Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Akalasia esogfagus adalah gangguan motilitas berupa hilangnya peristaltik esofagus dan gagalnya sfingter esofagokardia berelaksasi sehingga makanan tertahan di esofagus, akibatnya, terjadi hambatan masuknya makanan ke dalam lambung sehingga berdiltasi membentuk megaesofagus. 1 Secara klinis, akalasia mulai di kenal oleh thomas willis pada tahun 1672, mula – mula diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal sehingga esofagus melakukan dilatasi dan mendorong makanan masuk ke lambung. 1 Pada tahun 1908, henri plummer melakukan dilatasi dengan kateter ballon, pada tahun 1913 heller melakukan pembedahan dengan cara kardiomiotomi carqa yang terus dianut sampe sekarang. Pada dasarnya penyebab akalasia adalah tidak efektifnya peristaltik esofagus bagian distal serta gagalnya relaksasi sfingter bawah. Penellitian menunjukan adanya kelainan saraf paramsimpatis berupa hilangnya sel ganglion di dalam pleksus Auerbach yang disebut juga pleksus mientrikus yang diduga terjadi karena proses autoimun atau infeksi kronis. 1 1
26

Isi

Nov 16, 2015

Download

Documents

Muhammad Hafidz

use it properly
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB IPENDAHULUAN

Akalasia esogfagus adalah gangguan motilitas berupa hilangnya peristaltik esofagus dan gagalnya sfingter esofagokardia berelaksasi sehingga makanan tertahan di esofagus, akibatnya, terjadi hambatan masuknya makanan ke dalam lambung sehingga berdiltasi membentuk megaesofagus.1Secara klinis, akalasia mulai di kenal oleh thomas willis pada tahun 1672, mula mula diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal sehingga esofagus melakukan dilatasi dan mendorong makanan masuk ke lambung.1Pada tahun 1908, henri plummer melakukan dilatasi dengan kateter ballon, pada tahun 1913 heller melakukan pembedahan dengan cara kardiomiotomi carqa yang terus dianut sampe sekarang. Pada dasarnya penyebab akalasia adalah tidak efektifnya peristaltik esofagus bagian distal serta gagalnya relaksasi sfingter bawah. Penellitian menunjukan adanya kelainan saraf paramsimpatis berupa hilangnya sel ganglion di dalam pleksus Auerbach yang disebut juga pleksus mientrikus yang diduga terjadi karena proses autoimun atau infeksi kronis.1Segmen esofagus bagian bawah yang panjang sekitar 2 8 cm menyempit dan tidak mampu berelaksasi. Esofagus bagian proksimal dari penyempitan tersebut mengalami dilatasi dan pemanjangan sehingga akhirnya menjadi megaesofagus yang berkelok kelok. Bentuk esofagus ini sangan bergantung pada lamanya proses, dapat membentuk botol, fusiform, samapi sigmoid dengan hipertropi jaringan otos sirkuler dan longitudinal, mukosa yang mungkin mengalami peradangan akibat rangsangan retensi makanan.1Akalasia adalah salah satu faktor risikoterjadinya karsinoma epidermoid, karsinoma dapat terjadi pada 5 % pasien yang tidak mendapat terapi rata rata 20 tahun terdiagnosis. Jika sudah terjadi karsinoma prognosis akan lebih buruk dari akalasia. Gejala utama dari akalasia adalah disfalgia, regurgitasi, rasa nyeri atau tidak enak di belakang sternum dan berat badan menurun, lama timbunlnya gejala sangat bervariasi dari ebebrapa hari sampai beberapa tahun dan gejala semakin lama semakin berat. Disfalgia adalah gejala utama yang mula mula dirasakan sebagai rasa penuh atau rasa mengganjal di daerah esofagus distal, hilang timbul dan semakin lama semakin berat. Pasien akan makan secara perlahan lahan dan disertai dengan minum yang banyak. Regurgitasi biasanya terjadi bila penyakit sudah lanjut dan sudah terjadi dilatasi pada esofagus bagian proksimal, regurgitasi sering dirasakn pada malam hari.1Pada akalasia terdapat gangguan kontraksi dinding esofagus sehingga pengukuran tekanan di dalam lumen esofagus dengan manometri sangat menentukan diagnosis. Tekanan di dalam sfingter esofagogaster meninggi dan tekanan di dalam lumen esofagus lebih tinggi daripada tekanan di dalam lambung.1Pemeriksaan menggunakan kontras pada kurang lebih 90 % pasien yang dicurigai menderita akalasia meunjukkan adanya pelebaran esofagus dan bentuk klasik gambaran paruh burung. Tetapi pada pasien yang mejalani pemeriksaan ini, hanya 50 58 % yang menunjukkan adanya gambaran radiologis yang mendukung diagnosis. Sementara sisanya perlu menjalani pemeriksaan dengan manometri untuk menengakan diagnosis. 1

BAB IIPEMBAHASAN

1. Fisiologi EsofagusEsofagus berfungsi untuk menyalurkan makanan secara cepat dari faring ke lambung dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut.4

GAMBAR 1ANATOMI ESOFAGUSDikutip dari kepustakaan 16

Normalnya esofagus memperlihatkan dua tipe gerakan peristaltik : peristaltik primer dan peristaltik sekunder. Peristaltik primer hanya kelanjutan dari gelombang peristaltik yang dimulai dari faring dan menyebar ke esofagus selama tahap faringeal ke lambung dari proses menelan. Gelombang in berjalan dari faring ke lambung dalam waktu sekitar 8 sampai 10 detik, makanan yang ditelan seseorang pada posisi tegak biasanya dihantarkan ke ujung bawah esofagus bahkan lebih cepat dari pada gelombang esofagus itu sendiri sekitar 5 sampai 8 detik akibat adanya efek gravitasi tambahan yang menarik makanan ke bawah. 4,10Jika gelombang peristaltik primer gagal mendorong semua makanan yang telah masuk ke esofagus ke dalam lambung, terjadi gelombang peristaltik sekunder yang dihasilkan dari perengangan esofagus oleh makanan yang tertelan, gelomabng ini terus berlanjut sampai semua makan dikosongkan ke lambung. Gelombang peristaltik sekunder ini di mulai oleh sirkuit saraf intrinsik dalam saraf mienterikus dan sebagian oleh refleks refleks yang dimulai pada faring lalu dihantarkan ke atas melalui serabut serabut saraf aferen vagus ke medulla dan kembali lagi ke esofagus melalui serabut serabut saraf eferen glosofaringeal dan vagus.4,10Sususan otot dinding faring dan sepertiga bagian atas esofagus adalah otot lurik. Karena itu gelombang peristaltik di daerah ini diatur oleh sinyal saraf rangka dari saraf glosofaringeal dan saraf vagus. Pada dua per tiga bagian bawah esofagus, sususan ototnya merupakan otot polos, namun pada bagian ini juga diatus secara kuat oleh saraf vagus yang bekerja melalui perhubungan dengan sistem saraf mienterikus esofageal, sewaktu saraf vagus yang menuju esofagus dipotong, setelah beberapa hari pleksus mienterikus esofageal cukup terangsang untuk menimbulkan gelombang peristaltiksekunder yang kuat bahkan tenpa bantuan reflek vagus. Karena itu sesudah paralisis refleks penelan batang otak, makanan yang dimasukkan melalui selang atau dengan cara lain kedalam esofagus tetap dapat memasuki lambung.4,10Pada ujung bawah esofagus meluas ke atas sekitar 3 sentimeter di atas perbatasan dengan lambung, otot sirkuler esofagus berfungsi sebagai sfingter esofagus bawah atau disebut juga sfingter gastroesofageal. Normalnya, sfingter ini tetap berkontriksi secara tonik dengan tekanan intraluminal pada titik ini di esofagus sekitar 30 mmhg, berbeda dengan bangian tengah esofagus yang normalnya tetap berelaksasi. Sewaktu gelombang peristaltik penelan melewati esofagus, terdapat relaksasi reseptif, dari sfingter esofagus, bagian bawah yang mendahului gelombang peristaltik, yang mempermudah prosen menlan makanan ke dalam lambung. Sekresi lambung yang bersifat asam dan banyak mengandung enzim proteolitik. Mukosa esofagus kecuali seperdelapan bagian bawh esofagus, tidak mampu belama lama menahan kerja pencernaan dari sekresi lambung, untung konstruksi tonik dari sfingter esofagus bagian bawah kan membantu mencegah refluks dari lambung ke dalam esofagus.4,10

2. DefenisiIstilah achalasia dalam bahasa Yunani berarti lack of relaxation, pertama kali di kenalkan oleh Arthur Hurst di awal tahun 1927. Akalasia didefinisikan sebagai gangguan motilitas esofagus ditandai dengan aperistalsis atau gangguan peristalsis esofagus dan relaksasi yang inadekuat pada sfingter esofagus bagian bawah (lower esophageal sphincter/LES) yang disebabkan karena kerusakan pleksus myenterikus.9Akalasia merupaka kelainan motilitas esofagus primer yang plaing sering dijumpai, sebagai akibat dari tidak adanya peristaltik otot polos esofagus, terjadi peningkatan tekanan sfingter esofagus bagian bawah saat istirahat, dan tidak dapat melakukan relaksasi untuk makan yang melewati esofagus.5Keadaan ini mengakibatkan obstruksi funsional dengan dilatasi esofagus. Biasanya manifestasi antara 20 sampai 40 tahun, tetapi dapat dijumpai pada bayi sampai anak anak.5

Gambar 2Ilustrasi Akalasia Esofagus Yang Diperiksa Menggunakan Barium SwallowDikutip dari kepustakaan 2

3. PatofisiologiPenelitian terhadap patologi akalasia menunjukkan adanya penurunan neuron pleksus myenterikus. Ilustrasi ini berdasarkan penelitian oleh Goldblum pada 42 pasien akalasia yang menjalani esofagectomy, 64% tidak didapatkan sel ganglion myenterikus dan 36 % terjadi penurunan sel ganglion myenterikus di esofagus. Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya dominasi infiltrasi inflamasi sel T di pleksus myenterikus dan fibrosis. Penelitian terbaru terhadap pasien akalasia yang diobati di stadium awal menunjukkan adanya sel ganglion yang intak, namun dengan jumlah sel berkurang. Pasien pada stadium awal tersebut memiliki lama gejala yang lebih singkat dan tidak terjadi pelebaran diesofagusnya. Terdapat anggapan bahwa peradangan di myenterikus merupakan fase awal akalasia sehingga menyebabkan aganglionosis dan fibrosis.2Penelitian in vitro oleh Trounce tahun 1957 menunjukkan kontraksi otot lurik pada pasien akalasia merupakan kombinasi antara inhibitor acetylcholinesterase, serine, agonis ganglionik dan nikotin. Aktivitas acetylcholinesterase di sel ganglion LES pada pasien akalasia digambarkan oleh Adams pada tahun 1961. Acetylcholinesterase inhibitor edrophonium klorida kemudian terbukti secara signifikan meningkatkan tekanan LES pada pasien dengan akalasia. Temuan ini menunjukkan bahwa setidaknya beberapa ujung saraf kolinergik postganglionik tetap utuh. Penelitian lain menunjukkan adanya efek agen antikolinergik atropin pada pasien akalasia. Terjadi penurunan 30 % sampai 60 % pada tekanan LES pada pasien dengan akalasia yang diberikan atropin. Penurunan serupa ditemukan pada kelompok kontrol relawan sehat. Namun sisa tekanan setelah pemberian atropin secara signifikan lebih tinggi pada pasien akalasia (17 mmHg) dibandingkan dengan subyek normal (5 mmHg).2,3Penelitian patologis dari spesimen hasil reseksi esofagus pasien akalasia stadium akhir menunjukkan adanya aganglionosis merupakan hasil akhir dari inflamasi myentericus pada sebagian besar pasien akalasia. Hal ini mendukung bahwa akalasia disebabkan oleh karena adanya eksitasi saraf kolinergik dan tidaka adanya inhibitor nitrat oksida. Dalam keadaan seperti itu, obstruksi fungsional gastroesophageal junction disebabkan oleh sisa myogenik LES. Tidak adanya aktivitas peristaltik esofagus merupakan hasil dari tidak adanya persarafan neural enteric.2

4. Klasifikasi a. Akalasia PrimerEtiologi akalasia primer masih belum diketahui, namun beberapa hipotesis menyatakan akalasia disebabkan karena genetika, infeksi virus, autoimun, dan neurodegenerasi. Setiap hipotesis berusaha menghubungkan dengan tidak adanya ganglia pleksus myentericus di esophagus, meskipun terdapat kemungkinan bahwa teori teori tersebut terjadi bersamaan.2Kasus akalasia pada anak dan karena keturunan sangat jarang. Sehingga teori genetika tidak mendukung sebagai penyebab akalasia primer. Beberapa kasus akalasia lahir dari orang tua atau kerabat dengan akalasia telah dilaporkan. Hanya ada satu laporan kasus kembar monozigot dengan akalasia yaitu Sindrom Allgrove. merupakan penyakit resesif autosomal pada anak-anak dengan gejala alacrima, insufisiensi adrenal, keterbelakangan mental, dan neuropati otonom dan perifer.2Sejumlah penelitian mengaitkan agen virus dalam patogenesis akalasia. Etiologi ini tampaknya masuk akal mengingat distribusi usia pasien akalasia seragam. Selain itu, penyakit Chagas merupakan contoh patogen menular yang dapat menyebabkan akalasia. Sebuah laporan awal mencatat peningkatan signifikan secara statistik pada titer antibodi terhadap virus campak pada pasien dengan akalasia dibandingkan dengan kontrol, namun penelitian ini belum dibuktikan. Virus lain yang di duga bearkaitan dengan akalasia adalah virus varicella zoster.2Pada akalasia disebutkan terjadi hilangnya neuron dalam inti motorik vagal dan terjadi perubahan degeneratif dari serabut saraf vagal. Lesi yang dibuat secara eksperimental di batang otak dan saraf vagus pada hewan menghasilkan kelainan motilitas esofagus yang menyerupai akalasia. Sehingga peneliti berspekulasi tempat yang berkaitan dengan akalasia primer adalah di inti motorik dorsal dan saraf vagus yang menyebabkan kelainan myentericus sekunder. Mayoritas penelitian patologis menemukan kelainan dominan akalasia di dalam pleksus myentericus dengan ditandai adanya berkurangnya atau tidak adanya sel ganglion serta adanya infiltrasi inflamasi plexus myenterikus. Defek di persarafan vagal diperkirakan menyebabkan kelainan klinis di luar esofagus termasuk gangguan pengosongan lambung, yang jarang terlihat pada pasien akalasia. Sangat mungkin adanya perubahan neurodegeneratif di akalasia merupakan sekunder dari adnaya virus atau kerusakan karena autoimun diganglia enterik.2

b. Akalasia sekunderPseudoakalasia adalah sindrom klinis yang mirip dengan akalasia. Kejadian pseudoakalasia sekitar 2% -4% dari pasien dengan curiga akalasia. Secara umum, pasien dengan pseudoakalasia lebih tua dengan riwayat disfagia lebih singkat dan disertai penurunan berat badan. Namun, tiga tanda ini memiliki spesifitas yang rendah. Penyebab umum pseudoakalasia adalah keganasan yang menginfiltrasi gastroesophageal junction. Oleh karena itu, pasien dengan dugaan akalasia perlu berhati-hati dalam melakukan tindakan endoskopi gastrointestinal bagian atas, khususnya di dekat kardia dan gastroesophageal junction. Jika masih dicurigai pseudoakalasia, USG endoskopik dengan probe 20 mHz atau Computed Tomography scan dada dapat membantu penegakan diagnosis.3Penyebab patologi selain keganasan yang diyakini menyebabkan akalasia sekunder antara lain penyakit chagas, juvenile sjogrens, amyloidosis, chronik idiopathic intestinal, sarcoidosis, neurofibromatosis, dan scleroderma.6

5. Gejala Klinis Pasien dengan akalasia, terlepas dari penyebabnya primer atau sekunder mempunyai gejala klinis yang hampir sama. Gejalanya antara lain kelainan menelan / disfagia progresif, odynofagia, regurgitasi, nyeri dada, dan penurunan berat badan. Diagnosis akalasia harusnya disuspekkan pada tiap pasien yang mempunyai keluhan disfagia makanan padat dan cair disertai regurgitasi makanan dan saliva. Terjadinya disfagia biasanya bertahap, awalnya digambarkan sebagai "rasa penuh di dada" atau "sticking sensation" dan terjadi setiap hari atau setiap kali makan. Awalnya, disfagia terutama pada makanan padat, namun seiring waktu terjadi disfagia pada makanan padat dan cair terutama minuman dingin. Adanya "power swallow" dan minuman berkarbonasi meningkatkan tekanan intra esofageal dan dapat meningkatkan pengosongan esofagus. Regurgitasi menjadi masalah seiring dengan perkembangan penyakit, terutama saat esofagus melebar. Regurgitasi, makanan yang tertahan dan akumulasi air liur, kadang-kadang salah didiagnosis dengan postnasal dahak atau bronkitis. Biasanya terjadi ketika setelah makan pada malam hari pasien sering terbangun karena batuk dan tersedak. Aspirasi pneumonia merupakan masalah yang jarang. Nyeri dada terjadi pada beberapa pasien, terutama pada malam dan terlihat pada pasien dengan penyakit yang masih ringan atau esofagus masih melebar minimal. Mekanisme nyeri dada tidak diketahui, tetapi gejala ini bukan hanya merupakan kontraksi simultan dari episode yang berulang, namun dapat menyebabkan lumen esofagus tersumbat. Pelebaran pneumatik atau pembedahan dapat mengurangi disfagia dan regurgitasi. Heartburn atau rasa seperti terbakar di dada merupakan keluhan yang sering terjadi di akalasia, meskipun faktanya akalasia tidak berhubungan dengan peningkatan episode refluks asam. Penyebab gejala ini adalah spekulatif, mungkin berhubungan dengan retensi minuman asam seperti soda atau minuman buah dan beberapa kasus disebabkan karena produksi asam laktat dari makanan yang tertahan dalam esofagus yang melebar. Kebanyakan pasien akalasia memiliki beberapa derajat penurunan berat badan namun biasanya dalam jangka lama bulan sampai tahun.2,3

6. Diagnosis Diperlukan beberapa pemeriksaan untuk memisahkan akalasia esofagus dengan diagnosa banding lainnya, Diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan sebagai berikut :

a. Barium esofagogram dan timed barium esophagogram (TBE)Pemeriksaan barium esofagogram dengan fluoroskopi pada pasien curiga akalasia merupakan tes diagnostik awal. Akurasi esofagogram untuk diagnosis akalasis 95%. Pada stadium awal tak tampak adanya gelombang peristaltik primer, penyempian gastroesofageal junction hanya minimal dan kadang-kadang terlihat gelombang peristaltik nonpropusif di badan esofagus (vigorous achalasia) dengan ditemukan gelombang sekunder sampai tersier. Pada akalasia progresif tampak gambaran birds beak di gastroesofageal junction dengan di bagian distalnya membentuk sudut sebelum masuk ke lambung.3

Gambar 3Barium EsofagogramDikutip dari kepustakaan 6

Pada akalasia berat esofagus biasanya tampak melebar secara signifikan dan kadang-kadang berliku-liku, tidak kosong, dan terdapat makanan dan air liur yang tertahan menyebabkan gambaran air fluid level di bagian atas barium. Esofagus distal ditandai adanya LES yang tertutup secara bertahap bentuk lonjong halus menyerupai paruh burung (birds beak), dan kadang-kadang terdapat divertikulum epifrenicus. Pada stadium lanjut seluruh esofagus mengalami atonik.3Pada pemeriksaan fluoroskopi selalu menunjukkan kurangnya peristaltik dengan gerakan to-and-fro dalam posisi terlentang. Pemeriksaan esofagram pada akalasia bersifat individu untuk masing masing pasien terutama dalam melihat pengosongan esofagus dari barium pada posisi tegak (bisa lebih dari 5 menit). Pemeriksaan dapat diulang secara serial setelah terapi untuk evaluasi pengosongan esofagus sesuai gejala pasien.3Barium Esophagogram mempunyai kemampuan mengetahui gangguan fungsional akalasia, yaitu gangguan pengosongan esofagus. Pemeriksaan ini sangat sederhana dan dilakukan secara luas untuk pemeriksaan pre dan post terapi akalasia sejak tahun 1960. Namun beberapa peneliti berpendapat pemeriksaan ini hanya untuk mengevaluasi pasien post terapi dengan dilatasi. Peneliti lain menunjukkan adanya hubungan yang kurang baik antara perbaikan gejala dan temuan radiografi.7Teknik pemeriksaan TBE sebagai berikut : pasien pada posisi berdiri minum suspensi barium sulfat low-density (berat 45 % dalam kurang lebih 250 cc). Pasien diinstruksikan minum larutan barium dalam waktu satu menit. Volume barium yang ditelan didasarkan pada toleransi pasien (pasien tidak mengalami regurgitasi maupun aspirasi, selain itu dilatasi esofagus harus dapat di diisi secara adekuat). Volume yang di minum harus dicatat. Pasien berdiri dengan posisi left posterior oblique untuk menghindari proyeksi berlebih esofagus dan tulang belakang. Jarak fluoroskopi dari pasien dijaga konstan selama

Gambar 4Time barium esophagogram (TBE)Dikutip dari kepustakaan 6

pemeriksaan. Pasien di ambil gambar radiografi pada tiga posisi anteroposterior dan diambil pada menit 1, 2, dan 5 setelah barium di minum. Pengambilan gambar pada menit ke 2 merupakan opsional, tetapi fluoroskopi tetap dilakukan pada menit ke 2 untuk menentukan pengosongan esofagus.11Time barium esophagogram (TBE) diperkenalkan pada tahun 1997. TBE merupakan metode yang sederhana dan obyektif untuk menilai pengosongan esofagus secara kuantitatif dan kualitatif. Teknik TBE sama dengan esofagogram / barium swallow namun dengan beberapa modifikasi, diantaranya pengambilan beberapa gambar secara sekuen diantara interval waktu sesudah dilakukan barium esofagogram dengan volume tertentu. Pada TBE dilakukan pengukuran tinggi dikali lebar dari barium untuk evaluasi pengosongan esofagus. Pada akalasia esofagus yang aperistaltik disertai LES inkomplet menyebabkan stasis di esofagus. Barium akan bertahan pada beberapa waktu yang lama dibandingkan orang sehat. Terjadi obstruksi dan esofagus mengalami dilatasi pada waktu yang lama (dekompensata). Barium yang persisten di esofagus dan LES inkomplet atau mengalami pengosongan parsial lebih dari 5 menit disertai gambaran birds beak atau rat tail appearance membantu diagnosis akalasia yang selanjutnya di konfirmasi dengan pemeriksaan manometri.7

b. Manometri Esofagus Manometri esofagus merupakan gold standart dalam penegakan diagnosis akalasia dan harus dilakukan pada setiap pasien yang akan dilakukan perawatan invasif seperti pelebaran pneumatik atau myotomy bedah. Karena akalasia hanya melibatkan otot polos esofagus, kelainan manometri terbatas pada 2/3 esofagus bagian distal3. Diagnosis akalasia diperlukan jika ditemukan tekanan LES yang meningkat pada fase istirahat, relaksasi LES inkomplet dan tidak adanya peristaltik.8

c. EndoskopiPemeriksaan endoskopi dilakukan dengan ketentuan harus menyingkirkan adanya keganasan. Pada akalasia, pemeriksaan endoskopi menunjukkan adanya dilatasi esofagus dengan mukosa yang normal. Terdapat adanya cairan atau makanan yang tersisa. Selain itu pada akalasia dapat menunjukkan adanya infeksi kandida yang merupakan infeksi sekunder karena esofagus statis. Saat endoskop masuk melewati LES tekanan yang di berikan mudah dan lancar, tidak ada striktur yang disebabkan karena neoplasia atau fibrosis.6,15Kesan adanya peristaltik esofagus dan LES pada pemeriksaan endoskopi tidak akurat. Kesan berkurangnya peristalsis dan LES tidak sensitif maupun spesifik. Retensi makanan di esofagus dapat dianggap sebagai parameter yang lebih spesifik dalam mendiagnosis akalasia, tetapi hanya terjadi pada pasien dengan penyakit lanjut dan gangguan transit yang berat. Candida esofagitis pada pasien kekebalan yang kompeten harus meningkatkan kecurigaan retensi esophagus.6,15

7. Penatalaksanaan Tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikan aktivitas otot dan persyarafan di esofagus pada kasus akalasia. Terapi akalasia adalah mengurangi gradien tekanan di LES. Tujuan terapi tersebut antara lain: 1. menghilangkan gejala pasien, terutama disfagia dan regurgitasi, 2. meningkatkan pengosongan esofagus dengan memperbaiki relaksasi LES yang terganggu. 3. Mencegah perkembangan megaesofagus.3Terapi akalasia meliputi dilatasi pneumatik, bedah myotomi dan agen farmakologis. Terapi terhadap gangguan gradien LES yang paling sukses adalah dengan dilatasi pneumatik atau myotomy bedah. Tingkat keberhasilan secara keseluruhan dengan pelebaran pneumatik adalah 78%, dengan wanita dan pasien yang lebih tua mempunyai respon yang bagus. Myotomi laparoskopi dikombinasikan dengan fundoplikasi parsial memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi kurang lebih 87 %. Bedah myotomi lebih banyak dikerjakan pada pasien muda terutama laki-laki. Pasien yang lebih tua diberikan injeksi toksin botulinum ke sfingter esofagus bagian bawah dan relaksan otot polos.3,12Toksin botulinum yang disuntikkan dengan bantuan endoskop adalah toksin yang bekerja menghambat pengeluaran asetilkolin di presinaps pada serabut saraf sehingga menurunkan tonus sfingter esofagus.1Bedah esofagomiotomi terdiri atas memotong otot esofagus pada arah sumbu esofagus sepanjang sfingter bawah, di luar mukosa. Tingkat keberhasilan mencapai 80 90%, bergantung pada keterampilan operator. Bukti penelitian yang kuat menyimpulkan bahwa indikasi esofagomiotomi adalah pasien masih muda, mengalami kegagalan terapi farmakologis, beresiko tinggi mengalami perforasi pada tehnik dilatasi, atau ingin menghindari prosedur berulang.1

8. Diagnosa Banding Beberapa diagnosa banding dari akalsai esofagus yaitu :a. Spasme esofagus yang difusb. Esofagus nutcrackerc. Sfingter esofagus bagian bawah hipertensifd. Penyakit chagase. Sklerodermaf. Disfungsi otot primerg. Kelainan metabolik yang mempengaruhi fungsi otot.h. Kanker esofagus.5

9. Prognosis Dilatasi pneumatik memberi hasil yang efektif pada 60% pasien setelah satu kali dilatasi dan 80% setelah 2 kali dilatasi. Risiko perforasi 2 15%. Operasi mempunyai angka komplikasi 3 4% (pneumotoraks dan perforasi mukosa esofagus).5

BAB IIIPENUTUPAkalasia merupakan suatu keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya peristaltik korpus esofagus bagian bawah dan sfingter esofagus bagian bawah (SEB) yang hipertonik sehingga tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna pada waktu menelan makanan. Secara histopatologik kelainan ini ditandai oleh degenerasi ganglia pleksus mientrikus. Akibat keadaan ini akan terjadi stasis makanan dan selanjutnya akan timbul pelebaran esofagus. Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi tergantung dari berat dan lamanya kelainan yang terjadi. Secara klinis akalasia dibagi dalam akalasia primer dan akalasia sekunder yang dihubungkan dengan etiologinya.13 Gejala klinisnya berupa muntah persisten dan pada foto toraks sering ditemukan pneumonia dengan aspirasi. Pemeriksaan radiologik dengan kontras menggambarkan adanya penyempitan dan stenosis pada kardia esofagus dengan dilatasi esoagus bagian proksimal.14Pengobatan akalasia antara lain dengan cara medikamentosa oral, dilatasi atau peregangan SEB, esofagomiotomi dan injeksi toksin botulinum ke sfingter esofagus. Tindakan pembedahan memberikan hasil yang memuaskan dan dalam jangka lama yang dapat menghilangkan disfalgia. Akan tetapi komplikasi refluks esofagitis cukup tinggi. Dalam pengobatan akalasia ini sebaiknya sebagai pengobatan awal dilakukan dilatasi pneumatik dan bila tak berhasil dilanutkan dengan tindakan pembedahan.13

9