II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Sawit Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari inti/biji (kernel). Minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari sabut dikenal dengan crude palm oil (CPO) dan dari biji disebut minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO). Neraca massa pengolahan kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Neraca massa pengolahan kelapa sawit CPO diperoleh dari bagian mesokarp buah kelapa sawit yang telah mengalami beberapa proses, yaitu sterilisasi, pengepresan, dan klarifikasi. Minyak ini merupakan produk level pertama yang dapat memberikan nilai tambah sekitar 30% dari nilai tandan buah segar. Komponen asam lemak dominan pada CPO adalah asam palmitat dan oleat. Palm Kernel Oil (PKO) diperoleh dari bagian kernel buah kelapa sawit dengan cara pengepresan. Komponen asam lemak dominan penyusun PKO adalah asam laurat, miristat dan oleat. Minyak inti sawit Tandan Buah Segar (TBS) 100 % Brondolan 66,05 % Tandan Kosong + Air 33,95 % Mesocarp 53,67 % Nut 12,38 % Kernel 5,7 % Cangkang 6,68 % CPO 24,32 % Air 20,37 % Fiber 8,98 % Olein 18,97 % Stearin 4,37 % PFAD 0,98 % PKO 2,45 % Cake 2,55 %
26
Embed
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. - repository.ipb.ac.id · Minyak Sawit Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Minyak Sawit
Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan
sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang
berasal dari inti/biji (kernel). Minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari sabut
dikenal dengan crude palm oil (CPO) dan dari biji disebut minyak inti sawit atau
palm kernel oil (PKO). Neraca massa pengolahan kelapa sawit dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Neraca massa pengolahan kelapa sawit
CPO diperoleh dari bagian mesokarp buah kelapa sawit yang telah
mengalami beberapa proses, yaitu sterilisasi, pengepresan, dan klarifikasi. Minyak
ini merupakan produk level pertama yang dapat memberikan nilai tambah sekitar
30% dari nilai tandan buah segar. Komponen asam lemak dominan pada CPO
adalah asam palmitat dan oleat. Palm Kernel Oil (PKO) diperoleh dari bagian
kernel buah kelapa sawit dengan cara pengepresan. Komponen asam lemak
dominan penyusun PKO adalah asam laurat, miristat dan oleat. Minyak inti sawit
Tandan Buah Segar (TBS) 100 %
Brondolan 66,05 %
Tandan Kosong + Air 33,95 %
Mesocarp 53,67 %
Nut 12,38 %
Kernel 5,7 %
Cangkang 6,68 %
CPO 24,32 %
Air 20,37 %
Fiber 8,98 %
Olein 18,97 %
Stearin 4,37 %
PFAD 0,98 %
PKO 2,45 %
Cake 2,55 %
8
(PKO) memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan minyak sawit (CPO).
Minyak inti sawit memiliki kandungan asam laurat yang sangat tinggi dengan titik
leleh yang tinggi, sedangkan minyak sawit didominasi oleh asam palmitat dengan
kisaran antara titik leleh dengan titik lunak (softening point) yang sangat jauh
(O’Brien, 2000).
Pemisahan asam lemak penyusun trigliserida pada minyak sawit dapat
dilakukan dengan menggunakan proses fraksinasi. Secara umum proses fraksinasi
minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid
Distillate (PFAD), dan 0,5% limbah. Komposisi asam lemak beberapa produk
sawit disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit
Ket. a) Procter and Gamble, b) Henkel dan Chengdu Nymph, c) Emery. Sumber : MacArthur et al. (2002).
Gambar 4. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi
(Jungermann, 1979)
16
Menurut Foster (1996), proses sulfonasi menggunakan SO3 dilakukan
dengan cara melarutkan SO3 dengan udara yang sangat kering dan direaksikan
secara langsung dengan bahan baku organik yang digunakan. Sumber gas SO3
yang digunakan dapat berbentuk SO3 cair ataupun SO3 yang diproduksi dari hasil
pembakaran sulfur. Reaksi gas SO3 dengan bahan organik berlangsung cukup
cepat. Biaya proses sulfonasi dengan SO3 paling rendah dibandingkan proses
sulfonasi lainnya, menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, proses bersifat
sinambung, dan sesuai untuk volume produksi yang besar.
Menurut Foster (1996), kelebihan pemakaian SO3 adalah SO3 mampu
mensulfonasi beragam bahan baku dan menghasilkan produk dengan kualitas baik
dibandingkan bila menggunakan jenis reaktan yang lain. Namun kendala yang
dihadapi bila menggunakan SO3 adalah sebagai berikut : (1) gas SO3 hasil
pembakaran SO2 umumnya memiliki konsentrasi 26 - 18 persen, sehingga harus
dilarutkan dengan udara kering ke kisaran normal untuk proses sulfonasi yaitu
antara 4 - 7 persen, (2) gas SO3 memiliki dew point yang lebih tinggi (umumnya -
35 oC) dibanding yang diperlukan pada instalasi sulfonasi (umumnya -60 hingga -
80 oC), sehingga sangat berpengaruh terhadap kualitas produk pada proses
sulfonasi, dan (3) biaya inisial peralatan yang mahal dan kompleks.
Proses sulfonasi metil ester untuk menghasilkan MES lebih kompleks
dibandingkan proses sulfonasi menggunakan bahan baku lainnya. Teknologi
sulfonasi yang telah berkembang saat ini memungkinkan untuk dihasilkannya
produk-produk hasil sulfonasi seperti linear alkylbenzene sulfonates (LAS),
primary alcohol sulfates (PAS), alcohol ethoxysulfates (AES), dan alpha olefin
sulfonates (AOS) tanpa perlu dilakukan proses pemucatan (bleaching) (Robert et
al,, 1988). Namun hal tersebut tidak berlaku pada proses sulfonasi ME, karena (1)
pada proses sulfonasi ME diperlukan secara signifikan rasio mol SO3 yang lebih
besar dibanding bahan baku ME, (2) diperlukan tahapan aging pada suhu tinggi,
dan (3) dihasilkan produk dengan warna yang sangat gelap (nilai Klett lebih dari
1000) (Schwuger dan Lewandowski, 1995), sehingga untuk proses produksi MES
yang diaplikasikan untuk deterjen harus dilengkapi dengan tahapan proses
pemucatan warna (bleaching).
17
Menurut Robert et al. (2008), untuk memproduksi MES setidaknya
terdapat tiga tahapan penting, yaitu (a) tahap kontak ME/SO3, (b) tahap aging, dan
(c) tahap netralisasi. Pada tahap kontak ME/SO3, SO3 diabsorbsi oleh ME
membentuk produk antara. Rasio mol SO3-ME tidak boleh lebih rendah dari 1,2
karena akan menyebabkan tidak tercapainya konversi penuh ME. Tahapan ini
biasanya berlangsung cepat secara kontinyu pada reaktor falling film. Proses
sulfonasi ME belum menghasilkan MES, namun produk antara Methyl Ester
Sulfonic Acid (MESA) (MacArthur et al., 2002) atau fatty acid methyl ester (α-SF)
(Yamada dan Matsutani, 1996) yang bersifat asam. MESA merupakan surfaktan
anionik, memiliki deterjensi tinggi, dan bersifat biodegradable (Yamada dan
Matsutani, 1996). Pada tahap awal sulfonasi, sulfur trioksida diserap oleh metil
ester dan secara cepat membentuk produk anhidrid intermediet di dalam
keseimbangan yang mengaktifkan karbon alfa menuju reaksi sulfonasi untuk
membentuk produk intermediet. Produk intermediet akan mengalami penyusunan
kembali untuk melepaskan sulfur trioksida untuk membentuk asam sulfonat ester
metil yang diinginkan (MESA). Sulfur trioksida yang dilepaskan lalu akan
mengkonversi sisa produk anhidrid intermediet membentuk produk intermediet.
Produk intermediet kemudian akan dikonversi menjadi MESA (MacArthur et al.,
2002). Stoikiometri sulfonasi ME disajikan pada Gambar 5. Jika produk
intermediet tersebut dinetralisasi sebelum terkonversi sempurna menjadi MESA,
maka banyak ME yang belum terkonversi, sehingga konversi ME menjadi produk
sulfonat hanya berkisar 60-75%. Produk sulfonat yang telah dinetralisasi pada
tahapan ini mengandung MES dalam jumlah kecil, sementara sebagian besar akan
terdiri atas disalt (RCH(CO2Na)SO3Na) bersama dengan sodium methyl sulfate
(SMS, MeOSO3Na), karenanya diperlukan proses aging.
Tahap aging merupakan tahap dimana produk antara bereaksi, sehingga
proses konversi ME menjadi produk sulfonat makin sempurna. Tahap aging pada
sulfonasi ME lebih sulit dibanding aging pada sulfonasi LAB, karena
mensyaratkan suhu minimal 80oC. Waktu diam yang dibutuhkan selama proses
aging bergantung pada suhu, rasio mol SO3/ME, target tingkat konversi yang
ingin dicapai, dan karakteristik reaktor yang digunakan. Sebagai gambaran, proses
sulfonasi menggunakan reaktor batch ataupun plug flow reactor (PFR), pada rasio
18
mol 1,2 untuk kondisi proses sulfonasi 45 menit pada suhu 90oC ataupun pada
kondisi proses sulfonasi 3,5 menit pada suhu 120oC akan memberikan tingkat
konversi 98%. Sementara jika menggunakan continuously stirred tank reactor
(CSTR) maka waktu aging harus digandakan. Tahap nentralisasi diperlukan,
karena jika produk antara hasil reaksi bersifat asam tidak dinetralisasi akan
menyebabkan kerusakan pada warna. Khususnya untuk C16 dan bahan baku ME
dengan asam lemak lebih tinggi lainnya, dimana produk menjadi lebih kental dan
bahkan memadat kecuali jika dipanaskan. Untuk mengurangi warna gelap
tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan larutan H2O2 atau larutan metanol,
yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan larutan alkali
(KOH atau NaOH). Setelah melewati tahap netralisasi, produk yang berbentuk
pasta dikeringkan sehingga produk akhir yang dihasilkan berbentuk concentrated
pasta, solid flake, atau granula (Watkins, 2001).
Gambar 5. Stoikiometri sulfonasi ME (Robert et al., 2008)
Proses netralisasi pada skala komersial ataupun pilot biasanya dilakukan
secara kontinyu pada reaktor berbentuk loop. Hal ini penting untuk mencegah pH
ekstrem pada proses netralisasi, sehingga hidrolisis MES menjadi disalt dapat
dihindari. Produk sulfonasi mengandung campuran MES dan disalt
(RCH(CO2Na)SO3Na) dengan komposisi sekitar 80:20. Sodium metil sulfat
19
(MeOSO3Na) juga terdapat pada jumlah yang ekivalen dengan molar disalt.
Menurut Gupta dan Wiese (1992) dalam reaktor sulfonasi, nisbah mol SO3 dan
alkil dikontrol antara 1,03 : 1 hingga 1,06 : 1 agar dicapai tingkat konversi yang
optimum tanpa menyebabkan terjadinya peningkatan reaksi samping ataupun
degradasi warna. Suhu reaktor dikontrol antara 110 - 150 oF (43 - 65 oC).
Sebelum proses sulfonasi dilakukan, terlebih dahulu gas SO3 dicampur dengan
udara kering hingga konsentrasinya menjadi 4 - 8 persen. Proses netralisasi dapat
dilakukan dengan menggunakan pelarut KOH, NH4OH, NaOH, atau alkanolamin.
Menurut Moreno et al. (2003) selama proses sulfonasi berlangsung produk
lain seperti anhidrid dan sulfon juga terbentuk. Sekitar 25% sulfon dan 75% LAB
yang tidak bereaksi dengan gas SO3 dapat dihilangkan selama proses aging dan
dikonversi menjadi bahan aktif. Anhidrid dapat dihilangkan melalui proses
hidrolisis, akan tetapi sulfon yang terbentuk selama proses sulit untuk dipisahkan.
Karena tingginya kadar warna produk yang dihasilkan (warna gelap),
maka tahapan bleaching perlu dilakukan jika produk akan digunakan untuk
deterjen laundry ataupun untuk consumer products lainnya. Tahap bleaching
umumnya menggunakan hidrogen peroksida sebagai bahan pemucat, yang dapat
memberikan hasil yang baik meski digunakan sebelum ataupun setelah netralisasi.
Bleaching dilakukan setelah tahap re-esterifikasi ataupun secara simultan dengan
re-esterifikasi dengan menambahkan metanol pada waktu yang sama. Hidrogen
peroksida umumnya digunakan sebagai larutan 35 atau 50% ditambahkan pada
konsentrasi 2-3%, Keberadaan air pada tahapan ini menyebabkan kecenderungan
terhidrolisisnya MESA, sehingga memicu peningkatan terbentuknya disalt setelah
netralisasi. Residu metanol dari re-esterifikasi, ataupun metanol yang
ditambahkan pada tahap bleaching dapat menekan laju hidrolisis dan juga
mengurangi viskositas dari campuran reaksi. Tanpa penambahan metanol, disalt
yang terbentuk akan semakin banyak sehingga dapat mengganggu jika nantinya
akan diaplikasikan. Tergantung pada spesifikasi yang disyaratkan, tahapan re-
esterifikasi dilakukan untuk mengkonversi prekursor disalt menjadi prekursor
MES. Tahapan ini meliputi penanganan campuran reaksi yang bersifat asam
dengan metanol sebelum dinetralisasi, dan tahapan ini dapat mereduksi
kandungan disalt dari produk hasil netralisasi (Robert et al., 2008).
20
Baker (1995) telah memperoleh paten proses pembuatan sulfonated fatty
acid alkyl ester dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Bahan baku yang
digunakan berasal dari asam lemak minyak nabati komersial. Proses sulfonasi
dilakukan dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO3 dalam falling film reactor,
dengan perbandingan reaktan antara SO3 dan alkil ester yaitu 1,1 : 1 hingga 1,4 : 1
pada suhu proses antara 75 - 95 oC dan lama reaksi antara 20 - 90 menit, dan
dilanjutkan dengan netralisasi berulang untuk mereduksi bahan pengotor dalam
jumlah sedikit (termasuk disalt dan dimethyl sulfate (DMS)).
Menurut Sheats dan MacArthur (2002), penelitian mengenai produksi
MES skala pilot plant secara sinambung telah dilakukan oleh Chemithon
Corporation. Produksi MES dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap proses
sulfonasi dimulai dengan pemasukan bahan baku metil ester dan gas SO3 ke
reaktor dan selanjutnya diikuti dengan tahap aging (pencampuran di digester),
tahap pemucatan, tahap netralisasi, dan tahap pengeringan. Bahan baku yang
digunakan yaitu metil ester dari minyak kelapa, minyak inti sawit, stearin sawit,
minyak kedelai dan tallow. Bahan baku metil ester dimasukkan ke reaktor pada
suhu 40 - 56 oC, rasio mol reaktan SO3 dan metil ester sekitar 1,2 - 1,3 dan
konsentrasi gas SO3 7 persen dan suhu gas SO3 sekitar 42 oC. MES segera
ditransfer ke digester pada saat mencapai suhu 85oC, dengan lama proses 0,7 jam
(42 menit). Untuk pemurnian digunakan metanol sekitar 31 - 40 persen (b/b,
MES basis) dan H2O2 50 persen sekitar 1 - 4 persen (b/b, MES basis) pada suhu
95 - 100oC selama 1 - 1,5 jam. Metanol berfungsi untuk mengurangi
pembentukan disalt, mengurangi viskositas, dan mampu meningkatkan transfer
panas pada proses pemucatan. Proses netralisasi dilakukan dengan mencampurkan
bleached MES dengan pelarut NaOH 50 persen pada suhu 55 oC. Selanjutnya
produk MES hasil pemurnian dikeringkan pada suhu 145 oC dan tekanan 120 -
200 Torr agar diperoleh produk berupa pasta, powder atau flakes. Produk MES
yang dihasilkan melalui tahapan ini sesuai untuk kebutuhan industri deterjen yang
memerlukan surfaktan MES dengan warna pucat. Proses pemurnian palm C16-18
kalium metil ester sulfonat (KMES) yang diteliti oleh Sherry et al. (1995)
dilakukan tanpa melalui proses pemucatan. Pemurnian produk dilakukan dengan
21
mencampurkan ester sulfonat dengan 10-15 persen metanol di dalam digester, dan
dilanjutkan dengan proses netralisasi berupa penambahan 50 persen KOH.
2.6. Enhanced Oil Recovery (EOR)
Minyak mentah (petroleum) adalah campuran yang kompleks, terutama
terdiri dari hidrokarbon bersama-sama dengan sejumlah kecil komponen yang
mengandung sulfur, oksigen dan nitrogen serta komponen yang mengandung
logam dalam jumlah sangat kecil. Menurut Said (1998), senyawa hidrokarbon
dapat digolongkan dalam empat jenis, yaitu (a) golongan paraffin (hidrokarbon
jenuh), (b) golongan hidrokarbon tak jenuh, (c) golongan naphtena, dan (d)
golongan aromatik. Golongan paraffin memiliki ikatan atom C yang tunggal,
sehingga membentuk rumus bangun yang mempunyai rantai terbuka, berupa gas,
cair ataupun zat padat tergantung dari jumlah atom C dalam satu molekul, dan jika
berada dalam ruangan yang mengandung udara atau oksigen dan diberi kalor akan
terbakar. Hidrokarbon tak jenuh adalah hidrokarbon yang mempunyai ikatan
rangkap ataupun ikatan tiga yang digunakan untuk mengikat dua atom C yang
berdekatan. Golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga deretan, yaitu deretan
olefin, diolefin dan asitilen. Ikatannya sangat reaktif, sehingga jarang terdapat
dalam minyak mentah yang terbentuk di alam, tetapi dapat terbentuk dalam
jumlah besar pada proses cracking dari minyak mentah. Golongan naphtena
termasuk dalam hidrokarbon jenuh tetapi rantai karbonnya merupakan rantai
tertutup, bersifat stabil dan hampir sama dengan paraffin. Golongan aromatik
terdiri dari benzene dan turunannya, bersifat tidak reaktif dan tidak sestabil
golongan paraffin. Pada suhu dan tekanan standar hidrokarbon aromatik berada
dalam bentuk cair atau padat.
Batuan reservoir merupakan batuan berpori dimana dalam pori-pori
batuan tersebut terdapat akumulasi fluida reservoir seperti minyak, air dan gas.
Sekitar 60 % dari reservoir terdiri atas batu pasir dan 30 % terdiri atas batu
gamping dan sisanya batuan lain. Secara umum sifat yang dimiliki batuan
reservoir adalah yang berhubungan dengan sifat statik (porositas dan saturasi) dan
dinamik (permeabilitas). Menurut Lake (1989), porositas didefinisikan sebagai
perbandingan antara volume ruang yang kosong (pori-pori) terhadap volume total
22
(bulk volume) dari suatu batuan. Ruang kosong tersebut dapat merupakan pori-
pori yang saling berhubungan satu sama lain, tetapi dapat pula merupakan rongga-
rongga yang saling terpisah atau tersekat. Porositas memiliki satuan dalam
persen. Klasifikasi porositas reservoir disajikan pada Tabel 5. Permeabilitas
adalah ukuran kemampuan suatu batuan berpori untuk mengalirkan fluida.
Permeabilitas berpengaruh terhadap besarnya kemampuan produksi (laju alir)
pada sumur-sumur penghasilnya. Besaran permeabilitas sangat bergantung dari
hubungan antara pori dalam batuan dengan satuan Darcy atau miliDarcy (mD),
namun harga permeabilitas tidak ada hubungan langsung dengan porositasnya.
Klasifikasi permeabilitas beberapa reservoir disajikan pada Tabel 6.
Tabel 5. Klasifikasi porositas reservoir
Porositas (%) Keterangan 0 – 5 Porositas jelek sekali 5 – 10 Porositas jelek 10 – 15 Porositas sedang 15 – 20 Porositas baik 20 – 25 Porositas baik sekali
Sumber : Koesoemadinata (1978).
Tabel 6. Klasifikasi permeabilitas reservoir
Permeabilitas (mD) Keterangan < 5 Ketat (tight)
5 – 10 Cukup (fair) 10 - 100 Baik (good)
100 – 1000 Baik sekali > 1000 Very good
Sumber : Koesoemadinata (1978).
Operasi perolehan minyak secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian
yaitu primary recovery, secondary recovery dan tertiary recovery. Pada primary
recovery, perolehan minyak diperoleh dengan menggunakan tenaga dorong
alamiah yang diberikan oleh reservoir itu sendiri. Secondary dan tertiary
recovery dilakukan setelah tahap primary recovery mengalami penurunan
produksi. Teknologi ataupun metoda yang digunakan untuk meningkatkan
recovery minyak bumi disebut sebagai improved oil recovery (IOR). Salah satu
23
teknik IOR yang melibatkan penginjeksian material untuk meningkatkan recovery
minyak bumi disebut sebagai enhanced oil recovery (EOR), yang biasanya
menggunakan injeksi gas tercampur, bahan kimia (chemical) ataupun thermal
energy untuk mengubah karakteristik dari suatu reservoir agar minyak yang
diperoleh lebih besar dibandingkan pada tahap sebelumnya (Lake, 1989).
Peningkatan perolehan minyak merupakan suatu teknologi yang
memerlukan biaya dan memiliki resiko yang tinggi. Untuk itu sebelum metode
EOR diterapkan di lapangan maka harus dikaji baik secara teknik maupun
ekonomi. Menurut Lake (1989), untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam
penerapan metode EOR biasanya melalui tiga tahapan penyaringan berikut : (a)
Memilih metode EOR yang tepat, yaitu dengan cara membandingkan karakteristik
reservoir dengan kriteria penyaringan atau screening criteria yang telah dibuat
berdasarkan pengalaman di lapangan dan di laboratorium, (b) Evaluasi reservoir
dengan model sederhana yang menjelaskan proses utama dilengkapi dengan
perkiraan perolehan minyak dan biaya yang dibutuhkan, dan (c) Evaluasi secara
terperinci melalui simulasi reservoir dan percobaan di laboratorium pada contoh
batuan reservoir. Pada Tabel 7 disajikan klasifikasi metode EOR berdasarkan
mekanisme pendesakan. Pada Tabel 8 disajikan klasifikasi metode EOR
berdasarkan jenis fluida yang diinjeksikan.
Tabel 7. Klasifikasi metode EOR berdasarkan mekanisme pendesakan
Current Enhanced Recovery Methods Solvent Extraction and/or Miscible Type Processes Nitrogen and flue gas Hydrocarbon-miscible methods CO2 flooding “Solvent” extraction of mined, oil bearing core IFT Reduction Processes Miscellar/polymer flooding (included in miscible type flooding above) ASP flooding Viscosity Reduction or Viscosity Increase and (or driving fluid) Processes Plus Pressure Steam flooding Fire flooding Polymer flooding Enhanced gravity drainage by gas or steam injection
Sumber : Taber et al. (1997).
24
Tabel 8. Klasifikasi metode EOR berdasarkan fluida injeksi
Current and past EOR Methods Gas and Hydrocarbon Solvent Methods “Inert” gas injection Nitrogen injection Flue-gas injection Hydrocarbon-gas (and liquid) injection High-pressure gas drive Enriched-gas drive Miscible solvent (LPG or propane) flooding Improved Water Flooding Methods Alcohol-miscible solvent flooding Micellar/polymer (surfactant) flooding Alkaline flooding ASP flooding Polymer flooding Gels or water shut off Microbial injection Thermal Methods In-situ combustion Standard forward combustion Wet combustion O2-enriched combustion Reverse combustion Steam and hot water injection Hot-water flooding Steam stimulation Steam flooding Surface mining and extraction
Sumber : Taber et al. (1997).
Dalam kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi, selain minyak yang
diproduksikan terdapat pula gas, baik yang terperangkap secara terpisah dari
minyak maupun gas yang larut di dalam minyak. Selain itu diproduksikan juga
air yang dikenal sebagai air formasi atau brine. Air formasi adalah air yang
terkumpul bersama minyak dan gas di dalam lapisan reservoir, terletak pada
kedalaman lebih dari 1000 meter dan terletak di bawah zona minyak.
Pada awal produksi dari reservoir minyak, volume air formasi yang ikut
terproduksi hanya sedikit dibanding dengan volume minyak yang diperoleh.
Akan tetapi bertambahnya waktu produksi menyebabkan volume minyak di dalam
reservoir tersebut semakin rendah dan volume air formasi menjadi dominan
dibanding jumlah minyak itu sendiri. Kondisi ini diikuti pula oleh penurunan
25
tekanan reservoir sehingga produksi minyak pada sumur tersebut perlu dibantu
dengan teknologi secondary recovery ataupun tertiary recovery. Senyawa
penyusun utama air formasi terdiri dari kation dan anion seperti kalsium,
magnesium, besi, barium, natrium, klorida, karbonat dan bikarbonat, serta sulfat.
Menurut Lake (1989), reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal
kondisi geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir, dan sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk merekoveri minyak bumi dalam
jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap reservoir yang
lain.
Metode EOR telah umum diterapkan di negara lain, namun penerapan di
Indonesia masih terkendala karena ketidaksesuaian antara air formasi dan batuan
formasi dari sumur minyak di Indonesia dengan surfaktan komersial yang berbasis
minyak bumi yang bila digunakan menyebabkan terjadinya penggumpalan dan
menimbulkan gangguan pada sumur produksi. Hal ini menjadi peluang untuk
dikembangkan jenis surfaktan berbasis sawit yang sesuai untuk sumur minyak
bumi di Indonesia.
2.7. Kegunaan Surfaktan dalam Proses EOR
Surfaktan memegang peranan penting di dalam proses Enhanced Oil
Recovery (EOR) dengan cara menurunkan tegangan antarmuka, mengubah
kebasahan (wettability), bersifat sebagai emulsifier, menurunkan viskositas dan
menstabilkan dispersi sehingga akan memudahkan proses pengaliran minyak
bumi dari reservoir untuk di produksi. Minyak yang terjebak di dalam pori-pori
batuan disebut blobs atau ganglia. Untuk mendorong ganglia maka gaya
kapilaritas dalam pori-pori harus diturunkan yakni dengan cara menurunkan nilai
IFT antara minyak sisa dengan brine di dalam reservoir. Surfaktan mampu
menurunkan IFT dan menurunkan saturasi minyak. Surfaktan yang berada di
dalam slug harus dibuat agar membentuk micelle yaitu surfaktan yang aktif dan
mampu mengikat air dan minyak pada konsentrasi tertentu. Jika konsentrasinya
masih kecil, maka campuran surfaktan tersebut masih berupa monomer (belum
aktif). Untuk itu setiap slug perlu diketahui critical micelles concentration (CMC)
yaitu konsentrasi tertentu, sehingga surfaktan yang semula monomer berubah
26
menjadi micelles. Hal yang penting dalam proses penggunaan surfaktan untuk
menghasilkan perolehan (recovery) minyak yang tinggi adalah: (a) memiliki IFT
yang sangat rendah (minimal 10-3 dyne/cm) antara chemical bank dan residual oil
dan antara chemical bank dan drive fluid, (b) memiliki kecocokan/kompatibiliti
dengan air formasi dan kestabilan terhadap temperatur, (c) memiliki mobility
control dan (d) kelayakan ekonomis proses (Pithapurwala et al., 1986).
Proses injeksi surfaktan perlu memperhatikan besar bilangan kapiler
terhadap penurunan saturasi minyak tersisa (Sor). Biasanya reservoir yang
diinjeksi surfaktan memiliki harga saturasi minyak tersisa di bawah 45% dengan
harga bilangan kapiler berkisar 10-4 – 10-2, sehingga pendesakan surfaktan dapat
optimal. Semakin rendah saturasi minyak tersisa pada suatu reservoir, maka
semakin besar bilangan kapiler yang dibutuhkan agar pendesakan surfaktan
optimal (Lake, 1989). Untuk memperbesar bilangan kapiler diperlukan tegangan
antarmuka yang rendah, dengan pendekatan rumus Nc = µv/σ, dimana Nca adalah
bilangan kapiler, µ adalah viskositas fluida pendesak (cP), v adalah laju injeksi
fluida pendesak, dan σ adalah tegangan antarmuka (dyne/cm). Penurunan nilai
tegangan antarmuka dapat dilakukan dengan menambahkan surfaktan. Surfaktan
yang baik adalah mampu menurunkan nilai tegangan antarmuka hingga ultra low
IFT yaitu lebih rendah dari 10-2 dyne/cm, karena pada kondisi tersebut maka
capillary number (Nc) akan semakin tinggi sehingga recovery factor (RF) juga
akan makin meningkat. Grafik hubungan bilangan kapiler terhadap saturasi
minyak tersisa (Sor) disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan bilangan kapiler terhadap Sor (Stegemeier, 1977)
27
Menurut Syahrial (2008), proses screening surfaktan di laboratorium perlu
dilakukan sebelum aplikasi surfaktan dilakukan di lapangan, dengan tujuan untuk
mencari surfaktan yang memiliki kinerja sesuai untuk aplikasi di reservoir yang
diujikan. Beberapa parameter yang diuji pada tahapan proses screening surfaktan
meliputi uji tegangan antarmuka (interfacial tension, IFT), kompatibilitas
(compatibility), kelakuan fasa (phase behavior), ketahanan panas (thermal
stability), laju alir filtrasi (filtration flow test), dan adsorpsi. IFT merupakan
parameter terpenting untuk chemical EOR ((Nedjhioui et al., 2005). Uji
kompatibilitas dilakukan bertujuan untuk mengetahui kecocokan antara larutan
surfaktan dengan air formasi dari reservoir yang diujikan. Uji dilakukan dengan
mencampurkan larutan surfaktan pada air formasi pada perbandingan tertentu
kemudian dipanaskan pada suhu reservoar selama waktu tertentu. Makin
kompatibel larutan surfaktan yang diujikan maka surfaktan makin efektif dalam
menurunkan tegangan antarmuka.
Kelakuan fasa menunjukkan pola kesetimbangan fasa dalam menentukan
konsentrasi dan formula sistem surfaktan/air/minyak, yang diidentifikasi
menggunakan ternary diagram. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah
terbentuk fasa atas, fasa tengah dan fasa bawah. Menurut Purnomo dan Makmur
(2009), sebelum dilakukan peningkatan perolehan minyak (EOR) secara metode
injeksi, sangat penting terlebih dahulu dilakukan uji kelakuan fasa dari campuran
minyak-surfaktan-cosurfaktan-air. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
fasa dari fasa bawah ke fasa tengah dan kemudian ke fasa atas dalam sistem
minyak/surfaktan/co-surfaktan/air injeksi adalah sebagai berikut : meningkatnya
salinitas, berkurangnya panjang rantai hidrokarbon (minyak), meningkatnya