BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih merupakan masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan. Di samping menunjukkan derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyebab langsung kematian ibu adalah trias perdarahan, infeksi, dan keracunan kehamilan. Penyebab kematian langsung tersebut tidak dapat sepenuhnya dimengerti tanpa memperhatikan latar belakang (underlying factor), yang mana bersifat medik maupun non medik. Di antara faktor non medik dapat disebut keadaan kesejahteraan ekonomi keluarga, pendidikan ibu, lingkungan hidup,perilaku,danlain-lain. Kerangka konsep model analisis kematian ibu oleh Mc Carthy dan Maine menunjukkan bahwa angka kematian ibu dapat diturunkan secara tidak langsung dengan memperbaiki status sosial ekonomi yang mempunyai efek terhadap salah satu dari seluruh faktor langsung yaitu perilaku kesehatan dan perilaku reproduksi, status kesehatan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Ketiga hal tersebut akan berpengaruh pada tiga hasil akhir dalam model yaitu kehamilan, timbulnya komplikasi kehamilan/persalinan dan kematian ibu. Dari model Mc Carthy dan Maine tersebut dapat dilihat bahwa setiap upaya intervensi pada faktor tidak langsung harus selalu melalui faktor penyeÂbab yang langsung. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih merupakan
masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan. Di samping menunjukkan
derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan
masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyebab langsung kematian ibu
adalah trias perdarahan, infeksi, dan keracunan kehamilan. Penyebab kematian
langsung tersebut tidak dapat sepenuhnya dimengerti tanpa memperhatikan latar
belakang (underlying factor), yang mana bersifat medik maupun non medik. Di
antara faktor non medik dapat disebut keadaan kesejahteraan ekonomi keluarga,
pendidikan ibu, lingkungan hidup,perilaku,danlain-lain.
Kerangka konsep model analisis kematian ibu oleh Mc Carthy dan Maine
menunjukkan bahwa angka kematian ibu dapat diturunkan secara tidak langsung
dengan memperbaiki status sosial ekonomi yang mempunyai efek terhadap salah
satu dari seluruh faktor langsung yaitu perilaku kesehatan dan perilaku reproduksi,
status kesehatan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Ketiga hal tersebut
akan berpengaruh pada tiga hasil akhir dalam model yaitu kehamilan, timbulnya
komplikasi kehamilan/persalinan dan kematian ibu. Dari model Mc Carthy dan Maine
tersebut dapat dilihat bahwa setiap upaya intervensi pada faktor tidak langsung
harus selalu melalui faktor penyeÂbab yang langsung.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2005, bahwa
setiap tahunnya wanita yang bersalin meninggal dunia mencapai lebih dari 500.000
orang. (Winkjosastro, 2005). Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) pada tahun 2005 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu 262/100.000
Kelahiran Hidup, sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) yaitu 32/1000 Kelahiran
Hidup. (DinKes Jabar, 2006). Kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang
terjadi selama kehamilan sampai dengan 42 hari setelah berakhirnya kehamilan,
tanpa melihat lama dan tempat terjadinya kehamilan, yang disebabkan oleh
kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan karena kecelakaan. Penyakit atau gizi
yang buruk merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan ibu. Rao
(1975) melaporkan bahwa salah satu sebab kematian obstetrik tidak langsung pada
kasus kemaÂtian ibu adalah anemia.3,4 Grant menyatakan bahwa anemia
1
merupakan salah satu sebab kematian ibu, demikian juga WHO menyatakan bahwa
anemia merupakan sebab penting dari kematian ibu. Penelitian Chi, dkk
menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah 70% untuk ibu-ibu yang anemia
dan 19,7% untuk mereka yang non anemia. Kematian ibu 15-20% secara langsung
atau tidak langsung berhubungan dengan anemia. Anemia pada kehamilan juga
berhubungan dengan meningkatnya kesakitan ibu. Pada wanita hamil, anemia
meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian
maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian
perinatal meningkat. Di samping itu,perdarahan antepartum dan postpartum lebih
sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab
wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah.Soeprono.
menyebutkan bahwa dampak anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang
sangat ringan hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan abortus, partus
imatur/prematur), gangguan proses persalinan (inertia, atonia, partus lama,
perdarahan atonis), gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan
terhadap infeksi dan stres kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin
Informasi lain adalah dari hasil survei NSS- HKI tahun 1999 dan 2000 pada
beberapa provinsi di Indonesia yang melakukan analisis prevalensi anemia pada
WUS dan balita (tabel 6). Pada balita prevalensi anemia masih cukup tinggi dan
berkisar antara 40-70%, dan pada WUS berkisar antara 20-40%.
Tabel . Prevalensi anemia pada WUS dan balita (NSS-HKI)
Tahun 1999 dan 2000
Lokasi WanitaUsia
Subur
Anak balita
1999 2000 1999 2000
Sumbar 29.2 34.0 46.9 53.9
Lombok 32.3 25.3 65.8 66.1
Lampung 24.1 56.8
Makassar 27.9 37.1 58.6 63.5
Sulsel 27.8 53.6
Surabaya 34.0 27.1 65.5 58.8
Jatim 28.7 26.5 62.6 68.1
Jabar 28.9 26.5 64.6 57.9
Semarang 21.9 27.5 44.7 51.0
Jateng 23.4 25.8 54.7 51.8
Jakarta 42.5 33.3 71.9 63.5
17
Indonesia masih belum secara komprehensif menanggulangi masalah anemia
gizi ini. Pemetaan secara nasional untuk masalah anemia menurut provinsi
maupun kabupaten masih belum dilaksanakan. Hasil pemetaan yang dilakukan
provinsi Jawa Barat tahun 1997, menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil
62,2%, dan pemetaan yang dilakukan di Jawa Tengah tahun 1999 menunjukkan
prevalensi anemia pada ibu hamil 58,1%. Intervensi anemia secara nasional
masih memprioritaskan ibu hamil dengan distribusi tablet besi yang cakupannya
masih sulit dipantau.
2.Distribusi
a. Distribusi Menurut Orang
Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,
mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil. Karena akan membahayakan
kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun janinnya, berisiko mengalami
pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia. Wintrobe (1987)
menyatakan bahwa usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu
semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah kadar hemoglobinnya.
Muhilal et al (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat
kecendrungan semakin tua umur ibu hamil maka presentasi anemia semakin
besar.
Tabel 1
Distribusi Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Berdasarkan Umur Ibu
2010
Umur
ibu
(thn)
Anemia Total OR
(Lower/Upper
Limit)
Ya Tidak
< 20,
>35
20 (74,1%) 7 (25,9%) 27 2,801
20-35 51 (50,5%) 50 (49,5%) 101 (1,089/7,207)
Total 71 (55,5%) 57(44,5%) 128
18
Sumber : Berdasarkan Tabel 1, ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan
lebih dari 35 tahun lebih berisiko menderita anemia dari pada ibu hamil usia 20-35
tahun.
Tabel 2
Distribusi kejadian Anemia Pada ibu hamil data di Kota Makassar
Tahun 2010
Bulan Anemia gizi (bumil)
Januari 137
Februari 173
Maret 144
april 171
Mei 171
Juni 162
Juli 177
Agustus
September
211
213
Oktober 205
November 205
Desember 174
Jumlah 2143
Tahun 2011
Bulan Jumlah Penderita Anemia
Januari 117 orang
Februari 101 orang
Maret 264 orang
April 126 0rang
sumber: Dinas Kesehatan Kota Makassar Tahun 2011. Berdasarkan table
1,menunjukan bahwa terjadi peningkatan penderita Anemia Gizi pada ibu hamil dari
bulan januari sampai Maret 2011 sebanyak 264 orang ,kemudian menurun pada
Bulan April sebanyak 126 orang.
19
b. Distribusi Menurut Tempat
Tabel 2
Prevalensi Anemia Gizi Besi Pada Ibu Hamil (Bumil) di 27 Propinsi
di Indonesia Tahun 1992
No. Propinsi Prevalensi (%)
1 DI Aceh 56,5
2 Sumatera Utara 77,9
3 Sumatera Barat 82,6
4 Riau 65,6
5 Jambi 74,2
6 Sumatera Selatan 58,3
7 Bengkulu 46,8
8 Lampung 60,7
9 DKI Jakarta 67,6
10 Jawa Barat 71,5
11 Jawa Tengah 62,3
12 DI Yogyakarta 73,9
13 Jawa Timur 57,8
14 Bali 71,1
15 N T B 71,3
16 N T T 59,7
17 Kalimantan Barat 55,2
18 Kalimantan Tengah 73,9
19 Kalimantan Selatan 64,9
20 Kalimantan Timur 70
21 Sulawesi Utara 48,7
22 Sulawesi Tengah 45,5
23 Sulawesi Selatan 50,5
24 Sulawesi Tenggara 71,2
25 M a l u k u 69,8
26 Irian Jaya 71,4
27 Timor Timur 48
20
Sumber : SKRT Tahun 1992
Indonesia
63,5
sumber: SKRT 1992. Berdasarkan Tabel 2, provinsi dengan
prevalensi anemia terbesar adalah Sumatera Barat (82,6%), dan yang
terendah adalah Sulawesi Tengah.
C. Kebijakan pemerintah kota Makassar
Upaya yang mingkin dapat dilakukan
1. Pemerintah mewjudkan hak paling utama dari rakyat tentang kesehatan
yakni, memberi akses informasi dan pengetahuan agar rakyat dapat
hidup sehat dan anemia gizi dapat dituntaskan
2. Pemerintah memaksimalkan sumber daya dan sumber dana yang dimilikii
untuk menuntaskan anemia gizi di Indonesia
3. Pemerintah kembali merajut kearifan local sebagai nilai luhur bangsa
berupa “kesetiakawanan social, kesehatan, dan gizi” yang
mengedepankan prinsip tolong menolong.
4. Pemerintah menggerakkan peran serta masyarakat seperti posyandu, dsa
wisma, NGO, pers, dan lelompok potensial lain dengan pemberian yablet
besi (fe )/ Tablet Tambah darah (TTD), untuk bersama bergerak dalam
upaya penanggulngan anemia gizi di Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anemia adalah suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Pada penderita anemia, lebih sering disebut kurang darah, kadar sel darah merah (hemoglobin atau Hb) di bawah nilai normal. Penyebabnya bisa karena kurangnya zat gizi untuk pembentukan darah, misalnya zat besi, asam folat, dan vitamin B12. Tetapi yang sering terjadi adalah anemia karena kekurangan zat besi.Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup,
Prevalensi anemia yang tinggi dapat membawa akibat negative berupa
gangguan dan hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel
21
otak dan kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen
yang dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak. Pada ibu hamil dapat
mengakibatkan efek buruk pada ibu itu sendiri maupun pada bayi yang
dilahirkan. Studi di Kualalumpur memperlihatkan terjadinya 20 % kelahiran
prematur bagi ibu yang tingkat kadar hemoglobinnya di bawah 6,5gr/dl.
Studi lain menunjukkan bahwa risiko kejadian BBLR, kelahiran prematur
dan kematian perinatal meningkat pada wanita hamil dengan kadar
hemoglobin kurang dari 10,4 gr/dl. Pada usia kehamilan sebelum 24
minggu dibandingkan kontrol mengemukakan bahwa anemia merupakan
salah satu faktor kehamilan dengan risiko tinggi.
Penanggulangan anemia sampai dengan 2002 masih difokuskan pada
ibu hamil. Seperti yang diungkapkan pada uraian sebelumnya prevalensi
anemia pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001).
Penanggulangan anemia untuk yang akan datang diharapkan tidak saja
untuk ibu hamil, akan tetapi juga untuk wanita usia subur dalam rangka
menekan angka kematian ibu dan meningkatkan produktivitas kerja.
Angka prevalensi anemia pada WUS menurut SKRT 2001 adalah 27,1%.
Diproyeksikan angka ini menjadi 20% pada tahun 2015. Asumsi
penurunan hanya sekitar 30% sampai dengan 2015, karena sampai
dengan tahun 2002, intervensi penanggulangan anemia pada WUS masih
belum intensif. secara umum kesimpulan khususnya yaitu :
1. Secara umum di Indonesia, anemia merupakan penyakit ke-4 yang
prevalensinya terbanyak dengan prevalensi sebesar 20% (Studi
morbiditas Susenas 2001, Badan Litbangkes; publikasi hasil
Surkesnas 2001). Sebanyak 40,1% diantaranya adalah ibu hamil
dengan jenis anemia yang dominan adalah anemia karena
kekurangan zat besi (SKRT 1995 dan 2001).
2. Ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35
tahun lebih berisiko menderita anemia dari pada ibu hamil usia 20-
35 tahun (Ridwan Amiruddin, 2004).
3. Provinsi dengan prevalensi anemia terbesar adalah Sumatera Barat
(82,6%), dan yang terendah adalah Sulawesi Tengah (SKRT 1992).
22
4. Di Kota Makassar pada tahun 2010 jumlah penderita anemia gizi
yang lebih terkhusus pada ibu hamil sebanyak 2143 orang, dan
Pada tahun 2011, prevalensi tertinggi terdapat pada bulan Maret 2011 sebanyak 264 orang.(Dinkes Kota Makassar,2011). Keterkaitan jumlah banyak penderita anemia gizi di kota Makassar karena beberapa faktor yaitu ; Asupan zat besi dalam makanan, pengetahuan, pendidikan, pendapatan, frekuensi makanan,dan jenis bahan makanan, umur, serta demografi kota Makssar yang mempengaruhi frekuensi bertambah dan berkurangnya penderita anemia gizi dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun di kota Makassar.
B. Saran1. Diperlukan upaya yang lebih baik lagi oleh pemerintah dalam hal
menekan angka penderita anemia defisiensi zat besi di Indonesia.
2. Perlu adanya penyuluhan yang lebih responsible tentang
pentingnya suplemen zat besi dan bahaya anemia bagi ibu hamil.
3. Perlu adanya pendistribusian tablet besi yang lebih merata di