I DISCLAIMER Indigenous Peoples Law Review adalah jurnal ilmiah berkala tahunan yang diterbitkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu. Jurnal ini diterbitkan setiap bulan mulai Maret setiap tahunnya dalam bentuk jurnal elektronik (E-Journal). Penerbitan Indigenous Peoples Law Review ini dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi peneliti/komunitas hukum di Indonesia untuk mempublikasi tulisan, artikel dan hasil penelitian dalam menyampaikan gagasan-gagasan pemikiran seputar isu hukum dalam masyarakat adat. Substansi isi tulisan dalam jurnal ini sepenuhnya merupakan pandangan independen dari masing-masing penulis dan tidak mempersentasikan pandangan dan pendapat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu. Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris, dengan format penulisan disesuaikan dengan pedoman penulisan yang dilampirkan dalam bagian akhir jurnal ini. Alamat Redaksi: Alinasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu Jl. Merapi No. 01 RT/RW 04/02 Kelurahan Panorama Kecamatan Singaran Pati Bengkulu Telp. 0736-341942 / +628-1215-496-418 Email: [email protected]
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
I
DISCLAIMERDISCLAIMER
Indigenous Peoples Law Review adalah jurnal ilmiah berkala tahunan yang diterbitkan
oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu. Jurnal ini diterbitkan setiap
bulan mulai Maret setiap tahunnya dalam bentuk jurnal elektronik (E-Journal).
Penerbitan Indigenous Peoples Law Review ini dimaksudkan untuk memberikan ruang
bagi peneliti/komunitas hukum di Indonesia untuk mempublikasi tulisan, artikel dan hasil
penelitian dalam menyampaikan gagasan-gagasan pemikiran seputar isu hukum dalam
masyarakat adat.
Substansi isi tulisan dalam jurnal ini sepenuhnya merupakan pandangan independen
dari masing-masing penulis dan tidak mempersentasikan pandangan dan pendapat dari
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu.
Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris,
dengan format penulisan disesuaikan dengan pedoman penulisan yang dilampirkan dalam
bagian akhir jurnal ini.
Alamat Redaksi:
Alinasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu
Jl. Merapi No. 01 RT/RW 04/02 Kelurahan Panorama Kecamatan Singaran Pati Bengkulu
Indigenous Peoples Law Review adalah jurnal ilmiah berkala tahunan yang diterbitkan
oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu. Jurnal ini diterbitkan setiap
bulan mulai Maret setiap tahunnya dalam bentuk jurnal elektronik (E-Journal).
Penerbitan Jurnal Indigenous Peoples Law Review ini dimaksudkan untuk memberikan
ruang bagi peneliti/komunitas hukum di Indonesia untuk mempublikasi tulisan, artikel dan
hasil penelitian dalam menyampaikan gagasan-gagasan pemikiran seputar isu hukum dalam
masyarakat adat.
Edisi kali ini (Maret 2015) Indigenous Peoples Law Review, hadir dengan 4 (empat)
penulis yang memiliki reputasi baik dalam dunia intelektual. Mereka memiliki pengalaman
sebagai praktisi hukum dan juga merupakan pengajar dan peneliti dari berbagai perguruan
tinggi. 4 (empat) tulisan tersebut setidaknya menjabarkan sejumlah persoalan hukum sebagai
berikut:
Pertama, Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaharuan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tulisan ini dari saudari Warih Anjari, yang
menguraikan bahwa pembaharuan hukum pidana harus berorientasi pada nilai. Nilai yang
dimaksud adalah nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat. Delik adat tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat sehingga bersifat orisinil. Delik adat memiliki perbedaan
prinsip dengan delik yang diatur dalam KUHP, delik adat mengandung prinsip yang
terkandung dalam nilai-nilai Pancasila, sedangkan delik yang diatur dalam KUHP
mengandung nilai-nilai budaya barat yang kontradiktif dengan budaya masyarakat Indonesia.
Kedua, Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia (Perdebatan Ius
Constitutum dan Ius Constituendum). Tulisan dari saudara Rocky Marbun ini menguraikan
bahwa berdasarkan kajian ilmu hukum, secara aspek filosofi terlihat jelas jejak pengakuan
adanya kearifan lokal dalam konstitusi maupun di beberapa peraturan perundang-undangan,
walaupun belum meresap dengan baik ke dalam sistem peradilan pidana. Asas musyawarah
mufakat sebagai turunan dari asas kerukunan merupakan ciri khas dari keagungan kearifan
lokal yang masih dimiliki oleh bangsa Indonesia, hingga saat ini tidak mampu dan/atau tidak
dapat dilakukan proses konkretisasi ke dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
IV
Ketiga, Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.
Tulisan dari sauadara M. Doni Ramdani ini Menguraikan bahwa dalam negara hukum, aturan
perundang-undangan yang tercipta harus berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang. Hak
kesatuan masyarakat adat yang dihormati dan diakui tanpa syarat oleh pemerintah kolonial
belanda justru dikebiri oleh pemerintah nasional Negara Keastuan Republik Indonesia
melalui berbagai kondisionalitas. Masyarakat adat merupakan suatu segmen riil di dalam
masyarakat Indonesia. Secara formal pegakuan, penerimaan, atau pembenaran adanya
masyarakat adat di dalam struktur ketatanegaraan baru diatur di dalam Pasal 18 Undang-
undang Dasar 1945.
Keempat, Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Citizen
Lawsuit. Tulisan dari sauadara Ariezha Pratama ini Menguraikan bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum, yang berdiri atas norma dasar berupa konstitusi yang mengamanatkan
pengakuan dan penghormatan atas keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat. Dengan
adanya amanat konstitusi disertai undang-undang yang menjamin keberlangsungan hidup
kesatuan masyarakat hukum adat, maka sudah seharusnya kerugian yang timbul nantinya
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat harus diajukan upaya hukum yang menjadi tujuan
untuk mencari keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Walaupun sistem hukum
Indonesia belum memberikan ruang secara khusus terhadap gugatan Citizen Lawsuit melalui
pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara Lex Specialis tentang
prosedur dan tata cara pengajuan gugatan Citizen Lawsuit, namun sudah ada payung hukum
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Tahun 2013.
Kemudian untuk penambahan, dalam setiap edisi terbitan Jurnal Indigenous Peoples
Law Review akan melampirkan informasi tentang profile masyarakat adat, untuk edisi maret
2015 ini profile masyarakat adat yang akan disampaikan adalah masyarakat adat Semende
Banding Agung.
Sebagai akhir kata, ucapan terimkasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah
membantu penerbitan jurnal ini. Harapan kami semoga jurnal ini dapat memberikan manfaat
bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
V
DAFTAR ISIDAFTAR ISI
EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT (DELIK ADAT)
DALAM PEMBAHARUAN KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA (KUHP) …………………………………………………………… 1
Warih Anjari
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
KEARIFAN LOKAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
DI INDONESIA (PERDEBATAN IUS CONSTITUTUM DAN IUS
CONSTITUENDUM) ……………………………………………………………………. 17
Rocky Marbun
Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Jakarta
PERLINDUNGAN DAN PENGAKUAN EKSISTENSI
MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA ……………………………………………. 38
M. Doni Ramdani
Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jakarta
PENGAKUAN KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
MELALUI GUGATAN CITIZEN LAWSUIT ………………………………………… 53
Ariezha Pratama
Kantor Advokat & Konsultan Hukum MACOIR
MASYARAKAT ADAT SEMENDE BANDING AGUNG ……………………………. 68
Profile Masyarakat Adat
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu
1 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)
EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT (DELIK ADAT) DALAM
PEMBARUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Warih Anjari, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
Jl. Sunter Permai Raya Sunter Podomoro Jakarta Utara 14350 Email: [email protected]
ABSTRAK
Hukum pidana adat atau delik adat merupakan hukum orisinil yang berkembang pada masyarakat adat di Indonesia, sehingga perlu dipertimbangkan dalam pembaruan KUHP. Delik adat diakui dalam hukum positif di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951. Namun pengaturannya belum memadai, padahal dalam beberapa putusan pengadilan digunakan sebagai dasar pemidanaan khususnya dalam kasus korupsi. Masalah dalam penulisan ini yaitu: (1). Mengapa delik adat harus eksis dalam pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)? (2). Bagaimanakah perbedaan hukum pidana adat (delik adat) dengan delik yang diatur dalam KUHP? Delik adat mengandung jiwa rakyat yang perkembang dan melekat dalam kehidupan masyarakat adatnya. Delik adat memiliki efektifitas untuk diimplementasikan di masyarakat. Simpulannya yaitu pembaharuan hukum pidana harus berorientasi pada nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat yang ada dalam delik adat. Delik adat memiliki perbedaan prinsip dengan delik yang diatur dalam KUHP dimana Delik adat mengandung nilai-nilai Pancasila. Sedangkan delik yang diatur dalam KUHP mengandung nilai-nilai budaya barat, yang kontradiktif dengan budaya masyarakat Indonesia Kata Kunci: Eksistensi, Pidana Adat, Pembaharuan, KUHP
ABSTRACT
Customary criminal law or custom delict is the original law that developed in indigenous communities in Indonesia, so it needs to be considered in the reform of the Criminal Code. Custom delict recognized in positive law in Indonesia based on Law No. 1 of 1951. However emergency inadequate regulation, whereas in some court decisions are used as the basis of punishment, especially in cases of corruption. The problem in this paper are: (1). Why customs offense must exist in the renewal of the Code of Penal (Criminal Code)? (2). How are be different the custom delict with the offense be regulated in the Criminal Code? Custom delict contains the soul of the growing interest and inherent in customary public life. Custom delict effectiveness is to be implemented in the community. The conclusion that the criminal law reform should be oriented to the values that developed in the community that exists in traditional offense. Custom delict have differences with the principles be regulated in the Criminal Code offense where customs offense contains the values of Pancasila. While the offense be regulated in the Criminal Code have western cultural values, which contradicts the Indonesian culture.
17 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
KEARIFAN LOKAL DALAM SISTEM PERADILAN
PIDANA DI INDONESIA
(Perdebatan ius constitutum dan ius constituendum) Rocky Marbun, Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Jakarta
Jl. Kimia No. 20 Menteng, Jakarta Pusat 10320 Email: [email protected]
ABSTRAK
Tingkat frustasi masyarakat, baik secara regional maupun internasional, terhadap berjalannya proses suatu peradilan pidana telah mulai dirasakan dengan kemunculan konsep restorative justice. Bahkan konsep tersebut diyakini mampu memberikan solusi terhadap tingginya tingkat kejahatan di dalam masyarakat. Indonesia secara parsial, telah menanamkan jejak restorative justice ke dalam berbagai peraturan perundang-undangannya. Hal ini tentunya bertentangan dengan amanat konstitusi yang secara tegas mengakomodir kepentingan Hukum Adat. Jika mengacu kepada falsafah bangsa, semenjak kemerdekaan, memunculkan konsekuensi adanya ketertundukan kepada Pancasila sebagai landasan filsafati bagi rechtbeoefening (pengembanan praktis Ilmu Hukum) di Indonesia. Asas Musyawarah Mufakat sebagai turunan dari Asas Kerukunan merupakan ciri khas dari keagungan “kearifan lokal” yang masih dimiliki oleh Bangsa Indonesia, hingga saat ini tidak mampu dan/atau tidak dapat dilakukan proses konkretisasi ke dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Kata Kunci: Pancasila, Kearifan Lokal, Ilmu Hukum, Sistem Peradilan Pidana.
ABSTRACT
Public frustration level, both regionally and internationally, to the passage of a criminal justice process has begun to be felt with the emergence of the concept of restorative justice. In fact, the concept is believed to be able to provide a solution to the high levels of crime in the community. Indonesia partially, has instilled a trail of restorative justice to the various laws and regulations. This is certainly contrary to the constitutional mandate that explicitly accommodate the interests of Customary Law. If referring to the philosophy of the nation, since independence, led to the consequence of submission to Pancasila as the philosophical foundation for rechtbeoefening (practical developing of Legal Studies) in Indonesia. Deliberation principle Consensus as a derivative of the principle of harmony is the hallmark of the majesty of "local wisdom" which is still owned by the Indonesian nation, until now not able to and / or can not be done in the process of concretization of the Criminal Justice System in Indonesia. Keyword: Pancasila, Local Wisdom, Legal Studies, Criminal Justice System.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 18
A. PENDAHULUAN
Dunia hukum di Indonesia tengah
mendapat sorotan yang amat tajam dari
seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam
maupun dari luar negeri. Dari sekian banyak
bidang hukum, dapat dikatakan bahwa bidang
hukum pidana, termasuk sistem dan proses
peradilan pidananya menempati peringkat
pertama yang bukan saja mendapat sorotan,
tetapi juga mendapat celaan yang luar biasa
dibandingkan dengan bidang hukum lainnya.1
Proses peradilan pidana yang terdiri dari
serangkaian tahapan mulai dari penyelidikan,
penyidikan, penangkapan, penahanan,
penuntutan, pemeriksaan di persidangan,
hingga pemidanaan, merupakan kegiatan yang
sangat kompleks dan dapat dikatakan tidak
mudah difahami serta kadang kala menakutkan
bagi masyarakat awam. Persepsi yang
demikian tidak dapat dihindari sebagai akibat
banyaknya pemberitaan di media massa yang
menggambarkan betapa masyarakat sebagai
pencari keadilan seringkali dihadapkan pada
kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan,
baik disebabkan oleh ketidaktahuan mereka
akan hukum maupun perlakuan tidak simpatik
dari aparat penegak hukum.2
Indonesia sebagai suatu masyarakat yang
sedang membangun dan harus mengatur serta
mengartikulasikan pelbagai kepentingan
1 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep
Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi pada Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, 8 Maret 2003, hlm, 2.
2 Laporan Akhir Komisi Hukum Nasioanl (KHM) mengenai “Hak Memperoleh Akses Peradilan Pidana”, www.komisihukum.go.id
masyarakat yang sangat plural ini, tentunya
tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh
regional dan internasional, sebagai akibat
kemajuan tehnologi komunikasi yang canggih.
Masyarakat pelbagai negara, termasuk
Indonesia dihadapkan pada persoalan baru,
yang menjadi issue internasional, berupa
demokratisasi hukum. Pemujaan hukum
sebagai alat rekayasa sosial berpasangan
dengan sarana ketertiban mulai banyak
dikritik, dan sebagai gantinya muncul konsep
baru, hukum sebagai sarana modifikasi sosial,
yaitu suatu pemikiran yang berusaha
memasukan pemahaman hukum sebagai
sarana perlindungan hak-hak warganegara
yang berintikan pengaturan dengan
mengedepankan kepentingan umum.3
Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal
justice system kini telah menjadi suatu istilah
yang menunjukan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan pendekatan sistem.4
Sebagaimana diungkapkan oleh Tolib Effendi,
bahwa berbicara mengenai hukum, maka tidak
terlepas pula berbicara mengenai sistem.5
3 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, hlm. ix.
4 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta, Kencana, 2011, hlm. 2.
5 Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana. Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2013, hlm. 2.
19 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
Sehingga wacana perbincangan mengenai
suatu Sistem Peradilan Pidana sangat erat
kaitannya dengan konfigurasi berbagai macam
elemen dari sebuah negara.
Kerumitan proses peradilan pidana
tersebut diperparah dengan aksi lepas tangan
dari Pemerintah dalam melakukan sosialisasi
kepada masyarakat, sehingga seolah-olah
proses peradilan pidana menjadi eksklusif bagi
masyarakat. Kondisi tersebut tidak saja
berlangsung pada saat proses peradilan pidana
terjadi, namun pada fase pemidanaan atau
putusan pengadilan hingga eksekusi putusan,
keterlibatan masyarakat sangat diabaikan.
Masyarakat seolah-olah menjadi pihak yang
tidak berkepentingan atas proses peradilan
pidana, dari hulu hingga hilir, sehingga tujuan
idee des recht (Ajaran Cita Hukum)6 yaitu
memberikan kepastian hukum, keadilan dan
manfaat, sangat tidak dirasakan.
Masyarakat dipaksa untuk memahami
kerumitan proses peradilan pidana tanpa
adanya proses sosialisasi dan penyuluhan
mengenai bagaimana beracara di peradilan
pidana. Yang pada akhirnya, beracara
peradilan pidana menjadi suatu monopoli
sarjana-sarjana hukum dengan segala sifat ke-
eksklusifan-nya.
Maka muncullah wacana untuk
melakukan legal reform terhadap Hukum
Acara Pidana. Pembaharuan terhadap KUHAP
diawali dengan dikeluarkannya Draft R-
KUHAP 2004, kemudian dirubah menjadi R-
6 Ada ahli hukum yang menyebutnya sebagai Teori
Gabungan. Teori ini dicetuskan oleh Gusav Radbruch, ahli hukum yang berasal dari Jerman.
KUHAP Draft 3 April 2007, berubah lagi
menjadi R-KUHAP Draft Desember 2007,
kembali lagi diubah dalam R-KUHAP Draft
Maret 2008, berubah lagi R-KUHAP Draft
Januari 2009, kemudian R-KUHAP Draft
2010, dan terakhir melalui R-KUHAP Draft 11
Desember 2012.7
Saat ini, R-KUHAP draft 2012 dan R-
KUHP telah masuk ke dalam Prolegnas, dan
sudah mulai di bahas di Komisi III DPR.
Namun ironisnya, pihak legislatif tidak
memahami posisi R-KUHAP dan R-KUHP.
Sehingga saat ini, perdebatan pro kontra
terkonsentrasi pada pembahasan R-KUHAP,
sedangkan R-KUHP sepertinya diabaikan.
Bahwa dalam memahami Sistem Peradilan
Pidana, tidak saja bergantung kepada Hukum
Pidana Materill semata, namun merupakan
elaborasi dengan Hukum Pidana Formill pula.
Oleh karena itu, sejak awal keberadaannya,
hukum pidana dan hukum acara pidana
diperuntukkan melindungi masyarakat dari
kesewenang-wenangan penguasa. Dalam hal
ini J.E. Sahetapy, meminjam konsep Jerome
H. Skolnick yang mengatakan bahwa
”criminal procedure is intended to control
authorities, not criminals”. Hal senada juga
diungkapkan Mardjono Reksodiputro yang
mengatakan bahwa fungsi dari suatu hukum
7 “Perjalanan Rancangan KUHAP”, Sumber:
http://kuhap.or.id/perjalanan-rancangan-kuhap/, diakses tanggal 21 Januari 2015.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 20
acara pidana adalah untuk membatasi
kekuasaan negara dalam bertindak terhadap
setiap warga masyarakat yang terlibat dalam
proses peradilan. Dalam kerangka tersebut,
kebutuhan pada pembaruan hukum acara
pidana di Indonesia telah direspon oleh
pemerintah dengan membuat suatu RUU
tentang Hukum Acara Pidana8 dan RUU
tentang KUHP.
Di dalam RUU KUHP Draft 2010,
ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) sebagai
berikut:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut
dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan.”
Dan ditegaskan kembali pada Pasal 1 ayat
(4) RUU KUHP Draft 2010 sebagai berikut:
“Berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip
hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa.”
Uraian-uraian tersebut diatas, menunjukan
adanya keinginan yang kuat untuk mengadopsi
nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat,
sebagai bentuk kebuntuan dari sistem yang
ada. Yang hingga saat ini justru memunculkan
8 JE. Sahetapy, et.al., Problematika Pembaruan
Hukum Pidana Nasional, Jakarta, Komisi Hukum Nasional RI, 2013, hlm. x.
banyak permasalahan, bukan saja
permasalahan hukum namun juga
permasalahan sosial.
A. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah “kearifan lokal” merupakan bagian
dari Sistem Peradilan Pidana saat ini?
B. PEMBAHASAN
Bahwa semenjak diproklamirkannya
kemerdekaan Negara Republik Indonesia
melalui Proklamasi Kemerdekaan, maka
sebenarnya secara implisit sudah terjadi
perubahan dalam isi cita hukum sebagai asas
dasar yang mempedomani (basic guiding
principles) dalam penyelenggaraan hukum di
Indonesia.9
Namun, semenjak memasuki era reformasi,
ranah hukum bagaikan dilanda banjir Undang-
undang. Program Legislasi Nasional
(PROLEGNAS) periode 1999-2004 misalnya
menetapkan 300 RUU untuk menjadi UU,
namun yang berhasil disahkan hanya 175 UU
(58 persen). PROLEGNAS periode 2004-2009
menetapkan 284 RUU dengan total UU yang
disahkan berjumlah 193 RUU (68 persen).
Pada 2009-2014 PROLEGNAS
9 Bernard Arief Sidharta (1). Ilmu Hukum
Indonesia. Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Bandung, Genta Publishing, 2013, hlm. 95.
21 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
menetapkan 247 RUU yang disahkan
sebanyak 97 RUU (39 persen).
Ironisnya, tidak semua Undang-undang
yang disahkan merupakan ekstraksi dari nilai-
nilai (values) dari Pancasila, sebagai sumber
segala sumber hukum. Sehingga terkadang
terdapat beberapa Undang-undang yang turut
dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang
diambil oleh dunia internasional melalui
ratifikasi terhadap beberapa konvensi dan
perjanjian multilateral/bilateral. Memang tidak
bisa dipungkiri, bahwa fenomena tersebut
menimbulkan sisi positif dan sisi negatif nya.
Menurut Solly Lubis,10 bahwa realitas
kehidupan kenegaraan selama tiga dasawarsa
yang lalu membuktikan terjadinya
inkonsistensi dan deviasi dari konsep dasar
sistem manajemen yang seharusnya, yakni
UUD 1945. Sistem pemerintahan itu bergeser
dari pola demokrasi kepada oligarki, berlarut-
larut, sehingga akhirnya terjadi diskrepansi
atau kesenjangan-kesenjangan, baik dibidang
sosial politik, maupun sosial ekonomi, sosial
budaya, dan Hankamtibmas. Maka pada
prinsipnya, tuntutan reformasi sistem
manajemen kehidupan bangsa secara
menyeluruh itulah yang memerlukan adanya
reformasi kebijakan politik dan reformasi
sistem hukum, supaya manajemen nasional itu
10 Solly Lubis. Pembangunan Hukum Nasional,
Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII, dengan tema: Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 1.
dapat dikembalikan kepada sistem menurut
konsep dasarnya sendiri secara konstitusional.
Munculnya fenomena-fenomena benturan
antara bidang hukum dengan bidang-bidang
yang lain telah lama menjadi sorotan para ahli
hukum di Indonesia. Sehingga permasalahan
tersebut telah seringkali diangkat menjadi
suatu topik dalam berbagai bentuk seminar,
diskusi maupun lokakarya. Khususnya pada
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII
yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) telah secara tegas
mengisyaratkan bahwa perlunya suatu grand
design reformasi hukum yang sinergistik dan
sistemik, yang berkorelasi dengan bidang
ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama.11
Amanah dari Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII tersebut sejalan dengan
pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwa
hukum bukanlah tujuan, namun hukum
merupakan sarana atau alat untuk mencapai
tujuan yang sifatnya non-yuridis dan
berkembang berdasarkan rasangan dari luar
hukum, sehingga hukum itu sendiri menjadi
bersifat dinamis.12 Oleh karea itu, bergeraknya
hukum sebagai sarana, diperlukan pengaturan-
pengaturan yang harmonis dan sinkron antara
satu dengan yang lain. Sehingga pembentukan
11 Laporan Hasil Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Kuta, Bali, 14 – 18 Juli 2003, hlm. 5.
12 Sudikno Mertokusumo (1). Mengenal Hukum. Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 2002, hlm. 40.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 22
grand design sistem hukum memiliki fungsi
sebagai wujud dari pembentukan sistem
hukum dalam mencapai tujuan-tujuan hukum
yang telah disepakati secara bersama.
Dalam membentuk suatu sistem hukum,
otoritas yang berwenang hendaknya pula wajib
memperhatikan input hukum yang masuk ke
dalam ekstraksi norma-norma hukum ke dalam
regulasi yang dibentuk. Hampir sebahagian
besar dari kita jarang sekali memperhatikan
input hukum tersebut.13 Menurut Lawrence M.
Friedmann, bahwa Input hukum merupakan
“gelombang kejut” berupa tuntutan yang
memancar bersumber dari masyarakat, dimana
input hukum tersebut yang pada akhirnya
menggerakan proses hukum.14 Masih menurut
Friedmann, bahwa mayoritas dari Ahli Hukum
terkonsentrasi kepada output hukum, sehingga
menurut Penulis, pemahaman pembentukan
suatu produk perundang-undangan tidaklah
komprehensif.
Sebagai akibat dari pengaruh hubungan-
hubungan hukum yang telah terjadi secara
meluas, bahkan melewati batas-batas negara,
atau lebih dikenal dengan istilah globalisasi,
pengaruh filsafat hukum dalam membentuk
politik hukum dan sistem hukum suatu negara,
dapat pula dikatakan sebagai salah satu unsur
yang mempengaruhi pola pikir dalam
pembentukan hukum. Sebagaimana dijelaskan
oleh CFG. Sunaryati Hartono, bahwa terdapat
filsafah-filsafah hukum yang mempengaruhi
13 Lawrence M. Friedmann. The Legal System. A
Social Science Perspective, [Pent. M. Khozim], Bandung, Nusamedia, 2011, hlm. 3.
14 Ibid., hlm. 13.
pembangunan hukum nasional baik masa lalu
maupun masa saat ini.15
Pengaruh yang paling nyata dari
keterlibatan filsafat hukum adalah selalu
berkaitan dengan pembentukan hukum itu
sendiri. Salah satu pemikiran yang sering
menjadi pembahasan cukup menarik adalah,
apakah dalam pembentukan hukum
menggunakan sistem terbuka, dimana
masyarakat memiliki andil untuk terlibat
ataukah tidak?
Pemikiran tentang hukum dan
keterlibatan masyarakat dalam pembentukan
hukum terbagi menjadi dua kelompok mazhab,
yang satu dengan lainnya saling bertentangan.
Kelompok pertama mencoba memisahkan
hukum dari anasir moral, etik, sosial, dan
politik dengan kekuasaan pembentuknya, yaitu
lembaga pembentuk undang-undang
(legislatif). Pemikiran ini berada di bawah
naungan Mazhab Positivisme Hukum.
Sedangkan, Kelompok kedua mendefinisikan
hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang berkembang dalam
masyarakat, dan kekuasaan membentuknya
berada di tangan rakyat. Pemikiran ini diwakili
oleh Mazhab Sejarah Hukum dan Sociological
Jurisprudence.16
15 CFG. Sunaryati Hartono. Politik Hukum Menuju
Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung, Alumni, 1991, hlm. 52.
16 Veri Junaidi, Khoirunnisa Agustyati & Ibnu Setyo Hastomo, Politik Hukum Sistem Pemilu: Potret Keterbukaan dan Partisipasi Publik Dalam Penyusunan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD dan DPD, Jakarta, Yayasan Perludem, 2013, hlm. 24.
23 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
Sedangkan yang terjadi di Indonesia
termasuk cukup unik jika dicermati secara
mendalam. Bahwa pembentukkan konstitusi
Republik Indonesia sangat dipengaruhi atau
sangat kental nuansa Sociological
Jurisprudence, sebagaimana diwakili dengan
keberadaan Pasal 33 UUD NRI 1945.
Namun, peraturan perundang-undangan
turunannya, lebih banyak dipengaruhi oleh
Mahzab Positivisme Hukum dan ajaran
Legisme, seiringan dengan pentransferan ilmu
hukum dari Belanda ke ahli-ahli hukum di
Indonesia. Walaupun terdapat dibeberapa
peraturan perundang-undangan yang masih
mengakui adanya nuansa hukum adat, sebagai
bentuk pengakuan dari Negara kepada
masyarakat adat di Indonesia, misalnya di
dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) yang di dalam Penjelasan Pasal II
angka 3 ditemukan istilah recognitie.17 Namun
penerapannya tetap mengejawantahkan
pemikiran secara positivistik.
Perkembangan pemikiran hukum di
Indonesia, banyak dipengaruhi oleh tradisi
hukum Eropa Kontinental atau civil law – yang
masuk melalui kolonial Belanda, berkembang 17 Yance Arzona. Antara Teks dan Konteks,
Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat Atas Sumber Daya Alam di Indonesia, Jakarta: HuMA, 2010, hlm. 5. Dalam UUPA, recognitie digunakan untuk menjelaskan hak yang akan diberikan kepada masyarakat adat yang tanahnya akan digunakan untuk keperluan pembangunan. Istilah recognitie yang dipakai dalam UUPA sebenarnya merupakan istilah yang diadopsi dari hukum adat. Dalam hukum adat, istilah ini dipakai apabila ada orang yang bukan anggota persekutuan adat tertentu hendak menggunakan tanah ulayat, maka orang tersebut diperbolehkan untuk menggunakan tanah tersebut sampai tujuannya tercapai, hanya apabila ia memberikan sesuatu.
dibawah bayang-bayang paradigma
positivisme yang menjadi paradigma
mainstream di tanah asalnya Eropa
Kontinental. Paradigma ini pada dasarnya
berasal dari filsafat positivisme yang
dikembangkan August Comte, yang kemudian
dikembangkan di bidang hukum. Paradigma
positivisme memandang hukum sebagai hasil
positivisasi dari norma-norma yang telah
dirundingkan diantara warga masyarakat,
sebagai sistem aturan yang bersifat otonom
dan netral.18
Hal tersebut lah yang kemudian,
Indonesia tidak memiliki jati diri yang jelas,
terkait hukum, sehingga banyak sekali terdapat
berbagai peraturan perundang-undangan yang,
selain tumpang tindih, justru memunculkan
rasa ketidakadilan bagi masyarakat. Dimana
bahwa hukum hanya dipahami sebagai sarana
atau alat untuk mengatur masyarakat,
sedangkan bermakna terbalik ketika
bersinggungan dengan institusi pemerintahan.
18 Khudzaifah Dimyati. Dominasi Pemikiran
Hukum Positivistik: Otokritik dan Otensitas dan Kemiskinan Ke-Indonesia-an, Makalah dipresentasikan pada Konferensi Nasional ke-3 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), dengan tema: Melampaui Perdebatan Positivisme Hukum dan Teori Hukum Kodrat, yang diselenggarakan oleh AFHI dan Epistema Institute bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 27-28 Agustus 2013, hlm. 1.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 24
Dilihat dari aspek pengembangan ilmu
hukum pidana, ada sesuatu yang dirasakan
kurang memuaskan, memprihatinkan atau
setidak-tidaknya ada sesuatu yang selayaknya
patut diwaspadai dari penyajian Ilmu Hukum
Pidana (IHP) positif selama ini. Menurut Barda
Nawawi Arief, Ilmu Hukum Pidana positif
yang berlaku saat ini masih berorientasi pada
KUHP. Walaupun diajarkan juga hukum
pidana khusus di luar KUHP, namun prinsip-
prinsip umumnya terkait juga dengan
aturan/ajaran umum yang terdapat di dalam
KUHP sebagai induk dari hukum pidana
positif di Indonesia.19
Sehingga, nilai-nilai (values) yang
termuat di dalam KUHP yang saat ini berlaku
di Indonesia, mengacu kepada nilai-nilai
(values) yang bersifat individualistik yang
terkandung di dalam KUHP. Hal tersebut
merupakan suatu kewajaran, dikarenakan
KUHP yang diterapkan berdasarkan asas
konkordansi tersebut, mengacu kepada suatu
sistem hukum yang mengagungkan paham
individualisme. Yang pada dasarnya
merupakan pertentangan nilai (value) yang
dikandung di dalam Pancasila, yaitu nilai-nilai
kenyataan (socio politik, socio ekonomi dan
socio budaya) yang hidup di dalam masyarakat
Indonesia.
Dalam kerangka berfikir hukum, maka
pada prinsipnya tidak akan terlepas dari
19 Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek
Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Diucapkan Pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 25 Juni 1994, hlm. 6
kerangka berfikir berdasarkan tujuan dari
bernegara. Demikian pula dalam pembentukan
kebijakan legislatif (legal policy/politik
hukum) hukum pidana, hendaknya sejalan
dengan tujuan bernegara. Oleh karena itu,
Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa politik
hukum adalah arah pembangunan hukum yang
berpijak pada sistem hukum nasional untuk
mencapai tujuan dan cita-cita negara atau
masyarakat bangsa.20
Hukum berfungsi sebagai pelayanan
kebutuhahan masyarakat, maka hukum harus
selalu diperbaharui agar aktual atau sesuai
dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat
yang dilayani dan dalam pembaharuan hukum
yang terus menerus tersebut Pancasila harus
tetap sebagai kerangka berpikir, sumber
norma, dan sumber nilai. Pancasila merupakan
pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran)
dari tertib hukum di Indonesia termaktub
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Hal tersebut merupakan konsekuensi logis
yang wajib diperjuangkan dalam melakukan
pembentukan hukum di Indonesia. Sebagai
akibat dari konsensus nasional, Pancasila
merupakan tolak ukur pelepasan diri dari
segala pengaruh yang tidak berasal dari bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, tujuan bernegara
20 Moh. Mahfud MD. Membangun Politik Hukum,
Menegakkan Konstitusi, Jakarta, LP3ES, 2006, hlm. 16.
25 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
pun didasari kepada kesepakatan-kesepakatan
yang termuat di dalam Pancasila sebagai
filasafat Negara Hukum Indonesia.
Walaupun dalam beberapa literatur
menjelaskan bahwa tujuan hukum pidana
bukan semata-mata untuk menjatuh sanksi
pidana secara ketat, namun lebih kepada
menciptakan ketertiban dan mengubah pola
perilaku manusia. Namun menurut B. Arief
Sidharta menjelaskan bahwa ketertiban dan
ketenteraman itu bukanlah tujuan akhir dari
hukum, melainkan tujuan antara. Sebab, di
dalam masyarakat dapat saja, dengan
menggunakan kekuatan, dipaksakan suatu ke-
tertiban yang bersifat tiranik, yang menindas
nilai-nilai manusiawi. Tujuan lebih jauh dari
hukum adalah mewujudkan kedamaian sejati
di dalam masyarakat.21
Oleh karena itu, pembentukan kebijakan
legislatif pada prinsipnya harus memuat nilai-
nilai yang dapat dituangkan ke dalam norma-
norma, dimana norma-norma tersebut secara
tersistematis memberikan arah kepada
pembentukan sistem hukum pidana yang
bersinergis dengan tujuan hukum yang telah
dikonsepkan.
Makna hukum, yang memuat secara
tersirat mengenai tujuan hukum, seringkali
diperdebatkan di dalam kalangan ahli hukum.
Kapan tepatnya hukum mulai ada tidak dapat
diketahui. Apabila ungkapan klasik “ubi
societas ibi ius” diikuti, berarti hukum ada
sejak masyarakat ada. Dengan demikian
21 Bernard Arief Sidharta. Filsafat Hukum
Pancasila, Makalah Bahan Ajar Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UII), tidak dipublish, Tahun 2012, hlm. 6.
pertanyaannya dapat digeser menjadi sejak
kapan adanya masyarakat. Terhadap
pertanyaan ini pun juga tidak akan ada
jawaban yang pasti. Namun, dilihat dari segi
historis tidak pernah dijumpai adanya
kehidupan manusia secara soliter di luar
bentuk hidup masyarakat.22
Dahulu biasanya orang menjawab
pertanyaan tersebut dengan memberikan
definisi yang agak indah. Hampir semua ahli
hukum memberikan definisi mengenai hukum,
memberikannya berlainan. Ini, setidak-
tidaknya untuk sebahagian, dapat diterangkan
oleh banyaknya segi dan bentuk, serta
kebesaran hukum. Hukum banyak seginya dan
demikian luasnya, sehingga tidak mungkin
orang menyatukannya dalam rumusan secara
memuaskan.23
Pertanyaan mengenai “apa itu hukum”
tampaknya adalah suatu pertanyaan yang
sangat mendasar dan sangat tergantung pada
konsep pemikiran dari hukum itu sendiri,
sehingga jawabannya pun mungkin akan terus
berkembang sesuai dengan mazhab dan aliran-
aliran yang dikemukakan dalam melakukan
pendekatan secara kualitatif tentang makna
hukum. Yang jelas perlu dipahami bahwa
tujuan hukum adalah terciptanya suatu
kedamaian yang didasarkan pada keserasian
22 Peter Mahmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum,
Jakarta, Kencana, 2013, hlm. 61. 23 LJ. van Apeldorn. Pengantar Ilmu Hukum,
Jakarta, Pradnya Paramita, 1985, hlm. 13.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 26
antara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan
hukum ini tentunya akan tercapai apabila
didukung oleh tugas hukum, yakni keserasian
antara kepastian hukum dengan kesebandingan
hukum, sehingga akan menghasilan suatu
keadilan. 24
Selain memiliki perbedaan definisi,
penggunaan istilah ‘hukum’ pun memiliki
beberapa ragam. Kata ‘hukum’ diambil dari
serapan bahasa Arab yaitu ‘ahkam’ dalam
bentuk jamak,25 kemudian terdapat istilah ‘lex’
yang diambil dari bahasa Latin, yang diambil
dari serapan kata ‘lesere’ yaitu mengumpulkan
yaitu mengumpulkan orang-orang untuk
diperintah. Istilah lain adalah ‘recht’ yang
diambil dari bahasa Latin yaitu ‘rechtum’ yaitu
bimbingan atau tuntutan atau pemerintahan.
Terdapat pula istilah ‘ius’ yang diambil dari
kata ‘iusitia’ dalam bahasa Latin yang artinya
mengatur atau memerintah.26
Terkait dengan pendefisinian istilah
‘hukum’ oleh CF. Strong, misalnya memulai
pendefinisian hukum berangkat dari unsur
kekuatan yang dapat memerintah dan
memaksa, yaitu Negara. Dimana, menurut CF.
Strong bahwa hakikat suatu negara yang
membuat berbeda dengan semua bentuk
perkumpulan adalah kepatuhan anggota-
anggotanya terhadap hukum. Negara sebagai
suatu masyarakat teritorial dibagi menjadi
24 Teguh Prasetyo. Kriminalisasi Dalam Hukum
Pidana, Bandung, Nusa Media, 2013, hlm. 6. 25 Di dalam buku R. Soeroso tentang Pengantar
Ilmu Hukum, menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab kata Hukum diambil dari kata Alkas, dalam bentuk jamak, berdasarkan penelusuran literature Penulis, kata ‘hukum’ dalam bentuk jamak adalah ‘ahkam’.
26 R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 24-26.
pemerintah dan yang diperintah (rakyat).27
Sehingga, baik pemerintah dan yang
diperintah, hendaknya memiliki pemahaman
yang sama terkait dengan makna hukum.
Dimana CF. Strong menjelaskan dalam
mendefinisikan hukum dapat dinyatakan
sebagai “Sekumpulan aturan-aturan umum
yang ditetapkan oleh penguasa masyarakat
politik (negara) terhadap anggota-anggota
masyarakat tersebut yang secara umum
mematuhinya.” Atau juga, definisi hukum
adalah “suatu perintah yang dikeluarkan orang
yang ditunjuk untuk itu atau oleh sekelompok
orang yang bertindak sebagai suatu badan,
untuk melakukan itu atau tidak melakukan
tindakan-tindakan tertentu, yang disertai
maklumat, secara langsung atau tak langsung,
tentang hukuman yang akan diberikan kepada
siapa saja yang tidak mematuhi.”28
Berbeda dengan pandangan dari Sudikno
Mertokusumo dalam memberikan definisi atas
istilah hukum, yaitu: “Keseluruhan kumpulan
peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah
dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku yang berlaku
dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat
dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi.”
27 CF. Strong. Konstitusi-Konstitus Politik Modern.
Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, Bandung: Nusamedia, 2014, hlm. 7.
28 Ibid
27 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
Nampak sekali perbedaan yang
ditunjukkan oleh kedua ahli hukum tersebut.
Dimana Lawrence M. Friedman lebih
menonjolkan sisi penguasa sebagai regulator
sedangkan Sudikno Mertokusumo
menampilkan kaidah sosial dalam kehidupan
bersama yang dilengkapi dengan kekuatan
memaksa.
Bagi ahli hukum di Indonesia, istilah
‘hukum’, dalam menedefinisikannya selalu
dikaitkan dengan adanya kaidah-kaidah sosial
yang hidup di dalam masyarakat. Mochtar
Kusuma-Atmadja, misalnya, dalam
memberikan definisi tentang hukum, turut pula
memulai pembahasannya dari pameo Romawi
“ubi sociates ibi ius”, dimana ada masyarakat,
disitu ada hukum. Beliau menjelaskan bahwa
hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti
bahwa pergaulan antar manusia dalam
masyarakat hanya diatur oleh hukum semata,
namun terdapat pula kaidah-kaidah yang lain.
Akan tetapi, dalam satu hal, hukum berbeda
dari kaidah sosial lainnya, yakni bahwa
penataan ketentuan-ketentuannya dapat
dipaksakan dengan suatu cara yang teratur.
Artinya pemaksaan guna menjamin penataan
ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri tunduk
pada aturan-aturan tertentu, baik mengenai
bentuk, cara, maupun alat pelaksanaannya.29
Dalam pandangan B. Arief Sidharta,
bahwa Para sosiolog hukum (Kees Schuit,
L.M. Friedman, Soerjono Soekanto)
memandang aspek hukum kehidupan
masyarakat sebagai sistem hukum atau tatanan
29 Mochtar Kusuma-Atmadja. Konsep-Konsep
Hukum Dalam Pembangunan, Bandung, Alumni, 2006, hlm. 4.
hukum yang tersusun atas tiga subsistem
(komponen) sebagai berikut ini:30
Pertama, unsur idiil yang meliputi
keseluruhan aturan-aturan, kaidah-kaidah dan
asas-asas hukum yang disebut sistem makna
yuridik yang bagi para yuris disebut tata-
hukum. Bagi para sosiolog hukum, sistem
makna yuridik itu menunjuk pada sistem
lambang atau sistem referensi (rujukan).
Sistem makna yuridik itu menyatakan gagasan
tentang bagaimana orang seyogianya
berperilaku atau harus berperilaku. Sistem
makna yuridik sebagai sebuah sistem lambang
memberikan kesatuan dan makna pada
kenyataan majemuk dari perilaku manusia.
Dengan lambang-lambang itu manusia akan
dapat mengerti dan memahami kemajemukan
perilaku manusia itu dan akan dapat
memberikan arti pada perilaku manusia
sehingga memungkinkan terjadinya interaksi
antarmanusia yang bermakna (komunikasi).
Kedua, unsur operasional yang mencakup
keseluruhan organisasi-organisasi, lembaga-
lembaga dan pejabat-pejabatnya; unsur ini
meliputi badan-badan eksekutif, legislatif dan
yudikatif dengan aparat-aparatnya seperti
birokrasi pemerintahan, pengadilan, kejaksaan,
30 Bernard Arief Sidharta. Asas, Kaidah, dan Sistem
Hukum, makalah tidak dipublikasikan, Bandung, 20 Juli 2004, hlm. 2-3.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 28
kepolisian, dan dunia profesi seperti advokatur
dan kenotariatan.
Ketiga, unsur aktual yang menunjuk pada
keseluruhan putusan-putusan dan tindakan-
tindakan (perilaku), baik para pejabat maupun
para warga masyarakat, sejauh putusan-
putusan dan tindakan-tindakan itu berkaitan
atau dapat ditempatkan dalam kerangka sistem
makna yuridik yang dimaksud dalam unsur
pertama tadi; unsur ketiga ini menunjuk pada
budaya hukum.
Dalam keseluruhan elemen, komponen,
hierarkhi dan aspek-aspek yang bersifat
sistematik dan saling berkaitan satu sama lain
itulah tercakup pengertian sistem hukum yang
harus dikembangkan dalam kerangka Negara
Hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Oleh karena itu, pembangunan sistem hukum
nasional diarahkan pada pembangunan produk
hukum, aparatur hukum, sarana prasarana,
serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat.31
Cita-cita nasional untuk menyatukan
Indonesia untuk menyatukan Indonesia sebagai
satu kesatuan politik dan pemerintahan, telah
cenderung untuk mengabaikan hukum rakyat
yang plural untuk digantikan dengan hukum
nasional yang diunifikasikan dan
dikodifikasikan. Maka tak heran jika Sunaryati
Hartono, dalam konteks Hukum Ekonomi
menyatakan bahwa Indonesia sangat
mengabaikan pembentukan dan pembinaan
hukum nasional dan masih belum tanggap
terhadap praktik-praktik bisnis yang semakin
kompleks. Tidak hanya karena bentuk-bentuk
31 Muntoha. Negara Hukum Indonesia Pasca
Perubahan UUD 1945, Yogyakarta, Penerbit Kaukaba 2013, hlm. 61.
bisnis itu merupakan perbuatan yang baru yang
didukung oleh sarana dan prasarana
bertehnologi tinggi, tetapi juga karena
jangkauan usahanya telah bersifat
transnasional atau melampaui batas-batas
wilayah negara.32
Oleh karena itu, dengan jumlah Sarjana
Hukum yang masih sangat sedikit, semenjak
awal kemerdekaan hingga dibentuknya
konstitusi Indonesia. Telah terjadi tarik
menarik pemahaman yang berkaitan dengan
konteks pemikiran teoretisasi hukum
berdasarkan kajian kefilsafatan. Pertentangan
kuat adalah adanya pendukung Hukum Adat
dengan pendukung paradigma positivisme
hukum.
Pendukung Hukum Adat mengalami kesulitan
untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi
terhadap nilai-nilai yang termuat di dalam
Hukum Adat, dikarenakan begitu
pluralistiknya masyarakat Indonesia. Yang
patut dimaklumi adalah model dari nilai-nilai
hukum adat selalu dinuansai oleh berbagai
kata-kata kiasan, sehingga sulit rasanya untuk
seorang Sarjana Hukum pada masa setelah
kemerdekaan, untuk men-translate-nya ke
dalam bahasa hukum. Maka kondisi tersebut
menjadi berbeda ketika Mochtar Kusuma-
Atmadja melakukan manuver sociological
32 Khudzaifah Dimyati, op.cit., hlm. 6-7.
29 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
jurisprudence hingga masuk kepada penjelasan
yang paling rasional, pada saat itu, menjadikan
‘jawara’ dalam menggiring perancangan dan
pembentukan politik hukum dan sistem
hukumnya.
Kesulitan-kesulitan tersebut pada
prinsipnya menurut B. Arief Sidharta adalah
disebabkan karena beberapa faktor, selain
pendapat Penulis diatas, yaitu sebagai
berikut:33
1. Perang kemerdekaan sebagai akibat usaha
Belanda untuk mengembalikan kekuasaan
kolonial di Indonesia;
2. Secara Etnis, bangsa Indonesia sangat
heterogen dengan berbagai adat istiadat dan
sub-kulturnya, dan tersebar padasuatu
wilayah kepulauan yang sangat luas.
Intensitas proses interaksi antar suku pada
masa kolonial sangat lemah yang
menyebabkan proses unifikasi hukum
secara alamiah praktis tidak terjadi;
3. Tata hukum kolonial yang harus diganti
dengan tata hukum nasional sudah cukup
lama menguasai kehidupan (hukum) di
Indonesia;
4. Politik hukum kolonial, yang berakar
dalam politik kolonial pada umumnya yang
memfungsikan wilayah jajahan dengan
potensinya hanya sebagai penopang
kepentingan ekonomi negara induk, telah
menyebabkan Bangsa Indonesia dan
Hukum Adanya pada masa kolonial itu
relatif terasing dari pergaulan dan
perkembangan pada tingkat mondial
33 Bernard Arief Sidharta (2). Refleksi Tentang
Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2009, hlm. 4-5.
(global). Hal ini menyebabkan Bangsa
Indonesia dan Hukum Adatnya secara
langsung dihadapkan pada berbagai
masalah modern yang sudah amat jauh
perkembangannya dan sangat kompleks;
5. Pada saat kemerdekaan diproklamasikan,
jumlah sarjana hukum yang kompeten,
yang memiliki kemampuan legislative
drafting, masih terlalu sedikit untuk
mampu dalam waktu singkat menghasilkan
berbagai perangkat kaidah hukum positif
nasional yang diperkirakan jumlahnya,
pada saat setelah proklamasi, hanya
berkisar 200 orang sarjana hukum;
6. Perkembangan ilmu dan tehnologi yang
terjalin dengan pertambahan penduduk,
perkembangan ekonomi dan perdagangan
adalah merupakan faktor yang paling
mendasar dan memiliki jangkauan yang
luas dalam memberikan pengaruh secara
langsung terhadap perkembangan hukum,
kehidupan hukum dan kebutuhan hukum.
Sehingga, ketika kita mempermasalahkan
tersingkirnya Pancasila sebagai sumber hukum
yang menginspirasi sistem hukum Indonesia,
khususnya hukum pidana, maka permasalahan
lain pun muncul, yaitu dimanakah letaknya
hukum pidana adat dan hukum Islam? Yang
notabene kedua sistem hukum tersebut pernah
berlaku dan masih berlaku pada sebahagian
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 30
masyarakat di Indonesia. Sebagaiamana hal
tersebut turut dipertanyakan oleh Valerine J.L.
Kriekhoff, apakah hukum adat masih diakui
eksistensinya?34 Proses modernisasi telah
melenyapkan dasar kemasyarakatan dari
hukum kebiasaan tradisional hukum adat
(hampir) sebahagian besar tanah air.35
Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai
yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha
pembaharuan hukum pidana Indonesia harus
dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa
depan sesuai dengan sosio-politik, sosio-
filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural
masyarakat Indonesia.36
Pengalaman “mendamaikan” isi
kandungan hukum antara hukum yang diberi
sanksi negara dengan hukum rakyat (atau sebut
saja kaidah-kaidah sosial yang tersosialisasi
dan diyakini oleh warga masyarakat-
masyarakat lokal) sebagaimana diperoleh pada
jaman kolonial dan sedikit banyak boleh
dibilang sukses, itu ternyata justru sulit
dilaksanakan pada zaman kemerdekaan.
Pluralitas hukum rakyat yang diakui berlaku
sebagai living law berdasarkan paham
partikularisme pada zaman kolonial tidaklah
34 Valerine J.L. Kriekhoff. Arah Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional-Penggunaan Hukum Adat, Makalah dipresentasikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013 (SPHN 2013) dengan tema “Arah Pembangunan Hukum Pidana Nasional” yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Jakarta, 26-27 November 2013.
35 Mochtar Kusuma-Atmadja & Bernard Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum. Buku I, Bandung, Alumni, 2013, hlm. 131.
36 Marcus Priyo Gunarto. Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24, Nomor 1, Februari 2012, hlm. 86.
mudah diteruskan pada zaman kemerdekaan.
Cita-cita nasional untuk “menyatukan”
Indonesia sebagai satu kesatuan politik dan
pemerintahan telah bercenderung untuk
mengabaikan hukum rakyat yang plural dan
lokal-lokal itu untuk diganti dengan hukum
nasional yang diunifikasikan dan tak pelak
juga dikodifikasikan. Kebijakan hukum
nasional ditantang untuk merealisasi cita-cita
menfungsikan kaidah-kaidah sebagai kekuatan
pembaharu, mendorong terjadinya perubahan
dari wujud masyarakat-masyarakat lokal yang
berciri agraris dan berskala-skala lokal ke
kehidupan-kehidupan baru yang lebih berciri
urban dan industrial dalam format dan
skalanya yang nasional (dan bahkan kini juga
global).37
Sehingga dalam pembentukan Sistem
Peradilan Pidana ini seharusnya dikembalikan
kepada jiwa bangsa Indonesia yang termuat di
dalam Pancasila. Pandangan hidup bangsa
Indonesia telah dirumuskan secara padat
dalam Pancasila. Dan dengan termuatnya
Pancasila di dalam Pembukaan UUD NRI
1945 telah menunjukan bahwa dengan
Pancasila menjadi dasar kefilsafatan yang
menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam UUD NRI 1945.
Dengan demikian, Pancasila melandasi dan
seharusnya menjiwai kehidupan kenegaraan di
Indonesia, termasuk kegiatan
37 Soetadyo Wignjosoebroto. Hukum, Paradigma,
Metode dan Masalah, Jakarta, ELSAM dan HUMA, 2002, hlm. 166-167.
31 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Namun demikian, di beberapa peraturan
perundang-undangan telah mulai mengakui
eksistensi Hukum Adat walaupun masih terjadi
pergesekan antara sifat “tidak tertulis” dari
hukum adat harus melalui proses pemositifan
ke dalam skema sistem hukum di Indonesia.
Dominasi pengakuan tersebut masih berkisar
pengaturan pada Hukum Agraria semata.
Walaupun demikian, secara formil bibit
pengakuan dapat ditilik dalam Undang-
Undang Drt No. 1 Tahun 1951 yang
merupakan dasar hukum bagi penyelesaian
tindak pidana melalui pengadilan adat.
Berkaitan dengan pidana adat, maka kita dapat
merujuk pada Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt.
No. 1/1951, yang berbunyi:
“Hukum materiil sipil dan untuk sementara
waktupun hukum materiil pidana sipil yang
sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah
swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili
oleh pengadilan adat, ada tetap berlaku untuk
kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum
yang hidup harus dianggap perbuatan pidana,
akan tetapi tiada bandingnya dalam kitab
hukum pidana sipil, maka dianggap diancam
dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga
bulan penjara dan/atau denda lima ratus
rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti
bilamana hukuman adat yang dijatuhkan
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 32
tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan
penggantian yang dimaksud dianggap
sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan
terhukum, bahwa bilamana hukuman adat
yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim
melampaui padanya dengan hukuman
kurungan atau denda yang dimaksud di
atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat
dikenakan hukuman pengganti setinggi 10
tahun penjara, dengan pengertian bahwa
hukuman adat yang menurut paham hakim
tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa
diganti seperti tersebut di atas, bahwa suatu
perbuatan yang menurut hukum yang hidup
harus dianggap perbuatan pidana yang ada
bandingnya dalam kitab undang-undang
hukum pidana sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman sama dengan
hukuman bandingnya yang paling mirip
kepada perbuatan pidana tersebut”.
Selain ketentuan tersebut, di ranah
kekuasaan kehakiman terdapat Yurisprudensi
Mahkamah Agung yaitu Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 1644 K/PID/1988 tanggal 15
mei 1991, yang menyatakan:
“bahwa terhadap terdakwa yang telah
melakukan perbuatan hubungan kelamin di
luar perkawinan dijatuhi sanksi adat (reaksi
adat) oleh kepala adat, tidak dapat diajukan
lagi (untuk kedua kalinya) kepada badan
peradilan negara (pengadilan negeri)
dengan dakwaan yang sama melanggar
hukum adat dan dijatuhkan hukuman
penjara menurut ketentuan hukum pidana.”
Keberadaan akan berlakunya suatu hukum
pidana adat selain diakomodir dalam instrumen
hukum nasional juga dikenal dalam dunia
Internasional melalui International Covenant
on Civil and Political Rights (ICCPR).
Ketentuan Pasal 15 ayat (2) International
Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) atau Konvensi Hak Sipil dan Politik
(Konvensi HAK SIPOL) yang diratifikasi
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005 menyebutkan bahwa:
“Nothing in this article shall prejudice the
trial and punishment of any person for any
act or omission which, at the time when it
was committed, was criminal according to
the general principles of law recognized by
the community of nations”.
(Tidak ada dalam Pasal ini merugikan
peradilan dan hukuman pun atas tindakan atau
kelalaian yang pada saat itu masih merupakan
suatu kejahatan menurut asas-asas hukum yang
diakui oleh masyarakat suatu bangsa)
Rekomendasi lebih lanjut dalam konteks
Hukum Internasional melalui Konggres
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terdapat
dalam “The Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders” dinyatakan bahwa
sistem hukum pidana yang selama ini ada di
beberapa negara (terutama yang
berasal/diimpor dari hukum asing semasa
33 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
zaman kolonial), pada umumnya bersifat
“obsolete and unjust” (telah usang dan tidak
adil) serta “outmoded and unreal” (sudah
ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan
kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di
beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai
budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan
aspirasi masyarakat, serta tidak responsif
terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi
demikian oleh konggres PBB dinyatakan
sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya
kejahatan.
Titik jenuh, secara internasional,
menjadikan konsep restorative justice
bagaikan “permen manis” yang diperebutkan
hampir semua negara. Rasa frustasi terhadap
sistem pemidanaan konvensional mengalihkan
pandangan mereka terhadap konsep tersebut.
Belanda, misalnya, bahkan mengukuhkan
kewenangan melakukan mediasi dengan
memberikan kewenangan tersebut kepada
Kepolisian, karena memang terbukti sangat
efektif dalam menekan penumpukan perkara.
Munculnya konsep restorative justice
bukan saja mereduksi overcapacity dari
LAPAS, pula mengurangi penumpukan
perkara yang harus diperiksa dan diputus oleh
Hakim. Bahkan Indonesia telah pula
mengadopsi konsep tersebut di dalam Undang-
Undang Sistem Peradilan Anak.
Hal tersebut tentunya merupakan suatu
pengingkaran secara nyata terhadap konsep
musyawarah, sebagaimana telah diajukan oleh
Phillipus M. Hadjon. Pancasila yang terdiri
dari 5 (lima) sila dan 36 (tiga puluh enam)
butir, telah berpuluh-puluh tahun mengajarkan
budaya musyawarah.
Konsep bermusyawarah yang termuat di
dalam Pancasila merupakan gambaran tingkat
kompleksitas kehidupan bermasyarakat.
Sebagaimana Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa
manusia sebagai pribadi maupun dalam
kelompok pergaulan hidup mempunyai aneka
macam kepentingan. Pada suatu ketika
kepentingan itu mungkin berbeda bagi
pribadi/kelompok yang satu dengan yang
lainnya. Bahkan kepentingan itu dapat
bertentangan adanya. Dalam hubungan yang
sederajat dapat timbul masalah mayoritas dan
minoritas dengan perbedaan kepentingan,
tetapi manusia yang beradab akan mencegah
atau mengurangi kemungkinan perbedaan itu
menjadi meruncing sehingga pergaulan hidup
dapat terpelihara dan tidak berubah menjadi
pergumulan hidup.38
Sebagai falsafah bangsa, Pancasila memuat
nilai-nilai dalam menyelesaikan perselisihan
kepentingan-kepentingan tersebut. Oleh
karena itu, Indonesia dengan konsep Negara
Hukum Pancasila yang didasarkan kepada asas
kekeluargaan lebih mengutamakan kepada
kepentingan umum, namun harkat dan
martabat manusia sebagai individu tetap
dihargai, dan paradigma tentang negara hukum
38 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto.
Renungan Tentang Filsafat Hukum, Jakarta, Rajawali Press, 1985, hlm. 85.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 34
yang berfungsi pengayoman yaitu menegakan
demokrasi termasuk mendemokrasikan hukum,
berkeadilan sosial dan berperi kemanusiaan.40
Bentuk dari Asas Kerukunan adalah
musyawarah mufakat yang dapat dijumpai
dalam sila keempat dalam Pancasila.41
Demikian pula sebagaimana diungkapkan oleh
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,
dimana dalam ruang lingkup kenegaraan, maka
sila keempat itulah yang merupakan konsensus
dalam Ilmu Hukum Internasional dikenal
sebagai konsultasi. Apabila pada suatu ketika
peruncingan perbedaan kepentingan terjadi
tetapi masih diinginkan penanggulangan
melalui upaya damai agar dapat dipertahankan
adanya Kebersamaan dalam Kebedaan, maka
disamping konsultasi masih ada upaya, sebagai
berikut:42
1. Good Offices/jasa baik yaitu dengan pihak
ketiga sebagai perantara para pihak yang
bersengketa tetapi penyelesaiannya berupa
konsensus antara ke dua pihak saja;
2. Mediation/penengahan dengan pihak ketiga
yang menengahi penyelesaian perkara
dengan konsensus antara ketiga pihak;
3. Peradilan yang dengan pihak ketiga secara
mandiri menyelesaikan sengketa antar
pihak dalam bentuk keputusan yang wajib
dipatuhi para pihak dalam sengketa.
40 Teguh Prasetyo & Arie Purnomosidi.
Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila, Bandung: Nusa Media, 2014, hlm. 52.
41 Ibid 42 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,
35 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
untuk menentukan suatu Politik Hukum maka
Filsafat Hukum menjadi peran yang sangat
penting dalam membentuk Ilmu Hukum yang
sesuai berdasarkan jiwa bangsa.
Memperbincangkan “kearifan lokal”,
secara umum selalu dibahas melalui sudut
pandang ilmu Antropologi Hukum, namun di
dalam penulisan ini, Penulis konsisten
membahas melalui kajian Ilmu Hukum
Normatif. Dimana berdasarkan kajian Ilmu
Hukum, secara aspek filosofi terlihat jejak
pengakuan adanya “kearifan lokal” tersebut
baik di dalam konstitusi maupun di beberapa
peraturan perundang-undangan. Walaupun
belum meresap dengan baik ke dalam Sistem
Peradilan Pidana.
Dimana penerapannya sangat tergantung
kepada Hakim dalam melakukan penemuan
hukum dan penciptaan hukum sebagaimana
diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat
(1), yang menegaskan sebagai berikut:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.”
Sehingga, konsekuensinya adalah rasa
keadilan masyarakatlah yang hendaknya
dijadikan sebagai parameter dari suatu putusan
pengadilan, dan bukan pemenuhan unsur-unsur
dari suatu pasal yang memuat suatu tindak
pidana.
Asas Musyawarah Mufakat sebagai
turunan dari Asas Kerukunan merupakan ciri
khas dari keagungan “kearifan lokal” yang
masih dimiliki oleh Bangsa Indonesia, hingga
saat ini tidak mampu dan/atau tidak dapat
dilakukan proses konkretisasi ke dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 36
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Apeldorn, Van LJ. Pengantar Ilmu Hukum,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1985).
Arizona, Yance. Antara Teks dan Konteks:
Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap
Hak Masyarakat Adat Atas Sumber Daya
Alam di Indonesia, (Jakarta: HuMA,
2010).
Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana
Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2011).
Effendi, Tolib. Sistem Peradilan Pidana:
Perbandingan Komponen dan Proses
Sistem Peradilan Pidana di Beberapa
Negara, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,
2013).
Friedmann, Lawrence M. The Legal System: A
Social Science Perspective, (Bandung:
Nusamedia, 2011).
Hartono, CFG. Sunaryati. Politik Hukum
Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
(Bandung: Alumni, 1991).
Junaidi, Veri. Et.al. Politik Hukum Sistem
Pemilu: Potret Keterbukaan dan
Partisipasi Publik Dalam Penyusunan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPRD dan DPD, (Jakarta: Yayasan
Perludem, 2013).
Kusumaattmadja, Mochtar. Konsep-Konsep
Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung:
Alumni, 2006).
Kusumaatmadja, Mochtar & Sidharta, Arief
Bernard. Pengantar Ilmu Hukum: Buku I,
(Bandung: Alumni, 2013).
Marzuki, Mahmud Peter. Pengantar Ilmu
Hukum, (Jakarta: Kencana, 2013).
MD, Mahfud Moh. Membangun Politik
Hukum: Menegakkan Konstitusi, (Jakarta:
LP3ES, 2006).
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum:
Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2002).
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan
Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
UNDIP, 1995).
Muntoha. Negara Hukum Indonesia Pasca
Perubahan UUD 1945, (Yogyakarta:
Penerbit Kaukaba 2013).
Prasetyo, Teguh & Purnomosidi, Arie.
Membangun Hukum Berdasarkan
Pancasila, (Bandung: Nusa Media, 2014).
Purbacaraka, Purnadi & Soekanto, Soerjono.
Renungan Tentang Filsafat Hukum,
(Jakarta: Rajawali Press, 1985).
Sahetapy, JE. Et.al. Problematika Pembaruan
Hukum Pidana Nasional, (Jakarta:
Komisi Hukum Nasional RI, 2013).
Sidharta, Arief Bernard. Refleksi Tentang
Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar
Maju, 2009).
--------------------------------. Ilmu Hukum
Indonesia. Upaya Pengembangan Ilmu
Hukum Sistematik Yang Responsif
Terhadap Perubahan Masyarakat,
(Bandung: Genta Publishing, 2013).
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011).
Strong, CF. Konstitusi-Konstitus Politik
Modern. Studi Perbandingan tentang
Sejarah dan Bentuk, (Bandung:
Nusamedia, 2014).
37 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum,
Paradigma, Metode dan Masalah,
(Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002).
Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil
Penelitian
Arief, Nawawi Barda. Beberapa Aspek
Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum
Pidana Indonesia), Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum,
(Semarang: Undip, 1994).
Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN), Laporan Hasil Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII,
(Bali: BPHN, 2003).
Dimyati, Khudzaifah. Dominasi Pemikiran
Hukum Positivistik: Otokritik dan
Otensitas dan Kemiskinan Ke-
Indonesia-an, Makalah
dipresentasikan pada Konferensi
Nasional ke-3 Asosiasi Filsafat
Hukum Indonesia (AFHI), (AFHI,
Epistime Institute dan FH Unair,
2013).
Harkrisnowo, Harkristuti. Rekonstruksi
Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan
Terhadap Proses Legislasi dan
Pemidanaan di Indonesia, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum,
(Depok: UI, 2003).
Gunarto, Priyo Marcus. Asas
Keseimbangan Dalam Konsep
Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana,
Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24,
Nomor 1, Februari 2012.
Kriekhoff, J.L. Valerine. Arah
Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional-Penggunaan Hukum Adat,
Makalah dipresentasikan pada
Seminar Pengkajian Hukum Nasional
(SPHN), Jakarta: Komisi Hukum
Nasional (KHN), 2013).
Lubis, Solly. Pembangunan Hukum
Nasional, Makalah disampaikan
dalam Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VII, (Bali: BPHN, 2003).
Sidharta, Arief Bernard. Asas, Kaidah, dan
Sistem Hukum, makalah tidak
dipublikasikan, (Bandung, 20 Juli
2004).
--------------------------------. Filsafat
Hukum Pancasila, Makalah Bahan Ajar
Program Pascasarjana Universitas Islam
Indonesia (UII), tidak dipublish, Tahun
2012.
Internet
Laporan Akhir Komisi Hukum Nasioanl
(KHN) mengenai “Hak Memperoleh
Akses Peradilan Pidana”,
www.komisihukum.go.id
Perjalanan Rancangan KUHAP, Sumber:
http://kuhap.or.id/perjalanan-
rancangan-kuhap/, diakses tanggal 21
Januari 2015.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 38
PERLINDUNGAN DAN PENGAKUAN EKSISTENSI
MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA M. Doni Ramdani, Sekolah Tinggi Hukum Jakarta
Jl. Masjid 1 No. 5 Karet Tengsin, Jakarta Pusat 10220 Email: [email protected]
ABSTRAK
Eksistensi akan masyarakat adat adalah suatu kenyataan sejarah yang mana tidak dapat dihindari atau disangkal oleh pemerintah. Secara formal pengakuan, penerimaan, atau pembenaran adanya masyarakat adat di dalam struktur ketatanegaraan baru diatur di dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan hasil penelitian bahwa persoalan penguasaan tanah oleh negara menjadi masalah serius yang mengancam eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa konstruksi hak menguasai negara atas tanah ini adalah bentuk yang lebih buruk dari domein verklaring, oleh karena jika domein verklaring masih mengakui adanya hak atas ulayat maka hak menguasai negara atas tanah malah menafikannya sama sekali. Jika ditelaah secara lebih teliti, baik secara teoretikal maupun dari praktek pelaksanaannya, ternyata bahwa hak menguasai negara atas tanah ini lebih merupakan pencabutan hak ulayat dari kesatuan masyarakat adat. Jika ditelaah secara lebih teliti, baik secara teoretikal maupun dari praktek pelaksanaannya, ternyata bahwa hak menguasai negara atas tanah ini lebih merupakan pencabutan hak ulayat dari kesatuan masyarakat adat. Kata Kunci: Eksistensi, Masyarakat Adat, Hak atas Tanah.
ABSTRACT
The existence of indigenous peoples is a historical fact which can not be avoided or denied by the government. Formally recognition, acceptance, or justification of the indigenous peoples in the new constitutional structures provided for in chapter 18 of the constitution of 1945. Based on the research that the issue of land ownership by the state becomes a serious problem that threatens the existence of indigenous people in indonesia. It is no exaggeration to say that the construction control of the state over land rights is a worse form of domains verklaring, therefore if the domain verklaring still recognize the customary rights over the land rights of control over the country even deny them altogether. If explored more thoroughly, both theoretically and from the practice of its implementation, it turns out that the right to control the country on this land over the revocation of customary rights of indigenous peoples unity. If explored more thoroughly, both theoretically and from the practice of its implementation, it turns out that the right to control the country on this land over the revocation of customary rights of indigenous peoples unity. Keywords: Existence, Indigenous People, Land Rights.
39 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)
A. PENDAHULUAN
Produk hukum nasional yang mengakui
akan adanya suatu keberadaan masyarakat adat
yang ada di Indonesia, diantaranya terdapat
dalam UUD 1945, pengakuan dan
penghormatan terhadap masyarakat adat,
termaktub di dalam pasal 18B ayat 2, yaitu
“Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat Indonesia dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang”. Pasal ini, memberikan
posisi konstitusif pada masyarakat adat dalam
hubungannya dengan negara, serta menjadi
landasan konstitusional bagi pihak
penyelenggara negara, bagaimana seharusnya
komunitas diperlakukan. Dengan demikian
pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang
kewajiban konstitusional bagi negara untuk
mengakui dan juga menghormati masyarakat
adat, dan juga sebagai hak konstitusional
masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan
serta penghormatan terhadap hak-hak
tradisionalnya.
Apa yang termaktub di dalam Pasal 18B
ayat 2, juga merupakan mandat konstitusi yang
harus ditaati oleh pihak penyelenggara negara,
untuk mengatur pengakuan dan penghormatan
atas keberadaan masyarakat adat dalam suatu
bentuk undang-undang. Pasal lain yang
berkaitan dengan masyarakat adat diatur dalam
Pasal 28I ayat 3 UUD 1945, yang
menyebutkan identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional harus dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memberikan
mandat kepada negara agar pemanfaatan bumi
(tanah), air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya sebesarbesarnya
digunakan untuk menciptakan kemakmuran
bagi rakyat Indonesia. Oleh karena itu, maka
semua peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai tanah, air dan semua
sumber daya alam di Indonesia seharusnya
merujuk tujuan yang hendak dicapai negara
melalui Pasal 33 UUD 1945.
Dalam rangka menjalankan mandat
konstitusi tersebut maka pada sektor
kehutanan sebagai salah satu kekayaan sumber
daya alam yang ada, pemerintah menyusun
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (untuk selanjutnya disebut
UU Kehutanan). Pasal 3 UU Kehutanan
menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan
kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan
berkelanjutan”.
Faktanya sejak UU Kehutanan ini berlaku
telah dijadikan sebagai alat oleh negara untuk
mengambil alih hak kesatuan masyarakat adat
atas wilayah hutan adatnya untuk kemudian
dijadikan sebagai hutan negara, yang
selanjutnya justru atas nama negara diberikan
dan/atau diserahkan kepada para pemilik
modal melalui berbagai skema perizinan untuk
dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 40
kearifan lokal kesatuan masyarakat adat di
wilayah tersebut, hal ini menyebabkan
terjadinya konflik antara kesatuan masyarakat
adat tersebut dengan pengusaha yang
memanfaatkan hutan adat mereka. Praktik
demikian terjadi pada sebagian besar wilayah
Negara Republik Indonesia, hal ini pada
akhirnya menyebabkan terjadinya arus
penolakan atas pemberlakukan UU
Kehutanan.1
Dalam prakteknya, Pemerintah sering
mengeluarkan keputusan penunjukan kawasan
hutan tanpa terlebih dahulu melakukan
pengecekan tentang klaim kesatuan
masyarakat hukum adat atas kawasan tersebut
yang bahkan pada kenyataannya telah ada
pemukiman‐pemukiman masyarakat adat di
dalamnya. Data Kementerian Kehutanan dan
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
bahwa terdapat 31.957 desa yang berinteraksi
dengan hutan dan 71,06 % dari desa‐desa
tersebut menggantungkan hidupnya dari
sumber daya hutan Secara umum, masyarakat
yang tinggal dan hidup di desa‐desa di dalam
dan sekitar hutan baik yang mengidentifikasi
diri sebagai masyarakat adat atau masyarakat
lokal hidup dalam kemiskinan. CIFOR (2006)
menyebutkan bahwa 15% dari 48 juta orang
yang tinggal di dalam dan sekitar hutan
merupakan masyarakat miskin.
1 Lihat Bukti P-3 dalam Putusan Nomor 35/PUU-
X/2012 tentang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. hlm 3-4.
Hukum adat merupakan hukum yang
bersumber pada ugeran-ugeran atau norma-
norma kehidupan sehari-hari yang langsung
timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang
Indonesia asli dalam hal ini sebagai
pernyataan rasa keadilan dalam hubungan
pamrih, sehingga jelas disini bahwa hukum
adat di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah hukum asli Indonesia yang
dibuat oleh masyarakat Indonesia secara turun
temurun berdasarkan value consciousness
mereka yang termanifestasi dalam kebiasaan
hidup sehari-hari dengan menggunakan ukuran
nalar dan rasa keadilan mereka. Dengan
demikian jika kembali pada pemikiran Von
Savigny bahwa hukum adalah cerminan jiwa
rakyat, maka hukum adatlah yang merupakan
jiwa bangsa Indonesia.2
Setiap bangsa dan peradaban memiliki
karakter yang unik. Bahkan setiap bangsa
memiliki karakter dan kualitas tersendiri yang
secara intrinsik tidak ada yang bersifat
superior satu diantara yang lainnya. Dalam
hubungannya dengan pembentukan sistem
hukum, von Savigny menyatakan bahwa suatu
sistem hukum adalah bagian dari budaya
masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu
tindakan bebas (arbitrary act of a legislator),
tetapi dibangun dan dapat ditemukan di dalam
jiwa masyarakat. Hukum secara hipotetis
dapat
2 Soerojo Wignjodipuro. Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat, Bandung, Alumni, 1979, hlm. 64.
41 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)
Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur”, Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 24 hlm. 5.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 42
tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional”, Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3)
sepanjang frasa “dan ayat (2); dan hutan adat
ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan
masih ada dan diakui keberadaannya”, dan
ayat (4) , serta Pasal 67 ayat (1) sepanjang
frasa “sepanjang menurut kenyatannya masih
ada dan diakui keberadaannya”, ayat (2), dan
ayat (3) sepanjang frasa “dan ayat (2)”, UU
Kehutanan;
A. RUMUSAN MASALAH
Pengakuan dan perlindungan atas
eksistensi masyarakat adat dilakukan dalam
konstruksi hukum positif negara, sedangkan
eksistensi masyarakat adat beserta hak-haknya
adalah suatu hal yang hidup dalam
konstruksi hukum adat yang sama sekali
berbeda dan dalam banyak hal kontradiktif
dengan hukum negara. Maka pertanyaanya,
bagaimanakah pengakuan dan
perlindungan eksistensi masyarakat adat
beserta hak-hak tradisionalnya dilakukan
melalui hukum negara ? Permasalahan inilah
yang diangkat dalam tulisan ini dengan
mengambil contoh kasus pada konflik
agraria antara masyarakat adat melawan
negara.
B. PEMBAHASAN
Eksistensi Masyarakat Adat
Secara sosiologis, kesatuan masyarakat
hukum adat memiliki keterikatan yang sangat
kuat pada hutan dan telah membangun
interaksi yang intensif dengan hutan. Di
berbagai tempat di Indonesia, interaksi antara
masyarakat adat dengan hutan tercermin dalam
model-model pengelolaan masyarakat adat
atas hutan yang pada umumnya didasarkan
pada hukum adat, yang biasanya berisi aturan
mengenai tatacara pembukaan hutan untuk
usaha perladangan dan pertanian lainnya,
penggembalaan ternak, perburuan satwa dan
pemungutan hasil hutan. Padahal keberadaan
berbagai praktek pengelolaan hutan oleh
masyarakat adat dikenal dengan berbagai
istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur,
Lembo pada masyarakat Dayak di Kalimantan
Timur, Tembawang pada masyarakat Dayak di
Kalimantan Barat, Repong pada Masyarakat
Peminggir di Lampung, Tombak pada
masyarakat Batak di Tapanuli Utara, dikenal
dengan Hutan Titipan; yaitu kawasan hutan
yang tidak boleh diganggu atau dirusak.
Kawasan ini biasanya dikeramatkan. Secara
ekologis, kawasan ini juga merupakan
kawasan yang sangat penting dalam menjaga
lingkungan dan merupakan sumber kehidupan,
dan Hutan Tutupan; yaitu kawasan hutan yang
dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan
masyarakat. Umumnya, pemanfaatannya
secara terbatas yaitu untuk pemanfaatan hasil
hutan non-kayu, tanaman obat, rotan, madu.
Selain itu, kawasan ini juga berfungsi sebagai
penjaga mata air;
Praktek-praktek tersebut menunjukan bahwa
kesatuan masyarakat hukum adat telah
43 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)
melakukan pengelolaan sumber daya alam
(hutan) secara turun-temurun. Pola-pola ini
diketahui memiliki sistem yang sangat terkait
dengan pengelolaan hutan alam, hutan
tanaman, kebun dan usaha pertanian sehingga
bentuknya sangat beragam, dinamis, terpadu
yang menghasilkan berbagai manfaat bagi
masyarakat dan lingkungan, baik secara
ekonomi, sosial budaya, religi, dan ekologi.
Kondisi masyarakat adat itu dapat dibagi
ke dalam tiga kelompok, yaitu 1. kesatuan
masyarakat adat yang sudah mati sama sekali;
2. kesatuan masyarakat adat yang sudah tidak
hidup dalam praktek tetapi belum mati sama
sekali sehingga masih dapat diberi pupuk agar
dapat hidup subur; 3. kesatuan masyarakat
adat yang memang masih hidup.6
Masyarakat adat yang dapat dikategorikan
tidak hidup lagi, dengan kata lain sudah mati
sama sekali adalah: 1. Masyarakatnya sudah
tidak asli lagi, tradisinya pun sudah tiada dan
catatannya pun tidak ada, kecuali hanya ada
dalam legenda-legenda yang tidak tertulis; 2.
Masyarakatnya tidak asli lagi, tradisinya pun
sudah menghilang dari praktek, tetapi
catatannya masih tersedia dan sewaktu-waktu
dapat dihidupkan lagi; 3. Masyarakatnya
memang masih asli, tetapi tradisinya sudah
tiada, dan tidak ada pula catatan sama sekali.
Ketiga kategori masyarakat adat tersebut di
atas, tidak dapat lagi dikatakan hidup.
Sekiranya pun catatan tentang tradisi asli itu
masih tersimpan baik seperti pada kategori
6 Asshiddiqie, Jimly. Hak Konstitusional
Masyarakat Hukum Adat, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional, Jakarta 10 Desember 2007. hlm. 8.
kedua, tetapi ini tidak dapat dikatakan masih
hidup. Kalaupun dihidupkan kembali karena
catatannya masih lengkap, misalnya untuk
kepentingan industri pariwisata, tentu saja
namanya bukan lagi masyarakat adat yang
bersangkutan. Demikian pula pada kategori
ketiga, meskipun masyarakatnya masih asli,
tetapi tradisinya tidak dipraktekkan lagi dan
catatannya pun tidak tersedia. Sekiranya ingin
dihidupkan kembali, hal tersebut tidak
menjamin bahwa tradisi yang dimaksud
memang sesuai dengan tradisi hukum adat
yang mana memang pernah dipraktekkan
sebelumnya. Karena itu, pengertian kesatuan
masyarakat hukum adat yang hidup seperti
dimaksud salah satunya dalam Pasal 18B ayat
2 UUD 1945, tidak mencakup ketiga kategori
kesatuan masyarakat adat sebagaimana telah
diuraikan di atas.
Sementara itu, kelompok kategori kedua
adalah masyarakat adat yang masih dapat
dihidupkan, yaitu masyarakat adat yang masih
asli, tetapi tradisinya tidak dipraktekkan lagi,
namun tersedia rekaman atau catatan tertulis
yang cukup memadai untuk dipupuk kembali.
Aktivitas hukum adat di masyarakat adat
kategori ini mungkin tidak terlihat lagi dalam
kegiatan praktek sehari-hari.7
Negara telah membuat berbagai peraturan
perundang-undangan tentang prosedur yang
7 Jimly Ashiddiqie, Ibid., hlm. 10.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 44
perlu ditempuh untuk memperoleh pengakuan
atau pengukuhan terhadap eksistensi kesatuan
masyarakat adat, yang pada dasarnya
dilakukan dengan peraturan daerah kabupaten,
dengan asumsi bahwa pemerintah daerah
kabupatenlah yang paling mengetahui
keberadaan kesatuan masyarakat adat di
daerahnya; Walaupun demikian dapat
dipertanyakan mengapa sampai saat ini hanya
dua kesatuan masyarakat adat yang sudah
mempunyai peraturan daerah kabupaten yang
mengukuhkan eksistensi dan hak-hak
tradisionalnya, yaitu kesatuan masyarakat
Baduy di Provinsi Banten dan kesatuan
masyarakat adat Pasir di Provinsi Kalimantan
Timur. Fakta bahwa demikian sedikitnya
jumlah kesatuan masyarakat adat yang sudah
dilindungi oleh peraturan daerah kabupaten
dapat ditafsirkan baik sebagai kecilnya
kemauan politik untuk memberi perlindungan
hukum kepada kesatuan masyarakat adat,
maupun oleh karena demikian ruwetnya proses
pembentukan peraturan daerah kabupaten.
Oleh karena itu, bagian terbesar dari kesatuan
masyarakat adat ini secara yuridis telah
terancam kehilangan legalitas sebagai
kesatuan masyarakat adat.8
Akan tetapi, gagasan-gagasan dasarnya
masih tersimpan dalam impian dan dalam cara
pandang masyarakatnya yang juga masih asli
dalam arti bukan terdiri atas para pendatang
baru, dan rekaman atau catatan mengenai
tradisi dimaksud juga masih tersedia dengan
baik. Menghilangnya tradisi hukum adat yang
bersangkutan dari kegiatan praktek sehari-hari,
8 Ibid.
sangat mungkin disebabkan oleh banyak
faktor, termasuk karena adanya intervensi
kebijakan pemerintahan secara terpusat dan
seragam secara nasional yang diterapkan
selama ini, yang mana mengakibatkan
hancurnya berbagai sendi hukum adat di
berbagai kalangan masyarakat hukum adat asli
di tanah air.9
Kesatuan masyarakat adat seperti ini,
yaitu yang masyarakatnya masih asli, tetapi
tradisinya tidak dipraktekkan, namun tersedia
rekaman atau catatan tertulis, masih dapat
dihidupkan kembali sebagaimana mestinya,
asalkan memenuhi beberapa persyaratan,
yaitu: 1. sesuai dengan perkembangan
masyarakat menuju ke tingkat peradaban yang
semakin maju; 2. sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan 3. diatur
dilakukan menurut aturan yang ditentukan
dalam undang-undang yang berkaitan.
Artinya, meskipun kesatuan masyarakat adat
yang termasuk dalam kategori ini masih dapat
dihidupkan lagi, tetapi untuk itu harus
diperhatikan ketiga syarat tersebut. Jika nilai-
nilai hukum adat yang terkandung di dalamnya
tidak sesuai lagi dengan perkembangan rasa
kemanusiaan di zaman sekarang, misalnya,
tradisi balas dendam berdarah, tentu tidak
9 Jimly Ashiddiqie, Ibid., hlm. 12.
45 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)
boleh dihidupkan kembali karena tidak sesuai
dengan perkembangan masyarakat.
Demikian pula apabila tradisi masyarakat
adat yang bersangkutan itu bertentangan
ataupun dapat mengakibatkan terganggunya
upaya dalam rangka mempertahankan dan
memperkuat prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tentu juga tidak boleh
dihidupkan lagi. Misalnya jika ada satu
kesatuan masyarakat adat di daerah perbatasan
yang lebih berorientasi kepada kesatuan
masyarakat adat yang berpusat di negara lain
di perbatasan, tentu dapat membahayakan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.8
Kelompok yang ketiga adalah kategori
masyarakat adat yang memang dapat
dikategorikan masih hidup dalam kenyataan,
yaitu: 1. Masyarakat masih asli, tradisinya
juga masih dipraktekkan, dan tersedia catatan
mengenai tradisi tersebut; 2. Masyarakatnya
masih asli tradisinya masih ada, tetapi catatan
tidak tersedia; 3. Masyarakatnya sudah tidak
asli lagi, tetapi tradisinya masih dipraktekkan
dan catatannya pun tersedia cukup memadai;
4. Masyarakatnya tidak asli lagi, dan juga
tidak tersedia catatan mengenai hal itu, tetapi
tradisinya masih hidup dalam praktek.
Meskipun dalam praktek sangat
dimungkinkan tidak akan pernah menjadi
kenyataan, tetapi secara teoritis mungkin saja
terjadi adanya kategori ketiga dan keempat
dari penjelasan di atas. Persoalannya adalah
apakah keaslian warga masyarakat di dalam
kesatuan masyarakat adat yang bersangkutan
merupakan faktor yang menentukan atau tidak
8 Ibid.
untuk menentukan hidup matinya suatu
masyarakat adat. Jika ukuran utamanya adalah
tradisi hukum adatnya, maka meskipun
orangnya sudah berganti dengan para
pendatang baru, selama tradisinya masih hidup
dalam praktek, maka dapat saja dikatakan
bahwa masyarakat adat yang bersangkutan
masih hidup.9
Hukum Adat dalam Sistem Hukum Positif
Indonesia
Sebagai negara yang menganut tradisi
Civil Law System, maka dalam membaca
sistem hukum positif Indonesia haruslah
berangkat dari hierarkhi perundang-undangan
yang paling kuat yakni konstitusi yang
diwujudkan dalam UUD 1945. Begitu pula
dalam mengelaborasi pengaturan mengenai
eksistensi masyarakat adat dan hukum adat
dalam sistem hukum positif Indonesia, hal
yang paling mudah adalah dengan pertama
kali mengkaji pengaturannya dalam UUD
1945. Di dalam UUD 1945, tidak terdapat
peraturan yang secara spesifik mengatur
tentang hukum adat, melainkan hanya
peraturan tentang eksistensi masyarakat
hukum adat, yakni dalam pasal 18B ayat 2
dan pasal 28I ayat 3.
Pasal 18B ayat 2 berbunyi:
9 Jimly Ashiddiqie, Ibid., hlm. 14.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 46
“Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
serta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.”
Sedangkan Pasal 28I ayat 3 berbunyi:
“Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.”
Berdasarkan ketentuan kedua pasal di
atas, jelas terlihat adanya bentuk
pengaturan bahwa eksistensi masyarakat adat
dan atau masyarakat tradisional diakui hanya
jika memenuhi kriteria dalam kata-kata yang
tercetak miring di atas, yakni: tidak
bertentangan dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI.
Pada tingkatan undang-undang, Undang-
Undang Pokok Agraria (yang selanjutnya
disebut UUPA) No. 5 Tahun 1960 adalah
produk hukum yang pertama kali menegaskan
pengakuannya atas hukum adat. Ketentuan ini
dapat dilihat di Pasal 5 UUPA yang
menyebutkan bahwa hukum agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara yang
didasarkan atas persatuan bangsa. Serta
merupakan rumusan atas kesadaran dan
kenyataan bahwa sebagian besar rakyat tunduk
pada hukum adat, sehingga kesadaran hukum
yang dimiliki bangsa Indonesia adalah
kesadaran hukum berdasarkan adat. Hanya
saja memang semangat UUPA ini, dikemudian
waktu banyak ditinggalkan, karena adanya
pergeseran politik ekonomi dan hukum
agraria. Kendati demikian, UU ini hingga
sekarang masih menjadi hukum yang positif
yang mengatur mengenai agraria. Karenanya
masih menjadi alat legal dalam memperkuat
hak-hak komunitas adat. Namun seiring
dengan arus reformasi, kesadaran terhadap
pengakuan, penghormatan dan perlindungan
hak-hak masyarakat adat menjadi salah satu
isu politik yang mengemuka. Sejumlah
undang-undang telah diproduk menyertai
UUPA.
Pengaturan mengenai masyarakat adat
dan hak-hak tradisionalnya di bawah
konsep pengakuan terbatas sebagaimana linier
dengan UUPA juga dapat ditemui pada UU
Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999).
Beberapa pasal yang mengatur tentang
eksistensi masyarakat adat dalam UU
Kehutanan ini antara lain adalah pasal 4 ayat
3, dan pasal 67.
Pasal 4 ayat 3 UU Kehutanan menyebutkan:
“Penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum
adat, sepanjang kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional”
47 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)
Sedangkan pasal 67 UU ini menyebutkan:
1. Masyarakat hukum adat sepanjang
menurut kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya berhak:
a. Melakukan pemungutan hasil hutan
untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari masyarakat adat yang
bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan
hutan berdasarkan hukum adat yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan
undang-undang; dan
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam
rangka peningkatan kesejahterannya.
2. Pengukuhan dan hapusnya keberadaan
masyarakat hukum adat sebagaimana
dimaksud ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Lebih jauh lagi, penjelasan pasal 67
menyebutkan: “Ayat (1): Masyarakat
hukum adat diakui keberadaannya jika
menurut kenyataannya memenuhi unsur
antara lain:
a. Masyarakat masih dalam bentuk
paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. Ada kelembagaan dalam bentuk
perangkat penguasa adatnya;
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. Ada pranata dan perangkat hukum,
khususnya peradilan adat, yang masih
ditaati; dan
e. Masih mengadakan pemungutan
hasil hutan di wilayah hutan
sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.”
Berdasarkan uraian di atas, maka
menurut UU Kehutanan, eksistensi
masyarakat adat diakui keberadaannya hanya
jika keberadaannya tersebut telah ditetapkan
Perda yang mendasarkan diri pada kriteria
sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan
pasal 67 ayat 1 di atas, dan hal yang
paling fundamental di atas itu semua
adalah bahwa pengakuan keberadaan
masyarakat adat tersebut tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 4 ayat 3.
Di dalam negara hukum, aturan perundangan-
undangan yang tercipta, harus berisi nilai-nilai
keadilan bagi semua orang. Seperti yang
dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, dari Wolfgang
Friedman dalam bukunya, Law in a Changing
Society, membedakan antara organized public
power (the rule of law dalam arti formil),
dengan the rule of just law (the rule of law
dalam arti materil). Negara hukum dalam arti
formil (klasik) menyangkut pengertian hukum
dalam arti sempit, yaitu dalam arti peraturan
perundang-undangan tertulis, dan belum tentu
menjamin keadilan substanstif. Negara hukum
dalam arti materiel (modern) atau the rule of
just law merupakan perwujudan dari Negara
hukum dalam arti luas yang menyangkut
pengertian keadilan di
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 48
dalamnya, yang menjadi esensi dari pada
sekedar memfungsikan peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit.13
Dari perspektif historis adalah
merupakan suatu ironi, bahwa hak
kesatuan masyarakat adat yang dihormati
dan diakui tanpa syarat oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda justru dikebiri
oleh pemerintah nasional Negar Kesatuan
Republik Indonesia melalui berbagai
kondisionalitas. Bertentangan dengan
semangat Pasal 33 ayat (3) Undang-
undang Dasar 1945, tanah ulayat kesatuan
masyarakat adat yang dikuasai Negara
tersebut bukannya digunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat, tetapi
diserahkan penggunaannya kepada
perusahaan-perusahaan besar swasta yang
bergerak dalam bidang pertanian,
perkebunan, atau pertambangan, yang
tentu saja bertujuan untuk mencari
keuntungan sebesar-besarnya;
Dengan demikian maka hak
penguasaan negara, Pemerintah secara de
jure dan secara de facto telah mengadakan
pencabutan hak (onteigening) terhadap hak
kesatuan masyarakat adat, nota bene tanpa
ganti rugi sama sekali, dan hal itu
bertentangan dengan: a) alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
yang mencantumkan dengan jelas salah
13 Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum yang
Demokratis, Jakarta, PT Bhuana Ilmu Populer, 2009, hlm. 253.
satu tugas dari empat tugas Pemerintah
untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia; dan
b) dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945, yang menyatakan
bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat;
Konflik Agraria Antara Masyarakat
Adat Melawan Negara
Persoalan tanah adat telah menjadi salah satu perhatian khusus para pendiri bangsa Indonesia, terlihat dari perdebatan-perdebatan tentang masyarakat adat dalam konteks negara yang sedang dibangun pada masa-masa awal kemerdekaan telah mendapatkan porsi yang besar dalam sidang-sidang BPUPKI, yang kemudian terkristalisasi dalam Pasal 18 UUD 1945. Dalam Penjelasan II Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) dikemukakan bahwa: dalam territoir Negara Indonesia terdapat lk. 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”. Selanjutnya disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan
49 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)
mengingati hak-hak asal-usul daerah
tersebut.13
Beberapa contoh kasus konflik di dalam
kawasan hutan pada fungsi hutan dan areal
yang berbeda-beda antara lain: Konflik
Masyarakat Adat Moronene, Sulawesi
Tenggara dengan Pengelola Taman Nasional
Rawa Opa Watumohai pada Kawasan
Konservasi. Dalam sejarah Sulawesi
Tenggara, masyarakat adat Moronene
merupakan suku asli tertua yang mendiami
daratan Sulawesi Tenggara, di samping orang
Tolaki dan Mekongga. Masyarakat adat
Moronene menyebar hingga 6 kecamatan.
Masyarakat adat Moronene di Kecamatan
Rumbia terbagi atas 11 tobu (wilayah adat).
Kepemimpinan lembaga adat dikenal dengan
sebutan Mokole. Mereka telah mengelola
wilayah leluhurnya di Hukaeka, Lampopala
dan sekitarnya sejak tahun 1920-an. Selain
perkampungan lahan digunakan untuk kebun,
lahan pengembalaan kerbau dan kuda, kebun
jati, tambak bersama pada muara-muara
sungai, kuburan dan lain-lain. Pada tahun
1952, 1953 serta tahun 1960 mereka terpaksa
mengungsi meninggalkan tanah leluhurnya
karena gangguan keamanan oleh gerombolan
dan kini mereka tinggal berpencar pada
kampung-kampung sekitarnya setelah
beberapa kali dikumpulkan dan dipindahkan.14
13 Lihat dalam Putusan MK Nomor Tahun 2012
(Bukti P-6), hlm. 6. 14 Konflik yang terjadi di masyarakat adat
Peminggir, Lampung, atas pengelolaan Hutan Lindung. Sejak sekitar seabad yang lalu masyarakat adat Peminggir atau Pesisir Krui membangun Repong Damar. Dimulai dari pembukaan hutan, berladang (padi dan sayuran), berkebun (kopi, lada), lalu membentuk agroforest (kebun-hutan) yang
Kasus ini merupakan salah satu contoh
kasus tentang bagaimana cara pandang
birokrasi pemerintah terhadap masyarakat adat
yang tinggal di dalam dan sekitar hutan
berkenaan dengan pengelolaan kawasan
konservasi, dan menunjukkan bahwa
masyarakat adat masih dilihat sebagi ancaman
terhadap kelestarian kawasan dan ditindak
seakan akan mereka bukan sesama manusia.
Konflik pada masyarakat adat Dayak
Simpang, di Kalimantan Barat pada Hutan
Produksi Terbatas. Masyarakat adat Simpang
yang kini bermukim di wilayah Desa
Semandang Kiri, Kecamatan Simpang Hulu,
Kabupaten Ketapang, Propinsi Kalimantan
Barat diperkirakan mengelola hutan sejak abad
ke 16-17. Tempat tinggal mereka tersebar
dalam beberapa kampung yang dikenal
wilayahnya sebagai umang desa sembilan
domong sapuluh atau disebut juga Kawasan
Adat Banua Simpakng atau Tonah Simpang
Sakayok. Batas antar Banua dikenal dengan
didominasi oleh pohon damar (shorea javanica) selain buah, kayu dan tumbuhan bermanfat lainnya. Keseluruhan repong Damar di pesisir Krui mencapai 50-an ribu hektar. Wilayah di masyarakat adat Peminggir berbatasan langsung dengan Samudra Hindia di sebelah barat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di sebelah timur (dulu Cagar Alam Ratu Wilhemina). Pada zaman Belanda tanah adat diakui sebagai tanah marga dari 16 Marga yang memiliki wewenang disana. Batas Bochwessen (BW, Kawasan hutan) dan tanah Marga dihormati oleh pihak pemerintah Belanda maupun masyarakat sekitarnya.Liat Besse Sugiswati, "Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat Di Indonesia", Jurnal Perspektif, Volume XVII No. 1 Tahun 2012 Edisi Januari, hlm. 33.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 50
nama Sapat Banua atau kesepakatan batas
benua yang dihormati sebagai batas wilayah
kewenangan adat masing-masing Banua.
Kelembagaan adat di dalam Banua terdiri dari
seorang Patinggi, beberapa orang Pateh dan
Tamogokng untuk tiap-tiap kampung. Pola
pengelolaan Sumber Daya Hutan telah
dilakukan secara turun-temurun dengan cara
menggolongkan pola-pola penggunaan lahan
sebagai berikut: Rima makong utatn torutn
yaitu sebagai hutan cadangan, Bawas belukar
lako uma sebagai tanah pertanian, Kampbokng
temawakng buah janah sebagai kebun buah
dan kayu-kayuan, Tonah colap torutn pusaka
sebagai wilayah keramat, Kampokng loboh
sebagai wilayah pemukiman, dan Are sunge
sebagai wilayah sungai untuk tambak dan
tempat menjala. Selain wilayah adat,
kelembagan adat serta pola pengelolaan
sumber daya hutan tersebut, masyarakat adat
ini terikat atas suatu hubungan kekerabatan
dan adat istiadat yang sama.
Konflik masyarakat adat Simpang ini
berbentuk tumpang tindih peruntukan lahan
dan pemberian ijin usaha bagi perusahaan atas
wilayah adatnya. Berdasarkan pemetaan
partisipatif yang dilakukan, terlihat bahwa di
wilayah masyarakat adat tersebut terdiri atas
8.894 ha hutan cadangan, 2.848 ha tanah
pertanian, 11.200 ha kebun campuran, 81 ha
wilayah pemukiman (total 23.023 Ha),
setengah dari lahan itu menurut RTRWP-
Kalbar 2008 menjadi Kawasan Budidaya
nonKehutanan sedangkan sebagian lagi
menjadi Kawasan Budidaya Kehutanan (HPT
pada TGHK 1982). Lebih dari itu, wilayah
tersebut telah dikeluarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan pada tahun 1997 diberikan
bagi beberapa Perusahaan Kehutanan (HPH
PT Inhutani II, HPHTI TTJ, PT GDB) dan
Perkebunan (P PMK, BSP II, dan PT KOI).
Sehingga tidak ada lagi kepastian serta
jaminan bagi masyarakat adat atas hak-hak
adatnya (wewenang atas wilayah,
kelembagaan serta pola pengelolaan sumber
daya alam) yang telah dilakukan secara turun-
temurun (Kanyan 1999 draft III).15
Konflik yang terjadi di masyarakat adat
Peminggir, Lampung, atas pengelolaan Hutan
Lindung. Sejak sekitar seabad yang lalu
masyarakat adat Peminggir atau Pesisir Krui
membangun Repong Damar. Dimulai dari
pembukaan hutan, berladang (padi dan
sayuran), berkebun (kopi, lada), lalu
membentuk agroforest (kebun-hutan) yang
didominasi oleh pohon damar (shorea
javanica) selain buah, kayu dan tumbuhan
bermanfat lainnya. Keseluruhan repong Damar
di pesisir Krui mencapai 50-an ribu hektar.
Wilayah di masyarakat adat Peminggir
berbatasan langsung dengan Samudra Hindia
di sebelah barat dan Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan di sebelah timur (dulu Cagar
Alam Ratu Wilhemina). Pada zaman Belanda
tanah adat diakui sebagai tanah marga dari 16
Marga yang memiliki wewenang disana. Batas
15 Martua Sirait, et. al., Op.Cit. hlm. 17.
51 Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia-(Doni Ramdani)
Bochwessen (BW, Kawasan hutan) dan tanah
Marga dihormati oleh pihak pemerintah
Belanda maupun masyarakat sekitarnya.
Bentuk yang diharapkan masyarakat adat
adalah bukan pemberian hak pengusahaan
repong damar yang dapat dicabut sewaktu
waktu dan masih kuatnya intervensi
pengaturan oleh Departemen Kehutanan dan
Perkebunan tetapi suatu bentuk hak atas dasar
pengakuan keberadaan masyarakat adat,
wilayah adatnya serta pola pengelolaanya
kebun damarnya sebagai suatu usaha
pertanian. Masyarakat adat Krui tengah
mempersiapkan pendekatan litigasi untuk
mendapatkan kembali hak kepemilikan
tanahnya atas usaha tani kebun damarnya.
Walaupun pemberian hak pengusahaan
belum memenuhi harapan masyarakat adat
Krui akan tetapi SK ini menunjukan
pengakuan atas pola pengelolaan sumber daya
hutan oleh masyarakat adat dalam bentuk
aslinya (Repong Damar) dan jaminan bahwa
pola tersebut dapat dilanjutkan.16
Eksistensi akan masyarakat adat adalah
suatu kenyataan sejarah yang mana tidak dapat
dihindari atau disangkal oleh pemerintah.
Masyarakat adat merupakan suatu segmen riil
di dalam masyarakat Indonesia. Secara formal
pengakuan, penerimaan, atau pembenaran
adanya masyarakat adat di dalam struktur
ketatanegaraan baru diatur di dalam Pasal 18
Undang-undang Dasar 1945. Sebagaimana
ditegaskan pada penjelasan pasal tersebut;
secara sebagian-sebagian pengakuan,
penerimaan, dan/atau pembenaran terhadap
16 Martua Sirait, et. al., Ibid., hlm. 20.
adanya masyarakat adat terdapat di dalam
beberapa peraturan perundang-undangan,
padahal dalam lingkup pergaulan internasional
pemerintah Republik Indonesia masih bersikap
setengah hati mengakui, menerima,
membenarkan adanya masyarakat adat dengan
segala hak dan kewajibannya, di tengah-
tengah pengakuan, penerimaan dan
pembenaran yang telah dilakukan oleh negara
lain.
Merujuk pada Pasal 33 Undang Dasar
1945, negara mengembangkan landasan
teoretikal baru untuk menguasai tanah ulayat
kesatuan masyarakat adat dengan konstruksi
hak menguasai negara atas tanah. Jika ditelaah
secara lebih teliti, baik secara teoretikal
maupun dari praktek pelaksanaannya, ternyata
bahwa hak menguasai negara atas tanah ini
lebih merupakan pencabutan hak ulayat dari
kesatuan masyarakat adat, notabene tanpa
ganti rugi sama sekali. Tidaklah berlebihan
jika dikatakan bahwa konstruksi hak
menguasai negara atas tanah ini adalah bentuk
yang lebih buruk dari domein verklaring, oleh
karena jika domein verklaring masih mengakui
adanya hak atas ulayat maka hak menguasai
negara atas tanah malah menafikannya sama
sekali.
D. SIMPULAN
Di dalam negara hukum, aturan perundangan-
undangan yang tercipta, harus
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 38-52 52
berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang.
Bahwa hak kesatuan masyarakat adat yang
dihormati dan diakui tanpa syarat oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda justru
dikebiri oleh pemerintah nasional Negar
Kesatuan Republik Indonesia melalui berbagai
kondisionalitas. Masyarakat adat merupakan
suatu segmen riil di dalam masyarakat
Indonesia. Secara formal pengakuan,
penerimaan, atau pembenaran adanya
masyarakat adat di dalam struktur
ketatanegaraan baru diatur di dalam Pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum
yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana
Ilmu Populer, 2009).
Bailey, Kenneth D. Methods of Social
Research, Second Edition, (New York:
The Free Press-Devision of MacMillan
Publishing Co. Inc, 1982).
Freeman, M.D.A. Lloyd’s Introduction to
Juricprudence, Seventh Edition,
(London: Sweet & Maxweel Ltd,
2001).
Wignjodipuro, Soerojo. Pengantar dan
Asas-Asas Hukum Adat, (Bandung:
Alumni, 1979).
Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil
Penelitian
Asshiddiqie, Jimly. Hak Konstitusional
Masyarakat Hukum Adat, Makalah
disampaikan dalam Lokakarya
Nasional, Jakarta 10 Desember 2007.
Besse, Sugiswati. "Perlindungan Hukum
Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat
Di Indonesia", Jurnal Perspektif,
Volume XVII No. 1 Tahun 2012 Edisi
Januari.
Sirait, Martua et. al., “Bagaimana Hak-Hak
Masyarakat Hukum Adat dalam
Mengelola Sumber Daya Alam Diatur”,
Southeast Asia Policy Research
Working Paper, No. 24.
53 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)
PENGAKUAN KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
MELALUI GUGATAN CITIZEN LAWSUIT Ariezha Pratama, Kantor Advokat & Konsultan Hukum MACOIR
Tulisan ini bertujuan untuk memahami seperti apa bentuk pengakuan Negara terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, khususnya pada peraturan perundang-undangan tertulis yang menjamin pengakuan kepada Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Sehingga jika dikemudian hari wilayah ataupun keberlangsungan hidup yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang itu diabaikan maka dengan menggunakan model gugatan Citizen Lawsuit Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dapat memperjuangkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum di setiap Pengadilan Negeri pada wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata Kunci: Pengakuan, Kesatuan Masyarakat Adat, Citizen Lawsuit.
ABSTRACT
This paper aims to understand what kind of recognition of the Unitary State of the Law of Indigenous Peoples, particularly in laws-laws that guarantee a written acknowledgment to the Unity of Indigenous Peoples. So if in the future survival of the area or guaranteed by the constitution and laws-laws that are ignored then using the model Citizen Lawsuit lawsuit Indigenous Peoples Unity can fight for fairness, certainty and legal expediency in each district court in the territory of the Republic of Indonesia.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 54
A. PENDAHULUAN
Keberadaan kesatuan masyarakat hukum
adat merupakan bagian dari keberadaan
Indonesia sebagai bangsa dan Negara.
Kesatuan masyarakat hukum adat merupakan
unsur esensial dalam tatanan masyarakat
hukum nasional di dalam lingkup Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk
(plural) terdiri atas ratusan suku bangsa dan
bahasa, yang terdiri atas ribuan pulau besar
dan kecil. Konstitusi Indonesia secara tegas
mengakui dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-undang.1
Salah satu pandangan Kesatuan
Masyarakat Adat yang dapat digunakan adalah
pandangan sebagaimana yang dikemukakan
oleh ahli Ilmu Hukum Adat Hazairin, yaitu:
“Masyarakat Hukum Adat seperti desa di
Jawa, marga di Sumatera Selatan, Nagari di
Minangkabau adalah kesatuan-kesatuan
kemasyarakatan yang mempunyai
kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup
berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan
hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama
atas tanah dan air”2
1 Lihat Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 2 Hazairin. Demokrasi Pancasila, Jakarta,
Tintamas, 1970, dalam Soerjono Soekanto & Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 1983, hlm. 62.
Secara konkrit, kesatuan masyarakat
hukum adat bisa berwujud dalam bentuk
berbagai organisasi yang berada di luar
institusi-institusi pemerintah yang mempunyai
cukup kekuatan untuk melakukan counter atau
mengimbangi terhadap Negara Atau, berupa
kelompok-kelompok yang melakukan aktifitas
di wilayah pedalaman dan menuntut adanya
transformasi demokrasi meski mungkin tidak
terorganisir ketat seperti kelompok mayarakat
asli pribumi yang mendiami suatu wilayah
secara turun temurun. Dalam hal ini Soetandyo
Wignjosoebroto mengungkapkan bahwa:
“Pengakuan oleh Negara atas hak-hak tanah
masyarakat adat pada hakikatnya adalah
suatu refleksi kesediaan para pengemban
kekuasaan Negara untuk mengakui eksistensi
masyarakat adat yang otonom, dan kemudian
dari pada itu juga untuk mengakui hak-hak
masyarakat itu atas tanah dan segenap
sumber daya alam yang ada di atas dan/atau
di dalam tanah itu yang bernilai vital untuk
menjamin kelestarian fisik dan non fisik
masyarakat tersebut.”3
Sementara itu pada level internasional pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum ada ini telah menjadi agenda yang digunakan dalam Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 tentang Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries menyebutkan bahwa:
3 Soetandyo Wignjosoebroto. “Kebijakan Negara
untuk Mengakui atau Tidak Mengakui Eksistensi Mayarakat Adat Berikut Hak-hak atas Tanahnya”, 1996, Makalah yang Disampaikan Pada Diskusi Meja Bundar “Hak-hak Masyarakat Adat Atas Tanah dalam Konteks Kebijakan Pertanahan Ordebaru”, di selenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 21 Oktober 1996
55 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)
“Masyarakat hukum adat di Negara-negara
merdeka yang dianggap sebagai pribumi
karena mereka adalah keturunan dari
penduduk yang mendiami Negara yang
bersangkutan, atau berdasarkan wilayah
geografis tempat Negara yang bersangkutan
berada pada waktu penaklukan atau
penetapan batas-batas negara saat ini dan
yang, tanpa memandang status hukum
mereka, tetap mempertahankan beberapa
atau seluruh institusi sosial, ekonomi, budaya
dan politik mereka sendiri.”4
Walaupun kenyataannya sampai dengan
hari ini Pemerintah Indonesia masih belum
meratifikasi intrumen internasional tersebut
melalui hukum positif akan tetapi di dalam
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, instrument mengenai keberadaan Desa
Adat sudah diakui secara yuridis melalui
ketentuan khusus dalam Bab XIII Pasal 103
sampai dengan Pasal 110 yang pada intinya
mengatur kewenangan Desa Adat berdasarkan
hak asal-usul yang dimiliki oleh Desa Adat
termasuk juga di dalamya pengaturan dan
pengurusan ulayat atau wilayah adat.5
Dengan demikian kesatuan masyarakat
hukum adat memiliki kepentingan yang sama
terhadap suatu wilayah, yang jika dirugikan
kepentingannya tersebut dianggap telah
memenuhi syarat-syarat formil untuk
4 Lihat Pasal 1ayat (1) huruf a, Konvensi ILO
(International Labour Organization) No. 169 tentang Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries, Genewa, 1989
5 Lihat Pasal 103 huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, TLN Nomor 5495-LN Nomor 7 Tahun 2014
mengajukan gugatan ke Pengadilan. Namun
model gugatan seperti apa dan upaya hukum
yang bagaimana dapat digunakan oleh
kesatuan masyarakat hukum adat untuk
memperjuangkan hak-haknya secara konstitusi
maupun undang-undang. Karena itu penulis,
akan mengangkat model gugatan Citizen
Lawsuit sebagai suatu model gugatan yang
tepat untuk digunakan dalam beracara di
Pengadilan melalui rumusan masalah dibawah
ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada kedudukan gugatan
Citizen Lawsuit dalam sistem hukum di
Indonesia untuk menjamin keadilan bagi
Kesatuan Mayarakat Hukum Adat maka dapat
dirumuskan beberapa masalah yang timbul
yaitu:
1) Bagaimana bentuk pengakuan Negara
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat
?
2) Bagaimana gugatan Citizen Lawsuit dapat
menjamin kepentingan kesatuan
masyarakat hukum adat ?
C. PEMBAHASAN
Dinamika Pengakuan Konstitusional
Negara terhadap Eksistensi dan Hak
Tradional Masyarakat Hukum Adat, 1960-
1998.
Sampai sekitar tahun 1960, pengakuan
konstitusional terhadap masyarakat hukum
adat ini tidak banyak dipersoalkan, apalagi
digugat. Sebagian faktor penyebabnya adalah
oleh karena jaminan tersebut dianggap sudah
seyogyanya demikian, sebagian lagi oleh
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 56
karena Republik masih sibuk dengan perang
kemerdekaan. Namun perlindungan terhadap
eksistensi dan hak masyarakat hukum adat ini
merosot tajam sejak tahun 1960, seiring
dengan meningkatnya kepentingan negara
terhadap sumber daya alam, yang
bagaimanapun juga berada dalam wilayah
ulayat masyarakat hukum adat, terutama di
luar pulau Jawa. Dengan berbagai peraturan
perundang-undangan,Negara mengembangkan
berbagai kebijakan, yang intinya adalah
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan
atau mencabut hak-hak tradisional serta hak
sejarah masyarakat hukum adat yang ada, nota
bene tanpa memberikan ganti rugi sama sekali.
Secara retrospektif dapat dikatakan bahwa
sengaja atau tidak sengaja, seluruh kebijakan
negara yang mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut hak-hak
tradisional serta hak sejarah masyarakat
hukum adat tersebut merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia.6
Secara khusus perlu dicatat sikap
ambivalen yang dianut oleh undang-undang
dan konstitusi terhadap hukum adat dan
masyarakat hukum adat. Pada suatu sisi,
undang-undang dan konstitusi secara tegas
6 Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terdapat penjelasan bahwa: “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian secara melawan hukum mengurangi, mengahalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseoarang atau sekelompok orang yang diajamin oleh Undang-undang ini, dan tiak mendapatkan atau dikahwatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
menyatakan bahwa hukum adat merupakan
sumber dari hukum agraria nasional kita.
Namun pada sisi lain, eksistensi masyarakat
hukum adat yang merupakan konteks sosio
cultural lahirnya hukum adat tersebut dibebani
dengan beberapa kondisionalitas, yang cepat
atau lambat membuka peluang untuk
dinafikannya masyarakat hukum adat tersebut.
Sudah barang tentu, masyarakat hukum adat
tidak berdiam diri terhadap pengurangan,
pengambilalihan, atau pencabutan hak-hak
tradisionalnya itu. Di seluruh Nusantara telah
terjadi kritik, protes, bahkan perlawanan
terbuka, dari warga masyarakat hukum adat,
yang pada umumnya gagal untuk dalam
mempertahankan esksistensi dan hak-hak
tradisionalnya itu. Seperti dapat diduga,
mereka tidak berada pada posisi yang dapat
membela diri, karena tidak mempunyai akses
pada kekuasaan, baik pada cabang legislatif,
eksekutif, ataupun yudikatif.
Keadaan yang secara sistematis
meminggirkan eksistensi masyarakat hukum
adat serta menegasikan hak-haknya seperti itu
secara umum berlangsung terus sejak tahun
1960 sampai tahun 1998, sewaktu secara
bertahap dalam era Reformasi telah diletakkan
kembali landasan hukum untuk pengakuan
formal terhadap eksistensi dan hak-hak
tradisional masyarakat hukum adat ini, yang
sudah barang tentu memerlukan waktu untuk
benar-benar terlaksanaan dalam kenyataannya.
57 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)
Saafroedin Bahar dalam tulisannya
berpendapat bahwa ada suatu kemajuan yang
perlu dicatat secara khusus sebelum era
Reformasi, yatu dibentuknya Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada
tahun 1993 dengan Keputusan Presiden
Nomor 50 Tahun 1993. Banyak pihak yang
menduga bahwa pembentukan komisi ini lebih
merupakan hasil tekanan internasional
terhadap Indonesia pasca terjadinya Peristiwa
Dilli 1991, dan bukannya merupakan hasil dari
kebijakan dan strategi nasional sendiri.
Namun, walau pada mulanya banyak fihak
yang menyangsikan efektifitas komisi ini,
akan tetapi semangat, integritas pribadi, serta
kesungguhan anggota-anggotanya dalam
menangani berbagai kasus pelanggaran hak
asasi manusia yang berat pada umumnya
berhasil menimbulkan kepercayaan
masyarakat. Seperti dapat diduga, dalam
tahun-tahun pertama yang mengharuskan
komisi ini berjuang untuk memperoleh
kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi
dirinya itu, belum banyak waktu yang
dialokasikan secara khusus untuk
penghormatan, perlindungan, dan
perlindungan masyarakat hukum adat.
Hak-hak Tradisional Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat
Pembahasan mengenai hak masyarakat
hukum adat masih sangat kompleks. Pada
dasarnya hubungan masyarakat adat dengan
sumber daya alam, lingkungan atau wilayah
kehidupannya lebih tepat dikategorikan
sebagai hubugan kewajiban daripada hak.
Hubungan tersebut baru dikategorikan sebagai
hak bila mereka berhubungan dengan pihak
luar, baik itu komunitas lain, pengusaha
bahkan dengan pemerintah. Ketika
berhubungan dengan pihak luar, maka
konsepsi tentang hak kemudian menjadi
sesuatu yang bermuatan politis yang
diperebutkan sekaligus menjadi objek
peraturan di dalam hukum.
Mengenai fungsi hak-hak tradisional
Moh. Koesnoe mengemukakan terdapat empat
fungsi yang berkaitan dengan hak-hak
tradisional dalam persekutuan masyarakat
hukum pedesan (adat) berkenaan dengan
menjaga tata harmoni antara masyarakat
dengan tata semesta meliputi: Fungsi
pemerintahan, Fungsi pemeliharaan roh,
Fungsi pemeliharaan agama, dan fungsi
pembinaan hukum adat.7
Latief Fariqun mendefinisikan pengakuan
sebagai:
“Pernyataan penerimaan dan pemberian status keabsahan oleh negara dan hukum negara terhadap eksistensi hukum dan hak-hak warga Negara baik sebagai perorangan maupun kesatuan masyarakat sebagai perwujudan konstitutif dari negara untuk
7 Irfan Nur Rahman. Dasar Pertimbangan Yuridis
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011), hlm. 4.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 58
menghormati, melindungi dan memenuhi
hak-hak asasi warga negara”8
Terdapat dua hal utama dalam Undang-
undang nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan mengenai pengakuan masyarakat
hukum adat, yakni:
Pertama, bahwa sumber daya hutan
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dikatakan
juga bahwa penguasaan hutan oleh ngeara
bukan merupakan kepemilikan, namun Negara
memberi sejumlah kewenangan kepada
pemerintah, termasuk kewenangan untuk
memberikan izin dan hak kepada pihak lain
untuk melakukan kegiatan di bidang
kehutanan. Hak menguasai negara membawa
konsekuensi dimasukkannya hutan yang
dikuasai oleh masyarakat hukum adat ke
dalam hutan negara. Dengan demikian,
cakupan hutan negara bukan hanya hutan yang
tidak dibebani hak-hak atas tanah, tetapi juga
mencakup hutan yang dikuasai oleh
masyarakat hukum adat atau yang biasa
disebut dengan hutan adat.9
Kedua, dimasukannya hutan negara tidak
lantas meniadakan hak-hak masyarakat hukum
8 A. Latief Fariqun. “Pengakuan Hak Masyarakat
Hukum Adat atas Sumberdaya Alam dalam Politik Hukum Nasional”, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Brawijaya, 2007), hlm. 81.
9 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, Atas Pengujian Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; Menyatakan Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
adat sepanjang kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya, untuk melakukan
pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Namun,
masyarakat hukum adat harus terlebih dahulu
harus dikukuhkan keberadaannya lewat
peraturan daerah.
Keberadaan masyarakat hukum adat di
Indonesia merupakan sebuah hal keniscayaan
yang tidak terbantahkan. Keberadaan
masyarakat hukum adat dewasa ini juga perlu
mendapatkan perhatian secara optimal,
mengingat bahwa keberadaan masyarakat adat
beserta hukum adatnya mengalami degradasi
pengakuan.
Konstitusi tidak menjelaskan hak-hak apa
saja yang harus dipenuhi Negara terhadap
masyarakat adat. Di dalam konstitusi hak
tersebut diistilahkan dengan hak-hak
tradisional masyarakat hukum adat. Sampai
saat ini belum ada penjelasan yang memadai
untuk menjelaskan apa saja yang digolongkan
menjadi hak-hak tradisional masyarakat
hukum adat. Diseluruh peraturan perundang-
undang yang ada hanya menyalin saja
rumusan hak-hak tradisional masyarakat
hukum adat di dalam konstitusi tanpa
memberikan penjelasan.
Perjuangan Masyarakat Hukum Adat di
Tingkat Internasional
Perjuangan untuk perlindungan,
pengakuan, dan penghormatan terhadap
masyarakat hukum adat ini tidak hanya
berlangsung pada tataran nasional, tetapi juga
59 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)
pada tataran internasional. Sudah jelas bahwa
upaya ini sungguh teramat sukar, bukan saja
oleh karena setiap negara masih tetap
bertumpu pada asas kedaulatan negara (state
souvereignty) yang tidak akan menolerir setiap
sanggahan dan penyebalan terhadap
kedaulatan negara, tetapi juga oleh karena
masih belum berkembangnya doktrin
mengenai hak asasi manusia yang bersifat
kolektif (collective rights).
Selain itu, sampai tahun 1993 pada
tataran konseptual negara-negara di dunia
masih terbagi atas dua kubu, yaitu negara-
negara demokrasi liberal yang memusatkan
perhatian pada hal sipil dan politik yang
memberi prioritas pada hak-hak perseorangan,
dan kubu negara-negara sosialis dan komunis
yang memusatkan perhatian pada hak
ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam suasana
konflik ideologi tersebut, adalah jelas bahwa
wacana tentang hak masyarakat hukum adat
tidak akan memeperhatian yang memadai.
Baru pada tahun 1993, pasca runtuhnya kubu
negara-negara sosialis dan komunis, telah
dapat dimasuki babak baru pada Konferensi
Wina yang selain mengintegrasikan kedua
‘sayap’ hak asasi manusia tersebut, juga sudah
mengidentifikasi pentingnya pengakuan
terhadap hak masyarakat hukum adat.
Walaupun demikian, ada suatu langkah
yang secara diam-diam terus memperjuangkan
hak masyarakat hukum adat ini dalam artian
indigenous peoples dan tribal groups yang
dilakukan oleh The International Labour
Organization (ILO). Berturut-turut pada tahun
1957 dan tahun 1989 lembaga khusus
Perserikatan Bangsa Bangsa ini berhasil
mengesahkan konvensi tentang perlindungan
dan pengakuan terhadap hak masyarakat
hukum adat. Sudah barang tentu, daya ikat
berlakunya konvensi ILO tersebut bergantung
pada apakah konvensi tersebut diratifikasi oleh
negara-negara anggota PBB atau tidak.
Selain itu, dalam dasawarsa 1980-an
dalam lingkungan PBB telah dapat dibentuk
The U.N Permament Forum for Indigenous
Issues, yang mengkaji masalah-masalah yang
berkenaan dengan hak masyarakat hukum adat
ini. Dengan kegigihan dan ketabahan yang
mengagumkan, bersama dengan The U.N High
Commissioner of Human Rights serta UNDP,
personil forum ini mengadakan advokasi
tentang hak masyarakat hukum adat. Pada
tahun 2004-2007 secara proaktif kantor
regional UNDP di Bangkok mengadakan
kerjasama dengan dan memberikan dukungan
kepada Komnas HAM serta Departemen
Sosial, untuk memajukan hak masyarakat
hukum adat ini. Suatu terobosan historis
terhadap kebuntuan yang dialami selama
berpuluh dalam perjuangan melindungi,
mengakui, dan menghormati hak masyarakat
hukum adat ini tercapai sewaktu Sidang
Umum PBB mensahkan U.N. Declaration on
the Rights of the Indigenous Peoples, 13
September 2007. Sudah barang tentu, sebagai
dokumen yang nonlegally binding, deklarasi
ini tidak memerlukan ratifikasi, namun norma-
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 60
norma yang terkandung di dalamnya
bermanfaat sebagai salah satu rujukan hukum
internasional yang dapat dipegunakan untuk
membentuk sebuah rancangan undang-undang
tentang hak masyarakat hukum adat.
Kedudukan Citizen Lawsuit Dalam Sistem
Peradilan di Indonesia
Ketika mengkaji suatu permasalahan
hukum maka pertanyaannya adalah undang-
undang apa yang digunakan untuk mengetahui
sanksi apa yang tepat untuk diterapkan. Sistem
peradilan pidana adalah sistem dalam suatu
masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.
Menanggulangi disini berarti usaha untuk
mengendalikan kejahatan agar berada dalam
batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini
dianggap berhasil apabila sebagian besar dari
laporan maupun keluhan masyarakat yang
menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan,
dengan diajukannya pelaku kejahatan ke
sidang pengadilan dan diputus bersalah serta
mendapat pidana.10
Citizen Lawsuit merupakan klaim atau
tuntutan atau kehendak dari masyarakat
terorganisir menyangkut kepentingan umum
yang dilanggar oleh siapapaun. Atas
pelanggaran kepentingan umum ini diperlukan
10 Latifah Zahrah. Penegakan Hukum Terhadap
Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Penempatan Calon Tenaga Kerja (CTKI) / Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Yang Dilakukan Oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) Dalam Sistem Peradilan Pidana, Tesis: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Juli, 2011, Hlm 10
kontrol yang bersifat fundamental dari warga
negara melalui Citizen Lawsuit, secara
sederhana Citizen Lawsuit diartikan sebagai
gugatan yang dapat diajukan oleh setiap warga
Negara, tanpa pandang bulu, dengan
pengaturan oleh Negara.11
Munculnya mekanisme gugatan Citizen
Lawsuit dalam hukum acara perdata di
Indonesia adalah upaya untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang belum
terakomodir di dalam hukum acara perdata di
Indonesia dan untuk memenuhi kebutuhan
bagi masyarakat yang mencari keadilan
(justiciabelen). Adanya transplantasi hukum
untuk mengadopsi suatu sistem hukum di
suatu Negara bukanlah hal yang tidak
mungkin terjadi. Terlebih lagi, kehidupan
manusia yang terus berkembang yang
menuntut perkembangan hukum pula. Seperti
yang dikemukakan oleh Soetandyo
Wignjosoebroto12 bahwa hukum undang-
undang sebagai teks tidaklah selamanya sama
dan sebangun dengan relitasnya dalam konteks
sosio kultural.
Berangkat dari konstruksi pemikiran ini
maka dapat dipastikan bahwa Citizen Lawsuit
merupakan gugatan yang diajukan atas nama
kepentingan masyarakat, sementara itu
gugatan yang mengatasnamakan kepentingan
11 E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class
Action (Suatu Studi perbandingan & Penerapannya di Indonesia), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2000, Hlm 18
12 Soetandyo Wignjosoebroto. Hukum dalam Masyarakat Edisi 2, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2013, Hlm 6
61 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)
umum yaitu gugatan perwakilan kelompok
(Class Action), sudah secara formal diatur
dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung
No.1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan
Class Action. Meskipun secara substansi
peraturan tersebut memang masíh sangat sumir
tetapi sudah ada beberapa kasus mengenai
gugatan secara class action yang telah
disidangkan di pengadilan, seperti antara lain
kasus pemadaman arus listrik (antara YLKI-
PLN), kasus gas elpiji (antara YLKI-
Pertamina), dan kasus gugatan yang diajukan
oleh masyarakat desa Mandalawangi Garut
yang menjadi korban longsor terhadap
pemerintah yang dalam hal ini PN.
PERHUTANI .
Disamping itu, dalam praktik akhir-akhir
ini mulai marak diajukan jenis tuntutan
perdata yang berasal dari hukum acara perdata
asing yang tidak dikenal dalam sistem hukum
Indonesia, yang dikenal dengan Actio
Popularis atau Citizen Lawsuit. Menurut
Syahdeini,10 yang dimaksud dengan Actio
Popularis adalah prosedur pengajuan gugatan
yang melibatkan kepentingan umum secara
perwakilan. Dalam hal ini, pengajuan gugatan
ditempuh dengan acuan bahwa setiap warga
Negara tanpa kecuali mempunyai hak
membela kepentingan umum.
Bentuk gugatan dengan
mengatasnamakan kepentingan umum ini
memang belum dikenal dalam sistem hukum 10 Sudikno Mertokusumo. Actio Polaris,
http://sudikno.blogspot.com, Diakses 18 Januari 2015
Indonesia, namun tampaknya konsep tersebut
mulai sering digunakan dalam sistem peradilan
kita. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat misalnya
telah menerima model gugatan Citizen
Lawsuit.
Putusan Hakim Harus Berlandaskan
Norma dan Asas-asas Hukum
Untuk mengetahui ruang lingkup suatu
pristiwa hukum atas pristiwa konkrit, maka
terlebih dahulu perlu adanya kepastian
mengenai sengketa yang telah terjadi. Hal ini
dilakukan oleh hakim pada saat proses
persidangan. Hakim akan memperhatikan
semua kejadian yang telah diuraikan oleh
pihak penggugat dan tergugat. Dari proses ini,
maka hakim akan menemukan pristiwa yang
sebenarnya disengketakan oleh kedua belah
pihak. Pokok sengketa inilah yang oleh hakim
diseleksi untuk kemudian dibuktikan
kebenarannya oleh para pihak.
Berdasarkan teori tersebut, maka salah
satu cara agar hakim mengetahui bahwa suatu
sengketa harus diselesaikan berdasarkan
norma dan asas-asas hukum adalah dengan
melalui tahap Tanya jawab antara para pihak
penggugat dan tergugat yang menyatakan
dengan dalil-dalil. Dalam memutus suatu
perkara hakim dituntut untuk berusaha
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Hal ini sesuai dengan doktrin
Gustav Radbruch tentang tujuan hukum,
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 62
dimana Radbruch menciptakan ajaran prioritas
yang memeberikan keutamaan pada aspek
keadilan dibandingkan aspek kemanfaatan dan
kepastian hukum. Kepastian hukum adalah
aspek terakhir yang harus dipertimbangkan
karena hukum adalah instrument yang
diciptakan manusia untuk mewujudkan tujuan-
tujuan luhur seperti keadilan, kesejahteraan,
dan kemanusiaan.
Bagaimana jika keadilan yang tumbuh
dalam suatu kesatuan masyarakat hukum adat
ternyata bertentangan dengan kepentingan
nasional. Maka berdasarkan teori hukum,
terdapat kebiasaan yang dapat menyimpangi
undang-undang, yaitu yang disebut kebiasaan
derogatoir. Namun tidak semua undang-
undang dapat disimpangi dengan kebiasaan.
Hanya undang-undang yang sifatnya
pelengkap (aanvulen) yang dapat disimpangi.
Oleh sebab itu, satu-satunya mekaanisme yang
dapat ditempuh untuk mengakui dan
menguatkan nilai keadilan di suatu masyarakat
ayng bertentangan dengan peraturan tertulis
yang sifatnya imperatif adalah dengan praktek
peradilan (yurisprudensi) oleh hakim.
Hakim-hakim ini umumnya akan disebut
hakim-hakim yang beraliran progresif meski
dengan segala konsekuensi pembatalan dari
peradilan yang lebih tinggi. Keberanian para
hakim untuk menyimpangi undang-undang ini
sesuai dengan ajaran realisme yang
berkembang dalam tradisi sistem hukum
Anglo-Saxon di Amerika Serikat, dimana
hakim adalah law making (pembentuk hukum)
dan bukan hanya melaksanakan apa yang
ditulis oleh undang-undang sehinggga
perasaan hukum dan keadilan di masyarakat
merupakan sumber utama bagi hakim dalam
menemukan hukumnya.
Citizen Lawsuit Sebagai Jaminan Keadilan
Terhadap Kesatuan Mayarakat Hukum
Adat
Hukum tidak lepas dari kehidupan
manusia, maka untuk membicarakan hukum
kita tidak dapat lepas membicarakannya dari
kehidupan manusia.14 Sudah menjadi sifat
pembawaannya bahwa manusia hanya dapat
hidup dalam masyarakat. Manusia adalah
Zoon Politicon atau mahluk sosial. Manusia
dan masyarakat merupakan pengertian
komplementer. Di dalam masyarakat manusia
selalu berhubungan satu sama lain. Kehidupan
bersama itu menyebabkan adanya interkasi,
kontak atau hubungan satu sama lain. Kontak
dapat berarti hubungan yang menyenangkan
atau menimbulkan pertentangan atau konflik.
Mengingat akan banyaknya kepentingan tidak
mustahil menjadi konflik atau bentrokan
antara sesama manusia, karena
kepentingannya saling bertentangan. Konflik
kepentingan itu terjadi apabila dalam
melaksanakan atau mengejar kepentingannya
seseorang merugikan orang lain. Di dalam
14 Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 2003, hlm. 1.
63 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)
kehidupan bersama atau masyarakat konflik
itu tidak dapat dihindarkan.15
Oleh karena itu di dalam kehidupan
bermasyarakat dibutuhkan adanya
perlindungan kepentingan. Perlindungan
kepentingan itu akan tercapai dengan
terciptanya pedoman, patokan, atau ukuran
untuk berprilaku atau bersikap dalam
kehidupan bersama yang disebut norma atau
kaedah. Kaedah hukum merupakan pedoman
tentang bagaimana seyogyanya manusia
bertingkah laku di dalam masyarakat: kaedah
hukum merupakan ketentuan tentang perilaku.
Pengaruh sistem hukum common law terhadap
hukum acara perdata di Indonesia muncul
kembali pada tahun 2003. Gugatan Citizen
Lawsuit (Gugatan Warga Negara) diajukannya
pertama kalinya atas nama Munir c.s. atas
penelantaran negara terhadap buruh migran
yang di deportasi di Nunukan. Gugatan Citizen
Lawsuit (gugatan warga negara) ini merupakan
model gugatan perdata yang dikenal di sistem
hukum common law. Sejarah pengajuan
gugatan Citizen Lawsuit (gugatan warga
negara) diajukan terhadap kasus mengenai
lingkungan, namun dalam perkembangannya
pengajuan gugatan Citizen Lawsuit (gugatan
warga negara) mencakup berbagai bidang
yang memang dianggap negara telah lalai dan
melanggar hak-hak warga negara.
Sistem hukum di Indonesia tidak
mengenal adanya gugatan Citizen Lawsuit
(gugatan warga negara), hal ini dapat dilihat 15 Ibid, hlm. 3.
dari hukum acara perdata posisitf di Indonesia
yang masih menggunakan peninggalan
Belanda yakni, HIR dan RBg maupun
Reglementop de Burgerlijke Rechtsvordering
(selanjutnya disebut Rv) tidak mengatur
mengenai gugatan Citizen Lawsuit (gugatan
warga negara). Gugatan Citizen Lawsuit
(Gugatan Warga Negara) dalam kasus
Nunukan yang menyangkut nasib warga
negara Indonesia yang menjadi buruh migran
di Malaysia yang dideportasi di Nunukan
merupakan pemahaman konsep baru bagi
hukum di Indonesia.
Persoalan mengenai gugatan Citizen
Lawsuit dalam kasus pelanggaran terhadap
kepentingan umum adalah mengenai prosedur
pengajuan gugatan yang dikenal di sistem
hukum Common Law yang dianut oleh negara-
negara anglo saxon, namun dalam kasus ini
digunakan di Indonesia yang menganut sistem
hukum Civil Law, tidak mengenal adanya
gugatan tersebut. Terlebih lagi di dalam
peraturan hukum acara perdata di Indonesia
bersifat imperatif, yang berarti bersifat
memaksa, tidak dapat disimpangi dan hakim
harus tunduk. Hakim tidak dapat menciptakan
peraturan yang mengikat setiap orang secara
umum. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang menangani kasus Munir c.s. dalam
perkara buruh migran, melalui Putusan
Nomor: 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST,
menerima bahkan mengabulkan sebagian
gugatan Citizen Lawsuit ini.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 64
Masuknya mekanisme gugatan Citizen
Lawsuit di Indonesia adalah upaya untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat yang belum
terakomodir di dalam hukum acara perdata di
Indonesia. Mekanisme gugatan Citizen
Lawsuit ini dapat diterapkan di dalam sistem
hukum di Indonesia karena adanya
transpalansi hukum, namun tanpa diimbangi
oleh peraturan perundang-undangan yang ada.
Hal inilah yang menjadi perdebatan di dalam
sistem peradilan di Indonesia. Adanya
transpalansi hukum, sistem suatu negara lain
dapat diterapkan, namun mengacu pada
sumber hukum utama adalah undang – undang
maka dengan mandasarkan hal tersebut
mekanisme gugatan Citizen Lawsuit yang
belum diatur di dalam perundang-undangan
tidak dapat diterapkan.
Perkara No. 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST
yang merupakan gugatan Citizen Lawsuit yang
pertama kali diajukan di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, dalam penetapannya Majelis
Hakim menetapkan bahwa gugatan Citizen
Lawsuit yang diajukan para penggugat
diterima dan menyatakan bahwa pemeriksaan
perkara dapat dilanjutkan. Majelis hakim
mempertimbangkan ketentuan Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun
1999, dalam Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 27,
yang sekarang diubah dengan Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 10 ayat (1) dan pasal 5.
Dengan adanya penetapan tersebut, Majelis
Hakim telah menerapkan transplantasi dari
sistem Common Law yaitu mekanisme gugatan
Citizen Lawsuit ke dalam mekanisme hukum
acara di Indonesia.
Selama ini pengertian yang dijadikan
sebagai acuan bagi kepentingan umum adalah
pengertian yang diambil dari peraturan
perundang-undangan, juga digunakan
pengertian secara gramatikal, doktrin, dan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Pengertian kepentingan umum bisa
ditemukan dalam beberapa peraturan
perundan- undangan, antara lain:
a) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Kepentingan Umum
adalah kepentingan bangsa, negara,
masyarakat bersama, dan/atau
pembangunan.
b) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Kepentingan umum adalah kepentingan
bangsa dan negara dan/atau kepentingan
masyarakat luas.
Sedangkan menurut Kamus Istilah Aneka
Hukum, Kepentingan Umum yaitu:
”Kepentingan hukum dari tiap badan dan
peraturan perundangan negara serta
kepentingan umum tiap-tiap manusia (jiwa,
65 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)
raga, tubuh), kemerdekaan, kehormatan, hak
milik atau harta benda.”16
Oleh karena itu berdasarkan pendekatan
hukum positif, doktrin, dan kamus, ditemukan
bahwa tolak ukur pertama dari kepentingan
umum adalah ”titik keseimbangan” terhadap
kelangsungan hidup yang meliputi: Manusia
pribadi dengan martabatnya, rakyat sebagai
komunitas warga negara atau, penduduk, dan
pemerintah dengan segala tindakan dan
keputusannya.
Sudikno Mertokusumo setelah
menganalisis berbagai batasan kepentingan
umum dalam peraturan perundang-undangan
yang ada di Indonesia, berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan pengertian kepentingan
umum adalah kepentingan yang menyangkut
kepentingan bangsa dan negara, pelayanan
umum dalam masyarakat luas, rakyat banyak,
dan/atau pembangunan di berbagai bidang
kehidupan (atau dengan perkataan lain
kepentingan yang harus di dahulukan dari
kepentingan-kepentingan lainnya), dengan
tetap memperhatikan proporsi pentingnya dan
kepentingan-kepentingan yang lain. Secara
teoritis dapat dikatakan bahwa kepentingan
umum merupakan resultan dari hasil
menimbang-nimbang sekian banyak
kepentingan-kepentingan dalam masyarakat
dengan menetapkan kepentingan mana yang
lebih utama dari kepentingan lain secara
proporsional dengan tetap menghormati semua 16 C.S.T. Kansil. Kamus Istilah Aneka Hukum,
Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Salemba Humanika, 2010, hlm. 12.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 53-67 66
a) Sesuai Dengan Prinsip NKRI
Kelemahan paradigm ini melihat NKRI dan
masyarakat adat sebagai dua antitas yang
berbeda dan berhadap-hadapan.
b) Diatur Dalam Undang-undang
Indonesia adalah Negara berdasar hukum,
apabila dalam Negara yang demikian itu
segalanya diserahkan kepada hukum, maka
kehidupan sehari-hari tidak akan berjalan
dengan produktif. Hukum yang selalu ingin
mengatur ranahnya sendiri dan merasa
cakap untuk itu telah gagal (bila tidak
melibatkan fenomena sosial lainnya).
Jika berdasarkan keputusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor
36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan
Pedoman Penanganan Perkara Perdata
Lingkungan dimana Gugatan Warga Negara
(Citizen Lawsuit) menjadi salah satu hak
gugat.19 Meskipun tidak ada peraturan yang
khusus yang mengatur perihal gugatan Citizen
Lawsuit, setidaknya selama masyarakat
kesatuan hukum adat tersebut masih hidup,
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan RI maka dapat
melakukan atau mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri (selaku penggugat terhadap
kerugian yang dialami) yang telah diakui
keberadaannya oleh Mahkamah Agung.
Terutama dalam hal pelanggaran Lingkungan
Hidup.
19 Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup
D. SIMPULAN
1) Negara Indonesia adalah Negara hukum.
Yang berdiri diatas norma dasar berupa
konstitusi yang mengamanatkan pengakuan
dan penghormatan atas keberadaan
kesatuan masyarakat hukum adat.
2) Dengan adanya amanat konstitusi disertai
undang-undang yang menjamin
keberlangsungan hidup kesatuan
masyarakat hukum adat, maka sudah
seharusnya kerugian yang akan timbul
nantinya terhadap kesatuan masyarakat
hukum adat harus diajukan upaya hukum
yang menjadi tujuan untuk mencari
keadilan, kepastian dan kemanfaatan
hukum.
3) Dengan telah dibentuknya Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sudah
tentu akan berdampak pada adanya
perlindungan secara optimal yang
digunakan untuk kedaulatan hukum.
Walaupun sistem hukum Indonesia belum
memberikan ruang secara khusus terhadap
gugatan Citizen Lawsuit melalui
pemebentukan peraturan perundang-undangan
yang mengatur secara Lex Specialis tentang
prosedur dan tata cara pengajuan gugatan
Citizen Lawsuit, namun sudah ada payung
hukum Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung pada tahun 2013
67 Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Lawsuit-(Ariezha Pratama)
Daftar Pustaka Buku Hazairin. Demokrasi Pancasila, (Jakarta:
Tintamas, 1970). Kansil, C.S.T., Kamus Istilah Aneka
Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002)
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003)
Nurtjahjo dan Fuad, Hendra, Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010).
Nur Rahman, Irfan. Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011).
Soekanto & B. Taneko, Soerjono, Soleman. Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1983).
Sundari, E. Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi perbandingan & Penerapannya di Indonesia), (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2000).
Wignjosoebroto, Soetendyo, Hukum dalam Masyarakat: Edisi 2, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013).
Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil Penelitian
Fariqun, A. Latief. “Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumberdaya Alam dalam Politik Hukum Nasional”, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Brawijaya, 2007)
Wignjosoebroto, Soetendyo. “Kebijakan Negara untuk Mengakui atau Tidak Mengakui Eksistensi Mayarakat Adat Berikut Hak-hak Atas Tanahnya”, 1996, Makalah yang Disampaikan Pada Diskusi Meja Bundar “Hak-hak Masyarakat Adat Atas Tanah dalam Konteks Kebijakan Pertanahan Ordebaru”, di selenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta: 21 Oktober 1996
Zahrah, Latifah. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Penempatan Calon Tenaga Kerja (CTKI) / Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Yang Dilakukan Oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) Dalam Sistem Peradilan Pidana, Tesis: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum-Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Juli, 2011.
Internet Sudikno Mertokusumo. Actio Polaris,
http://sudikno.blogspot.com, Diakses 18 Januari 2015
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 68-71 68
PROFILE MASYARAKAT ADAT1 Nama Masyarakat Adat : Semende Banding Agung
Wilayah : Kecamatan Nasal Kabupaten Kaur Provinsi
Bengkulu Kondisi Geografis : Pegunungan
Mata Pencaharian : Petani
Bahasa : Semende
Pola Pengambilan Keputusan : Musyawarah
Pembagian Ruang Wilayah Adat : 1. Hutan Adat
2. Kawasan Cagar Budaya
3. Kawasan Kelola Rakyat
Sejarah Singkat
Pada zaman jajahan Inggris, beberapa warga Semende Lembak yang berasal dari pulau
beringin (Sumbagsel) yang berjumlah 8 (delapan) orang beserta keluarganya mengungsi dari
ancaman akan adanya jajahan Belanda ditempat asalnya menuju suatu tempat dan membuat
pemukiman. Daerah pemukiman ini dikenal dengan kampung Tumbu’an (Daerah Ulu Air
Nasal Kiri). Delapan orang tersebut adalah: 1) Raja Mekute; 2) Tadin Guruh; 3) Pati Alam; 4)
Singa di Bukit; 5) Mas Pandan; 6) Meile; 7) Dirahman; 8) Murrhammid (Ninik di Pulau)
sebagai ketua rombongan.
Sebagaimana layaknya sebuah perkampungan, bahasa sehari-hari yang mereka gunakan
adalah bahasa semende. Mereka membuat rumah dengan bentuk panggung yang dindingnya
berupa pelupuh bambu dan atapnya terbuat dari ijuk enau, belahan bambu (gelumpai) atau
kepingnya kayu (sirap) serta tiang rumah berupa potongan kayu bulat. Semua bahan-bahan
untuk membuat rumah mereka diambil dari sumber daya hutan yang ada disekeliling
pemukiman mereka. Sedangkan untuk penerangan mereka menggunakan obor yang terbuat
dari bambu dengan bahan bakar getah damar yang disebut Jehangkang.
Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah penduduk Kampung Tumbuan semakin bertambah oleh adanya kelahiran dari masing-masing keluarga mereka. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka, warga kampung mengerjakan cocok tanam padi dan palawija baik didarat maupun disawah sambil memlihara ayam. Selain itu juga warga menanam tanaman keras seperti petai, durian dan pohon damar mata kucing.
1 Data Litbang, Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu.
69 Profile Masyarakat Adat Semede Banding Agung-(Litbang, AMAN Bengkulu)
Beberapa waktu kemudian, kampung Manula semakin ramai baik oleh adanya
pendatang susulan maupun oleh penambahan kelahiran. Diangkatlah seorang Depati pertama
dengan gelar Depati Linggang Negara di perkampungan Ulu Manula (yang kemudian dikenal
dengan nama Dusun Banding Agung). Dusun Banding Agung dalam pembagian
kewilayahannya termasuk kedalam Marga Muara Nasal.
Depati Linggang Negara mengangkat 7 (tujuh) orang bersaudara yang datang ke
Manula tersebut sebagai Hulu Balang yang kemudian dikenal dengan Hulu Balang Tujuh
yang dipimpin oleh Togoeh.
Beberapa tahun kemudian, pemerintah Belanda melalui Akte yang ditandatangani oleh
Door Mij Controluer van Kaoer (Vanhille) tertanggal 22 Agustus 1891 mengangkat warga
dusun Banding Agung bernama Amat sebagai Depati dusun Banding Agung Marga Muara
Nasal dengan gelar Depati Matjan Negara. Depati Matjan Negara memimpin dusun Banding
Agung selama 2 periode dan setelah itu dilanjutkan oleh Depati Djagoek (anak dari Nagaran,
Pesirah Marga Ulu Nasal yang bergelar Ratu Semong).
Pada kepemimpinan Depati Djagoek, warga Semende dusun Banding Agung didatangi
oleh 4 (empat) orang utusan pemerintah Belanda yang memerintahkan agar warga Banding
Agung pindah ke suatu wilayah pesisir pantai dengan maksud agar mudah dikoordinir oleh
pemerintah Belanda saat itu, namun warga menolak untuk pindah atau meninggalkan dusun
Banding Agung. Sehubungan dengan itu 4 orang utusan Belanda tersebut mengalami nasib
dibunuh oleh warga Banding Agung.
Mengetahui kejadian itu pemerintah Belanda merasa ditantang dan mengutus lagi
beberapa orang utusan untuk menemui warga Banding Agung dengan membawa beberapa
perintah kepada warga dusun Banding Agung, agar : 1) mengganti/menebus kematian 4
orang utusan yang dibunuh itu dengan ketentuan 40 orang untuk pengganti 1 jiwa yang
terbunuh (bearti 40 X 4 = 160 jiwa). 2) warga harus membayar upeti serta tunduk dan patuh
kepada pemerintah Belanda. 3) jika warga tidak mengindahkan perintah tersebut, maka
seluruh wilayah dusun Banding Agung beserta isinya akan dibumi hanguskan oleh
pemerintah Belanda.
Walau demikian, warga Banding Agung tidak ada yang mengindahkan perintah itu
walaupun keseluruhan warga terus dihantui kecemasan dan ketakutan akan serangan dari
penjajah Belanda. Oleh sebab itulah dalam waktu yang tidak terlalu lama, seluruh warga
Banding Agung secara berangsur-angsur meninggalkan wilayah adatnya dan pndah menuju
ke beberapa tempat/dusun, seperti : Pulau Duku, Air Pisang Kalianda, Prau Dipo, Semong
(Lampung Selatan) dan Muara Dua.
Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 68-71 70
Seperti halnya Teragal, Rimban dan Depati Djagoek memilih pindah ke Muara Dua. Depati Djagoek kemudian mencalonkan diri menjadi pesirah Ulu Nasal bersama Pangeran Aboestam, namun pencalonan beliau ditolak oleh pemerintah Belanda dengan alasan bahwa Djagoek bukanlah penduduk asli Marga Ulu Nasal melainkan berasal dari Marga Muara Nasal. Depati Djagoek akhirnya pindah dan meninggalkan desa Muara Dua menuju ke Semong.
Sehingga pada waktu itu dusun Banding Agung tidak lagi dihuni oleh warganya, namun dalam waktu tertentu seperti ketika sedang musim panen pada setiap tahunnya masih banyak keturunan dari warga Banding Agung yang datang ke wilayah adat Semende Banding Agung untuk melihat dan membersihkan serta mengambil hasil kebun tanaman keras yang telah diwariskan pendahulunya.
Demikian dari tahun ke tahun berjalan, dusun Banding Agung tidak lagi dihuni seperti layaknya sebuah perkampungan, namun pada prinsipnya wilayah adat suku Semende ini tidak pernah ditinggalkan oleh warganya.
Pada tahun 1950, anak Depati Djagoek yang bernama Zulkarnain menuliskan surat wasiat yang berisi tentan kepemilikan lahan kebun dan tanamannya di wilayah dusun Banding Agung. Tahun 1998, beberapa warga suku Semende mulai membuka kembali lahan pada wilkayah adat mereka untuk berladang dan berkebun serta membuat pemukiman yang disebut dengan Talang. Warga yang pertama memulai kembali mengelola tanah adat suku Semende dusun lama Banding Agung adalah Jupran, Nasirwan dan Marpu’i. Tahun 1999 hingga sekarang dusun Banding Agung sudah mulai banyak warganya, mereka membuat pemukiman dalam bentuk Talang. Hingga saat ini dusun Banding Agung terdiri dari 5 Talang yaitu : 1) Talang Tengah. 2) Talang Sinar Semende. 3) Talang Kepayang. 4) Talang Batu Betiang. 5) Talang Cemara. Lembaga Adat Ketue Adat : Orang yang dipilih oleh masyarakat untuk menjadi
pemimpin adat yang berwenang untuk mengesahkan setiap keputusan yang diambil melalui musyawarah adat
Ulu Balang : Orang yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah adat
Malim : Orang yang ditunjuk sebagai dukun pria Rebia : Orang yang ditunjuk sebagai dukun perempuan Raje Bujang : Orang yang ditunjuk sebagai ketua kaum pemuda
(Bujang) Raje Gadis : Orang yang ditunjuk sebagai ketua kaum pemudi (Gadis) Kaum Lime / Pengurus Masjid
: Imam, Khotib, Bilal, Gharim, Datuk.
71 Profile Masyarakat Adat Semede Banding Agung-(Litbang, AMAN Bengkulu)
Hukum Adat Pengelolaan Wilayah & Sumber Daya Alam
Wilayah Kelola:
1. Dilarang jual beli lahan, kecuali ganti rugi tanam tumbuhan dengan seizin dan atau
sepengetahuan perangkat adat dusun Banding Agung. Sanksi terhadap pelanggaran
tersebut berupa:
a. Denda adat berupa serabi 40 buah dan lemang 10 batang;
b. Dicabut hak pengelolaan;
c. Tidak diperbolehkan berkebun di dusun Banding Agung.
2. Dilarang menelantarkan kebun, sankasi terhadap pelanggaran tersebut, berupa:
a. Denda adat berupa serabi 40 buah dan lemang 10 batang;
b. Dicabut hak pengelolaan.
3. Masyarakat diwajibkan memaksimalkan lahan yang sudah dikelola untuk meningkatkan
kesejahteraan;
4. Tidak diperbolehkan membuka lahan kebun dengan membuka rimba/hutan kecuali belukar
(lahan tidur) dengan luasan maksimal 1 hektare per kepala keluarga.
Hutan Adat:
1. Hutan adat dalam manajemen pengelolaan hanya pemanfaatan hasil hutan non kayu
seperti rotan/manau, buah-buahan hutan, tanaman obat-obatan dan madu dengan tidak
menebang pohon demi kelestarian alam;
2. Pelanggaran ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi, berupa:
a. Denda adat berupa serabi 40 buah dan lemang 10 batang;
b. Lahan yang sudah rusak tidak boleh dikelola dan yang merusak hutan harus
memulihkan lahan tersebut dengan menanam pohon sesuai dengan jumlah pohon yang
ditebang;
Jika tidak mematuhi aturan adat ini maka akan diusir secara paksa dari wilayah adat.
MITRA BESTARI
Tim Redaksi Indigenous Peoples Law Review mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah berkenan melakukan review terhadap
naskah tulisan yang dikirim penulis dalam Jurnal Indigenuos People Law Review Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu Edisi Maret 2015.
1. Dr. Ashibly, S.H., M.H.
2. Wagiman, S. Fil., S.H., M.H.
3. KMS Herman, S.H., M.H., M. Si.
PEDOMAN PENULISAN
Tim Redaksi menerima naskah artikel berupa hasil refleksi, penelitian, atau kajian teoritik suatu fenomena dan konsep yang memiliki kompleksitas permasalahan terkait isu hukum masyarakat adat, dengan ketentuan sebagai berikut: FORMAT NASKAH Naskah menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, naskah diketik diatas kertas ukuran kwarto (A4) antara 20-30 halaman, 1,5 spasi. Ketikan menggunakan huruf (font) Times new Roman berukuran 12, halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah. SISTEMATIKA PENULISAN A. JUDUL NASKAH
Judul ditulis menggunakan huruf Times New Roman 14, diketik dengan huruf kapital, ditebalkan (bold), dan diletakkan ditengah margin (center text). 1. Nama Penulis
Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis diperbolehkan maksimal 2 orang, dibawahnya dicantumkan alamat lembaga tempat penulis bekerja dan akun email. Semua keterangan diketik dengan huruf Times New Roman 12, diletakkan di tengah margin (center text).
2. Abstrak Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maksimal 220 kata dalam satu paragraf. Abstrak disertai kata kunci (keywords) tidak lebih minimal 3 kata dan maksimal 5 kata.
B. PENDAHULUAN Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan fakta yang menjadi inti permasalahan.
C. RUMUSAN MASALAH Subbab ini memuat formulasi permaslahan yang akan menjadi fokus utama yang akan dianalisis dalam pembahasan. Rumusan masalah diformulasikan dalam bentuk pertanyaan.
D. PEMBAHASAN Subbab ini berisi analisis dari permasalahan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah, analisis disusun secara logis dan terfokus, yang didalamnya terkandung pandangan orisinil dari penulis.
E. SIMPULAN Subbab ini memuat jawaban secara secara lengkap dan singkat dari rumusan masalah.
PENGUTIPAN Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan footnote, dengan urutan nama penulis/lembaga, udul tulisan, penerbit, tempat penerbitan, tahun terbit, dan halaman tulisan yang dikutip. Contoh: Andang Nusa Putra. Dinamika Hukum Masyarakat Adat, AMAN Bengkulu, Bengkulu, hlm. 121. Andang Nusa Putra & Fitriansyah. Dinamika Hukum Masyarakat Adat, AMAN Bengkulu, Bengkulu, hlm. 121. (jika penulisnya 2 orang) Andang Nusa Putra, Fitriansyah & Riki Aprizal. Dinamika Hukum Masyarakat Adat, AMAN Bengkulu, Bengkulu, hlm. 121. (Jika Penulisnya 3 orang) Andang Nusa Putra, et. al., Dinamika Hukum Masyarakat Adat, AMAN Bengkulu, Bengkulu, hlm. 121. (jika penulisnya lebih dari 3 orang)
DAFTAR PUSTAKA - Bahan referensi yang diajadikan bahan rujukan hendaknya menggunakan edisi paling
muktahir. - Penulisan daftar pustaka diklasifikasikan berdasarkan jenis acuan yang digunakan, contoh:
Buku/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian, Internet dan Peraturan Perundang-undangan - Penggunaan referensi dari internet hendaknya menggunakan situs resmi yang dapat
dipertanggungjawabkan validitasnya.
PENGIRIMAN NASKAH Naskah dikirim dalam bentuk soft copy ke alamat email: [email protected] Dengan tembusan ke alamat email: [email protected] Contact Person: Fahmi Arisandi (+628-1215-496-418) Alamat Redaksi: Jl. Merapi No. 01 RT/RW 04/02 Kel. Panorama Kec. Sinagaran Pati Bengkulu-38226 Telpon: 0736-341942