Top Banner

of 37

Journal Reading Disatukan

Mar 03, 2016

Download

Documents

DarkKnighthere

journal
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Journal Reading:1. Infeksi Gastrointestinal Dalam Lingkup Peristiwa Bencana Alam2. Hepatitis A dan E: Perkembangan Terbaru tentang Pencegahan dan Epidemiologi3. Bencana Alam Surga bagi Mikroba

Oleh:Grace Michelle406148127Pembimbing:dr. Mudzakkir Djalal, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARARUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN KUDUSPERIODE 13 APRIL 20 JUNI 2015LEMBAR PENGESAHAN

Journal Reading:1. Infeksi Gastrointestinal Dalam Lingkup Peristiwa Bencana Alam2. Hepatitis A dan E: Perkembangan Terbaru tentang Pencegahan dan Epidemiologi3. Bencana Alam Surga bagi Mikroba

Telah didiskusikan tanggal :4 Juni 2015

Pembimbing:dr. Mudzakkir Djalal, Sp.PD

Pelapor,Mengetahui,

Grace Michelle dr. Amrita, Sp.PD (406148127)

Infeksi Gastrointestinal Dalam Lingkup Peristiwa Bencana Alam

Richard R. WatkinsPublished online: 26 November 2011# Springer Science+Business Media, LLC 2011Curr Infect Dis Rep (2012) 14:4752DOI 10.1007/s11908-011-0225-5

8

Abstrak Penyakit gastrointestinal paska bencana alam umum terjadi dan sering timbul karena adanya gangguan dari persediaan air minum. Resiko untuk mewabahnya penyakit gastrointestinal ini lebih tinggi di negara-negara berkembang karena lebih sedikitnya sumber daya yang tersedia dan infrastruktur yang kurang baik. Akan tetapi, negara maju juga tidak luput dari masalah ini, seperti ditunjukkan oleh wabah gastroenteritis dari norovirus yang terjadi setelah Badai Katrina pada tahun 2005. Banyaknya penyakit gastrointestinal paska bencana alamdipengaruhi oleh endemisitas patogen tertentu dalam wilayah yang terkena sebelum bencana, jenis bencana itu sendiri, ketersediaan sumber daya kesehatan, dan respon tenaga kesehatan setelah bencana. Memastikan tidak terganggunya pasokan air minum yang aman paska bencana alam, seperti menambahkan klorin, adalah strategi yang penting untuk mencegah wabah penyakit gastrointestinal.

Kata kunci: penyakit gastrointestinal, gempa bumi, banjir, tsunami, badai, kolera, demam tifoid, Norovirus, Hepatitis A, Hepatitis E, vaksin.

PendahuluanPenyakit gastrointestinal paska bencana alam adalah skenario umum yang telah dijelaskan dengan baik dalam literatur medis. Bencana alam telah didefinisikan sebagai kejadian katastrofi dengan asal-usul atmosfer, geologi, dan hidrologi dan termasuk gempa bumi, letusan gunung berapi, tanah longsor, tsunami, banjir, dan kekeringan [1]. Ada banyak patogen yang dapat menimbulkan infeksi gastrointestinal paska bencana alam termasuk virus, bakteri, dan protozoa (lihat Tabel 1).

Di Amerika Serikat dan negara-negara industri lainnya, wabah penyakit gastrointestinal paska bencana alam jarang didapatkan. Akan tetapi, di negara-negara berkembang secara tidak proporsional terjadi karena negara-negara tersebut sering kekurangan sumber daya, infrastruktur, dan program-kesiapsiagaan bencana [1]. Setelah gempa besar melanda Haiti pada Januari 2010, ahli kesehatan masyarakat menyatakan kecemasan terhadap potensi wabah kolera atau tifus. Kemudian, pada bulan Oktober 2010, wabah kolera dilaporkan oleh Laboratorium Kesehatan Masyarakat Nasional Haiti [2]. Pada tanggal 17 Desember total 121.518 kasus yang mengakibatkan 2.591 kematian telah terjadi. Selain itu, beberapa kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat ternyata berasal dari wisatawan yang bepergian ke Haiti. Ulasan ini akan memfokuskan pada konsekuensi dari bencana alam dan hubungannya dengan penyakit gastrointestinal sertakeadaan pengetahuan tentang epidemiologi dan penatalaksanaan terbaru yang ada.

Kontaminasi Sumber Air Minum

Akses ke air bersih sering menjadi terbatas setelah bencana alam. Banjir, misalnya, dapat menyebabkan gangguan sistem limbah dan menyebabkan kontaminasi air minum [ 3 ]. Setelah adanya badai di Bengal Barat, 33 % sampel air yang diperoleh dari air keran, sumur, dan kolam dianalisis dan ditemukan terkontaminasi dengan V. cholerae [4]. Tingkat kontaminasi pasokan air paska banjir di Bangladesh pada tahun 2004 berkisar antara 23 % sampai lebih dari 90 % dan termasuk coliform, streptokokus, dan Vibrio cholerae pada tinja [ 5] . Sebuah studi dari Indonesia melaporkan bahwa sepertiga dari air sumur paska banjir terkontaminasi dengan virus enterik(hepatitis A , enterovirus , norovirus , dan adenovirus) sementara tidak ada virus yang terdeteksi di sumur air tanah dan sampel air keran di daerah yang tidak banjir [6] . Gangguan persediaan air bersih sering membutuhkan waktu lama untuk diperbaiki seperti yang terjadi setelah banjir di Indonesia pada tahun 2004, dimana 6 bulan kemudian hanya seperlima dari individu dalam satu area pedesaan telah mendapatkan kembali akses ke air minum [ 7 ] .

Resiko Terjadinya Penyakit Gastrointestinal dari Mayat

Setelah bencana alam yang mengakibatkan sejumlah besar korban jiwa, tenaga kerja sering mengumpulkan, mengangkut, menyimpan dan membuang jenazah. Mereka dapat terkena penyakit gastrointestinal karena feses dari mayat seringkali keluar. Transmisi patogen enterik dapat terjadi setelah kontak langsung dengan tubuh korban dan pakaian melalui rute fecal -oral [8]. Namun, patogen enterik tidak bertahan lama di lingkungan dan risiko penularan rendah ketika tubuh telah membusuk atau telah berada di air [9] . Untuk mengurangi resiko penyakit gastrointestinal, para pekerja harus mengikuti kewaspadaan universal, memakai sarung tangan saat menangani mayat, berlatih mencuci tangan yang baik, dan hati-hati saat melakukan disinfeksi peralatan dan kendaraan yang digunakan untuk transportasi [10] .

Etiologi Infeksi Spesifik

KoleraAgen penyebab kolera, Vibrio cholerae, adalah sebuah bakteri gram negatif, basilus berbentuk koma dengan flagel polar . Lebih dari 200 serogrup telah diidentifikasi , tetapi hanya O1 dan O139 yang berhubungan dengan penyakit klinis . Muntah dan keluarnya kotoran dengan konsistensi cair yang banyak merupakan karakteristik kolera . V. cholerae menyebabkan diare dengan melepaskan enterotoksin yang menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit oleh usus halus. Makanan dan air yang terkontaminasi adalah rute utama terjadinya infeksi pada manusia. Daerah dimana kolera adalah endemik rentan terhadap kejadian setelah bencana alam, seperti yang ditunjukkan oleh besarnya wabah diare (97.934 kasus) paska angin topan di India [12]. Analisis molekuler menegaskan bahwa wabah disebabkan oleh strain endemik V. cholera. Orang-orang yang terinfeksi kolera, respon imunnya akan membentuk sel B-memori, dan reaksi dari IgG dan IgA yang terdeteksi setidaknya 1 tahun setelah infeksi [13]. Reaksi sel-T terhadap V. cholerae mungkin memainkan peran dalam kekebalan protektif [14]. Prinsip-prinsip penanganan termasuk memulihkan cairan yang hilang dengan hidrasi oral atau intravena dan administrasi antibiotik. Sebuah uji klinis menunjukkan bahwa pasien dengan dehidrasi berat yang diobati dengan tetrasiklin memiliki penurunan durasi diare dan mengurangi volume tinja 50% [15]. Rejimen lazim adalah Dosis tunggal doxycycline (300 mg) dan alternatif termasuk trimethoprim-sulfamethoxazole, eritromisin, furazolidone, ciprofloxacin, atau azitromisin. Namun, sudah ada laporan peningkatan resistensi dari V. cholerae untuk kuinolon yang mungkin disebabkan gen resistensi termasuk qnrVC3 [16]. Mekanisme resistensi lain ditemukan di V. cholerae termasuk pompa penghabisan, kromosom mutasi spontan, plasmid conjugative, elemen SXT, dan integrons[17]. Penambahan seng oral (30 mg / hari) ke rejimen pengobatan anak-anak di Bangladesh mengakibatkan pengurangan 12% dari durasi diare dan penurunan 11% volume tinja [18].Ancaman wabah kolera paska bencana alam adalah keputusan garis depan bagi para pembuat kebijakan peraturan tentang kesehatan. Vaksinasi penduduk asli terhadap kolera merupakan strategi yang penting, terutama di daerah rawan bencana alam. Kolera oral vaksin/Oral Cholera Vaccines (OCVs) yang digunakan dalam pengelolaan di negara-negara sumber daya yang rendah telah terbukti kurang imunogenik dan kurang efek protektifnya dibandingkan dengan orang-orang di di negara industry [19, 20]. Hal ini mungkin karena apa yang disebut "Intestinal Barrier" dimana pada orang dari negara-negara kurang maju flora usus mereka mencerminkan adanya paparan terus-menerus terhadap lingkungan yang terkontaminasi tinja, mengakibatkan berkembangnya bakteri secarra berlebihan pada usus kecil [21]. Setelah tsunami besar yang melanda Asia Selatan pada 26 Desember 2004Departemen Kesehatan Indonesia, dalam hubungannya dengan World Health Organisation (WHO), mulai melakukan massimmunization dengan menggunakan menggunakan OCVs [22]. Ini adalah pertama kali kampanye paska bencana alam seperti ini diadakan. Proyek ini mengambil waktu yang lebih lama untuk diselesaikan, 6 bulan walaupun dalam perencanaan hanya dua bulan saja, dan menghabiskan lebih banyak biaya daripada yang dianggarkan. Hal ini menunjukkan adanya suatu batasan dari penggunaan Whole-cell B subunit Cholera Vaccime (WC/rBS) paska bencana alam. Terlebih lagi, studi terkini menunjukkan bahwa vaksin WC/rBS hanya memberikan proteksi jangka pendek dibandingkan progresivitas penyakit kolera karena adanya respon sel B memori yang berkurang terhadap toksin kolera subunit B dan lipopolisakarida [23].Wabah kolera yang mulai terjadi di Haiti pada Oktober 2010 menyebabkan penyebaran penyakit ini di daerah-daerah lain dalam negara tersebut. Asal dari wabah ini menimbulkan pertanyaan karena tidak pernah ada kasus kolera yang dilaporkan di Haiti selama lebih dari 100 tahun. Investigasi menggunakan DNA sequencing methof untuk menentukan sekuens genom dari isolate V. cholera dari Haiti dan dari isolate V. cholera dari negara lain [24]. Ditemukan bahwa strain yang menyebabkan wabah ini berasal dari Asia Selatan, sehingga dapat disimpulkan bahwa wabah yang terjadi adalah bukan karena bencana alam itu sendiri. Temuan ini memiliki implikasi kesehatan publik yang penting untuk Amerika Latin karena varian V. cholerae regangan dari Asia Selatan sekarang telah ada di Haiti (yang telah meningkat resistensi antibiotik, Kemampuan bakteri relatif lebih tinggi, dan kemampuan untuk menyebabkan penyakit yang parah )bisa menggantikan strain asli [24]. Para penulis menyarankan pemberian vaksinasi serta sanitasi yang memadai dan air bersih untuk membantu mencegah penyebaran penyakit. Namun, vaksin kolera dalam pasokan terbatas di Haiti . Sebuah model matematika memprediksi bahwa memberikan vaksin kolera akhir epidemi akan hanya memiliki efek sedang [25] . Sebaliknya , dua laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa vaksinasi kolera dapat membantu mengontrol penyakit setelah wabah [26, 27].

Demam TifoidPara agen etiologi demam tifoid, Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi serotipe A, B, dan C, tidak diketahui memiliki host lain kecuali manusia dan ditularkan oleh kontaminasi tinja pada makanan atau air. Demam tifoid dapat menyebabkan wabah paska bencana alam, seperti salah satu yang terjadi di Puerto Rico setelah Badai Betsy pada tahun 1956 dan di Indonesia setelah tsunami pada tahun 2004 [28]. Seperti dalam kasus kolera, daerah dengan demam tifoid endemik biasanya memiliki sanitasi yang buruk dan kurangnya akses terhadap air bersih; daerah tersebut sangat rentan terhadap terjadinya wabah besar paska bencana alam. Peneliti menemukan bahwa setelah tsunami di Indonesia pada tahun 2004, transmisi tifus terjadi di kalangan pengungsi karena proses memasak makanan yang tidak tepat dan kurangnya air bersih serta kontaminasi bakteri dari air minum [28]. Kurangnya ketersediaan obat antimikroba yang efektif juga memberikan kontribusi untuk penyebaran penyakit. Sejak tahun 1970-an banyak strain S. Typhi telah mengembangkan resistensi plasmid-mediated multidrug, dan pada tahun 2005 22% dari S. Typhi strain dari New Delhi, India resisten terhadap ciprofloksasin dan 16% strain resisten terhadap ceftriaxone [29]. Hal ini berkaitan dengan tatalaksana demam tifoid setelah bencana alam. Di negara-negara ini juga memiliki masalah dengan persediaan antibiotik yang efektif. Dua vaksin yang tersedia secara komersial untuk tifus dan secara teoritis itu harus mungkin untuk menghilangkan penyakit melalui perbaikan sanitasi. Namun, luas prevalensi dan kurangnya sumber daya untuk pembuangan limbah dan pengolahan air di negara-negara terbatas sumber daya saat ini membuat pemberantasan tujuan yang tidak realistis.ShigellosisShigella adalah bakteri paling menular penyebab diare. Meskipun kurang umum dibandingkan dengan kolera dan demam tifoid, wabah Shigella masih dapat terjadi paska bencana alam, yang menyebabkan kontaminasi pasokan makanan dan air. Para peneliti menyelidiki peningkatan penyakit diare paska gempa besar di Turki pada tahun 1999. Ditemukan spesies Shigella menjadi isolat yang paling sering diidentifikasi[30]. Sebuah studi yang melakukan evaluasi epidemi diare paska tiga banjir terpisah di Bangladesh ditemukan peningkatan berarti dari kasus/hari infeksi Shigella terkait banjir [31]. Para penulis menduga bahwa peningkatan adalah karena peningkatan umum dalam transmisi fecal-oral di epidemi pasca banjir. Para pasien dalam penelitian ini juga menderita dehidrasi yang lebih parah daripada mereka yang terkena selama periode non-banjir, menunjukkan kesulitan yang melekat mencari perawatan medis selama periode pasca-banjir. Hidrasi oral dan antibiotik termasuk fluoroquinolones atau azitromisin adalah agen yang direkomendasikan. Seperti Salmonella, resistensi antibiotic telah menyebar pada shigella termasuk pada antibiotic ciprofloksasin dan cephalosforin, membuat pilihan pengobatan menjadi terbatasEscherichia Coli EnterotoxigenicInfeksi yang disebabkan oleh Escherichia coli enterotoksigenik (ETEC) berkisar dari penyakit tanpa gejala sampai penyakit diare dengan gejala seprti koler yang berat. ETEC diketahui menyebar melalui air yang terkontaminasi [35]. Setelah banjir di Bangladesh pada tahun 2004, diare yang disebabkan oleh ETEC lazim dan jumlah ETEC dan V. cholerae terisolasi sebanding [36] . para penulis penelitian ini menemukan banyak pasien dengan ETEC memerlukan hidrasi intravena dan bahwa anak-anak di bawah usia 2 tahun sangat rentan. Mereka berhipotesis banjir yang terkontaminasi dengan air kali yang tercemar oleh limbah menyebabkan wabah ETEC dan mengembangkan vaksin merupakan suatu tindakan yang dapat diambil untuk mencegah penyakit ini di masa yang akan datang. Namun, hal ini sulit untuk dicapai karena heterogenitas determinan antigenik diperlukan untuk kekebalan protektif . Perkembangan terbaru adalah diusulkannya enterotoksin tahan panas dari ETEC telah diusulkan sebagai komponen vaksin karena terdapat dalam 75 % dari klinis isolat dan berhubungan dengan penyakit yang lebih parah daripada heat-labile enterotoksin [37].Virus-Virus Gastrointestinal dan Hepatitis VirusSetelah Badai Katrina pada tahun 2005 , wabah besar norovirus terjadi di kalangan pengungsi ditempatkan di sebuah penampungan sementara di Houston, Texas [38]. Wabah melibatkan orang dari semua kelompok usia dan ada beberapa strain terlibat, sehingga kemungkinan ada beberapa sumber infeksi. Otoritas di bidang kesehatan tidak dapat menghentikan penyebaran wabah meskipun upaya harian dan wabah berlanjut sampai fasilitas itu akhirnya ditutup. Pada tahun 1988, Bangladesh mengalami hujan deras saat musim penghujan yang menyebabkan banjir luas. Banjir bertepatan dengan peningkatan pasien yang dirawat di rumah sakit dengan diare. Peneliti menemukan bahwa lebih dari setengah dari kasus disebabkan oleh rotavirus dan paling berasal dari strain yang berbeda dari strain epidemi umum sebelum banjir [39] . Namun, mereka tidak menguji protozoa atau bakteri patogen.Virus Hepatitis A (HAV) dan Virus Hepatitis E (HEV) disebabkan oleh kontaminasi fecal-oral dan gangguan sanitasi paska bencana alam dapat menyebabkan wabah. Wabah HEV sering terjadi setelah banjir [40]. Gejala biasanya ringan seperti mual, muntah, kehilangan nafsu makan, dan penyakit kuning tetapi bisa parah pada wanita hamil [41]. Pada sebuah penelitian retrospektif dari Bangladesh, infeksi HEV akut di trimester ketiga kehamilan dikaitkan dengan 80 % kematian [42] . Penulis ini juga menemukan bahwa HEV menyebabkan tingginya insiden gagal hati fulminan. Empat tahun setelah gempa bumi di Turki, peneliti menemukan prevalensi tinggi HAV antara anak-anak yang selamat dari gempa (63 %) dan tingkat rendah pada prevalensi HEV (0,3 %) [43].ProtozoaSetelah banjir sungai Mississippi pada tahun 2001, konsentrasi Giardia dalam air minum meningkat 330% yang berkorelasi dengan peningkatan penyakit gastrointestinal (Rasio kejadian = 1,29) [44]. Dua faktor risiko utama untuk penyakit gastrointestinal adalah apakah orang tersebut telibat dalam usaha membersihkan dan apakah halaman rumah mereka terkena banjir. Perangkat pemurni air tidak mempengaruhi insidensi, yang menunjukkan bahwa akuisisi penyakit mungkin terjadi melalui rute selain minum air yang terkontaminasi seperti konsumsi makanan yang telah terkontaminasi oleh air banjir. Setelah Badai Katrina dan Rita, banjir ditemukan mengandung konsentrasi tinggi bakteri fecal dan Giardia dan Cryptosporidium terdeteksi di perairan kanal [45]. Dua laporan infeksi gastrointestinal pada anak-anak setelah gempa bumi ditemukan prevalensi tinggi Giardia di tinja sampel [46, 47]. Tinggal di perumahan sementara setelah gempa dan penggunaan toilet komunal merupakan faktor risiko terkena penyakit. Letusan gunung berapi Gunung St. Helens menyebabkan wabah penyakit gastrointestinal di Montana. Giardia telah diidentifikasi dalam sampel tinja dari 51% dengan gejala dan 13 % yang asimtomatik ( p = 0,00045 ) [ 48 ]. Tanpa filter dan air yang tidak diklorinasi dari sistem air kota itu kemudian diidentifikasi sebagai sumber wabah.Pencegahan Penyakit Gastrointestinal Paska Bencana AlamSalah satu tugas yang paling penting dari otoritas kesehatan masyarakat setelah bencana adalah surveilans penyakit. Kemampuan untuk mendeteksi sejak awal kejadian diare sangat penting dalam manajemen wabah [49, 50]. Salahsatu cara penting pencegahan adalah penyediaan air minum yang aman melalui klorinasi, yang efektif terhadap hampir semua patogen yang ditularkan melalui air. Setelah tsunami Asia Selatan pada tahun 2004 klorinasi pada air yang disimpan, baik di kapal tanker atau rumah tangga, adalah satu-satunya intervensi terkait dengan penurunan risiko E. coli dalam air [51] minum. Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa air mendidih itu tidak lebih mungkin untuk bebas dari kontaminasi E. coli dari air yang tidak diobati. Temuan ini meragukan pernyataan dari lembaga bantuan asing yang menyatakan bahwa merebus air dapat mengurangi terjadinya penyakit gastrointestinal paska tsunami [52]. Studi yang menggunakan metode disinfeksi dengan sinar matahari untuk Giardia dan Cryptosporidium dan menemukan bahwa teknik ini diberikan dapat menginaktivasi spora apabila telah diberi paparan selama 4 dan 10 jam [53]. Para peneliti menyarankan bahwametode ini bisa efektif sebagai intervensi darurat untuk pengolahan air rumah tangga setelah bencana alam. Studi skala besar harus dilakukan sebelum digunakan secara luas.Strategi lain pencegahan penting adalah mempromosikan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air. Intervensi ini ditemukan menjadi intervensi yang secara biaya paling efektif dalam menghentikan penyebaran penyakit diare paska banjir [54]. Namun, upaya oleh tenaga kesehatan masyarakat untuk meningkatkan kebersihan pribadi selama wabah norovirus di Hurricane Katrina pengungsi tidak berhasil menghentikan wabah [38] . Pembersih tangan beralkohol efektif terhadap banyak patogen yang menyebabkan penyakit pencernaan tapi memiliki aktivitas terbatas terhadap norovirus [38].Kesulitan logistik dan biaya membuat penggunaan vaksin kolera secara luas menjadi terbatas. Seperti yang sebelumnya disebutkan, penggunaan vaksinasi kolera oral paska tsunami di Indonesia pada tahun 2004 hanya sedikit berhasil dan terjadi peningkatan dari anggaran. Sebuah studi terbaru dari Vietnam menunjukkan bahwa OCV hanya memberika 76% perlindungan terhadap kolera dalam rangka pengendalian wabah [27] . Apakah hasil ini dapat dipakai dalam manajemen paska bencana alam adalah untuk penelitian lebih lanjut. Vaksin HAV direkomendasikan di Polandia paska banjir besar pada tahun 1997, tetapi masih sedikit data tentang keefektifitasannya [55]. Vaksinasi tifus umumnya tidak dianjurkan untuk mencegah wabah paska bencana alam karena tidak ada bukti bahwa itu efektif.KesimpulanMomok penyakit gastrointestinal paska bencana alam terus menjadi tantangan penting untuk kesehatan masyarakat di abad ke-21. Tingkat keparahan mereka sering berkorelasi dengan tingkat gangguan pasokan air dan sanitasi. Pengawasan harus ditetapkan sesegera mungkin untuk mendeteksi wabah lebih awal untuk meminimalisasi efek pada para korban bencana alam. Diagnosis dini dan pengobatan diare adalah yang terpenting, terutama pada populasi rentan seperti orang tua dan mereka yang berusia