TUGAS KESIAPAN RUMAH SAKIT KHUSUSNYA INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT MENGHADAPI AEC (ASEAN ECONOMIC COMMUNITY) Oleh : Ersa Yuliza, S. Farm 1441012011 Apoteker Angkatan III/2014 08 November 2014 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
TUGASKESIAPAN RUMAH SAKIT KHUSUSNYA INSTALASIFARMASI RUMAH SAKIT MENGHADAPI AEC (ASEAN
ECONOMIC COMMUNITY)
Oleh :
Ersa Yuliza, S. Farm1441012011
Apoteker Angkatan III/201408 November 2014
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014
KESIAPAN RUMAH SAKIT KHUSUSNYAINSTALASI FARMASI RUMAH SAKITMENGHADAPI AEC (ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY)
I. PENDAHULUAN
A.Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara UmumKonsekuensi dari pelaksanaan MEA 2015 bagi Indonesia
adalah tingkat persaingan yang semakin terbuka dan tajam
dalam pemasaran barang dan jasa, yang bermula dengan
penerapan ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992 yang
implementasinya dilakukan secara bertahap sejak 1 Januari
1993 sampai dengan tahun 2002. AFTA ditujukan untuk
membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka
meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN
dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia
serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta
penduduknya.
Dalam menghadapi MEA 2015, Indonesia masih mengalami
beberapa permasalahan, antara lain adalah:
1) Masih rendahnya pemahaman dan pengetahuan terhadap
MEA 2015 di berbagai stakeholders, baik Pemerintah Pusat,
Daerah, pengusaha, akademisi, maupun masyarakat. Hasil
survei terhadap 399 responden menunjukkan bahwa mayoritas
(96 persen) responden mengetahui dan memahami ASEAN,
namun hanya 42 persen yang mengetahui tentang Masyarakat
ASEAN. Salah satu penyebabnya adalah kurang optimalnya
sosialisasi tentang MEA baik di pusat maupun daerah.
2) Masih perlunya upaya untuk meningkatkan kesiapan
Indonesia dalam menghadapi MEA 2015 secara terstruktur
dan komprehensif. Belum siapnya Indonesia menghadapi MEA
2015 salah satunya ditandai oleh masih banyaknya Pemda
yang belum menyiapkan kerangka regulasi, kebijakan
ataupun program untuk meningkatkan daya saing daerahnya
dalam menghadapi AEC. Sementara itu, koordinasi antara
pusat dan daerah maupun koordinasi antara pemerintah dan
swasta masih belum terlaksana secara optimal. Kurangnya
tingkat kesiapan Indonesia disebabkan oleh daya saing
daerah di Indonesia sebagian besar masih rendah, sehingga
belum siap untuk menghadapi persaingan global. Oleh sebab
itu, langkah-langkah strategis dan koordinatif merupakan
hal penting untuk dilaksanakan lebih lanjut.
3) Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam
menghadapi MEA 2015 adalah meningkatnya persaingan
perdagangan antar negara-negara ASEAN. Saat ini, intra
perdagangan kawasan ASEAN meningkat sangat tajam sejak
diberlakukannya AFTA. Indonesia hanya memberikan
kontribusi sebesar 14,6 persen terhadap ekspor intra
kawasan ASEAN (2011), lebih rendah dari kontribusi
Singapura, Malaysia dan Thailand. Namun dilain pihak,
pertumbuhan ekspor Indonesia ke kawasan ASEAN terlihat
pada angka yang cukup tinggi, menunjukkan masih besarnya
peluang Indonesia ke depan untuk meningkatkan pangsa
ekspornya di kawasan ASEAN. Di sisi investasi langsung
yang masuk (FDI inflow) ke kawasan ASEAN, Indonesia
menjadi salah satu negara ASEAN kedua yang diminati oleh
investor, setelah Singapura. Dari total investasi
langsung yang masuk ke kawasan ASEAN pada tahun 2011,
16,3 persen ditujukan ke Indonesia; dimana proporsi ini
meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Tantangan ke depan
adalah mempertahankan dan meningkatkan daya tarik
investasi.
4) Tantangan lain yang dihadapi oleh Indonesia adalah
menghadapi persaingan dengan negara sesama anggota ASEAN
di negara mitra ASEAN, seperti India dan Cina. Hal ini
terlihat dari perdagangan Indonesia dengan Cina pada
tahun 2012 mengalami defisit sebesar USD-7.824,7 dengan
kontribusi nonmigas yang defisit sebesar USD-8.100,0.
Defisit neraca perdagangan ini terjadi semenjak memasuki
kesepakatan ASEAN-China Free Trade Agreement. Dari sisi
sumber daya manusia tantangan terbesar bagi Indonesia
adalah kemampuan bersaing sumber daya manusia Indonesia
yang masih harus ditingkatkan baik secara formal maupun
informal, di samping masih rendahnya tenaga kerja
bersertifikat di Indonesia. Untuk itu, Indonesia perlu
meningkatkan kualitas tenaga kerjanya sehingga dapat
digunakan baik di dalam negeri maupun intra-ASEAN untuk
mencegah serbuan tenaga kerja terampil dari luar.
B. Dunia Kesehatan (Rumah Sakit) terhadap Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA)
AFTA (ASEAN Free Trade Area) merupakan wujud dari
kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk
suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan
daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN. AFTA
berpengaruh besar terhadap berbagai bidang. Bidang
kesehatan adalah yang paling terpengaruh oleh dampak
globalisasi, Pengaruh tersebut dapat dilihat di bidang
perumah sakitan, tenaga kesehatan, industri farmasi, alat
kesehatan, dan asuransi kesehatan.
Di bidang kesehatan, Indonesia mengupayakan dalam
kepentingan perdagangan internasional jasa melalui WTO
(World Trade Organization), CAFTA (China-ASEAN Free Trade
Agreement), AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services) dan
perjanjian bilateral. Salah satu modal dalam pasokan
perdagangan jasa internasional adalah migrasi sumber daya
manusia. Dalam hubungan ini, melalui Sidang Umum
Kesehatan Sedunia Tahun 2010, Organisasi Kesehatan
Sedunia (WHO) telah mengadopsi Global Code of Practice on the
International Recruitment of Health Personnel. Walaupun bersifat
sukarela, Indonesia sebagai negara anggota WHO, perlu
ikut mendukung dan melaksanakan prinsip-prinsip dan
rekomendasi Global Code dalam migrasi internasional tenaga
kesehatan. Semua ini perlu dapat diakomodasikan dalam
Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan.
Indonesia memerlukan standarisasi pelayanan kesehatan
dalam meningkatkan kualitas sistem pelayanan kesehatan di
Indonesia dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
pelayanan, untuk bersaing di AFTA 2010. Standar yang
diusulkan adalah sistem pelayanan terbaik, baik dari segi
Sumber Daya Manusia (SDM), administrasi, manajemen maupun
prinsip pelayanan dan sudah selayaknya orientasi sistem
pelayanan kesehatan di Indonesia tidak hanya untuk orang
sakit saja (kuratif) melainkan juga untuk pemeliharaan
kesehatan (preventif). Depkes RI menyatakan bahwa
kesehatan merupakan hak asasi manusia sehingga setiap
masyarakat berhak memperoleh pelayanan kesehatan secara
adil, merata, dan bermutu yang menjangkau seluruh
masyarakat Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut di atas
dan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, maka berbagai upaya dilakukan
pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
agar masyarakat dapat meningkatkan akses pelayanan dan
kualitas pelayanan kesehatan.
Saat ini daya apresiasi dan antisipasi bangsa
Indonesia terhadap tantangan global di sektor kesehatan,
khususnya di bidang pelayanan kesehatan, masih jauh dari
memadai. Padahal pengalaman mengajarkan bahwa membuka
pasar tanpa persiapan yang matang hanya akan membawa
lebih banyak dampak negatif dibanding manfaat positifnya.
Prasyarat penting untuk memenangkan persaingan dalam era
globalisasi adalah tersedianya institusi kesehatan yang
kuat, sumber daya manusia yang bermutu dalam jumlah yang
memadai, yang didukung oleh pembaharuan sistem kesehatan,
birokrasi pemerintah dan pengendalian atas pasar jasa
pelayanan kesehatan.
Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang
digunakan untuk upaya penyelenggaraan dan pembangunan
kesehatan harus dapat meningkatkan dan mempertahankan
mutu pelayanan kesehatan yang berorientasi pada
tercapainya kepuasan pasien. Hal ini juga bertujuan untuk
mempertahankan eksistensi pelayanan kesehatan di rumah
sakit, sehingga mampu bersaing dengan rumah sakit lain
dalam era perdagangan bebas sekarang ini.
C. Perubahan Rumah Sakit Dalam Menghadapi Globalisasi
Dengan demikian, untuk dapat berkompetisi dalam
globalisasi kita harus menerapkan rencana strategis untuk
meningkatkan SDM terutama dokter dan Apoteker dengan
tujuan mengubahnya menjadi faktor kekuatan (strength)
kompetitif. Sikap beraliansi dan bersinergi antara tenaga
kesehatan dan rumah sakit masih sangat perlu untuk
dikembangkan. Dalam menghadapi kompetisi global, para
ahli berpendapat, bahwa aliansi, sinergi, kompetisi, dan
ko-kreasi adalah kekuatan utama yang juga dapat menjadi
kunci keberhasilan dalam menghadapi globalisasi.
Selain itu, dalam menghadapi globalisasi, rumah sakit
harus siap untuk berbenah diri. Salah satunya rumah sakit
harus dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang menghambat
untuk dapat bersaing secara global, dengan cara-cara:
Menyempurnakan sistem-sistem di rumah sakit.
Menyempurnakan sarana untuk mendukung manusia dan
sistem.
Melakukan perubahan dalam manajemen rumah sakit.
Manajemen rumah sakit, dapat disempurnakan jika dalam
rumah sakit diterapkan Total Quality Management (TQM). TQM
adalah revolusi dalam falsafah dan konsep tentang
manajemen, khususnya tentang manajemen mutu. Tonggak-
tonggak dari TQM adalah:
1. Fokus dan tujuan akhir adalah kepuasan konsumen atau
pasien.
2. Dicapai dengan upaya berkelanjutan meningkatkan mutu,
dengan terus-menerus menyempurnakan proses-proses di
rumah sakit (Continuous Quality Improvement).
3. Dengan partisipasi dan keterlibatan setiap orang dan
satuan kerja dirumah sakit.
4. Menerapkan teknik-teknik dan cara-cara yang terbukti
efektif meningkatkan mutu.
Di samping itu, kita harus belajar dari pesaing. Ini
dinamakan benchmarking. Artinya kita mempelajari apa yang
dilakukan oleh pesaing. Jika semua hal di atas dapat
diterapkan dengan baik dan sungguh-sungguh, maka rumah
sakit kita akan siap bersaing dalam menghadapi
globalisasi.
D. Konsep dan Kebijakan Rumah Sakit Pra dan Era Global
Pra Global:
RS adalah Lembaga Sosial
Anggaran dari Pemerintah
Pembayaran Langsung
Sistem Pembayaran fee for service
Upaya lebih ditekankan pada kuratif dan rehabilitatif
Terpisah dari sistem pelayanan medik wilayah Dati II
Kebijakan standar untuk semua RS
Manajemen mutu bukan inti kegiatan
Berorientasi pada dokter
Era Global:
RS adalah industri jasa
Anggaran dari masyarakat
Pembayaran dari masyarakat
Sistem pembayaran kapitasi
Upaya paripurna dari promotif sampai dengan
rehabilitatif
Merupakan bagian dari sistem pelayanan medik Dati II
Kebijakan standar berbeda untuk urban dan rural
Manajemen mutu menjadi inti kegiatan rumah sakit
Berorientasi pada konsumen
E. Tantangan Rumah Sakit dalam Menghadapi Globalisasi
Rumah Sakit masa kini menghadapi tantangan-tantangan
berat, termasuk menghadapi era globalisasi. Globalisasi
ekonomi dan liberalisasi perdagangan serta investasi
adalah lahan dasar untuk sistem pasar bebas. Pasar bebas
berarti persaingan bebas, termasuk persaingan bebas dalam
jasa pelayanan kesehatan.
Dalam persaingan secara umum, ada yang dinamakan segitiga
persaingan, yaitu:
1. Customer (Pelanggan/ Pasien)
Di dalam rumah sakit, tantangan itu muncul dari
konsumen atau pasien, sebab pemakai jasa sudah lebih
tinggi lagi tuntutan akan pelayanan yang baik dan
bermutu. Konsumen atau pasien sudah terbiasa “dimanjakan”
oleh industri barang atau jasa lain yang sudah terlebih
dahulu menempatkan “kepuasan pelanggan” sebagai fokus
utama dalam pelayanan. Selain itu, akibat globalisasi
konsumen juga dapat dengan mudah mendapatkan informasi
tentang pelayanan kesehatan dari luar negeri. Sehingga
mereka mudah untuk membanding-bandingkan. “Tjiptono
berpendapat bahwa citra pelayanan kesehatan Indonesia semakin hari
semakin menurun, hal ini dibuktikan dengan tingginya minat masyarakat
untuk berobat ke luar negeri seperti Malaysia dan Singapura “.Alasan
masyarakat memilih jalan tersebut secara umum dikarenakan
oleh faktor kelengkapan fasilitas dan kualitas pelayanan
yang diberikan telah memenuhi harapan pasien.
Jadi kita harus berani mengakui bahwa, tantangan pertama
bagi rumah sakit kita adalah bagaimana mengubah paradigma
kita menjadi lebih berfokus pada upaya sungguh sungguh
meningkatkan kepuasan konsumen. Ini berarti mengubah
sikap dan perilaku terhadap pasien.
2. Competitor (pesaing)
Selain itu, tantangan bagi rumah sakit adalah tantangan
untuk bersaing, baik dengan sesama pemberi pelayanan
kesehatan di dalam negeri maupun luar negeri. Dalam arti
positif, kompetisi dalam industri kesehatan adalah
kemampuan memberikan konsumen barang atau jasa untuk
pemeliharaan kesehatan yang bermutu lebih baik, berharga
lebih rendah, pelayanan yang lebih sempurna, lebih mudah
terjangkau, memenuhi kebutuhan, tuntutan, harapan, dan
kepuasan konsumen.
Masuknya modal asing dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit, dan tenaga kesehatan asing
perlu diwaspadai. Bentuk kewaspadaan antara lain
diperlukannya langkah-langkah nyata dalam mempersiapkan
diri khususnya di bidang kualitas, kecukupan dan
pemerataan SDM serta menyusun regulasi untuk mencegah
dampak negatif globalisasi terhadap pelayanan kesehatan
di dalam negeri Sedangkan dalam lingkup nasional antara
lain adalah upaya penerapan kebijakan pemerataan
pembangunan kesehatan secara lebih luas, yang didukung
dengan sumber daya yang cukup.
Arus tenaga asing yang bekerja di Indonesia semakin
meningkat. Hal ini terlihat pada awal September 1999 ini
diberitakan ada sebanyak 2500 perawat Filipina yang
mendaftarkan diri untuk dapat bekerja di rumah sakit-
rumah sakit di Indonesia dan umumnya mereka berpendidikan
setingkat S1, dengan status Registered Nurse (RNS) dan mampu
berbahasa Indonesia. Selain itu tenaga medis asing,
seperti dokter spesialis juga sudah banyak yang melamar
untuk bekerja di Indonesia, mereka berasal dari Filipina
dan Bangladesh yang jumlahnya mencapai ribuan. Mereka
mengetahui benar bahwa menjelang tahun 2003 akan banyak
rumah sakit di Indonesia yang membutuhkan tenaga mereka
karena jumlah dokter di Indonesia relatif sedikit sekali
dan banyak yang telah berusia pensiun atau kurang
produktif pada tahun 2003, serta produksi dokter
spesialis baru sangat rendah. Dokter spesialis asing yang
bekerja di Indonesia, sesuai dengan persyaratan Depkes
RI, akan berusia muda, yaitu 35-50 tahun, dan merupakan
lulusan dari Perguruan Tinggi yang mutunya diakui secara
internasional dan telah memperoleh relisensi di negara
asalnya.
Dokter spesialis yang pertama kali datang ke Indonesia
adalah yang dalam pekerjaannya tidak banyak berhubungan
langsung dengan pasien, yaitu dokter spesialis patologi,
laboratorium klinik, radiologi dan anestesi. Berikut ini
cara dokter asing dapat masuk untuk bekerja di Indonesia:
1. Sebagai staf medis di Rumah Sakit PMA.
2. Melamar menjadi staf medis di Rumah Sakit PMDN.
3. Staf Pengajar Rumah Sakit Swasta Filial Rumah Sakit
Pendidikan Cabang Fakultas Kedokteran Asing di Indonesia.
4. Sebagai Zending atau misi keagamaan.
5. Sebagai pribadi melamar ke rumah sakit di Indonesia
dengan pertimbangan .
Dengan melihat perkembangan menuju era pasar bebas yang
demikian cepat dan permasalahan kurangnya jumlah dan
rendahnya daya saing dokter spesialis di Indonesia
sehingga dokter spesialis asing akan mudah masuk ke
Indonesia, maka di dalam menghadapinya perlu dilakukan
upaya-upaya untuk mengantisipasi krisis ketenagaan dokter
spesialis di Indonesia menjelang tahun 2003. Dengan mulai
mengkaji berbagai masalah tentang dokter spesialis di
Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah
perkembangannya.
3. Corporate (rumah sakit itu sendiri)
Tantangan utama secara nasional atau makro adalah bahwa
kebutuhan akan kesehatan (health needs) secara kuantitatif
dan kualitatif sangat meningkat. Oleh karena
itu,dibutuhkan lebih banyak sumber daya kesehatan (health
resources) yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan yang meningkat itu. Sedangkan, sumber daya
untuk itu (SDM, dana, sarana, ilmu dan teknologi,
manajemen, material kesehatan, obat, dll) terbatas.
Sehingga kesenjangan antara kebutuhan dan sumber daya cenderung
menjadi semakin besar. Inilah yang menjadi masalah dan
tantangan bagi rumah sakit kita dalam globalisasi.
F. Peluang-Peluang dalam Era Globalisasi
Era globalisasi akan membuka berbagai peluang, baik
bagi profesi medis maupun bagi rumah sakit sendiri.
Informasi IPTEK dari berbagai negara maju akan cepat
dapat diterima dan dipelajari serta kemudian dapat
diterapkan secara tepat dan benar dalam pelayanan kepada
masyarakat. Alih ilmu dan teknologi, alih keterampilan
dari para pakar internasional kepada tenaga kesehatan
Indonesia semakin meningkat. Alih IPTEK dan keterampilan
dapat melalui berbagai kegiatan, seperti melalui kegiatan
di rumah sakit, pelatihan-pelatihan singkat, dalam
berbagai disiplin ilmu serta kegiatan seminar dan
simposium.
Dengan adanya AFTA yang sebentar lagi akan terbuka,
maka juga dapat menciptakan peluang untuk tenaga
kesehatan Indonesia dapat bersaing di luar negeri dan hal
tersebut akan membawa dampak yang baik bagi peningkatan
devisa negara. Penanam modal asing juga akan lebih
terbuka untuk berinvestasi di Indonesia, terutama di
bidang kesehatan.
G. Legal Aspek Penggunaan Tenaga kerja Asing di Bidang
Kesehatan
Berdasarkan UU No.3 tahun 1958 tentang Penempatan
Tenaga Asing dan Keppres No.23 tahun 1974 tentang
Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing
Pendatang, untuk penggunaan tenaga kerja asing di bidang
kesehatan telah diatur dalam dua Keputusan Menteri Tenaga
Kerja, yaitu:
a. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.Kep.249/982 tentang Pelaksanaan Pembatasan Penggunaan
Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang di sektor
kesehatan sub sektor pelayanan kesehatan.
b. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.Kep.1 10/Mu 986
tentang Pelaksanaan Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja
Wárga Negara Asing Pendatang di sektor kesehatan sub
sektor pengawasan obat dan makanan. Pada Keputusan
Menteri Tenaga Kerja pada sub sektor pelayanan kesehatan
mengatur 112 jabatan yang tertutup bagi tenaga kerja
asing, 105 jabatan yang terbuka untuk waktu tertentu yang
waktunya berkisar antara 12 bulan sampai dengan 60 bulan.
OIeh karena Keputusan Menteri Tenaga Kerja tersebut
dikeluarkan tahun 1982 dengan sendirinya bagi perusahaan-
perusahaan khususnya Rumah Sakit telah dapat menggantikan
tenaga kerja asing dengan tenaga kerja Indonesia.
Dalam zaman globalisasi sekarang ini, Keputusan
Menteri Tenaga kerja tersebut di Atas perlu dievaluasi
dan disempurnakan bersama antara Dirjen Teknis
(DepartemenKesehatan) dengan Dirjen Binapenta Depnaker
sesuai dengan perkembangan pasar kerja yang ada di dalam
negeri. Ditinjau dari jiwa dari dua Keputusan Menteri
Tenaga kerja tersebut sudah sesuai dengan tujuan nasional
yang tercantum datam UUD 1945, namun demikian secara
teknis perlu disesuaikan dengan Azas Perimbangan antara
apa yang diberikan oleh pihak asing dengan apa yang akan
kita berikan kepada pihak asing.
Di dalam peraturan-peraturan yang ada bahwa
perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing
diwajibkan untuk mendidik tenaga kerja Indonesia untuk
menggantikan tenaga kerja asing yang bersangkutan. Oleh
karena itu dalam syarat-syarat perijinan ditetapkan
adanya tenaga kerja pendamping (counterpart) dan tenaga
kerja asing yang bersangkutan untuk keperluan alih
teknologi.
Dalam kenyataannya adalah tidak mudah, kebanyakan
tenaga kerja asing sulit memberikan teknologi/pengetahuan
kepada tenaga kerja Indonesia, oleh karena itu perlu
adanya taktik yang jitu untuk mendapatkan
teknologi/pengetahuan dari tenaga kerja asing.
Dalam rangka untuk menarik investasi dari luar negeri,
tanpa mengurangi prinsip kebijaksanaan penempatan tenaga
kerja asing, maka perlu diciptakan iklim investasi yang
sejuk, seperti:
1. Indonesia perlu menciptakan iklim politik yang stabil
dan kondusif bagi pembangunan ekonomi yang memiliki
wawasan global, baik dari segi pemasaran maupun
pemilikanmodal. Iklim politik ini perlu memiliki wawasan
ke masa depan yang jelas, memberikan kepastian dan
stabilitas yang dapat menjadi lahan yang subur bagi
tumbuhnya kepercayaan para penanam modal asing.
2. Para penanam modal perlu mendapat keyakinan bahwa
semua sistem pendukung yang diperlukan untuk melancarkan
produksi tersedia dalam jumlah yang mencukupi dan mutu
yang tinggi.
3. Para pemilik modal akan menanamkan modalnya di
Indonesia hanya bila mereka yakin bahwa kebijaksanaan
Pemerintah memungkinkan mereka mendapatkan keuntungan
secara ekonomis dan finansial.
4.Kini kita telah memasuki era industrialisasi dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi, khususnya teknologi
produksi. Namun perlu disadari bahwa teknologi canggih
pada dasarnya membuka prospek dan wawasan baru termasuk
penciptaan lapangan kerja baru. Memang harus benar-benar
diperhatikan supaya pemilihan suatu teknologi produksi
dapat memberikan keunggulan dalam penghematan biaya dan
keunggulan mutu, sehingga produk dan jasa yang dihasilkan
dapat bersaing di pasar global. Bila keunggulan ini dapat
dicapai maka suatu industri dapat mendorong tumbuhnya
industry baru sehingga mampu menciptakan peluang kerja
yang lebih besar lagi.
H. Solusi yang dapat diterapkan Rumah Sakit dalam
Menghadapi Era Globalisasi
a. Aspek Sumber Daya Manusia dalam di Rumah Sakit
SDM adalah unsur utama kelemahan intern kita. Secara
khusus sumber daya tenaga kesehatan. Tenaga medis
Indonesia terlihat belum bisa ikut berperan dalam
globalisasi kesehatan karena dari data yang ada, hanya
sedikit sekali tenaga kesehatan yang dapat bekerja di
luar negeri. Dari data yang ada hanya baru perawat yang
mulai dapat tempat bekerja di luar negeri, itupun hanya
di beberapa negara dan meluas.
Hal ini harus menjadi pertanyaan bagi pemerintah dan
praktisi tenaga medis. Apa yang menjadi hambatan tenaga
medis Indonesia untuk dapat bersaing.
Sebagai akibat hal-hal di atas, kelemahan yang dapat
diamati pada banyak tenaga kesehatan muda kita secara
individual antara lain:
Berkurangnya kepercayaan diri dan harapan pada profesi
Keterbatasan penguasaan ilmu dan teknologi medis
Perilaku profesional yang tidak memadai
Keterbatasan penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa
global
Harus ada kebijakan dari pemerintah untuk mengatur
tentang tenaga medis yang akan bekerja di luar negeri dan
tenaga medis asing. Saat ini telah tersusun draft/konsep
Peraturan Menteri Kesehatan RI Tentang Penggunaan Tenaga
Kesehatan Warga Negara Asing Pendatang. Sebelum konsep
tersebut menjadi peraturan yang resmi perlu dilakukan
pengkajian yang lebih mendalam dan melibatkan berbagai
pihak sehingga dicapai konsep yang baik dan matang, serta
terintegrasi dengan berbagai kebijakan yang bersifat
lintas sektoral dan berkaitan dengan hal tersebut.
Sedangkan Kebijakan untuk tenaga medis di Indonesia dapat
mengarah pada:
1. Kebijakan dan Manajemen SDM. Kesehatan Kebijakan dan
manajemen Sumber Daya Manusia Kesehatan diarahkan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengembangan dan
pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Melalui
koordinasi lintas program dan lintas sektor.
2. Perencanaan sumber daya manusia kesehatan. Perencanaan
kebutuhan SDM Kesehatan disusun berdasarkan atas
kebutuhan infrastruktur upaya kesehatan, memeperhatihan
berbagai perubahan yang terjadi dan upaya kesehatan,
dalam menjawab tuntutan akibat perkembangan lingkungan
secara luas. Perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan
ditentukan oleh perkiraan (skenario) perkembangan
berbagai determinan kesehatan, serta perubahan pokok
program kesehatan sebagaimana yang tersebut pada Rencana
Pembangunan Kesehatan 2010.
3. Pendayagunaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Pendayagunaan Sumber Daya Manusia Kesehatan diarahkan
untuk mengatasi permasalahan baik di dalam negeri
(pemerataan, kualitas, efisiensi, dan migrasi tenaga
kesehatan termasuk penapisan tenaga kesehatan asing)
maupun ke luar negeri. Pengembangan jenis dan kompetensi
tenaga kesehatan ditentukan berdasarkan kebutuhan
masyarakat,
standar profesi dan standar global.
4. Pendidikan sumber daya manusia kesehatan. Pendidikan
tenaga kesehatan
diarahkan untuk menghasilkan lulusan tenaga kesehatan
professional, sesuai dengan tuntutan pelayanan kesehatan,
IPTEK dan global melalui upaya akreditasi
institusi,standarisasi kompetensi dan kurikulum,
sertifikasi tenaga pendidik, pemenuhan sarana dan
prasarana pendidikan.
5. Pelatihan untuk sumber daya manusia kesehatan.
Pelatihan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan
kompetensi dan menunjang pengembangan karier beorientasi
pada kebutuhan pengguna, menerapkan metodolgi dan
teknologi pelatihan melalui standarisasi, akreditasi
institusi diklat dan pelatihan, sertifikasi.
6. Pemberdayaan Profesi Kesehatan. Pemberdayaan Profesi
Kesehatan diarahkan
pada kemandirian profesi kesehatan, melalui proses
legislasi (registrasi, sertifikasi
dan lisensi). Selain itu perlu adanya inventaris jumlah
tenaga kesehatan dan fasilitas serta kemampuan pelayanan
serta mutunya. Hal ini dapat digunakan sebagai masukan
untuk. Perlu pula ditetapkan standar pelayanan/standar
profesi serta adanya akreditasi profesi. perencanaan
peningkatan mutu melalui pelatihan dan pendidikan yang
tepat.
7. Perlu pula ditetapkan ujian kompetensi untuk menjaga
mutu serta merupakan saringan bagi tenaga yang akan
memasuki sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Pada
saat ini di tingkat internasional sedang digalakkan paham
bahwa pelayanan harus berpusat pada pasien (bukan
penyakit). Pasien harus diperlakukan sebagai manusia
seutuhnya dan perlu dibina dan dipelihara serta diberikan
pelayanan yang memuaskan. Dengan langkah langkah tersebut
diharapkan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mudah
tersaingi oleh
tenaga kesehatan asing.
b. Dari segi barang dan produksi lokal, tingkatkan daya
saingnya. Buat sebagus dan sebersaing mungkin. Dari
kualitas tentu tidak boleh kalah dari produk-produk yang
sama dari negara ASEAN lainnya. Kalau perlu kita harus
segera memproduksi barang-barang alternatif yang
sekiranya belum ada atau belum terlalu banyak di pasaran.
Ini untuk mengisi kekosongan pasar dan meningkatkan daya
saing. Pasar yang disasar di ASEAN cukup menjanjikan,
sekitar 500 juta jiwa. Peran pemerintah harusnya makin
besar dan jelas. Karena apapun itu, maka campur tangan
pemerintah sangat dibutuhkan saat ini, bukan nanti. Kalau
pemerintah tidak mau tahu dan tidak mau terlibat, ini
akan berakibat fatal. Jangan sampai kita akan ‘gigit
jari’ nantinya. Dan jangan sampai pemerintah akan
menyesal setelah kita semua sudah jadi korban AFTA 2015.
Semoga kita akan semakin siap menyongsong berlakunya AFTA
2015. Semoga pasar bebas ini akan menguatkan kita, bukan
melemahkan.
Sampai saat ini rumah sakit di Indonesia belum mampu
bersaing dengan rumah sakit di luar negeri. Fokus dari
permasalahan yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah
pertama, masih kurangnya kesiapan Indonesia menghadapi
era globalisasi terutama dalam bidang kesehatan; kedua,
tingginya opportunity costs yang hilang; dan ketiga, adanya
krisis ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap mutu
pelayanan kesehatan dimana semakin seringnya muncul
dugaan malpraktik dan salah diagnosis oleh petugas
kesehatan. Tenaga medis yang pada saat ini terlihat kurang
kompeten dibandingkan tenaga medis asing. Sedangkan pada
pelayanan kesehatan, tenaga medis sangat berperan penting terhadap
kepuasan pasien.
II. INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT MENGHADAPI ERA
GLOBALISASI
Instalasi Farmasi Rumah Sakit ( IFRS ) merupakan satu-
satunya unit di rumah sakit yang mengadakan barang
farmasi, mengelola dan mendistribusikannya kepada pasien,
bertanggung jawab atas semua barang farmasi yang beredar
di rumah sakit, serta bertanggung jawab atas pengadaan
dan penyajian informasi obat siap pakai bagi semua pihak
di rumah sakit.
Dalam era perdagangan bebas, setiap perusahaan
termasuk rumah sakit menghadapi persaingan ketat.
Meningkatnya intensitas persaingan dan jumlah pesaing
juga menuntut manajemen untuk selalu memperhatikan
kebutuhan dan keinginan pasien serta berusaha memenuhi
apa yang mereka harapkan dengan cara yang lebih memuaskan
daripada yang dilakukan pesaing.
Perhatian tidak terbatas pada produk atau jasa yang
dihasilkan saja, tetapi juga pada aspek proses, sumber
daya manusia, dan lingkungan. Pada saat ini pasien
menghadapi beraneka ragam pilihan pelayanan kesehatan
termasuk pelayanan farmasi, mereka mempunyai posisi tawar
yang cukup kuat sehingga dalam memilih pelayanan tidak
hanya mempertimbangkan aspek produk pelayanannya saja,
tetapi juga aspek proses dan jalinan relasinya. Rumah
sakit yang mempunyai alat canggih dengan teknologi tinggi
namun tidak diimbangi dengan proses pelayanan yang
profesional, terlebih lagi bila tidak mampu melakukan
jalinan relasi dengan baik maka tidak akan mampu
memperoleh hasil yang optimal.
Faktor lingkungan mempunyai kekuatan dalam menentukan
pembelian, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar
daripada karakteristik individu. Hal ini menjadikan
prediksi perilaku lebih kompleks. Karakteristik individu
meliputi berbagai variabel seperti usia, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan, saling
berinteraksi satu sama lain dan dengan faktor-faktor
pelayanan farmasi akan menentukan perilaku pembelian.
Pemahaman atas sikap manusia digunakan untuk menjelaskan
mengapa orang-orang berperilaku berbeda dalam situasi
yang sama.
Untuk membahas proses perubahan sikap diperlukan
pengetahuan tentang cara-cara Manipulasi atau
pengendalian situasi lingkungan supaya menghasilkan
perubahan kearah yang dikehendaki. Rendahnya perubahan
sikap yang terjadi disebabkan penolakan individu terhadap
persuasi yang bersumber dari orang yang tidak
dipercayainya, sehingga menuntut strategi persuasi yang
berbeda dari orang ke orang.
Peningkatan jumlah lembar resep yang masuk ke IFRS
merupakan indikasi adanya perbaikan mutu pelayanan.
Disamping itu peningkatan persepsi pasien terhadap IFRS
akan memberikan hasil positif bagi upaya peningkatan
pelayanan IFRS. Oleh karena itu faktorfaktor yang terkait
dengan persepsi pasien perlu memperoleh perhatian dalam
manajemen pelayanan farmasi.
III. SOLUSI IFRS MENGHADAPI TANTANGAN ERA GLOBALISASI
1) UPGRADE FORMULARIUM, RUJUKAN, DAN PEDOMAN
KEFARMASIAN
Demi menghadapi era globalisasi, maka IFRS seharusnya
mengupdate ulang formularium rumah sakit, atau rujukan
yang biasa digunakan dalam menyusun kebijakan,
disesuaikan dengan standar Asean/ Internasional.
2) LEGALITAS APOTEKER WARGA NEGARA ASING
Untuk meningkatkan dan menjamin mutu tenaga
kefarmasian dala melaksanakan pekerjaannya, telah
dibentuk Komite Farmasi Nasional (KFN) yang mempunyai
tugas melaksanakan registrasi, sertifikasi, pendidikan
dan pelatihan berkelanjutan, pembinaan dan pengawasan
apoteker berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 Tentang Registrasi,
Izin Praktik, Dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian
Dalam beberapa tahun terakhir ini, beberapa rumah
sakit swasta telah mempekerjakan tenaga kesehatan warga
Negara asing (TKWNA). Sesuai peraturan dan ketentuan yang
berlaku, penggunaan TKWNA diperbolehkan hanya sebagai
konsultan. Namun pada kenyataannya di lapangan, dijumpai
TKWNA juga memberikan pelayanan kesehatan langsung kepada
pasien. Dalam hubungan ini, pembinaan dan pengawasan
tenaga kesehatan belum berjalan dengan semestinya. Ke
depan sejalan dengan berlakunya pasar bebas, migrasi
TKWNA ke Indonesia tidak dapat dihindari. Dengan demikian
pembinaan dan pengawasan TKWNA dan dukungan regulasinya
perlu ditingkatkan agar Apoteker dalam negeri tidak
mengalami ketinggalan dengan masuknya Apoteker Warga
Negara Asing. Jangan sampai Orang-orang yang berada dalam
instalasi Farmasi mayoritas merupakan Apoteker warga
Negara asing.
3) PENGUATAN SUMBER DAYA PENGEMBANGAN TENAGA KESEHATAN
Penguatan sumber daya dalam mendukung pengembangan dan
pemberdayaan Apoteker dilakukan melalui peningkatan
kapasitas SDM Kesehatan, penguatan sistem informasi
tenaga kesehatan, serta peningkatan pembiayaan dan
fasilitas pendukung lainnya. Di era globalisasi dengan
berlakunya pasar bebas termasuk jasa di bidang kesehatan,
pendayagunaan tenaga kesehatan Warga Negara Asing, dapat
dilaksanakan.
Pendayagunaan tenaga kesehatan WNA ini harus benar-
benar memperhatikan kebutuhan dan diutamakan untuk jenis
tenaga kesehatan yang terbatas pengadaannya di dalam
negeri. Untuk menjamin mutu dari pendayagunaan tenaga
kesehatan Warga Negara Asing tersebut perlu dilakukan
pengawasan pemanfaatannya. Pembinaan tenaga kesehatan
sebagai individu dilakukan baik untuk tenaga kesehatan di
dalam negeri, tenaga kerja kesehatan Indonesia (TKKI)
yang bekerja di luar negeri, maupun tenaga kesehatan
warga negara asing (TKWNA) yang bekerja di Indonesia.
Untuk mengantisipasi diberlakukannya pasar bebas termasuk
dalam sektor jasa, diperlukan suatu institusi independen
yang berfungsi untuk membina dan mengawasi tenaga
kesehatan asing yang bekerja di Indonesia.
Dalam rangka penegakan hukum sesuai peraturan perundangan
yang berlaku, baik bagi pemenuhan hak-hak masyarakat akan
pelayanan kesehatan yang berkualitas, maupun untuk
pemenuhan hak-hak tenaga kesehatan, perlu dikembangkan
dan ditingkatkan kembali Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS), khususnya bagi tenaga kesehatan yang berstatus
Pegawai Negeri Sipil/PNS.
Hasil dari pembinaan untuk selanjutnya dipakai sebagai
bahan analisis guna penyusunan kebijakan baik untuk
memperbaiki kebijakan yang sudah ada atau menyusun
kebijakan baru sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi.
4) PENAMPILAN APOTIK/ SARANA YANG ADA DALAM IFRS
Penampilan apotek ditata sedemikian rupa sehingga
menarik perhatian pasien, dilengkapi dengan ruang tunggu
yang nyaman dan sarana pelengkap yaitu TV, koran, tempat
mainan anak, kantin, toilet/wc, bank, dimaksudkan untuk
memberi kenyamanan selama menunggu obat. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Engel.J. (1993) yang mengatakan
bahwa faktor penting yang terkait langsung dengan
keinginan pasien untuk membeli obat di IFRS adalah proses
yang berlangsung selama pelayanan dan kenyamanan dalam
menunggu, yaitu dengan penampilan fisik yang menarik dan
tersedianya sarana penunjang.
Diperlukan usaha untuk membuat pasien percaya,
karena dengan dasar kepercayaan maka sikap pasien
terhadap pelayanan farmasi dapat terbentuk. Tidak adanya
pengalaman sama sekali dengan IFRS cenderung akan
membentuk sikap negatif terhadap instalasi tersebut,
serta bagaimana manusia bereaksi terhadap pengalaman saat
ini jarang lepas dari penghayatannya terhadap pengalaman
masa lalu. Pasien membentuk harapan akan nilai nilai dan
bertindak berdasarkan hal tersebut. Kenyataan apakah
suatu penawaran memenuhi harapan akan mempengaruhi
kepuasan dan kemungkinan membeli kembali.
Diharapkan diketahui faktor pelayanan farmasi yang
memprediksi keputusan beli obat ulang sebagai landasan
menyusun program peningkatan pelayanan farmasi yang
memenuhi harapan, sehingga pasien tetap memilih IFRS
sebagai tempat untuk membeli obat. Selanjutnya diharapkan
pasien bersedia merekomendasikan kepada orang lain untuk
memanfaatkan fasilitas pelayanan IFRS. Hal ini penting
diperhatikan karena alasan terbanyak mengapa banyaknya
pasien berobat ke luar negeri atau rumah sakit asing
karena kenyamanan yang di inginkan oleh pasien.
5) PENINGKATAN SISTEM TEKNOLOGI IFRS
Dampak dari globalisasi terhadap sistem pelayanan
kesehatan akan positif apabila diarahkan pada terciptanya
pelayanan kesehatan yang bermutu tersedia merata di
seluruh pelosok tanah air dan dengan harga yang
terjangkau oleh masyarakat Indonesia.
Semakin mendesak waktunya, kita sebagai bangsa bangkit
dan melangkah maju menjauhi ketinggalan kita dari sesama
bangsa-bangsa di Asia Tenggara ini. Dari sana melaju
mencapai kesejajaran dengan bangsa-bangsa lain. Singapura
membangun sistem teknologi informasi antara pelayanan
kesehatan dengan kementerian kesehatannya. Mereka punya
software untuk memberi peringatan dini misalnya satu
farmasi dengan melihat obat yang berinteraksi,
komputernya langsung kedap-kedip. Untuk alergi yang sudah
dimasukkan datanya bila obat tetap diberikan juga kedap-
kedip. Dunia sudah berubah maju, batas geografi mulai
dilanggar sehingga secara maya tidak ada lagi batas
antar-negara, antar-bangsa, terutama akibat kemajuan
teknologi yang tak seorang pun dapat membendungnya. RSUD
dr Soetomo Surabaya sedang menuju ke sistem pencatatan
medis tanpa kertas, dengan teknologi sistem informasi
berbasis elektronik. Layanan e-government sedang
dikembangkan di Palu, Sulawesi Tengah, di pemerintah
kabupaten/kota di NTB, NTT dan Papua. Teknologi Anjungan
Internet Mandiri (AIM) memberi kemudahan masyarakat
mengakses internet lewat saluran pita lebar berkapasitas
sampai 512 kpbs. Pengguna AIM baru ada di Surabaya ini
bisa siapa saja, hanya dengan membeli kartu prabayar yang
dijual murah di-outlet Bandara Juanda, rencananya akan
disebar ke beberapa tempat strategis seperti rumah sakit
di Jawa Timur. Pelayanan yang bagus justru membuat
hasilnya berlipat ganda dengan menjamin pelanggan yang
ada terpuaskan. AIM di RS perlu bagi pasien dan
masyarakat pelanggan yang membutuhkan informasi jenis
penyakit yang diderita pasien atau tentang jenis obat
yang diperlukan.
Meningkatkan pemanfaatan electronic Health (e-Health) atau
ubiquteous Health (u-Health) dalam mendukung pelayanan kesehatan
yang bermutu. Mengembangkan sistem hotline dan respon cepat
untuk mengawasi operasionalisasi pelaksanaan pelayanan
kesehatan
6) PENINGKATAN JUMLAH APOTEKER BERDASARKAN KUALITAS DAN
KEBUTUHAN
Oleh karena itu, dituntut kemampuan dan keterampilan
para penyedia layanan kesehatan agar dapat memenangkan
persaingan, yaitu dengan memberikan pelayanan yang
bermutu kepada stakeholder (Oktaviantari, 2012). Dalam
rangka meningkatkan kualitas pelayanannya, (contoh) Rumah
Sakit Bethesda mengembangkan sarana dan prasarana
pelayanan kesehatan bagi pasien dimana salah satunya
yaitu Instalasi Farmasi. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Bethesda sebagai salah satu unit bisnis yang terdapat di
Rumah Sakit Bethesda, merupakan sarana penunjang medis
yang memberikan pelayanan secara langsung kepada pasien
baik pasien gawat darurat, rawat jalan, maupun rawat
inap. Oleh karena itu, Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Bethesda merupakan salah satu bagian vital yang siap
melayani pasien 24 jam dalam satu hari.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bethesda dalam
perkembangannya juga tidak lepas dari dampak persaingan
bisnis yang ketat, sehingga diperlukan upaya dari
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bethesda untuk dapat
meningkatkan mutu pelayanannya secara berkelanjutan
(continuous improvement).
Pada kenyataannya, banyak masalah sering dijumpai
dalam pelayanan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bethesda.
Berdasarkan hasil observasi awal, didapati stakeholder,
yaitu pasien yang berobat di Rumah Sakit Bethesda, dokter
untuk pasien rawat inap, dan perawat untuk pasien rawat
inap sering mengeluhkan pelayanan yang diberikan di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bethesda kurang memuaskan.
Salah satu hal yang sering dikeluhkan yaitu waktu tunggu
obat dari resep diserahkan dari bagian poliklinik sampai
obat disiapkan dan diserahkan kepada stakeholder masih
relatif lama. Hal ini sangat tampak pada jam-jam sibuk,
yaitu antara jam 10.00 WIB sampai 14.00 WIB. Pada jam jam
tersebut hampir semua dokter (dokter umum maupun dokter
spesialis) membuka praktek pada poliklinik Rumah Sakit
Bethesda. Kondisi inilah yang menyebabkan kebutuhan
stakeholder akan obat-obatan terkonsentrasi pada jam-jam
tersebut. Hal ini tentu saja akan berdampak pada
rendahnya penilaian stakeholder terhadap kualitas pelayanan
Instalasi Farmasi Rumah Sakit serta menurunnya kepuasan
stakeholder pada Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Sehingga
untuk menghadapi era globalisasi maka sebaiknya Instalasi
Farmasi Rumah Sakit meningkatkan tenaga apoteker seiring
dengan meningkatnya tuntutan pasien terhadap pelayanan
yang cepat, tepat dan lugas.
7) Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan
keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta
menjamin keamanan/khasiat, kemanfaatan, dan mutu
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan.
Dalam hal pengadaan obat, dengan adanya era
globalisasi kemungkinan masuknya perusahaan asing
industry obat membawa dampak positif dan negatif. Hal
yang kita takutkan adalah matinya industry farmasi dalam
negeri, meskipun sebenarnya industry-industri farmasi
dalam negeri pun sudah melakukan persiapan dalam
menghadapi era globalisai. Di pihak IFRS sendiri yang
merupakan pengkonsumsi dana rumah sakit hingga mencapai
30-60% demi pembelian obat dan alkes, perlunya manajemen
pintar,bijak dan tepat dalam melakukan pengadaan.
Usahakan tetap menggunakan industry farmasi dalam negeri
dengan tidak mengabaikan indutri farmasi asing
berdasarkan sepsifikasi yang sesuai standar. Karena IFRS
memiliki pengaruh penting dalam hidup dan matinya indutri
farmasi dalam negeri. IFRS harus pandai memilah-milah hal
yang penting dan menguntungkan dengan mulai menjalin Link
atau mencari tahu industry mana yang paling berkompeten.
Menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan
obat melalui peningkatan akses obat bagi masyarakat luas
serta pemberian dukungan untuk pengembangan industri
farmasi di dalam negeri sebagai upaya kemandirian di
bidang kefarmasian; penggunaan obat yang rasional dengan
pelayanan kefarmasian yang bermutu; menetapkan Harga
Eceran Tertinggi (HET), utamanya pada Obat Esensial
Generik untuk pengendalian harga obat; meningkatkan
pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk mengembangkan
industri obat herbal Indonesia; memantapkan kelembagaan
dan meningkatkan koordinasi dalam pengawasan terhadap
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan untuk
menjamin keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu dalam
rangka perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah
dan penyalahgunaan obat. Sediaan farmasi, alat kesehatan
dan makanan yang aman, bermanfaat dan bermutu harus
tersedia secara merata serta terjangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat.
Upaya dalam meningkatkan ketersediaan tersebut,
dilakukan dengan upaya peningkatan manajemen,
pengembangan dan penggunaan teknologi di bidang sediaan
farmasi, alat kesehatan dan makanan serta pengawasan pre
market dan post market sediaan farmasi, alat kesehatan dan
makanan yang komprehensif.
Pengkajian harga sediaan farmasi dan alat kesehatan
dilakukan dalam kerangka meningkatkan keterjangkauan
masyarakat terhadap harga obat. Rasionalisasi harga obat
dapat dilaksanakan. Sarana distribusi sediaan farmasi dan
alat kesehatan sektor swasta ditingkatkan, dalam upaya
mendekatkan pelayanan obat kepada masyarakat dengan harga
yang terjangkau.
Fokus:
a. Mendorong upaya pembuatan obat dan produk
farmasi lain yang terjangkau dengan tanpa
mengabaikan masalah kualitas dan keamanan obat
seperti yang telah dilakukan selama tiga tahun
terakhir.
b. Meningkatkan ketersediaan, dan
keterjangkauan obat, terutama obat esensial
generik.
c. Meningkatkan penggunaan obat rasional.
d. Meningkatkan keamanan, khasiat dan mutu
obat dan makanan yang beredar.
e. Mengembangkan peraturan dalam upaya
harmonisasi standar termasuk dalam
mengantisipasi pasar bebas.
f. Meningkatkan kualitas sarana produksi,
distribusi dan sarana pelayanan kefarmasian.
g. Meningkatkan pelayanan kefarmasian yang
bermutu.
h. Meningkatkan penelitian, pengembangan dan
pemanfaatan obat tradisional Indonesia.
i. Meningkatkan penelitian di bidang obat
dan makanan, kemandirian di bidang produksi
obat, bahan baku obat, obat tradisional,
kosmetika dan alat kesehatan;
j. Penguatan sistem regulatori pengawasan
obat dan makanan, sistem laboratorium obat
dan makanan serta peningkatan kemampuan
pengujian mutu obat dan makanan.
k. Peningkatan sarana dan prasarana
laboratorium pengujian serta penerapan standar
internasional laboratorium.
l. Penyusunan standar dan pedoman pengawasan
obat dan makanan dan peningkatan pemeriksaan
sarana produksi dan distribusi obat dan
makanan.
8) DIBUTUHKAN “MANPOWER” YANG MEMILIKI KOMPETENSI
STANDAR KUALITAS INTERNASIONALIFRS mulai mengikuti pelatihan-pelatihan yang berstandar
internasional demi meningkatkan kualitas kompetensi berstandar
internasional, hal ini sebaiknya di iringi rumah sakit yang
sebaiknya mulai berpedoman ke Rumah Sakit standar
internasional jadi komponen di dalam rumah sakit itu sendiri
akan ikut serta. Konsep pharmaceutical care sebaiknya benar-
benar dijalankan oleh tiap IFRS, karena Negara Asean yang
sudah lebih dulu menjalankan, tentu sudah lebih matang dan
kita harus mengejar ketinggalan.
Peningkatan kompetensi ini dapat dimulai dari hal yang
terkecil:
Kesadaran tiap calon Apoteker dan Apoteker
terhadap ancaman era global dengan cara
pengenalan sejak dini mengenai AFTA, era
global, tantangannya dan strategi
menghadapinya.
Kesadaran kita untuk menjadi bagian integral
dari jaringan global dalam bidang ekonomi
dan perdagangan dengan sendirinya akan
menyebabkan kita Iebih banyak bersentuhan
dengan sistem sosial budaya bangsa lain.
Mengahadapi kenyataan ini maka di Indonesia
perlu dikembangkan sikap toleran yang tinggi
tetapi sekaligus juga bersifat selektif di
dalam melakukan proses akulturasi
Meningkatkan kualitas fungsional berupa
pelaksanaan pelatihan terutama yang
berkaitan dengan hubungan manusia yaitu
mengenai sikap dan cara berkomunikasi yang
baik guna membentuk kepribadian yang
berkarakter pada sumber daya manusia dan
meningkatkan kedisiplinan dan komitmen dalam
bekerja pada seluruh petugas rumah sakit
baik medis maupun bukan medis agar bisa
memberikan pelayanan prima yang tepat,
cepat, akurat, dan dapat melaksanakan tugas,
fungsi serta perannya dengan baik sesuai
dengan visi dan misi rumah sakit.
Perkuat kemampuan berbahasa Inggris. Perkuat
kemahiran memakai dan menggunakan komputer,
khususnya program-program spesifik. Itu dari
segi sumber daya manusia.
Apoteker dan tenaga kesehatan Indonesia
segera melakukan kolaborasi untuk
penyelenggaraan sikap dan tindak di bidang
kesehatan. Tingkatkan kolaborasi secara
lintas sector untk mencapai tujuan
pembangunan kesehatan
Keterampilan personal meliputi kemandirian,
kemampuan komunikasi, keberanian, semangat,
kerjasama tim dan inisiatif. Fleksibilitas
dan motivasi untuk maju
IV. KESIMPULAN
1. IFRS PERLU MELAKUKAN UPGRADE ILMU, FORMULARIUM
MENYESUAIKAN DENGAN ERA GLOBALISASI AGAR TIDAK
KETINGGALAN.
2. IFRS MEMILIKI SDM YANG BERKOMPETENSI DENGAN
MENGIKUTI PELATIHAN-PELATIHAN STANDAR INTERNASIONAL,
DAN MENJALANKAN PHARMACEUTICAL CARE AGAR TIDAK KALAH
/ KETINGGALAN DARI FARMASIS WARGA ASING
3. APOTEKER RUMAH SAKIT MENINGKATKAN KEMAMPUAN DALAM
BERBAHASA INGGRIS, KOMUNIKASI DAN TOLERAN DAN
EMPATI.
4. IFRS HARUS BERKOLABORASI DENGAN SEGALA KOMPONEN
RUMAH SAKIT AGAR TERBENTUKNYA PELAYANAN YANG TEPAT
DI RUMAH SAKIT
5. IFRS HARUS MEMPERHATIKAN “KENYAMANAN/KEPUASAN”
PASIEN DEMI MENGHINDARI LARINYA PELANGGAN/PASIEN KE
RUMAH SAKIT ASING
6. MEMILIKI PERATURAN YANG KUAT DALAM MEMBATASI
MASUKNYA FARMASIS WARGA ASING
7. MENYEDIAKAN OBAT DAN ALKES DENGAN TEPAT, MURAH, DAN
EFISIEN MELALUI INDUSTRI FARMASI YANG TERPERCAYA
DENGAN MENDAHULUKAN INDUSTRI FARMASI DALAM NEGERI.
RUJUKAN :Tulisan ini didapat dari berbagai sumber baik itu jurnal
penelitian, rencana kerja nasional pemerintahan, Thesis,
Permenkes, blog-blog yang ada di internet, wawancara
langsung dengan pihak-pihak yang di anggap terlibat
dengan topik seperti farmasis di rumah sakit, farmasis di
dinas kesehatan kab. Muara-enim Sumatera Selatan (namun
sayangnya, dari sumber diketahui bahwa belum adanya
pelatihan atau sosialisasi tentang pasar bebas itu
sendiri sehingga informasi yang di dapat pun sebatas
pendapat), dan pendapat pribadi penulis.
Analisis kebutuhan tenaga berdasarkan beban kerja
dengan teknin work sampling menggunakan metode WISN
di unit farmasi rawat jalan Krakatau medika hospital
cilegon 2012. Syukraa HG
Analisis Faktor-faktor Pelayanan Farmasi Yang
Memprediksi Keputusan Beli Obat Ulang Dengan
Pendekatan Persepsi Pasien Klinik Umum Di Unit Rawat
Jalan Rs Telogorejo Semarang. C. Retno Purwastuti
Analisis Perspektif Pembelajaran Dan Pertumbuhan
Dalam Mengukur Kinerja Instalasi Farmasi Rsud X
Dengan Pendekatan Balanced Score Card. Indriyati Hadi
Sulistyaningrum, Satibi , Dan Tri Murti Andayani
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
889 / Menkes / Per / V/2011 Tentang Registrasi, Izin
Praktik, Dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian
Strategi Peningkatan Kompetensi Tenaga Kesehatan
Dalam Menghadapi Pasar Bebas Asean 2015. Disajikan
Oleh : Kepala Pusat Perencanaan &Pendayagunaan Sdmk
Pada Rakornas Ismki 2014. Jakarta, 11 Oktober 2014
Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011 –
2025, JAKARTA, 2011, Bakti Husada.
Kesiapan Rumah Sakit Dalam Menghadapi Globalisasi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
2008. Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc, Ph.D
Rencana pembangunan jangka panjang bidang kesehatan
2005-2025. Departemen kesehatan RI. Jakarta, 2009.
Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat Di
Farmasi Rumah Sakit. Dra. Dwi Pudjaningsih, Apt.,
dr. Budiono Santoso. Yogyakarta
Rencana strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan
Tahun 2010-2014. Kementerian kesehatan republic
Indonesia.