BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangFungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan
mengeluarkan urin secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas
koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer.
Neurogenic bladder adalah penyakit yang menyerang kandung kemih
yang disebabkan oleh kerusakan ataupun penyakit pada sistem saraf
pusat atau pada sistem saraf perifer dan otonom. (Ginsberg,
2013).Gejala neurogenik bladder berkisar antara kurang berfugsi
hingga overaktivitas, tergantung bagian neurogenik yang terkena.
Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, menyebabkan spincter
menjadi kurang berfungsi atau overaktivitas dan kehilangan
koordinasi dengan fungsi kandung kemih. Salah satu penelitian
pertama mengenai prevalensi Neurogenic Bladderdi Asia adalah sebuah
survai yang dilakukan oleh APCAB (Asia Pacific Continence Advisory
Board) yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan, dimana sekitar
70% adalahperempuan dari 11 negara termasuk 499 dari Indonesia
didapatkan bahwaprevalensiNeurogenic Bladdersecara umum di Asia
adalah sekitar50,6%. (Shenot, 2012).Banyak penyebab dapat mendasari
timbulnya Neurogenic Bladder sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan
yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan. Penyebab tersering adalah
gangguan medulla spinalis, Selain itu kondisi lain yang dapat
menyebabkan neurogenic bladder adalah penyakit degenaratif
neurologis (multipel sklerosis, dan sklerosis lateral amiotropik),
kelainan bawaan tulang belakang (spina bifida). Neurogenic bladder
akan meningkat jumlahnya pada kondisi neurologis tertentu. Sebagai
contoh, di Amerika neurogenic bladder ini telah ditemukan pada 40%-
90% pasien dengan multiple sclerosis, 37% - 72% pada pasien dengan
parkinson dan 15% pada pasien dengan stroke. Ini memperkirakan
bahwa 70-84% pasien dengan spinal cord injury paling tidak
mempunyai sedikit gangguan kandung kemih. (Ginsberg, 2013).Terapi
yang cocok ditentukan dari diagnosis yang tepat dengan perawatan
medis yang baik dan perawatan bersama dengan bermacam pemeriksaan
klinis, meliputi urodinamik dan pemeriksaan radiologi terpilih.1.2
Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi dan fisiologi kandung kemih?2.
Apa definisi dari Neurogenic Bladder ?3. Bagaimana etiologi dari
Neurogenic Bladder ?4. Bagaimana patofisiologi dari Neurogenic
Bladder ?5. Bagaimana manifestasi klinis Neurogenic Bladder ?6. Apa
saja komplikasi dari Neurogenic Bladder ?7. Apa saja pemeriksaan
diagnostik pada Neurogenic Bladder ?8. Bagaimana penatalaksanaan
medis pada Neurogenic Bladder ?9. Bagaimana prognosis pada kasus
Neurogenic Bladder ?10. Bagaimana asuhan keperawatan pada
Neurogenic Bladder ?
1.3 Tujuan1.3.1 Tujuan UmumMengetahui konsep dan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Neurogenic Bladder. 1.3.2 Tujuan
Khusus1. Mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi kandung
kemih.1. Mengetahui dan memahami tentang definisi dan etiologi
Neurogenic Bladder.1. Mengetahui dan memahami tentang patofisiologi
Neurogenic Bladder.1. Mengetahui dan memahami tentang manifestasi
klinis Neurogenic Bladder.1. Mengetahui dan memahami tentang
komplikasi pada kasus Neurogenic Bladder.1. Mengetahui dan memahami
tentang pemeriksaan diagnostic pada kasus Neurogenic Bladder.1.
Mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan medis pada kasus
Neurogenic Bladder.1. Mengetahui dan memahami tentang prognosis
Neurogenic Bladder. 1. Mengetahui dan memahami tentang asuhan
keperawatan pada kasus Neurogenic Bladder.
1.4 ManfaatAdapun manfaat yang ingin dicapai dengan adanya
makalah ini adalah sebagai berikut:1. MahasiswaMahasiswa mampu
menjelaskan dan memahami definisi, patofisiologi, manifestasi
klinis, penatalaksanaan medis pada pasien dengan Neurogenic Bladder
serta dapat menerapkan asuhan keperawatan, khususnya untuk
mahasiswa keperawatan.1. DosenMakalah ini dapat dijadikan tolak
ukur sejauh mana mahasiswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan
oleh dosen dan sebagai bahan pertimbangan dosen dalam menilai
mahasiswa. 1. Masyarakat umumMasyarakat umum dapat mengambil
manfaat dengan mengetahui definisi, patofisiologi, manifestasi
klinis, penatalaksanaan medis dan asuhan keperawatan pada pasien
dengan Neurogenic Bladder.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi 1. Kandung Kemih (Bladder)Kandung
kemih merupakan otot, kantung berongga terletak tepat di belakang
tulang kemaluan. Kapasitas kandung kemih dewasa adalah sekitar 300
sampai 600 mL urin. Pada masa kanak-kanak , kandung kemih ditemukan
dalam perut. Pada masa remaja dan sampai dewasa ,kandung kemih
mengasumsikanposisinya dalam panggul sejati (Smeltzer & Bare,
2004).
Gambar 1. Bladder(Smeltzer & Bare,, 2004)
2. Struktur otot detrusor dan sfingterSusunan sebagian besar
otot polos kandung kemih sedemikian rupa sehingga bila berkontraksi
akan menyebabkan pengosongan kandung kemih. Pengaturan serabut
detrusor pada daerah leher kandung kemih berbeda pada kedua jenis
kelamin, pria mempunyai distribusi yang sirkuler dan
serabut-serabut tersebut membentuk suatu sfingter leher kandung
kemih yang efektif untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd
sfingter interna yang ekivalen. Sfingter uretra (rhabdosfingter)
terdiri dari serabut otot luruk berbentuk sirkuler. Pada pria,
rhabdosfingter terletak tepat di distal dari prostat sementara pada
wanita mengelilingi hampir seluruh uretra. Rhabdosfingter secara
anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar pelvis.
Pemeriksaann EMG otot ini menunjukkan suatu discharge tonik konstan
yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses
miksi (Japardi, 2002).3. Persarafan dari kandung kemih dan
sfingtera. Persarafan parasimpatis (N.pelvikus)Pengaturan fungsi
motorik dari otot detrusor utama berasal dari neuron preganglion
parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna
intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Neuron
preganglionik keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal
anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus
parasimpatis pelvis. Ini merupakan suatu jaringan halus yang
menutupi kandung kemih dan rektum. Serabut postganglionik pendek
berjalan dari pleksus untuk menginervasi organ- organ pelvis. Tidak
terdapat perbedaan khusus postjunctional antara serabut
postganglionik danotot polos dari detrusor. Sebaliknya, serabut
postganglionik mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang
mengandung vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada
beberapa spesies transmiter nonkolinergik nonadrenergik juga
ditemukan, keberadaannya pada manusia diragukan (Japardi, 2002).b.
Persarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis
sakral)Kandung kemih menerima inervasi simpatis dari rantai
simpatis torakolumbal melalui a hipogastrik. Leher kandung kemih
menerima persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis dan pada
kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis,
sedangkan peran sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak
jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh pada kontinens
atau miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi
retrograd. Leher kandung kemih pria banyak mengandung mervasi
noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi menyebabkan
penutupan dari leher kandung kemih untuk mencegah ejakulasi
retrograde (Japardi, 2002).c. Persarafan somantik (N.pudendus)Otot
lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari
traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz
menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis
pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai
nukleus Onuf, mengandung badan sel dari motor neuron yang
menginnervasi baik sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai
diameter yang lebih kecil daripada sel kornu anterior lain, tetapi
suatu penelitian mengenai sinaps motor neuron ini pada kucing
menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan
persarafan perineal parasimpatis preganglionik (Japardi,
2002).Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3
dan S4 ke dalam N.pudendus dimana ketika melewati pelvis memberi
percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke otot lurik
sfingter uretra. Secara elektromiografi, motor unit dari otot lurik
sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi mempunyai amplitudo
yang sedikit lebih rendah (Japardi, 2002).d. Persarafan sensorik
traktus urinarius bagian bawahSebagian besar saraf aferen adalah
tidak bermyelin dan berakhir pada pleksus suburotelial dimana tidak
terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak dari serabut ini
mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-related peptide
dan pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus
ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada
sensorik murni (Japardi, 2002).Ketiga pasang saraf perifer
(simpatis torakolumbal, parasimpatis sacral dan pudendus)
mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan dalam
n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi kandung kemih
tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi kandung kemih
yang normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak
bermyelin dan serabut A bermyelin kecil (Japardi, 2002).Peran
aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini mungkin
menyampaikan beberapa sensasi dari distensi kandung kemih dan
nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran
urine, nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang
serupa dalam medula spinalis sakral sebagai aferen kandung kemih.
Hal ini menggambarkan kemungkinan dari daerah-daerah penting pada
medulla spinalis sakral untuk intergrasi viserosomatik (Japardi,
2002).Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang telah
mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras
asending dari kandung kemih dan uretra berjalan di dalam traktus
spiotalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis mungkin
juga berperan pada transmisi dari informasi aferen (Japardi,
2002).4. Hubungan dengan susunan saraf pusata. Pusat Miksi PonsPons
merupakan pusat yang mengatur miksi melalui refleks
spinal-bulber-spinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat
(1990) menyatakan bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan
(switch point) dimana refleks transpinal-bulber diatur sedemikian
rupa baik untuk pengaturan pengisian atau pengosongan kandung
kemih. Pusat miksi pons berperansebagai pusat pengaturan yang
mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di otak
(Japardi, 2002).b. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi
ponsBeberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian
anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi
berupa urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih
atau retensi urine. Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya
kandung kemih yang hiperrefleksi (Japardi, 2002).
Gambar di bawah ini ini menggambarkan daerah kontrol kortikal di
frontal dan cingulate gyri serta daerah subkortikal memberikan
pengaruh penghambatan pada berkemih pada tingkat pons dan
memberikan rangsang yang berpengaruh pada sfingter kemih eksternal.
Hal ini memungkinkan adanya kontrol sukarela berkemih sehingga
biasanya evakuasi kandung kemih dapat ditunda (Dorsher &
McIntosh , 2011).
Gambar 2. Fisiologi mikturisi(Dorsher & McIntosh , 2011)
5. Fisiologi pengaturan fungsi sfingter kandung kemiha.
Pengisian urinePada pengisian kandung kemih, distensi yang timbul
ditandai dengan adanya aktivitas sensor regang pada dinding kandung
kemih. Pada kandung kemih normal, tekanan intravesikal tidak
meningkat selama pengisian sebab terdapat inhibisi dari aktivitas
detrusor dan active compliance dari kandung kemih. Inhibisi dari
aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh antara pusat
miksi pons dengan medulla spinalis bagian sakral. Mekanisme active
compliance kandung kemih kurang diketahui namun proses ini juga
memerlukan inervasi yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada
kerusakan radiks S2-S4 (Japardi, 2002).Selain akomodasi kandung
kemih, kontinens selama pengisian memerlukan fasilitasi aktifitas
otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih
tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir
keluar (Japardi, 2002).b. Pengaliran urinePada orang dewasa yang
normal, rangsangan untuk miksi timbul dari distensi kandung kemih
yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif
terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunteer tidak
diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik
dari sfingter uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan
kontraksi kandung kemih. Inhibisi tonus simpatis pada leher kandung
kemih juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi
tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung
kemih yang lengkap tergantung adri refleks yang menghambat
aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama
miksi (Japardi, 2002).
Gambar 3. Palpasi Bladder(Smeltzer, 2004)
2.2 DefinisiDavid Ginsberg dalam jurnalnya yang berjudul The
Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic Bladder (2013)
mengatakan bahwa neurogenic bladder atau kandung kemih neurogenik
merupakan penyakit yang menyerang kandung kemih yang disebabkan
oleh kerusakan ataupun penyakit pada sistem saraf pusat atau pada
sistem saraf perifer dan otonom.Neurogenic Bladder adalah kondisi
terputusnya inervasi kandung kemih yang normal (Saputra,
2012).Menurut Ginsberg (2013) pada neurogenic bladder sendiri
terdapat beberapa klasifikasi yang digunakan untuk mengelompokkan
jenis- jenis neurogenic bladder. Hal ini bisa berdasarkan penemuan
urodinamik, kriteria neurologis ataupun fungsi saluran kemih bagian
bawah. Satu dari beberapa klasifikasi sistem tersebut adalah
berdasarkan lokasi lesi neurologis. Sistem ini dijadikan panduan
untuk terapi farmakologi dan intervensi lain. Dengan menggunakan
sistem ini maka neurogenic bladder diklasifikasikan sebagai
berikut:a. Lesi diatas batang otakb. Lesi sempurna pada suprasacral
spinal cordc. Trauma/ penyakit di sacral spinal cordd. Gangguan pd
refleks perifer (injury distal ke spinal cord)Sementara itu,
menurut Japardi (2002) pada gangguan kandung kemih dapat terjadi
pada bagian tingkatan lesi. Hal ini bergantung kepada jaras yang
terkena. Secara garis besar terdapat tiga jenis utama dari gangguan
kandung kemih yaitu:a. Lesi supraponsb. Lesi antara pusat miksi
pons dansakral medula spinalis:c. Lesi Lower Motor Neuron
(LMN)Neurogenic Bladder ini juga dikelompokkan berdasarkan tipenya
ke dalam tiga kelompok besar oleh Saputra (2012) yakni:a.
Neurogenic bladder flasidb. Neurogenic bladder spastikc. Neurogenic
bladder campuran
2.3 EtiologiMenurut Saputra (2012), beberapa penyebab dari
neurogenic bladder ini antara lain penyakit infeksius yang akut
seperti mielitis transversal, kelainan serebral (stroke, tumor
otak, penyakit Parkinson, multiple sklerosis, demensia),
alkoholisme kronis, penyakit kolagen seperti SLE, keracunan logam
berat, herpes zoster, gangguan metabolik, penyakit atau trauma pada
medulla spinalis dan penyakit vaskuler. Dari beberapa penyebab
tersebut yang tersering adalah penyakit infeksius yang akut,
kelainan serebral, gangguan metabolik, penyakit atau trauma pada
medulla spinalis.Neurogenic bladder akan meningkat jumlahnya pada
kondisi neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika neurogenic
bladder ini telah ditemukan pada 40%- 90% pasien dengan multiple
sclerosis, 37% - 72% pada pasien dengan parkinson dan 15% pada
pasien dengan stroke. Ini memperkirakan bahwa 70-84% pasien dengan
spinal cord injury paling tidak mempunyai sedikit gangguan kandung
kemih. Penyebab kurang umum dari neurogenic bladder adalah termasuk
diabetes mellitus dengan neuropati otonom, pembedahan pelvis yang
diikuti oleh sequelea yang tidak diharapkan, dan sindrom cauda
equine yang yang dihasilkan dari lumbal tulang belakang (Ginsberg,
2013).
2.4 Manifestasi Klinis Banyak pasien dengan neurogenic bladder
khususnya pada mereka yang juga terkena multiple sclerosis, CVA,
dan spinal cord injury mengalami kontraksi kandung kemih yang tak
bisa dicegah. Yang menyusahkan gejala pada neurogenic bladder ini
dikelompokkan sama dengan penyakit urin lainnya seperti
inkontinensia urin, frekuensi dan urgensi (Ginsberg,
2013).Sementara menurut Japardi (2002) gejala-gejala disfungsi
kandung kemih neurogenik terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi
dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang
mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga
kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising value) karena
hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras
dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul
sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting
untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti
hipertrofi prostat atau striktur. Pada penderita dengan lesi
neurologis antara pons dan med spinalis bagiansakral, DDS dapat
menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada umumnya
hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat
juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi
LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai
refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat. Meskipun hanya
sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi
pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine
dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan
suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras
sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN
dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi
sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi
detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow.Berdasar
tipenya sendiri, neurogenic bladder mempunyai beberapa manifestasi
klinis masing- masing. Berikut perbedaan manifestasi klinis pada
masing- masing tipe neurogenic bladder (Saputra, 2012):a.
Neurogenic bladder yang flasidPada tipe ini, manifestasi yang akan
muncul diantaranya:1) Inkontinensia overflow2) Berkurangnya tonus
sfingter ani3) Distensi hebat kandung kemih yang disertai rasa
penuh pada kandung kemihb. Neurogenic bladder yang
spasticManifestasi klinis yang akan muncul pada tipe ini adalah
sebagai berikut:1) Urinasi involunter atau urinasi yang kerapkali
hanya sedikit tanpa rasa penuh pada kandung kemih2) Kemungkinan
spasme spontan lengan dan tungkai3) Peningkatan tonus sfingter
anic. Neurogenic bladder campuranManifestasi klinis yang akan
muncul pada tipe ini adalah sebagai berikut:1) Tumpulnya persepsi
akan kandung kemih yang penuh2) Berkurangnya kemampuan untuk
mengosongkan kandung kemih3) Gejala urgensi yang tidak dapat
dikembalikan.
2.5 Patofisologi Gangguan kandung kencing / bladder dapat
terjadi akibat dari kerusakan saraf atau lesi yang terjadi pada
system saraf manusia. Apabila system saraf pusat atau system saraf
tepi yang merupakan jalur persarafan system perkemihan mengalami
gangguan maka akan mengganggu proses berkemih. Otak, pons, medulla
spinalis dan saraf perifer merupakan beberapa bagian dari system
saraf yang memungkinkan untuk terlibat. Gejala yang dapat terjadi
apabila terjadi disfungsi kandung kemih / bladder adalah retensi
inkontinensia yang berlebihan, urinasi yang kerapkali hanya
sedikit, atau kombinasi dari keduanya (Saputra, 2012). Berdasarkan
lokasinya penyebab Neurogenic Bladder dibagi menjadi tiga, antara
lain :1. Lesi Supra Pons Reflek-reflek miksi diatur pada pusat
miksi pons. Dimana seluruh aktivitas nya kebanyakan diatur oleh
input inhibisi dari lobus frontal bagian medial, ganglia basalis
dan tempat lain. Apabil terjadi kerusakan atau gangguan akan
mengakibatkan hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan
hiperrefleksi. Pada kasus terjadinya kerusakan lobus depan, tumor,
demyelinisasi preventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel
lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglia basalis, dapat
menimbulkan kontraksi kandung kemih yang hiperrefleksi. retensi
urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan
dalam memulai proses miksi secara volunter (Japaradi, 2002).2. Lesi
antara Pusat Miksi Pons dan Sakral Medula SpinalisBila terdapat
lesi pada Medula Spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan
bagian sacral medulla spinalis, akan mengganggu jaras yang
menginhibisi kontraksi detrusor dan pengaturan fungsi sfingter
detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin untuk terjadi antara lain
:a. Hiperrefleksi kandung kencingKeadaan ini hampir sama dengan
keadaan lesi pada supra pons. Mekanisme inhibisi normal hilang dan
mengakibatkan kandung kencing /bladder menjadi hiperrefleksi. hal
ini akan menyebabkan kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil
dari volume kandung kencing. Apabila mendapat tambahan volume
sedikit kandung kencing akan merespon nya dengan melakukan refleksi
yang berlebihan / hiperrefleksi, sehingga tekanan pada kandung
kencing akan meningkat tinggi.b. Disinergia Detrusor-Sfingter
(DDS)Pada kondisi fisiologis tubuh dalam proses miksi, sfingter
akan berelaksasi mendahului kontraksi detrusor. Pada keadaan DDS,
terjadi kontraksi sfingter dan otot detrusor secara bersamaan.
Kegagalan sfingter untuk berelaksasi mengakibatkan miksi terhambat
sehingga meningkatkan tekanan intravesikal. Terkadang menyebabkan
dilatasi saluran kencing bagian atas. Urine dapat keluar dari
kandung kencing /bladder apabila kontraksi detrusor lebih lama dari
kontraksi sfingter sehingga mengakibatkan aliran urine
terputus-putus.c. Kontraksi Detrusor yang lemahKontraksi
hiperrefleksi yang terjadi cenderung lemah, sehingga pengosongan
kandung kemih tidak tuntas. Keadaan ini bila terjadi bersamaan
dengan disinergia akan menimbulkan peningkatan volume residu pasca
miksi.d. Peningkatan volume residu pasca miksiApabila terdapat
volume residu pasca miksi yang tinggi akibat hiperrefleksi kandung
kencing /bladder, maka penderita akan mudah mengalami kontraksi dan
miksi meskipun hanya terdapat sedikit penambahan volume pada
kandung kencing /bladder. Penderita akanmengeluh mengenai seringnya
miksi dalam jumlah yang sedikit.3. Lesi Lower Motor Neuron
(LMN)Lesi yang terdapat pada lower motor neuron di S2-S4 baik dalam
kanalis spinalis maupun ekstradural akan menimbulkan gangguan pada
fungsi kandung kencing dan hilangnya sensibilitas kandung kencing.
Proses pendahuluan miksi secara volunteer hilang dan mekanisme
untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, ini enyebabkan kandung
kencing menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya
adalah parsial. Compliance kandung kencing juga hilang karena hal
ini merupakan suatu proses aktif yang tergantung pada utuhnya
persarafan.
2.6 WOC (Web Of Causation)Terlampir
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
1. Voiding cystourethrography : mengevaluasi fungsi leher
kandung kemih, refluks vesikoureter dan kontinensia.2. Pemeriksaan
urodinamika : terdiri dari sistometri, uroflometri, profil tekanan
uretra dan elektromielografi sfingter; mengevaluasi kerja kandung
kemih untuk penyimpanan urin, pengosongan kandung kemih dan
kecepatan aliran urin keluar darikandung kemih pada saat buang air
kecil.3. Retrograde urethroghraphy : mengungkapkan keberadaan
striktur dan divertikulum.
4. Pemeriksaan aliran urine : berkurangnya atau terganggunya
aliran urine. (Saputra, 2012)
Dokter mendiagnosa kandung kemih neurogenik pada orang dengan
gangguan saraf yang memiliki inkontinensia. Biasanya, dokter
mengukur jumlah urine yang tersisa di dalam kandung kemih setelah
seseorang kencing (postvoid volume residu) dengan memasukkan
kateter ke dalam kandung kemih atau menggunakan ultrasonografi.
Ultrasonografi dari seluruh saluran kemih juga dilakukan untuk
mendeteksi kelainan, dan beberapa tes darah yang dilakukan untuk
menilai fungsi ginjal.Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan
tergantung pada kondisi seseorang. Penelitian yang lebih rinci dari
saluran kemih ( misalnya, cystography, cystoscopy, dan
cystometrography) dapat dilakukan untuk memeriksa fungsi kandung
kemih atau untuk membantu menentukan durasi dan penyebab kandung
kemih neurogenik. (Shenot, 2012)
2.8 PenatalaksaanPengobatan yang tepat dapat membantu mencegah
disfungsi permanen dan kerusakan ginjal. Kateterisasi atau teknik
untuk memicu buang air kecil dapat membantu mencegah urin dari sisa
terlalu lama di kandung kemih . Sebagai contoh, beberapa orang
dengan kandung kemih spastik dapat memicu buang air kecil dengan
menekan perut mereka lebih rendah atau menggaruk paha mereka .
Ketika urin tetap dalam kandung kemih terlalu lama , orang tersebut
berada pada risiko infeksi saluran kemih . Memasukkan kateter ke
dalam kandung kemih secara berkala biasanya lebih aman daripada
meninggalkan kateter secara terus menerus. (Shenot, 2012)2.8.1
Managemen Medisa. Terapi manuver valsava, pemasangan sendiri
kateter urin yang indwelling atau intermitten, maneuver crede,
produk inkontinensia, alat oklusi ureter, bladder training (untuk
memperbaiki fungsi kandung kemih)b. Monitoring : tanda vital dan
asupan atau keluaran cairanc. Antispasmodic : oksibutinin
(ditropan), tolterodin(detrol)d. Alpha- adrenergic blocker :
terazosin ( Hytrin), doksazosin ( Cardura)e. Antikolinergic :
memperbaiki fungsi penampungan air kemih oleh kandung kemih. Misal,
darifenasin (enablex), hiosiamin ( Levbid)f. Derivat estrogen :
conjugated estrogen (Premarin)g. Antidepresan trisiklik : imipramin
(Tofranil), amitriptilin ( elavil)h. Diet : menghindari stimulant
(makanan yang berbumbu pedas, coklat, kafein); asupan cairan yang
terkendalii. Aktivitas : latihan otot panggul (Saputra, 2012)
2.9 KomplikasiPada pasien dengan neurogenic bladder juga
memungkinkan untuk meningkatkan resiko terkena infeksi saluran
kemih (ISK) dan gangguan saluran keluar kandung kemih (bladder
outlet obstruction). Pada pasien dengan neurogenic bladder, jika
mereka tidak diobati secara optimal maka juga bisa menyebabkan
sepsis dan gagal ginjal (Ginsberg, 2013).2.10 PrognosisPengobatan
yang tepat dapat membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan
ginjal. (Patrick J. Shenot, MD,2012)
2.11 Asuhan Keperawatan1. Pengkajian.Pada pengkajian dilakukan
anamnesa (wawancara) dan pemeriksaan fisik secara langsung guna
memperoleh data yang akurat. Data tersebut digunakan sebagai acuan
dalam membuat rencana asuhan keperawatan (Nursalam, 2008).a.
Identitas klien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, bahasa,
pekerjaan, kebangsaan, alamat, pendidikan, tanggal MRS, dan
diagnosa medis (Nursalam, 2008).b. Keluhan utamaKlien biasanya
mengeluh sulit berkemih (Unbound Medicine, 2013).c. Riwayat
kesehatan sekarangKlien mengalami perubahan berat badan. Tanyakan
juga kepada klien mengenai frekuensi berkemih, pola berkemih, warna
dan jumlah pengeluaran urin per hari (Unbound Medicine, 2013).d.
Riwayat penyakit sebelumnya1) Klien memiliki riwayat merokok,
penggunaan alkohol, asupan kafein, dan terpapar zat nefrotoksik,2)
Pembedahan. (Morton, 2008)e. Riwayat penyakit keluargaPerawat perlu
menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga
lain. Adakah anggota keluarga yang pernah mengalami penyakit
infeksi saluran kemih lainnya.f. Pengkajian psikososialKlien merasa
cemas dengan kondisi yang dialaminya serta malu akan bau urin dan
kurangnya kontrol berkemih. Pasien merasa alternatif satu-satunya
adalah kateterisasi urin. Klien juga mungkin takut akan terjadinya
disfungsi seksual (Unbound Medicine, 2013).g. Pemeriksaan
FisikBerdasarkan Smeltzer (2004), perawat dapat melakukan
pemeriksaan fisik secara per system (Review of System), yakni:1) B1
(Breath)Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya
pada sistem pernapasan tidak ditemukan kelainan.2) B2 (Blood)Pada
sistem peredaran darah biasanya juga tidak ditemukan kelainan.3) B3
(Brain)Kaji tingkat kesadaran klien dengan GCS. GCS : E= 4 V=5 M= 6
Total nilai: 154) B4 (Bladder)Pada pasien dengan masalah disfungsi
perkemihan biasanya mengalami perubahan dalam proses berkemih,
meliputi frekuensi berkemih, disuria, enuresis, poliuria, oliguria,
dan hematuria.5) B5 (Bowel)Perubahan pada bising usus, distensi
abdomen, mual, dan muntah. Perubahan pada pola defekasi misal
terdapat darah pada feses, diare, nyeri pada defekasi.6) B6
(Bone)Perawat mengkaji kondisi kulit untuk mengetahui status
hidrasi klien, meliputi turgor kulit dan mukosa mulut. Kaji adanya
nyeri, kelemahan/ keletihan, serta keterbatasan partisipasi pada
latihan.
2. Diagnosa Keperawatana. Nyeri berhubungan dengan distensi
kandung kemihb. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan
dengan kandung kemih kronis yang terlalu penuh ditandai dengan
hilangnya sensasi kandung kemihc. Inkontinensia urine aliran
berlebih berhubungan dengan sfingter detrusor (DSD)d. Inkontinensia
urine refleks berhubungan dengan gangguan impuls eferen
penghambatan sekunder ke otak atau disfungsi sumsum tulang belakang
e. Resiko kesepian berhubungan rasa malu akan inkontinensia kepada
orang lain dan takut bau dari urine
3. Intervensia. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung
kemihTujuan: pasien idak merasa nyeriKriteria Hasil: 1. RR 12x/
menit1. Skala nyeri : 01. Klien nampak tenang1. Tidak ada distensi
kandung kemih
Intervensi Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat nyeriMemberikan informasi tentang efektivitas
intervensi.
2. Plester selang drainase di paha dan perut Untuk mencegah
penarikan kandung kemih, dan erosi skrotal penis.
3. Pertahankan tirah baringMeningkatkan pola berkemih
normal.
4. Berikan analgesik sesuai dengan program terapi .
Analgesik memblokir jalan nyeri
b. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan
kandung kemih kronis yang terlalu penuh ditandai dengan hilangnya
sensasi kandung kemihTujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan
dalam waktu 2x 24 jam klien akan mencapai keadaan kekeringan yang
secara pribadi memuaskanKriteria Hasil: a. mengosongkan kandung
kemih menggunakan Crede atau valsava manuver dengan urin sisa
kurang dari 50 ml, jika diindikasikan b. kekosongan sendiri
IntervensiRasional
1. Mengajarkan metode klien untuk mengosongkan kandung kemih:a.
Crede 's manuver: 1. menempatkan tangan (datar atau terlebih) tepat
di bawah daerah pusar, satu tangan di atas yang lain 2. tekan keras
ke bawah dan menuju lengkungan panggul 3. tunggu beberapa menit,
kemudian ulangi lagi untuk memastikan pengosongan lengkap
a. Di banyak klien, manuver Crede dapat membantu untuk
mengosongkan kandung kemih tersebut. manuver ini tidak pantas,
namun, jika sfingter kemih kronis dikontrak. dalam hal ini, menekan
kandung kemih dapat memaksa urine sampai ureter serta melalui
uretra. refluks urin ke dalam pelvis ginjal dapat menyebabkan
infeksi ginja
b. valsava manuver (bantalan): 1. belajar maju pada thights 2.
kontrak otot perut, jika mungkin, dan ketegangan atau mengejan
sambil menahan nafas terus sampai aliran urin berhenti, tunggu satu
menit kemudian 3. ulangi terus sampai tidak ada lagi urine
dikeluarkanvalsava manuver mengkontraksi otot perut yang manual
kompres kandung kemih
c. membersihkan intermiten diri katerisasi (CISC), digunakan
sendiri atau dalam kombinasi dengan metode di atas. (Lihat risiko
tinggi keperawatan diagnosis untuk ketidak efektifan
penatalaksanaan program terapeutik pada rencana perawatan ini untuk
poin pengajaran spesifik)CISC mencegah overdistentions, membantu
menjaga otot detrusor, dan memastikan kandung kemih lengkap
mengosongkan CISC, dapat digunakan pada awalnya untuk menentukan
sisa urin berikut dalam manuver Crede atau penyadapan. sebagai sisa
decreasess urine, kateter dapat meruncing. CISC mungkin rekondisi
refleks berkemih di beberapa klien.
d. Cystometogram baseline (SMG) dapat dibenarkanmembahas tes
diagnostik CMG untuk membantu merencanakan dan mengevaluasi program
kandung kemih
c. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan
sfingter detrusor (DSD)Tujuan: mengacu pada tujuan untuk
inkontinensia urine aliran berlebih yang berkaitan dengan urine
aliran kandung kemih ronis kdengan hilangnya sensasi kandung kemih
distensi
IntervensiRasional
1. Berkonsultasi dengan physican untuk obat-obatan untuk
meringankan detrusor sfingter (dsd)DSD adalah assosiated dengan
jumlah besar sisa urin
2. mengelola vitamin c dan cranberry tablet, seperti yang
diperintahkanurin asam menghalangi pertumbuhan bakteri yang paling
terlibat dalam cystis
3. memonitor residual urine (sebaiknya tidak lebih dari 50
ml)Monitor hati mendeteksi masalah awal, yang memungkinkan
intervensi yang cepat untuk mencegah statis urin
4. menguji sampel urine terkontaminasi bakteribakteri menghitung
lebih dari 10 urine menunjukkan infeksi, ketika piuria hadir.
beberapa dokter mungkin tidak ingin memperlakukan sampai klien
memiliki gejala.
5. mempertahankan teknik steril untuk kateterisasi intermitent
sementara klien hospitalizaed (lenke et al, 2005), teknik bersih
digunakan di rumahpenyebab paling umum dari infeksi bakteri
diperkenalkan oleh cargiver yang tidak mencuci tangan secara
memadai antara klien
6. menghindari menggunakan kateter berdiamnya kecuali
diindikasikan oleh situasi individu klien (misalnya inabiliity
untuk melakukan CISC karena imobilitas)kateter yang berhubungan
dengan infeksi saluran kemih berhubungan dengan kateter meluncur
masuk dan keluar dari uretra, yang memperkenalkan patogen
d. Inkontinensia urine refleks berhubungan dengan gangguan
impuls eferen penghambatan sekunder ke otak atau disfungsi sumsum
tulang belakang Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam
waktu 2x 24 jam klien tidak atau hanya sedikit episode
inkontinensia
IntervensiRasional
1. mengurangi halangan untuk membatalkan kebiasaan dengan
menyediakan layanan, jika dibutuhkan:a. tali velcro pada pakaian b.
pegangan tangan atau alat bantu mobilitas ke kamar mandi c. bedside
commode d. Perkemihanlangkah-langkah ini memastikan stabilitas
klien untuk diri toilet sebelum inkontinensia terjadi. sering,
sedikit waktu ada di antara timbulnya sensasi untuk membatalkan dan
kontraksi baldder
2. menilai pola berkemih dan mengembangkan jadwal sering kali
berkemihsering berkemih dapat mengurangi urgensi dari kandung kemih
overdistensi
3. jika terjadi inkontinensia, mengurangi waktu antara rencana
berkemihkapasitas kandung kemih dapat insuficient untuk
mengakomodasi volume urine, necessiating lebih sering berkemih
4. jika diindikasikan, membatasi asupan cairan selama
malampembatasan cairan malam dapat membantu mencegah enuresis
5. jika diperlukan, mengajar memicu berkemih, kompresi manual
eksternal, atau tegang perut. lihat keperawatan diagnosisi refleks
kandung kemihklien dengan unsur reflek yang bisa diajarkan
stimulasi parasympatic dari otot detrusor, yang akan dimulai dan
mempertahankan kontraksi kandung kemih untuk membantu mengosongkan
kandung kemih
6. mengajarkan dasar panggul excerces kegel latihan) untuk
membantu memulihkan kontrol kandung kemih jika klien adalah
kandidat:a. membantu klien untuk mengidentifikasi otot yang mulai
dan berhenti buang air kecil b. menginstruksikan klien untuk
mencoba exerxies selama 3 sampai 4 bulan untuk streng maka jaringan
periuretheralberguna untuk beberapa klien dengan inkontinensia
stres, latihan kegel memperkuat otot-otot dasar panggul, yang pada
gilirannya dapat meningkatkan kompetensi sfingter kemih
7. memperkuat kebutuhan untuk hidrasi optimal (setidaknya
2000ml/day, kecuali kontraindikasi)hidrasi optimal diperlukan untuk
mencegah infeksi saluran kemih dan batu ginjal
8. mengajarkan biofeedback jika klien adalah calon (klien harus
waspada dan memiliki memori yang baik) klien mungkin dapat belajar
mengendalikan sphincteer dan mencegah kandung kemih tanpa hambatan
mengisi selama sistometri atau mendengar pergerakan otot sfingter
dalam aksiefektif untuk beberapa klien dengan urge incontinence,
biofeedback menggunakan modifikasi perilaku untuk membiasakan klien
untuk mengenali dan mengendalikan kandung kemih yang tidak
diinginkan kejang.
9. jika ukuran lain gagal, rencana untuk mengelola
oncontinence:a. laki-laki incontinencent dapat mengelola cukup
casily dengan menggunakan sistem eksternal kondom drainase dan tas
kaki atau kemaluan urinoir tekanan b. perempuan incontinenet
memiliki masalah yang lebih sulit. bantalan inkontinensia yang
sering digunakan, perangkat eksternal koleksi baru sedang
dipasarkan, namun belum disempurnakanjika teknik kandung kemih
emprtyign tidak berhasil, metode lain untuk mengelola inkontinensia
diperlukan
e. Resiko kesepian berhubungan rasa malu akan inkontinensia
kepada orang lain dan takut bau dari urineTujuan: Setelah diberikan
asuhan keperawatan dalam waktu 2x 24 jam klien akan menurun
perasaan kesepian
IntervensiRasional
1. mengakui frustrasi klien dengan inkontinensiakepada klien,
incontinencence mungkin tampak seperti reversi ke negara-kanakan,
inisial yang dia tidak memiliki kontrol atas fungsi tubuh dan
merasa dikucilkan oleh orang lain. Akui ledging yang dificulty
situasi dapat membantu mengurangi rasa frustrasi.
2. menentukan kelayakan klien untuk pelatihan kandung kemih,
CISC, atau metode lain untuk mengelola inkontinensiaLangkah-langkah
ini dapat meningkatkan kontrol dan mengurangi rasa takut
kecelakaan. CISC memiliki insiden rendah ISK dibandingkan dengan
foley kateter
3. mengajarkan cara klien untuk mengontrol kelembaban dan bau.
Banyak produk membuat tulisan dikelola dengan menyediakan
perlindungan kebocoran handal dan masking bau.membantu klien untuk
mengelola incontinance mendorong sosialisasi
4. mendorong klien untuk berani keluar awalnya sosial untuk
jangka pendek, maka untuk meningkatkan panjang kontak sosial
sebagai keberhasilan pada inkontinensia mangement
meningkatperjalanan pendek membantu klien untuk secara bertahap
mendapatkan kepercayaan diri dan mengurangi rasa takut
BAB IIITINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN KASUSKASUS
Ny. W usia 50 tahun datang ke Rumah Sakit Airlangga pada tanggal
3 Maret 2014 pukul 08.00 WIB. Ny A mengeluhkan sejak peristiwa
setelah jatuh dari pohon jambu merasa sakit di daerah suprapubic
jika ditekan dan ketika kencing, sebelum dipasang kateter Ny A
mengeluhkan sering berkemih dengan jumlah sedikit-sedikit.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dari simpisis pubis ke
umbilicus dihasilkan bladder terpalpasi dan suara perkusi dullness.
Hasil dari pemeriksaan radiologi ny. A mengalami spinal cord injury
pada sacrum 2 dan hasil USG menunjukan adanya distensi bladder.
Pemeriksaan TTV pasien menunjukkan suhu 38 C, RR= 22x/menit, TD =
110/70, Nadi : 90x/menit. Dari hasil laboratorium urin belum
menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi, pH urin 6; RBCs (Red Blood
Cells) 3; WBCs (White Blood Cells) 3.
3.1 Pengkajian1. Identitas:
21 | Page
a. Nama: Ny. Ab. Jenis Kelamin: Perempuanc. Umur: 50 tahund.
Agama: Islam e. Pendidikan: SMPf. Pekerjaan: Petanig. Alamat:
Gresikh. Tanggal Masuk: 3 Maret 2014i. Jam: 14.00 WIB
1. Riwayat Kesehatana. Alasan Masuk RS: Semenjak terjatuh ketika
memanjat pohon jambu Ny. A merasa ada gangguan pada saat berkemih.
Kandung kemih penuh, sering berkemih tapi jumlah urinnya sedikit,
terasa nyeri saat di tekan di daerah kandung kemihnya.b. Keluhan
Utama: Tidak bisa tuntas dalam berkemih dan merasa sakit di perut
bagian bawah ketika kencing dan ditekan. b. Riwayat penyakit
sekarang : Neurogenic Bladder karena injuri pada sakrum 2.
Hesitancy. c. Riwayat penyakit dahulu : Tidak adad. Riwayat
penyakit keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal
seperti pasien3.Pemeriksaan fisik 1. Status kesehatan umumSuhu: 38
0CNadi: 90x/menitRR: 22x/menit1. PerkusiSuara dullnes di daerah
suprapubic ke umbilicus1. Palpasi Kandung kemih terpalpasiB1
(Breathing)RR : 22x/menitB2 (Blood)TD: 110/70B3 (Brain)GCS : E= 4
V=5 M= 6 Injuri spinal cord di S2B4 (Bladder)Kandung kemih penuh,
sering berkemih, distensi bladder. Jumlah urin = 400 ml/ hari
B5 (Bowel)
Tidak ada masalah
B6(Bone)Tidak ada masalah4. Pemeriksaan PenunjangUSG : distensi
bladder; MRI: injuri spinal cord
5. Pemeriksaan LaboratoriumpH urin 6; RBCs (Red Blood Cells) 3;
WBCs (White Blood Cells) 3. Nilai normal (Morton & Fontaine,
2013) : pH = 4,5-7,5RBCs = 0-3WBCs = 0-4 3.2 Analisa Data
DataEtiologiMasalah Keperawatan
Data Subjektif:Pasien mengatakan badanya panasData Objektif:Suhu
: 38 0C, RR= 22/ menit, terpasang kateter, pH urin 6; RBCs (Red
Blood Cells) 3; WBCs (White Blood Cells) 3. Jumlah urin = 400 ml/
hari
Lesi lower motor neuron(sakrum 2)
Spastic Neurogenic Bladder
Hilangnya kesadaran & kontrol saraf
Gangguan eliminasi urin
Diinsersi kateter
Resiko infeksi
Resiko infeksi
Data Subjektif:Pasien mengatakan nyeri ketika kandung kemih
ditekanData Objektif:distensi abdomen, suara dullness di
suprapubicP : nyeri kandung kemihQ : -R : di akndung kemihS : 7T :
ketika ditekan
Spastic Neurogenic Bladder
Gangguan eliminasi urin
Volume urin penuh
Distensi kandung kemih
NyeriNyeri
3.3 Diagnosa dan Intervensi1. Resiko infeksi berhubungan dengan
insersi kateterTujuan: tidak terjadi infeksiKriteria hasil:a. Suhu
36 0Cb. RR : 12-20x/menitc. urin bersih d. leukosit dan bakteri
dalam kultur urin negatif
Intervensi (Elsevier, 2012)1. Kaji dan laporkan tanda dan gejala
infeksi saluran kemih ( misalnya urin keruh, frekuensi, rasa
terbakar saat buang air kecil, menggigil , suhu tinggi , urinalisis
ada bakteri dan leukosit urine)1. Terapkan langkah-langkah untuk
mencegah infeksi saluran kemih :1. Mempertahankan asupan cairan
minimal 2500 ml/ hari kecuali kontraindikasi untuk mempromosikan
pembentukan urin dan berkemih berikutnya, mengirigasi patogen dari
uretra dan kandung kemih 1. Intruksikan pada klien untuk menyeka
dari depan ke belakang setelah buang air kecil atau buang air
besar1. Bantu klien dengan perawatan perineum secara rutin dan
setelah setiap buang air besar mempertahankan teknik steril selama
kateterisasi urin dan irigasi1. Pertahankan kepatenan kateter1.
Lakukan perawatan kateter sesering diperlukan untuk mencegah
akumulasi lendir di sekitar meatus1. Pertahankan sistem drainase
tertutup untuk mengurangi risiko pengenalan patogen ke dalam
saluran kemih1. Simpan koleksi urin wadah di bawah permukaan
kandung kemih setiap saat untuk mencegah refluks atau stasis urin1.
Jika tanda-tanda dan gejala infeksi saluran kemih terjadi,
kolaborasi manajemen dengan antimikroba
1. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemihTujuan: pasien
idak merasa nyeriKriteria Hasil: a. RR 12x/ menitb. Skala nyeri :
0c. Klien nampak tenangd. idak ada distensi kandung kemih
Intervensi a. Kaji tingkat nyeri Rasional: memberikan informasi
tentang efektivitas intervensi. b. Plester selang drainase di paha
dan perut Rasional: untuk mencegah penarikan kandung kemih, dan
erosi skrotal penis.c. Pertahankan tirah baringRasional: mungkin
diperlukan pada awal retensi akut namun ambulasi dini dapat
meningkatkan pola berkemih normal.d. Berikan analgesik sesuai
dengan program terapi .Rasional : Analgesik memblokir jalan
nyeri
BAB IVPENUTUP
4.1 KesimpulanNeurogenic Bladder adalah kondisi terputusnya
inervasi kandung kemih yang normal, neurologic bladder
diklasifikasikan antara lain lesi diatas batang otak, lesi sempurna
pada suprasacral spinal cord,trauma/ penyakit di sacral spinal cor,
gangguan pd refleks perifer (injury distal ke spinal cord).
Neurogenic Bladder bisa kurang aktif, dimana kandung kemih tidak
mampu berkontraksi dan tidak mampu menjalankan pengosongan kandung
kemih dengan baik; atau menjadi terlalu aktif dan melakukan
pengosongan berdasarkan refleks yang tak terkendali. Pengobatan
yang tepat dapat membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan
ginjal.
4.2 SaranMelalui makalah ini diharapkan mahasiswa keperawatan
dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat dan baik karena
telah mengetahui penyebabnya serta cara pencegahan maupun
pengobatannya terhadap klien dengan gangguan Neurogenic
Bladder.
DAFTAR PUSTAKA
Black, J. M. (2009). Medical-Surgical Nursing Ed.8th.
Philadelphia: Saunders Elsevier.Carpenito, Lynda Juall. (2009).
Nursing Care Plan & Documentation edisi 5. China: Library of
CatlogingDorsher, Peter T.; McIntosh, Peter M., (2011). Neurogenic
Bladder. Review articer, Advance in Urology, volume 2012, ID
816274, pg 16. Hindawi Publishing CorporationElsevier, (2012).
Nursing Diagnosis : Urinary Tracty Infection. Saunders : Elsevier.
http://www1.us.elsevierhealth.com/SIMON/Ulrich/Constructor/diagnoses.cfm?did=41|42|
[5 Maret 2014]Ginsberg, D. (2013). The Epidemiology and
Pathophysiology of Neurogenic Bladder. The American Journal of
Managed Care, Volume 19, pp. 191-194.Japaradi, D. I. (2002).
Manifestasi neurologis gangguan miksi. Medan: USU digital Library ,
4-6.Lemone, Priscilla, Burke, Karen, (2008). Medical Surgical
Nursing : Critical Thinking in Client Care, 4th edition. Pearson
Education, Inc.,Morton, Patricia Gonce, fontaine, Dorrie, C.,
(2013). Essential of Critical Care Nursing : a Holistic Approach.
Philadelphia: Lippincott Williams & WilkinsNursalam. (2008).
Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktik . Jakarta:
Salemba Medika.Saputra, Dr. Lyndon. (2012). Buku Saku Kpererawatan
Pasien dengan Gangguan Fungsi Renal dan Urologi Disertai Contoh
Kasus Klinik. Tanggerang: Bina rupa Aksara Publisher.Shenot.
(2012). Merck Manual Home Health Handbook Neurogenic Bladder.
http://www.merckmanuals.com/home/kidney_and_urinary_tract_disorders/disorders_of_urination/neurogenic_bladder.html
diakses pada tanggal 05 Maret 2014 pukul 18.15Smeltzer, Suzanne C.
& Bare, Brenda G. (2004). Brunner & Suddarths Textbook of
Medical Surgical Nursing 10th edition. Philadelphia : Lippincott
Williams & WilkinsTaylor, Cynthia M., (2003). Diagnosis
Keperawatan : dengan Rencana Asuhan, Edisi 10. Jakarta : EGC
Unbound Medicine. (2013). Neurogenic Bladder.
http://nursing.unboundmedicine.com/nursingcentral/ub/view/Diseases-and-Disorders/73671/5/neurogenic_bladder