Top Banner
1 ISLAM DASAR KESALEHAN KOMUNAL (Tinjauan Universalisme Makna Dîn dan Al-Islam) Dr. H. Fakhrudin Aziz, Lc., MSI. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama diyakini sebagai kebenaran mutlak. Kemutlakan ini membedakannya dengan kebenaran ilmiah dan filsafat yang mengandung berbagai kemungkinan dan menyisakan ruang keraguan. Premis ini dibangun atas asumsi bahwa agama menciptakan pertalian hubungan manusia dengan Tuhan. Konsekuensi teologisnya, manusia diikat dengan janji primordial untuk memanifestasikan pesan kitab suci dalam kehidupan manusia (kongkrit). Disinilah agama menemukan dimensi kesakralannya (the sacred). Dalam kesakralan agama, terkandung makna bahwa pesan kitab suci harus dipahami, dihayati, dan dimanifestasikan dalam kehidupan. Dari sini, umat beragama terus memotivasi dirinya agar menjadi umat yang paling mampu menjalankan ajaran tersebut. Inilah ekspresi alamiah umat beragama. Maka lahirlah sikap heroik yang terwujud dalam semangat membela kesucian agama dari segala bentuk ancaman, baik yang datangnya dari pemeluk seagama ataupun pemeluk agama lain. Pada level ini, embrio sikap perlawanan dalam agama muncul. Idiom- idiom seperti jihad, sesat, benar dan sejenisnya menjadi semakin lantang disuarakan. Dalam situasi seperti ini, akan muncul keragaman sikap beragama yang kesemuanya mengilustrasikan tentang cara agama
38

Islam Dasar Kesalehan Komunal

May 16, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Islam Dasar Kesalehan Komunal

1

ISLAM DASAR KESALEHAN KOMUNAL

(Tinjauan Universalisme Makna Dîn dan Al-Islam)

Dr. H. Fakhrudin Aziz, Lc., MSI.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama diyakini sebagai kebenaran mutlak. Kemutlakan ini membedakannya

dengan kebenaran ilmiah dan filsafat yang mengandung berbagai

kemungkinan dan menyisakan ruang keraguan. Premis ini dibangun atas

asumsi bahwa agama menciptakan pertalian hubungan manusia dengan

Tuhan. Konsekuensi teologisnya, manusia diikat dengan janji primordial

untuk memanifestasikan pesan kitab suci dalam kehidupan manusia

(kongkrit). Disinilah agama menemukan dimensi kesakralannya (the

sacred).

Dalam kesakralan agama, terkandung makna bahwa pesan kitab suci

harus dipahami, dihayati, dan dimanifestasikan dalam kehidupan. Dari sini,

umat beragama terus memotivasi dirinya agar menjadi umat yang paling

mampu menjalankan ajaran tersebut. Inilah ekspresi alamiah umat

beragama. Maka lahirlah sikap heroik yang terwujud dalam semangat

membela kesucian agama dari segala bentuk ancaman, baik yang datangnya

dari pemeluk seagama ataupun pemeluk agama lain.

Pada level ini, embrio sikap perlawanan dalam agama muncul. Idiom-

idiom seperti jihad, sesat, benar dan sejenisnya menjadi semakin lantang

disuarakan. Dalam situasi seperti ini, akan muncul keragaman sikap

beragama yang kesemuanya mengilustrasikan tentang cara agama

Page 2: Islam Dasar Kesalehan Komunal

2

dipresentasikan. Hal ini berangkat dari pertanyaan; bagaimana agama

didefinisikan?

Lalu, pertanyaan lain yang muncul; bagaimana umat beragama dapat

mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain? Pertanyaan ini

bertalian dengan cara pandang terhadap agama dan manifestasinya dalam

kehidupan sosial. Bagi sebagian kelompok, agama diukur dengan ketaatan

individu dalam menjalankan ritual-vertikal sebagai kunci terciptanya

keteraturan dalam hidup. Maka sikap beragama harus ditunjukkan dengan

ketaatan menjalankan ritual. Bagi kelompok lain, agama dipandang sebagai

sistim yang menyatu dengan aspek sosial. Pada konteks ini, agama

termanifestasi dalam upaya menciptakan stabilitas sosial. Dua perspektif

tentang agama ini sama-sama mempresentasikan agama sebagai way of life

bagi manusia.

Menurut Arkoun (2001: 64), terdapat tiga hal dalam mendefinisikan

agama di tengah agama lainnya: pertama, pemikiran ulang tentang agama

dan masyarakat menuju suatu era pemikiran baru berdasarkan solidaritas

historis dan integrasi sosial; kedua, reformasi pemikiran teologis eksklusif

menuju kritisisme radikal terhadap “akal religius” sebagaimana fungsinya

dalam tradisi agama-agama; ketiga, perlunya studi agama secara historis-

antropologis.

Ketiga hal tersebut menjadi frame pada paparan makalah ini. Hal ini

didasarkan pada kebutuhan untuk memperjelas the meaning and the purpose

of life. Bukankah setiap agama memiliki cerita besar (grand narrative) yang

Page 3: Islam Dasar Kesalehan Komunal

3

dengan caranya sendiri hendak menjelaskan; bagaimana seharusnya manusia

hidup berdampingan dengan lainnya?

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, permasalahan dalam makalah ini

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa hakikat makna kata dîn dalam perspektif al-Qur’an?

2. Apa makna al-Islâm dalam perspektif Nurcholis Madjid?

3. Dalam keberagamaan, hal apa yang dibutuhkan agar tercipta kedamaian

antarelemen umat beragama?

C. Kerangka Pikir

Mengkaji tentang fenomena keagamaan berarti mengkaji perilaku

manusia dalam kehidupan beragamanya. Fenomena keagamaan itu sendiri

merupakan perwujudan dari sikap dan perilaku manusia yang bertolak dari

cara individu mendefinisikan kata dîn (agama). Jadi, pendefinisian ini

memberikan dampak yang luas dan kompleks.

Lokus dalam dîn adalah kemaslahatan. Itu artinya tidak ada pesan

lain dari agama selain agar kehidupan umat manusia selalu menebar

kepositifan. Dari perspektif teologis, Tuhan menurunkan agama melalui para

rasul, dimana mereka mendapatkan kitab suci yang berisi petunjuk hidup

dan hazanah keilmuan yang dibutuhkan oleh umat manusia. Dari sini lalu

kitab suci menjadi kitab yang dipedomani sebagai petunjuk.

Idealitas agama sebagai kunci kemaslahatan mendapatkan warna baru

ketika agama dipahami oleh individu dan kemudian terejawantah dalam

kehidupan sosial. Dengan kata lain, dalam dîn didapati sisi antroposentris

Page 4: Islam Dasar Kesalehan Komunal

4

dimana agama tidak dapat dilepaskan dari keragaman perspektif individu.

Keragaman ini disebabkan -diantaranya- oleh keragaman kultur, bahasa, dan

geografis. Pada konteks inilah agama dipahami oleh individu melalui

tafsiran-tafsiran yang terabsahkan. Artinya, dibalik keragaman sikap

beragama terdapat aksioma-aksioma yang menjadi pembenaran sikap.

Dari sini lalu, apa yang dapat dilakukan di tengah keragaman

tersebut? Jika kebenaran mutlak hanya milik Allah, maka perlu dibangun

mutual understanding untuk menerima kehadiran kebenaran-kebenaran

subyektif dan tentatif. Ini dapat bertolak dari semangat awal bahwa agama

sesungguhnya mengajarkan ketundukan (al-Islâm) kepada Tuhan. Agama

menyemangati sikap berdedikasi kepada Tuhan, bukan golongan.

Meminjam bahasa Madjid (2000: 174-175), dîn mengajarkan eratnya

persaudaraan di tengah perbedaan.

Terbangunnya mutual understanding antarkelompok dapat mengurai

benang kusut kontestasi simbol antarkelompok, sehingga manifestasi agama

dapat terwujud dalam sikap yang damai dan toleran. Mutual understanding

dapat dinyatakan dengan ungkapan bahwa masing-masing kelompok

sesungguhnya memiliki hak meyakini kebenaran.

II. PEMBAHASAN

A. Definisi Dîn (Agama)

1. Makna Etimologis

Menurut al-‘Alim (tt: 204-207 ), dîn memiliki varian makna,

antara lain: al-mulk, al-Qahr, al-Sulthan, al-‘Izz, al-Dzull, al-Khidmah,

al-Ikrâh, al-Ihsan, al-‘Âdah, al-Ibâdah, al-Tadallul, al-Khudu’, al-Tâ’ah,

Page 5: Islam Dasar Kesalehan Komunal

5

al-Madzhab, dan al-Sîrah. Varian tersebut merujuk pada penggunaan dîn

yang berasal dari akar kata dâna yang diikuti dengan huruf lâm (dâna

lahû) dan ba’ (dâna bihi).

Varian makna dîn tersebut menalikan hubungan antara pihak

pemilik kekuasaan (Tuhan) dan pihak yang dikuasai (makhluk). Dalam

Islam, dîn menjelaskan hubungan keterikatan manusia kepada Allah.

Dalam kitab Lisân al-‘Arab (Manzur, 1968: 74), kata dîn

memiliki makna pembalasan, perhitungan, keputusan, kepatuhan, sikap

berserah diri, kerendahan, adat-istiadat, tingkah laku, kekuasaan,

pemaksaan, cara atau jalan, peraturan, hukum, agama, dan akidah. Di sini

dîn bermuara pada dominasi 3 makna, yaitu adat atau kebiasaan; balasan;

dan kepatuhan.

2. Makna Terminologis

Al-Alim (tt: 210) mendefinisikan kata dîn sebagai aturan Tuhan

yang diperuntukkan bagi mereka yang berakal dan diterima secara

alamiah agar senantiasa memilih kebaikan demi kemaslahatan dunia dan

akhirat. Jadi dîn berasal dari Tuhan, bukan hasil karya manusia.

Di dalam kalimat “mereka yang berakal dan diterima secara

alamiah” –menurut Al-Alim (tt: 210-211)- terkandung makna bahwa

hakikat agama hanya dapat ditangkap oleh kaum berakal melalui cara-

cara alamiah. Artinya, pesan agama selalu seirama dengan kehidupan

manusia yang menginginkan keteraturan. Premis ini menegasikan cara

eksploitatif (tidak alamiah) yang ditempuh atas nama agama. Allah telah

berfirman:

Page 6: Islam Dasar Kesalehan Komunal

6

ال إكراه يف الدين“Tidak ada paksaan dalam beragama” (QS. Al-Baqarah [2]: 256 )

Meskipun para mufasir berbeda pendapat tentang nasikh-mansukh

dalam ayat tersebut, penggunaan lâm-alif pada ayat tersebut memiliki dua

fungsi; pertama, penegasian (la nafi); kedua, pelarangan (la nahi).

Keduanya bermakna bahwa pesan agama tidak dapat tersampaikan secara

efektif melalui cara-cara paksaan.

Ali (1989: 106) mencatat, pemaksaan beragama bertentangan

dengan pesan universal agama; pertama, agama tergantung pada iman

dan kemauan. Keduanya bersifat privat dan tidak bisa didekati secara

eksploitatif; kedua, kebenaran dan kesesatan dua hal berbeda. Tidaklah

mungkin kebenaran ditempuh melalui cara yang bertentangan dengan

kebenaran itu sendiri, seperti intimidasi.

Dalam al-Qur’an, kata dîn disebutkan untuk menjelaskan

beberapa konteks yang berbeda. Di antara makna din sebagaimana

disebutkan dalam firman Allah berikut ini:

“Sesungguhnya Kami telah turunkan kepadamu kitab suci al-Qur’an. Maka sembahlah Allah dengan senantiasa memurnikan agama-Nya (din)” (QS. Azzumar [39]: 2).

Ayat lain yang senada juga menyebutkan:

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan agama (dîn) kepada-Nya” (QS. Azzumar [39]: 14).

Page 7: Islam Dasar Kesalehan Komunal

7

Menurut Attabari (1999: 623), ketika dîn disandingkan dengan

‘abada,1 ia memiliki makna ibadah, tauhid dan kepatuhan yang ketiganya

sebagai manifestasi pemurnian agama Allah.

Makna ini diperkuat dengan ayat lain:

“Katakanlah, Tuhanku menyuruh (kita) berbuat adil dan hadapkanlah wajah kalian (kepada-Nya) di setiap tempat peribadatan, dan sembahlah Dia (wad’uhu) dengan memurnikan diri kepada-Nya. Sebagaimana Dia menciptakan kalian pada permulaan, begitupula kalian akan dikembalikan”. (QS. Al-A’raf [7]: 29).

Pada ayat yang lain:

“Maka sembahlah Allah (fad’u Allah) dengan memurnikan din kepada-Nya meskipun orang-orang kafir tidak menyukai-Nya” (QS. Al-Mu’min [40]: 14).

Dari ayat tersebut dîn dimaknai sebagai tauhid, ibadah dan

kepatuhan. Jika dikontekstualisasikan dengan upaya pemurniaan agama,

maka makna ini sangat tepat. Dengan kata lain, penyembahan dan pemurnian

menjadi dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Allah menghendaki

penyembahan yang disemangati dengan pentauhidan dan ketaatan mematuhi

aturan dari Allah. Jadi agama ditransmisikan kepada hal-hal yang dapat

mendekatkan diri kepada Allah.

Pada bagian lain, kata dîn bersanding dengan Islâm. Ini dapat diamati

pada ayat berikut:

“Sesungguhnya agama (din) yang sah di hadapan Allah adalah Islam” (QS. Ali Imron [3]: 19)

1 Secara etimologi, ‘abada berarti menyembah. Ketika “menyembah” disandingkan dengan dîn terkandung pesan yang dalam akan makna dîn itu sendiri. Terlebih, ada penekanan terhadap upaya pemurnian agama. Pemurnian disini menguatkan bahwa penyembahan kepada Allah harus dilandasi dengan perilaku yang murni dan sungguh-sungguh menjunjung makna penghambaan manusia kepada Tuhannya. Hubungan ini terpola secara vertikal dimana perilaku hamba hanya ditujukan kepada Tuhan.

Page 8: Islam Dasar Kesalehan Komunal

8

Pada ayat lain:

“Barangsiapa mencari agama (din) selain Islam, maka itu tidak akan diterima. Dan kelak di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imron [3]: 85)

Menurut Attabari, kata dîn pada ayat pertama berarti kepatuhan dan

kerendahan. Adapun kata al-Islâm pada ayat yang sama berarti ketundukan,

kerendahan dan khusyu’. Takwilan firman Allah tersebut adalah;

“Sesungguhnya kepatuhan yang adalah satu-satunya kepatuhan di sisi-Nya adalah kepatuhan kepada-Nya, pengikraran lidah dan kalbu bagi-Nya dengan penghambaan dan kerendahan, ketundukan lisan dan kalbu-Nya dengan kepatuhan tentang apa yang disuruh dan dilarang. Itu dilakukan dengan tanpa menyombongkan diri kepada-Nya dan tanpa menyukutukan-Nya dengan yang lain” (Attabari, 1999: 623).

Dîn juga dimaknai sebagai sistem. Ini dapat dilihat pada ayat berikut ini:

“Dan janganlah kamu percaya kecuali kepada orang-orang yang mengikuti din-mu” (QS. Ali Imran [3]: 73)

Pada ayat yang lain:

“Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu dîn-mu dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridloi untukmu Islam sebagai dîn” (QS. Al-Maidah [5]: 3).

Dari uraian makna dîn di atas, baik secara etimologis maupun

terminologis, kata dîn berhubungan dengan kualitas personal yang dapat

diukur dari kemampuan mengekspresikan ketaatannya kepada Allah dengan

landasan tauhid yang menyemangati segala tindakan agar dilakukan secara

tulus dan konsisten. Wajar jika kemudian Allah mengecam orang-orang yang

menyekutukan-Nya (syirik).

Berdasarkan atas tinjauan makna dîn, dapat dinyatakan bahwa dîn

(agama) perlu mendapatkan tempat persemaian karena tiga hal. Pertama,

agama menjadi ekspresi ketaatan manusia terhadap Tuhan. Maka tidak ada

Page 9: Islam Dasar Kesalehan Komunal

9

pilihan baginya selain menjalankan nilai-nilai yang telah diatur dalam

syariatnya.

Kedua, agama diatribusikan pada kesalehan personal (individu) yang

dapat diukur dengan kemampuan menciptakan kesalehan komunal. Dengan

cara inilah keteraturan sebagaimana diingini agama akan dapat terwujud.

Ketiga, agama sebagai wadah ketaatan akan terjaga konsistensinya

ketika dilandasi dengan ketauhidan. Ketauhidan mendorong seseorang untuk

mempersembahkan seluruh sikap keberagamaannya kepada Dzat Tunggal,

yaitu Allah. Maka semangat bertauhid menjadikan individu beragama fokus

pada kualitas beragama.

Ketiga hal di atas dapat dimaknai bahwa agama sesungguhnya

mampu menjamin kemaslahatan hidup umat manusia selama pada tingkat

ekspresi (beragama), syariat agama tidak dilanggar. Maka diperlukan sikap

kemauan menerima bentuk ekspresi keberagamaan individu atau kelompok

lain. Kemauan disini dapat dinyatakan dalam ungkapan, “biarkan orang lain

mengekspresikan keinginannya menghamba kepada Tuhan Yang Esa.” Di

sini toleransi mendapatkan ruang persemaiannya.

Pendefinisian dîn ini merajut pola skema tentang hakikat agama

sebagai sistim hidup yang humanis dan pluralis yang senantiasa mengajarkan

kebaikan kepada sesama agar interaksi manusia berjalan teratur sesuai

sunnatullah. Dengan kata lain, dîn haruslah dipahami sebagai sistim

keteraturan yang menjamin kemaslahatan semua umat manusia.

B. Tauhid Dasar Keimanan Yang Murni

Page 10: Islam Dasar Kesalehan Komunal

10

Pada konteks agama Islam, penjelasan dîn dapat dinyatakan bahwa

muara akhir beragama adalah Allah. Maka kata kuncinya adalah

penyembahan. Dalam penyembahan, dibutuhkan suatu “ikatan” yang

menalikan hubungan antara Tuhan dan makhluk, yang karenanya membuat

makhluk memiliki visi dan misi yang jelas dalam aktifitas penyembahan.

Bagi seorang muslim, “ikatan” ini dikenal dengan aqidah yang harus tunggal

(tauhid).2

Madjid (2000: 78-80) mencatat, tauhid menempati posisi penting

dalam diskursus keagamaan. Di dalam al-Qur’an, banyak sekali ayat yang

menyitir tentang kaum politeis dan penolak kebenaran (kaum kafir, meskipun

percaya kepada Allah secara moniteis seperti sebagian golongan penganut

kitab suci atau Ahli Kitab). Kaum Ateis tidak mendapatkan porsi banyak

dalam al-Qur’an karena problem utama manusia justru politeisme atau syirik,

yaitu kepercayaan yang sekalipun berpusat pada Tuhan Yang Maha Esa,

namun masih membuka peluang bagi adanya kepercayaan kepada wujud-

wujud lain yang dianggap bersifat ketuhanan atau ilahi meski berposisi lebih

rendah dari Allah.

Dapat dijelaskan bahwa program pokok al-Qur’an ialah pembebasan

manusia dari keyakinan terhadap banyak Tuhan melalui program

pencanangan kalimat syahadat yang mengandung “negasi-konfirmasi”, yaitu

2 Dalam Lisanul Arab (Manzur, 1968) dan al-Mu’jam al-Falsafi (Madkur, 1979), terminologi aqidah berasal dari kata ‘aqada, ya’qidu, ‘aqdan, ‘aqîdatan, yang berarti simpul, ikatan perjanjian, dan kokoh. Aqidah merupakan keyakinan yang mendasari seluruh sendi ajaran Islam, yang mengikat kehidupan seorang muslim dan dari situlah tersimpul segala masalah. Sedangkan tauhid merupakan tindakan yang dilakukan secara sadar mengimani Allah sebagai Dzat Tunggal. Pada prinsipnya, bertauhid adalah satunya keputusan tindakan antara yang dikatakan dan dilakukan. Pada dirinya terletak komitmen dan istiqomah. Dengan demikian, maka aqidah sesungguhnya berkaitan dengan keimanan, dan keimanan dalam Islam didasari konsep tauhid, yakni mengesakan Allah.

Page 11: Islam Dasar Kesalehan Komunal

11

kesaksian tiada Tuhan selain Allah. Kesaksian ini menegasikan adanya

kepercayaan terhadap hal-hal palsu dan melatih agar seorang hamba

senantiasa loyal mendedikasikan dirinya kepada kemutlakan Tuhan Esa.

Makna “negasi-konfirmasi” senada dengan pernyataan Hidayat

(2003: 62) bahwa konfirmasi tersebut bertalian dengan janji primordial

manusia dengan Tuhan, di mana ia harus tunduk kepada kuasa Tuhan. Di sini

kemudian manusia menumpukan segala pengharapan. Inilah sesungguhnya

makna dari dua kalimat syahadat.

Rais (1998, 35-39) dan Ma’arif (1997: 5) mencatat, dalam syahadat

terdapat 3 pelajaran moral (moral lesson); pertama, loyalitas kepada Allah;

kedua, kebenaran hanya milik Allah. Tak satupun makhluk-Nya berhak

melakukan klaim kebenaran (truth claim); ketiga, terdapat proclamation life

yang diterjemahkan melalui keharusan mempersembahkan hidup dan mati

hanya kepada Allah (qul inna shalâtî wanusukî wamahyâya wa mamâtî

lillâhi rabbil ‘âlamîn- katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup

dan matiku semuanya hanya untuk Allah). Melalui ayat ini, agama

sesungguhnya menyemangati setiap individu untuk menebar kebaikan dan

kasih sayang kepada sesama. Dengan kata lain, agama bersifat individu

dalam level pemahaman dan bersifat sosial dalam tahap manifestasi.

Paham pengesaan Allah merupakan paham yang tidak sekadar

mengakui bahwa Allah itu esa dan tak terbagi. Tetapi lebih dari itu, yakni

seluruh keputusan tindakan yang dilakukan merupakan kesatuan dari pikiran,

sikap mental dan perbuatan. Oleh karena itu dalam prinsip tauhid ditegaskan

Page 12: Islam Dasar Kesalehan Komunal

12

bahwa penyembahan merupakan kunci semua aksi. Sehingga apa yang

disembah sangat menentukan apa yang dilakukan (Dermawan, 2009: 16-17),

Pada hakikatnya, pemahaman tauhid tidak berhenti pada pengakuan

bahwa Allah itu esa. Pemahaman tauhid pada gilirannya harus

mengejawantah kepada keputusan tindakan manusia di dalam kehidupannya

sehari-hari. Misalnya, satunya kata dan perbuatan seseorang menjadikan

dirinya terdidik untuk bertanggungjawab sekaligus konsisten pada apa yang

diucapkan dan dilakukan. Jika seseorang itu meyakini bahwa sangat mampu

mencegah perbuatan keji dan mungkar maka ia akan selalu menjaga di segala

kondisi agar bagaimana setiap keputusan tindakannya mengarah pada

keyakinannya itu. Jika seseorang itu meyakini bahwa Allah itu esa, maka ia

tak akan menduakan ataupun mensekutukan-Nya.

Ketauhidan menjadi dasar keimanan yang murni yang termanifestasi

dalam keyakinan bahwa hanya Allah Tuhan yang boleh disembah (tauhîd

ulûhiyyah) dan Allah adalah Tuhan Esa yang mutlak dan transendental

(tauhîd rubûbiyyah). Ada 3 macam derivasi dari makna tauhid; pertama,

kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan sekulerisasi. Tauhid

melahirkan keimanan yang murni yang berdedikasi kepada Dzat Tunggal.

Maka segala bentuk aktifitas hanya dipersembahkan kepada ketunggalan

tersebut.

C. Kebutuhan Beragama

1. Agama; Kebutuhan Dasar Manusia

Mengapa manusia membutuhkan agama? Menurut Hidayat (2012:

ix), hal ini didasarkan pada kesadaran manusia akan perlunya ketenangan

Page 13: Islam Dasar Kesalehan Komunal

13

hidup. Ketenangan ini tidak hanya didapat melalui pemenuhan kebutuhan

fisik, melainkan juga non-fisik. Awalnya manusia selalu dilanda rasa takut

dan cemas. Untuk menghilangkan itu, ia butuh bersandar kepada kekuatan

supranatural yang tidak biasa dijumpai dalam kehidupan. Dalam tradisi

Islam, kebutuhan beragama biasanya terwujud dalam sikap pasrah kepada

Allah melalui ritual doa, shalat, puasa dan sebagainya.

Pertanyaan di atas penting dikemukakan karena beberapa alasan.

Pertama, kajian keagamaan menempati ruang terpenting dalam sejarah

peradaban manusia.3 Menurut Djam’annuri (2003: 1), studi agama-agama

telah menjadi perhatian masyarakat luas sejak tahun 60-an dan 70-an yang

bermula dari kemunculan-mitologi-mitologi masyarakat abad itu. Studi ini

diantaranya mengkaji tingginya kebutuhan manusia terhadap agama; kedua,

agama menciptakan hubungan keimanan antara Tuhan dan manusia. Karena

menyangkut keimanan (alamiah),4 aneka persoalan agama selalu menyemai

3 Teori umum tentang agama dikemukakan oleh Herodotus (484-425). Dalam perjalanannya ke Mesir, ia menjelaskan bahwa dewa Amon dan Horus yang dianut masyarakat Mesir hampir sama dengan dewa Zeus dan Apollo yang diyakini masyarakat Yunani. Namun, pembicaraan tentang Tuhan dan agama telah muncul sekitar tahun 330. Saat itu Euhemesus mengatakan bahwa Tuhan-Tuhan dalam sejarah sesungguhnya adalah orang-orang hebat yang disembah oleh pengikutnya setelah ia meninggal (Sharpe, 1975: 1-7). Pals menjelaskan, embrio kajian akademis tentang asal-usul agama bermula dari ungkapan seorang Profesor bernama Friederich Max Muller. Dalam sebuah kuliah umum yang menjadi rangkain acara sebuah kerajaan di London, ia mengusulkan disiplin ilmu baru yang disebut dengan science of religion. Ungkapan ini menghebohkan peserta kuliah yang sebelumnya telah dihebohkan oleh karya Charles Darwin, The Origin of Species (1859). Statemen Muller menjadi kontroversial pasalnya agama selama ini identik dengan keimanan-keimanan yang bersifat alamiah. Sementara science identik dengan program-program studi yang berdasarkan atas eksperimen, revisi dan perubahan. Disinggung mengenai hal ini, Muller menjawab bahwa keduanya bisa disatukan. Dengan cara ini, Muller berharap umat beragama memposisikan agama yang dianutnya secara obyektif dan berhenti mencari-cari kesalahan agama lain (2012: 11-18). 4 Bagi Sutrisno (2004: 227), iman merupakan relasi manusia dengan Yang Ilahi. Dalam relasi ini, manusia menanggapi penuh penyerahan dan mengarahkan hidupnya agar mendapatkan yang berarti. Karena pengalaman iman menjadi penghayatan bersama (sosial), maka manusia memiliki lingkup sosial dan penampilan sosialnya yang secara ‘lembagawi’ tampil dalam agama. Maka, ungkapan agama ke masyarakat muncul melalui, pertama, hidup mengumat (jemaat); kedua, ibadah (ritual); ketiga, ajaran; keempat, pelayanan kemasyarakatan. Oleh karena agama itu berfungsi untuk mengartikan pengalaman kehidupan dalam terang relasi dengan Yang Ilahi, ia memiliki basis motivasi hidup orang yang mampu menggerakkannya.

Page 14: Islam Dasar Kesalehan Komunal

14

titik-titik sensitif yang tidak selalu dapat dijelaskan dengan pendekatan

ilmiah.

Pals (2012: 26-27) mencatat, dalam kapasitas sebagai makhluk

individu maupun kelompok, di dalam diri manusia tersimpan kekuatan

tersembunyi yang menjadi penyebab munculnya kecenderungan menganut

agama. Jadi, ia ada bukan karena ide-ide tentang masyarakat beragama yang

memimpikan kehidupan yang lebih baik, tetapi ia memang muncul dari

panggilan alamiah akan sebuah ketenangan. Ini sebabnya Allah memberikan

penegasan dalam QS. Fathir [35]: 15, QS. Al-Baqarah [2]: 38 dan QS. Arra’d

[13]: 28, bahwa manusia selalu butuh kekuatan yang mendamaikan diri dari

rasa cemas dan takut.

Pada perkembangannya, kebutuhan manusia akan agama terus

dinamis, dari Agama Keyakinan (faith) menjadi agama institusional

(organized religion). Para pakar sering membagi agama-agama ke dalam dua

kategori besar; Agama Wahyu (revealed religion) dan Agama Alamiah

(natural religion). Perbedaannya, jika agama wahyu bersumber dari wahyu

Tuhan, agama alamiah bersumber dari intuisi dan karsa manusia.

Persamaannya, keduanya bersifat doktrinal.

Bermula dari keyakinan an sich, cara beragama kemudian

terekspresikan melalui festival keagamaan yang memiliki ciri; pertama,

sifatnya masif-komunal; kedua, terdapat norma yang disepakati dan

dibakukan; ketiga, doa sebagai ruh seremonial keagamaan; keempat, festival

Page 15: Islam Dasar Kesalehan Komunal

15

pada tempat dan momen suci. Disinilah sesungguhnya pemahaman dan

kesadaran kosmologi suatu tradisi melengkapi keyakinan agama yang dianut.

Dari sini lalu kehadiran agama dirasakan penting oleh manusia.

Agama dinilai menjadi kebutuhan dasar bagi manusia untuk mencapai

ketenangan yang hakiki dalam menjalani kehidupan dan sekaligus dapat

menyatukan antarindividu dalam interaksi sosial.

2. Domain Agama

Hidayat (2012: 71) mencatat, terdapat empat domain bagi artikulasi

dan ekspresi keberagamaan, yaitu domain pribadi, jamaah, masyarakat dan

negara. Masing-masing dari domain tersebut memiliki karakter yang berbeda

yang karenanya memungkinkan terjadinya benturan, terutama dalam hal

ekspresi keberagamaan.

Pada wilayah pribadi, seorang individu beragama bebas meyakini

suatu kebenaran. Bahkan pada tingkat perlu bertuhan atau tidak. Dalam

kondisi ini, kebebasan beragama atau berkeyakinan mendapatkan tempat

persemaiannya, di mana ia bebas mengartikulasikan Tuhan, agama dan

kebenaran. Karena itulah agama dalam domain pribadi menjadi sangat

private dan menjadi sulit untuk diukur kedalamannya karena tidak

mengejawantah dalam ranah sosial.

Kebebasan individual dalam beragama tersebut akan mengalami

penyesuaian manakala masuk dalam ranah jamaah. Domain jamaah dapat

diilustrasikan bahwa terdapat wahana atau wadah yang mewadahi persepsi-

persepsi keagamaan. Karena bertalian dengan persepsi lain, maka indivdiu

tidak dapat mendominasi persepsinya agar diikuti orang lain. Menurut

Page 16: Islam Dasar Kesalehan Komunal

16

Hidayat (2012: 72), dalam domain jamaah, paham keagamaan dan iman

seseorang terbentuk dan terbina secara efektif karena anggotanya bersifat

homogen dan eksklusif. Jadi, pada situasi ini, terjadi upaya menyamakan

persepsi keberagamaan antarindividu.

Selain domain pribadi dan jamaah, dalam keberagamaan juga

terdapat domain sosial, bahwa kelompok umat beragama akan berinteraksi

dengan kelompok yang lain. Persepsi keberagamaan akan bertemu dengan

persepsi yang lain. Pada situasi ini, dibutuhkan perangkat untuk memenej

dinamika antarkelompok agar tercipta stabilitas hubungan antarumat

beragama. Meminjam bahasa Hidayat (2012: 73), pada konteks ini, Hukum

Negara (Hukum Positif) sangat dibutuhkan, bukan Kitab Suci.

Hal penting yang dapat dicatat bahwa meskipun masuk dalam domain

sosial, suatu kelompok tidak dapat begitu saja menguasai ruang publik

(sosial). karena ini menyangkut kepentingan untuk hidup bersama secara

rukun dan damai. Maka, kehadiran Hukum Negara dituntut efektif menjadi

mediator ragam persepsi yang ada. Jika tidak, domain sosial akan dikuasai

oleh suatu kelompok dan ini menjadi preseden buruk karena itu artinya

konflik terbuka antarkelompok mendapatkan ruang persemaiannya.

Konflik Poso, Ambon dan Cikeusik -misalnya- adalah satu dari bukti

bahwa terdapat kelompok agama yang hendak menguasai ranah publik.

Penguasaan dapat berbentuk publikasi ajaran dan justifikasi “bersalah” yang

disematkan kepada kelompok lain. Suatu fenomena yang terbantahkan

adalah bahwa kontestasi simbol mendominasi konflik ini. Ini dapat terjadi

Page 17: Islam Dasar Kesalehan Komunal

17

karena etika legal Hukum Negara yang sah tidak lagi diindahkan. Pada

kondisi ini pula ideologi kelompok berkeinginan menguasai ranah publik.5

Domain keempat adalah domain negara. Indonesia telah memiliki

pengalaman bahwa agama dan Negara terpola dalam hubungan sinergis, di

mana keduanya sama-sama butuh wadah legitimasi agar dapat diterima oleh

rakyat Indonesia. Ketika agama bersanding dengan Negara dan politik, yang

menonjol adalah agenda perebutan kekuasaan. Pada situasi ini, agama

menjadi komoditas politik yang efektif yang sekaligus dapat membuka

peluang terjadinya kekerasan dalam agama.

Thohir (2008) mencatat, ada setidaknya tiga penjelasan bagaimana

kekerasan dibawa ke ranah agama. Pertama, agama dibawa-bawa oleh

negara dan penguasa untuk menjustifikasi dan melegitimasi keputusan-

keputusan politik kekuasaan; kedua, pihak-pihak yang memanfaatkan dan

mengatasnamakan lembaga-lembaga agama yang mengembangkan sayap

kekuatan untuk merespons keputusan politik dan praktik-praktik

pemerintahan, atau memanfaatkan ideologi keagamaan untuk kepentingan

lembaga, organisasi-organisasi, kelompok-kelompok keagamaan, atau partai-

partai yang mendasarkan diri pada asas keagamaan itu sendiri; ketiga,

individu-individu merasa terpanggil untuk menghentikan kekerasan,

5 Thohir (2007) mencatat, ketika umat beragama melihat agama lain sebagai “ancaman”, maka bahasa yang digunakan dan disosialisasikan adalah bahasa-bahasa yang mengandung cita rasa “kekerasan”, seperti “waspada”, “pelecehan agama”, “kemungkaran”, kekafiran, dan perang. Dari sinilah skala konflik-keagamaan mulai memperoleh tempat persemaian. Sikap membiarkan mind-set atau cara berfikir dan cara menanggapi the self dan the others yang demikian, mudah diramalkan bakal menjadi lahan subur untuk lahirnya konflik sosial. Konflik yang pernah pecah di Ambon, Poso, Sampit, Cikeusik, Pandeglang, dan Temanggung adalah contoh kasus; betapa mind-set tentang beragama sesungguhnya berkontribusi cukup besar melahirkan konflik. Meskipun agama bukan menjadi faktor utama, namun ia sering dijadikan sebagai lokus yang tersahkan.

Page 18: Islam Dasar Kesalehan Komunal

18

kemaksiatan, dan berbagai keburukan lainnya menurut tafsiran-tafsiran

mereka yang merasa terabsahkan dengan menggunakan kekerasan.

Masih menurut Thohir, penggunaan agama sebagai alat justifikasi

bagi negara, seringkali memiliki dua sayap. Sayap pertama berupa

pemanfaatan agama untuk memudahkan program dan proyek-proyek

pemerintah itu bisa diterima rakyatnya. Pada sayap ini, terjadi pengerahan

secara besar-besaran para tokoh agama untuk menjelaskan ”kemauan yang

baik” pemerintah, seperti program Keluarga Berencana

Sayap kedua, memperlakukan hak negara untuk menentukan mana

agama yang disahkan dan karena itu ada agama yang tidak sah. Negara

mensahkan suatu agama tertentu sama artinya kekuasaan negara melampaui

kekuasaan Tuhan itu sendiri, sehingga memunculkan kondisi seperti

berlangsungnya kekerasan agama.

Dari sini dapat dinyatakan bahwa segala bentuk ekspresi

keagamaan pada prinsipnya berlandaskan atas keyakinan akan kebenaran. Pada

konteks ini, masing-masing kebenaran memiliki standar yang berbeda. Maka

perlu ruang untuk aktualisasi diri. Inilah salah satu kebutuhan yang oleh Maslow

(1964: 8) disebut dengan Kebutuhan Aktualisasi Diri.6

6 Dalam “Hierarki Kebutuhan”, Maslow (2006: 127129), mencatat, sedikitnya ada 5 kebutuhan dasar manusia yaitu: 1. Kebutuhan Fisiologis/Biologis. Ini terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan, air, dst.; 2. Kebutuhan Keamanan. Setelah kebutuhan fisiologis tercapai, manusia berkecenderungan butuh rasa aman. Jika tidak terpenuhi, manusia akan menampakkan “sinyal” tanda tidak aman; 3. Kebutuhan Cinta, sayang dan kepemilikan. Maslow menyatakan bahwa orang mencari untuk mengatasi perasaan kesepian dan keterasingan. Ini melibatkan orang kedua dan menerima cinta, kasih sayang dan memberikan rasa memiliki; 4. Kebutuhan Esteem. Kebutuhan Ini melibatkan kebutuhan akan suatu penghargaan. Jika terpenuhi, orang merasa percaya diri dan berharga sebagai orang di dunia. Ketika seseorang merasa frustrasi, orang merasa rendah, lemah, tak berdaya dan tidak berharga; 5. Kebutuhan Aktualisasi Diri. Jika keempat kebutuhan tersebut dipenuhi, selanjutnya manusia merasa perlu mengaktifkan kebutuhan aktualisasi diri. Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai orang perlu untuk menjadi dan melakukan apa yang orang itu “lahir untuk dilakukan.”

Page 19: Islam Dasar Kesalehan Komunal

19

3. Klaim Kebenaran Agama

Lalu, bagaimana dengan klaim kebenaran agama? Apakah agama

sesungguhnya hanya satu dan tampil dalam pelbagai bentuk rupa? Hidayat

(2010: xviii) mengajukan lima tema untuk menjawab pertanyaan tersebut;

Pertama, kita berhadapan dengan pemikiran, perilaku dan pengalaman manusia yang beragama. Ini memungkinkan bagi mereka untuk saling berbagi pengalaman; kedua, bahasan keagamaan berhadapan dengan bangunan doktrin dan tradisi agama yang telah mapan yang didalamnya terdapat akumulasi dinamika pemikiran untuk merespon tantangan zaman yang dihadapi umatnya; ketiga, salah satu dimensi agama yang selalu hidup adalah pemahaman, kepercayaan dan keyakinan tentang kemahamutlakan Tuhan; keempat, karena di muka bumi terdapat banyak agama, persoalan yang selalu muncul adalah bagaimana menimbang dan memposisikan klaim kebenaran masing-masing agama, sehingga selalu terjadi kontestasi klaim kebenaran diantara pemeluk agama; kelima, reaktualisasi nilai-nilai agama. Pasalnya, meski doktrin agama berisi kebaikan dan kemuliaan, mengapa dalam sejarah banyak terjadi konflik yang digerakkan oleh tokoh-tokoh dan organisasi keagamaan?

Dalam soal teologi, Rachman (2004: vi-viii) mencatat bahwa klaim

kebenaran bermula dari standar ganda (double standard), dimana masing-

masing pemeluk agama meyakini agamanya yang paling benar dan murni

dari Tuhan. Adapun agama selainnya hanya hasil konstruksi manusia atau

berasal dari Tuhan namun telah terkontaminasi oleh kepentingan manusia.

Persepsi ini yang kemudian dapat memunculkan klaim kebenaran. Dari sini

Rachman menegaskan bahwa klaim kebenaran muncul dari ketidakkritisan

dalam cara berpikir tentang agama (religion’s way of knowing).

Menukil D’Adamo (1995), Rachman (2004: vii) menyebut religion’s

way of knowing sebagai akar dari konflik umat beragama yang bermula dari

keyakinan atas empat hal; pertama, konsisten bahwa agama berisi kebenaran

mutlak; kedua, bersifat lengkap dan final sehingga tidak memerlukan

Page 20: Islam Dasar Kesalehan Komunal

20

kebenaran agama lain; ketiga, kebenaran agamanya dianggap sebagai satu-

satunya jalan menuju keselamatan; keempat, seluruh kebenaran tersebut

diyakini orisinil dari Tuhan dan tidak ada konstruksi manusia sama sekali.

Dari sini jelas bahwa keyakinan menghasilkan cara berpikir tentang agama

(religion’s way of knowing) yang kemudian memunculkan paradigma yang

disebut science’s way of knowing yang menjangkau persoalan keagamaan

melalui proses verifikasi dan falsifikasi. Atas dasar inilah science’s way of

knowing dinilai tidak efektif dalam mengkaji persoalan keagamaan karena ia

selalu mendasarkan obyek kajiannya pada hal-hal yang bersifat empiris.

Namun demikian, science’s way of knowing dapat membantu

memperjelas apa yang disebut the meaning and the purpose of life. Bukankah

setiap agama memiliki cerita besar (grand narrative) yang dengan caranya

sendiri hendak menjelaskan; bagaimana seharusnya manusia hidup? Ini

sesuai dengan perintah Allah agar umat manusia saling berinteraksi

sebagaimana disinggung dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13. Kemauan

berinteraksi inilah yang dapat mengeliminir merebaknya klaim kebenaran

(truth claim). Sebagaimana dinukil Rachman (2004: x), Paul Knitter (1985)

menyatakan:

“All religions are relative-that is, limited, partial, incomplete, one way of looking at thing. To hold that way religion is intrinsically better than another is felt to be somehow wrong, offensive, narrowminde…”

D. Moral Komunal Menjadi Intisari Al-Islam

Kajian makna dîn menunjukkan bahwa agama menjadi motivasi diri

untuk mendedikasikan keberagamaannya kepada Tuhan, bukan yang lain. Jika

Tuhan –melalui kitab suci- memberikan tatanan hukum, maka semangat yang

Page 21: Islam Dasar Kesalehan Komunal

21

terbangun adalah semangat mentaati aturan tersebut. Bukankah seluruh isi al-

Qur’an -bahkan semua kitab suci yang pernah diturunkan kepada para nabi-

merupakan “pesan keagamaan”. Pandangan ini mengacu hadis nabi, “al-dîn

nasîhah “ [agama itu adalah nasihat] (Sukidi, 2001: 14 ).

Madjid (2000: 425) berpendapat, kata Al-Islam tidak hanya bermakna

sebagai agama institusi, melainkan sikap dasar yang melandasi keberagamaan.

Menurutnya, agama yang benar adalah yang dilandasi dengan Al-Islam, yakni

sikap berserah diri kepada Tuhan (QS. Al-Ankabut [29]:46). Tanpa itu, akan

terjadi disfungsi agama (QS. Ali Imran [3]:85). 7

Manifestasi Al-Islam adalah takwa (QS. 4: 131), di mana ia menjadi

kunci utama terbentuknya pribadi yang baik di hadapan Allah. Ketakwaan

dimaknai sebagai upaya menghadirkan Tuhan dalam kehidupan (omnipresent).

Inilah titik temu (common platform) atau kalimatun sawa’ bagi agama-agama

samawi (QS. Ali Imran [3]: 64).

Para mufasir memaknai al-Islâm tidak hanya sebagai agama

institusional, tapi sebagai sikap optimal dalam menyembah Tuhan. Dalam

bukunya Tafsir Al-Azhar (Hamka, 1994: 226) terdapat penegasan, bahwa

beragama tidak hanya dimanifestasikan dalam bentuk keduniawian, tetapi harus

dimaknai sebagai langkah dedikatif manusia kepada Allah. Hamka menekankan

7 Mengenai kata al-Islâm, beberapa mufasir memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Quasem (1983: 34), sejak datangnya agama Islam, hanya iman dalam Islam yang berlaku di atas muka bumi ini. keselamatan dan kebahagiaan dapat dicapai hanya melalui Islam, dan agama-agama lain telah rusak dan tidak lagi dapat menjadi jalan keselamatan dan kebahagiaan. Ini senada dengan pandangan Mutahhari yang berpendirian bahwa agama selain Islam tidak akan diterima oleh Allah. Namun ia memberi catatan bahwa ketika seseorang berserah diri (taslîm) dan hatinya ikhlas dalam kebenaran dan beramal saleh, sekalipun secara formal tidak memeluk agama Islam karena pesan Islam tidak sampai padanya, maka amalnya akan diterima di sisi Allah. Mereka disebut sebagai muslim fitri (1992: 288-289). Begitu juga dengan Usman Jum’ah. Ia menegaskan, Islam adalah satu-satunya agama yang diterima Allah dan semua manusia diwajibkan untuk mengikutinya. Semua yang dibawa nabi sebelum Muhammad telah dihapus (1988: 42-43).

Page 22: Islam Dasar Kesalehan Komunal

22

2 hal; pertama, membersihkan hati dari pengaruh keduniawian agar tetap ikhlas.

Jika seseorang telah menyatakan beriman, maka itu perlu diperkuat dengan

ibadah agar hubungan Tuhan dan makhluk terpelihara; kedua, ibadah harus

dilandasi dengan ketauhidan agar loyalitas dapat terus ditingkatkan. Hal ini juga

yang ditekankan oleh Ridla (1999: 294 ), Zamakhsyari (1995: 373) dan Hawwa

(199: 815).

Dari sini perlu dimunculkan mutual understanding, yaitu sikap saling

memahami dan saling menghormati antarumat beragama. Karena antarumat

beragama ini sesungguhnya bertolak dari konsep kemahaesaan Tuhan yang

mewujud dalam kesatuan kenabian (the unity of prophecy) dan kesatuan

kemanusiaan (the unity of humanity). Kesamaan inilah yang semestinya dapat

membangkitkan semangat toleransi yang mewujud dalam multikulturalisme.

Madjid (1998: 19) mencatat, penggunaan standar agama sendiri untuk

menilai agama orang lain adalah hal yang tak mungkin. Standar ini hanya akan

melahirkan penghakiman, bahkan perpecahan sebagaimana terjadi pada Gereja

Katolik ketika menerapkan doktrin extra ecclesiam nulla salus est. No salvation

out side the church (Tidak ada keselamatan di luar Gereja).

Oleh karena itu, dalam kemajemukan, ajaran tidak perlu secara

langsung mengakui kebenaran semua agama, akan tetapi cukup dengan

menanamkan sikap bahwa semua agama perlu diberi kebebasan untuk hidup,

dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-

masing.

Dalam kaitannya dengan kemajemukan agama-agama institusional,

Madjid menyitir firman Allah:

Page 23: Islam Dasar Kesalehan Komunal

23

“Sesungguhnya mereka yang beriman (kaum muslim), kaum Yahudi, kaum Nasrani dan kaum Sabiin, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta berbuat kebaikan, maka tiada rasa takut menimpa mereka dan mereka tidak perlu kuatir” (QS. Al-Maidah [5]: 69). Madjid berkomentar bahwa secara spontan, ayat tersebut memberikan

ruang kepada pemeluk agama selain Islam (sebagai agama konstitusional)

untuk “masuk surga” dengan catatan mereka percaya kepada Allah dan Hari

Akhir. Karena terdapat materi yang sulit direkonsolidasikan dengan premis

bahwa selain pemeluk agama Islam adalah kafir dan “tidak akan masuk surga”,

muncullah beberapa kontroversi terkait hal tersebut.

Tentang ayat ini, al-Baidhawi (1988: 66) menafsiri, barangsiapa

memeluk agamanya sebelum dihapuskan oleh syariat Muhammad yang

membenarkan dengan kalbunya dan membenarkan syariatnya.

Al-Maraghi (tt: 134) memberi kesimpulan bahwa orang mukmin

yang tetap pada iman mereka dan tidak menggantinya; dan orang-orang

Yahudi, orang-orang Kristen dan Sabiin yang beriman kepada Muhammad dan

apa yang dibawanya dan beramal saleh, maka mereka menerima pahala amal

mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran atas mereka dan mereka

tidak akan berduka cita.

Hamka, sebagaimana al-Maraghi menyatakan, menerima kerasulan

Muhammad ditunjukkan dengan masuk Islam karena sekaligus syarat

mencapai keselamatan. Jadi selama pesan Muhammad sampai kepada mereka

dan tidak dipatuhi, kelak neraka menjadi tempat kembalinya (1982: 217).

Dari sini dapat dinyatakan bahwa kata al-Islâm mengandung beberapa

makna berikut ini:

Page 24: Islam Dasar Kesalehan Komunal

24

1. Al-Islam; Agama Semesta

Dari perspektif muslim, saling pengertian antarumat beragama

merupakan akibat logis ajaran asasi al-Qur’an. Jika ditelusuri,

agama semesta ini sesungguhnya adalah al-Islam, yaitu sikap

pasrah secara total kepada Yang Maha Kuasa. Ini dinyatakan dalam

beberapa ayat dalam Qs. Fushilat [41]: 11, Qs. Arrahman [55]: 5-6,

(Qs. Al-Isra [17]: 44).

Dari ayat-ayat tersebut didapati pengertian bahwa salah

satu karakteristik manusia sehingga bermartabat adalah

berkemampuan untuk mengenali yang benar dan salah dan

kemudian berkebebasan untuk menerima atau menolaknya.

Kebebasan itu sesungguhnya telah ditawarkan kepada seluruh

makhluk-Nya. Semuanya menolak, kecuali manusia.

Janji primordial manusia dengan Tuhan menyuratkan

makna bahwa manusia tidak memiliki opsi selain tunduk, patuh dan

pasrah menjalankan fungsinya sebagai seorang hamba. Dengan kata

lain, al-Islâm merupakan semangat semua agama dalam

menghamba kepada Tuhan.

Dalam Islam, penyerahan diri harus dilakukan secara tulus.

Cinta itu sejati. Karena ketika cinta kepada obyek penyembahan itu

palsu, tidak akan membawa kebahagiaan, melainkan kesengsaraan.

Efek negatif ini dapat dilihat wujudnya pada kelompok-kelompok

yang mengkultuskan pemimpinnya, seperti kaum Komunis, kaum

Nazi, kaum Nasionalis chauvinist, dan People’s Temple. Ada juga

Page 25: Islam Dasar Kesalehan Komunal

25

kelompok kultus yang berdasarkan keagamaan, seperti Budhisme,

Hinduisme, Kristen, Islam, dan Sintoisme. Tantangan terbesar

dibalik pengkultusan ini adalah bagaimana menyalurkan naluri dan

hasrat alamiahnya untuk berbakti dan memuja itu ke arah sasaran

pemujaan yang benar dan dengan cara yang benar, sehingga

memiliki konsekuensi yang benar pula (Madjid, 1998: 11-13).

2. Al-Islam; Agama Kemanusiaan

Kisah perjanjian primordial antara Allah dengan makhluk-

Nya terlihat absurd. Pertama, mengapa Tuhan memberikan opsi

mengenai ketaatan dan ketundukan kepada-Nya? Kedua, mengapa

manusia dibiarkan menempuh kebebasan? Jawabnya, di sana

terdapat hikmah ilahiyah (hikmah Tuhan).

Manusia diberikan ruang untuk mengkreasikan alam

semesta sebagai pengejawantahan posisinya sebagai khalifah Allah

dengan menebar kebaikan yang dilandasi rasa persaudaraan dan

cinta kasih kepada sesama. Manifestasi seperti inilah yang sekaligus

membedakan dengan alam raya yang hanya memilih opsi tunduk

kepada-Nya. Di sini sesungguhnya Tuhan mengamanatkan kepada

manusia agar di tengah kebebasan yang diberikan kepadanya,

terkandung maksud bahwa itu menuju ke satu titik Yang Kuasa

yang secara generik disebut dengan Tuhan.

3. Al-Islam; Agama Para Nabi8

8 Effendi (2004: 63) memiliki konsep yang sama. Argumen yang dikemukakan adalah bahwa dalam kerangka iman kepada para nabi dan rasul, al-Qur’an mengajarkan agar kita tidak membedakan mereka satu sama lain. Atas dasar ini pulalah Nabi Muhammad Saw menggambarkan relasi antar-nabi sebagai saudara. Ini dapat dilihat dari bagamana Nabi Muhammad Saw menerima kedatangan

Page 26: Islam Dasar Kesalehan Komunal

26

Ketika manusia telah terikat janji primordial dengan Tuhan

agar menyembah-Nya, ia pun harus tahu; bagaimana menyembah

yang benar. Madjid mencatat dua hal yang menjadi pertimbangan.

Pertama, terkait janji primordialnya, ada bibit kebaikan dan kesucian

dalam diri manusia (fitrah). Namun meski manusia dilahirkan dalam

keadaan fitrah, tidak selamanya manusia memiliki sensitivitas fitrah

untuk menangkap kebenaran dikarenakan timbunan pengalaman

sosial dan budaya lingkungannya. Dalam keadaan fitrah yang tumpul

itulah manusia berkecenderungan menyimpang (Rachman, 2007: 23).

Masalah kedua, kebenaran hakiki berada di atas pengalaman

empiris. Itu tidak selamanya dapat ditangkap oleh akal. Maka ia perlu

uluran tangan tuhan, yaitu nabi dan rasul yang misinya menyeru

manusia untuk hanya berbakti kepada Tuhan dan menolak kekuatan

jahat. Jadi tugas nabi dan rasul adalah mengajak manusia tunduk dan

patuh kepada Tuhan. Karena itu, al-Islam atau ajaran pasrah kepada

Allah dengan sukarela adalah ajaran semua nabi. Ini dapat dilihat dari

beberapa ayat berikut:

“Engkau Firaun tidaklah dendam kepada kami melainkan hanya karena kami beriman kepada ayat-ayat Tuhan setelah datang kepada kami, Oh Tuhan kami, limpahkanlah kepada kami ketabahan dan wafatkanlah kami sebagai orang-orang muslim.” (QS. Al-A’raf [7]: 126)

Pada ayat lain disebutkan:

“setelah Isa merasakan adanya sikap menolak (kafir) pada mereka (Bani Israil), ia pun bertanya; ‘siapakah yang akan menjadi pendukungku menuju kepada Allah? Al-Hawariyyun

lebih kurang 60 orang delegasi Kristen dari Najran. Selama beberapa hari, mereka tinggal di masjid Nabawi dan sebagiannya di rumah Nabi. Ketika suatu hari mereka pamit keluar untuk menjalankan kebaktian, Nabi mempersilahkan mereka agar melakukan kebaktian di dalam masjid.

Page 27: Islam Dasar Kesalehan Komunal

27

(para pengikut setianya) menyahut, ‘kamilah para pendukung Allah, kami beriman kepada Allah dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim.” (QS. Ali Imran [3]: 52) Inilah sebabnya, mengapa Allah tidak menerima agama selain

al-Islam. Dari ayat-ayat ini tampak bahwa yang dimaksudkan dengan

Islam atau makna generik al-Islam adalah sikap tunduk dan patuh

kepada Tuhan yang menguasai jagad raya. Ajaran itu kemudian

dibawakan oleh para rasul menjadi ‘agama’ dan al-Islam universal

inilah yang merupakan satu-satunya. Inti ajaran ketundukan atau din

yang dibenarkan dan diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa. Inti serta

pangkal al-Islam itu sepanjang masa ialah iman kepada Tuhan yang

Maha Esa. Keimanan ini dibarengi dengan penolakan keimanan

kepada Tuhan Palsu (Madjid, 1998: 16-18).9

Meskipun manusia menjadi ciptaan tertinggi, sesungguhnya

itu bersifat nisbi. Yang mutlak hanyalah milik Allah. Pandangan ini

penting untuk membangun suatu paradigma bahwa manusia memiliki

keterbatasan dan tidak bisa memutlakkan kebenaran. Selain itu,

keislaman seseorang terejawantahkan dalam sikap dan perilaku

positif kepada orang lain.

Menurut Rachman (2004: 69), terdapat konsep keagamaan

tradisional Islam yang bisa membuka ruang kajian tentang inklusif-

pluralis dalam pemikiran agama Islam mengenai teologi agama-

agama.

a. Agama sebagai perjanjian dengan Tuhan

9 Dalam bahasa Ibnu Taimiyah, ada Islam Umum dan Islam Khusus, yaitu soal islam yang dibawa nabi Muhammad dan nilai islam yang dibawa setiap nabi (Taimiyah, 1387: 63).

Page 28: Islam Dasar Kesalehan Komunal

28

Sebagaimana Yahudi dan Kristen, Islam adalah Agama

Perjanjian, di mana seluruh perjanjian primordial antara Tuhan dan

manusia termuat dalam Kitab Suci al-Qur’an. Sebagai rujukan umat

Islam, hal dasar yang harus dipahami adalah mengenai pesan dasar

yang pokoknya meliputi perjanjian dengan Allah (‘ahd, ‘aqd,

mîtsâq), sikap pasrah kepada-Nya (Islam), dan kesadaran akan

kehadiran-Nya dalam hidup (takwa, rabbâniyah). Pesan ini bersifat

universal dan berlaku untuk semua umat manusia dan tidak dibatasi

oleh pelembagaan formal agama-agama.

Dalam pandangan teologi umat Islam, al-Qur’an harus

dipedomani sesuai dengan hadits Nabi Saw, “al-dinu nasihah –

agama adalah nasihat”. Dalam agama terdapat pesan universal, yaitu

takwa10 sesuai dengan firman Allah:

“Dan sungguh telah kami perintahkan kepada mereka dan Ahli Kitab sebelum kamu , juga kepada kamu supaya bertakwa kepada Allah” (QS. Annisa [4]: 131).

Pada ayat terdapat sisi inklusif dan pluralis bahwa al-Qur’an

merupakan ayat (pertanda). Bagi Netton (1989, 321), al-Quran penuh dengan

perlambang-perlambang Tuhan. Jika demikian, maka sesungguhnya pesan

ketakwaan ini berlaku untuk semua pengikut agama.

10 Meskipun ketakwaan menyangkut hubungan manusia dan Tuhan, implikasi takwa bersifat kemanusiaan. Apabila orang bertakwa, maka implikasiya adalah bersikap adil terhadap sesama manusia. Bagi Raharjo (1996: 165-167), takwa adalah dasar kemanusiaan. Takwa menyatakan seluruh kemanusiaan. Ini bisa dilihat jelas secara historis. Dalam sejarah umpamanya, bangsa Yahudi pernah mengklaim sebagai bangsa yang kinasih Tuhan. Sekarang masih saja ada bangsa-bangsa yang merasa lebih unggul dibandingkan dengan bangsa lain hanya berdasarkan atas warna kulit, ras dan keturunan. Klaim seperti ini ditiadakan oleh Tuhan sebagiaman disebutkan dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13. Di sini al-Qur’an telah meletakkan kriteria bagi kemuliaan, yaitu taqwa. Inilah kriteria yang paling obyektif mengenai hubungan antarbangsa, ras, suku, dan individu. Kriteria ini menjadikan hidup lebih dinamis karena orang berlomba-lomba dalam kebaikan. Bagi As’ad (1980: 3), ketakwaan memiliki makna kesadaran ketuhanan atau God Consiousness, yaitu Tuhan yang omnipresent (Tuhan Yang Maha Hadir).

Page 29: Islam Dasar Kesalehan Komunal

29

b. Ketakwaan; Pertemuan Spiritual Agama-agama

Pesan ketakwaan di atas berlaku untuk semua umat manusia. Jadi

bersifat universal. Bagi Rachman (2004: 25-27), universalitas pesan

Tuhan di sini memunculkan makna bahwa semua pesan agama sama.

Sama tidak dalam pengertian formal, tidak juga dalam aspek keyakinan,

melainkan sama dalam semangat mencapai keimanan yang hakiki kepada

Tuhan. Al-Qur’an menyebutnya dengan kata washiyyah, yaitu ajakan

untuk kembali kepada dasar-dasar keyakinan, yaitu sikap hidup yang

hanif atau al-hanîfiyyât al-samhah yang secara literal berarti semangat

kebenaran yang toleran sebagaimana digambarkan dalam hadits berikut

ini:

Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi Muhammad ditanya, “Agama mana yang paling dicintai oleh Allah?”. Nabi menjawab, “Semangat kebenaran yang toleran [al-hanifiyat al-samhah]” (HR. Imam Ahmad).

Pada riwayat yang lain:

Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesunggunya aku ini diutus degan semangat kebenaran yang toleran [al-hanîfiyât al-samhah]” (HR. Imam Ahmad).

Mengenai makna al-hanîfiyyât al-samhah ini, kiranya riwayat berikut

bisa memberikan gambaran yang jelas.

Dari Abu Umamah, dia bercerita, “Kami keluar bersama Rasulullah, dalam salah satu ekspedisi. Kemudian seseorang melewati sebuah gua yang di situ terdapat air. Orang itu berkata kepada dirinya sendiri untuk tinggal dalam gua itu dengan jaminan hidup dari air dan memakan tumbuhan yang hidup di sekitarnya dan melepaskan diri dari dunia luar, lalu orang itu berkata, “Kalau nanti aku bertemu Nabi Allah, aku akan ceritakan perkara itu kepada beliau. Kalau beliau izinkan, aku lakukan. Jika tidak, tidak.” Maka

Page 30: Islam Dasar Kesalehan Komunal

30

datanglah ia menemui Nabi dan berkata, “Wahai Nabi Allah, aku melewati sebuah gua yang di situ ada air dan tetumbuhan menjamin hidupku. Maka aku pun berkata kepada diriku sendiri untuk tinggal di gua itu dan melepaskan diri dari dunia”. Nabi Menjawab, “Aku tidak diutus dengan Keyahudian, juga tidak dengan kekristenan. Akan tetapi aku diutus dengan kehanifan yang lapang [al-hanifiyat al-samhah]. Demi dia yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, pergi pagi dan pulang petang di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia beserta isinya. Pastilah berdiri tegaknya seseorang di antara kami adalah lebih baik daripada sembahyangnya selama enam puluh tahun” (HR. Imam Ahmad). Dari uraian di atas, ada beberapa catatan penulis atas materi teologi

inklusif-nya Madjid. Pertama, The Unity of God. Konsep kesatuan dalam

kemahaesaan Tuhan dalam konsep Teologi Inklusif-nya Madjid membuka

ruang diskusi; apakah semua agama memiliki konsep keesaan? Jika punya,

apakah satu agama dengan lainnya konsepnya sama? Dalam kerangka

membangun mutual understanding, dialog semestinya tidak membuka ruang

diskusi tentang ketuhanan, melainkan doktrinnya. Bukan the unity of God,

melainkan the existence of God.

Kedua, The Unity of Prophecy. Pada satu sisi, Madjid menyerukan

keterbukaan untuk menerima agama lain. Pada sisi lain, ia memberikan

frame adanya kesatuan kenabian (the unity of prophecy). Jika diatribusikan

kepada agama-agama samawi, ini bisa diterima. Namun tidak demikian

halnya dengan agama-agama natural yang tidak berbasis wahyu.

Dua hal di atas menjadi catatan atas konsep Teologi Inklusif Madjid.

Teologi Inklusif berdasar atas mutual understanding yang terejawantahkan

dalam kesadaran untuk menerima keragaman atau perbedaan. Atas dasar

itulah semestinya dialog antariman (inter-faith religious) tidak menyentuh

Page 31: Islam Dasar Kesalehan Komunal

31

aspek ketuhanan11 yang sampai kapanpun tidak efektif didekati dengan

pendekatan ilmiah.

4. Budaya Multikulturalisme

Uraian makna dîn dan al-Islâm menegaskan bahwa agama

bukanlah alat legitimasi kebenaran, melainkan legitimasi atas keragaman

cara dalam mencari kebenaran. Semangat yang dibangun dalam QS. Al-

Maidah [5]: 3 nyata-nyata memberikan penjelasan bahwa Islam datang untuk

menyempurnakan ajaran sebelumnya. Jadi tidak hanya membuang beberapa

syariat melalui nasakh-mansukh.

Jika agama menjadi legitimasi keberagaman dalam mencari

kebenaran, pertanyaannya, bagaimana agama itu sendiri memandang

keragaman agama ini? Dengan kata lain, bagaimana pandangan agama

tentang multikulturalisme?

Dalam QS. Assaba’ [34], Allah mengutus Nabi Muhammad

kepada seluruh umat manusia, bukan hanya untuk orang Arab dan mereka

yang mengikrarkan diri telah berislam. Pesan ini sesungguhnya memberi

ruang kepada seluruh umat manusia untuk saling mengenal (ta’âruf) satu

sama lain, dengan keragaman ras, etnis, budaya, agama dan seterusnya.

Menurut Thohir (2007), manusia dari segi nurture, lahir (the

given) telah memiliki ciri-ciri bawaan sendiri secara berbeda, seperti bentuk

11 Hans Kung (1983: 9) mencatat, terdapat dua istilah penting dalam toleransi umat beragama, yaitu pro-eksistensi dan ko-eksistensi. Pola pro-eksistensi menyasar pada dialog yang lebih programatis dengan melibatkan segala perbedaan yang otentik. Kung menilai pola ko-eksistensi tidak cukup ideal karena seolah hanya menitikberatkan pada toleransi. Jika pola ko-eksistensi terfokus pada pengumpulan unsur-unsur persamaan doktriner, tradisi dan semangat, pola pro-eksistensi berorientasi pada upaya mempelajari ragam perbedaan yang seringkali menjadi titik rawan konflik. Dengan pola pandang seperti ini, umat beragama berkemauan untuk mempelajari agama-agama lain tanpa prasangka.

Page 32: Islam Dasar Kesalehan Komunal

32

ketubuhan, kromosom, warna kulit dan sebagainya. Dari segi culture,

manusia hidup dan dibesarkan juga dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan

lingkungan sosial yang berbeda. Pengaruh keduanya, menjadikan manusia

pada batas-batas tertentu memiliki kemiripan, kesamaan atau perbedaan.

Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian disebut dengan kemajemukan

yang kemudian dikenal dengan multikultural.

Sebagaimana pengertiannya, multikulturalisme adalah sebuah

diskursus budaya. Menurut Jamil (2011), ia paham tentang kultur yang

beragam. Sebagaimana dinukil dari Abdullah (2006), multikulturalisme

sebagai sebuah paham yang menekankan kesenjangan dan kesetaraan

budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi

budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan multikulturalisme12 pada

kesetaraan budaya.

Pada konteks ini, multikulturalisme membina sikap untuk

menerima eksistensi agama orang lain. Dalam multikulturalisme, sikap yang

ditunjukkan sesungguhnya bukan klaim kebenaran tanpa batas. Ketika

seseorang mengklaim kebenaran agama yang dianut dan dipeluknya, maka

pada saat yang sama, ia menerima kehadiran klaim kebenaran orang lain

akan agama yang dianut dan dipeluknya. Dengan kata lain, multikultualisme

agama tidak terwujud pada pernyataan, “semua agama itu sama benarnya,

sehingga setiap orang boleh berpindah agama sesukanya”. Melainkan,

12 Pada ranah keagamaan, multikulturalisme menghadapkan umat beragama dengan yang lain. Ini ditandai dengan kesediaan untuk menghormati keragaman dan perbedaan yang ada dalam prinsip coexistence. Perbedaan atau kemajemukan melahirkan sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif di antaranya melahirkan kesadaran bersama untuk hidup saling menghormati. Sisi negatifnya, kegagalan memenej masyarakat majemuk ini berpotensi melahirkan gejala-gejala mudahnya kecurigaan antar-kelompok, bahkan sampai konflik. Pada wilayah inilah manusia harus merasa ‘tertuntut’ untuk merealisasikan; bagaimana kedamaian tercipta dengan segala corak perbedaan yang ada.

Page 33: Islam Dasar Kesalehan Komunal

33

tumbuhnya pandang dan sikap, ”orang lain berhak untuk melakukan klaim

atas keyakinannya”.13

Dalam Islam, sikap ini telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Ketika ia melarang sahabatnya memberikan sedekah kepada non-muslim,

Allah menegurnya dan menurunkan QS. Al-Baqarah [2]: 272. Allah

menegaskan, petunjuk akan keimanan bukanlah urusan manusia. Itu hak

prerogatif Tuhan. Setelah itu, Nabi Muhammad Saw memberikan sedekah

kepada siapapun yang membutuhkan tanpa harus memandang identitas dan

agamanya (HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas RA).

Pada kisah lain, ketika sahabat Salman Al-Farisi menemui

Rasulullah Saw dan menceritakan tentang kebiasaan kaum Majusi yang

menyembah api, Rasulullah Saw menjawab, “mereka masuk neraka”.

Turunlah QS. Al-Hajj [22]: 17 dan QS. Al-Baqarah [2]: 62. Allah

menegaskan, manusia tidak berhak memberikan vonis tentang kehidupan

akhirat, karena itu hak prerogatif Allah.

Di sini kearifan setiap umat beragama diperlukan yang

dimanifestasikan dalam sikap melihat keutuhan dalam perbedaan untuk

13 Bagi Jamil (2011), tidak ada satu agamapun yang tidak menggunakan perangkat simbolik dan kultural ketika hadir di tengah-tengah kehidupan manusia. Islam misalnya, adalah ‘agama yang hidup’ yang terus mengalami dinamika dan meninggalkan tempat, tradisi asalnya dan waktu lampau dimana ia diturunkan (Makkah). Islam dibawa oleh pemeluknya, bersentuhan dengan budaya yang nyata-nyata berbeda dengan budaya Makkah. Dengan demikian, klaim Islam Murni tampaknya juga tidak memiliki legitimasi historis dan kultural yang kuat. Dengan kenyataan ini, agama kemudian menjadi identik dengan tradisi. Menurut Abdurrahman (2003: 149), agama adalah ekspresi budaya tentang keyakinan orang terhadap sesuatu Yang Suci, dan Yang Transenden. Apabila hubungan agama dan tradisi ditempatkan sebagai wujud interpretasi sejarah dan kebudayaan, maka semua domain agama adalah kreatifitas manusia yang bersifat relatif. Jika agama ditafsirkan oleh pemeluknya, maka tidak ada kebenaran yang absolute atas tafsiran tersebut karena kebenaran yang mutlak hanyalah milik Allah. Ini senada dengan ungkapan Pannikar (2000: 98) bahwa agama tidak dapat mengisolasi diri dari budaya dan tradisi lain. Realitas ini menunjukkan bahwa entitas yang satu dan yang lain terpola saling melengkapi, saling memperkaya dan saling membutuhkan. Dari sini, tidak ada lagi budaya, ideologi maupun agama yang dapat mengklaim sebagai satu-satunya sistem yang unik dan bahkan terbaik dalam pengertian yang absolute.

Page 34: Islam Dasar Kesalehan Komunal

34

selanjutnya didialogkan dengan prinsip toleransi (tasamuh) sebagaimana

disebutkan dalam QS. An-Nahl [16]: 125.14 Dalam filsafat perennial,

penglihatan dan penghayatan realitas agama pada tataran spiritual akan

memberikan keuntungan ganda; pertama, spiritual akan menyediakan

keseimbangan bagi kehidupan manusia yang terus menerus digerogoti oleh

modernitas yang sekuler; kedua, dalam level spiritualitas akan dapat dijalin

hubungan yang harmonis antar berbagai agama. Komaruddin Hidayat dan

Wahyudi Nafis (1994: 126) mengatakan:

“Kebenaran sejati itu hanya satu, bersumber dan membantu pada Yang Maha Benar. Hanya saja, manifestasi dari kebenaran itu selalu tampil dalam wujud yang plural. Di balik pluralitas itu ada kebenaran yang tunggal, namun tidak mungkin diketahui secara tuntas oleh manusia sebab realitas metafisis ontologi selalu berada di luar jangkauan manusia. Oleh karena itu, semua agama selalu hadir menyapa manusia dengan bantuan medium sejarah dan budaya. Dengan demikian, pluralitas pemahaman agama merupakan keniscayaan teologis, psikologis dan historis.”

Multikulturalisme harus menjadi titik tolak dalam keragaman umat

beragama. Jika kebenaran mutlak hanya milik Tuhan, tentulah manusia tidak

dalam posisi memberikan legitimasi atas kebenaran dan kesalahan. Maka,

hendaknya antarumat beragama tidak terposisi dalam relasi binari

(diperlawankan), melainkan relasi yang bersifat simbiotik-kulturatif, bahwa

antarumat beragama dalam posisi saling memerlukan dan menghormati.

III. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut:

14 Coward (1994: 185), mengidealkan agama di masa depan adalah agama-agama yang mampu hidup secara berdampingan secara menyenangkan dalam komunitas dunia. Ini didesain melalui cara di mana manusia saling membagi pengalaman partikular kepada yang lain. Jika dikelola dengan baik, ini dapat memperkokoh kualitas rohani dan memperkaya semua pihak. Akan tercipta relasi yang kuat yang didasari sikap simpatik dan penghormatan kepada yang lain.

Page 35: Islam Dasar Kesalehan Komunal

35

1. Kata dîn diatribusikan bukan hanya pada kualitas personal (kesalehan

individual), tetapi juga kualitas komunal. Ketika seseorang mengaku

sebagai individu yang beragama, maka pengakuan tersebut harus

termanifestasi pada kepedulian untuk membumikan nilai-nilai agama

(keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian) dalam kehidupan sosial

(kesalehan komunal). Ini sekaligus menjadi barometer tercapai dan

tidaknya totalitas penghambaan suatu individu kepada Tuhan.

2. Kualitas personal harus disemangati oleh sikap pasrah dan tunduk kepada

Tuhan. Inilah makna al-Islâm. Ketika Tuhan diposisikan sebagai sentral

dalam keberagamaan, maka mindset yang terbangun adalah semangat

mengabdi, bukan semangat menguasai. Sikap ini mampu menyelamatkan

umat beragama dari jebakan klaim kebenaran yang mutlak (truth claim)

yang seringkali melahirkan pribadi yang arogan dan minim toleransi

yang keduanya mengilustrasikan kegagalan doktrinal.

3. Keragaman dalam keberagamaan membutuhkan pemahaman bersama

(mutual understanding) bahwa keyakinan terhadap suatu agama bersifat

natural. Maka perlu dibangun pola dialog yang produktif yang lebih

menitikberatkan pada pentingnya peran agama dalam membangun

keadilan, kesejahteraan dan kedamaian di tengah kemajemukan.

Bukankah agama menjadi mediasi, bukan destinasi.

Page 36: Islam Dasar Kesalehan Komunal

36

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M Amin, 2003, Keberagaman, Agama-agama, dan Proses Menjadi Agamawan yang Baik, dalam Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik, Jakarta: Kompas

Abdurrahman, Moeslim, 2003, Islam sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Air Langga Al-Badawi, Yusuf Ahmad, 2000, Maqashid al-Syariah Inda Ibn Taimiyah, Jordan:

Darun Nafais Al-Syâtibi, tt, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari, Beirut: Lebanon Al-Syaukani, tt, Nailul Authar, Beirut: Darul Jail Al-Alim, Yusuf Hamid, tt, Al-Maqashid al-‘Ammah li al-Syariah al-Islamiyyah,

Kairo: Darul Hadits Ali, Abdullah Yusuf, 1989, The Holy Quran: Text, Translation and Commentary,

USA: Amana Coorporations Al-Jawziyyah, Ibnu Qayyim, tt, I’lam al-Muwaqi’in, Beirut: Darul Kitab al-ilmiyyah Annabrawi, Khadijah, 2006, Mausu’ah Huquq al-Insan fi al-Islam, Kairo: Arabi, Ibnu, 1980, Fushush al-Hikam, Beirut, Darul Kitab ak-Arabi Arkoun, Muhammad, 2001, Islam Kontemporer, terj., Yogyakarta: Pustaka Pelajar As’ad, Muhammad As’ad, 1980, the Message of the Qur’an, London: E.J Brill

Darussalam Asy’arie, Musa, 2002, Dialektiga Agama untuk Pembebeasan Spiritual, Yogyakarta:

Lesfi Asyur, Muhammad Thohir Ibnu, 2006, Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, Kairo:

Darus Salam Attabari, 1999, Tafsir Attabari, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah Baidhawy, Zakiyuddin, 2002, Ambivalensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan,

Yogyakarta: Lesfi Coward, Harold, 1994, Pluralisme; Tantangan Agama-agama, terj., Yogyakarta:

Kanisius Dermawan, Andi, 2009, Dialektika Islam dan Multikulturalisme di Indonesia;

Ikhtiar Mengurai Akar Konflik, Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta D’Adamo, Arthur J, 1995, Science without Bounds, A Synthesis of Science, Religion,

and Mysticism, Australia: The Penguin Effendi, Djohan, 2004, Kemusliman dan Kemajemukan Agama dalam Dialog; Kritik

dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian/Interfidei Hadad, Yvonne, 1974, The Conception of the Term of Din in the Quran, The

Muslim World, 64, 2, 1974 Hidayat, Komarudin dan Wahyudi Nafis, 1994, Agama Masa Depan Menurut

Filsafat Perennial, Jakarta: Paramadina Ibnu Manzur, 1968, Lisan Al-Arab, Mesir: Darul Mishriyah Jamil, Muhsin, Multikulturalisme dalam Perspektif Agama dan Kepercayaan

(Menimbang IslamKultural), makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Pelaksanaan Multikulturalsime dalam Pembangunan dan Kebudayaan dan Pariwisata oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 7 Juli 2011

Khalaf, Abdul Wahab, 1994, Ilmu Ushul al-Fiqh, terj, Semarang, Bina Utama -------------------Abdul Wahab, 1997, Nadzoriyatu al-Dzarurah al-Syar’iyyah,

Beirut: Darul Fikr

Page 37: Islam Dasar Kesalehan Komunal

37

Kung, Hans, 1983, Preface dalam The Meaning of Other Faith, Philadelphia: The Westminster Press

Kuntowijoyo, 1992, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung, Mizan Ma’arif, Syafi’i, 1997, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar Madkur, Ibrahim, 1979, Al-Mujam al-Falsafi, Kairo, al-Haiah al-Amah li Syuun al-

Amiriyah Madjid, Nurcholis, 1998, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan ---------------------, 1998, Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia ---------------------, 1998, “Dialog Diantara Ahli Kitab” (Sebuah Pengantar) dalam

George B. Grose dan Benjamin B. Hubbard, Tiga Agama Satu Tuhan: Sebuah Dialog, terj. Bandung: Mizan

---------------------, 2000, Islam; Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina Maslow, Abraham H, 1964, Religion, Value and Peak-Experinces, Columbus: Ohis

State University Press ---------------------, 2006, On Dominace, Self Esteem, and Self-Actualization, Ann-

Kaplan: Maurice Basset Mead, George Herbert, 1938, The Philosophy of the Act, Chicago and London: The

University of Chicago Press ------------------------, 1934, Mind, Self and Society, Chicago and London: The

University of Chicago Press Nasr, Sayyed Hossein, 1989, Knowledge and the Sacred, New York: State

University of New York Press Netton, Ian Richard, 1989, Allah Transcendent, Studies in the Structure and

Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology, Inggris: Curzon Press

Pals, Daniel, 2012, Seven Theories of Religion; Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif, terj., Yogyakarta: Irchisod

Pannikar, Ramundo, 2000, Dialog yang Dialogis dalam Metodologi Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rachman, Budhy Munawar, 2004, Islam Pluralis; Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Sri Gunting

-------------------------, 2007, Islam dan Pluralisme Nurcholis Madjid, Jakarta: Paramadina

Raharjo, M. Dawam, 1996, Ensiklopedi Al-Quran, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina

Rais, M. Amin, 1998, Tauhid Sosial, Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan

Sharpe, Eric J, 1975, Comparative Religion: A History, New York: Charles Scribne’s Sons

Sukidi, 2001, Teologi Inklusif Madjid, Jakarta: Kompas Sutrisno, Mudji, 2004, Agama, Harkat Manusia dan Modernisme, dalam Dialog;

Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian/Interfidei Taimiyah, Ibnu, 1387, Al-Risalatu al-Tadmiriyah, Kairo: Al-Matbaah al-Salafiyah Thohir, Mudjahirin, 2007, Kekerasan Sosial dalam Kehidupan Masyarakat

Indonesia; Suatu Pendekatan Sosial Budaya, pidato pengukuhan Guru Besar, Semarang: BP Undip

Page 38: Islam Dasar Kesalehan Komunal

38

Yahya, Muhtar, 1986, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, Bandung: Al-Maarif

Zahrah, Muhammad Abu, 1994, Ushul Fiqih, terj., Jakarta: Pustaka Firdaus Zeitlin, Irving M, 1995, Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Teori

Sosiologi Kontemporer, terj., Yogyakarta: Gajah Mada Press