Top Banner
115

Jurnal - Unsyiah

Oct 01, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jurnal - Unsyiah
Page 2: Jurnal - Unsyiah

ISSN: 2252-5254

Jurnal Sosiologi USK: Media Pemikiran & Aplikasi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Vol. 12, No. 1, Juni 2018

Editor In Chief Siti Ikramatoun, M.Si Managing Editor Firdaus Mirza Nusuary, MA Editorial Board Bukhari, MHSc. (UNSYIAH), Khairulyadi, MHSc. (UNSYIAH), Prof. Bahrein T. Sugihen. (UNSYIAH), Dr. Nirzalin, M.Si. (UNIMAL), Dr. Mahmudin. (UIN AR-RANIRY), T. Syarifuddin, M.Si. (UNIDA), Drs. Zulfan, M.Si. (UNSYIAH), Suci Fajarni, MA (UIN AR-RANIRY) Layouter Khairul Amin Alamat Redaksi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala Jln. Tgk. Tanoh Abee, Darussalam Banda Aceh Telp. (0651) 7555267, Fax (0651) 7555270 E-mail: Sosiologiusk@gmailcom

Jurnal Sosiologi USK: Media Pemikiran & Aplikasi adalah Jurnal Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala yang memuat berbagai pendekatan yang berlandaskan pada isu sosial kemasyarakatan secara lokal, nasional maupun internasional melalui karya tulis ilmiah. Redaksi juga menerima tulisan seputar dinamika sosial masyarakat baik yang bersifat teoritis, kritis, reflektif, opini dan berbagai ide-ide yang menyangkut dinamika sosial kemasyarakatan. Tulisan minimal 15 halaman A4 Spasi 1, dilengkapi dengan abstrak (bahasa inggris), catatan kaki dan daftar pustaka. Penulis juga harus menyertakan nama lengkap serta asal universitas. Tulisan dikirim ke email:[email protected].

Page 3: Jurnal - Unsyiah

ISSN: 2252-5254

Jurnal Sosiologi

Media Pemikiran Dan Aplikasi Universitas Syiah Kuala

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

DAFTAR ISI

Daftar Isi

Pengantar Redaksi

Paradigma Postmodernisme; Solusi Untuk Kehidupan

Sosial? (Sebuah Pandangan Teoritis Dan Analitis Terhadap

Paradigma Postmodernisme)

Iromi Ilham ........................................................................................ 1

Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak pada Generasi Millenial

dan Post-Millenial

Indra Setia Bakti, Emir Hamdi, M. Nur ........................................... 24

Inovasi Pendidikan pada Kaum Marginal

Fathayatul Husna .............................................................................. 38

Agama di Ruang Publik: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Furshet,

Casanova, dan Sherkat

Hanifa Maulidia ................................................................................ 55

Dari Pohon Hidup ke Kayu Mati :Perubahan Pencarian Keselamatan

Orang Dayak Dalam Kehidupan Desa Di Kalimantan Barat

Ade Ikhsan Kamil ............................................................................... 70

Konstelasi Politik Aceh Pasca Mou Helsinki (2006-2015)

Siti Ikramatoun & Khairul Amin ...................................................... 89

Page 4: Jurnal - Unsyiah

JURNAL

SOSIOLOGI USK

Media Pemikiran & Aplikasi

Page 5: Jurnal - Unsyiah

Iromi Ilham| 1 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?

PARADIGMA POSTMODERNISME; SOLUSI UNTUK KEHIDUPAN SOSIAL?

Sebuah Pandangan Teoritis Dan Analitis Terhadap Paradigma Postmodernisme

Iromi Ilham Dosen Program Studi Antropologi

Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe Email: [email protected]

Abstract

Most social scientists see that the presence of postmodernism is as anti-modernism, but according to the author there is no clear boundary between the "modern world" and "postmodern world". In this paper, I try to examine important aspects related to the postmodern paradigm in the context and its development as a paradigm. I also analyzed whether the presence of postmodern thought could be the answer to the social crisis that had been accused of modernism as the cause. In completing this article, I conducted a literature study and descriptive analysis related to this topic.

Keywords: Modernism, Post-Modernism, Paradigm, Social Crisis

Abstrak

Kebanyakan para ahli ilmu sosial melihat bahwa kehadiran pemikiran postmodernisme adalah sebagai anti dari modernisme, namun menurut penulis belum ada batasan yang jelas antara “dunia modern” dan “dunia postmodern”. Dalam paper ini, saya berusaha mengkaji aspek-aspek penting yang berkaitan dengan paradigma postmodernisme dalam konteks dan perkembangannya sebagai sebuah paradigma. Saya juga menganalisis apakah kehadiran pemikiran postmodernisme ini bisa menjadi jawaban atas krisis sosial yang selama ini dituduhkan kepada kaum modernism sebagai penyebabnya. Dalam menyelesaikan tulisan ini, saya melakukan studi kepustakaan dan analisis deskriptif yang berkaitan dengan topik ini.

Kata Kunci: Modernisme, Postmodernisme, Paradigma, Krisis Sosial

* * *

Page 6: Jurnal - Unsyiah

2 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

A. Pendahuluan

Meskipun sudah muncul puluhan tahun silam, definisi

mengenai istilah “postmodernisme” tetap saja masih belum jelas dan

masih kontroversial. Hal ini ditandai dengan munculnya beragam

definisi dan masih adanya perdebatan di kalangan para ahli ilmu

sosial-budaya yang bisa didapat dalam berbagai literatur.

Featherstone (2008: 2) menganggap aliran ini sebagai sebuah refleksi

perubahan sosial yang bersifat reaksioner dan mekanik. Bahkan

menurutnya, para akademisi dan intelektual adalah orang yang

paling bertanggung jawab akan kondisi ini karena telah menciptakan

istilah “postmodernisme” sebagai bagian dari permainan mereka.

Banyak ilmuan yang masih ragu dalam pemisahan antara

“modernism” dan “postmodernisme”. Misalnya kegalauan ini

dirasakan oleh Smart, Ia mengatakan istilah “modernism” dan

“postmodernisme” tidak hanya tak memiliki ketegasan, bahkan

istilah-istilah tersebut terkadang nampak memiliki konotasi yang

sangat berbeda bagi kritikus benua Eropa dan Amerika” (Smart, 2008:

37). Dalam pandangan Butler (dalam Ryadi, 2004), postmodernisme

menunjuk pada kritik-kritik filosofis terhadap fenomena yang ada di

dunia, epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Sementara

“postmodernitas” menunjuk pada situasi dan tata sosial produk

teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup,

konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana

publik, usangnya negara bangsa dan membangun kembali dimensi

historis melalui mencari kembali inspirasi-inspirasi tradisi lama yang

sudah terkubur (Ryadi, 2004: 91).

Page 7: Jurnal - Unsyiah

Iromi Ilham| 3 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?

Kebingungan ini juga seringkali dihubungkan dengan masa

sebelum postmodernisme hadir, yaitu masa modernisme. Namun,

terkait dengan awalan “post”, Ryadi mengajukan pertanyaan

bagaimana pemaknaan “post” dalam pandangan para ahli, apakah

“post” itu berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala

pola modern sebagaimana pemikiran Lyotard? Atau hanya sebatas

koreksi dalam permasalahan-permasalahan tertentu dari modern

sebagaimana yang dimaksud David Griffin? Atau apakah

postmodernisme itu merupakan bentuk radikal dari modern itu

sendiri, yang akhirnya bunuh diri, sebagaimana diungkap Derrida?

Atau sebagaimana yang dilontarkan Giddens bahwa postmodernisme

adalah wajah baru dari modern yang terkesan lebih “dewasa” dan

sadar diri? atau ini merupakan proyek modernisme yang belum

selesai sebagaimana disampaiakan Habermas? (Ryadi, 2004: 91).

Secara etimologi, pendapat yang mengatakan bahwa

postmodernisme hadir setelah modernisme ada, bukanlah sesuatu

yang mustahil, di mana “postmodernisme” terdiri dari dua suku kata,

“post” dan “modernism”. “Post” berarti suatu keadaan yang sudah

lewat, lepas, terpisah, atau terputus. Serta kata “modern” yang jika

dirujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna “terbaru

atau mutakhir”. Jadi, menjadi logis ketika ada yang mengatakan

bahwa postmodernisme lahir setelah modernisme ada. Lantas, timbul

pertanyaan “Kapan sebenarnya gerbang pemisah antara masa

modernisme dan masa postmodernisme tercipta”?. Tentu tidaklah

mudah untuk menjawab pertanyaan ini, Turner sendiri mengakui

kesulitan dalam menentukan periodesasi yang tepat mengenai dua

aliran pemikiran ini, modernisme dan postmodernisme.

Page 8: Jurnal - Unsyiah

4 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

Terlepas dari jejak “kelabu” postmodernisme yang memang

masih terbuka lebar wacana diskusi dan perdebatan, dalam paper

penulis berusaha mengkaji aspek-aspek penting yang berkaitan

dengan paradigma postmodernisme dalam konteks dan

perkembangannya sebagai sebuah paradigma yang dianggap bisa

menjadi solusi dalam beragam permasalahan manusia abad ke 21 hari

ini. Secara umum, pertanyaan besar yang diajukan adalah “Benarkah

paradigma postmodernisme mampu menjawab dan menjadi solusi

dalam setiap tantangan permasalahan sosial saat ini?” Dalam

menyelesaikan paper ini, penulis melakukan studi kepustakaan dan

analisis deskriptif yang berkaitan dengan topik ini.

B. Posmodernisme: Konseptualisasi dan Perkembangannya

Postmodernisme adalah sebuah pandangan, kerangka

pemikiran, atau aliran filsafat yang berkaitan dengan sikap dan cara

berpikir yang muncul di abad dua puluh dari para pemikir dunia

yang tentu saja keberadaannya sangat mempengaruhi perkembangan

dan kebudayaan manusia. Penerapan postmodernisme pun telah

dilakukan dalam berbagai bidang, seperti: seni, arsitektur, musik,

film, dan teater. Kehadiran aliran ini memiliki tujuan untuk

menjawab dan mengkritisi pandangan-pandangan yang telah ada

sebelumnya dalam hal mencari solusi atas beragam permasalahan

yang dihadapi manusia hari ini serta krisis sosial dan kultural yang

tak kunjung usai. Sebagian para ahli sepakat bahwa postmodernisme

bisa mengatasi krisis-krisis sosial yang terjadi, sehingga pemikiran ini

pun telah mempengaruhi hampir sebagian besar sisi kehidupan

manusia, namun sebagian yang lain tidak jarang yang meragukan

kemampuan pendekatan postmodernisme ini, sebagaimana yang

Page 9: Jurnal - Unsyiah

Iromi Ilham| 5 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?

ditulis Jenks dalam bukunya Studi Kebudayaan, yaitu:

Postmodernisme tidak menawarkan cara-cara alternatif untuk

mengetahui (memperoleh pengetahuan) darimana kita bisa

menghadapi dan menghargai sesuatu yang ‟baru‟ secara layak, tetapi

menyindir wacana dengan terus-menerus membabat epistimologi-

epistimologi yang ada dan menghadirkan penurunan dan pelemahan

pengaruh penjelasan-penjelasan yang didasarkan atas kualitas

wacana yang sama sekali tidak istimewa (Jenks, 2013: 202).

Secara konseptual, Jenks (dalam Pawitro, 2010: 41-42)

memberikan beberapa pandangan terkait postmodernisme, yaitu:

Pertama, postmodernisme diartikan sebagai sebuah aliran atau

pemikiran filsafat yang berkembang pada penghujung abad 20, yang

merupakan sebuah aliran pemikiran yang radikal dan bersifat kritis

terhadap filsafat Barat yang cenderung pada aspek rasionalisme

sebagai landasan utama dalam bidang sains/ilmupengetahuan,

sementara kehadiran postmodernisme menghancurkan universalisme

tendensi-tendensi dalam filsafat. Kedua, postmodernisme merupakan

sebuah aliran pemikiran yang berhubungan dengan sikap,

kebudayaan umum, atau yang berkaitan dengan kritik teoritikal, yang

berhubungan dengan penekanan pada relativitas, anti-universalitas,

nihilistik, kritik terhadap rasionalisme, dan kritik terhadap

fundametalisme atau sains. Ketiga, postmodernisme didefinisikan

dalam kaitannya dengan sosiologi, yaitu sebagai aliran pemikiran

atau gerakan yang timbul dari adanya akibat atau hasil perubahan

ekonomi, kebudayaan dan demografis. Misalnya: meningkatnya

pelayanan ekonomi, pentingnya media-massa, meningkatnya

ketergantungan ekonomi dunia, serta pola konsumsi masyarakat. Di

Page 10: Jurnal - Unsyiah

6 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

samping itu, postmodernisme dalam sosiologi juga berkaitan dengan

hadirnya dunia yang disesaki informasi dalam balutan globalisasi

sehingga dunia ini dianggap sebagai sebuah kampung global (global

village) yang tidak lagi dipermasalahkan oleh batas-batas geografis.

Keempat, postmodernisme dilihat sebagai aliran atau pemikiran yang

berkaitan dengan reaksi-reaksi atas “kegagalan” yang terjadi dalam

aliran arsitektur modern, yang timbul dalam bentuk kebosanan-

kebosanan dalam tampilan bentuk, hilangnya identitas dari tempat

atau lokasi, pengaruh yang mengungkung dari efisiensi dan

efektivitas produksi massal serta pengaruh yang sangat kuat dari

adanya industrialisasi dalam desain bangunan.

a) Postmodernisme: Menapaki Jalan Perkembangan

Rokhman (2013) dalam artikelnya yang berjudul Pasca

Modernisme Dalam Sastra telah merangkum perkembangan teori

postmodernisme hingga mencapai puncaknya di tahun 1980-an yang

dibagi dalam enam periode masa sebagai berikut:

Pertama, tahun 1917, dimana seorang filsuf Jerman yang

bernama Rudolf Pannwitz mendeskripsikan „nihilisme‟ budaya Barat

abad 20 yang merupakan sebuah tema pemikiran dari Nietzsche.

Kedua, tahun 1926, hadirnya Bernard Iddings Bell yang meyakini

adanya nilai-nilai yang melebihi dua ciri nilai era modern di Barat,

yaitu: liberalisme dan totalitarianisme. Kepercayaan pikiran terhadap

dua ideologi sekuler ini tidak memberi pengaruh yang signifikan

pada peningkatan kehidupan manusia, akan tetapi sebaliknya yang

terjadi, yaitu membawa pada kesengsaraan. Oleh karena itu, manusia

perlu kembali pada agama. Semua ini dituangkan dalam tulisannya

Postmodernism and Other Essays.

Page 11: Jurnal - Unsyiah

Iromi Ilham| 7 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?

Ketiga, pada tahun 1934, hadirnya Federico de Onis yang

menulis masalah postmodernisme dalam Antologia de la Poesia

Espanola e Hispanoamericana (1882-1932). Buku ini bercerita tentang

makna pasca-modern dalam pengertian gerakan sastra dan periode

historis yang berkaitan dengan puisi Spanyol dan Amerika Latin.

Keempat, pada tahun 1945, hadirnya Joseph Hudnut yang menulis

tentang „rumah pasca modern‟ dalam Architectural Record.

Menurutnya, postmodernisme berarti sebuah lembaran sejarah baru

yang mengacu pada era atomis dan komputer serta idealisme estetis

yang memicu kemajuan teknologi dan ilmu sehingga dapat

menyalurkan pengalaman-pengalaman manusia yang tak

terjembatani. Idealisme modern yang dikritiknya dianggap telah

menciptakan standardisasi dan mekanisasi.

Kelima, pada tahun 1954 muncul Arnold Toynbee yang

menggunakan pengertian postmodernisme sebagai tanda

perpindahan atau periode masuknya abad ke-dua puluh, sebagaiman

dijelaskan dalam bukunya A Study of History. Keenam, pada tahun

1980, istilah postmodernisme digunakan untuk menunjuk filsafat

pasca strukturalis Perancis dan juga sebagai reaksi umum terhadap

rasionalisme modern, utopianisme, dan apa yang kemudian disebut

sebagai “fondasionalisme”, yakni usaha untuk membangun fondasi

dari pengetahuan dan penilaian yang merupakan perhatian dari para

filosof sejak jaman Rene Descartes pada abad 17.

b) Postmodernisme: Sebuah Paradigma

Hidup di dunia sangat tidak terlepas dari beragam

permasalahan dan rintangan. Kondisi ini yang akan membuat

manusia menggunakan akal budi yang dimilikinya untuk mencari

Page 12: Jurnal - Unsyiah

8 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

solusi dengan membangun sebuah kerangka berpikir sehingga bisa

tetap bertahan hidup (survive). Setiap manusia memiliki cara dan

metode yang berbeda-beda dalam membangun kerangka berpikir

yang disebabkan oleh perbedaan tingkat daya berpikir, lingkungan

sekitar, masalah yang dihadapi, background pendidikan, dan lain-

lain. Dalam sejarah perjalanannya, beragam pendekatan (approach)

atau kerangka berpikir (paradigma) yang lahir, yang tentunya juga

memiliki tujuan yang sama, yaitu menjawab segala permasalahan

yang muncul dalam kehidupan dan memahami gejala-gejala sosial,

baik yang bersifat individual, maupun komunal (K. Garna, 1999:59).

Fenomena keilmuan lainnya juga menjadi penting diperhatikan, di

mana antara satu paradigma dengan lainnya saling mengkritisi guna

mencapai derajat “kesempurnaan” yang kesemuanya itu tetap dengan

satu tujuan untuk mencapai kehidupan yang baik dalam tatanan

hidup manusia.

Para ilmuan sosial-budaya juga kerap menyamakan arti antara

paradigma, perspektif (perspective), sudut pandang (point of view),

kerangka konseptual (conceptual framework), kerangka pemikiran

(frame of thinking), kerangka analitis (analytical framework), aliran

pemikiran (school of thought), dan pendekatan (approach) (Ahimsa-

Putra, 2009: 1). Menurut Ahimsa-Putra, paradigma diartikan sebagai

“seperangkat konsep yang saling berhubungan satu sama lain secara

logis dan membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi

untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan atau

masalah yang dihadapi” (Ahimsa-Putra, 2009: 2). Nah, jika kita juga

sepakat dengan pengertian “paradigma” sebagaimana yang

disampaikan Ahimsa-Putra, maka “paradigma postmodernisme” bisa

Page 13: Jurnal - Unsyiah

Iromi Ilham| 9 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?

juga didefinisikan sebagai sebuah konsep yang membentuk kerangka

berpikir yang bertujuan untuk memahami, menafsirkan, mengkaji,

memberi solusi dan menjelaskan kenyataan yang berkaitan dengan

fenomena sosial-budaya atau gejala-gejala sosial-budaya yang ada

dalam kehidupan masyarakat.

Sebagai sebuah paradigma yang diakui dalam kajian ilmu

sosial-budaya, maka postmodernisme memiliki unsur-unsur yang

mendukungnya sebagai sebuah paradigma. Menurut Ahimsa, ada 9

unsur-unsur paradigma, yaitu: asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai

(values), masalah yang ingin diteliti, model, konsep-konsep, metode

penelitian, metode analisis, hasil analisis, dan etnografi atau

representasi (Ahimsa-Putra, 2009: 4). Namun dalam sub-bab ini, saya

hanya melihat beberapa unsur saja dalam paradigma postmodern.

1) Asumsi-asumsi dan Nilai

Dalam bahasa yang sederhana, asumsi dasar bisa didefinisikan

sebagai pandangan-pandangan mengenai suatu hal yang sudah

diterima kebenarannya (Ahimsa-Putra, 2009: 4). Dalam paradigma

postmodernisme, kita bisa merujuk pada pandangan yang telah

disepakati oleh para ahli postmodernisme sebagai pijakan awal dalam

melihat realitas kehidupan sosial-budaya. Dengan demikian, kita bisa

melihat asumsi-asumsi dasar yang terdapat dalam paradigma ini

adalah sebagai berikut:

1. Nilai-nilai kebenaran yang bersifat relative. Artinya, dalam

paradigma ini, setiap individu berhak menginterpretasi

mengenai segala sesuatu atau fenomena sosial yang dilihat dan

dirasa sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya, sehingga

kebenaran disini sangat bersifat relative karena setiap individu

Page 14: Jurnal - Unsyiah

10 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

memiliki penafsiran yang berbeda-beda terhadap sebuah

fenomena.

2. Pemikiran-pemikiran yang disuguhkan oleh pemikir-pemikir

terdahulu dalam sebuah “narasi besar” dianggap tidak bisa

menjawab tantangan krisis sosial-kultural. Dengan demikian,

paradigm postmodernisme ini tidak percaya pada narasi-narasi

besar yang telah lalu, semisal pemikiran Hegel. Marx, dll

karena alih-alih bisa membuat dunia semakin baik, malah

keadaan dunia semakin kacau balau.

Mendrofa, (2012) juga mengatakan “Tidak ada yang benar-

benar “fakta” tentang dunia ini”. hal ini dikarenakan yang dilakukan

oleh manusia hanyalah memahami fenomena sosial melalui

interpretasi-interpretasi atau menginterpretasikan interpretasi tentang

realitas.

2) Ciri dan Pemikiran Postmodernisme

Sebagai sebuah paradigm, postmodernisme tentu memiliki ciri-

ciri tertentu yang membedakannya dengan paradigma-paradigma

lain dalam kajian ilmu sosial-budaya. Mengingat bahwa definisi

tentang paradigma postmodernisme juga masih banyak perdebatan di

kalangan para ahli, maka alangkah bijaksana ketika kita

mengidentifikasi aliran ini dengan menelusuri dan menelaah beragam

ciri yang dimiliki atau bisa juga disebut dengan varian pemikiran

yang dikenal dalam paradigma ini sebagaimana yang telah

dipaparkan oleh para ahli ilmu sosial-budaya.

Pertama, pemikiran Rosenau (1992) (dalam Ritzer) mengatakan

secara nyata bahwa postmodernisme hadir sebagai kritik terhadap

Page 15: Jurnal - Unsyiah

Iromi Ilham| 11 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?

aliran modernisme yang gagal dalam memenuhi janji-janji kehidupan

sosial yang lebih baik. Rosenau mengatakan:

...akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam “jalur cepat”. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern: seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal, dan rasionalitas (Ritzer, 2010: 19).

Kedua, pemikiran postmodernisme memiliki ciri bahwa ia

cenderung menolak meta-narasi, totalitas, dan pandangan-pandangan

besar dunia. Artinya, postmodernisme lebih menerima penjelasan

yang sangat terbatas (lokal naratif) untuk mengisi kehidupan (Ritzer,

2010: 19). Lyotard berpandangan bahwa narasi besar atau cerita

agung tentang sejarah dan masyarakat yang diungkapkan oleh

Marxis dan ahli lain yang melihat pencerahan adalah hal yang harus

diabaikan dalam dunia postmodernisme, majemuk dan polivokal ini.

Lyotard sendiri lebih cendrung menyukai “cerita kecil” tentang

masalah sosial yang dikatakan oleh manusia sendiri pada level

kehidupan dan perjuangan mereka di tingkat lokal. Dalam bahasa

yang lain, Agger menyebutnya dengan istilah “lokalitas” (Agger,

2003).

Ketiga, Rosenau juga mengatakan bahwa pemikiran

postmodernisme cenderung melihat pada fenomena-fenomena

emosional pra-modern, semisal emosi, perasaan, intuisi, refleksi,

spekulasi, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen

keagamaan, dan pengalaman mistik. Ritzer juga melihat pemikiran ini

sama dengan apa yang digagas oleh Jean Baudrillard mengenai teori

“pertukaran simbolis” (symbolic exchange) (Ritzer, 2010: 19).

Page 16: Jurnal - Unsyiah

12 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

Keempat, Nuyen (1992), (dalam Ritzer, 2010: 20), menjelaskan bahwa

banyak pemikir postmodernis yang menolak gaya diskursus

akademis modern yang teliti dan bernalar. Hal ini disebabkan oleh

tujuan dari pengarang yang menganut aliran postmodernisme adalah

mengejutkan dan mengagetkan pembaca dengan logika-logika

argumentatif.

Dalam kesempatan yang lain, Agger (2003: 72-75) dalam

bukunya Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya,

menjelaskan bahwa ciri-ciri atau tanda-tanda dari gejala sosial yang

menganut pemikiran postmodernisme adalah sebagai berikut:

1. Lahirnya era globalisasi. Dalam globalisasi, hubungan antar

negara atau antar wilayah menjadi semakin “dekat”, sehingga

kebudayaan-kebudayaan menjadi kabur atau dalam bahasa

yang lain terjadinya deteritorialisasi sosial. Batas-batas geografis

bukan lagi suatu permasalahan yang problematis dalam

menghubungkan dua negara atau dua wilayah.

2. “Kematian” Individu atau dalam bahasa Foucault disebut

dengan “the death of the subject”, di mana konsep borjuis tentang

subjektivitas tunggal dan tetap yang secara jelas dibedakan dari

dunia luar tidak lagi masuk akal dalam kacamata

postmodernisme. Kini, diri atau subjek telah menjadi lahan

pertarungan tanpa batas antara dirinya dan dunia luar.

3. Munculnya dunia Informasi yang luar biasa, “mode produksi”

dalam terminologi Marxis tidak lagi relevan dibandingkan

dengan mode informasi –meminjam istilah Max Poster-, di mana

masyarakat postmodernisme mengorganisir dan menyebar

informasi dan hiburan secara bebas dan terbuka.

Page 17: Jurnal - Unsyiah

Iromi Ilham| 13 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?

4. Baudrilard (1983) menyebutnya dengan istilah Simulasi, artinya:

realitas tidak lagi stabil dan tidak dapat dilacak dengan konsep

saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme. Akan tetapi

masyarakat semakin “tersimulasi”, tertipu dalam citra dan

wacana. Misalnya, bagaimana iklan tentang suatu produk bisa

mengubah cara pandang seseorang dalam menerjemahkan

hidup.

5. Perbedaan dan penundaan dalam Bahasa. Menurut Derrida,

dalam postmodernisme, bahasa tidak lagi berada pada

hubungan representatif pasif atas “kenyataan” sehingga kata

dapat secara jelas dan jernih menjabarkan realitas dunia. Dalam

hal ini, pembacaan teks dengan konsep dekonstruksi adalah

aktivitas kreatif untuk mendapatkan makna yang ambigu atau

yang hilang dari realitas.

6. Polivokalitas. Segala hal dapat dikatakan secara berbeda, dalam

berbagai cara yang secara inheren tidak superior ataupun

inferior satu sama lain. Sehingga, sains menjadi satu dari

sejumlah “narasi” yang melengkapi, menyaingi dan

mengkontraskan dan tidak memiliki status epistemologis yang

istimewa (misal, status superior teori pengetahuan).

7. Postmodernisme juga ditandai dengan munculnya gerakan

sosial baru. Terdapat berbagai gerakan akar rumput bagi

perubahan sosial progressif, seperti gerakan anti diskriminasi

warna kulit, pembela lingkungan hidup, feminisme, gay, serta

lesbian. Negara maju semisal Belanda, bahkan telah melegalkan

hubungan gay dan lesbian dan para pelakunya juga dilindungi

secara hukum.

Page 18: Jurnal - Unsyiah

14 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

C. Postmodernisme dan “Cerita” yang Belum Selesai: Sebuah

Analisis Kritis

Postmodernisme tetap menjadi trending wacana yang banyak

diperbincangkan oleh para ilmuan sosial-budaya saat ini. Saya

menganggap bahwa aliran pemikiran (paradigma) postmodernisme

ini sebagai sebuah “cerita” yang belum selesai karena; pertama, aliran

pemikiran ini masih dalam perdebatan dan diskusi yang luar biasa di

kalangan para cendikiawan sosial-budaya. Meclenna (dalam

McRobbie, 2011: 4) mengatakan bahwa “Dunia akan makin rusak oleh

penindasan, kebodohan dan kurang gizi…karena intelektual-

intelektual penting mengganti keseriusan dengan jalinan permainan

bahasa yang berkelap-kelip”. Ini adalah salah satu bentuk sindiran

yang dilontarkannya dalam menanggapi wacana postmodernisme,

dan ini menunjukkan bahwa pemikiran ini masih dalam perdebatan.

Kedua, dalam sub-bab ini, saya juga berusaha melihat

postmodernisme dari dua sisi yang berlawanan, dalam pengertian di

samping menyajikan pemikiran postmodernisme secara teoritis, saya

juga akan melihatnya dalam kaca mata kritis terhadap teori-teori dan

aplikasi yang terdapat dalam pemikiran ini. Sebagaimana tujuan

utama dari tulisan ini untuk menganalisa dan memunculkan

pemikiran kritis terhadap pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam

paradigma postmodernisme ini.

a) Dunia Ekonomi dan Postmodernisme

Menurut Nugroho, dalam sejarah disiplin ilmu ekonomi, aliran

neo-klasik termasuk dalam aliran ortodoks yang juga dipandang

sebagai aliran modernisme, sementara postmodernisme dalam dunia

ekonomi disamakan dengan aliran ekonomi heterodoks. Ada

Page 19: Jurnal - Unsyiah

Iromi Ilham| 15 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?

beberapa aliran yang digolongkan dalam aliran heterodoks

(postmodernisme) dalam dunia ekonomi, yaitu: Aliran Kelembagaan

(Institusional), Aliran Sejarah (historis), Aliran Empirimentalis.

Kehadiran postmodernisme sebagai kritik terhadap grand theory

dalam kaitannya dengan dunia ekonomi, semisal Kapitalisme,

sebenarnya juga tidak menjadi solusi cerdas dalam masalah ekonomi.

Ada beberapa kritik yang dilontarkan oleh Rosenau (dalam Nugroho,

2006: 181) terhadap paradigma postmodernisme terkait dengan dunia

ekonomi, yaitu;

1. Postmodernisme yang hadir sebagai resisten terhadap

pemikiran modernisme sebenarnya tidak menawarkan jalan

keluar yang lebih cerdas. Bahkan menurut Rosenau, aliran

pemikiran sosialisme atau marxisme lebih menawarkan jalan

keluar nyata terhadap masalah sosial-ekonomi yang dihadapi

oleh masyarakat.

2. Postmodernisme sangat sulit saat dijadikan pertimbangan

untuk membuat sebuah kebijakan. Sebagaimana dijelaskan

bahwa salah satu ciri pemikiran postmodernisme adalah

menolak adanya generalisasi, padahal untuk menciptakan

sebuah kebijakan diperlukan suatu generalisasi, dalam artian

mustahil sang pembuat kebijakan mampu memenuhi

keinginan setiap individu yang terlibat dalam kebijakan itu

nantinya.

3. Postmodernisme melayangkan kritik terhadap modernism

dengan mengatakan bahwa konsep modernisme sesuatu yang

irrasional. Padahal postmodernisme seringkali menawarkan

Page 20: Jurnal - Unsyiah

16 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

solusi yang sebenarnya juga irrasional, seperti dalam kasus

pengambilan kebijakan di atas.

b) Kebenaran Absolut dan Dunia Agama: Sebuah Paradoks

Ciri pemikiran postmodernisme yang lain adalah menganggap

nilai kebenaran itu relative, dalam pengertian tidak ada kebenaran

mutlak atau tidak ada kebenaran absolut. Dalam hal ini, hal yang

perlu kita lihat secara kritis adalah ketika teori “tidak ada kebenaran

absolute” digeneralkan dan berlaku dalam semua aspek sosial,

termasuk aspek agama. Pada masa modern, manusia mengingkari

agama karena pengaruh rasionalitas karena dianggap telah gagal

melanjutkan proyek pencerahannya, sementara pada masa

postmodern ini manusia mengingkari agama dengan irrasionalitas.

Saat ini, dimana pemikiran postmodernisme diagung-

agungkan, di saat yang bersamaan pula, banyak muncul aliran-aliran

(isme) yang bisa juga dianggap sebagai “agama” baru yang

merupakan hasil sinkretisme dan pluralisme. Bagaimana dengan

kebenaran yang disampaikan agama, jika memang semua agama itu

benar atau semua agama itu salah, lantas kenapa harus ada banyak

agama di dunia? Dan jika tidak ada kebenaran absolute, lantas

bagaimana mungkin kaum postmodernis ini mengkritik pemikiran

lainnya sementara tidak ada tolak ukur yang pasti yang menjadi

landasan berpikir? Ini merupakan sebuah paradoks, dan jika terlalu

dipaksakan, malah yang muncul kemudian adalah paham

“nihilisme”. Menurut penulis, jika memang tidak berlaku kebenaran

absolut, maka manusia bisa menjelma menggantikan “Tuhan” yang

bisa menentukan kebenaran. Dan bukankah ketika penganut

Page 21: Jurnal - Unsyiah

Iromi Ilham| 17 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?

postmodernisme ini mengatakan “tidak ada kebenaran absolute” juga

merupakan sebuah kebenaran absolut?

c) Konsumerisme, Gaya Hidup dan Sosial-Budaya

Salah satu hal yang paling menonjol dari pemikiran

postmodernisme adalah menolak meta-narasi. Salah satu konsep

metanarasi adalah materialisme. Namun menjadi paradoks disini

ketika masyarakat mengeluarkan kritik tajam terhadap materialisme,

tetapi di saat yang sama pula, pola hidup konsumerisme semakin

menguat dan mengakar. Katakanlah, pola konsumtif ini bagian

daripada ciptaan kapitalis demi keuntungan ekonomi yang berlipat,

namun timbul pertanyaan selanjutnya, bagaimana pihak kapitalis

mengkampanyekan atau menggiring masyarakat untuk pola hidup

konsumtif? Jawabannya salah satunya, media sangat berperan disini.

Lantas, hadirnya media massa secara massif bukanlah indikator dari

bangkitnya dunia informasi? Dan sebagaimana yang telah dijelaskan

di awal, salah satu ciri postmodernisme ditandai dengan terbukanya

dunia informasi secara luas.

Ketika keberadaan media massa begitu berkuasa, secara tidak

sadar masyarakat terjerumus ke dalam pola dan gaya hidup yang

ditawarkan media. Gaya hidup sangat berkaitan erat dengan

pembentukan identitas (cultural identity) dan perbedaan (cultural

difference) karena gaya hidup dibangun sebagai cara untuk

memperlihatkan identitas dan sebagai pembeda (Piliang, 2011: 237).

Dalam hal ini, masing-masing komunitas masyarakat menjalankan

gaya hidup yang berbeda dengan tujuan agar terlihat berbeda dengan

komunitas yang lain dan menjadi pertanda akan eksistensi

komunitasnya. Dalam memenuhi hasrat inilah, terkadang masyarakat

Page 22: Jurnal - Unsyiah

18 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

tidak sadar terjerumus ke dalam pola hidup konsumtif yang luar

biasa.

Salah satu ciri penting lain dari pemikiran postmodrnisme

adalah kritik terhadap nalar modern yang menjunjung tinggi

kesatuan atau homologi, sementara postmodernisme lebih kepada

menampilkan heterologi. Sejauh yang saya pahami, dalam hal ini

kaum postmodernisme menganggap tidak penting hal-hal yang

besifat penyatuan dan integrasi, namun lebih kepada merayakan

setiap perbedaan dan biarlah setiap perbedaan tu mengalir dengan

sendirinya tanpa harus disatukan. Disatu sisi, saya setuju dengan

merayakan perbedaan, tanpa perlu dipaksa untuk “menyatu” dalam

sebuah kesatuan, namun disisi lain, jika kita terlalu bebas dalam

merayakan perbedaan, maka dikhawatirkan secara tidak sadar

kebebasan yang kita agungkan akan bertabrakan dengan kebebasan

yang dimiliki orang lain.

d) Dunia Etika, Estetika dan Seni Arsitektur

Jika ditilik dari segi moralitas (etika), postmodernisme tidak

lagi melihatnya secara “general”. Maksudnya, jika sebelumnya

persepsi mengenai etika selalu dihubungkan dengan konsep

komunal, dalam artian sesuatu dianggap “etis”, ketika mayoritas

masyarakat juga memiliki persepsi yang sama terhadap sesuatu itu

(menganggapnya etis), baik berupa seni, tindakan, maupun benda.

Sementara saat masa postmodernisme muncul, etika tidak lagi dinilai

dalam sesuatu penilaian yang “baku”, karena pemikiran

postmodernisme berpendapat bahwa perihal etika adalah masalah

individual yang sifatnya pribadi dan tidak terkait dengan orang lain.

Nah, disini yang juga perlu dikaji dan dikritisi kembali. Kita sadar

Page 23: Jurnal - Unsyiah

Iromi Ilham| 19 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?

bahwa manusia itu adalah makhluk komunal yang tidak mungkin

bisa hidup sendiri. Kebebasan yang keblablasan sangat mungkin untuk

bersinggungan dengan hak yang dimiliki oleh orang lain. Ketika

perihal moralitas dikembalikan ke masing-masing individu, sama

artinya dengan mengatakan bahwa “hukum” tidak lagi dibutuhkan di

dunia ini karena masing-masing individu bisa mengatur dirinya

sendiri. Padahal, ketika hukum tidak ada, maka dunia akan menjadi

lebih bermasalah, karena itu moralitas bukanlah perihal individu,

namun juga kewajiban bersama untuk saling mengingatkan.

Aliran pemikiran postmodernisme dalam dunia arsitektur

hadir sebagai upaya penolakan terhadap gaya arsitektur pada zaman

modern. Bahkan, aliran ini dikenal luas sebagai aliran „Arsitektur

Post-modern‟ yang awalnya dikonseosikan oleh Charles Jenks pada

tahun 1958 melalui bukunya yang terkenal The Failure of Modern

Architecture. Sebagaimana dijelaskan Jenks (dalam Pawitro) mengapa

gerakan arsitekstur postmodernisme hadir yaitu karena merasa bosan

dengan tampilan-tampilan bangunan bergaya modern yang cendrung

sederhana dan seragam, merasa bosan dengan tampilan bentuk

bangunan yang terkungkung oleh prinsip efisiensi dan efektivitas,

menghilangnya identitas tempat atau lokasi karena penekanan

bangunan yang harus berbentuk kubisme dan geometric dan juga

akibat penetapan/pemilihan bentuk-bentuk yang rasional-goemetris

tanpa melihat pada aspek sejarah atau lokalitas. Kemudian prinsip-

prinsip ini mulai digugat oleh aliran arsitektur postmodernisme

(Pawitro, 2010).

Jika merujuk pada dunia arsitektur postmodernisme,

sepertinya tepat jika bangunan bergaya arsitektur postmodernisme

Page 24: Jurnal - Unsyiah

20 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

diterapkan untuk bangunan-bangunan di kota besar, dimana

penduduk yang semakin hari, semakin bertambah (baik angka

kelahiran, maupun urbanisasi) yang dengan sendirinya persediaan

lahan semakin terbatas untuk mendirikan rumah maupun bangunan

lainnya. Dengan menggunakan konsep bangunan postmodernisme,

maka keberadaan bangunan tidak lagi dalam sebuah aturan yang

“kaku” (harus berbentuk geometric atau kubisme), tapi bisa

mengikuti bentuk dan luas lahan yang tersedia. Disamping itu,

Charles Moore (dalam Lash), seorang arsitektur postmodernis pernah

mengatakan terkait dengan bentuk bangunan bahwa:

“Ruang fisik dan bentuk bangunan seharusnya membantu memori umat manusia dalam membangunkembali hubungan dengan waktudan tempat…sehingga kita yang dalam kerumitan hidup ini terpisah dari wilayah tunggal dimana kita bisa menemukan penyebabnya, dapat memiliki…melalui memori kita, melalui bentuk bangunan, sesuatu sebagaimana yang disimpan oleh sumber-sumber tersebut” (Lash, 2008: 109).

Argument yang disampaikan Moore di atas sesuai dengan ciri

postmodernisme yang ditulis Lash, dimana ia mengatakan bahwa

postmodernisme mencoba membangun kembali dimensi historis.

Dengan mendirikan bangunan yang bercirikan postmodernisme,

artinya sama dengan “mengajarkan” sejarah kepada generasi sesudah

kita sehingga mereka bisa mengetahui beragam kebudayaan dan

menikmati sejarah. Akan tetapi, Lash sendiri juga menyangsikan

terhadap arsitektur postmodernisme karena membuat manusia

semakin individualistic dan kota menjadi sesuatu yang terisolasi

(Lash, 2008: 119).

Page 25: Jurnal - Unsyiah

Iromi Ilham| 21 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?

D. Penutup

Sebuah disiplin ilmu akan “mati” dan tidak berkembang jika

seluruh aktor intelektual dan pemikirnya berhenti pada sebuah kata

“sepakat”. Artinya, pro dan kontra, mengkritik dan dikritik adalah

sebuah “pola wajib” bagi dinamika ilmu pengetahuan. Kemudian,

setelah menelaah dan mengkaji perihal paradigma postmodernisme

ini muncul pertanyaan, apakah paradigma ini layak atau pantas

dianggap sebagai solusi atas segala fenomena sosial dewasa ini?. Kita

bisa menjawab “iya” dan bisa menjawab “tidak”. Postmodernitas bisa

dilihat sebagai sesuatu yang menggembirakan, namun juga bisa

dilihat sebagai sesuatu yang membawa malapetaka.

Dalam beberapa kasus, sebagaimana yang telah dijelaskan di

atas, kita bisa melihat bahwa kehadiran postmodernisme bisa

membawa angin segar dan menjadi jawaban untuk beberapa

permasalahan. Contohnya; hadirnya konstruksi bangunan yang

dibangun dengan gaya arsitektur postmodern bisa mengatasi masalah

di perkotaan yang memang memiliki keterbatasan dalam akses lahan.

Namun, keberadaan postmodernisme sebagai hasil „kontemplasi‟

pemikiran yang lahir dari manusia, di mana manusia memiliki

keterbatasan-keterbatasan, tentu saja memiliki nilai minus dan perlu

dkritisi dan dikaji ulang dalam wacana keilmuan.

Oleh karena itu, saya melihat paradigma postmodernisme ini

sebagai “cerita yang belum selesai”, dalam arti masih perlu dikaji dan

dikritisi sehingga benar-benar bisa mewakili pemikiran kontemporer

yang bisa memecahkan segala permasalahan dalam fenomena sosial-

budaya–minimal bisa menjawab sebagian besar tantangan dan krisis

sosio-kultural. Menurut hemat penulis, awal “musibah”

Page 26: Jurnal - Unsyiah

22 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

postmodernisme ini adalah ketika terjadi generalisasi. Sebagaimana

pendapat yang disampaikan Lyotard yang mengatakan bahwa narasi-

narasi besar sudah runtuh, ada banyak narasi besar, namun ia

cenderung mengeneralkan semuanya.

E. Referensi

Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritik: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta; Kreasi Wacana.

Ahimsa-Putra, HS. 2009. Paradigma Ilmu Sosial-Budaya; Sebuah Pandangan. Makalah dalam Kuliah Umum Paradigma Penelitian Ilmu-Ilmu Humaniora Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Featherstone, Mike. 2008. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Foucault, Michel. 1997. Seks dan Kekuasaan: Sejarah seksualitas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Garna, Judistira K. 1999. Pendekatan Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika.

Jenks, Chris. 2013. Culture: Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lash, Scott. 2008. “Posmodernisme Sebagai Humanisme?; Wilayah Urban dan Teori Sosial”. Dalam Teori-Teori Sosiologi; Modernitas dan Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

McRobbie, Angela. 2011. Posmodernisme dan Budaya Pop. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Mendrofa, Brian. B. 2012. “Postmodernisme”. (Online) diakses pada tanggal 23 Januari 2014 dari http://brian-b-m-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-47377-Umum-Postmodernisme.html,.

Pawitro, Udjianto. 2010. Fenomena Postmodernisme dalam Arsitektur Abad ke-21. Jurnal Rekayasa 1(14). Institut Teknologi Nasional.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Page 27: Jurnal - Unsyiah

Iromi Ilham| 23 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?

Ritzer, George. 2010. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Ryadi, Agustinus. 2004. Postmodernisme Versus Modernisme. Jurnal Studia Philosophica et Theologica 4(2):90-100.

SBM, Nugroho. 2006. Modernisme, Postmodernisme, Serta Kritik Terhadap Postmodernisme Dalam Ilmu Ekonomi. Jurnal Dinamika Pembangunan 3(2):174-183.

Smart, Barry. 2008. “Modernitas, Posmodernitas dan Masa Kini”. Dalam Teori-Teori Sosiologi; Modernitas dan Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Turner, Bryan. 2008. Periodesasi dan Politik Dalam Posmodernisme. Dalam Teori-Teori Sosiologi; Modernitas dan Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 28: Jurnal - Unsyiah

24 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

PERGESERAN POLA PEMBERIAN NAMA ANAK PADA GENERASI MILLENIAL DAN POST-MILLENIAL

Indra Setia Bakti, Emir Hamdi, M. Nur Program Studi Magister Sosiologi

Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe Email: [email protected]

Abstract

For the Acehnese, "self-name" refers to the self-image of the Acehnese as Muslims. Then the naming of Acehnese is generally inspired by islamic word, or Arabic word. This study tried to describe the change of naming a baby in Acehnese, especially in network society era, where Generation X as the main actor, while Millennial (Generation Y) and Post-Millennial Generation as the object. The research conducted at Faculty of Social and Political Science University of Malikussaleh through documentary studies and unstructured interviews. The results of this study showed that the change of naming a baby in Acehnese occurred through a fairly long process, across time and generation, within the circle of externalization, objectification, and internalization, that ultimately forced a generation to follow the current naming trend.

Keywords : Reconstruction, Generation, Knowledge, Aceh

Abstrak

Bagi masyarakat Aceh, “nama diri” tidak dapat dilepaskan dari citra diri orang Aceh sebagai pemeluk agama Islam. Maka pemberian nama anak pada masyarakat Aceh pada umumnya terinspirasi dari Al-Qur‟an, bahasa Arab, atau nama diri orang Arab. Penelitian ini mencoba menunjukkan adanya pergeseran dalam pola pemberian nama anak pada masyarakat Aceh, terutama pada era masyarakat jaringan dimana generasi X sebagai aktor utamanya serta generasi Millenial (Gen-Y) dan Post-Millenial sebagai objeknya. Penelitian dilakukan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh melalui studi dokumentasi dan wawancara tidak terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pergeseran pola pemberian nama anak pada masyarakat Aceh terjadi melalui proses yang cukup panjang, lintas waktu dan lintas generasi, yang pada akhirnya “memaksa” suatu generasi untuk mengikuti trend penamaan anak masa kini.

Kata Kunci : Rekonstruksi, Generasi, Pengetahuan, Aceh

Page 29: Jurnal - Unsyiah

Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 25 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial

A. Pendahuluan

Nama merupakan atribut pribadi yang memiliki fungsi sebagai

sarana untuk mengidentifikasi seseorang, dan selalu digunakan untuk

beragam kepentingan, sejak ia lahir hingga nama tertulis di batu nisan

(Rahmawati, 2013: 4). Dalam banyak konteks, nama dibubuhkan pada

berkas-berkas administrasi, nama juga muncul saat seseorang berhasil

menelurkan sebuah mahakarya. Bahkan di akherat kelak, orang Islam

percaya bahwa Tuhan akan mengadili seseorang dengan memanggil

nama diri yang disandangnya ketika hidup di dunia.

Bagi kebanyak orang, terutama mereka yang beragama islam,

nama mengandung unsur yang sangat prinsipil, yaitu berkaitan

dengan doa, harapan, cita-cita, dan pada umumnya properti yang

berupa nama tersebut merupakan buah karya yang diberikan oleh

orang tua, keluarga besar, atau bahkan lingkungan sekitarnya

(Kosasih, 2010: 1). Dalam lintas ruang, nama juga dapat menampilkan

ciri khas identitas seseorang. Nama Takeshi misalnya, sangat melekat

dengan identitas sebagai orang Jepang. Begitu pula dengan nama

lainnya, melekat pada wilayah atau ruang tertentu, sebut saja

Francisco (Italia), Hernandez (Spanyol atau Amerika Latin), Ivanov

(Rusia), Chen Hong (Cina), Ittiphat (Thailand), atau Prakash (India).

Di Indonesia, dikenal nama-nama berciri khas nasional seperti Budi,

Iwan, Indah, atau Herman. Di samping itu, terdapat juga nama-nama

yang bisa dihubungkan dengan identitas lokal seperti Ketut (Bali),

Tigor (Batak), Bengi (Gayo), atau Cut dan Teuku (Aceh).

Pada masyarakat Aceh, tradisi memberi nama atau dalam

bahasa Aceh disebut dengan kata “bohnan” pada umumnya

Page 30: Jurnal - Unsyiah

26 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

didominasi oleh tuntunan Islam tentang etika pemberian nama

kepada anak. Ibrahim Alfian (dalam Samad, 2015: 111) menyatakan

bahwa pengaruh Islam terhadap adat-istiadat masyarakat Aceh

cukup kuat dan mengakar, termasuk dalam adat pembubuhan nama

anak. Maka tidak mengherankan bila orang Aceh umumnya memiliki

nama-nama islami seperti Muhammad, Hasan, Jalaluddin, Said,

Umar, Idris, atau Ridwan. Namun perkembangan yang terjadi

dewasa ini, fenomena perubahan pola pemberian nama telah menjadi

suatu hal yang lumrah. Teknologi informasi dan komunikasi

disinyalir sebagai faktor pendorong utama perubahan ini. Hidayat

(2015: 14) menegaskan bahwa penggunaan teknologi informasi yang

begitu massif memiliki andil yang besar terhadap perubahan yang

terjadi dalam masyarakat, teknologi juga turut menentukan “wajah

masyarakat”, dimana masyarakat menjadi lebih adaptif terhadap

perubahan yang ada.

Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini bertujuan untuk

mendiskusikan tentang pergeseran pola pemberian nama anak pada

masyarakat Aceh, terutama pada era masyarakat jaringan dimana

generasi X sebagai aktor utamanya serta generasi Millenial (Gen-Y)

dan Post-Millenial sebagai objeknya. Penelitian dilakukan di Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, sumber data

dalam tulisan berasal dari studi dokumentasi serta wawancara tidak

terstruktur.

B. Persepektif Teoritis

Era yang tengah ditapaki oleh umat manusia pada saat ini oleh

Manuel Castells (dalam Tendi, 2016: 136) disebut sebagai “era

jaringan”. Istilah ini merupakan hasil pengembangan pemikiran

Page 31: Jurnal - Unsyiah

Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 27 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial

Daniel Bell yang mengkaji perubahan pada aspek pengelolaan dan

peran informasi pada tahun 1970-an, di mana pada tahun-tahun

tersebut sedang terjadi restrukturasi fundamental dalam sistem

kapitalis. Masyarakat mulai mengenal komputer dan menghadapi era

industri 3.0, perubahan luar biasa itu memunculkan istilah baru yang

disebut dengan “masyarakat informasi”. Castells kemudian

mendalami istilah tersebut dengan melihat perkembangan kehidupan

sosial manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Konsepsi

itu akhirnya disintesakan dan dipopulerkan dengan istilah network

society atau masyarakat jaringan.

Masyarakat jaringan atau network society tersebut dalam

konteks perkembangan masyarakat merupakan sebuah generasi yang

memiliki tifikasi dan kecenderungan yang berbeda dengan generasi-

generasi pendahulunya atau generasi pasca era network society. Dalam

konteks generasi, Manheim (dalam Putra, 2016: 124-125) menyatakan

bahwa generasi adalah suatu konstruksi sosial dimana di dalamnya

terdapat sekelompok orang yang memiliki kesamaan umur dan

pengalaman historis yang sama. Artinya setiap generasi yang lahir

dalam masyarakat selalu terikat konteks sosio historisnya.

Terkait dengan generasi, terdapat beberapa pandangan tentang

perbedaan generasi. Beberapa ahli yang berhasil mempopulerkan

teori ini diantaranya Tapscott (1998), Howe dan Strauss (2000),

Zemke, dkk (2000), Lancaster dan Stillman (2002), Martin dan Tulgan

(2002), serta Oblinger (2005). Generasi oleh mereka dibagi

berdasarkan kesamaan dalam rentang waktu kelahiran dan kesamaan

kejadian-kejadian historis yang dialami.. Beberapa pendapat tentang

istilah perbedaan generasi disajikan pada tabel berikut :

Page 32: Jurnal - Unsyiah

28 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

Tabel 1 Pengelompokan Generasi

Tapscott (1998)

- Baby Boom Generation (1946-1964)

Generation X (1965-1975)

Digital Generation (1976-2000)

-

Howe & Strauss (2000)

Silent Generation (1925-1943)

Boom Generation (1943-1960)

13thGeneration (1961-1981)

Millenial Generation (1982-2000)

-

Zemke, et.al. (2000)

Veterans (1922-1943)

Baby Boomers

(1943-1960)

Gen-Xers (1960-1980)

Nexters (1980-1999)

-

Lancaster & Stillman

(2002)

Traditionalist (1900-1945)

Baby Boomers

(1946-1964)

Generation Xers (1965-

1980)

Generation Y (1981-

1999)

-

Martin & Tulgan (2002)

Silent Generation (1925-1945)

Baby Boomers

(1946-1964)

Generation X (1965-1977)

Millenials (1978-2000)

-

Oblinger & Oblinger

(2005)

Matures (<1946)

Baby Boomers

(1947-1964)

Generation Xers (1965-

1980)

Gen Y/NetGen (1981-1995)

Post-Millenials

(1995-present)

Sumber : Yanuar Surya Putra (2016 : 125)

Berkaitan dengan tabel di atas, di dalam perkembangan

masayarakat, terdapat perbedaan dalam hal pemberian nama anak

pada masing-masing generasi. Pada Generasi Post-Millenial,

perubahan itu bahkan terjadi secara signifikan. Satu hal yang paling

mencolok berkaitan dengan perubahan pada era ini adalah

bermunculan nama anak yang lebih rumit dan panjang.

Menurut Widodo (2013: 82), nama diri di dalam lingkungan

masyarakat tidak hanya berhubungan dengan agen penyandang atau

keluarganya, tetapi berkaitan erat pula dengan aspek yang lain,

misalnya waktu, tempat, suasana atau peristiwa, status sosial, sejarah,

dan tradisi. Singkatnya, nama merupakan produk masyarakat yang

mampu menjelaskan berbagai hal tentang masyarakat itu. Selain itu

praktek pemberian nama (naming) juga merupakan manifestasi

kondisi psikologis masyarakatnya pada tataran makro, yakni

bagaimana mencitrakan dirinya (inner world) dan bagaimana

Page 33: Jurnal - Unsyiah

Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 29 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial

memunculkan citranya ke dunia luar, yang selanjutnya merefleksikan

struktur berpikir dari warganya. Pola pikir seperti ini pada akhirnya

akan turut menentukan struktur sosial budaya masyarakat dan juga

dapat menjadi salah satu indikator ideologis suatu kelompok

masyarakat, yang mencakup antara lain nilai-nilai yang dianut berupa

kepatutan, baik-buruk, pantas-tidak pantas (Kosasih, 2010: 1).

C. Nama Anak pada Masyarakat Aceh

Pada tataran makro, masyarakat Aceh mencitrakan dirinya

sebagai masyarakat yang islami. Islam adalah jalan meniti kehidupan

yang mengkristal dalam budaya dan adat Aceh. Hal ini cukup

menonjol terwujud dalam sistem pranata dan struktur sosial, artinya

Islam juga dijadikan sebagai pandangan hidup orang Aceh (Samad,

2015: 112). Julukan Aceh sebagai Serambi Mekah tidak hanya menjadi

simbol kebanggaan bagi orang Aceh, namun juga menginspirasi

mereka untuk mewujudkan masyarakat yang islami, baik melalui

nilai, norma, tata hukum, kebiasaan, bahkan dalam pola pemberian

nama sebagai identitas diri.

Masyarakat Aceh mencitrakan dirinya sebagai masyarakat

yang islami, secara sosial berdampak pada kecenderungan mereka

dalam melakukan pemberian nama kepada anak-anak mereka yang

juga merepresentasikan citra islam. Tetapi dalam cermatan penulis,

pola pemberian nama yang terjadi pada masyarakat aceh juga

mengalami pergeseran antar generasi. Pada generasi Baby Boomers

(1947-1964) dan Gen-X (1965-1980) (bila mengacu kategorisasi

Oblinger dan Oblinger (2005), orang Aceh cenderung memiliki atribut

nama yang umum disandang oleh orang Islam di wilayah Timur

Tengah, seperti Nirzalin, Zakaria, Jamaluddin, Rasyidin, Fakhriah,

Page 34: Jurnal - Unsyiah

30 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

Rukaiyah, dan Mukhlis. Bentuk nama-nama tersebut pun sederhana,

terdiri atas satu kata. Untuk beberapa kasus, walaupun tidak

dominan, terdapat dua kata yang dibubuhkan sebagai nama

seseorang, seperti Muhammad Nazaruddin, Muhammad Akmal,

Muhammad Fazil, dan sebagainya. Tidak jarang sumber inspirasi

dalam pemberian nama tersebut diperoleh dari interaksi orang tua

dengan Teungku Dayah setempat. Prosesi pemberian nama (bohnan)

mengikuti adat dan kebiasaan masyarakat Aceh pada saat itu.

Dalam perkembangannya, Gen-X menikah dan memiliki

keturunan. Adapun keturunan Gen-X ini ialah Gen-Y (Generasi

Millenials, 1981-1995) dan Generasi Post-Millenials (kelahiran 1995 ke

atas). Sebagaimana generasi pendahulunya (Baby Boomers), Gen-X ini

pun membubuhkan nama-nama yang indah pada anak-anak mereka.

Gen-X merupakan generasi yang sebagian besar masa hidupnya

bersentuhan langsung dengan dunia digital. Pada masa muda, Gen-X

sudah dapat menikmati tayangan televisi dan memperoleh banyak

inspirasi darinya. Pada usia dewasa, mereka mulai memanfaatkan

teknologi komputer, smartphone, dan internet dalam mencari

informasi dan referensi sehingga memperkaya khazanah

pengetahuan mereka keluar dari konteks lingkungan hidup sehari-

hari. Maka tidak heran, referensi dalam memberi nama anak-anak

mereka pun begitu melimpah dan mudah diakses, sehingga nama

anak saat ini lebih variatif, baik struktur, arti, maupun maknanya.

Temuan menarik dihasilkan dari pengamatan di lapangan dan

beberapa dokumen, para orang tua Gen-X di Aceh ternyata memberi

nama yang lebih panjang, rumit, dan kompleks pada anak-anak

Page 35: Jurnal - Unsyiah

Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 31 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial

mereka, walaupun tetap mempertahankan kiblatnya pada corak nama

Timur Tengah.

Secara umum, terdapat beberapa pola pemberian nama anak

pada masyarakat Aceh yang mengacu pada konteks global, nasional,

dan lokal. Pada referensi tingkat global, para orang tua cenderung

terobsesi memberikan nama anak mereka dengan nama-nama yang

biasa digunakan oleh masyarakat Timur Tengah, tempat lahirnya

agama Islam. Para orang tua menganggap pemberian nama anak

dengan inspirasi nama-nama orang Arab adalah nama yang islami,

apalagi kalau kata yang digunakan dikutip langsung dari Kitab Suci

Al-Qur‟an. Pengetahuan ini sudah terbentuk dan terakumulasi lama

dalam proses pergaulan di dalam masyarakat Aceh. Nama-nama anak

“Aceh Baru” dengan referensi tingkat global pada umumnya dikutip

dari bahasa Arab, cenderung lebih panjang dari pada si pemberi

nama, terdiri atas 2 sampai 4 kata, dan pengucapannya pun tergolong

lebih rumit untuk ukuran lidah orang Aceh sendiri. Berikut ini tabel

tentang perbedaan nama pada dua generasi yang berbeda dengan

referensi global atau timur tengah:

Tabel 2

Perbandingan Nama Diri Dua Generasi

No. Nama Orang Tua

(Gen-X)

Nama Anak

(Generasi Post-Millenial)

Tahun

Kelahiran

Anak

1 Zakaria Tasyaul Azqya Zakaria 2003

2 Mulfiza Ahmad Mikhail Sakha 2014

3 Purnama Sari Muhammad Fareeq Akbar 2013

4 Syafrizal Ghaizan Rissya Al Rasyid 2013

5 Mursyidin Shakira Aurellia Asywa Al-Asyi 2005

6 Saifullah Faiz Eydil Ghifvari 2008

7 M. Nazaruddin Putroe Khansa Bilqis Shafiya 2006

8 Suadi Sajjad Siraja Fata 2005

Page 36: Jurnal - Unsyiah

32 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

9 Nirzalin Nirza Amirul Adli Zalda 2008

Sumber : Subbagian Administrasi Umum dan Keuangan FISIP Universitas Malikussaleh

Sedangkan untuk referensi tingkat nasional dan tingkat lokal

berdasarkan data di lapangan, ditemukan bahwa terdapat

percampuran antara unsur lokal dan nasional juga unsur global

dalam pemberian nama anak. Berikut ini ditampilkan beberapa

contoh pemberian nama anak pada masyarakat Aceh dengan berbagai

inspirasi nama, mulai dari Timur Tengah (nama yang dominan),

nasional, dan paduan unsur lokal keacehan :

Tabel 3

Pola Pemberian Nama Anak Generasi Millenials dan Post-Millenials

No. Kiblat Timur Tengah Kiblat Nasional Paduan Unsur Lokal

1 Mishkatul Ameerah Hendri Ariansyah Cut Putri Nahrisya

2 Muhd Wafi Al-Atshii Irma Julia Teuku Muhammad

Sulthan Samy

3 Faiz Eydil Ghifvari Ita Maulida Putroe Khansa Bilqis

Shafiya

4 Muhammad Fareeq

Akbar

Chania Febrianti Teuku Omar Zahid

Fasya

5 Musheeratul Hayyah Anggie Roma Rizki Cut Geby Alya Marsya

6 Ghaizan Rissya Al

Rasyid

Cahaya Shabriena Nyak Aisyah Sania

Adiba

7 Siti Farisha Shaqeela Kumala Zain

Mangkudilaga

Teuku Abidzar

AlGhifary Fasya

8 Muhammad Fawaaz Widya Dian Kinanti Cut Almira Varisha

Sumber : Subbagian Administrasi Umum dan Keuangan FISIP Universitas Malikussaleh

D. Rekonstruksi Pola Pemberian Nama Anak pada Masyarakat Aceh

Seiring perubahan zaman, pola pemberian nama anak pada

masyarakat Aceh telah mengalami proses rekonstruksi. Nama anak

“Aceh Baru” yang bersifat kekinian mengikuti semacam trend

tertentu, yang dianggap lumrah pada zamannya, walaupun tetap

mempertahankan corak kearabannya. Nama-nama anak pada

Generasi Post-Millenial pada umumnya telah mengalami pergeseran

Page 37: Jurnal - Unsyiah

Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 33 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial

dari kecenderungan pola pemberian nama anak pada tiga puluh

tahun yang lalu. Durkheim (dalam Ritzer et.al., 2011: 81) menyebut

trend semacam ini sebagai fakta sosial, suatu hal yang terdiri atas

struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada di luar dan

memaksa aktor. Sementara Berger dan Luckmann menyebutnya

sebagai realitas objektif.

Hal ini cukup dapat dirasakan pada saat ini, dimana akan

terasa “aneh” bila ada orang tua yang menamai anak-anak mereka

dengan nama Ibrahim, Ismail, atau Yusuf. Meckipun citra islam masih

melekat kuat pada masyarakat aceh, namun dalam pergaulan “anak

zaman now”, anak dengan nama-nama Ibrahim, Ismail, atau Yusuf

berpotensi dilabel “jadul”, walaupun sesungguhnya sumber

inspirasinya adalah nama-nama para Nabi, Rasul, atau sahabat.

Bahkan dalam kenyataannya, nama-nama tersebut telah diplesetkan;

brahim menjadi “Brahem”, Ismail menjadi “Mail”atau Ma‟e, dan

Yusuf menjadi “Ucup”. Plesetan tersebut lebih kental beraroma

“kampungan” dari pada islam, dan tidak jarang ditemukan anak-

anak dengan yang sederhana itu melakukan protes kepada orang tua

mereka, mengapa mereka diberi nama-nama “jadul” yang berakibat

lahirnya ledekan dari peer group mereka.

Tindakan memberi nama anak dengan mengikuti trend

kekinian tidak terlepas dari cara berpikir para orang tua masa kini.

Ada kemungkinan sebagian orang tua dengan nama yang melekat

pada dirinya telah mengalami masa-masa yang tidak menyenangkan

dalam interaksi sosialnya di masa lalu. Ditambah dengan

perkembangan teknologi informasi yang turut memberi andil besar

dalam menentukan pemikiran para orang tua masa kini. Para orang

Page 38: Jurnal - Unsyiah

34 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

tua secara langsung ataupun tidak langsung telah melakukan

objektivasi, semacam proses memilah mana yang dianggap “jadul”,

mana yang dianggap “cool”, termasuk dalam proses pemberian nama

pada anak-anak mereka. Kemudian terjadilah dialektika yang

berkesinambungan sehingga rekonstruksi pola pemberian nama anak

menjadi sebuah kenyataan hidup sehari-hari, dimana menurut Berger

dan Luckmann (1990: 33), menghadirkan diri kepada seseorang

sebagai suatu dunia intersubjektif, suatu dunia yang dihuni oleh

seseorang bersama orang lain. Masih menurut Berger dan Luckmann

(1990: 28-29), kehidupan sehari-hari ini ditafsirkan oleh manusia dan

mempunyai makna subjektif bagi mereka sebagai satu dunia koheren.

Dunia kehidupan sehari-hari tidak hanya diterima begitu saja sebagai

kenyataan oleh anggota masyarakat. Kenyataan sehari-hari

merupakan satu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan

tindakan-tindakan mereka dan dipelihara sebagai “yang nyata” oleh

pikiran dan tindakan itu. Demikian pula dengan “nama diri” pada

masa kini yang merupakan sebuah kenyataan yang berasal dari

pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan masyarakat dan terus

dipelihara serta dikembangkan sebagai sebuah kenyataan dalam

lingkaran pengetahuan masyarakat.

Perkembangan trend nama anak masa kini di Aceh secara

langsung ataupun tidak langsung mengalami proses internalisasi

dalam alam bawah sadar individu-individu di dalam suatu

masyarakat. Para orang tua kini seolah berlomba dalam memberikan

nama terbaik dan terindah bagi anak-anak mereka, dengan doa serta

harapan yang senantiasa melekat padanya. Bermunculan nama-nama

bayi yang lebih panjang dan lebih rumit dari era sebelumnya

Page 39: Jurnal - Unsyiah

Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 35 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial

merupakan hasil dari proses dialektika ini. Trend pemberian nama

anak masa kini pada akhirnya menjadi pengetahuan akal sehat yang

hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Kecenderungan

memberi nama anak kekinian seperti Gina Rauzatil Jannah, Sulha

Siratul Khaira, atau Syifa Salsabila adalah karena si pemberi nama

tahu makna dibalik nama tersebut. Sebaliknya, orang tua akan

menghindari pembubuhan nama-nama masa lalu kepada anaknya,

karena ditakutkan akan memberikan dampak buruk pada anaknya

secara sosial.

E. Penutup

Pada umumnya, apa yang dipikirkan oleh seseorang

merupakan representasi dari kelompoknya. Masyarakat Aceh adalah

representasi Islam di Indonesia, sehingga pembubuhan nama anak-

anak orang Aceh bercorak Islam. Pola pemberian nama anak pada

masa lalu cenderung sangat simpel, terdiri dari satu kata dan merujuk

pada nama-nama islam yang berkiblat pada timur tengah. Sedangkan

pada saat ini, pemberian nama anak masyarakat Aceh mengacu pada

konteks global yakni timur tengah, serta percampuran antar unsur

islam, lokal dan nasional. Referensi tingkat global atau timur tengah

pada umumnya dikutip dari bahasa Arab, cenderung lebih panjang

dari pada si pemberi nama, terdiri atas 2 sampai 4 kata, dan

pengucapannya pun tergolong lebih rumit. Untuk referensi tingkat

nasional dan tingkat lokal terdapat percampuran antar unsur (lokal,

nasional dan global). Pencampuran antar unsur ini merupakan trend

kekinian yang juga terjadi di beberapa daerah lain diluar Aceh,

perbedaannya terletak pada unsur lokal sesuai dengan daerahnya.

Page 40: Jurnal - Unsyiah

36 | Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

Tindakan memberi nama anak dengan mengikuti trend

kekinian pada masyarakat Aceh tidak terlepas dari cara berpikir para

orang tua di Aceh masa kini. Ada kemungkinan sebagian orang tua

dengan nama yang melekat pada dirinya telah mengalami masa-masa

yang tidak menyenangkan dalam interaksi sosialnya di masa lalu.

Dalam konteks ini, para orang tua secara langsung ataupun tidak

langsung telah melakukan objektivasi, semacam proses memilah

mana yang dianggap “jadul”, mana yang dianggap “cool”, termasuk

dalam proses pemberian nama pada anak-anak mereka.

F. Daftar Pustaka

Berger & Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan : Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES

Hidayat, Zinggara. 2015. Dampak Teknologi Digital terhadap Perubahan Kebiasaan Penggunaan Media Masyarakat. Laporan Penelitian Internal Dosen. Universitas Esa Unggul.

Kosasih, Dede. 2010. “Kosmologi Sistem Nama Diri (Antroponim) Masyarakat Sunda dalam Konstelasi Perubahan Struktur Sosial Budaya”. Makalah Seminar Internasional ”Hari Bahasa Ibu” dengan tema: ”Menyelamatkan Bahasa Ibu sebagai Kekayaan Budaya Nasional” di Gedung Merdeka tanggal 19-20 Februari 2010

Putra, Yanuar Surya. 2016. Theoritical Review: Teori Perbedaan Generasi”. Jurnal Among Makarti 9(18):123-134

Rahmawati, Dian. 2013. Pemaknaan Orang Tua terhadap Pemberian Nama Anak (Studi Deskriptif pada Masyarakat Jawa Muslim di Desa Gambiran Kecamatan Mojoagung Kabupaten Jombang. Jurnal Media Komunitas 2(2):1-15

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul : Kreasi Wacana,

Rosana, Ellya. 2011. Modernisasi dan Perubahan Sosial. Jurnal TAPIs 7(12):31-47

Page 41: Jurnal - Unsyiah

Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 37 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial

Samad, Sri Astuti A. 2015. Pengaruh Agama dalam Tradisi Mendidik Anak di Aceh: Telaah terhadap Masa Sebelum dan Pasca Kelahiran. Jurnal Gender Equality 1(1):111-123

Suyanto & M. Khusna Amal (ed.). 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Malang : Aditya Media Publishing

Tendi. 2016. Sosiologi Digital : Suatu Paradigma Baru dalam Kajian Ilmu Sosial. Jurnal Sosio Didaktika 3(2):135-146

Widodo, Sahid Teguh. 2013. Konstruksi Nama Orang Jawa : Studi Kasus Nama-Nama Modern di Surakarta. Jurnal Humaniora 25(1):82-91

Page 42: Jurnal - Unsyiah

38 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

INOVASI PENDIDIKAN PADA KAUM MARGINAL

Fathayatul Husna

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies

Konsentrasi Kajian Komunikasi dan Masyarakat Islam Email: [email protected]

Abstract

Children should not given loads for seeking more income as beggar, singing beggar and scavenger, especially children who under age. This happened in residence of Gajah Wong river that parents mayority work as scavenger and singing beggar. Uniqely, based on Tim Advokasi Arus Bawah (TAABAH) sympaty together with Ledhok Timoho community developed education innovation for children who stayed in marginal area especially residence of Gajah Wong river which is named as Gajah Wong School. This research used qualitative method and to collect data researcher used interview way, documentation, and literature study. Researcher used diffusion and innovation theory to analysis data. The purpose of this research as an example that quality of education not always spending high price till education looks not balance. Whereas, children who stayed in residence of Gajah Wong river also need good quality of education. The result of this research is Gajah Wong School as one of examplesfor spreading creative and innovative education as sympaty action to children who stayed in marginal arean and balancing education

Keywords: Gajah Wong School, marginal education, diffusion, innovation

Abstrak Tidak seharusnya anak-anak diberikan beban untuk mencari nafkah di jalanan sebagai pemulung, pengemis dan pengamen, terlebih anak yang masih di bawah umur. Hal ini terjadi di pemukiman warga bantaran Sungai Gajah Wong yang mayoritas para orang tua bekerja sebagai pemulung dan pengamen jalanan. Uniknya, atas dasar kepedulian Tim Advokasi Arus Bawah (TAABAH) bekerjasama dengan komunitas Ledhok Timoho berdirilah inovasi pendidikan yang diperuntukkan untuk penduduk kawasan marginal bertempat di pemukiman warga bantaran Sungai Gajah Wong yang diberi nama Sekolah Gajah Wong. dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif dan mengumpulkan data lewat wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka. Peneliti menggunakan teori difusi

Page 43: Jurnal - Unsyiah

Fathayatul Husna | 39

Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal

inovasi untuk menganalisa data yang telah peneliti peroleh. Tujuan dari penelitian ini sebagai bentuk contoh bahwa tidak selamanya pendidikan harus diimbangin dengan biaya yang tinggi, sehingga pendidikan terkesan tidak merata. Padahal anak-anak di kawasan marginal sangat penting untuk menerima asupan pendidikan yang baik. Hasil dari penelitian ini adalah Sekolah Gajah Wong sebagai salah satu contoh bahwa untuk menyampaikan pendidikan perlu adanya bentuk inovasi dan kreatifitas sebagai wujud peduli pada anak-anak di kawasan marginal dan pemerataan pendidikan.

Kata kunci: Sekolah Gajah Wong, pendidikan marginal, difusi, inovasi

* * *

A. Pendahuluan

Sebagai salah satu provinsi peraih predikat istimewa di

Indonesia, Yogyakarta, masih menyimpan akar luka sosial pada

pemukiman marginal. Melalui kacamata sosial, potret keluarga-

keluarga kecil yang tinggal di bawah jembatan, di bantaran sungai,

pemulung dan pengemis jalanan serta kumuhnya area pemukiman.

Kondisi ekonomi yang memprihatinkan “memaksa” warga di

kawasan sungai Gajah Wong berprofesi sebagai pedagang barang

bekas, pemulung dan pengamen untuk melangsungkan kehidupan

mereka (Ropingi, 2004: 6). Profesi ini ini tidak hanya dilakukan oleh

kalangan orang tua, akan tetapi mereka menyertakan anak-anak ikut

mengamen dan memulung sampah-sampah di jalan. Anak-anak

dipaksa untuk dewasa secara dini dan menghasilkan uang setiap

harinya. Mirisnya, para orang tua di kawasan bantaran Sungai Gajah

Wong akan sangat bangga bila anak-anak mereka mendapatkan uang

dari hasil mengamen dan memulung. Bahkan tak jarang ketika

sesama orang tua berkumpul membicarakan perihal jumlah nominal

rupiah yang dihasilkan oleh sang anak. Akibatnya muncul pula

Page 44: Jurnal - Unsyiah

40 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

konflik muncul di antara masing-masing keluarga hanya karena

perbedaan jumlah nominal rupiah yang didapatkan oleh anak mereka

setiap harinya.

Anak-anak diperkerjakan demi mendapat tambahan dana

kelangsunan hidup keluarga, anak-anak kehilangan ruang untuk

mengenal dunia mereka sebagai status anak, yang ada hanyalah

pembentukan karakter dewasa di usia dini. Padahal orang dewasa

seharusnya memberikan contoh dan teladan yang baik untuk

mendukung perkembangan kepribadian anak (Jumiati, 2015: 7).

Imbas dari permasalahan ekonomi kebanyakan menyinggung

pendidikan anak-anak, sehingga tidak sedikit keluarga yang tinggal

pada pemukiman marginal merasa tidak mampu untuk

menyekolahkan anak-anak (Putro, 2007: 12). Kondisi terpuruknya

perihal pendidikan anak menjadi perhatian utama. Untuk itu

pendidikan informal menjadi salah satu opsi membangkitkan kembali

semangat mereka mengenyam pendidikan (Nugroho, 2017). Di

tengah-tengah kondisi warga dan anak-anak sungai Gajah Wong

yang demikian, hadir satu wadah yang menampung anak-anak untuk

menuntut ilmu. Wadah tersebut muncul didasari atas kekhawatiran

sekelompok anak muda terkait terenggutnya dunia anak-anak,

sehingga berdirilah satu wadah yang disebut dengan Sekolah Gajah

Wong. Sekolah ini terbentuk untuk memfasilitasi anak-anak warga

bantaran sungai Gajah Wong yang menjadi anggota keluarga bekerja

sebagai pengemis dan pemulung serta dari kalangan tidak mampu.

Pengurus sekolah Gajah Wong juga menyebutkan bahwa kehadiran

sekolah Gajah Wong akan memulihkan generasi mereka ke masa

yang akan datang. Sehingga, pembentukan sekolah ini dilaksanakan

Page 45: Jurnal - Unsyiah

Fathayatul Husna | 41

Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal

dengan sangat fokus untuk membawa perubahan yang lebih positif di

tengah masyarakat. Kepedulian pendidikan seperti ini dilakukan atas

dasar untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang sering

timbul di masyarakat (Asril, 2014: 124).

Beberapa hasil penelitian yang menyinggung bentuk inovasi

pendidikan salah satunya ditulis oleh Jamaluddin (2015), Ia

memaparkan bahwa pesantren merupakan salah satu bentuk inovasi

pendidikan yang sangat berbasis pada masyarakat di Indonesia. Hal

ini ternyata direspon positif oleh masyarakat Indonesia lewat

program-program yang ditujukan untuk membangun karakter pada

anak dan bentuk konntribusi dalam social development. Bentuk inovasi

pendidikan lainnya tertuang dalam tulisan Asril (2014) berjudul

Sekolah Cerdas untuk Pendidikan Anak Marjinal. Dalam tulisannya

Asril memaparkan bahwa kehadiran Sekolah Cerdas di Pekanbaru

sebagai wujud inovasi pendidikan bagi anak-anak yang tinggal di

kawasan marjinal. Sekolah ini telah dibangun seak tahun 2007.

Sekolah ini mampu menjadi jembatan untuk mengakomodasikan

kebutuhan pendidikan bagi kaum marjinal.

Berdasarkan kedua hasil penelitian terkait bentuk pendidikan

terbaru atau inovasi pendidikan, tulisan ini mencoba untuk

melakukan hal yang senada, yaitu terkait inovasi pendidikan yang

terbentuk pada kawasan marjinal bantaran sungai Gajah Wong

dengan persepektif Sosiologi Komunikasi. Hal menarik yang akan

dibahas dalam tulisan ini adalah terkait bagaimana cara membentuk

inovasi modern di dunia pendidikan sebagai wujud kepedulian

sekelompok anak muda dalam membangun pendidikan pada kaum

marginal, serta bagaimana konsep-konsep inovasi pendidikan sebagai

Page 46: Jurnal - Unsyiah

42 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

wujud peduli pada pendidikan kaum marginal. Dalam menyelesaikan

tulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif, di

mana proses pengumpulan data dilakukan melalui wawancara,

observasi dan studi pustaka, dan untuk menganalisa proses inovasi

tersebut peneliti menggunakan teori difusi dan inovasi.

B. Teori Difusi Inovasi

Secara mendasar, teori difusi dan inovasi menggambarkan

tentang cara penyampaian pengetahun atau hasil temuan baru di

tengah masyaraka (Bungin, 2010: 150). Difusi dan inovasi adalah dua

kata dengan makna yang berbeda. Difusi merupakan istilah untuk

menyebutkan maksud penyebaran. Dalam konteks sosial yaitu

menyebarkan gagasan baru di tengah masyarakat, sedangkan inovasi

merupakan bentuk gagasan atau penemuan terbaru oleh suatu

kelompok masyarakat. Dalam prakteknya, inovasi menjadi penyebab

terjadinya perubahan pada sistem sosial (Soekanto, 2006: 276).

Berkembangnya zaman mendorong individu untuk menemukan

penemuan baru yang ditujukan untuk kepentingan bersama. Untuk

saat ini, inovasi dimaknai memiliki kaitan yang sangat erat bukan

hanya pada bentuk atau wujud teknologi (benda), akan tetapi juga

dilihat melalui bentuk komunikasi yang terbentuk (Op.Cit: 150).

Secara garis besar teori difusi dan inovasi dapat dimengerti

sebagai teori yang memperjelas keadaan atau perubahan dengan

adanya penemuan baru serta memiliki nilai manfaat untuk digunakan

oleh masyarakat secara luas. Menurut Rogers ( dalam Bungin, 2010)

terdapat empat elemen yang mendasari pokok dari difusi dan inovasi

yaitu:

Page 47: Jurnal - Unsyiah

Fathayatul Husna | 43

Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal

1. Inovasi, sangat erat kaitannya dengan penemuan sesuatu hal

yang baru di masyarakat. Biasanya bentuk penemuan terbaru

tersebut berupa teknologi komunikasi dan bentuk komunikasi

yang berlangsung.

2. Saluran komunikasi, umumnya berwujud benda keras sebagai

alat atau perantara yang digunakan untuk menyebarkan

informasi terkait kondisi dan tujuan tertentu yang berasal dari

sumber informasi kepada penerima informasi.

3. Rantang waktu, bukan hanya menyangkut kesiapan penerima

pesan (masyarakat dalam menerima konsep penemuan

terbaru, namun bentuk inovasi yang terus berlanjut melewati

jenjang waktu yang lama di masing-masing generasinya

4. Sistem sosial, adanya kumpulan masyarakat di suatu wilayah

mulai membuka diri untuk menerima ide-ide baru dan mulai

berkembang wawasan, sikap hingga masuk pada tahap

perubahan perilaku.

Masih menurut Rogers, berkenaan dengan perubahan sosial untuk

menuju difusi inovasi, ada beberapa tahap proses keputusan inovasi,

yaitu:

1. Pengenalan (Knowledge), pada proses ini bentuk pengenalan

akan banyak menyinggung bentuk ekonomi, kepribadian dan

bentuk komunikasi. Individu degan karakteristik ekonomi

yang cukup baik akan mudah untuk mengetahui objek-objek

inovasi. Di samping umumnya setelah mengenal objek inovasi

akan mudah untuk masuk pada tahap persuasi.

Page 48: Jurnal - Unsyiah

44 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

2. Persuasi, proses ini tergantung pada bentuk inovasi tersebut

terhadap pribadi seseorang, sehingga secara pribadi dapat

mengetahui keuntungan atau bentuk hal lainnya yang

didapatkan dari suatu penemuan inovatif. Tahap ini akan

menentukan seseorang untuk mengadopsi atau menolak

bentuk inovasi tersebut.

3. Keputusan, pada tahap ini kembali merujuk pada yang

dirasakan oleh seseorang saat menggunakan penemuan inovasi

tertentu. Bentuk adopsi atau menolak dibahas pada tahap ini.

Bila seseorang berkemungkinan memilih untuk menolak, maka

ia tidak akan menggunakan bentuk inovasi tersebut. Dan bila

diterima maka masuk pada tahap selanjutnya yaitu

pelaksanaan.

4. Pelaksanaan, bentuk pelaksanaan bukan hanya dapat

dilakukan oleh mereka yang menerima inovasi baru, akan

tetapi juga berlaku bagi mereka yang menolak, yaitu dengan

dua cara: tetap kokoh untuk menolak inovasi dan menjadi

pengguna akhir inovasi.

5. Konfirmasi, muncul beberapa pendapat mengenai

pengadopsian informasi. Bagi mereka yang menerima inovasi

akan memberi alasan-alasan terkait pengadopsian inovasi.

Begitu juga dengan pihak yang menolak inovasi, mereka akan

mengkonfirmasikan hal-hal yang membuat mereka tidak

memilih, meskipun pada akhirnya tidak sedikit dari mereka

menjadi pemain akhir inovasi.

Page 49: Jurnal - Unsyiah

Fathayatul Husna | 45

Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal

C. Pembahasan

Kekhawatiran akan terenggutnya masa kecil anak-anak di

pemukiman bantaran sungai Gajah Wong menggerakkan semangat

anak muda dari advokat TAABAH dan komunitas Ledok Timoho

untuk mendirikan Sekolah Gajah Wong. Awal berdirinya sekolah ini

dimulai dari terbentuknya kelompok bermain. Inisiatif ini dibangun

untuk sekadar memberi ruang pada anak-anak pemukiman bantaran

sungai Gajah Wong untuk menghabiskan keseharian mereka sebagai

anak-anak di kelompok bermain. Bentuk inisiatif ini dinilai sebagai

sebuah temuan baru untuk kawasan marginal dan pemukiman

kumuh di bantaran sungai Gajah Wong. Hal ini dikarenakan

masyarakat di pemukiman bantaran sungai Gajah Wong merasa

bahwa mereka tidak sanggup untuk menyekolahkan anak-anak

mereka, sehingga di usia mereka yang masih sangat dini tidak ada

pilihan lain selain diikutsertakan untuk mencari nafkah di jalanan.

Bersinggungan dengan bentuk inovasi, dalam ranah Sosiologi

Komunikasi Rogers (dalam Bungin, 2010: 150) menyebutkan bahwa

temuan baru pada kalangan tertentu berkaitan erat dengan difusi dan

inovasi. Empat elemen yang terkandung dalam teori ini terdiri dari

inovasi, saluran komunikasi, jenjang waktu, dan sistem sosial. Khusus

pada elemen jangka waktu sangat berkaitan dengan tahap keputusan

seseorang untuk menerima dan menolak sebuah inovasi.

1) Inovasi

Awalnya Tim Advokasi Arus Bawah (TAABAH) hanya fokus

pada mereka yang berprofesi sebagai pengamen, pemulung dan

pengemis, mereka mengkoordinasikai dan menampung warga yang

berprofesi di jalanan untuk diangkat suaranya terkait pemenuhan

Page 50: Jurnal - Unsyiah

46 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

kehidupan yang lebih baik. Selain itu, mereka melihat bahwa

kebanyakan orang tua yang berprofesi sebagai pemulung, maka

anaknya ikut menjadi pemulung, sama halnya dengan pengamen.

Apabila orang tua berprofesi sebagai pengamen, makan anaknya ikut

menjadi pengamen. Jika hal ini terus menerus dilakukan, maka anak-

anak akan tersita waktunya hanya untuk bekerja tanpa peduli

pentingnya pendidikan bagi mereka.

Berangkat dari kekhawatiran tersebut, TAABAH mencoba

untuk memberikan arah perubahan pada konsep masyarakat dengan

mensasar anak usia dini. Ide ini direalisasikan dengan membentuk

sekolah yang didirikan atas hasil patungan bersama dan membangun

satu ruang belajar melalui gotong royong. Pada mulanya kelas yang

terbentuk haya mampu menampung anak sekitar 22 orang. Saat itu

hanya mampu dibuka khusus untuk kelompok bermain anak yang

dibatasi hanyak pada usia 3-7 tahun. Pengajar yang hadir juga berasal

dari mahasiswa yang sifatnya volunteer.

Kelompok bermain ini dicetus untuk memberikan pengenalan

pada anak-anak bahwa seharusya mereka belajar, bukan

diikutsertakan mencai nafkah di jalanan. Para orang tua sadar akan

pentingnya pendidikan pada anak, oleh karena itu mereka tidak

menolak saat anak dititipkan pada kelompok bermain. Akan tetapi,

karena alasan tidak cukupnya biaya hidup para orang tua

mengikutsertakan mereka untuk mencari naffkah di jalanan.

Kelompok bermain bertahan hingga 3 tahun lamanya. Awal

dicetus berdirinya kelompok bermain Sekolah Gajah Wong pada

tahun 2011, hingga tahun 2014 mulai berkembang sebagai Sekolah

Gajah Wong dan mulai ada penataan kurikulum pengajaran dan

Page 51: Jurnal - Unsyiah

Fathayatul Husna | 47

Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal

mulai merekrut guru untuk menjadi pengajar di Sekolah Gajah Wong.

Kelas telah dibagi menjadi 2 kelas, satu kelas untuk anak-anak berusia

3-5 tahu, sedangkan kelas lainnya untk usia 6-7 tahun. Hal unik

lainnya adalah saat pertama sekali dibangunnya kelompok bermain

pada tahun 2011, pembayaran biaya sekolah dibebankan kepada

orang tua anak-anak didik hanya dengan membawa sampah. Sampah

yang diperoleh dari orang tua anak-anak didik akan diolah dan dana

yang terkumpul akan digunakan untuk kepentingan sekolah. Namun,

saat ini orang tua tidak dibebankan lagi untuk mengumpulkan

sampah sebagi ganti pembayaran biaya sekolah, akan tetapi

kesepakatan untuk bertugas piket membersihkan ruang kelas Sekolah

Gajah Wong. Hal ini dilakukan secara bergiliran sesuai dengan waktu

yang telah tersedia. Sehingga bentuk kontribusi ini dinilai sebagai

ganti pembayaran biaya sekolah anak-anak mereka. Selain itu,

Sekolah Gajah Wong juga secara kreatif mengandalkan pada usaha

mandiri seperti menjual marchandise, hasil peternakan, dan menerima

donatur untuk melangsungkan hidup pendidikan di Sekolah Gajah

Wong (Putro, 2017: 4).

2) Saluran Komunikasi

Proses penyebaran informasi terkait berdirinya Sekolah Gajah

Wong saat ini dinilai sudah menjangkau lingkup yang luas. Ada

beberapa saluran komunikasi yang digunakan, seperti laman blog

dan kerja sama dengan pihak institusi untuk memantu

melangsungkan hidup Sekolah Gajah Wong. Laman

ledhoktimoho.wordpress.com dikelola oleh Komunitas Ledhok Timoho

dengan tagline “di bantaran kali, di balik gedung tinggi, di tengah

Page 52: Jurnal - Unsyiah

48 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

kota”. Laman blog ini ini ingin menunjukkan bahwa ada pemukiman

yang dihuni oleh masyarakat marginal hidup di bantaran sungai

Gajah Wong, berada terjepit diantara gedung-gedung tinggi dan

perumahan elit, serta berada di pusat kota Yogyakarta.

Beberapa postingannya menginformasikan terkait Sekolah

Gajah Wong ingin menunjukkan bahwa bawah Sekolah Gajah Wong

sangat memerlukan respon masyarakat yang tergabung di dunia

maya untuk menyadari bahwa sekolah ini didirikan atas bentuk

kepedulian pada anak-anak di kawasan marginal. Beberapa judul ikut

dipublikaiskan melalui blog ini menunjukkan bahwa eksistensi

Sekolah Gajah Wong bukan hanya sebagai kepedulian pada anak-

anak kawasan marginal, akan

sebagi wujud inovasi baru

dalam memberdayakan anak-

anak usia dini yang erat

kaitannya dengan kehidupan

jalan. Salah satu contohnya

adalah dibutuhkan volunteer

yang bertugas untuk

menemani anak-anak didik

dan peserta selama kegiatan

outbond berlangsung.

Di samping itu, tak jarang Sekolah Gajah Wong menerima

pihak dari berbagai institusi untuk dijadikan objek penelitian, baik itu

terkait sosial, pendidikan, geografis, dan dari berbagi konsentrasi

keilmuan. Pihak Sekolah Gajah Wong sangat terbuka kepada mereka

yang ingin menjadikan sekolah ini sebagai objek penelitian karena

Gambar 1 Informasi terkait Call For Volunteer (Sumber:

ledhoktimoho.wordpress.com)

Page 53: Jurnal - Unsyiah

Fathayatul Husna | 49

Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal

dengan bantuan seperti ini Sekolah Gajah Wong akan semakin

dikenal di berbagai lingkup, baik secara akademik ataupun sosial

masyarakat. Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu pihak

pengurus Sekolah Gajah Wong menawarkan sebuah perjanjian

dengan pihak peneliti, yaitu bersedia untuk menyumbangkan alat-

alat kerajinan tangan untuk membantu perkembangan proses beajar

dan mengajar di Sekolah Gajah Wong. Jika peneliti telah menyetujui,

maka penelitian dapat dilakukan sesuai dengan topik yang akan

dibahas. Hal seperti tentunya bukan hanya sebatas inovasi dalam

mengembangkan pemberdayaan peduli pendidikan pada anak

kawasan marginal, tapi juga merupakan sebuah bentuk difusi untuk

menyebarkan kegiatan sosial pada masyarakat bahwa pendidikan

tidak harus selalu dengan cakupan biaya yang tinggi.

3) Jenjang Waktu

Proses akan dicanangkannya pembentukan Sekolah Gajah

Wong hingga adaptasinya dengan masyarakat tidak memakan waktu

yang sedikit. Butuh waktu untuk bermusyawarah dengan warga

bantaran sungai Gajah Wong untuk mendiskusikan perihal akan

dibangunnya sekolah ini. Layaknya masyarakat pada umumnya,

warga di bantaran sungai Gajah Wong sadar bahwa pendidikan

untuk anak sangat penting. Akan tetapi stigma yang tertanam pada

benak mereka bahwa pendidikan membutuhkan biaya yang tidak

sedikit. Didukung dengan melemahnya kondisi ekonomi menjadikan

mereka selaku orang tua mengikutsertakan anak-anak untuk ikut

terlibat mencari nafkah sebagai anak jalanan.

Page 54: Jurnal - Unsyiah

50 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

Proses berlangsungnya musyawarah umumnya seseorang

akan menolak atau menerima konsep yang tengah dibicarakan.

Rogers (Ibid, 2010) menjelaskan bahwa ada beberapa tahap seseorang

memutuskan untuk menolak atau menerima sebuah inovasi, yaitu

1)pengenalan, 2)persuasi, 3)keputusan, 4)pelaksanaan, 5)konfirmasi.

Pengenalan, biasanya dilakukan untuk memperkenalkan suatu

hal baru yang belum diketahui oleh masyarakat untuk memperoleh

tujuan tertentu. Dalam hal ini, Tim Advokasi Arus Bawah (TAABAH)

bekerjasama dengan komunitas Ledhok Timoho mengajak warga

bantaran sungai Gajah Wong untuk bermusyawarah mengenai

inisiatif untuk membentuk Sekoloah Gajah Wong. Pada tahap ini

tidak hanya sekadar memaparkan konsep/ide pembentukan sekolah,

akan tetapi juga menyinggung pentingnya pendidikan pada anak usia

dini dan ikut memperkenalkan proses pembelajaran yang akan

ditempuh.

Persuasi, selain memperkenalkan program Sekolah Gajah

Wong, tahap selanjutnya yakni membujuk warga bantara sungai

Gajah Wong untuk membawa anaknya masuk dan belajar di sekolah

Gajah Wong. Proses pembujukan dilakukan untuk menyadarkan para

orang tua bahwa anak usia dini belum pantas untuk diajak mencari

nafkah, apalagi kontak langsung dengan area jalanan. Proses

penyadaran secara terus menerus disampaikan agar anak-anak

kawasan bantaran sungan Gajah Wong memperoleh pondasi dasar

bagi dirinya untuk terbiasa dengan dunia pendidikan. Anggota Tim

Advokasi Arus Bawah (TAABAH) bekerjasama dengan komunitas

Ledhok Timoho mencoba memberikan contoh nyata menyinggung

kebiasaan hidup para masyarakat yang didominasi sebagai pemulung

Page 55: Jurnal - Unsyiah

Fathayatul Husna | 51

Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal

dan pengamen. Contoh ini disampaikan sebagai ilustrasi untuk

menggambarkan kehidupan masa depan anak-anak apabila tidak

disentuh dengan pendidikan. Jika hal ini terjadi, maka perubahan

tidak akan pernah terjadi dan kelayakan hidup akan sama seperti saat

ini.

Keputusan, proses persuasi dengan cara membujuk warga

bantaran sungai Gajah Wong terkait pentingnya pendidikan bagi

anak-anak usia dini menggiring warga untuk berfikir konsekuensi

lewat putusan menerima atau menolak berdirinya sekolah Gajah

Wong. Menurut data yang diperoleh warga setuju akan dibangunnya

sekolah Gajah Wong. Mereka sadar bahwa sekolah Gajah Wong

merupakan wujud kepedulian untuk membangkitkan semangat

belajar pada anak usia dini tanpa perlu mengkhawatirkan biaya yang

akan dikeluarkan oleh para oeang tua untuk membiayai sekolah.

Pelaksanaan, keputusan persetujuan dari pihak warga

bantaran sungai Gajah Wong menjadi pegangan kuat untuk

membangun sekolah Gajah Wong. Kesepakatan ini mengajak para

warga untuk saling bergotong royong membangun sekolah Gajah

Wong, mulai dari pengumpulan dana bersama, mencari tanah dan

batu di sungai, mencetak batako secara pribadi dan menatanya

menjadi bangunan 1 petak tanah untuk kelompok bermain anak. Aksi

dan kekompakan yang terjadi menciptakan satu perubahan baru pada

tatanan sosial warga bantaran sungai Gajah Wong.

Konfirmasi, persetujuan dari pihak warga bantaran sungai

Gajah Wong belum terlalu konsisten. Hal ini dikarenakan terkadang

mereka masih membiarkan anak-anak untuk ikut berkeliaran di

jalanan untuk sekdar mengamen. Akan tetapi, lewat pantauan

Page 56: Jurnal - Unsyiah

52 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

TAABAH, para orang tua berhasil dikumpulkan dan diberikan

masukan terkait aturan yang telah disepakati bersama dan kembali

mengingatkan pentingnya pendidikan pada anak usia dini. Lambat

laun orang tua semakin mengerti dan anak-anak tetap diikutsertakan

untuk bermain bersama teman seusianya di Sekolah Gajah Wong.

4) Sistem Sosial

Hadirnya Sekolah Gajah Wong di tengah kehidupan warga

marginal memberikan dampak baru pada tatanan lingkup sosial,

yaitu warga mulai terbiasa dengan kebiasaan untuk mengantarkan

anak ke Sekolah Gajah Wong. Bukan hanya warga bantaran sungai

Gajah Wong, beberapa anak-anak usia dini di luar kawasan

pemukiman ini ikut diantarkan ke sekolah Gajah Wong karena

menilai bahwa sekolah ini mengusung konsep pembelajaran yang

bagus tanpa harus mengeluarkan biaya pendidikan yang cukup

tinggi. Selain itu, ada beberapa pihak atau institusi yang datang untuk

memberikan santunan dan ketersediaan alat yang akan digunakan

untuk mendukung berlangsungnya kegiatan belajar dan mengajar di

Sekolah Gajah Wong.

D. Penutup

Pendidikan merupakan dasar atau pondasi anak usia dini

untuk berangkat ke arah yang lebih maju. Perkembangan zaman ikut

menawarkan pendidikan yang lebih bermutu dan diolah dengan

balutan biaya yang kian melambung. Hal seperti sangat

mengkhawatirkan posisi masyarakat yang tinggal di kawasan

marginal dan anak-anak yang terbiasa hidup di jalanan. Salah satunya

adalah daerah pemukiman di bantara Sungai Gajah Wong di mana

Page 57: Jurnal - Unsyiah

Fathayatul Husna | 53

Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal

mayoritas anak-anak diikutsertakan untuk mencari nafkah sebagai

pemulung, pengemis dan pengamen. Kondisi memprihatinkan seperti

ini terjadi salah satunya dikarenakan biaya pendidikan yang tinggi

dan keterbatasan warga untuk memenuhi kebutuhan sesehari.

Potret mengharukan ini menggerakan perhatian Tim Advokasi

Arus Bawah (TAABAH) bekerjasama dengan komunitas Ledhok

Timoho untuk membangun dan membentuk kegiatan bertajuk peduli

pendidikan pada anak-anak di kawasan marginal. Kegiatan ini

dicanangkan untuk membangun Sekolah Gajah Wong yang diawali

dengan akan dibangunnya kelompok bermain pada anak-anak usia 3

hingga 7 tahun atau sepantaran dengan usia anak-anak sebelum

memasuki bangku sekolah dasar. Bentuk inovasi dalam sistem

pendidikan Sekolah Gajah Wong adalah tidak memungut biaya dari

para orang tua, para tua murid hanya dimintan untuk membersihkan

ruang kelas, bergiliran menyediakan makanan sehat untuk murid-

murid Sekolah Gajah Wong, bahkan pernah diberlakukan

pembayaran biaya sekolah hanya dengan kumpulan sampah.

Kemudia, sampah yang telah terkumpul akan dikelola untuk

keberlangsungan pendidikan di Sekolah Gajah Wong.

E. Daftar Pustaka

Asril. 2014. Sekolah Cerdas untuk Pendidikan Anak Marjinal. Jurnal PARALLE, 1(2)

Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Jamaluddin. 2015. “Model Pendidikan Berbasis Masyarakat”. Al-Fikrah: Jurnal Kependidikan Berbasis Masyarakat. Jambi: IAIN Jambi

Jumiati. 2015. “Penggunaan Metode Becerita sebagai Sarana Penanaman Nilai Moral pada Anak Usia Dini di PAUD

Page 58: Jurnal - Unsyiah

54 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

Gajahwong, Timoho, Yogyakarta”. Jurnal Pendidikan Luar Sekolah. Universitas Negeri Yogyakarta

Nugroho, Adityo. 2017. Komunitas Muda Urban Mengelola Sampah: Kajian Partisipatoris Gerakan Peduli Sampah Nasional di Kota Yogyakarta. Jurnal Pemikiran Sosiologi 4(1)

Putro, Heri Cahyo. Peranan Sekolah Gajah Wong Dalam Pemerataan Pendidikan Bagi Anak Miskin. Skripsi: Universitas PGRI Yogyakarta

Ropingi. 2004. Perilaku Sosial Masyarakat Lembah Sungai Gajah Wong Yogyakarta. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 1(4)

Soekanto, Sorjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Page 59: Jurnal - Unsyiah

Hanifa Maulidia| 55 Agama Di Ruang Publik

AGAMA DI RUANG PUBLIK Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Furshet, Casanova, dan

Sherkat

Hanifa Maulidia

Dosen Prodi Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Email: [email protected]

Abstract

Religion has always been an interesting talk of sociologists, both in public and private spaces. This paper discusses the study of religion in the public space are written by Furshet, et al., Casanova, and Sherkat. First, Furseth et al. which explains religion in the five forms of discussion, namely the legal religion in a country, civil religion, religious nationalism, public religion and religious legitimacy, and political power that all take place in the political arena. Secondly, Casanova invites us to be more critical and able to distinguish three meanings of secularization with different connotations, namely secularization as a process of declining beliefs and religious practices in modern society, secularization as a form of privatization of religion, and secularisation as a distinction between the secular space of the state, and knowledge. Third, Sherkat describes religious socialization as an interactive process in which social agents can influence an individual's religious beliefs and religious understanding. These three writings look at religion in the public sphere from a different point of view, which makes us more critical in seeing and understanding a religion.

Keywords: Religion, Secular, Public Space

Abstrak Agama selalu menjadi pembicaraan menarik para sosiolog, baik di ruang publik maupun privat. Tulisan ini membahas tentang kajian agama di ruang publik yang dikemukakan oleh Furshet, dkk., Casanova, dan Sherkat. Pertama, Furseth dkk. yang menjelaskan agama dalam lima bentuk bahasan, yaitu agama legal dalam sebuah negara, civil religion, religious nationalism, agama publik dan legitimasi agama, dan political power yang semuanya berlangsung dalam arena politik. Kedua, Casanova yang mengajak kita untuk lebih kritis dan mampu membedakan tiga makna sekulerisasi dengan konotasi yang berbeda, yaitu sekulerisasi sebagai proses kemunduran keyakinan dan praktek agama dalam masyarakat modern,

Page 60: Jurnal - Unsyiah

56 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

sekulerisasi sebagai bentuk privatisasi agama, dan sekulerisasi sebagai pembedaan antara ruang sekuler yaitu negara, ekonomi, dan pengetahuan. Ketiga, Sherkat menjelaskan tentang sosialisasi agama yaitu proses interaktif di mana para agen sosial dapat mempengaruhi keyakinan beragama seorang individu dan pemahaman agamanya. Ketiga tulisan tersebut melihat agama di ruang publik dari sudut pandang yang berbeda, yang membuat kita lebih kritis dalam melihat dan memandang sebuah agama.

Kata Kunci: Agama, Sekuler, Ruang Publik

* * *

A. Pendahuluan

Secara etimologis, agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu

“a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang berarti “kacau”, sehingga

agama berarti “tidak kacau”. Arti ini dapat dipahami karena agama

memang bertujuan agar penganutnya memiliki pandangan hidup dan

memiliki jalan hidup yang lurus, teratur, dan tidak kacau. Namun

secara sosiologis, agama adalah fenomena sosial, sehingga dalam

memahaminya, agama harus dipandang terikat dan ditempatkan

pada suatu kontesk sosial. Selain itu, pendefinisian agama juga harus

berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan atau ditemukan

dalam fenomena sosial dalam konteks sosiologis, yang di dalamnya

terdapat kehidupan sosial (das Sein) dan tidak didasarkan pada ajaran

Tuhan, wahyu, atau yang seharusnya terjadi (das Sollen) (Agus, 2010:

28-31).

Dewasa ini dikotomi telah terjadi banyak pemakanaan terkait

dengan agama, terutama kaitannya dengan sekularisasi. Dalam

kacamata sosial, terutama sosiologi, beberapa teori klasik atau

sosiologi klasik dinyatakan bahwa sekulerisasi adalah hasil dari

proses antara industrialisasi dan modernisasi. Meski keduanya memiliki

Page 61: Jurnal - Unsyiah

Hanifa Maulidia| 57 Agama Di Ruang Publik

arti dan makna berbeda, namun industrialisasi berjalan bersamaan

dengan modernisasi dan saling berkaitan. Pada tahun 1970 dan 1980

misalnya, pernah terjadi ledakan agama yang masuk ke ruang publik.

Tidak hanya di Eropa, tetapi juga Amerika Latin, Asia, bahkan hingga

Timur Tengah. Sehingga sosiologi mengakui bahwa agama

memegang peran penting dalam masyarakat tradisional, bukan pada

masyarakat modern. Beberapa tokoh yang mengungkapkan hal

tersebut adalah Max Weber, Peter L. Berger (di awal kemunculannya),

Jurgen Habermas, dan Steve Bruce. Inti pernyataannya adalah bahwa

dengan meluasnya modernisasi, institusi agama tradisional akan terus

menurun bahkan tidak muncul dan agama akan menjadi private bagi

individu.

Pembedaan public dan private ini dibedakan secara tradisional

dari relasi fakta dari pemisahan antara lingkup domestik, yaitu

individu, keluarga, dan waktu. Sedangkan lingkup institusi dominan,

seperti ekonomi, hukum, dan institusi politik. Ketika berbicara

tentang public sphere, fokus utamanya secara langsung pada ruang

politik, di mana terdapat kolektivitas untuk menjalankan aktivitas di

berbagai level, seperti bangsa, negara, dan civil society. Dalam

pembahasan agama di ruang publik Furseth dkk. menjelaskannya

dengan 5 bentuk bahasan, yaitu agama legal (sah) dalam sebuah

negara, civil religion, religious nationalism, agama publik dan legitimasi

agama, dan political power (Furseth dkk., 2006: 98).

“We have seen that many many sociological classics took it for granted that processes of industrialization and modernization would eventually lead to secularization…there has been a widespread agreement in sociology that religion played an important role in traditional societies…the notion of the “public” and the ”private”,

Page 62: Jurnal - Unsyiah

58 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

spheres refer here to the traditional dichotomous model of social relations that posits a separation between the domestic sphere of the individual, the family, and the leisure, and that dominant institutions, such a economic, legal, and political institutions. When this chapter is discussing religion in the public sphere, focus is primarily directed on the political sphere, including collectives that operate at different levels, such as the nation, the state, and civil society…

Pertama adalah agama yang sah yang telah diakui oleh negara.

Bahwa setiap negara memiliki agama-agama legal yang telah diakui

dan dizinkan oleh negara untuk tetap berkembang, memiliki

penganut, melakukan ritual ibadah keagamaan, dan dilindungi oleh

negara. Kedua adalah masyarakat beragama, yaitu para penganut

dari setiap agama sah tersebut. Ketiga adalah nasionalisme

keagamaan. Bahwa setiap agama pasti memiliki rasa kesadaran dan

nasionalisme yang tinggi akan agama yang dianutnya. Keempat

adalah agama publik, yaitu agama yang tersebar dan diakui publik,

dan kelima adalah kekuasaan politik. Bahwa kekuasaan politik sangat

berpengaruh bagi keberadaan agama dan pengakuan agama di ruang

publik. Jika para aktor politik mendukung agama tersebut, maka

peluang agama akan bisa diakui dan bebas beraktivitas di ruang

publik akan lebih besar, begitu juga kebalikannya. Selain itu, agama

juga bisa dimanfaatkan oleh para aktor politik untuk

mempertahankan kekuasaannya, bahkan menaikkan posisi, status,

dan wewenangnya. Kelima bahasan tersebut adalah penjelasan

Furseth mengenai agama di ruang publik.

B. Sekularisasi

Casanova (2006) mengajak kita untuk lebih kritis dan mampu

membedakan tiga makna sekulerisasi dengan konotasi yang berbeda,

Page 63: Jurnal - Unsyiah

Hanifa Maulidia| 59 Agama Di Ruang Publik

pertama adalah sekulerisasi sebagai proses kemunduran keyakinan

dan praktek agama dalam masyarakat modern. Kedua adalah

sekulerisasi sebagai bentuk privatisasi agama, yang dalam sejarah

masyarakat modern disebut kondisi sebelum semakin modernnya

demokrasi politik liberal. Ketiga adalah sekulerisasi sebagai

pembedaan antara ruang sekuler yaitu negara, ekonomi, dan

pengetahuan, yang biasa dipahami sebagai emansipasi dari institusi

agama dan norma-norma sebelumnya.

“I Suggested that in order to speak meaningfully….” (Casanova, 2006: 7)

Dalam menjelaskan kembali sekulerisasi dan kaitannya dengan

globalisasi kita harus mengenali lebih jauh tentang perbedaan pola

sejarah antara berbagai negara dan peleburan berbagai macam

institusi yang ada di dalamnya, yaitu hubungan gereja dan negara,

negara dan ekonomi, ekonomi dan pengetahuan. Dari hubungan

tersebut akan terlihat proses sekulerisasi yang terjadi di negara

tersebut. Sebenarnya, istilah sekuler dan modern memiliki makna

yang berbeda. Misalnya saja di dalam sejarah perkembangan Eropa,

bahwa agama dan sekuler tidak dimungkinkan berjalan bersama dan

tidak saling mengkondisikan satu sama lainnya. Misalnya saja Asad

dalam Casanova (2006) mendebat apakah penggunaan kata sekuler

tepat, karena telah gagal merumuskan bahwa sekuler tidak berjalan

beriringan dengan transformasi internal yang terjadi pada masyarakat

Kristen Eropa. Di sisi lain adalah dengan adanya perluasan

penjajahan oleh negara Eropa, proses globalisasi menjadi semakin

luas dan dirasakan di hampir semua negara di dunia.

Page 64: Jurnal - Unsyiah

60 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

(But most importantly, one needs to historicize and contextualize all categories….But Asad’s own genealogy of the seculer….) (Casanova, 2006: 10).

Setiap negara mempunyai tahapan sejarah yang berbeda, dari

perbedaan sejarah tersebut mereka mempunyai proses perkembangan

agama yang berbeda, dengan adanya modernisasi, ada negara yang

menjadi semakin religius, ada pula negara yang semakin sekuler.

Bahwa proses sekulerisasi bermacam-macam, yang berdampak pada

beragamnya bentuk modernisasi di berbagai negara. Hal ini juga

berkaitan dengan dasar sejarah yang berbeda antara Katolik,

Protestan, dan Byzantine Christianity, dan juga antara Lutheran dan

Calvinist Protestanism. Misalnya saja yang diungkap oleh David

Martin, bahwa Katholik dalam budaya Latin juga terjadi perluasan

dari Kontinental Eropa, bahwa ada benturan antara agama dan

pembedaan ruang sekuler. Yaitu antara Kristen Katolik dan

pengetahuan modern, kapitalisme modern, dan negara modern.

Luasnya gaungan sekulerisasi adalah turunan dari modernisasi

sebagai kejayaan dari emansipasi, kebebasan dari paksaan agama

yang disebut progresif. Hal itu ternyata hanya terjadi di Eropa, tidak

meluas hingga ke Prancis.

Begitu pula negara Amerika, bahwa gerakan sosial Amerika

menarik diri dari nilai-nilai yang sekuler, tetapi lebih ke arah nilai-

nilai religius. Dengan adanya sekulerisasi di Eropa, lalu Eropa barat

melakukan kolonisasi terhadap banyak negara di dunia, hingga

meluasnya proses globalisasi. Lalu dengan globalisasi tersebut

terjadilah Western secular modernity, yaitu proses bagaimana tradisi

agama diinterpretasikan kembali sebagai respon dari tantangan

Page 65: Jurnal - Unsyiah

Hanifa Maulidia| 61 Agama Di Ruang Publik

global yang ada. Hal ini bisa dilihat dengan kemunculan Confucianism

dan Taoism (Casanova, 2006: 11-13).

C. Transformasi Agama

Transformasi agama tidak bisa dilepaskan dalam proses

globalisasi. Bauman dalam Ritzer dan Goodman (2010) melihat

globalisasi sebagai “perang ruang angkasa”. Menurutnya globalisasi

adalah mobilitas pada masyarakat yang menjadi faktor stratifikasi

paling kuat dan paling didambakan di dunia saat ini. Bahwa para

pemenang dalam arus globalisasi dikatakan telah berhasil hidup di

dalam “waktu” dan ruang (jarak) bukan lagi menjadi masalah bagi

mereka. Agama juga menjadi bagian globalisasi dan juga dipengaruhi

oleh proses globalisasi. Masyarakat yang menjadi sekuler disebabkan

dan dipengaruhi oleh proses globalisasi.

Grace Davie dalam Casanova (2006) menyebutkan bahwa

situasi agama di Eropa adalah “believing without belonging”, yaitu

mempercayai tanpa merasa memiliki. Sedangkan Daniele Hervieu-

Leger dalam Casanova (2006) mengkarakteristikkan agama di Eropa

“belonging without believing,” karena mereka memiliki agama, tetapi

tidak boleh mengekspresikannya ke ruang publik, hanya di ruang

privat saja. Adanya batasan tersebut membuat mereka seakan tidak

memiliki agama tersebut, terdapat kecendrungan untuk

menghubungkan proses sekulerisasi ke arah proses modernisasi

dibandingkan ke pola penyebaran dan pembubaran agama, politik,

dan komunitas masyarakat dalam konteks gereja, negara, dan bangsa

adalah akar kebuntuan dari debat tentang sekulerisasi. Berikutnya

adalah perkembangan agama Amerika lebih unik dan terjadi

pengecualian. Bahwa Amerika semakin lebih religius dan tidak

Page 66: Jurnal - Unsyiah

62 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

mengikuti arus global, sehingga proses globalisasi di setiap negara

bisa terjadi dalam bentuk yang berbeda, seperti di Amerika ini.

(When it comes to religion, there is no global rule…) (Casanova, 2006: 14-17).

1) Privatisasi Agama

Adanya pembatasan masyarakat dalam melakukan aktivitas

keagamaan juga akan mengarah kepada pembatasan masyarakat sipil

akan hak politik dan kewarganegaraan agama. Hal ini pada dasarnya

melanggar pentingnya demokratis dalam masyarakat sipil.

Masyarakat tidak bebas melakukan aktivitas dan ritual keagamaanya

di ruang publik karena agama adalah sesuatu yang hanya bisa

dilakukan di ruang privat. Selanjutnya dengan adanya aturan untuk

memproteksi dari kekejaman agama mayoritas juga akan menjadi

aturan demokratis untuk membela diri dari sistem demokrasi

mayoritas.

Menurut Jurdi (2010) jika para elit Islam yang sedang berkuasa

baik di lingkungan legislatif, eksekutif, dan yudikatif mampu

membuat kebijakan dan dapat menjalankan kehidupan yang religius

sesuai dengan makna subtantifnya maka upaya untuk membentuk

suatu sistem sosial, sistem politik, dan sistem budaya yang kuat

secara teologis dan sosiologis, tentunya akan mendorong negara

menerapkan suatu kebijakan yang berwajah sosial kemanusiaan yang

juga dapat membantu masyarakat yang berasal dari kalangan tidak

mampu. Jadi privatisasi agama dibentuk dan dikontruksi oleh para

penguasa yang sedang berkuasa saat itu.

Page 67: Jurnal - Unsyiah

Hanifa Maulidia| 63 Agama Di Ruang Publik

2) Ekspresi Agama di Ruang Publik

Agama adalah salah satu bentuk identitas yang dimiliki oleh

individu dan kelompok. Jenkins (2004) melihat sebuah identitas yaitu

tentang bagaimana kita mengetahui dan memahami diri kita dan

bagaimana orang lain mengidentifikasi diri kita. Konsep identitas

tidak bisa lepas dari dua hal, yaitu persamaan (similarity) dan

perbedaan (difference). Sesuatu yang menjadi persamaan seorang

individu dan individu lain dalam kelompoknya dan sesuatu yang

menjadi perbedaan seorang individu dan individu lain dalam

kelompok yang berbeda. Persamaan dan perbedaan tersebut

mempengaruhi relasi sosial antara individu dan kelompok sosialnya

(Jenkins, 2004: 3-5). Menurut Castells (2010) setiap individu dapat

mengkonstruksi identitasnya dengan cara menunjukkan atribut

budaya, agama, dan kelompok yang mereka jalani. Karena setiap

individu dapat menginternalisasi identitas yang ia miliki dalam

kehidupan dan aktivitas sehari-hari. Agama dapat diekspresikan oleh

seorang individu dan kelompok di ruang publik setelah individu

tersebut mampu menginternalisasikan agamanya dalam kehidupan

sehari-hari.

Menurut Furseth,dkk. (2006) terdapat lima bentuk ekspresi

agama di ruang publik. Pertama adalah interaksi antara Negara dan

terbangunnya organisasi agama mayoritas yang didiskusikan dalam

konteks relasi church-state. Kedua adalah masyarakat beragama (civil

religion). Konsep ini muncul di abad 18 oleh Jean Jacques Rousseau

(1981/1762). Bellah adalah yang pertama mengembangkan konsep

agama masyarakat sipil dalam kajian sosiologi. Bahwa proses

modernisasi secara tidak langsung menjadikan sektor sosial dan

Page 68: Jurnal - Unsyiah

64 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

kultural tidak selamanya didominasi oleh agama tradisional, dan civil

religion ini muncul sebagai cara alternatif masyarakat modern dalam

menyediakan makna dan identitas.

Ketiga adalah religious nationalism. Territory (wilayah) adalah

satu hal yang paling penting dalam hal nasionalisme. Dengan

mengidentifikasi we dan them dengan beragam etnik, bahasa, dan

kelompok agama yang berbeda. Ada ide tentang identitas kolektif,

solidaritas sosial, dan legitimasi politik yang memproduksi

pemahamanan nasional individu dan pengakuan kewarganegaraan.

Keempat adalah agama publik yang terlihat sebagai from-the-buttom-

up. Perilaku publiknya dilakukan oleh individu, komunitas, persatuan

sukarela, dan agensi pemerintah. Kelima adalah agama dan kekuatan

politik. Yaitu ketika kekuatan agama untuk melegitimasi ruang

politik yang secara tidak langsung melalui beragam bentuk diskusi

yang disediakan pemerintah, bahwa dengan dibangunnya institusi

agama menyediakan legitimasi yang jelas oleh kekuasaan aparat

politik.

3) Peran Agama di Ruang Publik

Marx dan tradisi liberalnya, menyetujui bahwa dengan

meluasnya modernisasi, agama akan berpindah dari ruang publik,

dan pengalaman Western dengan cepat ditiru oleh Negara-negara lain

di dunia. Berikutnya adalah Weber dalam Economy and Society yang

mendiskusikan relasi agama dan politik dengan meningkatnya

masalah legitimasi negara. Ia menawarkan tiga legitimasi dominasi,

yaitu tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Ia mengungkapkan

bahwa konsekuensi dari rasionalisasi dan sekulerisasi dalam negara

modern melepaskan metafisik atau legitimasi agama. Tokoh lain yang

Page 69: Jurnal - Unsyiah

Hanifa Maulidia| 65 Agama Di Ruang Publik

mengungkapkan hal ini adalah Peter L. Berger dalam buku Sacred

Canopy (1967) yang mengungkapkan bahwa sejarah agama telah

meluas dan menjadi instrumen efektif dalam legitimasi, dengan

adanya de-institutionalization. Jurgen Habermas dengan munculnya

komunikasi yang baik adalah dapat memenuhi pencerahan yang

dicita-citakan. Salah satunya dengan diskursus tentang kebenaran

dan sempurnanya agama. Terakhir adalah Steve Bruce yang

berpendapat bahwa agama selanjutnya akan menjadi kekuatan

otonomi pada politik kontemporer. Bruce meyakini bahwa dari

agama konvensional tidak cocok dengan demokrasi liberal (Furseth

dkk., 2006: 98-99)

Dalam peran agama dalam ruang berikutnya ada dua tokoh

yaitu Robert N. Bellah dan Jose Casanova yang bertentangan dengan

pendapat-pendapat sebelumnya. Mereka berdua berpendapat bahwa

agama akan terus mempunyai peran dalam ruang publik dan

masyarakat modern. Bellah mendiskusikan hubungan antara agama

dan politik dalam masalah legitimasi. Berikunya adalah Casanova

dalam buku Public Religions in the Modern World yang memulai kritik

terhadap teori sekulerisasi yang diungkapkan oleh Weber dan Berger.

Bahwa dengan adanya proses sejarah diferensiasi agama yang tidak

diubah di Barat, lalu muncul pertanyaan tentang bagaimana

differensiasi institusional yang membutuhkan hasil dalam

marginalisasi dan privatisasi agama (Ibid.,)

4) Sosialisasi Agama

Nilai-nilai agama dapat berkembang dan menyebar di

masyarakat melalui proses sosialisasi. Sherkat (2003) dalam artikelnya

yang berjudul “Religious Socialization : Sources of Influence and Influences

Page 70: Jurnal - Unsyiah

66 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

of Agency” dalam buku “Handbook of The Sociology of Religion”, banyak

menjelaskan tentang beberapa sumber dan peran yang

mensosialisasikan agama (agency) dan bagaimana peran manusia

dalam hal ini adalah individu dan masyarakat dalam memilih agen

agama manakah yang akan dipilih sebagai sumber pengetahuan

agamanya. Sherkat memberikan konsep Religious socialization yaitu

proses interaktif di mana agen sosial mempengaruhi keyakinan

beragama seorang individu dan pemahaman agamanya. Agensi

agama dalam masyarakat banyak dan beragam. Tetapi hanya agen

yang trusted (dipercaya) oleh individu tersebut, valued connected yaitu

nilai-nilai yang terinternalisasi dan masuk dengan baik dalam hati

dan akal individu tersebut, dan experienced yaitu memiliki

pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan ritual spiritual

yang dapat dipilih oleh individu tersebut. Ketiga hal itu menjadi

dasar pokok dalam pemilihan agensi agama ini. Selanjutnya

keteraturan yang bersifat sementara, orang tua, satu agama yang

dimiliki oleh seorang individu juga sangat berpengaruh dalam

sosialisasi agama. Karena keluarga adalah agen sosialisasi primer dan

paling utama dalam pembentukan kepribadian seseorang.

“…Agents of socialization influence individuals only if the source is a trusted, and valued connected, and experiences….”( Sherkat, 2003; 151)

Sherkat (2003) juga menyebutkan bahwa sebuah gerakan

agama (religious movement) juga memiliki karakter tersendiri dan

peran penting, karena memberikan penjelasan supranatural,

pengganti nilai yang dihasilkan dengan beragam pemaknaan,tujuan,

dan kebenaran hidup. Ternyata dalam pemilihan beragam agensi ini

Page 71: Jurnal - Unsyiah

Hanifa Maulidia| 67 Agama Di Ruang Publik

juga terdapat pengaruh sosial yang mempengaruhi sosialisasi agama

dalam diri seorang individu, yaitu simpati dan antipati seseorang,

kedua adalah example setting,yaitu latar atau tempat yang dijadikan

contoh dan ketiga adalah hukuman yang diberikan atau didapat oleh

seseorang. Adapun agen pertama yang mempengaruhi agama adalah

orang tua dan keluarga. Di dalamnya terdapat orang tua dan

anaknya, suami, istri, pengamatan keluarga dan sosialisasi keluarga.

Kedua adalah denominasi (agama yang kita anut). Bahwa agama

yang dianut juga bisa menjadi agen dalam proses sosialisasi agama.

Ketiga adalah pendidiakan. Bahwa pendidikan yang ditempuh oleh

seorang individu juga mempengaruhi agama yang dia akan pilih dan

dianutnya.

D. Agama di Ruang Publik: Sebuah Catatan Kritis

Dari Furseth, dkk (2006) dan Sherkat (2003) saya memberikan

beberapa catatan kritis. Pertama adalah tulisan Furseth dkk. (2006),

pertanyaan saya adalah apakah perkembangan agama di era yang

semakin modern di Negara-negara Barat bisa disamakan dengan di

Negara-negara Timur, misalnya di Negara Indonesia di mana banyak

masyarakat muslim yang banyak memakai jilbab di ruang publik,

apakah bisa dijelaskan dengan relasi industrialisasi dan modernisasi

yang menggerus agama seseorang di ruang publik, atau justru

dengan kasus di Indonesia tersebut semakin menjadi seorang yang

agamis dan fundamentalis? Apa yang menyebabkan hal tersebut?.

Mari kita pikirkan bersama-sama.

Selanjutnya, tulisan Sherkat yang menjelaskan berbagai agensi

(institusi) yang mempengaruhi sosialisasi agama dalam masyarakat.

Namun belum dijelaskan dengan jelas tentang konteks sosial budaya

Page 72: Jurnal - Unsyiah

68 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

masyarakatnya, apakah dalam konteks masyarakat primitif atau

masyarakat tradisional, atau masyarakat modern. Masyarakat yang

memiliki ekonomi lemah atau kuat. Juga apakah semua teori dan

gagasannya berlaku di semua negara di ddunia atau hanya di negara

Barat saja. Ditambah lagi dengan kebudayaan yang berbeda di setiap

Negara belum tentu cocok apabila diaplikasikan dalam realitas sosial

di Negara Asia, seperti Indonesia. Karena keadaan geografi, sosial,

dan budaya juga mempengaruhi perilaku, sosialisasi, dan nilai norma

masyarakatnya.

Kemudian, catatan kritis untuk tulisan Casanova (2016) adalah

apakah dari sejarah yang berbeda antara Eropa dan Amerika di mana

Eropa semakin sekuler dan Amerika semakin religius apakah

dimungkinkan bagi mereka mengalami titik temu?. Di mana Eropa

mengalami desekulerisasi dan menjadi religius dan Amerika semakin

sekuler?. Jika iya, bagaimana proses terjadinya?. Mari kita pikirkan

dan telaah bersama.

E. Penutup

Kajian tentang agama di ruang publik ini dibahas melalui tiga

tulisan, yaitu Furseth, dkk., Casanova, dan Sherkat. Dalam

menjelaskan agama di ruang publik tidak bisa lepas dari konsep

privat. Pertama, Furseth dkk. menjelaskannya dalam 5 bentuk

bahasan, yaitu agama legal dalam sebuah negara, civil religion,

religious nationalism, agama publik dan legitimasi agama, dan political

power yang semuanya berlangsung dalam arena politik. Kedua,

Casanova mengajak kita untuk lebih kritis dan mampu membedakan

tiga makna sekulerisasi dengan konotasi yang berbeda, yaitu

sekulerisasi sebagai proses kemunduran keyakinan dan praktek

Page 73: Jurnal - Unsyiah

Hanifa Maulidia| 69 Agama Di Ruang Publik

agama dalam masyarakat modern, sekulerisasi sebagai bentuk

privatisasi agama, dan sekulerisasi sebagai pembedaan antara ruang

sekuler yaitu negara, ekonomi, dan pengetahuan. Ketiga, Sherkat

menjelaskan tentang religious socialization di mana agen sosial

mempengaruhi keyakinan beragama seorang individu dan

pemahaman agamanya. Ketiga tulisan tersebut melihat agama di

ruang publik dari sudut pandang yang berbeda dan membuat kita

lebih kritis untuk melihat fenomena sosial yang berkaitan dengan isu

agama di ruang publik.

F. Referensi

Agus, Bustanuddin. 2010. Agama dan Fenomena Sosial: Buku Ajar Sosiologi Agama. Jakarta: UI Press.

Casanova, Jose. 2006. “Rethinking Secularization: A Global Comparative Perspective“ dalam Hedgehog Review. Critical Reflexion on Contemporary Culture After Secularization. Charlottesville, USA: Institute for Advance Studies in Culture.

Castells, Manuel. 2010. The Power of Identity: Second Edition With A New Preface. UK: Blackwell Publishing.

Darren E. Sherkat, 2003. “Religious Socialization : Sources of Influence and Influences of Agency” dari buku “Handbook of The Sociology of Religion” edited by Michele Dillon. Cambridge University Press.

Furseth, Inger, dan Repstad. 2006. An Introduction To The Sociology of Religion. England: Asgathe Publishing Limited.

Jenkins, Richard. 2004. Social Identity: Second Edition. London and New York: Routledge

Jurdi, Syarifuddin. 2010. Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern: Teori, Fakta, dan Aksi Sosial. Jakarta: Kencana

Ritzer, George dan Doudlas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.

Page 74: Jurnal - Unsyiah

70 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

DARI POHON HIDUP KE KAYU MATI Perubahan Pencarian Keselamatan Orang Dayak Dalam

Kehidupan Desa Di Kalimantan Barat

Ade Ikhsan Kamil Dosen program Studi Antropologi

Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe Email: [email protected]

Abstract

The study attempted to show why rituals in Nek Lhan's community life were slowly getting lost. The presence of a new religion which is considered paradoxical in faith to Duwata I see as an act of domination by an agency that acts as an intellectual actor. The same thing with new commodities in the economic system Nek Lhan farmers is considered to be contrary to the old economy, namely Ladang and rubber. By using the ethnographic method, I want to show the negotiations made in resolving the contradictions that exist in the religious and economic life of the Nek Lhan community. I concluded that one of the negotiations carried out with the new moral economic was because of the change in the search for safety from the Tree of Life into the form of dead wood, the cross.

Keywords: Faith, Agency, Nek Lhan, Economic

Abstrak Studi ini berusaha untuk memperlihatkan mengapa ritual dalam kehidupan masyarakat di Nek Lhan perlahan mulai hilang. Kehadiran agama baru yang dianggap paradoks dengan kepercayaan terhadap Duwata saya lihat sebagai tindakan dominasi oleh agensi yang berperan sebagai aktor intelektual. Hal yang sama dengan komoditas baru dalam sistem ekonomi petani Nek Lhan dianggap bertentangan dengan ekonomi lama yaitu ladang dan karet. Dengan menggunakan metode etnografi saya ingin menunjukkan negosiasi yang dilakukan untuk menyelesaikan pertentangan yang ada dalam kehidupan keagamaan dan ekonomi masyarakat Nek Lhan. Saya berkesimpulan bahwa salah satu negosiasi yang dilakukan dengan aproriasi moral ekonomi baru karena perubahan pencarian keselamatan dari Pohon hidup (tree of life) ke dalam wujud kayu „mati‟ yaitu salib.

Kata Kunci: Kepercayaan, Agensi, Nek Lhan, Ekonomi

Page 75: Jurnal - Unsyiah

Ade Ikhsan Kamil | 71 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati

A. Pendahuluan

Suatu hari saya mengunjungi Papan Tiga1 melihat prosesi

pengobatan di rumah Pak Pian. Saya dipersilahkan masuk dan

menuju ke teras belakang. Saya melihat Pak Pian mempersiapkan nasi

pulut yang berbentuk segitiga, ayam bakar, daging, dedaunan, beras

pulut dan padi dalam sebuah wadah bulat terbuat dari anyaman

rotan. Persiapan tersebut untuk ritus pengobatan adik kandung Pak

Pian yang sakit selama 9 bulan. Adik Kandungnya menderita sakit

yang tidak diketahui, berat badannya turun 40 kg, fisik semakin

lemah, sehingga tidak bisa mencari nafkah. Segala pengobatan sudah

dicoba, dari rumah sakit sampai ramuan kampung.

Semua sesaji diletakkan di depan Nek Ayoh saat ritus

pengobatan berlansung. Nek Ayoh bukanlah dukun, namun dia

adalah tumenggung2 dari Lubuk Piling, sebelah dusun yang

bersebelahan dengan Pampang Dua. Nek Ayoh yang rambutnya telah

memutih, mulutnya terus berkomat-kamit, seperti orang sedang

bercerita. Nek Ayoh memang sedang bercerita tentang kisah

perjalanan hidup si sakit dari lahir hingga sakit sampai hari

pengobatan. Proses bercerita tersebut dalam istilah Dayak Desa

disebut sebagai engkata3. Berjam-jam lamanya dia duduk, kadang

menatap sekeliling orang yang berada di sekitarnya bahkan

1 Papan Tiga merupakan sebuah nama dusun di Pedalaman Kalimantan barat. Nama

lokasi penelitian beserta dengan informan telah disamarkan dengan tujuan etika penelitian. 2 Tumenggung merupakan istilah dayak untuk menyebut ketua adat. 3 Engkata merupakan kegiatan bermantra yang dilakukan oleh pemimpin adat atau

orang yang melakukan prosesi pengobatan. Pada Dayak Kancing‟k, prosesi engkata dilakukan pada acara gawai sebagai inti dari ritual. Isi dari engkata pada ritual gawai di dayak Kancing‟k menceritakan folktale yang berkaitan dengan penanaman padi. Seperti Demamang Arau, Demamang Boyok, Demamang Kejadi, dan lain sebagainya. Lihat Dahniar, Edlin. 2013. Ibarat Pisang, Kami Masih Satu Tandan ; Relasi Sosial Kelompok Melayu dan Dayak Kancing’k. Tesis Pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan. Hal 55.

Page 76: Jurnal - Unsyiah

72 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

mengobrol di sela istirahat. Sepanjang bercerita Nek Ayoh sering

menatap si sakit yang terkulai lemah di depannya. Begitulah Nek

Ayoh melakukan kegiatan beudew.4

Begitu juga dengan beberapa foto yang ditunjukkan oleh

Sellato (2002) ketika merekam prosesi ritual Pengosang pada Dayak

Aoheng. Pada ritual Pengosang, pemimpin adat memercikkan air

menggunakan dedaunan dari hutan (sacred plant), mengorbankan babi

di dekat pohon kehidupan (tree of life) dan memberkahi anak-anak

dengan memegang tongkat yang dibuat dari pohon kehidupan dalam

kaleng penuh beras untuk kesehatan dan kesejahteraan.5 Dalam

kehidupan Dayak Kantu, Dove (1988), Sather (1977), juga mencatat

demikian, bahwa ritual tidak saja erat dengan persoalan ketundukan

kepada Duwata (dewa), namun juga untuk kegiatan perladangan.

Hasil panen yang banyak mendatangkan kegembiraan, dan ucapan

syukur dilakukan dengan mempersembahkan ayam, babi, tuak dan

arak kepada roh leluhur dan para dewa yang telah menjaga ladang,

rumah dan kampung.

Adapun pengobatan orang sakit, dan ritual lain seperti

kelahiran, pernikahan, kematian, panen padi, merupakan ritual yang

seringkali ditemui di seluruh pelosok Kalimantan, begitu juga dahulu

kala di daerah Dayak Desa yang merupakan sub suku Dayak

Klemantan.6 Namun, ketika saya datang bulan Agustus 2014 ke

dusun Nek Lhan di Kalimantan Barat, saya mendengar orang Nek

4 Yaitu ritual menghadirkan dewa yang dilakukan untuk mengobati orang sakit serta

kegiatan keagamaan lainnya. 5 Lihat foto No. 29,30,31 dalam Sellato, Bernard. 2002. Innermost Borneo ; Studies in

Dayak Cultures. Singapore University Press. Singapore 6 Klasifikasi yang dilakukan oleh Tjilik Riwut. Llihat buku Tjilik Riwut. Kalimantan

Membangun.

Page 77: Jurnal - Unsyiah

Ade Ikhsan Kamil | 73 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati

Lhan tidak lagi mempraktikkan kegiatan ritual. Sekarang yang ada

hanyalah kegiatan keagamaan baik Katolik, Protestan dan Islam.

Ritual yang sangat erat dengan kehidupan, kini telah menghilang.

Bahkan ruang pelaksanaan ritual atau “ruang sakral” seperti Pohon

hidup dan altar yang tersusun dari batu-batu pun kian tidak terurus.

Ruang sakral “sacred space” merupakan ruang simbolis yang

dimaknai sebagai ruang para dewa dan roh leluhur berada. Ruang

sakral seperti diceritakan Chidester and Linenthal (1995) merupakan

wilayah agama yang dibuat dan berkaitan dengan prosesi ritual.

Ritual merupakan bagian penting dari proses ruang sakral tertentu

(Baird,2009). Dalam konteks orang Dayak, Seperti yang dicatat oleh

Dove (1988) ruang sakral orang „Dayak Kantu‟ sangat berhubungan

dengan kegiatan ekonomi, seperti ladang, rumah panjang, kampung,

dan hutan.

Dalam studi antropologi, studi tentang agama dan ekonomi

sebagai dua unsur kebudayaan menjadi perhatian akhir-akhir ini

(Tsing, 2015). Studi tersebut telah dimulai dengan baik oleh Weber

(1930) dan beberapa studi turunannya. Selain memfokuskan

penjelasannya dalam relasi yang evolusionistik, beberapa diskursus

lain mulai berfokus pada relasi yang asimetris antara agama dan

dinamika ekonomi seperti yang diperlihatkan oleh (Soehadha;

Bahruddin, 2010).

Selain itu, Secara geografis, pembahasan tentang ritual dan

dinamika ekonomi telah menjadi fokus dari beberapa peneliti

(Miles,1965; Metcalf,1981) yang membahas perubahan material dan

makna dari penguburan kedua (secondary burial) pada masyarakat

Dayak. Studi tersebut merupakan studi tentang pertemuan antara dua

Page 78: Jurnal - Unsyiah

74 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

agama dalam satu praktik keagamaan (ritual) dimana Metcalf (1981)

mengkhususkan analisisnya dengan melihat keberlanjutan dan variasi

ritus dari segi ketersediaan sumber daya ekonomi. Miles (1965) pada

studinya agak sedikit berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh

Metcalf (1981), Miles (1965) berusaha untuk melihat faktor ekonomi

dari ritual yang dilakukan oleh para penganutnya, artinya Miles

(1965) mendudukkan perubahan material dan ekonomi menjadi

faktor yang determinan.

B. Nek Lhan: Deskripsi Lokasi Penelitian

Warga dusun Nek Lhan mengidentifikasi dirinya sebagai

Dayak Desa atau sering juga disebut Cupank Desa.7 Aturan atau

hukum adat yang berlaku di Cupank Desa merupakan pranata yang

berfungsi mengintegrasikan masyarakat dalam satu kesatuan

organisasi. Hukum adat tidak hanya mengatur perilaku sehari-hari,

juga mengatur seluruh tahap kehidupan sejak lahir, kawin dan mati.

Dahulu ritual pasca kelahiran disebut dengan lepas juru’ dan ritual

pasca panen disebut dengan nyapat tahun, maka saat ini istilah yang

dipakai adalah ucap syukur. Adat Dayak Desa mulai disesuaikan

berdasarkan kemajuan kehidupan. Penyesuaian tersebut dapat berarti

penghilangan dan juga penggantian. Barang cabuh8, cempale dan male’9,

kebunan, dan beberapa prosesi/tahapan pada gawai kelahiran, panen

padi, perkawinan dan kematian secara perlahan mulai menghilang.

7 Saya menggunakan kata Dayak tidak dalam arti yang digunakan oleh beberapa

misionaris awal yang mengidentifikasi warga asli Borneo yang mendiami the Hearts of Borneo dengan Sebutan Dayak atau Daya‟.

8 Makanan-makanan yang tidak boleh dibakar seperti kepiting, terasi dan lainnya. 9 Tata krama dalam pergaulan sehari-hari, seperti menghargai ajakan seseorang dalam

makan. kadangkala cempale‟ dan male‟ memiliki arti yang sama, Cuma konteks penggunaannya yang berbeda.

Page 79: Jurnal - Unsyiah

Ade Ikhsan Kamil | 75 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati

Saat ini, Nek Lhan mulai meninggalkan ritual, bahkan ritual itu

sendiri disebut sebagai tradisi yang dipraktekkan dahulu kala.

Kehadiran zending Amerika yang membawa misi ke tanah

Cupank Desa menjadi salah satu sumbu perubahan secara historis.

Dahulu, pencarian keselamatan dan kesembuhan serta perlindungan

kampung masih erat dengan religi lama melalui kayu hidup. Kayu

hidup (tree of life) menjadi perwujudan tempat bersemayamnya roh

nenek moyang yang mereka kenal dengan nama Nek Juwata10,

namun saat ini praktek seperti itu sudah tidak terlihat lagi. Bahkan

ketika acara ucap syukur atau nyapat tahun yang bertujuan untuk

meluapkan rasa kegembiraan setelah mendapatkan keberkahan dari

panen padi tidak lagi terlihat ritual atau upacara sesajian atau yang

biasa disebut dengan umpan pedagi11. Sekarang ini, dari 277 KK yang

mendiami Nek Lhan, hanya ada beberapa keluarga saja yang

beragama islam. Selain itu, Agama Protestan menjadi agama yang

dominan di dusun Nek Lhan. Gereja Bethel Indonesia Nek Lhan

bahkan menjadi pionir dari Gereja GBI di kawasan Kalimantan Barat.

Selain GBI, masih ada dua organisasi protestan lainnya yang ada di

Nek Lhan yaitu Gereja GAPPIN dan Gereja Pantekosta. Praktis,

kehidupan beragama di dusun Nek Lhan menjadi suatu

pemandangan yang biasa penulis lihat. Hari minggu pagi, minggu

sore, dan kamis sore merupakan hari dimana masyarakat Nek Lhan

10 Eksistensi roh-roh nenek moyang dikenal dengan nama Nek Juwata. Pernah juga

penulis mendengar di daerah dayak kancingk yang mendiami wilayah Dayak Desa yaitu di desa Pampang Dua yang menyebutnya dengan nama Nek Duwata.

11 Umpan pedagi merupakan satu istilah untuk ritual pelepasan niat atau hajat yang telah pernah diucapkan dan akan dilaksanakan ketika niat atau hajat tersebut terkabulkan. Dahulu umpan pedagi akan dilepaskan di kayu-kayu besar baik pohon kayu peulaye maupun di kayu belian yang ditempatkan di tengah desa.

Page 80: Jurnal - Unsyiah

76 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

melakukan ibadah atau sembahyang baik di gereja maupun ibadah

kebaktian rumah tangga.

C. Sejarah Misi Gereja Dan Peran Agen Keagamaan

Saya memanggilnya Pak Karel, namun ada juga yang

memanggilnya dengan sebutan Opa Karel serta seng tua pendeta,

begitulah saya mendengar dari warga kampung saat bertanya tentang

pendeta yang melegenda di kampung Nek Lhan. Pengabdian selama

60 tahun di Kampung Nek Lhan sudah menunjukkan komitmen dan

konsistensinya terhadap misi kristenisasi. Tidak hanya sebagai

pemimpin gereja, Pak Karel juga seorang guru dan Kepala Kampung

yang dikenal dengan istilah „kebayan’12. Menurut penuturannya, Itu

tahun 1956. Saya itu dulu tahun 1955-1956 kepala gereja yang merangkap

guru sekolah. Murid saya pertama kelas lima waktu itu adalah bapak dia

(Pak Karel menunjuk bang yoce). Almarhum, meres namanya”.

Pak Karel datang ke Nek Lhan diutus oleh Zending yang

berasal dari Amerika.13 Dia ditugaskan untuk meneruskan misi

Kekristenan yang telah dirintis oleh pihak Zending. Melalui institusi

pendidikan, Pak Karel memulai misinya tersebut. “Karena ini dari

zending, swasta ya swasta, tapi dari zending luar negeri dari Amerika.

Mampu ndak mampu ya jadi kelapa sekolah...haaaa(lalu dia tertawa), dan

guru istimewa. Enam kelas saya ngajar. Kelas 1,2,3 pagi, 4,5,6 itu siang saya

ngajar. Tak ada rotan akar pun berguna..begitu ya bahasa pepatah”.

12 Kebayan merupakan bahasa Dayak Desa yang berarti Kepala Kampung. 13 Zending merupakan perkumpulan sementara yang diinisiasi oleh para missionaris

dalam menjalankan misi kekristenan. Misionaris pertama yang datang ke Meliau yakni seorang Protestan dari misi Go Ye Fellowship dan New Tribes Mission, Robert 'Borneo Bob' Williams, seorang Amerika Serikat. Lihat Rudi Gunawan. Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Kuwalan di Hulu Sungai Buayan. Laporan TPL Meliau 2010. Jurusan Antropologi Budaya. Hal 7

Page 81: Jurnal - Unsyiah

Ade Ikhsan Kamil | 77 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati

Begitulah strategi Pak Karel dalam mensukseskan misi kekristenan

melalui institusi pendidikan.

Pak Karel bernaung dalam Gereja Bethel Indonesia (GBI)

Anthiokia. Sebelumnya, institusi gereja yang diketuai oleh Pak Karel

hanyalah institusi gereja protestan yang tidak diidentifikasi dengan

organisasi Protestan manapun. Pada pertengahan tahun 1980 Pak

Karel melaksanakan upaya pelembagaan Agama „Baru‟. Pelembagaan

institusi gereja yang berdenominasi Calvinist14 itu bertujuan untuk

masuk dalam skema pengaturan yang diakui negara, supaya institusi

pendidikan yang sekarang dikenal dengan STTB Meliau dapat

berdiri. Pendirian sekolah pemuridan yang konsen terhadap

kaderisasi para pendeta muda menunjukkan misi kekristenan yang

dilanjutkan Pak Karel makin mengakar di Nek Lhan.

Sebagai „Kebayan‟, Pak Karel memainkan peran yang signifikan

terhadap tanggungjawab yang dibebankan padanya. Seperti

mengubah relasi antara Agama „baru‟ dan hukum adat menjadi relasi

yang asimetris dengan cara menjaga martabat pemimpin Agama.

Karena religi „lama‟ sangat dekat dengan institusi keluarga orang

Dayak Desa, maka perhatian utama Pak Karel adalah rumah tangga

sebagai unit sosial terkecil untuk mensukseskan misi kekristenan. Hal

tersebut ditunjukkan oleh intensitas ibadah yang dilakukan setiap

minggunya. Selain Ibadah setiap minggu pagi yang dilaksanakan di

gereja, GBI Nek Lhan juga melaksanakan ibadah kebaktian rumah

tangga dua kali dalam seminggu yang dikhususkan bagi perempuan.

14 Calvinisme diartikan oleh weber sebagai suatu iman yang telah mengalami

perubahan yang besar karena perjuangan-perjuangan dalam bidang politik dan budaya. Perubahan paling mendasar adalah perubahan pandangan terhadap predestinasi sebagai sebuah dogma.

Page 82: Jurnal - Unsyiah

78 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

Upaya persuasif yang dilaksanakan oleh pihak gereja di Nek Lhan

tersebut didasarkan atas observasi Pak Karel yang melihat rumah

tangga sebagai penopang institusi keagamaan.

Selain upaya persuasif yang dilakukan oleh agensi gereja,

upaya frontal kadang diperlihatkan oleh pihak gereja ketika

berhadapan dengan ritual dan representasi kepercayaan religi „lama‟.

Pak Karel menceritakan suatu peristiwa yang sudah lama sekali

terjadi. Saat itu dia sedang mengunjungi salah satu keluarganya yang

juga masih bermukim di daerah Dayak Desa yaitu Kampung Kunyil.

Saat Pak Karel melihat rancak yang tergantung di dahan pepohonan,

parang pun dikeluarkan dari sarung dan lansung diayunkan ke

rancak tersebut.

Tindakan penghancuran rancak yang dilakukan oleh Pak Karel

merupakan permulaan tindakan perebutan representasi ruang religi

„lama‟ di tanah Dayak Desa. Hal tersebut menunjukkan fase baru

peran-peran frontal yang dimainkan oleh agensi gereja ketika

berhadapan dengan ritus dan penganut religi „lama‟. Tekanan

terhadap religi „lama‟ yang dilakukan pihak gereja memperoleh

momentum dengan adanya himbauan yang dikeluarkan oleh

pemerintah. Religi „lama‟ yang hubungannya erat dengan pengaturan

moral yang dimanifestasikan melalui hukum adat dikontruksi

kembali. Dengan menggunakan logika pasar, yaitu penghematan,

hukum adat dengan berbagai ritual dan syarat-syarat pelaksanaannya

mulai dinegosiasikan.

D. Moral Ekonomi Baru : More efficient, More Accumulate

Pada suatu pagi, bersama Pak Aden, saya duduk bersantai

dengannya sambil minum kopi. Saat itu hari sedang hujan, dan Pak

Page 83: Jurnal - Unsyiah

Ade Ikhsan Kamil | 79 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati

Aden tidak pergi menoreh. Sambil menemani Pak Aden mengisi

waktu luangnya, saya pun bertanya padanya tentang rencana masa

depan yang dibayangkan olehnya. “Bapak de, rencananya ini mau buka

kapling sawit lagi setelah Elvi selesai sekolah”. Pak Aden menjawab

dengan spontan. Elvi merupakan anak kedua dari tiga bersaudara

dan saat ini Elvi sedang bersekolah di Meliau pada salah satu Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK). Menurut penuturan Pak Aden, biaya

untuk Elvi perbulannya bisa mencapai satu juta rupiah. Oleh karena

itu, dalam perhitungan Pak Aden, jika Elvi sudah selesai sekolah,

maka Pak Aden mulai bisa memikirkan untuk menambah kapling

sawitnya. Terlebih lagi Pak Aden masih memiliki 5 bidang kebun

karet selain yang telah dijual kepada Pak Adit.

Berkaca pada cara kerja perusahaan dan cara kerja para tokeh

sawit di Dusun Pampang Dua, Pak Aden ingin menerapkan cara kerja

perusahaan dengan memasukkan tenaga kerja sebagai salah satu

variabel dalam bisnis sawit yang ingin dia geluti. Pak Aden berkata:

“Nanti, bapak akan membuka dan mengelola sawit seperti cara perusahaan de, dengan mengupah anak buah dengan upah harian, dan akan bapak bayarkan satu bulan sekali.

Peristiwa kedua yang saya alami yaitu saat saya dan beberapa

orang lainnya seperti Bang Yoce, Pak Aden, Gugun dan Inul sedang

menikmati makan pada suatu siang. Saat itu Pak Aden baru saja

membayar menjual kebun karet miliknya kepada Pak Adit untuk

membayar kapling sawit adik iparnya yang sering saya panggil

dengan nama Ongah Bulu. Setelah proses jual beli tersebut, praktis

Pak Aden memiliki dua kapling. Lalu pak aden berkelakar, “sudah ada

lah dua kapling de...tinggal mencari satu kapling lagi..untuk pas bagi mereka

bertiga”. Mendengar candaan seperti itu, anak Pak Aden yang

Page 84: Jurnal - Unsyiah

80 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

berumur dua belas tahun pun ikut dalam obrolan kami, tiba-tiba dia

lansung menyahut. “Opak, saya nanti dikasih kapling Ongah Bulu, kan

tanjung15”.

Peristiwa yang telah saya jelaskan diatas menunjukkan bahwa

bagaimana proses memilih dari beberapa pilihan yang tersedia yang

menjurus pada ide-ide tentang efisiensi dan akumulasi. Seperti Pak

Aden yang telah merencanakan untuk mulai memikirkan menambah

kapling sawit setelah Elvi selesai sekolah dengan pertimbangan

bahwa biaya yang selama ini Pak Aden keluarkan untuk sekolah Elvi

dapat dialihkan pada pembukaan lahan sawit dengan cara swakelola.

Dengan belajar dari cara kerja perusahaan DSP (Duta Surya Pratama)

dan beberapa tokeh yang telah sukses di Pampang Dua dan Nek

Lhan, Pak Aden berpikir bahwa dengan menambahkan tenaga kerja

yang diupah dalam rencana masa depannya maka hal itu sangat

mungkin untuk terwujud. Begitu juga dengan pilihan Inul terhadap

kapling sawit yang mudah untuk dipanen dan optimal ketika masa

pemupukan, serta pilihan dari anak-anak seperti Lila dan Bujang

Lexy ketika lebih memilih uang ketimbang memilih mainan.

Walaupun pilihan-pilihan lain tersedia, namun bagi mereka memilih

yang dapat ditukarkan dengan kondisi yang sedang mereka alami

saat ini merupakan pilihan yang logis dan benar.

Begitu juga dengan komentar yang diucapkan oleh Pak Agung

saat saya berada di hamparan sawitnya seluas 5 kapling (10 Ha), saat

sedang berdiri di samping kolam ikan miliknya yang berjumlah 9

15 Tanjung merupakan istilah kampung untuk menyebut salah satu klasifikasi

topografi dalam Dayak Desa. Tanjung berarti datar, dan untuk kapling sawit, kondisi tanah yang tanjung akan sangat digemari oleh petani sawit, karena lebih mudah untuk dipanen dan pemupukan lebih sempurna diserap oleh setiap pohon sawit.

Page 85: Jurnal - Unsyiah

Ade Ikhsan Kamil | 81 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati

kolam, Pak Agung berkata ; “Kita kekurangan modal bah disini de, kalau

ada modal, mudah bah bisnis disini, kita bisa sukses”. Begitulah komentar

Pak Agung yang masih merasa kekurangan modal saat dia berdiri di

atas hamparan sawit, kolam ikan dan peternakan miliknya. Baginya

modal berarti uang yang dapat diputarkan kembali dengan

mempekerjakan anak buah sepeti Bang Nepi dan Bang Arten.

Sehingga memiliki modal akan mendapatkan kesempatan untuk

mendapatkan nilai lebih (surplus) dengan cara mengakumulasi dalam

bahasa Marx (2004). Rumus umum kapital yang diperkenalkan oleh

Marx kiranya dapat memperlihatkan bagaimana warga Nek Lhan

seperti Pak Aden dan Pak Agung mempersepsikan basis material

tentang akumulasi dengan menggunakan uang dan tenaga kerja

seperti di bawah ini :

Ket : U = Uang K1 = Komoditi TK = Tenaga Kerja SP = Sarana Produksi P = Proses Produksi K2 = Komoditi hasil produksi U+AU = Uang yang mengandung nilai lebih

Sumber : Disadur ulang dari Dede Mulyanto (2013: 25)

Berdasarkan skema di atas terlihat bahwa modal yang

dimaksud oleh Pak Agung merupakan merupakan uang yang masuk

dalam sirkulasi kapital yang dapat menghasilkan nilai lebih atau

U K1

TK

SP

P K2 U+AU

Page 86: Jurnal - Unsyiah

82 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

valorisasi. Asumsi tersebut akan berjalan karena Pak Agung memiliki

tenaga kerja yang siap kapan saja untuk bekerja untuknya dalam

relasi kerja-upah. Oleh karena itu, tidak mengherankan walau Pak

Agung telah memiliki banyak aset, namun dia merasa belum

memiliki modal yang cukup untuk diputarkan kembali. Begitu juga

dengan asumsi yang dikatakan oleh Pak Aden bahwa dengan adanya

sumberdaya kapling sawit, pak Aden tinggal menambahkan tenaga

kerja dengan relasi kerja-upah sebagai salah satu unsur untuk

memperkuat bisnis yang akan dia kembangkan di kemudian hari.

Apa yang dibayangkan oleh Pak Aden dan Pak Agung yang

menganggap bahwa modal dapat berkembang dalam peredaran

dimana ada tenaga kerja dan produk yang dihasilkan merupakan cara

kerja kapital yang telah dikatakan oleh Marx (2004). Menurut Marx,

kapital hanya lahir dalam lingkungan peredaran serta dapat

memvalorisasi nilai, artinya dia memiliki asal usul apa dari kerja atau

berada dalam sebuah sirkulasi.

Melalui basis material, akumulasi sangat mungkin terjadi

seperti yang dibayangkan oleh Pak Agung dan Pak Aden. Oleh

karenanya, jika kita melihat apa yang telah disimpulkan oleh Weber

(1957) dalam spirit kapitalisme, bahwa ransangan atau impuls yang

sangat cocok dengan tindakan akumulasi ditemukan olehnya dalam

etika protestan seperti ide terhadap uang. Weber (1957) mengatakan

bahwa :

“Ingatlah, uang mempunyai sifat dapat berkembang dengan sangat cepat. Uang dapat beranak uang dan anak-anaknya menghasilkan anak dan seterusnya. Lima shilling diputarkan menjadi 6, kemudian menjadi 7 dan 3 pence dan selanjutnya menjadi 100 pound. Semakin banyak uangnya semakin banyak yang dihasilkan pada setiap putaran

Page 87: Jurnal - Unsyiah

Ade Ikhsan Kamil | 83 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati

sehingga keuntungannya akan terus meningkat lebih cepat dan cepat”.

Selain logika terhadap uang, sebelumnya Weber (1957) telah

mengatakan tentang efisiensi waktu, penggunaan waktu luang,

menikmati hasil kerja bukan dalam definisi yang hedonistis,

kejujuran, serta kredit sebagai upaya yang baik untuk dilakukan.

Menurut saya walau apa yang disampaikan oleh Marx (2004) dan

Weber (1957) dalam tataran yang berbeda, namun keduanya telah

menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara ideologi dan uang

serta cara kerja berbasis material. Kesamaan lainnya diantara Marx

dan Weber yaitu bentuk ideal masyarakat yang diramalkan oleh

keduanya dalam perspektif yang evolusionistik.

Selain akumulasi, efisiensi juga sebagai ide baru dalam

aktivitas ekonomi petani sawit di Nek Lhan. Efisiensi dan efektivitas

bukanlah sesuatu yang belum dikenal dalam kehidupan orang Dayak.

Seperti yang dicatat oleh Dove (1988: 53) ketika menganalisis luas

ladang yang dibuka oleh setiap kepala keluarga dan distribusi tenaga

kerja yang dibutuhkan. Contohnya semakin luas ladang maka

semakin efisien penggarapan dan semakin efisien pula penyelesaian

terhadap serangan hama tanaman. Juga masalah pemagaran dan

kesuburan ladang karena curah hujan dan sinar matahari yang

menyinari ladang. Namun efisiensi yang diperkenalkan oleh gereja

berbeda dengan ide terdahulu. Efisiensi yang diperkenalkan oleh

gereja lebih bertendensi terhadap upaya penghematan pada kegiatan

produksi, distribusi dan konsumsi. Namun, menurut Weber (1957:34)

efisiensi yang demikian merupakan musuh utama kapitalisme, Weber

(1957) menyebutnya dengan istilah tradisionalisme. Istilah

Page 88: Jurnal - Unsyiah

84 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

tradisionalisme yang dipahami oleh Weber (1957) yaitu dengan

menggunakan contoh bahwa keinginan bekerja hanya untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari saja (subsistensi), dan tidak

memikirkan efisiensi dari jam kerja dan hasil kerja yang akan

didapatkan dari suatu kerja borongan, artinya jika dapat dikerjakan

dalam sehari semua pekerjaan dan mendapatkan upah lebih banyak,

maka tidak harus menunggu untuk esok hari.

Dalam konteks Nek Lhan dimotori oleh hadirnya institusi

gereja, kata-kata pendeta diterima sebagai etika baru dalam aktivitas

produksi. Saya melihat hal itu dalam aktivitas produksi masyarakat

Nek Lhan. Dalam suatu kesempatan royong sawit dan beberapa

kegiatan ekonomi lainnya termasuk berladang, „Doa‟ untuk

mendapatkan keberkahan pekerjaan dan hasil yang lebih baik telah

menggantikan ritual dalam aktivitas produksi masyarakat Nek Lhan.

hal itu sejalan dengan himbauan lisan yang pernah diceritakan oleh

pendeta pada saya. „Penghematan merupakan jalan yang lebih baik untuk

dilakukan, apalagi saat ini, orang sudah tidak mampu untuk menggenapi

adat. Pak Aden juga berkata demikian, dalam dalil adat Dayak Desa,

dia mengatakan bahwa “yang berat diringankan, yang ringan

dihilangkan”, begitulah penyesuaian dalil adat terhadap

perkembangan ide-ide yang menjurus terhadap efisiensi dalam

aktivitas produksi dan kehidupan sehari-hari. Mengganti „doa‟

dengan sesajian telah menunjukkan bahwa kegiatan ritual merupakan

pemborosan dan kegiatan sia-sia yang harus segera ditinggalkan,

khususnya dalam aktivitas produksi.

Page 89: Jurnal - Unsyiah

Ade Ikhsan Kamil | 85 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati

E. Kesimpulan ; Refleksi Terhadap Perubahan Agama Dan Sistem Ekonomi Di Nek Lhan

Di acara manusia dalam pekerjaan tuhan, itulah musuh aku. Jadi kutarik parang, kusembat, lalu jatuh am”

Kristen Protestan di Nek Lhan merupakan agama baru jika

ditelisik secara historis. Pak Karel tiba di Nek Lhan dalam rangka

meneruskan tugas zending di Nek Lhan. Berbagai gagasan baru

diperkenalkannya seperti gagasan tentang Tuhan yang memberi

keselamatan, pendidikan, hidup hemat, serta rasional sehingga secara

gradual kepercayaan dan praktik religi lama dengan segala ritualnya

mulai dianggap tidak logis lagi untuk dilaksanakan.

Dominasi gereja terlihat dari rutinitas praktik ibadah yang

semakin intens dilaksanakan, 3 kali dalam seminggu masyarakat Nek

Lhan akan berkumpul untuk ibadah di geraja dan ibadah kebaktian

rumah tangga. Selain praktik keagamaan mingguan, para pendeta

yang menjadi agensi gereja berperan dalam berbagai kegiatan sosial

dan „tradisi‟ yang dulunya merupakan praktik religi lama. Pendeta

berperan dalam ritual daur hidup mulai dari kelahiran, pernikahan

dan kematian. Bahkan penguburan kedua (secondary burial) yang

seringkali menjadi perhatian dari ritus religi Dayak bergeser menjadi

pemugaran kubur sahaja.

Tekanan terhadap religi lama terlihat saat religi lama dianggap

sebagai tradisi. Saat berhadapan dengan praktik agama baru, ritual

religi lama dianggap sebagai sebuah paradoks. Sesajian, rancak dan

kegiatan berdewa yang seyogyanya dilakukan oleh keluarga batih

terlihat sebagai praktik ritual yang individualis, hal yang sangat

Page 90: Jurnal - Unsyiah

86 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

berlawanan saat praktik ibadah di gereja yang dilaksanakan secara

kolektif dan beban untuk pelaksanaan ibadah tidak memerlukan

biaya yang banyak. Oleh karena itu, saat ini praktik ritual religi lama

merupakan hal yang lucu bahkan menjadi hal yang sia-sia untuk

dilaksanakan lagi. Sehingga tidak mengherankan saat terjadi

penghancuran rancak.

Pertentangan tersebut menemukan momentum saat aspek-

aspek religi lama dalam ritual seperti sesaji, rancak dan pohon yang

digunakan untuk melepaskan sesajian tidak lagi terlihat di Nek Lhan.

Praktik ritual yang menjadi inti dari kehidupan masyarakat Dayak

benar-benar telah hilang. Namun sumbu praktik ritual yakni praktik

ekonomi lama yang menjadi tumpuan secara timbal balik masih

dipraktikkan sampai saat ini. Paradoks tersebut terjadi karena gereja

memperkenalkan masa depan yang „lebih baik‟ seperti pendidikan

formal, hidup hemat, dan rasional dan itu hanya cocok dengan

ekonomi berbasis komoditas seperti kelapa sawit yang membawa

semangat akumulatif. Akumulasi menjadi jalan satu-satunya untuk

mengejar keselamatan masa depan. Sehingga setiap orang dapat

merasakan pendidikan, dapat menabung, dan tidak perlu lagi untuk

takut dan was-was terhadap aturan-aturan religi lama seperti barang

cabuh, kemponan dan Male’.

F. Referensi

Bahruddin. 2010 “Pergeseran Institusi Kesejahteraan di Masyarakat Kesukuan ; Studi Jaminan Sosial Tradisional di Masyarakat Suku Sentani Papua”. Tesis Pascasarjana Ilmu Antropologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Page 91: Jurnal - Unsyiah

Ade Ikhsan Kamil | 87 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati

Baird, Ian G. 2009. Identities and Space. The Geographies of Religious Change amongst the Brao in Northeastern Cambodia. pp. 457-468. Accessed from http://www.jstor.org/stable/40467185.

Chidester, David. And Linenthal, Edward T. (ed). 1995. American Sacred Space, Introduction. Indianapolis: Indiana University Press

Dahniar, Edlin. 2013. Ibarat Pisang, Kami Masih Satu Tandan ; Relasi Sosial Kelompok Melayu dan Dayak Kancing’k. Tesis Pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan.

Fridolin Ukur, dkk. 1994. Kebudayaan Dayak ; Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta: PT. Grasindo

Jimmy Kasie. Sejarah Singkat STTB Meliau ; Program Sekolah Penginjilan (STPB). Diakses dari http://sttbethelmeliau.blogspot.com/2012/11/sejarah-singkat-sttb-meliau.html

Marx, Karl. Kapital I ; Seri Kritik Ekonomi Politik. Terj. Hasta Mitra. Yogyakarta.

Metcalf, Peter, 1981, “Meaning and Materialism: The Ritual Economy of Death,” Man, New Series 16(4):563-578.

Michael R. Dove (1988), Sistem Perladangan Indonesia; Suatu Studi Kasus Di Kalimantan Barat. Yogyakarta: UGM Press

Miles, Douglas, 1965, Socio-Economic Aspects of Secondary Burial. Oceania 35(3):161-174.

Mulyanto, Dede. 2013. Pelajaran dari Rumus Umum Kapital. Disampaikan pada Diskusi Ngaji Kapital di Masjid Jenderal Sudirman Komplek Kolombo Yogyakarta.

Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun – Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Rudi Gunawan. Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Kuwalan di Hulu Sungai Buayan. Laporan TPL Meliau 2010. Jurusan Antropologi Budaya.

Sather, Clifford. 1977. Nanchang Padi ; Symbolism of Saribas Iban First Rites Harvest. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 50(2):150-170

Page 92: Jurnal - Unsyiah

88 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

Sellato, Bernard. 2002. Innermost Borneo ; Studies in Dayak Cultures. Singapore: Singapore University Press.

Soehadha, Moehammad. “Aruh Menjaga Beras Kami ; Religi, Subsistensi, dan Kapitalisme Negara dalam Pengembangan Produksi Pangan di Loksado.”Disertasi Pascasarjana Ilmu Humaniora. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Tsing, Anna Lowenhaupt. Friction : An Ethnography Of Global Connection. New Jersey. Princeton University Press.

Twikromo, Argo. (2011). Memahami Realitas Kehidupan: Berbagi Pengalaman Dalam Penelitian Etnografi. Dalam Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi. Aspikom. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo

Wadley and Carol. 2002. Sacred Forest, Hunting and Conservation in West Kalimantan, Indonesia. Human Ecology 32(3): 313-338. Accessed from Jstor.org.

Weber, Max. 1957. Terj. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Jakarta: Pustaka Pelajar

Page 93: Jurnal - Unsyiah

Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 89 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)

KONSTELASI POLITIK ACEH PASCA MoU HELSINKI

(2006-2015)

Siti Ikramatoun Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Email: [email protected]

Khairul Amin Program Studi Magister Sosiologi

Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe Aceh Indonesia

Email: [email protected]

Abstract

The tsunami disaster in December 2004 was the momentum of Aceh peace which resulted in the Helsinki MoU on August 15, 2005. After that, the political constellation and contestation in Aceh were not dominated by national parties but was influenced by the local dimension, namely the local party and former members of the movement who are involved in practical politics. Political stages as a new means of struggle to realize the ideals of post-peace produce satisfying results, former combatants and local parties succeed in winning Aceh political contestation. its means that the people of Aceh have high expectations to local parties to build Aceh. Thus, the decline of the national party since the 2009 election shows that public trust for the national party is very low. The victory of local parties in political contestation in Aceh would certainly be a signal for national parties to make changes to accommodate local interests and movement's actors in a composition of the party in Aceh.

Keywords: Political Constellation, Local Party, Aceh

Abstrak Peristiwa Tsunami pada bulan Desember 2004 merupakan pintu masuk penyelesaian konflik Aceh yang kemudian membuahkan hasil dengan ditandatanganinya MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Pasca itu, konstelasi dan kontestasi politik di Aceh sudah tidak lagi didomiasi oleh pusat, tetapi sudah diwarnai oleh dimensi lokal, yakni partai lokal dan mantan-mantan anggota pergerakan yang terjun ke politik praktis. Panggung politik sebagai alat perjuangan baru mantan anggota GAM dalam mewujudkan cita-cita perjuangan

Page 94: Jurnal - Unsyiah

90 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

pasca perdamaian membuahkan hasil yang cukup memuaskan, mantan kombatan dan partai lokal berhasil memangkan kontestasi politik pasca perdamaian. Kemenangan tersebut menunjukkan bahwa pasca damai, masyarakat menaruh harapan yang besar terhadap partai lokal sebagai wadah baru dalam membangun Aceh dan tidak terlalu terikat kepada pusat. Selain itu, kekalahan partai-partai nasional sejak pemilu tahun 2009 menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap partai-partai nasional yang masih “berpusat” di Jakarta sangat rendah. Kemenangan partai lokal dalam setiap kontestasi politik di Aceh tentunya menjadi sinyal bagi partai nasional untuk melakukan perubahan, yaitu mengakomodir kepentingan lokal sekaligus aktor pergerakan dalam komposisi partai agar partai nasional dapat kembali ikut memanangi kontestasi politik di Aceh.

Kata Kunci: Konstelasi Politik, Partai Lokal, Aceh, MoU

A. Pendahuluan

Kondisi sosial masyarakat Aceh masih belum stabil meski

MoU Helsinki telah ditandatangani pada tangga 15 Agusutus 2005.

Berbagai ketimpangan yang diakibatkan oleh konflik panjang selama

30 tahun masih meninggalkan bekas mendalam, masih ada

kecurigaan antar masyarakat Aceh, dan konflik-konflik kecil yang

diakibatkan oleh kecemburuan sosial juga masih terjadi (Imparsial,

2006: 1-3). Keterbukaan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan

pemerintah Indonesia untuk melangsungkan perdamaian mendapat

apresiasi dari berbagai kalangan, terutama masyarakat Aceh yang

mengharapkan konflik segera berakhir. MoU Helsinki juga menjadi

kepuasan sendiri bagi masyarakat Aceh, selain menjadi “kontrak”

perdamaian, MoU Helsinki juga diharapkan menjadi pintu untuk

membangun Aceh.

Page 95: Jurnal - Unsyiah

Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 91 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)

Pasca Mou Helsinki, sebagaimana yang telah disepakati oleh

tim juru runding GAM dan pemerintah Republik Indonesia,

implementasi butir-butir MoU Helsinki akan diserahkan kepada

badan legislatif, yaitu DPR-RI. Dalam proses ini, perdebatan di

perlemen terjadi cukup alot, perumusan UUPA ternyata juga menuai

protes di kalangan masyarakat. Isu pemekaran wilayah Aceh

kembali menguat pada masa ini setelah sebelumnya sempat

muncul pada tahun 2001. Pemekaran wilayah basis Aceh Tengah dan

pesisir selatan kembali muncul dengan alasan penolakan terhadap

UUPA (imparsial, 2006: 12-13). Namun penolakan tersebut tidak

menghambat pembahasan rancangan undang-undang kekhususan

Aceh tersebut yang menurut MoU Helsinki, harus diimplementasikan

mulai Maret 2006. Akhirnya setelah semua pihak menemukan

kesepakatan, undang-undang tentang penyelenggaraan

pemerintahan Aceh disahkan oleh DPR-RI dan ditanda tangani oleh

presiden SBY tanggal 1 agustus 2006 dan berlaku mulai saat itu

juga. Namun, pasca pengesahan UUPA tersebut ternyata polemik

masih berlanjut. Pro kontra kembali terjadi terkait limplementasi

UUPA, terutama terkait dengan butir-butir MoU yang tertuang dalam

UUPA.

Secara sosiologis, MoU Helsinki dan UUPA telah merubah

sendi-sendi sosial politik dan ekonomi masyarakat Aceh. Kontestasi

politik Aceh berubah setelah MoU dan UUPA memberikan

kekhususan kepada Aceh, terutama bagi mereka mantan pelaku

konflik untuk terjun ke politik praktis. Mantan anggota Gerakan

Aceh Merdeka diberikan hak untuk membentuk partai politik yang

berbasis etnis atau regional dan ikut dalam pemilu lokal. Hal itu

Page 96: Jurnal - Unsyiah

92 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

dilakukan oleh pemerintah pusat sebagai imbalan untuk

menghentikan perjuangan bersenjata dan menuntut kemerdekaan

(Hillman, 2012). Hal ini tentu berdampak pada konstelasi politik di

Aceh yang menjadi “arena pertaruangan” baru pasca konflik, dan

proses tersebut secara otomatis memberikan dampak yang signifikan

pada dinamika kehidupan masyarakat Aceh. Untuk itu, artikel ini

bermaksud mengkaji tentang bagaimana konstelasi politik Aceh pasca

MoU Helsinki dalam rentang waktu 2006-2015. Dalam menyelesaikan

tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan model

studi kasus, dan data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil

wawancara, observasi serta penelusuran dokumen-dokumen yang

terkait dengan tema tulisan ini.

B. Tsunami dan Momentum Perdamaian Aceh

Desember 2004 merupakan momen yang tidak terlupakan bagi

masyarakat Aceh, ketika gempa dan Tsunami meluluh lantakkan

daratan Aceh dan membungkam konflik berkepanjangan di Aceh.

Kawilarang (2010) dan Murizal Hamzah (Tornquist, 2010),

menyebutkan bahwa Tsunami menjadi pintu bagi penyelesaian

konflik Aceh melalui perdamaian, terutama setelah pemerintah

mengumumkan bahwa rehabilitasi dapat dilaksanakan jika keamanan

di Aceh terjamin. GAM dan pemerintah Republik Indonesia

kemudian sepakat untuk mengadakan pertemuan dan membahas

tentang perdamaian Aceh.

Beberapa pertemuan dilangsungkan, terakhir pertemuan

difasilitasi oleh Crisis Management Inisiative (CMI) yang dipimpin oleh

Marti Ahtisaari, mantan presiden Finlandia. Tim perundingan GAM

terdiri dari perdana menteri GAM Malik Mahmud, menteri luar

Page 97: Jurnal - Unsyiah

Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 93 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)

negeri GAM Zaini Abdullah, beberapa elit GAM seperti Nur Djuli,

Bakhtiar Abdullah, Nurdin AR, Irwandi Yusuf, Munawar Liza dan

beberapa anggota lainnya. Tim perundingan GAM dibantu oleh

penasehat politik Dr. Damien Kingsbury (Kingsbury, 2006: 165).

Pemerintah Republik Indonesia mendelegasikan tim perundingan

yang terdiri dari Hamid Awaluddin, Jendral Widodo AS, Sofyan

Djalil, Farid Husein, dan beberapa anggota pemerintahan lainnya

(Kingsbury, 2006: 23). Dalam konteks perundingan itu, tidak bisa

dipungkiri bahwa Jusuf Kalla yang baru terpilih sebagai wakil

presiden saat itu memiliki peran penting dalam proses perdamaian

ini. SBY dan Kalla memainkan soft power sebagai pendekatan dalam

menyelesaikan konflik Indonesia saat itu, terutama konflik Ambon,

Poso, dan Aceh.

Prasetyo dan Aditjondro (lihat selengkapnya dalam Tornquist,

2010: 229-276), mengatakan bahwa Kalla memainkan peran yang lebih

gesit dalam proses perdamaian dibandingkan SBY. Sebagai pebisnis

ulung, Kalla lebih menonnjolkan prinsip-prinsip bisnis dalam

menyelesaikan konflik melalui perdamaian. Namun, strategi

„perdamaian berorientasi laba‟, dalam bahasa Prasetyo dan

Aditjondro, hanya berhasil dijalankan Kalla di Ambon dan Poso.

Strategi tersebut tidak dapat dijalankan di Aceh karena keterlibatan

dunia internasional dalam kegiatan bantuan kemanusiaan dan

rekonstruksi pasca Tsunami. Strategi yang dimainkan Kalla di Ambon

dan Poso juga ditolak oleh GAM. Hal itu mungkin karena GAM

sudah memiliki orientasi sendiri terhadap perdamaian Aceh. Jika

dikaitkan dengan perjanjian Jenewa dan kata-kata Hasan Tiro bahwa

seluruh dunia akan datang membantu Aceh, itu artinya GAM punya

Page 98: Jurnal - Unsyiah

94 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

posisi tawar yang cukup kuat dalam hal ini, komponen masyarakat

dunia menjadi “backing” GAM untuk melaksanakan perdamaian

dengan mengakomodasi semua kepentingan GAM. Dalam persiapan

untuk melaksanakan perdamaian,tim perundingan GAM kemudian

merumuskan beberapa poin “permintaan” terhadap pemerintah

Indonesia. Mereka menyiapkan plan A dan plan B sebagai opsi dalam

proses negosiasi. Poin penekanan permintaan GAM adalah tentang

self-governing Aceh, sekilas, Aceh seperti negara bagian dari

Indonesia. Salah satu poinnya adalah nama provinsi Aceh akan

diganti menjadi pemerintahan wilayah Aceh (self-governing wilayah of

Aceh). Terkait hal ini, tim perundingan pemerintah republik Indonesia

merasa keberatan dengan self-governing yang diajukan GAM karena

dianggap terlalu sensitif. Persoalan ini hampir membuat jalan

perdamaian buntu, namun akhirnya kedua belah pihak sepakat

dengan penggunaan kata “governing Aceh” bagi pemerintahan Aceh

(Kingsbury, 2006).

Kesepakatan itu pada akhirnya mencapai titik temunya dengan

penandatanganan draft MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.

Kontrak sosial politik antara GAM dan pemerintah republik

Indonesia ini secara umum mengatur tentang proses rekonsiliasi dan

reintegrasi anggota GAM ke dalam masyarakat Aceh, disamping juga

mengatur tentang kekhususan bagi Aceh. Butir pertama dalam MoU

menegaskan pembentukan Undang-undang baru tentang

pemerintahan Aceh. Melalui undang-undang ini, Aceh mendapatkan

kewenangan yang luas dalam sektor publik, meskipun terbatas pada

bidang tertentu (dokumen MoU Helsinki, 15 Agustus 2005).

Page 99: Jurnal - Unsyiah

Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 95 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)

C. Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)

Pasca perdamaian menggema di Aceh, Undang-undang

Pemerintah Aceh (UUPA) disahkan, pihak Aceh Monitoring Mission

( AMM)1 yang bertugas mengawasi implementasi MoU mengambil

beberapa langkah untuk proses rekonsiliasi dan reintegrasi,

dibentuklah badan khusus untuk menaungi proses reintegrasi mantan

anggota GAM, yaitu Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Dengan undang-

undang yang telah dibentuk tentang kekhususan Aceh dalam

penyelenggaraan pemerintahan, proses rekonsiliasi dan rehabilitasi

selanjutnya tidak hanya meleburkan mantan anggota GAM ke dalam

kehidupan masyarakat Aceh, namun juga mentransformasi gerakan

perjuangan dan mengantar GAM ke dalam panggung politik.

1) Rekonsiliasi dan Transformasi Politik

Sebagai langkah awal proses rekonsiliasi pasca MoU, Aceh

Monitoring Mission ( AMM) meminta GAM untuk membubarkan

struktur keorganisasiannya agar menghilangkan kesan „separatisme‟

dari mantan anggota GAM. GAM kemudian membubarkan struktur

organisasinya, dan mengubahnya menjadi Komite Peralihan Aceh

(KPA). KPA pada awalnya dibentuk untuk menjaga kendali dan

sebagai sumber atau data informasi tentang mantan simpatisan

GAM. Namun dalam perkembangannya, organisasi ini justru

menjadi organisasi yang eksklusif dan elitis, tertutup bagi kelompok

di luar mantan simpatisan GAM. Akibatnya dalam proses

rekonsiliasi, KPA tidak hanya mengalihkan GAM dari gerakan

bersenjata menjadi gerakan sipil, namun dengan berbagai

1 Aceh Monitoring Mission (AMM) merupakan delegasi dari Uni Eropa untuk

memantau perdamaian Aceh.

Page 100: Jurnal - Unsyiah

96 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

kekhususan yang tercantum dalam MoU, KPA ini juga seolah-olah

berubah menjadi gerakan politik. (Basyar, 2008: 36-37, 91). Dan

secara struktual, tidak ada perubahan yang cukup signifikan dalam

susunan kepengurusan GAM dan KPA. Langkah ini dianggap

praktis dan taktis untuk memudahkan konsolidasi dalam proses

reintegrasi. Tugas KPA dimulai dari pemberdayaan ekonomi dan

reintegrasi mantan pejuang hingga berfungsi pula sebagai basis bagi

organisasi dan diskusi politik. Para pemimpin GAM juga lega karena

tetap menduduki posisi seperti semula, misalnya seperti panglima

GAM yang beroperasi di tingkat lokal, dalam struktur KPA, ia

menjabat sebagai kepala kantor KPA wilayah (Tornquist, 2010: 244).

Ketika UUPA dibentuk, qanun tentang partai politik lokal

disahkan, peluang bagi GAM untuk bertransformasi menjadi partai

politik lokal terbuka lebar. Akhirnya GAM dengan wadah KPA

membentuk Partai Aceh (PA) dan bersamaan dengan partai politik

lokal yang dibentuk GAM tersebut, muncul sejumlah partai politik

lokal lain dalam kontestasi panggung demokrasi Aceh. Kantor

wilayah Departemen Hukum dan HAM, dan KIP (Komisi

Independen Pemilihan) melakukan verifikasi terhadap sejumlah

partai lokal dan menyatakan hanya 6 (enam) partai lokal yang

memenuhi syarat, yaitu Partai Aceh yang digawangi oleh elit GAM,

Partai Aceh Aman Sejahtera yang dibentuk oleh tokoh politik senior

Ghazali Abas Adan, kemudian Partai Bersatu Aceh yang dipimpin

oleh Ahmad Farhan Hamid, Partai Daulat Aceh yang diinisiasi oleh

kelompok ulama, Partai Rakyat Aceh, dan Partai Suara Independen

Rakyat Aceh (SIRA). Dua partai terakhir dibentuk oleh mahasiswa

yang aktif dalam gerakan 98 dan referendum. Keenam partai politik

Page 101: Jurnal - Unsyiah

Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 97 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)

lokal tersebut memiliki konstituen masing-masing yang menjadi basis

sosial di masyarakat. Mereka mendapatkan kesempatan bertarung

dalam pemilihan legislatif tahun 2009 (Gade, 2012: 60-63;

Kawilarang, 2010: 183-205).

Bagi GAM, partai lokal menjadi wadah perjuangan yang baru,

dengan sedikit mengubah haluan dari perjuangan bersenjata menjadi

perjuangan politik. GAM mendirikan Partai Aceh sebagai wadah

partisipasi politik. Partai Aceh pada awalnya bernama partai GAM

dengan lambang yang persis dengan bendera Aceh Merdeka. Nama

GAM beserta lambangnya mendapat penolakan dari Jakarta karena

berlawanan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa nama dan

lambang partai politik tidak boleh mengandung unsur-unsur yang

berkaitan dengan separatisme. Hal ini mengecewakan GAM pada

mulanya, namun akhirnya mereka mengubah nama dan lambang

benderanya menjadi Partai Aceh. Partai ini secara otomatis didukung

oleh sebagian besar mantan pejuang gerakan Aceh merdeka,

terutama yang berada di tiga wilayah pesisir utara Aceh yang

menjadi basis GAM semasa konflik. GAM menyadari bahwa sebagian

besar masyarakat Aceh masih memperhitungkan ulama dan mereka

menyadari persaingan dengan PDA yang didirikan oleh kelompok

ulama dengan basis HUDA, wadah organisasi ulama tradisional

Aceh. Oleh karena itu, GAM membentuk MUNA (Majelis Ulama

Nanggroe Aceh) sebagai basis dukungan ulama (Kawilarang, 2010:

200-202).

Pada akhir tahun 2011, sebagian mantan anggota Partai Aceh

mendeklarasikan Partai Nasional Aceh (PNA) yang digawangi oleh

Irwandi Yusuf dan beberapa “pentolan” GAM lainnya seperti Sofyan

Page 102: Jurnal - Unsyiah

98 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

Dawood, Muharram Idris, dan lainnya. Sementara angkatan tua GAM

memilih tetap berada dalam Partai Aceh yang dipimpin oleh

Muzakkir Manaf. Pada fase berikutnya, PNA bahkan menjadi saingan

politik PA yang paling kuat. Selain PNA, lahir pula dua partai politik

lokal lainnya, yaitu Partai Damai Aceh (PDA) dan Partai Sira, untuk

mengikuti pemilihan legislatif 2014 (Gade, 2012: 64).

2) Pemilihan Umum: GAM dalam Demokrasi

Tahun 2004 menjadi tahun politik dan demokrasi Indonesia.

Pemilihan langsung tidak hanya berlaku bagi anggota DPR namun

juga pemilihan presiden. Pasca pemilu 2004, pemilihan langsung juga

diberlakukan untuk pemilihan kepala daerah. Di Aceh, ini juga

merupakan fase baru setelah konflik panjang membuat ketidak

stabilan sosial-politik dan ekonomi Aceh. Disamping itu, adanya

peraturan baru tentang pencalonan jalur independen bagi calon

kepala daerah, dan eksistensi partai politik lokal mewarnai proses

demokrasi Aceh yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia.

Menghadapi pemilihan kepala daerah tahun 2006, KPA

sebagai wadah integrasi politik mantan anggota GAM menyiapkan

diri untuk ikut serta dalam pemilu. Dalam proses pencalonan kepala

daerah, sempat terjadi perpecahan dalam tubuh Komite Peralihan

Aceh (KPA) pusat terkait siapa yang akan diusung sebagai calon

kepala daerah. Perpecahan ini terjadi antara kelompok tua yang

selama konflik lebih banyak bermukim di Swedia, dengan kalangan

muda yang berperang di Aceh. Kelompok tua yang dipelopori oleh

Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Zakaria Saman, dan Muhammad

Usman Lampoh Awe mendukung pasangan calon Humam Hamid

dan Hasbi Abdullah sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.

Page 103: Jurnal - Unsyiah

Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 99 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)

Sementara kelompok muda seperti Nur Djuli, Bakhtiar Abdullah,

Sofyan Dawood, mendukung pasangan Irwandi Yusuf dan

Muhammad Nazar. Pasangan Humam Hamid dan Hasbi Abdullah

akhirnya mendapatkan dukungan dari Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) dan diusung oleh partai tersebut. Sementara

pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar maju melalui jalur

independen yang didukung oleh koalisi KPA dan SIRA (Torquist,

2010: 334-335).

Selain kedua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur

tersebut, ada enam pasangan calon lain yang mendaftarkan diri

dalam pertarungan pilkada 2006 ini. Malik Raden berpasangan

dengan Sayeg Fuad Zakaria diusung oleh koalisi beberapa partai

nasional (Golkar, PDIP, Demokrat dan PKPI), kemudian pasangan

Azwar Abubakar dan Nasir Djamil diusung oleh PAN dan PKS,

lalu Ghazali Abbas Adan dan Salahuddin Alfata maju melalui jalur

independen yang berbasiskan masyarakat sipil. Selanjutnya Partai

Bulan Bintang (PBB) mengusung pasangan Iskandar Hoesin dan

Saleh Manaf, gabungan partai nasional lainnya PBR, PPNUI dan PKB

mengusung Tamlicha Ali dan Harmen Nuriqman. Terakhir pasangan

Djalil Yusuf dan Syauqas Rahmatillah maju melalui jalur independen.

Semua pasangan memiliki basis sosial masing-masing, terutama

pasangan calon yang diusung oleh partai politik. Demikian pula

dengan pasangan yang maju melalui jalur independen, mereka juga

memiliki pengaruh yang cukup kuat.

Beberapa lembaga survei memprediksikan bahwa pemilihan

gubernur dan wakil gubernur ini akan berlangsung dalam dua

putaran dan akan dimenangkan oleh pasangan calon yang diusung

Page 104: Jurnal - Unsyiah

100 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

oleh partai politik nasional. Menurut IFES, kondisi sosial masyarakat

Aceh pasca konflik dan tsunami akan menghambat pasangan calon

untuk mendulang suara lebih dari 26%. Sementara LSI

memprediksikan bahwa pemilihan gubernur akan dimenangkan oleh

pasangan calon dari partai nasional seperti Golkar dan PAN. Hal ini

dipengaruhi oleh popularitas pasangan calon yang pernah

mendapatkan posisi jabatan, sementara pasangan dari kalangan GAM

kemungkinan akan mendapatkan penolakan dari beberapa kelompok

seperti kelompok anti separatis dan lainnya.

Namun pada kenyataannya, kemenangan diperoleh oleh

pasangan calon yang memiliki hubungan erat dengan GAM dan

maju melaui jaur independen, yaitu pasangan Irwandi Yusuf dan

Muhammad Nazar. Secara sosiologis, pasangan calon tersebut tidak

memiliki basis sosial politik sebagaimana partai-partai nasional pada

umumnya. Keterkaitan kedua pasangan calon dengan GAM akan

mengurangi dukungan dari kelompok anti separatis. Secara

popularitas, keduanya juga tidak terlalu populer dibandingkan

dengan beberapa pasangan calon yang pernah memiliki jabatan

seperti Azwar Abubakar. Namun tak dapat dielakkan bahwa

pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar tampil sebagai

pasangan alternatif yang menjadi harapan baru masyarakat ketika

partai-partai nasionalis dianggap lebih pro pada kepentingan Jakarta

dibandingkan kepentingan rakyat. Kemenangan Irwandi Yusuf dan

Muhammad Nazar dalam pemilu ini merupakan proses awal

reintegrasi GAM dalam sistem politik Aceh yang kemudian

membawa pengaruh pada proses politik berikutnya.

Page 105: Jurnal - Unsyiah

Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 101 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)

1 1 1 1 1

4 4 5

8 10

33

PBBPKB

PatriotPKPIPDAPPPPKS

PANGolkar

DemokratPA

Jumlah Perolehan Kursi

Partai Politik Dalam Pemilu

Anggota DPR Aceh Tahun

2009

3) Kontestasi Politik; Partai Lokal vs Nasional

Dalam tatanan Aceh yang baru pasca perdamaian, pemilihan

umum legislatif Aceh sedikit berbeda dengan daerah lain di

Indonesia, dengan keikutsertaan partai politik lokal yang memberi

warna baru dalam proses pemilihan. Pemilihan legislatif ini juga

menjadi wujud pelaksanaan proses reintegrasi pasca perdamaian.

Pemilihan legislatif pertama yang dilakukan pada tahun 2009

merupakan awal kebangkitan demokrasi di Aceh. Pemilihan ini

diikuti oleh 34 partai politik nasional ditambah 6 partai politik lokal

(Gade, 2012:64). Partai-partai nasional yang sebelumnya menguasai

DPR Aceh harus bersaing dengan partai-partai lokal yang baru lahir

setrelah perdamaian. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan bagi

partai nasional, karena keberadaan partai nasional masih sering

dikaitkan dengan politik Jakarta yang masih terkesan memarjinalkan

Aceh. Kehadiran partai lokal membawa harapan baru bagi

masyarakat Aceh yang terkesan lebih pro rakyat Aceh.

a) Pemilihan Legislatif

Dalam pemilihan umum yang

dilaksanakan serentak di seluruh

Indonesia pada tanggal 9 april 2009,

partai Aceh menang mutlak di

sejumlah kabupaten/kota di Aceh,

juga di tingkat provinsi. Secara

mutlak Partai Aceh menguasai

hampir 50% kursi parlemen DPR Aceh.

Partai Aceh mendapatkan 33 kursi dari

jumlah 69 kursi. Jumlah kursi yang diperoleh PA bahkan jauh

Page 106: Jurnal - Unsyiah

102 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

berbeda dengan kursi partai Demokrat yang menjadi pemenang

pemilu secara nasional. Partai Aceh yang baru muncul dan pertama

kali ikut dalam pemilihan legislatif mampu menggeser posisi partai-

partai nasional yang sudah lama berkecimpung dalam dunia politik

Aceh. Kemengang Partai Aceh dalam pemilihan legislatif ini

menunjukkan bahwa Partai Aceh yang merupakan representasi GAM

pada masa lalu masih memiliki kekuatan basis sosial yang kuat di

kalangan grassroot, dan basis sosial tersebut erat dipengaruhi oleh

kondisi konflik masa lalu.

Kemenangan PA dalam pemilu legislatif Aceh tersebut

kemudian memperluas keikutsertaan mantan anggota GAM dalam

politik kekuasaan Aceh. Karena selain kemenangan di legislatif, GAM

bersama KPA sebelumnya juga telah memperoleh kemenangan

untuk pasangan Irwandi-Nazar pada pemilihan kepala daerah

tahun 2006. Di satu sisi kemenangan partai Aceh bisa saja dilihat

sebagai kemenangan rakyat yang membawa harapan baru dalam

pemerintahan Aceh. Namun di sisi lain, dominasi partai Aceh dan

mantan pejuang GAM ini bisa dianggap membahayakan

birokrasi dan sistem demokrasi Aceh. Kemenangan ini menjadi

tiket untuk kembali bertarung dalam pemilihan legislatif tahun

2014.

Sebelum pemilihan legislatif tahun 2014, sebagian pendukung

Partai Aceh membentuk Partai lokal baru, yaitu PNA, yang juga

memiliki basis yang sama dengan PA. Secara sosiologis, konsentrasi

massa yang sebelumnya menjadi basis sosial PA akan terpecah, dan

tentu akan mempengaruhi perolehan suara dan kursi DPRA.

Pemilihan legislatif 2014 juga sangat menentukan karena banyak

Page 107: Jurnal - Unsyiah

Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 103 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)

8

1

4

9

3

8

7

6

1

3

29

1

NasDem

PKB

PKS

Golkar

Gerindra

Demokrat

PAN

PPP

PDA

PNA

PA

PBB

Jumlah Perolehan Kursi

Partai Politik Dalam

Pemilu Anggota DPR Aceh

Tahun 2014

yang meramalkan bahwa partai

politik lokal paling lama hanya

bertahan 2 periode atau sekitar 10

tahun. Tentu ini menjadi tantangan

besar bagi GAM untuk

mempertahankan posisi dalam

struktur pemerintahan Aceh. Di

tingkat nasional, KPU melakukan

seleksi terhadap partai-partai politik

yang akan mengikuti pemilu 2014.

Ada 12 partai yang lolos seleksi secara

nasional, yaitu NasDem, PKB, PKS, Golkar, Gerindra, Demokrat,

PPP, PAN, PDIP, Hanura, PBB, dan PKPI. Sementara di Aceh,

pemilihan diikuti oleh 10 partai nasional di tambah tiga partai

politik lokal yang telah lolos seleksi, yaitu PA, PNA, dan PDA. Hasil

pemilu yang dilaksanakan secara serentak pada 9 April 2014 ini,

secara nasional dimenangkan oleh PDIP dengan perolehan suara

sekitar 18,95 persen suara. Hasil ini ternyata juga tidak berlaku di

Aceh yang sama sekali tidak memberikan tempat kepada PDIP.

Kursi DPR Aceh ternyata tetap didominasi oleh Partai Aceh yang

mendapatkan 29 kursi dari jumlah 81 kursi. Jumlah ini memang lebih

sedikit dibandingkan periode sebelumnya. Sementara itu, Partai

Nasional Aceh yang menjadi rival Partai Aceh hanya mendapatkan

3 kursi parlemen, dan partai lokal lainnya yang menjadi wadah

politik ulama yaitu PDA hanya mendapatkan 1 kursi. Sisanya dibagi-

bagi kepada beberapa partai nasional kecuali PDIP dan Hanura yang

tidak mendapatkan jatah kursi parlemen Aceh.

Page 108: Jurnal - Unsyiah

104 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

Dengan perolehan suara yang cukup signifikan, PA kembali

mendulang kemenangan dan mendominasi kursi kekuasaan

parlemen Aceh. Kemenangan ini tentu berpengaruh pada setiap

kebijakan yang akan ditelorkan oleh DPR Aceh. Kemenangan PA

dalam dua kali pemilihan legislatif Aceh pasca perdamaian menjadi

kunci penting dalam pemilu-pemilu lainnya, baik pilkada maupun

pemilihan presiden. Dengan demikian, kunci kekuasaan Aceh saat

ini berada di tangan Partai Aceh, tidak hanya berpengaruh pada

kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah, namun juga

berpengaruh pada berbagai proses politik Aceh.

b) Pilkada tahun 2012

Dalam UUPA pasal 65 ayat 1, tertulis bahwa kepala daerah di

Aceh dipilih secara langsung oleh rakyat setiap lima tahun sekali

melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia, dan dilaksanakan

secara jujur dan adil. Pilkada tahun 2006 merupakan pemilihan

langsung pertama bagi masyarakat Aceh yang menjadi cerminan

pengimplementasian MoU Helsinki, UUPA, dan sistem demokrasi.

Pemilihan kepala daerah di Aceh terbilang inovatif dengan adanya

calon kepala daerah yang maju melalui jalur independen. Artinya,

setiap elit lokal Aceh bisa mencalonkan diri tanpa harus berafiliasi

dengan partai politik. Bahkan pada pemilihan kepala daerah tahun

2006, sebagian besar kabupaten/kota bahkan provinsi Aceh

dimenangkan oleh calon yang maju melalui jalur independen.

Pada pemilihan kepala daerah tahun 2012, sistem pemilihan

tersebut kembali berlaku. Ada lima pasangan yang mendaftarkan diri

sebagai calon gubernur dan wakil gubernur, baik melalui dukungan

partai politik ataupun melalui jalur perseorangn atau independen.

Page 109: Jurnal - Unsyiah

Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 105 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)

Hal itu juga dilakukan di sejumlah daerah di Aceh untuk pemilihan

bupati dan wakil bupati, ataupun Walikota dan wakil Walikota.

Pemilihan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 9 april 2012 di

seluruh Aceh. Tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur

memilih maju melalui jalur indpenden, yaitu Ahmad Tajuddin dan T.

Suriansyah, Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan, Darni Daud dan

Ahmad Fauzi. Sementara itu, dua pasangan lainnya diusung oleh

partai politik yakni pasangan Muhammad Nazar dan Nova Iriansyah

diusung oleh koalisi partai Demokrat, PPP dan Partai SIRA, lalu

pasangan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf diusung oleh Partai

Aceh. Belakangan, kandidat Partai Aceh ini ikut didukung oleh

beberapa partai nasional lainnya (Gade, 2012: 98-104).

Hasil pemilihan langsung pada April 2012 secara mutlak

dimenangkan oleh pasangan Zaini-Muzakkir yang diusung oleh

Partai Aceh. Pasangan “Zikir” ini memperoleh 55,75% suara rakyat

Aceh mengungguli pasangan rivalnya, Irwandi-Muhyan yang hanya

mendapatkan 29,18% suara. Zaini merupakan mantan petinggi GAM

dan Muzakkir mantan petinggi militer GAM. Keduanya akan

menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur untuk periode 2012-

2017. Sementara tiga pasangan lainnya, hanya mampu

mengumpulkan suara kurang dari 10% suara (Gade, 2012: 106). Secara

sosiologis, persebaran basis sosial pendukung sebenarnya cukup

merata, hanya saja, kemenangan Partai Aceh dalam pemilu legislatif

2009 menjadi modal untuk memenangkan pasangan calon Zikir tanpa

harus berkoalisi dengan beberapa partai lain. Basis Sosial partai Aceh

yang kuat di level grassroot cukup membantu pasangan Zikir untuk

Page 110: Jurnal - Unsyiah

106 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

menang. Apalagi keduanya berasal dari daerah basis Partai Aceh,

Zaini dari Pidie, dan Muzakkir Manaf dari Aceh Utara.

c) Pemilihan Presiden

Pemilihan presiden selalu dilaksanakan pada tahun yang sama

dengan pemilihan legislatif. Artinya, pemilihan presiden secara

langsung sudah dilakukan dua kali, yaitu tahun 2009 dan tahun 2014.

Kedua pemilu ini memberikan ketegangan politik yang cukup tinggi,

terutama di kalangan elit-elit politik. Di kalangan sipil masyarakat,

kedua pemilu ini selalu menjadi harapan bagi keberlangsungan

perdamaian Aceh. Pada pemilu 2009, ada 3 pasangan calon yang akan

dipilih oleh masyarakat Indonesia, yaitu pasangan SBY-Boediono,

pasangan JK-Wiranto, dan pasangan Megawati-Prabowo. Ketiga

Pasangan ini tidak ada yang asing Bagi masyarakat Aceh. SBY dan JK

merupakan pasangan presiden periode sebelumnya, sementara

Megawati merupakan presiden kelima Indonesia yang memimpin

selama masa darurat militer di Aceh. Dari berbagai prediksi yang

muncul, JK akan mendapatkan kemenangan mutlak di Aceh. Hal ini

mengingat JK memiliki peran yang besar dalam proses perdamaian

Aceh. JK juga berulang kali membangun hubungan dengan Partai

Aceh yang baru saja memangkan Pemilihan legislatif Aceh tahun

2009 (Gade, 2010: 68-69).

Pada kenyataannya, hasil penghitungan suara di Aceh setelah

pemilu menunjukkan bahwa pasangan SBY-Boediono menang secara

mutlak dengan perolehan suara sekitar 93%. kemenangan SBY ini

tidak bisa dilepaskan dari peran Partai Aceh. Tim kampanye SBY-

Boediono di Aceh didominasi oleh mantan petinggi GAM seperti

Sofyan Dawood dan Irwandi Yusuf. Di beberapa daerah basis GAM,

Page 111: Jurnal - Unsyiah

Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 107 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)

SBY menang mutlak dari Jusuf Kalla (Gade, 2010: 69-70). Partai Aceh

sebagai wadah politik GAM menjadi tombak kemenangan mutlak

SBY-Boediono di Aceh.

Pada pemilihan presiden tahun 2014, perbedaan mewarnai

dukungan GAM kepada pasangan calon presiden. Hanya ada dua

pasangan yangg mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan

wakil presiden Indonesia periode 2014-2019, yaitu pasangan Joko

Widodo-Jusuf Kalla dan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Sejak awal, PA sudah menyatakan dukungannya kepada pasangan

Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Namun ketika KPU

mengesahkan bahwa hanya ada dua pasangan calon presiden dan

wakil presiden, suara PA menjadi pecah. Kelompok tua GAM yang

tergabung dalam Tuha Peuet2 Partai Aceh seperti Zaini Abdullah,

Malik Mahmud dan Zakaria Saman, memilih untuk mendukung

Jokowi-JK. Sementara kelompok muda yang dipelopori oleh

Muzakkir Manaf tetap mendukung pasangan Prabowo-Hatta (Lintas

Gayo, 5 Juni 2014). Di sisi lain, PNA menyatakan dukungannya

kepada pasangan Jokowi-JK dengan dalih bahwa JK memiliki jasa

bagi perdamaian Aceh, sehingga diyakinkan akan menjaga

perdamaian Aceh dan merealisasi semua turunan UUPA. Hasil

pemilu menunjukkan perolehan suara Prabowo-Hatta unggul tipis

dari perolehan suara pasangan Jokowi-JK. Prabowo-Hatta mendulang

54,39% suara, sementara pasangan Jokowi-JK mengumpulkan 45,61%

suara. Pasangan Prabowo-Hatta tidak mendapatkan kemenangan

2 Tuha Peuet merupakan pembina. Ini merupakan istilah yang dipakai pada zaman

kerajaan bagi mereka yang menduduki posisi penasehat. Dalam struktur Partai Aceh, istilah

Tuha Peuet tidak jauh berbeda maknanya dengan yang dipaki pada masa kerajaan, Tuha

Peuet Partai Aceh merupakan Pembina atau Penasehat Partai yang terdiri dari angkatan tua

GAM

Page 112: Jurnal - Unsyiah

108 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

mutlak seperti pasangan SBY- Boediono yang juga didukung oleh

Partai Aceh. Hal ini dapat dipahami mengingat suara di tingkatan

elit Aceh sudah pecah, maka tentu akan berpengaruh pada

dukungan di tingkatan grasroot.

D. Penutup

Tsunami merupakan pintu bagi penyelesaian konflik Aceh

yang kemudian mencapai titik temu dengan ditanda tanganinya draft

MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Pasca itu, UUPA

dibentuk, qanun tentang partai politik lokal disahkan dan GAM

bertransformasi menjadi partai politik lokal, lalu muncul pula

sejumlah partai politik lokal lain. Sejak itu, konstelasi dan kontestasi

politik di Aceh sudah tidak lagi didomiasi oleh pusat, tetapi sudah

diwarnai oleh dimensi lokal yang berupa partai lokal dan mantan-

mantan anggota pergeraan atau GAM.

Kemenangan Partai Aceh (PA) sebagai representasi GAM

dalam berbagai pemilihan umum di Aceh pasca perdamaian,

menunjukkan bagaimana masyarakat menaruh harapan yang besar

terhadap GAM dalam membangun Aceh dan tidak terlalu terikat

kepada pusat. Panggung politik sebagai alat perjuangan baru dalam

mewujudkan cita-cita perjuangan pasca perdamaian membuahkan

hasil yang cukup memuaskan, kontestasi politik yang terjadi berhasil

dimenangkan. Namun, kontstelasi politik yang dinominasi oleh

mantan anggota pergerakan secara empiris ternyata belum mampu

membawa Aceh keluar dari berbagai problem sosial. Konflik memang

telah selesai, tetapi masalah sosial yang berupa kemiskinan dan

pengangguran masih belum mampu diatasi meski pemangku

kebijakan di parleman maupun eksekutif adalah mereka yang dulu

Page 113: Jurnal - Unsyiah

Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 109 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)

memperjuangkan itu. Ruang-ruang kekuasaan yang dihuni oleh

mantan kombatan sepertinya berhasil “menjebak” dan membawa

mereka keluar dari cita-cita luhur perjuangan, sehingga meski mereka

telah berkuasa namun masyarakat masih tetap menderita.

Selain itu, kekalahan partai-partai nasional sejak pemilu tahun

2009 menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap partai-

partai nasional yang masih “berpusat” di Jakarta sangat rendah.

Partai-partai nasional yang dianggap terlalu mengakomodasi

kepentingan Pusat dan sering kali mengabaikan kepentingan rakyat

membuat masyarakat Aceh lebih memilih partai lokal. Munculnya

GAM dalam politik kekuasaan Aceh dalam bentuk partai lokal

kemudian menjadi harapan masyarakat Aceh pasca MoU, yaitu

harapan akan lahirnya kebijakan-kebijakan yang pro rakyat Aceh

dengan pendekatan keacehan. Kemenangan demi kemenganga partai

lokal tentunya menjadi sinyal bagi partai nasional untuk bisa

mengakomodir kepentingan lokal dan sekaligus aktor pergerakan

dalam komposisi partai agar partai nasional dapat kembali ikut

memenangi kontestasi politik di Aceh saat ini.

E. Daftar Pustaka

Basyar, M. Hamdan (ed). 2008. Aceh Baru: Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gade, Fakhrurradzie (ed.). 2012. Rekam Jejak Demokrasi Aceh. Banda Aceh: Bandar Publishing

Hadi, Amirul. 2010. Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Hartmann, Michael. 2007. The Sociology of Elites. Oxon: Routledge

Hillman, Ben. (2012). Ethnic Politics and Local Political Parties in Indonesia. Asian Ethnicity, Vol. 13, No. 4: 419–440

Page 114: Jurnal - Unsyiah

110 |Jurnal Sosiologi USK

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018

Johnson, Doyle Paul. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I (Robert M.Z. Lawang, Penerjemah). Jakarta: Gramedia

Kawilarang, Harry. 2008. Aceh Dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki. Banda Aceh: Bandar Publishing

Kingsbury, D. 2006. Peace in Aceh: a Personal Account of the Helsinki Peace Process. Jakarta: Equinox Publishing.

Lane, J.-E., & Ersson, S. 2000. The New Institutional Politics: Performance and outcomes. London: Routledge.

Lipset, Seymour Martin. 2007. Political Man: Basis Sosial tentang Politik (Endi Haryono, Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Neuman, W. Laurence. 2003. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (5th ed.). Boston: Allyn and Bacon

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik (7th ed.) Jakarta: PT Gramedia

Tornquist, Olle (ed.). 2011. Aceh: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian dan Rekonstruksi. Yogyakarta: PCD Press

Dokumen

Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, perjanjian RI-GAM tahun 2005 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Situs Internet dan Media Online

http://aceh.tribunnews.com/

http://atjehpost.co

http://www.bandaacehkota.go.id/

http://www.sinarharapan.co/

Page 115: Jurnal - Unsyiah

Volume 12, Nomor 1, Juni 2018