Top Banner
Pendahuluan Pada era globalisasi ini, penyakit infeksi sudah menyebar luas diberbagai penjuru dunia,yang disebarkan oleh virus maupun bakteri. Penyakit ini menjadi semakin kompleks dan tidak mengenal batas dari suatu negara. Penyakit infeksi merupakan ancaman yang tidak akan pernah surut terhadap masyarakat tanpa peduli usia, gender, gaya hidup, latar belakang etnik dan status sosio- ekonominya. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella Typhii. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakterimia tanpaketerlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch. 1 Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enteric. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid. Terdapat 3 bioserotipe Salmonella enteritidis yaitu bioserotipe paratyphi A, parathypi B ( S.Schotsmuelleri) dan parathyphi C (S. Hirschfeldii). .Pembahasan Pembahasan 1
40

Isi Pembahasan Blok 12

Oct 28, 2015

Download

Documents

Nanda Cendikia
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Isi Pembahasan Blok 12

Pendahuluan

Pada era globalisasi ini, penyakit infeksi sudah menyebar luas diberbagai penjuru

dunia,yang disebarkan oleh virus maupun bakteri. Penyakit ini menjadi semakin kompleks dan

tidak mengenal batas dari suatu negara. Penyakit infeksi merupakan ancaman yang tidak akan

pernah surut terhadap masyarakat tanpa peduli usia, gender, gaya hidup, latar belakang etnik dan

status sosio-ekonominya.

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh

Salmonella Typhii. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan

bakterimia tanpaketerlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus

multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s

patch. 1

Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam

enteric. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid

namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis

sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid. Terdapat 3

bioserotipe Salmonella enteritidis yaitu bioserotipe paratyphi A, parathypi B ( S.Schotsmuelleri)

dan parathyphi C (S. Hirschfeldii).

.Pembahasan

Pembahasan

Skenario D

Seorang ibu usia 30 tahun dirawat di RS dengan riwayat setiap hari panas

naik turun terus menerus sejak 7 hari yang lalu (terutama sore hari). Panas

disertai mengigil, kadang sampai mengigau, pasien belum BAB sejak 5 hari

yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 105/75 mmHg,

suhu 39,5 C, denyut nadi 88 x/menit, murmur (-), ronkhi basah halus pada

basal paru. Hepar teraba 1-2 jari bawah arcus costae, terdapat nyeri tekan.

Lien teraba (S1).

1

Page 2: Isi Pembahasan Blok 12

EPIDEMIOLOGI

Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan.

Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai

serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan

lingkungan. Bedasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT

Depkes RI) tahun 1995 tifoid tidak lagi termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1

Anamnesa

Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara

melakukan serangkaian wawancara Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien

(auto-anamanesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis).2

A. Identitas: menanyakan nama, umur, jenis kelamin, pemberi informasi (misalnya

pasien, keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi.2

B. Keluhan utama: pernyataan dalam bahasa pasien tentang permasalahan yang sedang

dihadapinya.2

C. Riwayat penyakit sekarang (RPS): jelaskan penyakitnya berdasarkan kualitas,

kuantitas, latar belakang, waktu termasuk kapan penyakitnya dirasakan, faktor-faktor

apa yang membuat penyakitnya membaik, memburuk, tetap, apakah keluhan konstan,

intermitten. Informasi harus dalam susunan yang kronologis, termasuk test diagnostik

yang dilakukan sebelum kunjungan pasien. Riwayat penyakit dan pemeriksaan

apakah ada demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,

obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis.2

D. Riwayat Penyakit Dahulu : Pernahkah pasien mengalami demam tifoid sebelumnya.2

E. Riwayat Keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup, mati) dan masalah

kesehatan pada anggota keluarga.2

2

Page 3: Isi Pembahasan Blok 12

F. Riwayat psychosocial (sosial): stressor (lingkungan kerja atau sekolah, tempat

tinggal), faktor resiko gaya hidup (makan makanan sembarangan).2

Anamnesis terarah dalam kasus :

Keluhan Utama :

G. panas naik turun terus menerus sejak 7 hari yang lalu (terutama sore hari).

Keluhan Tambahan:

H. mengigil, kadang sampai mengigau, pasien belum BAB sejak 5 hari yang lalu,

Hepatomegali,Splenomegali, ronkhi basah pada paru basal.

a. Pemeriksaan Fisik 2

- Tanda vital: Suhu (oral, rektal, axila atau telinga), nadi, respirasi, tekanan darah (mencakup

lengan kanan, lengan kiri, berbaring, duduk, berdiri), tingkat kesadaran.

- Pemeriksaan abdomen: nyeri tekan pada epigastrium.2

Tingkat kesadaran pasien ada 5:

1. Compos Mentis : Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap

lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.

2. Apatis : kurang memberikan respon terhadap sekelilingnya atau bersifat acuh tak

acuh terhadap sekelilingnya.

3. Delirium: penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun

yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-

ronta.

4. Somnolen : keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang,

tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.

5. Sopor : keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan

rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun

sempurna dan tidak dapat membrikan jawaban verbal yang baik.

3

Page 4: Isi Pembahasan Blok 12

6. Semi koma: penurunan ranagsangan yang tidak memberikan respon terhadap

rangsangan verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks pupil dan

kornea masih baik.

7. Coma : tidak sadar, dan tidak ada reaksi terhadap rangsangan apapun juga.

Demam, kesadaran menurun, mulut bau, bibir kering dan pecah-pecah (rhagaden),

lidah kotor (coated tongue) dengan ujung dan tepi kemerahan dan tremor, perut

kembung, pembesaran hati dan limpa yang nyeri pada perabaan.2

Tanda komplikasi di dalam saluran cerna :

Perdarahan usus : tinja berdarah (melena).

Perforasi usus : pekak hati hilang dengan atau tanpa tanda-tanda peritonitis,

bising usus hilang.

Peritonitis : nyeri perut hebat, dinding perut tegang dan nyeri tekan, bising usus

melemah/hilang.

Tanda komplikasi di luar saluran cerna :

Meningitis, kolesistitis, hepatitis, ensefalopati, bronkhopneumonia, dehidrasi

dan asidosis.

b. Diagnosis Kerja3

Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji darah yang mengandung bakteri

Salmonella dalam darah penderita, dengan membiakkan darah pada hari 14 yang pertama dari

penyakit.3

Selain itu tes widal (O dah H aglutinin) mulai positif pada hari kesepuluh dan titer akan

semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari

menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas 1:200) menunjukkkan diagnosis

positif dari infeksi aktif demam tifoid.3

Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu

ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella.3

Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni

polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah

demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka berarti

terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari lekositosis

4

Page 5: Isi Pembahasan Blok 12

polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita.

Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu

khas seperti di atas. Bisa ditemukan gejala- gejala yang tidak khas. Ada orang yang setelah

terpapar dengan kuman S.typhi, hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa

diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan

kuman ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan

seseorang dan daya tahannya, termasuk apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah kuman

hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung

tubuh manusia. 3

Tanda - tanda khas dalam menegakan diagnosis :

Biakan darah positif memastikan demam tifoid, namun biakan darah negative tidak

menyingkirkan diagnose demam tifoid.

Biakan tinja positif, menyokong diagnose klinis demam tifoid.

Peningkatan titer uji Widal 4xlipat selama 2-3minggu mematikan diagnosis demam tifoid.

Reaksi Widal tunggal dengan titer antibody O 1:320, atau titer antibody H 1:640

menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas.

Pada beberapa pasien uji widal tetap negative pada pemeriksaan ulang, walaupun biakan

darah positif.2

Pemeriksaan Penunjang4

Pemeriksaan rutin

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia, dapat

pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun

tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan

trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia

maupun limfopenia. Laju endap darah pada tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT

seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan

SGOT dan SGPT tidak memerlukan pennanganan khusus.4

UJi widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antobodi terhadap kuman s.thypi. pada uji widal terjadi

suatu reaksi aglutinasi antar antigen kuman s.thypi dengan antibody yang disebut

5

Page 6: Isi Pembahasan Blok 12

agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah

dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya

aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :

Agglutinin O (dari tubuh kuman), agglutinin H (flagella kuman), dan c agglutinin Vi ( simpai

kuman). Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk

diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi.

Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian

meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi

selam beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul O, kemudian diikuti aglutinin H.

pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan, sedang

agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk

menentukan kesembuhan penyakit.

Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji widal yaitu; 1) pengobatan dini dengan

antibiotic, 2) gangguan pembentukan antibody, dan pemberian kortikosteroid, 3) waktu

pengambilan darah, 4) daerah endemic atau non endemic, 5) riwayat vaksinasi. 6) reaksi

anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibaat

infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi,7) factor teknik pemeriksaan laboratorium,

akibat aglutinasi silang, dan strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna

diagnostic.4

Uji tubex

Merupakan uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat(beberapa meni) dan mudah untuk

di kerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-Styphi O9 pada serum pasien, dengan cara

menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonkugasi pada partikel latex yang

berwarna dengan lipopolisakarida s.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic latex.

Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi salmonella serogroup D walau

tidak spesifik menunjukkan pada S,typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan member hasil

negative.4

Uji Typidot

6

Page 7: Isi Pembahasan Blok 12

Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein

membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah

infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen

s.typhi seberat 50 KD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.4

Uji IgM Dipstick

Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap s.typhi pada specimen

serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung anti gen

lipopolisakarida (LPS) s.typhoid dan anti IgM(sebagai control), reagen deteksi yang

mengandung anti IgM yang dilekati dengan lateks berwarna, vairan membasahi strip

sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien , tabung uji. Komponen

perlengkapan ini stabil untk disimpan selama dua tahun pada suhu 4-250 C di tempat

kering tanpa paparan sinar matahari.4

Kultur Darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negative tidak

menyingkirkan demam tfoid, karena mungkin sisebabkan beberapa hal sebagai berikut: 1)

telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah

mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil

mungkin negative, 2) volume darah yang kuran(diperlukan kurang lebih 5cc darah). Bila

darah yang dibikkan sedikit maka hasil negative. Darah yang diambil sebaiknya secara

bedside langsung dimaukkna ke dalam media cair empedu untuk pertumbuhan kuman, 3)

riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibody dalam darah pasien.

Antibody (agglutinin) dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negative ,4)

saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin

meningkat.4

Diagnosis Banding

1. Demam Berdarah Dengue (DBD/DHF)

Etiologi

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu

penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae,dengan genusnya adalah

7

Page 8: Isi Pembahasan Blok 12

flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan

DEN-4. Sebagai perantara dalam kasus ini adalah nyamuk jenis Aedes Aegypti. 5

Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan nyamuk Aedes

aegypti. Selain itu dapat juga ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan

beberapa spesies lain yang merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes aegypti

hidup di daerah tropis dan subtropis dengan suhu 28-32OC dan kelembaban yang tinggi serta

tidak dapat hidup di ketinggian 1000 m. Vektor utama untuk arbovirus bersifat multiple bitter,

antropofilik, dapat hidup di alam bebas, terbang siang hari (jam 08.00-10.00 dan 14.00-16.00),

jarak terbang 100 m – 1 km, dan ditularkan oleh nyamuk betina yang terinfeksi. 5

Gbr 1. Aedes aegypti3

Virus Dengue terdiri dari 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Diantara ke

empatnya serotype yang paling banyak di Indonesia adalah DEN-3. 5

Gbr 2.Virus Demam Berdarah Dengue5

Gejala klinik

8

Page 9: Isi Pembahasan Blok 12

Infeksi virus dengue mengakibatkan manifestasi klinis yang bervariasi, mulai dari derajat

ringan sampai berat. Infeksi dengue yang paling ringan dapat menimbulkan gejala ( silent

dengue infection ), atau demam tanpa penyebab yang jelas ( undifferentiated febrile illness),

sedangkan yang berat adalah adalah demam berdarah dengue ( DBD ). Infeksi dengue yang

ringan akan sembuh sendiri tanpa pengobatan ( self limiting ) sedangkan DBD memerlukan

pemantauan dan pengobatan yang baik karena dapat disertai pendarahan dan syok. Gejala

biasanya ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan

sirkulasi. 5

Gejala pada penyakit demam berdarah diawali dengan :

a. Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38 0C- 40 0C)

b. Manifestasi pendarahan, dengan bentuk : uji tourniquet positif puspura pendarahan,

konjungtiva, epitaksis, melena, dsb.

c. Hepatomegali (pembesaran hati).

d. Syok, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik sampai 80

mmHg atau lebih rendah.

e. Trombositopeni, pada hari ke 3 - 7 ditemukan penurunan trombosit sampai 100.000 /mm.

f. Hemokonsentrasi, meningkatnya nilai Hematokrit.

g. Gejala-gejala klinik lainnya yang dapat menyertai: anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit

perut, diare kejang dan sakit kepala.

h. Pendarahan pada hidung dan gusi.

i. Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya

pembuluh darah.

2. Malaria

Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari genus

Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan gambaran penyakit

9

Page 10: Isi Pembahasan Blok 12

berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala

oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal. 5

Etiologi

Gbr 3. Plasmodium sp6

Plasmodium adalah parasit yang termasuk vilum Protozoa, kelas sporozoa. Terdapat

empat spesies Plasmodium pada manusia yaitu : Plasmodium vivax menimbulkan malaria vivax

(malaria tertiana ringan). Plasmodium falcifarum menimbulkan malaria falsifarum (malaria

tertiana berat), malaria pernisiosa dan Blackwater faver. Plasmodium malariae menimbulkan

malaria kuartana, dan Plasmodium ovale menimbulkan malaria ovale. 5

Keempat spesies plasmodium tersebut dapat dibedakan morfologinya dengan

membandingkan bentuk skizon, bentuk trofozoit, bentuk gametosit yang terdapat di dalam

darah perifer maupun bentuk pre-eritrositik dari skizon yang terdapat di dalam sel parenkim

hati. 5

Gejala Klinik

Gejala yang klasik yaitu terjadinya “trias malaria” secara berurutan : periode dingin (15-

60 menit) mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung dan

pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan

meningkatnya temperature, diikuti dengan periode panas : muka penderita merah, nadi cepat ,

dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat, kemudian

periode berkeringat : penderita berkeringat banyak dan temperatur turun, dan penderita

merasa sehat. Trias malaria lebih sering terjadi pada infeksi plasmodium vivax, pada

plasmodium falciparum menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. 5

10

Page 11: Isi Pembahasan Blok 12

Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa

mekanisme terjadinya malaria ialah pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoesis

sementara, hemolisis oleh karena proses complement mediated immune complex,

eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin. Splenomegali

sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi

akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan organ retikuloendothelial,

dimana plasmodium dihancurkan oleh sel-sel makrofag dan limfosit. Penambahan sel-sel radang

ini akan menyebabkan limpa membesar. 5

Leptospirosis

Etiologi

Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira. Family treponemataceae, suatu

mikroorganisme spirochaeta. Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia

ialah L icetrohaemorragica dengan reservoir tikus, L. Canicola dengan reservooar anjing dan

L.pomona dengan reservoir sapi dan babi.5

Gejala klinis

Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai

2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.5

Fase Leptospiraemia

Faseini ditandai dengan adanya leptospira didalam darah dan cairan serebrospinal,

berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada

otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat

diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai menggil juga didapati mual dengan

atau tanpa muntah disertai mengigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai

mencret, bahkan pada sekitar 25 % kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan

keadaan sakit berat, bradikardi relative, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai

11

Page 12: Isi Pembahasan Blok 12

adanya konjungktiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk

macular, makulupapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali,

serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien akan membaik,

suhu akan kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat

demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi

demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua (fase imun).5

Fase Imun

Fase ini ditandai dengan peningktan titer antibody, dapat timbul deam yang mencapai

40o C disertai mengigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher,

perut dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala

kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik. Perdarahan paling jlas terlihat pada fase ikterik,

purpura, ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling

sering. Connjungtiva infection dan conjungtiva suffusion dengan ikterus merupakan tanda

patognomosis untuk leptospirosis.5

Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50 % gejala dan

tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50 -90% pasien. Tanda - tanda

meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah 1-2

hari. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai dlam urin.5

Tifoid

Epidemiologi

Demam tifoid yang tersebar di seluruh dunia tidak tergantung pada iklim. Kebersihan perorangan yang

buruk merupakan sumber dari penyakit ini meskipun lingkungan hidup umumnya adalah baik. Perbaikan

sanitasi dan penyediaan sarana air yang baik dapat mengurangi penyebaran penyakit ini. 6

12

Page 13: Isi Pembahasan Blok 12

Gbr 4. Penularan melalui makanan, air terkontaminasi dan sanitasi 6

Seseorang dapat tertular tifus apabila terjadi kontak langsung dengan penderita, lewat kotoran, urine,

atau muntahannya yang mengandung bakteri salmonella typhi sebagai organisme yang menjadi sumber

infeksinya. Demam tifoid dan paratifoid endemik di Indonsia. Penyakit ini jarang ditemukan secara

epidemik, lebih bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari satu

kasus pada orang-orang serumah. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dan

insidens tertinggi pada daerah endemik terjadi pada anak-anak. Terdapat dua sumber penularan

S.Typhi, yaiut pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering, karier. Di daerah endemik, transmisi

terjadi melalui air yang tercemar S.typhi, sedangkan makanan yang tercemar oleh karier merupaakan

sumber penularan tersering di daerah nonendemik.6

Etiologi

Salmonella typhi sama dengan salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,

mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai

antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sek dan dinamakan

endotoksin. Salmonella typhi juga memperoleh plasmid factor R yang berkaitan dengan

resistensi terhadap multiple antibiotic.6

Patofisiologi

Masuknya kuman salmonella thypi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makan yang

terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos ,asuk dalam usus

dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka

kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina

propria kuman berkembang biak dan difagosit oelh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat

13

Page 14: Isi Pembahasan Blok 12

hidup dan berkembang biak dalam makrofag. Dan selanjutnya di bawa ke plak peyeri ileum distal dan

kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang

terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama)

yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikulo endothelial tubuh terutama hati dan limpa.

Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembakbiak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang

kedua kalinya dengan desertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.6

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan

empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui

feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang

kembali, berhubung makrofag telah teraktifasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman salmonella

terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi sistemik seperti demam,malaise,mialgia, sakit kepala,

sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.6

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (s.thypi intra

makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).

Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak peyeri yang sedang

mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses

patologis jaringan limfoid ini dapat berkembangbhingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat

mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat

timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan

organ lainnya.6

Salmonella typhi masuk tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian

kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan

limfoid plak Peyeri di ileum terminalis yang hipertrofi. Bila terjadi komplikasi perdarahan dan perforasi

intestinal, kuman menembus lamina propia, masuk aliran limfe mencapai kelenjar limfemesenterial, dan

masuk aliran darah melalui duktus torasikus. 6

Salmonella typhi lain dapat mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella typhi

bersarang di plak Peyeri, limpa, hati, dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Endotoksin

Salmonella typhi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan tempat kuman tersebut

14

Page 15: Isi Pembahasan Blok 12

LambungMakanan

kontaminasi salmonella

UsusRespon imunitas humoral mukosa (IgA) kurang baik

salmonella berkembang biak

Menembus sel Epitel t’utama sel-

M.Msk & b’kmbang biak ke Lamina

PropiaFagositosis oleh

makrofag.B’kembang biak dlm makrofag.

Plak peyeriIleum distal

KGB mesenta

rika

Dukt.torasikus

Sirkulasi darah bakterimi I

(asimptomatik)

Seluruh organ RE t’utama hati, limpa distal

Meninggalkan sel fagosit

Sel fagositB’kembang

biak di ekstraselular organ/sinuso

id

Sirkulasi darah

(bakterimi II)

Kandung empedu

(b’kembang biak)

Hati

Tanda” sistemik

Lumen usus

Menembus usus lagi

Reaksi seperti semua

Melepas sitokin reaksi inflamasi

sistemik

MakrofagSdh t’aktivasi

hiperaktif

Gejala-gejala

Rx.Hipersensitivitas tipe lambat Akumulasi

mononuclear di radang usus

Hyperplasi

Nekrosis

feses

Eros pemb.Darah Perdarahan saluran cerna

Proses berjalan terus

Menembus lap.mukosa & otot

perforasi

berkembang biak. Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen

dan leukosit pada jaringan yang meradang, sehingga terjadi demam.

Gbr. Patogenesis dan Patofisiologi demam tifoid 3,4

15

Page 16: Isi Pembahasan Blok 12

A. Manifestasi Klinik

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bias terapi yang tepat dan

meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini penting unutk membantu

mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu di butuhkan pemeriksaan tambahan

untuk membantu menegakkan diagnosis. Masa tunas demam tifoid berlansung anara 10-14 hari.

Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik

hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.5

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa

dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,

anoreksi,mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epiktasis.5

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat deman adalah

meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua gejala-

gejala semakin jelas berupa demam, bradikardia relative (peningkatan suhu 10 C tidak diikuti

peningkatan denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput ( kotor di tengah, tepid an

ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan mental berupa

somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang

Indonesia.6

Gambaran klasik demam tifoid (Gejala Khas)

Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa langsung ditegakkan.

Yang termasuk gejala khas Demam tifoid adalah sebagai berikut.6

Minggu Pertama (awal terinfeksi)

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama

dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi

39ºc hingga 40ºc, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan

nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran

bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih

berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah

kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Episteksis dapat dialami oleh

penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada

periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi

16

Page 17: Isi Pembahasan Blok 12

pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan

terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola)

berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada

penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok,

timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat

bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi

teraba dan abdomen mengalami distensi. 6

Minggu Kedua

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang

biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu,

pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu

badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan

relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat

ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin

berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium, somnelon, stupor,

koma dan psikosis. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah

mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi

lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati

dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus

menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain. 6

Minggu Ketiga

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika

terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan

berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi

perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya

jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda

khas berupa delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia

urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat

disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya

perforasi usus sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang

17

Page 18: Isi Pembahasan Blok 12

teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik

merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu

ketiga. 6

Minggu keempat

Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai

adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis. 6

Relaps

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya

menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu

yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan

gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak

diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps. 6

Diet

Makanan yang diberikan kepada pasien, bisa berupa bubur saring, bubur kasar, ataupun makanan

padat seperti nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat

diberikan sejak dini. Pentingnya pemberian makanan secara teratur akan meningkatkan

kecepatan pemulihan dari pasien itu sendiri.7

Obat

a. Obat antimikroba yang sering diberikan seperti

1) Kloramfenikol dengan dosis untuk orang dewasa 4 kali 500mg sehari baik itu

oral maupun intra vena sampai 7 hari bebas demam. Biasanya demam akan

turun rata-rata setelah 5 hari. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada

trimseter III karena dapat menyebabkan partus prematur, kematian fetus

intrauteri, dan grey syndrome pada neonatus.8

2) Tiamfenikol diberikan dengan dosis yang sama seperti Kloramfenikol.

Penggunaan obat ini lebih jarang ditemui komplikasi hematologis daripada

penggunaan Kloramfenikol. Demam akan mulai turun setalah hari ke 5-6.

Tiamfenikol tidak boleh diberikan pada trimester I karena efek teratogenik.8

18

Page 19: Isi Pembahasan Blok 12

3) Ko-trimoksazol (kombinasi Trimetropin dan Sulfametoksazol) dengan dosis

pada orang dewasa 2x2 tablet sehari sampai 7 hari bebas demam. Satu tabletnya

mengandung 80mg Trimetropin dan 400mg Sulfametoksazol. Demam akan

mulai turun setalah hari ke 5-6. Tidak boleh diberikan pada wanita hamil.

Untuk carrier (orang yang telah sembuh tapi masih mengekskresikan

Salmonella sp. dalam urine dan fesesnya hingga lebih dari 1 tahun, biasanya

orang akan berhenti mengekskresikan setalah 3 bulan, lebih sering pada usia

menengah dan wanita) dapat diberikan 2 tablet tiap 12 jam selama 4 minggu.

Obat ini menghambat sintesis tetrahidrofolat yang penting dalam pembentukan

purin dan asam amino.8

4) Ampisilin dan Amoksisilin digunakan dengan indikasi pasien mengalami

leukopenia. Dosis pada orang dewasa 75-150mg/kg berat badan sehari sampai 7

hari bebas demam. Demam akan turun rata-rata dalam 7-9 hari. Bisa digunakan

pada wanita hamil, kecuali pasien hamil dengan hipersensitif terhadap obat

tersebut. Untuk carrier (orang yang telah sembuh tapi masih mengekskresikan

Salmonella sp. dalam urine dan fesesnya hingga lebih dari 1 tahun, biasanya

orang akan berhenti mengekskresikan setalah 3 bulan, lebih sering pada usia

menengah dan wanita) dapat diberikan 1 gram tiap 6 jam selama 4 minggu

secara oral dan terkadang diperlukan kolesistekomi (pengangkatan kandung

empedu, karena Salmonella typhi bersembunyi dalam kandung empedu yang

meradang menahun atau terdapat batu).8

5) Sefalosporin generasi ketiga (Sefoperazon, Sefriakson, Sefotaksim). Bisa

digunakan pada wanita hamil, kecuali pasien hamil dengan hipersensitif

terhadap obat tersebut. Obat ini bekerja pada dinding sel bakteri.8

6) Fluorokinolon. Tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Obat ini (pemberian

secara oral) dapat juga mengeliminasi S. typhi dari tinja.

7) Kombinasi penggunaan obat-obat antimikroba tidak akan meningkatkan

keefektifan dari pada hanya menggunakan satu jenis antimikroba baik dalam

penurunan demam, angka kejadian kekambuhan, dan angka kejadian angka

pengekskresian kuman dalam urin setelah sembuh.8

b. Obat Simtomatik

19

Page 20: Isi Pembahasan Blok 12

1) Antipiretik, tidak perlu diberikan secara rutin karena tidak banyak berguna.

2) Kortikosteroid, pasien dengan toksik dapat diberikan Kortikosteroid baik oral

atau paraenteral dalam dosis yang menurun secara bertahap selama 5 hari.

Hasilny kesadaran pasien kembali jernih dan suhu badan cepat turun ke normal.

Penggunaannya harus berdasarkan indikasi, karena kalau tidak dapat

menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps (kambuh setelah sembuh dalam

beberapa minggu).8

Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ketiga kehamilan karena dikawatirkan dapat

terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol

tidak dianjurkan digunakan pada trimester pertama karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus

pada manusia belum dapat disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut, tiamfenikol dapat digunakan.

Demikian juga obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk

mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.8

TATA LAKSANA KOMPLIKASI

Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan

berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu

komplikasi intestinal dan ekstra-intestinal.

Komplikasi Intestinal

Pendarahan intestinal. Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat

berbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka

menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila

tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan

juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar

25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan

transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis

perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam

dengan faktor hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi

sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak

dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.

20

Page 21: Isi Pembahasan Blok 12

Perforasi usus. Terjadi sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu

ketiga namun dapat pula timbul pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang

biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat

terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai

dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang

tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah

nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri

dapat menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi)

ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai

yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang

dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (20-30tahun), lama demam, modalitas

pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita. Antibiotik diberikan secara selektif

bukan hanya untuk mengobati kuman S. thypi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat

fakultatif da anaerobic pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spectrum kuas dengan

kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan dalam

jumlah yang cukup serta pasien dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat

diberikan bila terdapat kehilangan darah dalam jumlah yang signifikan akibat perdarahan

intestinal.9

Komplikasi Ekstra-Intestinal

Komplikasi Hematologi. Komplikasi hematologi berupa tromositopenia, hipofibro-genemia,

peningkatan prothrombin time, peningkatan partian thromboplastin time, peningkatan fibrin

degradation products sampai koagulasi intravascular diseminata (KID) dapat ditemukan pada

kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin karena

menurunnya produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau mengingkatnya

destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obat juga memegang peranan. Penyebab

KID pada demam tifoid berlum dapat diketauhi dengan jelas. Hal-hal yang sering ditemukan

adalah endotoksin mengaktifasi beberapa sistem biologik, koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan

kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan vasokonstriksi serta kerusakan endotel pembuluh

darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi, baik KID kompensata

maupun dekompensata. Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah, substitusi

trombosit dan/atau faktor-faktro koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang tidak

sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid.9

Hepatitis Tifosa. Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan

demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. typhi darpada S. paratyphy. Untuk

21

Page 22: Isi Pembahasan Blok 12

membedakan apakah hepatitis ini karena tifoid, virus, malaria, atau amuba, maka perlu

diperhatikan kelainan fisik, parameter labolatorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada

demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan bilirubin (untuk

membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien

dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi

hepatoensedalopati dapat terjadi.9

Pankreatitis Tifosa. Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis

sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro-inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat

farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasongrafi/CT-scan dapat

membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat. Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti

penanganan pakreatitis pada umumnya, antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena

seperti seftriakson atau kuinolon.

Miokarditis. Hal ini terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan

elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa

gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluahan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia,

atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan

ekektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini

disebabkan kerukasan miokardium oleh kuman S. typhi dan miokarditis sering menyebabkan

kematian. Biasanya dijumpai pada pasien yang sakit berat, keadaan akut, dan fulminan.9

Manifestasi Neuropskiatrik/Tifoid Toksis. Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium

dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau koma, Parkinson rigidity/transient parkinsonism,

sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut,

hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polyneuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan

psikosis. Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau

penurunan kesadaran akut dengan atau tanpa disertai kelaian neurologis lainnya dan dalam

pemeriksaan cairan otak asih dalam baras normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberpa peneliti

disebut sebagai tifoid toksik. Diduga faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang

rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masi terbelakang

ikut mempermudah terjadinya hat tersebut dan akibatnya meningkatkan kematian. Semua kasus

tifoid toksik, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400mg ditambah

ampisilin 4 x 1 gr dan deksametason 3x 5mg.9

PENCEGAHAN DEMAM TIFOID

22

Page 23: Isi Pembahasan Blok 12

Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan berdampak

cukup besar terhadap penurunan anggaran pengobatan pribadi maupun negara, mendatangkan devisa

negara yang berasal dari wisarawan mancanegara karena telah hilangnya predikat negara endemic dan

hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata.

Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar biasa (KLB)

demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit

dan faktor penjamu (host) serta faktor lingkungan.10

Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu:

1) Identifikasi dan eradiksi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus karier

tifoid. Tindakan identifikasi atau penyaringan terhadap pengidap kuman Salmonella typhi ini cukup

sulit dan memerlukan biaya besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional. Cara

pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu, mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila ada

penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi

tertentu seperti pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel,

sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan

masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, serta pengelola sarana umum lainnya.

2) Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi Salmonella typhi akut maupun karier.

Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan lingkungan sekitar orang yang

telah diketahui pengidap kuman Salmonella typhi.

3) Proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi. Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan

cara vaksinasi tifoid di daerah endemic maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung

daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan

perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu beresiko (golongan imunokompromais

maupun golongan rentan).10

Tindakan preventif berdasarkan lokasi, antara lain:

a) Daerah non-endemic.

Tanpa ada outbreak atau epidemi.

o Sanitasi air dan kebersihan lingkungan

o Pengelolaan serta distribusi makanan dan minuman

o Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier

Bila ada kejadian epidemi tifoid.

o Pencarian dan eliminasi sumber penularan

o Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus

23

Page 24: Isi Pembahasan Blok 12

o Penyuluhan higine serta sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

b) Daerah endemic.

Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi standar

prosedur kesehatan

Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi makanan

segar (buah/sayur)

Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung.11

VAKSINASI

Indikasi vaksin adalah bila anda akan mengunjungi daerah endemic, anda terpapar dengan

penderita karier tifoid, dan bila anda adalah petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Ada 2 macam

vaksin yang dapat diberikan:

Vaksin oral : -Ty21a (vivotif Berna) belum beredar di Indonesia.

Vaksin pareternal : ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Marieux), vaksin kapsul polisakarida.

Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakan menurunkan 66%

selama 5 tahun. Usia sasaran vaksin berbeda efektivitasnya, dilaporkan insidens turun pada 53% anak

lebih dari 10 tahun sedangkan anak usia 5-9 tahun insidens turun 17%.

Vaksin parenteral non-aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping serta tidak

seefektif dibangingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis vaksin dan jadwal pemberiannya, yang

ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS.

Dalam pemilihan vaksin ini perlu kita perhatikan pula efek samping yang ditimbulkan. Pada

vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%, sakit kepala 0-5% sedangkan pada

ViCPS efek sampingnya lebih kecil. Demam 0,25%, malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi

nyeri lokal 17%. Efek samping terbesar pada vaksin parenteral adalah heat-phenol inactivated, yaitu

demam 6,7-24%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi lokal edema 3-35% bahkan reaksi berat termasuk

hipotensi, nyeri dada, dan syok dilaporkan pernah terjadi merskipun sporadis dan sangat jarang terjadi.2

Untuk efektivitas vaksin ini sendiri, dilaporkan adanyanya kenaikan titer antiboidy 4 kali lipat

setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 2-3 minggu dan 90% bertahan selama 3

tahun. Kemampuan proteksi 77% pada daerah endemic dan 60% pada daerah hiperendemic.11

Indikasi Vaksinasi

Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor resiko yang berkaitan, yaitu

individual atau populasi dengan situasi epodemiologinya. Populasi contohnya pada anak usia sekolah di

24

Page 25: Isi Pembahasan Blok 12

daerah endemic, petugas militer, petugas kesehatan dan labolatorium serta petugas industri makanan-

minuman.11

Meskipun telah kita lakukan pencegahan dan vaksinasi, tetap masih ada kemungkinan terjadinya

outbreak demam tifoid. Faktor resiko ini kita sebut sebagain kasus demam tifoid karier.

Pada daerah endemic dan hiperendemik penyandang kuman S. typhi ini jauh lebih banyak serta

sanitasi lingkingan dan sosial ekonomi rendah semakin mempersulit usaha penanggulangannya. Angka

kejadian demam tifoid di Indonesia sebesar 1000/100.000 populasi per tahun. Diantara demam tifoid yang

sembuh klinis, pada 20% diantaranya masih ditemukan kuman S. typhi setelah 2 bulan dan 10% masuk

ditemukan pada bulan ke-3 serta yang masih ditemukan satu tahun kemudian sekitar 3%. Kasus karier

meningkat seiring peningkatan umur dan adanya penyakit kandung empedu, serta gangguan traktus

urinarius.11

Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis dan 25% kasus menyangkal adanya riwayat sakit

demam tifoid akut. Proses patofisiologis dan patogenesis tifoid karier masih belum jelas. Mekanisme

pertahanan tubuh terhadap S. typhi belum jelas. Imunitas selular diduga berperan penting dalam hal ini.

Sedangkan pemeriksaan respon imun berdasarkan serologi antibody IgG dan IgM S. typhi antara tifoid

karier dan tifoid akut tidak menunjukkan perbedaan bermakna.11

Sarana lain untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan serologi Vi, dilaporkan bahwa 75%

dan spesifitas 92% bila ditemukan kadar titer antibody Vi sebesar 160.

Kesulitan eradiksi kasus karier berhubungan dengan ada tidaknya batu empedu dan sikatrik

kronik pada saluran empedu. Kasus karier ini juga meningkat pada seorang yang terkena infeksi saluran

kencing secara kronis, batu, striktur, hidronefrosis, dan tuberkulosis maupun tumor di traktus urinarius.

Oleh karena itulah insidens tifoid karier mengingkat pada wanita maupun usia lanjut karena adanya faktor

tersebut diatas.

PROGNOSIS

Dilaporkan angka kematian karena demam tifoid di Indonesia telah ditekan secara signifikan

setelah adanya obat-obat dan vaksinasi, seiring dengan pengetahuan masyarakat akan pentingnya sanitasi

lingkungan.

25

Page 26: Isi Pembahasan Blok 12

Pada kasus ini, besar kemungkinan pasien akan sembuh dengan penanganan yang segera, tepat,

dan teratur. Penyakit ini dapat memburuk apabila tidak ada kerja sama yang baik antara dokter dan

pasien. 12

Kesimpulan

Demam tifoid dapat timbul karena adanya bakteri Salmonella typhii dalam tubuh manusia

yang masuk dalam saluran pencernaan dan menyerang usus halus (Plaque Peyeri), karena

pola hidup dan sanitasi yang kurang baik.Demam tifoid memiliki cirri khas yang dapat

dibedakan dengan demam tropic lainnya seperti Malaria, DBD, dan Leptosipra. Gejala

khasnya yaitu, demam yang fluktuatif pada minggu pertama, yaitu demam yang turun naik,

pada pagi hari panasnya turun, pada sore hari suhu badannya meningkat.pada minggu

kedua demam bersifat kontinu, lidah yang berselaput, obstipasi. Pada minggu ketiga, fase

penyembuhan. Hepatomegali dan splenomegali pun menjadi ciri khas pada demam

tifoid.maka pada scenario D, hipotesis diterima, bahwa ibu yang berumur 30 tahun ini,

sedang sakit demam tifoid. imunisasi aktif dan menjaga sanitasi dan kebersihan air di

lingkungan dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

Daftar Pustaka

1. Timmreck T. Epidemiologi suatu pengantar. Jakarta: EGC;2005.

2. Abdurrahman, dkk. Anamnesis & pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3. Jakarta: Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FKUI; 2005. h.11-20.

3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi

V(jilid III). Jakarta: Internal Publishing; 2009. h.2797-805.

4. Soedarmo SPS, Garna K, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Edisi ke-

2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h.338-45.

5. Ganiswara SG. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-4. Jakarta: Bagian Farmologi FKUI; 2007.h.655-

60.

26

Page 27: Isi Pembahasan Blok 12

6. Harrison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13 volume 1. Jakarta: EGC,

1999.h.101.

7. Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru;2007.

8. Tan H T, Rahardja K. Obat-obat penting. Edisi 6. Jakarta: PT Gramedia, 2007.h.294-5.

9. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Jakarta: Erlangga, 2005.h.377.

10. Cook G C. Problem gastroenterologi daerah tropis.Jakarta: EGC, 2003.h.60-7.

11. .Cahyono J B S B. Vaksinasi. Yogyakarta: Kanisius, 2010.h.92-5.

27