BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit saluran nafas yang menjadi masalah kesehatan global saat ini. Kekerapannya meningkat dimana-mana. Penyakit ini merupakan beban yang berat bagi pelayanan kesehatan dan juga mengurangi produktifitas. 1 Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian. 2 Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Asma merupakan penyakit saluran nafas yang menjadi masalah kesehatan global
saat ini. Kekerapannya meningkat dimana-mana. Penyakit ini merupakan beban yang
berat bagi pelayanan kesehatan dan juga mengurangi produktifitas.1
Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan
penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia
seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma
meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara
berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini semakin
meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang
menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di
rumah sakit dan bahkan kematian.2
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal
ini tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi
di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema
sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi
asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan
obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan
kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan
prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 %
diantaranya mempunyai gejala klasik. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14
tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and
Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan
pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di
beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6
1
sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat
sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.2,3
Walaupun banyak kemajuan dalam pengobatan asma, akan tetapi angka kesakitan
tidak berkurang, bahkan pada beberapa negara maju angka tersebut meningkat. Berkat
kemajuan dalam penelitian dibidang kedokteran, pengertian mengenai asma juga
mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga menyebabkan perubahan-perubahan dalam
definisi dari asma sendiri. Kalau dulu penekanan dari definisi asma adalah penyempitan
yang merata dari saluran nafas, diikuti oleh penekanan terhadap adanya peningkatan
kepekaan (hipersensitivitas) saluran nafas, maka dewasa ini penekanan tersebut adalah
adanya proses inflamasi pada saluran nafas penderita asma.1
Perubahan pengertian dalam konsep penyakit ini juga menyebabkan perubahan
dalam penatalaksanaannya. Pada kesempatan ini penulis ingin mengemukakan
pendekatan-pendekatan baru dalam penatalaksanaan asma ini terutama dalam
penderajatan dan pengobatannya baik untuk jangka panjang maupun untuk eksaserbasi
akut.1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA), asma didefinisikan sebagai berikut:
gangguan peradangan kronis pada saluran napas di mana banyak sel dan elemen seluler
berperan. Peradangan kronis menyebabkan peningkatan terkait dalam hiperresponsif
saluran napas yang menyebabkan episode berulang dari mengi, sesak napas, sesak dada
dan batuk, terutama pada malam hari atau di pagi hari. Episode ini biasanya berhubungan
dengan obstruksi aliran udara luas tetapi variabel yang sering reversibel, baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. (asma 2)
2.2 Faktor Risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host) dan
faktro lingkungan.
Faktor pejamu tersebut adalah:
- Predisposisi genetik asma
- Alergi
- Hiperaktifitas bronkus
- Jenis kelamin
- Ras / etnik
Faktor lingkungan dibagi 2, yaitu:
- Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan / predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma
- Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan gejala asma
menetap.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma adalah:
- Alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik, alergen
binatang, alergen kecoa, jamur, serbuk sari bunga.
- Sensitisasi (bahan) lingkungan kerja.
3
- Asap rokok
- Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
- Infeksi pernafasan (virus)
- Diet
- Status sosioekonomi
- Besarnya keluarga
- Obesitas
Sedangkan faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau menyebabkan
Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam yang berbeda
nilainya), dan nilai normal variabilitas ini < 20%.
Cara pemeriksaan variabilitas APE
Pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan malam hari untuk
mendapatkan nilai tertinggi.
APE malam – APE pagi
Variabilitas harian = ------------------------------------- x 100%
½ (APE malam + APE pagi)
2.5 Klasifikasi Asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan.
6
Derajat asma Gejala Fungsi ParuI. Intermiten Siang hari < 2 kali per minggu
Malam hari < 2 kali per bulanSerangan singkatTidak ada gejala antar seranganIntensitas serangan bervariasi
Variabilitas APE < 20%VEP1 > 80% nilai prediksiAPE > 80% nilai terbaik
II. Persisten ringan Siang hari > 2 kali per minggu, tetapi < 1 kali per hariMalam hari > 2 kali per bulanSerangan dapat mempengaruhi aktivitas
Variabilitas APE 20-30%VEP1 > 80% nilai prediksiAPE > 80% nilai terbaik
III.Persisten sedang Siang hari ada gejalaMalam hari > 1 kali per mingguSerangan mempengaruhi aktivitasSerangan > 2 kali per mingguSerangan berlangsung berhari-hariSehari-hari menggunakan inhalasi β2 agonis short acting
Variabilitas APE > 30%VEP1 60-80% nilai prediksiAPE 60-80% nilai terbaik
IV. Persisten berat Siang hari terus menerus ada gejalaSetiap malam hari sering timbul gejalaAktifitas fisik terbatasSering timbul serangan
Variabilitas APE > 30%VEP1 < 60% nilai prediksiAPE < 60% nilai terbaik
Tabel 1. Klasifikasi Asma
2.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
7
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol
bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20 %
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
a. Terapi non Farmakologi
1. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan
asma. Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
- meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendiri)
- meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma
mandiri)
- meningkatkan kepuasan
- meningkatkan rasa percaya diri
- meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
- membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma
2. Pengukuran peak flow meter
8
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran Arus
Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
a. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di
rumah.
b. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
c. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas
> 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang
sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk
mendapat serangan yang mengancam jiwa.
Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu
pengobatan seperti :
Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik
Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau penghentian
obat
Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Pemberian oksigen
5. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Dapat dilakukan dengan :
Penghentian merokok
Menghindari kegemukan
Kegiatan fisik misalnya senam asma
b. Terapi Farmakologi
Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan
obstruksi saluran pernafasan. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua kelompok
9
besar yaitu reliever dan controller. Reliever adalah obat yang cepat menghilangkan gejala
asma yaitu obstruksi saluran napas. Controller (pengontrol) adalah obat yang digunakan
untuk mengendalikan asma yang persisten. Obat yang termasuk golongan reliever
(pelega) adalah agonis beta-2, antikolinergik, teofilin, dan kortikosteroid sistemik.
Obat-obat pengontrol (controller) :
Obat-obat pengontrol adalah obat-obat yang diberikan tiap hari untuk jangka lama untuk
mengontrol asma persisten. Termasuk kedalam golongan ini adalah :
- kortikosteroid inhalasi
- kortikosteroid sistemik
- natrium kromolin
- natrium nedokromil
- teofilin lepas lambat
- agonis beta-2 inhalasi aksi lama
- agonis beta-2 oral aksi lama
- ketotifen
Dewasa ini pengontrol yang paling efektif adalah kortikosteroid inhalasi.
Obat-obat pelega (reliever) :
Obat-obat pelega adalah yang bekerja cepat untuk menghilangkan konstriksi bronkus
beserta keluhan-keluhan yang menyertainya. Termasuk kedalam golongan ini adalah :
- agonis beta-2 inhalasi
- kortikosteroid sistemik
- antikolinergik inhalasi
- teofilin kerja singkat
- agonis beta-2 oral kerja singkat
Agonis beta-2 inhalasi merupakan obat pilihan untuk pengobatan asma eksaserbasi akut
dan pencegahan pada exercise induce asthma.
10
1. Simpatomimetik
Mekanisme Kerja
Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :
Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya
vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan
kontraktilitas dan irama jantung.
Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan
klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.
Bronkodilator Simpatomimetik :Efek Farmakologi dan Sifat Farmakokinetik
Simpatomimetik
Aktivitas Reseptor Adrenergik
Potensi β2 a
Rute Onset (menit) Durasi (jam)
Albuterolb M β1< β2 M
2 Oral 30 4 - 8 Inh c 30 3 - 6
Bitolterolb β1< β2 5 Inh 2 - 4 5 > 8 Efedrin α β1β2 - PO 15 sampai 60 3 sampai 5
SC > 20 < 1 IM 10 sampai 20 < 1 IV segera -
Epinefrin α β1β2 - SC 5 sampai 10 4 sampai 6 IM - 1 sampai 4 Inh c 1 sampai 5 1 sampai 3
Isoetharinb β1< β2 6 Inh c dalam 5 2 sampai 3 Isoproterenol
β1< β2 1 IV segera < 1 Inh c 2 sampai 5 1 sampai 3
Metaproterenolb
β1< β2 15 PO mendekati 30 4 Inh c 5 sampai 30 1 sampai 6
Salmeterolb
β1< β2 0,5 Inh dalam 20 12
Pirbuterolb β1< β2 5 Inh dalam 5 5 Terbutalinb β1< β2 4 PO 30 4 sampai 8
SC 5 sampai 15 1,5 sampai 4 Inh 5 sampai 30 3 sampai 6
Tabel 2 Perbandingan efek farmakologi dan sifat farmakokinetik bronkodilator
simpatomimetik
11
Keterangan :
a : potensi molar relatif 1 adalah yang paling kuat
b: semua obat ini mempunyai aktivitas β1 minor
c: dapat digunakan melalui aerosol
Indikasi
Agonis β2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol) digunakan,
bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka panjang terhadap
gejala yang timbul pada malam hari. Obat golongan ini juga dipergunakan untuk
mencegah bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik. Agonis β2 kerja
singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan
untuk menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan
fisik.
2. Xantin
Mekanisme Kerja
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan
merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal,
merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung,
menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus.
Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek
kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan demikian mampu
menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan
penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik.
Indikasi
Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dan bronkospasma
reversibel yang berkaitan dengan bronkhitis kronik dan emfisema. Pemberian
dosis awal dari aminofilin dapat diberikan melalui intravena lambat atau diberikan
dalam bentuk infus (biasanya dalam 100-200 mL) dekstrosa 5% atau injeksi Na
12
Cl 0,9%. Kecepatan pemberian jangan melebihi 25 mg/mL. Setelah itu terapi
pemeliharaan dapat diberikan melalui infus volume besar untuk mencapai jumlah
obat yang diinginkan pada setiap jam. Terapi oral dapat langsung diberikan
sebagai pengganti terapi intravena, segera setelah tercapai kemajuan kesehatan
yang berarti. Teofilin Dosis yang diberikan tergantung individu. Penyesuaian
dosis berdasarkan respon klinik dan perkembangan pada fungsi paru-paru. Dosis
ekivalen berdasarkan teofilin anhidrat yang dikandung. Monitor level serum untuk
level terapi dari 10-20 mcg/mL.
3. Antikolinergik
a. Ipratropium Bromida
Mekanisme kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik)
yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja
asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan
tidak bersifat sistemik. Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat
antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan
seromukus mukosa hidung.
Indikasi
Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator lain
(terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan
bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif kronik,
termasuk bronkhitis kronik dan emfisema.
b. Tiotropium Bromida
Mekanisme Kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan
sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek
farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga
13
terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat
sangat spesifik pada lokasi tertentu.
Indikasi
Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang berhubungan
dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis dan emfisema.
4. Kromolin Sodium dan Nedokromil
a. Kromolin Natrium
Mekanisme Kerja
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai aktifitas
intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas
glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator, histamin dan
SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast.
Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.
Indikasi
Asma bronkial (inhalasi, larutan dan aerosol) : sebagai pengobatan profilaksis
pada asma bronkial. Kromolin diberikan teratur, harian pada pasien dengan gejala
berulang yang memerlukan pengobatan secara reguler.
Pencegahan bronkospasma (inhalasi, larutan dan aerosol) : untuk mencegah
bronkospasma akut yang diinduksi oleh latihan fisik, toluen diisosinat, polutan
dari lingkungan dan antigen yang diketahui.
b. Nedokromil Natrium
Mekanisme Kerja
Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma. Obat ini
akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator dari berbagai
tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil, makrofag, sel
14
mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon
bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi.
Indikasi
Nedokromil diindikasikan untuk asma. Digunakan sebagai terapi pemeliharaan
untuk pasien dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih pada asma ringan sampai
sedang.
5. Kortikosteroid
Mekanisme Kerja
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja
dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan
jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta
adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme
bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan
inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik
minimal.
Indikasi
Terapi pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien yang memerlukan
kortikosteoid sistemik, pasien yang mendapatkan keuntungan dari penggunaan
dosis sistemik, terapi pemeliharaan asma dan terapi profilaksis pada anak usia 12
bulan sampai 8 tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien asma yang dapat
diterapi dengan bronkodilator dan obat non steroid lain, pasien yang kadang-
kadang menggunakan kortikosteroid sistemik atau terapi bronkhitis non asma.
6. Antagonis Reseptor Leukotrien
a. Zafirlukast
Mekanisme Kerja
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang selektif dan