Top Banner
IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU (Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855) DI SUNGAI CILIWUNG JAKARTA MARITA YUNI FITRIADI PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/ 1441 H
61

IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

Nov 27, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA

IKAN SAPU-SAPU (Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855)

DI SUNGAI CILIWUNG JAKARTA

MARITA YUNI FITRIADI

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M/ 1441 H

Page 2: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT

PADA IKAN SAPU-SAPU (Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855)

DI SUNGAI CILIWUNG JAKARTA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh:

MARITA YUNI FITRIADI

11140950000009

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M/ 1441 H

Page 3: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...
Page 4: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...
Page 5: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN

SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI

ATAU LEMBAGA MANAPUN

Ciputat, Maret 2020

MARITA YUNI FITRIADI

11140950000009

Page 6: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

i

ABSTRAK

Marita Yuni Fitriadi. Identifikasi Cacing Ektoparasit pada Ikan Sapu-sapu

(Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855) di Sungai Ciliwung Jakarta.

Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2020. Dibimbing oleh Fahma

Wijayanti dan Dewi Elfidasari.

Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) diketahui telah mendominasi

komunitas ikan di Sungai Ciliwung. Salah satu aktivitas yang terjadi di Sungai

Ciliwung adalah penangkapan ikan sapu-sapu yang dijadikan sebagai bahan baku

olahan makanan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan

menghitung nilai prevalensi cacing ektoparasit yang menginfeksi ikan sapu-sapu.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2018, menggunakan

metode survei. Penentuan titik sampling pengambilan sampel ikan menggunakan

metode purposive sampling dan diambil sebanyak 60 ekor ikan. Berdasarkan

penelitian sebelumnya, pemeriksaan cacing ektoparasit dilakukan pada bagian

insang, permukaan tubuh, dan sirip menggunakan mikroskop cahaya dan

mikroskop stereo. Hubungan antara keberadaan cacing ektoparasit dengan kualitas

perairan Sungai Ciliwung Jakarta dianalisis menggunakan Principal Component

Analysis (PCA) pada program SPSS 2.2. Hasil identifikasi cacing ektoparasit

berjumlah 2 spesies, yaitu Benedenia sp. dan Dactylogyrus sp. yang tergolong ke

dalam Filum Plathyhelmintes, Kelas Trematoda dan Subkelas Monogenea. Nilai

prevalensi pada titik sampling Cawang 60%, Kalibata 65%, dan Bidara Cina 50%.

Selain itu, nilai prevalensi organ tertinggi sebesar 58,3% yang menginfeksi bagian

permukaan tubuh ikan sapu-sapu karena memiliki luas permukaan yang lebih

besar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah nilai prevalensi dari ketiga titik

sampling tergolong ke dalam kategori infeksi sangat sering yaitu 69-50%.

Kata kunci: Cacing ektoparasit, ikan sapu-sapu, prevalensi

Page 7: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

ii

ABSTRACT

Marita Yuni Fitriadi. Identification of Worms Ectoparasites in Suckermouth

armored catfish (Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855) in the Ciliwung

River, Jakarta. Undergraduate Thesis. Departement of Biology. Fakulty of

Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah

Jakarta. 2020. Advised by Fahma Wijayanti dan Dewi Elfidasari.

Suckermouth armored catfish (Pterygoplichthys pardalis) has dominate the fish

community in the Ciliwung River. One of the activities in the Ciliwung River that

is catching fish used as raw material for food processing. The purpose of this

study was to identify and calculate prevalence based on ectoparasites in

suckermouth armored catfish. This research was conducted on June to October

2018, using survey methods. Determination of sampling points to take samples

using a purposive sampling method and taken as many as 60 fish. Based on

previous research, ectoparasites were examined on the gills, body surfaces, and

fins using a binocular light microscope and stereo microscope. The relationship

between the presence of ectoparasites with water quality in the Ciliwung River

Jakarta was using Principal Component Analysis (PCA) in the SPSS 2.2 program.

Identification results of worms ectoparasites as much 2 species, that are

Benedenia sp. and Dactylogyrus sp. which belong to the Plathyhelmintes Phylum,

Trematode Class and Monogenea subclass. The prevalence value at the Cawang

sampling point was 60%, Kalibata 65%, and Bidara Cina 50%. Besides that, the

highest organ prevalence value 58.3% which is against the body surface of

suckermouth armored catfish because it has a larger surface area. The conclusion

of this study is the prevalence value from three sampling points classified is

frequently infections, that is 69-50%.

Keywords: Prevalence, suckermouth armored catfish, worms ectoparasites

Page 8: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

iii

KATA PENGANTAR

Assallamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq,

dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Identifikasi Cacing Ektoparasit pada Ikan Sapu-sapu, (Pterygoplichthys pardalis

Castelnau, 1855) di Sungai Ciliwung Jakarta”. Penulisan skripsi ini merupakan

salah satu syarat yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains

Jurusan Biologi pada Falkutas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya di dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah mendapatkan

bantuan baik secara moril dan materil, bimbingan, masukan, kritik serta saran dari

berbagai pihak, oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tidak

terhingga kepada:

1. Nashrul Hakiem, S.Si. M.T., Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Priyanti, M.Si. dan Narti Fitriana, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris

Program Studi Biologi.

3. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si. dan Dr. Dewi Elfidasari, M.Si. selaku

Pembimbing I dan II yang telah memberikan bimbingan, saran, dan masukan

yang sangat bermanfaat.

4. Dr. Dasumiati, M.Si, Narti Fitriana, M.Si., Etyn Yunita, M.Si., dan Fahri

Fahrudin, M.Si selaku Penguji Seminar Proposal, Seminar Hasil, dan Sidang

yang banyak memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun.

5. PTUPT Kemenristekdikti yang telah memberikan dana riset kepada penulis.

6. LIPI Bidang Nutrisi yang telah membantu melengkapi data penulis.

7. Ibunda tercinta Wahyuni Lestari dan Ayahanda tercinta Suyadi atas seluruh

kasih sayang, dukungan moril, maretil, dan spiritual kepada penulis sejak kecil

hingga saat ini.

8. Adik-adik tersayang Ayunita Nur Kholisyah dan Nafizhar Muhammad

Yudisyah yang turut memberikan dukungan kepada penulis.

Page 9: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

iv

9. Rekan tim peneliti Ade Lisdaniyah, Afifatus Sholiha, Hurunin Fathonah

Muthmainnah, Marsheleika, dan Maulidatul Hasanah yang telah memberikan

bantuan, motivasi, dan dukungan selama melaksanakan penelitian.

10. Rekan dekat penulis Ratna Lestyana Dewi, Renitha Ashari, Reo Vebria

Ningsih, Nadia Sarah Adelina, dan Ronni Darmawan Putra, serta seluruh

teman-teman Biologi Angkatan 2014 yang telah banyak membantu,

memotivasi, dan berjuang bersama.

11. Serta semua pihak yang mungkin tidak tersebutkan satu-persatu identitasnya

yang telah membantu dan menyemangati penulis hingga penyusunan skripsi

ini dapat terselesaikan.

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT dapat membalas segala kebaikan

semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

penulis dan semua pihak.

Wassallamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Jakarta, Maret 2020

Penulis

Page 10: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

v

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ............................................................................................. i

ABSTRACT .......................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................... v

DAFTAR TABEL ................................................................................. vii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. viii

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ....... ............................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 3

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................ 3

1.4 Manfaat Penelitian ................ .............................................. 3

1.5 Kerangka Berfikir ............ ................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) ........................ 5

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi ................................................... 5

2.1.2 Distribusi dan Habitat ........................................................ 6

2.2 Ekosistem Sungai Ciliwung ................................................ 7

2.3 Ikan Konsumsi ................................................................... 8

2.4 Ektoparasit pada Ikan ......................................................... 10

2.5 Cacing Ektoparasit ............................................................. 10

2.5.1 Nematoda ........................................................................... 11

2.5.2 Digenea .............................................................................. 12

2.5.3 Monogenea ......................................................................... 13

BAB III METODE

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ......................................... 15

3.2 Alat dan Bahan ................................................................... 16

3.3 Metode Penelitian ................................................................ 16

3.3.1 Pengambilan Sampel Ikan Sapu-sapu ................................. 16

3.3.2 Pengukuran Kualitas Perairan Sungai Ciliwung Jakarta ...... 17

3.3.3 Pemeriksaan dan Pengukuran Sampel Ikan Sapu-sapu ........ 17

3.3.4 Pemeriksaan Cacing Ektoparasit ......................................... 17

3.3.5 Analisis Data ........................... ............................................ 18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Cacing Ektoparasit .......................................... 20

4.1.1 Banedenia sp. ..................................................................... 21

4.1.2 Dactylogyrus sp. ................................................................. 22

4.1.3 Pemeriksaan Morfologi Ikan Sapu-sapu .............................. 24

4.2 Prevalensi dan Intensitas Infeksi Cacing Ektoparasit ........... 25

Page 11: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

vi

4.3 Hubungan Faktor Abiotik dengan Keberadaan Cacing

Ektoparasit ........................................................................... 30

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ......................................................................... 37

5.2 Saran .................................................................................. 37

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 38

LAMPIRAN ........................................................................................... 43

Page 12: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kriteria prevalensi infeksi parasit .............................................. 18

Tabel 2. Kriteria intensitas infeksi parasit ................................................. 19

Tabel 3. Genus dan jumlah cacing ektoparasit pada organ yang

terinfeksi .................................................................................... 20

Tabel 4. Perbandingan antara organ sehat dengan organ yang

terinfeksi .................................................................................... 24

Tabel 5. Prevalensi dan intensitas infeksi cacing ektoparasit ................... 26

Tabel 6. Data pengukuran kualitas air Ciliwung Jakarta pada ketiga titik

Sampling ................................................................................... 32

Tabel 7. Hasil output component matrix .................................................. 34

Page 13: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka berfikir identifikasi cacing ektoparasit.................... 4

Gambar 2. Morfologi ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) .......... 5

Gambar 3. Tipe-tipe Monogenea ............................................................. 13

Gambar 4. Titik sampling pengambilan ikan sapu-sapu .......................... 15

Gambar 5. Morfologi Benedenia sp. ........................................................ 21

Gambar 6. Morfologi Dactylogyrus sp. .................................................. 22

Gambar 7. Nilai prevalensi (%) pada organ ikan sapu-sapu ..................... 28

Gambar 8. Nilai prevalensi (%) dari ketiga titik ampling ........................ 30

Gambar 9. Kondisi titik sampling di sungai Ciliwung Jakarta .................. 31

Gambar10. Hasil output component plot in rotated space ........................ 35

Page 14: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kegiatan Penelitian ............................................................. 43

Lampiran 2. Perhitungan Nilai Prevalensi dan Intensitas Infeksi Cacing

Ektoparasit pada Ikan Sapu-sapu ........................................ 44

Lampiran 3. Hasil Output KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) ........................... 47

Page 15: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pterygoplichthys pardalis atau dikenal dengan nama ikan sapu-sapu,

merupakan salah satu spesies Loricariidae yang berasal dari Amerika Selatan dan

Amerika Tengah (Armbruster, 2004). Karakteristik utama dari golongan

Loricariidae adalah mulut penghisap, yang memungkinkan ikan ini untuk

menempel pada substrat tertentu, bahkan pada sungai yang deras (Geerinckx et

al., 2007). Banyaknya jumlah ikan sapu-sapu di suatu perairan bukan hanya

karena sifatnya sebagai spesies invasif, melainkan ikan ini mampu hidup dan terus

berkembang biak walaupun dalam kondisi perairan yang ekstrim dan termasuk ke

dalam jenis eurifagik (ikan pemakan bermacam-macam makanan) (Armbruster &

Page, 2006). Akibat kurang terkontrolnya laju penyebaran ikan introduksi

(pendatang) yang masuk ke perairan Indonesia, sehingga keberadaannya menjadi

dominan di suatu perairan akan berpeluang menjadi invasif (Lestari, 2014). Ikan

sapu-sapu menurut Wowor (2010) dan penduduk sekitar diketahui telah

mendominasi komunitas ikan di Sungai Ciliwung.

Menurut Geerinckx et al. (2007) ikan sapu-sapu mampu hidup di

lingkungan perairan dalam kondisi apapun bahkan pada perairan yang tercemar,

seperti sungai Ciliwung. Aliran Sungai Ciliwung di Jakarta tergolong ke dalam

cemaran berat yakni mengacu pada parameter banyaknya kandungan logam berat

dan bakteri Escherichia coli (BPLHD DKI Jakarta, 2011). Menurut Yudo (2010),

cemaran logam berat yang berbahaya yaitu timbal (Pb), merkuri (Hg), dan

kadmium (Cd). Data pengukuran Pb, Hg, dan Cd pada perairan Daerah Aliran

Sungai (DAS) Ciliwung Jakarta masing-masing menunjukkan nilai konsentrasi

logam yang melebihi ambang batas yang mengacu pada Baku Mutu Air Kelas II

PP No. 82/2001 (Yudo & Nusa, 2018). Menurut data dari Dinas Lingkungan

Hidup Provinsi DKI Jakarta (2017), kandungan bakteri E. coli di Sungai Ciliwung

sebanyak 40.000/ 100 ml yaitu telah mencapai 90%, dengan baku mutu yang

diizinkan adalah 1.000/ 100 ml. Penyebab polusi terbesar di sungai tersebut adalah

limbah domestik (International River Foundation, 2011). Kondisi ini

Page 16: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

2

menimbulkan dugaan adanya berbagai organisme parasit selain E. coli yang dapat

hidup di perairan Sungai Ciliwung.

Sungai Ciliwung dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, seperti sumber

baku air minum, industri, perikanan, dan pertaninan (Hendrawan et al., 2005).

Berbagai aktivitas yang terjadi di Sungai Ciliwung salah satunya adalah aktivitas

penangkapan ikan sapu-sapu yang dijadikan sebagai bahan baku olahan makanan

(Hardi, 2013). Ikan ini dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan baku pembuatan

siomay, batagor, kerupuk, dan otak-otak. Hal ini karena ikan sapu-sapu memiliki

kadar protein yang tinggi, database Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan

Bioteknologi KKP (2013) menunjukkan ikan sapu-sapu memiliki kadar protein

sebesar 19,71% per 100 gram dan angka ini mengalahkan kadar protein pada ikan

nila (18,8% per 100 gram) dan ikan lele dumbo (18,2% per 100 gram). Selain itu,

bagian eksternal (kulit dan sisik) ikan sapu-sapu dapat dimanfaaatkan sebagai

bahan baku pembuatan gelatin (Hermanto, 2014).

Parasit merupakan organisme yang hidup pada tubuh organisme lain dan

umumnya menimbulkan efek negatif pada inangnya (Handajani, 2005). Kasus

parasit ikan yang menjadi perhatian publik saat ini yaitu adanya cacing parasit

pada produk ikan kaleng atau olahan sarden, hal ini membuat keresahan

masyarakat maupun konsumen. Badan Pengawas Obat dan Makanan (2018)

menemukan sebanyak 27 merk ikan makarel atau sarden kalengan positif

mengandung parasit cacing atau cacing spesies Anisakis sp., Anisakis sp.

merupakan cacing Nematoda yang siklus hidupnya memerlukan inang perantara

beberapa spesies ikan dan mamalia laut. Larva dari Anisakis sp. infektif bagi

manusia dan menyebabkan Anisakiasis, Anisiakis menginfeksi manusia melalui

makanan ikan laut mentah atau setengah matang (Puspitasari, 2013). Pertama kali

produk ikan kaleng yang mengandung cacing ditemukan di wilayah Riau,

kemudian dikembangkan seluruh BPOM di Indonesia. Menurut Food and

Agriculture Organization (2005), prevalensi penyebaran cacing parasitik pada

ikan di Indonesia dapat mencapai 30 persen. Cacing ektoparasit yang hidup pada

spesies ikan tertentu, akan menjadikan ikan tersebut sebagai transmisi penyakit

bagi spesies ikan lain (Handajani, 2005).

Page 17: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

3

Mengingat potensinya sebagai salah satu bahan baku poduksi pangan

maupun non-pangan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan industri,

menjadikan ikan sapu-sapu banyak dimanfaatkan. Namun hal ini tidak lepas pula

dari ancaman berbagai macam penyakit oleh adanya parasit, maka perlu dilakukan

penelitian untuk mengindentifikasi adanya keberadaan cacing ektoparasit pada

ikan sapu-sapu yang berada di perairan tercemar yaitu Sungai Ciliwung Jakarta.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1.) Bagaimana keberadaan cacing ektoparasit pada ikan sapu-sapu (P.

pardalis) di Sungai Ciliwung Jakarta?

2.) Bagaimana prevalensi cacing ektoparasit yang ditemukan pada ikan sapu-

sapu (P. pardalis) di Sungai Ciliwung Jakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1.) Mengetahui dan mengindentifikasi keberadaan cacing ektoparasit pada

ikan sapu-sapu (P. pardalis) di Sungai Ciliwung Jakarta.

2.) Mengetahui tingkat prevalensi cacing ektoparasit yang ditemukan pada

ikan sapu-sapu (P. pardalis) di Sungai Ciliwung Jakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan dan melengkapi

informasi ilmiah mengenai adanya cacing ektoparasit yang menginfeksi ikan

sapu-sapu (P. pardalis). Selain itu hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

bahan pertimbangan pemanfaatan ikan sapu-sapu sebagai ikan konsumsi.

Page 18: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

4

1.5 Kerangka Berfikir

Adapun kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat dilihat dalam gambar

berikut,

Gambar 1. Kerangka Berfikir Identifikasi Ektoparasit

Page 19: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)

2.1.1 Klasifikasi dan morfologi

Menurut Geerinckx et al., (2007), Pterygoplichthys pardalis tergolong ke

dalam Famili Loricariidae. Pterygoplichthys pardalis dikenal dengan nama ikan

sapu-sapu di Indonesia. Beberapa nama lain (sinonim) dari spesies P. pardalis

diantaranya adalah Hypostomus pardalis, Liposarcus pardalis, Liposarcus varius,

dan Liposarcus jeanesianus.

Gambar 2. Morfologi Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis): A. Bagian

lateral tubuh, B. Bagian ventral tubuh, C. Tipe mulut penghisap

berada di ventral tubuh. (Sumber: Armbruster & Page (2006);

Hossain, et al., (2018)).

Karakteristik utama dari golongan Loricariidae adalah bertipe mulut

penghisap-penyaring, dengan letak mulut inferior (Armbruster & Page, 2006).

Tipe mulut ini berfungsi untuk mencari makan, bernafas, dan menempel pada

objek dengan cara menghisap. Mulut ikan sapu-sapu juga beradaptasi terhadap

berbagai makanan seperti alga, invertebrata, dan detritus (Geerinckx et al., 2007).

Ikan sapu-sapu memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi karena memiliki

dua alat pernafasan. Alat pernafasan utama adalah insang yang digunakan saat

berada di air yang jernih. Alat pernafasan lainnya adalah labirin, labirin adalah

4cm

A

B

C

5 cm

3 cm

Page 20: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

6

alat pernafasan binatang lumpur atau air yang keruh (Samat et al., 2008). Adanya

alat pernafasan tambahan, maka ikan sapu-sapu mampu hidup dalam perairan

dengan kadar oksigen terlarut yang rendah dan juga dapat hidup di perairan yang

tercemar limbah (Martin et al., 1998).

Pterygoplichthys pardalis memiliki karakteristik bentuk tubuh pipih

dorsoventral tertutup oleh kulit yang keras (Murdy et al., 1994). Ikan ini memiliki

tubuh dengan sisik yang tebal dan keras, kecuali pada bagian perutnya

(Tunjungsari, 2007). Tipe sisik dari spesies ini adalah sikloid. Ciri-ciri bagian

tubuh spesies P. pardalis memiliki titik-titik spot hitam, kepala dengan pola garis

gelap terang geometris, dan panjang tubuhnya bisa mencapai 40-60 cm. Sirip ekor

(pinna caudalis) bertipe heterocercal. Spesies dewasa memiliki bintik-bintik

hitam berukuran besar di bagian ventral tubuh (Armbruster & Page, 2006).

2.1.2 Distribusi dan habitat

Ikan sapu-sapu bukan merupakan spesies ikan asli Indonesia, melainkan

diintroduksi dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan (Armbruster, 2004). Ikan

ini tergolong ke dalam spesies ikan invasif yang mengancam keanekaragaman

spesies lokal Indonesia (Lestari, 2014). Umumnya ikan sapu-sapu bersifat

omnivora, yaitu memakan bangkai ikan dan hewan-hewan lain yang tenggelam di

dasar perairan. Ikan sapu-sapu dapat ditemukan pada berbagai wilayah perairan,

seperti aliran sungai yang sempit di pegunungan, muara sungai, bahkan pada

perairan dengan tingkat pencemaran tinggi, sehingga ikan ini dapat berperan

sebagai indikator pencemaran lingkungan, khususnya pada lingkungan perairan

(Ismi et al., 2019).

Ikan sapu-sapu dapat hidup secara optimal di perairan tropis dengan kisaran

pH 7-7,5 dan suhu antara 23-280C. Ikan ini mampu hidup dan berkembangbiak di

dasar perairan, walaupun dengan kadar oksigen yang rendah (Ismi et al., 2019).

Ikan ini memiliki tingkat adaptasi yang tinggi, sehingga mampu hidup pada

kondisi lingkungan yang ekstrim (Samat et al., 2008).

Menurut penelitian Hossain et al. (2018) ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys

pardalis) diintroduksi ke berbagai negara oleh para pecinta ikan hias kemudian

memasuki perairan setempat secara disengaja maupun tidak disengaja, salah satu

Page 21: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

7

lokasi keberadaannya di Indonesia adalah Sungai Ciliwung (Wowor, 2010).

Menurut Wowor (2010) dan penduduk sekitar, saat ini ikan sapu-sapu telah

mendominasi dasar perairan di Sungai Ciliwung. Berbagai aktivitas yang terjadi

di Sungai Ciliwung salah satunya adalah aktivitas penangkapan ikan sapu-sapu

yang dijadikan sebagai bahan baku olahan makanan dan produk non-pangan

(Hardi, 2013).

2.2 Ekosistem Sungai Ciliwung

Sungai merupakan badan air mengalir (perairan lotic) yang membentuk

aliran di daerah daratan dari hulu menuju ke hilir dan akhirnya bermuara ke laut,

danau, atau sungai yang lebih besar. Arus air di bagian hulu sungai (umumnya

terletak di daerah pegunungan) biasanya lebih deras dibandingkan dengan arus

sungai di bagian hilir. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991,

sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengalir air mulai

dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang

pengalirannya oleh garis sempadan (garis batas luar pengamanan sungai).

Daerah Aliran Sungai (DAS), dalam istilah asing disebut catchment area,

drainage area, drainage basin, river basin, atau watershed (Notohadiprawiro,

1981). Tiga belas sistem aliran sungai yang mengalir di wilayah DKI Jakarta

sebagian besar berhulu di daerah Jawa Barat dan bermuara di Teluk Jakarta,

diantara 13 sungai yang mengalir di Jakarta, Sungai Ciliwung memiliki dampak

yang paling luas karena sungai ini mengalir melalui tengah kota Jakarta dan

melintasi banyak perkampungan, perumahan padat, dan pemukiman-pemukiman

kumuh (BPLHD DKI Jakarta, 2011).

Sungai Ciliwung berasal dari kawasan Gunung Gede, Gunung Pangrango,

dan Cisarua Jawa Barat, mengalir ke arah Jakarta melalui Kabupaten Bogor, Kota

Bogor, Kota Depok, dan bermuara di Teluk Jakarta. Panjang Sungai Ciliwung dari

bagian hulu hingga kawasan hilir di pesisir pantai utara Jakarta ±120 km, dengan

luas DAS Ciliwung sekitar 387 km2, yang dibatasi oleh DAS Cisadane di sebelah

barat dan DAS Citarum di sebelah timur (BPDAS Citarum Ciliwung, 2013).

Peruntukan Sungai Ciliwung berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi

DKI Jakarta No. 582 Tahun 1995 adalah sebagai sumber air baku air minum

Page 22: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

8

dengan klasifikasi Golongan B, namun keadaan kualitas air Sungai Ciliwung saat

ini rata-rata dalam kondisi tercemar berat pada seluruh segmennya, mulai dari

hulu (daerah Puncak, Kab. Bogor) sampai dengan hilir (di DKI Jakarta) (Yudo &

Said, 2018). Saluran atau anak sungai merupakan saluran air hujan, air limbah

domestik, serta merupakan saluran pembuangan air limbah kegiatan komersil dan

industri, sehingga sangat berpengaruh terhadap kualitas perairan Sungai Ciliwung

(International River Foundation, 2011)..

Sungai Ciliwung memiliki keanekaragaman biota perairan seperti ikan,

udang, kepiting, dan bentos. Spesies ikan yang berada di DAS Ciliwung dari hulu

sampai hilir sudah mulai punah dan menurun hingga 92,5%, dari 187 jumlah

spesies yang tersisa hanya 20 spesies. Sejumlah 20 spesies ikan yang masih

bertahan di DAS Ciliwung, 15 spesies diantaranya merupakan ikan endemik dan 5

spesies lainnya merupakan ikan eksodus dari perairan luar seperti Amazon dan

Afrika. Ikan endemik yang masih ditemukan di Sungai Ciliwung diantaranya ikan

lubang (Anguilla bicolor), ikan julung-julung (Dermogenys pusilla), ikan arelot

(Pangio oblonga), ikan paray (Rasbora cf. lateristriata), ikan beunteur (Puntius

binotatus), ikan tawes (Barbonymus gonionotus), ikan soro (Tor soro), ikan

hampal (Hampala macrolepidota), ikan jeler (Nemacheilus chrysolaimos), ikan

betok (Anabas testudineus), ikan bogo (Channa striata), ikan tembakang

(Helostoma temminckii), ikan sepat rawa (Trichopodus trichopterus), ikan cupang

sawah (Trichopsis vittata), dan ikan lele lokal (Clarias batrachus). Lima spesies

ikan eksodus yang ditemukan di Sungai Ciliwung adalah ikan sapu-sapu

(Pterygoplichthys pardalis) (Gambar 3), ikan seribu (Poecilia reticulata), ikan

mujair (Oreochromis niloticus), serta dua spesies masih merupakan ikan seribu

yaitu Poecillia sp. dan Xiphophorus helleri (ikan ekor pedang) (Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia, 2010).

2.3 Ikan Konsumsi

Ikan konsumsi adalah semua sumber daya ikan yang ada di air tawar

maupun laut yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Ikan konsumsi diartikan pula

sebagai sumber daya hayati kelautan dan air tawar yang mengandung protein

tinggi dan penting bagi kepentingan perekonomian. Ikan konsumsi digolongkan

Page 23: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

9

berdasarkan hasil upaya perolehan dan tempat habitat. Ikan konsumsi berdasarkan

upaya perolehan yaitu ikan hasil penangkapan dan ikan hasil budidaya, sedangkan

ikan konsumsi digolongkan berdasarkan tempat habitatnya yaitu ikan yang hidup

di perairan darat dan ikan yang hidup di perairan laut (Marimin, 2010).

Marimin (2010) mengemukakan bahwa produksi perikanan global secara

keseluruhan baik dari ikan hasil perikanan tangkap maupun budidaya sebesar

141,6 juta ton per tahun. Sekitar 105,7 juta ton ini (75%) dikonsumsi manusia

secara langsung, sedangkan sisanya dipakai untuk produk non pangan, khususnya

pembuatan fishmeal dan minyak. Ikan memiliki kandungan nutrisi yang tinggi

antara lain omega 3, protein asam amino yang tinggi, lemak, karbohidrat, vitamin,

dan mineral seperti vitamin A, vitamin D, vitamin B12 (Afrianto & Liviawaty,

1992).

Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi KKP (2013)

mencatat data bahwa ikan sapu-sapu memiliki kadar protein yang tinggi sebesar

19,71% per 100 gram dan angka ini mengalahkan kadar protein pada ikan nila

sebesar 18,8% dan ikan lele dumbo sebesar 18,2% masing-masing per 100

gramnya. Daging ikan sapu-sapu telah banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai

bahan baku pembuatan makanan seperti siomay, batagor, kerupuk, otak-otak, dan

sebagainya. Selain dagingnya, bagian kulit ikan sapu-sapu juga sudah

dimanfaatkaan sebagai bahan baku pembuatan gelatin (Hermanto, 2014).

Semua makhluk yang terdapat di langit maupun bumi diciptakan Allah

SWT tidaklah tanpa adanya hikmah dan tidaklah sia-sia, hal ini sesuai dengan

Firman-Nya yang terkandung dalam Surah Al-Imran (189-191) berikut:

ملك السهماوات والأرض والله على كل شيء قديز ﴿ ﴾٨١ولله

إنه في خلق السهماوات والأرض واختلاف اللهيل والىههار لآيات

ولي الألباب ﴿ ﴾١لأ الهذيه يذكزون الل قياما وقعىدا وعلى

جىىبهم ويتفكهزون في خلق السهماوات والأرض ربهىا ما خلقت

﴾١هذا باطلا سبحاوك فقىا عذاب الىهار ﴿

Page 24: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

10

”Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Kuasa atas

segala sesuatu. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih

bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci

Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Al-„Imran. 189-191).

2.4 Ektoparasit pada Ikan

Parasit merupakan organisme yang hidup pada tubuh organisme lain dan

umumnya menimbulkan efek negatif pada inangnya (Handajani, 2005). Parasit

dinilai merugikan karena mengambil makanan atau nutrisi dari tubuh inang

(Kabata, 1985). Kontaminasi yang berasal dari luar tubuh baik yang bersifat

infeksi atau non infeksi dapat menyebabkan hadirnya penyakit ikan. Kualitas air

yang buruk, pemberian pakan ikan yang berlebih, dan perubahan iklim merupakan

faktor penyebab timbulnya parasit (Handajani, 2005).

Kabata (1985) membagi parasit menjadi dua kelompok yang berbeda yaitu

ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang terdapat pada bagian

luar tubuh ikan atau di bagian yang masih mendapat udara dari luar. Ektoparasit

menginfeksi kulit, sirip, operkulum, dan insang ikan, sedangkan endoparasit

adalah parasit yang hidupnya di dalam tubuh inang, misalnya di dalam alat

pencernaan, peredaran darah, atau organ dalam lainnya (Rahmaningsih, 2016).

Beberapa organisme yang tergolong ke dalam ektoparasit antara lain udang renik,

protozoa, cacing, virus, jamur, dan bakteri (Handajani, 2005). Agen patogenik

yang menyebabkan penyakit parasit ikan sering ditemukan di Indonesia terutama

ektoparasit. Infeksi ektoparasit dapat mengakibatkan pertumbuhan yang lambat

dan mempengaruhi tingkah laku ikan serta sensitifitas ikan (Scholz, 1999).

2.5 Cacing Ektoparasit

Salah satu organisme ektoparasit adalah cacing. Adanya cacing

ektoparasitik pada ikan memiliki dampak besar bagi kesehatan hewan lain

maupun manusia (Handajani, 2005). Menurut Food and Agriculture Organization

(2005) prevalensi penyebaran cacing parasitik pada ikan di Indonesia telah

Page 25: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

11

mencapai 30 persen, angka ini menjadikan Indonesia sebagai deretan negara

berkembang yang memiliki tingkat prevalensi yang paling tinggi.

Tingkat prevalensi penyebarannya bisa melalui cacing ektoparasit maupun

cacing endoparasit. Walaupun kerugian akibat infeksi cacing ektoparasit pada

ikan tidak sebesar kerugian akibat adanya cacing endoparasit, namun tingkat

infeksi cacing ektoparasit yang tinggi dapat mengakibatkan ikan tersebut sebagai

transmisi penyakit bagi ikan atau hewan lain (Handajani, 2005). Cacing

ektoparasit yang menginfeksi akan menimbulkan adanya kelainan morfologi pada

ikan. Cacing parasit dari kelompok digenea dan nematoda lebih banyak

ditemukan pada bagian dalam tubuh (endoparasit) pada ikan, sedangkan

kelompok monogenea terdapat pada bagian luar tubuh ikan (ektoparasit)

(Rahmaningsih, 2016).

2.5.1 Nematoda

Nematoda dikenal juga dengan sebutan round worm atau cacing gilig.

Nematoda dewasa biasanya ditemukan dalam saluran pencernaan ikan. Semua

stadium cacing nematoda dapat ditemukan hampir di seluruh bagian dari tubuh

ikan termasuk pada organ dalam seperti gelembung renang, kulit, otot, dan insang

(Yanong, 2002). Menurut Buchmann dan Bresciani (2001), cacing ini berbentuk

panjang, ramping, silindris, tidak bersegmen, dengan kedua ujung meruncing,

mempunyai mulut serta anus (saluran pencernaan yang lengkap) serta memiliki

rongga tubuh semu yang disebut pseudoselom. Tubuhnya memiliki panjang

sekitar dua milimeter hingga satu meter dan tertutup oleh suatu kantung

dermomuskular yang terdiri dari tiga lapisan kutikula, hipodermis, dan otot

(Grabda, 1991).

Secara umum di dalam tubuh ikan, cacing nematoda memiliki lima stadium

dalam siklus hidupnya yang dipisahkan oleh empat kali pergantian kulit

(moulting) (Buchmann & Bresciani, 2001). Yanong (2002) membagi siklus hidup

nematoda menjadi dua kategori utama, yaitu siklus hidup langsung dan tidak

langsung. Siklus hidup langsung, ikan bertindak sebagai hospes definitif yaitu

sebagai tempat hidup parasit tumbuh menjadi dewasa dan tidak memerlukan

hospes perantara, sehingga infeksi dapat langsung disebarkan secara langsung dari

Page 26: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

12

satu ikan ke ikan lain melalui telur atau larva infektif yang termakan. Nematoda

yang memiliki siklus hidup tidak langsung, telur atau larva akan dikeluarkan ke

dalam air dan selama proses perkembangannya, larva yang belum dewasa ini

memerlukan hospes perantara yang berbeda, salah satunya adalah ikan.

Salah satu Nematoda yang banyak ditemukan pada ikan adalah spesies

Anisakis sp., siklus hidup Anisakis sp. memerlukan inang perantara yang terdiri

dari beberapa spesies ikan dan mamalia laut. Anisakis sp. beresiko terhadap

kesehatan manusia, larva dari parasit ini infektif bagi manusia dan menyebabkan

Anisakiasis. Anisakiasis menginfeksi manusia melalui makanan ikan laut mentah

atau setengah matang dan menimbulkan gejala pada saluran pencernaan.

(Puspitasari, 2013).

2.5.2 Digenea

Digenea merupakan cacing yang berbentuk pipih dorsoventral, oval, dan

memanjang. Tubuh Digenea tidak bersekat-sekat dan memiliki bagian posterior

yang jelas. Digenea memiliki dua organ pelengkap, yaitu oral sucker dan ventral

sucker (Kabata, 1985). Cacing Digenea pada umumnya bersifat endoparasit yang

dapat ditemukan pada organ dalam ikan seperti usus, pembuluh darah atau

terbungkus kista di jaringan tubuh (Moller & Anders, 1986). Beberapa spesies

digenea bersifat ektoparasit dan dapat ditemukan pada permukaan insang,

operkulum, dan rongga mulut. Digenea ditemukan pada ikan dalam bentuk larva

ataupun dewasa. Stadium larva Digenea berbentuk kista sebagai metaserkaria

dalam jaringan bawah kulit atau di dalam alat tubuh internal (saluran

gastrointestinal) dan beberapa ditemukan pada insang atau darah (Dawes, 1956).

Siklus hidupnya di dalam tubuh ikan sebagai hospes definitif terjadi secara

seksual dengan pembentukan telur. Telur Digenea yang menetas menjadi larva

bersilia (mirasidium) akan dimakan oleh hospes perantara pertama. Mirasidium

akan berubah menjadi sebuah sporokista, setiap sporokista parasit aseksual

menghasilkan banyak larva yang pada gilirannya menghasilkan larva infektif

(serkaria). Serkaria akan menginfeksi hospes perantara kedua dan menjadi

metaserkaria. Metasersaria akan berkembang menjadi cacing dewasa jika

menemukan hospes definitif (Noga, 2011).

Page 27: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

13

2.5.3 Monogenea

Monogenea merupakan cacing pipih yang tidak bersegmen, dengan ukuran

panjang sekitar 0,15-20 milimeter, dan bentuk tubuhnya fusiform. Monogenea

mempunyai sistem pencernaan sederhana yang mencangkup lubang mulut, usus,

dan anus. Tahap awal hidupnya, Monogenea memiliki sebuah organ mirip kait

atau penghisap di bagian posteriornya yang disebut haptor. Cacing dewasa

memiliki prohapthor (untuk makan) dan opisthapthor (untuk menempel).

Monogenea dapat ditemukan dikulit, sirip, dan insang ikan.

Gambar 3. Tipe-tipe Monogenea, kelompok monopisthocotylea: A.

Gyrodactylidae, B. Dactylogyridae, C. Tetraonchinae, D.

Capsuloidae, E. Capsalidae, F. Acanthocotylidae, G.

Monocotylidae, H. Mirobothriidae; kelompok polypisthocotylea:

I. Hexabothridae, J. Polystomatidae, K. Diclidophoridae, L.

Hexastomatidae, M. Mazocraeidae, N. Microcotylidae, O.

Discocotylidae. (Sumber: Olsen, 1974).

Berdasarkan kompleksitas haptor, Monogenea terbagi menjadi 2 tipe yaitu

monopisthocotylea dan polypisthocotylea (Gambar 3). Monopisthocotylea

memiliki satu bagian utama pada haptor, sering berupa kait atau cakram yang

besar, sedangkan polyopisthocotylea memiliki beberapa bagian pada haptor

200 µ

Page 28: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

14

berupa penjepit. Monogenea mempunyai siklus hidup langsung (satu hospes)

tanpa memerlukan hospes perantara (Olsen, 1974). Siklus hidupnya tidak

mengalami reproduksi aseksual, telur akan mengalami tahap larva yang disebut

onkomirasidium. Cacing dewasanya memakan darah, lendir, serta sel-sel epitel

inangnya.

Monogenea yang paling banyak menginfeksi beberapa spesies ikan air tawar

yaitu Dactylogyrus spp. dan Gyrodactylus spp. Kelompok Gyrodactylus sp.

menginfeksi kulit dan insang, namun kelompok Dactylogyrus sp. lebih sering

menyerang insang pada semua spesies ikan air tawar terutama ukuran benih.

Bagian anterior Dactylogyrus sp. terdapat 1-2 pasang kait dan bagian posterior

terdapat opisthapthor yang dikelilingi 14 kait marginal (Kabata, 1985), sedangkan

Gyrodactylus sp. memiliki opisthapthor yang tidak mengandung batil isap tetapi

memiliki sederet kait-kait kecil berjumlah 16 buah di sepanjang tepinya dan kait

besar di tengah-tengah (Dawes, 1956).

Page 29: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

15

BAB III

METODE

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juni 2018 sampai Januari 2019.

Lokasi pengambilan sampel ikan dilakukan pada bagian tengah Sungai Ciliwung,

yaitu aliran yang melintasi Ibukota Jakarta. Lokasi tersebut terdiri dari 3 titik yaitu

Cawang (titik koordinat 6014‟34”S dan 106

051‟45”E), Kalibata (titik koordinat

6015‟29”S dan 106

051‟37”E), dan Bidara Cina (titik koordinat 6

014‟02”S dan

106051‟58”E) (Gambar 4). Selanjutnya pemeriksaan sampel ikan sapu-sapu dan

uji parameter fisik-kimia kualitas perairan Sungai Ciliwung dilakukan di

Laboratorium Ekologi Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Gambar 4. Titik Sampling Pengambilan Ikan Sapu-sapu. (Sumber: Peta

Administrasi DKI Jakarta, Peta DAS (Daerah Aliran Sungai)

Ciliwung Jakarta, dan Hasil Pengamatan Lapangan).

Page 30: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

16

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain alat pengukuran

parameter air (spektrofotometer Uv-Vis, termometer, tali, tongkat skala, pH meter,

DO meter), box ikan, nampan, mistar, sarung tangan lateks, alat bedah/ dissecting

kit (gunting, pisau bedah, pinset, scalpel), kaca objek, kaca penutup, tisu,

mikroskop cahaya binokuler (Olympus), mikroskop stereo (Olympus), kertas

label, alat tulis, kamera (Handphone).

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain ikan sapu-sapu

(Pterygoplichthys pardalis), larutan garam fisiologis NaCl 0,9%, dan akuades.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengambilan sampel ikan sapu-sapu

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

survei, yaitu merupakan upaya pengumpulan informasi dari sebagian populasi

yang dianggap dapat mewakili populasi tertentu (Mantra, 2001). Penentuan titik

sampling pengambilan sampel ikan menggunakan metode purposive sampling

yang merupakan suatu teknik penentuan sampel yang dilakukan berdasarkan

pertimbangan maupun tujuan tertentu. Pertimbangan dari metode ini adalah titik

yang ditentukan dianggap mewakili keberadaan ikan sapu-sapu berdasarkan

informasi dari pengepul ikan sapu-sapu dan masyarakat setempat.

Total ikan sapu-sapu sebanyak 60 ekor ditangkap, jumlah tersebut mewakili

10% dari populasi yang ada (Bailey, 1984). Lokasi sampling terbagi ke dalam 3

titik (Cawang, Kalibata, dan Bidara Cina) dan setiap titik diambil sebanyak 20

ekor ikan sapu-sapu (P. pardalis). Ikan sapu-sapu yang diambil berukuran sedang

yaitu sekitar 90-250 gram dan panjangnya sekitar 20-35 cm.

Ikan yang sudah ditangkap kemudian dimasukkan ke dalam box ikan dan

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium. Ikan-ikan tersebut diletakkan

di kolam ikan yang telah diberi aerasi. Selain itu, dibawa pula sampel air untuk

diperiksa kemungkinan terdapat cacing parasit yang terdapat di sampel air

tersebut dan untuk keperluan uji parameter kualitas perairan Sungai Ciliwung

Jakarta.

Page 31: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

17

3.3.2 Pengukuran kualitas perairan Sungai Ciliwung Jakarta

Penentuan titik sampling untuk pengamatan dan pengukuran parameter

lingkungan disamakan dengan titik pengambilan sampel ikan sapu-sapu.

Pengambilan data kualitas air dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan dengan

masing-masing jarak antar titik ulangan ± 5 meter dan dilakukan pada pagi hari

(pukul 08.00-10.00 WIB). Data kualitas air yang diukur berupa suhu, pH, oksigen

terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimia (BOD), kedalaman sungai, kecerahan,

kekeruhan, dan kecepatan arus. Selain itu, dilakukan pengukuran kandungan

fosfat (PO4) dan amonia (NH3) di Laboratarium Ekologi PLT Fakultas Sains dan

Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.3.3 Pemeriksaan dan pengukuran sampel ikan sapu-sapu

Sampel ikan sapu-sapu yang telah diperoleh selanjutnya dibawa ke

Laboratorium Ekologi PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk diperiksa.

Sebelum dilakukan pemeriksaan mengenai infeksi parasit, terlebih dahulu

dilakukan pemeriksaan sampel dengan mengamati morfologi sampel ikan

tersebut. Pengamatan morfologi bertujuan untuk mengamati adanya kelainan

maupun gejala klinis yang berpotensi adanya parasit yang melekat pada tubuh

ikan.

Masing-masing sampel ikan yang ditangkap dilakukan pengukuran panjang

dan berat ikan. Selanjutnya sampel ikan diletakkan pada nampan, kemudian

diamati dengan memerhatikan morfologinya. Salah satu kelainan morfologi pada

ikan seperti adanya luka pada tubuh ikan tersebut.

3.3.4 Pemeriksaan cacing ektoparasit

Setelah dilakukan pemeriksaan sampel, selanjutnya dilakukan pemeriksaan

cacing parasitik pada bagian luar tubuh ikan (ektoparasit). Berdasarkan pada

penelitian sebelumnya mengenai pemeriksaan ektoparasit pada ikan, pemeriksaan

cacing ektoparasit pada ikan sapu-sapu dilakukan pada permukaan tubuh, sirip

dorsal, sirip pektoral, sirip kaudal, sirip anal, dan insang. Sampel lendir pada

permukaan tubuh dan sirip ikan dilakukan pengerokan atau scrapping, sedangkan

sampel insang digunting terlebih dahulu dan dilakukan pengerokan. Bagian kulit

Page 32: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

18

yang diperiksa merupakan bagian sisik yang tebal dan keras pada tubuh bagian

lateral, sedangkan sampel ingsang yang diperiksa adalah bagian lemela terutama

lamela primer. Masing-masing sampel diletakkan pada kaca objek yang telah

ditetesi dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%). Selanjutnya ditutup dengan

kaca penutup dan diamati menggunakan mikroskop cahaya maupun mikroskop

stereo.

3.3.5 Analisis data

Analisis data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, yang diolah

mengunakan Microsoft Excel 2010 dengan menghitung jumlah total ektoparasit

yang telah ditemukan dan menghitung prevalensinya. Selanjutnya, analisis data

yang digunakan untuk mengetahui kualitas air yang mempengaruhi keberadaan

ektoparasit diolah menggunakan uji statistik Principal Component Analysis (PCA)

pada program SPSS 2.2. Berikut merupakan rumus perhitungan untuk mengetahui

tingkat infeksi ektoparasit (Dogiel et al., 1961),

Prevalensi

.

Intensitas

Hasil perhitungan tingkat prevalensi dan intensitas infeksi ektoparasit

dimasukkan dalam kategori yang mengacu pada pengelompokan Williams dan

Williams (1996) (Tabel 1 dan Tabel 2),

Tabel 1. Kriteria prevalensi infeksi parasit (Williams & Williams, 1996)

No. Prevalensi (%) Kategori Keterangan

1. < 0,001 Almost never Infeksi tidak pernah

2. < 0,1 - 0,1 Very rarely Infeksi sangat jarang 3. < 1 - 0,1 Rarely Infeksi jarang

4. 9 - 1 Occasionally Infeksi kadang

5. 29 - 10 Often Infeksi sering 6. 49 - 30 Commonly Infeksi biasa

7. 69 - 50 Frequently Infeksi sangat sering

8. 89 - 70 Usually Infeksi sedang

9. 98 - 90 Almost always Infeksi parah 10. 100 - 99 Always Infeksi sangat parah

Page 33: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

19

Tabel 2. Kriteria intensitas infeksi parasit (Williams & Williams, 1996).

No. Intensitas (ind/ ekor) Kategori

1. < 1 Sangat rendah

2. 1 – 5 Rendah

3. 6 – 55 Sedang

4. 51 – 100 Parah

5. > 100 Sangat parah

6. > 1000 Super infeksi

Page 34: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

20

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Cacing Ektoparasit

Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) ditangkap sebanyak 20 ekor

ikan pada masing-masing titik sampling, sehingga total keseluruhan ikan yang

diperiksa sebanyak 60 ekor ikan. Ikan sapu-sapu (P. pardalis) yang terinfeksi

cacing ektoparasit berjumlah 35 dari total 60 ekor ikan yang diperiksa (Tabel 3).

Tabel 3. Genus dan jumlah cacing ektoparasit pada organ yang terinfeksi

Titik Sampling

∑Sampel (ekor)

Ikan yang terinfeksi

Spesies cacing ektoparasit

Organ yang terinfeksi Jumlah

ektoparasit I PT SD SP SK SA

Cawang 20 12 Benedenia sp. 1 244 8 2 33 0 288

Dactylogyrus sp. 0 0 0 0 0 0 0

Kalibata 20 13 Benedenia sp. 0 138 7 0 18 1 164

Dactylogyrus sp. 1 0 0 0 0 0 1

Bidara Cina

20 10 Benedenia sp. 0 123 12 2 9 0 146

Dactylogyrus sp. 4 0 0 0 0 0 4

Total 60 35

6 505 27 4 60 1 603

Keterangan : I= Insang PT= Permukaan Tubuh SD= Sirip Dorsal

SP= Sirip Pektoral SK= Sirip Kaudal SA= Sirip Anal

Hasil pemeriksaan ektoparasit pada ikan sapu-sapu ditemukan dua genus

cacing ektoparasit yaitu Benedenia sp. dan Dactylogyrus sp. (Tabel 3). Cacing

Benedenia sp. yang diperiksa banyak menginfeksi permukaan tubuh dan sirip,

sedangkan Dactylogyrus sp. hanya ditemukan pada bagian insang. Dactylogyrus

sp. ditemukan sebanyak 5 individu, masing-masing 1 individu di Kalibata dan 4

individu di Bidara Cina, namun cacing ini tidak ditemukan di Bidara Cina.

Benedenia sp. ditemukan dalam jumlah yang banyak dan mendominasi dari

ketiga titik sampling tersebut, dengan total keseluruhan sebanyak 598 individu

dari 603 individu cacing ektoparasit yang ditemukan. Benedenia sp. dari ketiga

titik sampling banyak menginfeksi permukaan tubuh yaitu sebanyak 505 individu.

Hal ini karena permukaan tubuh mempunyai permukaan yang lebih luas

dibandingkan dengan organ sirip, sehingga cacing ektoparasit lebih banyak

Page 35: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

21

menyebar dan menginfeksi. Masing-masing bagian sirip yang terinfeksi dari yang

terbanyak secara berturut-turut yaitu sirip kaudal (pinna caudalis) sebanyak 60

individu, sirip dorsal (pinna dorsalis) sebanyak 27 individu, sirip pektoral (pinna

pectoralis) sebanyak 4 individu, dan sirip anal (pinna analis) sebanyak 1 individu,

serta ditemukan pula 1 individu pada bagian insang.

4.1.1 Benedenia sp.

Organ target ditemukannya parasit Benedenia sp. saat pemeriksaan adalah di

bagian permukaan tubuh dan sirip, namun hanya ditemukan satu individu pada

organ insang. Benedenia sp. terlihat memiliki bentuk tubuh pipih. Cacing

ektoparasit ini memiliki sepasang alat penghisap (sucker) pada bagian anterior

tubuh dan opisthapthor yang membulat pada bagian posterior tubuh, namun

sucker dan bintik mata yang terdapat pada bagian anterior dan posterior tidak jelas

terlihat (transparan) (Gambar 5). Hal ini sesuai dengan penelitian Jithendran et al.

(2005), yang melaporkan bahwa parasit ini memiliki bentuk pipih dorsoventral

dengan tubuh memanjang dengan ukuran tubuh 2,05-3,29 x 0,66-1,33 mm dan

memiliki dua pasang bintik mata pada bagian anterior dan posterior. Bintik mata

bagian anterior memiliki ukuran lebih kecil dari pada posterior. Selain itu,

Benedenia sp. memiliki ciri yang khas yaitu memiliki bentuk faring yang

bergelombang (gilig).

Gambar 5. Morfologi Benedenia sp.: A. Bagian anterior (perbesaran 10x40), B.

Bagian utuh (perbesaran 10x10), C. Bagian posterior (perbesaran

10x40).

Grabda (1991) mengklasifikasikan Benedenia sp. ke dalam Filum

Platyhelminthes, Kelas Trematoda monogenea, Ordo Dactylogyridae, Famili

50µm

A 1mm B C

Page 36: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

22

Page 37: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

23

Grabda (1991) mengklasifikasikan Dactylogyrus sp. ke dalam Filum

Platyhelminthes, Kelas Trematoda monogenea, Ordo Dactylogyridea, Famili

Dactylogyridae, Genus Dactylogyrus. Ektoparasit ini merupakan spesies cacing

yang memiliki bentuk tubuh memanjang, memiliki dua pasang mata dan sucker

pada bagian anterior. Bagian posterior terdapat 2 kait besar yang dikelilingi 14

kait lebih kecil yang umumnya berfungsi untuk menempel dan menginfeksi

jaringan pada insang ikan. Parasit ini mampu menginfeksi ikan air tawar, ikan air

payau, dan ikan air laut (Putri et al., 2016).

Dactylogyrus sp. merupakan parasit yang lebih sering ditemukan dan

menginfeksi ikan pada bagian insang. Beberapa penelitian sebelumnya

Dactylogyrus sp. lebih dominan ditemukan pada insang ikan nila (Oreochromis

nilotica) (Nurhayati & Eri, 2018; Putri et al., 2016) dan pada insang ikan nila

merah (Oreochromis sp.) (Irwandi & Wulandari, 2017). Penelitian Irwandi dan

Wulandari (2017) melaporkan bahwa Dactylogyrus sp. merupakan ektoparasit

yang bersifat menyerang organ spesifik terhadap insang, ektoparasit ini lebih

sering menyerang bagian insang yang menyebabkan permukaan insang tertutup,

rusaknya epitelium, dan ditambah dengan banyaknya produksi lendir yang akan

mengganggu pertukaran oksigen, sehingga menyebabkan ikan mati karena tidak

mampu bernafas.

Perkembangan parasit Dactylogyrus sp. mencapai dewasa terjadi di insang,

tepatnya di lamela primer insang. Oncomirasidium (larva cacing) masuk dan

memakan sel epitel lamela dan tulang rawan hialin yang ada pada lamela primer

dan membentuk kista di dalamnya, hal ini mengakibatkan terjadinya hiperplasia

sel epitel lamela dan tulang rawan hialin yang menyebabkan organ insang

membengkak (Grabda, 1991). Infeksi pada organ insang ikan sapu-sapu yang

diamati terlihat dilapisi lendir dan berwarna merah pucat (Tabel 4), hal ini sesuai

dengan penelitian Putri et al., (2016) yang menyatakan bahwa ikan yang terinfeksi

penyakit mengalami perubahan warna tubuh, sebagian atau seluruh insang

dipenuhi dengan lapisan lendir, terjadi pembengkakan, dan tampak pucat. Gejala

klinis ikan yang terinfeksi Dactylogyrus sp. yaitu ikan mengalami tidak seimbang

saat berenang.

Page 38: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

24

Page 39: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

25

Hasil pengamatan pada bagian organ insang ikan sapu-sapu

(Pterygoplichthys pardalis) yang terinfeksi ektoparasit memiliki warna yang lebih

pucat (memutih) dan berlendir. Pemeriksaan permukaan tubuh ikan sapu-sapu

yang terinfeksi parasit ditandai dengan adanya luka, sedangkan ikan yang sehat

memiliki warna tubuh yang stabil (tidak berubah-ubah) dan kondisi tubuh normal

tidak ada kelainan atau cacat. Selain itu bagian sirip dorsal, sirip pektoral, dan

sirip kaudal terlihat patah atau robek pada ikan yang terinfeksi (Tabel 4). Menurut

Afrianto dan Liviawaty (1992), ikan dikatakan sakit apabila terjadi gangguan atau

kelainan baik secara morfologi maupun fisiologinya. Adapun yang menjadikan

ciri-ciri ikan sakit seperti permukaan tubuh yang terjadi pendarahan, kulit ikan

mengelupas, selain itu sirip dada, sirip punggung, maupun sirip ekor sering

terlihat rusak dan pecah-pecah. Tingkat infeksi yang lebih hebat kadang-kadang

hanya tinggal jari-jari siripnya saja, serta kelainan pada insang ditandai dengan

perubahan warna insang menjadi keputih-putihan.

Penurunan daya tahan tubuh ikan terjadi karena adanya penularan penyakit

melalui air atau kontak langsung dengan ikan yang terinfeksi dan penularannya

akan didukung oleh rendahnya kualitas air sebagai habitat ikan tersebut. Selain

itu, kepadatan populasi yang tinggi menjadikan ikan mempunyai daya saing di

dalam memanfaatkan makanan, kebutuhan oksigen, dan ruang gerak, sehingga

tingkah laku ikan yang saling berkompetisi ini memicu timbulnya luka terbuka

pada tubuh luar ikan yang bisa menjadi jalan bagi masuknya sumber penyakit

(Diansari et al., 2013). Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi tingkat

infeksi parasit (prevalensi dan intensitas) pada ikan.

4.2 Prevalensi dan Intensitas Infeksi Cacing Ektoparasit

Prevalensi merupakan nilai presentase yang diperoleh berdasarkan jumlah

ikan yang terinfeksi suatu parasit dari jumlah total ikan yang diperiksa, nilai ini

berfungsi untuk mengetahui banyaknya sampel ikan yang terinfeksi suatu parasit.

Intensitas adalah nilai yang diperoleh dari jumlah individu suatu parasit yang

ditemukan pada satu ekor ikan dan nilai ini berfungsi untuk mengetahui tingkat

infeksi suatu organisme parasit (Dogiel et al., 1961). Nilai prevalensi dan

intensitas infeksi cacing ektoparasit yang dihasilkan pada ikan sapu-sapu

Page 40: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

26

(Pterygoplichthys pardalis) di Sungai Ciliwung Jakarta berbeda-beda pada

masing-masing titik sampling (Tabel 5).

Tabel 5. Prevalensi dan intensitas infeksi cacing ektoparasit

Titik

Sampling Spesies Parasit

Jumlah

Parasit (ind)

Jumlah ikan

yang

terinfeksi (ekor)

Jumlah ikan

yang

diperiksa (ekor)

Prevalensi

(%)

Intensitas

(ind/ekor)

Cawang

Benedenia sp. 288 12

20

60 24

Dactylogyrus

sp. 0 0 0 0

Kalibata

Benedenia sp. 164 13

20

65 13

Dactylogyrus

sp. 1 1 5 1

Bidara

Cina

Benedenia sp. 146 10

20

50 15

Dactylogyrus

sp. 4 2 10 2

Jumlah ikan sapu-sapu yang terinfeksi cacing ektoparasit dari ketiga titik

sampling yaitu sebanyak 35 ekor dari 60 ekor ikan yang diperiksa (Tabel 3), maka

nilai prevalensi yang dihasilkan yaitu 58,33%. Menurut Wiliams dan Williams

(1996), kriteria nilai prevalensi 58,33% berada pada kategori frequently atau

infeksi sangat sering karena memiliki nilai prevalensi pada kisaran 69-50%.

Lokasi masing-masing titik sampling yang berada didekat pusat kegiatan

masyarakat dan penduduk sekitar menjadikan kualitas air selama pengambilan

sampel tidak begitu baik, sesuai pula dengan laporan BPLHD DKI Jakarta (2011)

yang menyatakan aliran Sungai Ciliwung di Jakarta tergolong ke dalam cemaran

berat, sehingga hal ini menjadikan cacing ektoparasit relatif mudah berkembang

dan dengan cepat menginfeksi inangnya.

Tingkat prevalensi serangan cacing ektoparasit Benedenia sp. pada ketiga

titik sampling berada pada kategori frequently atau infeksi sangat sering karena

memiliki nilai prevalensi pada kisaran 69-50%. Masing-masing nilai prevalensi

yang dihasilkan dari ketiga titik sampling yaitu 60% di Cawang, 65% di Kalibata,

dan 50% di Bidara Cina (Tabel 5). Secara umum Benedenia sp. dapat berpindah

dari ikan satu ke ikan yang lainnya karena adanya kontak langsung antar ikan.

Tingginya nilai prevalensi oleh Benedenia sp. yang menginfeksi permukaan tubuh

dan sirip ikan sapu-sapu, dapat disebabkan karena permukaan tubuh dan sirip

merupakan organ tubuh yang berhubungan langsung dengan air yang

Page 41: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

27

memudahkan parasit untuk menempel dan penularannya didukung dengan kondisi

daya tahan tubuh ikan yang menurun sehingga memicu cepatnya sebaran infeksi

oleh parasit (Diansari et al., 2013).

Nilai intensitas cacing ektoparasit Benedenia sp. dari ketiga titik sampling

tergolong sedang karena berada pada kisaran angka 6-55 individu/ ekor. Nilai

intesitas tertinggi yaitu berada di Cawang sebesar 24 individu/ ekor, sedangkan di

Kalibata memiliki nilai sebesar 13 individu/ ekor dan di Bidara Cina 15 individu/

ekor (Tabel 5). Penelitian Irwandi dan Wulandari (2017) menyatakan bahwa nilai

intensitas yang tinggi dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang mendukung

kehidupan ektoparasit dan kurang mendukung bagi kehidupan ikan. Hal ini

membuat pergerakan ikan menjadi lemah dan mudah terinfeksi penyakit.

Nilai prevalensi oleh cacing ektoparasit Dactylogyrus sp. pada ketiga titik

sampling berbeda-beda yaitu 0% di Cawang, 5% di Kalibata, dan 10% di Bidara

Cina (Tabel 5). Menurut Williams dan Williams (1996) kriteria nilai prevalensi

0% di Cawang berada pada kategori rarely atau infeksi jarang, nilai prevalensi di

Kalibata sebesar 5% berada pada kategori occasionally atau infeksi kadang dan di

Bidara Cina sebesar 10% berada pada kategori often atau infeksi sering. Nilai

intensitas cacing ektoparasit Dactylogyrus sp. pada titik sampling Cawang kurang

dari 1 individu/ ekor, Kalibata 1 individu/ ekor, dan Bidara Cina kurang 2

individu/ ekor. Menurut Williams dan Williams (1996) nilai intensitas ektoparasit

1-5 individu/ ekor termasuk ke dalam tingkat infeksi rendah dan < 1 individu/

ekor yang termasuk ke dalam tingkat infeksi sangat rendah.

Rendahnya nilai infeksi (prevalensi dan intensitas) spesies Dactylogyrus sp.

pada ikan sapu-sapu, karena cacing ektoparasit ini hanya ditemukan pada organ

insang ikan dan tidak ditemukan pada organ lainnya. Dactylogyrus sp. bersifat

menyerang organ spesifik terhadap insang dan sepanjang siklus hidupnya berada

pada organ insang. Pemeriksaan terhadap organ insang ikan sapu-sapu terlihat

sehat dan berwarna merah segar. Perbedaan hanya terlihat dari kondisi insang

yang tampak lebih pucat dan terdapat 3 organ insang yang terinfeksi Dactylogyrus

sp. dari total 60 ekor ikan yang diperiksa.

Nilai prevalensi dan intensitas pada setiap parasit tidak selalu sama karena

banyaknya faktor yang berpengaruh, salah satu faktor yang berpengaruh adalah

Page 42: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

28

ukuran inang. Beberapa spesies ikan terutama ikan konsumsi, semakin besar

ukuran atau berat inang, semakin tinggi pula tingkat infeksi oleh parasit tertentu

(Nurhayati & Eri, 2018). Rahmaningsih (2016) menjelaskan bahwa faktor yang

mempengaruhi tingkat infeksi suatu parasit disebabkan oleh kemampuan adaptasi

parasit pada tubuh inang dan kecocokan inang untuk kelangsungan hidup parasit,

serta kualitas lingkungan.

Nilai prevalensi pada masing-masing organ menunjukkan hasil yang

berbeda. Hasil prevalensi kehadiran ektoparasit tertinggi berada pada permukaan

tubuh, sedangkan yang menunjukkan nilai terendah yang berada pada sirip anal

(pinna analis). Nilai prevalensi tertinggi mencapai presentase 58,3% yaitu pada

bagian permukaan tubuh (Gambar 7). Nilai prevalensi yang berkisar 69-50%

termasuk ke dalam kategori frequently atau infeksi sangat sering (Williams &

Williams, 1996).

Gambar 7. Nilai Prevalensi (%) pada Organ Ikan Sapu-sapu

Permukaan tubuh yang diperiksa yaitu bagian sisik atau kulit dari lateral

tubuh ikan sapu-sapu. Tingginya ektoparasit yang menginfeksi kulit dikarenakan

kulit merupakan salah satu bagian yang berhubungan langsung dengan air yang

menjadikan parasit lebih mudah menempel dibagian kulit dibandingkan dengan

organ tubuh lainnya (Kabata, 1985). Selain itu, permukaan tubuh mempunyai

0

10

20

30

40

50

60

70

Insang Permukaan

Tubuh

Sirip Dorsal Sirip

Pektoral

Sirip

Kaudal

Sirip Anal

Nila

i pre

vale

nsi

(%

)

Organ yang diperiksa

Page 43: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

29

permukaan yang lebih luas dibandingkan dengan organ tubuh lain, sehingga

cacing ektoparasit lebih banyak menyebar dan menginfeksi.

Bagian sirip kaudal (pinna caudalis) memiliki nilai prevalensi lebih besar

yaitu 26,7% dibandingkan pada bagian sirip lainnya. Sirip dorsal (pinna dorsalis)

memiliki nilai prevalensi sebesar 20%, sirip pektoral (pinna pectoralis) 5%, dan

sirip anal (pinna analis) 1,7% (Gambar 7). Tingkat infeksi pada sirip kaudal dan

sirip dorsal termasuk ke dalam kategori often atau sering, karena berada pada

kisaran 29-10% sesuai dengan pendapat Williams dan Williams (1996) yang

mengkategorikan infeksi berdasarkan prevalensi. Tingkat infeksi pada sirip

pektoral dan sirip anal termasuk ke dalam kategori occasionally atau kadang,

karena berada pada kisaran 9-1%. Sirip anal memiliki nilai prevalensi terendah,

hal ini dikarenakan sirip anal mempunyai luas permukaan yang lebih kecil jika

dibandingkan dengan sirip-sirip lainnya yang menjadikan hanya satu individu

ektoparasit yang ditemukan.

Secara umum sirip berfungsi untuk membantu menstabilkan ikan ketika

berenang dan organ ini memiliki kontak langsung dengan lingkungan abiotiknya

berupa air dan lumpur (Martin et al., 1998). Ikan sapu-sapu mempunyai kebiasaan

menggali lubang sepanjang tepian sungai menggunakan mulut dan siripnya

(Qoyyimah et al., 2016), hal ini membuat sirip dengan mudah terpapar parasit.

Sirip kaudal atau sirip ekor dapat dikatakan sebagai dayung yang terus-menerus

bergerak untuk membantu ikan berenang, sehingga pergerakannya lebih aktif

dibandingkan dengan sirip-sirip yang lain (Martin et al., 1998).

Insang pada ikan sapu-sapu terletak pada bagian ventral tubuh sama seperti

letak mulutnya (Samat et al., 2008). Nilai prevalensi pada organ insang yang

diamati memiliki nilai prevalensi yaitu sebesar 5% (Gambar 7). Tingkat infeksi

pada insang termasuk ke dalam kategori occasionally atau kadang, karena berada

pada kisaran 9-1%. Beberapa penelitian mengenai identifikasi parasit ikan

(Nurhayati & Eri, 2018; Putri et al., 2016), didapatkan hasil dengan nilai infeksi

pada insang yang dominan atau tertinggi. Hal ini dikarenakan masuk keluarnya air

pada saat melakukan proses respirasi melalui mulut dan insang, akan

meninggalkan salah satunya organisme air yaitu parasit ikan yang dapat

menempel dan menginfeksi permukaan insang (Moller & Anders, 1986). Selain

Page 44: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

30

0

10

20

30

40

50

60

70

Cawang Kalibata Bidara Cina

Nil

ai

pre

vale

nsi

(%

)

itu, insang merupakan organ pernapasan yang langsung bersentuhan dengan

lingkungan sekitarnya yang menyaring bahan-bahan yang terlarut, menyaring

partikel-partikel pakan, dan mengikat oksigen (Ismi et al., 2019). Ikan sapu-sapu

memiliki alat pernafasan berupa labirin yang berfungsi untuk menyimpan

cadangan oksigen yang digunakan pada saat ikan berada pada lingkungan dengan

kadar oksigen rendah (Geerinckx et al., 2007).

4.3 Hubungan Parameter Kualitas Air dengan Keberadaan Cacing

Ektoparasit

Nilai prevalensi pada ketiga titik sampling menunjukkan hasil yang tidak

jauh berbeda. Masing-masing persentase prevalensi yang diperoleh dari ketiga

titik sampling yaitu 60% di Cawang, 65% di Kalibata, dan 50% di Bidara Cina

(Gambar 8). Menurut Williams dan Williams (1996) nilai prevalensi yang berada

pada kisaran 69-50% termasuk ke dalam kategori frequently atau infeksi sangat

sering.

Gambar 8. Nilai Prevalensi (%) dari Ketiga Titik Sampling

Faktor yang menunjukkan tingginya tingkat infeksi cacing ektoparasit dari

ketiga titik sampling, salah satunya karena kondisi perairan Sungai Ciliwung

berada dalam kondisi tercemar berat, mulai dari hulu (daerah Puncak, Kab.

Bogor) sampai dengan hilir (di DKI Jakarta) (Yudo & Said, 2018). Lokasi dari

Page 45: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

31

ketiga titik sampling berada di tengah kota Jakarta yang alirannya dekat dan

melintasi banyak perkampungan, perumahan padat, dan pemukiman-pemukiman

kumuh (BPLHD DKI Jakarta, 2011). Kondisi air pada titik sampling Cawang,

Kalibata, dan Bidara Cina saat pengamatan sangat keruh karena dekat dengan

pemukiman warga yang menyebabkan adanya buangan limbah rumah tangga yang

masuk ke dalam perairan tersebut (Gambar 9). Selain disebabkan karena berada

didekat pemukiman warga, lokasi masing-masing titik sampling dekat dengan

pusat kegiatan masyarakat seperti mal, pasar tradisional, dan perusahaan-

perusahaan. Limbah domestik saat ini menjadi penyumbang terbesar terjadinya

pencemaran air sungai seperti pembuangan tinja, bekas air cucian dapur maupun

kamar mandi, dan sampah rumah tangga. Limbah domestik dan limbah industri

mengandung berbagai jenis bahan pencemar yang berkontribusi terhadap

buruknya kualitas air sungai (International River Foundation, 2011).

Gambar 9. Kondisi Titik Sampling di Sungai Ciliwung Jakarta: A. Cawang,

B. Kalibata, C. Bidara Cina.

B

R

iv

er

F

o

u

n

d

at

io

n,

2

0

1

1)

.

C R

iv

er

F

o

u

n

d

at

io

A

R

iv

er

F

o

u

n

d

at

io

n,

2

0

1

1

).

Page 46: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

32

Jumlah spesies cacing yang ditemukan di Cawang (288 individu) lebih

banyak dibandingkan di Kalibata (164 individu), namun nilai prevalensi yang

diperoleh di Kalibata lebih tinggi yaitu sebesar 65% dibandingkan dengan

Cawang (60%) dan Bidara Cina (50%) (Gambar 8). Hal ini menunjukkan adanya

kemerataan penyebaran infeksi oleh cacing ektoparasit, sehingga jumlah ikan

sapu-sapu yang terinfeksi di Kalibata lebih banyak dibandingkan dari dua titik

sampling lainnya. Kondisi ini sesuai dengan data pengukuran yang menunjukkan

kecepatan arus di Kalibata lebih tinggi dibandingkan dari kedua titik sampling

lainnya (Tabel 6), hal ini dapat menyebabkan distribusi ikan akan menyebar cepat

dan mempengaruhi penyebaran cacing ektoparasit. Selain itu, kandungan amonia

pada perairan Kalibata cukup tinggi (Tabel 6), yang menyebabkan kondisi air di

Kalibata saat pengamatan berwarna lebih gelap (Gambar 9).

Tabel 6. Hasil pengukuran kualitas air pada ketiga titik sampling

Keterangan * : PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan

Pengendalian Pencemaran Air Kelas II

Sungai dikatakan tercemar jika kualitas airnya sudah tidak sesuai dengan

peruntukannya, hal ini didasarkan pada baku mutu kualitas air kelas II yaitu

sebagai sumber air minum dan kegiatan pembudidayaan ikan berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air

dan Pengendalian Pencemaran Air. Pengamatan kualitas air bertujuan untuk

mengetahui perubahan kualitas air, kualitas air yang buruk dapat menyebabkan

adanya serangan parasit pada biota air yang hidup pada perairan tertentu. Kondisi

Parameter

pengukuran

Baku

Mutu*

Titik Sampling

Cawang Kalibata Bidara

Cina

Suhu (°C) deviasi 3 28,1 28,5 27,9

pH 6 - 9 6,5 6,7 6

Kedalaman (cm) - 84 50 49

Kekeruhan (FTU) - 42,39 29,35 36,53

Kecepatan arus (m/s) - 0,4 5,3 0,3

BOD (mg/L) 3 5,7 3,8 4,8

Fosfat (ppm) 0,2 0,3 0,04 0,01

Amonia (ppm) 1 3,6 2,7 0,6

DO (mg/L) 4 5,93 4,66 4,01

Page 47: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

33

perairan di Sungai Ciliwung Jakarta dapat mempengaruhi kelangsungan hidup

ikan maupun ektoparasit yang menginfeksi ikan sapu-sapu.

Parameter yang diukur pada perairan sungai Ciliwung Jakarta meliputi suhu,

pH, kedalaman, kekeruhan, kecepatan arus, BOD, dan DO, serta mengukur

kandungan senyawa kimia berupa fosfat dan amonia. Masing-masing parameter

tersebut diperoleh data suhu sekitar 27,9-28,5 oC, pH 6-6,7, kedalaman 49-84 cm,

kekeruhan 29,35-42,39 FTU, kecepatan arus 0,3-5,3 m/s, , BOD 3,8-5,7 mg/l, DO

4,01-5,93 mg/l, dengan kandungan fosfat sekitar 0,01-0,3 ppm dan amonia sekitar

0,6-3,6 ppm (Tabel 6). Nilai pengukuran suhu dan pH air berada pada kondisi

yang optimal ikan sapu-sapu untuk tumbuh dan berkembang. Pterygoplichthys

spp. dapat ditemukan di perairan dalam kondisi asam dan basa yaitu pH 5,5

hingga 8,0 dan memiliki rentang suhu air yang lebih hangat yaitu diantara 21-

29ºC (Hossain et al., 2018).

Hasil dari pengukuran parameter kualitas air tersebut, kemudian dilakukan

uji stastistik PCA (Principal Component Analysis) untuk mengetahui korelasi atau

hubungan antara keberadaan ektoparasit dengan kuliatas perairan yang terdapat di

Sungai Ciliwung Jakarta. Hasil output KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) yaitu 0,636

dengan nilai signifikasi 0,000 (Lampiran 3). Nilai KMO yang diperoleh dapat

dianalisis lebih lanjut karena mempunyai nilai lebih besar dari 0,50 (0,636 > 0,50)

dan nilai signifikasi juga dapat dianalisis lebih lanjut karena mempunyai nilai

lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,50).

Nilai component matrix dapat berfungsi untuk mengetahui parameter apa

yang paling mempengaruhi kehadiran cacing ektoparasit yang menginfeksi ikan

sapu-sapu. Korelasi antara suatu variabel dengan faktor 1 dan faktor 2 ditunjukkan

pada angka yang terdapat di dalam tabel yang disebut dengan factor loading. Nilai

factor loading yang melebihi tujuh ( >7) merupakan nilai yang disarankan sebagai

penentu komponen faktor (Elpira, 2014). Berdasarkan tabel output component

matrix menunjukkan distribusi ketujuh parameter membentuk 2 faktor utama.

Parameter kedalaman (0,993), kekeruhan (0,747), BOD (0,766), DO (0,981),

fosfat (0,999), dan amonia (0822), berkontribusi pada faktor 1, sedangkan

kecepatan arus (0,785) lebih berkontribusi pada faktor 2 (Tabel 7).

Page 48: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

34

Tabel 7. Hasil output component matrix

Nilai eigenvalue yang diperoleh menunjukkan ketujuh parameter tersebut

mempengaruhi keberadaan cacing ektoparasit pada ikan sapu-sapu di Sungai

Ciliwung Jakarta. Nilai eigenvalue yang paling mendekati 1,00 adalah parameter

yang paling berpengaruh, berdasarkan tabel didapatkan parameter kandungan

fosfat sebesar 0,999 dan kedalaman sebesar 0,993 (Tabel 7). Hal ini menunjukan

bahwa kandungan fosfat dan kedalaman paling berpengaruh terhadap adanya

cacing ektoparasit pada ikan sapu-sapu. Namun interpretasi hasil dilakukan

dengan melihat nilai komponen yang terdapat dalam rotasi matriks yang bertujuan

untuk menstabilkan dan memperjelas letak suatu variabel dalam faktor.

Komponen matriks rotasi (rotated component matrix) adalah matriks

korelasi yang memperlihatkan distribusi variabel yang lebih jelas dan nyata

dibandingkan component matrix (Elpira, 2014). Hasil dari component plot in

rotated space berfungsi untuk mengetahui hubungan yang positif atau negatif dari

setiap variabel yang diuji. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa

parameter kekeruhan dan konsentrasi BOD memiliki hubungan yang positif

(Gambar 10). Hubungan positif kedua faktor tersebut menunjukan bahwa

parameter kekeruhan dan konsentrasi BOD paling berpengaruh terhadap

keberadaan cacing ektoparasit pada ikan sapu-sapu di perairan Sungai Ciliwung

Jakarta.

Page 49: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

35

Gambar 10. Hasil Output Component Plot in Rotated Space

Korelasi positif antara kekeruhan dan konsentrasi BOD dibuktikan dengan

hasil pengukuran kualitas air (Tabel 6), yang menyatakan bahwa semakin besar

nilai kekeruhan maka diikuti pula semakin tinggi nilai BOD yang dihasilkan.

Kekeruhan didefinisikan sebagai kondisi air yang disebabkan oleh adanya materi

tersuspensi (partikel tanah liat, lumpur, koloid tanah, dan organisme perairan) di

dalam perairan yang mengakibatkan warna air semakin gelap (Effendi, 2003).

Penyebab lain dari kekeruhan diantaranya seperti tingginya debit limbah, aktifitas

pertanian, dan kegiatan manusia (industri, petambangan, dan kontruksi) (Boyd,

1990). Nilai kekeruhan yang tinggi juga disebabkan oleh lubang yang dibuat oleh

ikan sapu-sapu di sekitar lingkungan riparian dengan pembuatan terowongan

pemijahan sehingga menyebabkan terjadinya erosi (Ende, 2014).

Biological oxygen demand (BOD) merupakan sebagai suatu ukuran jumlah

oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan

sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai (Odum,

1993). Banyaknya limbah organik yang dilepaskan ke perairan, maka nilai BOD

yang dihasilkan akan semakin meningkat. Semakin besar konsentrasi BOD

Page 50: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

36

mengindikasikan bahwa perairan tersebut tercemar (Effendi, 2003). Berdasarkan

hasil pengukuran pada masing-masing titik sampling (Tabel 6), konsentrasi BOD

dari ketiga lokasi berada diatas baku mutu (melebihi 3mg/L). Kondisi ini

mengindikasikan Sungai Ciliwung Jakarta tercemar dan menyebabkan adanya

organisme parasit, salah satunya yaitu cacing ektoparasit yang menginfeksi ikan

sapu-sapu (P. pardalis).

Page 51: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

37

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Cacing ektoparasit yang terindentifikasi berjumlah 2 genus, yaitu Benedenia

sp. dan Dactylogyrus sp. yang tergolong ke dalam Filum Plathyhelmintes, Kelas

Trematoda dan Subkelas Monogenea. Nilai prevalensi pada titik sampling

Cawang 60%, Kalibata 65%, dan Bidara Cina 50%. Nilai prevalensi dari ketiga

titik sampling tersebut termasuk ke dalam kategori infeksi sangat sering. Nilai

prevalensi organ tertinggi sebesar 58,3% yang menginfeksi bagian permukaan

tubuh ikan sapu-sapu karena mempunyai permukaan yang lebih luas dibandingkan

orang tubuh lainnya.

5.2 Saran

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai pemeriksaan ektoparasit

selain dari infeksi kecacingan dan perlu dilakukan pemeriksaan endoparasit pada

ikan sapu-sapu. Hal ini berguna untuk mengetahui tingkat keamanan ikan

sapu-sapu sebagasi ikan konsumsi saat ini. Selain itu dalam pemanfaatannya, ikan

sapu-sapu perlu dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi agar meminimalisir

tingkat kontaminasi logam berat dan parasit yang terdapat pada ikan tersebut.

Page 52: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

38

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E., & Liviawaty, E. (1992). Pengendalian hama dan penyakit ikan.

Kanisius. Yogyakarta.

Armbruster, J. W. (2004). Phylogenetic relationships of the suckermouth

armoured catfishes (Loricariidae) with emphasis on the Hypostominae and

the Ancistrinae. Zoological Journal of the Linnean Society, 141(1), 1- 80.

DOI: 10.1111/j.1096-3642.2004.00109.x.

Armbruster, J. W., & Page, L. M. (2006). Redescription of Pterygoplichthys

punctatus and description of a new species of Pterygoplichthys

(Siluriformes: Loricariidae). Neotropical Ichthyology, 4(4), 401-409.

DOI: 10.1590/s1679-62252006000400003.

Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2018). Perkembangan temuan parasit

cacing pada produk ikan makerel kaleng. Diakses dari

https://pom.go.id/new/more/, pada 4 November 2019.

Bailey, J. A. (1984). Principles of Wildlife Management. Colorado State

University. USA.

Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi KKP. (2013). Database

nilai gizi ikan. Diakses dari http://www.bbp4b.litbang.kkp.go.id/, pada 12

Maret 2018.

Balai Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta. (2011). Laporan Status

Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta.

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum Ciliwung. (2013). Laporan

Rencana Pengelolaan DAS Ciliwung Terpadu Tahun 2013.

Boyd, C. E. (1990). Water quality in ponds for aquaculture. Birmingham

Publishing Co. Birmingham, Alabama.

Buchmann, K., & Bresciani, J. (2001). An introduction to parasitic diseases of

freshwater trout. DSR Publisher. Denmark.

Dawes, D. (1956). The trematoda. The Syndics of The Cambridge University

Press. Cambridge.

Diansari, RR. V. R., Arini, E., & Elfitasari, T. (2013). Pengaruh kepadatan yang

berbeda terhadap kelulushidupan dan pertumbuhan ikan nila (Oreochromis

niloticus) pada sistem resirkulasi dengan filter zeolit. Jurnal Aquakultur

Manajemen dan Teknologi, 2(3), 37-45.

Page 53: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

39

Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. (2017). Laporan Dinas

Lingkungan Hidup (DLH) mengenai kualitas air Sungai Ciliwung. Diakses

dari https://www.medcom.id/nasional/metro/VNnRYxXN-kualitas-air-

ciliwung-mencemaskan, pada 9 Desember 2018.

Dogiel, V. A. G, Petrushevki, G. K., & Polyanski, I. (1961). Parasitology of

fishes. T. F. H. Publisher. Hongkong.

Effendi, H. (2003). Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan

lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Elfira, F. (2014). Penerapan analisis faktor untuk menentukan faktor-faktor yang

mempengaruhi mahasiswa dalam memilih jurusan matematika Fakultas

Sains dan Teknologi Islam Negeri Alauddin Makasar. Skripsi. Makasar.

Ende, O. V. D. (2014). Burrowing by sailfin catfish (Pterygoplichthys sp.): A

potential cause of erosion in disturbed environments. Aquatic Nuisance

Species, 14 (1), 1-9.

Food and Agriculture Organization. (2005). Corporate document repository.

Diakses dari http://www.fao.org/DOCREP/004, pada 18 Maret 2018.

Geerinckx, T., Brunain, M., Herrel, A., Aerts, P., & Adriaens, D. (2007). A head

with a suckermouth: A fuctional-morphological study of the head of the

suckermouth armoured catfish Ancistrus cf. triradiatus (Loricariidae,

Siluriformes). Belgian Journal of Zoology, 137(1), 47-66.

Grabda, J. (1991). Marine fish parasitology: An Outline. Polish Scientific

Publishers, Warsawa. New York.

Handajani, H. (2005). Parasit dan penyakit ikan. UMM Press. Malang.

Hardi. (2013). Analisis kandungan logam berat merkuri (Hg) pada daging ikan

sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) di Sungai Ciliwung. Diakses dari

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/64582, pada 31 Januari 2019.

Hendrawan, D., Fachrul, M. F., Nugrahadi. A. A., & Sitawati, A. (2005).

Perubahan guna lahan terhadap kualitas air di DAS Ciliwung. Loporan

Penelitian Unggulan Trisakti VII. Lemlit Usakti. Jakarta.

Hermanto, S. (2014). Karakteristik fisikokimia gelatin kulit ikan sapu-sapu

(Hyposarcus pardalis) hasil ekstraksi asam. Jurnal Kimia Valensi, 4(2),

109-120. DOI: 10.15408/jkv.v0i0.3608.

Hossain, M. Y., Vadas, R. L., Ruiz-Carus, R., & Galib, S. M. (2018). Amazon

sailfin catfish Pterygoplichthys pardalis (Loricariidae) in Bangladesh. A

critical review of its invasive threat to native and endemic aquatic species.

Fishes, 3 (14), 1-12. DOI: 10.3390/fishes3010014.

Page 54: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

40

International River Foundation. (2011). Help Save The Ciliwung River Indonesia.

Diakses dari http://www.riverfoundation.org.au/event.php?e=1289, pada 31

Januari 2019.

Ismi, L. N., Elfidasari, D., Puspitasari, R. L., & Sugoro, I. (2019). Kandungan 10

jenis logam berat pada daging ikan sapu-sapu (Pterygopplichthys pardalis)

asal Sungai Ciliwung Wilayah Jakarta. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri

Sains dan Teknologi, 5(2), 56. DOI: 10.36722/sst.v5i2.350.

Jithendran, K. P., Vijayan, K. K., Alavandi, S. V., & Kailasam, M. (2005).

Benedenia epinepheli (Yamaguti 1937), a monogenean parasite in captive

broodstock of grouper, Epinephelus tauvina (Froskal). Asian Fisheries

Science, 18, 121.

Kabata, Z. (1985). Parasites and disease of fish cultured in the tropics. Taylor and

Francis. London.

Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta Nomor 582 Tahun 1995. Tentang

Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/ Badan Air Serta Baku

Limbah Cair di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2010). Jumlah spesies ikan air tawar asli

Sungai Ciliwung menciut 92,5 persen. Diakses dari

http://biologi.lipi.go.id/index.php/laboratorium-zoologi/ekologi-hewan/,

pada 19 Maret 2019.

Lestari, W. (2014). Dampak introduksi ikan di perairan. Laboran Ekologi

Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Mantra, I. B. (2001). Langkah-langkah penelitian survei, usulan penelitian dan

laporan penelitian. Badan Penerbit Fakultas Geografi, UGM. Yogyakarta.

Marimin. (2010). Komoditi ikan konsumsi, peluang, dan tantangan. IPB. Bogor.

Martin, K. L. M., & Graham, J. B. (1998). Air-breathing fishes: evolution,

diversity, and adaptation. Copeia, 1998(1), 254. DOI: 10.2307/1447734.

Moller, H., & Anders, K. (1986). Diseases and parasites of marine fishes. Verlag

Moller. Germany.

Murdy, E. O., Kottelat, M., Whitten, A. J., Kartikasari, N., & Wirjoatmodjo, S.

(1994). Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Copeia,

1994(3), 830. DOI: 10.2307/1447208.

Noga, E. J. (2011). Fish disease: diagnosis and treatment. Wiley Balckwell. USA.

Page 55: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

41

Notohadiprawiro, T. (1981). Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Program

Penghijauan. Kajian Penataran Pembangunan, Pedesaan, dan Pertanian.

Staf Departemen Pertanian di Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

Nurhayati, R., & Eri, Y. (2018). Prevalensi ektoparasit pada benih ikan nila

(Oreochromis nilotucus) pada kolam budidaya di Desa Baru Ladang Bambu

Kecamatan Medan Tuntungan. Diakses dari

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/12236, pada tanggal 12

Oktober 2019.

Odum, E. P. (1993). Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Edisi

Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Olsen, O. W. (1974). Animal parasites, their life cycle and ecology. University of

Park Press. Baltimore, London and Tokyo.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 1991. Tentang Sungai. Departemen

Pekerjaan Umum. Jakarta.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2011. Tentang Pengelolaan Kualitas

Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Kementrian Lingkungan Hidup.

Jakarta.

Puspitasari, A. F. (2013). Identifikasi dan prevalensi cacing ektoparasit pada ikan

kembung (Rastrelliger sp.) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong,

Lamongan. Diakses dari http://

http://repository.unair.ac.id/26304/1/PUSPITASARI%2C%20AYUN%20F.

pdf, pada 7 Februari 2018.

Putri, S. M., Haditomo, A. H. C., & Desrina. (2016). Infestasi monogenea pada

ikan konsumsi air tawar di Kolam Budidaya Desa Ngrajek Magelang.

Aquaculture Management and Technology, 5(1), 162-170. DOI:

10.1016/j.cmet.2009.10.009.

Qoyyimah, F. D., Elfidasari, D., & Fahmi, M. R. (2016). Identifikasi Ikan Sapu-

sapu (Loricariidae) berdasarkan karakter pola abdomendi perairan

Ciliwung. Jurnal Biologi Udayana, 20(1), 40-43. DOI:

10.24843/jbiounud.2016.v20.i01.p07.

Rahmaningsih, S. (2016). Hama dan penyakit ikan. Deepblisher. Yogyakarta.

Samat, a., Shukor, M. N., Mazlan, a. G., Arshard, a., & Fatimah, M. Y. (2008).

Length-weight relationship and condition factor of Pterygopplichthys

pardalis (Pisces: Loricariidae) in Malaysia Peninsula. Research Journal of

Fisheries and Hydrobiology, 3(2), 48-53. DOI: 10.1111/j.1096-

3642.1978.tb01045.x.

Page 56: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

42

Scholz, T. (1999). Parasites in cultured and feral fish. Veterinary Parasitology,

84(3-4), 317-335. DOI: 10.1016/S0304-4017(99)00039-4.

Tunjungsari, R. M. (2007). Pemanfaatan ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

dalam pembuatan keripik ikan. Diakses dari

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48387, pada tanggal 3 Maret

2018.

Williams, E. H., & Williams, L. B. (1996). Parasites offshore big game fishes of

Puerto Rico and The Western Atlantic. Puerto Rico. Dapartement of Natural

Enviromental Risourses, Rio Piedras.

Wowor, D. (2010). Studi biota perairan dan herpetofauna di Daerah Aliran

Sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane: Kajian hilangnya keanekaragaman

hayati. Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor.

Yanong, R. P. E. (2002). Nematode (roundworm) infection in fish 1. University of

Florida, (August), 1-9.

Yudo, S. (2010). Kondisi kualitas air Sungai Ciliwung di Wilayah DKI Jakarta

ditinjuau dari parameter organik, amoniak, fosfat, deterjen, dan bakteri coli.

Jai, 6(1), 8.

Yudo, S., & Said, N. I. (2018). Status kualitas air Sungai Ciliwung di Wilayah

DKI Jakarta studi kasus: pemasangan stasiun online monitoring kualitas air

di Segmen Kelapa Dua - Masjid Istiqlal. Jurnal Teknologi Lingkungan,

19(1), 13. DOI: 10.29122/jtl.v19i1.2243.

Page 57: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...
Page 58: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

44

Lampiran 2. Perhitungan Nilai Prevalensi dan Intensitas Infeksi Cacing

Ektoparasit pada Ikan Sapu-sapu

1. Nilai prevalensi infeksi Benedenia sp.

a) Cawang

Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 12 ekor

= 60%

b) Kalibata

Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 13 ekor

= 65%

c) Bidara Cina

Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 10 ekor

= 50%

2. Nilai prevalensi infeksi Dactylogyrus sp.

a) Cawang

Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 0 ekor

= 0%

b) Kalibata

Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 1 ekor

= 5%

c) Bidara Cina

Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 2 ekor

= 10%

3. Nilai intensitas infeksi Benedenia sp.

a) Cawang

Jumlah parasit A = 288 individu

Jumlah ikan yang terinfeksi parasit A = 12 ekor

= 24 ind/ekor

b) Kalibata

Jumlah parasit A = 164 individu

Jumlah ikan yang terinfeksi parasit A = 13 ekor

= 13 ind/ekor

Page 59: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

45

c) Bidara Cina

Jumlah parasit A = 146 individu

Jumlah ikan yang terinfeksi parasit A = 10 ekor

= 15 ind/ekor

4. Nilai intensitas infeksi Dactylogyrus sp.

a) Cawang

Jumlah parasit B = 0 individu

Jumlah ikan yang terinfeksi parasit B = 0 ekor

= 0 ind/ekor

b) Kalibata

Jumlah parasit B = 1 individu

Jumlah ikan yang terinfeksi parasit B = 1 ekor

= 1 ind/ekor

c) Bidara Cina

Jumlah parasit B = 4 individu

Jumlah ikan yang terinfeksi parasit B = 2 ekor

= 2 ind/ekor

5. Nilai prevalensi dari keseluruhan total ikan yang diperiksa

Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 35 ekor

= 58,33%

6. Nilai prevalensi dari masing-masing organ yang diperiksa

a) Insang

Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 3 ekor

= 5%

b) Permukaan tubuh

Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 35 ekor

= 58,3%

c) Sirip dorsal

Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 12 ekor

= 20%

d) Sirip pektoral

Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 5 ekor

= 5%

Page 60: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

46

e) Sirip kaudal

Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 16 ekor

= 26,7%

f) Sirip anal

Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor

Jumlah cacing yang terinfeksi = 1 ekor

= 1,7%

7. Nilai prevalensi dari masing-masing titik sampling

a) Cawang

Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 12 ekor

= 60%

b) Kalibata

Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 13 ekor

= 65%

c) Bidara Cina

Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor

Jumlah ikan yang terinfeksi = 10 ekor

= 50%

Page 61: IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA IKAN SAPU-SAPU ...

47