PENYAKIT INFEKSI PADA KEHAMILAN Infeksi Virus 1.Varicella – Zooster Virus ini termasuk virus DNA dan hidup laten pada ganglion bagian belakang setelah infeksi primerr. Paryani dan Arvin (1986) melaporkan bahwa 4 dari 43 wanita hamil yang terinfeksi atau sekitar 10%, mengalami pneumonitis. Dua dari wanita ini memerlukan ventilator dan satu meninggal. Infeksi herpes zooster pada ibu hamil lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua atau mengalami gangguan kekebalan (immunocompromised). Pencegahan Pemberian imunoglobulin varisela-zooster (VZIG) akan mencegah atau memperlemah infeksi varisella pada orang rentan yang terpajan apabila diberikan dalam 96 jam dengan dosis 125 U /10 kgBB, i.m maksimal 625 unit atau 5 vial untuk pre dan pascatercemar. Efek pada janin Cacar air pada wanita hamil selama paruh pertama gestasi dapat menyebabkan malformasi kongenital akibat infeksi transplasenta, berupa korioretinitis, atrofi korteks serebri, hidronefrosis dan defek kulit serta tulang tungkai. Resiko tertinggi terletak pada usia gestasi antara 13 dan 20 minggu. Pajanan pada usia kehamilan yang lebih belakangan menyebabkan lesi varisella kongenital, dan bayi kadang-kadang mengalami herpes zooster pada usia beberapa bulan (Chiang dkk, 1995). Janin yang terpajan virus tepat sebelum dan saat persalinan ketika antibodi ibu belum terbentuk, mengalami ancaman serius, bayi akan mengalami infeksi viseral dan susunan syaraf pusat diseminata, yang sering kali mematikan. 2.Parotitis Parotitis adalah penyakit infeksi pada orang dewasa yang jarang dijumpai yang disebabkan oleh paramiksovirus RNA. Virus terutama menginfeksi kelenjar liur, tetapi juga dapat mengenai gonad, meningen, pankreas dan organ lain. Parotitis selama kehamilan tidak lebi parah dibanding pada orang dewasa tidak hamil dan tidak terdapat bukti bahwa virus bersifat teratogenik (Ouhilal, 2000). Vaksin Jeryl-Lynn (virus hidup yang dilemahkan) dan vaksin MMR kontraindikasi bagi wanit haml.
24
Embed
Infeksi Virus 1.Varicella – Zooster Pencegahan Efek pada janindocshare01.docshare.tips/files/19069/190690170.pdf · d. Pengenalan dan ... Hepatitis Infeksiosa ... Pengobatan penyakit
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENYAKIT INFEKSI PADA KEHAMILAN
Infeksi Virus
1.Varicella – Zooster
Virus ini termasuk virus DNA dan hidup laten pada ganglion bagian belakang setelah
infeksi primerr. Paryani dan Arvin (1986) melaporkan bahwa 4 dari 43 wanita hamil yang
terinfeksi atau sekitar 10%, mengalami pneumonitis. Dua dari wanita ini memerlukan
ventilator dan satu meninggal. Infeksi herpes zooster pada ibu hamil lebih sering terjadi
pada pasien yang lebih tua atau mengalami gangguan kekebalan (immunocompromised).
Pencegahan
Pemberian imunoglobulin varisela-zooster (VZIG) akan mencegah atau memperlemah
infeksi varisella pada orang rentan yang terpajan apabila diberikan dalam 96 jam dengan
dosis 125 U /10 kgBB, i.m maksimal 625 unit atau 5 vial untuk pre dan pascatercemar.
Efek pada janin
Cacar air pada wanita hamil selama paruh pertama gestasi dapat menyebabkan
malformasi kongenital akibat infeksi transplasenta, berupa korioretinitis, atrofi korteks
serebri, hidronefrosis dan defek kulit serta tulang tungkai.
Resiko tertinggi terletak pada usia gestasi antara 13 dan 20 minggu. Pajanan pada usia
kehamilan yang lebih belakangan menyebabkan lesi varisella kongenital, dan bayi
kadang-kadang mengalami herpes zooster pada usia beberapa bulan (Chiang dkk, 1995).
Janin yang terpajan virus tepat sebelum dan saat persalinan ketika antibodi ibu belum
terbentuk, mengalami ancaman serius, bayi akan mengalami infeksi viseral dan susunan
syaraf pusat diseminata, yang sering kali mematikan.
2.Parotitis
Parotitis adalah penyakit infeksi pada orang dewasa yang jarang dijumpai yang
disebabkan oleh paramiksovirus RNA. Virus terutama menginfeksi kelenjar liur, tetapi
juga dapat mengenai gonad, meningen, pankreas dan organ lain. Parotitis selama
kehamilan tidak lebi parah dibanding pada orang dewasa tidak hamil dan tidak terdapat
bukti bahwa virus bersifat teratogenik (Ouhilal, 2000). Vaksin Jeryl-Lynn (virus hidup
yang dilemahkan) dan vaksin MMR kontraindikasi bagi wanit haml.
Efek pada janin
Tidak ada bukti kuat bahwa infeksi parotitis meningkatkan angka kematian janin maupun
anomali mayor pada janin. Parotitis kongenital sangat jarang dijumpai.
3.Rubeola (campak)
Virus tampaknya tidak bersifat teratogenik, tetapi terjadi peningkatan frekuensi abortus
dan BBLR pada kehamilan dengan penyulit campak (Siegel dan Fuerst, 1966). Apabila
seorang wanita menderita campak sesaat sebelum melahirkan , timbul resiko infeksi
serius yang cukup besar pada neonatus, terutama pada bayi preterm. Imunisasi pasif dapat
dicapai dengan pemberian globulin serum imun 5 ml i.m dalam 3 hari setelah terpajan.
Vaksinasi aktif tidak diberikan selama kehamilan, tetapi wanita yang rentan secara rutin
divaksinasi postpartum.
4.Rubella
Rubela atau campak Jerman, yaitu suatu penyakit yang biasanya tidak begitu penting
pada keadaan tidak hamil,pernah menjadi penyebab langsung hasil-akhir kehamilan yang
jelek dan bahkan lebih serius lagi, penyebab malformasi kongenital berat. Hubungan
antara rubela maternal dan malformasi kongenital serius, pertama-tama dikenali oleh
Gregg (1942), seorang ahli oftalmologi Australia.
Pencegahan
Untuk memberantas penyakit infeksi ini pendekatan berikut dianjurkan untuk
mengimunisasikan populasi dewasa, khususnya populasi wanita usia reproduktif:
a. Pendidikan bagi para petugas pelayanan kesehatan dan masyarakat luas mengenai
bahaya infeksi rubella.
b. Vaksinasi bagi para ibu yang rentan sebagai bagian dari perawatan medis dan obstetrik
rutin
c. Vaksinasi bagi semua wanita yang datang ke klinik keluarga berencana
d. Pengenalan dan vaksinasi bagi wanita yang belum memiliki kekebalan sesudah
melahirkan bayi atau mengalami abortus
e. Vaksinasi bagi wanita yang tidak hamil dan mempunyai kerentanan yang diketahui
lewat pemeriksaan serologi sebelum perkawinan
f. Jaminan imunitas bagi semua petugas rumab sakit yang dapat terpapar pasien rubela
atau yang mengalami kontak dengan ibu hamil
Diagnosis
Diagnosis rubela kadangkala sulit ditegakkan. Bukan hanya gambaran klinisnya yang
serupa dengan penyakit lain, namun juga kasus-kasus subklinis dengan viremia dan
infeksi pada embrio serta janin tidak tcrdapat. Tidak adanya anti bodi terhadap rubela
menunjukkan defisiensi imunitas. Adanya antibodi menandakan respon imun terhadap
viremia rubela, yang mungkin sudah diperoleh di suatu tempat sejak beberapa minggu
atau bertahun-tahun sebelumnya. Jika antibodi rubela maternal terlihat pada saat terpapar
rubela atau sebelumnya, maka kekhawatiran ibu bisa ditenteramkan karena kemungkinan
janin terkena infeksi tersebut sangat kecil. Orang yang tidak kebal dan mendapatkan
viremia akan memperlihatkan titer antibodi yang puncaknya terjadi 1 hingga 2 minggu
sesudah dimulainya gejala ruam, atau 2 hingga 3 minggu sesudah onset viremia,
mengingat viremia secara klinis terlihat lebih dabulu sebagai penyakit yang nyata sekitar
1 minggu sebelumnya. Karena itu kecepatan respon antibodi dapat mempersulit
diagnosis, kecuali bila serum sudah diantbil dahulu dalam waktu beberapa hari sesudah
dimulainya gejala ruam. Jika, misalnya, spesimen pertama diambil 10 hari sesudah ruam,
maka deteksi antibodi tidak akan berhasil membedakan antara kedua kemungkinan ini:
(1) bahwa penyakit yang baru saja terjadi benar-benar rubela; atau (2) bahwa penyakit
tersebut bukan rubela, namun orang tersebut sudah kebal terhadap rubela.
Terlihatnya IgM yang spesifik pada ibu hamil menunjukkan suatu infeksi primer dalam
waktu beberapa bulan.
Tes yang paling sering digunakan adalah HI (hemaglutination inhibition) tes. Pada tes ini
terlihat rubela antibodi menghalangi aglutinasi dari sel darah merah oleh virus rubela.
Pereriksaan ini membutuhkan waktu dan teknik yang kompleks sehingga digantikan
dengan dengan teknik pemeriksaan yang lain. Metode yang baru berupa ELISA (enzyme
linked immunoabsorbent assay), PHA (passive agglutination), IFA (Immunofluoresence
assay), RIA (radioimmunoassay), dan radial immunodiffusion tes.
5. Sitomegalovirus
Sitomegalovirus merupakan organisme yang ada di mana-mana serta pada hakekatnya
menginfeksi sebagian besar manusia, bukti adanya infeksi janin ditemukan di antara 0,5 –
2 % dari semua neonatus. Sesudah terjadinya infeksi primer yang biasanya asimtomatik,
10 % infeksi pada janin menimbulkan simtomatik saat kelahiran dan 5-25 %
meninggalkan sekuele. Pada beberapa negara infeksi CMV 1 % didapatkan infeksi in utro
dan 10-15 % pada masa prenatal(5) Virus tersebut menjadi laten dan terdapat reaktivasi
periodik dengan pelepasan virus meskipun ada antibodi di dalam serum. Antibodi
humoral diproduksi, namun imunitas yang diperantarai oleh sel tampaknya merupakan
mekanisme primer untuk terjadinya kesembuhan, dan keadaan kekebalan yang terganggu
baik terjadi secara alami maupun akibat pemakaian obat-obatan akan meningkatkan
kecenderungan timbulnya infeksi sitomegalovirus yang serius. Diperkirakan bahwa
berkurangnya surveilans imun yang diperantarai oleh sel, menyebabkan janin-bayi
tersebut berada dalam risiko yang tinggi untuk terjadinya sekuele pada infeksi ini.
Infeksi Maternal
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kehamilan meningkatkan risiko terjadinya
infeksi sitomegalovirus maternal. Infeksi kebanyakan asimptomatik, tetapi 15 %
mempunyai mononucleosis like syndrome dengan gejala: demam, paringitis,
limpodenopathy, dan polyartritis. Jadi, infeksi primer yang ditularkan kepada janin pada
sekitar 40 persen kasus, lebih sering berkaitan dengan morbiditas parah (Stagno dkk.,
1986). Meskipun infeksi transplasental tidak universal, janin yang terinfeksi lebih besar
kemungkinannya disertai dengan infcksi maternal selama paruh-pertama kehamilan.
Sebagaimana virus herpes lainnya, imunitas maternal terhadap sitomegalovirus tidak
mencegah timbulnya rekurensi (reaktivasi) dan juga tidak mencegah terjadinya infeksi
kongenital. Dalam kenyataannya, mengingat sebagian besar infeksi selama kehamilan
bersifat rekuren, mayoritas neonatus yang terinfeksi secara kongenital dilahirkan dari wa-
nita-wanita ini. Untungnya, infeksi kongenital yang terjadi akibat infeksi rekuren lebih
jarang disertai dengan sekuele yang terlihat secara klinis dari pada infeksi kongenital
yang disebabkan oleh infcksi primer.
Infeksi Kongenital
Infeksi sitomegalovirus kongenital yang disebut penyakit inklusi sitomegalik,
menimbulkan suatu sindrom yang mencakup berat badan lahir rendah, mikrosefalus,
kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, retardasi mental serta motorik, gangguan
sensorineural, hepatosplenomegali, ikterus, anemia hemolitik dan purpura
trombositopenik. Angka mortalitas di antara bayi yang terinfeksi secara kongenital ini
dapat mencapai 20 – 30 %, dan lebih 90 % bayi yang berhasil hidup ternyata mendcrita
retardasi mental, gangguan pendengaran, gangguan perkembangan psikoniotorik,
epilepsy atau pun gangguan sistern saraf pusat lainnya.
Diagnosis
Prenatal diagnosis efek infeksi pada janin dapat deteksi dengan USG dan Magnetic
Resonace Imaging dengan ditemukan mikrosephal, vetriculomegali dan serebral
kalsifikasi.. Gold standar diagnosis infeksi CMV adalah kutur virus. Diagnosis infeksi
primer dibuat berdasarkan peningkatan titer IgG sebesar empat kali lipat pada serum, baik
dalam keadaan akut maupun konvalesensi yang diukur sekaligus, atau dibuat dengan
mendeteksi antibodi 1gM terhadap sitomegalovirus di dalam serum maternal. Sayangnya,
tidak satupun di antara kedua metode ini yang benar-benar akurat dalam memastikan
infeksi maternal. Celakanya tidak ada metode yang handal untuk memeriksa efek dari
infeksi janin tersebut, termasuk pemeriksaan sonografi atau kultur cairan amnion untuk
menemukan sitomegalovirus.
USG dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi CMV tetapi terbatas dimana janin
sudah mengalami gejala yang berat.
6. Hepatitis Infeksiosa
Penyakit hepatitis infeksiosa sering ditemui pada remaja dan dewasa muda. Di daerah
khatulistiwa seperti Indonesia, terdapat banyak wanita hamil yang menderita hepatitis
terutama pada trimester ketiga. Penyakit ini sangat berbahaya dan dapat menumbulkan
nekrosis hati yang luas, sehingga dapat menyebabkan kematian fetal dan maternal yang
tinggi. Janin dapat terinfeksi dengan cara kontak langsung dari sekret D'Cruz dan kawan-
kawan melaporkan angka kematian maternal 2 kali lebih tinggi pada wanita hamil dan
dalam masa nifas berbanding penderita yang tidak hamil. Seperti rubella dan
sitomegalovirus, penyakit ini tidak menimbulkan gejala klinik yang khas. Gejala
kliniknya berupa anoreksia, rasa mual, muntah, demam, hepatomegali yang disertai rasa
nyeri dan ikterus. Pada wanita hamil dengan hepatitis berat akan menyebabkan abortus,
partus prematurus dan cacat bawaan pada janinnya. Cara mendiagnosis penyakit ini
adalah dengan pemeriksaan serologik yaitu memeriksa antigen HbsAg.
Pengobatan penyakit ini pada wanita hamil sama dengan pada orang biasa yang tidak
hamil, yaitu diberi obat antivirus, harus dirawat, dianjurkan tirah baring dan diberi diet
tinggi protein dan rendah lemak. Infus cairan diberi jika pasien mual muntah. Vaksinasi
sebagai pencegahan penyakit ini harus dilakukan. Seorang wanita yang HbsAg nya
positif harus diberi imunisasi HBIG (Hepatitis B Immune Globulin) dengan dosis
0,06ml/kg berat badan secara intramuskuler dalam dosis tunggal 14 hari setelah terpapar.
Setelah itu dilanjutkan dengan serial vaksin hepatitis B. Pada wanits yang berisiko
terpapar diberi vaksinasi 6 bulan setelah terpapar. Pada bayi yang lahir dari ibu dengan
HbsAg positif yang sedang hamil diberi vaksinasi HBIG 0.5ml secara intramuskuler
dalam dosis tunggal 12 jam setelah melahirkan dan diberi vaksinasi serial hepatitis B 7
hari setelah lahir, usia 1 bulan dan pada usia 6 bulan. Virus hepatitis bisa masuk ke dalam
ASI, oleh itu proses menyusui hanya diperbolehkan apabila telah dilakukan imunisasi,
tetapi menghindari ASI bukan berarti bayi terlepas dari kemungkinan tertular hepatitis
karena cara penularan lainnya masih mungkin mengancam.
Infeksi Bakteri
1. Streptokokus grup B
Group Streptoccocus B (GBS) adalah penyebab dari infeksi kongenital yang bInfeksi rat
pada neonatus pada setiap 1000 kelahiran hidup atau 12.000 sampai 15.000 bayi setiap
tahunnya di Amerika. Ini menjadi penyebab korioamnionitis, post partum endometritis
dan sepsis pada ibu serta penyebab terpenting terjadinya asfiksia intra uterine.
Dalam tahun 1970-an, infeksi streptokokus grup B pada neonatus mengalami peningkatan
luar biasa, tetapi kemudian pada banyak rumah sakit terjadi penurunan frekuensi infeksi
tersebut. Penyebab terjadinya peningkatan yang mencolok atau penurunan berikutnya
tidak dengan jelas. Transmisi intrapartum streptokokus grup B dari traktus genitalis
maternal dengan kolonisasi kuman tersebut kepada janin, dapat menimbulkan sepsis berat
pads bayi segera sesudah dilahirkan. Tergantung pada populasi yang diteliti, sebanyak 10
hingga 40 persen ibu data stadium kehamilan lanjut mengalami kolonisasi streptokokus
grup B dalam traktus genitalis bagian distal, dan separuh dari bayi yang baru dilahirkan
akan terkena infeksi ini serta mengalami kolonisasi kuman tersebut. Antibodi yang
ditransmisikan dari ibu akan melindungi kebanyakan bayi ini; tetapi, 1 hingga 2 persen
dari bayi tersebut akan menderita kelainan secara klinis. Bayi-bayi prematur atau dengan
berat badan lahir yang rendah merupakan bayi yang menghadapi risiko paling tinggi,
namun lebih separuh dari kasus-kasus sepsis streptokokus neonatal ternyata berupa
neonatus yang aterm. Bagi bayi yang mengalami infeksi ini, angka mortalitasnya
mendekati 25 persen.
Pada septikemia akibat streptokokus grup B yang menandai penyakit dengan onset dini,
tanda-tanda sakit yang serius biasanya terjadi dalam waktu 48 jam sesudah bayi lahir.
Yang khas, selaput ketuban sudah pecah beberapa saat sebelum persalinan, atau
persalinan tersebut terjadi sebelum waktunya. Bayi dengan berat badan lahir yang rendah
menghadapi kemungkinan lcbih besar untuk menderita infeksi klinis serius. Tanda-tanda
infeksi dengan onset dini mencakup gawat pernafasan, apnea dan syok.
Karena itu, dari awal dokter harus sudah dapat membedakan antara kelainan akibat gawat
pernafasan idiopatik dan takipnea sepintas pada neonatus. Pengobatan segera dengan
pemberian antibiotik di saroping penanganan masalah respirasinya, harus dilakukan
untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi. Angka mortalitas pada penyakit dengan
onset yang dini bervariasi dari 30 hingga 90 persen, dan prognosis untuk bayi prematur
lebih buruk Penyakit dengan onset lanjut biasanya terlihat sehagai meningitis yang timbul
sate minggu atau lebih sesudah lahir. Meskipun serotipe pada penyakit dengan onset dini
bervariasi antara bayi yang satu dengan lainnya, nantun mikroorganisme yang paling
sering ditemukan dalam tubuh bayi adalah mikroorganisme yang sama seperti yang tcr-
dapat di dalam vagina ibu. Kendati demikian, kasus-kasus meningitis paling sering
discbabkan oleh mikroorganisme serotipe III. Angka mortalitasnya, meskipun cukup
tinggi, lebih rendah pada meningitis dengan onset lanjut dari pada sepsis dengan onset
dini.
Diagnosis
Diagnosis yang terbaik adalah dengan kolonisasi antepartum dari kolonisasi ibu yang
diambil dari sepertiga bawah vagina dan daerah anorektal untuk dilakukan kultur, yang
tidak adekuat untuk intrapartum skrinning.
Pada pasien yang sedang bersalin diagnosis cepat dengan melakukan sediaan hapus dari
vagina. Karena sensitifitasnya yang rendah maka tes deteksi GBS ini hanya dilakukan
pada pada pasien dengan resiko tinggi adanya sepsis neonatus dan memerlukan
pengobatan segera.
2. Tifus abdominalis
Tifus abdominalis pada kehamilan dan pada nifas akan menyebabkan kematian yang
lebih tinggi berbanding infeksi pada orang yang tidak hamil. Enam puluh hingga lapan
puluh persen wanita hamil yang terinfeksi penyakit ini akan terjadi pengeluaran hasil
konsepsi secara spontan. Oleh karena itu, jika terjadi wabah tifoid pada suatu daerah,
semua wanita hamil akan diberi vaksinasi. Wanita yang terinfeksi juga dinasehatkan
supaya tidak menyusui bayinya walaupun tidak ada bukti yang menyatakan bakteri ini
tidak masuk ke dalam ASI. Pengobatan pada penyakit ini adalah dengan pemberian
kloramfenikol atau tiamfenikol.
3. Tetanus
Tetanus selama kehamilan, terutama pada ibu yang abortus atau di dalam nifas akan
mengakibatkan komplikasi yang sangat berbahaya. Penyakit ini sering terjadi pada
abortus provokatus kriminalis yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berwenang.
Masa inkubasi penyakit ini pada wanita hamil lebih pendek berbanding pada orang yang
tidak hamil yaitu rata-rata 9 hari. Semakin pendek masa inkubasi, semakin berbahaya
penyakitnya. Kematian terjadi karena asfiksia akibat spasmus otot-otot pernafasan. Cara
mengobati tetanus adalah dengan melakukan pembersihan luka dan tempat sumber
infeksi. Pasien diberi antibiotika dan antitoksin tetanus 100.000 IU dalam 2 bentuk yaitu
intravena dan intramuskuler dan sebelumnya dilakukan skin tes terlebih dahulu. Selain itu
perlu disiapkan obat antikonvulsi dan obat-obat penenang terlebih dahulu.
Infeksi Protozoa
1. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii.
Infeksi ditularkan lewat organisme berkista dengan memakan daging mentah atau kurang
matang, dan terinfeksi protozoa tersebut atau lewat kontak dengan kotoran kucing yang
terinfeksi, atau infeksi ini dapat terjadi secara kongenital melalui penularan transplasenta
Patogenesis
Imunitas maternal tampaknya memberikan perlindungan terhadap penularan
transplasental parasit tersebut; dengan demikian, agar terjadi toksoplasmosis kongenital,
ibu harus mendapatkan infeksi tersebut selama kehamilannya. Sekitar sepertiga dari para
wanita di Amerika Serikat, mendapatkan antibodi pelindung sebelum hamil dan kadar
antibodi ini lebih tinggi di antara wanita yang memelihara kucing sebagai binatang
kesayangan.
Keluhan mudah lelah, nyeri otot dan kadangkala limfadenopati ditemukan pada ibu yang
terinfeksi, namun infeksi maternal tersebut paling sering terjadi secara subklinis. Infeksi
pada kehamilan dapat menyebabkan abortus atau mengakibatkan bayi lahir-hidup dengan
gejala penyakit tersebut. Risiko terjadinya infeksi meningkat menurut lamanya kehamilan
dan kurang lebih 15,30 serta 60 persen dalam trimester pertama, kedua dan ketiga
(Remington dan Desmonts, 1983).
Virulensi infeksi janin lebih besar kalau infeksi maternal didapat secara awal dalam
kehamilan untungnya keadaan ini jarang terjadi. Kurang dari sepuluh persen neonatus
dengan toksoplasmosis kongenital memperlihatkan tanda tanda sakit secara klinis pada
scat lahir. Bayi yang terkena biasanya mcmperlihatkan tanda-tanda penyakit yang
menyeluruh dengan berat badan lahir rendah, hepatosplenomegali, ikterus dan anemia.
Sebagian bayi terutama menderita penyakit neurologi dengan konvulsi, kalsifikasi in-
trakranial dan hidrosefalus atau mikrosefalus. Kedua kelompok bayi tersebut pada
akhirnya akan mengalami korioretinitis.
2. Malaria
Malaria banyak terjadi di daerah endemis seperti di Indonesia timur seperti di Papua dan
Sulawesi. Walaupun begitu, penduduk di daerah endemik ini memiliki kekebalan
terhadap malaria yang tinggi. Sebaliknya di daerah yang tidak endemik mudah terjadi
wabah.
Pengaruh kehamilan pada malaria
Seorang wanita yang hamil, walaupun telah memiliki kekebalan terhadap malaria, bisa
saja mendapat dampak akibat penyakit ini karena terjadinya penurunan imunitas karena
kehamilannya. Jika di luar kehamilan, wanita-wanita ini tidak merasakan apa-apa saat
parasitemia, tetapi pada saat hamil, mereka akan merasakan demam yang tinggi dan
menjadi lebih parah lagi dengan tuanya kehamilan sehingga dapat terjadi abortus. Malaria
juga dapat memperburuk kondisi ibu sehingga mengakibatkan kematian ibu dan janin.
Secara singkat, dampak malaria pada kehamilan adalah seperti berikut:
a. Terjadinya abortus pada trimester pertama karena pireksia dan abortus pada trimester
kedua karena anemia berat.
b. Kematian janin intrauterin karena pireksia, anemia berat karena adanya parasit di
dalam plasenta dan infeksi transplasental.
c. Dismaturitas janin karena insufisiensi plasenta akibat banyaknya parasit di dalam
plasenta.
d. Partus prematurus karena pireksia atau karena kematian janin
e. Kematian neonatus akibat asfiksia intrapartum akibat banyaknya parasit di dalam
plasenta atau anemia, karena prematuritas atau karena malaria kongenital.
Pada wanita hamil penderita malaria, plasenta itu dapat bekerja seperti limpa di mana
ruang-ruang intervilusnya dipenuhi dengan makrofag dan parasit. Ini terjadi terutama
pada malaria tertiana akibat infeksi Plasmodium falciparum dan dijumpai pada trimester
kedua kehamilan. Hal ini akan menghambat pertumbuhan janin dan menganggu pasokan
oksigen sehingga terjadi insufisiensi plasenta yang mengakibatkan kematian perinatal
yang tinggi. Walaupun terdapat banyak parasit di dalam plasenta, infeksi transplasental
jarang terjadi sehingga malaria kongenital sangat jarang didapatkan. Imunitas yang
diperoleh oleh ibu-ibu di daerah endemis juga bisa menjadi faktor pelindung buat
janinnya.
Selain meningkatnya frekuensi dan bertambahnya berat serangan malaria pada ibu hamil,
pengaruh buruk lain penyakit ini adalah anemia hemolitik. Proses hemolisis tidak hanya
terjadi pada eritrosit yang diinvasi oleh parasit tetapi juga pada eritrosit yang tidak
mengandungi parasit. Hal ini terjadi karena eritrosit yang mengandung parasit itu bersifat
antigenik yang menyebabkan dibentuknya antibodi yang menyebabkan hemolisis
intravaskuler. Hal ini terjadi terutama pada malaria tertiana. Untuk mengimbangi
hemolisis secara besar-besaran itu, sumsum tulang akan membuat lebih banyak eritrosit
baru sehingga dibutuhkan lebih banyak asam folat sehingga terjadi defisiensi asam folat
dengan akibat megaloblastosis dan anemia megaloblastik. Penyakit malaria diobati
dengan obat antimalaria klorokuin, biasanya pada kehamilan 20-28 minggu. Pemberian
asam folat juga harus ada untuk memperbaiki defisiensi dan untuk hemopoiesis yang
meningkat. Jika anemia tidak membaik, diberikan transfusi darah untuk mempertahankan
kadar Hb pada tingkat yang cukup aman. Pada pasien yang harus ditransfusi diberikan
juga kortikosteroid untuk mencegah hemolisis.
Pada saat persalinan, harus diperhatikan terjadinya dekompensasio kordis terutama pada
ibu yang menderita anemia berat. Ini terjadi karena pertambahan aliran darah yang
banyak secara tibatiba dan jantung ibu tidak mampu memompanya sehingga terjadi
dekompensasio kordis. Anemia hemolitik karena malaria sering kambuh pada kehamilan
berikutnya tetapi bisa dicegah dengan pemberian profilaksis dengan obat anti malaria
sejak trimester pertama sehingga sampai 6 minggu setelah persalinan. Profilaksis juag
diberi kepada ibu yang berpindah dari daerah non endemik ke daerah endemik.
Profilaksis diberi dengan 600mg klorokuin. Pada bayinya juga diberi profilaksis 6,25 mg
klorokuin setiap minggu dalam 6 bulan pertama.
ABORTUS
Definisi
Abortus adalah terhentinya kehamilan atau keluarnya hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan, biasanya pada usia kehamilan di
bawah 20 minggu.
Menurut Eastman abortus adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan
dimana fetus belum dianggap sanggup hidup sendiri di luar uterus, maksudnya
belum diartikan apabila fetus itu beratnya antara 400-1000 gram atau usia
kehamilan kurang dari 28 minggu.
Sedangkan menurut Jefcoat abortus adalah pegeluaran dari hasil konsepsi
sebelum usia kehamilan 28 minggu yaitu belum viable. Holmer mengatakan
abortus adalah teputusnya kehamilan sebeum 16 minggu dimana proses plasentasi
belum selesai.
ETIOLOGI
Penyebab abortus masih sering diperdebatkan dan biasanya penyebabya lebih dari
satu faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan abortus antara lain ;
1. Kelainan Genetik
Sekitar 50% kejadian abortus oleh karena kelainan karotip embrio biasanya
merupakan kelainan sitogenik yang terjadi pada awal kehamilan dapat berupa
aneuploidi atau poliploidi. Separuh dari abortus karena kelainan sitogenik karena
trisomi autosom
Kelainan gen yang abnormal mungkin terjadi karena adanya mutasi gen yang
mengganggu proses implantasi contohnya mytotonic dystrophy. Gangguan
jaringan lain seperti sindrom Marfan, sindrom Ehlers-Danlos, pada perempuan
juga sering dijumpai sickle cell anemia yang sering menyebabkan abortus.
Abortus berulang bisa disebabkan penyatuan 2 kromosom yang abnormal
Menurut Hertig pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan abortus
spontan. Dari 1000 abortus spontan 48,9% disebabkan karena ovum yang
patologis, 3,2% disebabkan oleh kelainan letak embrio dan 9,6% disebabkan
karena plasenta yang abnormal.
Pada ovum yang abnormal 6% diantaranya terdapat degenerasi hidatid villi.
Apabila usia kehamilan sudah lebih dari satu bulan biasanya baorts yang
disebabkan oleh karena kelainan ovum dapat disingkirkan.
2. Kelainan Genitalia Ibu
Defek anatomis uterus seperti hipoplasia uteri, uterus bikornis, kelainan letak
uterus seperti retrofleksi uteri fiksata diketahui sebagai penyebab komplikasi
obstetric seperti abortus berulang Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200
sampai 1/600 perempuan Pada perempuan dengan riwayat abortus ditemukan
anomali uterus pada 27% pasien.
Persiapan uterus dalam menanti nidasi dari ovum yang sudah dibuahi seperti
kurangnya progesterone atau estrogen, endometriosis, mioma submukosa. Risiko
kejadiannya antara 10-30% pada perempuan usia reproduksi
Sindroma asherman bisa menyebabkan gangguan implantasi serta pasokan darah
pada permukaan endometrium.
3. Infeksi
Beberapa jenis organisme yang diduga berdampak pada kejadian abortus antara