MAKALAH FITOKIMA ISOLASI DAN IDENTIFIKASI CAPSAICIN Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fitokimia Disusun oleh: SABRINA AUFAR SALMA 24030110110016 IRMA YUNITASARI 24030110120021 REZA RADIYATUL JANNAH 24030110130063 LUFTHY NURA SABILA 24030110141011 OKKY TRIANA 24030110141012 JURUSAN KIMIA FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MAKALAH FITOKIMA
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI CAPSAICIN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fitokimia
Disusun oleh:
SABRINA AUFAR SALMA 24030110110016
IRMA YUNITASARI 24030110120021
REZA RADIYATUL JANNAH 24030110130063
LUFTHY NURA SABILA 24030110141011
OKKY TRIANA 24030110141012
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan daerah tropis yang memiliki keanekaragaman hayati
sangat besar, yang berpotensi dalam mengembangkan obat herbal yang berbasis pada
tumbuhan, berupa obat tradisional yang telah digunakan secara turun temurun oleh
masyarakat. Penelitian-penelitian yang dilakukan selanjutnya menunjukkan bahwa
tumbuhan merupakan sumber yang sangat kaya senyawasenyawa kimia berkhasiat.
Senyawa-senyawa yang potensial ini merupakan senyawa golongan metabolit
sekunder, seperti alkaloid, terpenoid, steroid dan flavonoid (Ahmad, 2004). Senyawa
metabolit sekunder merupakan senyawa yang disintesis oleh suatu makhluk hidup
bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, akan tetapi untuk mempertahankan
eksistensinya dalam berinteraksi dengan ekosistem. Dalam proses interaksi dengan
lingkungan hidupnya, seringkali kadar metabolit sekunder yang disintesis berubah-
ubah. Secara khusus, senyawa metabolit sekunder mempunyai fungsi umum yaitu
sebagai alat pengikat (attactant) bagi serangga atau hewan lainnya untuk membantu
penyerbukan, sebagai alat penolak (repellant) terhadap gangguan hama atau hewan
pemangsanya, dan sebagai alat pelindung (protectant) terhadap kondisi lingkungan
fisik yang ekstrim (Sumaryono, 1996).
Salah satu turunan dari fenilpropanoid yang akan dikupas pada penelitian ini
adalah senyawa fenilpropanoid capsaicin dari tanaman Capsicum annuum yang
merupakan tanaman cabai merah. Dalam penelitian ini, penulis akan melihat prospek
dari capsaicin dari tananaman Capsicum annuum dalam fungsinya sebagai
antikanker.
Capsicum annuum merupakan tanaman penghasil alkaloid dari jenis
capsaicinoid (Kogure, 1999; Blum, 2002; Kirschbaum, 2002) yang diproduksi
sebagai senyawa metabolit sekunder dari cabai (Hin, 2008), juga jenis sayuran
komersial yang sejak lama telah dibudidayakan di Indonesia karena produk ini
memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Capsaicinoid meliputi capsaicin, dihydrocapsaicin, norcapsaicin,
(Krajewska, 1987). Capsaicin (8-metil–N–vanilil–6-nonenamida) merupakan
komponen aktif cabai yang menghasilkan panas dalam cabai. Capsaicin bersifat iritan
terhadap mamalia termasuk manusia, dan menimbulkan rasa terbakar dan panas pada
jaringan manapun yang tersentuh. Capsaicin mempunyai nilai ekonomis yang tinggi
pada bidang farmasi. Semakin tinggi kadar capsaicin maka semakin baik kualitasnya
sebagai sediaan farmasi. Selain itu cabai juga mengandung minyak atsiri, yaitu
capsicol. Capsicol juga dapat menggantikan fungsi minyak kayu putih, kandungan
bioflavonoids yang terdapat dalam cabai dapat menyembuhkan penyakit polio serta
menyembuhkan peradangan akibat udara dingin. Dalam bidang farmasi selain untuk
meredakan rasa sakit atau nyeri, capsaicin juga dikenal memiliki aktivitas antikanker
(Surh, 2002). Berdasarkan penelitian oleh The American Association for Cancer
Research, capsaicin didugadapat membunuh sel kanker prostat dengan menyebabkan
terjadinya apoptosis(Mori, 2006). Studi klinik di Jepang dan Cina, menunjukkan
bahwa capsaicindapat menghambat pertumbuhan sel leukimia secara langsung (Ito,
2004). Capsaicin juga diujicobakan sebagai obat diabetes oleh peneliti asal Toronto,
Canada (Razavi, 2006). Capsaicin mempunyai potensi yang tinggi dalam bidang
farmasi sebagai anti kanker, anti artritis dan analgesik di samping turut mempunyai
nilai komersil dalam industri makanan (Ramachandra, 2002; Satyanarayana, 2006;
Vanisree, 2004).
2.6 Biosintesis Capsaicin
Biosintesis capsaicin pada tanaman didefinisikan oleh dua jalur:
fenilpropanoid, yang menentukan struktur fenolik, dan metabolisme asam lemak,
yang menentukan molekul asam lemak (Ochoa-Alejo, N.,1993). Konsentrasi
capsaicin meningkat secara bertahap selama perkembangan buah mencapai tingkat
maksimum pada 40 sampai 50 hari (Contreras-Padilla, M.1998), setelah itu
cenderung menurun menjadi senyawa sekunder akibat aktivitas peroksidase (Bernal,
M.A.,1996). Stres hydric dapat meningkatkan kadar capsaicinoid karena defisit air
mempengaruhi jalur fenilpropanoid (Estrada, B.,1999). Stres hydric juga
meningkatkan kadar capsaicin oleh aktivitas dari enzim fenilalanin amonia liase
(PAL) menaikkan, asam-4-hidroksilase sinamat (C4H) dan CS, semua yang terlibat
dalam biosintesis capsaicin . Administrasi prekursor capsaicin asam 8-metil-noneic
dan vanillylamine telah menunjukkan bahwa asam 8-methylnoneic terjadi pada
tingkat lebih rendah dari vanillylamine dan karena merupakan substrat untuk
membatasi sintesis capsaicin . Hasil ini menunjukkan kemungkinan mengendalikan
sintesis capsaicin di pabrik dengan memanipulasi konsentrasi substrat dan
ketersediaan air, yang akan menjadi biaya-efektif, alternatif untuk meningkatkan
produksi capsaicin
Gambar 5. Biosintesis Capsaicin
2.7 Pemanfaatan Capsaicin sebagai antikanker
Senyawa Capsaicin (N-vanillyl-8-methyl-1-nonenamide) memiliki banyak kegunaan, salah satunya dapat digunakan sebagai antikanker. Dalam suatu studi kasus, senyawa capsaicin diduga dapat mengurangi prosentase petumbuhan sel CE 81T/VGH (sel kanker esofagus) dengan cara menginduksi pembelahan sel pada fasa G0-G1, sehingga terjadi appoptosis (kematian sel secara alami/normal). Apabila fasa G0-G1 telah terinduksi, maka promosi p53 dan p21 terhenti, dimana inhibitor Cdk2 dan E kompleks dapat meghambat pembentukan sel kanker, sehingga sel kanker tersebut akan mati. Baik tidak nya senyawa capsaicin didukung oleh reaktivitas oksigen intraseluler, produksi ion Ca2+ dan BAPTA sebagai khelatnya.
Meskipun penggunaan senyawa capsicin sebagai antikanker
masih kontroversial, namun hasil studi telah membuktikan bahwa
senyawa ini cukup efektif, karena telah diuji pula pada sel leukimia
2.8 Sintesis in vitro Capsaicin
Sebuah alternatif yang menjanjikan untuk sintesis capsaicin dan analog adalah
dalam sintesis vitro. Produksi Capsaicinoid melalui sel atau kultur jaringan dapat
ditambah menjadi penambahan prekursor jalur biosintesis dan perantara sebagai
fenilalanin, asam ferulat dan vanillylamine menunjukkan hasil yang baik (Johnson,
T.S., 1996). Sel suspensi digunakan untuk mempelajari pengaruh fenilalanin dan
phenylpropanoids lainnya, dalam penelitian ini penambahan 100 M dari fenilalanin,
asam sinamat atau asam caffeic tidak menyebabkan peningkatan yang signifikan
dalam konten Capsaicinoids selama siklus pertumbuhan. Tapi penambahan 100 M
vanili, vanillylamine, asam p-kumarat dan asam ferulat memang meningkat 10, 7.5,
5.2 dan 2.5 kali lipat lebih tinggi produksi capsaicin dibandingkan dengan kontrol,
masing-masing (Nuñez-Palenius, H., 2005).Senyawa lain seperti asam kumarat dan
Elisitor seperti phycocyanin, asam synapinic, asam salisilat dan curdlan hasilnya
tingkat produksi capsaicin berbeda (Pandhair, V, 2009). Akumulasi Capsaicinois dan
perantara vanillylamine juga telah dilaporkan dengan penggunaan asam salisilat dan
metil jasmonat dalam kultur suspensi sel . Demikian pula, suplemen asam L-askorbat
dan D-limonene dalam media kultur menghasilkan sekitar tiga kali lipat peningkatan
produksi capsaicin (Veeresham C., 1993). Sebuah peningkatan 45% dalam produksi
capsaicin telah dilaporkan menggunakan kultur kalus tahan terhadap p-
fluorophenylalanine . Penambahan putresin polyamine pada kultur sel suspensi telah
terbukti meningkatkan produksi dan aktivitas capsaicin , juga enzim
terminalbiosintesis capsaicin (Sudha, G., 2003)
Produksi In vitro capsaicin lebih efisien dalam kultur sel amobil dibandingkan
pada kultur suspensi sel karena mantan prekursor digunakan untuk sintesis capsaicin
sedangkan yang kedua menggunakan mereka untuk metabolisme primer. Hal ini
dibuktikan dalam sebuah studi perbandingan kedua jenis kultur yang menggunakan
radioaktif ditandai fenilalanin dan asam sinamat untuk memantau penggabungan
mereka ke capsaicin atau prekursor. Produksi kedua senyawa lebih tinggi pada kultur
sel amobil dibandingkan pada kultur suspensi karena dalam kultur suspensi asam
sinamat fenilalanin dan dimasukkan ke dalam metabolisme protein dan dinding sel,
sehingga produksi capsaicin rendah . Fenomena yang sama telah dilaporkan untuk
kultur jaringan plasenta, dengan produksi lebih tinggi capsaicin dalam amobil
dibandingkan kultur suspensi. Dalam penelitian lain, menggunakan mediayang
berasal dari plasenta Capsicum annuum L. yang mencoba dengan 100%
nitrogen stres meningkat tingkat capsaicin sebesar 9,8 kali lipat dari yang di kontrol
setelah 15 hari dari subkultur. Penambahan 4 mM tirosin 100% fosfor dan kalium
100% stres menyebabkan 8,4 kali lipat dan 7,5 kali lipat. Penambahan prekursor pun
meningkatkan produksi capsaicin, diantaranya, 4 mM asam coumaric, 5 mM ferulic
acid, dan 4 mM vanili yang menunjukkan 6,3, 4,7 dan 2,4 kali lipat meningkat,
masing-masing, menjadi asam kumarat yang paling efektif. Selanjutnya,
menggunakan Elisitor phycocyanin (0,25%), asam sinapic (0,05 mM), asam salisilat
(2 mM) dan curdlan (0,0625%), menjadi asam sinapic yang paling efektif yang
meningkat capsaicin hingga 8,9 kali lipat dalam suspensi sel budaya. Meskipun asam
salisilat dan curdlan tidak berpengaruh, curdlan dalam kombinasi dengan tirosin,
meningkatkan akumulasi capsaicin 8.7 kali lipat, dan memiliki efek dalam kegiatan.
2.9 Ekstraksi Capsaicin dari Capsicum annuum sp
Salah satu cara untuk mendapatkan capsaicin adalah ekstraksi secara
berulang. Ekstraksi soklet adalah ekstraksi secara berulang secara automatis.
(Practical Organik Chemistry Tricluden Qualitative Organik Analysis, 1958, h.153).
Pemisahan senyawa capsaicinoid dari cabai dilakukan dengan menggunakan ekstraksi
pelarut dengan metode soxhlet. Sampel sebelum diekstraksi terlebih dahulu
dikeringkan dalam oven temperatur 60oC selama 72 jam kemudian dihaluskan
dengan menggunakan blender sehingga diperoleh sampel bubuk halus. Ekstraksi
dilakukan dengan pelarut etanol selama 3 x 8 jam hingga diperoleh ekstrak berwarna
coklat kemerahan. Ekstrak dipekatkan menggunakan rotavapor yang menghasilkan
ekstrak pekat berbentuk gel berwarna coklat tua kemerahan.Ekstrak pekat kemudian
dilarutkan kembali dalam metanol untuk didekolorisasi dengan karbon
aktif.Dekolorisasi menghasilkan filtrat berwarna lebih jernih yang kemudian
dipekatkan kembali untuk dilakukan karakterisasi dengan menggunakan
spektrofotometer UV dan KCKT. Pada proses karakterisasi ini dengan kedua metode
ini tidak digunakan standar sebagai pembanding sehingga analisis hanya bersifat
kualitatif berdasarkan hasil data sekunder.
Hasil karakterisasi dengan spektrofotometer UV terhadap ekstrak metanol
menghasilkan spektrum UV dengan 4 puncak dominan pada panjang gelombang
228,78 nm; 246,32 nm; 280,01 nm; dan 321,11 nm. Berdasarkan studi literatur
puncak serapan pada 228,78 nm adalah capsaicin dan pada 246,32 nm merupakan
senyawa analognya yaitu nordihidrocapsaicin. Serapan pada 228,78 dibandingkan
dengan ketiga puncak lainnya lebih besar hal ini sesuai bahwa capsaicin merupakan
komponen terbanyak dari golongan capsaicinoid pada ekstrak cabai. Puncak serapan
pada beberapa lainnya dimungkinkan oleh adanya senyawa pengotor yang ikut
terekstrak karena proses purifikasi belum dilakukan secara sempurna. Analisis lebih
lanjut dengan KCKT menggunakan kolom C-18 5mm, sepanjang 25 cm dengan
diameter dalam 4.6mm, sistem pompa tunggal isochratic, Single Wavelength
Detector 280 nm, laju alir 1 mL/menit dan volume sampel yang diinjeksi 20 mL.
Kondisi KCKT di atas dibuat sama dengan kondisi pada data sekunder untuk
memudahkan interpretasi hasil. Capsaicinoid dan senyawa analognya muncul pada
rentang waktu disekitar 10 menit.Berdasarkan komparasi dengan data sekunder
puncak pada kromatogram pada waktu 10 menit adalah capsaicin dan puncak yang
lebih kecil disebelah kiri adalah nordihidrocapsaicin. Dari hasil ke dua karakterisasi
tersebut dapat dikatakan bahwa pemisahan capsaicin masih belum menghasilkan
suatu ekstrak senyawa murni, walaupun telah dihasilkan kristal berwarna putih
kekuningan setelah dilakukan dekolorisasi dengan arang aktif.
2.10 Skrining Fitokimia
Salah satu pendekatan untuk penelitian tumbuhan potensial adalah penapis
senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman. Cara ini digunakan untukmendeteksi
senyawa tumbuhan berdasarkan golongannya. Sebagai informasi awal dalam
mengetahui senyawa kimia apa yang mempunyai aktivitas biologi dari suatu tanaman.
Informasi yang diperoleh dari pendekatan ini juga dapat digunakan untuk keperluan
sumber bahan yang mempunyai nilai ekonomi lain seperti sumber tani, minyak untuk
industri, dan sebagainya. Metode yang telah dikembangkan dapat mendeteksi adanya
golongan senyawa alkaloid, flavonoid, senyawa fenolat, tannin, saponin, kumarin,
quinon, steroid/terpenoid (Teyler V E., 1998)
Uji Screening Capcaisin
No Hal yang diuji Metode Hasil Keterangan
1 Uji Alkaloid Penambahan reagen meyer
Terjadi perubahan warna dan
terbentuknya endapan
+
2 Uji Flavonoid Penambahan reagen NaOH
dan eter
Terjadi perubahan
warna menjadi kuning
+
3 Saponin Pengocokkan dengan kuat kemudian didiamkan
Terbentuk busa-
4 Tanin Penambahan reagen FeCl3
Perubahan warna menjadi
biru, biru kehijauan
ataupun biru kehitaman dan terbentuknya
endapan
+
5 Steroid Penambahan reagen
liebermen-burchard
Terbentuk warna merah
atau ungu-
2.11 Analisa Capsainin
Analisis capsaicin yang sudah dilakukan adalah menggunakan cara
organoleptik (Scoville, 1912) dan HPLC (High Performance Liquid Chromatography)
(Poyrazoglu, 2005; Supalkova, 2007). Cara organoleptik dilakukan dengan merasakan
bijinya. Walaupun metode ini cepat dan murah, namun dapat meninggalkan rasa sakit
bagi perasa. Hasil analisa ini digolongkan dalam skala Scoville. Skala Scoville
digunakan untuk mengukur rasa pedas pada cabai. Sebuah skala yang dibuat
berdasarkan rasa pedas pada cabai-cabai tersebut. Cara organoleptik memiliki
kelemahan pada akurasi yang rendah dan relatif subjektif (Scoville, 1912).
Analisis menggunakan metode HPLC dilakukan dengan cara biji cabai
dikeringkan, kemudian direndam. Selanjutnya, zat kimia yang bereaksi terhadap panas
diekstrak, dan hasil ekstrak diinjeksikan dalam alat HPLC untuk dianalisa. Metode ini
mengidentifikasi senyawa-senyawa yang menyumbangkan panas. Senyawa-senyawa
ini kemudian diformulasikan secara matematis sesuai besarnya kapasitas relatif
senyawa tersebut menyumbangkan rasa panas. Metode ini tidak lagi dihitung
menggunakan satuan Scoville tetapi dalam satuan kekuatan ASTA (American Spice
Trade Association). Satu ppm sebanding dengan 15 satuan Scoville. Konversi ini
adalah pendekatan seorang ahli dalam rasa panas Donna R. Tainter dan Anthony T.
Grenis mengatakan bahwa terdapat konsensus skala ASTA 20-40% lebih rendah dari
nilai Scoville (Supalkova, 2007). Namun teknik 4HPLC ini juga memiliki kelemahan
dalam hal peralatan dan biaya penelitian yang cukup mahal dan waktu analisis yang
relatif lama (± 1 jam).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari pemaparan mengenai capsaicin diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Capsaicin merupakan senyawa turunan dari fenilpropanoid. Senyawa
capsaicin merupakan capsaicin primer yang ada dalam cabai, diikuti oleh
dihidrocapsaicin, dan senyawa lainnya.
2. Biosintesis capsaicin dilakukan dengan dua jalur. Isolasi capsaicin dilakukan
dengan cara ekstraksi pelarut dengan metode soklet.
3. Analisa capcaisin dilakukan dengan cara uji organoleptik dan HPLC. Uji
organoleptik dengan cara uji sensori atau dengan merasakan rasa capsaicin
ini.namun metode ini dapat meninggalkan rasa sakit bagi panelis.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.A., (2004), Kuliah Umum Purnabakti Empat Puluh Tahun dalam Kimia Organik Bahan Alam Tumbuh – Tumbuhan Tropika Indonesia,Relokasi dan Prospek, ITB, Bandung.
Barbero, G.F.; Molinillo, J.M.G.; Varela, R.M.; Palma, M.; Macias, F.A.; Barroso, C.G. Application of Hansch´s model to capsaicinoids and capsinoids: a study using the quantitative structure-activity relationship. A novel method for the synthesis of capsinoids. J. Agric. Food Chem. 2010, 58, 3342-3349.
Hin LK, Zain MS, Abas MR, Mohd MA, (2008) “Classification Of Chilli Sauces: Multivariate Pattern Recognition Using Selected GCMS Retention Time Peaks Of Chilli Sauce Samples” The Malaysian Journal of Analytical Sciences Vol. 12 No. 1.
Kirschbaum-Titze, P., Mueller-Seitz, E., & Petz, M. (2002). Pungency in paprika (Capsicum annuum). 2. Heterogeneity of capsaicinoid content in individual fruits from one plant. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 50: 1264 1266.
Krajewska A.M., Powers J.J., (1987) “Gas chromatography of methyl derivatives of naturally occurring capsaicinoids”, J. Chromatogr. 409: 223–233
Katritzky, A.R.; Xu, Y.J.; Vakulenko, A.V.; Wilcox, A.L.; Bley, K.R. Model compounds of caged capsaicin: design, synthesis, and photoreactivity. J. Org. Chem. 2003, 68, 9100-9104.
Mori, A; Lehmann S, O'Kelly J et al. (2006) "Capsaicin, a component of red peppers, inhibits the growth of androgen-independent, p53 mutant prostate cancercells". Cancer Research 66, 6: 3222–3229
Nelson, E.K.; Dawson, L.E. The constitution of capsaicin, the pungent principle of Capsicum. III. J. Am. Chem. Soc. 1923, 45, 2179-2181.
Supalkova V., Stavelikova H., Krizkova S., Adam V., Horna A., Havel L., Ryant P., Babula P., and Kizek R., 2007, Study of Capsaicin Content in Various Parts of Pepper Fruit by Liquid Chromatography with Electrochemical Detection, Acta Chim, Slovakia, 54. 55–59
Sumaryono, W., (1996), “Pengkajian Metabolit Sekunder dan Prospeknya Dalam Perkembangan Industri Nasional”, Kuliah Tamu Pada Forum Himpunan Mahasiswa, FMIPA-ITS, PP 3-4.
Surh, Y.J., (2002). More than spice: capsaicin in hot chili peppers makes tumor cells commit suicide, J. Natl. Cancer Inst. 94: 1263–1265.
Walpole, C.S.; Bevan, S.; Bloomfield, G.; Breckenridge, R.; James, I.F.; Ritchie, T.; Szallasi, A.; Winter, J.; Wrigglesworth, R. Similarities and differences in the structure-activity relationships of capsaicin and resiniferatoxin analogues. J. Med. Chem. 1996, 39, 2939-2952.