7 II. KAJIAN PUSTAKA A. Sumber Pustaka 1. Rujukan Proses penciptaan karya yang dibuat mengambil tulisan atau kajian yang berhubungan dengan dunia anak-anak, karya ilmiah yang relevan yaitu dalam bentuk skripsi atau tugas akhir maupun karya. Karya-karya tersebut antara lain: Tugas Akhir Findri Ari Hartanto Mahasiswa Seni Rupa Murni Universitas Sebelas Maret tahun 2009 dengan judul “Kehidupan Anak-Anak Marginal di Perkotaan Sebagai Sumber Ide dalam penciptaan Karya Seni Lukis” meneyebutkan bahwa: Kehidupan anak-anak marginal di perkotaan merupakan kehidupan anak-anak miskin yang tinggal di kota yang berusaha membantu orang tua mereka mencari uang karena penghasilan orang tua mereka belum mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup. Padahal anak-anak marginal di perkotaan bukan termasuk usia kerja, hak mereka adalah belajar dan bermain, agar peran mereka sebagai penerus bangsa dapat mereka pikul dengan baik (Hartanto, 2009: xii). Tugas Akhir karya Sandi Sanjaya tahun 2015 dengan Judul “Ekspresi Wajah Anak-Anak sebagai Sumber Ide dalam Penciptan Karya Seni Lukis”, mahasiswa Seni Rupa Murni, Universitas Sebelas Maret Surakarta, menyebutkan bahwa anak-anak memberikan inspirasi dalam berkarya, anak- anak memiliki karakter dan ekspresi yang bervariasi dan sangat ditentukan oleh lingkungan mereka. Dasar pembuatan karya adalah ekspresi wajah anak-anak,
29
Embed
II. KAJIAN PUSTAKA - abstrak.uns.ac.id · kemashuran karena kreatif dalam bidangnya sejak awal masa kanak-kanak telah menunjukkan perhatian pada bidang keberhasilan mereka (Dennis:
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
II. KAJIAN PUSTAKA
A. Sumber Pustaka
1. Rujukan
Proses penciptaan karya yang dibuat mengambil tulisan atau kajian
yang berhubungan dengan dunia anak-anak, karya ilmiah yang relevan yaitu
dalam bentuk skripsi atau tugas akhir maupun karya. Karya-karya tersebut
antara lain:
Tugas Akhir Findri Ari Hartanto Mahasiswa Seni Rupa Murni
Universitas Sebelas Maret tahun 2009 dengan judul “Kehidupan Anak-Anak
Marginal di Perkotaan Sebagai Sumber Ide dalam penciptaan Karya Seni
Lukis” meneyebutkan bahwa: Kehidupan anak-anak marginal di perkotaan
merupakan kehidupan anak-anak miskin yang tinggal di kota yang berusaha
membantu orang tua mereka mencari uang karena penghasilan orang tua
mereka belum mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup. Padahal anak-anak
marginal di perkotaan bukan termasuk usia kerja, hak mereka adalah belajar
dan bermain, agar peran mereka sebagai penerus bangsa dapat mereka pikul
dengan baik (Hartanto, 2009: xii).
Tugas Akhir karya Sandi Sanjaya tahun 2015 dengan Judul “Ekspresi
Wajah Anak-Anak sebagai Sumber Ide dalam Penciptan Karya Seni Lukis”,
mahasiswa Seni Rupa Murni, Universitas Sebelas Maret Surakarta,
menyebutkan bahwa anak-anak memberikan inspirasi dalam berkarya, anak-
anak memiliki karakter dan ekspresi yang bervariasi dan sangat ditentukan oleh
lingkungan mereka. Dasar pembuatan karya adalah ekspresi wajah anak-anak,
8
dimana ekspresi wajah merupakan salah satu bentuk komunikasi nonverbal.
Penulis melihat dan mengamati dengan jelas ekspresi wajah atau mimik pada
anak-anak, dari kehidupan sosial sekitar penulis. Dari pengamatan ini terlihat
ekspresi yang apa adanya tanpa dibuat-buat (Sanjaya, 2015: 1, 3).
Skripsi karya Ni Nyoman Dinna Arwati, mahasiswa jurusan Seni Rupa
Murni Institut Seni Indonesia Denpasar dengan judul “Aktivitas Anak sebagai
Sumber Inspirasi dalam Berkarya Seni Lukis”. Skripsi membahas tentang
aktivitas anak-anak dalam permainan sehari-hari yang ada di sekitar
lingkungan pencipta. Ide yang diangkat dari pengalaman pencipta di masa
kecil. Di sini ditekankan pada aktivitas bermain dengan memvisualkan figur
anak-anak antara usia 3 – 10 tahun dengan tingkah pola yang khas serta
ekspresi wajah yang lucu, polos, lugu dan jujur (Arwati, 2011: 4).
Karya Tugas Akhir dengan judul “Suasana Permainan Tradisional Anak
sebagai Sumber Ide dalam Karya Seni Grafis” merupakan Tugas Akhir karya
Agung Setio Utomo tahun 2012 mahasiswa Seni Rupa Murni Universitas
Sebelas Maret jurusan seni grafis. Agung Setio Utomo mengangkat tentang
suasana kemeriahan, kebersamaan, keceriaan dan kekompakan dari permainan
tradisional yang dimainkan saat masih anak-anak (Utomo, 2012: 3).
Penciptaan karya seni yang dibuat ini berbeda dengan penulisan yang
ada sebelumnya seperti yang telah disebutkan di atas. Dalam hal ini, penulis
berusaha mengisi celah-celah yaitu melihat dunia anak-anak khususnya anak
pedesaan usia 5-8 tahun. Dari yang sudah dipaparkan di atas, perbedaannya
dengan karya yang dibuat penulis adalah: karya yang dibuat oleh penulis
mengangkat tema anak-anak pedesaan dengan usia anak 5-8 tahun, dengan
9
menampilkan kesan yang ceria dan menyenangkan. Karya yang dibuat
menampilkan kegiatan anak-anak pedesaan seperti bermain. Jadi, dalam karya
ini tidak hanya menampilkan kegiatan bermain anak saja, namun juga
menampilkan imajinasi dan fantasi anak usia 5-8 tahun.
2. Referensi
a. Perkembangan Anak
Perkembangan dalam diri anak dibagi dalam beberapa fase. Penulis
mengambil salah satu fase perkembangan yang dijadikan sebagai acuan
dalam pengamatan dan pembuatan karya, salah satunya yaitu
perkembangan menurut Charlotte Buhler.
Fase pertama, 0-1 tahun, masa menghayati obyek-obyek di luar
sendiri, fase ke dua, 2-4 tahun, masa pengenalan dunia obyektif di luar diri
sendiri, disertai penghayatan obyektif. Fase ketiga, 5-8 tahun, masa
sosialisasi anak. Fase ke empat, 9-11 tahun, masa sekolah rendah. Fase ke
lima, 14-19 tahun, masa tercapainya sintese antara sikap ke dalam batin
sendiri dengan sikap dasar keluar kepada dunia obyektif (Kartono, 1990:
28-29).
Jadi, anak-anak yang berumur 5-8 tahun merupakan masa dimana
mereka mulai bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya, misalnya saja
ketika di Taman Kanak-kanak dan di Sekolah Dasar.
b. Arti Bermain bagi Anak-anak dan Tahapan Perkembangan Bermain
Menurut Huges (1995) dalam Anggani Sudono (2000: 77) dalam
buku Sumber Belajar dan Alat Permainan: untuk Pendidikan Anak Usia
10
Dini menyebutkan bahwa: “bermain pada hakekatnya adalah meningkatkan
daya kreativitas dan citra diri anak yang positif”.
Dalam buku Hurlock yang berjudul Perkembangan Anak jilid 1
meyebutkan bahwa bermain (play) merupakan istilah yang digunakan
secara bebas sehingga arti utamanya mungkin hilang. Arti yang paling tepat
adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang
ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan
secara suka rela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau
kewajiban (Brooks, J.B., and D. M, Ellinot: 1971 dalam Hurlock, 1999:
320).
Menurut Kartini Kartono (1990) dalam buku Psikologi Anak
menjelaskan:
Menurut teori fenomenologis permainan mempunyai beberapa
arti dan nilai bagi anak, salah satunya adalah: dalam situasi
bermain anak bisa menampilkan fantasi, bakat-bakat, dan
kecenderungannya. Anak laki-laki bermain dengan mobil-
mobilan, dan anak perempuan dengan boneka-bonekanya. Jika
kita memberikan kertas dan gunting pada sekelompok anak-
anak kecil, masing-masing akan menghasilkan “karya” yang
berbeda, sesuai dengan bakat dan kemampuan (Kartono,
1990: 119-123).
Bentuk permainan bisa kita bagikan dalam 3 kelompok yaitu:
permainan gerakan, memberi bentuk, dan ilusi.
1. Permainan gerakan. Pada mulanya bayi bermain-main sendirian, untuk
“melatih” gerakan-gerakan badan dan angota tubuh. Pada usia 3-4
tahun timbul kebutuhan untuk bermain-main dengan teman-temannya.
Selanjutnya, anak melakukan melakukan kerjasama dengan teman
sepermainannya dengan beraneka ragam gerak dan olah tubuhnya.
11
2. Permainan memberi bentuk. Alat permainan dan bahan permainan yang
paling baik adalah: materi tanpa bentuk, misalnya lilin atau malam,
kertas, air, tanah liat, balok-balok kayu, pasir dan lain-lain.
3. Permainan ilusi. Pada jenis permainan ini unsur fantasi memegang
peranan paling menonjol. Misalnya sebuah sapu menjadi “kuda
tunggangan”, kursi menjadi sebuah kereta api. Juga permainan meniru
dimasukkan dalam kategori permainan ini. Misalnya bermain ibu-ibuan,
dokter-dokteran, serdadu-serdaduan. Seoranga anak menjadi “guru” dan
adik-adiknya menjadi “murid-murid”, main kusir-kusiran, dan lain-lain.
Dalam permainan tersebut anak dengan semangat memasuki dunia ilusi
yang dijadikan dunia sungguhan oleh fantasi anak (Kartono, 1990: 119-
123).
Tahapan perkembangan bermain dijelaskan dalam buku
Perkembangan Anak jilid 1 bahwa ada empat tahapan. Tahapan eksplorasi,
tahap ini dimulai hingga bayi berusia 3 bulan, permainan mereka terutama
melihat orang dan benda yang ada di sekitarnya, serta menggapai benda
yang diacungkan di hadapannya. Tahap permainan, dimulai dari tahun
pertama hingga antara 5-6 tahun. Pada mulanya hanya mengeksplorasi
mainannya. Antara 2-3 tahun mereka membayangkan bahwa mainannya
memiliki sifat hidup, dapat bergerak, dapat berbicara, dan merasakan.
Semakin anak berkembang, mereka tidak lagi menganggap benda mati
sebagai sesuatu yang hidup. Tahap bermain, setelah masuk sekolah, jenis
permainan mereka beragam, mulai dari olahraga, hobi dan lainnya. Tahap
melamun, semakin mendekati masa puber, mereka mulai kehilangan minat
12
dalam permainan yang sebelumnya disenangi dan banyak menghabiskan
waktu dengan melamun (Hurlock, 1999: 324).
c. Kreativitas pada Masa Anak-anak
Kreativitas merupakan suatu hal yang baru atau menciptakan
sesuatu yang baru, unik, bersifat inovatif dan juga berbeda dari yang lain.
Menurut Mangunhardjana (1986) menyebutkan bahwa:
Kreativitas adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang
sifatnya baru (novel): inovatif, belum ada sebelumnya, segar,
menarik, aneh, mengejutkan. Berguna (useful): lebih enak, lebih