Top Banner
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 1 “Pembelajaran Sejarah Inspiratif Berbasis Pada Pelaku Sejarah”
32

Jurnal AGSI edisi II

Jul 01, 2015

Download

Documents

Jurnal Pendidikan Sejarah AGSI edisi II
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 1

“Pembelajaran Sejarah Inspiratif Berbasis Pada Pelaku Sejarah”

Page 2: Jurnal AGSI edisi II

2 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 2 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

Page 3: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 3Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 3

Page 4: Jurnal AGSI edisi II

4 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

Pelaku Sejarah: Sumber Pembelajaran Sejarah InspiratifAsosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) telah

menerbitkan Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI (JPS-AGSI) edisi perdana yang diluncurkan di Aula Kementerian Pendidikan Nasional. Hadir dalam acara tersebut Wakil Menteri Kementerian Pendidikan Nasional Bapak Prof. DR. Fasli Jalal, Prof. DR. Said Hamid Hasan (pakar pendidikan sejarah) dan Prof. DR. Susanto Zuhdi (Sejarawan UI) dan 150 guru sejarah di kawasan Jabodetabek.

Pada edisi pertama, JPS-AGSI mengangkat tema “Mengkaji Ulang Peranan Pendidikan Sejarah”. Tema ini sengaja diangkat untuk mengingatkan kembali, terutama pada para pendidik sejarah sendiri, bahwa pelajaran sejarah mepunyai peranan penting dalam pembentukan karakter bangsa melalui menyemaian nilai-nilai universal yang dapat dipelajari sepanjang perjalanan sejarah manusia termasuk sejarah bangsa Indonesia. Pada edisi kedua ini sesuai dengan rapat dewan redaksi, JPS-AGSI mengangkat tema “Pelaku sejarah sebagai sumber pembelajaran sejarah inspiratif”.

Tema ini diangkat dengan dua alasan. Pertama, bahwa para pelaku sejarah dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya dapat menginspirasi seseorang untuk meraih nilai-nilai universal seperti keadilan,kebenaran, keberanian, toleransi, penghargaan HAM, dll sebagaimana nilai afeksi yang diinginkan dicapai dalam pembelajaran sejarah. Umumnya setiap orang senang mendengar/membaca kisah-kisah kehidupan seseorang terutama para pelaku sejarah. Dalam konteks ini misinya memang bagaimana mengubah pelajaran sejarah yang selama ini membosankan menjadi menyenangkan.

Kedua, dari hasil workshop AGSI-ISSI (Institut Sejarah Sosial Indonesia) tentang pemetaan materi esensi pembelajaran sejarah SMA, disepakati untuk melakukan terobosan dalam pembelajaran sejarah dengan mengedepankan para pelaku sejarah pada zamannya. Peserta workshop sepakat untuk menjadikan Ki Hadjar Dewantara sebagai pelaku sejarah yang dapat menginspirasi pembelajaran sejarah pada zaman pergerakan nasional.

Kochhar menyebut cara pembelajaran sejarah seperti ini sebagai metode biografi. Yaitu mengajarkan sejarah melalui biografi-biografi yang dibawakan secara berurutan. Ideologi di balik metode ini adalah bahwa orang-orang besar mewakili masanya. Mereka memprakarsai dan mempengaruhi gerakan-gerakan bersejarah yang hebat, yang berarti di dalam karakter pribadi mereka terkandung pikiran dan tindakan kolektif tentang tatanan sosialnya (S.K. Kochhar, Pembelajaran sejarah/Teaching of History, Grasindo, 2008). Agar terhindar dari kelemahan metode

ini seperti tidak dapatnya perubahan sejarah yang begitu besar hanya diwakili oleh sosok pelaku sejarah tertentu saja (tokoh atau pahlawan), dapat menyederhanakan peristiwa sejarah yang begitu kompleks ke dalam diri seseorang atau sekelompok orang saja, dan dapat cenderung membangun pemujaan pada sosok pelaku sejarah tertentu maka solusi yang ditawarkan Kochhar antara lain, pertama, para pelaku sejarah perlu dikelompokkan pada kurun waktu tertentu untuk peristiwa yang terkenal dan tokoh-tokohnya dikelompokkan di sekitarnya. Secara keseluruhan biografi dapat dibuat lebih bersejarah dengan membuatnya lebih biografis, dengan cara mengelompokkan tokoh-tokoh di sekitar peristiwa-peristiwa itu daripada peristiwa-peristiwa di sekitar tokoh-tokoh, dan dengan mempelajari tokoh-tokohnya sebagai manusia. Kedua, Karena tidak seorang pun dapat mewakili zamannya, maka perlu lebih dari satu orang yang dipilih untuk dipelajari. Ketiga, metode biografi tidak boleh membangun pemujaan terhadap pelaku-pelaku sejarah pahlawan.

Untuk mengisi tema jurnal kali ini, redaksi menghadirkan dua tulisan sebagai sajian utama. Tulisan pertama oleh Prof. DR. Said Hasan Hamid (pakar pendidikan sejarah dan sekaligus pakar kurikulum pendidikan ) yang mengangkat judul “Pendidikan sejarah untuk membangun inspirasi dan mengembangkan aspirasi”, dan tulisan kedua oleh Ibe Karyanto (aktifis pendidikan alternatif “Sanggar Akar”) dengan judul “Taman Siswa: Pendidikan Sebagai Gerakan Kebudayaan“.

Prof. Said menilai bahwa kepedulian pendidikan sejarah selama ini yang terlalu sarat dengan pengembangan pengetahuan sejarah telah menyisihkan potensi pendidikan sejarah dalam tujuan yang bersifat afektual. Pelajaran sejarah yang semestinya dapat memberikan inspirasi bagi para peserta didik untuk diolah menjadi aspirasi yang berguna, setidaknya bagi kepentingan lingkungan masyarakatnya menjadi tidak efektif. Parahnya pembelajaran sejarah-dan sistem pendidikan kita- saat ini pun sudah dicekoki oleh tirani angka dan tes. Setiap mata pelajaran harus dinilai dan diberi angka sebagai indikator keberhasilan belajar. Akibatnya, dari sisi kognisi saja pengetahuan anak tidak mendapatkan pengembangan yang berarti apalagi sisi afeksinya.

Salah satu cara untuk mengatasi pengikisan aspek afeksi dalam pembelajaran sejarah adalah dengan menggunakan pendekatan pengajaran biografi. Pendekatan pengajaran biografi hendaklah dilihat sebagai salah satu pendekatan pengajaran pendidikan sejarah yang sangat potensial untuk membuat pendidikan

4 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

Page 5: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 5

Pelaku Sejarah: Sumber Pembelajaran Sejarah Inspiratifsejarah menjadi lebih memiliki kedalaman, menjadi “bank of examples” untuk “courage, determination, honesty, willingness to work” (Warren, 1992), membuat pelajaran sejarah menjadi “exciting as life itself” (Curtis, 2009), dan memberikan kesempatan besar bahwa belajar sejarah menjadi lebih manusiawi (Adejinmobi, 1979). Melalui “bank of examples” ini peserta didik dapat meneladani perilaku para pelaku sejarah, mengembangkannya menjadi inspirasi dan selanjutnya mengembangkan inspirasi menjadi aspirasi.

Ibe Karyanto mencoba mengamini pendapat Prof. Said yang mengatakan bahwa sejumlah pelaku sejarah sebenarnya selama ini sudah diperkenalkan kepada peserta didik. Tetapi pen genalan para pelaku sejarah tersebut hanya menjadi bagian dari rezim kognisi dalam sistem pendidikan kita. Pelaku sejarah yang dikenal peserta didik tidak lebih dari rentetan nama tokoh, tanggal lahir dan peristiwa-persitiwanya serta sejumlah keputusan-keputusan yang mewarnai peristiwa sejarah tersebut. Para pelaku sejarah digambarkan sebagai orang tanpa emosi dan memiliki pikiran mesin yang begitu masuk informasi sebagai bahan dasar diolah dalam sebuah proses yang tidak diketahui dan menghasilkan produk yaitu keputusan-keputusan. Padahal pembelajaran sejarah yang inspiratif baru akan terjadi jika peserta didik atau pembaca cerita sejarah dapat memberikan empati terhadap para pelaku sejarah dalam situasi dan kondisi tertentu. Mereka akan memiliki wawasan terhadap cara pelaku menghadapi situasi dan mencari solusi-solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang dihasilkan dari situasi tersebut.

Dalam konteks inilah Ibe mengakui bahwa ia termasuk orang-orang yang terlambat membaca sejarah. Di masa sekolah ia diperkenalkan dengan pelajaran sejarah. Namun nyaris tak ada yang menarik dari pelajaran sejarah di sekolah selain sekadar hafal tentang siapa dan kapan persitiwa di masa lalu itu terjadi. “Saya hafal nama dan hafal pula tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara, tetapi tidak paham apa yang terjadi pada masa lalu sehingga seorang Ki Hadjar Dewantara bisa tampil sebagai seorang tokoh yang dianggap menentukan kemerdekaan dan kemajuan sebuah bangsa”.

Ibe kemudian mendalami ketokohan Ki Hajar Dewantara dan akhirnya menemukan gambaran bahwa sejumlah gagasan Ki Hajar tentang pendidikan ternyata masih sangat relevan untuk jaman sekarang, baik idenya tentang pendidikan sebagai kurikulum maupun pendidikan sebagai gerakan kebudayan. Ibe menyadari bahwa untuk mendalami ketokohan Ki Hajar dengan sejumlah

gagasannya itu tanpa memahami konteks yang memaksa ide itu lahir memang merupakan hal yang tidak mudah. Konteks itu adalah sejarah atau pengetahuan tentang kebenaran peristiwa atau kejadian pada ruang dan waktu tertentu. Rupanya sejarah sebagai ilmu pengetahuan juga tidak mampu menjamin adanya kebenaran tunggal. Sejarah memberikan ruang bagi setiap pihak untuk memberikan makna yang berbeda pada satu fakta yang sama.

Pembaca yang budiman, JPS-AGSI kali ini menampilkan sosok profil Sitti Fadhillah, guru sejarah SMA 91 Jakarta. Beberapa hal menarik dapat kita simak dari narasi Siti Fadillah. Pertama, ia memulai narasinya dengan memperlihatkan dirinya sebagai guru sejarah yang ingin memberi contoh pentingnya belajar sejarah. Ia memulai dengan mempersoalkan namanya sendiri sambil membuka keinginan orang lain atau murid-muridnya untuk ikut merasakan betapa pentingnya menelusuri jatidirinya yang selama ini bisa jadi keliru dipahami, bukan hanya oleh orang lain tetapi bahkan oleh diri kita sendiri. Mulai dari penelusuran nama, kita akan sampai kepada maknanya, sejarah pemberian nama itu sendiri sampai akhirnya kita dapat menelusuri budaya di sekitar kita sendiri. Kedua, narasi Sitti Fadhilah menyadarkan kepada kita bahwa untuk menjadi guru yang “lebih baik” dari waktu ke waktu memang memerlukan proses yang panjang. Ketika menginjak tahun mendidik ke 26 Sitti Fadhilah baru mulai menyadari cara yang salah jika dalam mengajar sejarah hanya terpaku pada transfer keilmuannya saja. “Menginjak tahun 2006, aku menyadari perlu merombak silabus yang ada. Aku dengan sadar menambahkan indikator-indikator yang berhubungan dengan eksplorasi nilai-nilai luhur dalam silabus. Yah, walau agak terlambat, tetapi lumayan dari pada tidak sama sekali bukan?”, ungkapnya optimis. Hal ketiga yang bisa kita catat dari narasi Sitti Fadillah yang disampaikan secara ringan, mengalir begitu saja dan menarik tentunya, dapat menjadi jawaban kreativitas guru sejarah atas gugatan masyarakat terhadap minimnya profesionalisme guru, terutama minimnya budaya menulis di kalangan guru.

Akhirnya redaksi meminta maaf jika dalam penerbitan JPS-Agsi edisi kedua ini masih jauh dari kekurangan, termasuk permintaan maaf kepada anggota yang sudah mengirimkan tulisan tetapi karena persoalan teknis tidak dapat diterbitkan untuk edisi ini.

Selamat membaca!Salam Jasmerah!

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 5

Page 6: Jurnal AGSI edisi II

6 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

PENDAHULUANPendidikan sejarah di jenjang pendidikan dasar

dan menengah selalu menjadi media pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta didik sebagai warganegara yang baik. Warganegara yang baik adalah warganegara yang memiliki memori kolektif sebagai bangsa dari sejarah bangsanya dimana dia memiliki pengetahuan dan mengenal perjuangan bangsanya dalam menegakkan kehidupan kebangsaan; memiliki sikap dan wawasan kebangsaan serta kemampuan untuk menjaga dan mengembangkan kehidupan kebangsaan yang sehat, produktif, berkarakter, dan kreatif; memiliki kemampuan berpikir pada jenjang kognitif tertinggi; memiliki kebiasaan membaca dan kemampuan belajar; memiliki rasa senang mempelajari kehidupan masa lampau dan mencari berbagai jawaban yang dapat dikembangkan dalam memahami kehidupan masa kini dan masa mendatang dan menemukan inspirasi untuk dikembangkan menjadi aspirasi bagi peningkatan kualitas kehidupan pribadi dan bangsa masa kini dan masa mendatang. Mencari berbagai jawaban dan inspirasi ini dimungkinkan karena sebagaimana dikatakan Wineburg (2001:11) “historical knowledge should serve as a bank of examples for contemplating present problems”. Menemukan inspirasi untuk dikembangkan menjadi aspirasi adalah sangat penting karena seperti dikatakan Borries (Stearns, Sexas dan Weinburg,2000:247) “morally judge historical events according to the standards of human and civil rights; explain the situation in the world today and find out the tendencies of change; acknowledge the traditions, characteristics, values, and tasks of our nation and society; values the preservation of historical relics and old buildings; internalize basic democratic value” adalah keuntungan yang diperoleh dari belajar sejarah.

Pendidikan sejarah di jenjang pendidikan dasar adalah pendidikan umum untuk seluruh anak bangsa dan bukan pendidikan ilmu sejarah. Pendidikan umum bukan untuk mengarahkan peserta didik menjadi orang yang nantinya menjadi ilmuwan sejarah/sejarawan. Dalam pendidikan umum pendidikan sejarah adalah wajib bukan pilihan dan karenanya tidak pula diarahkan untuk mengenal ilmu sejarah tetapi untuk belajar dari berbagai peristiwa sejarah yang dapat membangun wawasan kebangsaan, sikap kebangsaan, kemampuan lain sebagaimana telah disebutkan terdahulu. Sudah tentu tujuan pendidikan sejarah di pendidikan menengah terutama SMA memiliki pengayaan karena tujuan pendidikan menengah adalah untuk mempersiapkan diri ke pendidikan tinggi. Oleh karena itu tujuan utama pendidikan sejarah di SMA adalah untuk mengembangkan minat peserta didik terhadap ilmu sejarah dan mengembangkan pemahaman dan ketrampilan

dasar ilmu sejarah. Minat, pemahaman dan ketrampilan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut dan lebih teknis ketika yang bersangkutan belajar di jurusan atau program studi sejarah di perguruan tinggi dengan tujuan untuk mendidik yang bersangkutan menjadi sejarawan.

Tujuan pendidikan sejarah yang mengembangkan inspirasi dan aspirasi dari apa yang dipelajari dari peristiwa sejarah masih memerlukan kajian yang lebih banyak. Kepedulian pendidikan sejarah selama ini yang terlalu sarat dengan pengembangan pengetahuan sejarah telah menyisihkan potensi pendidikan sejarah dalam tujuan yang bersifat afektual ini. Almarhum Nugroho Notosusanto pernah mengemukakan pemikiran tentang fungsi sejarah untuk mengembangkan inspirasi tetapi pemikiran itu tidak berkembang lebih lanjut. Ketika diperkenalkan mata pelajaran Sejarah Pendidikan Perjuangan Bangsa (PSPB), fungsi tersebut dihidupkan kembali tetapi kebijakan yang menyebutkan bahwa PSPB bukan sejarah dan boleh diajarkan siapa saja telah melemahkan fungsi itu kembali.

Permasalahan lain dalam pengembangan tujuan pendidikan sejarah sebagai sumber inspirasi dan aspirasi adalah posisi para pelaku sejarah. Mereka, mungkin seseorang atau kelompok, seringkali diperlakukan sebagai pelaku yang menumpang lewat. Mereka dianggap penting dan bahkan menjadi bahan untuk tes/ujian tetapi hanya sebatas nama. Pikiran atau pun aspirasi yang mereka kembangkan dan menjadi motor penggerak dari peristiwa sejarah hampir tak tersentuh sama sekali apalagi kondisi yang menjadi dasar berpikir, konsep pemikiran yang dikembangkan, dan landasan bertindak sebagai pelaku sejarah merupakan materi pelajaran sejarah yang “aneh” dan tidak standar.

Permasalahaan semakin diperburuk karena dunia pendidikan telah dicekoki oleh tirani angka dan tes. Setiap mata pelajaran harus dinilai dan diberi angka sebagai indikator keberhasilan belajar. Untuk itu alat penilaian yang paling utama adalah tes. Tanpa keduanya, angka dan nilai, maka suatu pembelajaran, dalam hal ini mata pelajaran sejarah dan PSPB, dianggap suatu kegagalan atau bahkan suatu kesalahan. Penilaian hasil belajar haruslah identik dengan angka atau jika tidak maka ketiadaan angka dianggap sebagai musibah. Upaya untuk mengembangkan tujuan pendidikan sejarah yang bersifat afektif selalu kandas oleh tirani ini sehingga terkadang mengalahkan makna dan hakiki pendidikan sehingga pendidikan menjadi identik dengan angka dan tes. Kemampuan mengembangkan inspirasi adalah kemampuan belajar dari masa lampau yang dapat dikembangkan menjadi solusi permasalahan masa sekarang dan aspirasi untuk kehidupan masa depan. Dengan demikian, belajar sejarah tidak hanya sekedar

PENDIDIKAN SEJARAH UNTUK MEMBANGUN INSPIRASI DAN MENGEMBANGKAN ASPIRASIS. HAMID HASAN

Page 7: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 7

Aspek Materi

Elaborasi Kemampuan/tujuan yang

tercapai

Peng-etahuan tentangfakta

Tahun, nama pelaku dan peristiwa, tempat peris-tiwa, konsep, kausalita, analisis, interpretasi, sintesis/ rekonstruksi

hafalan, mema-hami, memori kolektif

Ketrampi-lan

Heuristik, kritik, analisis, interpretasi, evaluasi, sintesis, rekonstruksi, kausalita,

kemampuan belajar, berpikir, rekonstruksi

Nilai Kepahlawanan, tabah, inisiatif, jujur, cinta tanah air, kerjasama

Keteladanan, rasa/semangat kebangsaan, ini-siatif, aspiratif, toleran, inovatif

Tabel 1: Konten Pelajaran Sejarah

masa lampau tetapi juga untuk digunakan pada masa kini dan untuk mengantisipasi kehidupan masa depan. Belajar sejarah yang demikian menerapkan tiga dimensi waktu sejarah, dan sebagaimana dikemukakan oleh Shane dan Longstreet (1993:115) “the future should receive at least as much scrutiny as our past, for the present is a function not only of the past but of the future as well”.

TUJUAN Secara kategorial, tujuan pendidikan sejarah dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

•> Mengenal masyarakat dan bangsanya•> Pengembangan kemampuan berpikir•> Pengembangan semangat kebangsaan•> Pengembangan kemampuan apresiasi •> Penerapan hasil belajar sejarah dalam kehidupan

Tujuan pendidikan sejarah tersebut di atas didukung oleh materi berupa pengetahuan, kemampuan kognitif, kemampuan psikomotorik, dan nilai yang terkandung dalam setiap peristiwa sejarah. Pengetahuan berupa pengetahuan tentang peristiwa sejarah, ketrampilan dan nilai yang penting dalam arti untuk membangun diri peserta didik sebagai warganegara yang kreatif, produktif, disiplin, dan bertanggung jawab. Kemampuan kognitif berupa kemampuan menghafal fakta penting sejarah nasional, memahami peristiwa sejarah, kemampuan berpikir kronologis, menerapkan kemampuan mengumpulkan sumber data, melakukan kritik untuk mendapatkan data yang terpercaya, memaknai suatu peristiwa, mengenal dan mampu menentukan keterkaitan peristiwa sejarah dalam suatu hubungan kausalita, mensintesis berbagai fakta dan penafsiran untuk merekonstruksi (kreasi) suatu cerita sejarah, berkomunikasi dalam bentuk tulisan tentang suatu peristiwa sejarah. Kemampuan afektif berupa kemampuan menginternalisasi nilai (jujur, kerja keras, kreatif, menghargai kepahlawanan dan prestasi, mencintai bangsa dan tanah air, mau belajar dari peristiwa sejarah, senang membaca, rasa ingin tahu, disiplin) dan menjadi kepribadian dirinya. Kemampuan psikomotorik terutama dalam ketelitian menarik informasi dari sumber, mengolah innformasi serta merekonstruksi cerita sejarah.

KONTEN PENDIDIKAN SEJARAHKonten pendidikan sejarah adalah peristiwa sejarah

yang telah dikemas dalam bentuk cerita sejarah. Konten pendidikan sejarah adalah materi yang diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan yang menjadi tujuan pendidikan sejarah. Belajar pada dasarnya adalah proses mengkaji dan mencernakan materi pelajaran sehingga menjadi kualitas yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan sejarah. Oleh karena itu, cerita sejarah seharusnya sangat ilmuninatif menggambarkan upaya manusia sebagai pelaku sejarah dalam menjawab tantangan yang dihadapi sekelompok manusia pelaku sejarah pada suatu peristiwa sejarah, bentuk tantangan yang mereka hadapi (kekuasaan, kebebasan, ekonomi dan kemiskinan, kerusakan lingkungan, ilmu, teknologi, budaya, sosial), bagaimana pelaku sejarah mengembangkan pikiran dan aspirasinya untuk menjawab tantangan yang mereka hadapi, dan upaya yang mereka lakukan untuk mewujudkan pikiran atau aspirasi tersebut, permasalahan dan kesulitan yang dihadapi serta sikap dalam menghadapi permasalahan, serta keberhasilan atau pun kegagalan dari

tindakan itu. Cerita yang demikian menjadi media yang sangat baik untuk mengembangkan inspirasi, kreativitas, inisiatif, dan kemampuan mengembangkan aspirasi.

Tabel berikut memperlihatkan komponen konten pendidikan sejarah yang seharusnya dikemas dalam suatu cerita sejarah yang tersaji dalam buku pelajaran sejarah.

Konten sejarah yang dikemas dalam suatu cerita sejarah selalu ada pelaku sejarah. Pelaku tersebut dapat berupa seorang, kelompok, masyarakat atau keseluruhan bangsa walau pun pelaku yang berskala bangsa hanya terjadi untuk peristiwa sejarah yang sangat langka. Ketika pelaku sejarah tersebut adalah kelompok, masyarakat atau bangsa selalu ada seseorang atau beberapa orang terpilih yang menjadi menjadi pemimpin atau penggerak. Pemimpin tersebut pada umumnya adalah seseorang atau kelompok yang memiliki inisiatif untuk menggerakkan sekelompok masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Inisiatif yang dikembangkan oleh pelaku pemimpin mungkin saja berasal dari dirinya tetapi dapat juga berasal dari masyarakat. Ketika rumusan inisiatif, yang pada umumnya berupa suatu tujuan yang ingin dicapai, disetujui oleh orang banyak dan bersedia untuk mewujudkannya maka terjadi suatu gerakan sejarah, tergantung pada kriteria yang digunakan seorang sejarawan dan tradisi yang berlaku dalam ilmu sejarah. Kriteria yang menyebabkan perubahan bersifat relatif tergantung pada besaran (magnitude) perubahan dan jenjang analisis yang digunkan. Jika analisis yang digunakan adalah pada jenjang nasional maka suatu peristiwa lokal mungkin tidak dianggap sebagai suatu peristiwa sejarah. Sedangkan apabila analisis dilakukan pada jenjang lokal maka peristiwa tadi menjadi suatu peristiwa sejarah. Sejarawan adalah penentu kedudukan suatu peristiwa menjadi peristiwa sejarah atau bukan dan siapa pelaku atau tokoh suatu peristiwa sejarah berdasarkan kaedah akademik ilmu sejarah dan pandangan personal yang seringkali mengandung bias.

Demikian pula halnya tentang pelaku atau tokoh sejarah. Dalam tema sejarah tradisional yaitu sejarah politik maka pelaku sejarah adalah tokoh gerakan politik pada tingkat nasional atau pun lokal. Sesuai dengan tema sejarah diperkaya dengan tema dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, ilmu, dan teknologi, pelaku dan tokoh sejarah tidak lagi orang atau sekelompok orang yang

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 7

Page 8: Jurnal AGSI edisi II

8 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

membuat perbedaan di bidang politik, dan pada jatuh-bangunnya kehidupan suatu negara dan bangsa tetapi sudah menjadi lebih “merakyat”. Terlepas dari jenjang dan dimensi perubahan yang mereka perbuat, para pelaku sejarah seringkali diperlakukan kurang adil dalam cerita sejarah. Mereka ada di suatu peristiwa sejarah seolah-olah hanya untuk disebutkan nama dan paling jauh tentang perannya dalam gejolak peristiwa sejarah yang terjadi. Pelaku sejarah dianggap perlu kehadirannya untuk menjelaskan siapa yang menggerakkan peristiwa sejarah yang sedang ditulis. Meskipun demikian, mereka diperlakukan oleh penulis buku sejarah dan sejarawan sebagai objek studi mereka. Mereka ada karena diperlukan penulis buku sejarah dan sejarawan, bukan karena posisi penting sebagai perancang pemikiran atau perumus aspirasi masyarakatnya menjadi suatu tujuan gerakan dan pengatur strategi yang menggerakkan peristiwa sejarah. Kutipan berikut ini memperjelas posisi pelaku sejarah yang menjadi objek penulis buku pelajaran sejarah untuk SMA dan sejarawan dalam buku standar.

Pada masa pemerintahan Raja Mahkota datanglah dua orang Muslim yang bernama Tuan di Bandang dan Tuan1 Tunggang Parangan. Kedua muballigh (sic!) itu datang ke Kutai setelah orang-orang Makassar masuk Islam. Tetapi beberapa waktu kemudian keluar lagi dari Islam; karena itu Tuan di Bandang kembali ke Makasar, sedangkan Tuan Tunggang Parangan menetap di Kutai. Raja Mahkota masuk Islam setelah ia merasa kalah dalam kesaktiannya. Proses Islamisasi di Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi pada sekitar tahun 1575. Pengluasan lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman terutama pada waktu putranya Aji di Langgar dan pengganti-penggantinya meneruskan perang ke daerah Muara Kaman. (SNI, Jilid III: 97).

In his reflections on the meanings of the war Tagore returned again and again to the ways in which it had undermined the civilizing mission ideology that had justified and often determined the course of Western global hegemony. Like Valéry, Hesse, and other critics of the West from within, Tagore explored the ways in which the war had inverted the attributes of the dominant and revealed what the colonizers had trumpeted as unprecedented virtues to be fatal vices. (Adas, 2004: 53).

Dari contoh diatas tampak bahwa pelaku sejarah dalam contoh pertama Tuan di Bandang, Tuan Tunggang Parangan, Raja Mahkota, dan Aji di Langgar diceritakan tanpa diketahui apa pikiran yang ada pada diri mereka sehingga mereka melakukan apa yang ditulis dalam buku sejarah tersebut. Dalam contoh kedua Tagore (Rabindranath Tagore) melakukan suatu kajian dan pemikiran tentang perang tanpa diketahui pembaca apa yang menjadi dasarnya Tagore berpikir demikian. Alinea sebelum dan sesudah kutipan tidak menceritakan tentang kegalauan hati dan bagaimana lahirnya pemikiran untuk mengkaji fenomena yang ada sehingga Tagore berkesimpulan tentang kekuasaan barat dalam memenangkan perang. Lukisan yang demikian tidak jauh berbeda dari buku untuk pelajaran sejarah.

In 1799, a Pennsylvania newspaper editor was fined four hundred dollars and jailed for six months. Why? He had called the second President of the United States, John Adams, unfit for the job. The political in power had little faith in the people. Furthermore, it had been frightened by 1 Buku ini ditulis oleh dua orang guru Sejarah untuk anak SMA (high school) di New York

radicalism of the French Revolution. Adam’s party accused many of its political opponents of being spies in the pay of French government. To crush its critics, therefore, it had passed the Allien and Sedition Acts, a series of laws which supported freedom of speech and press. (Platt and Drummond, 1961:361) 1

Perhimpunan Indonesia (PI) didirikan pada tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging (IV) oleh orang-orang Indonesia yang berada di negeri Belanda, antara lain Sutan Kasayangan, R.M. Noto Suroto. Kegiatan Indische Vereeniging pada mulanya terbatas pada penyelenggaraan pertemuan sosial dengan orang Belanda. Tetapi setelah kedatangan 3 tokoh Indische Partij yang dibuang pemerintah kolonial ke negeri Belanda merubah suasana dan semangat Indische Vereeniging. Mereka yaitu Tjipto Mangunkusumo, R.M. Suwardi Suryaningrat, dan E.F.E. Douwes Dekker, membawa suasana politik ke dalam pikiran tokoh-tokoh Indische Vereeniging. Udara politik itu dimungkinkan lagi dengan kedatangan Comite Indie Weerbaar (Panitia Ketahanan Hindia Belanda). Panitia ini terdiri dari R.Ng. Dwijosuwoyo (B.U), Abdul Muis (Sarekat Islam) dan kolonel Rhemrev, seorang Indo Belanda yang bertugas di ketentaraan Hindia Belanda. Kedatangan ketiga tokoh Indische Partij dan Comite Indie Weerbaar tersebut memberikan beban dan dimensi pikiran baru pada pelajar Indonesia di Negeri Belanda, bahwa mereka bukan saja menuntut ilmu tetapi juga memikirkan bagaimana mereka dapat memperbaiki bangsanya sendiri (Iskandar, Persada, dan Odih, 1988:47).

Page 9: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 9

Dari kedua contoh buku pelajaran sejarah untuk SMA di atas terlihat bahwa pelaku sejarah adalah orang atau sekelompok orang yang diceritakan tentang kehadirannya dalam suatu peristiwa sejarah. Bagaimana pikiran President Adam dan temannya sehingga mereka menentukan untuk menghasilkan undang-undang yang memberi kebebasan berpendapat dan pers tidak diceritakan. Demikian pula halnya dengan kegundahan, pemikiran dan antisipasi yang terjadi pada para pemimpin Indische Vereeniging yang nantinya mengubah nama organisasinya menjadi Indonesische Vereeniging setelah bertemu dengan tokoh Indische Partij dan Comite Indie Weerbaar. Semuanya diceritakan dengan nada dan kalimat datar tanpa gejolak dan tanpa dikatakan bagaimana kegalauan terjadi pada diri mereka yang mengambil keputusan.

Dalam keadaan sebagaimana yang diceritakan dalam buku formal dan artikel sejarah serta buku pelajaran sejarah akan sangat sulit membawa peserta didik ke suatu suasana yang dapat memberikan inspirasi dari apa yang sudah dilakukan para pelaku sejarah. Para pelaku sejarah digambarkan orang tanpa emosi dan memiliki pikiran mesin yang begitu masuk informasi sebagai bahan dasar diolah dalam sebuah proses yang tidak diketahui dan menghasilkan produk yaitu keputusan-keputusan. Inspirasi baru akan terjadi jika peserta didik atau pembaca cerita sejarah dapat memberikan empati terhadap para pelaku sejarah dalam situasi dan kondisi tertentu. Mereka akan memiliki wawasan terhadap cara pelaku menghadapi

situasi dan mencari solusi-solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang dihasilkan dari situasi tersebut. Dalam contoh di atas ketika para pemimpin Indische Vereeniging mendengar pendapat atau saran bahwa mereka di Belanda bukan hanya belajar tetapi harus pula memikirkan perbaikan nasib bangsanya lantas apa yang terjadi pada diri mereka? Ketika dikatakan bahwa mereka “menjalani perubahan dasar pemikiran dan orientasi” proses apa yang terjadi dan apa hasilnya? Sayangnya baik tulisan sejarawan mau pun buku pelajaran tidak memberikan apa pun. Cerita terus berlanjut dengan perubahan-perubahan tanpa ada proses internalisasi dan rekonstruksi pikiran pada diri pelaku sejarah, seolah-seolah seperti teori stimulus-respons aliran behaviorisme: diberikan stimulus maka terjadi respons tanpa peduli bagaimana respons itu dihasilkan. Rumusan S – R (Stimulus – Respon) yang sudah diperbaiki menjadi S – O - R (Stimulus – Organisme – Respon) belum menyentuh sehingga unsur O (organisme) yang dapat mengubah bentuk dan arah respon sesuai dengan kondisi dan karakteristik O (organism) walau pun diberi S (stimulus) yang sama. Memang tidak mudah mengubah paparan cerita sejarah sehingga memasukkan unsur O untuk menjadikan R (respon) sesuai sesuatu yang unik. Terkadang kekurangan informasi sedemikian banyak sehingga interpolasi yang dilakukan belum mampu mengisi kekosongan data dan juga fakta yang ada. Terkadang kesetiaan kepada objektivitas yang sedemikian tinggi sehingga menyebabkan sejarawan atau pun penulis buku pelajaran dihadapkan pada situasi yang memenangkan objektivitas daripada kekhawatiran menjadi subjektif ketika proses pada unsur O yang terlalu banyak pada pemaknaan informasi (stimulus) yang berdasarkan nilai. Walau pun banyak sejarawan yang menolak preposisi bahwa ilmu adalah “value free” tetapi tanpa sadar terkadang terjadi kecenderungan untuk lebih memihak kepada objektivitas.

POSISI PELAKU SEJARAHDALAM PENDIDIKAN SEJARAH

Posisi pelaku sejarah dalam pendidikan sejarah dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok. Pertama, pelaku sejarah adalah bagian dari sebuah peristiwa sejarah. Dalam posisi ini maka aspek-aspek yang bersifat pribadi pelaku sangat dibatasi pada hal-hal yang bersifat formal seperti tanggal dan tempat lahir, pendidikan, aktivitas yang dilakukan sebelum terlibat sebagai pelaku sejarah. Hal-hal lain yang bersifat pribadi di luar yang telah disebutkan dijaga sedemikian rupa agar objektivitas tidak terganggu apalagi pemujaan pelaku sebagai pahlawan (hero). Posisi sebagaimana yang dilukiskan dalam berbagai kutipan di bagian terdahulu sangat representatif menggambarkan yang dimaksudkan posisi pelaku sebagai bagian dari sebuah peristiwa sejarah.

Posisi kedua pelaku sejarah diajarkan sebagai sebuah bentuk biografi. Bentuk ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengenal pelaku sejarah dalam aspek pribadi. Kedudukan ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengetahui cara berpikir, wawasan, cara menghadapi dan menyelesaikan suatu masalah, cara mengembangkan inspirasi dan mewujudkannya dalam kegiatan. Dalam pendekatan ini peserta didik memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan inspirasi dari apa yang dipelajarinya dari seorang tokoh dan mengembangkan inspirasi menjadi aspirasi. Proses pengembangan aspirasi dari inspirasi

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 9

Page 10: Jurnal AGSI edisi II

10 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

memberikan kesempatan berkreasi dan berinovasi baik dalam berpikir mau pun berkenaan dengan sikap. Memang harus diakui bahwa dalam biografi terjadi penonjolan pribadi yang terkadang sangat sulit dibuktikan scara objektif berdasarkan bukti-bukti sejarah yang dikenal dan dimiliki sejarawan. Tentu saja kerangka belajar sedikit berubah karena dalam pendekatan pertama maka pelaku hanyalah nama serta kegiatan yang ada dalam suatu peristiwa sejarah sedangkan dalam pendekatan biografi maka peristiwa sejarah adalah bagian dari kehidupan seorang pelaku sejarah. Perbedaan kerangka atau bingkai ini menyebabkan banyak sejarawan yang enggan memasukkan pendekatan biografi untuk mengetahui lebih banyak mengenai pelaku sejarah. Kiranya sudah saatnya untuk berpikir ulang karena sebagaimana dikatakan di awal tulisan ini tujuan pendidikan sejarah untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah berbeda dari tujuan di perguruan tinggi. Kajian terhadap biografi sebagai materi pendidikan sejarah di kedua jenjang pendidikan tersebut, terlebih di jenjang pendidikan dasar sudah selayaknya mendapatkan perhatian yang lebih besar. Sebagian besar anak bangsa ini sudah tidak tahu siapa Sukarno dan Hatta karena mereka belajar tentang PNI, Perhimpunan Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan dimana kedua orang itu ditulis sebagai pelaku sebagaimana gambaran terhadap pelaku sejarah lainnya yang dikutip terdahulu. Mereka tidak punya kesempatan belajar secara mendalam untuk mengenal siapa Sukarno dan Hatta yang telah menjadi proklamator, berbagai nilai yang dijadikan dasar mengembangkan aspirasi, pikiran serta aspirasi dan cita-cita mereka, keberanian, kejujuran, keteguhan cita-cita dan pendirian, serta kesediaan bekerja keras untuk melahirkan bangsa ini dan mengembangkan kehidupan bangsa. Dalam pendekatan pertama maka peserta didik belajar tentang Indische Partij dan Taman Siswa dimana Ki Hajar Dewantara atau R. M. Suwardi Suryaningrat adalah pelakunya. Sedangkan dalam pendekatan kedua peserta didik belajar tentang Ki Hajar Dewantara atau R.M. Suryadi Suryaningrat secara mendalam dengan berbagai latar belakang kehidupan, cara berpikir dan tindakannya sehingga melahirkan Indische Partij dan Taman Siswa.

Pendekatan biografi tidak saja membuat peserta didik mengenal para pelaku sejarah tetapi pengenalan itu menjadi dasar untuk mengembangkan inspirasi dari apa dan siapa pelaku tersebut. Pada gilirannya, inspirasi itu menjadi aspirasi untuk dikembangkan dalam kehidupan masa kini dan perencanaan kehidupan masa depan (charting the future). Mereka akan mendapatkan berbagai contoh nilai, pikiran, tindakan, pengorbanan untuk cita-cita luhur, dan menjadikan pelajaran sejarah lebih “exciting as life itself” (Curtis, 2009) dan “humanizing history” (Adejinmobi, 1979) karena peserta didik mengenal berbagai kesulitan dan kegagalan disamping kemudahan dan keberhasilan yang dihadapi pelaku sejarah. Pelaku sejarah adalah manusia dan manusia tidak pernah lepas dari kelebihan dan kekurangan: ada warna hitam-putih-abu tidak sebagaimana yang digambarkan dalam pendekatan pertama. Lagipula, pendekatan biografis memberikan gambaran keseluruhan kepribadian seorang pelaku sejarah sehingga perubahan pemikiran, pandangan, sikap, nilai, dan bahkan karakter dapat dipahami dalam suatu totalitas. Kelemahan dari pendekatan biografis untuk pendidikan sejarah adalah anak kehilangan wawasan keseluruhan peristiwa sejarah yang membangun memori kolektif bangsa. Perjuangan keseluruhan bangsa yang terjadi di

masa lampau menjadi tidak utuh. Lagipula, pendekatan biografis memiliki potensi mengembangkan pemujaan terhadap suatu tokoh tertentu ketika identifikasi diri menjadi sangat tinggi dengan resiko peserta didik tidak lagi mampu memberikan penghargaan yang sama atau bahkan cenderung membeikan penghargaan kurang kepada pelaku sejarah lainnya.

PENDEKATAN BIOGRAFIS SEBAGAIBAGIAN DARI PENDIDIKAN SEJARAH

Pendidikan sejarah bukan pengajaran biografi tetapi sebaliknya pendidikan sejarah tidak harus menutup diri menggunakan pendekatan pengajaran biografi. Pendidikan sejarah akan menjadi lebih kaya melalui pendekatan pengajaran biografi. Oleh karena itu pendekatan pengajaran biografi hendaklah dilihat sebagai salah satu pendekatan pengajaran pendidikan sejarah yang sangat potensial untuk membuat pendidikan sejarah menjadi lebih memiliki kedalaman, menjadi “bank of examples” untuk “courage, determination, honesty, willingness to work” (Warren, 1992), membuat pelajaran sejarah menjadi “exciting as life itself” (Curtis, 2009), dan memberikan kesempatan besar bahwa belajar sejarah menjadi lebih manusiawi (Adejinmobi, 1979).

Pendekatan biografi merupakan sesuatu yang harus dilakukan guru terhadap kurikulum yang ada. Sekolah-sekolah sudah memiliki KTSP dan guru harus melaksanakan pendidikan sejarah di suatu satuan pendidikan. Untuk itu maka guru harus melakukan “infusing” atau memperkaya pendekatan biografi dalam kurikulum yang berlaku. Guru tidak perlu mengubah dokumen KTSP tetapi mengembangkan pendekatan biografi dalam perencanaan implementasi KTSP yaitu silabus dan RPP. Artinya, pendekatan biografi bukan menjadi sesuatu yang terpisah dari apa yang sudah ditetapkan dalam KTSP tetapi menjadi bagian dari pelaksanaan KTSP. Dengan cara demikian maka peserta didik memiliki pengetahuan dan wawasan keseluruhan peristiwa sejarah tetapi juga memiliki pendalaman terhadap suatu peristiwa sejarah melalui kajian terhadap pelaku sejarah.

Dalam menerapkan pendekatan biografi dalam KTSP maka seluruh guru terkait dalam satu satuan pendidikan, secara bersama-sama melakukan kajian terhadap pokok bahasan yang sudah ada dalam satu semester atau bahkan lebih baik lagi dalam satu tahun. Kajian itu dilakukan oleh seluruh guru IPS SD dari kelas I sampai kelas VI, seluruh guru IPS SMP dari kelas VII-IX, dan seluruh guru sejarah SMA dari kelas X – XII dan semua jalur. Hasil dari kajian ini adalah ketentuan atau persetujuan tentang nama-nama pelaku sejarah yang akan dikaji secara biografis dalam setiap semester. Dengan demikian, setiap satuan pendidikan telah menetapkan nama-nama pelaku sejarah yang akan dikaji oleh peserta didik mereka. Seorang pelaku sejarah dapat menjadi tugas seorang peserta didik tetapi dapat juga menjadi tugas sekelompok peserta didik. Penugasan yang biasa dilakukan guru untuk mendalami suatu peristiwa sejarah tertentu dapat digunakan dalam pendalaman terhadap pelaku sejarah secara biografis.

Dalam menentukan pelaku sejarah guru di suatu satuan pendidikan dapat membahas bersama kepala sekolah, guru lain, komite sekolah atau jika dipandang perlu dengan pimpinan dan anggota masyarakat tertentu. Tentu saja proklamator dan pahlawan nasional dapat dijadikan

10 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

Page 11: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 11

patokan untuk menentukan pelaku sejarah yang dipilih. Selain itu pelaku sejarah daerah yang namanya diabadikan pada nama-nama jalan penting di wilayah tersebut dapat dijadikan kriteria untuk menentukan nama pelaku yang akan dikaji dengan pendekatan biografis. Ketersediaan sumber baik tertulis, lisan, mau pun dalam bentuk artefak dapat dipertimbangkan sebagai kriteria untuk menentukan pelaku sejarah yang dikaji secara biografis.

Tindakan selanjutnya adalah mengembangkan ketentuan atau rambu-rambu yang akan digunakan dalam menilai tugas mempelajari seorang pelaku sejarah. Rambu-rambu tersebut berkenaan dengan bentuk penugasan (individu atau kelompok), lamanya suatu tugas harus diselesaikan (satu bulan, satu semester atau bahkan satu tahun), fakta yang harus tercantum dalam tugas tersebut, foto, gambar, kronologis peristiwa sejarah dimana tokoh tersebut berperan sebagai pelaku sejarah, pikiran, nilai, sikap, proses kegiatan yang dilakukan dalam suatu peristiwa sejarah, bahasa yang digunakan, bentuk penyajian. Tentu saja semakin tinggi jenjang pendidikan suatu satuan maka semakin rinci pula rambu-rambu yang harus diperhatikan peserta didik. Rambu-rambu ini digunakan untuk memberikan penilaian terhadap hasil kerja peserta didik. Setiap rambu-rambu memiliki berbagai jenjang kemampuan seperti kurang, cukup, terinci, dan sebagainya. Kriteria yang digunakan oleh model SOLO taksonomi dalam menentukan keterkaitan informasi dapat digunakan guru.

KESIMPULANDari apa yang telah dikemukakan di atas dapat

disimpulkan bahwa pendidikan sejarah akan menjadi lebih baik dalam kedudukan sebagai “bank of examples” melalui pendidikan biografi. Melalui pendekatan biografis peserta didik akan lebih mengenal pribadi pelaku sejarah sehingga cara berpikir, wawasan, nilai dan sikap, serta tindakan-tindakan pelaku sejarah menjadi “bank of examples” bagi peserta didik. Melalui “bank of examples” ini peserta didik dapat meneladani perilaku para pelaku sejarah, mengembangkannya menjadi inspirasi dan selanjutnya mengembangkan inspirasi menjadi aspirasi.

Pendekatan biografis ada dalam konteks pendidikan sejarah dan dikembangkan sebagai tugas bagi peserta didik. Guru IPS dan Sejarah dalam satu satuan pendidikan secara bersama-sama menentukan pelaku sejarah yang akan dikaji peserta didik di satu satuan pendidikan terkait. Pengembangan tugas untuk mempelajari pelaku sejarah direncanakan dalam silabus dan kemudian dapat menjadi tugas peserta didik yang harus diselesaikan dalam kurun waktu tertentu (satu bulan, satu semester, satu tahun).

Kriteria untuk tugas mempelajari pelaku sejarah harus jelas dan diketahui peserta didik. Kejelasan itu memberikan peluang besar bagi peserta didik untuk menunjukkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas tersebut. Penilaian dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. DAFTA

DAFTAR BACAAN

Adas, M. (2004). Contested hegemony: The Great War and the Afro-Asian Assault on the Civilizing Mission Ideology. Journal of World History, Volume 15,1: 31-63, March 2004

Adejinmobi (1979). Biographical Approach to the Teaching of History. The History Teacher, volume 6, number 12, 3: 349-357. May 1979

Borries, Bodo von (2000). Methods and Aims of Teaching History in Europe: A Report on Youth and History, dalam Knowing Teaching & Learning History: National and International Perspectives (Eds. Stearns, P.N., Seixas,P., Wineburg,S.). New York: New York University Press.

Curtis, J. (2009). Pros and Cons of Using a Biography for Teaching History. Makalah

Garvey, B. dan Krug, M. (1977). Models of History teaching in the Secondary School. Oxford: Oxford University Press

Giese, J.R. (1996). Studying and Teaching History, dalam Teaching the Social Sciences and History in Secondary Schools: A Methods Book. Long Grove, Illinois: Waveland Press, Inc.

Hasan, S.H. (2006). Museum Bagi Pendidikan Sejarah Nasional. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Direktorat Sejarah, Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, tanggal 9 Agustus 2006

Hasan, S.H. (2010). Pendidikan Sejarah: Kemana dan Bagaimana. Jurnal Pendidikan Sejarah. Edisi perdana. Oktober 2010

Iskandar, D.R., Persada, D.P. dan Odih, E. (1988). Pegangan Sejarah Indonesia dan Dunia, SMA 3B: Untuk Kelas III, Semester 6. Bandung: CV Armico

Jakubowski,C.T.(2002). Teaching World History: Problems and Promises Faced by Young Teachers. World History Bulletin. XVIII, 2.

Platt, N. dan Drummond, M.J. (1961). Our World through the Ages. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, Inc

Warren, A.K. (1992). Biography and Autobiography in the Teaching of History and Social Studies. American Historical Association, Jan. 1992

Wineburg, S. (2000). Making Histrotical Sense, dalam Knowing Teaching and Learning History: National and International Perspectives (Eds. Stearns,P.N., Seixas, P. dan Wineburg, S.). New York: New York University Press.

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 11

Page 12: Jurnal AGSI edisi II

12 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

TAMAN SISWA:PENDIDIKAN SEBAGAIGERAKAN KEBUDAYAANIbe Karyanto

Salah satu kearifan yang terabaikan di tengah arus kebiasaan yang serba mudah dan cepat saat ini adalah membaca sejarah. Arus jamannya meyeret orang jadi serba praktis, pragmatis. Sementara membaca sejarah itu reflektif. Untuk orang yang cenderung pragmatis, membaca sejarah tentu dianggap tidak ada juntrungannya, tidak ada untungnya.

Saya termasuk satu dari orang-orang yang terlambat membaca sejarah. Di masa sekolah saya diperkenalkan dengan pelajaran sejarah. Namun nyaris tak ada yang menarik dari pelajaran sejarah di sekolah selain sekadar hafal tentang siapa dan kapan persitiwa di masa lalu itu terjadi. Saya hafal nama dan hafal pula tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara, tetapi tidak paham apa yang terjadi pada masa lalu sehingga seorang Ki Hadjar Dewantara bisa tampil sebagai seorang tokoh yang dianggap menentukan kemerdekaan dan kemajuan sebuah bangsa.

Awal mula saya tertarik pada Ki Hajar Dewantara bukan karena dia sebagai tokoh pergerakan. Banyak tokoh pergerakan yang lebih menarik dibaca dan lebih banyak memberi inspirasi. Saya tertarik pada Ki Hajar karena idenya tentang pendidikan yang relevan untuk jaman sekarang, baik idenya tentang pendidikan sebagai kurikulum maupun pendidikan sebagai gerakan kebudayan. Tapi rupanya tak mudah mempelajari ide-ide besar dari tokoh-tokoh besar seperti Ki Hadjar tanpa memahami konteks yang memaksa ide itu lahir. Konteks itu adalah sejarah atau pengetahuan tentang kebenaran peristiwa atau kejadian pada ruang dan waktu tertentu. Rupanya sejarah sebagai ilmu pengetahuan juga tidak mampu menjamin adanya kebenaran tunggal. Sejarah memberikan ruang bagi setiap pihak untuk memberikan makna yang berbeda pada satu fakta yang sama.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk melihat sejauh relevansi gagasan pendidikan Ki Hajar, tetapi lebih ingin menelusur bagaimana proses intelektual Ki Hajar sehingga bisa melahirkan gagasan pendidikan yang berasaskan kebangsaan. Dunia macam apa yang ikut menentukan dan mengisi proses pergulatan intelektual Ki Hajar pada jaman itu. Saya tertarik untuk bisa memahami bagaimana kemampuan refleksi Ki Hajar sehingga bisa melahirkan aksi-aksi budaya yang berbeda dengan gagasan-gagasan kelompok atau organisasi lain yang sejaman. Dimana letak kelebihannya sehingga gerakannya bisa dipertimbangkan lebih layak mewakili bangsa ini dibanding yang lain? Apakah Ki Hajar sendirian atau ada orang lain di sekitar yang ikut menentukan?

SuwardiAnak Kampung

Ia keturunan raja Jawa, mendapat gelar kebangsawanan, tetapi tak pernah mengenyam kehidupan keraton. Lebih tepat ia disebut ‘pangeran kampung’, cucu raja yang hidup miskin di kampung di luar keraton. Kelak dia bergabung dengan anak-anak keluarga bangsawan rendahan lain untuk merintis kemerdekaan bangsa ini dari penindasan kolonial.

Nama kecilnya Suwardi. Sebagai keturunan keluarga keraton, bayi Suwardi pun mendapat gelar Raden Mas. Ayahnya sering memberi julukan, Jemblung karena perutnya buncit. Para Kyai pengasuh anggota keluarga Suryoningrat memberikan nama tambahan Trunogati karena mengharapkan kelak Suwardi tumbuh menjadi pemuda yang berguna.

Suryoningrat adalah nama ayahnya, seorang pangeran putera sulung Paku Alam III. Sesuai tradisi sebagai putra sulung Pangeran Suryoningrat berhak mewarisi tahta ayahnya. Namun pada usia dewasa Suryoningrat mengalami sakit mata yang mengakibatkan kebutaan permanen. Karena itu ketika Paku Alam III mangkat, Suryoningrat tidak bisa mewarisi tahta. Sebagai gantinya diangkatlah Raden Mas Nataningrat sebagai Paku Alam IV. Sesudah perganitian raja Suryoningrat tidak hanya kehilangan tahta, tetapi juga kehilangan keraton.

Dalam tradisi keraton ada aturan untuk memenuhi hak membuatkan rumah di luar lingkungan keraton bagi seorang pangeran yang sudah berkeluarga. Tapi untuk Suryoningrat alasan itu terkesan ganjil, karena Suryoningrat sudah berkeluarga cukup lama dan masih tinggal di dalam lingkungan istana semasa Paku Alam III. Saat itu Suryoningrat sudah mengalami kebutaan. Di samping intrik politik internal keraton, pemerintah kolonial Belanda termasuk yang andil dalam ‘menyingkirkan’ keluarga Suryoningrat dari keraton. Seperti ayahnya Suryoningrat dikenal sebagai pangeran yang tidak suka dengan pemerintah kolonial.

12 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

Page 13: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 13

kegiatan kesenian gamelan di Taman Siswa

Stovia

Meskipun Paku Alam IV menunjukkan minatnya pada pendidikan dengan mengirimkan kerabat keraton untuk belajar di sekolah-sekolah kolonial, namun secara umum banyak kebijakannya yang menimbulkan ketidakpuasan, termasuk Suryoningrat yang dikenal kritis dan progresif. Kebiasaannya hidup mewah dan foya-foya menyebabkan kas Pakualaman terus defisit. Ketergantungan pada pemerintah kolonial mempengaruhi perubahan perilaku yang kurang baik di antara kerabat keraton. Situasi ini bisa jadi merupakan penyebab lain yang mendorong keluarga Suryoningrat harus meninggalkan lingkungan keraton.

Bisa jadi Suwardi belum sempat bermain di lingkungan keraton saat kecil, karena keluarganya sudah harus hijrah ke kampung. Hal yang pasti adalah bahwa pendidikan pertama Suwardi tidak diperoleh di lingkungan keraton, tapi hasil langsung dari pendidikan progresif orang tuanya, terutama ayahnya. Dalam mendidik anak-anaknya ia lebih mengajarkan pemaknaan nilai-nilai dalam perbuatan. Ia menekankan hakikat dari pada syariat.

Suryoningrat adalah tipe bangsawan yang hidup dan menghidupi ajaran (piwulang) yang merupakan keungulan teks-teks kesusasteraan Jawa. Ajaran utama dari piwulang sastra jawa yang ditujukan pada setiap bangsawan keraton adalah kesediaan untuk membuka hati atau mencintai

r a k y a t n y a . S u r y o n i n g r a t mengajarkan nilai ini mulai dengan cara membiarkan anak-anaknya bergaul dengan anak-anak abdi dalem. Untuk mengamalkan dan mengajarkan nilai kecintaan pada rakyat Suryoningrat menentang tradisi laku dhodhok. Laku dhodok adalah

berjalan dengan cara jongkok sambil menyembah jaka hendak menghadap raja atau pada orang yang dituakan dalam tradisi keraton. Dengan laku ndhodok tidak mungkin seorang pimpinan Jawa akan bisa dekat dan mencintai rakyatnya. Karena bagi Suryoningrat laku dhodhok merupakan tradisi untuk menjaga jarak

antara bangsawan dan rakyat jelata. Sekalipun demikian Suryoningrat tidak bermaksud

meninggalkan nilai-nilai tradisional Jawa. Ketika sudah di luar keraton Suryoningrat masih menjaga dengan baik prinsip-prinsip tradisi keluarga bangsawan yang selalu dekat dengan piwulang sastra Jawa dan religiositas keislaman. Ia mengajarkan pada anaknya untuk disiplin mempelajari ilmu pengetahuan dan keagamaan. Suwardi termasuk anak yang tekun mempelajari kebudayaan dan kesenian Jawa, di samping belajar gendhing dan tari Jawa. Kebiasaan orang tuanya menggelar wayang dalam setiap ritual kejawen membuat Suwardi mencintai cerita-cerita wayang. Yudistira dan Kresna adalah dua tokoh yang jadi idolanya. Sebagai anak muslim Suwardi bersama anak-anak kampung belajar memperdalam pengetahuan keislaman di surau atau masjid di sekitar rumah. Dari cerita dan perbincangan dengan ayahnya, Suwardi banyak tahu tentang pandangan

Hinduisme kuno. Nilai pandangan hidup Hindu-Jawa dan Islam yang

diperoleh dari ayahnya tidak hanya mendasari perkembangan sikap Suwardi, tapi kelak akan mempengaruhi pencarian Suwardi tentang hakekat manusia yang menjadi muara dari gagasannya tentang pendidikan. Meskipun saat itu Suwardi belum merumuskan dengan baik proses pembelajaran bersama ayahnya di dalam keluarga, namun ingatan Suwardi kiranya menyimpan dengan baik pendidikan dalam keluarga yang ikut menentukan perkembangan integritas karakternya. Ada kesinambungan antara prinsip-prinsip pendidikan dalam keluarga yang diterapkan ayahnya dengan prinsip pedagogi yang mendasari gagasannya tentang perguruan Taman Siswa.

Di samping mendapatkan pendidikan dari keluarga, Suwardi juga belajar di sekolah kolonial. Karena cerdas dan masih memiliki kesamaan hak sebagai bangsawan tinggi Suwardi tidak mengalami kesulitan untuk bisa mendapatkan pendidikan rendah di Europese Largere School (ELS). Sekolah ini menjadi istiwewa karena mengajarkan pelajaran bahasa Belanda sebagai syarat untuk mengikuti ujian kleinambtenaar (pegawai rendah). Penguasaan pelajaran bahasa Belanda merupakan jaminan bagi setiap lulusan ELS untuk bisa mendapatkan pekerjaan.

Di sekolah ini Suwardi dibenturkan pada kenyataan sebuah dunia penindasan. Dari ayahnya sudah pasti Suwardi sering mendengar cerita tentang ketidakadilan, kekerasan yang dilakukan kaum kolonial terhadap bangsa bumiputera. Di gang-gang di kampung, sangat mungkin Suwardi juga melihat tindakan-tindakan kasar dan diskriminatif yang dilakukan kaum kolonial. Sebagai anak bumiputera yang tinggal di kampung sudah pasti Suwardi banyak mendengar cerita tentang penindasan yang dilakukan kaum kolonial Belanda. Di luar pelajaran keterampilan baca, tulis, hitung dan bahasa Belanda, di sekolah Suwardi juga belajar tentang ketidakadilan.

Cerita tentang praktek ketidakadilan, perilaku deskriminatif nampak menjadi lebih nyata dialami saat Suwardi sekolah di ELS. Suwardi baru mampu merasakan kesakitan hati mengalami perlakuan ketidakadilan tanpa tahu kenapa orang-orang kulit putih itu berlaku tidak adil. Di sekolah rendah Suwardi kecil belum mengenal paham kolonialisme. Suwardi akan menemukan makna dari pengalamannya ini kelak ketika ia bertemu dengan anak-anak cerdas dari keluarga bangsawan rendahan yang belajar di Stovia.Refleksi Bangsawan Rendahan

Pemerintah kolonial Hindia Belanda tak pernah berpikir kalau kelak sekolah dokter, Stovia, yang didirikan akan menjadi rahim yang melahirkan kesadaran baru, kesadaran kebangsaan kaum bumiputera. Meskipun Stovia adalah sekolah yang diremehkan oleh kaum bumiputera dari ke -

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 13

Page 14: Jurnal AGSI edisi II

14 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

StoviaStovia

luarga priyayi kelas atas, namun menjadi ‘sekolah politik’ yang melahirkan elit baru pejuang pergerakan kemerdekaan yang berasal dari bangsawan rendahan. Tidak sedikit anak-anak bumiputera yang semula datang untuk belajar menjadi juru cacar justru menemukan jati dirinya sebagai pemuda-pemuda penentu masa depan bangsanya. Suwardi hanyalah satu di antaranya.

Stovia awalnya adalah Sekolah Dokter Jawa. Pertengahan abad 19 pemerintah kolonial Hindia Belanda kewalahan menghadapi kebutuhan tenaga kesehatan, baik untuk mengatasi wabah penyakit maupun untuk menjaga kesehatan kuli-kuli perkebunan. Daripada mendatangkan tenaga dokter Eropa yang mahal pemerintah kolonial mendirikan sendiri Sekolah Dokter Jawa di Weltevreden, sekarang jakarta. Istilah dokter jawa bermakna peioratif, melecehkan martabat kaum Jawa. Lulusan sekolah dokter jawa hanya akan menjadi vaccinateur atau juru cacar yang bertugas sebagai tenaga pembantu untuk melakukan vaksinasi cacar.

Untuk menarik minat kaum bumiputera, pemerintah kolonial membuat kebijakan yang menjamin sekolah rendah gratis bagi setiap bumiputera yang berminat untuk melanjutkan belajar di Sekolah Dokter Jawa. Sampai akhir abad 19 Sekolah Dokter Jawa hanya menerima anak-anak muda Jawa. Baru pada awal abad 20 pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan baru, mengubah Sekolah Dokter Jawa menjadi School tot Opleiding van Inlandsce Artsen (Stovia/Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera). Lulusannya menyandang gelar Artsen atau dokter, tetapi harus dengan tambahan Inlandsce atau bumiputera. Artinya dokter bumiputera masih di bawah keahlian dokter Eropa.

Suwardi seperti kebanyakan anak muda lainnya memilih belajar di Stovia karena murah, bahkan ada tunjangan beasiswa bagi anak bumiputera yang cemerlang. Meskipun statusnya keluarga bangsawan keraton, tapi kenyataannya kondisi keluarga Suwardi tak lebih kaya dari keluarga bangsawan rendahan atau rakyat biasa. Bisa jadi Suwardi malah sebenarnya tidak berniat menjadi seorang dokter bumiputera, mengingat sesudah lulus ELS dia sempat belajar pendidikan guru di Yogyakarta.

Suwardi tentu tak berpikiran bahwa ia akan menjadi bagian dari dinamika studi politik yang digerakkan oleh anak-anak muda belia itu. Belanda juga tak menyangka kalau para pemuda bumiputera ini akan menyalakan api perjuangan di Stovia. Kekeliruan Belanda yang menguntungkan kaum bumiputera adalah mendirikan Stovia di Weltevreden, di pusat kota pelabuhan Batavia. Welttevreden tidak hanya menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga merupakan pintu gerbang menuju dan dari dunia luar.

Sudah pasti anak-anak muda cerdas dari daerah itu terdorong untuk memanfaatkan kesempatan dan segala yang ada di kota untuk memperluas wawasan. Di sana mereka berkenalan dengan Douwes Dekker tokoh intlektual sekaligus jurnalis handal yang pro pada politik etis. Orangnya terbuka dan memberikan dorongan pada para pelajar Stovia itu untuk memperluas wawasan. Untuk itu dia menyediakan ruang baca dan perpustakaan di rumahnya. Douwes Dekker adalah sahabat dan guru yang mendorong dan mengajarkan anak-anak bumiputera yang cerdas dan berkemampuan bahasa Belanda untuk tak segan menuangkan gagasannya dalam tulisan.

Perjumpaan dengan intelektual seperti Douwes Dekker menjadi pemantik bara pergerakan kaum muda. Douwes Dekker tidak hanya memberikan andil pada perkembangan kesadaran kebangsaan kaum muda bumiputera, tetapi juga memberikan dorongan untuk menggunakan pena sebagai senjata. Tidak sedikit di antara anak-anak muda bangsawan rendahan yang cemerlang direkrut untuk membantu kerja

kewartawanannya. Melalui tulisan anak-anak muda itu mengawali gugatannya pada nilai budaya Jawa yang dianggap menghambat kemajuan.

Suwardi barangkali tak menyangka kalau di Stovia dia juga mendapatkan kesempatan belajar politik. Kebiasaan diskusi dalam lingkar studi bersama teman-teman pelajar Stovia memberikan pencerahan intelektual tentang ketidakadilan dalam struktur masyarakat kolonial. Suwardi tidak hanya paham secara teoritik tentang penindasan, diskriminasi kaum kolonial, tetapi memahami juga dari praktek ketidakadilan yang diberlakukan kaum kolonial di dalam internal Stovia. Banyak peraturan di Stovia yang diskriminatif yang menegaskan garis pemisah antara kaum kolonial dengan bumiputera. Peraturan juga dibuat untuk sengaja memecah sentimen kesatuan bumiputera dengan memberikan hak istimewa pada bumiputera kristen dan mengabaikan kebutuhan bumiputera non kristen.

Di Stovia Suwardi mengendapkan seluruh pengalaman kepahitan dan penderitaannya hidup di bawah penindasan kolonial. Pendidikan yang diperoleh dari orang tuanya dan pengetahuan modern yang diperoleh dalam diskusi bersama dengan sesama pelajar di Stovia membangkitkan kesadarannya sebagai anak bangsa yang bermartabat. Penghayatan akan nilai-nilai kemanusian dan pengalaman intelektual menjadi amunisi yang membakar komitmennya pada pembebasan. Perkembangan kondisi di Stovia mendesak Suwardi untuk menentukan sikapnya menghadapi kenyataan bangsanya yang miskin dan tertindas. Sikap

14 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

Page 15: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 15

Redaksi Soeara Taman Siswa, Jogjakarta, 1927

Taman Siswa, Blitar

Sekolah dokter

politik Suwardi dinyatakan melalui keterlibatannya pada pendirian organisasi Boedi Oetomo, meskipun tujuan Boedi Oetomo tidak mewakili sepenuhnya kehendak politiknya. Pandangan Suwardi tentang kebangsaan lebih luas dari dari sekadar Jawa dan Madura. Sikap politiknya pun lebih radikal. Sementara dari Boedi Oetomo pada akhirnya menegaskan keberadaannya bukan organisasi politik, tetapi organisasi sosial budaya yang keanggotan dan wilayahnya hanya menyakup Jawa dan Madura. Di Boedi Oetomo Suwardi masih bisa memenuhi kehendak politiknya ketika dipilih sebagai ketua Biro Propaganda.

Suwardi tidak bisa banyak melakukan kegiatan politik karena harus berhenti studi dan bekerja. Beragam data bicara tentang ini. Ada yang bercerita Suwardi berhenti

karena sakit. Tapi selepas dari Stovia Suwardi justru melakukan aktivitas lebih keras dengan bekerja di pabrik. Ada yang bercerita bahwa keluarga Suwardi tidak mampu membayar sekolah. Kan sesuai kebijakan Kolonial, Suwardi mendapat beasiswa? Data lain bercerita bahwa Suwardi dikeluarkan karena nilai-nilai studinya merosot setelah sakit beberapa lama dan tidak mampu mengejar ketinggalan pelajaran. Tapi ada yang

menafsir cerita itu hanya untuk menutupi niat pemimpin Stovia yang sebenarnya memang bermaksud mengeluarkan

Suwardi karena kegiatan propagandanya untuk membakar semangat perjuangan di lingkungan pelajar Stovia. Pemicunya ketika Suwardi membacakan sajak-sajak kepahlawanan.

Setelah keluar dari Stovia bara perjuangannya nyaris meredup. Visi perubahan nyaris tidak menemukan perwujudan ketika tahun pertama ia bekerja sebagai analis di pabrik gula di Purbalingga. Beragam peristiwa dan kepentingan terkait berkelindan yang kemudian mengarahkan Suwardi kembali pada keterlibatan politik.

Jalan perjuangan itu mulai terlihat lagi ketika Suwardi pindah ke Yogya. Suwardi mendapatkan tempat untuk menghidupkan kembali visi perjuangannya. Di sela waktunya sebagai pekerja apotik, Suwardi mengembangkan kemampuan kewartawananya dengan membantu beberapa surat kabar, termasuk surat kabar milik Douwes Dekker. Dengan pena Suwardi bicara, menuangkan pandangan-pandangan politiknya.

Douwes Dekker mengenal dengan baik Suwardi sebagai anak muda yang cerdas, punya pandangan politik yang jelas dan tegas. Karena itu ketika melihat kemampuan Suwardi di bidang kewartawanan ia mengundang Suwardi untuk pindah ke Bandung. Visi politiknya untuk pembebasan dinyatakan dengan keterlibatannya bersama Douwes

Dekker dan Cipto Mangunkusumo membidani lahirnya Indische Partij yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.

Berkali-kali tiga serangkai itu mengajukan ijin pendirian IP, berkali-kali pula merka ditolak. Penolakan tidak membuat mereka surut dan patah arang. Sebaliknya penolakan membuka kesadaran bahwa kemerdekaan bukanlah suatu pemberian. Kemerdekaan adalah martabat yang harus direbut, diperjuangkan. Komitmen mereka pada perjuangan menentang penindasan diuji ketika kaum bumiputera dipaksa membayar iuran untuk dana perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis. Suwardi dan

teman-teman berniat memobilisasi perlawanan dengan membentuk Komite Bumi Putera.

Sikap politik dan ketajaman penanya teruji mampu menikam lawan ketika Suwardi secara terang-terangan menentang sikap dan tindakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memaksa kaum bumiputera untuk membayar dana ulang tahun kemerdekaan Belanda. Sikap perlawanan itu dinyatakan dalam sebuah tulisannya, Andaikata Aku Seorang Belanda. Akibat tulisannya yang sinis bicara tentang ketidakadilan di tanah jajahan itu Suwardi dibuang ke Bangka. Awal Perubahan di Pembuangan

Sudah seringkali kita menerangkan bedanya pengajaran nasional dan kolonial. Yang pertama berkehendak mendidik intelek orang-orang Indonesia, supaya mereka itu kelak rakyat (staatburgers) yang jadi tiang atau penegak kehidupan tanah dan bangsa kita; yang kedua yaitu kehendak mendidik rakyat kita supaya mereka cakap menjadi pembantunya kekuasaan kolonial.

Minat Suwardi pada kebudayaan nampaknya tumbuh seiring dengan perkembangan kesadaran politiknya. Aspek kebudayaan yang banyak menarik perhatian Suwardi setidaknya adalah jurnalistik dan pengajaran. Minat pada pengajaran sudah diperlihatkan ketika ia selesai ELS ia melanjutkan ke sekolah guru (Kweekschool) di Yogya. Belum ditemukan data yang menunjukkan alasan kenapa kemudian Suwardi berhenti dari Kweekschool di tahun pertama dan pindah ke Stovia. Bisa jadi karena alasan ekonomi keluarga. Di Stovia sesuai dengan kebijakan pemerintah kolonial, Suwardi bisa mendapatkan beasiswa setelah lulus dari ELS, sementara di Kweekschool Suwardi harus menanggung sendiri beaya studinya. Saat itu keluarganya sudah bukan bangsawan kaya, tetapi keluarga bangsawan rendah yang harus hidup di luar keraton.

Sepertinya minat di budaya dan pengajaran muncul lagi ketika ia menerima hukuman pembuangan. Saat itu

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 15

Page 16: Jurnal AGSI edisi II

16 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 16

Suwardi seperti sudah berencana untuk melanjutkan studi pengajarannya. Karena itu ia mengajukan permohonan supaya dibuang ke Negeri Belanda supaya bisa melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru. Kemungkinan itu diperkuat dengan keinginan besar istrinya, yang juga ikut ke pembuangan, untuk belajar pengajaran. Sepanjang hidupnya di pembuangan sikap politiknya nyaris tak terlihat. Benarlah bahwa sampai di pembuangan Suwardi bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging). Namun tak banyak aktivitas politik yang dilakukan di dalam perhimpunan pelajar tersebut.

Sebagai pemuda yang berminat pada bidang kewartawanan, Suwardi juga tidak lagi produktif terutama pada tahun pertamanya di pembuangan. Tidak seperti Cipto dan Douwes Dekker yang sikap politiknya tetap membara dan jelas dinyatakan dengan menerbitkan surat kabar De Indier yang berhaluan politik radikal. Selama satu tahun pertama di pembuangan Suwardi tidak banyak memberikan kontribusi tulisan untuk De Indier. Sikap politiknya semakin kabur ketika Suwardi diminta kesediaannya mengasuh majalah Hindia Poetera milik perhimpunan pelajar Indonesia. Suwardi bersedia menerima tawaran itu dengan syarat majalah ini tidak berhaluan politik, tetapi berisi informasi umum yang dibutuhkan kaum Hindia Belanda.

Minat besar di bidang kebudayaan ditunjukkan dengan tekatnya mendirikan Biro Pers Indonesia (Indonesisch Persbureu) dan Suwardi menjadi direkturnya. Meskipun Biro ini merupakan bagian dari usaha Indische Partij namun Suwardi menjauhkan tujuan Biro ini dari kepentingan partai. Dengan menggunakan nama Indonesia sebenarnya sudah nampak benderang visi politik Suwardi. Rupanya sikap Suwardi merupakan bagian dari upaya membangun pendekatan budaya sebagai langkah strategis perjuangan di luar jalur radikal. Melalui program-program Biro Pers Indonesia Suwardi menerbitkan beragam risalah, monografi untuk menyampaikan informasi persoalan Indonesia yang dinilainya penting untuk diketahui masyarakat Eropa, khususnya orang-oang Belanda. Tujuannya adalah menarik simpati orang-orang Belanda pada bangsa Indonesia.

Tulisan-tulisan Suwardi di Hindia Poetera sudah begitu lugas bicara tentang pendidikan atau pengajaran, bahasa dan budaya Indonesia. Begitu juga dalam berbagai kesempatan bicara di depan perhimpunan pelajar Indonesia Suwardi banyak menyampaikan kritik kelemahan model pendidikan kolonial. Menurut Suwardi kelemahan sekolah kolonial bukan hanya masalah sistem, tetapi kelemahan yang lebih mendasar adalah azas pendidikan kolonial yang memandang bumiputera sebagai pelayan kepentingan Negeri Belanda. Saat itu Suwardi menekankan bahwa tujuan pendidikan Indonesia adalah menjadikan tuan atas bangsanya sendiri. Karena itu Suwardi menegaskan pendidikan kolonial harus diganti dengan pendidikan Indonesia. Dengan demikian sebenarnya selama di pembuangan Suwardi sudah menunjukkan komitmennya pada pengembangan pendidikan.Pendidikan Pembebasan: Pilihan Politis

Berbeda dengan sikapnya selama di pembuangan yang lebih tenang, kembali dari pembuangan Suwardi menjadi lebih revolusioner. Suwardi langsung terlibat di tiga wilayah kegiatan yang dijadikan basis perlawananya, yaitu politik praktis, jurnalistik, dan pendidikan. Di wilayah politik praktis Suwardi bersama kedua teman seperjuangannya, Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo bergabung di perhimpunan Insulinde. Untuk menyatakan haluannya yang

radikal revolusioner mereka mengubah Insulinde menjadi National Indische Partij (NIP).

Wilayah kedua adalah jurnalistik. Di wilayah ini Suwardi kebali menunjukkan keahliannya menikam pemerintah kolonial dengan pena. Berkali-kali Suwardi, begitu juga Dekker dan Cipto, dihukum karena presdelict. Tak ada kata surut. Perlawanan melalui tulisan justru semakin menguat saat ketiganya menjadi anggota redaksi De Expres. Tulisan Suwardi bukan hanya menyerang tindakan kolonial, tetapi juga membakar semangat perjuangan, dan menggalang dukungan dana untuk perjuangan pejuang dan pelajar Indonesia.

Wilayah ketiga adalah wilayah pendidikan. Penggolongan wilayah ini terlalu sempit. Tapi setidaknya yang dimaksud wilayah pendidikan di sini adalah kegiatan yang langsung bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan masyarakat. Sebagai tindak lanjut dari provokasi tulisannya untuk menggalang dukungan dari masyarakat, Suwardi dan teman-temannya mendirikan Komite Hidup Merdeka yang keanggotaanya dari berbagai latar belakang. Visi Komite ini adalah kemerdekaan, lepas dari ketergantungan dari pemerintah kolonial. Komite melakukan aksi-aksi nyata yang bertujuan meningkatkan keterampilan dan menyediakan peluang lapangan pekerjaan sendiri.

Dengan dukungan Komite Suwardi menyelenggarakan berbagai bentuk pendidikan kejuruan dan pendidikan guru. Di antara kegiatannya yang beragam Suwardi juga aktif sebagai anggota Barisan Kerja Adhi Dharma yang didirikan kakaknya, Suryopranoto. Meskipun di dalam Perkumpulan itu Suwardi dipercaya memimpin dan mengembangkan Sekolah Adhi Dharma yang dirintis Suryopranoto, namun nampaknya Suwardi belum menemukan azas dan prinsip-prinsip dasar pendidikan yang diidealkan.

Suwardi bukanlah yang pertama memilih pendidikan, sekolah, sebagai senjata menuju pembebasan. Kartini dan Dewi Sartika adalah dua tokoh perempuan yang berjuang meraih pembebasan bangsanya, kaum perempuan utamanya, melalui gerakan pendidikan sebelum Suwardi memimpin Adhi Dharma dan mendirikan Perguruan Taman Siswa. Sejak Boedi Oetomo berdiri dan memulai kegiatannya, banyak organisasi bergerak menyelenggarakan sekolah-sekolah untuk rakyat. Douwes Dekker pun, setelah National Indische Partij dibubarkan, mulai aktif mendirikan dan mengelola Sekolah Ksatrian di daerah jawa Barat yang berpusat di Bandung.

16

Page 17: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 17

Tapi bagi Suwardi pendidikan bukan hanya masalah pilihan strategis untuk melepaskan diri dari belenggu penindasan kolonialisme. Pendidikan juga bukan sekadar menyiapkan tenaga terampil yang siap menjadi tenaga kerja. Tujuan pendidikan adalah sejalan dengan tujuan hidup yaitu mencapai kemerdekaan dan kebahagiaan diri, kebahagiaan manusia, dan kebahagiaan bangsa. Kebahagiaan suatu bangsa apabila bangsa itu dipimpin oleh keadilan. Karena itu pendidikan tidak bisa diselenggarakan hanya untuk memenuhi kepentingan kelompok. Pandangan Suwardi ini sejalan dengan tema-tema besar yang selalu didiskusikan dalam Gerombolan Seloso Kliwon, sebuah ‘kelompok studi’ yang secara rutin, setiap Seloso Kliwon, menyelenggarakan pertemuan, diskusi, sharing tentang falsafah atau pandangan hidup.

Nampaknya Gerombolan Seloso Kliwon merupakan suatu entitas, kelompok intelektual pejuang, yang mengalami metamorfosis, terus bergerak untuk menemukan perubahan bentuk dan struktur yang semakin radikal. Keprihatinan tentang penderitaan, pandangan-pandangan hidup dan gagasan pembebasan semakin solid dan mengerucut dalam satu sikap yang sama yaitu menentukan pilihan bentuk perjuangan membebaskan bangsa Indonesia dari penindasan lahir dan batin. Pilihan itu ditetapkan pada tanggal 3 Juli 1922 dengan mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa yang berasaskan kebangsaan.

Metamorfosis itu mendapatkan wujudnya. Penetapan lahirnya Taman Siswa sekaligus menandai bubarnya Gerombolan Seloso Kliwon. Para tokoh anggota Gerombolan kemudian memegang berbagai tanggungjawab dalam struktur kelembagaan Taman Siswa. Suwardi Suryoningrat dipercaya sebagai Ketua Umum dengan vrij mandaat atau ‘tugas bebas’ karena sudah satu tahun sebelumnya memulai persiapan mendirikan Taman Indria dan Taman Guru sebagai bentuk sekolah pertama lembaga Taman Siswa. Sebagai wujud kesungguhan komitmennya pada visi pendidikan yang dikembangkan kelak Suwardi mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara.

Ketetapan untuk mendirikan Taman Siswa merupakan pilihan bentuk perlawanan yang tegas, mengingat di tahun-tahun itu pemerintah kolonial Hindia Belanda sedang gencar mengawasi keberadaan sekolah swasta tak bersubsidi. Satu tahun sesudah lahirnya Taman Siswa, atas dasar laporan Van Der Mulen, Direktur Pendidikan dan Peribadatan Umum, dikeluarkanlah Ordonansi No.134 (136) tahun

1923, yang mewajibakan setiap guru sekolah liar (Wilde Partikuliere Schooltjes) untuk melapor. Ordonansi itu tidak menyurutkan gairah perkumpulan pergerakan rakyat untuk terus menyelenggarakan pengajaran. Van der Mulen dalam memorandumnya menegaskan bahwa keberadaan sekolah liar tidak hanya menebarkan sikap asosial, tetapi sudah membahayakan secara politis. Berdasarkan memorandum tersebut lahir Ordonansi No.206 tahun 1925 yang memberi keleluasaan kepada para penguasa untuk memerintahkan

para guru menutup sekolah liar dengan alasan demi “ketertiban umum”.

Ordonansi itu terbukti lebih effektif melumpuhkan perkembangan sekolah liar. Terutama sesudah pemberontakan PKI tahun 1926 dan 1927, pemerintah kolonial mendapatkan legitimasi empirik untuk memberhentikan sekolah yang didirikan PKI dan organisasi lain macam Serikat Islam. Di tengah gempuran pemerintah kolonial menutup sekolah liar, di antara sinisme para guru, para bangsawan dan ketidakpercayaan para pegawai negeri inlander, Ki Hajar dan para pemimpin Taman Siswa, termasuk Nyi Hajar Dewantara, justru bergerak mendirikan sekolah-sekolah Taman Siswa di berbagai daerah.

Tahun 1932 Volksraad berhasil mengamandemen Ordonasi tahun 1932. Namun isi amandemen tidak menyentuh substansi. Amandemen tetap berisikan kewenangan untuk melakukan pencegahan munculnya sekolah liar. Amandemen yang tertulis dalam Lembar Negara (Indische Staatsblaad No. 494 tahun 1932) justru menyulut kemarahan luar biasa dari para pejuang pergerakan pendidikan. Akumulasi kemarahan itu berujung pada inisiatif Ki Hajar Dewantara untuk mengirimkan surat kawat kepada Gubernur jenderal. Dalam surat tersebut Ki Hajar Dewantara, sebagai pimpinan Taman Siswa, menyatakan sikapnya untuk melawan Ordonansi tersebut. Pada saat yang sama Ki Hajar juga menjelaskan sikap perlawanannya itu kepada para pimpinan organisasi-organisasi lain. Inisiatif Ki Hajar mampu mengarahkan kemarahan dan bentuk perlawanan yang juga telah dimulai organisasi-organisasi lain.

Surat Ki Hajar dan perlawanan pejuang-pejuang pergerakan pendidikan dari berbagai organisasi mendapatkan tanggapan dari Gubernur Jenderal. Tanggapan itu tertuang dalam laporan yang kemudian diterjemahkan untuk kemudian disebarkan. Isi pokok laporan itu menjelaskan bahwa dari hasil pemeriksaan di segala aspek pendidikan yang diselenggarakan Taman Siswa, menunjukkan bahwa Tama Siswa tidak semata-mata sebagai organisasi sekolah, tetapi sebagai suatu gerakan kebudayaan.

Dalam perjalanan panjang berikutnya Taman Siswa tidak hanya menunjukkan kemampuannya sebagai organisasi pendidikan melainkan menunjukkan keberadaannya sebagai wujud gerakan kebudayaan. Di samping anggota Gerombolan Seloso Kliwon, Sarmidi Mangunsarkoro dan para guru Taman Siswa pertama adalah tokoh-tokoh yang ikut menentukan keberadaan Taman Siswa sebagai gerakan budaya yang menjunjung martabat bangsa.

Daftar Bacaan

Budiawan, Anak Bangsawan Bertukar jalan, Yogyakarta, LkiS, 2006

Harry A. Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang-orang Indonesia di Negeri Belanda 1600- 1950, Jakarta, KPG, 2008

Moch Taucit (Ket), Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pendidikan, Yogyakarta, Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962

Kees Van Dijk, Netherlands Indies and The Great War 1914 – 1918, Netherlands, KITLV, 2007

Slamet Muljana, Prof.Dr, Kesadaran Nasional dari Kolonial Sampai Kemerdekaan, Yogyakarta, LkiS, 2008

Surja Sudrajat.A, Tapak-Tapak Pejuang: Dari Reformis ke Rivisionis, Jakarta, Erlangga, 2006

Page 18: Jurnal AGSI edisi II

18 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

TOKO PERTAMA DI HINDIA BELANDA YANG MENJUAL BARANG DENGAN HARGA PASTI

(Ilustrasi: foto Tio Tek Hong, barang-barang yang dijual)

Di kebanyakan toko yang pemiliknya warga Tionghoa atau warga keturunan, hal yang yang paling khas dijumpai adalah menjual barang dengan harga pasti (vaste prijs). Pembeli tak perlu repot tawar-menawar yang berbelit-belit. Dengan harga pasti tersebut, pembeli juga tak perlu takut dibohongi atau khawatir tingginya keuntungan yang ingin diperoleh sang penjual. Harga yang ditentukan pasti sudah termasuk harga yang menguntungkan penjual secara proporsional. Di samping itu, kualitas barang juga cukup terjamin. Tetapi tahukah kita siapa yang memulai kebiasaan itu?

Dalam buku kenangan kondisi Batavia tahun 1882-1959 karya Tio Tek Hong, disebutkan bahwa toko pertama yang menjual barang dengan harga pasti adalah toko NV Tio Tek Hong. Pemiliknya bernama Tio Tek Hong dan saudaranya, Tio Tek Joe. Toko ini berdiri tahun 1902 di daerah Pasar Baru. Awalnya menjual keperluan berburu seperti senapan dan mimis. Pada tahun 1904 juga mendatangkan phonograph dan yang paling terkenal adalah menjual plaatgramofoon. Lewat penjualan plaatgramofoon tersebut, NV Tio Tek Hong ikut menyebarluaskan lagu-lagu Melayu, keroncong, Stambul, dan sebagainya ke seluruh wilayah Nusantara. Toko ini kemudian sempat menghasilkan keuntungan besar bagi pemiliknya. Dimasa Perang Dunia I (1914-1918), kapal-kapal Eropa pengirim alat musik terkena torpeda kapal selam Jerman. Akibatnya harga plaatgramofoon meroket karena kelangkaan barang sedangkan pesanan tinggi. Dan NV Tio Tek Hong diuntungkan karenanya (Taat-ISSI).

18 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

Page 19: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 19

KARTINI BERKIMONODari kiri ke kanan: Soematri, Roekmini, KARTINI, Kartinah, berpose dengan pakaian kimono. (Sumber: KITLV pictura)

Foto ini kemungkinan diambil di Rembang, diperkirakan pada tahun 1903. Bila mencermati tahun pembuatannya, sepertinya tepat, mengingat Kartini tampak sedang hamil. Perutnya agak besar dan dia tidak mengenakan obi (kain pengikat) seperti saudara-saudaranya. Cara duduknya juga agak ke belakang. Ini juga berarti, foto diambil hanya beberapa bulan sebelum ia meninggal.

Dalam koleksi KITLV pictura, ada sekitar 45 foto perempuan warga Hindia Belanda dalam pakaian kimono Jepang lengkap dengan obi. Kadang kala, sambil memegang kipas atau payung Jepang. Kebanyakan perempuan dengan pose tersebut adalah Belanda totok atau indo. Di luar itu hanya satu, yaitu foto di atas dan tiga foto lain yang merupakan perempuan asli Jepang di Hindia Belanda. Foto-foto dengan pose budaya Jepang ini,

rata-rata diambil antara tahun 1895-1910. Hanya ada sekitar lima foto saja yang diambil sekitar tahun 1930. Hal ini menunjukkan kondisi bahwa pakaian kimono untuk foto studio atau pose dengan menggunakan budaya Jepang ini, sedang menjadi trend di masa itu.

Kalau remaja-remaja masa kini mengetahui foto Kartini dan saudari-saudarinya dengan pose seperti ini, besar kemungkinan akan dikenal sebagai sosok yang lebih dekat dengan remaja pada umumnya. Mereka sama halnya dengan remaja masa kini yang berupaya selalu tidak ketinggalan jaman, tidak ketinggalan segala hal yang sedang menjadi trend. Hal ini menegaskan pula bahwa dengan melihat foto ini, sosok Kartini dapat dikenal lebih dekat dan bukan dari dunia antah berantah yang begitu jauh (dewi kerajaan antah berantah) dan terlalu agung. Tanpa mengurangi nilai perjuangan Kartini, pandangan yang terlalu mengagungkan kadang justru menjauhkan remaja jaman sekarang untuk menghargai nilai-nilai perjuangan sang emansipasitor perempuan Indonesia. (Th. J. Erlijna dan Taat Ujianto-ISSI)

PABRIK ES PERTAMA

DI BATAVIA

(Foto Bioscope Capitol, Pintu Air Pasar Baru)Di belakang Bioscope Capitol ini, sempat berdiri pabrik es pertama di Batavia

Bangsa Eropa yang datang ke Batavia pasti harus beradaptasi terhadap iklim tropis. Mereka pasti sangat membutuhkan pendingin dari hawa panas yang menyengat, salah satunya dengan mengkonsumsi es batu. Es batu kala itu menjadi barang mahal sebab belum bisa diproduksi di Batavia dan harus impor dari Eropa. Teknologi modern yang telah berkembang di Eropa belum merambah tanah Hindia Belanda. Baru sekitar tahun 1870, pabrik es batu pertama berdiri yaitu Pabrik Es Petojo, berlokasi di Prapatan, di pinggir Ciliwung. Hanya sayang, informasi yang cukup akurat tentang keberadaan pabrik es Petojo, tentang siapa pendirinya, bagaimana pengolahannya, ini jarang ditemui dalam dokumen

sejarah. Memang, besar kemungkinan, pengambilan lokasi dekat dengan Ciliwung, berkaitan dengan bahan mentah yang dibutuhkan pabrik es tersebut. Di masa itu, air Ciliwung masih sangat jernih dan menjadi sumber air minum warga Batavia. Namun, informasi ini pun sulit diperoleh.

Dalam buku kenangan kondisi Batavia tahun 1882-1959 karya Tio Tek Hong, diceritakan bahwa setelah berdiri pabrik es Petojo, juga sempat beberapa lama berdiri pabrik es yang diurus oleh seorang Belanda bernama Batten. Pabrik es ini berada dekat Pintu Air di belakang Bioscope Capitol, daerah Pasar Baru. Harga es tiga sen se-pond, dan dijual dengan diedarkan oleh anak-anak ke kampung-kampung. Selain es batu, pabrik ini juga mengolah air kelapa yang dikeraskan dan diberikan pegangan dari bambu sehingga menjadi seperti ”sate es air kelapa.” (Taat-ISSI).

Page 20: Jurnal AGSI edisi II

20 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

Dalam menapaki usianya yang ke empat di tahun 2011 ini, Asosiasi Guru Sejarah Indonesia telah melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan mengembangkan wawasan dan pengetahuan guru sejarah d seluruh Indonesia. Pada tahun 2011 ini, selain melanjutkan penerbitan jurnal AGSI sebagai media komunikasi dan informasi, AGSI merencanakan sebuah seminar nasional kesejarahan yang akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2011. Seminar ini diharapkan dapat dihadiri oleh perwakilan guru sejarah dari tingkat kabupaten kota dan provinsi dari seluruh Indonesia. Seminar nasional dengan pembiayaan secara swadaya ini akan mengambil tema “Kebudayaan Nasional Dalam Prespektif Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Sejarah”

Seminar ini nantinya akan menghadirkan sejumlah narasumber yang kompeten dalam bidangnya, terutama para pakar yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas dalam konteks pembelajaran sejarah khususnya dan pendidikan pada umumnya. Memang bukan merupakan hal yang baru mengangkat tema Kebudayaan Nasional dalam kegiatan seminar, simposium, diskusi panel, maupun dalam lokakarya-lokakarya baik yang diselenggarakan secara regional maupun nasional, tetapi hasilnya belum secara substansif masuk ke ruang-ruang pendidikan sebagai rambu-rambu atau acuan yang dapat mewujudkan karakter bangsa anak didik seperti yang dicita-citakan. Menjadikan akar-akar kebudayaan nasional menjadi jiwa bagi penanaman karakter bangsa peserta didik, harus diawali dengan rancangan sedemikian rupa, sehingga dalam proses pencapaiannya dapat memunculkan sikap saling menghormati antar manusia, meskipun berada dalam perbedaan dan keragaman dari kearifan lokal yang dimiliki. Mencintai kemajemukan sebagai dasar-dasar dalam menjadi Indonesia, yang tampak masih sangat rapuh secara politis, meskipun dalam prosesnya secara terus menerus telah dibingkai dalam konsep negara hukum yang demokratis.

Jika kita mencoba menggali kembali pemikiran Ki Hadjar Dewantara – yang telah melakukan koreksi terhadap sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah

kolonial Belanda – mengatakan bahwa: pendidikan nasional menurut paham Taman Siswa adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup bangsanya (cultureel nationaal), dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977). Di sini nampak bahwa pandangan Ki Hadjar terhadap pelaksanaan pendidikan sangat bersifaf futuristik, memandang jauh ke depan, yaitu jangan mencabut pendidikan dari akar budaya bangsanya. Sistem pendidikan nasional hendaknya bertumpu pada lingkungan kebangsaan Indonesia yang sangat majemuk, baik dari segi etnik, tradisi, bahasa dan agama dengan karakteristik masyarakat nusantara. Hal ini sejalan dengan apa yang diucapkan Bung Karno, “Men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan niet onderwijzen wat men will, men kan allen onderwijzen wat men is” (Giat Wahyudi,2007:141).

Di samping itu, AGSI juga bekerjasama dengan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) sebuah lembaga masyarakat tempat berkumpulnya para sejarawan muda yang kreatif dan penuh dedikasi dan memiliki kepedulian tinggi terhadap pembelajaran sejarah, untuk menggarap bahan ajar yang berlatar tokoh inspiratif. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik lebih mengenali para pelaku sejarah yang pemikiran atau tindakannya telah memberikan inspirasi bagi perjuangan dan kemajuan bangsa dalam berbagai bidang. Bahan ajar yang akan diberikan sebagai pelengkap pembelajaran ini disajikan dalam bentuk visual sehingga mudah dicerna oleh peserta didik yang hidup dalam era digital ini.

Kegiatan AGSI lainnya di tahun 2011 ini adalah penerbitan jurnal berkala, dimana peluncuran perdananya telah diselenggarakan pada bulan November 2010 yang lalu di gedung A Kementrian Pendidikan Nasional. Dalam acara peluncuran tersebut hadir bapak Prof. Dr. Fasli Jalal wakil menteri pendidikan nasional yang telah berkenan menjadi pembicara pembuka di depan sekitar 150-an guru sejarah dari wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Jawa Barat dan Banten yang mewakili sekolah-sekolah menengah

20 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // MARET 2011 20 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // MARET 2011

PROGRAM A G S I2 0 1 1Jakarta, medio Februari 2011 Oleh : Ratna HapsariKetua Umum AGSI

Page 21: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 21

negeri dan swasta. Dalam kesempatan ini pula AGSI telah mengundang bapak Prof. Dr. S. Hamid Hasan, guru besar sejarah dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan bapak Prof. Dr. Susanto Zuhdi guru besar sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang berkenan menjadi narasumber dalam diskusi tentang seputar pembelajaran sejarah yang berlangsung di sekolah menengah saat ini. Secara umum diperoleh kesimpulan tentang perlunya dikaji kembali kurikulum pendidikan sejarah yang dirasakan terlalu padat, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan pendidikan nilai yang merupakan bagian penting dari keseluruhan proses pembelajaran sejarah. Di samping itu, muncul harapan dari para guru sejarah yang hadir, agar materi sejarah yang disampaikan kepada siswa tidak dipilah-pilah antara materi sejarah untuk program IPS, IPA dan Bahasa, dan untuk semua program memperoleh alokasi waktu yang sama yaitu 90 menit per minggu. Semua hasil diskusi kemudian dikemas dalam bentuk rekomendasi tertulis dan disampaikan secara langsung kepada wakil mentri pendidikan nasional, dimana dalam kesempatan ini pula, beliau berjanji untuk memfasilitasi AGSI, Pusat Kurikulum dan BSNP, untuk dapat bertemu dan mengkaji ulang materi esensial untuk pembelajaran sejarah di sekolah menengah.

Menerbitkan jurnal dengan menjaga konsistensinya memang bukan perkara mudah, apalagi para penanggung jawab penerbitan merupakan guru-guru yang masih aktif mengajar di berbagai sekolah, sehingga dapat dibayangkan ketika tenggat waktu penerbitan semakin dekat kesibukan yang luar biasa terjadi di bagian redaksi. Namun karena komitmen yang tinggi maka penerbitan dapat berjalan sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan. Penerbitan jurnal akan mengangkat berbagai tema, jika terbitan kedua ini bertema “Pembelajaran Sejarah Inspiratif Berbasis Pelaku Sejarah,” maka pada terbitan yang ketiga kami akan mengambil tema “ Peran Guru Sejarah Dalam Membangun Perdamaian”. Tema ini didasari oleh adanya fenomena kekerasan, dan munculnya konflik horizontal dengan berbagai latar belakang yang semakin sering terjadi,

telah cukup meresahkan dan melahirkan keprihatinan terhadap keberlanjutan terwujudnya integrasi bangsa. Dari keprihatinan ini muncul gagasan untuk membekali peserta didik pengetahuan dan pemahaman tentang hak asasi manusia (HAM) melalui pendekatan peristiwa peristiwa sejarah. Untuk kepentingan ini maka AGSI bersama dengan sejumlah elemen masyarakat (JSKK, Kontras dan unsur-unsur dari Komnas HAM) sedang menyusun sebuah buku panduan pembelajaran sejarah berbasis HAM yang dapat digunakan guru sebagai program pengayaan. Dalam panduan ini akan disampaikan pemahaman dasar tentang HAM, seperti kebebasan, toleransi, demokrasi, keberagaman dan lain-lainnya. Panduan yang akan disusun dalam bentuk modul dan disusun sedemikian rupa diharapkan dapat membantu para guru sejarah dalam mengembangkan pengetahuan dan wawasan peserta didik terhadap pentingnya memahami HAM yang akan sangat berguna ketika peserta didik terjun ke masyarakat. Buku panduan ini kami rencanakan dapat dibagikan secara cuma-cuma kepada para guru sejarah melalui perwakilan AGSI setelah dilaksanakan sosialisasi di Jakarta dan Malang.

Dalam terbitan ketiga nanti, kami juga akan menambah satu rubrik tanya jawab seputar kegiatan guru dalam pembelajaran sejarah, terkait dengan materi, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), sistem evaluasi, metode, bahan ajar, analisis kurikulum dan lain-lain. Silahkan mengirimkan pertanyaan-pertanyaan Anda melalui email redaksi kami: [email protected]. Kami akan mencoba untuk memberikan tanggapan atau solusi secara ilmiah dan sistematis, karena hal ini diharapkan dapat menunjang salah satu tujuan AGSI yaitu memperluas wawasan dan pengetahuan guru dalam penguasaan substansi pelaksanaan pembelajaran sejarah di sekolah.

Ratna Hapsari

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 21

Page 22: Jurnal AGSI edisi II

22 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

Identitas

Namaku Sitti Fadhilah, orang sering salah menulis namaku dengan hanya memakai satu huruf “t” pada kebi-asaan nama-nama siti untuk daerah-daerah yang pakai siti dengan arti tanah. Namaku bukan berarti tanah, tetapi dari bahasa Arab yang berarti perempuan. Begitu juga dengan kata berikutnya yaitu fadhilah yang berarti keistimewaan. Orang suka salah menuliskan double letter L, atau tidak me-makai letter H setelah D. Hal itu akhirnya membuat aku me-mahami, bahwa; walaupun penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, belum tentu 10%-nya memahami bahasa yang digunakan oleh kitab sucinya, atau bahasa yang digu-nakan oleh buku pedoman hidupnya di dunia.

Mengapa aku memulai dengan menjelaskan tentang arti namaku? Karena, hal itu nantinya menjadi latar belakan-gku menjalani langkah-langkah pengalamanku dalam men-garungi kehidupan ini. Aku bersyukur dengan keistimewaan yang diberikan Tuhan melalui kedua orang tuaku. Bayang-kan, ketika putra pertamaku sudah duduk di TK Labschool Rawamangun, aku lulus perintis IV, yaitu sebuah program penerimaan mahasiswa baru IKIP Jakarta tahun 1979. Pada-hal boleh dikatakan, ibu rumah tangga muda sepertiku saat itu, mana pernah melihat buku lagi selama mengurus anak. Ketika aku merasa tidak ada harapan untuk mendaftar ul-ang ke IKIP Jakarta setelah tanpa terduga lulus --karena se-mua berkasku hilang entah di Bajaj, entah di Puskesmas Raw-amangun saat mengurus kartu kesehatan-- tiba-tiba pegawai fotocopy kampus menemuiku, karena semua berkasku yang hilang tersebut rupanya tertinggal di sana. Begitulah aku tidak pernah berhenti bersyukur kepadaNya yang membuat-ku dapat mengabdikan diriku dalam dunia pendidikan dan dalam kehidupan berumah tangga selama ini.

Memilih Jurusan Sejarah

Mengapa aku memilih jurusan sejarah, hal ini punya se-jarah yang terkait juga dengan arti namaku. Ketika di PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) Padang, aku sangat me-nyukai ilmu jiwa perkembangan, ketika kami memperoleh materi itu untuk persiapan menjadi guru agama. Lagipula, pada tahun 1979, jurusan yang dibuka untuk lulusan PGAN tahun 1974 hanya empat yaitu: Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Olah Raga dan Sejarah.

Kenapa kemudian aku memilih Sejarah? Karena, ke-tika belajar di tingkat SD kelas 5, aku bertiga dengan teman sebangku pernah ditampar guru pakai buku Sejarah akibat asyik mengobrol waktu bapak guru menjelaskan tentang

Ken Dedes yang betisnya bercahaya saat turun dari kere-ta dan dilihat oleh Ken Arok.

Pada waktu kuliah sampai mengajar awal, belum terlihat apa yang kuharapkan selain mengamal-kan Ilmu yang kuperoleh di bangku kuliah. Aku mencari lokasi mengajar di sekolah yang dekat dari rumah. Lima tahun pertama, aku tidak se-gan-segan melempar penghapus ke siswa yang tidak memperhatikan aku bercerita di depan kelas sampai kepalanya berdarah, namun salah sasaran. Siswa yang terkena peng-hapus itu bukan yang aku tuju. Be-gitulah keadaannya.

Kemudian aku makin bertambah umur, bertambah pendidikan. Oh ya, aku mendapat kesempatan kelongga-ran waktu dan bantuan biaya untuk menjalani kuliah S2 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), di saat umurku lima pu-luh tahun. Bertepatan juga ketika Kaprodi (kepala program studi) Teknologi Pendidikan, Prof. Dr Diana Nomida Musnir memperoleh izin membuka prodi Pendidikan Sejarah di Pasca UNJ pertama kalinya tahun 2006, aku jadi berharap dapat memberikan pendidikan karakter pada anak-anak SMA. Walaupun sebelumnya banyak mantan siswaku yang dengan bangganya mengatakan, ”Bu, aku dapat di UI juru-san sejarah,” atau ”Bu, aku dapat di IKIP jurusan sejarah,” atau ”Bu, aku dapat di UNJ jurusan sejarah.” Baru pada kuli-ah S2, aku punya kesadaran untuk menggarap hal tersebut.

Membuat Inovasi Pembelajaran Sejarah

Saat kuliah S2, aku merasa punya kesadaran bahwa salah, jika dalam mengajar sejarah aku terpaku hanya pada transfer keilmuannya saja. Menginjak tahun 2006, aku men-yadari perlu merombak silabus yang ada. Aku dengan sa-dar menambahkan indikator-indikator yang berhubungan dengan eksplorasi nilai-nilai luhur dalam silabus. Yah, walau agak terlambat, tetapi lumayan dari pada tidak sama sekali bukan? Berikut contoh silabus untuk satu konpetensi dasar yang aku buat. Tulisan yang tercetak tebal adalah pengem-bangan Kompetensi Dasar (KD) yang asli dari BSNP.

Sitti FadhilahUMUR MAKINBERTAMBAH, MAKIN BERSEMANGAT DALAM MENGAJAR SEJARAHKesaksiaan tentang 26 TahunMengajar Sejarah

Page 23: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 23

Kompetensi Dasar

Materi Pembelajaran

Kegiatan Belajar

Indikator Aspek/Bentuk

penilaian

Alokasi Waktu

Sumber Bahan

1 2 3 4 5 6 7

1.1M e n g a n a l i -sis peristiwa sekitar 17 Agustus 1945 dan pemben-tukan Pemer-intahan Indo-nesia.1.1.aMengahayati tanpa campur tangan Tu-han mungkin tidak terlak-sana Prokla-masi

1.1bMempresen-tasikan apa yang sudah dihayati dan dikuasai.

Peristiwa sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945

Peristiwa Rengas Dengklok

Perumusan Teks Proklamasi

D e t i k - d e t i k Proklamasi

Pembentukan Badan-badan kelengkapan negara- Pengesahan UUD 45 dan pemilihan Pres-iden dan Wakil Presiden- Pembagian Daerah- Pembentukan Lembaga- lembaga Negara

Mendengar dan menang-gapi eks-positori guru mengenai cerita ten-tang keadaan Jakarta pra & pasca prokla-masi

Menelaah peristiwa Seki-tar Proklamasi 17 Agustus 1945 dan pembentukan Pemerintah Indonesia melalui pre-sentasi

Mendeskripsikan Situasi dan kondisi Jepang pada waktu pelantikan PPKI

Mendeskripsi arti peristiwa Rengas Dengklok bagi proklamasi

Mendeskripsikan arti Rumah Maeda bagi Teks Prokla-masi

Mengidentifikasi situasi pada detik-detik Proklamasi

Membandingkan badan-badan kelengkapan negara pada awal Kemerdekaan den-gan masa refor-masi sekarang

Post tes/ Blok 1/ cog-netif

Afektif den-gan skala sikap dalam proses pembelaja-ran

Psikomotor dengan kat-egori frek-wensi dalam penampilan ketika pre-sentasi

6 X 45 menit(2 minggu)

1.Sejarah Nasional Indonesia dan Umum Kelas XII, SMA, I Wayan Badrika, Penerbit Erlangga. Jakarta

2. Sejarah Kelas XII,SMA, Penerbit Cempaka Putih, Solo.

3. Sejarah Umum SMA, Kelas XII,Penerbit Gane-sha Exsak, Band-ung.

4. Novel ’Larasati’ Pramodya Ananta Toer;lentera Dipantara; Jakarta 2003

PENGEMBANGAN SILABUS

Program : IPSKelas/Semester : XII / IStandar Kompetensi : 1. Menganalisis perjuangan bangsa Indonesia sejak Proklamasi hingga lahirnya Orde Baru

Bagaimana siswa memunculkan perilaku menghayati jika guru tidak menyentuh jiwa anak didik dengan cerita sejarah? Sementara kita berpendapat; jika guru hanya ber-cerita akan mengakibatkan materi pelajaran tidak tercapai. Maka untuk mengatasi hal tersebut, aku memakai metode pembelajaran gabungan: ekspositori, pemberian tugas, dan presentasi siswa. Ekspositori, ketika aku bercerita den-gan tanya jawab menggali penghayatan siswa, sengaja aku menambah dari sumber lain untuk menggali cerita yang dramatis. Misalnya menggunakan novel ’Larasati’ yang dit-ulis oleh Pramodya Ananta Toer. Berikut cukilan dari novel tersebut yang aku gunakan sebagai bahan ajarku.

Keadaan Jakarta Pasca Proklamasi,

Toer, Pramodya Ananta. 2003. Larasati. Jakarta: Lentera Dipantara.

Hal 40: Jepang-Jepang itu me- nyerah, dilucuti, setelah pertempuran, di antaranya tewas, di antaranya ada juga yang dibunuh.

Hal 43: Bumi penjajahan, hancur-menghancurkan, sedang mereka yang tidak menghancurkan,

Page 24: Jurnal AGSI edisi II

24 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

adalah yang menjadi landasan hidup binatang ini.

Hal 45: Para hartawan, para cendikiawan begitu sinting mengelilingi dan menguber-uber Larasati (bintang film). Mereka jadi hartawan dan cendekiawan karena pergulatan dan perjuangan yang lama. Sedangkan dia (Larasati), hanya dari revolusi, revolusi melingkupi pengalaman puluhan abad. Revolusi melingkupi buku ribuan jilid.

Hal 59: Sel dalam penjara di Jakarta, dingin dan lembab. Sebuah bale beton yang tidak cukup panjang, memanjang pada dinding. Seorang kurus kering semacam papan tergeletak di atasnya. Di samping kepalanya, terletak kaleng mentega berisi air, dan di atasnya mengam- bang kotoran tenggorokan bercampur darah. Orang di bale itu, tak bergerak, matanya seten- gah mendelik, dadanya yang tipis turun-naik sewaktu bernafas dengan susahnya. Dan suara perlahan mengerikan keluar dari tenggorokan, tiap kali ia menarik dan menghembuskan nafas. Dari bekas yang terlihat di tangannya diketahui dia habis digantung pada tangan yang dipulir ke belakang. Dia habis digantung lama. Marjohan datang menghampiri Larasati; “Itu pun bisa menimpa dirimu Ara”.

Hal 75: Buka tasnya itu! Kata kakek itu. Si nenek mengeluarkan 4 lembar ORI dari Rp 500-an. Uang apa itu? Uang merah? (uang Nica yang dikeluarkan kekuasaan Hindia- Belanda untuk menghadapi ORI) Jepang? Ori belum banyak dikenal di daerah pendudukan (Jakarta). Me- mang baru 2 hari dikeluarkan oleh Pemerintah agung di Yogya.

Hal 76: Uang Jepang tak laku lagi nilainya 100 = 1 ORI Tongkat itu jatuh ke lantai tanah. Lengan kakek gemetar merampas lembaran-lembaran itu dari tangan nenek, dibelainya dengan gugup, mata tuanya kehilangan pelotototannya kini berkaca- kaca sayu. Dia ciumi uang itu, tenggelam dalam perasaan yang berlebihan.

Hal 92: “Aku lebih suka mengubur 10 orang yang tidak aku kenal dari pada kehilangan dari seorang anak buahku.”

“Sekalipun yang 10 yang tak kau kenal itu pejuang juga?” pemimpin itu terdiam. Sekilas Larasati dapat mengerti. Pasukan pejuang ini tak punya hubungan dengan kesatuan yang lebih besar, mereka bergerak dengan inisiatif sendiri.

Hal 107: Larasati terduduk kejang di ambin; air mata meleleh sejadi-jadinya. Tidak. Tidak mungkin revolusi kalah. Kalau revolusi kalah tidak mung- kin karena mereka kurang berjuang, tapi pasti karena para penguasanya yang berkhianat.

Hal 174: Maka datanglah hari itu, dimana yang kelapa- ran lupa dengan kelaparannya, pencopet lupa pada keahliannya, maling lupa dengan kewajibannya! Orang berduyun-duyun mem-

banjiri Merdeka Utara menyambut Presiden Sukarno dari Yogyakarta, menggantikan Gubernur Jendral Hindia Belanda sebagai Presiden sementara Negara RIS.

Hal 177: “Kita nikmati hasil revolusi, itu hak kita, Ara” kata Oding yang sekarang sudah menjadi seorang perwira. Seperti anak kecil yang baru menerima hadiah ulang tahun, dia memperkenalkan dengan riang. Lihat radio, Dua belas lampu Philip, barang seperti ini tidak pernah kita punya. Hanya kemenangan revolusi, kemenangan kita yang mampu memberikan barang semacam ini, mulai hari ini semua ini mulai kita nikmati bersama

Pemberian tugas diberikan ketika pertemuan awal semester. Hal ini penting agar semua siswa selain mengetahui apa saja materi sejarah yang akan dibahas pada semester ganjil kelas XII, juga agar masing-masing kelompok menguasai dan menghayati bagian materinya setiap satu minggu. Sengaja aku membuat tujuh kelompok materi sesuai dengan jumlah KD dalam semester ganjil/ awal.

Berikut tugas yang aku berikan pada siswaku.

TUGAS AWAL SEMESTER KELAS XII- IPS

Jenis : Membuat resume hasil membaca serta mempresentasikannyaUkuran : 2 halaman buku tulisDeadline : mingguPeserta : semua siswa anggota rombongan belajarSumber : Wurjantoro Edhie. (1996). Sejarah Nasional dan Umum 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Hariyono. (1995). Mempelajari sejarah Secara Efektif. Jakarta, PT Dunia Pustaka jaya, Soekmono R. (1984) Pengantar Sejarah, Sejarah Nasional Jilid 4-6, Sartono Kartodirjo, Buku-buku sejarah kelas XII yang berhubungan dengan topik, dan sumber dari elektronik.

Materi I

1. Peristiwa sekitar proklamasi 2. Peristiwa Rengas Dengklok 3. Perumusan Teks Proklamasi 4. Detik-detik Proklamasi 5. Pembentukan badan kelengkapan negara (Pengesahan UUD 1945 & pemelihan Presiden dan Wakil, Pembagian Daerah, Pembentukan lembaga-lembaga negara )

Materi II

1. Keadaan ekonomi-keuangan pada awal ke merdekaan s/d 1950 2. Perkembangan kehidupan politik pada awal kemerdekaaan s/d 1950 3. Perjuangan diplomasi dan konfrontasi

Materi III

Pemberontakan- pemberontakan 1. PKI Madiun 1948

Page 25: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 25

2. DI/TII 3. Andi Aziz 4. APRA 5. RMS 6. PRRI/PERMESTRA 7. G.30.S / PKI

Materi IV

1. Perubahan sistem politik di Indonesia sejak merdeka 2. Perubahan Ekonomi Awal kemerdekaan sampai dengan masa demokrasi terpimpin 3. Perubahan masyarakat di Indonesia

Materi V

1. Pengertian Orde Baru 2. Ciri-ciri kebijakan pemerintah orde Baru 3. Proses dan dampak menguatnya peranan pemerintah pada masa orde baru

Materi VI

1. Sebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru 2. Faktor-faktor penyebab munculnya tuntutan dan proses terjadinya Reformasi

Materi VII

1. Perkembangan Politik dan ekonomi pada masa Reformasi 2. Perubahan masyarakat Indonesia pada masa Reformasi

Jakarta 17 Juli 2011Guru Sejarah kelas XII IPS

Dra. Hj. Sitti Fadhilah M. PdNIP : 131 471 575

Tugas presentasi oleh siswa berfungsi untuk mengeta-hui sampai di mana siswa mampu menguasai dan menghay-ati materi ajar yang diwajibkan kurikulum. Kadang-kadang aku takjub dengan kemampuan mereka melengkapi sum-ber dari berbagai media cetak sampai elektronik. Kekuati-ran bahwa materi sejarah tidak terbahas semua, ternyata menjadi suatu hal yang tidak mungkin terjadi.

Metode mengajar yang pernah aku pakai, tentu saja pada awalnya aku suka berceramah saja. Pernah aku ke-hilangan suara pada awal-awal aku menjadi tenaga honorer di SMA 36, karena modalku cuma suara, sementara kelas yang aku ajar seminggu sampai 42 jam pelajaran. Lama-lama, aku berfikir bagaimana mengatasi hal tersebut. Aku kombinasikan metode ceramah dengan pemberian tugas. Kemudian berlanjut dengan pembagian tugas kelompok untuk satu semester pada awal tahun ajaran, sehingga siswa yang ceramah untuk teman-temannya bergantian, dengan bahan ajar yang sudah ditentukan dan disiapkan oleh siswa sebelumnya. Aku tinggal melakukan penguatan dalam bidang materinya.

Sejak tahun 2006 sampai sekarang, aku menggunakan infocus dan netbook untuk mengajar di kelas. Sedangkan metode kombinasi tetap aku pakai yaitu sekarang kombi-nasi antara metode ekspositori nilai, diskusi dan presentasi

materi oleh siswa. Dengan proses sebagai berikut: dimulai dengan melakukan ekspositori dengan bahan ajar Ppt yang lebih banyak gambar atau cukilan dari novel yang aku baca yang sangat berkaitan dengan bahan ajar. Dari sini diek-plorasi nilai-nilai yang terkandung dengan diskusi bersama siswa. Kemudian, siswa yang sudah ditugaskan membuat ppt materi, maju ke depan untuk presentasi materi sambil berdiskusi dengan siswa di kelas. Kemudian guru memberi penguatan dengan pertanyaan yang mengarah pada kes-impulan yang diinginkan. Terakhir memberi tugas mandiri, membuat kesimpulan dari materi dan nilai luhur. Respon siswa cukup bagus. Hal ini terbukti dari suasana kelas yang cukup hidup, tidak ada yang lupa membawa flashdisk tem-pat menyimpan tugas. Namun, saat ulangan harian bersa-ma, tetap ada yang remedial.

Bahan ajar yang digunakan oleh kami (aku dan siswa) di kelas, adalah bahan ajar yang sudah dikemas dalam program ppt yang sumbernya tidak terbatas. Bahan da-pat diperoleh dari bekas buku paket yang sekarang sudah terlarang untuk dijual kepada siswa. Juga dapat berkreasi dengan mencari dari buku-buku yang diterbitkan secara in-dividual oleh pemerhati sejarah & sejarawan maupun dari sumber-sumber lisan dan elektronik. Bahkan, dapat juga dari novel-novel yang ditulis oleh Pramoedia Ananta Tour mengenai penggambaran situasi pasca proklamasi dan masa-masa mempertahankan kemerdekaan. Bahan-bahan tersebut ada yang dikutip saja di tempat yang dirasa perlu. Ada juga hanya diambil gambarnya saja untuk dipindahkan ke slide. Mengapa demikian? Karena, dengan demikian, akan dapat menyesuaikan materi dengan silabus yang kita buat, yang juga berguna bagi pembentukan dan pengem-bangan karakter nasionalis siswa. Dengan adanya siswa yang persentasi, tersalurkan sikap tanggung jawab, rela berkorban, serta kreatif, dan kritis.

Guru-guru yang kreatif, sudah berbuat seperti apa yang biasa aku lakukan juga. Seperti di SMA 91, hampir 75% guru sudah punya netbook pribadi. Guru yang kreatif ber-tambah setiap periode, walaupun ada juga guru yang net-booknya cuma ditinggal di rumah. Kreativitas era sekarang sangat ditunjang oleh sarana dan keterampilan pemakainya serta kemauan untuk belajar. Yang terakhir ini, untuk se-mentara guru masih agak berat, mengingat kesibukan dan tanggung jawab mengasuh anak-anak di rumah. Dalam hal ini, aku termasuk makhlukNya yang beruntung karena dikaruniai empat putra-putri yang menjadi guruku dan se-orang suami yang sangat mendukung dalam penguasan media komputer untuk mengajar.

Bahan ajar sejarah yang sesuai dan dibutuhkan siswa didik era sekarang ini adalah bahan ajar yang dapat men-yalurkan kreativitas, daya kritis, serta dapat mengembang-kan imajinasi mereka, sesuai dengan faedah instrinsik dan ekstrinsik sejarah. Jika demikian, bagaimana mewujudkann-ya? Sebagaimana yang akhir-akhir ini dipraktekkan, mulailah kita menganggap siswa SMA sebagai teman. Pancing tang-gung jawabnya dan bebaskan dia berkreasi dalam menger-jakan tugas presentasi. Saat ini aku praktekkan, sampai hari ini belum ada yang komplain tentang belajar sejarah.

Menurutku, metode dan bahan ajar seperti yang aku praktekkan sejak tahun 2006 tersebut, paling diminati siswa dan cukup efektif mendidik siswa. Indikasinya terlihat dari peningkatan karakter nasionalisme siswa, rasa tanggung

Page 26: Jurnal AGSI edisi II

26 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

jawabnya, keinginan untuk berinteraksi dalam belajar, ke-inginan untuk lebih berempati dengan kesulitan orang lain, dan yang paling penting, tidak malas untuk belajar sejarah. Dengan kata lain, belajar sejarah menjadi menyenangkan bagi mereka.

Menyelami Latar Belakang Siswadan Kehidupan Sosial Sekolah

Siswa didik yang sudah kutemui dalam 26 tahun men-gajar, sangat variatif. Jika diurut, ketika awal mengajar pada bulan Juli 1984 sebagai tenaga honorer di SMA 36 dekat ru-mahku di Rawamangun, kebanyakan siswa sudah tergang-gu narkoba. Ada yang sudah tergantung, banyak juga yang baru coba-coba, dengan latar belakang orang tua yang bervariasi. Menjelang tahun kelima, siswa yang mendaf-tar sudah agak bersih dari narkoba, dengan latar belakang orang tua yang juga variatif. Malahan, pada tahun terakhir aku mengajar, sebelum dapat surat pindah ke SMA 91 tem-pat sekarang aku mengajar yang juga dekat rumahku di Pondok Kelapa, ada siswaku yang menjadi tukang parkir di St Carolus. Padahal, orang tuanya bekerja di militer. Siswa angkatan 1991 di SMA 36 inilah yang sampai hari ini masih berakrab ria dengan aku, guru sejarahnya, melalui facebook dan reuni-reunian.

Pindah ke SMA-ku sekarang, dari tahun 1991 hingga kini, sudah 19 tahun. Berbagai latar belakang siswa aku te-mui. Dari segi kuantitas, memang di sini lumayan sedikit ke-lasnya yaitu hanya 18 kelas. Lebih sedikit dibandingkan dulu di SMA, 36 kelas, bahkan pernah sampai 42 kelas dengan jumlah 48 siswa per kelas. Sekarang, dengan mengajar kelas XII saja, pada rombongan belajar 40 siswa, aku merasa me-merlukan banyak waktu untuk mempersiapkan bahan ajar dan metode yang lebih variatif.

Mengenai pengaruh latar belakang orang tua terha-dap karakter siswa, sampai hari ini aku belum merasakan kendala yang signifikan. Pada awal mengajar, aku selalu mengumpulkan data siswa secara detail. Kemudian, aku kelompok-kelompokan menurut kuantitas dan kualitas. Selanjutnya, aku bedakan dalam perlakuan di dalam kelas tersebut. Misalnya dikelompokkan siswa berdasar rendah/tinggi intakenya, rendah/tinggi aktifitasnya dalam kelas, rendah/tinggi kehadirannya. Jika sudah lima kali perte-muan, terlihat tidak ada perubahan perilaku belajar, maka siswa aku panggil untuk diberi pengarahan. Sering aku jumpai bahwa anak yang sering tidak hadir, ternyata ada yang berlatar belakang orang tuanya mampu dan juga ada yang tidak mampu. Jadi, aku jarang mengelompokkan siswa berdasarkan latar belakang orang tua, kecuali dalam hal mendata untuk pembinaan.

SMA 91 terletak di lingkungan perumahan yang juga mempunyai banyak tempat untuk usaha kafe atau warung di rumah. Nah, ternyata kedua hal ini sangat mempengaruhi siswa untuk terlena di sana dan bolos sekolah. Karena per-soalan ini masuk dalam lingkup sekolah, tapi bukan mata pelajaran, maka penyelesaiannya juga dilakukan bersama-sama antar warga sekolah dengan pengusaha-pengusaha di lingkungan tempat sekolah berada.

Harapan dan Pesan.

Sejak pemberlakuan Kurikulum tahun 2006, ada perbedaan jam pelajaran antara kelas IPA dan IPS, dimana di

kelas IPA hanya satu jam. Dampak kebijakan ini, nampaknya membuat siswa kelas IPA jadi tidak acuh dengan pelajaran sejarah. Bahkan menjadi seperti tidak akrab dengan gurunya. Jauh berbeda ketika masih menggunakan kurikulum tahun 1975 yang tidak membedakan jumlah tatap muka untuk semua level di SMA. Keakraban yang terbina dengan jumlah jam pelajaran yang sama-sama dua jam, di kelas IPA terasa lebih intens dibanding kelas IPS. Mungkin hal ini disebabkan karena kelas IPA memang sudah terbiasa belajar dua kali yaitu mengafal dan mengaplikasikan.

Harapanku untuk mengembangkan pendidikan se-jarah di SMA, mari kita guru-guru sejarah, baik yang baru mulai maupun yang sudah hampir pensiun seperti aku, tidak keberatan untuk selalu ingin berubah ke arah yang lebih baik. Jangan melakukan tugas hanya sebagai pelepas hutang karena sudah digaji oleh pemerintah. Beban moral masa depan bangsa ini antara lain terletak di punggung kita, guru sejarah. Saranku lebih banyak kepada pemerin-tah khususnya BSNP: jangan mengkotak-kotakan siswa dalam pendidikan karakter, karena itu akan menyulitkan guru maupun siswa dalam mengadaptasi karakter bangsa yang menjadi tujuan. Dan jangan lupa, pemerintah jangan membeda-bedakan waktu pembelajaran sejarah untuk ke-las X di kelas IPA dan IPS!

Page 27: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 27

1 Guru Sejarah SMA Negeri Unggulan MH. Thamrin Jakarta

para peserta konferensi dan workshop

para peserta konferensi dengan barang masing-masing

asrama mahasiswa Robinson College, University of Cambridge

suasana konferensi

suasana workshop

penulis di depan banner konferensi

di bawah papan nama perpustakaan

BERBAGI INFORMASI DAN PENGALAMAN DENGANGURU-GURU INTERNATIONALDI CAMBRIDGE UNIVERSITY,UNITED KINGDOM.Nani Asri Setyani

1

Tanggal 24 September – 2 Oktober 2010 kemarin saya berkesempatan untuk mengikuti Konferensi dan Lokakarya (Workshop) bagi para guru di Robinson College, University of Cambridge. Penasaran dan gembiera, seperti apa sih dan bagaimana sih workshop dan konferensi Guru Internasional, sistemnya dan mekanismenya, itu pertanyaan-pertanyaan klasik yang mampir di benak saya sebelum saya berangkat ke UK (United Kingdom). Tanggal 18 September ketika salah satu koran ibukota memberitakan kalau University of Cambridge tahun ini menjadi salah satu Universitas terbaik di dunia, bersyukur dan penasaran juga seperti apa sih kampus universitas terbaik di dunia.

Dua bulan sebelum pelaksanaan workshop dan konferensi, pihak Cambridge sudah pro aktif memberikan berbagai informasi dan menawarkan bantuan untuk mempercepat proses permintaan visa saya, satu bulan sebelum berangkat visa telah siap di tangan dan berlaku multiply untuk masa berlaku 6 bulan ke depan. Pihak Cambridge juga menginformasikan berbagai hal yang bermanfaat, misalnya :

- Bagaimana dan apa transportasi yang bisa saya gunakan untuk sampai ke Robinson College.

- Akomodasi selama di sana.

- Kelas workshop dan seminar yang harus saya ikuti.

- Pembagian group selama workshop.

- Fasilitator yang akan mendampingi saya selama mengikuti workshop.

Dua acungan jempol untuk Ann Williams dari Cambridge yang sudah merancang semua hal tersebut dengan baik. Kami semua ditempatkan dalam sembilan grup, masing-masing grup difasilitasi oleh para profesor dari Cambridge University dan Oxford University.

Konferensi dan workshop ini diikuti oleh 240 guru dari 45 negara di seluruh dunia. Satu hal yang saya lihat konsep keragaman terlihat jelas: ada guru dari sekolah Islam yang berasal dari Pakistan, India, Malaysia bahkan Portugal. Delegasi Indonesia diwakili oleh SMA negeri 78, SMA Negeri 8 dan SMA Negeri Unggulah MH. Thamrin serta ada pula

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 27

Page 28: Jurnal AGSI edisi II

28 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

delegasi dari sekolah swasta yang berasal dari Bandung dan Kalimantan. Terus terang delegasi Indonesia paling ramai dan kompak selama konferensi dan workshop, sampai-sampai delegasi negara lain menyebut kita big family (keluarga besar) ...hehehe. Mungkin karena senasib dan sepenanggungan dan jauh dari kampung halaman membuat kita kompak dan solid, di tambah lagi karena kita semua selalu kangen makan nasi...hehehe.

Sehari sebelum konferensi dan seminar, semua delegasi telah sampai di Robinson College. Pihak penyelenggara sebelumnya sudah menerima informasi dari peserta kapan dan jam berapa mereka akan check-in. Saya dan seorang teman saya sampai di Robinson College pada pukul 12.00 siang, setelah menempuh perjalanan selama 1 jam dari Kingcross London. Ternyata kamar kami sudah siap dari pukul 11.30, kami tinggal di asrama mahasiswa di Robinson College, University of Cambridge.

Lokasi tempat saya menginap ada di lantai lima, tidak terbayang harus mengangkut koper yang cukup berat dari lantai satu sampai lantai lima tanpa lift. Namun begitu sampai kamar dan melihat pemandangan dari balkon kamar saya, rasa lelah menghilang, benar-benar indah sekali. Saya harus berbagi kamar mandi dengan sahabat saya dari SMA 8 Jakarta. Walaupun kami berbagai kamar mandi tetapi privasi kami benar-benar terjaga, saya tidak pernah tahu apa yang dilakukan oleh rekan sekamar saya begitu pula sebaliknya karena kamar kami terpisah dengan diding tebal dan memiliki akses sendiri-sendiri, kecuali kalau kami ingin duduk-duduk di balkon atau melihat pemandangan dari balkon. Benar-benar luar biasa, tidak heran jika asrama mereka benar-benar steril dan mereka jadi lebih konsentrasi belajar. Jadi ingat asrama mahasiswa IKIP Jakarta di Daksinapati yang ramai sekali dan sedikit kotor, kalah jauh dech...hehehe.

“May You Live in Interesting Time!”

Konferensi dan workshop dimulai pada tanggal 28 September 2010 jam 09.00 pagi. Udara cukup dingin walaupun pada saat itu musim panas, cuaca di Cambridge benar-benar tidak bersahabat, suhu 10 derajat celcius dan hujan gerimis. Setelah Ann Puntis, Direktur Eksekutif CIE Cambridge memberikan sambutan selamat datang kepada semua delegasi, Key note speaker atau pembicara pertama yang tampil adalah Profesor David Selby – founding director Sustainability Frontiers dari Amerika Serikat. Judul paparannya adalah “Four dimensions of Global Education and the Implication for the Global Teacher and Global Learner “ atau Empat dimensi pendidikan global dan implikasinya bagi guru dan pembelajar. Pada awal paparannya Profesor Selby mengucapkan kata “May You Live in Interesting Times” artinya kurang lebih semoga Anda hidup di masa yang menyenangkan. Saya jadi ingat sebuah pepatah Cina yang kurang lebih memiliki arti sama.

Empat dimensi pendidikan global yang dimaksud oleh professor Selby adalah Temporal Dimension, Spatial Dimension, Inner Dimension dan Issues Dimension.

Keempat dimensi di atas diwujudkan dalam kurikulum, masyarakat, budaya dan sekolah. Sementara implikasi keempat dimensi bagi guru dan pembelajar antara lain :

- Guru global mencari (pembelajar global menemukan) interdependensi fungsional yang terdapat dalam kurikulum.

- Guru dan pembelajar global melibatkan masyarakat di lingkungan mereka sebagai salah satu sumber belajarnya.

- Guru dan pembelajar global memanfaatkan seluruh pengalaman orang lain, keseluruhan yang ada di alam untuk belajar dengan menggunakan berbagai pendekatan belajar.

- Guru dan pembelajar global mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip ekologi / sistemik dasar untuk membangun dinamika pembelajaran.

- Guru dan pembelajar global mengembangkan proses berpikiran, belajar melihat dan mengembangkan pribadi sebagai bagian dari kehidupan universal dan mempersiapkan diri untuk dapat bekerja melalui sistem global.

David Selby merumuskan bahwa pendidikan global merupakan keseluruhan paradigma pendidikan yang

DIMENSI TEMPORAL/

TEMPORAL DIMENSION

DIMENSI SPASIAL/

SPATIAL DIMENSION

DIMENSI KEDALAMAN/INNER DIMENSION

DIMESI ISU/ISSUESDIMENSION

Page 29: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 29

didasarkan pada keterkaitan antara masyarakat, wilayah dan penduduk dengan berbagai fenomena sosial, budaya dan alam yang saling mempengaruhi tidak saja di masa lalu tapi juga masa kini dan masa yang akan datang, dan melibatkan aspek kognitif, afektif, fisik dan dimensi spiritual manusia.

Paparan professor Selby sangat menarik dan benar-benar membuka wawasan berpikir kita. Satu hal yang saya lihat di sini, bila pada workshop guru di Indonesia susah melihat guru yang terjaga selama workshop, karena sebagian besar mereka memilih tidur, tapi di sini saya tidak pernah melihat guru yang tidur. Semua sibuk bertanya, membuat kesimpulan dan antusias mengajukan serta membuat pertanyaan. Setelah selesai mendengarkan pembicara pertama menyampaikan paparannya, kemudian kami dibagi dalam sembilan kelompok untuk mendiskusikan kembali isi dari paparan profesor David Selby. Saya tergabung dalam kelompok delapan yang difasilitasi oleh Jonathan Newell. John adalah seorang dosen musik pada Department of Teaching dari Oxford University, kami diperkenalkan pada konsep awal tentang “Global Learner”. Melalui workshop kelompok tersebut setiap anggota kelompok menguraikan berbagai pendapat dan pengalaman yang berkaitan dengan Global Learner. Materi-materi praktis yang dikembangkan oleh John dalam workhop dan berkaitan dengan Global Learner diantaranya adalah “Exploring Our Subject with the Global Learner in Mind” (Menelusuri Subyek Kita dengan Pemikiran Pembelajar Global) serta “Teaching the Global

Learner Practical ideas for the Classroom” (Mengajarkan Ide-Ide Praktis Pada Pembelajar Global di Kelas).

Group saya terdiri dari guru-guru yang berasal dari berbagai negara, diantaranya Stephen Floyd dari USA, Henry Djam Nji dan Shadrack Angoh Nji dari Camerun, Samina Siddiqui dari India, Faizal Mansoor dari Pakistan, Dawn Davies dari Arizona – USA, Rossella Risso dan Ottilia Bracini dari Italia, Andrea Pellicia dari Argentina, Farah Salizah Ahmad Sarji dari Malaysia,Charlotte Linder dari Denmark, Cathy Bishop dari Irlandia dan Zhong Yang dari China. Mereka semua berasal dari berbagai bidang studi diantaranya ilmu alam, matematika, Bahasa Inggris dan dari semuanya hanya saya dan Otilia Bracini dari Italia yang merupakan guru sejarah.

Otillia mengemukakan lesson plan (RPP) yang dibuatnya. Sayangnya dia mengajar materi sejarah untuk IGCSE atau kalau di sini mungkin setingkat SMP hingga kelas X di SMA, tapi paling tidak saya bisa mencuri ilmu tentang pembuatan lesson plan ala kurikulum Cambridge. Setiap anggota kelompok dibagi dalam kelompok-kelompok kecil sesuai dengan bidang studi masing-masing dan kita diwajibkan membuat sebuah topik sesuai dengan dimensi dan konsep pembelajaran di kelas dalam perspektif global. Berikut ini adalah hasil diskusi antara saya dan Ottilia, kami berdua menyebutnya dengan “Exploring the Global Dimension to history”:

Delapan Kunci Utama Dimensi Global

Kewarganegaraan GlobalMisalnya, memahami kenapa dan bagaimana institusi global tertentu diciptakan.Interdependensi Misalnya, mengeksplorasi pengaruh beragam kebudayaan dan ide yang telah ada dari waktu ke waktuKeadilan SosialMisalnya, melihat bagaimana perjanjian tertentu, seperti Perjanjian Versailles, mempengaruhi kehidupan orang di berbagai dunia.Hak Asasi ManusiaMisalnya, melihat kapan HAM dipenuhi atau dilanggar.

Resolusi KonflikMisalnya, mengeksplorasi bagaimana konflik masa lalu telah diselesaikan atau dipendam dan dampaknya di masa kini. KeberagamanMisalnya, memahami sifat prasangka dan diskriminasi dari waktu ke waktu dan berbagai tanggapan terhadapnya. Pembangunan Berkelanjutan.Misalnya, memperhatikan hubungan antara ranah ekonomi, social dan lingkungan dari waktu ke waktu. Nilai dan PersepsiMisalnya, menelusuri bagaimana berbagai individu melihat kejadian tertentu berdasarkan posisi mereka.

Proses KunciMisalnya: refleksi kritis terhadap pertanyaan sejarah atau isu tertentu Kaitan dengan mata pelajaran lain

Dimensi lintas kurikulum

Konsep Kunci Misalnya:

Memahami beragam pengalaman, ide, kepercayaan, sikap pria, wanita, anak-anak di masyarakat lampau dan bagaimana hal-hal tersebut membentuk dunia.Memahami mengapa sejarawan dan orang-orang lain mengartikan kejadian, orang-orang dan situasi dalam cara yang berbeda-beda.

Pernyataan PentingMisalnya:menyelidiki hubungan Inggris dengan dunia luas dan mengaitkan masa lampau hingga ke masa kini.

Tujuan

Pembelajar yang sukses

Individu yang percaya diri

Rakyat yang bertanggung jawab

Page 30: Jurnal AGSI edisi II

30 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

Kami diharuskan membuat sebuah rancangan program yang bersifat global sesuai dengan bidang studi yang kami ajar. Dalam proyek tersebut kami diwajibkan membuat tujuan dari pembelajaran sejarah, konsep pokok yang bisa dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, bagaimana proses pembelajarannya, serta bagaimana pembelajaran sejarah dapat dikembangkan dengan 8 (delapan) konsep dimensi kurikulum dalam pembelajaran sejarah yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Fasilitator kami Jonathan Newell sepertinya puas dengan hasil kerja kami, menurutnya setidaknya kami bisa membawa 2 (dua) dari prinsip dan konsep global ke dalam setiap pembelajaran kami di kelas.

Pembicara kedua adalah Nick Mercer, beliau adalah profesor dari Department of Teaching Cambridge University. Professor Mercer lebih menyoroti bagaimana berkomunikasi dengan para siswa di kelas. Menurutnya sebagian besar guru, belum membangun komunikasi yang efektif kepada para siswanya. Seringkali para guru hanya berupaya untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang mereka ajukan, tanpa mau menghargai setiap jawaban yang diberikan para siswa. Konsep yang sederhana tapi mengena, begitulah yang berusaha ditekankan Professor Mercer dari paparannya. Pada kesempatan terakhir, giliran CIE atau Cambridge University International Examination dan British Council menjelaskan tentang Partnership School, yaitu bagaimana menjalin hubungan persahabatan dengan sekolah-sekolah di lingkungan UK, India dan negara-negara lainnya.

Kita dapat mendaftarkan sekolah kita masing-masing untuk mengikuti program ini, yang keseluruhan programnya dibiayai oleh British Council. School partnership ini menyelenggarakan mulai dari pertukaran guru hingga siswa dan program sister school.

Di akhir workshop, Jonathan membagikan kami selembar kertas yang bertuliskan “Tuliskan hal-hal yang Anda miliki sehingga Anda berani mengatakan bahwa Anda adalah guru yang sangat baik”. Kalimat tersebut adalah kalimat sederhana namun bermakna sangat dalam. Kemudian pertanyaan berikutnya adalah, “Bila Anda diberi kesempatan untuk membuat kurikulum sekolah Anda, apa saja yang akan Anda kembangkan sehingga sekolah Anda bisa menjadi sekolah yang bagus?”. Ketika kami bermaksud mengumpulkan jawaban kami, Jonathan kembali berkata, “Simpan jawaban Anda semua dan kembangkan hal tersebut ketika Anda telah sampai di sekolah Anda masing-masing”. Satu pelajaran berharga yang saya dapatkan dalam workshop dan konferensi ini adalah sang fasilitator memberikan kepercayaan dan optimisme kepada kami semua, bahwa kami akan sanggup memberikan yang terbaik bagi kemajuan pendidikan di Negara kami masing-masing. Sebuah kepercayaan luar biasa yang terkadang kita jarang jumpai dalam keseharian kita di sekolah. Guru terkadang terbelenggu dengan berbagai kebijakan pemerintah yang terkadang lebih berbau politis dan eksploitasi.

Tanpa terasa konferensi yang berlangsung 3 (tiga) hari tersebut berakhir, masing-masing delegasi meninggalkan Robinson College University of Cambridge untuk pulang

ke negaranya. Satu hal yang harus saya lakukan selain berkemas dan kembali ke London, adalah menyempatkan diri untuk mengunjungi Oxford University. Bersama teman saya, kami pun berkesempatan mengunjungi Oxford University. Banyak hal yang saya peroleh dalam perjalanan kali ini, hal yang luar biasa dan menyenangkan. Bertukar pikiran dan pengalaman dengan 200 guru dari 40 negara merupakan pengalaman berharga yang tak akan terlupakan. Cuaca dingin dan gerimis mengiringi kepulangan kami dari Cambridge. Walaupun iklim dan cuaca Inggris tidak bersahabat, namun persahabatan kami, para guru dari 40 negara peserta konferensi sangat akrab. Senyum, canda dan tawa selalu menghiasi obrolan dan percakapan kami. Berat rasanya berpisah dengan mereka tapi tugas sudah memanggil kami, semua berharap tahun depan dapat bertemu kembali.

Ada informasi bahwa tahun depan konferensi akan diadakan kembali di Cambridge, tentu saja dengan tema yang lain. Semoga saya mendapat kesempatan kembali untuk datang ke Cambridge. Good Bye Cambridge, thanks for the magnificent experience. Hope to see you again next year!

Page 31: Jurnal AGSI edisi II

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 31

KEPING KENANGANELITE INDONESIAJJ Rizal1

1 Peneliti sejarah di Komunitas Bambu. Alamat: Jln. Pala No. 4B Beji Timur Depok 16422. Telp/Fax: 021 77206987 HP. 081586622532.

Santer suara di Indonesia kini yang keliatan memang cuma penguasa dan pembesar. Tiada pemimpin. Prilaku pemimpin tak nampak di tingkat atas. Yang ada akrobat penguasa yang sibuk mengumbar syahwat politik untuk bisa tidur di ranjang kekuasaan bersama. Tapi di bawah suara rindu pemimpin justru menguat. Ada kesadaran ingin menemukan pemimpin sebagai kekuatan inspiratif dan pencerah di masa yang gawat.

Tapi siapakah pemimpin itu? Disinilah pentingnya karya Van Niel. Karyanya adalah mistar yang baik buat mengukur dan menilai tuntutan kehadiran pemimpin. Van Niel menyediakan pengukur sejati–bukan artifisial berdasar popularitas seperti buatan lembaga survey. Ia memberikan kacamata ideologis dan kultural yang historis ihwal pemimpin. Sebab sesungguhnya suara ingin pemimpin itu berakar pada ingatan kolektif yang terkait dengan identitas pemimpin atau elite yang membanggakan dalam sejarah.

Sejarah munculnya elite baru dan pemimpin nasionalis Indonesia mengakar dari sebuah zaman gelap. Menjelang wafat pada 1873, R.Ng. Ronggowarsito menulis Serat Kala Tida (Syair Zaman Kegelapan). Kemiskinan dan kemandekan memang citra Hindia saat itu. Tapi seperempat abad kemudian – ketika kolonialisme itu berpapasan dengan perobahan besar akibat semangat aufklarung atau pencerahan Eropa – biangkeladinya yaitu politik kolonial abad ke-19 yang rakus dan kejam dihujani kritik. Bahkan ethicus C.T. van Deventer pada 1899 mengingatkan

Eereschuld (utang budi) dan perlunya “orang kulit putih menerangi kegelapan pribumi jajahan”.

Arsitek kolonialisme Snouck Hurgronje pun bicara. Katanya, perluaslah sekolah untuk menanamkan “jiwa Eropa”, sehingga anak jajahan menumbuhkan diri sendiri, bermanfaat dan setia kepada Belanda. Sebab itu sejak 1900, ide ethicus diterima. Hoofden School, sekolah guru dan dokter Jawa, diperluas. Anak priyayi rendah pun bisa sekolah. Bergeraklah mesin cetak orang Hindia “berjiwa Eropa” yang dikiaskan Frant Fanon “peau noire, masques blancs” alias “kulit hitam, topeng putih”.

Ternyata hasil cetakan tak seragam. Politik Etis, kata Van Niel, memang berhasil mencetak “elite fungsional”, yaitu jelmaan-jelmaan yang siap meniru dan mengabdi demi menegakkan pikiran selamanya Belanda pengasuh Hindia. Tapi muncul juga “elite politik” atau figur politik modern yang tampak ngotot melawan wacana kolonial secara tertutup atau terbuka. Elite yang berlaku sebagai splendor varitatis, sosok yang mampu memberikan sumbangan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan cahaya kebenaran.

Sebagaimana pengkaji Indonesia awal abad ke-20, Van Niel pun memakai frase cahaya. Sebab itulah yang mendominasi jiwa dan pikiran elite awal kebangkitan nasional. Lagi pula antara 1900-1925, bukan saja para tokoh utamanya yang menggambarkan pemikiran dengan kias bersifat terang, tapi juga banyak pers yang tumbuh mengiringi politik modern elite baru itu mengambil nama dengan mencomot kata matahari, surya, bintang, fajar, nyala, suluh, sinar, cahaya dan api. Semua kias ini adalah

Kalau karya Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, adalah studi langka yang membahas elite Indonesia, bagaimanakah membaca buku ini di tengah hiruk pikuk Indonesia fenomena hilangnya pemimpin?

Judul Asli: The Emergence of the Modern

Indonesian Elite Judul Terjemahan: Munculnya Elite Modern

IndonesiaPenulis: Robert van Niel Penerbit: Pustaka JayaTahun Terbit: 2010Kota:

Jakarta

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011 31

Page 32: Jurnal AGSI edisi II

32 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011

tanda-tanda yang lebih luas dari kebangkitan kembali dan regenerasi.

Para elite hadir dengan kias bersifat terang bukan saja simbol untuk menguatkan citra diri, tapi juga dikotomi yang lebih bersifat moral, politik dan perbedaan generasi. Wajar jika dalam publikasi elite di awal kebangkitan diwarnai teriak lantang paradoks kata: muda/tua, maju/kolot dan sadar/masih bodoh. Dalam perspektif itu, para elite sampai pada kesadaran fundamental akan perobahan. Alhasil 20 tahun awal abad ke-20 pergerakan Indonesia begitu dinamis, kaya ide yang diliputi sifat muda, maju dan sadar.

Muda tak hanya usia biologis para elite itu dua puluhan, bahkan belasan. Tapi juga pemikiran dan kejiwaannya yang diliputi spirit merombak struktur masyarakat lama untuk menciptakan suasana dan masyarakat baru yang bebas dari stigma kultural yang menghambat. Ini tercermin dalam polemik tahun 1914 antara pendiri Indische Partij (IP) dengan Noto Soeroto, motor ide Hindia terus di bawah Belanda. Juga polemik tahun 1918 antara Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai pimpinan terkemuka “nasionalisme Hindia” dengan Soetatmo Soerjokoesoemo, ketua Komite Nasionalisme Jawa.

Bayangan masyarakat baru memacu para elite bersikap maju. Maju itu hasrat menemukan kembali harkat diri. Tapi buat maju disadari ada kolonialisme dan feodalisme berdasar ras dan kelas. Tak ayal demokrasi pun dirasakan jadi bagian esensial hasrat buat maju. Sebab itu pada 1912 mencuat Sarekat Islam, ‘gerakan nationalistisch-demokratisch-ekonomisch’ ala ratu adil bermassa terbesar anti penindasan dan keangkuhan rasial. Pada 1918, segera meluas motto Mas Marco “sama rata sama rasa”.Berbareng hadir gerakan Djawa Dipa melawan keharusan tradisional yang hirarkis. Bagaimana bisa masuk “dunia maju” yang bertolak dari teori sosial yang egaliter dan demokratis jika tatanan tradisional yang hirarkis masih bercokol?

Akhirnya semua mesti dilakukan dengan sadar. Semula sadar berarti peralihan dari keadaan tertidur ke siuman. Tapi di awal abad ke-20, sadar meluas artinya. Kalau baca otobiografi Soetomo, sadar punya pengertian-pengertian yang berkaitan. Pertama “daya” yang oleh Goenawan Mangoenkoesoemo diartikan “menjadi motor pendorong”. Saat elite jadi motor pendorong perobahan, maka harus dijalani dengan ngurban. Kata ini bermuatan moral dan emosional yang dalam, yaitu “bertindak tanpa pamrih”. Akhirnya sadar itu “perubahan perangai” yang dirumuskan dalam suasana terus “memperlombakan diri berjaga dengan moril”.

Van Niel menyimpulkan sukses para elite modern pertama itu terletak pada political will mereka sendiri dalam melembagakan nilai dan hasrat meraih kemanusiaan yang modern, maju dan progresif. Ada subjektivitas di sini tapi lahir dari panggilan yang universal. Melewati yang nafsi-nafsi. Demi kemaslahatan bersama. Dalam konteks itu pada mereka ada keberanian moral buat menunda datangnya imbalan dari jerih payah belajar dan menempuh jalan panjang penuh rintangan serta kesulitan.

Siswa Stovia contohnya. Stovia didirikan guna menciptakan “hamba sahaya” bagi tuan putih. Tapi “hamba sahaya” itu menolak buaian keterpencilan kultural yang diciptakan dan dipelihara untuk menetralisir kenyataan kebangkrutan politik-ekonomi tanah jajahan dan rakyatnya. Di sini pengetahuan “keterbelakangan rakyat” jadi dorongan mereka memasuki “dunia maju”. Membayanglah sebuah komunitas baru yang bebas dari halangan ke arah “kemajuan” dan betapa mendesak itu diwujudkan. Maka lahirlah pemikiran ihwal “bangsa”.

Demi “bangsa” yang dibayangkan, para elite sebagai komunitas politik minoritas yang kreatif, dituntut

menjadi ujung tombak gerakan. Otomatis mesti berperan antagonistis terhadap kolonialisme-feodalisme. Nyalalah gelora keberanian, militansi. “Jangan takut,” kata H.M. Misbach. “Rawe-rawe rantas malang-malang putung (hancurkan semua penghalang)” semboyan IP. Para elite itu pun terlihat liar dan memberontak, sebab mereka sadar setiap ide atau ideologi besar mesti diawali oleh gerakan protes atau gerakan sosial sebagai cara utama membongkar institusi-struktur lama dan membangun yang baru. Kaum protagonis memiliki moral commitment untuk melakukan ide itu. Sebab itu mereka datang dengan fortiter in

re atau kekuatan keyakinan bukan hitungan. Bertindak sebagai benteng moral, ketimbang pemburu kekuasaan. Alhasil politik adalah

perjuangan bukan kepentingan. Dan cuma sebagai true believer sajalah nilai dan kewajiban itu dapat dijalankan, bila perlu dengan mengorbankan dirinya. Disinilah terletak nilai elite yang historis.

Adalah ironi besar nilai-nilai itu kini tinggal keping kenangan saja. Keping kenangan yang karatan dan rusak oleh iklim politik zaman gelap “Prabu Soeharto” yang rupanya masih melanjut dan menyediakan hawa bagus bagi elite-elite kekuasaan dekaden berbudaya kroni, bapakisme dengan kolusi, korupsi, nepotisme serta provitur, karbitan-dongkrakan yang tanpa pengetahuan dan wawasan luas serta moral.

32 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JANUARI-MARET 2011