Page 1
PERANAN PENDIDIKANDALAM MENTRANSFORMASIKAN JERMAN MENUJU NEGARA MULTIKULTURAL
Oleh: Alfi Afifah
PENDAHULUAN
Globalisasi yang telah berlangsung di semua lini kehidupan
telah membawa umat manusia ke dalam tataran baru yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Sebuah trend sosial yang
telah “memaksa” manusia untuk berinteraksi, bergaul dan
berintegrasi dalam masyarakat dari berbagai latar belakang
budaya yang berbeda; ras, etnik, suku, agama dan lain
sebagainya. Perpaduan budaya, kompromi budaya, dan
pertikaian budaya akan selalu terjadi ketika kebudayaan
yang berbeda-beda ini bertemu. Efek globalisasi menjadi
satu hal yang tidak terelakkan lagi, bahkan dalam
lingkungan yang memiliki akar budaya cukup kuat dimana
masyarakatnya berpegang teguh pada tradisinya sekalipun.
Tidak semua kelompok masyarakat dapat menerima
perubahan ini dengan mudah. Kondisi ini membuat semua
pihak melihat betapa pentingnya mempersiapkan masyarakat
untuk dapat berinteraksi dan bergaul di tengah keberagaman
dengan baik untuk menghindari terjadinya pertikaian budaya
dan perpecahan dalam masyarakat. Partnership for 21st century
skills dalam 21st Century Learning Framework memasukkan
keterampilan sosial dan lintas budaya sebagai salah satu
keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh semua orang
1
Page 2
untuk dapat sukses di abad 21. Demikian juga dengan the
University of Cambridge International Examination memasukkan mata
pelajaran Global Perspective dalam syllabusnya. Di era
globalisasi ini masyarakat dituntut untuk mampu menghargai
perbedaan budaya, bekerja sama dengan orang dari latar
belakang sosial dan budaya yang berbeda, menerima
perbedaan dengan pikiran terbuka dan memanfaatkan
perbedaan ini untuk menciptakan ide-ide dan inovasi baru
(http://www.p21.org/overview/skills-framework).
Keterampilan tersebut sangat di atas sangat
dibutuhkan terutama di negara-negara di mana masyarakatnya
berasal dari latar belakang budaya yang beragam seperti
Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa. Amerika
Serikat menjadi fenomena tersendiri karena sebagian besar
penduduknya adalah pendatang yang memiliki latar belakang
yang sangat beragam dan lebih dominan daripada penduduk
aslinya. Kanada juga memiliki karakteristik yang cukup
unik karena dari sekitar 34 juta penduduknya, 28%
berkebangsaan Inggris, 23% berkebangsaan Perancis, 15%
dari negara-negara lain di Eropa, 2% keturunan Amerika
India dan selebihnya dari Asia, Afrika, Arab dan latar
belakang campuran (CIA: the World-Factbook, 8 November 2011). Di
negara Jerman yang penduduknya mencapai 92 juta, seperlima
diantaranya memiliki latar belakang imigran. Komposisi
yang kurang lebih sama juga terdapat di negara-negara
Eropa lain seperti Perancis, Spanyol, Italia, dan lain-
lain.
2
Page 3
Di antara negara-negara multikultural yang tersebut
di atas, Jerman memiliki keunikan tersendiri. Jermanlah
satu-satunya negara yang memiliki trauma masa lalu dalam
hal isu rasial, yang kemudian berhasil bangkit, bertahan
dalam keberagaman dan mampu mempertahankan stabilitas
politiknya. Komposisi penduduk Jerman berdasarkan data
tahun 2009; 18,4% dari setiap kelompok umur dan 30% dari
anak-anak Jerman memiliki setidaknya satu orang tua yang
lahir di luar negeri yaitu dari latar belakang Turki,
Italia, Yunani, Kroasia, Belanda, Serbia, Montenegro,
Spanyol, Bosnia dan Herzegovina, Austria, Portugal,
Vietnam, Maroko, Polandia, Macedonia, Lebanon Perancis,
dan lain-lain.
Sulit untuk memperkirakan jumlah pasti masing-masing
etnis yang menetap di Jerman karena pemerintah Jerman
tidak menyimpan semua informasi dan statistik tentang
etnis atau ras warganya. Trauma yang dialami bangsa
Jerman pada masa pemerintahan Nazi dengan adanya
pembersihan etnis, menyebabkan latar belakang etnis
menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Namun angka
tersebut dipastikan akan terus bertambah di masa datang
mengingat pertumbuhan populasi Jerman nol atau bahkan
menurun sehingga untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja
akan semakin banyak pendatang masuk ke Jerman. Hal ini
pernah terjadi sebelumnya yaitu di tahun 1950an,
pertumbuhan ekonomi Jerman yang cukup tinggi telah menarik
migran terutama dari Turki dan Eropa timur.
3
Page 4
Keberagaman di atas hanya dilihat dari sisi latar
belakang etnik saja, kemajemukan ini akan semakin luas
dengan memasukkan variabel agama dalam komposisi penduduk
Jerman. Sebagai contoh di kota Stuttgart, menurut
penelitian Dr. Michael Blume dari Ministry of State Baden-
Württermberg pada tahun 2006, dari sejumlah bayi yang
lahir pada tahun tersebut; 25,9% dari keluarga Protestan,
25% dari keluarga Katolik, 17,5% dari keluarga Muslim,
23,2% dari keluarga yang tidak memiliki afiliasi agama dan
sisanya berasal dari latar belakang agama yang cukup
bervariasi: Saksi Yehova, Yahudi, Hindu, Budha, Sikh,
Bahai, dan lain-lain. Yang menjadi menarik adalah di
tengah-tengah kemajemukan ini, belum pernah terjadi
perselisihan atau perpecahan yang cukup berarti dalam
masyarakat. Apakah bangsa Jerman sudah belajar banyak
dari kejadian masa lalu yang dialaminya sehingga lebih
mampu menerima perbedaan atau ada hal lain yang membuat
masyarakat Jerman mampu hidup dengan harmonis dalam
keberagaman.
SEJARAH PENDIDIKAN DI JERMAN
Negara Jerman atau lengkapnya Republik Federal Jerman
adalah salah satu negara yang memiliki posisi ekonomi dan
politik yang cukup penting di Eropa dan bahkan di dunia.
Jerman menjadi salah satu negara pencetus Masyarakat
Ekonomi Eropa yang kemudian menjadi Uni Eropa. Selain
menjadi salah satu anggota kunci Uni Eropa, Jerman juga
4
Page 5
dikenal sebagai negara dengan penguasaan ilmu dan
teknologi maju di berbagai bidang baik sains, sosial
maupun humanities. Di bidang olah ragapun Jerman memiliki
prestasi yang cukup menonjol seperti Formula 1 dan sepak
bola. Klub-klub sepak bola Jerman memiliki penggemar dari
berbagai negara. Tak ketinggalan berbagai merek besar
lahir di negara ini seperti: Mercedes-Benz, Bosch,
Porsche, Zeiss dan lain-lain. Perguruan-perguruan tinggi
di Jerman juga telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas
dunia dan memenangkan penghargaan Nobel. Hal ini
menjadikan Jerman sebagai negara yang sangat berpengaruh
dan sangat menghidupkan dunia.
Suatu prestasi yang luar biasa mengingat luas Jerman
hanya 352.021 km2 atau kurang lebih dua setengah kali luas
pulau Jawa. Jumlah penduduk Jerman berdasarkan data
bulan Juli tahun 2011adalah 81.471.838 jiwa, jauh lebih
sedikit dibandingkan penduduk Indonesia. Jerman memiliki
sumber daya yang terbatas baik alam maupun manusia.
Keterbatasan ini menyebabkan pemerintah Jerman memandang
perlu untuk memberdayakan sumber daya manusia yang ada
sebagai pemeran utama dalam pembangunan melalui
pendidikan, pelatihan, penelitian dan penemuan. Kebijakan
pendidikan menjadi inti dari kebijakan pemerintah (State’s
Institute for School Development of Baden-Württermberg, 2009).
Tak terbayangkan juga negara Jerman yang memiliki
stabilitas ekonomi dan politik yang kokoh, dalam sejarah
pernah mengalami trauma yang cukup dalam bukan hanya satu
5
Page 6
kali tapi dua kali dengan jangka waktu yang tidak terlalu
panjang.
Dr. Peter Strutzberg dari Universitas Humboldt Berlin
mengemukakan bahwa kebangkitan pendidikan di Jerman
dimulai setelah berakhirnya Perang Napoleon, yaitu pada
tahun 1810 ketika Wilhem von Humboldt menjadi menteri
pendidikan Kerajaan Prusia. Wilhelm von Humboldt memulai
institusi pendidikan formal dengan ide memberikan
pendidikan bagi seluruh kaum muda dengan system yang sama
untuk mempersiapkan mereka menjalani kehidupan yang
selayaknya. Humboldt yang selanjutnya dikenal sebagai
Bapak Pendidikan Jerman menyusun sistem pendidikan Prusia
dalam 3 jenjang; pendidikan dasar (elementarschule),
pendidikan menengah (schule) dan pendidikan tinggi
(universitat). Pola ini kemudian menjadi contoh sistem
pendidikan di berbagai negara di dunia. Pendidikan di
Jerman mengalami kemajuan yang luar biasa dengan tradisi
riset yang kuat telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas
dunia.
Pada masa ini rasa kebangsaan Jerman tumbuh cukup
kuat mengingat sebelumnya mereka merasa terpecah belah
oleh Perang Napoleon. Sebelum Perang Napoleon, bangsa
Jerman terpecah belah berdasarkan subetnik mereka,
seperti subetnik Bayern, subetnik Swabia, Baden, Sachsen,
Kölsch, dan sebagainya. Di samping itu juga terdapat
etnik minoritas asli mencakup etnik Denmark di utara,
etnik Frisia di barat laut, serta etnik Sorbia dan
6
Page 7
Kashubia di beberapa tempat di Jerman timur laut, serta
etnis minoritas migran yaitu etnis Yahudi, Italia,
Polandia dan Ceko
(http://id.wikipedia.org/wiki/Jerman#Demografi).
Trauma pertama dialami bangsa Jerman setelah masa
Perang Dunia I di bawah kepemimpinan rezim Nazi.
Runtuhnya kekaisaran Jerman memunculkan pemerintahan
otoriter di bawah pimpinan Adolf Hitler. Pada masa ini,
Jerman mengalami kemunduran luar biasa, terutama dalam
bidang intelektual. Dalam sejarah, banyak ilmuwan besar
lahir di Jerman seperti Max Planck, Gabriel Fahrenheit,
Carl Friedrich Gauss, Wilhelm Conrad Rontgen dan lain-
lain, namun kemunduran terjadi pada masa Hitler yang
secara alami anti-intelektual. Hitler sendiri tidak
pernah menamatkan sekolahnya dan memilih belajar secara
mandiri.
Di bawah Hitler, sekolah dasar dan sekolah menengah
seluruh Jerman menjejali muridnya dengan ideologi Nazi.
Misi utama sekolah pada masa ini adalah mendidik pemuda
untuk melayani Bangsa dan Negara dalam semangat Nasional
Sosialis. Hitler menyingkirkan semua pihak yang menentang
ideologi Nazi, terutama dalam hal ini adalah kaum Yahudi
Jerman. Seluruh jajaran pengajar di Jerman, mulai dari
sekolah dasar sampai tingkat universitas, dibersihkan dari
instruktur Yahudi dan siapapun yang dianggap mencurigakan
secara politik, dengan mengabaikan prestasi atau kemampuan
mengajar mereka. Sekitar sepuluh persen dari kekuatan
7
Page 8
pendidikan di Jerman hilang, terutama dalam bidang fisika
quantum dan matematika yang memang banyak dikuasai oleh
orang Yahudi. Termasuk dalam bilangan ini adalah ilmuwan
terkemuka dunia, Albert Einstein, yang mengungsi ke
Amerika bersama para intelektual lainnya.
Seluruh mata pelajaran dimasuki muatan-muatan yang
melegitimasi semua tindakan rezim Nazi
(http://www.historylearningsite.co.uk/Nazis_Education.htm)
. Mata pelajaran yang paling terkena dampak adalah
Sejarah dan Biologi. Dalam pelajaran Sejarah diajarkan
bahwa penyebab kekalahan Jerman pada Perang Dunia I adalah
bangsa Yahudi demikian juga dengan penyebab hiperinflasi
pada tahun 1923. Sejarah didasarkan pada kemuliaan bangsa
Jerman. Hal yang sama terjadi pada pelajaran Biologi.
Pelajaran ini berkembang menjadi indoktrinasi superioritas
ras Arya. Biologi menjadi studi ras yang berbeda untuk
membuktikan bahwa ras Arya adalah yang terbaik dan bahwa
pernikahan antar ras akan mengakibatkan penurunan
kualitas. Pelajaran olah raga menjadi pelajaran yang
cukup penting dan mendapat porsi 15% dari keseluruhan
muatan kurikulum. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan
generasi muda yang kuat secara fisik.
Diskriminasi dalam pendidikan juga terjadi dengan
dikeluarkannya peraturan Nuremberg pada tahun 1935 yang
melarang anak Yahudi untuk bersekolah. Sikap anti-Yahudi
juga diajarkan dalam berbagai pelajaran melalui contoh-
contoh soal yang sangat mendiskreditkan bangsa Yahudi.
8
Page 9
Rezim Hitler runtuh dengan kalahnya Jerman pada
Perang Dunia II tahun 1945. Seiring dengan runtuhnya
rezim Hitler, terjadilah proses unifikasi Jerman yang
pertama. Ribuan etnis Yahudi dan Polandia yang sebelumnya
terusir dari negaranya pulang kembali ke kampung
halamannya. Tidak hanya itu, booming industri pasca
Perang Dunia II mengundang banyak pekerja migran dari
Turki dan Balkan ke negara Jerman. Kaum pekerja ini
mendapatkan ijin resmi untuk menetap di negara Jerman dan
menambah keberagaman masyarakat Jerman.
Berdasarkan hasil Perjanjian Postdam, Jerman sebagai
negara yang kalah perang terpecah menjadi Jerman Barat
yang berideologi liberal dan Jerman Timur yang berideologi
komunis. Kota Berlin yang secara geografis terletak di
Jerman Timur dibagi menjadi dua bagian; Berlin Barat dan
Berlin Timur. Pada masa inilah bangsa Jerman mengalami
trauma yang kedua.
Perbedaan ideologi memunculkan perbedaan yang
mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan. Di Jerman
Timur dengan ideologi sosialis-komunis menyediakan
pendidikan secara gratis untuk semua warganya, sementara
di Jerman Barat diperlukan biaya untuk mendapatkan
pendidikan. Hal ini menyebabkan banyak orang Jerman
bersekolah di wilayah Jerman Timur dan tentu saja menjadi
beban pemerintah Jerman Timur. Sementara itu dengan iklim
keterbukaan, perekonomian di Jerman Barat tumbuh lebih
cepat sehingga lapangan pekerjaan dan juga standar gaji
9
Page 10
lebih tinggi dibanding Jerman Timur. Akibatnya
berbondong-bondong warga Jerman pergi ke Jerman Barat
untuk bekerja.
Pada periode 1954-1960, Jerman Timur mengalami brain
drain dimana pada masa tersebut 36.759 orang dari kalangan
akademik dan profesional mulai dari dosen, dokter,
insinyur dan teknisi pindah ke Jerman Barat untuk bekerja
(http://www.berlinermauer.se/BerlinWall/bygg.htm).
Kondisi ini sangat merugikan Jerman Timur yang pada masa
itu sangat membutuhkan tenaga ahli untuk membangun kembali
negaranya setelah kehancuran pada Perang Dunia II.
Akhirnya pada bulan Agustus 1961 dibangunlah tembok Berlin
yang memisahkan Berlin Barat dan Berlin Timur sekaligus
menutup akses dan perpindahan warga antara dua negara
tersebut. Pembangunan tembok ini menyebabkan banyak
keluarga terpisah dan tidak dapat bertemu dalam jangka
waktu yang cukup lama. Hal inilah yang menyebabkan trauma
pada rakyat Jerman.
Dampak terhadap sistem pendidikan dengan adanya
perpecahan ini selain masalah pembiayaan adalah perbedaan
tujuan utama pendidikan. Di Jerman Barat, misi pendidikan
adalah untuk mengembangkan setiap peserta didik agar
menjadi warga negara yang terpelajar dan tenaga kerja yang
efisien dalam lingkungan yang demokratis. Pada tahun
1960-an, sekolah-sekolah di Jerman Barat menambahkan
misinya dengan menanamkan sikap menghargai dan saling
10
Page 11
memahami antar negara, buadaya, dan kepercayaan melalui
membaca, diskusi dan riset.
Masalah keberagaman yang muncul pada masa perang
dingin antara Barat dan Timur bukan berasal dari perbedaan
etnik dan budaya melainkan pada perbedaan status sosial
ekonomi yaitu tidak adanya pemerataan kesempatan belajar
kepada semua warga. Dengan sistem 3 jenis sekolah
menengah yang tersedia yaitu: Hauptschule, Realschule dan
Gymnasium tidak memberikan kesempatan yang sama kepada
semua warga untuk melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang
yang paling tinggi. Hauptschule atau pendidikan dasar
tingkat lanjut diperuntukkan bagi siswa yang akan
melanjutkan ke sekolah kejuruan atau dengan kata lain
siswa yang tidak mampu melanjutkan ke universitas.
Sebagian besar siswa Hauptschule berasal dari keluarga
migran dan dari kelas pekerja. Realschule adalah bagi siswa
yang memiliki kemampuan untuk melanjutkan ke sekolah
tinggi dan ingin mendapatkan sertifikat kecakapan khusus.
Gymnasium adalah sekolah untuk anak-anak yang memiliki
bakat dan kemampuan untuk melanjutkan ke universitas dan
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang paling tinggi.
Sebagai respon dari kondisi ini, maka pada tahun
1970-an berkembanglah bentuk sekolah keempat yaitu
Gesamtschule (comprehensive school). Gesamtschule adalah
bentuk sekolah yang menyatukan 3 jalur pendidikan
Hauptschule, Realschule dan Gymnasium. Di sekolah ini, siswa
dari berbagai latar belakang yang berbeda baik dalam
11
Page 12
kemampuan ekonomi maupun kemampuan akademik belajar dalam
sistem yang sama dengan maksud memberikan kesempatan
belajar yang sama untuk semua. Pada prakteknya,
pengelompokan berdasarkan kemampuan akademik tetap terjadi
dalam pembagian kelas, namun keberadaan sekolah ini mampu
menjawab kritikan terhadap 3 jalur pendidikan menengah
yang ada sebelumnya.
Sementara di Jerman Timur, sistem pendidikan yang
berlaku sama dengan yang berlaku di Uni Sovyet. Misi
utama pendidikan adalah “pendidikan tinggi untuk semua
warga, melalui pendidikan dan training di segala bidang
dan terwujudnya pribadi sosialis yang secara sadar
mengelola alam dan menjalani hidup dengan bahagia sebagai
manusia” (Encyclopedia Americana). Tersedianya pendidikan
mulai dari usia sekolah 3 tahun (preschool) memberikan
kesempatan bagi para ibu untuk bekerja atau melanjutkan
pendidikannya. Pendidikan formal terbagi menjadi dua
yaitu pendidikan dasar dan pendidikan lanjut dalam bentuk
sekolah politeknik didirikan untuk memberikan kesempatan
kepada peserta didik tidak hanya belajar tapi juga
pelatihan kerja.
Dari sisi sistem pendidikan, pendidikan di Jerman
Timur sesuai dengan ide Humblodt mengenai pendidikan
dimana semua warga mendapatkan kesempatan yang sama dalam
memperoleh pendidikan. Namun sebagai tambahan semua siswa
di Jerman Timur diwajibkan belajar Marxisme-Leninisme
12
Page 13
serta penerapannya dalam bidang politik-ekonomi seperti
halnya di Uni Sovyet.
Setelah lebih dari 40 tahun terpisah, akhirnya di
tahun 1990 Jerman kembali bersatu. Gagasan glasnost dan
perestroika yang dikemukakan oleh Mikhail Gorbachev,
pemimpin Uni Sovyet pada masa itu, membuka peluang Jerman
Barat dan Jerman Timur bersatu kembali seiring dengan
melemahnya ideologi sosialis-komunis di negara-negara
Eropa Timur. Peristiwa bersatunya Jerman Barat dan Jerman
Timur pasca perang dingin dikenal sebagai unifikasi Jerman
yang kedua.
REFORMASI PENDIDIKAN
Bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur pada tahun 1990
membawa perubahan pada sistem pendidikan di Jerman.
Bentuk pemerintahan mengikuti Jerman Barat yaitu republik
federal. Dengan adanya desentralisasi pemerintahan dalam
Republik Federal Jerman, pendidikan menjadi tanggung jawab
pemerintah negara bagian (Länder). Di negara-negara
bagian yang konservatif seperti Baden-Württermberg, sistem
persekolahan mengikuti kebijakan di Jerman Barat yaitu
13
Page 14
menyediakan 3 jalur pendidikan menengah, sementara di
negara-negara bagian yang reformis seperti Berlin mulai
berkembang bentuk sekolah Gesamtschule meskipun secara umum
bentuk pendidikan alternatif ini kurang berkembang. Dalam
hal pembiayaan, pemerintah menyelenggarakan pendidikan
gratis bagi semua warganya dari pendidikan dasar sampai
pendidikan tinggi seperti halnya yang berlaku di Jerman
Timur.
Pada tahun 2000, OECD (Organization for Economic Co-
operation and Development) menyelenggarakan PISA
(Programme for International Students Assessment) yaitu
suatu program asesmen tiga tahun sekali terhadap siswa
berumur 15 tahun dari berbagai negara dengan fokus pada
reading comprehension. Hasilnya Jerman berada pada rangking
bawah dibanding 34 negara-negara OECD yang lain. Program
yang sama dijalankan pada tahun 2003 dengan menambahkan
fokus pada kemampuan bahasa dan IPA. Hasilnya kurang
lebih sama dengan dengan asesmen pertama. Hasil ini
benar-benar mengejutkan kalangan pendidikan di Jerman,
sebagian dari mereka menyebutnya sebagai PISA shock.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa hasil yang
rendah ini dicapai oleh siswa dengan latar belakang migran
dan dari kelas sosial-ekonomi bawah yang belajar di
Hauptschule. Hasil ini menunjukkan bahwa sekolah di Jerman
belum berhasil menjalankan fungsinya dalam mempersiapkan
generasi muda (Strutzberg, 2009). Menindaklanjuti hal
ini, pemerintah mulai melakukan reformasi di bidang
pendidikan.
14
Page 15
Reformasi dalam bidang pendidikan perlu dilakukan
untuk mengantisipasi dampak lebih jauh kesenjangan hasil
belajar ini. Perbedaan hasil belajar siswa dari kalangan
migran dan kelas pekerja dengan siswa dari kelompok sosial
ekonomi menengah ke atas apabila dibiarkan berlarut-larut
akan memicu kecemburuan antar kelompok karena secara tidak
langsung akan berpengaruh terhadap peluang karir dan jenis
pekerjaan yang terbuka bagi masing-masing kelompok.
Apabila hal ini terjadi tidak menutup kemungkinan
terjadinya perpecahan dan bentrokan antar kelompok etnis.
Selain PISA shock ada beberapa hal lain yang membuat
pemerintah melakukan reformasi terhadap sistem pendidikan
di Jerman, antara lain:
a. Otonomi sekolah
Desentralisasi kekuasaan tidak saja menyerahkan urusan
pendidikan kepada pemerintah negara bagian tapi juga
menyerahkan sebagian tanggung jawab kepada masing-
masing sekolah. Akibatnya variasi proses dan hasil
pendidikan semakin besar.
b. Penurunan jumlah siswa di sekolah
Pertumbuhan jumlah penduduk Jerman mencapai angka 0
atau bahkan bisa dibilang negatif karena jumlah
pasangan yang ingin memiliki keturunan semakin sedikit.
Penurunan jumlah penduduk menyebabkan penurunan jumlah
siswa di sekolah.
c. Bertambahnya jumlah siswa migran
15
Page 16
Penurunan jumlah penduduk Jerman diiringi dengan
bertambahnya jumlah migran di Jerman untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja, hal ini berdampak pada
meningkatnya jumlah siswa dengan latar belakang migran
dan kelas pekerja. Angka arus imigrasi perkapita di
Jerman pada tahun 1980-an bahkan jauh lebih tinggi dari
pada angka imigrasi di negara-negara imigrasi klasik
seperti Amerika Serikat, Kanada dan Australia.
d. Siswa berkebutuhan khusus
Secara statisitik jumlah siswa berkebutuhan khusus
meningkat, bukan saja di Jerman tapi di seluruh dunia.
Selama ini siswa berkebutuhan khusus bersekolah di
Sonderschule (semacam sekolah luar biasa di Indonesia).
e. Berkembangnya kota-kota di Jerman menjadi pusat
perdagangan dunia
Pesatnya pertumbuhan ekonomi dan arus globalisasi
menjadikan kota-kota seperti Bremen, Frankfurt menjadi
pusat perdagangan dunia. Jumlah expatriate residence dari
berbagai negara bertambah yang berdampak pada
bergesernya pola pergaulan dan kehidupan bermasyarakat
menuju masyarakat multikultural.
Dengan melihat keseluruhan fakta di atas, pemerintah
federal menilai sasaran utama dari reformasi pendidikan
adalah kaum migran dengan misi utama memberikan kesempatan
pendidikan yang lebih baik kepada pemuda dengan latar
belakang migran. Komitmen ini tercantum dalam Rencana
Integrasi Nasional sebagai hasil dari Konferensi Integrasi
yang dipimpin langsung oleh Kanselir Angela Merkel pada
16
Page 17
tahun 2006
(http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id/masyarakat/m
ain-content-08/migrasi-dan-integrasi.html). Konferensi
ini dihadiri oleh wakil semua kelompok masyarakat yang
terkait termasuk di dalamnya oraganisasi-organisasi kaum
migran.
Seluruh Jerman bergerak memperbaiki system
pendidikan. Jerman mengirim para pakar pendidikan untuk
melakukan studi ke sekolah-sekolah di luar negeri untuk
dijadikan model. Beberapa program reformasi pendidikan
yang telah dijalankan antara lain:
1. Mereview sistem 3 jalur sekolah menengah
Salah satu yang menjadi inti permasalah dalam sistem
pendidikan menengah adalah penjurusan siswa ke dalam 3
jalur berdasarkan kemampuan akademik yang dirasa oleh
berbagai kalangan tidak adil karena tidak memberikan
kesempatan yang sama kepada semua peserta didik. Pada
kenyataannya penjurusan bukan saja berdasarkan pada
kemampuan akademik saja tapi juga kemampuan sosial
ekonomi. Sementara tekanan untuk menyatukan ketiga
jalur cukup besar tidak saja dari pakar pendidikan tapi
juga dari para orang tua (seiring meningkatnya status
ekonomi) yang menuntuk hak yang sama untuk melanjutkan
ke universitas. Untuk itu didirikan lebih banyak
Gesamtschule di semua negara bagian kecuali Sachsens, di
Saxony-Anhalt dan Thuringia Hauptschule dan Realschule
digabung menjadi Sekundarschule, bahkan di Hamburg dan
Berlin sistem 3 jalur ini dihapus sehingga hanya ada17
Page 18
dua jenis pendidikan menengah yaitu Gesamtschule dan
Gymnasium. Pemerintah negara Berlin juga mengharuskan
setiap Gymnasium memberikan tempat bagi siswa dari
kalangan imigran dan sosial-ekonomi bawah untuk
memberikan pelayanan pendidikan yang sama kepada semua
warganya.
2. Fleksibilitas perpindahan siswa pada 3 jalur pendidikan
menengah
Kebijakan reformasi pendidikan juga memberikan
fleksibilitas pada jalur pendidikan menengah. Siswa
dimungkinkan untuk pindah dari Hauptschule ke Realschule
atau dari Realschule ke Gymnasium, sehingga pemisahan
menjadi 3 jalur yang dilakukan di tahun ke-5 Grundschule
(sekolah dasar) bukan menjadi harga mati. Bagi siswa
Hauptschule dan Realschule masih terbuka kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan ke universitas. Demikian juga
lulusan Realschule mendapat kesempatan melanjutkan ke
universitas dengan menempuh dua semester tambahan.
3. Peningkatan penguasaan Bahasa Jerman
Penguasaan bahasa Jerman menjadi salah satu faktor yang
menghambat proses integrasi penduduk migran dengan
penduduk asli dan juga menjadi faktor yang mempengaruhi
prestasi akademik siswa di kelas. Kurangnya penguasaan
bahasa Jerman menyebabkan siswa tidak mampu memahami
konsep pelajaran secara utuh dan selanjutnya
berpengaruh terhadap jalur pendidikan menengah yang
dapat diambil. Untuk itu pelajaran Bahasa Jerman
dimulai dari level yang paling dini.
18
Page 19
4. Program bilingual di sekolah
Penyelenggaraan program bilingual di sekolah-sekolah
adalah untuk merespons meningkatnya jumlah warga asing
yang bersekolah di sekolah umum di Jerman. Dengan
program bilingual memungkinkan warga negara asing
bersekolah di sekolah reguler tanpa menemui kesulitan.
Pada saat ini program bilingual baru dilaksanakan di
Gymnasium saja. Bahasa kedua yang digunakan di
sekolah-sekolah ini sebagian besar adalah Bahasa
Inggris dan Bahasa Perancis.
5. Pembelajaran bahasa asing
Pembelajaran bahasa asing menjadi program wajib dengan
bersatunya negara-negara Eropa dalam wadah Uni Eropa.
Sebagai bagian dari masyarakat global Uni Eropa setiap
warga negara Eropa wajib menguasai salah satu dari
bahasa dunia, untuk itu bahasa asing sudah mulai
diperkenalkan sejak tahun pertama Grundschule (sekolah
dasar). Sebagai contoh, seluruh sekolah dasar di
negara bagian Baden-Württermberg sudah mengajarkan
bahasa asing terutama Bahasa Perancis dan Bahasa
Inggris serta sebagian kecil Bahasa Spanyol, Bahasa
Yunani dan Bahasa Latin.
6. Pembelajaran agama di sekolah
Sebelumnya pernah diwacanakan untuk memasukkan
pengajaran Agama Islam sebagai agama terbesar ketiga di
Jerman setelah Protestan dan Katolik sebagai pengajaran
resmi. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan pemahaman antar agama, karena selain etnik
19
Page 20
dan bahasa, agama adalah salah satu variabel
keberagaman di negara Jerman. Di negara bagian
Niedersachsen, Islamic Studies sudah diajarkan kepada
sekitar 1400 murid dari 26 sekolah dasar semenjak tahun
2003. Langkah yang dilakukan negara bagian
Niedersachsen merupakan suatu terobosan besar dalam
proses integrasi budaya di Jerman dan sejauh ini baik
siswa maupun orang tua merasa puas dengan program ini
karena telah menambah wawasan dan juga kesepahaman
mereka mengenai Agama Islam.
7. Integrasi siswa berkebutuhan khusus dalam sekolah
reguler
Pemisahan siswa berkebutuhan khusus dari jalur sekolah
reguler telah memicu kritik karena dianggap tidak
memberikan kesempatan belajar yang sama bagi anak-anak
berkebutuhan khusus. Kebijakan ini kemudia direview
sehingga siswa berkebutuhan khususpun dimungkinkan
untuk belajar bersama siswa yang lain terutama
Hauptschule, untuk beberapa siswa yang mampu bisa
bergabung di Realschule atau bahkan Gymnasium. Jumlah
siswa berkebutuhan khusus baik karena kesulitan belajar
maupun gangguan perkembangan kurang lebih 5% dari
keseluruhan jumlah siswa dan pemerintah sangat
memberikan perhatian yang serius kepada siswa-siswa
ini. Di negara bagian Hessen, di Frankfurt misalnya,
sekolah berkebutuhan khusus atau Sonderschule memberikan
pelayanan luar sekolah tidak saja kepada siswa tapi
juga kepada orang tua siswa yang ingin berkonsultasi.
20
Page 21
8. Pembukaan sekolah internasional
Definisi sekolah internasional di Jerman adalah sekolah
yang mengakomodir siswa dari berbagai kewarganegaraan
yang berbeda. Tumbuhnya kota-kota di Jerman menjadi
kota metropolitan menyebabkan kebutuhan akan sekolah
internasional meningkat. Jumlah warga expatriate
bertambah bahkan di wilayah-wilayah yang bukan
merupakan pusat bisnis sekalipun. Mengikuti model
pendidikan di negara-negara lain, sekolah internasional
yang dibuka biasanya berbentuk Gesamtschule yang
memungkinkan siswa dari berbagai latar belakang sosial
ekonomi budaya dan kemampuan akademik bersekolah di
tempat yang sama. Sebagai contoh International
Gesamtschule Heidelberg menampung siswa dari 70
kewarganegaraan yang berbeda. Heidelberg bukanlah kota
bisnis, namun karena di sini terdapat Universitas
Heidelberg yang sangat terkenal sebagai universitas
tertua di Jerman menyebabkan banyak warga negara asing
tinggal di kota ini.
Berbagai program di atas tidak sepenuhnya berjalan
mulus, banyak sekali kontroversi dan kompromi-kompromi
politik yang harus dilakukan. Tidak semua negara bagian
dapat melakukan semua program di atas. Pendidikan adalah
sepenuhnya kewenangan pemerintah negara bagian, bukan
pemerintah federal, sehingga implementasinya pun masih
berbeda-beda antar negara bagian demikian juga dengan
hasilnya. Kanselir Angela Merkel sendiri pada suatu
kesempatan pernah menyampaikan bahwa Jerman belum berhasil
21
Page 22
mewujudkan masyarakat multikultural karena memang proses
integrasi mutikultural bukanlah hal yang mudah dilakukan
dan memerlukan waktu yang cukup panjang. Hasil reformasi
dalam pendidikan integrasi ini mulai nampak sedikit demi
sedikit. Beberapa peningkatan yang terukur antara lain:
a. Peningkatan peringkat PISA
Pada PISA III tahun 2006, ranking Jerman mulai
meningkat meskipun masih terdapat kesenjangan antara
hasil siswa Gymnasium dan Hauptschule. Di PISA I tahun
2003, posisi Jerman berada pada 30% terbawah, pada
tahun 2006 siswa Jerman berada pada ranking 13 untuk
keterampilan sains, ranking 20 untuk keterampilan
matematika dan ranking 18 untuk keterampilan membaca.
Meskipun demikian karena masih terdapat kesenjangan
antara siswa Gymnasium dan siswa Hauptschule, menunjukkan
bahwa kondisi sosial-ekonomi masih sangat berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa. Hal ini masih menjadi
PR besar negara Jerman.
b. Peningkatan rasio siswa dari kalangan pekerja yang
bersekolah di Gymnasium
meningkat terutama di negara-negara bekas Jerman Timur
dimana pembagian kelas sosial-ekonomi tidak terlalu
besar. Di negara bagian bekas Jerman Barat rasio
jumlah siswa dari kelas pekerja yang bersekolah di
Gymnasium adalah 1:7,26 namun di negara-negara bagian
bekas Jerman Timur rasio siswa dari kelas pekerja yang
bersekolah di Gymnasium adalah 1:2,78 yang artinya22
Page 23
kurang lebih 25% siswa Gymnasium berasal dari kelas
pekerja. Rasio ini bervariasi di beberapa negara
bagian namun menunjukkan peningkatan yang signifikan,
semakin banyak siswa dari kelas pekerja yang mampu
melanjutkan pendidikan ke universitas.
c. Peningkatan persentase warga migran yang melanjutkan ke
pendidikan tinggi
Jumlah warga migran yang melanjutkan ke universitas
juga meningkat dibandingkan warga Jerman yang berada di
kelas sosial-ekonomi yang sama. Di negara bagian
Nordrhein-Westfalen hanya 14% anak dari kalangan
pekerja Jerman yang ingin mengambil ujian Abitur
(sertifikat untuk masuk Universitas), sedangkan dari
kelas pekerja migran 27% berkeinginan menyelesaikan
Abitur. Terbukanya peluang melanjutkan ke universitas
memotivasi siswa dengan latar belakang migran untuk
meningkatkan prestasi akademiknya untuk bisa diterima
di Universitas.
d. Munculnya elite baru di Jerman
Peningkatan kualitas pendidikan warga migran telah
memicu pergeseran status sosial-ekonomi warga migran.
Mereka mendapatkan kesempatan untuk duduk dalam
pemerintahan dan juga telah menunjukkan eksistensinya
di berbagai bidang. Martha Aykut, wakil kepala bagian
politik integrasi kota Stuttgart pada tahun 2009
berasal dari keluarga yang memiliki latar belakang
migran, beberapa orang dari etnik Turki juga berhasil
duduk di kursi parlemen negara bagian. Penggemar sepak
23
Page 24
bola Jerman pasti mengenal Mesut Özil, pesepak bola
yang cukup bersinar di ajang Piala Dunia 2010 dan
menjadi tumpuan timnas Jerman. Beberapa yang sempat
menjadi sorotan di berbagai media masa antara lain:
Fatih Akin, sutradara film terpenting Jerman yang telah
mendapatkan berbagai penghargaan internasional berasal
dari Turki dan Feridun Zaimoglu, penulis novel yang
tidak ada duanya dalam kesusastraan Jerman (Andrea
Dembach, Tagesspiegel 2009/Qantara 2009).
PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas, banyak sekali hal yang
bisa dipelajari dari keberhasilan Negara Jerman, tidak
saja dalam mereformasi pendidikan namun juga dalam
mengintegrasikan masyarakatnya yang berasal dari latar
belakang etnis, budaya, bahasa dan agama yang berbeda.
Kesimpulan yang bisa diambil dari perjalanan sejarah
negara Jerman adalah:
1. Keberanian pemerintah Jerman mengakui kegagalan dan
melakukan upaya perbaikan. Negara Jerman yang cukup
berhasil dalam bidang keilmuan dan menjadi kiblat
pendidikan menerima hasil PISA dan mengakui bahwa
mereka telah gagal menyelenggarakan pendidikan
berkualitas untuk semua warganya. Bukan mencari-cari
alasan atau kambing hitam, pemerintah Jerman dengan
serta merta mengambil langkah nyata untuk mereformasi
sistem pendidikan mereka. Berbagai riset dilakukan dan
24
Page 25
juga studi ke negara-negara yang lebih berhasil dalam
bidang pendidikan seperti Finlandia.
2. Kemampuan pemerintah Jerman mengambil langkah
antisipatif dari permasalahan yang mungkin timbul.
Pemerintah menyadari kesenjangan sosial-ekonomi antara
warga asli dan migran apabila dibiarkan dapat memicu
permasalahan yang lebih besar bahkan bentrokan antar
etnis. Untuk itu dicari akar permasalahannya dan
diupayakan pemecahannya untuk menghindari permasalahan
lain yang mungkin timbul. Pemerintah Jerman berhasil
mengidentifikasi kesenjangan pendidikan sebagai
penyebab kesenjangan di berbagai hal yang lain, untuk
itu kebijakan dalam pendidikan menjadi inti dalam
proses integrasi bukan sektor ekonomi yang menjadi
perhatian.
3. Keterbukaan masyarakat Jerman menerima perbedaan
Berada dalam lingkungan masyarakat global menyebabkan
masyarakat Jerman terbiasa dengan perbedaan dan secara
pelan-pelan mau membuka diri dan menerima perbedaan
tersebut. Diterimanya siswa berkebutuhan khusus di
sekolah reguler menunjukkan bahwa generasi muda Jerman
telah mampu menerima perbedaan dan hidup bersama-sama
dalam perbedaan.
4. Reformasi dalam pendidikan memiliki multiple effect
Reformasi yang dilakukan pemerintah dalam dunia
pendidikan ternyata membuahkan hasil di berbagai bidang
mulai dari politik, olah raga dan sosial-ekonomi.
Semakin banyaknya siswa dari kalangan pekerja migran
25
Page 26
yang melanjutkan pendidikan sampai ke universitas telah
meningkatkan status sosial-ekonomi dalam masyarakat dan
hal ini telah membuka peluang dan akses mereka ke
bidang-bidang lain yang sebelumnya tidak dapat
dijangkau warga migran seperti politik, riset-akademik,
dan lain-lain.
Trauma masa lalu memang telah mengajarkan bangsa
Jerman untuk menjadi bangsa yang lebih toleran dan
menghargai perbedaan. Namun itu saja tidak cukup generasi
muda juga perlu dididik untuk menjadi bagian dari
masyarakat majemuk. Melalui pendidikan terbukti mampu
mensejajarkan warga pendatang dengan warga asli dan
memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk
bersosialisasi dalam masyarakat multikultural dalam
lingkup kecil.
SUMBER PUSTAKA
Tatsachen uber Deutschland. 1992. Frankfurt/Main:Societäts-Verlag.
Landesinstitut für Schulentwicklung. 2009. TheEducational System and Current Reform Projects in Baden-Württermberg. Stuttgart: States Institute for SchoolDevelopment.
26
Page 27
Dr. Michael Blume. 2009. World religions in Baden-Württermberg. Stuttgart: Ministry of State Baden-Württermberg,
Ministerium fur Kultur, Jugend and Sport Baden-Württermberg. 2008. Bilingualer Unterricht. Stuttgart:Bildungsland.
Spektrum Schule. 2006. Stuttgart: Ministerium furKultur, Jugend and Sport Baden-Württermberg.
Internationale Gesamtschule Heidelberg. 2007. So sindwir… Heidelberg: igh.
Dr. Peter Strutzberg. 2009. Sistem Pendidikan di Jerman.Berlin: Universitas Humboldt.
27