1 ANALISIS PENERAPAN INTENSIFIKASI USAHATANI PADI SAWAH PASCA KRISIS EKONOMI (KASUS DI KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT) 1) SUPENA FRIYATNO 2) Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian RI. ABSTRACT Economic crises have caused some changes in socio-economic term. This situation makes the heavy task for government to develop the staple food. The adoption of technology is very influenced by the buying power of the farmer in the village. The objective of this study is to find out the technology adoption by the farmer after economic crisis. By survey data collection and simple tabulation analysis, the result showed that regionally the using of SP36 was decreased by 16,68 percent and ZA was 7,5 percent. In the farm level, some changes ware; (a) change the perception of the farmer about the using of HYV (high yielding variety) to the using of the variety that economically have high value, (b) No farmer use the ZA fertilizer, (c) 46 – 50 percent of the farmer u se KCL, and (d) 6 6 – 90 percent of the farmer use SP36. The dosage of fertilizer application is generally lower then the dosage recommended. The other aspects of technology are land preparation, transplanting and weeding. All of these are still good implemented by farmer, 60 percent of the farmer use tractor and 40 percent use hoe. Almost 100 percent of the farmer grows seed in the nursery before planted in the field, and all of the farmer grow rice in the field by purposed planting ( tandur jajar).The profitability of rice enterprise is Rp 4,9–Rp 5,2 million per hectare, and R/C ratio more then 2. Key Words: Analysis, Intensification, Farming, and Rice 1) Kerjasama penelitian antara Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Badan Ketahanan Pangan, Jakarta, yang dilaksanakan di Jawa dan luar Jawa. 2) Staf Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertan ian, Bogor.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, BogorBadan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian RI.
ABSTRACT
Economic crises have caused some changes in socio-economic term. This situation makes theheavy task for government to develop the staple food. The adoption of technology is very
influenced by the buying power of the farmer in the village. The objective of this study is to find
out the technology adoption by the farmer after economic crisis. By survey data collection andsimple tabulation analysis, the result showed that regionally the using of SP36 was decreased by
16,68 percent and ZA was 7,5 percent. In the farm level, some changes ware; (a) change the
perception of the farmer about the using of HYV (high yielding variety) to the using of thevariety that economically have high value, (b) No farmer use the ZA fertilizer, (c) 46 – 50
percent of the farmer use KCL, and (d) 66 – 90 percent of the farmer use SP36. The dosage of
fertilizer application is generally lower then the dosage recommended. The other aspects of technology are land preparation, transplanting and weeding. All of these are still good
implemented by farmer, 60 percent of the farmer use tractor and 40 percent use hoe. Almost 100
percent of the farmer grows seed in the nursery before planted in the field, and all of the farmer
grow rice in the field by purposed planting (tandur jajar). The profitability of rice enterprise isRp 4,9–Rp 5,2 million per hectare, and R/C ratio more then 2.
Key Words: Analysis, Intensification, Farming, and Rice
1) Kerjasama penelitian antara Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Badan KetahananPangan, Jakarta, yang dilaksanakan di Jawa dan luar Jawa.
2) Staf Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Setelah lebih dari dua dekade pemerintah telah mencurahkan perhatian terhadap masalah
pangan dengan mengerahkan seluruh sumberdaya, baik sumberdaya alam, kapital, dankelembagaan, akhirnya tahun 1984 Indonesia di kategorikan sebagai negara berswasembada
pangan, utamanya beras. Irawan dkk (2000) mengemukakan bahwa keberhasilan swasembada
beras tersebut ditentukan oleh beberapa faktor kunci yaitu (a) meningkatnya produktivitas
usahatani melalui perbaikan teknologi usahatani, dan (b) tersedianya anggaran pemerintah yang
cukup (berkat boom minyak ) untuk membiayai berbagai proyek dan program pengembangan
teknologi usahatani serta proses sosialisasi di tingkat petani, (c) pengembangan infrastruktur
seperti irigasi, lembaga penyuluhan dan sebagainya.
Namun seiring dengan perjalanan dengan waktu, kendala dalam pengembangan produksi
padi semakin berat. Menurut Kasryno (1995), Rasahan (1996) dan Tabor, et.al. (1999) , kendala
pengembangan produksi padi/beras antara lain: (a) Adanya konversi lahan sawah subur di Jawa
dari pertanian ke non pertanian, sebagai akibat dari berkembangnya kawasan industri, perkotaan
dan pembangunan prasarana ekonomi, sehingga sektor pertanian terdesak kelahan-lahan marjinal
yang produktivitasnya rendah; (b) Persaingan yang semakin ketat dalam pemanfaatan sumber
daya air antara sektor pertanian dengan sektor industri dan rumah tangga, disertai dengan
menurunnya kualitas air akibat limbah industri dan rumah tangga, yang pada gilirannya
produktivitas pertanian pun menjadi menurun; (c) Kualitas tenagakerja di sektor pertanian
secara umum lebih rendah dari pada sektor industri dan jasa, sehingga tenagakerja muda
cenderung lebih memilih sektor non pertanian.
Di samping tersebut di atas, kemandegan produksi padi antara lain karena produktivitas
padi secara nasional telah mengalami levelling-off yang disebabkan oleh kemandegan teknologi
terutama penemuan bibit padi unggul, penurunan investasi sarana dan prasarana, seperti kredit
finansial, penyuluhan pertanian, pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur. Akibatnya,memasuki Pelita IV hingga Pelita VI, penerapan tekonologi tidak lagi memberikan lonjakan
produksi yang nyata seperti dalam Pelita-Pelita sebelumnya, sekalipun luas areal penen masih
dapat diperluas masing-masing 2,1 dan 1,3 persen pada periode yang sama (Anonymous, 2000).
Krisis ekonomi yang menimpa rakyat Indonesia telah menyebabkan perubahan
mendasar pada sendi-sendi perekonomian, seperti menurunnya daya beli masyarakat di
pedesaan, meningkatnya harga sarana produksi, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan
investasi dan adopsi teknologi di pedesaan, terutama adopsi teknologi usahatani seperti benih,
pupuk, dan pestisida. Untuk memantapkan kembali penerapan teknologi usahatani di masa kini,
maka perlu ditelaah jenis teknologi usahatani mana yang perlu ditingkatkan, dan yang mana
yang masih baik dilaksanakan oleh petani.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: (a) Mempelajari perilaku petani
dalam pelaksanaan usahatani padi pasca krisis ekonomi; (b) Mengkaji penerapan teknologi
usahatani oleh petani pasca krisis, (b) Mengkaji tingkat profitabilitas usahatani padi pasca krisis,
di mana harga input dan output telah mengalami perubahan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi para pengambil
kebijaksan untuk memperbaik penerapan teknologi usaha tani padi, sehingga program tersebut
menjadi lebih selektif dan efisien.
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat, pada bulan Januari
2001, yang merupakan bagian dari kegiatan penelitian antara Pusat Penelian Sosial EkonomiPertanain dengan Badan Ketahanan Pangan Jakarta, yang dilaksanakan di Jawa dan Luar Jawa.
Metode Pengumpulan Data dan Sampel
Teknik pengambilan sampel diawali peninjauan lapang untuk mendapatkan gambaran
umum dan informasi yang lebih kongkrit dari kondisi lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan
terdiri dari data primer yang dikumpulkan dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner
terstruktur. Di samping itu juga dilakukan wawancara dengan pengurus dan anggota kelompok
tani dan aparat pertanian. Kriteria petani sample diambil dari tiga kelompok yaitu kelompok tani
maju, kelompok tani biasa dan bukan kelompok. Untuk masing-masing kelompok dipilih secara
Pada penelitian ini ditempuh pendekatan analisis deskriptif dan analisis kelembagaan.
Pendekatan tersebut diarahkan untuk mengkaji secara kualitatif dan kuantitatif dari penerapan
intensifikasi usahatani padi sawah, respon dan motivasi petani dalam berusaha tani serta sistem
kelembagaan pelaksana intensifikasi tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Umum Intensifikasi Padi Sawah di Kabupaten Subang
Perkembangan Areal Sawah.
Perkembangan areal sawah di kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat secara rinci
disajikan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut tampak bahwa Kabupaten Subang merupakan salah
satu sentra produksi beras di Jalur Pantai Utara (Pantura) dengan luas sawah sekitar 85 ribu
hektar atau 7,7 persen dari luas sawah di Jawa Barat. Jenis irigasi sebagai fasilitas prasarana
dalam pengembangan produksi padi, sangat menentukan tingkat pencapaian produksi. Sebagai
gambaran porsi luas sawah beririgasi teknis di kabupaten Subang yang merupakan jalur Pantura
yang sebagian wilayahnya memperoleh pasokan air dari irigasi Otorita Jatiluhur, maka porsi luas
irigasi teknis lebih tinggi yaitu 70,70 persen, sedangkan sisanya sekitar 8,8 – 10,5 persen
merupakan jenis irigasi semi teknis, sederhana dan tadah hujan. Namun karena berbagai
perkembangan dan perubahan perekonomian, maka dari waktu-ke waktu sering terjadi konflik
penggunaan sumberdaya lahan sawah ini antara untuk penghasil pertanian yaitu padi dan non
pertanian (bangunan, jalan, industri dll), sehingga dari data tersebut tampak bahwa luas lahan
sawah ada kecenderungan menurun.
Selama dalam kurun waktu lima tahu terakhir (sejak 1995), tampak bahwa di kabupaten
Subang luas lahan sawah yang semula 87 ribu hektar berkurang pada tahun 1999 menjadi 84,6
ribu hektar. Walaupun diketahui bahwa pemerintah juga telah mengadakan pencetakan dan
perbaikan/ rehabilitasi lahan sawah melalui irigasi, namun dengan data tersebut di atasmenunjukkan bahwa pengurangan lahan sawah jauh lebih besar dari luas pencetakan. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Irawan, dkk (2000) bahwa dalam kurun waktu 18 tahun (1981-
1998) telah terjadi seluas 279.521 hektar atau seluas 149.409 hektar setelah dikoreksi dengan
pencetakan sawah. Dengan demikian rata-rata pengurangan sawah per tahun sekitar 8.301 hektar
% Thp total 70.70 8.87 10.51 9.92 100.00Sumber : Data Hasil Survey Pertanian (SP- BPS) dan Propinsi Jawa Barat Dalam Angka, 1999
Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi.
Keragaan luas panen, produksi dan produktivitas padi di Kabupaten Subang selama lima
tahun terakhir cenderung menurun dengan angka penurunan masing-masing 1,03; 2,95 dan 1,90
persen. Luas panen padi tahun 1999 di kabupaten Subang adalah 163.709 hektar dengan
produksi 958.475 ton, berarti tingkat produktivitas adalah sebesar 58,55 kuintal per hektar (Tabel
2). Diyakini faktor dominan yang menyebabkan penurunan luas panen adalah menurunan luas
baku lahan sawah akibat konversi, di samping karena faktor-faktor lain seperti adanya serangan
hama/penyakit, ketersediaan air irigasi dll. Sedangkan penurunan produksi, di samping karenamemang menurunnya luas panen, juga karena menurunan kualitas intensifikasi, sehingga jumlah
produksi per satuan luas menjadi menurun.
Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Subang,
Sumber : Data Hasil Survey Pertanian BPS (SP) dan Kabupaten Subang Dalam Angka 1999
dan laporan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, propinsi Jawa Barat
Begitu pula, apabila melihat program intensifikasi (inmum, insus dan supra insus)
tampak bahwa dari sebagian besar luas panen (67 persen) sudah melaksanakan intensifikasi.Namun khusus di kabupaten Subang, ada kecenderungan luas intensifikasi menurun rata-rata
8,13 persen per tahun, terutama luas intensifiaksi inmum dan insus (Tabel 4.). Penurunan luas
intensifikasi tersebut lebih banyak disebabkan karena perubahan kondisi harga input dan output
usahatani padi, terutama merosotnya harga gabah sehingga petani mengurangi penggunaan
Namun berdasarkan informasi dari aparat Dinas Pekerjaan Umum bahwa jumlah
volume air akhir-akhir ini cenderungan menurun, sehingga jadwal tanam pada musim hujan
yang setiap tahun direncanakan menjadi IV golongan, kadang-kadang berubah menjadi VIII–
X golongan. Sebenarnya dengan bergesernya golongan pembagian air ini memiliki kelebihan
dan kekurangan, kelebihannya adalah dalam konteks distribusi produksi kepada waktu
menjadi lebih baik, sehingga puncak panen ( peak season) tidak terjadi pada waktu yang
bersamaan yang pada gilirannya harga pun menjadi lebih baik. Sedangkan kelemahannya
adalah rentan terhadap serangan hama dan penyakit, karena siklus kehidupan hama dan
penyakit menjadi lebih kondusif.
Pasca Panen dan Penjualan Hasil
Seperti yang tertera pada Tabel 11., tampak bahwa penanganan pasca panen seperti cara
perontokan, cara dan alat pengeringan masih dilaksanakan secara konvesional, perontokan 60 –
100 persen secara manual (digebot), pengeringan 20-60 persen pada lantai bata merah. Sehingga
diduga kehilangan produksi yang terjadi relatif masih tinggi.
Perlakuan tersebut juga terkait erat dengan sistim penjualan hasil, pada lokasi contoh
sebagian besar kelompok tani contoh menjual gabahnya dalam bentuk Gabah Kering Panen
(GKP)(93-100 persen). Juga penjualan gabah dilakukan kepada tengkulak (67-100 persen),
kecuali pada petani bukan kelompok ada 6,6 persen yang menjual gabah kepada KUD, itupundalam jumlah yang sangat sedikit. Bahkan sekitar 10 persen dari petani yang diteliti
melakukan sistim penjualan hasil dengan cara ”tebasan”, salah satu pertimbangan mereka
adalah untuk menghemat biaya panen (bawon) yang bisa mencapai antara 8-12 persen dari total
nilai produksi.
Pada petani bukan kelompok masih terdapat petani yang menyimpan di gudang gabah
khusus (13,3 persen), dan yang menyimpan dalam karung relatif lebih tinggi dibanding dua
kelompok lainnya (40 persen). Hal ini di samping karena lokasi kelompok ini lebih jauh dari
aksesibilitas jalan (remote), sehingga penawaran gabah para pedagang terhadap petani relatif
lebih rendah, karena pedagang harus memperhitungkan biaya angkut, sehingga petani pada
kelompok ini lebih senang menyimpan gabah dan hal ini sudah terbiasa sejak lama, juga pola
pikir petani untuk selalu ingin menjual gabah lebih sedikit dibanding dengan dua kelompok
bentuk menyuluhan pada saat ini lebih dituntut memberikan “contoh” bukan hanya teori dan
intruksi.
Jaminan pemasaran hasil-hasil pertanian, tampaknya suatu kondisi yang sangat
diharapkan oleh petani. Oleh karena itu kebijaksanaan pemerintah yang lebih bijaksana
terhadap komoditi pertanian masih tetap diperlukan. Kebijaksanaan tidak saja hanya menjamin
harga dan pemasaran, tetapi juga mengkondisikan agar sistem agribisnis pertanian menjadi
kondusif, baik sejak jaminan ketersediaan faktor input seperti pupuk, pestisida, benih, pasar
output, alat pertanian dll.
Untuk menjamin kondisi yang kondusif bagi petani dalam melakukan usahatani, maka
pemerintah perlu terus memantau terhadap spekulasi-spekulasi yang dapat mengganggu
sistem usahatani padi, baik yang menyangkut ketersediaan sarana produksi (pupuk, benih,
pestisida) maupun pasar output dan menegakan supremasi hukun dengan tegas kepada setiap
pihak yang mencoba melakukan instabilitas sistem tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2000. Pengkajian Mengenai Penerapan Intensifikasi Usahatani Padi Sawah. PusatPenelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Bogor.
____________. 2000. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura.Kabupaten Subang dan Propinsi Jawa Barat.
____________. 2000. Laporan Sekretiat Harian Pengendali Bimas Kabupaten Subang. Subang.
____________. 1999. Kabupaten Subang Dalam Angka. BPS. ____________. 1999. Propinsi Jawa Barat Dalam Angka. BPS.Irawan, B; Supena F.; Ade S.; Iwan S. A.; Nainy A. K.; Bambang R. dan Budy W. 2000. Laporan Hasil
Penelitian. Prumusan Model Kelembagaan Reservasi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Kasryno, F. 1995. Propek Pertanian Indonesia dan Antisipasi Dalam Menghadapi PasinganGlobal. Makalah disampaikan pada Pertemuan Teknis di P3GI Pasuruan Tanggal 29-30Nopember 1995.
Tabbor, SR., HH. Dillon and M. H. Sawit. 1999. Understanding The Food Crisis: Supply,Demand or Policy Failure ?. Paper Presented at International Seminar on AgriculturalSector During the Turbulance of Economic Crisis: Lesson and Future Derections, Bogor,17-18 February 1999.