19 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. CSR dan CSR Berkelanjutan Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) CSR adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti- komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan (Rudito et al., 2004). Peningkatan mutu kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati, serta memanfaatkan lingkungan hidup, termasuk perubahan-perubahan yang ada dan sekaligus memelihara. Atau dengan kata lain, CSR merupakan cara korporat mengatur proses usaha untuk memproduksi dampak positif pada masyarakat (Rudito et al., 2004). CSR berarti perusahaan harus bertanggungjawab atas operasinya yang berdampak buruk pada masyarakat, komunitas dan lingkungannya. Namun sebaliknya juga harus memberikan dampak positif terhadap masyarakat sekitar. Suatu perusahaan tidak akan dapat bertahan lama apabila dia mengisolasikan dan membatasi dirinya dengan masyarakat sekitarnya (Djajadiningrat dan Famiola, 2004). Terkait dengan aspek hukum maka terdapat 4 jenis CSR (Fajar, 2010) yaitu : 1. Social responsibility theory, yaitu kewajiban direksi dan manajemen untuk menjaga keharmonisan kepentingan pemegang saham (shareholders) dan pemangku kepentingan (stakeholders). Dalam teori ini seakan tanggung jawab sosial hanya menjadi kewajiban direksi dan manajemen saja atau menjadi terlalu sempit dari hakekat CSR yang seutuhnya. 2. Hobbesian Leviatan theory, yang menghendaki kontrol yang ketat dari Pemerintah serta meniadakan upaya-upaya lainnya. Teori ini menempatkan hanya Pemerintah sebagai pihak yang berwenang dan menentukan terhadap aktivitas CSR perusahaan dan menegasikan alternatif lainnya dalam pengaturan CSR.
55
Embed
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. CSR dan CSR Berkelanjutan · tak kentara (invisible hands ... perhitungan keuntungan kontan yang langsung, ... memberikan manfaat dan keuntungan bagi perusahaan.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
19
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. CSR dan CSR Berkelanjutan
Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) CSR
adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan,
bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-
komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka
meningkatkan mutu kehidupan (Rudito et al., 2004). Peningkatan mutu kehidupan
mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk
dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati, serta memanfaatkan
lingkungan hidup, termasuk perubahan-perubahan yang ada dan sekaligus memelihara.
Atau dengan kata lain, CSR merupakan cara korporat mengatur proses usaha untuk
memproduksi dampak positif pada masyarakat (Rudito et al., 2004). CSR berarti
perusahaan harus bertanggungjawab atas operasinya yang berdampak buruk pada
masyarakat, komunitas dan lingkungannya. Namun sebaliknya juga harus memberikan
dampak positif terhadap masyarakat sekitar. Suatu perusahaan tidak akan dapat bertahan
lama apabila dia mengisolasikan dan membatasi dirinya dengan masyarakat sekitarnya
(Djajadiningrat dan Famiola, 2004).
Terkait dengan aspek hukum maka terdapat 4 jenis CSR (Fajar, 2010) yaitu :
1. Social responsibility theory, yaitu kewajiban direksi dan manajemen untuk menjaga
keharmonisan kepentingan pemegang saham (shareholders) dan pemangku
kepentingan (stakeholders). Dalam teori ini seakan tanggung jawab sosial hanya
menjadi kewajiban direksi dan manajemen saja atau menjadi terlalu sempit dari
hakekat CSR yang seutuhnya.
2. Hobbesian Leviatan theory, yang menghendaki kontrol yang ketat dari Pemerintah
serta meniadakan upaya-upaya lainnya. Teori ini menempatkan hanya Pemerintah
sebagai pihak yang berwenang dan menentukan terhadap aktivitas CSR perusahaan
dan menegasikan alternatif lainnya dalam pengaturan CSR.
20
3. Corporate governance theory, menghendaki adanya corporate accountability dari
direksi korporasi. Cenderung lebih mengamati hubungan pihak internal korporasi
yaitu antara pemilik dan manajemen korporasi.
4. Reflexive law theory, digunakan untuk mengatasi kebuntuan atas pendekatan formal
terhadap kewajiban perusahaan dalam sistem hukum. Hukum formal adalah bentuk
intervensi negara dalam mengatur persoalan privat melalui bentuk perundang-
undangan seperti Undang-Undang Perseoran Terbatas yang didalamnya juga
mengatur mengenai tanggungjawab sosial perusahaan. Reflexive law theory adalah
teori hukum yang menjelaskan adanya keterbatasan hukum (limit of law) dalam
masyarakat yang kompleks untuk mengarahkan perubahan sosial secara efektif.
Mengacu dari definisi CSR tersebut, ternyata pengaturan mengenai CSR tidak
cukup hanya dengan ke 3 pendekatan atau jenis pertama karena keterbatasan-keterbatasan
dari teori hukum sedangkan ruang lingkup CSR melebihi dari aturan yang berlaku.
Reflexive law theory paling tepat untuk menekan kerumitan dan keberagaman masyarakat
melalui peraturan perundang-undangan yang ekstensif. Reflexive law theory bertujuan
untuk mengarahkan pola tingkah laku dan mendorong pengaturan sendiri (self
regulation). Proses ini adalah regulated autonomy atau membiarkan private actors,
seperti korporasi untuk bebas mengatur dirinya sendiri. Masyarakat yang akan
memberikan penilaian maupun sanksi (market‟s reward punishment) terhadap aktivitas
CSR perusahaan. Disisi lain hukum reflexive mengintervensi proses sosial dengan
membuat prosedur acuan untuk perilaku korporasi (code of conduct). Dalam mengontrol
perilaku korporasi maka reflexive law theory menghendaki adanya social accounting,
auditing dan reporting, yang disebut social reporting (Fajar, 2010).
Pada dasarnya CSR memiliki berbagai aliran pemikiran yang dibagi menjadi
beberapa school of thought yaitu adalah :
1. CSR dibagi menjadi 3 school of thought menurut Achwan (2006) yaitu:
a. The business of business is business yang berpandangan bahwa perusahaan pada
hakekatnya merupakan institusi pencipta kesejahteraan masyarakat. Setiap
perusahaan memiliki tujuan tunggal yaitu memaksimalkan keuntungan untuk
pemiliknya dan dipercaya dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Tangan-tangan
21
tak kentara (invisible hands), adalah naluri yang dimiliki setiap perusahaan. Dengan
kata lain, perusahaan adalah pencipta kekayaan (wealth), dalam masyarakat dan
patuh kepada rule of law. Semua kegiatan philanthropy-semacam ini pada dasarnya
adalah pencurian uang milik pemegang saham yang dilakukan oleh para direktur
perusahaan.
b. Corporate voluntarism yang lebih menekankan aspek kebajikan, virtue, dalam
mengejar keuntungan perusahaan. Asumsi dari alam pemikiran ini adalah sifat CSR
sukarela (voluntary) dan menolak campur tangan negara dalam mengatur CSR di
perusahaan, CSR mendorong keuntungan ekonomi perusahaan, lalu keberadaan
perusahaan tidak dapat lepas dari masyarakat tempat perusahaan beroperasi.
c. Corporate involuntarism berpendapat bahwa setiap perusahaan memiliki kewajiban
menjalankan tanggung jawab sosial. Kewajiban ini harus dituangkan dalam bentuk
undang-undang. Para penyokong aliran ini berpendapat bahwa dalam kondisi
sekarang ini, ketika multinational corporation (MNC) jauh lebih berpengaruh
dibandingkan negara bangsa, self regulation dan voluntarism tidaklah mencukupi.
Sehingga perlu campur tangan Pemerintah.
2. Pengelompokan lainnya tentang aliran pemikiran dari CSR juga membagi menjadi 3
school of thought menurut pandangan Michael (2010) yaitu :
a. Neo-liberal school atau markets provide CSR adalah kegiatan CSR dimana pasar
menjadi pendorong aktivitas CSR meliputi CSR product market demand atau CSR
pada produk yang didorong oleh permintaan pasar, labour market demand atau
CSR pada tenaga kerja yang didorong oleh permintaan pasar dan capital market
demand atau CSR atas modal yang didorong oleh permintaan pasar modal.
Aktivitas ini bersifat sukarela dengan mekanisme kegiatannya mengacu pada
triple bottom line (dampak environmental, social, financial), dan stakeholders
board.
b. State led school atau CSR as a public policy adalah kegiatan CSR yang diatur
oleh negara. Aktivitas CSR dalam hal ini sifatnya wajib dilaksanakan.
c. Third-sector school atau CSR as site of participation adalah aktivitas CSR yang
dilakukan dengan membentuk forum-forum kerjasama seperti gabungan
22
perusahaan-perusahaan, kerjasama perusahaan dengan lembaga swadaya
masyarakat (LSM).
3. Pemikiran lainnya atas school of thought dari CSR adalah sebagaimana yang
dikemukakan Fajar (2010) yaitu :
a. CSR yang bersifat sukarela (voluntary), adalah bentuk tanggung jawab sosial
perusahaan yang dilaksanakan secara sukarela dengan alasan: tujuan perusahaan
mencari keuntungan, CSR merupakan kewajiban moral sesuai pendapat Milton
Friedman, diacu dalam Fajar (2010), pelaksanaan CSR bertentangan dengan hak
kepemilikan privat, dan tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dalam bisnis. Henry
Hansmann dan Reinier Kraakman mengatakan bahwa tujuan perusahaan dalam
jangka panjang adalah mencari keuntungan shareholders. Shareholders oriented
menjadi model standar untuk hukum perusahaan secara universal. Karena sifatnya
sukarela dan berada di wilayah etika maka CSR diatur dalam code of conduct
(softlaw) seperti Global Reporting Initiative (GRI) Sustainability Reporting
Guidelines, Organisation fot Economic Co-operation and Development (OECD)
Guidelines for Multinational Enterprises, dan lain sebagainya. Namun keberadaan
Corporate Code of Conduct tidak cukup mampu mengikat korporasi (Fajar,
2010).
b. Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang bersifar wajib (compulsory).
Alasan utama dari CSR yang diwajibkan ini adalah: korporasi harus
memperhatikan kepentingan sosial yaitu stakeholders sebagaimana dikemukakan
oleh E.Merric Dodd, diacu dalam Fajar (2010) yang melahirkan stakeholders
theory. Selanjutnya pendapat ini didukung oleh Henry Hansmann dan Reinier
Kraakman yang berpendapat bahwa keberadaan perusahaan adalah untuk melayani
kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Terdapat 2 alasan mengapa CSR harus
diatur dalam hukum negara karena : 1). Tidak ada kekuatan memaksa dari hukum
kebiasaan dan prinsip sukaerela, tanpa diratifikasi dalam peraturan lokal sebuah
negara, 2). Prinsip sukarela yang tidak mengikat tidak akan memberikan efek
apapun secara jelas dan terukur (Fajar, 2010).
c. Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang tergantung situasi dan kondisi.
23
Kebijakan ini dipelopori oleh Jenkins, diacu dalam Fajar (2010) yang melihat dari
fungsi hukum untuk mengatur ketertiban masyarakat. Untuk itu perlu dipahami
ranah apa saja yang masuk wilayah hukum dan mana yang tidak, Jenkins
mengatakan bahwa wilayah hukum dapat dilihat dari dua rezim yaitu necessity
(kebutuhan) dan possibility (kemungkinan). Necessity adalah rezim yang digunakan
untuk mendukung pembangunan manusia (human development). Tanpa kondisi
yang aman dan stabil pembangunan manusia tidak bisa dilakukan. Sementara
possibility berfungsi menciptakan kebebasan, kesempatan dan kemajuan yang
diperlukan, untuk menciptakan kesempurnaan kebaikan (absolute good). Jika rezim
necessity dan possibility menghendaki aturan hukum maka akan melahirkan
tanggung jawab hukum. Kewajiban untuk CSR menjadi perlu ketika korporasi
cenderung menghalangi pembangunan manusia dan berpeluang memunculkan
eksploitasi, korupsi, kesewenang-wenangan dan ketidakpastian dalam masyarakat
(Fajar, 2010).
Dari berbagai school of thought tersebut tampaknya Indonesia menganut konsep
mandatory atau compulsory (wajib) sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang
baik Undang-Undang Perseroan Terbatas nomor 4 tahun 2007 maupun Undang-Undang
Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007. Kewajiban melaksanakan CSR pun diwujudkan
dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009 untuk
aspek lingkungan, namun hingga kini belum ada peraturan organik yang merupakan
turunan dari berbagai undang-undang tersebut yang mengikat secara pasti dalam bentuk
peraturan pelaksanaan. Bila dilihat dari pada implementasinya cenderung dilakukan
sesuai dengan konsep self regulatory. Karena belum ada aturan pelaksanaan CSR
termasuk dalam sektor otomotif, sehingga setiap perusahaan menjalankan CSR sesuai
dengan konsepnya sendiri dan sesuai dengan pemahamannya masing-masing terhadap
CSR.
Menurut APCSRI (2009) praktek CSR yang baik mempunyai andil dalam :
(1) meminimalkan dampak negatif atas risiko aktifitas perusahaan terhadap masyarakat
dan lingkungan; (2) meminimalkan biaya operasional perusahaan, (3) meningkatkan
kinerja keuangan dan citra perusahaan, dan (4) pencapaian tujuan pembangunan
24
kesejahteraan masyarakat dan lingkungan, termasuk tujuan pembangunan millenium
(MDGs) di Indonesia. Lingkup dari CSR menurut Keraf (1998) dikatakan bahwa
perusahaan harus bertanggungjawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang
mempunyai pengaruh pada orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan dimana
perusahaan itu beroperasi. Maka, secara negatif itu berarti suatu perusahaan harus
menjalankan kegiatan bisnisnya sedemikian rupa, sehingga tidak sampai merugikan
fihak-fihak tertentu dalam masyarakat. Secara positif itu berarti suatu perusahaan harus
menjalankan kegiatan bisnisnya sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya akan dapat ikut
menciptakan suatu masyarakat yang baik dan sejahtera. Bahkan secara positif perusahaan
diharapkan ikut melakukan kegiatan tertentu yang tidak semata-mata didasarkan kepada
perhitungan keuntungan kontan yang langsung, melainkan demi kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa sesungguhnya pada tingkat
operasional bukan hanya staf manajemen yang bertanggungjawab sosial dan moral, tetapi
juga seluruh karyawan (Keraf, 1998).
Alasan mengapa perusahaan melakukan CSR menurut Lampesis (2005) adalah :
1. Memberikan timbal balik kepada komunitas, masyarakat dan lingkungan yang telah
memberikan manfaat dan keuntungan bagi perusahaan.
2. Perusahaan memperoleh keuntungan kompetitif dan keuntungan reputasi dengan
mendemonstrasikan perhatian terbaik perusahaan kepada masyarakat luas sebagai
bagian integral dalam pembuatan kebijakan.
3. Penelitian Orlizty, Schmidt and Reynes (2003) telah menemukan bahwa terdapat
korelasi antara kinerja sosial/lingkungan dengan kinerja finansial.
Pendorong perusahaan untuk melakukan CSR :
1. CSR akan berjalan sebagai check on regulatory failures, artinya apa yang tidak diatur
oleh Pemerintah, namun tetap diperlukan untuk dilaksanakan, maka disitulah CSR
muncul.
2. CSR memberikan kesempatan kepada perusahaan akan suatu tingkat fleksibilitas dari
aturan yang berlaku. Artinya perusahaan melakukan CSR lepas dari aturan yang
berlaku.
25
Manfaat dari pelaksanaan CSR bagi masyarakat (Brew, 2008) adalah :
1. Aktivitas dan peluang ekonomi
2. Penyerapan tenaga kerja
3. Akses terhadap skill dan teknologi
4. Infrastruktur yang meningkat
5. Perlindungan terhadap lingkungan
6. Kesehatan
7. Investasi sosial
Dalam melaksanakan CSR ada tiga kriteria yang harus dipenuhi (Bronchain, 2003),
yaitu :
1. They are carried out on a voluntary basis, i.e. going beyond common regulatory
and conventional requirements; atau harus bersifat sukarela dan melebihi yang
telah dipersyaratkan. Artinya mendemonstrasikan komitmen tanggungjawab
sosial dan lingkungan lebih dari sekedar mematuhi hukum atau aturan yang
berlaku.
2. There is interaction with the stakeholders, atau terdapat interaksi dengan para
stakeholders. Artinya perlu dicari pola-pola kemitraan (partnership) dengan
seluruh stakeholders agar dapat berperan dalam pembangunan, sekaligus
meningkatkan kinerjanya agar tetap dapat bertahan dan bahkan berkembang
menjadi perusahaan yang mampu bersaing. Pengertian CSR dikaitkan dengan
pemangku kepentingan adalah :
CSR is the capacity of a company to listen to, to take care of, to understand and
to satisfy the legitimate expectations of the different actors who contribute to
their development (Olivera Neto, diacu dalam Sanchez, 2008)
Dikatakan bahwa CSR adalah kapasitas perusahaan dalam mendengarkan,
menjaga, mengerti dan memuaskan ekspektasi yang legitimate dari para
pemangku kepentingan. Selanjutnya dampak dari program tanggungjawab
sosialnya (CSR) akan sangat tergantung dari respons perusahaan terhadap
ekspektasi dari berbagai pemangku kepentingannya (Dawkins and Lewis,
2003), yaitu :
26
A company‟s balancing of these several priorities must therefore be informed
by its stakeholders of importance. The company must define, consult and engage
these stakeholders in its programme that its activity is seen as relevant both to
the business and to its stakeholders, and some companies are of course well
advanced in this process of dialogue (Dawkins and Lewis, 2003).
Perusahaan harus menyeimbangkan berbagai prioritas dalam CSR sesuai
dengan kepentingan pemangku kepentingan, sehingga perlu mendefinisikan,
konsultasi dan mengaitkan pemangku kepentingan dalam aktivitasnya, agar
terdapat relevansi antara bisnis dan pemangku kepentingan.
2. Social and environmental concerns are integrated into the business operations,
atau mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan kepada operasi perusahaan.
Tujuan akhir pelaksanaan CSR adalah menempatkan entitas bisnis dalam upaya
pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, tanggungjawab sosial itu
seharusnya menginternalisasi pada semua bagian kerja pada suatu pekerjaan. CSR
harus merupakan keputusan strategik perusahaan sejak awal dari mendesain
produk yang ramah lingkungan, hingga pemasaran, dan pengolahan limbah.
Selain itu, secara eksternal CSR juga memastikan jangan sampai perusahaan
justru mengurangi kesejahteraan masyarakat di lingkungan sekitarnya (Nindita,
diacu dalam Tunggal, 2007). Tujuan dari pelaksanaan CSR dalam aspek
lingkungan didefinisikan sebagai :
As a result the environmental aspect of CSR is defined as the duty to cover the
environmental implications of the company‟s operations, products and
facilities; eliminate waste and emissions; maximize the efficiency and
productivity of its resources; and minimize practices that might adversely affect
the enjoyment of the country‟s resources by future generations (Mazurkiewicz,
2008).
Artinya bahwa tujuan CSR dalam aspek lingkungan adalah bagaimana
mengurangi dampak lingkungan akibat operasi perusahaan, produk maupun
fasilitas perusahaan mengurangi limbah dan emisi, memaksimalkan tingkat
efisiensi dan produktivitas dari sumber daya, serta mengurangi praktek-praktek
27
yang dapat mempengaruhi keberadaan sumber daya untuk generasi mendatang.
Bila di rinci kegiatan tersebut adalah :
1.Adanya fasilitas perusahaan, baik plant, gudang penyimpanan dan segala
inventaris perusahaan yang tidak mencemari lingkungan.
2.Adanya produk perusahaan berupa mobil yang ramah lingkungan
3. Adanya efisiensi dan produktivitas dalam penggunaan sumber daya, termasuk
bahan baku
4.Aktivitas perusahaan yang tidak mengganggu ketersediaan sumber daya untuk
generasi mendatang (berkelanjutan).
Cara pandang perusahaan terhadap CSR amatlah beragam. Ada yang
memandang CSR sekedar memenuhi regulasi yang ditetapkan pemerintah,
sementara yang lain sudah mulai melihat CSR sebagai cara berpikir baru
dalam mengelola bisnis secara keseluruhan. Secara umum, kegiatan CSR
berdimensi lingkungan menurut Rewarding Upland Poor for Enviromental
Services (RUPES), diacu dalam Leimona dan Fauzi (2008) dapat
dikategorikan sebagaimana pada Tabel 1.
Tabel 1. Kategorisasi CSR
Type aktivitas CSR Isu Lingkungan Isu Utama Bisnis
Tipe CSR 1
Compliance to
environmental regulation
Minimal dampak negatif
terhadap lingkungan akibat
proses produksi
Bisnis taat regulasi dan
minimal konflik
Tipe CSR 2
Contribution to
environmental
conservation
Pendukung konservasi
lingkungan
Peningkatan ”brand
image” alat pemasaran
dan periklanan serta
perluasan jaringan
Tipe CSR 3
Conservation for
additional income
Peningkatan mutu
lingkungan melalui proses
industri, dan melebihi baku
mutu yang ditetapkan
regulasi
Efisiensi proses
produksi, pengurangan
biaya produksi dan
penambahan benefit
Tipe CSR 4
Conservation for direct
production sustainability
Peningkatan mutu
lingkungan secara langsung
di kawasan sumber bahan
baku industry
Jaminan bagi
kelangsungan sumber
produksi perusahaan
28
Kategorisasi tersebut tidak dimaksudkan untuk memberikan peringkat baik
dan buruk, tetapi sebagai alat untuk melihat sejauhmana kegiatan CSR suatu jenis
industri dapat memberikan kontribusi terhadap lingkungan dan bisnisnya. CSR
berkaitan dengan konsep “go green”, menurut pandangan Howard Schultz,
pimpinan perusahaan Starbucks, CSR adalah “trying to achieve a fragile balance of
creating the necessity of profitability and the balance of having a social
conscience”(Leiu, 2010) atau mencapai keseimbangan antara kebutuhan akan
keuntungan perusahaan dan kepentingan sosial. Perusahaan semakin sadar terhadap
konsekwensi jejak lingkungan yang mereka tinggalkan dibelakangnya (ecological
footprints). Karena itu bersikap go green adalah langkah penerapan CSR dalam
aspek lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan. Konsep go green dalam bisnis
menjadi green business berarti konsep ramah lingkungan dalam segala aspek dalam
bisnis, dimana green business mencakup komitmen terhadap lingkungan dan
inisiatif terhadap keadilan sosial, termasuk dalam hal ini adalah mengurangi emisi
gas rumah kaca dan pencemar udara lainnya, penggunaan sumberdaya energi
terbarukan, efisiensi energi, pelestarian sumberdaya alam dan energi, minimalisasi
limbah dan penciptaan lapangan kerja didaerah yang dilayani. (Green For All,
2010). Dengan demikian green business berkaitan juga dengan penciptaan
kesejahteraan masyarakat. Dalam menyikapi kondisi lingkungan maka selain
bersifat reaktif atas apa yang diperbuat atas dampak operasi perusahaan, maka
green business adalah sikap menjaga lingkungan (environmental stewardship).
Dalam berbagai kasus, bisnis yang mengadopsi etika standar dalam menjaga
lingkungan (environmental stewardship) yang melebihi aturan yang berlaku akan
memperoleh keunggulan kompetitif (competitive advantage), mendapatkan
kesetiaan pelanggan (costumer loyalty) dan pangsa pasar (market share), dan juga
mengurangi resiko bisnis (Olson, 2010). Menjaga lingkungan (environmental
stewardship) adalah bagian dari CSR dalam aspek lingkungan (Olson, 2010)
Hubungan korporat dengan pemangku kepentingan sangat dipentingkan bagi
pelaksanaan CSR. Hubungan korporat dengan pemangku kepentingan tidak lagi
29
bersifat pengelolaan saja, tetapi sekaligus melakukan kolaborasi, yang dilakukan
secara terpadu dan berfokus pada pembangunan kemitraan. Kemitraan tidak lagi
bersifat penyangga organisasi, tetapi menciptakan kesempatan-kesempatan dan
keuntungan bersama, untuk tujuan jangka panjang dan pembangunan berkelanjutan
sesuai dengan tujuan, misi, nilai-nilai dan strategi-strategi tanggungjawab
perusahaan secara sosial yang pada dasarnya mendorong korporat untuk hidup
secara langgeng di dalam masyarakat. Kemitraan yang terwujud dalam interaksi
antar pemangku kepentingan ini pada dasarnya merupakan juga suatu bentuk
community development (CD) sebagai muara dari CSR (Rudito et al., 2004). Sarana
yang digunakan dalam rangka implementasi konsep CSR adalah program
community development (Rudito et al., 2004).
Salah satu yang menonjol dari praktik CSR di Indonesia adalah penekanan
pada aspek community development, karena paling sesuai kondisi dan kebutuhan
masyarakat Indonesia yang masih bergelut dengan kemiskinan dan pengangguran
(Ambadar, 2008). Bentuk dari community development terdiri dari community
relation atau pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi
kepada para pihak yang terkait, seperti konsultasi publik, penyuluhan dan
sebagainya, community service merupakan pelayanan korporat untuk memenuhi
kepentingan masyarakat ataupun kepentingan umum, seperti pembangunan fasilitas
umum, antara lain pembangunan/peningkatan sarana transportasi/jalan, sarana
pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya, dan community empowerment adalah
program-program berkaitan dengan memberikan akses lebih luas kepada
masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Berkaitan dengan program ini
adalah seperti pengembangan ataupun penguatan kelompok-kelompok swadaya
masyarakat, komuniti lokal, organisasi profesi serta peningkatan kapasitas usaha
masyarakat yang berbasiskan sumber daya setempat (Budimanta dan Rudito, 2008).
Bentuk-bentuk dari pelaksanaan CSR yang paling sering dilakukan oleh
perusahaan menurut Kotler and Lee (2005) terbagi dalam 6 bentuk meliputi :
30
1. Cause Promotion adalah kegiatan sosial yang dilakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesadaran, partisipasi, maupun penyertaan dana terhadap suatu
isu tertentu yang dipilih.
2. Cause-Related Marketing, perusahaan berkomitmen untuk melakukan donasi
atau kontribusi atas suatu issue tertentu berdasarkan atas penjualan produk.
Perusahaan akan melakukan bantuan dana berupa persentase tertentu atas
pendapatan penjualan. Biasanya dilakukan dalam periode waktu tertentu atas
suatu produk tertentu dan dalam bentuk sumbangan tertentu. Program ini
memiliki dua sasaran, yaitu memperoleh sejumlah dana tertentu untuk
didonasikan, disamping itu meningkatkan penjualan produk. Jenis aktivitas ini
tujuannya sama dengan cause promotion, namun dikaitkan dengan respons
konsumen terhadap penjualan (misalnya, besarnya donasi penumpang dikaitkan
dengan jumlah mil perjalanan dengan pesawat perusahaan tertentu).
3. Corporate Social Marketing. Kampanye untuk mendukung suatu perubahan
tertentu yang diharapkan terjadi atas suatu isu. Perubahan perilaku adalah yang
diharapkan terjadi dari aktivitas ini. Saat ini Corporate Social Marketing
umumnya dibangun dan diimplementasikan para profesional di pemerintahan
pusat maupun daerah, local public sector agencies, seperti fasilitas umum,
departemen kesehatan, transportasi, ekologi dan dalam organisasi nonprofit
lainnya.
4. Corporate Philanthropy. Kegiatan ini melakukan aktivitas berupa kontribusi
langsung berupa amal atau terhadap suatu permasalahan (isu). Lebih sering
dalam bentuk sumbangan uang dan betuk sumbangan lainnya. Hal ini
merupakan bentuk yang paling tradisional dari berbagai aktivitas CSR yang ada.
Isu utama yang didukung meliputi kesehatan masyarakat, pelayanan publik,
pendidikan, seni dan demikian pula perlindungan lingkungan.
5. Community Volunteering. Kegiatan ini menyediakan pelayanan pekerja sukarela
dari perusahaan kepada masyarakat. Hal ini merupakan inisiatif dari perusahaan
untuk mendukung dan menganjurkan karyawan, retail partner dan atau anggota
franchise untuk mendukung organisasi organisasi masyarakat setempat ataupun
31
permasalahan yang dihadapi. Kegiatan sukarela ini termasuk menyediakan
tenaga ahli, ide dan tenaga kerja. Perusahaan mendukung dengan menyediakan
waktu kerja untuk keperluan membantu masyarakat, maupun membentuk tim
untuk membantu masyarakat.
6. Socially Responsible Business Practice. Kegiatan ini mengadopsi dan
berinisiatif melakukan praktek bisnis maupun investasi yang mendukung
kepada permasalahan sosial yang ada. Sifat dari kegiatan ini adalah melakukan
hal yang melebihi apa yang dipersyaratkan oleh hukum dan peraturan yang ada
dan melebihi apa yang diharapkan (discretionary) terhadap komunitas seperti
karyawan, distributor, pemasok, mitra nonprofit dan demikian juga sebagai
anggota dari masyarakat umum. Sedangkan bidang aktivitasnya meliputi
kesehatan dan keselamatan, demikian pula kebutuhan emosional dan psikologis.
Saat ini praktek penyelenggaraan perusahaan telah bergeser dari menanggulangi
keluhan pelanggan, menanggulangi tekanan dari group-group penekan, kepada
kegiatan yang sifatnya proaktif mencari solusi atas permasalahan sosial yang
ada. Pada umumnya aktivitas ini didominasi oleh kegiatan manufacturing,
teknologi dan industri pertanian, dimana keputusan dibuat berkaitan dengan
supply chain, bahan baku, prosedur operasional dan keamanan karyawan.
CSR adalah tanggungjawab dari pengusaha, para direktur maupun
manager disamping tugas untuk memenuhi keinginan pemilik atau pemegang
saham, yaitu keuntungan perusahaan tetapi juga melakukan hal yang serupa
terhadap pemangku kepentingan dari perusahaan (Sacconi, 2006). Selanjutnya
sebagai pola CSR yang konsisten, perusahaan harus melakukan lebih dari apa
yang dipersyaratkan/diatur dalam perundang-undangan maupun peraturan
Pemerintah mengenai penanganan aspek lingkungan, keselamatan dan
kesehatan pekerja, berinvestasi dalam komunitas dimana perusahaan beroperasi.
Dengan demikian, perusahaan harus secara konsisten mengurangi dampak
emisinya terhadap mutu udara maupun air dan secara rutin mengurangi resiko
terhadap kesehatan dan keselamatan para karyawannya, serta berinvestasi
kepada masyarakat disekitar lokasi perusahaan lebih dari yang dipersyaratkan
32
untuk memperoleh ijin operasi dari masyarakat sekitar dalam bentuk
pembangunan jalan, pembangunan sarana sekolah, pelayanan kesehatan atau
juga bantuan subsidi terhadap pengembangan seni masyarakat, (Portney, diacu
dalam Hay et al., 2005).
Istilah CSR dan Pembangunan Berkelanjutan adalah saling berkait, bahkan
istilah keduanya dapat dipertukarkan (Hay et al., 2005). Bahkan CSR dikatakan
sebagai suatu konsep pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable
development (Permana, 2008)). Keberlanjutan disini didefinisikan sebagai kapasitas
penampung dari ekosistem untuk mengasimilasikan pemborosan agar tidak sampai
berkelebihan. Dan rataan hasil dari sumber daya yang terbaharui tidak akan
berlebihan pada rataan generasi (World Bank Group, diacu dalam Rudito et al.,
2004). Indikator keberlanjutan didefinisikan sebagai indikator yang memberikan
informasi secara langsung atau tidak langsung mengenai viabilitas di masa
mendatang dari berbagai level tujuan (sosial, ekonomi dan lingkungan)
(Senanayake, 1991). Sedangkan indikator untuk menilai keberlanjutan menurut
Walker and Reuter (1996) dibagi dalam dua tipe, yaitu : (1) indikator kondisi yang
mendefinisikan kondisi sistem relatif terhadap kondisi yang dapat digunakan untuk
menilai lingkungan; dan (2) indikator trend yang menggambarkan seluruh
kecenderungan linear dari suatu keadaan sumberdaya selama periode simulasi.
Partisipasi dunia usaha dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) adalah dengan mengembangkan program kepedulian perusahaan
kepada masyarakat disekitarnya (Ambadar, 2008). Berkesinambungan
(berkelanjutan) menurut pandangan Rasmussen (1996) juga adalah berarti berpikir
kesamping dan disekitar persimpangan-persimpangan, tidak hanya ke atas dan ke
bawah dalam hierarki, atau ke depan dan ke belakang dalam pengertian kita yang
biasa tentang waktu dan sejarah. Berarti berkelanjutan dalam konteks CSR
perusahaan harus memperhatikan masyarakat di sekitar perusahaan (disamping)
sebagai mitra yang berada di samping lokasi perusahaan, sebagai bagian dari
pemangku kepentingan perusahaan (stakeholders). Sebagaimana dikemukakan
CSR dari dunia usaha atau perusahaan memiliki ciri-ciri spesifik, sesuai dengan
33
jenis usaha (manufaktur, jasa, perkebunan, pertambangan dan energi), besarnya
perusahaan, financial performance, sensitivitas perusahaan, umur perusahaan, serta
luas cakupan wilayah operasinya. Ciri-ciri spesifik tersebut berpengaruh terhadap
klasifikasi tanggungjawab sosial, yang digambarkan dari jenis program, besaran
anggaran, serta luas cakupan wilayah tanggungjawab sosialnya, baik dalam
melayani kepentingan internal organisasi maupun kepentingan eksternal organisasi
yaitu publik atau masyarakat luas (Depsos, 2005).
Prinsip dasar dunia usaha dalam pelaksanaan CSR (Depsos, 2005) adalah :
1. Interdependensi antar pemangku kepentingan
2. Pemberdayaan
3. Partisipatif
4. Keswadayaan/kemandirian
5. Kepakaran
6. Prioritas
7. Menghargai keberagaman dan Hak Azasi Manusia atau HAM (diversity)
8. Good employee rsosialonship
9. Saling menguntungkan
10. Terpadu (peningkatan mutu lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat)
11. Good international rsosialonship
12. Praktek pasar yang terpercaya
13. Taat kepada peraturan yang berlaku terutama pajak (fiscal responsibility)
14. Akuntabilitas usaha (auditing, monitoring dan reporting)
15. Terukur (measurable)
16. Transparan
Dalam menjalankan aktivitas CSR, tidak ada standar atau praktek-praktek
tertentu yang dianggap terbaik. Setiap perusahaan memiliki karakteristik dan situasi
unik yang berpengaruh terhadap bagaimana memandang tanggungjawab sosial.
Implementasi CSR yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan sangat
bergantung kepada misi, budaya, lingkungan dan profil risiko (Susanto, 2007).
Meskipun tidak terdapat standar atau praktek-praktek tertentu yang dianggap
terbaik dalam pelaksanaan aktivitas CSR, namun kerangka kerja (frame work) yang
luas dalam pengimplementasian CSR masih dapat dirumuskan, yang didasarkan
pada pengalaman dan juga pengetahuan dalam bidang-bidang seperti manajemen
lingkungan (Susanto, 2007).
34
Pada saat ini, CSR yang dilaksanakan umumnya masih merupakan kegiatan
bersifat pengabdian kepada masyarakat ataupun lingkungan yang berada tidak jauh
dari lokasi tempat dunia usaha melakukan kegiatannya, dan sering kali kegiatannya
belum dikaitkan dengan tiga elemen yang menjadi kunci dari pembangunan
berkelanjutan (triple bottom lines), yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Kondisi utama yang harus ada dalam melaksanakan CSR berkelanjutan
adalah :
1. Perusahaan haruslah sehat dan tumbuh (Permana, 2008). Artinya perusahaan
harus dapat memliki profit yang cukup untuk melakukan CSR.
2. Program CSR baru dapat menjadi berkelanjutan apabila program yang dibuat
oleh suatu perusahaan benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap
unsur yang ada di dalam perusahaan itu sendiri (Lesmana, 2006). Dengan
demikian, perlu ada dialog dengan para stakeholders untuk memahami
kebutuhan dan keinginannya (Bronchain, 2003).
3. Outcome/result CSR yang terukur/measurable (The Chartered Quality Institute,
2008).
4. Harus memiliki sistem management yang dapat mampu mencakup (meng-
cover), sehingga CSR dapat mencapai tujuan yang diinginkan (The Chartered
Quality Institute, 2008)
5. Menerapkan prinsip triple bottom line (profit, people dan planet), sehingga
program CSR ada kaitannya dengan operasional dan tujuan perusahaan,
sehingga semuanya berjalan sustainable (Permana, 2008). Perusahaan harus
berorientasi untuk mencari keuntungan yang memungkinkan untuk terus
beroperasi dan berkembang (profit), perusahaan harus memiliki kepedulian
terhadap kesejahteraan manusia (People) dan perusahaan harus peduli terhadap
lingkungan hidup dan keberlanjutan keragaman hayati. (Suharto, 2006). Dalam
pandangan Asia, CSR adalah komitmen perusahaan untuk beroperasi dengan
mencapai keberlanjutan dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dan
mencapai keseimbangan kepentingan pemangku kepentingan (Fukukawa, 2010)
35
6. Memasukkan CSR dalam bisnis inti dan proses organisasi (Pratomo, 2008).
Dalam hal ini mengetahui indeks keberkelanjutan dalam aktivitas CSR perlu
melakukan penilaian terhadap aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan
(Munasinghe, 1993), serta diidentifikasi atribut-atribut dari masing-masing
aspek atau dimensi.
2.2 Komitmen terhadap CSR
Komitmen terhadap CSR adalah instrumen-instrumen yang dibangun oleh
sebuah perusahaan yang mengindikasikan apa yang ingin dilakukan dalam rangka
memberi perhatian terhadap pengaruh sosial dan lingkungannya (Susanto, 2007).
Komitmen ini mengkomunikasikan sifat dan arah dari aktivitas sosial dan lingkungan,
sehingga membantu pihak lain memahami bagaimana perilaku perusahaan dalam
situasi-situasi tertentu. Dengan adanya komitmen CSR, menjadi jelas bagi pihak-
pihak lain mengenai apa yang bisa diharapkan dari perusahaan. Dengan
mengartikulasikan ekspektasi ini akan mengurangi kemungkinan terjadinya
kesalahpahaman.
Komitmen CSR dapat memperbaiki mutu keterlibatan perusahaan dengan
pihak-pihak dimana mereka melakukan interaksi (Susanto, 2007). Komitmen CSR
harus dituangkan ke dalam pernyataan dengan bahasa yang tegas dan harus berisi
kewajiban-kewajiban dengan kata-kata yang jelas dan ringkas (Susanto, 2007). CSR
harus dapat diimplementasikan. Implementasi mengacu kepada keputusan, proses,
praktek, dan aktivitas keseharian yang menjamin bahwa perusahaan memenuhi
semangat dan menjalankan rencana tertulis yang telah disusun.
2.3 CSR, Etika Bisnis dan Good Corporate Governance (GCG)
Pada dasarnya CSR, Etika bisnis, dan Tata Kelola Perusahaan yang Baik atau Good
Corporate Governance saling berkaitan satu sama lain. CSR berkaitan, namun tidak
identik dengan etika bisnis. CSR berkaitan dengan tanggungjawab ekonomi, legal,
ethical, dan discretionary, sedangkan etika bisnis fokus kepada pertimbangan
moralitas dan perilaku individu dan kelompok dalam organisasi. Sehingga etika
bisnis dipandang sebagai komponen dari studi yang lebih luas dari CSR. Sedangkan
36
Good Corporate Governance (GCG) adalah alat dalam melaksanakan etika bisnis
(Kurniaty, 2008).
2.4 Industri Otomotif
Indonesia saat ini sedang dalam proses pembangunan diberbagai sektor,
termasuk industri otomotif. Industri Otomotif memainkan peranan penting dalam
proses pembangunan berkelanjutan. Berbagai type kendaraan telah dihasilkan
meliputi jenis sedan, 4x2 (Multi Purpose Vehicle/MPV), 4x4 (Sport Utility
Vehicle/SUV), Bus, Pick Up/truck, dan Kabin Ganda (double cabin) 4x2/4x4 sesuai
dengan katagorisasi SNI 09-1825-2002 (Gaikindo, 2008).
Pengertian dari masing-masing jenis kendaraan tersebut adalah :
1. Sedan
Dalam bahasa Inggris versi American English disebut sedan, sedangkan dalam
bahasa Inggris versi British English: saloon, adalah salah satu dari body style yang
paling umum dari mobil modern. Pada dasarnya merupakan mobil penumpang
dengan dua baris tempat duduk dengan ruang penumpang yang cukup memadai
dibagian ruang belakang untuk penumpang dewasa. Umumnya memiliki ruangan
terpisah untuk bagasi. Beberapa produsen mobil membuat mobil yang penempatan
mesinnya dibagian belakang, seperti Volkswagen (VW) misalnya. Berbagai jenis
sedan yang dibuat adalah jenis model 4 pintu dan model 2 pintu. Jenis sedan dibagi
dalam beberapa kategori yaitu (a) Cylinder Capacity (CC) ≤ 1.500 baik berbahan
bakar bensin (Gasoline = G) ataupun Solar (Diesel = D), (b) CC 1.501 – 3.000 (G)
/ 2.500 (D) dan (c). CC > 3.001 (G) / 2.501 (D)
2. 4 x 2 Multi Purpose Vehicle/MPV
MPV dikenal sebagai mobil penumpang. Jenis kendaraan ini memiliki jarak tinggi
antara body dengan tanah. Suatu MPV yang besar dapat menampung lebih dari 8
penumpang. Jenis yang dikenal adalah minibus. Jenis ini dibagi menjadi beberapa
kategori yaitu (a) CC ≤ 1.500 (G/D) dan (b) CC 1.501 – 2500 (G/D)
3. 4 x 4 Sport Utility Vehicle/SUV
SUV merupakan kendaraan berkemampuan off-road dengan empat roda
penggerak kendaraan (four-wheel drive) dan mampu melintasi segala medan
37
dengan body yang tinggi dan boxy. Jenis ini dibagi menjadi (a) CC ≤ 1.500
(G/D), (b) CC 1.501 – 3.000 (G) / 2.500 (D) dan (c). CC > 3.001 (G) / 2.501 (D)
4. Bus
Bus adalah kendaraan besar beroda yang digunakan untuk membawa penumpang
dalam jumlah besar. Jenis ini dibagi menjadi (a). Gross Vehicle Weight (GVW) 5
– 10 Ton (G/D) dan (b). GVW 10 – 24 Ton (G/D)
5. Pick Up/Truck
Pick up adalah kendaraan bermotor jenis ringan (light) dengan memiliki bak
terbuka dibagian belakang yang terpisah dengan kabin penumpang dan mampu
mengangkat barang-barang. Truck adalah kendaraan yang digunakan untuk
mengangkut barang-barang dan material. Jenis ini dibagi menjadi (a). Gross