Page 1
II.2. EPIDEMIOLOGI 3
Angka kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak dilaporkan.
Kematian akibat reaksi anafilaksis hebat diperkirakan terjadi 0,4 kasus per juta
penduduk per tahun.
Dalam bidang anastesi, kejadian reaksi anafilaksis diperkirakan terjadi 1
per 5000 sampai 1 per 25.000 kasus per tahun.
Di Amerika Serikat, diperkirakan 1-2% pasien yang disuntik penisilin
mengalami reaksi anafilaksis dan ± 400 – 800 diantaranya meninggal per tahun.
Reaksi anafilaktoid oleh zat kontras ± 5% dari pengguna dan ± 250 – 1000 orang
diantaranya meninggal pertahun.
Reaksi anafilaksis oleh makanan sukar ditentukan oleh karena tidak ada data
yang akurat. Diperkirakan 1/5 – 1/3 penduduk dunia pernah mengalami reaksi alergi
makanan.
Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada mereka yang mempunyai
riwayat atopi atau reaksi alergi sebelumnya. Umumnya tidak ditemukan
predisposisi ras, jenis kelamin, umur atau musim. Dilaporkan reaksi anafilaksis
karena susu dan telur lebih sering pada anak-anak, sedang reaksi anafilaktoid
karena zat kontras lebih sering pada orang dewasa.
II.3. FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI
Berbagai zat atau keadaan dapat menyebabkan reaksi anafilaksis/Anafilaktoid.
Ada yang berupa antigen seperti protein (serum, hormon, enzim, bisa binatang,
makanan dan sebagainya), atau polisakarida (dekstran, jadam, dan sebagainya), juga
ada yang berupa hapten, yang nanti bertindak sebagai antigen apabila berkaitan
dengan protein (antibiotik, anestesi lokal, analgetik, zat kontras, dan lain-lain).
Page 2
Antigen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui oral, suntikan, sengatan,
inhalasi atau tipikal. 1,4,5
Secara umum penyebab Anafilaksis / anafilaktoid dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
Tabel I
Zat-zat dan keadaan yang telah dilaporkan menimbulkan reaksi
anafilaksis/anafilaktoid
AP Arwin Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Buku ajar Alergi-imunologi anak edisi
kedua,Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. 207-223
1. Antibiotik : Penisilin dan derivatnya, sefalosporin,
tetrasiklin, eritromisin, streptomisin
2. Nonsteroid anti inflammatory
agents
: Salisilat, aminopirine
3. Narkotik analgetik : Morfin, kodein, meprobamate
4. Obat lain : Protain, klorpropamide, zat besi
parenteral, iodida, tiazid
5. Anestesi lokal : Prokain, lidokain, cocain
6. Anestesi umum : Thipental
7. Obat pelumpuh otot : Suksinil kolon, tubokurarin
8. Produk darah dan antiserum : Eritrosit, leukosit, dan platelet
transfusi, gamma globulin, rabies,
tetanus, antitoksin difteri, antibisa ular
dan laba-laba
9. Agent diagnosis : Radiokontras iodida
10. Makanan : Telur, susu, kacang, ikan, udang dan
lain-lain
11. Bisa/cairan binatang : Ular, laba-laba, serangga dan beberapa
jenis hewan air/ikan
12. Hormon : Insulin, ACTH, estrogen, progesteron,
hormon pituitari
13. Enzim dan zat biologi : Asetilsistein, enzim pankreas
14. Getah tumbuhan : Lateks, perekat, akasia
15. Bahan kosmetik / industri : Cat rambut, parfum, pelurus rambut,
Page 3
pemutih kulit, cat
16. Faktor fisis : Panas, dingin, tekanan, cahaya, getaran
17. Faktor kolinergik dan kegiatan jasmani
18. Idiopatik
II .4. PATOFISIOLOGI
Berbagai manifestasi yang muncul dalam reaksi anafilaksis pada
umumnya disebabkan oleh penglepasan mediator oleh mastosit/basofil, baik
yang timbul segera (dalam beberapa menit), maupun yang timbul belakangan
(sesudah beberapa jam). Pengaktifan mastosit/basofil untuk mengeluarkan
mediatornya tidak hanya terjadi akibat alergi atau rangsangan yang dimediasi
IgE, tetapi juga dapat terjadi oleh karena rangsangan yang dimediasi oleh
komplemen, kompleks imun, atau faktor lain yang langsung membebaskan
histamin seperti panas, dingin, tekanan, latihan jasmani, dan lain-lain . 1
Dari berbagai perangsang yang dapat menyebabkan pelepasan
mediatornya, mekanismenya dapat melalui beberapa cara : 3,5
1. Reaksi yang dimediasi IgE (IgE mediated anaphylaxis)
Berbagai jenis alergen bekerja melalui cara ini, baik yang berupa makanan,
obat-obatan, enzim maupun yang berupa sengatan serangga / ular, semen
suami, getah tumbuhan dan lain-lain. Hal ini dapat terjadi pada orang yang
atopi atau tidak atopi yang terjadinya sesudah pajanan ulangan (kedua dan
seterusnya). Pada pajanan alergen, alergen ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cells) seperti makrofag, sel dendritik, sel langerhans atau yang
lain. Kemudian antigen tersebut dipersembahkan bersama beberapa sitokin
(IL-1, TNF IL-8) ke sel T.Helper melalui MHC (Major Histocompatibility
Complex) kelas II, sel T helper kemudian aktif dan mengeluarkan sitokin
(IL-4 dan IL-5) yang merangsang sel B melakukan memori, proliferasi dan
peralihan menjadi sel plasma yang kemudian menghasilkan antibodi
termasuk IgE. Imunoglobulin yang spesifik kemudian akan melekat pada
permukaan mastosit, basofil, dan sel B sendiri dan beberapa sel imun yang
Page 4
lain. Apabila di kemudian hari terjadi pajanan ulang dengan alergen yang
sama maka alergen itu akan ditangkap oleh IgE terutama yang melekat pada
mastosit/basofil. Ikatan alergen dengan IgE spesifiknya ini akan merangsang
mastosit/basofil mengeluarkan mediator, baik yang segera maupun yang
lambat. Mediator tersebut menyebabkan dilatasi venula, peningkatan
permeabilitas kapiler, bronkospasme, kontraksi otot polos dan dilatasi
arteriol sehingga timbul manifestasi klinis reaksi anafilaktik berupa,
urtikaria/angioedema, edema laring, asma, muntah, kram usus, dan renjatan
yang bisa menyebabkan kematian tiba-tiba. Reaksi inilah yang sebenarnya
disebut reaksi anafilaktik.
Gambar IA. Kontak Alergen dengan APC (Antigen Presenting Cells)
Page 5
Gambar IB. Respon sel yang dimediasi IgE untuk mengeluarkan alergen
2. Reaksi yang dimediasi kompleks imun atau komplemen
Reaksi ini terjadi apabila antibodi yang bebas (biasnaya IgG atau IgM tetapi juga
bisa IgE) melakukan ikatan dengan antigen yang masuk membentuk kompleks
imun. Kompleks imun ini bisa langsung merangsang mastosit/basofil
mengeluarkan mediator atau melalui pengaktifan komplemen untuk mengeluarkan
anafilaktoksin, C3a, C4a, dan C5a yang akan merangsang mastosit/basofil
mengeluarkan mediator. Reaksi ini sering terjadi pada pemberian transfusi darah,
komponen darah, plasma, serum, imunoglobulin, kriopresipitat. Reaksi yang
timbul juga dikenal sebagai aggregate anaphylaxis
CLASSIC PATHWAY ALTERNATIVE PATHWAY
IMMUNE COMPLEXES AGGREGATED IgE
PLASMIN COMPLEX POLYSACCHARIDES
TRYPSIN
c1 c1(activated)
c2 + c4 c4,2 (activated)
c3
Page 6
c3a + c3b
c5a + c5 b c5
c6,7,8,9
membrane damage
Gambar 2. Reaksi yang dimediasi kompleks imun atau komplemen
3. Gangguan Metabolisme Asam Arakidonat
Aspirin dan beberapa antiinflamasi nonsteroid lainnya dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik dalam 15 menit sampai 2 jam setelah pemasukan obat tersebut. Reaksi
ini diduga terjadi akibat gangguan metabolisme asam arakidonat. Aspirin dan
antiinflamasi non-steroid menghambat siklo-oksigenase suatu enzim yang
diperlukan untuk sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. Akibatnya
pembentukan prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin menurun, tetapi
produksi jalur lipoksigenase meningkat.
ARACHIDONIC ACID
Cyclo-oxygenase Lipo-oxygenase
Prostaglandins SRS-A (LTC4, LTD4, LTE4)
PGD2 LTB4
PGE2
PGF2
Gambar. 3. Gangguan Metabolisme Asam Arakidonat
4. Rangsangan Langsung pada Mastosit/Basofil
Beberapa obat dan zat kontras secara langsung dapat merangsang mastosit
jaringan dan basofil darah perifer untuk mengeluarkan mediatornya. Hal ini
ditemukan pada pemberian opiat, antibiotik tertentu, pelemas otot, dekstran, zat
kontras, dan lain-lain. Di samping itu beberapa faktor fisis seperti panas, dingin,
Page 7
tekanan dan lain-lain dapat secara langsung mempengaruhi pengeluaran mediator
mastosit/basofil.
5. Idiopatik (Idiopathic Reccurent Anaphylaxis)
Ada beberapa pasien yang mengalami reaksi anafilaktik berulang-ulang tanpa
diketahui pencetus atau penyebabnya termasuk disini anafilaksis akibat latihan,
sering terjadi sesudah makan-makanan tertentu sebelum latihan. Beberapa ibu
mengalami anafilaktik berulang yang tidak ditemukan penyebabnya (disebut
catamenial anaphylaxis), ternyata hipersensitif terhadap progesteron endogen dan
positif pada tes kulit dengan medroksiprogesteron. Sebagian di antaranya
mengalami anafilaksis bersiklus menurut fase luteal siklus haidnya. Pada
umumnya anafilaktik rekuren idiopatik tidak ditemukan penyebabnya dan
diagnosisnya didasarkan gejala klinis dan bukti peninggian kadar histamin dalam
urinnya.
Secara umum dan garis besar urutan proses dalam kejadian reaksi
anafilaktik/anafilaktoid dapat disebutkan sebagai berikut :
I. Perangsangan pada membran mastosit dan sel basofil, rangsangan dilakukan
oleh antigen IgE atau agregat imun yang lain atau langsung oleh faktor-faktor
kimiawi, fisis, atau neurogenik
II. Aktivasi enzim-enzim membran dan rangsangan kedua dari sitoplasma.
Terjadi degradasi metabolik asam arakidonat menjadi subunit-subunit aktif
dan penurunan rasio cAMP/cGMP dalam sel
III. Penglepasan mediator inflamasi
A. Yang siap langsung dilepas
- Histamin
- Serotonin
- Triptase
- NCF (Neutrophils Chmeotactic Factor)
- ECF (Eosinophils Chemotactic Factor)
B. Yang baru dibentuk dan segera dilepas :
- Leukotrin (LTB4, LTC4, LTD4)
Page 8
- Tromboksan
- Prostaglandin (PGD2)
- Platelet Activating Factor (PAF)
- Kinin dan kaskade faktor hageman
IV. Respons patologis fungsional
- Peningkatan permeabilitas vaskular
- Vasodilatasi venul
- Konstriksi bronkus
- Kontraksi otot polos usus
- Dilatasi arteriol
V. Anafilaksis
- Urtikaria + angioedema
- Edema laring
- Asma
- Muntah, sakit perut, diare
- Hipotensi/renjatan
Gambar.4. IgE terdiri atas 2 rantai Berat (Epsilon) dan 2 rantai ringan
(Kappa/Lamda) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida
COLLAGEN IN EXPOSED BASEMENT MEMBRANE
Page 9
Gambar.5. Aktivasi Faktor Gagema
Tabel 2. Mediator yang dihasilkan sel Mast dan Basofil
Mediator Struktur Kimia Efek Fisiologis
1. Histamin 5-B-Imidazolyethylamine
(BNM=III)
Reseptor HI :
Vasokonstriksi, vasodilatasi,
meningkatkan permeabilitas vascular,
kontraksi otot polos bronkus
Reseptor H2:
Vasodilatasi, meningkatkan denyut
jantung, kontraksi miokard, sekresi
lambung, inhibitor sel T
2. ECF-A Asam tetrapeptida
(BM = 360 – 390)
Kemotaksis eosinofil
3. NEF Protein
(BM = > 75.000)
Kemotaksis neutrofil
4. SRS-A
(LTC4, LTD4, LTE4)
Lipo-oksigesae, produk
asam arakidonat
Meningkatkan permeabilitas vascular
kontraksi otot polos bronkus
5. Prostaglandin (PGD2,
PGE2, PGF2)
Siklo-oksigenase, produk
asam arakidonat
PGD2 : Kontraksi otot polos
bronkus
PGE2 : Dilatasi otot polos
HAGEMAN FACTOR(FACTOR XII)
INTRINSIC COAGULATION
FIBRINOLYTIC ACTIVITY
KININ GENERATION
VASODILATIONHEMOSTATIC ALTERATIONS
INCREASED PERMEABILITY
Page 10
bronkus
PGF2: Kontraksi otot polos
bronkus
6. LTB4 Lipo-oksigenase, produk
asam arakidonat
Kemotaksis eosinofil dan neutrofil
7. PAF Asetilgliseril eter
fosforilcolin (BM1000)
Agregasi platelet
II. 5. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3
tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit
sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1
sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih
dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen. 6,7
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat,
tetapi kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis
juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering
dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan
tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital,
pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2
jam pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-
gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring
dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan
gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.
Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda
dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai
Page 11
kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan
sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan
kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat
disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang
irreversible. 5,6,8
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing,
dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah
rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan
pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut. 1,4,5
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang
berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di
bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung
bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute yaitu
pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke
arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic
crease garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic
facies terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners dan kelainan gigi geligi.
Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan
bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat
eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah,
dan diaphoresis. 4,6
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,
penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan
Page 12
penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah
atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor Suara bisa serak bahkan tidak
ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas
yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi
napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena
bronkospasme atau edema mukosa.Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung
tersumbat, serta bersin-bersin. 4,6
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran
sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada
sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin,
tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang
menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada
ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran
urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya
mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN
dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine. 4,6
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis
sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul
pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan
spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang
kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark
usus. 4,6
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,
gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi
Page 13
kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status
mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi
anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis
terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta
kebocoran sel .4,6
Tabel 3. Manifestasi klinis reaksi Anafilaksis
II. 6. TES DIAGNOSTIK 4, 5, 6
Skin Prick Test (SPT)
Skin Prick Test (tes kulit epikutan) dan tes kulit intradermal
merupakan tes untuk mengetahui adanya IgE spesifik terhadap
obat tertentu yang berguna hanya untuk beberapa obat dengan
berat molekul rendah (penisilin, relaksan otot, barbiturat).
Karena reagen belum tersedia, klinisi harus membuat sendiri
reagennya. Meskipun kadang dapat dijumpai hasil positif pada
pemberian obat yang dapat melepaskan histamin tanpa melalui
perantaraan IgE, sepereti misalnya pada pemberian propofol atau
atracurium.
Page 14
Radio Allergo Sorbent Assay (RAST)
Merupakan solid phase radioimmunoassay yang mengukur
circulating allergen spesific IgE antibodies. Kegunaannya terbatas
sebagai tes diagnosis alergi obat, karena seperti tes kulit,
immunochemistry dari kebanyakan obat belum diketahui. Tes ini
telah dikembangkan untuk penisilin (penicilloyl moiety), insulin,
chymopapain, relaksan otot, thiopental, protamine dan lateks
.
Tes Provokasi
Tes Provokasi oral dapat menjadi gold standar dalam menentukan
adanya alergi obat. Tes ini harus dikerjakan dengan pengawasan
yang ketat dengan alat bantu resusitasi yang tersedia.
Tes untuk reaksi hipersenstivitas tipe II dan III
Tes hemaglutinasi (Coomb � s test direk atau indirek) telah
digunakan untuk menentukan adanya antibodi IgG dan IgM
spesifik untuk membantu diagnosis anemia hemolitik yang
diperantarai obat. Karena keterbatasannya (harus menjaga
kesegaran eritrosit yang terkonyugasi dengan obat ) sekarang
lebih banyak menggunakan metode Enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA). Yang terpenting adalah
menentukan hubungan IgG dan IgM dengan manifestasi klinis,
karena antibodi dapat positif tanpa kelainan imunopatologi.
Tes untuk reaksi hipersensitivitas tipe IV
Patch test dapat menentukan etiologi reaksi yang diperantarai sel
T, terutama eczematous, erupsi terinduksi obat. Tes ini dapat
diaplikasikan pada kelainan kulit karena obat serta rekasi
Page 15
sistemik. Kegunaan metode ini tergantung dari pembawa obat dan
tempat aplikasinya. Patch test berguna untuk antikonvulsan
seperti carbamazepin dan penisilin. Metode ini terbatas
penggunaannya karena terbatasnya reagen yang sesuai dengan
determinan imunogenik dari obat.
Tes-tes lain
Biopsi dapat membantu menegakkan diagnosis dan perjalanan
respon inflamasi, tetapi hanya hal umum saja yang bisa
didapatkan (tipe infiltrat seluler, adanya edema). Pemeriksaan
imunohistokimia dapat memeberikan informasi tambahan.
Tryptase yang merupakan mast cell spesific protease dapat
meningkat pada reaksi anafilaksis. Konsentrasi yang meningkat
didapatkan pada obat anestesi, lateks dan beberapa antibiotik. Tes
lain yang dapat berguna antara lain basofil histamin release,
proliferasi limfosit, aktivasi komplemen dan tes lymphocyte
cytotoxicity. Tes-tes ini masih dalam penelitian, belum digunakan
untuk evaluasi ADR.
II.7. DIAGNOSIS 5
a. Anamnesis yang teliti : Obat-obatan/makanan yang didapat
b. Pemeriksaan fisik : Kelainan timbul secara akut/dapat juga
beberapa hari sesudah masuknya obat/makanan
c. Laboratorium :
- Histamin; meningkat sejak 5 – 30 menit post reaksi
- Triptase : dihasilkan dari sel mast
Page 16
- Serum triptase : meningkat beberapa jam dan digunakan untuk
konfirmasi episode anafilaksis
II.8. DIAGNOSIS BANDING 5
a. Reaksi vasovagal
Sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak
pingsan, pucat, dan berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafilaksis,
pada reaksi vasovagal, nadanya lambat dan tidak terjadi sianosis.
Meskipun tekanan darahnya turun, tetapi masih mudah diukur dan
biasanya tidak terlalu rendah, seperti anafilaksis
b. Infark miokard akut
Gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran.
Gejala ini sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak tampak tanda-tanda
obstruksi jalan nafas. Pemeriksaan EKG dan enzim akan membantu
diagnosis
c. Reaksi hipoglikemik
Disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat sampai tidak sadar. Tekanan darah
kadang-kadang menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi jalan
nafas. Pemeriksaan kadar glukosa darah dan pemberian terapi glukosa
menyokong diagnosis reaksi hipoglikemik.