Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsa 1 ) Oleh: Mohammad Adib 2 ) Nasionalisme fasis di Uni Soviet dengan komunismenya telah terbukti bangkrut. Yugoslavia, dan Cekowlovakia terpecah-pecah. Sementara Jerman justru bersatu. Apa yang sesungguhnya terjadi ? Dalam the End of History and the Last Man (Fukuyama: 2002) fenomena tersebut dilihat sebagai isyarat bahwa dunia sedang bergerak ke dalam ’tatanan baru’ yang ia sebut sebagai new liberalisme. Tatanan baru ini ibarat ’angin buritan’ yang menghempaskan kekuasaan diktatorial yang selama ini memproduksi landasan kekerasan sebagai bahasa nasionalisme. Nilai kebangsaan dipaksakan dengan aksi polisional, propaganda kebangsaan, kampanye monolitik yang mutlak dimonopoli negara-negara besar dianggap tidak mampu lagi toleran terhadap pertumbuhan nilai yang mengedepankan kemanusiaan dan kebangsaan. Problem mendasar lainnya adalah betapa ruang kebangsaan kita sebagai bangsa yang berdaulat dan memiliki identitas khas ke-Indonesia-an sedikit demi sedikit mulai kendur dan dipertanyakan sejumlah kalangan. Arus globalisasi yang sedemikian kuat telah menjadikan dunia ini sebagai pasar ideologi yang saling bersinggungan. Konsekuensi logisnya maka apa yang selama ini dibanggakan sebagai identitas atau jatidiri kebangsaan terasa kian kehilangan ruhnya. Kendatipun banyak warga negara senang memakai pakaian putih-putih sebagai lambang kejernihan dan kesucian, namun di balik pakaian tersebut dapat bertengger kepribadian mosaik yang majemuk dan kompleks. ”Aku ini pejuang merah putih”, kata seseorang kepada penulis pada suatu saat. Orang ini ingin menunjukkan diri sebagai pembela bangsa dan negara. Namun di banyak kesempatan dia berkotbah dan sering menyampaikan peryataan bahwa segala jalan atau cara dapat dibenarkan dalam perjuangan untuk mencapai tujuan. Juga mengokohkan pandangan bahwa rakyat Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian nasional. Sesungguhnya, siapa saja yang menyatakan bahwa segala cara atau jalan dapat 1 ) Makalah disampaikan dalam Seminar memperingati 100 tahun Kebangkitan Bangsa Indonesia diselenggarakan oleh LPPM UNAIR dengan tema ”Wawasan Kebangsaan bagi Pemuda” pada Jumat, 23 Mei 2008 di Gedung Perpustakaan Kampus C UNAIR. 2 Drs. H. Mohammad Adib, MA. adalah Dosen Pendidikan Pancasila, Ketua Laboratorium Humaniora TPB (Tingkat Persiapan Bersama), dan juga Dosen Departemen Antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya. Sekretaris Tim Penyusun buku Pembangunan Jatidiri Bangsa Indonesia (Surabaya: 2003). [email protected]
21
Embed
Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsa 1)
Oleh: Mohammad Adib 2)
Nasionalisme fasis di Uni Soviet dengan komunismenya telah terbukti bangkrut.
Yugoslavia, dan Cekowlovakia terpecah-pecah. Sementara Jerman justru bersatu. Apa
yang sesungguhnya terjadi ? Dalam the End of History and the Last Man (Fukuyama:
2002) fenomena tersebut dilihat sebagai isyarat bahwa dunia sedang bergerak ke dalam
’tatanan baru’ yang ia sebut sebagai new liberalisme.
Tatanan baru ini ibarat ’angin buritan’ yang menghempaskan kekuasaan diktatorial
yang selama ini memproduksi landasan kekerasan sebagai bahasa nasionalisme. Nilai
kebangsaan dipaksakan dengan aksi polisional, propaganda kebangsaan, kampanye
monolitik yang mutlak dimonopoli negara-negara besar dianggap tidak mampu lagi
toleran terhadap pertumbuhan nilai yang mengedepankan kemanusiaan dan
kebangsaan.
Problem mendasar lainnya adalah betapa ruang kebangsaan kita sebagai bangsa yang
berdaulat dan memiliki identitas khas ke-Indonesia-an sedikit demi sedikit mulai
kendur dan dipertanyakan sejumlah kalangan. Arus globalisasi yang sedemikian kuat
telah menjadikan dunia ini sebagai pasar ideologi yang saling bersinggungan.
Konsekuensi logisnya maka apa yang selama ini dibanggakan sebagai identitas atau
jatidiri kebangsaan terasa kian kehilangan ruhnya.
Kendatipun banyak warga negara senang memakai pakaian putih-putih sebagai
lambang kejernihan dan kesucian, namun di balik pakaian tersebut dapat bertengger
kepribadian mosaik yang majemuk dan kompleks. ”Aku ini pejuang merah putih”, kata
seseorang kepada penulis pada suatu saat. Orang ini ingin menunjukkan diri sebagai
pembela bangsa dan negara. Namun di banyak kesempatan dia berkotbah dan sering
menyampaikan peryataan bahwa segala jalan atau cara dapat dibenarkan dalam
perjuangan untuk mencapai tujuan. Juga mengokohkan pandangan bahwa rakyat
Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian nasional.
Sesungguhnya, siapa saja yang menyatakan bahwa segala cara atau jalan dapat
1) Makalah disampaikan dalam Seminar memperingati 100 tahun Kebangkitan Bangsa
Indonesia diselenggarakan oleh LPPM UNAIR dengan tema ”Wawasan Kebangsaan
bagi Pemuda” pada Jumat, 23 Mei 2008 di Gedung Perpustakaan Kampus C UNAIR.
2 Drs. H. Mohammad Adib, MA. adalah Dosen Pendidikan Pancasila, Ketua Laboratorium Humaniora TPB (Tingkat Persiapan Bersama), dan juga Dosen Departemen Antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya. Sekretaris Tim Penyusun buku Pembangunan Jatidiri Bangsa Indonesia (Surabaya: 2003). [email protected]
dibenarkan dalam perjuangan untuk mencapai tujuan, sebenarnya orang tersebut
adalah pendukung moralitas Neo-Komunis. Siapa saja yang mengokohkan pandangan
bahwa rakyat Indonesia tidak harus semuanya masuk sekolah atau lulus Unas (Ujian
Nasional) sebenarnya adalah pendukung moralitas Neo-Liberalis. Dalam realitas
keseharian sering kita jumpai, orang mengaku sebagai pembela Pancasila, namun
dalam moralitasnya sebagai pendukung aliran-aliran tersebut.
Manusia yang berkepribadian tunggal itu adanya hanyalah di akhirat. Sebab manusia
mengembangkan diri ke segala arah dan mengalami pembelajaran yang beragam.
Umpamanya dia seorang guru, tetapi juga seorang pedagang, dan melakukan siar
agama sehingga dikenal sebagai Ustadz. Manusia adalah makhluk yang berkepribadian
majemuk (multi personality).
Multifigurasi Bangsa Indonesia
Dapatkah melukiskan figur (sosok tubuh) orang Indonesia? Dalam sejumlah
perenungan, menurut hemat penulis bahwa orang Indonesia itu berkepala agama,
bertulang Pancasila, berbadan liberalis, berkaki pragmatis, dan bertangan komunis.
Figur ini tentu sifatnya fleksibel. Siapakah yang tidak mengetahui bahwa orang-orang
Indonesia memang setia sebagai pemeluk agama dan percaya akan eksistensi Tuhan
YME. Semua orang mengetahui bahwa Dasar Negara RI adalah Pancasila. Bahkan pada
zamannya, Pancasila itu pernah menjadi sangat sakti yang diperingati setiap 1 Oktober.
Tetapi orang Indonesia memang sangat unik, karena ingin cepat kaya tanpa bekerja,
demikian pandangan Prof. Koentjaraningrat (1985). Senang makan enak agar tubuh
menjadi tambun, namun tidak senang bekerja keras. Ingin cepat menjadi kaya, agar
disebut sebagai Boss. Ingin pandai tanpa mau belajar. Ingin jadi sarjana tanpa kuliah.
Pendeknya ingin masuk sorga tanpa mau ibadah dan berperilaku mulia lainnya.
Akhirnya senang dan bangga disebut kapitalis liberal setelah memiliki rumah mewah di
wilayah elit dengan pagar tinggi yang tertutup dan gambarkan hewan dengan tulisan
“awas anjing galak”.
Hidup seseorang menjadi sangat pragmatis, “tidak perlu pilih-pilih karena mencari
nafkah yang haram saja sulit, apalagi mencari nafkah yang halal,” katanya. “Hidup
jangan dibuat sukar dan idealis, melainkan harus dibuat praktis, yang penting dapat
hidup enak dan hepi,” katanya pula. Kalau berbohong (praktek calo di Kantor Samsat
atau terminal) dapat menghasilkan uang, maka dianggap syah adanya. ”Setiap rejeki itu
merupakan rahmat dan ridho dari Tuhan YME”, katanya.
Bertangan Komunis?
Wah, yang ini agak mengerikan, yaitu bertangan komunis, sehubungan dengan ideologi
pergerakannya. Apakah dapat terjadi? Salah satu moralitas komunis ialah
menghalalkan segala cara atau jalan untuk mencapai tujuan (Bertens: 2005). Kini
banyak dijumpai orang bermoralitas demikian. Tidak perlu menilai dan memilih cara
atau jalan berdasarkan pertimbangan agama dan Pancasila, yang penting suatu tujuan
harus tercapai. Karena itu pula maka berkembanglah secara luas dalam masyarakat
Indonesia moralitas komunis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Tangan manusia tidak memiliki otak, karena itu tidak memiliki pilihan lain dan
pertimbangan sendiri. Bukankah tangan-tangan orang Indonesia bermoralitas komunis
yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Secara khusus moralitas menghalalkan segala cara itu terdapat dalam praktik
perpolitikan dan perekonomian di Indonesia. Wakil-wakil rakyat telah bekerja keras
untuk membangun budaya politik, namun moralitas segala cara dapat dihalalkan untuk
mencapai tujuan, telah menjadi pedoman dan praktik penting dalam perjuangan.
Gambaran manusia Indonesia yang mosaik ini sangat menggelikan dan bahkan
menjijikkan, namun kepribadian orang-orang Indonesia menjadi seperti itu karena
orang-orang Indonesia tidak memiliki sikap dan perilaku yang konsisten dan jujur
untuk memegang budaya bangsa sendiri dan tidak begitu setia sepenuhnya dengan
Pancasila sebagai Dasar Negara atau sebagai Kepribadian Bangsa.
Selama itu dijumpai banyak warga negara Indonesia mengaku sebagai pejuang bangsa
dan negara, tahu-tahu kemudian melakukan tindakan kejahatan KKN, dan setelah
diperilaksa KPK, kemudian terbukti. Kini harus bertempat tinggal di Pulau Nusa
Kambangan. Banyak oknum penegak hukum mengklaim diri sebagai penegak keadilan
di bumi Indonesia, tahu-tahu mereka terlibat tindakan kejahatan KKN. Di samping
memang belum terdapat reformasi yang sungguh-sungguh dalam lembaga peradilan di
Indonesia, para elit bangsa ini telah menggunakan ilmu dan strategi untuk melakukan
kejahatan sempurna (perfect crime). Reformasi di lembaga penegak hukum hanya
sebatas wacana-wacana kaum elit, dan tidak ada konsep reformasi tertulis, terencana
dan sistematik hingga melampaui sepuluh tahun sekarang ini.
Bertulang Lunak Pancasila
Ada tulang keras, dan ada tulang lunak. Dalam buku Manusia Pancasila (Sujana:2006)
telah memaparkan bahwa manusia Pancasila adalah manusia dengan kepribadian
religius, humanistik, ontologis monistik (cinta persatuan kesatuan), demokratis dan adil
(sebagai cerminan sila-sila Pancasila). Namun tulang orang-orang Indonesia masih
sangat lunak. Sehingga kepribadiannya masih labil.
Kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia yang demikian tidaklah lengkap, sebab
secara normatif sila-sila Pancasila tidaklah static, melainkan dinamik. Terdapat
interaksi antar sila-sila itu sendiri. Karena itulah muncul kepribadian baru seperti
kepribadian naturalistik, cinta kebenaran dan kebaikan, kemampuan mandiri, moralitas
dan akhlak, nasionalistik dan patriotik, menghargai Ipteks, berjiwa kemasyarakatan dan
budaya, dan menghargai seni dan estetik.
Kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia sebenarnya adalah lengkap. Namun
masyarakat dan bangsa Indonesia kurang mengamalkan dan menampilkan kepribadian
itu dalam aktualitas kehidupan faktual dan tidak muncul menjadi pedoman dan rujukan
kehidupan sehari-hari. Seperti orang yang omongannya besar, namun dalam
pengamalannya sangat kecil dan kerdil. Dengan kata lain tulang-tulang orang Indonesia
masih sangat lunak.
Orang Indonesia dianggap tidak memiliki kepribadian kemandirian dan harga diri yang
tinggi. Karena tidak mandiri itu, lalu senang meminjam ini dan itu, termasuk mencari
hutang luar negeri. Yang sangat aneh tidak pernah hasil audit dari hutang luar negeri
(mencapai Rp. 1.1425 trilyun) yang yang diumumkan ke publik. Kok tahu-tahu habis
ludes.
Rendahnya kepribadian kemandirian bangsa Indonesia telah membuat msyarakat dan
bangsa tidak memandang penting nilai gengsi dan kedudukan harga diri. Termasuk
menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia, Jatim Tahun 2004 adalah 25.801 orang) pun
tidak perlu malu. Bahkan rasa malu dan rasa bersalah itu dianggap tidak pernah ada.
Yang penting adalah mendapatkan banyak dollar.
Karena bertulang lunak lalu menyukai pakaian asing tebal dan indah. Kalau keluar
rumah juga senang menggunakan kendaraan motor-mobil buatan luar negeri. Itulah
sebabnya warga masyarakat senang mempraktekkan faham-faham Kapitalisme liberal
hasil diimpor di Barat. Tubuh orang Indonesia menjadi gemuk setelah darahnya
memperoleh kucuran donor hutang luar negeri dari negara-negara maju.
Paradoksal
Tidak jarang kita mendengar dengan telinga kapala sendiri dalam suatu seminar dan
lalu ditayangkan di media massa, sementara warga negara yang berbicara tanpa sadar
bahwa tanpa Pancasila, negara Jepang atau Amerika dapat makmur dan sejahtera.
Pernyataan ini dapat meragukan kemampuan Ideologi Pancasila sebagai landasan
pembangunan bangsa dan negara. Pandangan itu mendorong warga masyarakat
Indonesia tidak lagi begitu percaya dan yakin akan kemampuan Pancasila untuk
membawa bangsa dan negara mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Orang-orang yang menyatakan bahwa tanpa Pancasila, Jepang dan Amerika dapat
makmur sesungguhnya adalah polah tingkah orang-orang Indonesia yang munafik
(hypocrite). Yang omongannya menghargai Pancasila namun pelaksanaan hidup
berlandasakan Kapitalisme liberal. Orang-orang semacan ini dijumpai di kalangan elit
bangsa dan senang menepuk dada sebagai pejuang bagi bangsa dan negara Indonesia.
Yang perlu memperoleh kewaspadaan adalah bangsa Indonesia yang percaya akan
eksistensi Tuhan YME, dan menyatakan sebagai masyarakat dan budaya yang
spiritualis, namun aneh sekali bangsa Indonesia mendua dan hidup dalam realitas
paradoksal. Realitas sosial dalam beragama tetap jalan, namun tindakan kejahatan KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) juga tetap berjalan lancar. Rumah ibadat sangat
banyak, namun lokalisasi pelacuran dan perjudian, diskotik terbuka di mana-mana.
Setelah bersembahyang lalu sejumlah orang juga dapat dijumpai berjalan berjamaah
mendatangi lokalisasi (mendatangi kegiatan dakwah kali!!) yang dikemas sebagai
tempat yang mewah. Dunia di depan kita menjadi dunia paradoksal.
Moralitas Materialistik Komunis
PKI (Partai Komunis Indonesaia) telah dilarang eksistensinya di bumi Indonesia
berdasarkan Tap MPRS No.XX/MPRS/1966. Namun ideologi komunis sesungguhnya
tidaklah pernah mati bahkan terdapat gejala untuk membangkitkan semangat baru.
Salah satu ajaran moralitas komunis adalah materi atau uang menjadi indikator sosial
dalam masyarakat serta menghalalkan segala cara atau jalan untuk mencapai tujuan.
”Pokoknya tujuan tercapai, habis dan beres perkara”. ”Pokoknya menang dalam
Pemilu”, katanya. ”Moral dan akhlak tidak terlalu penting dan signifikan untuk
sementara”, katanya lebih lanjut. Pernyataan ini adalah moralitas materialistik
komunis. Lho kok popular di bumi Indonesia?
Bagi penganut pandangan komunis dan Marxis, moral dan etika itu tidak pernah ada
dan nyata dalam masyarakat. ”Moral dan etika itu adalah sesuatu yang signifikan hanya
untuk orang-orang miskin dan tertindas. Orang kaya tidak perlu etika dan moral”,
katanya. Moral dan etika itu diperlukan hanya bagi penguasa, dalam upaya
menjalankan tugasnya mengatur dan menindas rakyat.
Namun apa yang terjadi sangatlah aneh. Etika yang menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan telah menyatu dalam sikap dan perilaku yang populer di masyarakat
Indonesia. Karena itu pula tindakan kaum birokrasi cendrung menghalalkan segala cara
untuk memncapai tujuan. Para wakil rakyat bersama birokrat telah bekerja keras dan
secara rapi untuk membobol uang negara. Hingga kini memang belum terjadi reformasi
yang sungguh-sungguh dalam birokrasi di Indonesia. Perbaikan pelayanan publik
hanyalah wacana, dan belum pernah dilaunching gagasan konseptual yang terencana
dan sistematik. Oleh sebab itulah KKN terus tumbuh dengan suburnya.
Orang Indonesia dapat saja di tengah otaknya dan dalam hatinya, dipenuhi dengan
keyakinan keagamaan, namun tangan-tangannya telah mengamalkan ajaran
materialistik komunis, yaitu penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan. KKN itu
dianggap syah-syah saja untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Adakah
oknum pejabat publik yang bersih? Telah sering kita saksikan pada masa akhir
jabatannya selalu diperiksa polisi dan menjadi obyek kejaran oleh KPK.
Buku yang berjudul bahwa KKN Itu Nikmat dan Berbohong itu Nikmat. Luar biasa
isinya karena memandang tindakan KKN itu syah-syah saja. Konon terdapat fatwa yang
menyatakan bahwa tindakan KKN itu harus dipisahkan agama. KKN itu urusan dunia,
dan agama itu urusan akherat. Karena itu KKN harus dipandang netral dan wajar-wajar
saja. Pernyataan ini memang ajaran yang dipraktikkan oleh kaum komunis.
Sesungguhnya masyarakat dan bangsa Indonesia harus memiliki keyakinan bahwa
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia ada dalam pantauan dan naungan Tuhan
YME (cerminan sila I Pancasila). Oleh sebab itu tidak ada satu perbuatanpun yang
dapat dipisahkan dengan agama. KKN itu suatu kejahatan kemanusiaan, karena KKN
telah membuat sebagian besar bangsa ini menjadi miskin dan sengsara.
Sering kita dapati sejumlah elit bangsa Indonesia mengklaim diri sebagai pejuang dan
pahlawan yang berjasa bagi bangsa dan negara ini. Namun mereka merasa perlu
memperoleh balas jasa yaitu dengan membobol kekayaan dan uang negara. Pejuang-
pejuang elit bangsa yang munafik dan penghianat seperti ini sering muncul dengan
sangat marak, karena mereka ingin kaya secara instan.
Faham kebangsaan Indonesia telah menjadi gamang dan semu, karena faham
kebangsaan telah dikotori oleh oknum elit bangsa sekarang yang munafik. Mereka telah
menjadi preman-preman kenegaraan dengan baju dan lencana pahlawan. Masyarakat,
bangsa Indonesia yang menjadi pendukung Pancasila hendaknya lebih bersikap rasional
dan kritis dalam melihat perkembangan dan perubahan.
Manusia Pancasila
Jika anda Warga Negara Indonesia hendaknya bertubuh Manusia Pancasila yang sejati,
dan jangan memiliki tubuh dengan kepribadian yang mosaik. Jadilah manusia dengan
Tubuh Merah Putih. Jadilah manusia Indonesia yang kepribadian religius, humanistik,
ontologis-monistik, demokraris, dan adil.
Masyarakat, bangsa dan negara RI adalah berada dalam naungan Tuhan YME
(cerminan Sila Pancasila). Siapa saja yang menyatakan bahwa masyarakat, bangsa dan
negara Republik Indonesia ini di luar dari naungan Tuhan YME, maka dia akan
mendorong kehidupan komunis ke dalam masyarakat Indonesia, dan mendorong
kehidupan sekuler sesuai dengan faham kapitalisme liberal.
Pembangunan bangsa dan negara akan tidak menghasilkan apa-apa dan perubahan-
perubahan yang terjadi tidak memberikan makna dan nilai guna bagi penegakaan
keadilan dan kesejahteraan rakyat, kalau pembangun bangsa dan negara mengabaikan
gagasan eksistensi moralitas manusia Pancasila yang sejati. Bangsa dan negara telah
sangat sulit dan bahkan gagal membangun pejuang-pejuang bangsa yang sejati. Bangsa
dan negara ini telah dikuasai kaum manipulatif yang bermuka bebal (tebal).
Dunia Pendidikan
Apakah masyarakat dan bangsa Indonesia membutuhkan pembudayaan atau
penyemaian kejujuran dan jatidiri di hati peserta didik ataukah dibiarkan kepribadian
kejujuran dan jatidiri itu dibiarkan hilang. Di balik fenomena menangisnya para orang
tua murid karena anak-anaknya tidak lulus ujian dan banyak peserta didik yang stress
sehingga mau bunuh diri, sebenarnya terdapat fenomena “sick minded learning”
(belajar dengan kondisi jiwa yang sakit). Istilah yang tepat untuk menyatakan
masyarakat Indonesia sekarang ini, yang serba mengalami “sick mind”. Kita semestinya
mendorong masyarakat mencapai kondisi “healty minded learning” (pembelajaran
dengan jwa yang sehat). Istilah ini sebenarya datang dari pemikir Amerika bernama
William James, bahwa masyarakat transisi dan sedang sangat rentang terjatuh ke dalam
kondisi masyarakat yang sakit.
Pernah diberitakan bahwa Mabes POLRI menginstrukskan kepada Polda-Polda untuk
mengusut kecurangan Ujian Nasional yang lalu. Mengapakah dunia pendidikan di
Indonesia menalami krisis dan menjadi dunia proses belajar mengajar yang sangat
kotor? Apakah kita sebagai bangsa tidak menjadi malu? Budaya curang telah lama
melekat dalam dunia pendidikan di Indonesia. Perilaku nyontek dan ngerepek telah
menjadi perilaku biasa di lembaga pendidikan.
Alangkah bahagianya masyarakat Jepang dan masyarakat Malaysia, di mana dunia
pendidikan telah menjadi dunia yang jernih dan bersih. Tradisi menjaga ujian telah
usai, sudah tidak relevan dan signifikan. Tidak lagi ditemui para guru yang menaga saat
ujian berlangsung. Setelah soal ujian dibagikan, para guru meninggalkan ruangan
tempat ujian untuk melanjutkan pekerjaan yang lain. Peserta didik tidak ada yang
berbuat curang dan nakal. Lalu bagaimana kondisi ujian di Indonesia?
Kalau para guru dan pengawas ujian tidak bekerja keras, maka peserta ujian akan
berbuat curang dan kerja sama dalam mengerjakan soa-soal ujian. Telah dibuat
selebaran bahwa dilarang bekerja sama dalam mengerjakan soal ujian, bahkan sanksi
ujian dibacakan dimuka kelas. Toh tidak menpan. Peserta didik telah kebal dan tidak
peduli. Sikap kejujuran telah lama mati, demikian pernyataan seorang guru. Bahkan
ada guru yang membuat pernyataan bahwa jatidiri warga bangsa ini telah lama mati.
”Siapa yang jujur, akan menjadi kujur (hancur),” katanya.
Membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang melekat berkepribadian jujur ini
tidak mudah, karena struktur sosial telah sakit sejak lama. Budaya curang itu terjadi di
berbagai tempat, mulai dari lapis atas sampai lapis bawah ”tukang parkir”. Matinya
udaya jujur ini sejalan dengan matinya moralitas masyarakat dan bangsa Indonesia.
Karena itu marilah merenung bagaimana kita sebagai masyarakat dan banga dapat
kembali menjadi masyarakat dan bangsa yang berbudaya jujur, sopan, terbuka, dan
bersahabat.
Dalam renungan, penulis mencari sebab dalam proses belajar mengajar (PBM) dalam
dunia pendidikan. Marilah sejenak melihat pandagan Kroeber dan Kluckhon tentang
kebudayaan. Menurutnya inti budaya (cultre core) adalah learning process. Hanya
manusia dapat melakukan proses belajar, dan hewan tidak mampu melakukan. Dengan
learning process itu manusia dapat mengembangkan potensi dan kemampuan dirinya,
terutama dalam mengembangkan IPTEKS. Mengapakah perilaku curang berkembang
dalam diri peserta anak didik kita dewasa ini? Menurut hemat penulis bahwa telah
terjadi kekeliruan yang amat besar dalam learning process dalam dunia pendidikan.
Hubungan antara peserta didik dengan guru, antara dosen dengan mahasiswa telah
menjadi kosong, dalam arti semakin tidak menyentuh emotional values dan spiritual
values (nilai-nilai emotional dan nilai-nilai spiritual). Hubungan siswa/mahasiswa
dengan guru/dosen dewasa ini telah menjadi hubungan formal dan mencerminkan
hubungan transaksional, seperti dalam dunia dagang. Kami yang menjual, kamu yang
membeli. Tidak ada lagi kesempatan guru/dosen untuk memberikan sentuhan emosi
dan spiritual.
Matakuliah Pendidikan Kepribadian (MPK) seperti Pendidikan Agama, Pendidikan
Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan menjadi gamang dan semu. Learning process
hanya menyentuh akal semata, tidak menyentuh emosi dan hati. Di sanalah masyarakat
dan dunia pendidikan memberikan pujaan kepada orang yang lulus dengan nilai IP
yang tinggi, dan tidak memuja mereka yang memiliki moralitas dan spriritualitas yang
tinggi.
Dunia pendidikan semakin kering dengan transformasi nilai-nilai luhur budaya bangsa,
karena hubungan manusia dalam lembaga pendidikan hanya mengajarkan ilmu tanpa
mengajarkan moral dan karakter. Tidak ada lagi sentuhan emosi, spiritualitas, dan
kearifan. Kondisi yang demikian ini telah membuat budaya curang itu tumbuh terus
secara subur. Budaya curang tumbuh dan berkembang ibaratnya rumput disiram
dengan air dan rabuk.
Ketidakjujuran dan kecurangan muncul di mana-mana dan anak-anak muda sangat
mudah menemui dan mengalaminya. Mencari SIM harus bayar. Ditilang oknum juga
haus bayar. Menaikkan nilai ujian harus bayar. Mencari ijazah juga dapat
membayarnya. Anak-anak dengan mata terbuka dapat melhat dan mencermati tindakan
kecurangan dan kejahatan itu. Peserta didik akan mengalami dunia pengalaman yang
penuh paradoksal dan kemunaikan. Katanya harus bersikap jujur dan mulya, kok
banyak warga yang beruat curang dan jahat. Katanya warga harus tertib, kok banyak
warga yang melanggar aturan lalu lintas. Demikian juga, katanya anak-anak tidak boleh
merokok, namun bapak-bapak kok senang “mengepul” (merokk berat). Katanya kita
harus menjadi masyarakat dan bangsa yang berbudaya, namun tindakan kekerasan
terjadi di mana-mana. Slogannya memang masyarakat Indonesia berbudaya, namun
mental dan jiwanya berkualitas barbar (istilah dar J. Frazer).
Telah n terjadi pendidikan penerus bangsa yang buruk dan tercela, sebab generasi
sekarang sama sekali tidak bertanggungjawab akan pendidikan moral dan kepribadian
generasi penerus. Moral dan jiwa dari generasi penerus telah diracuni dengan nilai
budaya yang buruk. Tidak ada contoh yang murni dan baik.
Menyongsong Kecerahan Kehidupan Berbangsa
Masyarakat, bangsa dan Negara memiliki moral kejujuran dan jatidiri bangsa
nampaknya masih jauh dan akan sulit berkembang. Faham kebebasan atau liberalis
daam masyarakat semakin kuat, dan kehidupan religius atau spiritualis tidak menadi
hal yang penting. Manusia adalah mahluk individual yang tidak membutuhkan tatanan
moral sebagai koridor perlaku dalam masyarakat. Yang membutuhkan moral kejujuran
dan jatidiri itu adalah-adalah orang miskin dan bodoh, kalau telah kaya dan bebas maka
tidak perlu moral kejujuran dan jatidiri, kata para pendukung faham kapitalisme liberal.
Pelaksanaan kurikulum dengan basis KBK tida ada artinya karena pelaksanaan
kurikulum KBK haruslah berlandaskan filsafat pendidikan konstruktivisme, bukan pada
landasan filsafat subyektivisme atau liberalisme. Dalam filsafat konstruktivisme,
kedudukan pengembangan moral dan jatidiri dari peserta didik menjadi sangat penting.
Orang dapat saja menjadi cerdas dalam arti kemampuan IQ, namun belum tentu akan
memiliki kemampuan kepribadian EQ dan SQ. Kini memang banyak orang pandai,
namun mereka telah menjadi manusia-manusia yang serakah (greedy) akan harta dan
kekuasaan.
Pendidikan di kelas telah menjadi hubungan antar manusia seperti di pasar, ada uang
ada proses belajar. Tidak ada uang, proses belajar tidak ada. Hubungan emosional dan
karakter sudah hilang, karena antar siswa dan guru tidak saling menyapa satu ama
lainnya. Lingkungan sekolah telah berubah menjadi lingkunan pasar. Kalau ada
kepentingan barulah ada interaksi yang mendalam. Kalau tidak penting, kalau perlu
saling tidak menapa satu sama lainnya.
Perubahan system pendidikan, modernisasi, dan glbalisasi hendaknya jangan sampai
menimbulkan korban terhadap moral dan jatidiri bangsa. Masyarakat, bangsa dan
Negara harus memberikan respon yang cermat terhadap perubahan-perubahan dalam
sistem pendidikan. Pengembangan pendidikan nasional semesinya memperhatikan
landasan cultural, bukan landasan materi dan uang. Akhirnya pendidikan Indonesia
akan gagal membawa masyarakat dan bangsa Indonesia menjadi masyarakat dan
bangsa yang beradab, karena learning process semakin tidak memliki “sof humanity”
dalam interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Pendidik sendiri telah
berkembang sebagai pebisnis, yang tidak membutuhkan landasan sentuhan emosi dan
spiritualitas.
Apakah kita akan membiarkan situasi dan lingkungan pendidikan bangsa seperti
sekarang, yang tidak memperhatikan soft humanities. Semua kurikulum sebenarnya
membicvarakan aspek kemanusaan, sebab ilmu harus memiliki nilai-nilai kemanusiaan.
Guru harus menyatakan bahwa ilmu matematika atau fisika adalah ilmu yang memiliki
aksiologi kejujuran yang sangat tnggi. Menurut matematika 4 kali 4 pasti 16. Tidak
dapat ditafsirkan yang lain seperti dalam ilmu hukum dan ilmun sosial. Anehnya anak-
anak kita tidak lulus dalam mata ajaran ilmu matematika. Mungkin sekali anak-anak
yang bermoral tidak jujur itu memang tidak senang matematika.
Marilah kita menyemaikan nilai-nilai kejujuran ada peserta didik dengan memperbaiki
hubungan dan interkasi antara siswa/mahasiswaq dengan guru/dosen dengan
menjaukan hubuangan dan interaksi model formal dan transaksional.
Kesiapan Solusi
Barbara Ward (1960) lebih banyak disebabkan oleh pemikiran dari pada gerakan
demontrasi. Pemikiran manusia yang terus mengalir dan disertai dengan inovasi telah
mampu merubah dunia dan peradaban manusia, seperti yang kita saksikan sekarang.
Menurut Barbara Ward, ada lima pokok pikiran yang merubah dunia yaitu:
Industrialisme, Kolonialisme, Komunisme, Nasionalisme, dan Internasionalisme. Oleh
karena itu, kelahiran suatu negara, terutama setelah perang dunia II bersamaan dengan
kalahiran suatu bangsa (Arnason, 1990:212).
Kesamaan sejarah, teruma pengalaman sebagai masyarakat yang terjajah ini menjadi
faktor utama lahirnya suatu bangsa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ernest Renan
bahwa sejarah menjadi faktor utama dalam nasionalisme /paham kebangsaan (Delanty,
2001:474). Paham kebangsaan sebagai ideologi untuk melawan penjajahan inilah yang
kemudian melahirkan Negara-bangsa (nation state). Paham kebangsaan yang ada di
Indonesia juga didasarkan oleh cerita-cerita masa lalu, baik sebagai bangsa yang
terjajah, maupun oleh sejarah kjayaan masa lalu, terutama kejayaan Majapahit dan
Sriwijaya.
Ideologi nasionalisme sebagai pengikat dari suku-suku yang terjajah menurut Sartono
(1993:43) di dalamnya meliputi lima prinsip, yaitu kesatuan (unity), kemerdekaan
(liberty), kesamaan (equality), kepribadian (personality), dan prestasi (performance).
Kesatuan, kemerdekaan, dan kesamaan merupakan prinsip utama dalam pembangunan
bangsa, terutama bangsa yang terdiri dari berbagai suku, seperti Indonesia.
Perubahan Konsep Bangsa
Konsep bangsa (nation) yang semula bersifat ideologis untuk mempersatukan suku-
suku yang terjajah telah berubah mencadi wacana kekuasaan, bahkan sekarang sudah
menjadi cognisi (Delanty, 2001:474). Paham negara bangsa (nation state) sebagaimana
yang dirumuskan oleh Ernest Renan. pada era global ini telah berakhir (Kinchi
Ohmae:1995). Kebangsaan seseorang tidak lagi ditentukan oleh tempat kelahiran dan
tempat tinggalnya, tetapi lebih ditentukan oleh cognisinya. Sebagaimana yang katakan
oleh Benedict Anderson: Imagined communities, bahwa kebangsaan seseorang lebih
ditentukan oleh bagaimana ia mengkonstruksi dirinya, bukan ditentukan oleh tempat
tinggal dan kelahirannya. Hal ini dimungkinkan dengan semakin mudahnya mobilitas
seseorang dalam era global.
Persoalan nasionalisme bukan lagi berkaitan dengan kesamaan diantara bangsa-bangsa,
tetapi lebih menekankan pada kesamaan diantara semua warga Negara, terutama
kesamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi. Persoalan kebangsaan bukan lagi
diikat oleh ikatan kenegaraan, tetapi lebih merupakan cognisi setiap individu. Setiap
individu dapat mengkonstruksi kebangsaannya sendiri. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Kinichi Omae, (1995:4) dalam konteks ekonomi, bahwa setiap individu dalam
memilih barang-barang konsumsi, bukan lagi ditentukan fanatisme kepada produk
dalam negeri, tetapi lebih ditentukan oleh pilihan atas kualitas dan harga yang murah,
tanpa peduli darimana produk tersebut. Isu-isu hak azasi manusia lebih mengedepan
daripada rasa nasionalisme.
Konflik antar sesama warga bangsa yang disebabkan oleh kepentingan pribadi semakin
mengedepan, daripada kesadaran sebagai satu bangsa. Bahkan di kalangan elit sendiri,
rasa kebangsaan tersebut sudah semakin luntur. Mereka lebih mementingkan
kepentingan pribadi atau kelompoknya daripada kepentingan bangsa secara bersama.
Untuk membangun kesadaran berbangsa dalam era global ini tidak cukup hanya
dengan kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah, tetapi dibutuhkan suatu prestasi
yang membanggakan seluruh warga bangsa, serta kepribadian yang menjujung nilai-
nilai universal.
Masalah Utama
Masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih memiliki sejumlah masalah nasional
yang sangat kompleks, dan Indonesia masih berada dalam kondisi krisis
multidimensional, yang dampaknya telah menurunkan kualitas kehidupan rakyat
Indonesia, serta semakin sulitnya mencapai Tujuan Nasional yang telah dirumuskan
dalam Pembukaan UUD 1945. Masalah nasional yang berat itu terletak dalam bidang
kehidupan ekonomi, pendidikan, hukum, sosial budaya, kehidupan keagamaan, politik
dan pemerintahan, lingkungan hidup dan SDA, serta ketertiban dan keamanan.
Pembangunan tidaklah dibiarkan sunyi dan pasif, karena itu perlu diberikan evaluasi
kritis dan konstruktif, untuk menyongsong hari esok rakyat, bangsa dan negara, tahun
2004. Evaluasi kritis dan konstruktif tersebut telah dirumuskan oleh Lembaga
Pembudayaan Pancasila dan Pembangunan Jawa Timur (LP3 JATIM) pada akhir tahun
2003, yang pokok-pokok ringkasan uraiannya sebagai berikut:
Pertama, National recovery, termasuk economical recovery belum menunjukkan hasil
yang berarti serta pertumbuhan ekonomi masih tetap rendah, karena itu kondisi
kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan;
Kedua, telah terjadi salah urus terhadap kehidupan bermasyarakat, bangsa, dan negara,
sehingga Indonesia sebagai negara yang kaya SDA dan SDM, tetapi tidak mampu
mengantarkan rakyat Indonesia mencapai keadilan dan kesejahteraan hingga saat ini;
Ketiga, rakyat Indonesia menghadapi kesulitan besar dalam memilih peminpin bangsa
yang berkualitas, sehingga pemimpin bangsa lebih komit mengabdi pada kepentingan
golongan dibandingkan kepentingan rakyat Indonesia;
Keempat, konflik kekuasaan dalam negeri terus berlanjut, dan kekuatan politik telah
kehilangan dasar moral dan akhlaknya, sehingga etika materialistik yang menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan, semakin menjadi bagian budaya kehidupan
berbangsa dan bernegara;
Kelima, kedaulatan dalam kehidupan ekonomi sangat rendah sehingga masyarakat,
bangsa dan negara Indonesia tidak memiliki kemampuan mandiri dan jatidiri yang
kokoh;
Keenam, rakyat Indonesia belum memiliki komitmen tinggi untuk menegakkan
supremasi hukum dan HAM, sehingga ketidaktertiban dan pelanggaran hukum tetap
menjadi fakta sosial;
Ketujuh, transisi kehidupan demokrasi terus berlanjut, dan semangat hidup
berdemokrasi masih rendah, sehingga tindak kekerasan dan otoriter masih terjadi di
berbagai tempat di tanah air;
Kedelapan, solidaritas, perdamaian dan bebas dari gerakan terorisme masih berada
dalam tataran wacana, belum menjadi fakta sosial, dan konflik sosial dengan kekerasan
masih terjadi di berbagai tempat. Karena itu diperlukan tanggungjawab nasional yang