MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT DINAS HIDRO-OSEANOGRAFI IMPLEMENTASI HIDROGRAFI UNTUK MENDUKUNG PERTAHANAN NEGARA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN INDONESIA SEBAGAI POROS MARITIM DUNIA DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU NASKAH DALAM LOMBA KARYA TULIS ILMIAH OLEH SUCIPTO, A.MD MAYOR LAUT (P) NRP 13445/P NASKAH DALAM LOMBA KARYA TULIS ILMIAH PRAJURIT/PNS TNI DALAM RANGKA HARI HIDROGRAFI DUNIA 2016
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT
DINAS HIDRO-OSEANOGRAFI
IMPLEMENTASI HIDROGRAFI UNTUK MENDUKUNG PERTAHANAN
NEGARA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN INDONESIA
SEBAGAI POROS MARITIM DUNIA
DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU NASKAH DALAM
LOMBA KARYA TULIS ILMIAH
OLEH
SUCIPTO, A.MD
MAYOR LAUT (P) NRP 13445/P
NASKAH DALAM LOMBA KARYA TULIS ILMIAH PRAJURIT/PNS TNI
DALAM RANGKA HARI HIDROGRAFI DUNIA
2016
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT
DINAS HIDRO-OSEANOGRAFI
ABSTRAK
Dihadapkan pada aspek geografi dan luas wilayah Indonesia, implementasi hidrografi guna
mendukung pertahanan negara dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim
dunia dapat diwujudkan melalui penerapan strategui, kebijakan, dan upaya yang diarahkan
untuk mendorong terwujudnya desentralisasi organisasi Dishidros TNI Angkatan Laut dan pemenuhan kebutuhan peralatan survei hidrografi secara ideal guna dapat melaksanakan, khususnya
kegiatan survei dan pemetaan di seluruh wilayah Indonesia.
---------------
Kata Kunci: lingkungan strategis, hidrografi, pertahanan negara, dan poros maritim.
ABSTRACT
Challenging the geography aspect and vast of Indonesia territory, the implementation of hydrography
in order to support national defense to establish Indonesia maritime fulcrum vision can be realized
through the implementation of strategy , policies, and efforts that directed to promote the establishment
of a decentralized organization of Dishidros and ideally fulfillment of hydrographic survey equipment’s.
-------------
Keywords: hydrography, defense, and maritime fulcrum.
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT
DINAS HIDRO-OSEANOGRAFI
DAFTAR ISI
ISI HALAMAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………….......................... 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………. 3
1.3 Tujuan ……………………………………………………………... 3
1.4 Manfaat ……………………………………………………………. 3
BAB II KERANGKA TEORI
2.1 Teori Kedaulatan Negara Atas Wilayah ………………………….. 4
2.2 Teori Penentuan Batas Laut dan Maritim ………………………… 4
2.3 Teori dan Praktek Penentuan Garis Batas Laut Maritim …………. 4
2.4 Prinsip Dasar Klaim ZEE dan Landas Kontinen …………………. 4
2.5 Prinsip Penetapan Batas Laut dan Maritim antar Negara ………… 5
2.6 Teori dan Prinsip Zonasi Maritim Berdasarkan UNCLOS 1982 … 5
negara telah turut pula menambah kompleksitas dan dinamika lingkungan strategis di kawasan Asia
Pasifik. Kepentingan negara-negara di kawasan Asia Pasifik diprediksi akan lebih banyak muncul dan
berasal dari domain maritim, sehingga dinamika dan interaksi militer serta perkembangan kekuatan
militer di kawasan ini akan diletakkan pula dalam konteks tersebut. Dimensi maritim akan memberikan
banyak pilihan strategis bagi negara-negara di kawasan ini untuk memproyeksikan kemampuan
pertahanan mereka hingga ke luar batas teritori nasionalnya.
Lebih dari itu, pembangunan dan pengembangan kekuatan militer di kawasan ini juga dipicu oleh
isu perbatasan negara, sebagai isu yang sangat sensitif dalam percaturan dunia. Perlindungan Hukum
Internasional terhadap kedaulatan suatu negara di wilayah maritim tidaklah sama dengan perlindungan
kedaulatan di darat.2 Hukum internasional sama sekali tidak memberi toleransi pada intervensi atau
penetrasi militer asing terhadap negara lainnya,3 namun pelanggaran-pelanggaran wilayah laut dan/atau
maritim tidak mendapat perlindungan serupa dari PBB. Mengalir dari berbagai uraian di atas, berbagai
fakta empirik telah memperlihatkan bahwa tujuan setiap bangsa membentuk sistem pertahanan,
khususnya sistem pertahanan laut dan maritim, adalah untuk memberdayakan kekuatannya dalam rangka
melindungi kepentingan nasionalnya di laut. Oleh karenanya jika ditinjau dari perspektif pertahanan,
cita-cita besar untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, dapat dijadikan sebagai
momentum untuk membangun sistem pertahanan negara berbasis kemaritiman secara komprehensif, dan
tersebut sejalam dengan ayat (2) pasal 3; Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara yang menyatakan bahwa pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis
Indonesia sebagai negara kepulauan.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2015 tentang Kebijakan Umum
Pertahanan Negara Tahun 2015-2019, telah menetapkan visi nasional untuk mewujudkan Indonesia yang
berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Dimana untuk mewujudkan visi
tersebut, terdapat tujuh misi yang harus dilaksanakan oleh jajaran Kementerian Pertahanan dan
kementerian lainnya yang terkait dengan aspek pertahanan.4 Secara lugas, misi pembangunan pertahanan
negara memberikan titik berat pada pencapaian visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, yakni
mewujudkan keamanan nasional yang menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber
daya maritim dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan, memperkuat jati diri
2 Anwar, Dewi Fortuna. (2000). Wawasan Masa Depan Tentang Sishankamneg: Antara Harapan dan
Kemungkinan. Jakarta: The Habibie Center, hal 1. 3 Seperti dapat dilihat dari reaksi keras PBB terhadap tindakan pasukan perang Iraq di Kuwait, namun tidak
terhadap klaim China di Laut China Selatan. 4 Makajak: LKTI Prajurit/PNS TNI dan Masyarakat Umum Dalam Rangka Hari Hidrografi Dunia 2016. Jakarta:
Dishidros, hal 2.
3
sebagai negara maritim, dan mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat,
dan berbasiskan kepentingan nasional.5
Dihubungkan dengan masalah delimitasi atau penetapan perbatasan laut dan maritim yang
memiliki kompleksitas akibat rumitnya persoalan yang berhubungan dengan konvensi atau praktek-
praktek hukum internasional yang belum dapat digunakan untuk mendukung penyelesaian berbagai
kasus batas laut dan maritim. Dimana salah satu faktor yang mendorong kompleksitas penyelesaian
masalah perbatasan adalah adanya prinsip-prinsip hukum laut internasional tentang perjanjian batas
maritim antar negara bersifat final binding atau tidak dapat diubah, sehingga salah satu pihak tidak dapat
menuntut perubahan garis batas negara setelah batas negara tersebut disepakati. Hal tersebut pada
akhirnya mendorong banyak negara sangat berhati-hati dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan
laut dan maritim. Berbagai kondisi yang telah diuraikan di atas, salah satunya akan bermuara pada
urgensi untuk mengimplementasikan hidrografi melalui pedekatan yang lebih komprehensif sebagai
salah satu acuan strategi dalam pengamanan wilayah laut nasional mendukung misi pembangunan
pertahanan negara pada pencapaian visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
1.2. Rumusan Masalah. Mencermati berbagai aspek yang berhubungan dengan eksistensi
potensi konflik di Laut China Selatan (South China Sea) yang terlait dengan klaim China atas Laut China
Selatan, dan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (12/07/2016) yang telah memutuskan bahwa
tidak ada dasar hukum apapun bagi China untuk mengklaim hak historis terkait sumber daya alam di
lautan yang disebut masuk di dalam sembilan garis batas (the nine dash lines) serta ketegangan antara
Indonesia dan China di Perairan Natuna (ZEEI) beberapa waktu lalu, maka rumusan masalahnya adalah
bagaimana dinamika kondisi lingkungan strategis yang terjadi dan cenderung untuk senantiasa
berfluktuasi tersebut dapat dijadikan sebagai momentum dan memberi dorongan kepada bangsa
Indonesia untuk mengimplementasikan hidrografi melalui pedekatan yang lebih komprehensif sebagai
salah satu acuan strategi dalam pengamanan wilayah laut nasional mendukung misi pembangunan
pertahanan negara pada pencapaian visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
1.3. Tujuan. Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini memberikan deskripsi dan analisis untuk
mengimplementasikan hidrografi melalui pedekatan yang lebih komprehensif sebagai salah satu acuan
strategi dalam pengamanan wilayah laut nasional mendukung misi pembangunan pertahanan negara
pada pencapaian visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
5 Ibid.
4
1.4. Manfaat. Penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis
untuk menambah khasanah keilmuan yang berhubungan dengan hidrografi di Indonesia.
Sedangkan secara praktis harapannya adalah dapat digunakan sebagai referensi akademis dan
masukan bagi para pemangku kewenangan bidang hidrografi di Indonesia.
5
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1. Teori Kedaulatan Negara Atas Wilayah.6 Sebuah negara dikatakan merdeka hanya jika ia
dapat menjalankan apa yang disebut sebagai otoritas tertinggi dalam batas-batas wilayah. Kepemilikan
dan penguasaan wilayah kemudian menjadi syarat berdirinya suatu negara dalam interaksi politik antar
bangsa atau pergaulan internasional. Kedaulatan negara atas suatu wilayah merupakan salah satu prinsip
dasar bagi terciptanya hubungan internasional yang damai. Prinsip-prinsip kedaulatan negara bersifat
fundamental yang dapat diaktualisasikan dengan perkembangan kontemporer hukum Internasional
dewasa ini. Kedaulatan dapat dimaknai dengan pengertian yang dikandung oleh konsep domestic
jurisdiction. Klaim yurisdiksi nasional yang bersifat unilateral oleh masing-masing negara-negara dalam
sengketa perbatasan laut dan maritim dimaksud, telah mengakibatkan munculnya masalah perbatasan
laut dan maritim yang cukup rumit dan sulit untuk diselesaikan, karena masing-masing pihak
menggunakan argumen dan sudut pandang yang sangat berbeda.
2.2. Teori Penentuan Batas Laut dan Maritim. Untuk menentukan batas maritim suatu negara,
digunakan titik pangkal atau titik dasar maupun garis pangkal dengan memperhatikan kondisi pasang
surut kawasan tersebut. Letak titik pangkal atau titik dasar maupun garis pangkal tersebut akan selalu
dan harus berada pada air rendah. Pada peta laut, kedudukan air rendah digambarkan dengan garis
kedalaman nol meter dan selalu diberi warna hijau untuk daerah inter tidal (kawasan gerakan pasang
surut) sebagai referensi vertikal (vertical references), baik untuk peta darat maupun peta laut
menggunakan muka air laut (sea level).
2.3. Teori dan Praktek Penentuan Garis Perbatasan Wilayah Maritim. Perjanjian untuk
menentukan garis perbatasan wilayah maritim dengan negara lain, dilakukan dalam beberapa tahap, di
antaranya dengan menentukan titik dasar dan garis pangkal yang akan dipergunakan dalam penentuan
batas maritim tersebut. Pada prakteknya tidak semua titik dasar dan garis pangkal yang sudah ditentukan
oleh suatu negara dapat diterima oleh negara lain, sehingga perlu atau akan dibuat titik dasar dan garis
pangkal baru yang khusus berlaku untuk mendukung perjanjian dimaksud, yang masih harus
dirundingkan lebih intensif sesuai dengan tahapan agenda pembahasan dalam perundingan untuk
menentukan garis perbatasan wilayah maritim baik secara bilateral maupun trilateral.
6 Thantowi, Jawahir. (2006). Hukum Internasional Kontemporer. hal. 169-185.
6
2.4. Prinsip Dasar Klaim Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Antara klaim ZEE
dan Landas Kontinen dapat saling melengkapi sebagai dua konsepsi dalam penetapan batas klaim
yurisdiksi eksklusif. Di sisi lain, maka dalam penetapan delimitasi Landas Kontinen dan ZEE dapat
mempertimbangkan hasil-hasil konvensi maupun praktek-praktek yang berlaku (customary rules)
dengan memperhatikan berbagai hasil putusan International Court of Justice (ICJ), seperti halnya
keputusan ICJ terhadap kasus Landas Kontinen Laut Utara pada tahun 1965 (The North Sea Continental
Shelf Case 1965) antara Jerman dengan Denmark dan Jerman dengan Belanda ataupun keputusan ICJ
terhadap kasus Landas Kontinen Selat Channel pada tahun 1965 (The Channel Continental Shelf Case
1969), antara Inggris dengan Perancis, serta keputusan Mahkamah Arbitrase internasional terhadap kasus
klaim China atas Laut China Selatan antara China dengan Philippina pada tahun 2016 (South China Sea
Arbitration Case 2016)
2.5. Prinsip Penetapan Batas Laut dan Maritim Antar Negara. Penetapan batas wilayah suatu
negara yang berhadapan ataupun berdampingan harus dilakukan melalui suatu perjanjian yang bersifat
mengikat. Akan tetapi jika belum terdapat kesepakatan terhadap perbatasan wilayah suatu negara, maka
negara yang bersangkutan dapat melakukan persetujuan sementara (temporary agreement) baik berupa
penetapan Zona Pengembangan (Joint Development Zone, JDZ) maupun Zona Kerjasama (Joint
Cooperation Zone, JCZ). Selanjutnya, penetapan perbatasan laut dan maritim secara unilateral tersebut,
harus memperhatikan atau memiliki kewajiban terhadap hak-hak internasional, dengan kata lain tidak
boleh mengakibatkan terganggunya atau bahkan menghilangkan hak-hak masyarakat internasional.
Dalam kasus penetapan perbatasan laut dan maritim antara Indonesia dengan beberapa negara tetangga
secara unilateral, maka prinsip-prinsip penetapan perbatasan laut dan maritim antar negara tersebut dapat
digunakan sebagai bahan acuan dalam penyelesaian permasalahan perbatasan maritim melalui
perundingan. Selain itu, maka secara politis dan diplomatis, negara tetangga akan lebih mudah
mengetahui posisi Indonesia dalam rangka penyelesaian masalah perbatasan laut dan maritim.
2.6. Teori dan Prinsip Zonasi Maritim Berdasarkan UNCLOS 1982. The United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) Tahun 1982, mengatur kewenangan suatu negara akan
laut. Disebutkan bahwa sebuah negara pantai (coastal state) berhak atas laut teritorial sejauh 12 mil laut,
zona tambahan sejauh 24 mil laut, zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut, dan landas kontinen
(dasar laut) sejauh 350 mil laut atau lebih (lihat Gambar 2.1).7 Selain itu diatur juga apa yang dimaksud
7 United Nations. (1982). United Nations Convention on the Law of the Sea, diakses pada tanggal 25 Juni 2016,
laut bebas dan Kawasan (the Area). Lebar masingmasing zona ini diukur dari garis pangkal (baselines)
yang dalam keadaan biasa merupakan garis pantai saat air surut terendah.8
Gambar 2.1 Zona maritim berdasarkan UNCLOS. Diadaptasi dari Arsana dan Schofield (2009).9
2.7. Teori Organisasi. Teori organisasi adalah disiplin ilmu yang mempelajari struktur dan
perancangan (disain) organisasi.10 Teori ini menunjuk aspek-aspek deskriptif maupun preskriptif dari
disiplin ilmu tersebut, tentang bagaimana organisasi sebenarnya distruktur dan/atau dikonstruksi guna
meningkatkan efektifitasnya.11 Sedangkan organisasi itu sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu
kesatuan atau entitas sosial yang dikoordinasikan dengan sebuah batasan yang secara relatif dapat
diidentifikasi untuk mencapai suatu tujuan bersama.12 Dari definisi tersebut, maka dapat ditarik suatu
pemahaman, bahwa secara garis besar organisasi dibentuk oleh tiga unsur utama, yaitu orang sebagai
8 Ibid, pasal 5. 9 I Made Andi Arsana. (2009) Berbagi Laut dengan Tetangga: Melihat Kasus Indonesia dan Malaysia di
Perairan Tanjung Brakit, diakses pada tanggal 25 Juni 2016, Pukul 09.25 WIB,
http://madeandi.staff.ugm.ac.id/files/berbagilaut-arsana.pdf 10 Robbins, Stephen P. (1983). Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi. (Jusuf Udayana, Lic., Ec.,
entitas sosial, koordinasi atau kerjasama, dan tujuan bersama. Ketiganya merupakan unsur yang bersifat
interdependensi, namun memiliki interrelasi sebagai sebuah kesatuan. Dalam perjalanannya suatu
organisasi dapat dikembangkan, dimana proses pengembangannya dapat dipahami sebagai suatu proses
yang terencana untuk mengembangkan kemampuannya.13 Implementasi hidrografi untuk mendukung
pertahanan negara dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, memiliki
keterkaitan dengan kebutuhan untuk senantiasa menyempurnakan dan/atau mengembangkan konsep
organisasi melalui penataan organisasi sebagai wujud dari proses adaptasi terhadap perkembangan
lingkungan strategis. Penataan organisasi dimaksud, secara prinsip akan membutuhkan beberapa hal
diantaranya: (a) kompetensi orang sebagai salah satu unsur di dalamnya, selaku pengawak organisasi;
(b) alat dan peralatan untuk mendukung peran dan fungsinya; serta (c) sinergitas berupa kerjasama
dengan berbagai instansi terkait lainnya, dalam rangka mengaktualisasikan visi dan misi organisasi.
13 McGill, Michael E. (1980). Buku Pedoman Pengembangan Organisasi, (Rochmulyati Hamzah, Penerjemah),
Jakarta: PT. Binaman Pressindo dan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM), hal. 6.
9
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Tipe.
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang bermaksud menerangkan kebenaran ilmiah. Pada
prinsipnya kegiatan penelitian dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan
pendekatan kuantitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, adalah
pendekatan kualitatif deskriptif, yaitu pendekatan yang menghasilkan data dan/atau informasi yang
bersifat deskriptif yang digambarkan melalui data dan/atau informasi tertulis, lisan melalui orang-orang
(kompetensi individu yang terkait dengan subyek penelitian), serta pengamatan terhadap perilaku
organisasi. Berbeda dengan metode penelitian kuantitatif yang menekankan kepada cara berpikir
positivis dengan titik tolak fakta sosial yang ditarik dari realitas obyektif.14 Metode penelitian kualitatif
bertitik tolak dari paradigma fenomenologis yang obyektivitasnya dibangun atas rumusan tentang situasi
tertentu, sebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu dan relevan dengan
tujuan dari penelitian itu.15 Perbedaan lainnya terletak pada tujuan penelitian metode penelitian kualitatif
yang tidak selalu dilakukan untuk mencari suatu sebab akibat, tetapi lebih berupaya untuk memahami
situasi tertentu.16
Oleh karena itu, penelitian kuantitatif (dalam ilmu sosial) memiliki internal validity atau linking
power, sehingga harus ditafsirkan atau dipahami sebagai pendekatan akademik yang menekankan
keakuratan deskripsi pada setiap variabel dan keakuratan hubungan antara satu variabel dengan variabel
lainnya.17 Selanjutnya, beberapa alasan dari digunakannya metode pendekatan atau penelitian kuantitatif
ini antara lain adalah:
3.1.1 Penulis atau peneliti didorong untuk melakukan penelitian atau pembuktian secara
ilmiah, dengan membandingkan kesesuaian antara berbagai teori akademis terkait dengan
berbagai kondisi, temuan, fakta, maupun hasil studi di lapangan; dan
3.1.2 Penulis atau peneliti dapat mempercayai fenomena yang terjadi maupun fakta-fakta yang
ditemukannya dalam proses penelitian, sehingga memiliki netralitas dalam menyusun hasil
penelitiannya atau tidak memiliki apriori terhadap subyek penelitian.
14 Moleong, Lexy, J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 2-6. 15 Ibid. 16 Ibid. 17 Krathwohl, David R. (1993). Methods of Educational and Social Science Research: An Integrated Approach
dalam Prasetya, Irawan, (2006). Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Departemen
Ilmu Administrasi FISIP-UI.
10
3.2. Fokus Penelitian/Penulisan.
Posisi geografis Indonesia sangatlah strategis, karena terletak dipersilangan dua samudera, Pasifik
dan Hindia, serta dua benua, Asia dan Australia. Selain memberikan competitive advantage, ternyata
juga menjadi daya tarik kepentingan global, yang jika tidak dapat dikelola dengan baik, akan dapat
menjadi sumber kerawanan dan ancaman, khususnya terhadap terhadap lingkungan hidup, sumber daya
alam, serta keamanan perairan yurisdiksi nasional Indonesia. Tata kelola keamanan laut di Indonesia saat
ini, dihadapkan pada kepentingan untuk mewujudkan visi dan misi Indonesia sebagai poros maritim
dunia akan berinterseksi dengan keterbatasan kemampuan dan kapasitas aset keamanan laut yang belum
sebanding dengan luasnya wilayah perairan, laut, dan maritim Indonesia, sehingga berpotensi
memunculkan berbagai kerawanan terhadap terjadinya pelanggaran kedaulatan dan hukum di seluruh
wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia.
Salah satu aset keamanan laut dimaksud, adalah Dinas Hidro-Oseanografi (Dishidros) yang
merupakan Badan Pelaksana Pusat (Balakpus) Mabes TNI Angkatan Laut (Mabesal). Sebagaiman
disebutkan dalam Perpres RI Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional
Indonesia (Pasal 109), Dishidros bertugas sebagai pembina fungsi Hidro-Oseanografi (Hidros) dalam
rangka mendukung keselamatan navigasi di laut untuk kepentingan TNI, maupun kepentingan umum
(publik). Tugas tesebut meliputi aktivitas survei, pemetaan, penelitian, dan informasi kenautikaan, dalam
rangka mendukung keamanan dan keselamatan pelayaran di laut, baik bagi kepentingan TNI/TNI
Angkatan Laut maupun kepentingan umum (publik).
Tugas dan fungsi Dishidros, selanjutnya diarahkan untuk menghasilkan produk-produk berupa
peta laut dan buku-buku nautika, serta publikasi nautis lainnya. Kegiatan survei dan pemetaan hidrografi
memiliki nilai penting dan strategis untuk mendukung kepentingan aspek militer, maupun kepentingan
umum (nasional), utamanya demi terselenggaranya pembangunan sektor kelautan. Dalam
implementasinya, peran Dishidros sebagai lembaga hidrografi militer untuk mendukung fungsi
pertahanan dirasakan belum optimal. Oleh karenanya, fokus penelitian atau penulisan karya tulis Ilmiah
akan mendiskusikan dan mencoba mencari jawaban tentang urgensi dalam mengimplementasikan aspek
hidrografi untuk mendukung pertahanan negara dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros
maritim dunia
3.3. Subyek Penelitian/Penulisan. Subjek penelitian atau penulisan merupakan seseorang
atau sesuatu mengenai yang mengenainya ingin diperoleh keterangan.18 Sedangkan pendapat lainnya