25 1.6. Novelty (Kebaruan) Co-management dikenal sebagai suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang diharapkan dapat mengakomodir semua kepentingan stakeholder. Berkaitan dengan itu kebaharuan (novelty) dari penelitian ini adalah menemukan faktor kunci yang paling kuat pengaruhnya terhadap keberhasilan co- management, dan menghasilkan konsep co-management untuk penyelesaian konflik dalam pengelolaan TNLL yang akhirnya diharapkan kelestarian taman nasional dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan taman nasional dapat tercapai. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Pelaksanaan kegiatan pembangunan memunculkan dua benturan kepentingan yakni pembangunan dari sisi ekonomi dan pelestarian lingkungan pada sisi yang lain. Kedua benturan kepentingan tersebut akan menimbulkan dampak positif maupun negatif, demikian pula halnya dalam upaya pengelolaan TNLL di satu sisi ingin melestarikan sumberdaya alam yang ada, tapi di sisi lain bagaimana masyarakat yang ada di sekitarnya dapat terpenuhi kebutuhannya, terutama mereka yang bersentuhan langsung dengan sumberdaya yang bernilai ekonomi dari kawasan taman nasional. Oleh sebab itu upaya pengelolaan TNLL secara berkelanjutan perlu dilaksanakan. Pembangunan berkelanjutan mulai dipopulerkan pada tahun 1987 melalui laporan Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama) yang digagas oleh World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland sehingga dikenal dengan Komisi Brundtland. Fokus dari laporan yang disusun oleh Komisi Brundtland (Brundtland Report) tersebut, adalah pembangunan berkelanjutan yakni pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan atau mengurangi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (Soemarwoto 2004). Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep pembangunan yang bertujuan untuk mengelola atau memanfaatkan sumberdaya alam agar tidak mengalami kerusakan atau kepunahan. Konsep pembangunan berkelanjutan harus mengacu pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya. Pada berbagai kajian disebutkan pula bahwa untuk mencapai pengelolaan
30
Embed
II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
25
1.6. Novelty (Kebaruan)
Co-management dikenal sebagai suatu bentuk pengelolaan sumberdaya
alam yang diharapkan dapat mengakomodir semua kepentingan stakeholder.
Berkaitan dengan itu kebaharuan (novelty) dari penelitian ini adalah menemukan
faktor kunci yang paling kuat pengaruhnya terhadap keberhasilan co-
management, dan menghasilkan konsep co-management untuk penyelesaian
konflik dalam pengelolaan TNLL yang akhirnya diharapkan kelestarian taman
nasional dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan taman
nasional dapat tercapai.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Pelaksanaan kegiatan pembangunan memunculkan dua benturan
kepentingan yakni pembangunan dari sisi ekonomi dan pelestarian lingkungan
pada sisi yang lain. Kedua benturan kepentingan tersebut akan menimbulkan
dampak positif maupun negatif, demikian pula halnya dalam upaya pengelolaan
TNLL di satu sisi ingin melestarikan sumberdaya alam yang ada, tapi di sisi lain
bagaimana masyarakat yang ada di sekitarnya dapat terpenuhi kebutuhannya,
terutama mereka yang bersentuhan langsung dengan sumberdaya yang bernilai
ekonomi dari kawasan taman nasional. Oleh sebab itu upaya pengelolaan TNLL
secara berkelanjutan perlu dilaksanakan.
Pembangunan berkelanjutan mulai dipopulerkan pada tahun 1987 melalui
laporan Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama) yang digagas oleh
World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia tentang
Lingkungan dan Pembangunan) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland
sehingga dikenal dengan Komisi Brundtland. Fokus dari laporan yang disusun
oleh Komisi Brundtland (Brundtland Report) tersebut, adalah pembangunan
berkelanjutan yakni pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini
tanpa mengorbankan atau mengurangi peluang generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhannya (Soemarwoto 2004).
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep pembangunan
yang bertujuan untuk mengelola atau memanfaatkan sumberdaya alam agar
tidak mengalami kerusakan atau kepunahan. Konsep pembangunan
berkelanjutan harus mengacu pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya.
Pada berbagai kajian disebutkan pula bahwa untuk mencapai pengelolaan
26
sumberdaya alam yang berkelanjutan dibutuhkan sinergi yang baik antara fungsi
ekonomi, ekologi, dan sosial (Hanna et al. 1995; Sardjono 2004; Bohensky
2005). Sejalan dengan konsep kelestarian atau keberlanjutan, Suhendang (2004)
mengemukakan bahwa konsep pengelolaan sumberdaya hutan yang sustainable
mensyaratkan perlunya diperoleh manfaat terhadap fungsi-fungsi ekonomis
(produksi), ekologis (lingkungan), dan sosial dari sumberdaya hutan secara
optimal dan lestari.
Konsep pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi suatu konsep
pembangunan yang diterima olah semua negara di dunia untuk mengelola
sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan.
Konsep ini berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan
sektor kehutanan. Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidisiplin
karena banyak aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain
aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, hukum dan kelembagaan.
Barbier (1989) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan lebih
ditekankan pada pembangunan ekonomi dimana pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan (suatainable economic development) adalah konsep pembangunan
yang merujuk pada tingkat interaksi yang optimal antara tiga sistem yaitu biologi,
ekonomi, dan sosial, yang dicapai melalui satu proses trade-offs yang adaptif dan
dinamis. Sementara Pearce (1986) menekankan konsep pembangunan
berkelanjutan pada adanya kompromi antara sistem-sistem atau antara
kebutuhan generasi kini dan generasi yang akan datang.
Selanjutnya Yakin (1997) mengemukakan bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang
tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya atau dengan kata lain pembangunan berkelanjutan merupakan
suatu proses perubahan dalam eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi
pengembangan teknologi, dan perubahan institusi, yang kesemuanya berada
dalam keselarasan dan meningkatkan potensi masa kini dan yang akan datang
untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia. Dalam hal ini,
pembangunan ekonomi harus berjalan selaras dengan kepentingan lainnya
sehingga pertumbuhan ekonomi tidak hanya memenuhi kepentingan generasi
sekarang tetapi juga generasi yang akan datang.
Munasinghe dan McNelly (1992) mengidentifikasi tiga konsep dari
pembangunan berkelanjutan yakni konsep pendekatan ekonomi, ekologi, dan
27
sosial budaya. Aspek ekonomi pembangunan berkelanjutan dicapai apabila
dapat menghasilkan pendapatan yang maksimum dengan tetap
mempertahankan stok sumberdaya atau aset yang menghasilkan benefit
tersebut. Aspek ekologi menjelaskan stabilitas fisik dan biologi suatu sistem atau
ekosistem sementara aspek sosial budaya dari pembangunan berkelanjutan
menyangkut stabilitas sistem sosial budaya, termasuk mengurangi konflik yang
biasa terjadi.
Identifikasi tiga konsep pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan di
atas, sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan oleh
Munasinghe (1993) bahwa pembangunan berkelanjutan apabila memenuhi tiga
dimensi yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial
berkeadilan, dan secara ekologis lestari (ramah lingkungan). Makna
pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada
pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah
kuantitas modal alam (natural capital) yang dapat menyediakan suatu hasil
berkelanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan termasuk estetika. Hal lain
yang tidak kalah pentingnya adalah konsep pemanfaatan sumberdaya yang
berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna bahwa eksploitasi
atau pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau
dihasilkan dalam kurun waktu yang sama.
2.2. Taman Nasional MacKinnon et.al (1993) mengemukakan bahwa taman nasional adalah
kawasan pelestarian alam yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai
alam yang spesifik dengan kepentingan pelestarian tinggi, potensi objek rekreasi
yang besar, mudah dicapai dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah
tersebut. Sementara IUCN (1994) merumuskan bahwa taman nasional adalah
areal yang cukup luas, dimana ada satu atau beberapa ekosistem tidak berubah
oleh kegiatan eksploitasi atau pemilikan lahan spesies flora dan fauna, kondisi
geomorfologi dan kondisi habitatnya memiliki nilai landskape alam dengan
keindahan tinggi.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya merumuskan bahwa taman
nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam.
28
Fungsi pokok taman nasional adalah: 1) sebagai kawasan perlindungan; 2)
sebagai kawasan untuk mempertahankan keragaman jenis tumbuhan dan satwa;
dan 3) sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya.
Pengelolaan kawasan taman nasional, dilakukan dengan sistem zonasi
agar kawasan tersebut dapat dikelola dengan baik. Sistem zonasi yang dimaksud
adalah zona inti, zona pemanfaatan, dan zona rimba atau zona lainnya yang
ditetapkan berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya. Untuk zona inti tidak diperkenankan adanya campur tangan
manusia baik dari pihak pengelola maupun pengunjung karena. Setiap kegiatan
atau aktivitas makhluk hidup pada zona inti dibiarkan berjalan dengan sendirinya.
Pada zona rimba, campur tangan manusia secara terbatas diperkenankan
misalnya pendidikan, penelitian, wisata terbatas serta kegiatan yang menunjang
budidaya. Sedangkan pada zona pemanfaatan, diperkenankan adanya kegiatan
pendidikan, penelitian, penunjang budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa,
serta wisata alam atau ekoturisme (PP No.68 tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam).
Berkaitan dengan pengelolaan taman nasional maka masyarakat atau
pihak swasta diperkenankan untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk kemitraan
dengan membangun sarana dan prasarana penunjang wisata misalnya bungalow
atau pusat penjualan cinderamata. Namun demikian sarana dan prasarana yang
dibangun harus menggunakan pola arsitektur setempat serta bahan-bahan yang
ramah lingkungan serta diupayakan untuk tidak terjadinya kerusakan alam.
Antara kawasan taman nasional dengan kawasan pemukiman biasanya
dipisahkan oleh suatu kawasan yang dikenal dengan daerah penyangga. Daerah
penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang
berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan
perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan (PP No. 68 tahun
1998)
Alikodra (1998) mengemukakan pula bahwa daerah penyangga adalah
wilayah yang berada di luar kawasan konservasi, baik sebagai kawasan hutan,
tanah negara bebas maupun tanah negara yang dibebani hak dan diperlukan
serta mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Pada prinsipnya daerah
penyangga dapat berfungsi sebagai penyangga terhadap berbagai macam
29
kegiatan yang dapat merusak potensi sumberdaya alam taman nasional dan juga
berfungsi untuk melindungi manusia dari binatang liar pemangsa. Daerah
penyangga taman nasional adalah suatu kawasan yang berfungsi melindungi
taman nasional dari gangguan manusia atau juga melindungi kehidupan manusia
dari gangguan yang berasal dari taman nasional.
Selanjutnya MacKinnon et al. (1993) memberikan batasan bahwa daerah
penyangga merupakan kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang
dilindungi dan berfungsi sebagai lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan
yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Daerah
penyangga bertujuan untuk: 1) menyelamatkan potensi kawasan dari berbagai
macam gangguan baik oleh manusia, ternak ataupun pencemaran lingkungan; 2)
mengembangkan dan membina hubungan tradisional antara masyarakat dengan
alam, sehingga tercipta adanya integrasi antara manusia dan alam pada kondisi
yang lebih baik; 3) memberikan perlindungan terhadap masyarakat daerah
pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dari gangguan satwa liar yang
berasal dari kawasan konservasi; 4) meningkatkan produktivitas lahan melalui
pola usahatani yang lebih intensif; 5) meningkatkan kesadaran dan partisipasi
masyarakat terhadap upaya pelestarian alam dan lingkungan; 6)
mengembangkan jenis-jenis kebutuhan pokok yang berasal dari kawasan
konservasi dengan pengembangan pola budidaya baik untuk protein hewani
maupun protein nabati; 7) mengembangkan sistem jasa yang berkaitan dengan
kegiatan pengelolaan kawasan konservasi.
MacKinnon et al. (1993) mengemukakan pula bahwa dasar umum yang
digunakan dalam penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional adalah: 1)
karakteristik atau keunikan ekosistem, 2) mempunyai keanekaragaman spesies
atau spesies khusus yang “bernilai”, 3) mempunyai landskap dengan ciri geofisik
atau estetika yang “bernilai”, 4) mempunyai fungsi perlindungan hidrologi (tanah,
air, iklim), 5) mempunyai sarana untuk rekreasi alam atau kegiatan wisata dan 6)
mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan
megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun 1998 tentang KSA
KPA pada Pasal 31 dikatakan bahwa suatu kawasan ditunjuk sebagai suatu
kawasan taman nasional apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin
kelangsungan proses ekologis secara alami;
30
2) memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis
tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang
masih utuh dan alami;
3) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
4) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai
pariwisata alam; dan
5) merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena kepentingan
rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan
dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Umar (2004) mengemukakan
bahwa CSIAD-CP telah memfasilitasi pembentukan Forum Konservasi sebagai
Forum Wilayah Penyangga Taman Nasional Lore Lindu pada lima wilayah
kecamatan (Kecamatan Palolo, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Lore Utara,
Kecamatan Lore Tengah, dan Kecamatan Lore Selatan) dimana TNLL berada.
Persoalan penting yang perlu diketahui menyangkut daerah penyangga adalah
berimpitnya batas TNLL dengan halaman rumah penduduk pada beberapa
daerah yang berbatasan langsung dengan TNLL sehingga penetapan daerah
penyangga pada wilayah tersebut dibutuhkan fleksibilitas posisi atau situasi
daerah penyangga relatif terhadap kawasan konservasi (Ebregt dan Greve
2000).
2.3. Konflik dalam Pengelolaan Taman Nasional
Paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang lebih menitikberatkan
pada aspek ekologi semata, tanpa memperhatikan kepentingan sosial ekonomi
masyarakat di sekitarnya menghasilkan kebijakan pengelolaan kawasan
konservasi yang salah arah (misleading policy). Hal ini disebabkan karena
pengelolaan kawasan konservasi yang sentralistik dengan perencanaan dan
keputusan-keputusan yang bersifat topdown akibatnya nilai dan kepentingan dari
pengelolaan kawasan konservasi tidak searah dengan nilai dan kepentingan
masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Implikasi dari kondisi ini adalah
terjadinya ketidakstabilan yang ditandai dengan terjadinya konflik kepentingan
antara pengelola kawasan dengan stakeholder lainnya terutama komunitas-
komunitas lokal yang berada di sekitar kawasan tersebut.
31
Fisher et al. (2001) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua
pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki
sasaran-sasaran yang satu sama lain tidak sejalan. Dikemukakan pula bahwa
konflik timbul karena adanya kesenjangan status sosial, akses yang tidak
seimbang terhadap sumberdaya, kekuasaan yang tidak seimbang yang
kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran,
kemiskinan, penindasan, dan kejahatan.
Berkaitan dengan itu, Priscoli (1997) membedakan lima penyebab utama