REPUBLIKA 5 JUMAT, 18 FEBRUARI 2011 fatwa Oleh Ferry Kisihandi P ersaingan dalam perniagaan dan keinginan untuk meraih keuntungan berlimpah tak jarang mendorong pedagang menjalankan segala macam cara. Mereka menawarkan dagangan kepada konsumennya dengan per- nyataan melambung hingga konsumen ter- pikat untuk membelinya meski tak jarang pula kualitas barang yang ditawarkan me- lalui ucapan tak sesuai dengan kualitas atau kondisi barang sesungguhnya. Mereka me- nipu konsumennya bahkan dengan meng- gunakan sumpah palsu. Pada masa kini, hal itu juga kerap terjadi. Islam melarang peri- laku semacam itu di segala hal termasuk dalam perniagaan. Pedagang Muslim dituntut jujur saat men- jalankan kegiatannya. Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari mengatakan, dua orang yang sedang mela- kukan jual beli dibolehkan melakukan ta- war-menawar selama belum berpisah. Jika mereka jujur dan menjelaskan ciri dagang- annya, mereka mendapatkan berkah dalam perdagangannya. Namun, jika mereka berdusta dan me- nyembunyikan ciri dagangannya, berkah da- gangannya akan dihapus. Menurut Cende- kiawan Muslim, Yusuf al-Qaradhawi, dalam bukunya Halal dan Haram, suatu hari Ra- sulullah pernah melewati seorang laki-laki yang sedang menjual makanan. Rasulullah tertarik dan memasukkan tangan ke tempat makanan itu. Beliau melihat makanan itu basah lalu bertanya kepada laki-laki itu. “Apa yang diperbuat oleh pemilik makanan ini?” Laki- laki itu menjawab, “Terkena hujan.” Men- dengar hal itu Rasulullah menyampaikan sabdanya. “Mengapa tidak kamu letakkan yang basah itu di atas supaya orang lain menge- tahuinya? Sebab, barang siapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami,” kata Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang diri- wayatkan oleh Muslim. Hadis riwayat Ahmad juga menerangkan kasus yang sama. Nabi Muhammad pernah melalui suatu makanan yang oleh pemiliknya dipuji-puji. Lalu, beliau meletakkan tangannya pada makanan itu dan akhirnya mengetahui bah- wa makanan itu sangat jelek. Maka, beliau mengatakan pada pedagang itu untuk men- jual makanan tersebut menurut harga yang pantas dengan kualitasnya. Pedagang Muslim terdahulu telah mem- berikan contoh yang baik. Mereka selalu menjelaskan cacat barang dagangannya dan sama sekali tak merahasiakannya. “Mereka selalu berbuat jujur dan tidak berdusta, ikhlas, serta tak menipu,” kata al-Qaradhawi menjelaskan. Ibnu Sirin pernah menjual seekor kam- bing dan ia mengatakan kepada pembelinya bahwa dia akan menjelaskan mengenai ciri kambing yang dijualnya, yaitu kakinya cacat. Al-Qaradhawi mengatakan, tingkat keha- raman lebih tinggi berlaku jika penipuan yang dilakukan pedagang disertai dengan sumpah palsu. Tak heran jika Rasulullah secara tegas melarang para pedagang banyak melakukan sumpah, terutama sumpah palsu. “Sumpah itu menguntungkan perdagangan, tetapi dapat menghapuskan berkah,” katanya. Ada beberapa alasan mengapa Rasul membenci banyak melontarkan sumpah dalam perda- gangan. Menurut Rasul, sumpah memungkinkan terjadinya penipuan dalam perdagangan dan menyebabkan hilangnya nama Allah SWT dari dalam hati para pedagang yang banyak bersumpah itu. Pedagang yang melakukan sumpah palsu dengan tujuan meraih keun- tungan kelak di hari kiamat tak akan dilihat atau diperhatikan Allah. Dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad, dijelaskan, orang yang menjadikan Allah sebagai dagangannya, yaitu ia menjual barangnya dengan bersumpah menyebut nama Allah dan membeli dengan bersumpah menyebut nama Allah. Al-Qaradhawi me- ngatakan, orang ini memperdagangkan nama Allah. Barang cacat Sayyid Sabiq melalui bukunya Fiqih Sun- nah mengatakan, diharamkan menjual ba- rang cacat tanpa menjelaskan kepada pem- belinya. Muslim itu bersaudara maka tak dihalalkan menjual kepada sesama Muslim barang cacat kecuali telah menjelaskannya. Demikian hadis yang diriwayatkan Ahmad, Ibnu Majah, Daruquthni, Hakim, dan Thabrani. Ia menjelaskan, jika akad jual beli telah dilakukan dan pembeli mengetahui adanya cacat, akadnya sah dan tak ada hak memilih lagi. Sebab, pembeli rela dengan barang dan kondisi barang itu. Namun, jika pembeli belum tahu barang itu cacat dan baru me- ngetahuinya setelah akad, akad sah, tetapi tak diberlakukan. Pembeli berhak memilih apakah mengem- balikan barang dan mengambil kembali uang yang telah dibayarkan ke penjual. Bisa juga pembeli meminta ganti rugi berupa pengu- rangan harga sesuai dengan cacat pada ba- rang itu, kecuali jika ia rela menerima kon- disi cacat barang tersebut. Sabiq pun mengulas tentang barang rusak. Di antaranya, bila kerusakan men- cakup semua atau sebagian barang sebelum serah terima karena perbuatan pembeli, jual beli tidak batal. Pembeli diwajibkan mem- bayar seluruh harga barang. Namun, bila pihak lain, yaitu bukan pembeli maupun penjual, pembeli boleh menerima atau mem- batalkan akad. Jual beli, jelas dia, batal bila kerusakan barang sebelum terjadi serah terima akibat perbuatan penjual atau rusak dengan sendirinya atau karena bencana. Barang yang rusak setelah serah terima maka menjadi tanggung jawab pembeli. “Dia wajib membayar semua harga barang seandainya tak ada alternatif lain dari penjual,” kata Sabiq. Kalau ada alternatif pilihan dari penjual, pembeli mengganti harga barang atau meng- ganti barang dengan yang serupa. n halalan thayyiban Oleh Ferry Kisihandi S elain yoghurt, susu fermentasi meng- hasilkan produk lainnya, yaitu kefir dan koumiss. Tak seperti yoghurt, kedua pro- duk ini memang tak begitu tenar. Namun, tetap penting untuk mengetahui bagaimana proses terbentuk serta status kehalalan dari kefir dan koumiss ini. Anton Apriyantono, dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, bahan utama kefir adalah susu segar. Starter—pada tape adalah ragi—yang digunakan dalam pembuatan kefir adalah biasanya berbentuk butiran berwarna putih. Menurut dia, starter berisi kasein dan berbagai mikroba, yaitu bakteri asam laktat yang terdiri atas Leuconostoc, Lactobacillus, dan Streptococcus. Juga ada khamir atau yeast dari jenis Torula dan Saccharomyces. “Karena menggunakan khamir dan susu bergula, kefir mengandung alkohol (ethanol) sebanyak 0,5 hingga 1 persen,” katanya. Dalam proses ini, khamir mengubah gula teruta- ma menjadi alkohol. Sedangkan, hasil sampingan- nya adalah senyawa aroma. Dengan pertimbangan bahwa kefir bisa mengandung alkohol lebih dari 1 persen, Anton mendorong agar konsumen Muslim menghindarinya. Ia menyandarkan argumennya pada hasil ijtihad Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan, jika kadar alkohol lebih besar atau sama dengan satu persen, sebuah minuman dikate- gorikan sebagai minuman keras. Anton menjelas- kan, koumiss serupa dengan kefir, yaitu minuman susu asam beralkohol. Semula, koumiss dibuat dari susu kuda dan dimanfaatkan sebagai obat tuberkolusis. Namun, dengan semakin langkanya susu kuda, koumiss dibuat dari campuran susu sapi dan susu kuda. Sering juga terbuat dari susu sapi saja. Starter pada pembuatan koumiss pun sama dengan kefir, yaitu campuran bakteri asam laktat dan khamir. Jenis bakteri penting saat pembuatan koumiss adalah Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. Sedangkan, khamirnya adalah jenis Torula. “Koumiss pun beralkohol. Bahkan, kan- dungannya bisa mencapai 2,5 persen. Dengan demikian, produk ini tak boleh dikonsumsi oleh Muslim,” ujar Anton. Wakil Direktur Lembaga Pengakajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI, Osmena Gunawan, menambahkan, titik kritis yang perlu di- ketahui pada kefir adalah stabilizer atau penstabil. “Ini bertujuan untuk mempertahankan tekstur yang diinginkan pada produk itu,” katanya kepada Republika, Jumat (11/2). Ia mengungkapkan, penstabil dibuat dari gelatin yang bersumber dari hewan. Ada pula dari tum- buhan, yaitu rumput lain. Jika dari hewan, tentu patut ditelusuri, sebab bisa saja dari babi yang haram hukumnya bagi umat Islam. Pewarna dan perisa kefir pun mesti mendapatkan perhatian kare- na memungkinkan kehalalannya diragukan. Saat ditanya mengenai kandungan alkohol yang terkandung dalam kefir, Osmena mengatakan tak secara perinci mengetahui proses pembuatannya. Ia menambahkan, kefir memang tak banyak beredar di masyarakat. Namun, ada kalangan yang mengon- sumsi produk susu fermentasi tersebut. Ia memperkirakan hal itu terjadi karena proses pembuatannya agak lebih rumit. Produksi kefir dila- kukan secara rumahan. Berbeda dengan yoghurt, produk susu fermentasi lainnya, yang sudah banyak dikenal masyarakat. Yoghurt lebih mudah dite- mukan di pasar swalayan. Jika ingin aman mengon- sumsi, tentu yang berlabel halal. n Tentang Kefir dan Koumiss Sumpah DALAM BERNIAGA Pedagang dituntut men- jelaskan kon- disi barang yang dijualnya. ANTARA FOODFREEDOMREVOLUTION.COM