Top Banner
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TATA KELOLA MINYAK DAN GAS BUMI DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 Mego Widi Hakoso 1 ABSTRAK By comparison, Law 22/2001 was drastically different from Law 8/1971. The latter had two elements, respectively government and national companies. These national companies acted not only as the upstream regulator in oil and earth gas sector, but also as single operator of the downstream part of oil and earth gas sector. Law 22/2001 about oil and earth gas management system involved three elements, such as government, regulator/managing agencies, and national companies. National companies had been upstream operators and upstream regulators by the establishment of SKK Migas, while the downstream industry of oil and earth gas sector was opened by foreign companies under supervision of BPH Migas. National companies were still the single operators for the distribution of subsidized fossil fuels. Mining region authority still remained under the hand of government (The Ministry of Energy and Human Resource). Pendahuluan Pemisahan antara perusahaan nasional dan regulator pada tata kelola minyak dan gas nasional adalah hal yang menarik pada orde reformasi sekarang ini, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah kebijakan migas nasional dengan sistem tiga elemen yakni pemerintah (eksekutif), badan regulator dan perusahaan nasional. Tetapi pada proses implementasi, regulator dan perusahaan nasional mempunyai sikap yang tidak sinergis. Penelitian ini berfokus pada pelaksanaan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dilakukan pada bulan September sampai bulan November 2014. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui implementasi UU No. 22/2001 dan faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kebijakan. Dalam penelitian ini, peneliti memperoleh data melalui beberapa metode, yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas yang sangat akrab disapa “UU Migas” telah melayani Indonesia, tepatnya sejak tahun 2001 sampai sekarang. UU Migas entah kenapa banyak dicibir publik, dengan melampar sangka “undang-undang liberal” dan itu memberi kesan sangat kuat kalau kebijakan tatakelola migas yang terdahulu yang akrab disapa “UU Pertamina” jauh lebih baik, yakni pelaksanaan regulator ada pada Pertamina, padahal kalau ditinjau kebelakang Pertamina adalah badan publik sangat-sangat korup, mengapa peneliti mengataan demikian, karena pertamina memonopoli industri hulu sampai hilir migas. Selain itu yang membuat peneliti sangat tertarik dengan topik UU Migas ini adalah UU Migas juga dilempar sangka-sangka bahwa UU Migas menentang UUD1945, peneliti heran, jika menentang UUD 1945 mengapa UU Migas masih bertahan sampai sekarang. Peneliti berpendapat, berarti ada perbedaan misi antara pemerintah dan publik tetapi juga ada persamaan visi antara pemerintah dan publik, tetapi sayangnya visi tersebut tidak menjadi titik kesepakatan, dan misi disini adalah “cara”, bagaimana “cara” untuk memfasilitasi kebutuhan rakyat dengan memanfaatkan sumber daya alam, dan memang perintah UUD 1945 adalah demikian. Sedangkan minyak dan gas adalah salah satu cabang SDA yang opininya selama ini “Indonesia kaya akan minyak dan gas” berjuta-juta anak-anak sekolah dasar sampai orang dewasa Indonesia masih 1 Alumnus Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya. Email : [email protected]
13

implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

Mar 28, 2023

Download

Documents

MARETA HARLIA
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TATA KELOLA MINYAK DAN GAS BUMI

DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001

Mego Widi Hakoso1

ABSTRAK

By comparison, Law 22/2001 was drastically different from Law 8/1971. The latter had two elements,

respectively government and national companies. These national companies acted not only as the

upstream regulator in oil and earth gas sector, but also as single operator of the downstream part of oil

and earth gas sector. Law 22/2001 about oil and earth gas management system involved three elements,

such as government, regulator/managing agencies, and national companies. National companies had been

upstream operators and upstream regulators by the establishment of SKK Migas, while the downstream

industry of oil and earth gas sector was opened by foreign companies under supervision of BPH Migas.

National companies were still the single operators for the distribution of subsidized fossil fuels. Mining

region authority still remained under the hand of government (The Ministry of Energy and Human

Resource).

Pendahuluan

Pemisahan antara perusahaan nasional dan regulator pada tata kelola minyak dan gas

nasional adalah hal yang menarik pada orde reformasi sekarang ini, Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah kebijakan migas nasional dengan sistem tiga

elemen yakni pemerintah (eksekutif), badan regulator dan perusahaan nasional. Tetapi pada

proses implementasi, regulator dan perusahaan nasional mempunyai sikap yang tidak sinergis.

Penelitian ini berfokus pada pelaksanaan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi, dilakukan pada bulan September sampai bulan November 2014.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui implementasi UU No. 22/2001 dan faktor-faktor yang

menghambat dan mendukung kebijakan. Dalam penelitian ini, peneliti memperoleh data melalui

beberapa metode, yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas yang sangat akrab

disapa “UU Migas” telah melayani Indonesia, tepatnya sejak tahun 2001 sampai sekarang. UU

Migas entah kenapa banyak dicibir publik, dengan melampar sangka “undang-undang liberal” dan

itu memberi kesan sangat kuat kalau kebijakan tatakelola migas yang terdahulu yang akrab disapa

“UU Pertamina” jauh lebih baik, yakni pelaksanaan regulator ada pada Pertamina, padahal kalau

ditinjau kebelakang Pertamina adalah badan publik sangat-sangat korup, mengapa peneliti

mengataan demikian, karena pertamina memonopoli industri hulu sampai hilir migas.

Selain itu yang membuat peneliti sangat tertarik dengan topik UU Migas ini adalah UU

Migas juga dilempar sangka-sangka bahwa UU Migas menentang UUD1945, peneliti heran, jika

menentang UUD 1945 mengapa UU Migas masih bertahan sampai sekarang. Peneliti

berpendapat, berarti ada perbedaan misi antara pemerintah dan publik tetapi juga ada persamaan

visi antara pemerintah dan publik, tetapi sayangnya visi tersebut tidak menjadi titik kesepakatan,

dan misi disini adalah “cara”, bagaimana “cara” untuk memfasilitasi kebutuhan rakyat dengan

memanfaatkan sumber daya alam, dan memang perintah UUD 1945 adalah demikian. Sedangkan

minyak dan gas adalah salah satu cabang SDA yang opininya selama ini “Indonesia kaya akan

minyak dan gas” berjuta-juta anak-anak sekolah dasar sampai orang dewasa Indonesia masih

1 Alumnus Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya. Email : [email protected]

Page 2: implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

mempercayai opini tersebut. Yang peneliti sesalkan seakan-akan opini tersebut adalah indentitas

khas Indonesia yang naïf jika dilepaskan.

Mamasuki isi UU Migas lebih spesifik, memang isi UU Migas menganut pada paham

liberal, mengapa peneliti katakan demikian, karena UU Migas membutuhkan sekelompok orang

yang berani mengambil resiko untuk mengangkat migas dari perut bumi wilayah NKRI yang

sudah minim informasi tentang kekayaan sampai potensinya dan membutuhkan sekelompok

orang yang ingin memanfaatkan sifat konsumtif BBM masyarakat Indonesia sebagai alat

perangsang pertumbuhan ekonomi. Dari dua hal ini UU Migas harus menjadikan perusahaan

nasional sebagai pemain saja, dan ternyata perusahaan nasional juga ikut serta melempar opini.

Jadi kata “liberal” disinilah yang menjadi andalan publik untuk mengambil kesimpulan sangat

cepat dan melempar sangka-sangka non-nasionalis terhadap pemerintah, yang peneliti sesalkan

lagi, hal tersebut terjadi tanpa publik mengerti secara menyeluruh dan menelan mentah-mentah

kata “liberal”, selain itu, demokrasi di Indonesia membuat publik selalu bisa mencela apa yang

pemerintah lakukan. Kesalahan pemerintah adalah liberal setengah-setengah, yang hasilnya

mengorbankan perusahaan nasional sebagai alat sosialis pemerintah. Mengapa peneliti katakan

demikian, UU Migas hadir dengan rangsangan liberal yang realistis dengan Indonesia masa kini,

tetapi pemerintah masih terikat kontrak politik dengan rakyat, hasilnya adalah stabilitas politik

diawetkan dengan sibsidi BBM beserta jaminan distribusinya. Disini peneliti menemukan hal

menarik lagi, perusahaan nasional yakni Pertamina sebagai alat sosialis pemerintah ternyata juga

bisa mengancam pemerintah dengan drama dihadapan publik yang berlakon sebagai badan

nasional yang dirugikan kebijakan UU Migas. Sekali lagi, tanpa publik mengetahui hubungan

simbiosis mutualis antara pemerintah dan pertamina, tuduhan dan tekanan UU Migas dari publik

secara tidak langsung adalah sebuah sanjungan untuk pertamina.

Dalam konteks implementasi kebijakan UU Migas, peneliti ingin melihat dari kacamata

model implementasi Van Meter dan Van Horn untuk menilai dampak dari realita sekarang atau

yang terjadi selama ini pasca berlakunya UU No. 22/2001. Dari latar belakang permasalahan yang

ada, maka perumusan masalah pokok yang diteliti adalah :

1. Bagaimanakah implementasi kebijakan UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas

Bumi ?

2. Faktor-faktor apakah yang mennghambat dan mendukung implementasi UU No. 22/2001

tentang Minyak dan Gas Bumi ?

Kerangka Teoritik

Model Van Meter dan Van Horn juga mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan

secara linear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Berikut beberapa

variabel yang dimaksud sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik

Page 3: implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

Model Implementasi Van Meter dan Van Horn2

Dalam melakukan penulusuran implementasi kebijakan, tujuan dan sasaran suatu

program yang akan dilaksanakan harus diidentifikasikan dan diukur karena implementasi tidak

dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan – tujuan itu tidak dipertimbangakan. Tujuan

dan sasaran suatu kebijakan tidak bisa dilihat dari satu pihak, oleh karena itu Van Meter Van

Horn berpendapat untuk menentukan ukuran dasar dan sasaran peneliti dapat menggunakan

pernyataan dari para pembuat keputusan, selain itu dokumentasi dari implementasi juga bisa

sebagai pedoman dari tujuan kebijakan, dalam hal ini asaz dan tujuan yang tertera pada UU Migas

dan pernnyataan dari pihak pemerintah (Kementerian ESDM). Di samping ukuran dasar dan

tujuan kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah

sumber-sumber yang tersedia. Kemudian komunikasi dan kegiatan Variabel ini rentan

menimbulkan konflik di antara agen-agen pelaksana yang harus melakukan kegiatan sesuai

perintah dari implementasi, masing-masing agen pelaksana mempunyai rasa ingin dipercaya oleh

atasannya dan di lapangan implementasi sering menjadi proses konflik karena nilai-nilai pribadi

agen pelaksana merasa terusik oleh agen pelaksana lainnya (yang wewenangnya lebih besar).

kemudian karakteristik pelaksana, Inti dari variabel karakteristik ini adalah kualitas organisasi

implementor dengan melihat agen-agen pelaksana secara organisasi, agen palaksana harus

terawasi, sumber politik agen pelaksana juga harus sesuai dengan fungsi dan jenis lembaganya

(regulatif atau operatif), vitalitasnya terhadap implementasi sebagai agen pelaksana, selain itu

mencari tahu kondisi hubungan, apakah agen pelaksana mempunyai hubungan yang harmonis

dengan badan pembuat keputusan atau dengan agen pelaksana lainnya. Kemudian kondisi

ekonomi sosial dan politik Variabel ini melihat bagaimana agen-agen pelaksana diperlakukan

oleh pemerintah, selain itu juga melihat bagaimana tanggapan masyarakat terhadap implementasi,

tanggapan masyarakat yang berpotensi menjadi gerakan sosial negatif sangat dihindari oleh

pemerintah dan elit politik dan ekonomi mempunyai posisi yang penting untuk keberhasilan

implementasi, nasib agen pelaksana bisa menjadi buruk jika elit menentang implementasi dan

sebaliknya. Selain itu, kelompok kepentinga swasta bisa menjadi senjata untuk mendukung atau

menentang kebijakan, jika kelompok swasta dizinkan untuk bergerak mendukung maka tidak ada

tekanan lobby untuk pemerintah, sebaliknya jika kelompok kepentingan swasta diizinkan untuk

menentang kebijakan maka pemerintah menuntup pintu untuk kelompok swasta tersebut dan

2 Sumber : Diadopsi dari Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno, Kebijakan Publik (Teori,

Proses dan Studi Kasus), Jogjakarta, Caps, 2012

Page 4: implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

pemerintah akan mengalami tekanan lobby dari kelompok-kelompok swasta tersebut. Kemudian

kecenderungan pelaksana yakni tingkah laku yang kurang kuat mungkin menyebabkan para

pelaksana pengalihkan perhatiaan dan mengelak secara sembunyi – sembunyi. Dalam keadaan

seperti ini, Van Meter dan Van Horn menyarankan agar orang melihat kepada peran pengawasan

dan pelaksanaan untuk menjelaskan perbedaan keefektifan implementasi. Oleh karena itu peneliti

harus mengetahui fungsional badan pelaksana yang berasal dari unsur kecenderungan yang

beragam. Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam

meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran,

ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.3 Secara harfiah, penelitian deskriptif adalah

penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian, sehingga metode ini

berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka.4

Implementasi Kebijakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas

Bumi

Pada tahun 1960 Indonesia Indonesia melakukan nasionalisasi aset, undang-undang untuk

mengatur segala sistem migas diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1960 dibawah

kepemimpinan Presiden Soekarno. Setelah pergantian rezim Indonesia memiliki undang-undang

untuk mengatur segala sistem migas yang berbeda yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971,

dengan membubarkan Permigan dan menggabungkan Pertamin dan Permina menjadi Pertamina.

Pertamina diberi kuasa tambang, mempunyai wewenang memilih kontraktor untuk penggarapan

blok migas, serta menandatangani kontrak bagi hasil. Setelah orde baru melewati waktu yang

panjang, Tahun 1999 Indonesia mengalami perubahan rezim, rezim reformasi juga melakukan

perubahan sistem pengaturan migas nasional, dengan alasan menopang krisis ekonomi,

pemerintah mengajukan RUU Migas ke DPR, tahun 2001 RUU Migas disahkan menjadi Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.

Dalam prosesnya perumusannya UU Migas mengalami dorongan tekanan lobby yang

sangat kuat, yang dibidik oleh kelompok lobby adalah DPR, karena undang-undang adalah

produk kesepakatan DPR, sedangkan kondisi pasar akan ditentukan dengan undang-undang,

seperti yang dikatakan oleh Suhartono5

“Undang-undang sendiri merupakan salah satu produk kebijakan publik yang

penting karena mengatur hubungan antara negara, masyarakat dan pasar”

Ditambah lagi pada saat itu parlementer adalah sistem pemerintah Indonesia, yang

cenderung dominan kepada legislatif, masa-masa geolitik Indonesia terdesak karena yang

dipertaruhkan adalah tatakelola migas mengikuti pasar, seperti yang oleh pengamat perminyakan

Rakhmanto6

3 Moh. Nazir. 2005. Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia. hlm. 54.

4Ibid, hlm. 55

5 Suhartono adalah peneliti muda bidang kebijakan publik Sekretariat Jenderal DPR RI, dalam

Suhartono, Proses Pembuatan Kebijakan Publik di DPR :Implikasi dari UU MD3, tim peneliti pusat

pengolahan pengkajian data dan informasi DPR RI, “Peran Parlemen Dalam Proses Pembuatan

Kebijakan melalui Undang-undang Bagi Kepentingan Publik”, Jakarta, 2009. hlm. 7 6 Rakhmanto, agung. Esensi Pendirian Perusahaan Migas Negara : Redefinisi Peran dan Posisi

Pertamina. ReforMiner Institute, Jakarta, 2011, hlm. 1

Page 5: implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

“Sebagai sumber energi utama bagi sebagian besar negara-negara di dunia,

migas tak hanya bernilai strategi secara ekonomi tetapi juga sangat strategis

secara geopolitik”

Tahun 1999, peta politik parlemen saat itu diporisi oleh PAN, PKB, PBB, PPP, empat

partai berlandasar islam yang disegani karena mereka adalah penyebab naiknya Gus Dur menjadi

presiden, dan yang menyetujui implementasi UU Migas, ironinya lagi partai besar berbasis

nasionalis yakni PDI-P bahkan Golkar juga ikut menyetujui implementasi UU Migas. Satu-

satunya partai yang menyatakan keberatan hanya Partai Demokrasi Kasih Bangsa, adalah partai

kecil yang berbasis agama kristen.

Sumber : Hasil Olahan Peneliti, 2014

Pasca implementasi UU Migas Indonesia menggunakan sistem tatakelola migas tigas

elemen sistem ini sudah 14 tahun berjalan (2001-sekarang), yakni dengan penjelasan sebagai

berikut :

1. Pemerintah (Pemerintah Eksekutif/Kementerian Teknis (Kementerian ESDM,

Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN) adalah sebagai Organisasi

Publik/Pemerintah Nirlaba

2. Badan Regulator ;

a) Badan Pengatur (BPH MIGAS) adalah sebagai Organisasi Publik/Pemerintah

Nirlaba\

b) Badan Pelaksana (SKK MIGAS) adalah sebagai Organisasi Publik/Pemerintah

Pencari Laba (untuk Negara)

c) Badan Usaha/Bentuk Usaha Tetap7 adalah Organisasi Pencari Laba (untuk

Pribadi) yakni KKKS

3. PT. Pertamina (Persero) adalah Organisasi Publik Non Pemerintah Pencari Laba (untuk

Pribadi)

Pada nomor 1 yakni pemerintah ekskutif yang terdiri dari kementerian terkait yakni

Kementerian ESDM, Keuangan, BUMN adalah posisi elemen ke satu yang berwenang atas

inkremental dan strategi untuk tujuan UU Migas. Lalu pada Nomor dua yakni SKK Migas, BPH

Migas dan Perusahaan Swasta Hulu/Hilir atau BU/BUT adalah posisi elemen ke dua adalah

tangan kanan dari Pemerintah (SKK dan BPH) untuk mengendalikan BU/BUT di hulu dan di

7 Pada Pasal 9 UU Migas, definisi Badan Usaha adalah Badan Usaha yang Berbentuk, Badan Usaha Milik

Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi dan Badan Usaha Swasta. Sedangkan Bentuk Usaha Tetap hanya

dapat melukan kegiatan Usaha Hulu. BU/BUT adalah lembaga Pelaba atau komersial secara pribadi, untuk ke

semua Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap adalah Operator.

Page 6: implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

hilir, elemen ke dua adalah ranah operasional, teknis dan regulatif. Dan yang terakhir adalah

nomor tiga yakni PT.Pertamina (Persero) pada posisi elemen ke tiga adalah BUMN atau

Perusahaan Nasional dengan modal saham dari pemerintah atau perusahaan yang dimilik Oleh

pemerintah tetapi dengan status swasta atau badan bisnis.

Standard an Ukuran

Ada dua komponen, dimana suatu negara melakukan kebijakan Migasnya. yang pertama

negara akan melakukan dan membangun industri migas nasional yakni membangun nasionalisasi

aset kekayaan minyak mentah didalam wilayah Negara sampai perusahaan tambang nasional

berkontribusi besar atau dominan pada pendapatan negara. yang kedua karena alasan minim

kapital pada negara terhadap perusahaan nasionalnya maka negara mengundang perusahan asing

yang dianggap mempunyai kapital dari segi SDM dan teknologi, lalu dari sistem bagi hasil minyak

mentah negara memperoleh dana segar untuk pemasukan kas Negara.Inilah kondisi dari dua

komponen tersebut yang terjadi pada Negara Indonesia :8

1) Bagi hasil yang diturunkan dari lifting. Karena dari situ bisa dipakai komponen oleh

pemerintah, haknya pemerintah yang pada akhirnya bisa dikontribusikan untuk dana

segar bagi APBN yang sekarang jumlahnya 20% dari total APBN yang jumlahnya

sekitar Rp1600 Triliun;

2) Pendapatan bersih pertamina yang langsung berkontribusi untuk APBN jumlahnya 23

Triliun dan itu sekitar 1,6-1,7% dari APBN.

Dari dua komponen diatas, kontribusi bagi hasil adalah yang mendominasi APBN. Jadi,

tujuan UU No. 22/2001 tentang Migas adalah mengoptimalkan lifting. Dan, mengoptimalkan

lifting otomastis mengoptimalkan bagi hasil untuk APBN, semakin liftingnya tinggi otomatis bagi

hasilnya meningkat, untuk kondisi Indonesia saat ini UU Migas sangat sejalan dengan UUD 1945

dan mampu mencapai tujuan UUD 1945. Dapat disimpulkan bahwa standar, ukuran dan tujuan UU

Migas adalah demokratis, realistis, ekonomis dan terbuka demi pemasukan maksimal dana untuk

APBN.

Sumber Kebijakan

sumber dana, sumber manusia, sumber waktu dan termasuk sumber kewenangan sangat

mempengaruhi kedudukan masing-masing lembaga yakni Kementerian ESDM Ditjen Migas, SKK

Migas/BPH Migas dan Kontraktor/Pertamina.

“Kalo Pertamina kan PT ya, jadi lebih tidak bisa terkontrol, jadi profit oriented,

kalo SKK Migas kan ngga sehebat Pertamina, SKK masih terkontrol karena

dana SKK langsung dari APBN. Nah kalo dana BPH migas dari itu lewat

kementerian ESDM jadi bisa lebih terkontrol, karena BPH migas masih di

bawah koordinasi ESDM”9

Melihat pernyataan diatas, agen-agen pelaksana mempunyai sistem sumber dana/anggaran yang

berbeda-beda. Pertamina mempunyai sistem anggaran yang berbeda dengan SKK Migas dan BPH

8 Darmawan Prasodjo, Ph. D (Dosen Ekonomi Lingkungan Universitas Surya), kuliah umum pada acara I-

4 dengan tema “Strategi Nasionalisasi Energi yang Terukur” 9 Wawancara dengan Nur Laila Widyastuti, S.Kom (Staff Direktorat Sumber Daya Energi dan

Pertambangan Kementerian PPN/Beppenas, Jakarta 13 Oktober 2014

Page 7: implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

Migas, begitu juga SKK Migas mempunyai sistem anggaran berbeda dengan BPH Migas. Sistem

anggaran menggambarkan tugas dan fungsi agen pelaksana yang mempunyai dampak pada

variabel berikutnya.

Komunikasi dan Kegiatan

Jadi, UU migas telah melahirkan 5 (lima) kelompok yang saling berinteraksi untuk melakukan

koordinasi. Dalam proses komunikasinya baik formal dan Informal juga saling mempengaruhi

kegian aktor-aktor nya.

Sumber : Hasil Olahan Peneliti, 2014

Dalam implementasi yang sukses seringkali mekanisme institusional dan prosedur yang mana

otoritas lebih tinggi bisa saja menambahkan aktivitas para pelaksana (bawahannya) demi

kelancaran proses maka mensadarkan sanksi untuk pelaksana pada standar kebijakan dan tujuan

menjadi hal yang wajar

Karakteristik

Variabel karakteristik lembaga di bentuk oleh pengaruh dari variabel kondisi ekonomi sosial

politik dan komunikasi kegiatan, jadi pemenuhan indikator variabel karakteristik tidak bisa lepas

dari dua variabel lain yang mempengaruhinya. Pasca implementasi kebijakan UU Migas membuat

PN Pertamina sebagai pengendali hulu dan hilir memecah dan telah lahir 2 BHMN dan 1

Perusahaan Persero dari pihak Negara Indonesia. Masing-masing lembaga mempunyai karateristik

secara kedudukan, tujuan dan kegiatan dalam komunikasi baik horisontal maupun vertikal.

Kondisi ekonomi sosial politik

Yang dihasilkan oleh variabel ini antara lain :

Page 8: implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

Sumber : Ir. Satya Widya Yudha, M.Sc (anggota komisi VII F-PG DPR RI)10

Kecenderungan Pelaksana

kecenderungan pelaksana antara Pertamina dan Pemerintah yang mungkin terjadi meliputi

semua variabel model implementasi kebijakan. Wajar jika sebuah implementasi mengalami

penerimaan, netralitas bahkan penolakan bagi implementor. Dalam hal ini sesuai kerangka pikir

penelitian, variabel kecenderungan pelaksana akan melihat kecebderungan pertamina kepada

pemerintah, variabel terakhir ini akan menjadi penentu dari implementasi. Tentunya variabel ini

akan membahas “apakah pertamina menolak” jika menolak seberapa besar pengaruh penolakannya

terhadap implementasi dan sebaliknya.

10

Rapat Koordinasi Hukum Hulu Minyak dan gas Bumi BPMigas –KKKS 2011, 26-28

Oktober 2011, Nusa Dua, bali

Page 9: implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

Sumber : Data dan Informasi PT. Pertamina (Persero), 2014

diatas pertamina memang mengalami kekecewaan, tetapi kekecewaan tersebut tidak

mempengaruhi implementasi, pemerintah justru membantu pertamina dalam ekspansinya dengan

memperbolehkan global bond obligasi dengan status BUMN. Hal ini artinya resiko pertamina

sebagai BUMN jelas kecil daripada perusahaan swasta lainnya apalagi PSO pertamina dengan

sistem pembayaran MOPS+alpha dari pemerintah, hal ini akan membahayakan keuangan

pertamina, jadi pertamina hanya kecewa karena belum dipercaya oleh pemerintah untuk untuk

mengambil resiko yang lebih besar dan secara mendasar dalam konteks implementasi UU Migas

pertamina melakukan penerimaan secara karakter dan sumber yang diberikan oleh implementasi

UU Migas.

Faktor menghambat

pada lingkup internal UU Migas masalah Kapasitas Pelaksana menjadi faktor penghambat

dan pada lingkup Eksternal UU Migas masalah kondisi sosial politik yang menjadi penghambat.

Faktor-faktor penghambat dari ialah ;

1) Hubungan Government to Bussines

2) Perilaku masyarakat dan pemerintah daerah (otoda) terhadap wilayah kerja migas setempat

3) PSO subsidi BBM Pertamina terhadap negara

4) Infrastruktur kilang yang belum memadai

Faktor pendukung

Faktor-faktor ini sangat mendorong untuk meraih tujuan Implementasi UU migas,

walaupun belum sepenuhnya tercapai karena masih banyak faktor penghambat. Berikut faktor-

faktor yang mendukung implementasi UU Migas antara lain ;

1) Minat Perusahaan Asing terhadap industri Hulu Migas masih tinggi;

2) Pemerintah, SKK Migas dan BPH migas mempunyai Intepretasi yang sama terhadap tujuan

Implementasi UU migas, dan Prilaku Pertamina tetap bisa di kontrol oleh Pemerintah ;

3) Pengurangan subsidi BBM perlahan-lahan;

4) Transformasi Organisasi yang dilakukan Pertamina

Page 10: implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

Penutup

Pertama, sesuai teori Van Meter dan Van Horn implementasi kebijakan Undang-undang

Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dapat disimpulkan dalam beberapa hal

berikut :

1) Dapat disimpulkan bahwa standar, ukuran dan tujuan UU Migas adalah demokratis,

realistis, ekonomis dan terbuka demi pemasukan maksimal dana untuk APBN.

2) Dapat disimpulkan variabel sumber-sumber kebijakan masih belum memprioritaskan

kemandirian industri migas, hal ini dikarenakan resiko APBN yang begitu besar untuk

sumber cost recovery, tetapi disisilain tidak ada anggaran untuk ekploitasi migas secara

mandiri dari APBN.

3) Dapat disimpulkan, pada variabel komunikasi dan kegiatan yakni, antara SKK Migas dan

Dirjen Migas ESDM masih belum jelas secara pelembagaan, karena, Pemerintah

(Kementerian ESDM) masih terlibat dalam hal teknis dan kontraktual yang dilaksanakan

oleh Pengawas (SKK Migas dan BPH Migas), sehingga komunikasi kegiataan diantaranya

masih belum ada yang bisa menjamin pengawasannya.

4) Dapat disimpulkan, pada variabel karakteristik badan pelaksana masing-masing telah

memenuhi kapasitasnya sesuai tugas dan fungsinya.

5) Dapat disimpulkan, pada variabel kondisi ekonomi sosial politik adalah proses dinamika

yang mempertegas peran dan identitas dari masing-masing badan pelaksana, yang

bermanfaat untuk stndar dan tujuan kebijakan.

6) Dapat disimpulkan, pada variabel kecenderungan pelaksana yakni, kecenderungan

pertamina hanya sebatas opini, hal ini dikarenakan pertamina masih mempunyai hubungan

simbiosis mutalisme pada pemerintah dalam hal PSO sebagai BUMN otomatis jika volum

nasional BBM disubsidi semakin meningkat dan nilai subsidi semakin tinggi maka semakin

juga membebani APBN dan memanjakan Pertamina dengan pembayaran MOPS+alpha

sedangkan presiden memperoleh legitimasi dari publik.

Kedua, Faktor-faktor yang menghambat dan mendukung implementasi kebijakan Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dapat disimpulkan sebagai berikut :

1) Kuasa wilayah pertambangan ditangan negara menghambat implementasi UU Migas,

karena B to B lebih efektif daripada G to B pada hulu migas di Indonesia, mengingat

stabilitas politik dan birokrasi di Indonesia kurang membawa kepastian hukum bagi

kontraktor;

2) Sebagain besar masyarakat daerah penghasil migas masih menganggap jika wilayah kerja

yang di operasikan oleh kontraktor adalah proyek pemerintah pusat, kondisi ini

menyebabkan pelampiasan anarki masyarakat daerah jika kecewa dengan kebijakan

pemerintah dan akhirnya menghambat proses hulu migas KKKS dan bupati setempat yang

mempunyai wewenang besar untuk wilayahnya cenderung memihak masyarakatnya karena

alasan atas dasar otonomi daerah;

3) PSO BBM subsidi Pertamina terhadap Negara menghambat Implementasi UU Migas,

karena SPBU perusahaan asing tidak akan menyebar ke wilayah NKRI jika pertamina

masih memonopoli pasar BBM subsidi;

4) Minat Perusahaan Asing terhadap industri Hulu Migas yang masih tinggi mendukung

Implementasi UU Migas, karena memang pemerintah memanfaatkan modal dan keberanian

Page 11: implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

resiko perusahaan asing untuk mengeksporasi dan mengeksploitasi blok-blok migas yang

penuh resiko;

5) Transformasi Organisasi yang dilakukan Pertamina mendukung implementasi UU Migas,

karena pertamina sebagai player di hulu migas telah melaukan penyesuaian diri atau

menyetarakan kompentsi SDMnya terhadap perusahaan-perusahaan yang lain, bahkan

dengan dorongan motovasi dan keperayaan pemerintah Pertamina ada pada posisi yang

apresiatif.

Daftar Pustaka

Buku

Agung Rakhmanto, Pri. Esensi Pendirian Perusahaan Migas Negara (Redifinisi Peran dan Posisi

Pertamina). Jakarta, ReforMiner Institute, 2011.

Bungin, Burhan. 2001.Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Press.

Black, James A.&Dean J. Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: PT

Eresco.

Endra, surya, KAMUS POLITIK, Surabaya, Study group, 1979

Koentjaraningrat. 1983.Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.

Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press).

Nugroho, Riant. Public Policy (Teori Kebijakan, Analisis Kebijakan, Proses Kebijakan,

Perumusan Implementasi, Evaluasi, Revisi, Risk Management dalam Kebijakan Publik,

Kebijakan sebagai The Fifth Estate, Metode Penelitian Kebijakan), PT Elex Media

Komputindo, 2012, Jakarta

Nazir, Moh.2005. Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia.

Pudyanto, A Rinto. PROYEK HULU MIGAS (Evaluasi dan Analisis PetroEkonomi). Jakarta,

Petromindo, 2014.

Parsons, Wayne. PUBLIC POLICY (Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan). Jakarta,

KENCANA, 2001.

Panglima Saragih, Julia. SEJARAH PERMINYAKAN DI INDONESIA. Jakarta, Pusat Pengkajian

Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2001.

Pudjo Utomo, Sutadi. KEDAULATAN MIGAS DAN PRODUCTION SHARING CONTRACT

INDONESIA. Jakarta, ReforMiner Institute, 2010.

Rahardja, Pratama. Manurung, Mandala. Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar. Edisi ke-4.

Jakarta, FE UI, 2008

Syamsul Hadi, dkk, Kudeta Putih ( Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam

Ekonomi Indonesia), Bekasi, Serpico Printing, 2012

Salim, Agus. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Penerbit Tirta Wacana.

Sugiono. 2009. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suhartono, tim peneliti pusat pengolahan pengkajian data dan informasi Sekjen DPR RI, Peran

Parlemen Dalam Proses Pembuatan Kebijakan melalui Undang-undang Bagi Kepentingan

Publik, Jakarta, 2009

Tim Peneliti Pertamina FEB UGM. TRANSFORMASI PERTAMINA (Dilema Antara Bisnis dan

Pelayanan Publik), Yogyakarta, Galangpress, 2009

Winarno,Budi. Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Studi Kasus), Caps, 2012 Jogjakarta

Zainal Abidin, Said. Kebijakan Publik. Edisi ke-2. Jakarta , Humanika, 2012.

Page 12: implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

Jurnal dan Penelitian

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar (2012). Ekonomi Politik Perminyakan Indonesia : Analisis

Kebijakan Liberalisasi Sektor Hulu Migas Indonesia pasca-1998. Jurnal Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik. Vol. 16 No.1 Juli. FISIP UGM, 45, ISSN 1401-4946

Donald S. Van Meter Carl E. Van Horn. THE POLICY IMPLEMENTATION PROCESS A

Conceptual Framework. Administration & Society, Vol. 6 No. 4, February. Departement of

Political Science Ohio State University. 1975

Eka Astiti Kumalasari, Peranan perusahaan migas asing terhadap ketersediaan energi di

Indonesia, SKRIPSI FISIP UNHAS 2013

Kuntana Magnar, Inna Junaenah, dan Giri Ahmad Taufik, “Tafsir MK atas Pasal 33 UUD 1945 : (

studi atas putusan MK mengenai judicial review UU NO. 7/2004, UU NO. 22/2001, DAN

UU NO. 20/2002)” dalam Jurnal Volume 7 Nomor 1 Februari 2010 pada penelitian hasil

kerja sama Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum UNPAD dan Jenderal dan

Kepaniteraan Makamah Konstitusi Republik Indonesia

Kurniawati, Tenti. (2012). Konflik dalam Penentuan Bagi Hasil antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintah Kalimantan Timur. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Volume 16,

Nomor 1

Rine Nine Furusine, PEMBENAHAN UU no. 22/2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI

DALAM RANGKA PENGEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS, TESIS FH UI 2011

Sahat Aditua Fandhitya Silalahi dan Ariesy Tri Mauleny, “kebijakan sektor hulu dan hilir gas

bumi dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri” dalam jurnal ekonomi dan kebijakan

publik Volume 2 Nomor 1 Tahun 2011

Sugiaryo, SH, M.Pd, MH, “globalisasi : intervensi kekuatan politik dan ekonomi dalam

pembentukan hukum migas di Indonesia” dalam jurnal Magistra No. 7 th. XXII Desember

2010 ISSN 0215 - 9511

Syamsul Ma’arif (2012). PERUBAHAN KEBIJAKAN DI SEKTOR MIGAS PASCA REZIM ORDE

BARU. SAWALA Jurnal Administrasi Negara. Vol. 2 No. 2 Mei. Prodi Administrasi Negara

UNSERA. 1, 2302-2231

Topan Meiza Romadhon, “Pengaturan Production Sharing Contract dalam Undang – Undang

minyak dan gas bumi” dalam jurnal Hukum no. 1Vol. 16 Januari 2009: 88 – 105 tahun 2009

Dokumen Undang -Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2002 Tentang Badan pengawas hulu minyak dan gas

Perpres No. 9 tahun 2013 Tentang Satuan kerja khusus pelaksana kegiatan hulu minyak dan gas

bumi

Kepres No. 86 tahun 2002 Tentang Badan pengatur hilir minyak dan gas. Badan regulator hilir

migas

Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2003 tentang pengalihan bentuk perusahaan pertambangan

minyak dan gas bumi Negara (pertamina menjadi perusahaan perseroan (persero)

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Migas

Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Badan Pangtatur dan

Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui

Pipa

Page 13: implementasi kebijakan tata kelola minyak dan gas bumi dalam perspektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

Peraturan Pemerintah 1 Tahun 2006 Tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha

Dalam Kegiatan Usaha Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan

Pengangkutan Melalui Pipa

Wawancara

Wawancara dengan Hilda Prastiti, S.H, Bagian Hukum Kementerian Energi dan Sumber Daya

Mineral, Jakarta 16 September 2014

Wawancara dengan Nur Laila Widyastuti, S.Kom (Staff Direktorat Sumber Daya Energi dan

Pertambangan Kementerian PPN/Beppenas, Jakarta 13 Oktober 2014

Wawancara dengan Drs. Murohim Kepala Seksi Pengaturan Pendistribusian BBM BPH MIGAS,

Jakarta 24 September 2014

Wawancara dengan Panji Sukarno, Data dan Informasi, Sekretariat Persero PT Pertamina

(Persero), Jakarta 20 November 2014

Wawancara dengan Henrik Siregar, Koordinator LSM Jaringan Advokasi Tambang, Jakarta 15

September 2014