonesia harus sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang berlaku, dan bila dalam bahasa Inggris sebaiknya memenuhi standar tata bahasa Inggris baku.

Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3 cm, margin bawah 3 cm, margin kiri dan kanan masing–masing 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom dengan jarak antar kolom 1 cm. Panjang naskah hendaknya maksimal 12 halaman, termasuk lampiran. Jarak antara paragraf adalah satu spasi tunggal. Naskah merupakan hasil penelitian dalam bidang sosial dan ekonomi kehutanan, serta lingkungan. Naskah harus berisi informasi yang benar, jelas dan memiliki kontribusi substantif terhadap bidang kajian.

FORMAT: Naskah diketik di atas kertas putih A4, Times New Roman, font 12, kecuali Abstrak, Kata Kunci dan Daftar Pustaka font 10

SISTEMATIKA PENULISANHasil penelitian:

JUDULIdentitas PenulisABSTRAK & Kata KunciI. PENDAHULUANII. METODE PENELITIANIII. HASIL DAN PEMBAHASANIV. KESIMPULAN DAN SARANUCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT) DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN

Tubuh naskah diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan. Semua nomor ditulis rata di batas kiri tulisan, seperti:I, II, III, dst. untuk BabA, B, C, dst. untuk Sub Bab1, 2, 3, dst. untuk Sub Sub Baba, b, c, dst. untuk Sub Sub Sub Bab1), 2), 3), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Baba), b), c), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Sub Bab

JUDUL: Dibuat dalam 2 bahasa, harus mencerminkan isi tulisan, dan ditulis dengan Times New Roman. Bahasa Indonesia dengan font 14, huruf kapital, tegak dan tidak lebih dari 2 baris atau tidak lebih dari 13 kata. Bahasa Inggris dengan font 12, huruf kecil, italik, dan diapit tanda kurung. Judul naskah harus mencerminkan inti dari isi suatu tulisan. Judul hendaknya akurat, singkat, padat, informatif, mudah diingat dan mudah dipahami. Menggambarkan isi pokok tulisan. Mengandung kata kunci yang menunjukkan isi tulisan. Judul seringkali digunakan dalam sistem pencarian informasi. Hindari pemakaian kata kerja. Hindari pemakaian rumus kimia, rumus matematika, bahasa singkatan dan tidak resmi.

IDENTITAS PENULIS: Nama penulis (tanpa gelar dan jabatan) dicantumkan di bawah judul, di bawahnya diikuti nama dan alamat instansi serta alamat e-mail penulis ditulis dengan font lebih kecil dari font teks (font 10). Bila penulis lebih dari satu, penulisan nama berurutan

PETUNJUK UNTUK PENULIS (GUIDE FOR AUTHORS)

Page 82: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

mulai penulis pertama, penulis kedua, penulis ketiga dan seterusnya sesuai dengan peran dan sumbangan yang diberikan serta tanggungjawab yang dibebankan.

ABSTRAK: Dibuat dalam dua bentuk: pertama untuk Lembar Abstrak, maksimal 100 kata, dan kedua (Abstrak) maksimal 200 kata, keduanya berupa intisari dari naskah secara menyeluruh dan informatif. Kedua abstrak tersebut dibuat dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Abstrak merupakan pernyataan singkat, berupa intisari secara menyeluruh mengenai permasalahan, tujuan, metodologi dan hasil yang dicapai. Ditempatkan sebelum pendahuluan; diketik dengan jarak satu spasi. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, tidak ada gambar, tabel dan pustaka. Tidak mencantumkan istilah yang kurang dimengerti, akronim atau singkatan, nama atau merek dagang atau tanda lain tanpa keterangan. Dapat merangsang pembaca untuk memperoleh informasi lebih lanjut. Naskah dalam bahasa Indonesia: disajikan abstract (bahasa Inggris) yang dicetak miring, disusul abstrak (bahasa Indonesia) yang dicetak tegak. Naskah dalam bahasa Inggris: berlaku sebaliknya.

KATA KUNCI: Dicantumkan di bawah abstrak masing-masing, maksimal 5 entri, dibuat dalam bahasa yang digunakan dalam Lembar Abstrak dan Abstrak.

Page 83: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

TEMPLATE JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN

JUDUL (Times New Roman, all caps, 14 pt, bold, centered)Title (Times New Roman, 12 pt, italic, bold, centered)

(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)

Penulis Pertama1, Penulis Kedua2 dan Penulis Ketiga3

1Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara; e-mail: [email protected]

2Nama Lembaga Penelitian, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara;e-mail: [email protected]

3Nama Lembaga Penelitian, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara;e-mail: [email protected]

(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)*Apabila semua penulis dalam satu instansi, maka superscript 1,2,dst tidak perlu dicantumkan

Diterima ……, direvisi ……, disetujui …… (diisi oleh Sekretariat)

ABSTRACT (12 pt, bold, italic)(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

Abstract should be written in Indonesian and English using Times New Roman font, size 10 pt, italic, single space.. Abstract is not a merger of several paragraphs, but it is a full and complete summary that describe content of the paper It should contain background, objective, methods, results, and conclusion from the research. It should not contain any references nor display mathematical equations. It consists of one paragraph and should be no more than 200 words in bahasa Indonesia and in English(kosong satu spasi tunggal 10 pt).

Keywords: 3 - 5 keywords (Times New Roman, 10 pt)(kosong satu spasi tunggal 10 pt)

ABSTRAK (12 pt, bold)(kosong satu spasi 12 pt)

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran 10 pt, italic, spasi tunggal. Abstrak bukanlah penggabungan beberapa paragraf, tetapi merupakan ringkasan yang utuh dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan. Sebaiknya abstrak mencakup latar belakang, tujuan, metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak tidak berisi acuan atau tidak menampilkan persamaan matematika, dan singkatan yang tidak umum. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 200 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.(kosong satu spasi tunggal 10 pt)

Kata kunci: 3 - 5 kata kunci (Times New Roman, 10 pt)(kosong enam spasi tunggal, 10 pt)

} (Times New Roman, 10

pt, , centered

Page 84: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

I. PENDAHULUAN (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

Pendahuluan mencakup hal–hal berikut ini: Latar belakang, berisi uraian permasalahan dan alasan pentingnya masalah tersebut diteliti. Permasalahan diumuskan secara jelas, penjelasan ditekankan pada rencana pemecahan masalah dan keterkaitannya dengan pencapaian luaran yang telah ditetapkan. Tujuan, berisi pernyataan secara jelas dan singkat tentang hasil yang ingin dicapai dari serangkaian kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Sasaran atau luaran menjelaskan secara spesifik yang merupakan hasil antara dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Hasil yang telah dicapai, dijelaskan kaitannya dengan kegiatan yang dilaksanakan (khusus untuk kegiatan penelitian lanjutan).

II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah, yaitu rasional, empiris dan sistematis. Mengemukakan semua bahan yang digunakan seperti tumbuhan kayu, bahan kimia, alat dan lokasi penelitian. Tanaman dan binatang ditulis lengkap dengan nama ilmiah. Menggunakan tolok ukur internasional, system matrix dan standar nomenklatur. Metode penelitian dijelaskan sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. Pelaksanaan penelitian disusun berurutan menurut waktu, ukuran dan kepentingan. Jika metode merupakan kutipan harus dicantumkan dalam referensi. Jika dilakukan perubahan terhadap metode kutipan atau standar harus disebutkan perubahannya. Bila diperlukan dapat disajikan dalam tabel. Metode statistik (bila ada) harus disebutkan dengan singkat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil disajikan dalam bentuk uraian umum. Disusun secara berurutan sesuai dengan tujuan penelitian. Jika tujuan penelitian tidak tercapai perlu dikemukakan alasan dan penyebabnya, agar peneliti lain tidak mengulanginnya. Tabulasi, grafik, analisis statistik dilengkapi dengan tafsiran yang

benar. Judul, keterangan tabel dan gambar dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris dengan huruf miring; atau sebaliknya. Angka yang tercantum dalam tabel tidak perlu diuraikan lagi, tetapi cukup dikemukakan makna atau tafsiran masalah yang diteliti; dalam bagian ini juga dapat disajikan ilustrasi dalam bentuk grafik bagan, pictogram dan sebagainya. Dapat mengemukakan perbandingan hasil yang berlainan dan beberapa perlakuan. Metode statistik yang digunakan dalam pengolahan data harus dikemukakan, sehingga tingkat kebenaran dapat ditelusuri. Prinsip dasar metode harus diterangkan dengan mengacu pada referensi atau keterangan lain mengenai masalah ini. Penulis mengemukakan pendapatnya secara objektif dengan dilengkapi data kuantitatif.

Pembahasan dapat menjawab apa arti hasil yang dicapai dan apa implikasinya. Dapat menafsirkan hasil dan menjabarkannya, sehingga dapat dimengerti pembaca. Mengemukakan hubungan dengan hasil penelitian sebelumnya. Bila berbeda tunjukkan, bahas dan jelaskan penyebab perbedaan tersebut. Hasil penelitian ditafsirkan dan dihubungkan dengan hipotesis dan tujuan penelitian. Mengemukakan fakta yang ditemukan dan alasan mengapa hal tersebut terjadi. Menjelaskan kemajuan penelitian dan kemungkinan pengembangan selanjutnya.

Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu dapat ditulis kata singkatnya.

TABEL: Diberi nomor, judul, dan keterangan yang diperlukan, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Tabel ditulis dengan Times New Roman ukuran 10 pt dan berjarak satu spasi di bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 10 pt, rata kiri, dan ditempatkan di atas tabel. Penomoran tabel menggunakan angka Arab (1, 2, …..). Tabel diletakkan segera setelah disebutkan di dalam naskah. Tabel diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah

Page 85: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

dari setiap halaman. Apabila tabel memiliki lajur/kolom cukup banyak, dapat digunakan format satu kolom atau satu halaman penuh. Apabila judul pada lajur tabel terlalu panjang, maka lajur diberi nomor dan keterangannya di bawah tabel. Sumber (Source) ditulis di kiri bawah tabel.

GAMBAR: Gambar, grafik, dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus berwarna kontras (hitam putih atau berwarna), masing-masing harus diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia

dan Inggris. Gambar diletakkan segera setelah disebutkan dalam naskah.

Gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari setiap halaman. Gambar diletakkan simetris dalam kolom. Penomoran gambar menggunakan angka Arab. Penulisan keterangan gambar menggunakan huruf Times New Roman berukuran 10 pt, center, dan diletakkan di bagian bawah, seperti pada contoh di atas. Sumber (Source) ditulis di kiri bawah gambar.

(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)Tabel 1. Perkembangan luas hutan rakyat di 10 kabupaten terluas dalam pembangunan hutan rakyat di Jawa TengahTable 1. Community forests areas development in 10 largest regencies in community forest establishment in Central Java

(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

No. Kabupaten (Regency) Tahun (Year) (ha) 2005 2006 2007

1 Wonogiri 25.100 25.643 36.359 2 Kendal 12.407 12.724 12.737 3 Banjarnegara 13.154 15.610 19.290 4 Purbalingga 13.027 14.117 14.143 5 Purworejo 20.771 23.186 20.567 6 Wonosobo 19.824 20.687 19.619 7 Pati 15.762 16.049 16.049 8 Banyumas 13.204 14.963 17.090 9 Boyolali 9.392 9.758 7.950 10 Sragen 17.064 17.220 18.049

Kabupaten lainnya 15.735 175.866 184.776 Jumlah (Total) 317.440 345.823 366.629

Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a). (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a).(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)Gambar 1. Persentase luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2011.Figure 1. Area percentage of community forests in Central Java Province in 2011.(kosong dua spasi tunggal, 10 pt)

Page 86: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

FOTO: Harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Resolusi gambar disarankan paling sedikit 300 dpi, sehingga gambar tetap terbaca jelas meskipun diperbesar.

Apabila terdapat persamaan reaksi atau matematis, diletakkan simetris pada kolom. Nomor persamaan diletakkan di ujung kanan dalam tanda kurung, dan penomoran dilakukan secara berurutan. Apabila terdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satu baris, maka penulisan nomor diletakkan pada baris terakhir. Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk singkatan, seperti persamaan (1). Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulis semuanya secara detail, hanya dituliskan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasil akhirnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanKesimpulan memuat hasil yang telah

dibahas. Hal yang perlu diperhatikan adalah segitiga konsistensi (masalah-tujuan-kesimpulan harus konsisten). Kesimpulan bukan tulisan ulang pembahasan dan juga bukan ringkasan, melainkan perampatan singkat dalam bentuk kalimat utuh (tidak berupa pointer).

Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk singkatan, seperti persamaan (1). Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulis semuanya secara detail, hanya dituliskan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasil akhirnya.

(kosong satu spasi tunggal 11 pt)B. Saran

Saran berisi rekomendasi akademik atau tindak lanjut nyata atas kesimpulan yang diperoleh, dapat dikemukakan untuk dipertimbangkan pembaca.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Merupakan bagian yang wajib ada dalam sistematika karya tulis ilmiah. Suatu penelitian tidak akan berhasil tanpa melibatkan pihak-pihak yang telah membantu, baik berperan secara finansial, teknis, maupun substantif. Ucapan terima kasih merupakan sebuah kewajiban, bukan pilihan (opsional).

DAFTAR PUSTAKA(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

Daftar pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah, diutamakan terbitan paling lama 5 tahun terakhir. Format penulisan Daftar Pustaka mengacu pada American Psychological Association (APA) style.

Referensi terdiri dari acuan primer dan/atau acuan sekunder. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji. Sumber acuan primer dapat berupa: tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasional maupun nasional terakreditasi, hasil penelitian di dalam disertasi, tesis, maupun skripsi. Buku (textbook) dan prosiding termasuk dalam sumber acuan sekunder.

Semua karya yang dikutip dalam penulisan karya tulis harus dimuat dalam daftar pustaka (dan sebaliknya).

Berdasarkan Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah (2014), proporsi terbitan 10 tahun terakhir merupakan tolak ukur mutu terbitan berkala ilmiah, dimana sumber acuan primer berbanding sumber lainnya adalah >80%. Pengacuan pada tulisan sendiri (self citation) yang terlalu banyak dapat mengurangi nilai terbitan berkala ilmiah.

Daftar pustaka dicantumkan setelah uraian penulisan. Ukuran margin seperti pada halaman penulisan. Judul daftar pustaka berada di tengah dan tidak dicetak miring/tanda kutip. Kapitalkan hanya huruf pertama pada kata pertama dan proper noun pada judul. Jarak antar karya (pustaka) dua spasi. Inden pada baris kedua dengan jarak ½ inch. Daftar pustaka harus disusun berdasarkan alphabet.

Penulisan sitasi dan daftar pustaka diharuskan menggunakan aplikasi referensi seperti Mendeley, Endnote.

u vkax y

æ ö¶ ¶ ÷ç=- + ÷ç ÷ç ÷ç¶ ¶è ø

Page 87: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

LAMPIRAN

Page 88: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Contoh Penulisan Daftar Pustaka Berdasarkan APA Style:

Paper dalam jurnalArtikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (1 penulis).

Williams, J.H. (2008). Employee engagement: Improving participation in safety. Professional Safety, 53(12), 40-45.

Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (2-6 penulis). Astana, S., Soenarno, & Karyono, O.K. (2014). Implikasi perubahan tarif dana reboisasi dan provisi sumber

daya hutan terhadap laba pemegang konsesi hutan dan penerimaan negara bukan pajak: Studi kasus hutan alam produksi di Kalimantan Timur, Indonesia. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(3), 251- 264.

Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (lebih dari 6 penulis). Reed, M.S., Graves, A., Dandy, N., Posthumus, H., Hubaek, K., Morris, J., … Stringer, L.C. (2009). Who’s

in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of Environmental Management, 2009(90), 16.

BukuBuku (1 penulis).

Alexie, S. (1992). The business of fancydancing: Stories and poems. Brooklyn, NY: Hang Loose Press.

Buku (2-6 penulis). Saputro, G.B., Hartini, S., Sukardjo, S., Susanto, A., & Poniman, A. (2009). Peta mangroves Indonesia. Jakarta:

Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional.

Buku (lebih dari 6 penulis). Atmosoedardjo, H.K., Kartasubrata, J., Kaomini, M., Saleh, W., … & Moerdoko, W. (2000). Sutera Alam

Indonesia. Jakarta: Penerbit Yayasan Sarana Wana Jaya.

ProsidingKuntadi, & Adalina, Y. (2010). Potensi Acacia mangium sebagai sumber pakan lebah madu (pp. 915-921).

Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIII: Pengembangan ilmu dan teknologi kayu untuk mendukung implementasi program perubahan iklim, Bali 10-11 Nopember 2010. Bogor: Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia.

Kumpulan tulisan yang dieditBooth-LaForce, C., & Kerns, K.A. (2009). Child-parent attachment relationships, peer relationships, and peer-

group functioning. In K.H. Rubin, W.M. Bukowski, & B. Laursen (Eds.), Handbook of peerinteractions, relationships, and groups (pp. 490-507). New York, NY: Guilford Press.

Makalah seminar, lokakaryaIbnu, S. (2011, Maret). Isi dan format jurnal ilmiah. Makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan

dan Penyuntingan Jurnal Ilmiah, Malang: Universitas Negeri Malang.

Skripsi, disertasi, tesisSuyana, A. (2003). Dampak penjarangan terhadap struktur dan riap tegakan di hutan produksi alami PT. Inhutani

I Berau Kalimantan Timur (Tesis Pascasarjana). Universitas Mulawarman, Samarinda.Laporan Penelitian. Sidiyasa, K., Mukhlisi, & Muslim, T. (2010). Jenis-jenis tumbuhan hutan asli Kalimantan yang berpotensi

sebagai sumber pangan dan aspek konservasinya (Laporan Hasil Penelitian). Samboja: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja (unpublished).

Artikel dari internet.:Ahira, A. (2011). Adaptasi morfologi dari paruh burung kolibri. Diunduh 7 Juni 2012 dari http: //www.anneahira.com/paruh-burung-kolibri-h.tm cache.

Page 89: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Kenney, G.M., Cook, A., & Pelletier, J. (2009). Prospects for reducing uninsured rates among children: How much can premium assistance programs help? Retrieved 7 June 2012 from Urban Institute website: http://www.urban.org/url.cfm?ID=411823.

Surat kabar.Booth, W. (1990, October 29). Monkeying with language: Is chimp using words or merely aping handpers? The

Washington Post. p.A3.

Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan sejenisnya.Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2013 tentang RTRW Kota Medan 2011-2031.

Peraturan Walikota Medan Nomor 10 tahun 2009 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.

Pengutipan pustaka di dalam naskah berdasarkan sistem penulisan referensi APA Style, sebagai berikut:• Karya dengan dua pengarang.

Research by Wegener and Petty (1994) supports... atau (Wegener & Petty, 1994)• Karya tiga sampai lima pengarang.

(Kernis, Cornell, Sun, Berry, & Harlow, 1993) atau Kernis, Cornell, Sun, Berry, & Harlow (1993) explain….Dalam kutipan berikutnya, (Kernis et al., 1993) atau Kernis et al. (1993) argued….

• Enam pengarang atau lebih.Harris et al. (2001) argued... atau (Harris et al., 2001)

• Pengarang tidak diketahui, sitasi sumber pada judul dengan huruf miring. Sitasi sumber pada judul buku atau laporan dengan huruf miring, contoh: …berdasarkan Statistik daerah Kabupaten Pesawaran 2013 ……. Sedangkan pada judul artikel, bab, dan halaman web dalam tanda kutip dan dilengkapi tahun, contoh : A similar study was done of students learning to format research papers ("Using APA," 2001).

• Organisasi sebagai pengarang. According to the American Psychological Association (2000),... atau menggunakan singkatan jika telah dikenal dalam tanda bracket pertamakali sumber dikutip dan selanjutnya hanya singkatan yang disitasi. Sitasi pertama: (Mothers Against Drunk Driving [MADD], 2000) Sitasi kedua: (MADD, 2000)

• Dua karya atau lebih dalam tanda kurung yang sama(Berndt, 2002; Harlow, 1983)

• Pengarang dengan nama akhir sama.Gunakan inisial nama pertama dan nama terakhir, (E. Johnson, 2001; L. Johnson, 1998)

• Dua karya atau lebih dengan pengarang sama dalam tahun sama. Research by Berndt (1981a) illustrated that...

• Mensitasi/mengutip sumber tidak langsung. Johnson argued that...(as cited in Smith, 2003, p. 102).

• Tahun tidak diketahui. Another study of students and research decisions discovered that students succeeded with tutoring ("Tutoring and APA," n.d.).

Page 90: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

CATATAN: Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka: Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.) menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan. Naskah (teks) bahasa Inggris: titik (.) menunjukkan pecahan dan koma (,) menunjukkan kelipatan ribuan.

KONDISI: Dewan Redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya, dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis dari luar instansi Badan Litbang Kehutanan wajib menyertakan curriculum vitae singkat dan alamat yang jelas.

PENGAJUAN NASKAH

1. Redaksi Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan menerima naskah ilmiah berupa hasil penelitian dalam bidang Kebijakan, dan Lingkungan Kehutanan. Naskah harus berisi informasi yang benar, jelas dan memiliki kontribusi substantif terhadap bidang kajian

2. Penulisan harus singkat dan jelas sesuai dengan format penulisan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Naskah belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses untuk dimuat di media lain, baik media cetak maupun elektronik. Naskah diharapkan juga mensitasi dari Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan dan/atau Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan.

3. Naskah ilmiah yang masuk akan diseleksi oleh Dewan Redaksi yang memiliki wewenang penuh untuk mengoreksi, mengembalikan untuk diperbaiki, atau menolak tulisan yang masuk meja redaksi bila dirasa perlu. Penilaian secara substantif akan dilakukan oleh Mitra Bestari/Penyunting Ahli. Penilaian akan dilakukan secara obyektif dan tertulis.

4. Naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan tidak berarti mencerminkan pandangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI).

5. Informasi mengenai penerbitan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan dapat diakses di website http:// www.puspijak.org dan http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPSEK.

Page 91: JURNALPENELITIAN - Portal Publikasi Badan Litbang dan ...

Volume 16 Nomor 2, Agustus Tahun 2019

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Inovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

p-ISSN 1979-6013e-ISSN 2502-4221TERAKREDITASI

RISTEKDIKTI No. 21/E/KPT/2018

JURNALPENELITIANSOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANANForestry Socio and Economic Research Journal

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi K

ehutanan Vol.16, No.2, A

gustus 2019: 81-149

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Inovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA