Top Banner
IKHTILAF AL-HADIS: Tela’ah Metodologis Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif 1 Abstrak Dalam kajian hadis, salah satu persoalan yang banyak diperdebatkan adalah adanya hadis-hadis yang matannya tampak saling bertentangan atau hadis mukhtalif. Secara praktis, keberadaan hadis-hadis seperti di atas dapat menimbulkan kebingungan dalam mengambil kepastian ajaran (ketentuan hukum) darinya; manakah diantara keduanya yang harus diikuti dan diamalkan. Bahkan bagi sebahagian kalangan, keberadaan hadis-hadis ini menjadi dasar arumentasi mereka untuk menolak hadis sebagai sumber ajaran. Namun, berangkat dari suatu pemikiran bahwa tidak mungkin akan terjadi kontradiksi antara hadis mengingat ia berasal dari satu sumber, rasululah saw, maka para ulama merumuskan metodologi untuk menyelesaikan pertentangan tersebut, yaitu al-jam’u, al-naskh, dan al-tarjih. Mereka menegaskan bahwa penggunaan metode ini harus dilakukan secara bertahap (hierarki) dan bukan pilihan. Karena itu mereka mendahulukan penggunaan metode al-jam’u (kompromi) sehingga masing-masing hadis dapat diamalkan sesuai situasi dan kondisi yang menyertainya. Langkah ini dipilih agar tidak terjadi pengabaian dan atau penolakan terhadap sebuah sunnah, sebuah sikap yang banyak dipegang oleh umat Islam pada masa sekarang akibat ketergesaan dalam memahami hadis-hadis nabi. Kata Kunci: ikhtilaf, al-jam’u, al-naskh, al-tarjih, al-tawaqquf 1 Telah diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Agama, Desember 2009, Tahun 10, Nomor 2, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam IAIN Raden Fatah Palembang Page | 1
24

ikhtilaf hadis

Mar 08, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: ikhtilaf hadis

IKHTILAF AL-HADIS:Tela’ah Metodologis Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif1

AbstrakDalam kajian hadis, salah satu persoalan yangbanyak diperdebatkan adalah adanya hadis-hadis yangmatannya tampak saling bertentangan atau hadismukhtalif. Secara praktis, keberadaan hadis-hadisseperti di atas dapat menimbulkan kebingungan dalammengambil kepastian ajaran (ketentuan hukum)darinya; manakah diantara keduanya yang harusdiikuti dan diamalkan. Bahkan bagi sebahagiankalangan, keberadaan hadis-hadis ini menjadi dasararumentasi mereka untuk menolak hadis sebagaisumber ajaran. Namun, berangkat dari suatupemikiran bahwa tidak mungkin akan terjadikontradiksi antara hadis mengingat ia berasal darisatu sumber, rasululah saw, maka para ulamamerumuskan metodologi untuk menyelesaikanpertentangan tersebut, yaitu al-jam’u, al-naskh, danal-tarjih. Mereka menegaskan bahwa penggunaan metodeini harus dilakukan secara bertahap (hierarki) danbukan pilihan. Karena itu mereka mendahulukanpenggunaan metode al-jam’u (kompromi) sehinggamasing-masing hadis dapat diamalkan sesuai situasidan kondisi yang menyertainya. Langkah ini dipilihagar tidak terjadi pengabaian dan atau penolakanterhadap sebuah sunnah, sebuah sikap yang banyakdipegang oleh umat Islam pada masa sekarang akibatketergesaan dalam memahami hadis-hadis nabi.

Kata Kunci: ikhtilaf, al-jam’u, al-naskh, al-tarjih, al-tawaqquf

1Telah diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Agama, Desember 2009, Tahun 10,Nomor 2, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam IAIN Raden Fatah Palembang

Page | 1

Page 2: ikhtilaf hadis

Sebagai seorang Rasul, Muhammad mempunyai tugas utamaberupa menyampaikan wahyu (al-Qur’an) dan menjelaskan isikandungannya.(al-Syalabi: 1981, 23). Tugas sebagai penjelasal-Qur’an (mubayyin al-Qur’an) diaplikasikan oleh Nabi dalambentuk nasehat dan pengajaran serta praktek kehidupansehari-hari. Inilah yang kemudian direkam dan dicatat olehsahabat-nya dalam bentuk hadis. Dapat dikatakan bahwa tugaskedua ini tidak kalah pentingnya dengan tugas beliau yangpertama mengingat sebahagian besar ayat-ayat al-Qur’anbersifat global, masih membutuhkan penjelasan lebih lanjutagar dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Terkait dengan peran sentral hadis sebagai bayan al-Qur’an (QS. Al-Nahl: 44), ulama kemudian - sepakatmenempatkannya sebagai salah satu sumber ajaran Islam.Namun pada kenyataannya, bukan suatu hal yang mudah untukmenjadikan hadis sebagai dasar argmentasi dari sebuahkonsep ajaran. Pada satu sisi, hadis harus memenuhikriteria dan syarat untuk dapat dijadikan hujjah. Sementarapada sisi lain harus menempuh cara yang rumit dan berbelitdalam memahami teksnya. Dalam hal ini, dapat dikatakanbahwa lahirnya ulumul hadis merupakan hasil kerja keraspara ulama untuk menyelesaikan problem yang terkait dengandua persoalan di atas.

Salah satu persoalan yang muncul di wilayah pemahamanhadis adalah adanya hadis-hadis yang matannya tampak salingbertentangan. Adanya hadis-hadis seperti ini merupakansebuah fenomena umum karena banyak dijumpai dalam kitab-kitab hadis. Misalnya, Abu Hurairah meriwayatkan sebuahhadis bahwa Rasulullah melarang buang hajat dengan posisimenghadap kiblat. Akan tetapi, Ibn ‘Umar mengatakan bahwaia sendiri pernah melihat Rasulullah buang hajat denganposisi menghadap kiblat (Muslim: 1988, 137-138). Duariwayat di atas menunjukkan secara jelas adanyapertentangan makna atau ketentuan hukum yang dapat diambil;dimana hadis pertama berisi larangan, sementara hadis keduamembolehkannya.

Page | 2

Page 3: ikhtilaf hadis

Secara praktis, keberadaan hadis-hadis seperti di atasdapat menimbulkan kebingungan dalam mengambil kepastianajaran (ketentuan hukum) darinya; manakah diantara keduanyayang harus diikuti dan diamalkan. Apakah pengamalantersebut harus dengan melaksanakan salah satu danmeninggalkan yang lain, ataukah ada kemungkinan melakukanlangkah-langkah kompromi agar keduanya dapat diamalkan,mengingat keduanya merupakan sunnah Nabi yang nota benemempunyai peluang yang sama untuk diamalkan. Menyikapikesulitan dalam menghadapi hadis-hadis ini, para ulamakemudian merumuskan bagaimana langkah metode menyelesaikanpertentangan di antara hadis-hadis Nabi. Hanya saja, ketikaberhadapan dengan kasus-kasus di lapangan, mereka berbedapendapat dalam penerapan penggunaan metode tersebut. Karenaitu, tidak heran apabila perbedaan penerapan metode iniberakibat pada timbulnya perbedaan pendapat (ikhtilaf) dikalangan ulama - terutama ulama fiqh (Al-Bayanuni: 1997,21; ‘Awwamah: 1997, 16).

Di samping itu, adanya hadis-hadis ini ternyata telahdimanfaatkan oleh segelintir umat Islam yang hendakmenggoyahkan kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islamyang wajib dipegang dan diamalkan. Seperti dijelaskan olehEdi Safri (1990: 7), salah satu argumen akal yangdikemukakan kelompok inkar sunnah adalah dengan mengembangkanpemahaman bahwa tidak mungkin Rasulullah akan menyampakanhadis-hadis seperti itu karena pertentangan tersebut dapatmenimbulkan perselisihan dan perpecahan di antara umat.Justru, adanya hadis-hadis seperti ini membuktikan bahwaapa yang disebut sebagai hadis bukanlah berasal dariRasulullah, melainkan merupakan pandangan dan pendapat dariberbagai golongan dalam Islam, sesuai dengan kepentinganmereka.

Dalam sejarah perkembangan ilmu hadis, persoalan-persoalan yang terkait di seputar hadis-hadis inimerupakan salah satu objek perhatian ulama hinggamelahirkan satu disiplin ilmu hadis yang disebut ‘Ilm MukhtalifHadis. Namun sayangnya, warisan ulama yang sangat berharga

Page | 3

Page 4: ikhtilaf hadis

ini hampir terlupakan dan lebih banyak tersimpan di dalamkitab-kitab warisan masa lalu, baik kitab syarah hadismaupun kitab-kitab fiqh klasik. Sebagai akibat dari krisiskeilmuan ini, - seperti disinyalir oleh Yusuf al-Qaradhawi(1994: 27), pada akhirnya melahirkan dua kelompok umatIslam yang berdiri pada dua kutub yang berlawanan. Di satusisi berdiri kelompok yang bersikap ekstrem dalam memahamihadis, sementara di sisi lain berdiri satu kelompok yangbersikap sebaliknya, seperti yang terjadi di masa sekarang.Padahal mereka inilah yang seringkali terjerumus dalamkekeliruan pemahaman, akibat kurangnya penguasaan terhadapilmu-ilmu hadis. Karena itu, mengingat pentingnya persoalanhadis mukhtalif, tulisan berikut akan mencoba menela’ahdasar metodologi yang dirumuskan ulama dan bagaimanalangkah yang mereka tawarkan dalam menyelesaikanpertentangan dalam hadis-hadis tersebut.A. Pengertian Hadis Mukhtalif

Dari segi bahasa, kata “mukhtalif” adalah bentuk isimfa’il dari kata ikhtilaf, yang merupakan bentuk mashdardari kata ‘ikhtalafa’ (fi’il madhi). Secara bahasa, kataikhtilaf bermakna “ketidaksamaan, ketidakserasian atauketidakcocokan”. Dengan demikian, kata mukhtalif dapatdiartikan dengan “yang tidak sama, yang tidak cocok atauyang tidak serasi”. Lawan dari kata ikhtilaf adalah‘ittifaq’ yang berarti kesaman, keserasian.

Adapun menurut istilah, yang dimaksud dengan hadismukhtalif, seperti dinyatakan oleh al-Nawawi - sebagaimanadikutip oleh al-Suyuthi (1972: I, 196) adalah:

ح�ده�ما . ح أ و ي��رج�� هما أ ن� ي� ق� ب�� وف� ي� اه�رأ ف�� ى ظ�! ى أل�معن� ادأن( ف� ض� ان( م�ت� ث/ ي�1 ت�4ى ح�د أ ن( ي�� أArtinya: (Hadis Muktalif) adalah dua hadis yang saling

bertentangan pada makna lahiriahnya sehingga perludilakukan upaya pengkompromian atau menguatkan salahsatu di antara kedua hadis-hadis tersebut.

Page | 4

Page 5: ikhtilaf hadis

Inilah definisi hadis mukhtalif yang banyak dikutipoleh ulama hadis pasca al-Suyuthi. Definisi ini menegaskanbahwa yang dimaksud hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yangmaknanya saling bertentangan dan langkah penyelesaian dalammenghadapi hadis seperti ini adalah dengan melakukan upayakompromi. Apabila upaya kompromi tidak dpt dilakukan,selanjutnya baru ditempuh cara tarjih.. Sedikit berbeda dengan definisi di atas, al-Tahawuniy(1972: 46) memaknai hadis mukhtalif dengan:

. عسف� ر ت�� ي� غ� ها ت�� ي�ن( م�دل�ول�ن� مع ب�� مكن( أل�ج� اه�رأ وي�� ى ظ�! ى أل�معن� ان( ف� عارض�� ولان( أل�مت� ي� ان( أل�مق� ث/ ي�1 ي�Tث/ ه�ما أل�حد لف� أل�حد ت� م�خ�Artinya: Dua hadis maqbul yang maknanya secara lahir

bertentangan dan untuk itu dilakukan upaya kompromi(untuk mendamaikan pertentangan) di antara keduahadis tersebut dengan cara yang wajar.

Inilah dua definisi yang dianggap mewakili pengertianhadis mukhtalif dan menjadi referensi utama para ulamaketika mereka menguraikan topik ini dalam kitab-kitab‘ulumul hadis mereka. Dan berangkat dari dua definisi utamaini, terdapat tiga aturan umum terkait dengan persoalanhadis mukhtalif. Pertama, yang masuk dalam kategori hadismukhtalif hanyalah hadis maqbul (hadis yang memenuhipersyaratan untuk diterima dan dijadikan hujjah, yaituhadis shahih dan hadis hasan). Karena itu jika terjadipertentangan antara hadis maqbul dan hadis mardud (hadisyang ditolak), maka pertentangan tersebut tidakdikategorikan sebagai ikhtilaf. Kedua, pertentangan yangterjadi pada hadis mukhtalif bersifat lahir, bukan hakiki.Aturan kedua ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa tidakmungkin terjadi pertentangan antar hadis karena berasaldari satu sumber, Rasulullah saw. Ketiga, sebagaikonsekuensi dari aturan kedua ini, maka secara metodologis,langkah pertama dalam penyelesaian pertentangan pada hadismukhtalif dilakukan dengan metode al-jam’u atau al-tawfiq.

Page | 5

Page 6: ikhtilaf hadis

B. Kaedah Umum Penyelesaian Hadis-Hadis MukhtalifMenurut sejarah, ulama yang pertama kali merintis

penulisan ilmu mukhtalif hadis adalah Imam al-Syafi’I (150– 204 H). Pemikirannya tentang ilmu ini tertuang dalamkaryanya, al-Umm, yang bersama dengan karyanya yang lain,al-Risalat, dinilai sebagai kitab perintis di bidang ilmuushul fiqh dan ilmu hadis. Al-Umm, yang bermakna KitabInduk, sebenarnya merupakan kumpulan tulisan yangdiimla’kan Imam al-Syafi’I, yang ditulis kembali olehmuridnya al-Rabi’ah ibn Sulaiman al-Maradiy. Sang muridlahyang menamakan kumpulan tulisan ini dengan al-Umm. (EdiSafri: 1990, 50-51). Sebagai kitab induk, al-Umm mengandungbeberapa karya al-Syafi’i, seperti Jima’ al-Ilmi, Ibthal al-Istihsan,Bayan al-Afrad, Shifat al-Amr wa al-Nahy, al-Musnad dan Ikhtilaf al-Hadis.Kitab yang disebut terakhir inilah yang banyak memuatgagasan teori al-Syafi’i tentang penyelesaian persoalanhadis mukhtalif, walaupun peran karyanya yang lain jugatidak bisa dikesampingkan mengingat kitab-kitab tersebutjuga mengandung pemikirannya di bidang ini, terutama padacontoh penyelesaian kasus yang ditawarkan.

Terkait dengan persoalan hadis mukhtalif, Imam al-Syafi’i )VIII: 664) menegaskan suatu prinsip yang harusdipegang oleh ulama ketika berhadapan dengan hadis-hadisseperti ini. Prinsip tersebut adalah:

ن( دأ لا �ZZا وأحZZهم عطZZل م�ن� لا ت�� ن( ف�� عملي� أ م�سZZت� ��ZZكوي ن( ي�� لى أ eل أ ث� د أل�سZZي� ��ZZأ وح د� eدأ أ ��ZZي ن( أ ي� لف� ت� ن( م�خ� ي� ث/ دي�� �ZZه حZZول أل�ل �ZZل ع�ن( رسZZع ج� لَات��َه. طرح ض�اح�ب� لا ب�� eدأ أ ي�� عمل أ ن( ي��ست� أ ور� ج� ما لات�� ي� لا ف�� eلف� أ ت� عل أل�مخ� ج� ه ولا ت�� ى ض�اح�ب� ا ف� ث� ى ك�ل م�أع�لي� ا ف� ث� ع�لي�

Artinya: Jangan sekali-kali mempertentangkan hadis-hadisRasulullah satu sama lainnya selama mungkinditemukan jalan (cara) agar hadis-hadis tersebutdapat sama-sama diamalkan. Jangan mengabaikan salahsatu dari keduanya karena kit punya kewajiban yangsama untuk mengamalkan masing-masingnya. Oleh karena

Page | 6

Page 7: ikhtilaf hadis

itu jangan jadikan hadis-hadis tersebut sebagaibertentangan kecuali apabila tidak mungkin dapatdiamalkan selain harus meninggalkan salah satunya.

Dari pernyataan al-Syafi’i di atas dapat dipahamibahwa dalam menghadapi dua atau lebih hadis yang tampakbertentangan (mukhtalif), jangan tergesa-gesa memberikanpenilaian ada pertentangan antara kedua hadis tersebut.Tetapi sikap yang harus dikembangkan adalah mencariterlebih dahulu langkah penyelesaiannya sehingga peluanguntuk mengamalkan keduanya dapat terlaksana. Sikap sepertiinilah yang ditegaskan kembali oleh al-Qaradhawi bahwamengamalkan sebuah hadis dha’if lebih baik daripadamembuang (tidak mengamalkan) sebuah hadis shahih.

Prinsip Imam al-Syafi’i di atas, kemudian menjaditeori besar (grand theory) dalam menyelesaikan persoalanhadis mukhtalif. Teori inilah yang kemudian diikuti olehulama pada masa berikutnya, seperti Ibn Khuzaimah yangdengan lantang menyatakan bahwa ia tidak tahu kalau ada duahadis dengan sanad yang shahih, tetapi bertentanganmaknanya. Karena itu ia meminta jika ada seseorang yangtahu keberadaan hadis-hadis tersebut, agar dibawa kepadanyauntuk ditemukan jalan penyelesaiannya. (al-Baghdadiy: …,433). Argumen senada juga dinyatakan oleh Abu BakarMuhammad ibn al-Thayyib dalam rumusan teorinya:

“Ada dua jenis khabar (hadis) yang berasal dariRasulullah saw., yaitu khabar yang diketahui (diyakini)bahwa Rasulullah pernah mengucapkannya dan khabar yangtidak diyakini apakah beliau pernah mengucapkannya.Semua khabar yang diketahui Rasulullah pernahmengucapkannya, maka pada khabar-khabar tersebut tidakboleh ada ta’arudh (pertentangan) dalam bentu apapun meskisecara lahir mereka tampak bertentangan. Karena ta’arudhantara dua khabar dan antara ayat-ayat dalam al-Qur’anmengandung konsekuensi bahwa muatan makna yang satumenafikan yang lain; dan hal itu akan berakibat gugurnyataklif. Karena itu, jika ada dua hadis yang secara lahir

Page | 7

Page 8: ikhtilaf hadis

bertentangan, maka tidak dapat tidak, sesuai asumsi diatas, keduanya harus dikaitkan dengan dua waktu, duakelompok, dua orang atau dua sifat yang berbeda”.

Terkait dengan kaedah umum di atas, Syuhudi Ismail(1995: 111-113) menegaskan bahwa kaedah tersebut merupakanpendapat mayoritas karena tidak semua ulama menerapkannya.Ada ulama yang menempuh satu cara dan ada yang menggunakanberbagai metode dengan urutan yang berbeda. Namun demikian,lebih lanjut ia menegaskan, walaupun berbeda dalampenggunaan metode, terkadang hasil akhir dari penyelesaianikhtilaf tersebut banyak yang menunjukkan kesamaan.

Paling tidak, seperti dijelaskan Daniel Djuned (2002:5), dalam menyelesaikan pertentangan hadis mukhalif,terdapat dua aliran utama. Pertama, pendapat mayoritasdengan kaedah umum di atas; dan kedua, pendapat kalanganHanafiyah yang langsung menggunakan metode naskh dan tarjih,dan jika tidak dapat diselesaikan kedua hadis tersebut di-tawaqquf-kan. Tetapi, pembagian ini ditolak oleh DanielDjuned. Menurutnya kesan perbedaan tersebut timbul karenaadanya kesalahan dalam memahami istilah yang dipergunakankalangan Hanafiyah. Jika metode naskh dan tarjih versiHanafiyah ini diterapkan pada nash atau dalil syara’ yangta’arudh2, maka penilaian seperti di atas benar adanya.Tetapi masalah muncul, apakah ta’arudh sebagai yang dipahamioleh kalangan Hanafiyyah ini sama dengan pengertian ikhtilaf

2Ta’arudh dalam kalangan Hanafiyah memiliki prinsip dasar dan persyaratan yang ketat. Al-Sarakhsi – salah seorang tokoh ushuli Hanafiy - mengatakan bahwa ta’arudh mengandung makna tadhaad atau paradoksalitas yang tidak dapat dikompromikan. Sehubungan dengan adanyapertentangan ini, pada dasarnya semua hujjah atau dalil syara’ (al-Qur’an dan al-Sunnah) tidak ada yang bertentangan satu sama lain. Pertentangan yang tampak hanya disebabkan oleh ketidaktahuan kita terhadap sejarah sehingga tidak mampu membedakan yang nasikh dan yang mansukh. Adapun pertentangan dalil yang satu muhkam dan yang lain mujmal atau musykil, misalnya, tidak dipandang ta’arudh. Begitu juga tidak dikatakan ta’arudh jika pertentangan yang tampak (ikhtilaf zahir) antara dua nash yang satu bersifat umum dan yang lain mengandung makna khusus.

Page | 8

Page 9: ikhtilaf hadis

al-hadis yang bersifat lahiriyah? Setelah melakukanpembahasan terinci terhadap konsep ta’arudh Hanafiyyah,Daniel Djuned (2003: 109-111) berkesimpulan bahwa ta’arudhversi kelompok ini tidak dapat disamakan dengan ikhtilaf dalambahasan ilmu hadis. Penyamaan yang dilakukan olehsebahagian kalangan ulama-lah yang menyebabkan penilaianminor itu terjadi.

C. Kerangka Metodologis Penyelesaian Hadis Mukhtalif:Contoh Kasus

Berangkat dari uraian tentang perdebatan tentangkaedah umum dalam menyikapi persoalan ikhtilaf hadisseperti tergambar di atas, agaknya dapat dikatakan bahwadalam menghadapi kontradiksi tersebut, metode penyelesaianyang disepakati ulama adalah: pertama, metode al-jam’u;kedua, al-naskh; dan ketiga, al-tarjih. Lebih lanjut, merekamenegaskan bahwa penggunaan metode ini dilakukan secarabertahap (hierarki) dan bukan pilihan, seperti pernyataanal-‘Asqalaniy (t.th.: 60):

Hadis maqbul jika tidak ada hadis lain yangbertentangan dengannya disebut hadis muhkam. Tetapijika ada hadis setara (maqbul) lain yang bertentangandengannya, maka jika dapat dikompromikan secara wajar,hadis tersebut dipandang sebagai hadis mukhtalif. Jikatidak dapat dikompromikan dan ada data sejarah yangmenjelaskan mana hadis yang terakhir datang, maka yangdatang terakhir ini dipandang Mahmud (nasikh),sementara hadis yang datang lebih awal dipandangmansukh. Jika langkah ini tidak dapat dilakukan (karenatidak ada data sejarang yang dapatdipertanggungjawabkan) maka jalan yang harus ditempuhselanjutnya adalah tarjih. Jika inipun tidak daptdilakukan maka hadis-hadis yang bertentangan tersebutharus di-tawaqquf-kan.

Page | 9

Page 10: ikhtilaf hadis

Namun, walaupun sepakat dalam hierarkis metode, tetapidalam praktek penyelesaian sebuah kasus, terkadang seorangulama cenderung memilih sebuah metode tertentu, sementaraulama lain menetapkan penggunaan langkah yang lain pula.Hal ini dapat dimaklumi mengingat pemilihan sebuah metodesangat terkait dengan penguasaan ilmu dan informasi yangberkenaan dengan hadis tersebut. Seorang ulama yangmemiliki banyak indikator (qarinah) tentu akan lebihmempunyai banyak pertimbangan dalam menetapkan penggunaansebuah metode (baca: al-jam’u). Sementara bagi yang hanyamenguasai sedikit atau mungkin tidak memiliki qarinahtersebut, cenderung akan langsung melompat kepada metodepenyelesaian di bawahnya (naskh atau tarjih). Hanya patutdiperhatikan, seperti dinyatakan Syuhudi Ismail (1995:113), perbedaan penerapan metode tidak berarti bahwa hasilpenyelesaiannya akan berbeda juga karena adakalanyakesimpulan akhir dari sebuah kasus ikhtilaf hadismenunjukkan kesamaan.

Untuk memperjelas uraian tentang kerangka metodologisini, berikut akan dikemukakan beberapa contoh tentangkasus-kasus hadis yang tampak saling bertentangan dan carapenyelesaiannya.

1. Penyelesaian dengan menggunakan metode al-jam’u Dalam menyikapi pertentangan pada hadis-hadis

mukhtalif, langkah pertama yang ditempuh ulama adalahmenggunakan metode al-jam’u wa al-tawfiq (kompromi). Maksudnyaadalah penyelesaian pertentangan antara hadis mukhtalifdengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masingnya sehingga makna essensial yang dituju oleh hadis-hadis tersebut dapat diungkap (Edi Safri: 1990, 151; DanielDjuned: 2002, 77-78). Melalui pemahaman ini maka makna yangdikandung masing-masing hadis dapat diamalkan sesuai dengantuntutannya.

Al-Syafi’i sendiri, ketika menjelaskan tentang metodeal-jam’u, menegaskan bahwa tidak ditemukan dua hadis yangbertentangan kecuali ada jalan penyelesaiannya. Adakemungkinan antara dua hadis yang bertentangan itu, satu

Page | 10

Page 11: ikhtilaf hadis

harus dipahami secara umum dan yang lain dipahami secarakhusus. Kemungkinan kedua, hadis yang bertentangan terjadikarena situasi yang berbeda. Untuk memahami hadis-hadisseperti ini dengan baik dan benar harus melihat danmempertimbangkan situasi atau kondisi yang berbedatersebut. Lebih lanjut, terdapat pula kemungkinan-kemungkinan lain, seperti untuk menjawab pertanyaan sahabattertentu. Pemahaman kontekstualitas ini dalam analisisnyatentu saja memerlukan kepada data-data historis yang dapatdipertanggungjawabkan. Kebutuhan ini dalam kerangkapemahaman hadis dibahas secara khusus dalam ilmu asbab wurudal-hadis. Di samping itu, penguasaan terhadap sirah nabawiyahyang memadai akan sangat membantu proses penyelesaian tahapawal ini.Contoh kasus:

Seperti dijelaskan oleh Daniel Djuned (2002, 80-83),dalam satu hadis riwayat al-Bukhari (1987: I, 90)disebutkan bahwa Huzaifah pernah menemani Rasulullah sawdalam sebuah perjalanan ke luar kota Madinah. Lalu, karenaterdesak untuk buang air kecil dan karena satu dan sebablain, beliau melaksanakan hajatnya sambil berdiri.

خ�رى( ما )روأه أل�ب� اي� ال ف�� ث� وم ف�� اط�ة� ف� ه وس�لم س�ث� ت�4ى رس�ول أل�له ض�لى أل�له ع�لب� أArtinya: Rasulullah saw mendatangi subathah (semacam tempat

pembuangan sampah) suatu kaum lalu memenuhi hajatnyasambil berdiri. (HR. Al-Bukhari).

Informasi kejadian selama dalam perjalanan inikemudian terdengar oleh Aisyah r.a, dan ia mengambil sikapdengan mengatakan:

اع�دأ . ول ف�� ي� ه ي�� ب� ي� ب�4 أ رأ ي�4 ه. أ ب�� كد� ما ف�� اي� ول ف�� ي� ه وس�لم ك�ان( ي�� ى أل�له ض�لى أل�له ع�لب� ن� ن( ي�� ك� أ م�ن( ح�دب�/Artinya: Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Nabi Allah

saw kencing sambil berdiri, anggap saja itu dusta.Saya selalu melihatnya kencing sambil duduk.

Page | 11

Page 12: ikhtilaf hadis

Dalam menyikapi kontradiksi kedua hadis ini, paraulama berbeda pendapat. Ada ulama yang dengan cepatmengklaim bahwa riwayat Huzaifah mansukh dengan adanyariwayat dari Aisyah. Namun demikian, Abu Hatim mengatakanbahwa orang yang tidak memiliki ilmu yang mendalam tentanghadis akan mengatakan kedua hadis ini bertentangan, padahaltidak demikian. Oleh karena Huzaifah melihat langsungRasulullah melakukannya, sementara Aisyah ketika itu tidakbersama mereka. Kesaksian Aisyah sendiri hanya berdasarkanpengetahuannya ketika ia melihat Rasulullah melakukannya dirumah.

Dalam kasus ini terlihat perbedaan yang jelas bahwaada hal yang dilakukan Rasulullah saw tidak diketahui olehsahabat secara keseluruhan; dan dalam kasus ini yang tidaktahu malah istri beliau sendiri. Tidak heran jika merekamempunyai pandangan yang tidak sama. Atas dasar kondisiyang berbeda ini dapat dikatakan bahwa kedua riwayat diatas tetap muhkam. Secara umum dan dalam kondisi biasaatau wajar, kencing berdiri adalah perbuatan yang tidaksopan dan malah dilarang. Tetapi jika ada sebab tertentusecara khusus hal tersebut dapat dibenarkan (rukhshah).

Pemahaman ini diperoleh dengan menganalisis keduahadis tersebut. Berdasarkan riwayat Aisyah dapat dipahamibahwa cara buang air yang sopan adalah sambil duduk. Umarr.a sendiri pernah mengatakan: ma bultu qa’iman munzu aslamtu(artinya, sejak masuk Islam, saya tidak pernah lagi kencingsambil berdiri). Aisyah juga pernah menegaskan bahwaRasulullah saw sejak al-Qur’an turun tidak pernah lagikencing sambil berdiri. Sementara riwayat Huzaifah secarafilosofis memberi gambara bahwa Islam merupakan agama yanglapng. Islam sangat tanggap terhadap kondisi yang dialamiumatnya. Jika ada sebab tertentu, maka apa yang dilakukanRasulullah dalam riwayat Huzaifah, juga dapat berlaku padaumatnya.3 Adapun tentang sebab Rasulullah saw melakukan hal

3Kasus kencing berdiri yang dikaitkan dengan Rasullah saw ini merupakan masalah yang sensitif, seperti jelas terlihat dalam komentar Aisyah yang mendapat laporan tentang hal itu. Namun kasus seperti ini

Page | 12

Page 13: ikhtilaf hadis

di atas, tidak ada kesepkatan para ahli hadis. Ada pendapatyang menjelaskan bahwa Rasulullah mengalami luka di lipatanlutut sehingga tidak mungkin untuk duduk tau jongkok. Dalamriwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah melakukannyakarena tempat tersebut tidak memungkinkannya untuk duduksehingga beliau khawatir akan terkena percikan air seni.

Contoh lain, Rasulullah saw pernah ditanya tentangamal yang paling utama (afdhal). Sedikitnya ada 4 (empat)hadis yang menceritakan variasi jawaban Rasulullah tentangamalan tersebut.

a. Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullahpernah ditanya seseorang tentang amal-amal yangpaling fdhal? Beliau menjawab: Iman kepada Allahdan Rasul-Nya, Jihad di jalan Allah dan haji mabrur(HR. Al-Bukhari)

b. Ibn Mas’ud r.a. menceritakan bahwa seseorangbertanya kepada Rasulullah tentang amal-amal yangpaling afdhal. Rasulullah menjawab: Shalat tepatwaktu, berbuat baik kepada orang tua, kemudianjihad di jalan Allah (HR. Al-Bukhari)

c. Abdullah ibn Habsyi al-Khats’amiy r.a meriwayatkanbahwa Rasulullah saw ditanya seseorang tentang amalyang paling utama. Rasulullah saw menjawab: Lamaberdiri (dalam shala) (HR. Abu Daud)

tetap layak diketahui umat, apalagi di zaman sekarang mengingat terlalubanyak kondisi yang menghendaki orang melakukan seperti apa yang dilakukan Rasulullah tersebut. Dengan pemahaman yang mendalam, dapat dipahami bahwa agama pada satu sisi bersifat ketat, tetapi pada sisi lain sangat lapang. Agama sangat tanggap terhadap kondisi yang dialami manusia. Dalam batas-batas yang tidak merusak aqidah, seperti pada kasus kencing berdiri ini, Islam bersikap sangat toleran dengan memberikan keringan dan kelapangan ketika terjadi kesempitan atau halangan, sesuai dengan yang diperlihatkan Rasulullah. Malah pada kasusseseorang yang mengalami gangguan saluran kemih misalnya, kencing sambil berdiri merupakan cara terbaik. Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh al-Hadis, (Banda Aceh: Citra Karya, 2002), hal. 82-83

Page | 13

Page 14: ikhtilaf hadis

d. Abdullah ibn ‘Umar r.a menceritakan, seseorangdatang menghadap Rasulullah dan bertanya tentangkewajiban yang harus ia jalankan antara pergiberperang (jihad fi sabilillah) dan merawat orangtuanya. Rasulullah berkata hendaklah ia menjagakeduanya, niscaya hal itu sudah termasuk jihad.(HR. Ibn Hibban).

Hadis-hadis yang memperlihatkan perbedaan tekanan amalterbaik ini, sesungguhnya merupakan jawaban Rasulullah yangsangat bijak karena menyesuaikan dengan kondisi orang yangbertanya. Karena itu, hadis-hadis ini bukanlah mukhtalifsecara hakiki sehingga harus dilakukan proses tarjih(menguatkan) satu hadis dan membuang yang lain. Cara yagterbaik adalah dengan mengambil pemahaman umum terhadapkandungan makna dari masing-masing hadis. Bahwasanya tidakada khilaf di antara ulama bahwa amal yang terbaik adalahiman. Karena tanpa iman, amal apapun tidak akan adamaknanya. Inilah amal yang terbaik secara umum.

Namun bagi orang yang sudah beriman, amal yang terbaikadalh shalat tepat waktu. Selanjutnya, dalam shalatsendiri, yang terbaik adalah lama berdiri ataumemperpanjang bacaan ayat. Dalam suasana sedang menghadapimusuh, maka yang terbaik adalah jihad. Ketika dalam kondisiini, shalatpun dilakukan dengan cara khusus (shalat khauf).Selanjutnya, dalam kondisi perang, bagi seseorang yangmasih memiliki orang tua yang harus dijaga, maka baginyalebih baik tidak terjun ke medan perang. Dalam kondisiseperti ini, berbuat baik kepada orang tua merupakan amalterbaik dan ia juga akan mendapatkan pahala yang samadengan orang yang pergi berjihad.

2. Penyelesaian dengan menggunakan metode naskhCara kedua dalam menyelesaikan pertentangan antar

hadis mukhtalif adalah dengan menggunakan metode naskh.Metode ini dilakukan jika jalan kompromi (al-jam’u) tidakdapat dilakukan; dan data sejarah tentang hadis-hadis

Page | 14

Page 15: ikhtilaf hadis

tersebut dapat diketahui dengan jelas. Tanpa kedua aturanini, metode naskh mustahil dapat dilakukan.

Sebagai suatu istilah keilmuan, naskh didefinisikandengan “diangkatnya suatu hukum syar’i oleh Syari’,berdasarkan dalil syar’iy yang datang kemudian”. Maksudnya,suatu hukum yang sebelumnya berlaku, kemudian dinyatakantidak berlaku lagi oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yaknidengan didatangkannya dalil syar’i baru, yang membawaketentuan hukum lain dari yang berlaku sebelumnya. Hukumlama yang tidak berlaku lagi atau yang di-naskh-kan disebutmansukh, sedangkan hukum baru yang datang kemudian atauyang me-naskh-kan diebut nasikh.

Dalam kerangka teori keilmuan, naskh dipahami sebagaisebuah kenyataan adanya sejumlah hadis mukhtalif bermuatantaklif yang mengandung kesamaan topik, tetapi dengan maknayang berlawanan dan tidak dapat dikompromikan. Persoalanini menjadi pembicaraan di kalangan ulama hadis dalamkarya-karya mereka dan bahkan telah melahirkan suatu cabangilmu yang disebut ilmu nasikh al-hadis wa mansukhih, yakni satucabang ilmu hadis yang membahas hadis-hadis yang tampakmengandung makna saling bertentangan dan tidak dapatdikompromikan; baik dengan memperhatikan matan hadis;apakah mengandung penegasan adanya naskh dari Rasulullh sawsendiri atau para sahabatnya, atau dengan mengkajikronologi waktu munculnya hadis, untuk diketahui manadiantaranya yang nasikh dan mana yang mansukh. Untuk contohyang pertama, misalnya, hadis tentang naskh larangan ziarahkubur; yang kedua, keterangan sahabat bahwa terakhirRasulullah tidak berwudhu’ karena memakan makanan yangdimasak dengan api, dan contoh ketiga, hadis tentangberbekam di bulan puasa.

Menyikapi adanya naskh dalam hadis-hadis Rasulullah,agaknya dapat dikatakan bahwa Rasulullah adakalanyamenyampaikan sebuah ajaran dalam sebuah hadis. Namun,ajaran tersebut kemudian beliau hapus melalui hadisnya yangdatang sesudah itu. Penghapusan ini dapat dimaklumimengingat masa tersebut adalah periode pembentukan syariat

Page | 15

Page 16: ikhtilaf hadis

sehingga proses penetapan sebuah ajaran (baca: hukum)terkadang dilakukan secara bertahap (dari yang ringansampai yang berat, seperti kasus pengharaman khamar, danatau mengubah ketentuan hukum dengan suatu ketetapan baru,seperti kasus mahram karena sepersusuan). Hanya saja,tidak seluruh sahabat mengetahui adanya proses naskhtersebut. Demikian halnya dengan para perawi hadis.Terkadang seorang perawi hanya mendapatkan satu versiajaran – melalui sebuah hadis yang diterimanya, sementaraperawi lain juga mendapatkan versi yang berbeda. Masing-masing perawi tentu akan meriwayatkan sesuai dengan apayang mereka terima. Tentu saja, hal ini berbeda denganperawi lain yang mendapatkan hadis tersebut secara utuh.Dia akan tahu bahwa telah terjadi proses naskh terkaitdengan ajaran tersebut sehingga dapat beramal sesuai denganpetunjuk Rasulullah.

Disini patut ditegaskan bahwa penetapan naskh atautidaknya sebuah ketentuan, tidak dapat hanya denganberdasarkan ijtihad semata atau dengan bahasa yang penuhistilah mungkin atau barangkali. Karena itu, hadis-hadisyang dinyatakan nasikh atau mansukh oleh sementara ulama,seperti terdapat dalam berbagai kitab yang mengakomodirhadis-hadis tersebut, tidak otomatis harus diterima sepertipenjelasan mereka. Alasannya, seperti dikatakan oleh IbnJama’ah dan al-Suyuthi (Daniel Djuned, 2002: 93), banyak diantara hadis yang dikatakan mansukh, sebenarnya masih dapatdikompromikan. Atau seperti dijelaskan al-Qaradhawi,kebanyakan hadis yang dinyatakan mansukh, apabila ditelititidaklah demikian. Sebab di antara hadis-hadis tersebut adayang dimaksudkan sebagai ‘azimah (anjuran melakukan sesuatuwalaupun berat), dan ada pula yang dimaksudkan sebagairukhshah (peluang untuk memiliah yang lebih ringan darisuatu ketentuan). Karena itu keduanya mengandung kadarketentuan yang berbeda, sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Adakalanya juga sebagian hadis bergantung padasituasi tertentu, sementara yang lain bergantung padasituasi lainnya. Adanya perbedaan ini mengakibatkan tidak

Page | 16

Page 17: ikhtilaf hadis

adanya naskh karena masing-masing hadis dapat diamalkansesuai dengan tuntutan kondisi dan situasi yangmnyertainya.

Contoh kasus:

د� ��ZZح و أ �ZZال وه �ZZف ان( ف�� �ZZره� م�ن( رم�ض /ZZان( ع�شZZم م ل�ي/ ج� خب� لا ت�� ى رح�� �رأ �ZZح ف ت� أن( أل�ق� �ZZم ى ر� ن� �ZZع أل�ي �ZZال: ك�ن�ت� م ��ZZوس ف ن( أ دأد ب�� /�ZZع�ن( سعى( اف�� وم. )روأه أل�س/ م وأل�محج� طر أل�حاج�� ف�� دى: أ ث� ي��

Artinya: Hadis dari Syaddad ibn Aus, ia berkata: Aku pernahbersama Nabi saw pada tahun memasuki Kota Makkah danNabi melihat seseorang sedang berbekam, yakni padahari kedelapan belas Ramadhan. Sambil memegangtanganku, beliau berkata: “Yang berbekam dan yangdibekam, batal puasanya”.

عى( اف�� ما )روأه أل�س/ م م�خرم�أ ض�اي� ج� ن( رس�ول أل�له ص.م. أح�ب� اس أ ن( ع�ث� ع�ن( أب��Artinya: “Hadis dari Ibn ‘Abbas r.a: bahwa rasulullah saw

pernah berbekam sedang ia dalam berihram lagiberpuasa”.Pada kedua hadis di atas, terlihat adanya kontradiksi

ajaran. Hadis pertama menjelaskan bahwa bekam dapatmembatalkan puasa, baik yang membekam (al-hajim), maupunterhadap yang dibekam (al-mahjum). Sementara hadis keduamenerangkan bahwa bekam tidak membatalkan puasa sepetiditunjukkan oleh praktek perbuatan Nabi saw, yang berbekamketika sedang ihram dan berpuasa. Dengan demikian jelasteradi pertentangan antara hadis syaddad dan hadis riwayatIbn ‘Abbas.

Menyikapi pertentangan kedua hadis di atas, menurutal-Syafi’i - sulit untuk dikompromikan sehingga ia memilihmenggunakan metode naskh menyelesaikannya. Dalam hal ini,hadis Ibn ‘Abbas me-naskh-kan hadis Syaddad ibn Aws karenahadisnya datang terlebih dahulu. Penjelasan tentangkronologi waktu diketahui dari informasi yang diberikanmasing-masing hadis. Hadis Syaddad lahir pada waktu faht

Page | 17

Page 18: ikhtilaf hadis

makkah, yaitu tahu kedelapan Hijrah, sedangkan hadis Ibn‘Abbas yang menerangkan Rasulullah berbekam dalam keadaanihram dan puasa, muncul pada tahun kesepuluh hijrah. Denganjelasnya kronologis waktu lahirnya masing-masing hadis,maka dapat dikatakan bahwa hadis Ibn ‘Abbas berfungsisebagai nasikh, dan hadis Syaddad sebagai mansukh. Karenaitu, terkait dengan persoalan bekam di bulan puasa, makaajaran yang harus dipedomani adalah hadis riwayat Ibn‘Abbas (Edi Safri: 1990, 192-194).

3. Penyelesaian dengan menggunakan metode tarjihTarjih merupakan upaya terakhir yang mungkin dilakukan

ketika metode al-jam’u dan al-naskh tidak dapat digunakan untukmenyelesaikan kontradiksi antar dua atau lebih hadismukhtalif. Jika melalui langkah terakhir ini ikhtilaftersebut tidak dapat diselesaikan, maka hadis-hadistersebut terpaksa tidak dapat diamalkan (tawaqquf).

Dalam pengertian sederhana, tarjih adalah suatu upayakomparatif untuk menentukan mana yang lebih kuat darihadis-hadis yang tampak ikhtilaf. Sebagai salah satulangkah metodologis, penggunaan tarjih tidak bersifat opsi.Karena itu, penerapannya tanpa didahului oleh penggunaandua metode sebelumnya, akan mengundang konsekuensi yangbesar berupa pengabaian sebuah sunnah sebagai akibatmemilih atau menguatkan hadis tertentu. Atas dasar inilahagaknya tidak ditemukan ulama yang mengatakan bolehmelakukan tarjih pada hadis mukhtalif sebelum terlebih dahuludidekati melalui pendekatan al-jam’u (Daniel Djuned: 2002,418-419).

Dalam men-tarjih, sebenarnya banyak hal yang bisa dikajidan diperbandingkan di antara hadis-hadis yang bertentangantersebut baik menyangkut sanad maupun matan. Meskipundemikian, secara garis besar pentarjihan tersebut tidakterlepas dari empat hal pokok, yaitu: 1) dari segi sanad;2) dari segi matan; 3) dari segi madlul, dan 4) dri segihal-hal lain yang turut mendukung nilai hadis tersebut. Contoh kasus:

Page | 18

Page 19: ikhtilaf hadis

د �4ZZري أ أ �4ZZي ا وأ �ZZث ن� ح ح�� ت� �ZZص ت�4ى أ eه أZZول أل�ل �ZZأ رس ��ZZمع : ي �ZZس أ أ �4ZZي اب� وأ �ZZف� ع�لى أل�ث ��ZZو وأف �ZZه وهZZول أل�ل �ZZال ل�رس ��ZZلا ف ن( رح�� ه� أ /ZZش ع�ن( ع�اي�وم )روأه م�سلم( ل�ك� أل�ي� ص�وم د� سل وأ ت� ع�� ا د أل�صوم ف�� ري�4 أ أ ي�4 ا وأ ث� ن� ح ح�� ص�ت� أ أ ي�4 ال رس�ول أل�له ص.م. : وأ ف� أل�صوم . ف��

Artinya: Hadis dari Aisyah, bahwa seorang laki-laki pernahbertanya kepada Rasulullah saw – beliau ketika itusedang bediri di depan pintu dan aku (kata Aisyah)mendengarkannya: “Ya Rasulullah, aku junub sampaipagi hari, sedangkan aku ingin sekali meneruskanpuasaku”. Rasulullah menjawab: “Aku juga pernah junubsampai pagi hari, aku pun ingin terus berpuasa. Makaaku mandi dan tetap berpuasa pada hari itu”.

وم )روأه م�سلم( ل�ك� أل�ي� طر د� ف�� ا أ ث� ن� ح ح�� ص�ت� ول: م�ن( أ ق� ه ت�� ب�� eره� أ�Tي ى ه�ر ت4� ع�ن( أArtinya: Hadis dari Abu Hurairah r.a, dia berkata: “Siapa

yang junub sampai pagi hari, batallah puasanya padahari itu”.

Dari segi makna, kedua hadis di atas jelasbertentangan dan tidak mungkin dikompromikan (al-jam’u).Hadis pertama menjelaskan bahwa junub sampai pagi hari(setelah masuk waktu imsak) tidak membatalkan puasa. Akantetapi hadis kedua secara tegas menjelaskan bahwa dalamkeadaan junub hingga pagi hari puasa mengakibatkan batalpuasa. Menyikapi ikhtilaf pada kedua hadis ini, al-Syafi’i– seperti dikutip Edi Safri (1990: 201) – berpendapat bahwadari segi sanad (sumber periwayatan), hadis Aisyahmempunyai nilai kompetensi lebih tinggi dibanding hadis AbuHurairah karena ia adalah istri Rasulullah saw yangtentunya lebih tahu tentang masalah junub Rasulullah daripada orang lain. Sementara dari segi jumlah periwayatan,hadis Aisyah mempunyai periwayat yang lebih banyak karenahadis semakna juga disampaikan oleh Ummu Salamah, istriRasulullah lainnya. Sementara hadis kedua, hanyadiriwayatkan seorang sahabat saja.

Page | 19

Page 20: ikhtilaf hadis

Berdasarkan aspek perbandingan yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa hadis Aisyah lebih tinggi nilainyadari hadis Abu Hurairah. Karena itu sesuai dengan hasilpen-tarjih-an terebut, maka hadis Aisyah-lah yang harusdipegang dan diamalkan sesuai dengan statusnya sebagai yanglebih tinggi nilainya (rajih). Sebaliknya, hadis AbuHurairah dianggap lemah dan ditinggalkan (marjuh).

Inilah tiga metode yang ditawarkan ulama untukmenyelesaikan pertentangan antar hadis mukhtalif. Denganmelihat ketiga metode yang ditawarkan di atas, agaknyatidak berlebihan apabila dikatakan bahwa setiap kasus yangterjadi selalu dapat ditemukan jalan keluarpenyelesaiannya. Namun, tidak tertutup kemungkinan adapertentangan di antara hadis-hadis tersebut yang tidakdapat diselesaikan. Menyikapi kemungkinan tersebut, adasatu prinsip yang ditawarkan ulama, yaitu tawaqquf sebagaialternatif terakhir. Artinya, meninggalkan dalil-dalilyang bertentangan tersebut, untuk selanjutnya berpalingkepada dalil lain agar masalah yang dihadapi dapatdiselesaikan dan diketahui ketentuan hukumnya. Akan tetapiprinsip ini hampir tidak menjadi pembicaraan di kalanganulama. Ini dikarenakan penerapan tawaqquf hanya mungkinsecara teoritis, tidak secara praktis, seperti pernyataanAbdul Wahab Khalaf (1989: 90) - seorang pakar hukum Islammodern – yang mengatakan bahwa tawaqquf hanya ada dalamteori namun dalam prakteknya tidak pernah ditemukan.Agaknya, pernyataan Abdul Wahab Khalaf ini didasarkannyaatas pendapat umum yang dipedomani ulama bahwa tidakditemukan sebuah kasus mukhtalif, kecuali selalu ada jalankeluar penyelesaiannya.

D. Implikasi Pemikiran terhadap Keberadaan Hadis MukhtalifMenarik untuk didiskusikan kemudian adalah tentang

eksistensi hadis-hadis mukhtalif dalam khazanahperbendaharan hadis. Bahkan jika pertanyan ini dilanjutkan,mengapa Rasulullah membuat sebuah aturan (hadis atausunnah) yang saling bertentangan. Padahal, seperti telah

Page | 20

Page 21: ikhtilaf hadis

dijelaskan di awal, justru keberadaan hadis-hadis inimenjadi salah satu argumen kelompok yang menolak hadissebagai sumber ajaran Islam (inkar sunnah).

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ulama menegaskanbahwa pada dasarnya tidak ada hadis Nabi yang bertentangan.Sikap ini dilandasi oleh satu keyakinan bahwa apa yangberasal dari Nabi adalah ajaran Islam yang benar, yangdisampaikan dengan penuh kebijaksanaan dalam rangka dakwahIslam dan menerapkan ajaran Islam. Kebijaksanaan initerkadang memberikan kesan bahwa ajaran yang disampaikanoleh nabi mengandung pertentangan. Dalam kondisi sepertiinilah diperlukan penguasaan dan pemahaman tentang bentuk-bentuk kebijaksanaan Nabi dalam menyampaikan dakwah danmelakukan penerapan ajaran Islam.

Dengan memahami dasar argumentasi di atas, terlihatbahwa secara tidak langsung nabi telah memilah-milahajarannya kepada ajaran dasar dan ajaran bukan dasar.Ajaran dasar bersifat tetap dan tidak berubah, sedangajaran yang bukan dasar harus disesuaikan keberlakuannyadengan keadaan dan zaman yang sedang terjadi (M. SyuhudiIsmail: 1995, 124). Hampir senada dengan teori ini,kalangan kontekstualis juga memunculkan sebuah argumentbahwa dalam memahami sebuah hadis, harus dilakukanpemilahan secara mendalam terhadap sosok Nabi saw.Maksudnya, bahwa setiap hadis harus dicari konteksnya;apakah ia diucapkan oleh Rasulullah saw dalam kedudukannyasebagai rasul, mufti, hakim, pemimpin masyarakat yangmenyesuaikan sikap, bimbingan dan petunjuknya sesuai dengankondisi dan budaya masyarakat yang ditemui, dan sebagaipribadi yang memliki kekhususan dan hak-hak tertentu sertakekhususan yang diakibatkan oleh sifat manusia yang berbedasatu sama lain, seperti rasa suka terhadap makanan atauwarna tertentu (Quraish Shihab: 1994, 9-10).

Terkait dengan implikasi pemikiran di balik petunjukNabi yang tampak bertentangan ini, Syuhudi Ismail menilaibahwa Nabi secara tidak langsung menuntut umatnya yangmemenuhi syarat untuk: pertama, mempelajari suasana lahirnya

Page | 21

Page 22: ikhtilaf hadis

hadis. Suasana itu mungkin berhubungan dengan kondisimasyarakat, latar belakang budaya, kejiwan dan intelektualsasaran hadis. Kedua, melakukan penyusunan sistem ajaranIslam, misalnya kepada ajaran dasar dan bukan ajaran dasarsehingga setiap sub sistem ajaran Islam akan mudahditerapkan menurut tahap yang relevan dengan substansiajaran Islam itu sendiri, di samping dengan keadaan danzaman.

E. KesimpulanDari paparan tentang metode pemahaman hadis di atas

terlihat bagaimana kesungguhan ulama dalam mencari ajaranagama dengan melahirkan rumusan teori keilmuan yang sangatbrilian, sekaligus untuk membuktikan bahwa secara praktis,keberadaan hadis-hadis seperti di atas dapat menimbulkankebingungan dalam mengambil kepastian ajaran (ketentuanhukum) darinya; manakah diantara keduanya yang harusdiikuti dan diamalkan. Apakah pengamalan tersebut harusdengan melaksanakan salah satu dan meninggalkan yang lain,ataukah ada kemungkinan melakukan langkah-langkah kompromiagar keduanya dapat diamalkan, mengingat keduanya merupakansunnah Nabi yang nota bene mempunyai peluang yang samauntuk diamalkan.. Pertentangan yang tampak terjadi hanyalahsecara lahiriah, bukan hakiki. Dalam menyelesaikanpertententangan tersebut, mayoritas ulama lebihmendahulukan penggunaan metode al-jam’u (kompromi) sehinggamasing-masing hadis dapat diamalkan sesuai situasi dankondisi yang menyertainya. Karena itu mereka tidak maubersikap terburu-buru dengan langsung memilih sebuah hadisdan menetapkan untuk beramal dengannya, apalagi memvonissebuah hadis dengan kata ‘dha’if’, sebelum melakukanpenelitian secara mendalam. Upaya ini dilakukan agar tidakterjadi pengabaian dan atau penolakan terhadap sebuahsunnah, karena kemungkinan untuk mengamalkannya masihterbuka lebar.

Bagaimanapun, hasil kerja keras ulama ini merupakanupaya ijtihad memahami petunjuk hadis sebagai salah satu

Page | 22

Page 23: ikhtilaf hadis

sumber ajaran Islam. Sebagai hasil ijtihad, ia tentu sajamasih membutuhkan tindak lanjut, baik yang bersifatmemperkuat, mengoreksi atau menghasilkan sesuatu yang baru,yang – mungkin – lebih relevan untuk konteks sekarang.Untuk itu, penguasaan terhadap ilmu keIslaman klasik dansejarah Islam terutama periode kenabian adalah sebuahkeniscayaan. Demikian juga berbagai disiplin pengetahuanmodern, khususnya ilmu-ilmu sosial (sosiologi, antropologi,psikologi dan sejarah), yang pada saat ini sedangberkembang dan tampak belum dijangkau secara khusus olehulama masa lalu, perlu memperoleh perhatian yang seriusdari mereka yang memikul tanggung jawab untuk mendalami danmengembangkan ajaran Islam. Dalam kegiatan ijtihad, teori-teori yang dikembangkan oleh berbagai ilmu tersebut perludimanfaatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh al-Hadis, Banda Aceh: Citra Karya, 2002

Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Disertasi tidak diterbitkan, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1990

Ibn Hajar al-‘Asqalaniy, Nukhbat al-Fikr, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, t.th

Ibn Hamzah al-Husainiy, Ibrahim ibn Ahmad ibn Kamaluddin al-Hanafiy, al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadis al-Syarif,Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2003

Page | 23

Page 24: ikhtilaf hadis

Ibn Syahin al-Baghdadiy, Abu Hafsh Umar ibn Ahmad ibn Utsman ibn Ahmad, Kitab Nasikh al-Hadis wa Mansukhih, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999

Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakr al-Suyuthiy, Tadrib al-Rawiy fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Madinah: al-Maktabahal-‘Ilmiyyah, 1972

Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Bulan Bintang, 1995

M. Quraish Shihab, “Kata Pengantar”, dalam Muhammad Al-Ghazali, Hadis Nabi saw Antara Pemahaman Tekstual dan Kotekstual, terjemah, Bandung: Mizan, 1994

M.A. Al-Bayanuni, Memahami Hakikat Hukum Islam: Studi Masalah Kontroversial, terj. Ali Mustafa Ya’qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997

Muhammad ‘Awwamah, Melacak Akar Perbedaan Mazhab: Pengaruh Penggunaan Hadis Terhadap Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama Fiqh, terj. A. Zarkasyi Chumaidy, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997

Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, al-Umm, jilid VII, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW,terjemah, Bandung: Kharisma, 1994

Page | 24