Page 1
21
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PENYELENGGARAAN REKLAME DI KOTA BANDUNG
Oleh: H. Deden Suhendar
1
I. Pengantar
Salah satu ciri pemerintahan yang efektif adalah komitmennya untuk
memberlakukan dan menegakkan aturan perundangan yang telah dibuatnya.
Demikian pula halnya dengan Pemerintah Kota Bandung, dalam upaya
menertibkan penyelenggaraan reklame agar lebih selaras dengan estetika kota,
telah mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 17 Tahun 2001
tentang Penyelenggaraan Reklame sebagaimana diubah dengan Perda Nomor
02 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Perda No. 17/2001. Untuk
mengimplementasikannya telah dikeluarkan pula Peraturan Walikota Bandung
Nomor 407 Tahun 2007 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Reklame
sebagaimana diubah dengan Peraturan Walikota Bandung Nomor 470 Tahun
2008 tentang Perubahan Perwal No. 407/2007.
Tujuan dikeluarkannya Perda tentang Penyelenggaraan Reklame itu
adalah untuk mengendalikan estetika ruang kota, meningkatkan pelayanan
terhadap masyarakat, melindungi kepentingan dan ketertiban umum, serta
meningkatkan PAD Kota Bandung melalui penerimaan pajak reklame.
Penyelenggaraan reklame merupakan rangkaian kegiatan mulai dari perizinan,
pemasangan/penempatan, pengawasan, sampai penertiban reklame.
Dalam kenyataannya di lapangan, implementasi kebijakan
penyelenggaraan reklame di Kota Bandung banyak menyalahi kandungan Perda
maupun Perwal Walikota tentang penyelenggaraan reklame yang ada. Sehingga,
tujuan dikeluarkannya Perda maupun Perwal tentang penyelenggaraan reklame,
yaitu untuk mengendalikan estetika ruang kota, meningkatkan pelayanan
terhadap masyarakat, melindungi kepentingan dan ketertiban umum, serta
1 H. Deden Suhendar, Drs., M.Si., adalah Dosen FISIP Universitas Al-Ghifari, Kandidat
Doktor Ilmu Sosial Universitas Padjadjaran
Page 2
22
meningkatkan PAD Kota Bandung melalui penerimaan pajak reklame tidak
tercapai. Banyak pasal baik dalam Perda maupun Perwal tentang
penyelenggaraan reklame yang dilanggar.
Sebagai contoh, walaupun izin pemasangannya sudah habis, ratusan papan
reklame yang tersebar di sejumlah titik se-Kota Bandung masih banyak
terpasang. Hal itu melanggar Pasal 31 Perwal No. 470/2008 yang menyatakan
bahwa pembongkaran reklame dilaksanakan antara lain apabila
penyelenggaraan reklame telah habis masa berlakunya dan tanpa
diperpanjang lagi.
Pasal 6 Perda Kota Bandung No. 02/2007 menyatakan bahwa pemanfaatan
titik-titik reklame di kawasan selektif dan di kawasan umum dengan ukuran 32
m2 dilaksanakan melalui pelelangan umum terbuka. Sebagaimana dijelaskan
pula di dalam Peraturan Walikota Bandung No. 407 Tahun 2007, Pasal 2,
khusus pola penyebaran dan peletakan titik reklame di persimpangan maupun
jalur jalan tertentu yang dianggap strategis dilaksanakan melalui pelelangan
yang dilakukan oleh panitia lelang yang ditetapkan oleh Walikota. Hingga saat
ini, kegiatan pelelangan umum terbuka belum dilaksanakan.
Ketentuan penempatan dan pemasangan reklame di Kota Bandung
sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Walikota Bandung No. 407 Tahun
2007 Pasal 8 adalah berdasarkan kriteria antara lain tidak mengganggu
keindahan visual wajah kota, seperti: tidak menghalangi/menutupi/merusak
bangunan-bangunan khusus yang mempunyai arsitektur, baik bangunan
bersejarah, bangunan yang dilestarikan, bangunan tengeran, dan lain-lain; tidak
merusak lingkungan alami yang sudah ada, seperti: tidak menebang,
memangkas, dan menempel dengan cara dipaku pada pohon untuk penempatan
reklame. Namun, dalam kenyataannya masih banyak ditemukan reklame yang
merusak lingkungan, antara lain reklame spanduk yang dipaku pada pohon-
pohon peneduh. Berdasarkan hasil observasi peneliti, banyak ditemukan
spanduk yang dipaku pada pohon-pohon peneduh. antara lain di Jln. Dipati
Ukur, Jln. Tamansari, Jln. Diponegoro, Jln. Ph.H. Mustopa, Jln. Sadangserang,
Page 3
23
Jln. Tubagus Ismail, Jln. Setiabudi, Jln. Cipaganti, Jln. Sukajadi, Jln.
Cihampelas, Jln. Pajajaran, Jln. Cicendo, Jln. Wastukencana, dan Jln. R.E.
Martadinata.
Pasal 11 Perda Kota Bandung No. 02/2007 menyatakan bahwa setiap
penyelenggara reklame wajib memuat jangka waktu berakhirnya Izin
Penyelenggaraan Reklame (IPR) pada reklame terpasang. Begitu juga menurut
Peraturan Walikota Bandung No. 407 Tahun 2007, Bab VII, Pasal 23, reklame
terpasang yang telah memenuhi ketentuan wajib diberi tanda lunas/jangka waktu
izin tertulis penyelenggaraan reklame yang dipasang hanya pada muka gambar,
kecuali untuk reklame insidental dan reklame dalam ruangan (indoor). Dalam
kenyataannya, selama ini hanya reklame spanduk yang berizin resmi yang
mencantumkan batas masa berlakunya; sementara reklame jenis yang lain pada
umumnya tidak mencantumkan batas masa berlakunya. Bahkan, masih terjadi
saling lempar tanggung jawab antar-SKPD tentang siapa yang mesti
menyediakan tanda batas waktu IPR tersebut.2
Di dalam Peraturan Walikota Bandung No. 407 Tahun 2007, Bab VII,
Pasal 23, tata cara pemasangan reklame di Kota Bandung antara lain diatur:
Reklame dilarang dipasang pada bangunan pemerintah, yaitu kantor, rumah
sakit, rumah dinas, tempat ibadah, tiang listrik/telepon, tiang penerangan jalan
umum, gardu, pohon jalur hijau, rambu-rambu lalu lintas, petunjuk jalan, dan
kendaraan dinas. Namun, dalam kenyataannya di lapangan masih banyak
ditemukan pemasangan reklame pada fasilitas milik pemerintah, seperti tiang
listrik, tiang telepon, tiang tower, petunjuk jalan, ataupun rambu-rambu lalu
lintas. Misalnya, berdasarkan hasil observasi ditemukan di beberapa tempat
baliho menggantung pada tiang tower, reklame berbentuk foster banyak
ditempel pada tiang listrik dan telepon. Bahkan, ditemukan reklame berbentuk
foster yang ditempel pada dinding rumah sakit, masjid, dan kantor
pemerintahan.
2 H.U. Tribun Jabar, 8 Juni 2009
Page 4
24
Masih di dalam Peraturan Walikota Bandung No. 407 Tahun 2007, Bab
VII, Pasal 23, untuk pemasangan reklame berupa poster, selebaran, brosur,
pamflet, dan sejenisnya harus ada cap/legalisasi Walikota atau pejabat yang
ditunjuk; Namun, dalam kenyataannya sering ditemukan pihak-pihak yang
menyebarkan selebaran, pamflet, dan sejenisnya di jalan-jalan umum, dan
selebaran tersebut pada umumnya tidak mendapatkan legalisasi dari Walikota.
Sebagai catatan, hingga saat ini, tidak ada sanksi yang diberlakukan bagi para
pelanggarnya dan tidak jelas siapa yang ditugaskan untuk mengawasinya. Hal
ini menunjukkan bahwa materi kebijakannya sendiri tidak implementatif.
Dalam Perwal No. 407/2007 tercantum enam kawasan jalur bebas
reklame, yaitu Jln. Ir. H. Djuanda (Dago), Jln. R.A.A. Wiranatakusumah
(Cipaganti), Jln. Dr. Djundjunan (Terusan Pasteur), Jln. Pajajaran, Jln. Braga,
dan Jln. Asia-Afrika. Satu tahun pascapenetapan Perwal tersebut, enam jalur itu
harus bebas dari reklame tanpa kecuali. Namun, dalam kenyataannya, pada
beberapa ruas jalan yang ditentukan sebagai jalur bebas reklame itu masih
terlihat reklame yang terpasang.
Pada tanggal 20 Februari 2010, di Pasar Kordon Buahbatu, tiga buah
baliho ambruk diterpa hujan besar dan angin kencang. Satu baliho berukuran 10
m menimpa salah satu kios di pasar tersebut. Menurut Kepala Seksi Trantib
Kecamatan Bandung Timur, satu dari tiga buah baliho tersebut tidak berizin.
Peristiwa lainnya, pada tanggal 17 Februari 2011 akibat angin kencang dan
struktur konstruksi reklame yang tidak memenuhi syarat, sebuah papan reklame
setinggi 15 m di Jln. Suria Sumantri ambruk menimpa sebuah bengkel las dan
sebuah kios. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut, namun
atap bengkel dan kios tersebut mengalami kerusakan yang cukup parah.
Jumlah reklame liar yang tersebar di setiap sudut Kota Bandung
diperkirakan mencapai 1.000 buah. Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung sendiri
terus menerus menggelar operasi penertiban reklame liar.3 Reklame-reklame
3 Sinar Pagi News Online, 23 Juli 2009
Page 5
25
ilegal itu terus bermunculan, bahkan setelah ditertibkan beberapa hari kemudian
kembali terpasang. Berdasarkan data dari Dinas Satpol PP Kota Bandung
sampai 6 Februari 2011, menurut Koordinator Lapangan Penertiban Reklame
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung dari 45 reklame jenis
bando yang ada di Kota Bandung, 41 di antaranya tidak berizin. Selain itu, 19
dari 21 reklame yang dipajang di jembatan penyeberangan orang (JPO) di Kota
Bandung juga tidak berizin. Sementara untuk jenis billboard, terdapat 56 titik le-
lang yang saat ini bermasalah. Jumlah ini belum termasuk reklame berukuran
kecil yang jumlahnya masih terus didata.
II. Pembahasan
Pengukuran keberhasilan implementasi suatu kebijakan, menurut Wahab
adalah dengan cara membandingkan apa tujuan dari kebijakan tersebut dengan
hasil dari implementasinya di lapangan.
“Keberhasilan atau kegagalan implementasi dapat dilihat dari sudut
kemampuannya secara nyata dalam meneruskan/mengoperasionalkan
program-program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya,
keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dievaluasi dengan cara
mengukur atau membandingkan antara hasil akhir dari program-program
tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan (Wahab: 2008: 179).
Berkaitan dengan hal tersebut, Nugroho menyatakan bahwa implementasi
kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik ada dua pilihan
langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikannya dalam bentuk
program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan
publik tersebut (Nugroho, 2009: 494). Dalam kaitannya dengan implementasi
kebijakan penyelenggaraan reklame di Kota Bandung, derivasi kebijakannya
adalah dalam bentuk Peraturan Walikota, yaitu Peraturan Walikota Bandung No.
407 Tahun 2007 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Reklame sebagaimana
diubah dengan Peraturan Walikota Bandung Nomor 470 Tahun 2008 tentang
Perubahan Perwal No. 407/2007.
Page 6
26
Berdasarkan hasil survei di lapangan, implementasi kebijakan
penyelenggaraan reklame banyak di Kota Bandung melanggar Peraturan
Walikota Bandung, baik Perwal No. 407/2007 maupun Perwal No. 470/2008.
Pelanggaran terjadi pada level organizational dan operational. Menurut
Kepala Seksi Penyidikan Satpol PP Kota Bandung, selama kurun waktu tahun
2010 pelanggaran terhadap Perda di Kota Bandung yang tertinggi didominasi
oleh pelanggaran izin reklame, yakni mencapai 1.055 kasus. Menurutnya,
tingginya angka pelanggaran izin reklame ini menunjukkan iklim investasi di
daerah ini semakin meningkat, namun sayangnya tidak dibarengi dengan
kesadaran masyarakat dalam mengurus izin reklamenya. Kasus pelanggaran
reklame tersebut termasuk katagori liar yang izinnya sudah habis atau yang
tidak mempunyai izin.
Implementasi kebijakan penyelenggaraan reklame tidak hanya
bersangkutan dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke
dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi; melainkan
lebih dari itu, menyangkut masalah konflik kepentingan, keputusan, dan siapa
yang memperoleh apa dari kebijakan tersebut. Implementasi kebijakan
penyelenggaraan reklame dihadapkan pada banyak kendala, baik yang
berkaitan dengan standar dan kebijakan, sumber daya, karakteristik organisasi
pelaksana, komunikasi antar organisasi terkait, disposisi/sikap pelaksana,
maupun lingkungan ekonomi, sosial, dan politik yang kurang kondusif.
Implementasi suatu kebijakan bisa jadi gagal (frustrated) ketika para
implementor tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan
kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan
disposisi para implementor.
Selain itu, keberhasilan implementasi kebijakan sangat bergantung pada
kemampuan para implementor dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia;
standar dan tujuan kebijakan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana.
Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu
standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan
Page 7
27
sulit untuk bisa dicapai; disposisi/sikap implementor dipengaruhi oleh
pandangannya terhadap suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu
terhadap kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya. Hal lain yang
perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan adalah sejauh mana
lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik.
Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi
sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, ditemukan beberapa kendala yang
menyebabkan implementasi kebijakan penyelenggaraan reklame di Kota
Bandung belum berhasil dalam menata reklame sesuai dengan estetika Kota.
Kendala-kendala tersebut dideskripsikan berikut ini.
1) Sebagian aparatur implementor kebijakan penyelenggaraan reklame di Kota
Bandung kurang memahami tujuan kebijakan penyelenggaraan reklame.
Para aparatur implementor kebijakan penyelenggaraan reklame di Kota
Bandung, baik di Dinas Satpol PP, Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Dinas
Bina Marga dan Pengairan, Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya, maupun
aparatur di BPPT, mayoritas mereka kurang memahami tujuan dari kebijakan
penyelenggaraan reklame, yaitu sebagaimana tercantum di dalam Perdanya
adalah: mengendalikan estetika ruang kota, meningkatkan pelayanan terhadap
masyarakat, melindungi kepentingan dan ketertiban umum, serta meningkatkan
PAD Kota Bandung melalui penerimaan pajak reklame. Mayoritas informan
yang diwawancara tidak memahami tujuan dari kebijakan penyelenggaraan
reklame di Kota Bandung.
Pemahaman para aparatur implementor kebijakan terhadap sasaran yang
ingin dicapai sangat penting dalam implementasi kebijakan karena dengan itu
para aparatur akan termotivasi untuk mencapai target yang diinginkan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang Staf Bidang Perizinan
Usaha BPPT Kota Bandung, diketahui bahwa kurangnya pemahaman para
aparatur pada level pelaksana karena pada umumnya para aparatur hanya
mengetahui informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
Page 8
28
reklame di Kota Bandung melalui surat edaran resmi atau dari atasan langsung
pada waktu apel pagi; sedangkan mengenai teknis operasionalnya tidak
mendapatkan penjelasan yang memadai. Di samping itu, pengarahan dari para
pimpinan pun terhadap para implementor di lapangan sangat minim. Menurut
mereka, pengarahan teknis hanya dilakukan dalam rapat teknis yang rata-rata
hanya diikuti oleh para kepala bagian sementara para pelaksana di tingkat bawah
tidak diikutsertakan dalam rapat teknis; sedangkan pengarahan kepada para
implementor di lapangan hanya dilakukan pada saat apel upacara pagi dengan
alokasi waktu yang sangat singkat.
Menurut Islamy (1984), kesiapan agen pelaksana dalam pelaksanaan
suatu kebijakan tidak terlepas dari sumber daya yang memadai dari sumber daya
yang harus disuplai dengan resources yang cukup, seperti: 1) human resources
(staf dalam jumlah dan kualifikasi yang memadai dengan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya); 2) financial resources; 3)
technological resources; dan 4) phsicological resources. Sedangkan Thoha
(1999) berpendapat bahwa penyebab atau hambatan kesiapan masyarakat dalam
menerima perubahan ada tiga macam yakni: 1) hambatan internal, yaitu
hambatan yang timbul dari masyarakat itu sendiri atau kultur dan budaya (socio-
cultural constrained); 2) hambatan eksternal, (birokrasi/pemerintah); 3) tingkat
kesadaran yang masih rendah (pendidikan rendah atau kurang informasi).
Mengacu kepada pendapat di atas, dikaitkan dengan implementasi
kebijakan penyelenggaraan reklame di Kota Bandung, maka ketidaksiapan
sumber daya manusia implementor kebijakan pada Pemerintah Kota Bandung
merupakan suatu sikap atau kebiasaan. Para pegawai selama ini selalu
berdasarkan atau selalu menunggu petunjuk pelaksanaan (juklak) yang ada.
Sehingga hal ini menyebabkan mereka tidak kreatif, sukar menerima perubahan
seperti halnya dalam hal mengimplementasikan kebijakan penyelenggaraan
reklame.
Page 9
29
2) Lemahnya mental sumber daya aparatur implementor kebijakan
penyelenggaraan reklame.
Indikasi lain yang menjadi kendala keberhasilan implementasi kebijakan
penyelenggaraan reklame di Kota Bandung adalah karena adanya oknum
aparatur Pemerintah Kota Bandung yang membantu penyelenggaraan reklame
liar. Hal itu antara lain terungkap dari pernyataan Kepala Seksi Perizinan Usaha
BPPT Kota Bandung yang menilai bahwa keberadaan reklame liar di Kota
Bandung salah satunya karena adanya keterlibatan oknum aparatur di
lingkungan Pemerintah Kota Bandung. Para oknum aparatur itu membantu
keinginan para pengusaha agar dapat memasang reklame tetapi tidak melalui
prosedur yang resmi. Para pengusaha mengeluarkan biaya jauh lebih murah
melalui oknum-oknum tersebut dibandingkan jika mengurusnya secara resmi.
Oknum-oknum aparatur itu ada yang membantu dalam proses pemasangan, ada
juga yang membantu dalam proses penertiban. Tidak heran jika kemudian
reklame banyak terpasang tanpa mengantongi izin atau reklame sudah terpasang
ketika proses pengurusan izin masih berjalan.4
Mengenai adanya oknum yang "bermain" dalam perizinan reklame,
Walikota Bandung pun sebelumnya pernah meminta BPPT atau dinas terkait
lainnya tidak gentar dengan keberadaan oknum aparatur tersebut. Bahkan, 17
Mei 2010, Walikota Bandung secara tegas menyatakan akan memutasikan
oknum aparatur yang diketahui "bermain" dalam proses perizinan reklame atau
reklame liar. Sanksi yang diberikan, dinilai cukup dan setimpal dengan
perbuatan oknum tersebut. Walikota Bandung tidak menginginkan, pelaksanaan
pemerintahan di Kota Bandung dikotori oleh tangan-tangan oknum aparatur
yang mencari keuntungan sendiri. 5
Untuk mencegah agar tidak banyak reklame liar atau penyelewengan
lainnya, pada masa yang akan datang Walikota Bandung meminta bantuan
aparat kewilayahan. Camat dan lurah bisa berkoordinasi dan mengikutsertakan
4 Hasil wawancara: 12 Agustus 2010 5 Tribun Jabar, 18 Mei 2010
Page 10
30
aparat RT serta RW. Pengawasan sejak awal, dalam penilaian Walikota
Bandung menjadi langkah yang tepat. Dengan adanya oknum aparatur yang
tidak jujur di balik penyelenggaraan reklame, maka menyebabkan banyaknya
reklame liar yang terpasang di Kota Bandung. Orang awam tentu akan menilai
pendapatan yang diraih Pemkot Bandung dari sektor pajak reklame sangat besar.
Namun kenyataannya, pendapatan yang diperoleh tidak sebanding dengan
jumlah reklame yang terpasang. Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda)
Kota Bandung, menyatakan adanya loss potential (potensi kerugian) dari sektor
pajak reklame dan jumlahnya cukup besar. Ia menyatakan hal itu pun sudah
pernah dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat,
awal tahun 2010. Hitung-hitungan Dispenda sendiri, loss potential dari pajak
reklame bisa mencapai lebih dari Rp 10 miliar.6
Berkaitan dengan hal tersebut, Siagian (2002: 42) menyatakan bahwa
unsur manusia dalam organisasi memiliki kedudukan yang sangat strategis
karena manusialah yang bisa mengetahui input-input apa saja yang perlu
diambil dari lingkungan dan bagaimana caranya untuk mendapatkan input-input
tersebut, teknologi, dan cara yang dianggap tepat untuk mengolah dan
mentransformasikan input-input tadi menjadi output yang memenuhi keinginan
publik (lingkungan).
3) SKPD yang menjadi implementor kebijakan belum secara menyeluruh
didukung dengan sumber daya teknologi yang memadai.
Menurut salah seorang Staf Seksi Penindakan Dinas Satpol PP Kota
Bandung, faktor penyebab lainnya belum berhasilnya Pemerintah Kota Bandung
dalam mengimplementasikan kebijakan penyelenggaraan reklame adalah karena
pelaksanaan kerja organisasi pada SKPD yang menjadi implementor kebijakan
belum didukung oleh teknologi secara menyeluruh sehingga dalam pelaksanaan
kerja kerapkali mengalami hambatan. Sebagai contoh, banyaknya reklame
illegal yang tersebar di jalan-jalan di Kota Bandung sebenarnya dapat
6 H.U. Galamedia 9 Februari 2010
Page 11
31
diminimalisasi apabila pendataan reklame sejak awal pengurusan perizinan,
rentang waktu berlakunya izin, lokasi pemasangan, ukuran, dan sebagainya
sudah dilakukan dengan sistem informasi yang jelas dan akurat.7
Hal itu dibenarkan oleh salah seorang staf Seksi Perizinan Reklame pada
BPPT Kota Bandung. Menurutnya, memang hingga saat ini dalam
penyelenggaraan reklame di Kota Bandung belum diterapkan sistem otomasi
secara menyeluruh. Oleh karena itu, sangat bagus jika ke depan bisa
diberlakukan sistem otomasi terhadap semua reklame yang telah terpasang.
Sistem yang ada akan secara otomatis memberikan sinyal bahwa suatu reklame
yang terpasang telah habis masa izinnya, misalnya. Dan jika telah diterapkan
teknologi otomasi dalam pemasangan reklame dapat mempersempit kesempatan
kepada oknum-oknum aparatur yang suka melakukan penyimpangan dalam
pengurusan izin reklame.8
Menurut salah seorang staf Seksi Pengusutan dan Penertiban Dinas Tata
Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, memang jika sistem otomasi bisa
diterapkan dalam database reklame di Kota Bandung, kemungkinan besar
penyimpangan-penyimpangan dalam penyelenggaraan reklame di Kota
Bandung bisa diminimalisasi. Dengan cara seperti itu, aparatur yang akan
bertugas menertibkan reklame, baik dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman,
Dinas Satpol PP, BPPT, Dinas Bina Marga, maupun dari Dinas Tata Ruang dan
Cipta Karya akan lebih mudah melakukan pengecekan. Terjadinya kesalahan
penertiban terhadap reklame yang menjadi objek penertiban dapat
diminimalisasi. Idealnya, Pemerintah Kota Bandung harus memiliki sistem
database IPR, yang dapat menampilkan early warning untuk semua IPR yang
akan habis masanya 60 hari ke depan sehingga pemegang IPR dapat diingatkan
untuk mengurus perpanjangan dalam waktu 30 hari yang tersisa. Jika telah
memiliki sistem maka proses evaluasi dapat secara otomatis dilakukan setiap
7 Hasil wawancara 27 Juli 2010 8 Hasil wawancara 10 Agustus 2010
Page 12
32
hari dengan bantuan teknologi, sehingga diharapkan bisa lebih cepat dan
transparan.9
4) Kurang Terjalinnya Komunikasi dengan baik.
Indikasi lain yang merupakan faktor penyebab tidak efektifnya
implementasi kebijakan penyelenggaraan reklame di Kota Bandung adalah
kurang terjalinnya komunikasi yang baik, baik antara pengambil kebijakan
dengan para implementor kebijakan di lapangan, antar SKPD implementor
kebijakan, antara Pemerintah Kota Bandung dengan para pemasang reklame,
maupun komunikasi antara Pemerintah Kota Bandung dengan masyarakat yang
berada pada ruas jalan yang bebas reklame.
5) Adanya tekanan politis dari pihak-pihak tertentu terhadap implementor
kebijakan.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa salah satu penyebab
implementasi kebijakan penyelenggaraan reklame di Kota Bandung belum
berhasil menata reklame sesuai dengan estetika kota adalah adanya indikasi
tekanan politis dari pihak tertentu terhadap implementor kebijakan, antara lain
dari pihak legislatif terhadap beberapa SKPD yang terlibat dalam
penyelenggaraan reklame.
Kepala Seksi Penataan dan Pembangunan Pertamanan Dinas Pertamanan
dan Pemakaman Kota Bandung mengemukakan bahwa dari Januari 2003 sampai
Desember 2007 pengurusan izin reklame dilakukan oleh tim gabungan antar
SKPD yang terhimpun dalam Tim Pengurusan dan Perizinan Reklame (TP2R).
Sejak tahun 2007 sampai 2008, perizinan reklame ditangani oleh Bappeda Kota
Bandung, dan sejak tahun 2008 sampai sekarang perizinan reklame ditangani
oleh dua SKPD. Untuk perizinan reklame permanen ditangani oleh Badan
Pelayanan dan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung sedangkan untuk
perizinan reklame insidental ditangani oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman
(Distamkam) Kota Bandung. Menurutnya, ada kecenderungan SKPD yang
9 Hasil wawancara 16 Agustus 2010
Page 13
33
lebih mengikuti keinginan legislatif dialah yang disetujui untuk diberi
kewenangan untuk mengurus izin reklame.10
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh salah seorang
staf dari Seksi Penertiban Reklame Dinas Satpol PP Kota Bandung.
Menurutnya, bisa dilihat di jalan-jalan di Kota Bandung pada musim kampanye,
betapa banyaknya spanduk, baliho, bahkan dalam bentuk billboard yang
merupakan kampanye caleg tertentu. Kebanyakan dari reklame seperti itu tidak
menempuh izin yang resmi. Dan ketika petugas akan menertibkannya harus
berhadapan dengan orang-orang Parpol. Bahkan, kalau sudah ditertibkan tidak
jarang telepon berbau tekanan diterima oleh petugas penertiban.11
Menurut staf Penertiban Dinas Satpol PP Kota Bandung itu, walaupun di
lapangan ditemukan reklame illegal yang seharusnya ditertibkan, tetapi jika atas
perintah atasan harus dibiarkan karena ada permintaan dari Parpol atau pejabat
tertentu maka para petugas penertiban tidak bisa bertindak apa-apa selain
mengikuti keinginan atasan. Jadi, dalam hal ini adanya keterbatasan
kewenangan yang dimiliki oleh para petugas penertiban di lapangan terhadap
reklame-reklame yang melanggar.
6) Pemerintah Kota Bandung tidak tegas dalam Mengimplementasikan Perda
tentang Penyelenggaraan Reklame.
Penyebab lain dari belum efektifnya implementasi kebijakan
penyelenggaraan reklame di Kota Bandung adalah karena Pemerintah Kota
Bandung tidak memiliki ketegasan dalam mengimplementasikan kebijakan
tentang penyelenggaraan reklame yang telah dikeluarkannya. Pemerintah Kota
Bandung harus mempertegas kembali pelaksanaan Perda No. 2/2007 tentang
Penyelenggaraan Reklame. Kelalaian Pemerintah Kota Bandung dalam
mengimplementasikan Perda tersebut dituding menjadi salah satu penyebab
maraknya reklame bermasalah. Hal itu dikemukakan antara lain oleh pakar
hukum tata negara dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep
10 Hasil wawancara 25 Agustus 2010 11 Hasil wawancara 27 Juli 2010
Page 14
34
Warlan Yusuf. Menurut Asep Warlan Yusuf, maraknya reklame bermasalah di
Kota Bandung merupakan salah satu bentuk ketidaktegasan Pemerintah Kota
Bandung dalam menegakkan aturan. Walaupun sering dilakukan penertiban,
reklame bermasalah kerap muncul dan semakin marak. "Seharusnya Pemkot
Bandung tidak perlu ragu dalam menegakkan Perda tentang Penyelenggaraan
Reklame," ujar Asep Warlan Yusuf. 12
Terkait dengan kemungkinan tidak dilakukannya fungsi pengendalian oleh
Pemerintah Kota Bandung, seorang anggota Komisi A DPRD Kota Bandung
menilai sebetulnya Pemerintah Kota Bandung telah berupaya melakukan fungsi
itu, namun fungsi pengawasan tersebut tidak optimal. Salah satunya tidak
adanya tindakan tegas ketika terjadi pelanggaran.
Selain itu, anggota DPRD tersebut juga menyoroti ketidaktegasan
Pemerintah Kota Bandung dalam pencantuman masa berlaku izin pada setiap
reklame. Padahal, salah satu pasal di dalam Perda tentang Penyelenggaraan
Reklame disebutkan, setiap penyelenggara reklame wajib memuat jangka waktu
berakhirnya izin pada papan reklame.13
. Wakil Walikota Bandung mengaku
pencantuman masa berlaku izin pemasangan reklame menjadi salah satu
perhatian. Ke depan, Pemerintah Kota Bandung akan mempertegas agar setiap
reklame terpasang mencantumkan masa berlakunya. Hal itu akan dipertegas
dalam revisi Peraturan Walikota tentang reklame yang terbaru. Hal tersebut
dimaksudkan agar masyarakat ikut berpartisipasi memantau penyelenggaraan
reklame.14
Ketidaktegasan Pemerintah Kota Bandung dalam mengimplementasikan
kebijakan penyelenggaraan reklame menyebabkan lemahnya pengawasan dan
pengendalian dari Pemerintah Kota Bandung terhadap implementasi kebijakan
tersebut. Salah seorang aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat
membenarkan bahwa Pemerintah Kota Bandung tidak tegas dalam
12
H.U. Tribun Jabar & Galamedia, 14 Mei 2010 13 Hasil wawancara 16 Agustus 2010 14 Tempo Interaktif Online, 17 Februari 2011
Page 15
35
mengimplementasikan kebijakan penyelenggaraan reklame. Akibatnya, banyak
berdiri reklame liar berdiri di Kota Bandung. Kota Bandung menjadi sasaran
empuk bagi para mapia reklame yang ingin menarik keuntungan sebesar-
besarnya tanpa harus memberikan kontribusi secara formal kepada Pemerintah
kota Bandung.15
. Akibat ketidaktegasan Pemerintah Kota Bandung
menyebabkan banyaknya reklame berbagai jenis yang berdiri tanpa izin, masih
tetap ada di Kota Bandung, bahkan akhir-akhir ini jumlah reklame liar itu
semakin bertambah.
7) Pemerintah Kota Bandung tidak konsisten terhadap tujuan kebijakan
penyelenggaraan reklame.
Kendala lainnya dalam implementasi kebijakan penyelenggaraan reklame
di Kota Bandung adalah karena Pemerintah Kota Bandung tidak konsisten
terhadap tujuan penyelenggaraan reklame, yaitu untuk mengendalikan estetika
ruang kota, meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, melindungi
kepentingan dan ketertiban umum, serta meningkatkan PAD Kota Bandung
melalui penerimaan pajak reklame. Di Kota Bandung banyak terpasang reklame
yang kurang memperhatikan keberadaan objek yang sudah ada sebelumnya.
Misalnya, papan nama sebuah masjid di sebuah mulut gang di Jl. Sudirman
menjadi tertutup oleh iklan sebuah rokok. Hal ini menunjukkan bahwa
bagaimana penyelenggaraan reklame yang tidak memperhatikan kepentingan
umum.
Kenyataan di lapangan yang sangat menyolok adalah pada enam ruas
jalan yang dinyatakan sebagai jalan bebas reklame, yaitu Jln. Ir. H. Djuanda, Jln.
Asia-Afrika, Jln. Braga, Jln. Padjadjaran, Jln. Cipaganti, dan Jln. Terusan
Pasteur masih banyak terpasang reklame berbagai jenis, seperti spanduk, baliho,
billboard, bando jalan, bahkan di Jln. Ir. H. Djuanda terdapat megatron. Ketika
Pemerintah Kota Bandung tidak konsisten terhadap kebijakan penyelenggaraan
reklame yang telah dikeluarkannya maka hal itu menyulitkan implementasi
15 Hasil wawancara 13 Agustus 2010
Page 16
36
kebijakan tersebut dapat diberlakukan kepada masyarakat yang menjadi sasaran.
Sehingga, tidak heran jika masyarakat masih melakukan pemasangan spanduk,
baliho, dan sebagainya pada jalur jalan bebas reklame. Hal itu mereka lakukan
karena Pemerintah Kota Bandung sendiri masih melakukan pemasangan
reklame pada jalur jalan bebas reklame. Di Kota Bandung pun banyak sekali
ditemukan tiang-tiang pancang reklame yang terpasang di atas trotoar yang
biasa dilalui oleh pejalan kaki. Hal ini menunjukkan bahwa pemasangan
reklame tidak memperhatikan kepentingan umum, terutama para pejalan kaki
melalui trotoar.
Fenomena menyolok , bisa dilihat misalnya reklame di Jln. Dr. Setia Budi
pada ruas jalan antara Jl. Budisari sampai Jl. Gegerkaling Girang; di jalur Jln.
Cihampelas antara jalan Advent sampai Jln. Pasteur. Pemasangan reklame
yang bertumpuk dengan tidak memperhatikan estetika dan space ruang yang
tersedia. Hal itu menunjukkan bahwa penyelenggaraan reklame gagal
menciptakan ketertiban. Fenomena lain yang terjadi, di Kota Bandung beberapa
kali terjadi reklame yang roboh. Sebagai contoh kasus, Tiga baliho di Jln.
Terusan Buahbatu, Kota Bandung, pada tanggal 20 Februari malam, ambruk
diterpa hujan besar. Satu baliho iklan berukuran 10 meter itu menimpa salah
satu kios pisang milik Joni Sukmana di Pasar Kordon. Bagian atapnya rusak,
sehingga tidak dapat digunakan. Menurut Joni yang ditemui di lokasi kejadian,
akibat peristiwa tersebut, ia rugi sekitar Rp 5.000.000,00. Semua pisang
dagangan Joni busuk karena atap kios ambruk.
Kasus lain pada tanggal 17 Februari 2011 sebuah papan reklame
berukuran cukup besar setinggi 15 meter di jalan Suria Sumantri ambruk
menimpa sebuah bengkel las dan sebuah kios. Beruntung tidak ada korban jiwa
dalam peristiwa tersebut, namun atap bengkel dan kios tersebut mengalami
kerusakan yang cukup parah. Hal itu menunjukkan bahwa konstruksi reklame
tersebut tidak memenuhi syarat. Dua contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa
Pemerintah Kota Bandung telah gagal dalam melindungi keamanan masyarakat
dalam penyelenggaraan reklame.
Page 17
37
8) Terjadi Tumpang Tindih Kebijakan
Reklame seharusnya sudah menjadi unsur yang harus diatur dalam tingkat
Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Wilayah peruntukannya
(kawasan/zoning) berada dalam tingkat Rencana Tata Ruang Kota (RTRK).
Lokasi dan besaran pereklamean harus diatur dengan peruntukan dan fungsi
wilayah kota yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Kota (RTRK). Lebih
mendetail masalah pereklamean ini merupakan bagian yang dipertimbangkan
dalam Pola Rancang dan Rekayasa Kota (urban design pattern dan urban
structure) yang biasanya tertuang dalam Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan (RTBL).
Di Kota Bandung terjadi tumpang tindih kebijakan antara kebijakan
penyelenggaraan reklame dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Bandung. Sebagai contoh, di dalam Perda Kota Bandung No. 02 Tahun 2004
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung ditetapkan Jl. Pajajaran
termasuk ke dalam kawasan perdagangan namun pada sisi lain dalam Perda
tentang Penyelenggaraan Reklame termasuk jalan bebas reklame. Kawasan
perdagangan tentu memerlukan promosi, antara lain dalam bentuk reklame baik
permanen maupun insidental. Ketika kawasan perdagangan ditetapkan sebagai
kawasan bebas reklame tentu hal itu menjadi kontradiktif. Contoh lain, dalam
Perda RTRW kawasan Jl. Dago termasuk kawasan wisata belanja, tetapi di
dalam Perda tentang Penyelenggaraan Reklame ditentukan sebagai jalan bebas
reklame.
III. Penutup
Pemerintah Kota Bandung sudah mengimplementasikan kebijakan
penyelenggaraan reklame namun hasilnya masih belum efektif karena kurang
memperhatikan standar dan tujuan kebijakan; sumber daya; komunikasi antar
organisasi terkait; disposisi/sikap pelaksana; serta lingkungan ekonomi, sosial,
dan politik. Di antara faktor implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh
Van Meter & Van Horn, dalam hal ini karakteristik organisasi pelaksana tidak
Page 18
38
terbukti berperan dalam implementasi kebijakan penyelenggaraan reklame di
Kota Bandung.
Kendala-kendala dalam implementasi kebijakan penyelenggaraan reklame
di Kota Bandung adalah: 1) Sebagian aparatur implementor kebijakan kurang
memahami tujuan kebijakan; 2) Lemahnya mental sumber daya aparatur
implementor kebijakan; 3) SKPD yang menjadi implementor kebijakan tidak
didukung dengan sumber daya teknologi otomasi secara menyeluruh; 4)
Kurang terjalinnya komunikasi, baik antara pihak pimpinan dengan bawahan,
antar SKPD implementor kebijakan, antara Pemerintah Kota Bandung dengan
para pemasang reklame, maupun antara Pemerintah Kota Bandung dengan
masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan terutama yang berada pada ruas
jalan yang bebas reklame; 5) Adanya tekanan politis dari pihak-pihak tertentu
terhadap implementor kebijakan; 6) Kurangnya ketegasan dalam
mengimplementasikan kebijakan; 7) Pemerintah Kota Bandung tidak konsisten
terhadap tujuan kebijakan penyelenggaraan reklame; 8) Terdapat tumpang tindih
kebijakan antara kebijakan penyelenggaraan reklame dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota yang ada.
Agar Pemerintah Kota Bandung dapat mengimplementasikan kebijakan
penyelenggaraan reklame dengan efektif, maka hal-hal yang harus dilakukan
adalah: 1) Perlu peningkatan pemahaman aparatur implementor kebijakan
terhadap tujuan kebijakan; 2) Perlu pembinaan mental sumber daya aparatur
implementor kebijakan penyelenggaraan reklame dan mempersempit
kesempatan untuk melakukan penyimpangan; 3) Perlu diterapkan teknologi
otomasi secara menyeluruh pada SKPD yang menjadi implementor kebijakan;
4) Perlu peningkatan kualitas dan intensitas komunikasi dan koordinasi, baik
antara pengambil kebijakan dengan implementor kebijakan, antar SKPD
implementor kebijakan, antar personal implementor kebijakan, maupun antara
Pemerintah Kota Bandung dengan masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan;
5) Perlu perlindungan terhadap para aparatur implementor kebijakan agar dalam
melaksanakan kebijakan tidak takut dengan tekanan-tekanan dari pihak tertentu;
Page 19
39
6) Perlu ketegasan Pemerintah Kota Bandung terhadap setiap pelanggar
kebijakan penyelenggaraan reklame; 7) Pemerintah Kota Bandung harus
konsisten terhadap tujuan kebijakan penyelenggaraan reklame, jangan sampai
hanya mengutamakan peningkatan pendapatan pajak reklame tetapi
mengabaikan keselamatan umum dan estetika kota; 8) Harus dilakukan
sinkronisasi atas semua produk kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Kota Bandung agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Bardach, Eugene, 1979, The Implementation Game: What Happens After a Bill
Becomes a Law. London: The MIT Press.
Cafezio, Peter & Morehouse Debra, 1988, Secrets of Breakthrough Leadership.
Mumbai: Jaico Ching, Fancis D.K., 1991, Bentuk, Ruang, dan
Susunannya. Jakarta: Erlangga.
Davis, Keith & John W. Newstrom, 1996, Human Behavior at Work:
Organizational Behavior, 7th Edition. USA: McGraw-Hill Inc.
Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri, 1993,
Analisa dan Penyusunan Pedoman Pengelolaan Reklame Perkotaan
(Laporan Akhir). Jakarta.
Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri 1991.
Studi Pemanfaatan dan Pengelolaan Reklame (Final Report).
Jakarta.
Dunn, William N., 1994, Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey:
Prentice-Hall International, Inc, Englewood Cliffs.
Dye, Thomas R., 1981, Understanding Public Policy. Englewood Cliffs:
Prentice-Hall, Inc.
Edwards III, G.C. dan Ira Sharkansky, 1978, The Policy Predicament. San
Francisco: W.H. Freeman and Company.
Page 20
40
--------, 1980, Implementing Public Policy. Washington: Congressional
Quarterly Inc.
Grindle, M.S. & John W. Thomas, 1980a, Public Choises and Policy Change:
The Political Economy of Reform in Develoving Countries. London:
John Hopkins University Press.
---------, 1980b, Politics and Policy Implementation in The Third Word. New
Jersey: Princeton University Press.
Hoogwood, Brian W. & Lewis A. Gunn, 1984, Policy Analysis for The Real
Word. New York: Oxford University Press.
Islamy, Irfan M., 1984. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta:
Bina Aksara.
Jones, Charles O., 1984, Pengantar Kebijakan Publik (Terjemahan). Jakarta:
P.T. Raja Grafindo Persada.
Kantor Litbang Kota Bandung Bekerja sama dengan PT. Massuka Pratama,
2004, Ringkasan Eksekutif Kajian Penanganan dan Penataan Reklame
di Kota Bandung.
Mazmanian, D.A. & Paul A. Sabatier, 1983, Implementation and Public Policy.
London: Scott, Foresman and Company.
Milles, Mathew B & A, Michael Huberman, 1992, Qualitative Data Analysis.
London: Sage Publications Inc.
Nawawi, Hadari, 1996, Metode Penelitian Ilmiah. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Nugroho, Riant, 2009, Public Policy (Edisi Revisi). Jakarta: P.T. Elex Media
Komputindo.
Parson, Wayne, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan
(Alihbahasa: Tri Wibowo Budi Santoso), 2008. Jakarta: Kencana PMG.
Ripley, R.B., 1984, Policy Analysis in Political Science. Chicago: Nelson – Hall
Publishers.
Page 21
41
Saefullah, Djadja, 2008a (cetakan kedua), Pemikiran Kontemporer Administrasi
Publik Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Era
Desentralisasi. Bandung: LP3AN FISIP UNPAD.
Shirvani, Hamid, 1985, The Urban Design Process. New York: Van Nostrand
Reinhold.
Simon, Herbert A., 1976, Administrative Behavior. New York: Mc.Millan
Publishing..
Sugiyono, 2000, Metode Penelitian Administrasi. Bandung: C.V. Alfa Beta.
-----------, 2008, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: C.V. Alfa Beta.
Tachjan, 2008 (cetakan kedua), Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI
Bandung – Puslit KP2W LEMLIT UNPAD.
Thoha, Miftah, 1984, Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara.
Jakarta: Rajawali.
Van Meter, Donald S., and Van Horn, Carl E, 1975, The Policy Implementation
Process: A Conceptual Framework. Administration and Society.
Wahab, Solichin Abdul, 2008a. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang:
UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.
---------, 2008b (cetakan keenam), Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Yulisar, Bakti, 1999, Studi Faktor Nilai Strategis Lokasi dalam Penempatan
Reklame (Tesis Magister). Bandung: Program Magister Perencanaan
Wilayah dan Kota, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi
Bandung.
Zahnd, Markus, 2006, Perancangan Kota Secara Terpadu, Teori Perancangan
Kota dan Penerapannya. Yogyakarta: Kanisius.
Dokumen-dokumen:
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2008.
Page 22
42
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 17 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Reklame.
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 08 Tahun 2003 tentang Pajak Reklame.
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2007 tentang Perubahan atas
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 17 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Reklame.
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 05 Tahun 2002 tentang Retribusi
Kekayaan Daerah dan Pematangan Tanah.
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2004 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2006.
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang
Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun
2005.
Peraturan Walikota Bandung Nomor 407 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Penyelenggaraan Reklame.
Peraturan Walikota Bandung Nomor 470 Tahun 2008 tentang Perubahan
Peraturan Walikota Bandung Nomor 407 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Penyelenggaraan Reklame.