Top Banner
POLITIK PENDIDIKAN MADRASAH DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN: 1945 – 2003 Ismail Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah Jl. KH. Zainal Abidin Fikry No. 1 Km 3,5 Palembang Abstract: The research aims to comprehend the phenomenon of educational politics of madrasah in Indonesia since the begining of independence till 2003, when new National Education Bill released. The research finds as follow: in the Old Order government period, the educational politics of madrasah begin from the effort of relegious department to integrate madrasah as one of national education system. In the New Order government period one of madrasah’s policies is uniformity of curriculum between madrasah and general school. Every single of educational policy toward madrasah result the implications in every part or dimensions of madrasah. The policies have many consequences in management, curriculum, financial and facilties of madrasah. Keyword: educational politics, government policy, madrasah, implication A. Pendahuluan Eksistensi madrasah di Indonesia sudah lama ada bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Era baru madrasah dimulai tahun 1930 ketika madrasah mulai menggunakan kurikulum dan metode pembelajaran yang terorganisasikan (Aziz, 2005: 34). Berbeda dengan kebijakan pendidikan pemerintah kolonial yang netral agama, tetapi cenderung mendiskriminasi madrasah, setelah Indonesia merdeka
128

Jurnal Ta'dib

Apr 04, 2016

Download

Documents

Jurnal Tadib

Jurnal Tadib Edisi November 2010
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jurnal Ta'dib

POLITIK PENDIDIKAN MADRASAH DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN: 1945 – 2003

Ismail

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah Jl. KH. Zainal Abidin Fikry No. 1 Km 3,5 Palembang

Abstract: The research aims to comprehend the phenomenon of educational politics of madrasah in Indonesia since the begining of independence till 2003, when new National Education Bill released. The research finds as follow: in the Old Order government period, the educational politics of madrasah begin from the effort of relegious department to integrate madrasah as one of national education system. In the New Order government period one of madrasah’s policies is uniformity of curriculum between madrasah and general school. Every single of educational policy toward madrasah result the implications in every part or dimensions of madrasah. The policies have many consequences in management, curriculum, financial and facilties of madrasah. Keyword: educational politics, government policy, madrasah, implication A. Pendahuluan

Eksistensi madrasah di Indonesia sudah lama ada bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Era baru madrasah dimulai tahun 1930 ketika madrasah mulai menggunakan kurikulum dan metode pembelajaran yang terorganisasikan (Aziz, 2005: 34). Berbeda dengan kebijakan pendidikan pemerintah kolonial yang netral agama, tetapi cenderung mendiskriminasi madrasah, setelah Indonesia merdeka

Page 2: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

142

pemerintah Indonesia yang baru terbentuk mengakomodasi madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.

Meskipun pemerintah Indonesia berbasis ideologi nasionalis dan cenderung mengutamakan pembangunan lembaga pendidikan umum, tetapi madrasah tetap diakomodasi keberadaannya dengan sejumlah kecil kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Angin segar bagi madrasah berhembus saat dikeluarkanya maklumat pada tanggal 22 Desember 1945 oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), yang di antaranya menganjurkan untuk memajukan pendidikan dan pengajaran di madrasah, pengajian-pengajian di langgar atau surau-surau, dan pondok pesantren (Aziz, 2005: 34).

Penetapan Undang-undang No. 2 Tahun 1989, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan agama adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional”(Mudjahid, 2000:9) lebih memantapkan secara yuridis eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mencerdaskan bangsa yang membentuk pribadi taqwa. Kedudukan madrasah kemudian diperkuat lagi dengan PP. No. 28 Tahun 1990, SK Mendikbud No. 0487/U/1992 dan No. 054/U/1993. SK-SK tersebut kemudian ditindaklajuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tentang penyelenggaraan MI dan MTs.”(Abdillah, 2002)

Terakhir dikeluarkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2003, merupakan UU yang mempertegas jalur atau jenjang dan jenis pendidikan, di mana Madrasah (MI, MTs, MA) mendapatkan tempat dan kedudukan yang sama dengan sekolah umum dengan pelaksanaan kurikulum yang sama. Ini berarti bahwa madrasah bukanlah lagi pendidikan kelas dua, yang sekaligus menuntut madrasah untuk mengejar ketertinggalannya dalam mutu penyelenggaraan dan mutu lulusan agar sama dengan sekolah umum. UU SPN tersebut menempatkan MI dan MTs sebagai sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama yang bercirikan agama, sedang

Page 3: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

143

MA adalah sekolah menengah umum yang bercirikan agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.

Meskipun demikian eksistensi madrasah masih menyisakan berbagai problem. Beberapa problem madrasah yang dapat diidentifikasi di antaranya adalah: 1. Secara struktural pola kebijakan penyelenggaraan madrasah

cendrung bersifat sentralistik dan kurang aspiratif mulai dari sistem pengelolaan lembaga sampai pada teknis pengelolaan pembelajaran.

2. Secara menejerial, masih dijumpai pengangkatan kepala madrasah didasari kedekatan interpersonal, bukan karena profesionalitas.

3. Secara finansial, perhatian pemerintah belum optimal terhadap pengembangan madrasah (termasuk Pemerintah Daerah kurang peduli)

4. Belum dimilikinya organisasi yang mengkhususkan pada perjuangan memperbaiki kondisi madrasah. Memang ada LPM (lembaga pengembangan madrasah) tetapi belum kelihatan terobosannya.

5. Mutu hasil pendidikan yang masih rendah dibandingkan mutu hasil pendidikan sekolah umum, di samping kurang marketable-nya alumni madrasah dalam lapangan pekerjaan atau kebutuhan masyarakat (Aguswijaya, 2005:3). Penelitian ini ingin meneliti lebih jauh bagaimana realitas

kebijakan pendidikan atau politik pendidikan yang diterapkan pemerintaah terhadap madrasah dalam setiap orde pemerintahan sejak pasca kemerdekaan dan apa dampaknya terhadap aspek-aspek penting sistem pendidikan madrasah, termasuk aspek mutu dan daya saing madrasah.

B. Kerangka Teori Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori

tentang politik pendidikan. Menurut M. Sirozi politik pendidikan

Page 4: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

144

adalah kajian tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan cara-cara mencapainya dan terfokus kepada kekuatan yang menggerakkan perangkat pencapaian tujuan pendidikan dan prosedur serta arah yang dituju oleh perangkat tersebut. Konsentrasi kajian politik pendidikan adalah pada peranan negara dalam bidang pendidikan, pola, kebijakan, serta proses pendidikan, serta berbagai asumsi, maksud, dan outcome strategi pendidikan. Kajian ini, kata Sirozi selanjutnya, akan memudahkan kita memahami relasi antara berbagai kebutuhan politik negara dengan isu-isu praktis sehari-hari di sekolah, tentang reproduksi struktur dan kesadaran kelas, tentang berbagai bentuk dominasi dan subordinasi yang sedang dibangun kembali melalui jalur pendidikan, dan bagaimana perkembangan dan keruntuhan suatu negara (Sirozi, 2005:ix).

Dalam kajian politik pendidikan disebutkan bahwa dunia politik dan dunia pendidikan adalah dua entitas yang memang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan. Keduanya terkait satu sama lain. Relasi antara keduanya dapat mengambil bentuk yang bermacam-macam sesuai dengan konteks sosial, ekonomi, dan politik yang menyertainya. Dengan memahami berbagai literatur yang ada, penulis melihat bahwa karakteristik relasi antara dua ‘dunia’ berbeda ini adalah sebagai berikut. Pertama, sistem dan lembaga pendidikan adalah sarana bagi pencapaian tujuan ideologis, filosofis, dan politis kekuasaan politik (negara). Bentuk relasi ini sangat umum dan terjadi di berbagai negara sejak zaman dahulu. Dalam sejarah Islam misalnya relasi semacam ini terjadi setidak-tidaknya pada dua kasus, yakni kasus Madrasah Nizamiyah yang dijadikan sarana oleh wazir Dinasiti Seljuk (Nizamul Mulk) untuk mempertahankan ortodoksi mazhab Ahlussunnah wal jama’ah (Sunni) yang dianut negara (Abdurrasyid, 1994:7), dan kasus Khalifah al-Ma’mun yang memolitisasi majelis munazarah di istananya untuk menyebarkan paham Mu’tazilah yang dianutnya (Sirozi, 2005:4). Bahkan al-Makmun melakukan inkusisi terhadap para ulama dan pendidik untuk menguji akidah yang mereka anut serta

Page 5: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

145

menghukum mereka yang tidak sejalan dengan akidah Mu’tazilah (Nasution, 1987: 54).

Kedua, lembaga pendidikan adalah alat untuk mempertahankan kekuasaan. Ini misalnya terjadi pada masa kolonialisme Belanda di Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerinth kolonial tidak hanya dimaksudkan sebagai implementasi politik etis (balas budi), tetapi juga menghasilkan alumni pendidikan bangsa pribumi yang loyal terhadap pemerintah kolonial dan karenanya Belanda berharap tetap dapat melanggengkaan kekuasaannya di bumi Indonesia. Akan tetapi yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Keterdidikan yang diperoleh justru menyadarkan pribumi tentang realitas penderitaan yang dihadapi bangsa terjajah dan bertekad menggalang kekuatan untuk memperoleh kemerdekaan (Sirozi, 2005: 15).

Ketiga, pendidikan adalah sarana penting untuk mencapai tujuan pembangunan yang diprogramkan oleh sebuah pemerintahan. Di Indonesia, misalnya, tujuan pembangunan nasional tidak hanya diupayakan melalui pembangunan di bidang ekonomi, politik, dan militer, melainkan juga melalui pembangunan di bidang pendidikan. Pendidikan di Indonesia, misalnya, mengalami peningkatan dalam alokasi anggaran yakni meningkat menjadi 20 %. Ketentuan ini bahkan dicantumkan dalam UUD 1945 pasca amandemen.

Keempat, pemerintah adalah pihak yang paling berwenang menentukan sistem pendidikan yang berlaku di sebuah negara, menetapkan tujuan pendidikan nasional, menentukan seluruh kebijakan yang terkait dengan pendidikan (standar, kurikulum, jenjang, jalur, dan jenis pendidikan, pembiayaan (anggaran), administrasi, manajemen, sistem, dan sebagainya). Bagaimana bentuk sistem pendidikan nasional yang digunakan dan ke mana arah pendidikan akan dibawa sangat tergantung kepada format kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan kurikulum yang terlalu sering mengalami perubahan, misalnya, akan mengakibatkan

Page 6: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

146

kegamangan dan ketidakpastian bagi pelaksana pendidikan di tingkat daerah dalam aplikasinya, apalagi dikaitkan dengan keharusan meningkatkan mutu dan daya saing pendidikan secara nasional.

Kelima, paradigma politik yang dianut pemerintah berpengaruh secara signifikan terhadap paradigma dan kebijakan pendidikan. Munculnya perubahan paradigma politik sejak 1999 di Indonesia dari sentralisasi ke desentralisasi (yang ditandai dengan lahirnya UU tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah) berdampak luas terhadap pendidikan. Karena pendidikan merupakan aspek kehidupan bangsa yang juga diotonomikan, maka muncul paradigma dan format kebijakan dalam bingkai “otonomi pendidikan”. Ini pada gilirannya melahirkan banyak konsep baru dalam penyelenggaraan pendidikan seperti konsep Manajemen Berbasis Sekolah, muatan lokal, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pembagian kewenangan pengelolaan jenjang, jalur, dan jenis pendidikan antara pusat dan daerah, dan termasuk pembiayaan pendidikan yang juga menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Keenam, keberhasilan pendidikan meningkatkan akses dan mobilitas vertikal warga negara dalam birokrasi politik dan mobilitas horizontal mereka sebagai elit sosial. Pada tahun 1980-an, misalnya, di Indonesia terjadi apa yang disebut “booming sarjana” dari kalangan santri atau kaum terdidik Muslim yang pada gilirannya membuka akses bagi mereka untuk masuk ke lapis kedua birokrasi pemerintahan Orde Baru. Sebagian kemudian menegaskan ketokohan mereka sebagai cendekiawan, ilmuan, akademisi, dan peneliti. Sebagian lagi berkiprah di tengah masyarakat sebagai agen-agen civil society (Effendy, 1998: 97).

Page 7: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

147

C. Metodologi Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Dari segi tujuannya, ini adalah penelitian deskriptif yang tujuannya adalah mendeskripsikan fenomena yang menyangkut kebijakan politik pendidikan madrasah secara apa adanya sesuai dengan realitas yang terjadi sepanjang sejarah pemerintahan resmi Indonesia terbentuk (Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, dan seterusnya). Dari segi obyeknya, ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yang menjadikan teks-teks yang terdapat dalam bahan-bahan pustaka (buku, dokumen, arsip, dan sebagainya) sebagai obyek kajian.

Penelitian ini selanjutnya menggunakan pendekatan kualitatif (Moleong, 2000: 3), yang mengumpulkan dan menyajikan data dalam bentuk kata-kata tertulis (dan lisan, jika dibutuhkan) dan bukan data berupa angka statistik. Data ini mencakup kutipan-kutipan tentang kebijakan pendidikan madrasah dalam dokumen undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan, arsip, dan buku-buku sumber yang relevan.

2. Jenis, Sumber, dan Teknik Pengumpulan Data Data utama yang dicari dalam penelitian ini adalah data tentang

kebijakan politik pendidikan madrasah yang dikeluarkan oleh pemerintah dan implikasinya terhadap manajemen, kurikulum, proses pembelajaran dan evaluasi pendidikan, mutu dan daya saing madrasah di Indonesia.

Sumber data utama dalam penelitian deskriptif-kualitatif ini ialah kata-kata atau kalimat dalam teks-teks pada dokumen undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan, arsip, dan buku-buku sumber yang relevan. Sumber data digali melalui teknik studi pustaka dan studi dokumentasi.

Page 8: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

148

3. Teknik Analisis Data Data penelitian yang telah terkumpul, selanjutnya akan diolah

dengan cara diklasifikasi dalam kategori-kategori tertentu, lalu dianalisis secara kualitatif dengan metode analisis isi (content analysis). Analisis yang dilakukan terhadap kandungan data tersebut akan menggunakan perspektif konsep-konsep teoritis dalam disiplin Politik Pendidikan.

Aktifitas dalam analisis data, meliputi data reduction, data display dan conclusion.

D. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Sejarah Madrasah di Indonesia

a. Perkembangan Madrasah pada Masa Pra Kemerdekaan Meskipun kata madrasah diambil dari bahasa Arab yang artinya

"sekolah", namun sebagaimana yang diungkapkan oleh Azyumardi bahwa di Indonesia istilah tersebut secara khusus mengacu kepada sekolah (agama) Islam dan memiliki akar sejarah yang cukup panjang (Azra, 1999: 72; Aziz, 2005: 34).

Madrasah di dunia Islam mulai didirikan pada abad kelima Hijriyah. Madrasah yang paling dikenal dalam sejarah didirikan pada masa Nizham Al-Muluk dari dinasti Bani Saljuk di Baghdad pada tahun 495 Hiriyah (1067 Masehi). Madrasah ini merupakan bentuk pendidikan tinggi Islam dibawah asuhan ulama terkemuka diantaranya Imam al-Ghazali (w.1111) (Djamas, 2005: 24).

Sejak paruh pertama abad 19, sejarah pendidikan Islam di Indonesia memulai babak baru yang ditandai oleh pergeseran dan perubahan hampir dalam segala aspek yang meliputi kelembagaan, metode, kurikulum serta orientasi pendidikan Islam. Pada masa itu pendidikan Islam didominasi lembaga pendidikan tradisional, yakni pesantren.

Memasuki era kolonialisme muncul model sekolah yang disediakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk rakyat Indonesia.

Page 9: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

149

Pada awalnya model kelembagaan pendidikan kolonial ini terbatas pada kalangan bangsawan, berupa sekolah kelas satu yakni Hollands Inlandsche school (HIS) dan sekolah kelas dua yakni Standard School, yang diselenggarakan dengan tujuan mencetak pegawai-pegawai pemerintah.

Selanjutnya akibat perkembangan di wilayah Asia pada khususnya dan negara-negara jajahan, Belanda pun mengembangakan sistem “Sekolah Rakyat” atau “Sekolah Desa” (Volkschoolen) untuk rakyat pribumi secara luas dengan biaya yang murah, dipertengahan abad ke 19. Hal ini menyebabkan lembaga pendidikan tradisional (pesantren, surau, langgar, atau masjid) mendapat saingan secara langsung. Karena sekolah tersebut selain biayanya murah dengan mata pelajaran yang lebih praktis, juga menjanjikan pekerjaan yang bervariasi walaupun pada tingkat rendahan. Hal ini terlihat dari animo masyarakat kala itu yang menjadikan sekolah ala Belanda ini menjadi alternatif pilihan. Pada tahun 1871 terdapat 263 SD dengan jumlah siswa sekitar 16.606 orang , tahun 1892 menjadi 515 SD dengan jumlah siswa 52.685 orang, tahun 1910 mencapai 70.000 orang, dan sampai tahun 1914 mencapai 200.000 orang. Pada tahun ini pula pemerintah Belanda mengembangkan pendidikan lanjutan yaitu MULO (Meer Unigebreid Lager Onderwijs) dan AMS. (Mastuki, 2006). Lembaga pendidikan tersebut (HIS, MULO, dan AMS) adalah cikal bakal dari SD, SLTP, dan SLTA saat ini.

Gelombang perubahan ini mencapai puncaknya pada awal abad 20 dengan lahirnya institusi pendidikan Islam yang berbeda baik dengan pondok pesantren maupun dengan sekolah umum Hindia Belanda. Embrio pendidikan Islam yang baru itu bernama madrasah. Kemunculan madrasah menandai abad kebangkitan dan pencerahan (renaissance) dalam pendidikan Islam (Murodi, 1997: 19).

Menurut Masykuri Abdilah (1998: 408), pada tahun 1905 sejumlah ulama memperkenalkan sistem “madrasah”, yakni dengan penerapan sistem klasikal sesuai dengan sistem Barat, dan sekaligus

Page 10: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

150

sebagian mereka bahkan memperkenalkan ilmu pengetahuan umum. Sistem madrasah ini dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan. Ini berarti pengaruh Timur Tengah hanyalah salah satu faktor selain perkembangan sosial-politik di tanah air pada saat itu. Lebih rinci lagi sebagaimana yang dikemukakan Husni Rahim (2002), bahwa eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia berasal dari proses interaksi misi Islam dengan tiga kondisi, pertama, interaksi Islam dengan budaya lokal-pra Islam yang telah melahirkan pesantren. Sebagian kalangan melihat bahwa pesantren merupakan hasil dari proses akulturasi Islam dengan budaya asli (indigenous). Kedua, interaksi misi pendidikan Islam dengan tradisi Timur Tengah modern telah menghasilkan madrasah. Ketiga, interaksi Islam dengan politik pendidikan Hindia Belanda telah membuahkan lembaga berbentuk sekolah Islam.

Latar belakang munculnya madrasah di tanah a i r s e t i d a k -t i d a k n y a disebabkan oleh dua faktor, yaitu: pertama, ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan tradisional yang pada masa itu didominasi oleh pondok pesantren. Di lembaga ini hanya diajarkan pengetahuan agama dengan orientasi kepada kepentingan ukhrowi semata, khususnya di beberapa pesantren "Salafiyah Murni" seperti Pondok Pesantren Lirboyo dan Pondok Pesantren Ploso Kediri (Jurnal Madrasah, 1997: 15). Di samping itu, guru/kiyai merupakan sentra ilmu pengetahuan dan dianggap sebagai orang yang "serba tahu" dan "pemilik tunggal ilmu" (Azra, 1997: 163).

Di pesantren tradisional ada semacam sikap taqlid terhadap mazhab tertentu sesuai dengan doktrin yang disampaikan oleh guru/kiyai. Sampai akhir abad 19 praktek demikian masih sangat dominan mewarnai pendidikan Islam. Pendidikan Islam pada masa itu identik dengan pengajian kitab-kitab ahli mazhab yang

Page 11: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

151

kemudian dikenal dengan Al-Kutub al-Mu'tabarah (Mochtar, 1997: 84).

Kedua, respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Jika kelompok tradisional mengharamkan ilmu-ilmu umum, maka pemerintah kolonial Belanda melakukan sebaliknya. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kalonial semata-mata diarahkan pada pengetahuan dan keterampilan duniawi, khususnya untuk kepentingan pemerintah kolonial itu sendiri (Aziz, 2005: 34).

Selain kedua hal di atas, perkembangan awal madrasah juga dimulai dari semangat reformasi yang dilakukan masyarakat Muslim dan adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan sekulerisme, para reformis kemudian memasukkan pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah (Prihadiyoko, 2006).

Pemerintah kolonial ketika itu sangat khawatir bahwa madrasah akan melahirkan generasi yang menjadi penentang kekuasaannya. Tidak heran kalau kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan kolonial, merupakan bagian dari usahanya untuk mengkooptasi madrasah. Misalnya, guru madrasah wajib mempunyai izin dari penguasa, dan di bidang kurikulum, pelajaran yang diajarkan harus disetujui oleh penguasa kolonial.

Kebijakan pembatasan yang dilakukan pemerintah kolonial tersebut tentunya mendapat reaksi dari kalangan Muslim. Paling tidak ada tiga reaksi, yaitu bertahan, menolak, dan progresif. Kelompok yang bertahan kemudian membuat madrasah secara sembunyi-sembunyi di daerah yang jauh dari jangkauan penguasa. Kelompok progresif bersikap lunak pada pemerintah kolonial dan mengikuti aturan mainnya.

Di bawah tekanan dan pengawasan ketat dari pemerintahan kolonial, madrasah ternyata mampu memantapkan eksistensinya di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Perkembangan itu akan lebih maju

Page 12: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

152

lagi terutama di daerah-daerah pelosok yang jauh dari pengawasan penguasa.

Adapun madrasah-madrasah yang berdiri di sekitar awal abad ke 20 antara lain: Madrasah Mamba'ul 'Ulum Surakarta (1906), Madrasah Adabiyah (1909), Madrasah Diniyah Zaenuddin Labai (1915) di Sumatera Barat, Madrasah Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Tasywiq Thullab di Jawa Tengah, Madrasah Persatuan Umat Islam di, Jawa Barat, Madrasah Jam'iyat Kheir di Jakarta, Madrasah Amiriah Islamiyah di Sulawesi dan madrasah Assulthoniyyah di Kalimantan.

Modernisasi lembaga pendidikan Islam tradisional juga dilakukan oleh pesantren Tebu Ireng pada tahun 1916 mendirikan “madrasah Salafiyah”. Pesantren Rejoso Jombang mendirikan sebuah madrasah tahun 1927. Sementara itu Pondok Modern Gontor yang berdiri tahun 1926 memasukan mata pelajaran umum kekurikulumnya, yaitu pelajaran bahasa Inggris dan bahasa Arab, dan kegiatan ekstra kurikuler berupa olah raga, kesenian, dan sebagainya.

Organisasi-organisasi Islam lain yang bergerak dalam bidang pendidikan mendirikan madrasah dan sekolah dengan nama, jenis, dan jenjang yang bermacam-macam, misalnya Mathlaul Anwar di Menes (Banten) mendirikan madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Diniyah. Persatuan Umat Islam (PUI) pada tahun 1927 mendirikan madrasah Diniyah, Tsanawiyah, dan madrasah pertanian. Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) pada tahun 1928 mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Awaliyah, Tsanawiyah, dan Kuliyah Syari’ah. Sedangkan NU pada tahun 1926 juga mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Mu’alimin Wustha dan Mu’alimin Ulya. Di Tapanuli, Medan, al-Washliyah (1930) menyelenggarakan madrasah Tajhiziyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Qismul’ali, dan Tahassus. Selain itu ada juga madrasah yang menggunakan nama formal Islam (Kuliah Muallimin Islamiyah) didirikan oleh Mahmud Yunus di Padang (1913) dan

Page 13: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

153

Islamic College didirikan oleh pesantren Muslim Indonesia (Permi) tahun 1931 (Mastuki, 2003).

Dengan demikian berdasarkan background sejarah tersebut dapat dinyatakan bahwa munculnya sistem pendidikan madrasah dalam pendidikan Islam di Indonesia adalah dikarenakan :

a. Tumbuhnya semangat pembaharuan (medernisasi) dikalangan umat Islam di dunia kususnya dalam sistem pendidikan Islam, termasuklah di Indonesia sendiri.

b. Adanya politik “Etis” dari kebijakan kolonial, dalam bidang pendidikan dengan membangun sekolah (lembaga pendidikan) ala Belanda yang sekuler.

c. Pesatnya perkembangan lembaga pendidikan tersebut, karena biayanya murah, kurikulum yang praktis, dan menjanjikan lapangan pekerjaan yang bervariasi walaupun pada tingkat rendah, sehingga meningkatkan minat masyarakat kala itu.

d. Kekhawatirkan berkembangnya dan meluasnya pengaruh sekularisme di kalangan umat Islam di Indonesia.

e. Adanya sikap diskriminatif dalam kebijakan kolonial yang dirasakan oleh umat Islam terhadap anak-anak (generasi) muslim dalam kesempatan belajar.

f. Sistem pendidikan tradisional (pesantren, surau, masjid, dan kelompok pengajian), belum sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai.

2. Perkembangan Madrasah Pasca Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka, eksistensi madrasah tetap diakui

meskipun pada awalnya ada persoalan tarik-menarik kepentingan antara kaum nasionalis dan religius tentang sistem pendidikan nasional yang dipilih. Selanjutnya dikeluarkan maklumat pada tanggal 22 Desember 1945 oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), yang di antaranya menganjurkan untuk memajukan

Page 14: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

154

pendidikan dan pengajaran di madrasah, pengajian-pengajian di langgar atau surau-surau, dan pondok pesantren, serta menyarankan agar institusi-institusi pencerdasan rakyat seperti itu yang keberadaannya sudah berakar dalam masyarakat Indonesia, mendapat perhatian dan bantuan material dari pemerintah.

Maklumat BP KNIP diwujudkan melalui Departemen Agama yang didirikan pada 3 Januari 1946, dan sejak saat itu pembinaan dan pengembangan madrasah dan pondok pesantren menjadi tugas pokok pemerintah yang diselenggarakan oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Melalui Panitia Penyelidik Pengajaran, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 tentang pemberian subsidi bantuan terhadap lembaga pendidikan Islam.”(Djamas, 2005: 23). Sejalan dengan itu madrasah semakin berkembang secara kuantitas. Begitu pula secara sistematis lembaga pendidikan madrasah telah dikelompokkan menjadi Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) (Ensiklopedi Islam 2003: 108).

Sejak awal pemerintahan Orde Lama, di Indonesia berkembangk dua sistem pendidikan, yaitu pendidikan umum dan keagamaan, yang diwarisi dari masa kolonial Belanda. Pada era Orde Lama, dua sistem pendidikan ini diupayakan untuk diintegrasikan. Paling tidak ada tiga usaha yang dilakukan. Pertama, memasukkan pendidikan Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum di sekolah negeri maupun swasta melalui pelajaran agama. Kedua, memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pendidikan di madrasah. Ketiga, mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) untuk memproduksi guru agama bagi sekolah umum maupun madrasah (Wahid, 2008). Tidak heran kalau perkembangan madrasah berlangsung sangat cepat. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI), pendidikan setingkat sekolah dasar (SD) pada sistem pendidikan umum. Paling tidak terdapat 1.927.777 siswa yang mendaftarkan diri di MI.

Page 15: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

155

Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdapat 776 madrasah dengan 87.932 siswa. Sedangkan di tingkat berikutnya atau Madrasah Aliyah (MA) terdapat 16 madrasah dengan 1.881 siswa. Jumlah peserta pendidikan ini merupakan angka yang luar biasa dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia.

Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan sejumlah madrasah swasta berubah statusnya menjadi madrasah negeri. Alhasil, ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA yang menjadi madrasah negeri. Konsekuensinya, manajemen madrasah secara total bergeser dari masyarakat ke pemerintah. Mes-kipun demikian, sekitar 90 persen madrasah di seluruh Indonesia masih dikelola masyarakat setempat dalam bentuk yayasan.

Pada awal pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal yang dijalankannya tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur agar madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Kebijakan ini kemudian mendapatkan reaksi keras oleh umat Islam dan kemudian dianulir oleh pemerintah.

Pada tahun 1989 lahir Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengakomodasi madrasah secara eksplisit. Pasal 11 ayat B telah mengukuhkan eksistensi madrasah sebagai sub-sistem dari pendidikan dan memberikan kesempatan penyelenggaraan madrasah secara "massal" sebagaimana penyelenggaraan sekolah umum di Departemen P & K.

Meskipun telah memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan sekolah umum, namun kondisi rill dan permasalahan yang ada pada madrasah jauh berbeda dan lebih kompleks. Secara kuantitatif, peserta didik yang belajar di Madrasah sebanyak 15% dari seluruh peserta didik di Indonesia. Besarnya angka ini

Page 16: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

156

menunjukkan bahwa madrasah tidak bisa diremehkan karna peranannya yang cukup besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dilihat dari sudut statusnya, seperti yang. diungkapkan oleh Mastuhu bahwa dari sekitar 36.068 madrasah (dari Madrasah ibtidaiyah sampai Madrasah Aliyah) 95,42 % berstatus swasta dan hanya 4,8 % yang berstatus negeri dengan perincian: dari 25.977 Madrasah Ibtidaiyah masih 24.983 berstatus swasta. Sedangkan di tingkat MTs, dari 8.209 hanya sekitar 607 berstatus negeri (Jurnal Madrasah, 1997: 6).

Mencermati perincian angka dan prosentase di atas dapat dipahami bahwa gambaran umum yang akan muncul ke permukaan adalah didasarkan kepada keadaan madrasah swasta. Memang madrasah negeri pada umumnya memiliki kondisi yang lebih baik dari madrasah swasta. Namun tidak berarti bahwa semua sekolah madrasah negeri lebih baik dari madrasah swasta karena dalam kenyataannya tidak sedikit madrasah swasta yang jauh lebih baik dari sekolah negeri dalam segala aspek.

Berkenaan madrasah swasta yang sangat besar jumlahnya, Masykur (1997: 15) menuturkan bahwa motivasi utama pendirian madrasah adalah untuk melaksanakan dakwah Islam. Namun sayangnya, motivasi ini tanpa disertai dengan persiapan yang matang baik dari segi tenaga pengajar maupun dana serta sarananya. Bagi mereka, pada prinsipnya yang penting madrasah berdiri dan mereka akan mendapat pahala dari Allah. Dalam hal kualifikasi tenaga pengajar, jauh lebih memprihatinkan. Disamping pengangkatan guru tidak sesuai dengan ijazah, juga tidak sedikit guru yang mengajar bidang studi yang bukan keahliannya. Lebih parah lagi guru-guru yang berlatar belakang bidang keahlian itmu agama mengajar bidang keahlian iimu-ilmu eksakta.

Senada dengan Masykuri, Mastuhu menyatakan lokasi madrasah umumnya berada di tempat kumuh dengan fasilitas

Page 17: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

157

seadanya. Guru-gurunya tidak kualifaid dan kurang kesejahteraannya. Tidak jarang guru alumni Aliyah mengajar di Tsanawiyah. Manajemennya sangat sederhana. Menurut beliau, semua aspek yang ada pada madrasah swasta semuanya lemah. Kekuatannya barangkali cuma pada niat baik para pendirinya saja dalam rangka ikut mendidik anak-anak miskin (Abdillah, 1997: 14-15).

Walaupun keadaan madrasah swasta jauh lebih memprihatinkan dibandingkan dengan madrasah negeri, namun tak bisa dipungkiri bahwa potensi untuk mengharumkan dan mengangkat harkat dan martabat madrasah secara keseluruhan justru terletak pada madrasah swasta bukan pada madrasah negeri karena jumlahnya relatif kecil dan di sisi lain ditopang sepenuhnya oleh pemerintah. Oleh karena itu dalam kesempatan lain Husni Rahim menegaskan, kalau mau jujur, potensi kelembagaan pendidikan Islam itu terletak pada madrasah swasta. Bukan negeri (Rosidi, 1999).

3. Kebijakan Politik Pendidikan Madrasah di Indonesia a. Kebijakan Awal: Integrasi dalam Sisdiknas dan Wajib

Belajar Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kebijakan awal

tentang madrasah di Indonesia pasca kemerdekaan diawali pada tanggal 22 Desember 1945 ketika Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) mengeluarkan maklumat yang di antaranya menganjurkan untuk memajukan pendidikan dan pengajaran di madrasah, pengajian-pengajian di langgar atau surau-surau, dan pondok pesantren, dan sebagainya. Maklumat ini diwujudkan melalui pembentukan Departemen Agama yang didirikan pada 3 Januari 1946. Sejak saat itu pembinaan dan pengembangan madrasah dan pondok pesantren menjadi tugas pokok pemerintah yang dalam hal ini diselenggarakan oleh

Page 18: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

158

Departemen Agama RI. Melalui Panitia Penyelidik Pengajaran, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 tentang pemberian subsidi bantuan terhadap lembaga pendidikan Islam.”(Djamas, 2005 : 23).

Pada tahap selanjutnya, pemerintah, melalui Departemen Agama, berusaha mengintegrasikan pendidikan madrasah menjadi salah satu komponen pendidikan nasional, dan upaya ini membuahkan hasil dengan diakuinya lembaga pendidikan agama secara yuridis yang dituangkan dalam “Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950 ayat 2 yang menyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”.(Depag RI). Kebijakan ini kemudian menuntut madrasah agar dapat diakui, harus memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar yaitu memberikan pelajaran agama sebagai pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu di samping pelajaran umum lainnya, dan terdaftar di Kementerian Agama.

Pada awal pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal yang dijalankan pemerintah tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), padahal sebelumnya dikelola oleh Menteri Agama (Wahid, 2008). Alasan lain dikeluarkanya peraturan tersebut yaitu untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan di madrasah. Akan tetapi kalangan Islam pendukung sistem pendidikan Islam yang tergabung dalam Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan Pendidikan Agama dan Keagamaan (MP3A) merasa keberatan, sebab keputusan tersebut

Page 19: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

159

menurut mereka adalah upaya dari kelompok sekuler untuk mengurangi fungsi pendidikan Islam (Djamas, 2005 : 26).

Respon kelompok MP3A membuahkan hasil dengan ditetapkanya SKB 3 Menteri Tahun 1975 (Mendikbud, Menteri Agama (Menag), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Isinya, mengembalikan status pengelolaan madrasah di bawah Menteri Agama, tetapi harus memasukkan kurikulum umum yang sudah ditentukan pemerintah (Wahid, 2008). b. Kebijakan Kurikulum Agama dan Umum di Madrasah

Seperti yang telah dipaparkan di muka bahwa lahirnya madrasah didorong oleh dua faktor. Di satu pihak (kelompok tradisional) hanya mengajarkan pengetahuan agama dan di pihak lain (sekolah Hindia Belanda) hanya mengajarkan pengetahuan umum. Kenyataan diatas sangat sejalan dengan ilustrasi yang dikemukakan Fazlurrahman, tokoh intelektual Muslim, bahwa jika kaum tradisionalis konservatif mendepak sains dan filsafat dari madrasah-madrasah mereka di abad sebelumnya, maka par-a reformer-fundamentalisme yang baru ini berhasrat mengusir semua unsur intlektualisme, bahkan dari dalam ilmu-ilmu agama sendiri (Fuaduddin & Bisri, 1999: 104). Berdasarkan inilah para praktisi dan pemerhati pendidikan Islam pada masa itu mengambil langkah kompromi dengari membentuk sistem pendidikan yang mengajarkan bidang agama maupun pengetahuan umum dalam satu institusi pendidikan yang bernama madrasah.

Pada tahun 1958, Departemen Agama (Depag) memperkenalkan program Madrasah Wajib Belajar (MWB) di beberapa tempat, dengan maksud sebagai usaha awal untuk memberikan bantuan dan pembinaan pada madrasah. Pada masa-masa ini kurikulum di madrasah terdiri atas 30% mata pelajaran umum dan 70% mata pelajaran agama. Komposisi kurikulum di atas ini ternyata menimbulkan ketimpangan yang berdampak pada

Page 20: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

160

ketidakmampuan siswa madrasah bersaing dengan sekolah umum. Hal tersebut kemudian menorehkan citra minus bagi pendidikan madrasah. Hasilnya, madrasah dianggap sekolah kelas dua dan dianggap ketinggalan zaman. Melihat kenyataan ini para pemerhati dan praktisi pendidikan Islam berusaha sedemikian rupa untuk menghilangkan image tersebut.

Hingga tahun 1970-an keberadaan madrasah dalam sistem pendidikan Indonesia, belum juga terangkat dari kemarjinalannya, karena madrasah masih tetap terkonsentrasi pada kurikulum agama, sedang sekolah umum mengutamakan pada kurikulum umum. Sebagaimana disebutkan di atas kebijakan mengintegrasikan administrasi penyelenggaraan pendidikan madrasah melalui Keppres No. 34 Tahun 1972 yang dikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1975, ditolak oleh sebagian besar umat Islam segera diganti dengan kebijakan baru melalui SKB 3 menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri) tahun 1975 yang menetapkan bahwa pengelolaan madrasah tetap berada di bawah kewenangan Departemen Agama RI. Selain itu SKB tersebut juga menetapkan kebijakan tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah dan pengakuan atas lulusan madrasah yang dapat melanjutkan kejenjang pendidikan umum berikutnya. Dalam keputusan itu juga ditetapkan kebijakan tentang komposisi kurikulum madrasah dengan porsi 30% kurikulum agama dan 70% kurikulum umum (Asrohah, 1999).

Langkah ini kemudian terbukti efektif membawa madrasah menjadi diterima oleh sekolah umum bahkan perguruan tinggi umum. Dengan kata lain, siswa madrasah berkesempatan penuh melanjutkan sekolah di sekolah umum. Secara teoritis, kehadiran SKB telah mengangkat derajat madrasah pada posisi yang sejajar dan membuka kesempatan yang sama dengan sekolah umum. Akan tetapi disisi lain, proporsi materi pelajaran agama

Page 21: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

161

yang mengalami reduksi menjadi 30% sementara pelajaran umum sebanyak 70%, itu membuat kekuatan dan kekhasan madrasah semakin menurun. Kondisi ini turut memberi andil menciptakan lulusan madrasah yang serba tanggung. Di bidang pelajaran umum kurang dan di bidang pelajaran agama juga tidak cukup. Lulusan madrasah yang hanya mendapatkan pelajaran umum sebanyak 70%, mungkin. Kurang mampu bersaing dengan lulusan sekolah umum yang mendapat pelajaran umum 100% (Jurnal Madrasah, 1999: 5).

Perkembangan selanjutnya ditandai dengan diberlakukan kurikulum 1994 yang mengurangi mata pelajaran agama dari 15 jam menjadi hanya 2 jam. Kalau SKB Tiga Menteri sudah memberi predikat madrasah menjadi ”sekolah umum berciri khas Islam" maka dengan kurikulum 1994 ini semakin membuat madrasah kehilangan jati diri. c. Madrasah dalam UU Sisdiknas No. 2 tahun 1989

Perjuangan mendapat perlakuan sama dicapai ketika keluar UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana madrasah dianggap sebagai sekolah umum berciri khas Islam yang kurikulumnya sama persis dengan sekolah umum namun ditambah pelajaran agama. Undang-undang No. 2 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan agama adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional (Mudjahid, 2000:9) lebih memantapkan secara yuridis akan eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mencerdaskan bangsa yang membentuk pribadi taqwa. Kedudukan madrasah kemudian diperkuat lagi dengan PP. No. 28 Tahun 1990 dan SK Mendikbud No. 0487/U/1992 dan No. 054/U/1993. SK-SK tersebut kemudian ditindaklajuti dengan SK Menag No. 368 dan 369 tentang penyelenggaraan MI dan MTs (Abdillah, 1997).

Page 22: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

162

Dengan munculnya UU dan PP di atas, maka kedudukan madrasah kemudian tidak ada bedanya dengan skolah-sekolah yang dikelola Depdiknas, dari mulai jenjang TK/RA sampai ke jenjang MA/SLTA. Ini tercermin dalam komposisi kurikulum umum yang 100 persen sama dengan sekolah. Yang berbeda adalah muatan kurikulum agamanya. Konsekuensi dari sekolah umum “berciri khas Islam” menyebabkan kurikulum agama di madrasah melebihi porsi mata pelajaran agama di sekolah umum yang hanya menjadi satu mata pelajaran, yakni Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diajarkan selama 2 jam perminggu. Sementara di madrasah mata pelajaran PAI dipecah menjadi subject matter yang lebih luas, meliputi lima bidang studi, yakni Aqidah-Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, Alquran Hadits, dan Bahasa Arab. d. Madrasah dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003

Pada tahun 2003 dikeluarkan Undang-Undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagai pengganti UU Sisdiknas yang lama (tahun 1989). UU ini mempertegas jalur atau jenjang dan jenis pendidikan, di mana Madrasah (MI, MTs, MA) mendapatkan tempat dan kedudukan yang sama dengan sekolah umum dengan pelaksanaan kurikulum yang sama. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas secara eksplisit (tegas) keberadaan madrasah dikemukakan dalam bagian dua tentang “Pendidikan Dasar” pasal 17 ayat (2), dan bagian tiga tentang “Pendidikan Menengah” pasal 18 ayat (3). Dalam pasal tersebut dinyatakan, “Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat”. (Lembar Negara RI No. 78,2003 dan penjelasan dalam tambahan Lembaran Negara RI No. 4301).

Page 23: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

163

Ini berarti bahwa madrasah bukanlah lagi pendidikan kelas dua, yang sekaligus menuntut madrasah untuk mengejar ketertinggalannya dalam mutu penyelenggaraan hingga mutu lulusan agar sama dengan sekolah umum (dan bahkan seharusnya bernilai plus). UU SPN tersebut menempatkan MI dan MTs sebagai sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama yang bercirikan agama, sedang MA adalah sekolah menengah umum yang bercirikan agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.

Agaknya kata bijak "pengalaman adalah guru yang paling berharga" telah membuat para praktisi pendidikan Islam sadar untuk tidak terjebak yang kedua kali. Pemberlakuan SKB telah memberikan pelajaran berharga. Oleh karena itu meskipun mata pelajaran umum diajarkan 100 %, dan pelajaran agama hanya sebagai tambahan (dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003), namun pada dasarnya tidak membuat madrasah kehilangan jati diri sebagai institusi pendidikan Islam. Langkah yang ditempuh adalah dengan cara memasukkan apa yang mereka sebut "nuansa Islam" dalam mata pelajaran yang tercantum dalam kurikuium. Untuk itu Departemen Agama telah menghimpun para ahli tentang pendidikan Islam untuk menulis buku-buku teks berkenaan dengan masing-masing mata pelajaran dengan nuansa Islam (Azra, 1997: 72).

Meskipun kini dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional madrasah diberi predikat “sekolah umum berciri khas agama”, tetapi hingga kini madrasah masih mengalami banyak problematika dalam pengembangan dan peningkatan mutu proses dan keluaran pendidikannya. Ini terjadi di antaranya karena “madrasah hanyalah menjadi pelaksana program yang direncanakan dan diputuskan oleh pusat (DEPAG)”(Inovasi, 2003: 17). Bahkan ada yang menilai meskipun kini program otonomisasi daerah termasuk dunia

Page 24: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

164

pendidikan makin gencar “otonomi pendidikan tidak banyak berpengaruh terhadap perkembangan madrasah”(Rofiq, 2003: 21).

Madrasah memang telah mendapatkan tempat yang makin layak dalam sistem pendidikan nasional, tetapi dalam faktanya masih dijumpai kebijakan pendidikan Diknas yang lebih mendahulukan kepentingan sekolah ketimbang madrasah. Implikasi politik pendidikan nasional yang lebih ‘menganakemaskan’ lembaga pendidikan umum secara kasat mata cukup jelas dampaknya, terutama pada aspek finansial, sarana-prasarana, dan bahkan mutu serta daya saing madrasah yang mayoritas kalah dibandingkan dengan sekolah. e. Kebijakan Peningkatan Mutu Madrasah

1) Madrasah Aliyah Keagamaan (MAPK) Sebagaimana pernah disebutkan di atas, ketika komposisi

kurikulum pendidikan agama hanya 30 % maka kompetensi keagamaan lulusan madrasah menurun dan efek selanjutnya membuat lulusan madrasah justru kesulitan masuk ke perguruan tinggi Islam. Ini tentu merupakan masalah yang ironis dan harus dibenahi. Untuk mengatasi masalah menurunnya kualitas penguasaan ilmu-ilmu agama lulusan madrasah ini maka dikeluarkanlah kebijakan tentang Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) atau Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) pada tahun 1987/1988 berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1987.

Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) adalahsebuah madrasah yang menekankan ilmu-ilmu keislaman dengan menggunakan pengantar bahasa Arab dan Inggris. MAPK didirikan ketika Menteri Agama dijabat oleh Munawwir Sjazali. MAPK sejak 1987 diddirikan di berbagai kota di Indonesia, yaitu di Padang Panjang, Sumatera Barat, Ciamis, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta; Ujung

Page 25: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

165

Pandang, Sulawesi Selatan, dan Jember, Jawa Timur. Beberapa tahun kemudian jumlahnya bertambah lima lagi, yaitu Banda Aceh, Lampung, Solo, Banjarmasin, dan Mataram (id.wikipedia.org/wiki/ STAIN_Surakarta).

Kurikulum MAPK lebih menekankan kepada kurikulum PAI karena memang madrasah ini dipersiapkan untuk mencetak calon-balon ahli agama yang kelak dapat meneruskan studinya ke jenjang perguruan tinggi agama (IAIN dan STAIN). Pada mulanya para alumni dari proyek percontohan MAPK ini adalah bibit-bibit unggul yang harus segera ditampung pada pendidikan tingkat tinggi, tetapi PTAI yang unggulan pula. Sebab, jika mereka meneruskan ke IAIN yang sudah ada dikhawatirkan mereka akan mengalami kemunduran, karena harus menyesuaikan diri dengan mahasiswa lain lulusan SLTA umum dan MAN yang tidak disiapkan secara khusus, kecuali lulusan SLTA yang dikelola oleh pesantren-pesantren yang berkualifikasi baik. Dari sini pula kemudian melahirkan gagasan pak Munawir agar perlunya disiapkan IAIN unggulan yang dapat menampung mereka. Salah satunya adalah didirikannya STAIN Surakarta (id. wikipedia.org/wiki/STAIN_Surakarta).

Kebijakan MAPK memang kemudian tidak berjalan lama dan berkesinambungan. Kebijakan MAPK tampaknya adalah kebijakan crash program yang hanya dibutuhkan dalam jangka waktu tertentu. Ketika kebutuhan terhadap calon ahli-ahli agama dirasakan sudah cukup, maka MAPK kemudian dihapuskan. 2) Madrasah Model

Kebijakan lain yang muncul adalah kebijakan membinan beberapa madrasah yang memenuhi syarat sebagai madrasah unggulan. Dalam istilah Departemen Agama disebut ”Madrasah Model”. Kebijakan ini dilatarbelakangi beberapa

Page 26: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

166

alasan, di antaranya: 1) realitas menunjukkan bahwa mutu madrasah-madrasah di Indonesia memprihatinkan, maka perlu beberapa madrasah yang dapat dijadikan contoh dalam hal keunggulannya; 2) persaingan dalam pendidikan yang kian ketat, terutama dengan sekolah-sekolah umum yang relatif lebih unggul dalam banyak hal dibandingkan dengan madrasah; 3) adanya berbagai keterbatasan (khususnya dana) maka sulit untuk menuntut madrasah negeri dan swasta melakukan perubahan secara serentak menuju sekolah dengan mutu yang standar. Karena itu perubahan ini bisa dilakukan pertama pada madrasah-madrasah negeri dan madrasah swasta yang sudah maju atau yang dikelola oleh ormas-omias Islam, dan kemudian pada madrasah swasta pada umumnya. Perubahan ini dilakukan melalui upaya-upaya perbaikan atau peningkatan kualitas madrasah, terutama di bidang kelembagaan, kurikulum dan tenaga pengajar (Abdillah 1997).

Adapun madrasah yang dapat dijadikan model harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a) Pendidikan madrasah sebagai sekolah umum yang

berciri keagamaan dengan penjurusan sebagaimana sekolah umum biasa. Hal ini berarti, bahwa filosofi pendidikan madrasah seharusnya tetap mempertahankan misinya sebagai transfer nilai-nilai Islam dan sekaligus transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan. Ciri keagamaan ini diwujudkan tidak hanya melalui pengajaran ilmuilmu agama Islam, tetapi juga melalui penciptaan suasana keagamaan yang kondusif serta sedapat mungkin pengintegrasian penyajian mata pelajaran yang ada dengan dasar-dasar dan moralitas Islam.

Page 27: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

167

b) Penetapan kurikulum yang sama dengan yang diajarkan di sekolah umum ditambah mata pelajaran agama. Dengan kurikulum ini diharapkan alumni MI dapat melanjutkan ke MTS atau SMP, alumni MTs dapat melanjutkan ke Madrasah Aliyah (MA) atau SMU, dan alumni MA dapat melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Agama maupun Perguruan Tinggi Umum. Namun demikian, perlu juga mempertimbangan adanya alumni yang tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi melainkan ke dunia kerja, sehingga perlu pemberian bekal keterampilan-keterampilan tertentu kepada mereka, agar mereka siap memasuki lapangan kerja.

c) Mempertahankan adanya madrasah khusus yang porsi pelajaran agamanya lebih besar dari pada pelajaran umum. Hal ini terutama dimaksudkan untuk mempersiapkan lulusan MA yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Agama (IAIN/PTAIS) yang sangat menuntut penguasaan dasar ilmu agama dan bahasa Arab. Madrasah khusus ini juga dimaksudkan untuk mengisi lapangan pekerjaan yang berkaitan dengan urusan keagamaan. Dalam hal ini, madrasah-madrasah yang berada dalam pengelolaan pondok pesentren sangat potensial untuk dijadikan madrasah khusus.

d) Tersedianya tenaga pengajar yang memenuhi kualifikasi tertentu. Hal ini dilakukan dengan cara merekrut tenaga-tenaga pengajar sesuai dengan latar belakang bidang studinya dan menagadakan penataran bagi pengajar yang ada untuk meningkatkan keahlian-nya.

e) Penggunaan metode be}ajar yang partisipatif. Hal ini dilakukan dengan cara memperkecil jumlah peserta

Page 28: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

168

didik dalam satu kelas agar pengajar dapat memberi-kan perhatian lebih besar kepada tiap-tiap peserta didik.

f) Perbaikan sistem manajemen dan administrasi madrasah. Hal ini dilakukan melalui penataran bagi para pengelola madrasah, baik pimpinan maupun tenaga administrasi, dengan tujuan agar mereka mampu menangani kegiatan proses belajar mengajar secara efektif. (Abdillah 1997).

3) Pemberdayaan Madrasah Swasta Fakta menunjukkan bahwa jumlah madrasah swasta di

Indonesia mencapai 80 % dari total seluruh madrasah yang ada di Indonesia. Hanya 20 % saja madrasah yang berstatus negeri yang dikelola dan disubsidi penuh oleh pemerintah. Kebanyakan madrasah swasta didirikian oleh masyarakat dengan modal semangat keagamaan yang tinggi demi membekali generasi muda Muslim dengan pengetahuan agama dan umum yang memadai. Modal semangat lebih sering tidak diimbangi dengan modal yang memadai secara finansial, manajemen, sarana pendidikan, dan mutu pendidiknya. Oleh karena itu tidak heran jika sebagian madrasah swasta yang kebanyakan didirikan di desa-desa itu keadaan gedung sekolah apa adanya, jumlah kursi-meja belajar siswa lebih sedikit dari jumlah siswanya, sarana pendukung pendidikan tidak lengkap, perpustakaan alakadarnya, dan sebagainya. Oleh karena itu memprioritaskan pemberdayaan terhadap madrasah swasta adalah sesuatu yang dianggap mendesak oleh pemerintah (Departemen Agama).

Ide pemberdayaan madrasah swasta secara formal diawali oleh Lokakarya Pengembangan Madrasah Swasta di Lingkungan Organisasi Penyelenggaraan Pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh Ditbinrua di Jakarta pada

Page 29: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

169

19 sampai 20 Nopember 1996. Pemberdayaan yang dimaksud meliputi aspek manajemen, proses pembelajaran, pelibatan masyarakat, dan sebagainya. (Jurnal Madrasah, Vol. 1, no. 3, 1997: 5).

Pemberdayaan madrasah swasta memang pada awalnya hanya menjadi wacana saja. Realisasinya memang ada tetapi hanya dalam bentuk bantuan-bantuan insidentil. Baru di tahun 2000-an awal perhatian terhadap madrasah swasta mulai signifikan, baik dalam bentuk bantuan pembangunan sarana fisik, maupun Bantuan Operasional Madrasah (BOM). Saat ini bantuan juga diberikan kepada para guru madrasah yang belum memiliki kualifikasi S1 dalam bentuk beasiswa kepada para guru untuk melanjutkan ke jenjang S1 di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang ditunjuk oleh pemerintah, baik di Fakultas Tarbiyah di PTAIN maupun LPTK di Fakultas Keguruan di PTU. Ini merupakan bagian dari upaya pemerintah meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru sesuai dengan amanat UU Sisdiknas maupun UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 4) Madrasah Terbuka

Ide mendirikan madrasah terbuka diawali oleh Forum Kajian Pembinaan Tenaga Teknis Perguruan Islam (Pergurais) yang diadakan di Jakarta pada 5 Pebruari 1996, di mana Husni Rahim sebagai Direktur Pembinaan Kelembagaan Islam (Binbagais) mengemukakan beberapa agenda pengembangan madrasah, di antaranya tentang rencana mendesak dibukanya madrasah terbuka, khususnya di tingkat Tsanawiyah. Keinginan ini akhirnya terwujud di mana pada 16 Juli 1996 MTS Terbuka secara resmi dibuka oleh Menteri Agama RI Tarmizi Taher yang untuk pertama kali dipusatkan di Pondok Pesantren Nurul Qur’an,

Page 30: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

170

Purwasari, Sayung, Demak Jawa Tengah (Jurnal Madrasah, Vol. 1, no. 2, 1997: 4).

Latar belakang dibukanya MTS Terbuka oleh Departemen Agama antara lain adalah dalam rangka menyikapi kebijakan dalam UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa anak yang mencapai usia 7 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Kebijakan lain adalah wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan oleh Presiden Suharto pada awal Pelita IV, 2 Mei 1994, sebagai realisasi amanat UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 1989 (Jurnal Madrasah, Vol. 1, no. 2, 1997: 5). Dalam rangka menyukseskan program pemerintah ini, madrasah memiliki posisi penting karena madrasah pada umumnya banyak didirikan oleh masyarakat secara swadaya. Terdapat puluhan ribu madrasah di Indonesia dan 80 persen bertatus swasta. Jumlah siswanya jutaan orang. Dari segi kuantitas maka madrasah juga memiliki andil besar dalam menyukseskan program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah. Di samping itu pada umumnya madrasah didirikan di desa-desa yang kadang-kadang tidak terjangkau oleh program pendidikan pemerintah.

Tujuan pendirian Madrasah Terbuka adalah memberikan kesempatan yang sama kepada semua masyarakat untuk melanjutkan pendidikan, khususnya bagi mereka yang kurang mampu secara ekonomi atau berda di desa atau daerah tertinggal. Dengan menikmati pendidikan di madrasah terbuka diharapkan ada kesetaraan dalam kemampuan masyarakat di bidang pendidikan (Jurnal Madrasah, Vol. 1, no. 2, 1997: 5).

Madrasah Terbuka didirikan dengan mengacu kepada SMP Terbuka yang didirikan oleh Depdiknas (pada saat itu Depdikbud). Perbedaannya adalah MTs Terbuka

Page 31: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

171

mengambil tempat di pondok-pondok pesantren, khususnya yang tidak menyelenggarakan sekolah formal. MTs Terbuka harus menginduk kepada MTsN terdekat. Pemilihan pondok pesantren didasari pertimbangan bahwa letak pesantren umumnya di desa yang secara ekonomi masih banyak masyarakatnya kurang mampu. Di desa juga jarang diadakan sekolah formal dan masyarakatnya juga jarang yang mengenyam pendidikan formal. Fakta lainnya, di desa banyak anak yang telah tamat SD tetapi tidak dapat melanjutkan ke SLTP, baik karena ketiadaan biaya, kurangnya motivasi dan minat, maupun karena kebutuhan tenaga kerja demi mendukung ekonomi keluarga (Jurnal Madrasah, Vol. 1, no. 2, 1997: 6).

Dalam penyelenggaraannya ada beberapa persamaan dan perbedaan antara MTs Terbuka dengan yang biasa. Dari segi kurikulumnya sama 100 persen, tetapi metode pembelajarannya agak berbeda. Siswa ditekankan kemandiriannya dalam belajar. Oleh karena itu bahan ajarnya lebih banyak berbentuk modul dan ditunjang oleh sumber belajar lain, seperti radio, kaset audio, dan sebagainya. Karena kurikulumnya sama dengan SLTP atau MTs biasa, maka lulusan MTs terbuka statusnya sama dengan MTs biasa. Mereka juga punya hak melanjutkan ke SLTA (Jurnal Madrasah, Vol. 1, no. 2, 1997: 6).

MTs Terbuka tidak memungut biaya kepada pesertanya (gratis). Pada kenyataannya penyelenggaraan sekolah ini memang tidak membutuhkan biaya besar. Tidak memerlukan gedung sekolah yang bagus dan permanen, cukup memanfaatkan fasilitas yang tersedia, seperti serambi masjid, musholla, dan sebagainya. Gurunyapun tidak direkrut dari guru baru, cukup memanfaatkan tenaga yang ada, misalnya ustadz di pesantren yang diebut guru

Page 32: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

172

pamong. Tugasnya tidak mengajar, tetapi mengarahkan dan mengawasi siswa, karena siswa belajar dengan modul. Seminggu sekali siswa belajar dengan guru bina di MTs induk. Kelebihan lain, siswa juga dapat belajar sambil bekerja membantu orang tuanya, baik yang berprofesi sebagai petani maupun pedangang (Jurnal Madrasah, Vol. 1, no. 2, 1997: 5).

3. Implikasi Kebijakan Politik Pendidikan Madrasah pada Aspek Manajemen Madrasah di Indonesia Adanya kebijakan desentralisasi dan otonomi dengan disahkannya

UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, memunculkan dilema mengenai status madrasah. Ketentuan UU No 22/1999 menyatakan kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, termasuk pendidikan. Yang tetap diurus pemerintah pusat adalah bidang keagamaan, pertahanan, fiskal dan moneter. Pertanyaannya apakah madrasah termasuk dalam bidang pendidikan atau agama? Ini adalah bentuk kegamangan madrasah dari segi pengelolaan atau manajemen.

Terjadinya ketidakseimbangan kebijakan pendidikan madrasah menyebabkan jurang kesenjangan dan ketimpangan pengelolaan antara lembaga pendidikan umum dengan madrasah terus terbuka. Bahkan, bentuk-bentuk kesenjangan masih terus terjadi hingga hari ini. Menurut Husnim, sampai sekarang diskriminasi tetap terjadi, termasuk perhatian Pemda-pemda yang masih kurang, misalnya Pemda DKI yang hanya memberi tunjangan kepada guru sekolah agama Rp. 750 ribu (per tahun), sementara guru sekolah umum diberi tunjangan Rp1 juta per tahun (pemkabsukabumi.blogspot.com/2009/11/).

Kadang-kadang madrasah juga dipandang hanya sebuah lembaga pendidikan kelas dua alias tidak memiliki kesesuaian standar kualitas

Page 33: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

173

mutu pendidikan. Padahal, madrasah adalah institusi pendidikan yang juga memberi pencerahan kepada anak bangsa melalui proses penyelenggaraan pendidikan sejalan dengan tujuan pendidikan nasional. Fakta-fakta ini membuat keberadaan madrasah semakin terjepit di tengah berbagai bentuk keprihatinan dan ketidakberdayaan dan tuntutan yang selama ini menimpanya.

Implikasi yang sangat jelas dari adanya kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah sebagai berikut (Salam, 2008): a. Sampai hari ini pengelolaan madrasah menjadi tanggungjawab

Departemen Agama. Dasarnya “tafsir aneh” atas UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 7 (1), dimana secara tersirat menjadikan madrasah sebagai bagian dari urusan “agama” yang merupakan salah satu urusan wajib pemerintah pusat yang kewenangannya tidak diserahkan kepada pemerintah daerah. Selain itu, mengacu pula pada “aturan usang” PP 28 tahun 1990 pasal 10 (1-2), dimana “Pengelolaan madrasah dilimpahkan kepada Menteri Agama”. PP ini bertentangan dengan UU No. 20/2003 pasal 50 ayat (1) berbunyi, “Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri Pendidikan”.

b. Sebagai lembaga vertikal yang berada di bawah Menteri Agama, Departemen Agama tidak bisa optimal dalam upaya memperbaiki mutu madrasah. Hal ini disebabkan oleh: 1) Departemen Agama di daerah tidak memiliki kewenangan

untuk mengeluarkan kebijakan strategis dalam pengelolaan madrasah dan selalu menunggu kebijakan pemerintah pusat.

2) Departemen Agama memiliki keterbatasan sumber daya keuangan dan manusia (SDM), karena kebijakan anggaran sudah ditentukan oleh Depag Pusat.

3) Rentang kendali dan manajemen pengeloaan madrasah di bawah Departemen Agama kurang efektif dan efesien.

Page 34: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

174

4) Departemen Agama hanya mengelola penuh madrasah yang berstatus negeri. Sementara madrasah yang berstatus swasta yang mengelola jutaan siswa relatif terabaikan, disebabkan berbagai keterbatasan sumber daya yang di miliki.

Implikasi lain yang mungkin muncul dari realisasi kebijakan otonomi pendidikan di atas, menurut Wahid (2008) adalah sebagai berikut: a. Pemikiran yang paling simple ditingkat kebijakan, namun bisa

bervariasi ditingkat implementasi, yakni menginginkan pendidikan madrasah tetap di bawah Depag secara struktural, namun pengelolaan di tingkat daerah diotonomikan sejalan dengan UU Otonomi tersebut.

b. Kalau sentralisasi tetap sebagai pilihan maka Depag masih secara langsung menyelenggarakan pembinaan madrasah seperti selama ini. Pilihan ini mengandung makna, Depag memandang madrasah berada dalam kategori sektor agama sebagaimana tertuang dalam UU NO. 22/1999. Sumber dana yang diberikan untuk melakukan pembinaan dapat langsung dikelola Depag. Kekuranganya: anggaran berasal dari sektor agama yang relatif kecil; pemda merasa tidak bertanggung jawab terhadap madrasah; masyarakat kurang terlibat dalam pendidikan; dan tentunya birokrasi berbelit-belit.

c. Adanya peluang dari Pemda memberikan perhatian cukup besar, termasuk anggaran, terhadap madrasah dan pesantren dengan kerjasama antara pemerintah, DPR, Depdiknas, Depag serta masyarakat.

d. Menyerahkan pembinaan madrasah ke pemda tingkat II sehingga satu atap dalam penyelenggaraan. Kelebihannya, antara lain pengakuan madrasah sebagai bagian dari sisdiknas semakin kuat sehingga memperoleh perlakuan sejajar dan tidak ada diskriminasi termasuk dalam masalah anggaran. Kekurangannya: dikhawatirkan Depdiknas kurang memiliki SDM yang mengerti

Page 35: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

175

spirit madrasah, sehingga ciri khas Islam berkurang bahkan hilang. Apalagi bila masyarakat sudah cuci tangan dalam pengelolaan sekolah.

4. Implikasi Kebijakan Politik Pendidikan Madrasah pada Aspek Kurikulum Madrasah di Indonesia Secara legal-formal, madrasah sudah terintegrasi dalam sistem

pendidikan nasional sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas. Salah satu implikasi dari integrasi ini adalah bahwa madrasah, juga pendidikan Islam lainnya, terus menghadapi pilihan yang tidak mudah, yaitu antara kebutuhan keagamaan dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam, sementara di sisi lain lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat keduniawian (Wahid, 2008).

Demikian pula dari materi pendidikannya, madrasah juga perlu menyajikkan program pendidikan yang setara dengan pendidikan yang diberikan Depdiknas. Kenyataan ini membawa madrasah kepada keharusan mengubah kurikulumnya. Perubahan kurikulum madrasah itu juga didasari kebutuhan masyarakat pengguna jasa madrasah, karena tuntutan zaman. Munculnya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) telah memberi legitimasi teologis perubahan kurikulum madrasah. Dari sini mulai berkembang gagasan integrasi ilmu agama dan iptek yang selama ini dikelompokkan ke dalam ilmu umum atau ilmu sekuler. Muncul kemudian berbagai model madrasah terpadu yang mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama ke dalam satuan kurikulum madrasah (Wahid, 2008).

Adanya beberapa kebijakan yang berkaitan dengan perubahan kurikulum madrasah mengakibatkan besarnya beban dan muatan kurikulum madrasah. Di satu pihak siswa madrasah harus menguasai materi kurikulum ilmu-ilmu agama yang menjadi ciri khas madrasah

Page 36: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

176

(tafaqquh fi al-din) yang jumlahnya secara kuantitas lebih besar (lima bidang studi) dari pendidikan agama di sekolah umum (yang hanya 2 jam pelajaran perminggu), tetapi pada saat yang sama para siswa juga dibebankan dengan kurikulum ilmu-ilmu umum yang sama porsinya dengan kurikulum untuk sekolah-sekolah umum.

Selain yang disebutkan di atas ada implikasi yang lebih substansial lagi dari aspek kurikulum. Dalam hal ini ada baiknya dikutip pendapat Mastuhu, tentang kelemahan kurikulum pendidikan madrasah. Kelemahan ini kata Mastuhu sebenarnya sama dengan kelemahan umum yang disandang oleh pendidikan di Indonesia. Kelemahan tersebut meliputi ; a) memetingkan materi di atas metodologi, b) mementingkan memori di atas analisis dan dialog, c) mementingkan pikiran vertical di atas literal, d) mementingkan penguatan pada otak kiri di atas otak kanan, e) materi pelajaran agama yang diberikan masih bersifat tradisional, belum menyentuh aspek rasional, f) penekanan yang berlebihan pada ilmu sebagai produk final, bukan pada proses metodologinya, g) mementingkan orientasi “memiliki” di atas “menjadi”. (Mastuhu 1999: 59)

Karena status madrasah pada semua jenjang telah disamakan (equivalen) dengan sekolah umum, maka kurikulum komponen pendidikan umum madrasah sepenuhnya (100%) mengikuti kurikulum yang ditetapkan Diknas. Implikasinya adalah isi pendidikan madrasah tidak lagi memiliki perbedaan yang terlalu subtansial dan sustantif dengan sekolah umum. Padahal, madrasah sesuai dengan akar eksistensi dan pengalaman historiesnya semestinya memiliki ciri dan karakter pendidikan Islam. Oleh karena itu, madrasah perlu mengembangkan kurikulum pendidikan Islamnya, baik melalui celah muatan lokal, maupun dengan penambahan waktu belajar yang khusus untuk materi keislaman”.(Azra 2003). Prospek ini dapat terakomodasi melalu kurikulum KBK dan kebijakan desentralisasi pendidikan.

Karena beban kurikulum yang lebih berat ditambah fasilitas belajar yang mutunya lebih rendah daripada sekolah, implikasi

Page 37: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

177

berikutnya adalah kualitas lulusan madrasah pun tidak maksimal dan serba tanggung.

5. Implikasi Kebijakan Politik Pendidikan Madrasah pada Aspek Pendanaan dan Sarana Pendidikan Madrasah di Indonesia Usaha-usaha untuk meningkatkan pendidikan di madrasah

menemui kendala pula pada keuangan. Dana yang berasal dari Departemen Agama yang diatur berdasarkan UU No. 22 Tahun 1989 ternyata jauh dari cukup untuk menyelenggarakan pendidikan yang layak. Hal ini menjadi dilema karena keadaan keuangan negara pun tidak memungkinkan untuk mengalokasikan dana APBN lebih banyak untuk pendidikan. Padahal, perhatian pemerintah diyakini berbanding lurus dengan kualitas pendidikan dan kemajuan sebuah negara.

Implikasi lain yang muncul dari kebijakan pendanaan madrasah adalah masih terasanya diskriminasi dalam pendanaan madrasah. Meskipun dalam praktek sekarang ada dana BOS (Bantuan Oprasional Sekolah), tapi dampak dari otonominisasi daerah, dengan status tanggungjawab terhadap madrasah oleh pemerintah pusat (Depag), otomatis menjadi lemahnya perhatian dan tanggungjawab pemerintah daerah terhadap madrasah. Apalagi adanya kemampuan pembiayaan pemerintah pusat yang semakin berkurang karena adanya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan UU No. 25/1999.

Ketidakseimbangan pendanaan antara pendidikan agama dan umum ini sudah terjadi sejak lama. Hal in terlihat pada data pembiayan pendidikan pada tahun 1999/2000, biaya pendidikan untuk IAIN sebesar Rp. 50.000,- per mahasiswa setiap tahun, sedangkan universitas negeri sebesar Rp 150.000,-. MAN sebesar Rp 51.000,- per siswa, sedang SMU sebesar Rp 67.000,-, MTsN sebesar Rp 33000,- per siswa sedangkan SLTPN sebesar Rp 49.000,- per siswa, sedangkan SDN sebesar Rp 100.000,- per anak setiap tahunnya (Perta, No. 2, Vol. III/2000, hlm. 1). Fakta ini jelas menjadi tantangan

Page 38: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

178

sendiri bagi madrasah, apalagi anak-anak yang bersekolah di madrasah memiliki latar belakang sosial ekonomi yang rendah, yang seharusnya memperoleh subsidi anggaran lebih besar dibandingkan siswa sekolah umum.

Selain itu fakta minimnya perhatian pemerintah terhadap madrasah dibandingkan pada sekolah umum, misalnya dapat dilihat dalam hal pengadaan sarana dan prasarana pendidikan madrasah. Akibatnya, madrasah beroperasi dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas dan kurang. Ironisnya, pemerintah lebih banyak melakukan intervensi terhadap kekhasan pendidikan madrasah, selain intervensi mereka terhadap kurikulum.

Dalam menetapkan anggaran pendidikan untuk madrasah persepsi yang terbangun adalah persepsi bahwa madrasah merupakan model pendidikan agama dan dikategorikan sebagai lembaga keagamaan. Implikasinya anggaran madrasah diambil dari anggaran pembinaan keagamaan, bukan dari anggaran pendidikan. Implikasi lebih jauh unit cost madrasah jauh di bawah sekolah umum, demikian juga halnya dalam hal subsidi dan lain-lain. Di beberapa daerah guru honorer di lingkungan madrasah negeri dan guru swasta sama sekali tidak mendapat bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.(Wahid, 2008).

Akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan pendidikan umum di tanah air ini, lembaga pendidikan madrasah menjadi semakin marginal dan cenderung tidak berdaya. Padahal kalau mau jujur, madrasah telah banyak memberikan kontribusi nyata untuk meningkatkan kualitas bangsa ini dalam konteks pendidikan berbasis nilai-nilai moralitas keagamaan dan kebangsaan. Madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjalankan fungsi filterisasi terhadap pengaruh yang dibawa oleh arus globalisasi. Keberadaan madrasah adalah sebuah wujud partisipasi masyarakat yang menyadari betapa pentingnya madrasah untuk mempersiapkan peserta didik yang

Page 39: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

179

siap menantang perubahan zaman yang berimplikasi pada perubahan sikap dan tingkah laku masyarakat (Wahid, 2008).

E. Penutup Kesimpulan penting penelitian ini, yaitu: pertama, pada masa

Orde Lama politik pendidikan madrasah di Indonesia diawali oleh (1) maklumat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) mengeluarkan maklumat tanggal 22 Desember 1945 yang menganjurkan untuk memajukan pendidikan dan pengajaran di madrasah. (2) Upaya Departemen Agama mengintegrasikan pendidikan madrasah menjadi salah satu komponen pendidikan nasional yang secara yuridis yang dituangkan dalam “Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950. (3) Mengintegrasikan kurikulum umum dan agama di sekolah dan madrasah, memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pendidikan di madrasah, dan mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) untuk memproduksi guru agama bagi sekolah umum maupun madrasah.

Kedua, pada masa Orde Baru muncul beberapa kebijakan: (1) mulanya muncul pendekatan legal formal yang tidak mendukung madrasah di mana dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). (2) Karena direaksi keras pemerintah mengeluarkan keputusan bersama Mendikbud, Menteri Agama (Menag), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang isinya, mengembalikan status pengelolaan madrasah di bawah Menteri Agama, tetapi harus memasukkan kurikulum umum yang sudah ditentukan pemerintah madrasah. (3) Penyeragaman kurikulum madrasah dan sekolah dengan komposisi jam pelajaran terbagi 30% agama dan 70% umum. (4) Mengintegrasikan administrasi penyelenggaraan pendidikan, dengan dikeluarkanya Keppres No. 34

Page 40: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

180

Tahun 1972 yang dikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1975. (5) Pengakuan atas lulusan madrasah yang dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan umum berikutnya. (6) Integrasi madrasah dalam UU Sisdiknas No. 2 tahun 1989. (7) Integrasi madrasah dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang mempertegas jalur atau jenjang dan jenis pendidikan, di mana Madrasah (MI, MTs, MA) mendapatkan tempat dan kedudukan yang sama dengan sekolah umum dengan pelaksanaan kurikulum yang sama. (6) Kebijakan peningkatan mutu madrasah, yaitu pendirian MAPK, Madrasah Model (unggulan), pemberdayaan madrasah swasta, dan pembukaan MTs Terbuka.

Ketiga, implikasi kebijakan politik pendidikan madrasah pada aspek manajemen madrasah di Indonesia berupa: (1) madrasah gamang merespon kebijakan otonomisasi pendidikan dan perimbangan keuangan pusat-daerah. (2) Terjadinya ketidakseimbangan kebijakan pendidikan madrasah menyebabkan jurang kesenjangan dan ketimpangan pengelolaan antara lembaga pendidikan umum dengan madrasah. (3) Pengelolaan madrasah menjadi tanggungjawab Departemen Agama semata-mata. (4) Pemerintah daerah kurang peduli terhadap madrasah karena dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 7 (1) secara tersirat digambarkan bahwa madrasah adalah bagian dari urusan “agama” yang merupakan salah satu urusan wajib pemerintah pusat yang kewenangannya tidak diserahkan kepada pemerintah daerah. (5) Departemen Agama tidak bisa optimal dalam upaya memperbaiki mutu madrasah.

Keempat, implikasi kebijakan politik pendidikan madrasah pada aspek kurikulum madrasah di Indonesia adalah: (1) besarnya beban dan muatan kurikulum madrasah. (2) Isi pendidikan madrasah tidak lagi memiliki perbedaan yang terlalu subtansial dan sustantif dengan sekolah umum padahal madrasah memiliki ciri dan karakter tersediri.

Page 41: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

181

Kelima, implikasi kebijakan politik pendidikan madrasah pada aspek pendanaan dan sarana pendidikan madrasah di Indonesia adalah (1) masih terasanya ketidakseimbangan dan diskriminasi dalam pendanaan madrasah. (2) Minimnya perhatian pemerintah terhadap madrasah dibandingkan sekolah umum yang mengakibatkan madrasah beroperasi dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas dan kurang. (3) Rendahnya kesejahteraan guru madrasah, di mana guru honorer di lingkungan madrasah negeri dan swasta sama sekali tidak mendapat bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Daftar Pustaka Abdillah, Maskuri. 2002. “Pesantren dalam Konteks Pendidikan

Nasional dan Pengembangan Masyarakat”, dalam Ikhwanuddin dan Dodo Murtadlo (editor), Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru. Jakarta: PT Grasindo.

-------------. 2002. Peningkatan Kualitas Pendidikan Madrasah”, dalam Jurnal Madrasah, Vol 1, No. 2, 1997.

Abshor, Ulil. 2002. “Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran”, Wawancara di Radio 68 Hz, Kamis, 25 Juli 2002

Aguswijaya, Fery. 2006. ”Eksistensi dan Tantangan Madrasah dalam Sistem Pendidkan Nasional”, dalam Jurnal Conciencia, No. 2, Desember 2006.

Amir, Feisal Jusuf. 2002. Kebijakan pendidikan Nasional Menghadapi Tantangan Global. Jakarta: PT Grasindo.

Asrohah, Hanun. 1998. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos. Aziz, Abdul. 2005. “Kesetaraan Status dan Masalah Mutu Lulusan

Madrasah”, dalam Jurnal Edukasi, Vol. 3, No. 1, Januari-Maret 2005.

Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos.

-----------------. 2002. “Paradigma Baru Pendidikan Nasional”, dalam Kompas, Jakarta.

Page 42: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

182

Departemen Agama RI. T.t. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Dirjen Binbagais.

Djamas, Nurhayati. 2005. ”Posisi Madrasah di Tengah Perubahan Sistem Pendidikan Islam”, dalam Jurnal Edukasi, Vol. 3, No. 1, Januari-Maret 2005.

Effendy, Bachtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Fajar, A. Malik. 1998. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan.

Fuaduddin & Cik Hasan Bisri. 1999. Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: Logos.

Hawi, Akmal. 2001. “Tantangan Lembaga Pendidikan Islam”, dalam Jurnal Conciencia, No.2, Volume. I, Desember 2001.

“Madrasah Terbuka: Terobosan Baru dari Depag”, dalam Jurnal Madrasah, Vol. 1, no. 2, 1997.

“Madrasah Swasta: Potensi yang Butuh Pemberdayaan”, dalam Jurnal Madrasah, Vol. 1, no. 3, 1997.

Maksum. 1998. Madrasah: Sejarah dan Perkembangaannya di Indonesia. Jakarta: Logos.

Mastuki. 2005. “Asal Usul Madrasah”, dalam www. bagais.co.id Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional

dalam Abad 21. Yogyakarta: Safria Insania Press. Moleong, Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:

PT Remaja Rosda Karya. Mudjahid. 2000. “Madrasah Belum Siap Mandiri”, dalam Majalah

Ikhlas Beramal, No. 15 Tahun III. Desember 2000. Murodi. 1997. “Perkembangan Institusi Pendidikan Islam di Hindia

Belanda” dalam Jurnal Madrasah No. 03, PPIM, Jakarta,1997. Rafiq, Ahmad. 2003. “Otonomi Pendidikan Tidak Banyak Pengaruh

Bagi Madrasah”, dalam Inovasi Kurikulum, Edisi II, 2003.

Page 43: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

183

Rahim, Husni. 2002. ”Pendidikan Islam Di Indonesia Keluar Dari Eksklusivisme”, dalam Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru. Jakarta: PT Grasindo.

Rosidi. 1999. “Se ja r ah Per t umbu ha n Madr asah d i I n d o n e s i a ” , m a k a l a h d a l a m P e l a t i h a n G u r u M a d r a s a h K a n w i l D e p a r t e m e n A g a m a S u m a t e r a S e l a t a n .

Salam, Muhajir. 2008. “Membuka Ruang Ijtihad Kebijakan Madrasah”, dalam artikel.prianganonline.com/ cetak.php?id=188, 2008

Sirozy, M.. 2005. Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.

Wahid, Abd.Hamid. 2008. ”Sentralisasi Madrasah; Menafikan atau Menguatkan?”, dalam Jurnal Edukasi edisi Juli-September 2008.

Page 44: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

184

PENINGKATAN HASIL BELAJAR PAI DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR

SHARE DI SDN 2 PALAK TANAH MUARA ENIM

Elhefni Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah

Jl. Lempuing Blok I 12 No. 3529 Rt. 24 Rw. 06 Palembang, Hp. 08127339873, e-mail: [email protected]

Susilawati Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah dan

Keguruan IAIN Raden Fatah Palembang Jl. KH Zainal Abidin Fikry No. 1 km 3,5 Palembang

Abstract Teachers are expected to increase quality of learning outcomes in the learning process. This research aims to know whether Cooperative Learning type of think pair can improve learning outcomes of Islamic religious subject. Based on data analysis it conclude that before deploying this learning model the frequency of the overall student learning outcomes as follows: 6 students (15%) is high (good), 26 students (65%) classified as medium, and 8 students (20%) is low. After application of the model the outcomes are as follows: high category (good) 4 people (10% of students), moderate 28 people (70% of students), and a low 8 people (20% of students). Keywords: religious subjects, type think pair share, learning outcomes A. Pendahuluan

Dalam melaksanakan tugasnya secara profesional, seorang guru dituntut dapat memahami dan memiliki keterampilan yang memadai dalam mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif,

Page 45: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

185

kreatif, dan menyenangkan sebagaimana diisyaratkan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan. Dalam proses belajar mengajar yang sifatnya klasikal, guru harus berusaha agar proses belajar mencerminkan komunikasi dua arah (Subroto, 2002: 71). Mengajar bukan semata-mata merupakan pemberian informasi tanpa mengembangkan kemampuan mental fisik dan penampilan diri.

Pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran kelompok biasa karena pada pembelajaran kooperatif siswa tidak hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri tetapi juga bertanggung jawab terhadap kelompoknya. Dengan pembelajaran kooperatif siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu dalam memecahkan masalah-masalah yang kompleks, dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa macam tekhnik pembelajaran, tekhnik pembelajaran yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share, model pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share, ini dipilih karena memiliki keunggulan yaitu siswa dapat banyak waktu untuk berfikir, merespon, dan saling membantu, guru hanya menyampaikan materi secara singkat, kemudian mengajukan pertanyaan, kemudian guru menginginkan siswa memikirkan secara lebih mendalam tentang materi yang telah dijelaskan dan dialami.

Model pembelajaran ini dipilih untuk menggantikan tanya jawab seluruh kelas. “Tujuan kognitif penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share ini biasanya berupa informasi akademik sederhana, sehingga hanya cocok digunakan untuk materi-materi pembelajaran yang sederhana dan mudah, melelui pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share diharapkan mampu mengubah startegi pembelajaran yang masih disampaikan dengan metode ceramah menjadi pembelajaran yang melibatkan siswa dalam diskusi kelompok”. Model pembelajaran kooperatif tipe think-pair-

Page 46: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

186

share memberikan kesempatan siswa untuk bekerja sendiri dan bekerja sama dengan orang lain (kelompok) siswa juga diberi kesempatan untuk membagikan jawaban yang paling benar, teknik ini dapt mendorong siswa untuk bersemangat dalam bekerja sama, dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share ini diharapkan hasil belajar lebih baik dari siswa yang belajar sendiri.

Berdasarkan observasi awal, bahwasanya di SD Negeri 2 Palak Tanah Desa Semende Darat Tengah (SDT), pada umumnya proses pembelajaran PAI dikelas V (lima) siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran PAI sehingga hasil belajar siswa masih banyak yang belum mencapai kriteria ketentuan minimal yang sudah ditetapkan, rendahnya hasil belajar siswa itu disebabkan masih banyaknya siswa yang kurang respon terhadap materi yang diajarkan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Hal ini terlihat banyaknya siswa tidak memperhatikan penjelasan guru, siswa jarang sekali mengajukan pertanyaan dan apabila guru bertanya tentang materi yang sedang dipelajari, hanya sebagian kecil siswa yang mampu menjawab pertanyaan atau menjawab seadanya saja, kejadian tersebut mengakibatkan suasana kelas yang tidak kondusif yang akhirnya menghambat tujuan pembelajaran.

B. Kerangka Teori 1. Hasil Belajar

Hasil adalah suatu yang menjadi akibat dari usaha, pendapatan (Tim Reality, 2008: 212). Sedangkan belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003: 2).

Jadi, dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, hasil belajar adalah suatu usaha yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman untuk mendapatkan mengetahui tercapainya suatu tujuan.

Page 47: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

187

Hal ini dapat kita kaitkan dalam Al-Qur’an surat Al-Mujaddila ayat 11. Ayat ini menjelasakan bahwa orang yang benar-benar menuntut ilmu akan dimuliakan derajatnya oleh Allah SWT dan akan medapatkan keberhasilan serta kesuksesan belajar.

Dan untuk mengetahui hasil belajar perlua diadakan evaluasi belajar. Menurut Oemar Hamalik, evaluasi hasil belajar adalah seluruh kegiatan pengukuran (pengumpulan data dan informasi), pengolahan, penafsiran, dan pertimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan (Hamalik, 2008: 159).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan hasil belajar merupakan pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui penguasaan, atau tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu kegitan pembelajaran.

Tujuan belajar yaitu untuk mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep dn keteramilan, dan pembentukan sikap. Pencapaian tujuan belajar berarti akan menghasilkan hasil belajar, hasil belajar meliputi: keilmuan dan pengetahuan konsep atau fakta (kognitif), personal, kepribadian atau sikap (afektif), dan kelakuan keterampilan atau penampilan (psikomotorik) (Sardirman, 2007: 28-29). Belajar bertujuan mengadakan perubahan didalam diri antara lain tingkah laku (Dalyono, 2005: 49).

Jadi, tujuan belajar selalu berkesinambungan dengan hasil belajar siswa, dimana untuk melihat apakah tujuan belajar sudah tercapai atau tidak hal ini dapat dilihat dari hasil belajar siswa, dimana baik tujuan maupun hasil belajar hanya berkisar pada tiga aspek yaitu, aspek kognitif, apektif dan psikomotorik.

Slameto (2003: 54-59) faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar ada dua yaitu faktor internal dan eksternal:

a. Faktor-faktor Internal 1) Jasmaniah yaitu faktor kesehatan dan cacat tubuh

Page 48: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

188

2) Faktor psikologis yaitu faktror intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan,dan kesiapan

3) Faktor kelelahan. b. Faktor-faktor Eksternal

1) Faktor keluarga yaitu cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan

2) Faktor sekolah yaitu metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran diatas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah

3) Faktor masyarakat yaitu kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat.

2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share

a. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Menurut Brigss model adalah seperangkat prosedur yang

berurutan untuk mewujudkan suatu proses seperti penilaian kebutuhan, pemilihan media dan evaluasi (Harjanto, 2003: 110). Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran (Hamalik, 2008: 57). Kooperatif berasal dari bahasa Inggris yaitu cooperatif yang artinya kerjasama. Menurut Made Wena pemelajaran kooperatif adalah sistem pembelajaran yang berusaha memanfaatkan teman sejawat (siswa lain) sebagai sumber belajar disamping guru dan sumber belajar lainya (Wena, 2009: 190).

Page 49: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

189

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan model pembelajaran kooperatif adalah prosedur yang berurutan dalam proses belajar dengan memanfaatkan teman sejawat (siswa lain) sebagi sumber belajar untuk mencapai tujuan pendidikan. b. Pengertian Think Pair Share

Think “berfikir” pair “berpasang” dan share “berbagi” (Widiastuti dan Ali, tt: 274). Sedangkan menurut Arends think pair share atau berfikir-berpasangan-berbagi merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang diracang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa (Trianto, 2009: 81). Menurut konsep Dewey tentang berfikir, itu menjadi dasar untuk pemecahan masalah adalah sebagai beikut:

1) Adanya kesulitan yang dirasakan atau kesadaran akan adanya masalah

2) Masalah itu diperjelas dan dibatasi 3) Mencari informasi atau data dan kemudian data itu

diorganisasikan 4) Mencari hubungan-hubungan untuk merumuskan

hipotesis-hipotesis, kemudian hipotesis-hipotesis itu dinilai, diuji, agar dapat ditentukan untuk diterima atau ditolak

5) Penerapan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi sekaligus berlaku sebagai pengujian kebenaran pemecahan tersebut untuk dapat sampai pada kesimpulan (Slameto, 2003: 143).

Tahap-tahap dalam teknik berfikir-berpasangan-berbagi (Think-Pair-Share), ialah:

1) Berpikir, guru mengajukan pertanyaan/permasahan dan memberi kesempatan berpikir sebelum siswa menjawab permasahan yang diajukan.

2) Berpasangan, guru meminta siswa berpasangan untuk menjawab permasahan

Page 50: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

190

3) Berbagi, guru meminta siswa secara berpasangan menyampaikan jawaban permasalahan yang lain (Trianto, 2009: 127-128).

c. Unsur-Unsur Penting dan Prinsip Utama Pembelajaran Kooperatif Menurut Johnson & Johnson dan sulton terdapat lima unsur

penting dalam kooperatif yaitu 1) Saling ketergantungan yang bersifat positif antara siswa 2) Interaksi antara siswa yang semakin meningkat 3) Tanggung jawab individual 4) Keterampilan personal dan kelompok kecil 5) Proses kelompok (Slameto, 2003: 60-61). Selain lima unsur penting juga mengandung prinsip-prinsip,

konsep utama dari belajar kooperatif menurut Slapin adalah sebagai berikut

1) Penghargaan kelompok, yang akan diberikan jika kelompok mencapai kriteria yang ditentukan.

2) Tanggung jawab individual, bermakna bahwa suksesnya kelompok tergantung pada belajar individual semua anggota kelompok.

3) Kesempatan yang sama untuk sukses, bermakna bahwa siswa telah membantu kelompok dengan cara meningkatkan belajar mereka sendiri (Slameto, 2003: 61-62).

d. Implikasi Model Pembelajaran Kooperatif Menurut davidson ada sejumlah implikasi positif dalam

pembelajaran dengan menggunakan strategi belajar kelompok kooperatif, yaitu sebagai berikut:

1) Kelompok kecil memberikan dukungan sosial untuk belajar. Kelompok kecil membentuk suatu porum dimana siswa menanyakan pertanyaan, mendiskusikan pendapat, belajar dari pendapat orang lain, memberikan kritik, yang

Page 51: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

191

membangun dan menyimpulkan penemuan mereka dalam bentuk tulisan.

2) Kelompok kecil menawarkan kesempatan untuk sukses begi semua siswa. Interaksi dalam kelompok dirancang untuk semua anggota mempelajari konsep dan strategi pemecahan masalah.

3) Suatu masalah idealnya cocok untuk didiskusikan secara kelompok, sebab memiliki solusi yang dapat didemonstrasikan.

4) Siswa dalam kelompok dapat membantu siswa lain untuk menguasai masalah-masalah dasar dan prosedur perhitungan yang perlu dalam konteks permainan, teka-teki atau pembahasan masalah-masalah yang bermanfaat.

5) Ruang lingkup materi dipenuhi oleh ide-ide menarik dan menantang yang bermanfaat bila didiskusikan (Trianto, 2009: 62-63).

e. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif Pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif

memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk

menuntaskan materi pelajaran. 2) Kelompok dibentuk dari siswa yang mempunyai

kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. 3) Bila memungkinkan, anggota kelompok bersal dari ras,

budaya, suku, jenis kelamin yang beragam. 4) Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok dari

pada individu (Trianto, 2009: 62-63). f. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif

Terdapat enam langkah utama atau tahapan didalam pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif yaitu:

Page 52: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

192

1) Menyampaikan tujuan dan memotivasi, guru menyampaikan semua tujuan pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

2) Menyajikan informasi, guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

3) Mengorganisasi siswa kedalam kelompok kooperatif, guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

4) Membimbing kelompok bekerja dan belajar, guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

5) Evaluasi, guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempersentasikan hasil kerjanya.

6) Memberikan penghargaan, guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok (Trianto, 2009: 66-67).

C. Metodologi Penelitian

Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif terdiri dari keadaan personil sekolah, nama siswa kelas V, sedangkan data kuantitatif terdiri dari jumlah siswa kelas V, tes hasil belajar siswa, skor observasi aktivitas belajar siswa. Sumber data dalam penelitian ini yaitu: primer yaitu seluruh siswa kelas V (lima) SD N 2 Palak Tanah Desa Semende Darat Tengah (SDT) dan skunder yaitu penunjang yang diperoleh melalui studi perpustakaan, literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V (lima) SD N 2 Palak Tanah Desa Semende Darat Tengah (SDT) yang berjumlah 40 orang siswa terdiri dari 17 orang

Page 53: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

193

laki-laki dan 23 orang perempuan. Penelitian ini merupakan penelitian populasi. Instrumen pengumpul data yang digunakan yaitu 1. Wawancara. Pemakain instrumen ini ditujukan kepada guru PAI untuk mengetahui peroses belajar mengajar di SDN 2 Palak Tanah Desa Semende Darat Tengah (SDT), 2. Metode test digunakan untuk mendapatkan hasil belajar PAI siswa yang akurat dengan cara memberikan serangkaian soal berupa test, tes diberikan kepada 40 siswa, dan 3. Dokumentasi digunakan untuk memperoleh data tentang keaan guru, keadaan siswa, keadaan sarana dan prasarana sekolah, serta data lainnya yang diperlukan, seperti arsip-arsip menegenai catatan prestasi siswa (nilai harian atau rapor).

Analisis data menggunakan metode deskriptif- kualitatif yaitu menuturkan dan menafsirkan data yang ada sehingga membuat data yang diperoleh menjadi berarti. Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan pengklasifikasiaan pentabulasian sesuai dengan data yang terkumpul. Untuk menyimpulkan data berupa hasil belajar siswa digunakan tes. Tes ini dilaksanakan pada akhir tindakan, yaitu test murni untuk mendapatkan nilai yang kumulatif. Tes digunakan adalah tes tertulis. Data hasil belajar dianalisis dengan menggunakan TSR dan persentase.

D. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Hasil Belajar PAI Sebelum Diterapkan Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe Think-Pair-Share Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar PAI

sebelum diterapkan model pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share siswa kelas V di SD Negeri 2 Palak Tanah Desa Semende Darat Tengah (SDT) Kabupaten Muara Enim. Sampel dalam dalam penelitian ini adalah siswa kelas V sebanyak 40 orang siswa.

Untuk mengetahui bagaimana hasil belajar PAI sebelum diterapkan model pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share maka disebarkan test pra tindakan sebanyak dua puluh item. Test yang

Page 54: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

194

dipakai adalah test pilihan ganda (multiple choice). Dari tiap-tiap soal menggunakan skor nilai 5 maka nilai tertinggi adalah 100 dan nilai terendah adalah 5.

Dari hasil test yang disebarkan pada responden, didapat data tentang hasil belajar PAI sebelum diterapkan model pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share.

Setelah data-data terkumpul, maka proses pengelolaan data dilakukan sebagai berikut: a. Penulis melakukan penskoran ke dalam tabel frekuensi

85 75 60 50 50 40 30 25 30 40 60 75 65 80 55 70 40 25 35 45 65 60 80 50 40 25 55 40 30 70 25 65 45 50 70 55 45 65 25 85

Tabel 1

Distribusi Hasil Belajar Siswa Sebelum Diterapkan Model Kooperatif Tipe Think-Pair-Share

NO X f fX x (X - MX) x2 fx2

1 85 2 170 33 1089 2178

2 80 2 160 28 784 1568

3 75 2 150 23 529 1058

4 70 3 210 18 324 972

5 65 4 260 13 169 676

6 60 3 180 8 64 192

7 55 3 165 3 9 27

8 50 4 200 -2 4 16

Page 55: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

195

9 45 3 135 -7 49 147

10 40 5 200 -12 144 720

11 35 1 35 -17 289 289

12 30 3 90 - 22 484 2544

13 25 5 125 -27 729 3645

Total N = 40 2080 - - 14032

b. Mencari nilai rata-rata

NfX

M Iå=

= 40

2080

= 52

c. Mencari SD1

Nfx

SD å=2

1

= 40

14032

= 8,350 = 18,72

Page 56: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

196

d. Mengelompokkan hasil belajar ke dalam tiga kelompok yaitu tinggi, sedang, rendah (TSR)

Tinggi M + 1 SD

Sedang

M – 1 S Rendah

Lebih lanjut penghitungan pengkategorian TSR dapat dilihat

pada skala di bawah ini: 52 + 18,72 = 70,72 Hasil belajar PAI

sebelum diterapkan model pembelejaran kooperat if t ipe think-pair-share.di kategorikan t inggi

Antara 33,28 s/d 70,72 Hasil belajar PAI sebelum

diterapkan model pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share.di kategorikan sedang

50 - 18,72 = 33,28 Hasil belajar PAI sebelum

diterapkanmodel pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share di kategorikan rendah

Page 57: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

197

Tabel 2 Persentase Hasil belajar PAI Siswa Sebelum Diterapkan Model

Pembelejaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share Siswa Kelas V di SD Negeri 2 Palak Tanah

No Hasil Belajar PAI Frekuensi Persentase

1. 2. 3.

Tinggi (Baik) Sedang Rendah

6 26 8

15 % 65 % 20 %

JUMLAH 40 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa hasil belajar PAI

siswa sebelum diterapkan model pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share yang tergolong tinggi (baik) sebanyak 6 orang siswa (15 %), tergolong sedang sebanyak 26 orang siswa (65 %) dan yang tergolong rendah sebanyak 8 orang siswa (20 %). Dengan demikian Hasil belajar PAI siswa sebelum diterapkan model pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share siswa kelas V di SD Negeri 2 Palak Tanah pada kategori sedang yakni sebanyak 26 orang siswa (65 %) dari 40 siswa yang menjadi sampel penelitian ini.

2. Hasil Belajar PAI Setelah Diterapkan Model Pembelejaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share Untuk mengetahui hasil belajar PAI setelah diterapkan model

pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share, maka disebarkan soal test sebanyak 20 item. Test yang dipakai adalah test pilihan ganda (multiple choice). Dari tiap-tiap soal menggunakan skor nilai 5 maka nilai tertinggi adalah 100 dan nilai terendah adalah 5.

Setelah data-data tentang Hasil belajar PAI setelah diterapkan model pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share. maka proses pengelolaan data dilakukan sebagai berikut:

Page 58: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

198

a. Penulis melakukan penskoran ke dalam tabel frekuensi

100 95 70 80 80 90 95 70 95 75 70 95 80 90 85 90 100 85 100 80 60 85 95 80 65 80 80 75 95 90 70 75 65 100 90 85 80 75 70 95

Tabel 3

Distribusi Hasil Belajar Siswa Setelah Diterapkan Metode Kooperatif Tipe Think-Pair-Share

NO Y f fY y (Y – MY) y2 fy2

1 100 4 400 16,63 276,55 1106,2

2 95 7 665 11,63 135,25 946,75

3 90 5 450 6,63 43,95 219,75

4 85 4 340 1,63 2,65 10,6

5 80 8 640 - 3,37 11,35 90,8

6 75 4 300 - 8,37 70,05 280,2

7 70 5 350 - 13,37 178,75 893,75

8 65 2 130 - 18,37 337,45 674,9

9 60 1 60 - 23,37 546,15 546,15

Total N = 40 3335 - - 4769.1

b. Mencari nilai rata-rata

Page 59: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

199

NfX

M Iå=

= 40

3335

= 83,37

c. Mencari SD1

Nfx

SD å=2

1

= 40

1,4769

= 2,119 = 10,91

d. Mengelompokkan hasil belajar kedalam tiga kelompok yaitu

tinggi, sedang, rendah (TSR) Tinggi

M + 1 SD Sedang

M – 1 SD Rendah

Lebih lanjut penghitungan pengkategorian TSR dapat dilihat pada

skala dibawah ini:

83,37 + 10,91 = 94,28 Hasil belajar PAI setelah diterapkan model

Page 60: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

200

pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share.di kategorikan tinggi

Antara 72,46 s/d 94,28 Hasil belajar PAI setelah

diterapkan model pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share.di kategorikan sedang

83,37 - 10,91 = 72,46 Hasil belajar PAI

setelahditerapkan model pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share di kategorikan rendah

Tabel 4 Persentase Hasil Belajar PAI Siswa Setelah Diterapkan Model

Pembelejaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share Siswa Kelas V di SD Negeri 2 Palak Tanah

No Hasil Belajar PAI Frekuensi Persentase

1. 2. 3.

Tinggi (Baik) Sedang Rendah

4 28 8

10 % 70 % 20 %

JUMLAH 40 100 %

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa Hasil belajar PAI

siswa sebelum diterapkan model pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share yang tergolong tinggi (baik) sebanyak 4 orang siswa (10 %), tergolong sedang sebanyak 28 orang siswa (70 %) dan yang tergolong rendah sebanyak 8 orang siswa (20 %). Dengan demikian

Page 61: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

201

hasil belajar PAI siswa setelah diterapkan model pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share siswa kelas V di SD Negeri 2 Palak Tanah pada kategori sedang yakni sebanyak 28 orang siswa (70 %) dari 40 siswa yang menjadi sampel penelitian ini.

E. Penutup

Hasil belajar PAI sebelum diterapkan model pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share siswa kelas V di SD Negeri 2 Palak Tanah Desa Semende Darat Tengah (SDT) Kabupaten Muara Enim, tergolong sedang dengan nilai rata-rata 52 dan rincian frekuensi hasil belajar siswa keseluruhan sebagai berikut: 6 orang siswa atau 15 % tergolong tinggi (baik), 26 orang siswa atau 65 % tergolong sedang dan yang tergolong rendah sebanyak 8 orang siswa 20 %.

Hasil belajar PAI setelah diterapkan model pembelejaran kooperatif tipe think-pair-share siswa kelas V di SD Negeri 2 Palak Tanah Desa Semende Darat Tengah (SDT) Kabupaten Muara Enim tergolong sedang dengan nilai rata-rata 83,37 dan rincian prekuensi hasil belajar siswa sebagai berikut: yang mendapat kategori tinggi (baik) sebanyak 4 orang siswa atau 10 %, sedang sebanyak 28 orang siswa 70 % dan yang tergolong rendah sebanyak 8 orang siswa 20%. Daftar Pustaka Alquran dan Terjemahannya Hamalik, Oemar. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi

Aksara. Harjanto. 2003. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. M. Dalyono. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. S. Widiaastuti dan Ali K. tt. Grand Kamus Inggris-Indonesia

Indonesia-Inggris. Surabaya: Apollo. Sardiman. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Page 62: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

202

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Subroto, Suryo. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Tim Reality. 2008. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Widya Comp. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif dan Progresif

konsep dan Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Group.

Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Pendekatan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 63: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

203

MATERI PENDIDIKAN AKIDAH: STUDI ATAS PEMIKIRAN SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK DALAM KITAB

TAZKIRATUN LI NAFSI WA LI QOSSIRIINA MISSILII Taufik

STAIN Syaikh Abdurrahman Sidik Bangka-Belitung Jl. Mentok, Petaling, Pangkalpinang, Bangka

Abstract Syaikh Abdurrahman Sidik has a deeply thought on akidah or faith. In the context of Islamic religious education at school or madrasah, the thought of Syaikh can be considered as a material to enrich Islamic religious learning. This article will elaborate five of thoughts of Syaikh about faith. It is considered as important thing in reserving ummah faith in daily live. This article will elaborate some of Syaikh’s thought, such as the matter of kalimah syahadat; fear and hope; obeyed and disobeyed, ni’mah and bala’; position af reason; and work and ‘ilm. Keywords: Akidah subject matter, Islamic religious education, Syaikh Abdurrahman Siddik thought A. Pendahuluan

Hakikatnya kitab ini membicarakan tentang peringatan dan nasehat atau contoh keteladanan yang ditujukan untuk penulis kitab sendiri dan kaum muslim pada umumnya agar dapat mengambil manfaat dalam menjalankan ajaran Islam.

Dalam halaman muka, kitab yang berjumlah 39 halaman ini tertulis cetakan pertama ditempat cetakan Haji Muhammad Amin dalam negeri Singapura pada tahun 1324 H atau 1906 M. Di halaman terakhir disebutkan bahwa kitab ini selesai ditulis pada malam Senin 20 Syakban 1324 H. Tidak disebutkan tempat selesai ditulis juga percetakan mana yang telah memperbanyak kitab ini. Akan tetapi,

Page 64: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

204

diduga kuat bahwa kitab ini dicetak oleh Mathba’ah Ahmadiyah, Singapura sebagaimana kitab-kitab beliau lainnya dicetak.

Di dalam kitab ini, pengarang kitab menyebutkan enam bagian yang terkait dengan peringatan dan nasehat yang dipandang utama dalam memelihara akidah dalam kehidupan sehari-hari. Agaknya kitab ini lebih cenderung mengupas sisi tasawuf dalam memberi nilai tambah untuk mendekatkan diri kepada Allah (Nazir, 1992: 54). Dari enam bagian itu lima di antaranya adalah 1. Mengenai kalimat syahadat; 2. Mengenai takut dan harap; 3. Mengenai ta’at, maksiat, nikmat dan bala’; 4. Mengenai niat; 5. Amar ma’ruf dan nahi munkar. Uraian tentang seteru syaitan dan mengenai tipu daya serta bersungguh-sungguh berbuat ta’at. Dari perspektif mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), pemikiran Syaikh ini kiranya dapat dimasukkan dalam kategori materi pendidikan Akidah.

Dalam kesempatan ini, penulis mengupas pemikiran Syaikh tentang materi pendidikan akidah terbatas pada pembicaraan bagian pertama, kedua dan ketiga. Pembicaraan tentang syahadat menjadi urgen ketika sebagian kelompok umat Islam akhir-akhir ini tersandung dalam memaknai syahadat sesungguhnya. Kemunculan aliran-aliran agama bersifat komtemporer pun menjadi isu menarik untuk dikaji lebih serius. Pemaknaan dua kalimat syahadat pada ujungnya dapat diulas melalui pemikiran sejumlah ulama, juga dalam tulisan ini. Bagaimanapun tinjauan pemikiran ulama yang pernah mengenal ajaran Islam di Timur Tengah (Mekkah dan Madinah) seperti Syaikh dimungkin dijadikan rujukan, setidaknya sebagai telaah banding.

Untuk masalah kedua dan ketiga penulis pandang perlu dikaji sebab menyangkut akidah yang senantiasa dihadapi oleh umat Islam keseharian. Walaupun pemikiran beliau tentang masalah tersebut lebih cenderung kepada pandangan sufistis, tetapi pergulatan umat dalam menghadapi kompleksitas dan carut-marutnya persoalan kehidupan menjadikan fasal ini sebagai perefleksian diri ke depan lebih berkadar.

Page 65: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

205

Perhubungan manusia dengan Allah sesungguhnya titik sentral bagi keberlangsungan keyakinan manusia dalam ‘berhamba kepada agama’. Menurut Quraish Shihab aqidah bermakna mengikat. Ia merupakan sistem kepercayaan yang mengikat setiap Muslim. Aqidah secara kontinuitas mengontrol seseorang Muslim agar tidak menyimpang dari ajaran Islam. Pokok kajian aqidah adalah iman. Ini berarti aqidah tidak mungkin terlepas cakupannya dalam rukun iman (2000: 341). Endang Saifuddin Anshari mengartikan aqidah sebagai keyakinan hidup yang tiada lain yaitu iman (1983: 28). Pembahasan iman ini fundamental bagi orang Islam sebagaimana yang dikenal dalam rukun iman. Sementara inti rukun iman ialah tauhid (Daud Ali, 2002: 199).

B. Materi tentang Syahadat Ketauhidan dalam sistem teologis yang diyakini oleh Syaikh

adalah syahadat. Ketauhidan sebagai inti dari persoalan syahadat. Syahadat terbagi dua macam yaitu pertama syahadat tauhid dan kedua syahadat rasul. Syahadat tauhid pengucapan atas kalimat asyhadu al la ilaaha ill Allah. Kalimat ini maknai oleh Syaikh bahwa aku ketahui dengan hatiku dan aku tashdiqkan dengan tashdiq yang benar bahwa sesungguhnya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya hanya Allah Ta’ala zat yang wajib adanya lagi Maha Suci dari pada bersifat kekurangan, maka tiada berpermulaan ada-Nya dan tiada berkesudahan ada-Nya dan bersalahan zat-Nya bagi segala zat yang baharu dan bersalahan sifat-Nya bagi segala sifat yang baharu dan bersalahan perbuatan-Nya bagi segala perbuatan yang baharu (Siddik, 1906: 3).

Sementara syahadat rasul ialah ucapan atas kalimat wa asyhadu an na muhammadar rasul Allah. Kalimat ini dimaknai bahwa aku ketahui dengan hatiku dan aku tashdiqkan dengan tashdiq yang benar bahwa sesungguhnya Muhammad itu sebenarnya pesuruh Allah Ta’ala kepada sekalian jin dan manusia membawa mereka itu kepada

Page 66: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

206

agama Islam mengenal Allah Ta’ala dan mengesakan-Dia dan percaya akan Dia dan mengajari hukum syari’ yaitu fardu dan sunat, halal dan haram, sah dan batil, makruh dan mubah dan menyuruhkan orang Islam mendirikan shalat lima waktu dan puasa bulan Ramadhan, membayar zakat dan naik haji bila kuasa serta bersegera diri mengerjakan perintah Islam. (Siddik, 1906: 6).

Dari kedua syahadat inilah iman itu berawal dan aqidah terpelihara. Pokok dari syahadat ialah adanya pengakuan keesaan Allah dan Muhammad sebagai rasul-Nya dan mengikuti semua yang disampaikan oleh Muhammad melalui wahyu, termasuk peribadatan berserta ritualnya. Dengan kata lain pengakuaan atas ke-Mahaan Allah atas segala perbuatannya dikenal pula dengan tauhid. Mengingat amat pentingnya ketauhidan ini dalam aspek aqidah seseorang, Syaikh (1915: 58) menegaskan seorang muslim senantiasa waspada atas keterlepasan tauhid dari hidupnya. Betapa urgennya memelihara persoalan tersebut digambarkan oleh beliau dalam kitabnya Syair Ibarat dan Khabar Qiyamat:

Pelayaranmu itu terlalu jauh Suatu bekal belum ditaruh Ombaknya besar angin mengguruh Dirantau lahat tempat berlabuh Rantau lahat ombaknya garang Haluannya itu mengikut pasang Soal munkar kesana datang Memeriksa tauhid berulang-ulang (1915: 4)

Ketahudian yang digambarkan lewat sya’ir itu menjadi taruhan utama atas diri seseorang. Pertarungan dalam menjalani hidup menjadi media untuk memperoleh kebenaran tauhid yang diyakini. Sebagai pemeluk agama Islam menjadi absolut untuk mengakui sesungguhnya hanya Allah sebagai Tuhan yang pantas disembah dan tidak yang lain

Page 67: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

207

kecuali Allah. Demikian pula pengakuan bahwa Nabi Muhammad ialah pembawa syari’at terakhir sebagai pengakuan yang mutlak benar dan dengan keyakinan yang mantap bahwa apa yang disampaikanya (melalui wahyu) juga benar.

Dengan demikian dalam pemikiran Syaikh dimana syahadat tauhid dan syahadat rasul tidak mungkin terlepas satu dengan lainnya. Pengakuan sebatas syahadat tauhid tanpa dibarengi dengan syahadat rasul berarti telah mengingkari syahadat itu sendiri. Hal ini menurut beliau pengakuan atas keesaan Allah menjadi sempurna melalui pengakuan syahadat rasul. Jadi tidak mempercayai kenabian Muhammad sesungguhnya tidak mengakui syahadat tauhid itu sendiri. Dan ini berarti seseorang telah terlepas aqidahnya dari ajaran Islam yang benar. Dalam SIKQ, Syaikh menegaskan mengenai perhubungan keduanya :

Ayuhai sekalian hamba Allah Ikutilah sabda Rasullah Akan Qur’an diturunkan Allah Menyuruhkan kita menyembah Allah (1915: 8)

Kemudian dalam bait sya’ir lain beliau menyebutkan sebagai berikut :

Nabi Muhammad kekasih Tuhan Segala suruhnya wajib kerjakan Segala tegahnya kita tinggalkan Di mahsyar syafa’at kita sekalian (1915: 3)

Persoalan aqidah mendapat tempat utama dalam pemikiran Syaikh. Jika aqidah atau ketauhidan tersebut terlepas dari hidup, maka kesesatanlah yang didapatkan. Kepercayaan animisme atau dinamisme masih berlangsung sebagai contoh dari keterlepasan ini. Aliran-aliran sesat yang menolak tauhid rasul, ingkar sunah, atau meniadakan

Page 68: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

208

ibadah wajib muncul belakangan ini sebagai bukti lain. Semua ini disebabkan oleh aqidah yang menyimpang dari kehidupan beragama (Taufik, 2007: 69).

C. Materi tentang Takut dan Harap Dalam bagian kedua dalam kitab tazkiratun li nafsi wa li

qossiriina missilii ini, Syaikh ingin mengingatkan diri beliau sendiri dan kaum Muslim bahwa ketakutan terhadap kehendak Allah adalah sifat manusia yang harus selalu menyertainya dalam mendekatkan diri kepada-Nya. Menurut beliau sifat takut itu ada dalam tiga kategori, yaitu takut akan murka Allah, takut akan kebesaran Allah dan takut akan siksa-Nya (1906: 9). Sayangnya Syaikh tidak merincikan indikator masing-masing ketakutan itu. Yang pasti takut dalam konteks keyakinan ini bukan mengharuskan seseorang menjauhkan dari peribadatan kepada Allah, tetapi justru istilah ini bermakna mendekatkan diri kepada Khaliq sebagai Penguasa Tunggal alam semesta. Dia-lah yang pada akhirnya akan menentukan Kehendak-Nya dan manusia tunduk kepada kehendak itu dan tiada kuasa atas perbuatan Allah.

Jika manusia lengah menyadari keeksistensian dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah, dan tiada pula berkeyakinan akan sifat-sifat wajib bagi-Nya, maka sifat kesombongan atau angkuh menonjol dalam kepribadian manusia. Oleh karena itu, menurut beliau barang siapa yang tiada takut akan murka Allah, tiada pula takut akan kebesaran-Nya dan tiada takut akan siksa-Nya, maka dia akan memperoleh kerugian (1906: 9).

Titik balik dari ketakutan itu pada hakikatnya adalah kehampiran manusia kepada Allah. Sehingga kehampiran inilah yang sebetulnya mampu menghilangkan ketakutan itu sendiri. Dalam kedekatan manusia kepada Allah, menurut Syaikh, seseorang hendaknya berharap yaitu harap akan rakhmat dan ampunan Allah. Bila seorang Muslim tanpa berharap akan rakhmat dan ampunan-Nya,

Page 69: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

209

maka kesesatan yang dihadapi. Apabila seseorang mempunyai sifat takut dan berharap seperti yang disebutkan di atas, maka orang itu akan selamat dari bahaya. Jika takut akan murka Allah dan takut akan kebesaran dan siksa-Nya, maka hendaklah menjauhkan segala maksiat. Dan bila hendak memperoleh rakhmat dan ampunan-Nya, maka hendaklah mengerjakan ta’at dan berbuat ibadat (1906: 9).

Syaikh Abdurrahman Siddik memberi perumpamaan dalam menghadapi sifat takut pada diri seseorang yaitu ketika seseorang itu mendapat nikmat sehat, sakit dan saat menjelang ajal. Beliau menyebutkan ketika seseorang beroleh nikmat sehat badan, menurut beliau hendaklah orang itu semakin takut dan semakin harap akan rakhmat dan ampunan Allah. Namun demikian, jangan lebih takut daripada harap dan jangan lebih harap daripada takut (1906: 9).

Demikian pula menurut Syaikh bahwa seandainya seseorang dalam keadaan sakit, maka sepantasnya orang itu lebihkan harap akan rakhmat dan ampunan-Nya daripada takut khususnya tatkala orang tersebut hampir mati, maka hendaklah perbanyak sabar atas sakit itu, perbanyak taubat dan istighfar (memohon ampunan kepada Allah) atas segala dosa yang diperbuat dan minta rido dan dihalalkan dari orang lain yang pernah dianiaya/dizoliminya. Selain itu perbanyak harap akan rakhmat dan ampunan-Nya, serta menyerahkan diri kepada Allah (1906: 10).

Selanjutnya Syaikh mengingatkan kepada orang Islam agar memahami dan mengkaji secara sungguh-sungguh mengenai keberadaan manusia. Pemahaman manusia terhadap dirinya sendiri untuk memungkinkan mengenal kelebihan dan kekurangan manusia. Dalam kitab ini, beliau menyebutkan agar seseorang mampu mengaplikasikan makna takut dan harap, atau berharap akan rakhmat dan ampunan, maka manusia penting untuk mengetahui kejadian diri mereka sendiri sebagai makhluk ciptaan Allah. Ada lima perkara sebagai kondisi manusia sebagai makhluk yang diciptakan yaitu : 1. Sangat berkehendak kepada Allah; 2. Sangat lemah sifat kita; 3.

Page 70: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

210

Sangat do’if diri kita; 4. Sangat hina diri kita, banyak cela dan kekurangan; 5. Sangat jahat kita (1906: 10).

Dengan jalan memahami sifat manusia yang serba kekurangan di atas, maka dalam pemikiran Syaikh orang Islam lebih mampu menempatkan diri mereka sendiri di hadapan Allah. Mereka juga lebih elastis dalam memposisikan makna takut dan harap, pengharapan akan rakhmat dan ampunan-Nya, dan sekaligus selamat dari murka Allah.

Bagi Syaikh rasa takut atau khawatir itu sesungguhnya tidak perlu terjadi seandainya manusia selalu berada dalam kehampiran kepada Allah. Termasuk terhadap dari segala khawatir dunia, khawatir cobaan Iblis dan khawatir akan sakaratul maut. Menurut pandangan beliau, kehampiran itu sebaiknya diikuti oleh pensucian hati dan bersabar dalam menghadapinya. Khusus untuk mengahadapi ajal, beliau memberi jalan keluar dengan bentuk aplikasi yang diridoi oleh Allah yaitu dengan menyebutkan kalimat la ila ha illahllah dan hadirkan maknanya. Penggunaan kalimat yang sederhana itu sepintas menurut beliau tanpa arti, akan tetapi kalimat itu bagian dari kehampiran manusia kepada Allah. Disunahkan disebutkan mengajari orang yang hampir mati dengan kalimat itu, dan tiada dengan zikir lain seperti Allah atau Huwallah. Hal menurut beliau berdasarkan hadits lakinu mautaa kum laa ila ha illallah artinya ajari olehmu orang yang hampir mati kalimat laa ila ha illallah. Juga hadits Rasulullah: man akhiru kalamihi laa ila ha illallah dakholal jannah, artinya barangsiapa ada kesudahannya di dalam dunia laa ila ha illallah niscaya masuk surga.(1906: 10).

Oleh karena itu, menurut beliau tidak boleh mengucapkan zikir selain itu sebab Rasulullah tiada menyuruhnya. Sebagaimana hadits Nabi: Afdolu maa kultuhu ana waannabiyyuna min qoblil laa ila ha illalahu. Artinya: bermua yang terlebih afdol barang yang aku kata dan segala nabi yang dihulu daripada aku yaitu zikir laa ila ha illalahu. Penyebutan zikir itu hendaklah dengan lidah serta hadirkan

Page 71: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

211

hati akan maknanya (1906: 10-11). Sayangnya Syaikh tidak menyertakan perawi dan matn hadits.

D. Materi tentang Syuhuud dalam Ta’at, Maksiat, Nikmat dan Bala’ Menurut Syaikh bahwa setiap orang Islam dalam kehidupannya

sehari-hari, siang atau malam tidak sunyi dari empat hal yaitu 1. Ta’at; 2. Maksiat; 3. Nikmat dan 4. Bala’. Syuhuud merupakan bagian dari prilaku ibadat dan akhlak yang terpuji. Melalui syuhuud ini, seseorang lebih berhati-hati dan tidak takabur dalam berbuat. Perbuatan ini dapat dijadikan sebagai instrospeksi diri dan mampu mendatangkan pelakunya dekat kepada Penciptanya.

Menurut Syaikh, tiap-tiap mukalaf pada siang dan malam tidak terlepas dari mengetahui akan sesuatu; mendengar akan sesuatu dan melihat akan sesuatu. Setiap dari tiga perkara itu ada Syuhuud artinya pandang hati yang dituntut dari kita untuk berbuat sesuatu (Siddik, 1906: 14). Seorang Muslim dalam menjalankan ajaran Islam, maka dia tidak mungkin terlepas dari salah satu persoalan di atas. Oleh karena itu menurut beliau jika seseorang mengetahui akan sesuatu hal, maka yang dituntut atas diri orang itu ialah syuhuud dengan mata hati bahwa Allah terlebih mengetahui sesuatu itu daripada dirinya. Apabila seorang mukalaf mendengar (informasi—pen) tentang sesuatu, maka yang dituntut atas dirinya yaitu syuhuud dengan mata hati bahwa Allah terlebih mendengar sesuatu itu daripada kita. Demikian pula seorang mukallaf ketika melihat sesuatu, maka yang dituntut atas orang itu adalah syuhuud melalui mata hati bahwa Allah sesungguhnya lebih melihat sesuatu itu daripada apa yang dia lihat (Siddik, 1906: 14).

Tiap-tiap perbuatan yang dilakukan oleh mukalaf saat siang atau malam, baik yang diketahui olehnya, yang didengar, ataupun yang dilihat, maka Allah mengetahui, mendengar dan melihat seketika itu dan tiada baginya penghalang atau pelindung (tiada yang melindungi-

Page 72: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

212

Nya). Bahwa Allah mengetahui, mendenar dan melihat segala yang maklumat dan yang maujudat. Itulah yang disebut Kehampiran Allah (Maha Dekat) kepada hamba-Nya. Sedangkan hamba-Nya melazimi mengerjakan sekalian yang disuruh oleh Allah dan menjauhi yang menjadi tegahan-Nya dan senantiasa kasih dan hadir hati kepada Allah serta memandang-Nya sebagai Maha Menghampiri (Maha Dekat) itulah disebut Kehampiran manusia kepada Allah (Siddik, 1906:15-16).

Sekali lagi, tampak Syaikh hendak menekankan betapa pentingnya manusia memahami keberadaan manusia sebagai sosok yang lemah, papa, atau serba kekurangan dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh Allah. Prilaku yang dimunculkan oleh manusia dalam keseharian ada kemungkinan lalai terhadap apa yang seharusnya tidak boleh dia lakukan, terutama terkait dengan aqidah. Syaikh pula ingin kaum Muslim untuk selalu berhati-hati dalam memelihara aqidah dalam beragama. Kefakiran manusia dalam memeriksa perbuatan menyimpang terhadap diri sendiri dapat mendatangkan kerugian, kemurkaan, atau azab dalam istilah Syaikh. Sebaliknya, pengenalan yang benar kehampiran manusia kepada Allah mampu mendatangkan kenikmatan dan keselamatan serta dijauhi dari murka-Nya. Dalam hal ini Syaikh menyebutkan bahwa orang Muslim yang melazimi (terbiasa) perbuatan syuhuud niscaya Allah akan memagari dirinya melalui kehadirat-Nya dan dipagari hatinya dengan taufiq-Nya, berupa dijauhi dari perbuatan maksiat dan melakukan perbuatan ibadat (Siddik, 1906:16).

Sebagaimana dalam sejumlah kitab Syaikh yang lain seperti Sya’ir Ibarat dan Khabar Qiyamat, Risalah fi ‘aqai’id al-iman (1936), Asrar al-salah min ‘iddat al-kutub al-mu’tamadah (1931), Fath Al-‘Alim Fi Tartib Al-Ta’lim (1929), Risalah Amal Ma’rifat(1928), kitab tazkiratun li nafsi wa li qossiriina missilii ini juga persoalan aqidah menjadi perhatian penuh beliau. Perhatian ini dapat dimaklumi dengan pertimbangan pertama persoaalan yang terkait dengan aqidah adalah

Page 73: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

213

masalah penting dalam beragama. Kedua, kondisi masyarakat yang hidup semasa beliau kemungkinan besar masih simpang siur dalam meyakini persoalan ini.

E. Materi tentang Kedudukan Akal Dalam sistem teologis Syaikh bagaimanakah kekuatan akal bila

dihubungkan dengan unsur ilmu dan ibadah (amal)? Dalam ‘Aqaid al Iman, beliau memahami akal sebagai nur yang rohani yang dengannya diperoleh nafs akan segala ilmu dharuri dan nazhari (Siddik, 1936: 47). Nafs ialah memelihara dari sesuatu yang membawa mudharat ( Siddik, 1929: 74). Bagi beliau, akal bagai nur. Ini berarti nur bermakna sama dengan lampu, pelita atau suluh. Agaknya beliau ingin mengatakan bahwa akal itu berfungsi untuk menyinari atau menerangi sebagai petunjuk ke arah kebenaran. Jika akal mencapai kebenaran, maka dengan sendirinya akan menjadikan nafs yang baik, atau nafs yang terhindar dari keinginan atas dasar hawa nafsu. Sehingga akal yang berdasarkan nafs yang baik akan membawa pemiliknya mampu menangkap ilmu dharuri (yang mudah dicerna) dan ilmu nazhari (yang lebih tinggi tingkatannya). Sebagai perbandingan dikutip bait sya’ir Abu Ali Ibnu Sina dalam Fadhil Al-Djamaly (1988: 27) berikut ini:

“Sesungguhnya jiwa itu bagaikan kaca Sedang akal bagaikan lampunya Dan hikmah Allah bagaikan minyaknya Bila ia bersinar maka kau akan menjadi hidup Dan bila padam maka kau menjadi mati”

Dalam ungkapan sya’ir itu, Abu Ali Ibnu Sina memperlihatkan betapa pentingnya fungsi akal bagi kehidupan rohani manusia. Bila manusia menggunakannya berarti rohaninya menjadi hidup, sebaliknya rohani manusia menjadi mati, jika tidak memfungsikannya. Agaknya layak dimengerti bila Osman Raliby menyebutkan akal

Page 74: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

214

adalah kehidupan dan hilang akal adalah kematian. Bagi Syaikh, akal tidak hanya sekedar menjadikan pemiliknya hidup, tetapi mampu mengantarkan pemiliknya mengenal Allah. Dalam istilah beliau, akal mampu ‘pagari mengenal Tuhan’(Siddik, 1915: 26).

Fungsi akal mampu untuk memagar atau ‘pagari’ (dalam istilah beliau) mengenal Allah. Istilah ini bermakna menjaga atau memelihara. Pagar biasanya sarana untuk melindungi, menjaga atau memelihara sesuatu yang ada di dalamnya dari ancaman luar. Sehingga apa yang dilindungi, atau yang dijaga (dalam hal ini sesuatu itu ialah pengenalan kepada Allah) menjadi terpelihara dan tumbuh menjadi baik, terbebas dari gangguan sehingga tidak rusak atau mati. Kekuatan akal mampu menjadi wadah untuk mengenal eksistensi Allah.

Daya akal menurut Syaikh berbeda setiap orang. Seseorang yang tidak maksimal menggunakan akal menjadikan pemiliknya bebal, sebaliknya jika digunakan pemiliknya dengan optimal, ia menjadi orang yang mengenal (1915: 26). Menurut Nazir (1992: 95) bahwa orang yang bebal dan orang yang mengenal (arif) telah ditetapkan oleh Allah. Imran Effendy (2003: 79) memandangnya tidaklah demikian. Dia mengakui adanya orang yang akalnya tidak sempurna (sayangnya Imran tidak memberi contoh) dan orang berakal secara normal. Orang yang tidak sempurna akal tidak mampu mencapai kebenaran. Sementara yang normalpun akalnya bila tidak difungsikan, maka ia tidak akan mencapai kepada kebenaran. Menurut Imran orang yang tidak sempurna akal dan yang tidak memfungsikan akal, keduanya tiada memperoleh kebenaran serta tiada selamat di dunia dan di akhirat.

Pernyataan Imran tampaknya menyamakan antara mereka yang akalnya tiada sempurna dan mereka yang normal tetapi tiada berkehendak memanfaatkan akalnya secara baik. Sehingga keduanya tidak mendapat kebenaran sekaligus tidak selamat di dunia dan

Page 75: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

215

akhirat. Ini seakan memposisikan mereka yang tidak sempurna akalnya dalam ketidakadilan Allah.

Penulis memahami pendapat Syaikh di atas bahwa akal memiliki daya relatif. Akal tersebut hanya ditujukan kepada orang yang normal daya akalnya. Normal yang dimaksud ialah mampu membedakan yang baik dan yang buruk. Orang yang tidak sempurna akalnya tentu tiada tahu membedakan mana yang baik dan yang buruk. Orang yang gila atau orang yang mabuk contoh untuk itu. Tentunya orang seperti itu tiada berlaku syari’at baginya sebelum kesadaran akalnya pulih. Orang seperti ini dipastikan tidak mampu berpikir secara benar apalagi memperoleh ilmu pengetahuan. Apakah Alllah akan menghukum mereka di dunia dan di akhirat ? Secara akal tentu tiada bisa diterima.

Dapat dipastikan orang gila dan yang mabuk atau yang sejenisnya tidak masuk dalam kategori akal di atas. Pendapat ini ditujukan kepada orang yang berakal normal. Mereka inilah yang dituntut untuk mampu memberdayakan akalnya. Orang yang tidak memfungsikan akalnya, maka ia menjadi tidak paham dan tidak memperoleh kebenaran (ilmu pengetahuan) serta tidak dapat mengenal Tuhannya. Syaikh menyebutnya sebagai orang orang bebal. Orang yang memberdayakan akalnya secara maksimal (bernalar) tentu dapat memperoleh kebenaran bahkan mengenal Tuhannya. Beliau menyebutnya sebagai orang yang mengenal. Jadi akal normal membentang dua alternatif, pada satu sisi bisa membuat orang berada pada kebebalan (ketidaktahuan ilmu) dan pada sisi lain menjadikan pemiliknya berilmu pengetahuan bahkan mengenal Allah (ma’rifat). Kondisi ini diilustrasikan oleh Syaikh dalam untaian bait berikut : “Indahnya akal bukan kepalang/berhubung dengan akal yang terang/Jika akal kita nan kurang/binasalah ilmu menjadi hilang” (1915: 26).

Ini sebagai bukti pernyataan Syaikh bahwa akal menentukan keberadaan ilmu yang paling sederhana sekalipun (dharuri). Dengan

Page 76: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

216

akal segala sesuatu dapat dianalisa menurut penelaran secara rasional atau berdasarkan metode ilmiah yang ketat. Sehingga diperoleh ilmu yang lebih tinggi tingkatannya (nazhari). Dalam bait sya’ir lain beliau menyebutkan :“Kata Luqman al-Hakim suatu masa/kekurangan akal ilmu binasa/karena akal yang memeriksa/makanya ilmu jadi sentosa” (1915: 27)

Di sini agaknya Syaikh menghargai ilmu nazhari dan mempercayai akal sampai padanya. Dengan ilmu inilah amal ibadah menjadi bermakna. Dengan kata lain seorang yang berilmu sepatutnya berbuat ibadah, dan beribadah harus pula dengan ilmu. Dalam kitab Asrar al-shalah beliau beranggapan orang yang sedikit amal tetapi dengan ilmu lebih baik daripada banyak amal tetapi tanpa ilmu (1931: 3). Pandangan beliau ini lalu dilukiskan dalam bait sya’ir di bawah ini : “Orang yang berakal ilmunya hasil/berbuat ibadah tidaklah ghafil/berpegang kepada hadits dan dalil/mengenal wajib jaiz mustahil” (1915: 27).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa bagi Syaikh akal mampu kepada pencarian ilmu, dan perbuatan ibadah menjadi tak bernilai bila dilakukan tanpa ilmu. Kebathilan dan kebajikan menjadi jelas perbedaannya bila dilihat berdasarkan kemampuan akal, bahkan bagi beliau akal dan ilmu menjadi tak terpisahkan. Sebab akal dan ilmu sebagai sarana untuk mencapai keimanan. Pada akhirnya akal dan ilmulah yang membedakan orang beriman dan tidak beriman.

F. Amal Ibadah Terlahir dari Ilmu Dengan demikian posisi akal, ibadah, dan ilmu tidak bisa

dipisahkan dalam rangkaian prosesnya meraih iman. Ilmu pengetahuan sebagai buah dari akal menciptakan ibadah yang diridhoi Allah. Oleh karena itu bagi Syaikh, setiap orang muslim wajib menuntut ilmu. Orang yang tidak berilmu menurut beliau salah satu ciri yang membinasakan Islam (dalam makna syari’at). Dalam kitab Asrar al-shalah ada empat hal yang membinasakan Islam yaitu

Page 77: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

217

pertama, berbuat sesuatu tanpa diketahui; kedua, diketahui tanpa dikerjakan; ketiga, tiada tahu dan tiada mau bertanya; keempat, mencela orang yang berbuat baik (1931 : 24).

Orang yang hanya beribadah saja tanpa dilandasi pemahaman apa yang diamalkannya ialah bagian dari rusaknya syari’at seseorang. Paham tentang apa seharusnya diamalkan tetapi tidak dikerjakan adalah sia-sia. Disi Syaikh ingin mengingatkan pentingnya beribadah dalam rupa amal-amal perbuatan bagi orang Islam sebagai bekal di hari kemudian. Dalam SIKQ beliau menyebutkan:

“Duduk di dunia negeri yang hilang Lupalah akan diri seorang Sehari-hari umur berkurang Tiada mencari bekalmu pulang Disangka kekal hidupmu orang Di akhirat jauh engkau terbuang Ilmu dan amal tiada dibilang Di dalam kubur siksanya datang” (Siddik, 1915: 4)

Ilmu dan amal adalah buah dari akal. Menurut Syaikh akal merupakan kelebihan manusia ketika hidup di dunia. Dan dari situ melahirkan ilmu dan amal. Amal yang afdhal menurut beliau ialah shalat dan puasa. Ini terlihat dari bait sya’ir berikut: “Kelebihan dunia yaitu akal/akan menuntut ilmu dan amal/sembahyang puasa fardhu yang afdhal/hadits dan ayat jangan ditinggal” (Siddik, 1915: 4).

Bagi Syaikh shalat ialah tiang agama dan sebagai ibadah utama, maka seberapa banyak amal dan ilmu seseorang kalau tidak shalat ilmu dan amalnya sia-sia. Sebagai perumpamaan bagi orang yang meninggal shalat, beliau mengibaratkan: meninggalkan subuh seperti memotong leher sendiri; meninggalkan zohor seperti membunuh semua nabi; meninggalkan azhar serasa berzinah dengan ibunya; meninggalkan maghrib laksana meruntuhkan ka’bah dan

Page 78: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

218

meninggalkan isya dijauhi Allah (Siddik, 1915: 5). Amal ibadat yang dikehendaki oleh Allah ialah amal ibadah yang datang dari perbuatan manusia. Amal ibadah yang ikhlas hanya dapat dilakukan oleh mukallaf melalui ihsan (Siddik, 1931: 12).

Penghargaan Syaikh terhadap integritas akal, ilmu dan amal menduduki posisi signifikan dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Akal tidak hanya sekedar mampu mendatang ilmu, tetapi juga mampu ‘mengenal’ Allah. Bersamaan dengan akal ini lahirlah ilmu dharuri dan nazhari. Pada akhirnya ilmu menghendaki tindakan berupa ritual (ibadah) kepada Allah dengan ihsan. Manusia di dunia tiada terlepas dari ketiga istilah ini sebagai kekuatan untuk menuju syari’at Allah demi keselamatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. G. Penutup

Pemikiran Syaikh Abdurrahman Siddik tentang Akidah merentang sejak konsep tentang hakikat syahadat sampai kepada hakikat ibadah dan ilmu yang lahir dari keimanan seseorang. Sebagai tokoh yang lama menempuh pendidikan di Timur Tengah (Mekkah dan Madinah) dan lama mengembara menyebarkan Islam di berbagai wilayah Nusantara, pemikiran Syaikh tergolong sangat unik. Keunikan itu, pertama, karena pemikiran Syaikh diungkapkan sebagiannya dalam bentuk syair dan ibarat. Pegungkapan semacam ini mengandung dimensi sastra yang cukup mendalam. Kedua, substansi pemikiran Syaikh tidak dapat dilepaskan dari aspek tasawuf yang memang menjadi wacana khas pemikiran Islam pada masanya.

Dari segi substansi, pemikiraan Syaikh tentang akidah dapat dilihat sebagai materi yang dapat memperkaya khazanah mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) baik di sekolah maupun madrasah. Ia dapat digunakan sebagai supplemen untuk melengkapi materi kurikulum PAI yang sudah baku dalam buku-buku teks yang ada saat ini.

Page 79: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

219

Daftar Pustaka Ali, Mohammad Daud. 2002. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja

Grafindo Persada. Jamaly, Fadhil. 2003. Al-Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam.

Jakarta: Golden Trayon. Al-Khumais, Muhammad Abdurrahman. 2006. Pokok-Pokok Akidah

Salaf. Jakarta: Darul Haq Hasibuan, Imaran Effendy. 2003. Pemikiran Akhlak Syaikh

Abdurrahman Siddik al-Banjari. Pekanbaru: LPNU Press. Langgulung, Hasan. 1985. Pendidikan dan Peradaban Islam. Jakarta:

Pustaka Amani. Nazir, Muhammad. 1992. Sisi Kalam dalam Pemikiran Islam Syeikh

Abdurrahman Shiddik Al-Banjari. Pekanbaru: Susqa Press. Madjid, Nucholish, et.al. 2000. Kehampaan Spiritual Masyarakat

Modern. Jakarta: Mediacita. Taufik. 2007. “Syair Ibarat dan Khabar Qiyamat oleh Syaikh

Abdurrahman”. Makalah. ---------. 2008. “Siddik: Kajian Teks dan Kontekstual Melalui

Pendekatan Teosentris dan Antroposentris”. Laporan Penelitian, P3M, STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik.

Siddik, Syaikh Abdurrahman. 1906. Tazkirah li Nafsi wa li Qossiriina Missilii. Singapura: Matba’ah Ahmadiah.

----------. 1915. Sya’ir Ibarah dan Khabar Qiyamat. Singapura: Matba’ah Ahmadiyah.

--------. 1929. Fath Al-‘Alim Fi Tartib Al-Ta’lim. Singapura: Matba’ah Ahmadiyah.

--------. 1929. Risalah Amal Ma’rifat. Singapura: Matba’ah Ahmadiyah.

--------. 1931. Asrar al-salah min ‘iddat al-kutub al-mu’tamadah. Singapura: Matba’ah Ahmadiyah

--------. 1936. Risalah fi ‘aqai’id al-iman. Singapura: Matba’ah Ahmadiyah.

Page 80: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

220

Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy Al-. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Usman, Nabih Abdul Rahman. 1994. Manusia dalam Tiga Dimensi. Surabaya: Bungkul Indah.

Zulkifli, et.al, 2006. Transliterasi dan Kandungan Fath Al-‘Alim Fi Tartib Al-Ta’lim Syaikh Abdurrahman Siddik. Sungailiat: Shiddiq Press STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung.

Page 81: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

221

PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU BAHASA ARAB: UPAYA PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN

BAHASA ARAB

Miswari IAIN Sultan Ageng Tirtayasa, Banten

Jl. Sultan Ageng No 3 Banten

Abstract Arabic subject is very important as a tool to study and understand Islamic teaching. Arabic is not only important for the student at senior high level, but also for the college student. So, the subject has to be taught by competence teachers or lecturers. There are many ways to be professional as Arabic teacher. Among the ways are teacher should master the Arabic subject, learn more and feel that his knowledge has to be improved every time. Teachers also can improve the quality of learning process based on the standard, understand deeply about learning concept, and improving Arabic language continuously. Keywords: profesionalism, Arabic teacher, quality improvement A. Pendahuluan

Salah satu komponen penting yang terkait mutu pendidikan adalah profesionalisme guru, karena guru memegang peran penting berjalannya roda pendidikan. Bila guru memiliki kualitas akademik yang baik, kompeten dan profesional, maka proses pendidikan dapat berjalan dengan optimal dan menghasilkan lulusan yang kompetitif. Sebaliknya, bila guru tersebut tidak memiliki kualitas akademik yang baik, tidak kompeten dan tidak professional, maka keseluruhan proses dan hasil pendidikan tidak akan optimal. Untuk menghasilkan guru yang profesional, maka diperlukan upaya peningkatan dan pengembangan kompetensi.

Page 82: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

222

Upaya peningkatan dan pengembangan kompetensi guru yang sedang direalisasikan pemerintah sekarang ini melalui sertifikasi guru bertujuan agar guru betul-betul professional. Guru yang profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Ace Suryani telah melakukan penelitian bahwa guru yang bermutu dapat diukur dan lima indikator, yaitu: pertama, kemampuan profesional (professional capacity) sebagaimana terukur dalam ijazah, jenjang pendidikan, jabatan dan golongan, serta pelatihan. Kedua, upaya profesional (profesional efforts), sebagaimana terukur dalam kegiatan mengajar, pengabdian dan penelitian. Ketiga, waktu yang dicurahkkan untuk kegiatan professional (teacher’s time), sebagaimana terukur dalam masa jabatan, pengalaman mengajar serta Iainnya. Keempat, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya (link and match), sebagaimana terukur dalam mata pelajaran yang diampu, apakah telah sesuai dengan spesialisasinya atau tidak, dan kelima, tingkat kesejahteraan (prosperity) sebagaimana terukur dalam upah, honor atau penghasilan rutinnya. Tingkat kesejahteraan yang rendah bisa mendorong seorang guru untuk melakukan kerja sambilan selain mengajar sebagai pekerjaan utama. Bilamana kerja sambilan ini sukses, bisa jadi profesi mengajarnya yang malah berubah menjadi kerja sambilan, karena tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari. Akibatnya ia tidak akan dapat menjadi guru yang profesional. Padahal, profesionalisme guru merupakan tuntutan profesi yang harus dipenuhi oleh setiap guru.

Dalam konteks profesionalisme, guru bahasa Arab tidak terkecuali mutlak juga harus menunjukkan profesionalitasnya. Ini ditunjukkan dengan memiliki keahlian bahasa (menguasai materi) dan menguasai strategi dalam menyampaikan ilmunya kepada siswa. Karena bahasa Arab bukan bahasa ibu bagi orang Indonesia, maka kegiatan pembelajaran bahasa Arab harus diasuh oleh guru yang profesional. Oleh sebab itu peningkatan kompetensi guru bahasa Arab penting dilakukan. Peningkatan kompetensi guru bahasa Arab pada

Page 83: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

223

gilirannya akan berimplikasi pada meningkatkannya kualitas pembelajaran bahasa Arab. Pembelajaran bahasa Arab yang berkualitas tentu akan meningkatkan hasil belajar yang ditandai oleh penguasaan siswa yang tinggi terhadap bahasa Arab.

B. Tahapan Pembelajaran Bahasa Arab Pembelajaran bahasa Arab di Indonesia sudah dilaksanakan sejak

masuknya Islam ke Indonesia. Model pembelajaran pada saat itu masih sangat tradisional dan sederhana, yaitu dengan cara menggunakan metode mengeja al-Hajai (alphabetic methods) untuk mengenal bunyi dan huruf-huruf Arab. Pembelajaran bahasa Arab pada saat awal masuknya Islam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan seorang Muslim dalam melaksanakan ibadah sholat lima waktu, dzikir dan berdo’a kepada Allah SWT.

Pada tahapan berikutnya pembelajaran bahasa Arab juga masih mendapatkan perhatian yang serius dari kaum Muslimin. Pada tahap ini pembelajaran bahasa dilakukan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran menterjemahkan bahasa Arab ke dalam bahasa ibu (grammar and translation method). Tujuan pembelajaran bahasa Arab dalam konteks ini adalah agar kaum Muslimin mampu memahami isi dari teks-teks yang terdapat dalam sumber-sumber agama Islam seperti al-Qur’an dan Hadist, serta kitab-kitab kuning yang mengandung pengetahuan agama.

Jika merujuk kepada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dengan sesama anggota masyarakat atau dengan bangsa-bangsa lain baik lisan maupun tulisan, maka dua model pola pembelajaran tersebut di atas belumlah memadai untuk menjadikan seseorang mampu menguasai bahasa Arab secara aktif. Oleh karenanya model-model pembelajaran bahasa Arab di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam haruslah selalu diperbaharui secara inovatif.

Page 84: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

224

Secara historis pembelajaran bahasa Arab di Indonesia sejak masuknya Islam hingga sampai saat ini telah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut (Hamid, 2006: 249): pertama, pembelajaran bahasa Arab melalui pengenalan lafaz-Iafaz dan bacaan yang digunakan dalam ibadah-ibadah ritual dan do’a-do’a. Materinya adalah bagian akhir al Qur’an (Juz Amma) dan bacaan-bacaan yang dibaca dalam sholat. Melalui model inilah bahasa Arab mulai dikenalkan pada orang-orang Muslim. Kedua, pembelajaran bahasa Arab melalui pengajaran dan penjelasan materi-materi agama Islam yang dilaksanakan di mushola, masjid, dan surau. Metode yang digunakan dalam pembelajaran model ini adalah metode gramatikal dan penerjemahan secara lisan.

Ketiga, dimulainya tahap kebangkitan pembelajaran bahasa Arab yang ditandai dengan reorientasi (tujuan) baru dalam pembelajaran bahasa Arab di pondok-pondok pesantren. Hal ini mendorong dan membangkitkan lembaga-lembaga tinggi Islam untuk mengkaji dan menelaah ulang model pembelajaran bahasa secara keseluruhan. Keempat, pembelajaran bahasa Arab dalam tahap pencarian dan percobaan terhadap materi, tujuan dan metode yang digunakan. Karena pada tahap ini metode dianggap sebagai kunci keberhasilan dalam pembelajaran bahasa Arab, maka hampir semua lembaga pendidikan Islam, baik pondok pesantren, madrasah maupun lembaga pendidikan tinggi Islam mencoba berbagai macam metode yang ada dalam pembelajaran bahasa Arab.

Kelima, pembelajaran bahasa Arab dalam tahapan yang matang, yaitu pembelajaran bahasa Arab dengan menggunakain metode selektif. Penggunaan metode ini disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Metode-metode ini telah diteliti dan diujicobakan dalam waktu yang cukup lama.

Meskipun tujuan pembelajaran telah dirumuskan dengan jelas, model pembelajaran (method) yang digunakan telah ditentukan, dan materi ajar telah dipilih, semua hal ini tidak menjamin bahwa

Page 85: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

225

pembelajaran bahasa Arab akan berhasil dengan optimal. Salah satu faktor yang juga menentukan adalah rendahnya pengajar (ustazd, guru, dan dosen). Jika guru kurang dalam penguasaan linguistik terapan, seperti metode pembelajaran bahasa yang digunakan dan juga penguasaan materi yang diajarkan, maka hasil belajar akan kurang memuaskan.

Menurut Muhammad A. Salim, sebagaimana dikutip oleh Nashir (t.t.: 28), kesuksesan pembelajaran bahasa Arab berkaitan erat dengan kemampuan guru atau dosen yang mengajarnya. Guru harus memiliki dan menguasai berbagai ilmu bahasa Arab yang meliputi; al-janib al-lughowy, al-janib al-tsaqofi, dan al-janib al-mihny.

Keberhasilan upaya peningkatan mutu pembelajaran bahasa Arab banyak ditentukan oleh kemampuan diri seorang pengajar dalam mengemban tugas pokok sehari-hari, yaitu mengelola kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas. Di dalam kelas, pengajar memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan yang sudah dirumuskan, karena pengajarlah yang secara langsung terlibat dalam kegiatan belajar mengajar. Mengingat peran pengajar yang sedemikian besar dalam menentukan keberhasilan kegiatan belajar-mengajar dan juga dalam peningkatan mutu pembelajaran bahasa Arab secara luas, maka seorang pengajar bahasa Arab dituntut untuk memiliki seperangkat kemampuan atau kompetensi, baik kompetensi paedagogik, profesional, personal maupun sosial di samping kemampuan tersebut di atas.

C. Pengajaran Bahasa Arab antara Teori dan Praktik Eksistensi bahasa Arab di Indonesia, yang mayoritas

penduduknya Muslim, mempunyai kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan bahasa-bahasa asing lainnya. Hal ini dikarenakan bahasa Arab merupakan alat dan kunci untuk memahami al-Qur’an dan Hadist dan sumber hukum Islam yang lainnya. Oleh karena itu pembelajaran bahasa Arab telah dimulai sejak usia anak-

Page 86: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

226

anak hingga usia dewasa, dari tingkat ibtidaiyah sampai aliyah bahkan perguruan tinggi, dan juga pengajaran di pondok pesantren. Akan tetapi secara umum semua praktik pembelajaran bahasa Arab selama ini di lembaga-lembaga tersebut masih jauh dari harapan. Faktanya, meskipun sudah belajar bahasa Arab bertahun-tahun, masih banyak ditemukan bahwa siswa atau mahasiswa tersebut yang belum mampu berbahasa Arab secara aktif.

Pelaksanaan pembelajaran bahasa Arab yang dilakukan selama ini kebanyakan mengabaikan teori-teori yang telah dihasilkan melalui penelitian dan uji coba dengan analisis yang mendalam dalam bidang kajian linguistik. Ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan pengajar dalam menyerap informasi yang terkait dengan perkembangan teori-teori tersebut.

Penguasaan bahasa Arab di Indonesia pada umumnya diperoleh melalui proses pembelajaran bahasa (language learning), bukan lewat pemerolehan bahasa (language acquisition). Oleh sebab itu selayaknya pembelajaran bahasa Arab memperhatikan teori-teori pembelajaran bahasa. Sebagai contoh kecil saja, banyak para pengajar bahasa, khususnya bahasa Arab, telah mengabaikan prinsip-prinsip pembelajaran bahasa sebagaimana yang dikemukakan oleh Horlod Balmar. Salah satu teori yang ia kemukakan adalah prinsip al-sholabah (congratulation), di mana seorang pengajar bahasa harus banyak memberikan contoh-contoh dari pada memberikan penjelasan yang panjang lebar (ceramah). Jika penjelasan saja yang dominan, maka yang makin pintar bukan peserta didik, tetapi si pengajar itu sendiri.

Tujuan utama dari semua pengajaran bahasa adalah membantu pelajar untuk mampu menggunakan bahasa baik yang secara aktif-produktif atau pasif-reseptif. Tujuan ini bisa dicapai melalui berbagai cara dan pendekatan pengajaran. Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang pengajar bahasa harus mengetahui dan memahami prinsip-prinsip belajar bahasa apa saja yang harus diwujudkan ke dalam

Page 87: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

227

kegiatan pengajaran. Berikut ini adalah beberapa prinsip pembelajaran bahasa beserta implikasi metodologisnya menurut Kholid (2003). Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: 1. Siswa akan belajar bahasa dengan baik jika ia diperlakukan

sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat. Siswa (pelajar) mernang memiliki posisi atau kedudukan yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu dalam menentukan tujuan pembelajaran, pengajar harus mengacu pada kebutuhan dan kegiatan pelajar. Pandangan “respect for the individual in society” yang menyatakan adanya perbedaan kebutuhan setiap individu di dalam suatu masyarakat mengharuskan guru memahami dan menghargai perbedaan-perbedaan dan menjadikannya sebagai pedoman. Kelas adalah suatu masyarakat kecil, di mana siswa itu belajar. Setiap pelajar mempunyai kebutuhan dan keinginan yang berbeda satu sama lain, oleh sebab itu pengajar harus menghargai perbedaan tersebut. Ellis dan Sinclair mengatakan, “The leaner should bi given the chance to choose what he wants to learns, haw and when he should be taught, and the way in which he wants to learn”. Pengajar dengan demikian harus mempertimbangkan secara keseluruhan perkembangan siswa (misalnya perkembangan intelektual, sosial dan afektif) pada saat menentukan isi dan proses pembelajaran. Pengajar harus bisa mendorong imajinasi dan kreatifitas pelajar misalnya melalui simulasi, role play, permainan (games), dan lain-lain. Di samping itu pengajar juga dituntut untuk dapat menggunakan strategi dan memilih aktifitas, latihan, dan sumber-sumber yang bisa melayani perbedaan-perbedaan individual, seperti kemampuan, cara belajar, dan latar belakang kemampuan dasar bahasa mereka.

2. Anak akan belajar dengan baik jika ia sengaja memfokuskan pelajarannya kepada bentuk ketrampilan, dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan bahasa. Dalam pembelajaran

Page 88: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

228

bahasa Arab pada tingkat tertentu, pengajar sebaiknya memfokuskan pengajaran dalam bentuk bahasa, misalnya kosa kata, gramatika, ketrampilan dan strategi melalui beragam latihan yang dipersonalisasikan. Latihan-latihan dapat dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan individual atau kelompok, baik lisan maupun tulisan.

3. Anak akan belajar bahasa dengan baik bila ia diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam penggunaan bahasa target secara komunikatf dalam berbagai macam aktifitas. Untuk menciptakan kondisi ini pengajar harus dapat mendorong dan meningkatkan keterlibatan aktif semua pengajar di dalam komunikasi dengan menggunakan bahasa target melalui aktifitas seperti permainan (games), problem solving, information gap, dan lain-lain. Dalam hal ini pengajar harus mampu bertindak sebagai seorang model dalam penggunaan bahasa tersebut.

4. Anak akan belajar bahasa dengan baik jika ia diberi kesempatan untuk mengatur pelajaran mereka sendiri. Dalam hal ini pengajar harus memberikan kesempatan pada pelajar untuk mengatur dan menerima tanggung jawab atas pelajaran mereka sendiri. Pengajar memberikan kesempatan pada pelajar untuk mengerjakan tugas secara individual, bekerja kelompok, mencari informasi sendiri melalui kamus, buku-buku gramatika, dan lain-lain.

5. Anak akan belajar dengan baik jika ia diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan belajar. Dalam hal ini pengajar hendaknya dapat memberikan umpan balik yang sesuai dengan jenis kegiatan yang dijalani pelajar. Respon terhadap kesalahan dalam proses belajar bahasa dapat diberikan secara berbeda dengan mempertimbangkan bentuk kegiatan, keseriusan kesalahan yang dibuat, dan harapan perbaikan. Tentunya masih banyak prinsip-prinsip lain dalam pembelajaran

bahasa, di mana prinsip-prinsip tersebut sering terabaikan oleh pengajar dalam proses pembelajaran bahasa di kelas. Dampak dari

Page 89: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

229

kurangnya perhatian terhadap prinsip-prinsip tersebut adalah bahwa guru kemungkinan akan membuat kesalahan dalam memilih materi, metode, dan media pembelajaran. Para pelajar akhirnya tidak ada kegairahan untuk belajar bahasa sehingga pelajaran atau materi bahasa Arab akan menjadi momok yang menakutkan bagi mereka.

D. Peningkatan Profesionalitas Guru Bahasa Arab Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas mutu pembelajaran

bahasa Arab adalah dengan meningkatkan kualitas guru bahasa Arab. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan pemahaman guru terhadap konsep pembelajaran, dan peningkatan kompetensi bahasa (Rod, 1985). Dua aspek ini akan dijelaskan dalam uraian berikut ini:

1. Peningkatan Pemahaman terhadap Konsep Pembelajaran Bahasa Hakekat belajar bahasa adalah bagaimana seseorang pelajar

membentuk suatu kebiasaan baru. Kebiasaan baru tersebut hanya dapat berbentuk bila dilakukan pelatihan (dril) secara terus-menerus. Oleh karenanya mengajar bahasa adalah membantu anak agar ia mampu menguasai empat ketrampilan berbahasa yaitu: istima’, kalam, qiro‘ah, dan kitabah. Di samping itu pembelajaran bahasa akan selalu didasarkan atas hukum-hukum besi yang tidak dapat dibengkokkan. Sadtono menyatakan bahwa hukum-hukum besi tersebut antara lain: (1) jumlah jam pelajaran yang cukup banyak; (2) frekuensi latihan/pemakaian bahasa yang cukup tinggi; (3) kelas yang relatif kecil, khususnya kelas untk melatih kemampuan lisan; (4) pengajar yang baik penguasaan bahasa atau cara mengajarnya (Sadtono, 1987).

Sementara itu perlu juga diperjelas di sini bahwa banyak di antara para guru bahasa Arab yang salah dalam memberikan persepsi terhadap tiga konsep yang terkait dengan kebahasaan yaitu: konsep pemerolehan bahasa, belajar bahasa, dan belajar tentang bahasa. “Pemerolehan bahasa” adalah proses belajar bahasa yang tidak disadari secara langsung, atau tidak disengaja, sebagaimana

Page 90: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

230

penguasaan anak terhadap bahasa ibu. Dalam hal ini anak belajar bahasa secara alami tanpa ada perencanaan. Anak belajar bahasa tidak menggunakan tata bahasa dan bagaimana cara penggunaannya. Penguasaan bahasa dalam hal ini sepenuhnya bersandar pada diri seorang anak dan lingkungannya dengan berbekal indra yang telah diberikan oleh Allah SWT.

Berbeda dari hal di atas, untuk kasus bahasa asing, penguasaan bahasa banyak diperoleh lewat pembelajaran bahasa. Dalam “pembelajaran bahasa”, penguasaan bahasa diperoleh dengan proses kesengajaan dan dengan kesadaran. Sengaja yang dimaksud di sini artinya ada perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan dengan menggunakan berbagai cara agar bahasa target benar-benar dikuasai.

Di samping itu dari segi tujuan penguasaan bahasa, terdapat perbedaan antara “pemerolehan bahasa” dengan “pembelajaran bahasa”. Dalarn pemerolehan bahasa, penguasaan bahasa bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan pokok (primer) agar seorang pengguna bahasa dapat berkomunikasi dan hidup di lingkungan di mana bahasa itu dipergunakan. Sedangkan dalam pembelajaran bahasa, penguasaan bahasa merupakan kebutuhan sekunder, seperti untuk keperluan studi, mengenal fenomena budaya, sosial, politik dan lain-lain.

Perbedaan lainnya dapat dilihat dari aspek setting lingkungan. Pemerolehan bahasa memiliki lingkungan yang asli yang mudah untuk didapat dan memiliki waktu yang panjang. Sementara pembelajaran bahasa menggunakan hingkungan buatan dan berlaku dalam waktu yang sangat singkat (Al-Fauzan, 2003).

Berbeda dengan dua konsep di atas, dalam konsep ”belajar tentang bahasa” penguasaan bahasa sudah tidak lagi pada ketrampilan bahasa (istima’, kalam, qiro ‘ah, dan kitabah), tetapi lebih pada aspek-aspek ilmu kebahasaan (fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan lain-lain). Oleh karenanya “belajar bahasa” jauh berbeda dengan “belajar tentang bahasa”. Belajar bahasa lebih menekankan pada aspek

Page 91: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

231

keterampilan berbahasa, sedangkan belajar tentang bahasa lebih menekankan pada aspek-aspek keilmuan bahasa.

2. Peningkatan Kompetensi Bahasa Kompetensi bahasa secara umum dapat dimaknai sebagai

“kemampuan tata bahasa seorang individua tau pribadi yang terinternalisasi”, atau dengan istilah lain: kemampuan seseorang untuk menciptakan dan memahami kalimat-kalimat, termasuk kalimat-kalimat yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya. Kemampuan ini juga mencakup pengetahuan seseorang mengenai apa yang benar-benar merupakan sebuah kalimat dan yang bukan kalimat dalam suatu bahasa tertentu. Kompetensi bahasa sering kali mengacu kepada pembicara atau pendengar ideal yaitu seorang yang diidamkan tetapi bukan pribadi yang nyata yang akan memiliki pengetahuan yang sempurna mengenai keseluruhan bahasa itu. Suatu perbedaan memang dibuat antara kompetensi dan performansi yang merupakan penggunaan aktual bahasa oleh pribadi-pribadi dalam tuturan dan tulisan (Tarigan, 1990: 22).

Ragam kompetensi bahasa dapat dikiasifikasikan dengan berbagai cara sudut pandang. Apabila kompetensi dipandang dan sudut kemahiran fungsional (functionally proficient) , maka didapatkan tiga komponen, yaitu:

a. Kompetensi partisipatif (participative competence), yaitu kemampuan untuk memberikan responsi secara memadai terhadap tuntutan-tuntutan tugas-tugas kelas dan pada kaidah-kaidah prosedural untuk menyelesaikannya.

b. Kompetensi interaksional (interactional competence), yaitu kemampuan untuk memberikan respons secara memadai terhadap kaidah-kaidah wacana kelas dan kaidah-kaidah sosial wacana, berinteraksi secara memadai dengan teman-teman sebaya maupun orang-orang dewasa waktu menyelesaikan tugas-tugas kelas.

Page 92: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

232

c. Kompetensi akademik (academic competence), yaitu keterampilan dalam memperoleh keterampilan-keterampilan baru, mengasimilasi atau memahami informasi baru, dan membangun konsep-konsep baru. (Tarigan, 1990: 25)

Apabila kompetensi bahasa dipandang dan segi aspek komunikatifnya, maka ia paling tidak mencakup empat bidang pengetahuan dan keterampilan (Thoimah, 1989: 16), yaitu:

a. Kompetensi gramatikal (grammatical competence), mencakup pengetahuan mengenai kosakata, kaidah-kaidah pembentukan kata dan kalimat, semantik, linguistik, ucapan dan ejaan;

b. Kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence), mencakup kaidah-kaidah kelayakan makna-makna (pesan-pesan yang diperkenankan) dan bentuk-bentuk gramatikal dalam konteks sosiolinguistik yang beraneka ragam dan berbeda-beda;

c. Kompetensi wacana (discourse competence), mencakup pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengkombinasikan atau menggabungkan bentuk-bentuk dan makna-malcna untuk mencapai teks-teks lisan dan tulis yang terpadu dan utuh;

d. Kompetensi strategik (strategic competence), mencakup pengetahuan mengenai strategi-strategi komunikasi verbal dan non verbal yang dapat digunakan untuk mengimbangi pembatasan-pembatasan dalam satu atau lebih bidang kompetensi komunikatif lainnya.

Agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan, maka seorang pengajar bahasa Arab harus memiliki kualifikasi tertentu sebagai syarat keprofesionalannya, sehingga dapat meningkatkan mutu pembelajaran bahasa Arab. Seorang guru bahasa Arab haruslah memiliki kompetensi fungsional, pengetahuan dan ketrampilan.

Page 93: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

233

Untuk memenuhi kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru maka lembaga yang menyiapkan calon tenaga pengajar bahasa Arab, khususnya lighoiri natiqina biha, seharusnya memperhatikan empat aspek sebagai benikut (Dihyatun, 2003) :

a. Aspek kebahasaan (linguistik). Yang dimaksud dengan aspek ini adalah kajian yang terkait dengan ilmu-ilmu kebahasaan, khususnya dalam kajian teori pembelajaran bahasa Arab lighoiri natiqina biha, karena ini merupakan penyangga utama dalam melaksanakan tugas pembelajaran. Hal ini meliputi: (1) kajian teori yang terkait dengan linguistik Arab yang akan membantu pengajar dalam penguasaannya terhadap keterampilan bahasa Arab (istima’, kalam, qiro’ah, dan kitabah). Penguasaan teori ini penting karena pada dasarnya mengajar bahasa adalah bagaimana pengajar membantu siswa menguasai empat kemahiran (maharoh) tersebut. Kemahiran ini adalah alat untuk memahami (istima’ dan qiro’ah) atau menjelaskan (kalam dan kitabah). (2) Kajian teori yang terkait dengan linguistik moderen, yang meliputi linguistik murni (fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan filologi), dan linguistik terapan (psikolinguistik, sosiolinguistik, contractif analysis, error analysis, prinsip-prinsip pembelajaran bahasa, leksikologi, dan sebagainya).

b. Aspek profesi, adalah aspek yang terkait dengan upaya untuk menjadikan pengajar bahasa lebih profesional. Di sini seorang pengajar harus dibekali ilmu-ilmu kependidikan (Dasar-dasar Pendidikan, Ilmu Jiwa Pendidikan, Sosiologi Pendidikan, Desain Pembelajaran, Metode Pembelajaran, Evaluasi Pembelajaran, dan Penelitian Tindakan Kelas).

c. Aspek budaya (cultural). Ada keterikatan yang tidak bisa dipisahkan antara bahasa dan budaya. Bahasa merupakan

Page 94: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

234

tempat atau sarana budaya. Oleh karena itu seorang pengajar bahasa harus memiliki pengetahuan tentang budaya bahasa yang diajarkan.

d. Aspek kepribadian dan sosial. Karena pengajar adalah model bagi siswanya, maka seorang pengajar harus memiliki kepribadian yang utuh seperti: taat beragama, percaya diri, memiliki kepribadian yang kuat, menguasai materi, dan lain-lain (Murtadlo, 2003).

Demikian aspek-aspek yang harus dibekalkan pada para guru bahasa Arab, agar menjadi seorang pengajar yang lebih profesional dan kompeten.

Untuk mengetahui kriteria dan kategori guru yang baik dalam penguasaan bahasa Arab, kita dapat melihat contoh kemampuan dan pengetahuan yang diharapkan dan seorang guru bahasa Inggris yang dijabarkan oleh Modern Language Association of America. Kategiru ini terkait dengan kemampuan untuk guru-guru bahasa asing di sekolah menengah. Uraiannya adalah sebagai berikut:

a. “Kemampuan minimal”, yaitu kemampuan berbicara mengenai topik yang telah disiapkan (misalnya untuk keperluan di kelas), tanpa kelihatan tersendat-sendat, dan memahami idiom umum yang diperlukan dalam pergaulan di negara bahasa target. Kemampuan minimal juga mencakup kemampuan berbicara dengan memakai ucapan yang langsung dapat dipahami oleh penutur asli.

b. “Kemampuan baik”, yaitu kemampuan untuk berbicara dengan penutur asli tanpa membuat kesalahan yang mencolok, dan memiliki penguasaan kosakata dan sintaksis yang cukup untuk menyampaikan pikirannya dalam percakapan yang berlangsung lama. Hal ini juga berarti kemampuan berbicara dengan kecepatan normal dan ucapan serta intonasi yang baik.

Page 95: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

235

c. “Kemampuan naik sekali”, yaitu kemampuan berbicara yang mendekati kemampuan penutur asli dalam kosakata, intonasi dan ucapan (misalnya kemampuan untuk bertukar pikiran dan bersikap santai dalam pertemuan-pertemuan sosial) (Murtadlo, 2003).

Meskipun kriteria di atas untuk guru-guru sekolah menengah, menurut Sadtono (1987: 12) untuk kita di Indonesia barangkali dapat disesuaikan dengan menempatkan kategori “kemampuan minimal” untuk guru sekolah tingkat menegah pertama (tsanawiyah), “kemampuan baik” untuk guru pada tingkat menengah atas atau aliyah, dan “kemampuan baik sekali” untuk dosen di perguruan tinggi. Dalam rangka memahami pada kategori apa kompetensi pengajar bahasa Arab di lembaga pendidikan di mana kita berada , sangat bermanfaat apabila kita adakan tes kemampuan untuk para pengajar di lingkungan kita sendiri. Melalui tes ini akan dapat diketahui sejauh mana kemampuan para guru berbicara dalam bahasa Arab.

E. Penutup Semua orang yang berprofesi sebagai guru, termasuk guru bahasa

Arab harus memiliki seperangkat kemampuan minimal atau kompetensi, baik kompetensi paedagodik, profesional, personal maupun sosial. Hanya dengan empat hal inilah guru bahasa Arab dapat menjalankan tugasnya secara efektif dan efisien.

Kalau kita kaji secara seksama, maka akan ditemukan bahwa di antara penyebab rendahnya mutu pembelajaran bahasa Arab adalah masih banyaknya guru bahasa Arab yang kurang memahami tiga aspek penting, yaitu teori tentang prinsip-prinsip pembelajaran bahasa, konsep pembelajaran bahasa, dan kompetensi-kompetensi kebahasaan. Ketiga aspek ini memegang peranan penting dalam proses pembelajaran bahasa Arab. Tanpa penguasaan ketiga aspek ini akan sulit dicapai hasil belajar bahasa Arab yang baik pada peserta didik.

Page 96: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

236

Daftar Pustaka Dihyatun. 2003. ”Nahwa Istrartijiyaj Ta’limul Lughoh Al Arabiyah Al

Fa’aliyah”. Makalah Kuliah Tamu 16 Maret 2003. UIN Malang. Ellis, Rod. 1985. Understanding Second Lnguage Acquisition.

Toronto: Oxford University Press. Fauzan, Abdurrahman Ibn Ibrohim Al-. 2003. Diktat Workshop

Pembelajaran Bahasa Arab Bagi Dosen Bahasa Arab. Malang: UIN Malang

Hamid, M. Abdul. 2006. “Kemampuan Dosen Bahasa Arab Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia”, dalam Jurnal el-Hikmah, Vol III Nomor 2 Januari 2006. Fakultas Tarbiyah UIN Malang.

Kholid, Zulvia. 2003. “Pendekatan Student Centred Dalam Pengajaran Struktur Bahasa Inggris” dalam bI .ac.id/padmalberitaledisi 2003/pendekatan

Murtadlo, Nurul. 2003. ”Metode Pengajaran Bahasa Arab bagi Masyarakat Indonesia”. Makalah Seminar

Nashir, Kamal Thn Badri Sholch. t.t. Usus Ta’lim al Lughoh al Ajnabiyah. Al Mamlakah As Saudiyah Al Arabiyah.

Sadtono, A. 1987. “Metode Belajar Mengajar Bahasa Inggris Untuk Kemampuan Komunikatif Lisan”, Makalah Seminar Tanggal 19-22 Juli 1987. Jakarta.

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Kompetensi Bahasa, Bandung: Angkasa.

Thoimah, Rusdi. 1989. Ta’limul Lughoh Lughoiri Nathiqina Biha, Manahijuhu Wa Asalibuhu. Jakarta: ISESCO.

Page 97: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

237

POLA HUBUNGAN PATRON-CLIENT KIAI DAN SANTRI DI PESANTREN

Syamsul Ma’arif

Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Jl. Prof. DR. Hamka Kampus II Ngaliyan Semarang

Jawa Tengah

Abstract Pesantren as a unique of Indonesian Islamic education institution has a dynamic in its development. Although modernization and its implication has been influenced pesantren’s existence, it can survive until noweday. One of factors support pesantren is figure of kiai as a strong leader with his patronage system. This is a relation pattern which has been rooted in pesantren tradition. The system has widely networks and disseminated by kiai not only in the pesantren, but also out of it. Patron-client between santri and kiai legitimize the authority and charisma of kiai. It also makes him easy to influence and ask community to participate in buillding pesantren. Last but not least, the community it self have a good awareness and attitude (sami’na wa atha’na) in foolowing and supporting every single of kiai’s policy for advance of pesantren. Keywords: kiai, santri, pesantren, patronage A. Pendahuluan

Pendidikan model pesantren memiliki beberapa karakteristik unik bila dibandingkan dengan sistem pendidikan lainya. Karakteristik itulah yang banyak berpengaruh dalam membentuk karakter manusia-manusia yang ‘berwatak’ khas, seperti: populis, nerimo ananing pandum, suka berderma, ikhlas serta watak-watak lainya yang sangat

Page 98: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

238

jarang ditemukan dalam masyarakat modern yang cenderung kapitalistik sekarang.

Karena dasar tujuan di dirikanya pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar, maka wajar kalau seseorang yang belajar di pesantren disebut dengan istilah santri. Istilah ini menurut Manfred Ziemek (1986:95), terdiri dari kata ‘sant’ (manusia baik) dihubungkan dengan suatu kata ‘tri’ (suka menolong). Jadi pesantren berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.

Sebetulnya tidak ada tujuan pendidikan pesantren yang secara eksplisit tertera dalam anggaran dasar seperti yang terjadi pada pendidikan formal. Hal ini diakibatkan oleh sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai dengan dasar berdirinya yaitu semata-mata untuk beribadah dan tidak pernah ditujukan dengan tujuan tertentu dalam lapangan penghidupan.

Tujuan pesantren tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati (Dhofier, 1982: 18).

Setiap santri yang ingin memasuki pesantren didorong oleh para kiai agar didasari pada niatan yang mulia dengan pondasi niat yang tulus ikhlas. Para kiai nampaknya sangat berpegangan kepada apa yang disarankan Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’limul Muta’allim (1998: 44): “Seyogyanya seorang pencari ilmu ketika mencari ilmu berniat: mencari keridhaan Allah, mencari kebahagiaan akhirat, menghilangkan kebodohan pada dirinya dan orang bodoh lainya, menghidupkan agama, dan menegakkan agama Islam”. Jadi, visi para santri diarahkan para kiai bukan sekedar untuk mencari karier, pangkat dan jabatan melainkan untuk mencari ridha Allah,

Page 99: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

239

kebahagiaan ukhrowi, menghilangkan kebodohan dan menegakkan agama.

Sikap hormat, takzim, dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang juga ditanamkan pada setiap santri. Tradisi pesantren ini bernafaskan sufistik dan ubudiyah. Banyak kiai yang berafiliasi dengan tarekat dan mengajarkan kepada pengikutnya ibadah dan amalan-amalan sufistik yang khas (Bruinessen, 1995: 18)

Nilai-nilai sufistik itulah yang kemudian ditanamkan oleh para kiai di pesantren, sehingga kiai memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap ‘kepribadian santri’. Tidak heran jika para santripun melakukan dan mentaati segala perintah kiai. Pesantren pada dasarnya adalah lembaga pendidikan agama Islam yang lebih menekankan kepada pembentukan kepribadian seorang Muslim. Salah satu akhlak yang dibangun adalah bagaimana mereka dapat menghormati seorang guru atau kiai. Sosok kiai digambarkan sebagai sosok pewaris Nabi, al-‘ulama waratsatu al-anbiya’.

Nilai-nilai khas kepesantrenan yang dikembangkan oleh pondok pesantren, sebagaimana telah ditunjukkan Manshur (2004: 59) adalah: (1) nilai teosentris; (2) sukarela dan mengabdi; (3) kearifan; (4) kesederhanaan; (5) kolektivitas; (6) mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin; (8) mandiri; (9) tempat mencari ilmu dan mengabdi; (10) mengamalkan ajaran agama; dan (11) restu kai.

Tentang nilai restu kiai, memang semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat bergantung pada restu kai. Baik ustad maupun santri selalu berusaha jangan sampai melakukan hal-hal yang tidak berkenaan di hadapan kiai. Sikap ‘tawadhu’ dan menghormati kiai seperti inilah yang senantiasa diajarkan pesantren. Kalau ingin selamat dunia akhirat dan memiliki ilmu yang bermanfaat, wajib bagi santri mematuhi semua perintah kiai dan senantiasa mengharapkan restunya.

Melalui seperangkat materi dan metodologi yang masih bersifat normatif dan skolastik, peserta didik diantarkan untuk menjadi

Page 100: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

240

seorang yang memiliki loyalitas dan pengabdian kepada seorang kiai. Tradisi belajar yang dikembangkan di pesantren-pesantren (umumnya meliputi dua jenis sistem pembelajaran, yaitu sistem sorogan dan bandongan) akan membenarkan asumsi ini.

Dalam sistem sorogan murid-murid dibimbing secara individual sesuai dengan kemampuanya dan kitab-kitab yang dipelajarinya. Sistem sorogan biasanya digunakan pada pembelajaran terhadap santri-santri yang baru masuk untuk memperoleh binaan secara intensif. Sedangkan pada sistem bandongan, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan dan menerangkan sesuatu mata pelajaran. Kiai menyampaikan materi pelajaranya secara monolog. Sistem ini biasa disebut sistem wetonan dan merupakan metode utama pengajaran di lingkungan pesantren tradisional.

Dilihat dari prosesnya, kedua sistem sorogan dan bandongan ini, menurut Asep Saeful Muhtadi (2004: 85), menggambarkan pola-pola komunikasi yang berlaku di lingkungan pesantren: monolog, komunikasi tatap muka, personal dan lebih bertumpu pada bentuk komunikasi lisan (oral communication). Dalam hal ini, tentu saja kiai berfungsi sebagai sumber informasi, guru belajar yang utama, dan sekaligus berperan sebagai pemimpin yang memainkan kekuasaan ‘mutlak’.

B. Geneologi Santri, Kiai dan Pesantren Pesantren ditengarai sebagai tempat yang digunakan para kiai

untuk membangun pola patronasenya. Dari pola patronase seperti inilah pesantren, meskipun bersifat independen, telah mampu menunjukkan kepada kita sebagai lembaga pendidikan yang tetap survive sampai sekarang. Sebelum sampai kepada penjelasan tentang hal ini penulis akan menjelaskan dahulu istilah munculnya pesantren ini, untuk menghindari bias pemahaman. Sebenarnya telah banyak peneliti, baik dari dalam atau luar, yang menjelaskan dan

Page 101: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

241

mendiskripsikan tentang sejarah perkembangan pesantren ini. Maka disini penulis tidak akan meneliti sejarah lahirnya pesantren, hanya cukup mendiskripsikan definisinya saja.

Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan sistem pendidikan Islam yang sering disebut pesantren ini. Masyarakat Jawa dan Sunda sering menyebutnya dengan istilah pesantren atau pondok (Mastuhu, 1994: 6). Di Aceh dikenal dengan istilah dayah atau rangkang atau meunasah, sedang di Minangkabau disebut surau (Madjid, 1997: 41). Zamakhsari Dhofier menjelaskan, bahwa secara etimologis, pesantren berasal dari kata pesantrian, yang berarti ‘tempat santri’ (Dhofier, 1982: 18).

Sementara menurut Clifford Geertz (1983: 268), istilah pesantren yang lazim disebut pondok tersebut memiliki kata dasar ‘santri’. Kata ini mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti sempit ialah seorang murid pada sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Sementara dalam arti luas dan umum santri ialah bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang, pergi ke masjid dan berbagai aktifitas lainya. Mendapat imbuhan berupa prefiks ‘pe’ dan sufiks ‘an’ yang kemudian berarti tempat tinggal para santri.

Secara terminologis, Abdurrahman Mas’ud (1988) mendefenisikan pesantren adalah “the word pesantren stems from “santri” which means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the santri devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge”. Mastuhu menambahkan, pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-din) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994: 6). Di dalam lembaga pendidikan pesantren ini, biasanya terdapat lima elemen dasar yang tidak terpisah-pisahkan,

Page 102: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

242

yaitu: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kiai (Dhofier, 1982: 44).

Adapun ciri-ciri pesantren, mengutip pendapatnya Ziemek, ada tiga ciri: (1) kiai sebagai pendiri, pelaksana, dan guru; (2) pelajar (santri) secara pribadi diajari berdasarkan naskah-naskah Arab klasik tentang pengajaran, paham, dan akidah keislaman, (3) kiai dan santri tinggal bersama-sama untuk masa yang lama, membentuk satu komunitas seperti asrama, yaitu tempat mereka sering disebut ‘pondok’

Dalam mekanisme kerja kelembagaan pondok pesantren, pilar-pilar pondok pesantren (santri, khadam dan guru/ ustad) merupakan satu kesatuan kekuatan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme), tetapi tetap mendudukkan peran kiai sebagai pilar utama. Peranan kiai mendinamisir pilar-pilar tersebut dan mendorong dinamika kelembagaan pondok pesantren sesuai dengan status sosial masing-masing pilar tersebut.

Sementara istilah kiai dalam bahasa Jawa sering dipakai dalam banyak hal. Kiai adalah semua hal ini digunakan untuk menunjukkan sesuatu atau seseorang yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Seorang kiai, sebagaimana dikutip Ronald Alan Lukens-Bull (2004: 89), berkata bahwa secara etimologis, kiai berasal dari kata ‘iki wae’, yang bisa diartikan ‘orang yang dipilih’. Ini menunjukkan bahwa kiai adalah spesial karena mereka pilihan Allah SWT. Akan tetapi, istilah ‘kiai’ bisa diterapkan pula pada selain manusia. Beberapa pusaka keraton Jawa yang disebut pula kiai, termasuk keris (pisau panjang Jawa) dan kereta yang dipakai keluarga-keluarga kerajaan. K. H. Kholil Bisri (2004), menambahkan bahwa kiai adalah “sesuatu (atau segala sesuatu) yang istimewa. Bahkan besi dan sapi yang istimewa bisa bernama Kiai Pleret, Kiai Nogososro-Sabukinten, Kiai Laburjagat, Kiai Slamet, dan lain-lain”.

Kalau dilacak dalam prespektif sejarah, istilah kiai bermula dari keampuhan benda-benda kuno yang dimiliki para penguasa di tanah

Page 103: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

243

Jawa (raja, senopati atau para punggawa kerajaan). Benda berupa pusaka mengandung kekuatan gaib yang dipercaya masyarakat dapat menentramkan dan memulihkan kekuasaan dan ketenteraman suatu daerah atau negara. Benda itu dapat menambah kekuatan kesaktian pemakaianya (Sukamto, 1999: 84-85).

Sedangkan Zamakhsari Dhofier menunjukkan, bahwa asal-usul kiai dalam masyarakat Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar; pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; umpamanya, ‘Kyai Garuda Kencana’ dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di Keraton Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dari mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai, ia juga sering disebut seorang ‘alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).

Dari defenisi yang ketiga itulah kiranya ‘kiai’ yang dimaksudkan dalam penulisan ini. Di dalam Ensiklopedi Islam Indonesia (1992: 562) disebutkan, bahwa kiai di kalangan masyarakat tradisional Jawa, merupakan tokoh keagamaan kharismatik yang bisa dibandingkan dengan ajengan di masyarakat Jawa Barat dan syekh di masyarakat Minangkabau Sumatera Barat. Untuk penyebutan istilah kiai di Indonesia memang berbeda-beda, tetapi substansinya memiliki peran dan tugas yang sama. Untuk persoalan ini, Ali Maschan Moesa (1997: 60) berkata; “ulama juga mempunyai sebutan yang berbeda di setiap daerah, seperti kiai (Jawa), ajengan (Sunda), tengku (Aceh), syekh (Sumatera Utara/Tapanuli), buya (Minangkabau), tuan guru (Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah)”.

Khusus bagi masyarakat Jawa, gelar yang diperuntukkan bagi ulama antara lain ‘wali’. Gelar ini biasanya diberikan kepada ulama yang sudah mencapai tingkat tinggi dan memiliki kemampuan pribadi yang luar biasa. Sering juga para wali ini dipanggil dengan ‘sunan’.

Page 104: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

244

Hal ini untuk menunjukkan bahwa sang ulama tersebut mempunyai kekuatan spritual yang tinggi.

Selain itu, terdapat sebutan ‘kiai’, yang merupakan gelar kehormatan bagi para ulama pada umumnya. Oleh karena itu, sering dijumpai di pedesaan Jawa panggilan ‘Ki Ageng’ atau ‘Ki Ageng/Ki Gede’, juga ‘Ki Haji’ (Isma’il, 1997: 63). Demikianlah gelar bagi ulama yang dijumpai di berbagai tempat di wilayah Indonesia, khususnya Jawa.

Bagaimanakah gelar kiai tersebut diperoleh dan syarat-syarat apa yang harus dimiliki untuk bisa disebut ‘kiai’? Sebenarnya gelar kiai tersebut, adalah sebuah gelar yang langsung diberikan oleh masyarakat kepada sesorang yang dianggap memiliki kualitas dan kapabilitas sebagai seorang kiai. Karel A. Steenbrink dalam bukunya Pesantren Madrasah Sekolah (1994:109) berkata:

Dalam masyarakat tradisional, seorang dapat menjadi kiai atau disebut kiai karena ia diterima masyarakat sebagai kiai, karena orang datang minta nasehat kepadanya, atau mengirimkan anaknya supaya belajar kepada kiai. Memang, untuk menjadi kiai tidak ada kriteria formal seperti persyaratan studi, ijazah dan sebagainya. Akan tetapi ada beberapa syarat non formal yang harus dipenuhi oleh seorang kiai, sebagaimana syarat non formal untuk menentukan seseorang menjadi kiai besar dan kecil.

Seseorang yang berhak menyandang gelar kiai, meminjam bahasanya Ronald Alan Lukens-Bull (2004: 88), paling tidak harus memiliki empat komponen: pengetahuan, kekuatan spritual, keturunan (baik spritual maupun biologis), dan moralitas. Senada dengan ini, Manfred Ziemek (1986: 137) menyebut bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan sesorang bisa menjadi kiai, yaitu: pertama, berasal dari suatu keluarga kiai di lingkungannya agar dapat menggunakan kesetiaan kerabat dan masyarakatnya. Kedua, sosialisasi dan proses pendidikanya dalam sesuatu pesantren terpandang yang dilengkapi

Page 105: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

245

dengan pengalaman dan latar belakang kepemimpinan yang telah ditanamkan. Ketiga, adanya kesiapan pribadi yang tinggi untuk bertugas, yakni kemauan untuk mengabdikan kehidupan pribadinya demi tugasnya di pesantren. Keempat, sebagai pemimpin agama dan masyarakat untuk bekerja secara suka rela guna membangun dan membiayai pesantren. Kelima, mampu mengumpulkan dana dan bantuan tanah wakaf dari warga yang berpunya.

Persyaratan lain yang diberikan H. Aboebakar Atceh (dalam Steenbrink, 1994: 109) untuk seorang kiai dan sekaligus bisa menunjukkan kebesaranya adalah: (1) pengetahuanya, (2) kesalehanya, (3) keturunanya, dan (4) jumlah muridnya.

Endang Turmudzi (2004) juga telah membahas panjang lebar mengenai penyebutan gelar kiai dengan persyaratannya dan disertai penjelasan mengenai tingkatan-tingkatan kiai. Dengan menunjukkan perbandingan kasus di Jawa, Jombang dan Madura, ia menjelaskan persolan identitas kiai ini. Menurutnya, di Jombang, semua ulama dari tingkat tertinggi hingga terendah disebut kiai. Dengan kata lain, istilah kiai di Jombang tidak mesti merujuk pada mereka yang menjalankan pesantren, tetapi juga dapat diterapkan kepada guru ngaji atau imam masjid yang memiliki pengetahuan keislaman yang lebih dibandingkan dengan warga yang lain. Lebih dari itu, hierarki keulamaan di Jombang berbeda dengan, misalnya, di Madura. Ia tidak terkait dengan struktur formal apapun, tetapi lebih terletak dalam pengakuan sosial sehingga agak sulit mengenali tingkat kekiaian seseorang. Hanya mereka yang menjalankan pesantren yang bisa dikenali dengan mudah, mereka dianggap sebagai kiai yang lebih tinggi derajatnya.

Sedangkan di Madura, masih menurut Turmudzi (2004: 30), pengakuan masyarakat memiliki peran yang lebih menentukan berkaitan dengan keulamaan seseorang daripada sekedar faktor geneologis. Dengan demikian tingkatan kiai didasarkan bukan pada keturunan tetapi pada kualitas.

Page 106: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

246

Dibandingkan dengan Madura, kekiaian di Jawa, termasuk Jawa Barat, tampak lebih terbuka, dalam arti ia dibentuk dalam pola yang lebih berorientasi prestasi. Meskipun beberapa kiai terkenal di daerah-daerah ini berasal dari keluarga kiai, namum kekiaian tidak melekat dalam struktur sosial yang ada. Jadi pengangkatanya didasarkan pada pengakuan sosial.

Sehubungan dengan identitas kiai tersebut, Abdurrahaman Wahid (dalam Dirdjosanjoto, 1999) pernah menyatakan: “dunia kiai adalah dunia yang penuh kerumitan, apabila dilihat dari sudut pandangan yang berbeda-beda. Karenanya sangat sulit untuk melakukan generalisasi atas kelompok ulama tradisional yang ada di masyarakat bangsa kita ini”. Masih menurutnya, istilah kiai, bindere, nun, ajengan dan guru adalah sebutan yang semula diperuntukkan bagi para ulama tradisional di pulau Jawa, walaupun sekarang kiai sudah digunakan secara generik bagi semua ulama, baik tradisional maupun modernis, di pulau Jawa maupun di luar Jawa.

Dengan begitu siapapun orangnya kalau memiliki ekspektasi keilmuan agama Islam dan mendakwahkan ilmu agama Islam yang dimiliknya kepada masyarakat—baik memiliki pesantren atau tidak, keturunan kiai atau bukan, Jawa atau luar Jawa—yang dipandang ‘cakap dan pantas’ menerima sebutan kiai oleh masyarakat setempat, dapat disebut sebagai orang yang memiliki ‘identitas kiai’. Setiap orang dapat menjadi kiai, asal dia oleh masyarakat diterima sebagai kiai. Setiap orang dapat membuka pesantren, asal ada santri yang belajar kepadanya.

C. Jaring-Jaring Patronase Pesantren Sebagai sistem pendidikan tradisional, pesantren telah banyak

memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa Indonesia. Ia dalam beberapa hal telah memiliki peranan yang cukup berarti. Abdurrahman Wahid (2001: 78), menjelaskan bahwa, peranan itu dapat dikatagorikan menjadi peranan yang murni keagamaan dan

Page 107: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

247

peranan yang tidak hanya bersifat keagamaan belaka. Termasuk peranan yang tidak bersifat keagamaan adalah ada yang bersifat kultural, sosial-ekonomis bahkan politik.

Arti penting pesantren tidak hanya terletak pada kenyataan bahwa ia telah menanamkan sistem nilai Islam, yang paling tidak, telah menciptakan masyarakat yang lebih religius, tetapi juga karena kiai yang memimpin pesantren sering kali juga terlibat dalam wilayah politik. Dalam hal ini kiai menjadi media bagi umat Islam dalam meraih kepentingan-kepentingan politik yang mempunyai reputasi nasional. Karena itu, meskipun kebanyakan kiai di Jawa tinggal di pedesaan, mereka merupakan bagian kelompok elit dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Jawa. Sebab sebagai suatu kelompok, para kiai memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat Jawa, dan karenanya, ia merupakan kekuatan penting dalam kehidupan politik Indonesia.

Secara sosiologis pesantren dapat dikatagorikan sebagai sebuah subkultur dalam masyarakat karena ciri-cirinya yang unik, seperti adanya cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hierarki kekuasaan tersendiri yang ditaati sepenuhnya (Wahid, 2001: 135). Sehubungan dengan hierarki kekuasaan, pesantren memang berkaitan erat dengan strukutur masyarakat feodalis, yang menurut Kartodirdjo (1987) dalam struktur masyarakat feodalis, raja keluarga, para bangsawan serta elit birokrasi dan penguasa berkedudukan sebagai tuan, sedangkan rakyat sebagai abdi. Maka, kebanyakan kiai di Jawa memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam kehidupan dan lingkunganya.

Adapun sebagai sebuah sistem kehidupan yang unik, pesantren ternyata memiliki pola kehidupan berbeda dari pola kehidupan masyarakat pada umumnya. Ia terbentuk secara alamiah melalui proses penanaman nilai-nilai lengkap dengan simbol-simbolnya, adanya daya tarik keluar, serta berkembangnya suatu proses pengaruh-mempengaruhi dengan masyarakat di luarnya.

Page 108: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

248

Lebih dari itu, bisa dikatakan, pesantren adalah lembaga penting yang terkait dengan kekiaian seseorang. Melalui pesantrenlah, kata Endang Turmudi (2004: 31), “seorang kiai membangun pola patronase yang menghubungkannya dengan para santrinya dan juga masyarakat yang berada di luar desa atau kotanya sendiri. Pola patronase ini dengan mudah dapat dibangun karena kebanyakan, jika bukan semua, pesantren dimiliki kiai. Pesantren juga menguhubungkan para orang tua santri dengan para kiai di mana para orang tua santri secara psikologis merasa berhutang budi kepada kiai dikarenakan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan gratis di pesantren”.

Melihat peran strategis pesantren yang memperkuat pengaruh kiai bagi santri dan menghubungkannya dengan masyarakat luar melalui pola patronase, maka tidak heran jika banyak para kiai berani mengeluarkan biaya sendiri untuk memulai dakwahnya di pedesaan dengan memprioritaskan terlebih dahulu membangun ‘pesantren’. Pesantren ini tentu saja dengan menyediakan asrama atau gotakan bagi para santri walaupun pada perkembangan selanjutnya, banyak pula bantuan yang diberikan masyarakat untuk membangun dan membesarkan pesantren tersebut.

Sebelum mendirikan pesantren, masjid merupakan bangunan utama yang pertama kali didirikan oleh seorang kiai. Ia merupakan elemen penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan pesantren. Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier (1994: 49), merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Di tempat inilah para kiai biasanya mengajarkan etika dan berbagai ilmu pengetahuan, terutama untuk menanamkan disiplin para santri dalam melaksanakan salat lima waktu. Masjid inilah yang memungkinkan kiai pertama kali dapat memobilisasi umatnya demi kepentingan-kepentingan agama, sosial dan politik.

Kenapa kiai perlu membangun pesantren? Menurut Zamakhsyari Dhofier (1994: 46) paling tidak ada tiga alasan yang melandasinya;

Page 109: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

249

pertama, kemasyhuran seorang kiai dan kedalaman pengetahuanya tentang Islam menarik santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kiai tersebut, seorang santri harus meninggalkan rumahnya dan kiai harus membangunkan pesantren sebagai tempat tinggal mereka dan dekat dengannya. Kedua, hampir semua pesantren berada di pedesaan di mana tidak tersedia akomodasi yang cukup untuk menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kiai dan santri. Sikap ini kemudian menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak kiai untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari pihak santri tumbuh perasaan pengabdian kepada kiainya, sehingga para kiai memperolah imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kiai. Intinya menurut penulis, pesantren telah memudahkan terjadinya proses belajar-mengajar antara kiai santri, dan semakin mempererat hubungan mereka dengan didasarkan pada prinsip kekerabatan dan kekeluargaan, sekaligus memudahkan kiai membangun network dengan masyarakat luas.

Besar kecilnya seorang kiai bisa ditentukan oleh seberapa banyak jumlah santri dan pengikut dari berbagai tempat yang lebih luas. Dengan begitu kiai pesantren, dapat dipandang sebagai kiai supralokal. Karena itu, popularitas menjadi sangat penting. Melalui hubungan kekerabatan dan jaringan transmisi ilmu, para kiai pesantren membangun hubungan dengan kiai-kiai pesantren di tempat lain. Hubungan ini selain didasari pemeliharaan terhadap nilai-nilai dan disiplin-disiplin di pesantren juga merupakan bagian dari mekanisme penting untuk mempertahankan eksklusivitas kedudukan kiai. Otoritas dan kewibawaan kiai dipengaruhi oleh penerimaan dan pengakuan dari lingkungan kesetiakawanan kiai tersebut.

Sebetulnya, kalau diteliti secara mendalam, ada beberapa faktor yang terus melanggengkan hubungan antara kiai dan masyarakatnya. Pertama, penting melihat budaya pesantren di mana kiai memberikan

Page 110: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

250

kajian Islam pada santrinya. Hubungan antara kiai dan santrinya sangat dekat, bahkan dalam banyak kasus, sangat emosional karena posisi kharismatik kiai dalam masyarakatnya dikuatkan oleh budaya subordinasi. Karena hubungan dekat ini tidak terbatas di pesantren, tetapi terus berlangsung setelah santri menjadi anggota masyarakat, maka penyebaran dan kesinambungan budaya seperti itu semakin terjamin. Kedua, yang membantu mengikat santri dengan kiainya terkait dengan ritual-ritual keagamaan tertentu yang diadakan oleh para mantan santri, termasuk mereka yang berasal dari daerah lain. Ritual-ritual itu beragam bentuknya, mulai dari peringatan wafatnya pendiri pesantren hingga festival pada akhir masa pembelajaran (Turmudi, 2004: 110). Faktor-faktor inilah yang semakin mempererat dan melanggengkan hubungan patron client antara santri-kiai di pesantren, dan selalu menempatkan kiai sebagai faktor yang dominan dan santri dalam posisi subordinat.

Lik Arifin Mansurnoor dalam bukunya Islam in an Indonesian World Ulama of Madura (2003) juga membenarkan telah terjadi hubangan patron client yang dilakukan kiai di pesantren seperti itu. Lebih lanjut ia berkata:

In personal bond, specific features such as subordination, domination and the same time interdependence as well as voluntariness are operative. Since the basis of such interpesonal relationship is centered on the provision of mutual service and offer, they in retrospect maintain and perpetuate mutuality. Despite the superiority of a patron he is in different ways dependent on the loyality of his followers. In Madurese villages where individuals are proud of egalitarianism and self-reliance, such interdependence, I think, balances the solitariness and isolation of village life. Perhaps the kyai-santri relations will clarify this mutuality. By providing lodging, intruction and guidence the kyai of a pondok has an overwhelming claim over

Page 111: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

251

the santris. Under such conditions the santris are perpetuated into a state of indebtedness and obligation to equalize the balance. This can be achieved among other ways by making themselves available for fulfing the kya’s demands and needs…

Selain itu, bila kita cermati terdapat nilai-nilai di pesantren yang mengandung tiga unsur yang mengarah pada terbentuknya hubungan patron-klien antara kia-santri, seperti yang dikatakan James C. Sctott (1972), dalam tulisanya yang berjudul “The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural Southes Asia”. Pertama, hubungan patron-klien mendasarkan diri pada pertukaran yang tidak seimbang, yang mencerminkan perbedaan status. Seorang klien, dalam hal ini santri, telah menerima banyak jasa dari patron, dalam hal ini kiai, sehingga klien terikat dan tergantung pada patron. Kedua, hubungan patron-klien bersifat personal. Pola resiprositas yang personal antara kiai-santri menciptakan rasa kepercayaan dan ketergantungan di dalam mekanisme hubungan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada budaya penghormatan santri ke kiai yang cenderung bersifat kultus individu. Ketiga, hubungan patron-klien tersebar menyeluruh, fleksibel dan tanpa batas kurun waktunya. Hal ini dimungkinkan karena sosialisasi nilai-nilai yang senantiasa dipegang teguh santri, misalnya tidak adanya keberanian santri berdebat soal apapun dengan kiai atau membantahnya karena bisa kualat.

Dalam proses pembentukan akhlak di pesantren, kitab yang selalu menjadi acuan adalah kitab Ta’limul Muta’allim. Kitab ini mengandung dogma dan doktrin tentang perilaku seorang penuntut ilmu (santri) dalam menyikapi ilmunya, hubungan harmonis antara kiai dengan santri, hubungan murid dengan murid. Apalagi menurut Tamyiz Burhanuddin (2001), akhlak dalam prespektif pesantren adalah kehendak (iradah) yang terbiasakan yang melahirkan perbuatan-perbuatan tanpa mempertimbangkan pemikiran lebih dahulu.

Page 112: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

252

Pendek kata, pada realitasnya pesantren telah mampu menjadi suatu lembaga yang ampuh untuk melegitimasi otoritas dan kekuasaan kiai. Dengan pesantren itu pula kiai mampu membangun dan mengembangkan jaringan dengan masyarakat luar. Sebab, melalui sistem pendidikan yang diterapkannya, kiai dapat menampilkan hegemoni sekaligus mengindoktrinasi seperangkat ‘nilai-nilai’ kepada santri. Akibatnya santri bersikap tergantung baik secara individual maupun secara sosial terhadap kiai. Pada akhirnya hubungan kiai-santri di pesantren, menciptakan sebuah hubungan patron-client yang sangat kuat.

D. Sistem Patronase Melegitimasi Kedudukan Kiai Setiap kiai pastilah memiliki sejumlah santri, karena sebagaimana

dijelaskan di atas seseorang bisa disebut kiai kalau memang ia memiliki persyaratan, di antaranya mempunyai sejumlah murid atau santri yang belajar kepadanya.1 Antara kiai dengan santri memiliki hubungan yang sangat dekat, bagaikan hubungan ayah dan bapak dalam satu keluarga. Karena kiai dianggap sebagai seeorang yang memiliki karomah atau digambarkan sebagai wali dan pewaris para nabi, maka para santri menempatkanya sebagai sosok manusia ‘supranatural’. Akibatnya, hubungan itu memperkokoh ‘kedudukan kiai’ dan kekuasaanya semakin mengental melalui sistem patronase.

Keunggulan para kiai di bidang keagamaan, kedudukan mereka sebagai intelektual desa dan pandangan masyarakat bahwa mereka merupakan orang-orang yang memiliki kekuatan spritual serta kebajikan melebihi orang kebanyakan, menempatkan para kiai selain sebagai guru dan ahli agama, juga sebagai bagian dari orang terkemuka di pedesaan (Dirdjosanjoto, 1996: 216). Fungsi kiai tidak

1Mempunyai santri tidak hanya syarat mutlak untuk menjadi seorang kiai, lebih

dari itu seseorang kiai yang memiliki banyak santri akan meningkatkan pengaruh, kepemimpinan dan sekaligus ekonominya. Dengan begitu, tinggi rendahnya seorang kiai bisa dilihat dari banyak sedikit jumlah santri yang dimiliknya.

Page 113: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

253

terbatas pada memindahkan dan memberikan tafsir tentang sumber Islam, kiai juga merupakan perantara kalau salah seorang santri akan memasuki wilayah ilahi (Streenbrink, 1994: 146). Dengan karisma yang dimilikinya, menyebabkan kiai menduduki posisi kepemimpinan dalam lingkungnya. Mereka disegani, dihormati dan dipatuhi dan menjadi sumber petunjuk ilmu pengetahuan bagi santri atau masyarakatnya.

Kedudukan kiai seperti itu, sesungguhnya merupakan patron, tempat bergantung para santri. Hubungan santri dan kiai sangat erat apalagi dilandasi dengan pembenaran ajaran agama, seperti hubungan murid-guru di lingkungan tarekat. Karena kewibawaan kiai, seseorang murid tidak pernah (enggan) membantah apa yang dilakukan oleh kiai. Kedudukan santri adalah client bagi dirinya. Lazimnya kiai sebagai patron tidak saja terbatas pada kehidupan santri, tetapi juga warga masyarakat sekitarnya dan para orang tua santri (Sukamto, 2003: 78). Hubungan kiai santri ini, biasanya diperkuat dengan sistem nilai yang melembaga yaitu tradisi sami’na wa atho’na di kalangan pesantren. Tak heran jika kemudian, penghormatan santri kepada kiai cenderung bersifat kultus individu.

Karena dalam kenyatanya kiai juga sebagai penafsir tunggal yang sah dan kuat atas ideologi (ahl al-sunnah wa al-jamaah), maka posisi kiai menjadikan para santrinya orang bawahan yang memiliki perilaku dan idea sebagaimana yang diharapkan kiai karena kiai telah menjadi mitos panutan para santrinya. Ditambah lagi posisi kiai yang bertumpu pada konsep mitos jumbing kawula gusti dalam diri kiai itu, mewujudkan kiai sebagai penguasa yang mampu mempersonifikasi kemanunggalan masyarakat. Sebagaimana karakteristik kekuasaan Jawa yang sakral dan sentralistik, kekuasaan kiai terkonsentrasi pada dirinya dan bertendensi untuk mengekploitasi dan mendominasi.

Chumaidi Syarief Romas (2003: 91) membenarkan, bahwa hubungan kiai dengan para santrinya tergambar seperti pola hubungan antara individu yang autokrat dengan individu yang abdikrat.

Page 114: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

254

Hubungan seperti ini melahirkan ketaatan para santri kepada kiai secara mutlak tanpa reserve, karena kiai merupakan sumber keberkahan hidup.

Pengalaman hidup bersama dengan kiai bagi santri memiliki arti simbolik, bagaikan siwur nemu genthong artinya kiai merupakan genthong, sebagai sumber air/ilmu agama yang sangat dibutuhkan santri (siwur) yang masih kosong, bodoh dan serba kurang. Pengalaman hidup mistis ini melahirkan kesadaran umum dalam santri yang tidak dapat dijelaskan dengan akal tetapi melahirkan ketaatan dan disiplin praksis karena pancaran kehidupan kiai yang telah menjadi pribadi yang luar biasa (yang mempesona sekaligus menakutkan) (Romas, 2003: 83).

Hubungan antara kiai dan santri seperti itu bisa dikatakan sebagai hubungan yang melahirkan kepemimpinan model patron-client relationship. Secara defenitif, James C. Scott (dalam Sukamto, 2003: 78) menjelaskan pola hubungan patron-client sebagai berikut:

Hubungan timbal balik di antara dua orang dapat diartikan sebagai sebuah kasus khusus yang melibatkan perkawanan secara luas, di mana individu yang satu memiliki status sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron), yang menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan-keuntungan kepada individu lain yang memiliki status lebih rendah (klien). Dalam hal ini klien mempunyai kewajiban membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk pelayanan-pelayanan pribadi kepada patron”.

Dasar dari hubungan patron-client, sebenarnya adalah ‘sama-sama membutuhkan’ untuk dapat saling menjaga dan mempererat. Seseorang yang memiliki kekuasaan penuh akan mengejar beberapa hubungan jika dianggap hal itu memberi manfaat bagi kelanggengan atau keberlangsungan kekuasaannya. Begitupun sebaliknya, seorang

Page 115: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

255

bawahan akan mencari seorang pelindung yang dianggap dapat memberi perlindungan terhadap hidupnya. Meskipun juga harus diakui, ada beberapa hubungan yang tidak selalu memiliki tujuan konkrit. Akan tetapi, seseorang yang melibatkan dirinya dalam beberapa ikatan yang bersifat personal pastilah bertujuan untuk merealisasikan hasil-hasil jangka pendek dan keuntungan-keuntungan yang pasti. Sebagai contoh, masyarakat pedesaan memberi hadiah dan sumbangan kepada para kiai untuk membangun masjid, madrasah atau pesantren pastilah mereka memiliki harapan agar memperoleh barakah dan do’a dari mereka. Apalagi kebanyakan mereka juga percaya adanya pahala setelah mati.

E. Penutup Dari telaah yang sudah dijelaskan secara panjang lebar di atas,

dapat disimpulkan bahwa setiap afiliasi personal membutuhkan bukti satu sama lain, baik itu bersifat material, spritual atau manifestasi dari keduanya. Dalam kasus hubungan kiai-santri, seorang klien, dalam hal ini santri, telah menerima banyak jasa dari patron, dalam hal ini kiai. Kiai telah banyak memberi semacam ‘pandangan hidup’ dan wejangan-wejangan kepada santri agar bisa hidup bahagia di dunia dan akhirat. Ditambah lagi ada semacam kepercayaan di lingkungan pesantren, bahwa setiap kiai memiliki linuwih atau karomah. Kemudian banyak diantara mereka yang selalu meminta do’a keberkahan dan keselamatan kepada kiai. Implikasi dari semua ini, seorang santri juga membalas kiai dengan sikap tawadhu’ dan ketaatan yang penuh. Jadi, hubungan antara santri-kiai, sebenarnya didasarkan pada prinsip ‘sama-sama diuntungkan’.

Model hubungan patron-client antara kiai-santri adalah sebuah bentuk hubungan yang sangat kuat dan memiliki implikasi ketaatan ‘masyarakat’ secara luas terhadap kiai. Meminjam bahasanya Mansurnoor (1990: 89) “patron-client relationships form a strong social bond. In their intensity and elaborate form, the relationships

Page 116: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

256

may include a large segment of society”. Model hubungan seperti inilah yang disebut L. Rosen dengan sebutan ‘galaxy’ atau dengan istilah L. Hanks ‘entourage and circle’. Maka wajar jika kekiaian di Jawa telah menjadi sebuah entitas seperti kerajaan kecil yang menggunakan semacam kekuasaan informal. Hubungan emosional masyarakat dengan kiai sangat kuat. Budaya subordinasi seperti ini tidak hanya menandai hubungan antara kiai dengan masyarakatnya, tetapi juga meluas pada hubungan masyarakat dengan keluarga kiai.

Daftar Pustaka Bruinessen, Martin Van. 1995. Kitab Kuning, Bandung: Mizan. Bull, Ronald Alan Lukens. 2004. Jihad Ala Pesantren Di mata

Antropolog Amerika, Yogyakarta: LKiS. Dhofier, Zamachsyari. 1982. Tradisi Pesantren; Studi Pandangan

Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES. Mansurnoor, Lik Arifin. 1990. Islam in an Indonesian World Ulama

of Madura, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta:

INIS. Mas’ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren: Perhelatan

Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LkiS. Moesa, Ali Maschan. 1999. Kiai dan Politik: Dalam Wacana Cicil

Society, Surabaya, LEPKISS. Muhtadi, Asep Saeful. 2004. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama,

Yogyakarta: LP3ES. Romas, Chumaidi Syarief. 2003. Kekerasan di Kerajaan Surgawi,

Yogyakarta: Kreasi Wacana. Scott, James. 1972. “The Erosion of Patron-Client Bonds and Social

Change in Rural Southeast Asia”, Journal of Asian Studies, November, 1972.

Page 117: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

257

SM., Ismail dkk. (editor). 2002. Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.

Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta: LP3ES.

Turmudi, Endang. 2003. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LkiS.

Sukamto. 1999. Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, Jakarta: LP3S. Wahid, Abdurrahman. 2001, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai

Pesantren, Yogyakarta: LkiS. Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta:

P3M.

Page 118: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

258

DIMENSI HUBUNGAN NEGARA, POLITIK DAN PENDIDIKAN

Kasful Anwar Us

IAIN Sultan Thaha Saifudin Jambi Jl. Ahmad al-Habsy No. 5, Jambi

Abstract: State, politics, and education is a set of unseparated dimensions of human life. Those three aspects have a close relation and sinergyze each others. State is the organization which has legitimation and politics is a tools to reach a goals had been planned. Education is the process to humanize human resources in the country. Education, sometimes, legitimize ruling elite policy. But it sometimes also play important role in guiding the state finding democratic spirit and as a tool to achieve people’s rights. Keywords: state, politics, and education A. Pendahuluan

Negara, politik dan pendidikan merupakan tiga komponen penting, karena semuanya adalah bagian yang ikut mempengaruhi sistem kehidupan sosial dan kebudayaan manusia. Negara memiliki wilayah, rakyat, pemerintah dan kedaulatan yang melindungi potensi manusia dan alam serta pemberdayaannnya. Sedangkan politik adalah sistem ketatanegaraan yang disepakati untuk menghantarkan bangsa menuju cita-cita seluruh rakyatnya, dan suatu sistem yang mengatur kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Pendidikan adalah proses kulturisasi agar lebih maju, dan proses pengembangan potensi manusia sesuai bakat dan minat untuk memperkuat dukungan terhadap penggalian sumber daya alam menuju terciptanya masyarakat yang dicita-citakan.

Page 119: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

259

Sementara itu masyarakat merupakan kelompok sosial yang selalu dan ingin berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Untuk kepentingan ini masyarakat sudah tentu memerlukan aturan-aturan sosial dalam menjalani kehidupannya di dunia ini. Salah satu ssstem social yang dimaksud adalah system politik. Politik tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat karena pada dasarnya politik itu lahir dari tengah-tengah masyarakat dan berguna bagi masyarakat terutama dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana yang dikemukakan oleh G.A. Jacobsen & M.H. Lipman dalam B.C. Smith (1988), “Politic science is correctly designated the science of the state: objectively gathering and classifying fact about the state is the main purpose of this branch of learnig.

Ini menunjukkan bahawa antara politik, masyarakat, negara dan pendidikan merupakan suatu sinergi yang dapat berkembang dan membawa manfaat bagi orang banyak. Dalam kehidupan yang moderen terutama dalam masyarakat yang sedang berkembang dan membangun politik adalah suatu ruh untuk mencapai suatu pembangunan yang telah dicita-citakan.

Tuisan ini akan memaparkan defenisi negara, politik dan pendidikan serta menghubungkan ketiganya sebagai bagian yang saling mempengaruhi dalam membangun budaya dan peradaban manusia.

B. Eksistensi Negara Sejak kata “negara” diterima secara umum sebagai pengertian

yang menunjukkan organisasi teritorial suatu bangsa yang memiliki kedaulatan, ia pun mengalami berbagai pemahaman tentang hakikat dirinya.

Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat. Manusia hidup

Page 120: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

260

dalam suasana kerjasama, sekaligus dalam suasana antagonistis dan penuh pertentangan. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama.

Selain itu, untuk dapat dikatakan sebagai negara, maka ia harus memiliki wilayah, rakyat, pemerintah dan kedaulatan. Wilayah adalah lingkup dan dasar pijakan yang mengandung potensi dan dapat menghidupi. Rakyat adalah komunitas manusia yang berbudaya sebagai subyek yang berperan untuk membangun budaya dan peradabannya. Sedangkan pemerintah adalah lembaga koordinatif yang diberi kuasa untuk memberdayakan potensi yang ada menuju cita-cita bersama. Kedaulatan adalah pengakuan akan eksistensi sebuah negara.

Sebahagian organisasi kekuasaan, negara mempunyai sifat khusus yang tidak ada pada organisasi lain. Sifat tersebut melekat pada negara, karena merupakan penjelmaan dari kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara tertentu. Menurut Dahl dalam Dede Rosyada dkk (2000) setidaknya ada tiga sifat yang harus dimiliki oleh negara yaitu:

1. Sifat memaksa, artinya negara mempunyai kekuasaan untuk menggunakan kekerasan secara legal, agar tercapai ketertiban dalam masyarakat dan mencegah anarki.

2. Sifat monopoli, artinya mempunyai hak kuasa tunggal dalam menetapkan tujuan bersama dalam masyarakat.

3. Sifat keadilan, artinya aturan hukum yang disepakati harus ditegakkan tanpa pandang bulu.

Dalam beberapa teori moderen, bentuk negara menekankan pada dua bentuk, yaitu negara kesatuan dan negara federal.

1. Negara kesatuan, terdiri atas dua bagian, yaitu pertama, negara kesatuan dengan sistem sentralisasi. Artinya daerah dan segala sumber daya alam yang dimiliki dikelola dan diatur oleh organisasi pusat. Kedua, negara kesatuan dengan

Page 121: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

261

sistem desentralisasi, artinya daerah diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

2. Negara federasi, adalah gabungan daripada beberapa negara. Setelah digabung beberapa negara tersebut ia melepaskan sebahagian kekuasaannya dan menyerahkan kepada pemerintah federal. Biasanya urusan yang ditangani pemerintah federal adalah bagian politik luar negeri, pertahanan, dan otoritas keuangan.

Negara dapat dipandang sebagai asosiasi yang hidup dan bekerjasama dan mengejar beberapa tujuan negara. Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicom, common good, common weal)

Menurut Roger H. Sulthan Dalam Dede Rosyada dkk (2000), tujuan negara ialah memungkinkan rakyatnya ”berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin” (the freest possible development and creative self expression of its members). Sedangkan menurut Harold J. Laski dalam Dede Rosyada dkk (2000) tujuan negara adalah: ”menciptakan keadaan di mana rakyatnya dapat mencapai keinginan-keinginan mereka secara maksimal” (creation of those condition under which the members of the state may attain the maximum satisfaction of their desire).

C. Hakikat Politik Tidak mudah mendefenisikan secara tepat istilah ”politik” bila

dibandingkan dengan istilah-istilah yang lain, mirip seperti kata”sosiologi”, ”ekonomi” dan sebagainya. Kata ”politik” adalah kata yang sangat tua dan ada dalam kosakata setiap orang. Kata politik menembusi ruang-waktu dan karena seringnya dipakai pengertiannya menjadi sangat samar-samar dan umum. Selanjutnya penulis mencoba untuk memberikan definisi tentang ”politik” menurut beberapa para ahli, di antaranya ialah sebagai berikut.

Menurut Damsar (1999), yang dimaksud dengan politik adalah:

Page 122: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

262

1. Suatu kekuatan (power) yang dimiliki untuk menerapkan hasil kesepakatan rakyat.

2. Kumpulan keputusan bersama sesuai aspirasi. 3. Menggiring semua kekuatan untuk mencapai cita-cita

bersama. 4. Proses penampungan aspirasi sebagai bahan pengambilan

keputusan politik.

Menurut Dahl dalam Dede Rosyada (2000) sistem politik ditinjau dari aspek ketatanegaraan memiliki mekanisme dan unsur yang saling mempengaruhi yang akhirnya lebih tepat disebut sinergi antara lembaga ketatanegaraan yang saling menunjang dan mengontrol untuk menggiring sebuah negara. Dalam melaksanakan tugas politik dituntut keseimbangan antar sub-sub sistem termasuk masyarakat.

Kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari kehidupan berpolitik, karena hidup itu sendiri merupakan bagian dari suatu politik. Menurut Miftah Thoha (2003) kehidupan yang demikian harus memiliki elastisitas demokrasi dan memberi ruang gerak lebih luas terhadap kehadiran partai politik, oposisi politik, kelompok penekan, media komunikasi politik dan figur politik.

Dalam kehidupan politik, pemerintah berperan mengendalikan negara. Untuk itu perlu legitimasi dan dukungan dari segenap lapisan. Karena itu interaksi antara pengambil keputusan dengan kelompok lain di masyarakat harus dilakukan. Politik mengandung aspek-aspek dari sekian banyak pranata-pranata sosial yang meliputi ekonomi, pertahanan dan keamanan, hukum (rule of law), sosial budaya, agama, dan pendidikan.

D. Hakikat Pendidikan Sejak seorang manusia dilahirkan di atas dunia ini, proses

pendidikan sesungguhnya sudah mulai dijalankan. Bahkan menurut Zakiyah Darajat (2002) pendidikan itu sudah ditanam semenjak dari jabang bayi itu masih dalam kandungan. Hal ini sesuai dengan Hadits

Page 123: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

263

Rasullullah SAW yang artinya ”Tuntutlah ilmu itu semenjak dari dalam kandungan sampai ke liang lahat” (al-Hadits).

Menurut Hasan Langgulung (1987) bahwa pendidikan dapat ditinjau dari dua aspek yaitu :

1. Ditinjau dari aspek sosial masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar kehidupan masyarakat tetap berkelanjutan, atau dengan lain kata masyarakat mempunyai nilai budaya yang disalurkan kepada generasi muda.

2. Ditinjau dari aspek individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi, dan diangkat untuk dipoles agar mengkilap dan bersinar menyinari kegelapan manusia.

Pendidikan yang berlaku di Indonesia harus mampu untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa, karena dengan majunya pendidikan maka bangsa lain tidak akan memandang sebelah mata negara kita ini.

E. Hubungan Negara, Politik dan Pendidikan Flechtheim dalam J.D. Legge (1972), menyebutkan bahwa negara

adalah organisasi kekuasaan dan politik, atau ilmu politik adalah suatu hal yang mempelajari watak dan tujuan organisasi kekuasaan dan juga gejala-gejala kekuasaan lainnya yang berhubungan dengan negara. Dengan ini beralihlah sasaran ilmu politik dari negara menjadi kekuasaan. Ini merupakan suatu pendapat yang makin hari makin berkembang terutama di negara Amerika, terutama oleh para raja yang selalu menggunakan kata ’influence’ untuk pengertian keuasaan.

Wilayah, rakyat, pemerintah dan kedaulatan adalah bagian dari negara yang mengandung potensi untuk dikembangkan. Proses pengembangannya memerlukan perencanaan dan strategi yang efektif. Karena itu, diperlukan langkah-langkah keputusan politik yang tepat.

Page 124: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

264

Untuk mencapai itu semua, harus ada sistem politik yang baik, saling bersinergi antara satu dengan yang lainnya.

Dalam menjalankan sistem politik, teori Montesque yang terdiri atas lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif merupakan teori yang menarik untuk dikaji dalam sistem politik moderen dewasa ini.

Lembaga legislatif adalah lembaga kerakyatan yang berwenang untuk meletakkan perencanaan agar menyiratkan kehendak nurani rakyat, dan selanjutnya mengawasi pelaksanaannya setiap saat, dan terakhir mengevaluasi untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan yang dicapai oleh politisi eksekutif. Lembaga eksekutif adalah lembaga pemerintah yang diberi wewenang dan kuasa untuk melaksanakan pembangunan dengan berpedoman pada isi ketetapan dan keputusan yang ditetapkan lembaga legislatif.

Lembaga yudikatif adalah pemilik otoritas hukum pada semua unsur lapisan masyarakat dan bangsa. Dalam bertindak lembaga ini tidak pandang bulu, baik terhadap rakyat atau pemerintah dan politisi sekalipun. Penegak hukum ini harus mengedepankan arti supremasi hukum, dan tidak dapat diintervensi oleh siapapun.

Dalam negara yang berdaulat, politisi juga sangat menentukan idiologi suatu bangsa sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Idiologi sebuah negara sangat menentukan arah dan tujuan sebuah lembaga pendidikan, artinya pendidikan diarahkan untuk mendidik mental manusia mencapai paham idiologi yang disepakati dan dianut oleh sebuah negara.

Selain dipengaruhi oleh muatan idiologis, pendidikan juga lebih banyak diwarnai nilai budaya yang berkembang dalam setiap negara. Akan tetapi muatan idiologi lebih dominan ketimbang nilai budaya. Para pelaku politik kadang kala mendoktrin institusi pendidikan untuk lebih banyak metransper nilai idiologi guna membentuk idiologi siswa, sehingga ada kesan institusi pendidikan selalu terkooptasi oleh penguasa. Hal ini membuat institusi pendidikan tidak dapat

Page 125: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

265

memerankan fungsinya sebagai lembaga kajian ilmiah yang murni dan independen.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa peran politik ikut menentukan warna pendidikan. Di Indonesia tidak terlalu aneh kalau setiap ganti menteri, maka kurikulum dan sistem pendidikan selalu berubah, karena ada kesan aspek-aspek ini dijadikan alat politik. Contoh, mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang terkesan seperti mengarahkan generasi terdidik untuk mengkultuskan seseorang. Begitu juga dengan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan penataran Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) yang di satu pihak menekankan moral Pancasila, tapi di lain pihak berbeda dengan kenyataan prilaku sebagian praktisi politik yang terlanjur disebut-sebut telah melakukan korup, kolusi dan nepotisme (KKN). Kenyataan ini membuat pendidikan hanya melegitimasi keabsahan penguasa. Para pendidik, misalnya, dituntut untuk mengabdi kepada bangsanya – katanya pahlawan tanpa tanda jasa – tetapi tidak bisa lepas dari rantai kekuasaan. Idealisme dan kebebasan ilmiahnya terkubur oleh keserakahan politisi. Hal ini mengandung implikasi buruk terhadap anak-anak bangsa sebagai tunas harapan bangsa dan negara.

Sebaliknya, peran pendidikan yang tak terkooptasi rantai kekuasaan akan memandu negara menemukan ruh demokrasi egalitarian hak-hak rakyatnya. Ini, misalnya, berkembang di kampus-kampus, kerana kampuslah yang meniupkan angin perubahan, kebenaran, keadilan dan perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia. Jadi, di kampus bukan hanya mentalitas yang dibangun, intelektualisasi nilai dan keterampilan juga lahir dari dunia kampus. Karena itu, posisi kampus memungkinkan lembaga ini menjadi kelompok penekan (preassure group) yang setiap saat dapat mengawasi jalannya roda pemerintahan dan perilaku politisi yang dianggap merugikan kepentingan negara dan masyarakat banyak.

Page 126: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

266

Selain itu, pendidikan juga memiliki peran sebagai agen pembaharuan dan perubahan, transliter budaya dan sentra demokratisasi yang dapat merubah konstelasi politik menjadi lebih sehat, transparan, dan kompetitif. Ini dimungkinkan karena adanya tingkat intelektualitas yang berkembang di kampuslah yang dapat mendorong terwujudnya proses demokratiasi di sebuah negara dan bangsa.

Politisi yang diwarnai mental korup, kolusi dan nepotisme, berorientasi pada politik rekayasa yang merantai institusi pendidikan dan memasung rakyat, sama saja menanam bom yang mengandung potensi konflik yang setiap saat akan meledakkan gerakan revolusi dan reformasi dari bawah. Banyak contoh politisi pemerintah yang berakhir tragis akibat teori rantai dan pasung. Sebutlah beberapa contoh dalam hal ini, misalnya, bagaimana mahasiswa militan Iran meledakkan revolusi di Iran akibat kediktatoran pemimpin Iran, ledakan reformasi Korea Selatan yang memaksa turun Presidennya, ledakan revolusi di Philipina yang melumpuhkan kediktatoran Marcos, dan lebih tragis lagi ide prostoeca dan glasnot Gorbachev membuat negara adidaya itu (Uni Soviet) hancur berserakan, yang pada akhirnya tumbanglah rezim Gorbachev, dan terakhir jatuhnya hegemoni keluarga Cendana akibat militerisme seorang Soeharto. Semua gerakan tersebut bersumber dari kepeloporan dan perjuangan mahasiswa yang keluar dari kampus untuk menuntut perubahan.

Kenyataan sejarah tersebut, menyiratkan sebuah makna bahwa betapa besarnya pengaruh politik terhadap pendidikan dan bagaimana pendidikan mampu mengubah stagnasi politik suatu bangsa. Keduanya adalah mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dan menentukan maju mundurnya sebuah negara.

Dengan adanya fakta-fakta sebagaimana disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa sebuah negara akan maju budaya rakyatnya, jika memiliki sistem politik yang benar dan tidak mempolitisasi pendidikan. Sebaliknya pendidikan harus bersifat indenpenden,

Page 127: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

267

berjalan sesuai perannya, dan tidak menutup diri dari realitas politik praktis, dan memposisikan dari sebagai kekuatan penekan. Ini penting karena dari pendidikanlah akan lahir elit politik yang bermoral, mampu menjawab tantangan masa depan negara berupa demokratisasi, pasar bebas, hak asasi manusia, supremasi hukum, lingkungan hidup dan lain sebagainya.

F. Penutup Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia dalam

menjalani kehidupan di atas dunia ini tidak terlepas dari politik. Politik adalah sebagian daripada alat atau sarana yang mengantarkan individu atau masyarakat kepada tercapainya tujuan tertentu dalam kehidupan berbangsa dan negara. Negara adalah organisasi yang ada dalam suatu masyarakat tertentu yang mempunyai cita-cita yang sama untuk bersatu, hidup dalam di dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Adapun pendidikan adalah suatu proses transfer ilmu dan nilai-nilai yang diarahkan pada tujuan yang mulia.

Antara negara, politik, dan pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat satu sama lain. Tujuan politik dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara tidak akan tercapai apabila aspek pendidikan diabaikan. Sebaliknya sebuah sistem pendidikan tidak akan mampu dijalankan dengan baik jika tidak bersinergi dan didukung oleh tatanan politik yang baik.

Daftar Pustaka Damsar. 1999. Jurnal Politik dan Sosiologi, Tahun I. Nomor 2 Januari

– Juni 1999. Padang: Laboratorium Mantawai. Derajat, Zakiyah. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Langgulung, Hasan. 1987. Azas-Azas Pendidikan. Jakarta: Al-Husna. Legge, J.D. 1972. Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka.

Page 128: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV. No. 02. Edisi, November 2010

268

Manan, Imran. 1989. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tenaga Kependidkan.

Rosyada, Dede, dkk. 2000. Demokrasi, Hak asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah

Smith, B.C. 1988. Bureaucracy and Political Power. New York: St. Martin’s Press, Inc.

Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.