ICASERD WORKING PAPER No.20 PENATAAN LAHAN, OTONOMI DAERAH, DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN Saptana, Supriyati, dan Yana Supriatna Nopember 2003 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
30
Embed
ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ICASERD WORKING PAPER No.20
PENATAAN LAHAN,OTONOMI DAERAH, DANPEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN
Saptana, Supriyati, dan Yana Supriatna
Nopember 2003
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No.20
PENATAAN LAHAN, OTONOMI DAERAH, DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN
Saptana, Supriyati, dan Yana Supriatna
Nopember 2003
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Agus Suwito, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mai : [email protected]
No. Dok.07/20/3/03
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
1
PENATAAN LAHAN, OTONOMI DAERAH, DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN
Saptana, Supriyati, dan Yana Supriatna
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl A. Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRAK
Less optimal of land use management is one of the considered serious reason why agricultural development in rural areas could not performed as expected. This paper describes an analysis the importance of land use management related to more appropriate rural agricultural development strategy alternatives. By paying attention on some research results, review on some literatures, and the application of Act UUPR No. 24/1992, the following items can be presented: firstly, there are some pattern performances of land use inter-levels management and inter-locations. Secondly, there is land use management integrating land use with community’s participation, nevertheless, in general it has not yet considered agro-ecological zone (AEZ) map. Thirdly, land use system including for agricultural purposes and land holding in rural Java more linked to income distribution aspect, whereas rural Off-Java was still closely linked to agricultural production efficiency aspect. The fourth, decentralization policy has not been able to perform as rural agricultural development prime mover. The important policy implication in land use management from spatial land use and AEZ mapping is that to integrate regional Spatial Land Use (Provincial, District, and Village) into AEZ Map, with more detailed scale so that it could be more operational in agricultural planning and implementation up to level village.
Key words : land use management, decentralization, agricultural development, rural.
ABSTRAK
Kurang adanya penataan lahan yang baik diperkirakan menjadi salah satu penyebab serius mengapa pembangunan pertanian di pedesaan tidak menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Tulisan ini mengemukakan analisis tentang pentingnya penataan lahan dalam kaitannya dengan pilihan strategi pembangunan pertanian yang dinilai lebih tepat. Dengan memperhatikan beberapa hasil penelitian, tinjauan dari berbagai studi pustaka, serta diberlakukannya UUPR No. 24 Tahun 1992 dapat dikemukakan beberapa hal berikut: pertama, terdapat keragaan pola penataan lahan antar berbagai tingkatan dan antar lokasi. Kedua, adanya pola penataan lahan yang mengintegrasikan antara tata ruang dengan partisipasi masyarakat, namun secara umum belum mempertimbangkan peta agro ecological Zone (AEZ). Ketiga, penataan, penguasaan dan penggunaan lahan pertanian untuk pedesaan Jawa, lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan, sedangkan pedesaan Luar Jawa masih sangat terkait dengan aspek peningkatan efisiensi produksi pertanian. Keempat, kebijakan otonomi daerah belum dapat dijadikan penggerak pembangunan pertanian di pedesaan. Implikasi kebijakan penting dalam penataan lahan adalah terdapat peluang mengintegrasikan antara Rencana Tata Ruang wilayah (Propinsi, Kabupaten, dan Desa) dengan peta AEZ, dengan skala yang lebih detail, sehingga dapat dioperasionalkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertanian hingga pada tingkat desa.
Kata kunci : penataan lahan, otonomi daerah, pembangunan pertanian, pedesaan
2
PENDAHULUAN
Kurang adanya penataan lahan yang baik diperkirakan menjadi salah satu
penyebab serius mengapa pembangunan pertanian di pedesaan tidak menunjukkan
hasil seperti yang diharapkan. Penyebab utamanya adalah : kesenjangan struktur
distribusi penguasaan lahan, pola tata guna lahan yang kurang terencana dengan baik,
masih adanya dualisme dalam penerapan hukum pertanahan di Indonesia (hukum
nasional vs hukum adat) serta implementasi dan operasionalisasi otonomi daerah yang
belum tepat terutama dalam kontek membangkitkan ekonomi di pedesaan.
Batasan pengertian mengenai tanah (land) tidak hanya mencakup tanah dalam
pengertian fisik (soil), tetapi mencakup juga air, vegetasi, lanscape, dan komponen-
komponen iklim mikro suatu ekosistem (Scherr and Yadav dalam Sumaryanto, dkk.,
2002). Dalam konteks penataan lahan serta implikasinya terhadap pengembangan
sistem usaha pertanian lahan juga menunjuk pada berbagai komplek aktivitas (sosoal-
ekonomi) yang dijalankan di atasnya dan berbagai permasalahan yang timbul.
Dari sudut pandang sumberdaya, masalah lahan terkait dengan konfigurasi
daratan, persebaran penduduk, dinamika sosial budaya mayarakat, serta kebijakan
pemerintah terutama yang berkaitan dengan penataan ruang-lahan. Masalah penataan
lahan pertanian di pedesaan berbeda antar tingkatan pengambilan keputusan (propinsi,
kabupaten, dan komunitas lokal), lokasi (spasial) dan antar agroekosistem.
Permasalahan utama dalam penataan lahan pertanian berkaitan dengan masalah
penguasaan lahan yang kecil, degradasi sumberdaya lahan, perpecahan (division) dan
perpencaran (fragmentation) lahan, konversi lahan, sulitnya melakukan konsolidasi, dan
struktur penguasaan yang timpang.
Penataan lahan pada tingkat nasional dan kabupaten dapat diartikan sebagai
pengaturan, peruntukan, dan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumberdaya
lahan dalam mendukung pembangunan nasional dan wilayah. Sementara itu, penataan
lahan pada tingkat individu dapat diartikan sebagai peruntukan, penggunaan dan
pemeliharaan lahan yang efisien dan terkendali sehingga memberikan manfaat optimal
dan terjamin kelestariannya (UUPA Tahun 1960 dalam Sutiknjo, 1982). Sehingga
penataan lahan pada level individu ini dapat mencakup konsolidasi lahan dan
konsolidasi managemen usahatani.
Permasalahan di atas menunjukkan bahwa aspek penataan lahan dan segala
persoalan yang timbul dalam hubungan manusia dengan tanah merupakan bagian
utama dari politik agraria. Dalam konteks demikian, peran penataan lahan terhadap
pembangunan pertanian di era otonomi daerah menarik untuk dikaji, sehingga dapat
3
diungkap berbagai persoalan mendasar yang berkaitan dengan aspek penataan lahan
pada berbagai tingkatan pengambilan keputusan serta dapat memberikan prekrepsi
dalam perumusan kebijakan pembangunan pertanian. Tinjauan ini ditujukan untuk
mengkaji : (1) penataan lahan gambaran ideal dan keragaan pola penataan lahan
kondisi aktual; (2) mengidentifikasi dan menganalisis hubungan pola penguasaan lahan
dan penggunaan lahan terhadap keragaan sistem usaha pertanian; (3) menggali
simpul-simpul kritis yang mempengaruhi implikasi tata guna lahan terhadap
pembangunan pertanian di pedesaan; dan (4) merumuskan kebijakan pertanahan yang
efektif dalam mendukung strategi pembangunan pertanian di pedesaan.
PENATAAN LAHAN YANG IDEAL DAN PERANNYA DALAM
PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN
Secara umum, berdasarkan strategi yang digunakan, penataan lahan dalam
konteks politik agraria dapat dibedakan atas tiga sistem, yaitu : (1) Sistem Kapitalis; (2)
Sistem Sosialis; dan (3) Sistem Neo Populis . Dapat dikemukakan tiga hal yang menjadi
pembeda antar satu sistem dengan sistem lainnya adalah : (1) penguasaan tanah; (2)
tenaga kerja; dan (3) tanggung jawab atau pengambilan keputusan mengenai produksi,
akumulasi, dan Investasi (Wiradi, 1991 dalam Fauzi, 2001).
Pandangan kapitalis dalam strategi penataan lahan (agraria), adalah bahwa
sarana produksi utama tanah dikuasai oleh individu-individu non penggarap. Dalam
sistem ini penggarap yang langsung mengerjakan tanah (pertanian) di pandang sebagai
tenaga kerja yang diupah oleh para pemilik tanah. Hubungan antara pemilik tanah dan
pekerja merupakan hubungan kerja. Tenaga kerja adalah faktor produksi yang dapat
diperjual belikan. Tanggung jawab dan pengambilan keputusan baik dalam penggunaan
(produksi), akumulasi, dan investasi atas lahan sepenuhnya di tangan pemilik lahan.
Dalam strategi penataan lahan (agraria) Sosialis, memandang bahwa tanah dan
sarana produksi lainnya dikuasai oleh organisasi (negara) atas nama rakyat (kelompok
terbesar adalah tenaga kerja). Dalam sistem ini tenaga kerja merupakan tenaga kerja
yang memperoleh imbalan dari hasil kerjanya, yang diputuskan oleh negara yang
mengatasnamakan organisasi para pekerja. Tanggung jawab dan pengambilan
keputusan baik dalam penggunaan (produksi), akumulasi, dan investasi atas lahan
terletak di tangan negara yang mengatasnamakan para pekerja.
4
Dalam strategi penataan lahan (agraria) Neo-Populis, satuan usaha adalah
merupakan usaha keluarga. Oleh karena itu, penguasaan dan penggunaan tanah serta
faktor produksi lainnya terdistribusi pada mayoritas keluarga petani. Tenaga kerjanya
adalah tenaga kerja keluarga petani. Petani dan keluarganya bekerja di atas tanah yang
dimiliki sendiri. Jadi, produksi secara keseluruhan merupakan kegiatan keluarga petani,
meskipun tanggung jawab atas akumulasi biasanya diatur oleh pemerintah. Strategi
penataan lahan yang di pandang ideal di Indonesia adalah strategi neo populis seperti di
amanatkan UUPA 1960, namun dalam operasionalnya khususnya dalam pembangunan
pertanian di pedesaan perlu menginkorporasikan peta agroecological zone (AEZ).
Apabila dibandingkan dengan kondisi aktual di Indonesia, maka persamaan yang
paling mendasar adalah tidak menghapuskan hak milik, bahkan secara kuantitatif
berusaha menambah jumlah orang sebagai pemilik tanah, serta adanya jaminan
pembayaran ganti rugi kepada bekas pemilik tanah kelebihan dan absensi, meskipun
dalam pelaksanaannya terjadi penyalahgunaan. Dalam Undang-undang, GBHN, dan
PELITA/REPELITA lebih banyak disebut kata land reform1 dari pada agraria reform.
Nampak jelas dalam konsep land reform adalah salah satu bentuk penataan
penguasaan dan penggunaan tanah. Dalam kebijakan operasional penataan lahan
sering dilakukan dalam bentuk penataan ruang wilayah, land reform, dan konsolidasi
usahatani.
Perjalanan panjang dalam pelaksanaan penataan lahan (agraria) dan
pelaksanaan berbagai program pembangunan, kususnya pertanian menunjukkan
biasnya penataan lahan guna memberikan akses sumberdaya lahan kepada pengusaha
(investor) sebagai mesin pertumbuhan dan banyak mengabaikan hak-hak masyarakat.
Bahwa tanah sebagai faktor produksi utama, maka peraturan dan kebijakan pertanahan
baik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya haruslah memperkuat
kedudukan tanah sebagai kemakmuran rakyat, seperti termaktub dalam UUPA dan
UUPBH Tahun 1960. Bahkan dalam TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001dalam pasal 6,
memberikan penekanan kembali bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria
adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan
tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun perkotaan. Dalam konteks otonomi
daerah yang terkait dengan penataan lahan, pasal 10 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999
memuat bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia
diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
1 Land Reform didefinisikan suatu penataan kembali penggunaan, pengusahaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanahnya.
5
peraturan perundang-undangan. Dalam tinjauan ini akan difokuskan pada aspek
penataan lahan, otonomi daerah dan pembangunan pertanian di pedesaan.
PENATAAN LAHAN DAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Kebijakan Otonomi Daerah
Kebijakan pemerintah masa lalu yang bersifat sentralistis telah berdampak pada
berbagai ketimpangan baik ketimpangan antar golongan masyarakat dan antar daerah
atau antar wilayah. Otonomi daerah telah lama menjadi wacana publik, namun secara
formal baru berjalan tiga tahun dan hingga kini belum berjalan secara efektif. Secara
formal kebijakan otonomi daerah mulai dilaksanakan dengan dikeluarkannya tiga
Undang-Undang, yaitu : (1) UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, UU No.
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
dan UU N0. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari KKN).
Dalam konteks penataan lahan, pasal 10 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999
memuat bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia
diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Melalui otonomi daerah diharapkan pembangunan
yang dilakukan bisa lebih merata dan berkelanjutan melalui peningkatkan pemanfaatan
sumberdaya alam secara lebih optimal dan peningkatan kompetensi sumberdaya
manusia sehingga mampu menghasilkan produk yang bernilai tambah dan mempunyai
dayasaing yang tinggi.
Setelah tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah telah banyak terjadi berbagai
penyimpangan (Rasyid, 2001 dan Pranadji, 2002) serta telah banyak terjadi distorsi
dalam implementasinya (Rasyid, 2003). Hasil kajian Pranadji (2002) menunjukkan
bahwa operasionalisasi UU. No. 22 Tahun 1999 di tingkat daerah kabupaten lebih
banyak diarahkan untuk pencapaian target PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari pada
modal politik yang sangat berharga pelaksanaan otonomi hingga tingkat desa dalam
rangka pemberdayaan ekonomi rakyat. Selanjutnya Pranadji (2002) mengemukakan
bahwa masalah ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang terjadi di daerah
pedesaan, yang dulu banyak disebabkan oleh kurang memadainya infrastruktur
pendukung di pedesaan, sekarang diperparah oleh tingginya biaya transaksi birokrasi
didaerah.
6
Pelaksanaan otonomi daerah haruslah mempunyai makna pemberdayaan rakyat
baik yang menyangkut aspek ekonomi (akses terhadap sumberdaya produktif seperti
lahan), politik (sistem pengambilan keputusan), dan sosial (kelembagaan yang
mewadahinya) hingga pada tingkat desa, serta aspek lingkungan (sustainability).
Pemberdayaan rakyat dari aspek politik juga harus mampu meningkatkan akses
masyarakat terhadap sistem pengambilan keputusan pada tingkat daerah otonom. Di
samping itu, pengembangan kelembagaan di tingkat lokal haruslah didasarkan atas
usaha pemberdayaan kelembagaan lokal yang telah eksis dan diterima masyarakat,
bukan merupakan kelembagaan yang diintroduksikan dari luar. Dengan demikian
otonomi daerah dapatlah merepresentasikan masyarakat di daerahnya bukan
representasi dari birokrasi suprastrukturnya.
Penataan Lahan : Tingkat Propinsi, Kabupaten, dan Komunitas
Penataan lahan ditingkat Propinsi hingga kini masih mengacu pada Undang-
Undang Penataan Ruang (UUPR No. 24 Tahun 1992), yang kemudian dioperasionalkan
dengan PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Indonesia.
Peraturan ini mendorong penyusunan Rencana Tata Ruang di tiap Wilayah Propinsi,
dengan dasar kebutuhan pembangunan dan pertimbangan batasan teknis topografis
dan aspek biofisik lainnya. Penataan lahan di Propinsi Jawa Tengah sampai saat ini
masih didasarkan atas Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah No. 8
Tahun 1992 yaitu tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Tengah. Sementara itu penataan di Propinsi Kalimantan Barat juga merujuk pada UU.
No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Keppres No. 32 tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung. Meskipun peraturan ini pada saat ini (2002) dalam
proses revisi terutama berkaitan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan UU No. 25 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.
Demikian juga dengan daerah Propinsi lainnya.
Fungsi RTRWP adalah (1) matra ruang dari Pola Dasar Pembangunan Daerah
dan Repelitada, (2) dasar kebijaksanaan pokok tentang pemanfaatan ruang di propinsi
sesuai dengan kondisi wilayah dan berasaskan pembangunan berkelanjutan, (3)
Perwujudan keterpaduan, keterikatan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah
dan antar sektor, (4) arahan lokasi investasi yang dilakukan pemerintah, masyarakat,
dan swasta, (5) acuan bagi Kabupaten/Kotamadya serta rencana Detail Tata Ruang
Kawasan.
7
RTRWP dikelompokkan dalam 6 (enam) Rencana sebagai berikut : (1) Kawasan
Lindung; (2) Kawasan Budidaya; (3) Sistem Pusat Permukiman; (4) Wilayah
Pembangunan; (5) Pengembangan sarana dan prasarana; dan (6) Pengembangan
kawasan strategis.
Nampaknya UUPR No. 24 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Daerah yang
merupakan turunan dari Undang-Undang tersebut bersifat normatif, general, bias
mengejar pertumbuhan, tidak dilakukan secara partisipatif dan masih jauh dari penataan
lahan yang diidealkan oleh berbagai sektor pembangunan khususnya sektor pertanian
dan bias pada kepentingan investor khususnya untuk memperoleh ijin lokasi. Gambaran
ideal penataan lahan ditinjau dari pembangunan pertanian haruslah menginkorporasikan
budaya (keadilan-distribusi) masyarakat yang akan menentukan kesesuaian
pengembangan komoditas pertanian di suatu wilayah. Dalam penataan lahan yang ideal
haruslah memperhitungkan ketersediaan dan penggunaan peta AEZ pada berbagai
tingkatan dan skala, sehingga dapat dijadikan basis perencanaan pembangunan
pertanian. Kondisi tersebut diperkirakan menjadi penyebab serius mengapa
pembangunan pertanian di pedesaan tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Di
samping itu, juga menjadi penyebab timbulnya berbagai sengketa tanah baik secara
horisontal (antar warga) dan vertikal (masyarakat vs investor atau masyarakat vs
pemerintah).
Secara teoritis maupun secara empiris masalah penataan lahan pertanian
(penguasaan dan penggunaan) berkaitan dengan masalah efisisensi produksi pertanian
dan masalah distribusi pendapatan (Sinaga, 1987). Hasil kajian Sumaryanto dkk., (2002)
mengemukakan bahwa inti pokok dari masalah penataan kembali penguasaan lahan
pertanian sesungguhnya lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan
daripada masalah peningkatan efisiensi ataupun produktivitas sumberdaya lahan.
Selanjutnya Saptana dkk., 2002 mengemukakan hasil yang berbeda antar wilayah
kajian. Untuk lokasi penelitian Klaten Jawa Tengah memberikan hasil sejalan dengan
kajian Sumaryanto dkk., (2002) di mana penataan kembali penguasaan lahan pertanian,
lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan dari pada masalah
peningkatan produktivitas dan efisiensi sumberdaya lahan. Namun hasil kajian yang
sama, untuk lokasi penelitian Sumatera Barat, terlebih Kalimantan Barat penataan
penguasaan dan penggunaan lahan pertanian masih sangat terkait dengan aspek
peningkatan produktivitas dan efisiensi sumberdaya lahan. Hal ini dapat ditunjukkan
adanya korelasi yang searah antar pendapatan yang bersumber dari sektor pertanian
dengan luas lahan milik dan luas lahan garapan. Kajian di lapang memberikan beberapa
8
ilustrasi bahwa : (1) adanya penataan lahan memberikan kepastian tentang batas
penguasaan lahan pada individu maupun pada masyarakat adat (komunal); (2)
meningkatkan intensifitas penggunaan input produksi, baik berupa pilihat terhadap
komoditas yang diusahakan, penggunaan bibit atau klon unggul, serta menggunakan
pupuk kimia; dan (3) penataan lahan juga mendorong pola pertanian menetap pada
masyarakat Daya pedalaman, yang akan berpengaruh terhadap pilihan teknologi
produksi pertanian.
Dalam konteks ini, dari sudut pandang pendekatan ada dua aliran dalam
penataan kembali penguasaan lahan, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan
teknokratis (Sumaryanto, dkk., 2002). Pendekatan struktural pada intinya menyatakan
bahwa struktur penguasaan tanah harus bersifat “by design” melalui suatu aturan hukum
atau kebijakan pemerintah. Salah satu bentuk utama dari pendekatan ini adalah
penataan penguasaan atau pemilikan lahan melalui land reform, bentuk lain yang agak
moderat adalah Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR). Sementara itu, pendekatan
teknokratis pada intinya adalah bahwa struktur penguasaan tidak harus “by design”,
karena struktur penguasaan dan pemilikan tanah bersifat dinamis di mana surplus
ekonomi tanah (land rent) akan menjadi penentu dalam pola alokasi antar sektor
maupun antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam kenyataannya di
Indonesia menggunakan kombinasi dari kedua pendekatan tersebut, sebagai ilustrasi
pada masa pemerintahan orde lama pendekatan pertama lebih dominan, sedangkan
pada pemerintahan orede baru hingga kini, pendekatan kedua yang lebih dominan
digunakan.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) pada tahun 1997-1998 telah
melakukan Analisis Zona Agroekologi (AEZ) di Propinsi masing-masing yang di
dasarkan atas analisis Peta Tanah Tinjau, Peta Tanah Eksplorasi, Peta Agroklimat, Peta
Kemampuan Tanah, Peta Kemiringan Lahan, Peta Ketinggian, Peta Administrasi maka
dihasilkan peta Zona Agroekologi dengan skala 1 : 250 000 dengan kombinasi sebanyak
131 satuan peta agroekologi (SPA). Kesesuaian komoditas pada masing-masing bentuk
penggunaan lahan ditentukan oleh faktor-faktor peubah iklim yang terdiri atas ketinggian
tempat yang menggambarkan rejim suhu dan kelembaban yang menggambarkan
penyebaran bulan basah dan kering (BPTP, Jawa Tengah, BPTP Kalbar, dan BPTP
Sumbar, 1999).
Untuk pemetaan komoditas di tingkat kabupaten, maka dibuat peta yang lebih
detail dengan skala 1 : 50.000, sehingga dihasilkan bentuk penggunaan lahan,
kesesuaian komoditas dan alternatif teknis pengolahan lahan sampai tingkat desa.
Namun, sebagian besar propinsi belum melakukan hal ini karena terkendala biaya.
9
Untuk BPTP Jawa Tengah sampai dengan tahun 2002 baru ada satu kabupaten yang
melakukannya, yaitu Kabupaten Blora dan tiga Kabupaten yang merencanakan, yaitu
Pemalang, Cilacap, dan Purbalingga dengan sistem sharing dana antara BPTP dan
Pemda. Sementara itu di Kalimantan Barat dan Sumatera Barat belum ada yang
melakukan. Namun, di beberapa Kabupaten Kalimantan Barat, secara partisipatif telah
melakukan pemetaan lahan partisipatif dengan kesatuan-kesatuan terkecil kampung.
Respon yang rendah dari pemerintah daerah kabupaten terhadap peta AEZ, berkaitan
dengan dua hal pokok, yaitu kurangnya sosialisasi dan perhatian pemda yang terfokus
pada perolehan PAD.
Penataan lahan di tingkat kabupaten masih mengacu pada Rencana Tata Ruang
Wilayah Propinsi (RTRWP) yang sudah dituangkan dalam Rencana Umum Tata Ruang
Kota (RUTRK), Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), Rencana Umum Tata Ruang
Kota Ibukota Kecamatan (RUTRK IKK); dan Rencana Detail Tata Ruang Kota Ibukota
Kecamatan (RDTRK IKK). Hasil kajian menunjukkan bahwa penataan ruang yang
dilakukan pemerintah baik di tingkat pusat, propinsi, dan di tingkat kabupaten bias
kepada pemerintah dan pengusaha atau investor, yang bertujuan dalam penyediaan
lahan untuk kepentingan investor dalam rangka ijin lokasi, guna memacu pertumbuhan
ekonomi dan kurangnya aspek keadilan atau pemerataan bagi kepentingan masyarakat
luas.
Penataan lahan yang efisien untuk mengembangkan sistem usaha pertanian
diperkirakan sulit diwujudkan karena lemahnya pendataan dan sistem dokumentasi di
bidang pertanahan, terutama di Luar Jawa. Beberapa faktor yang menjadi penyebab
antara lain adalah (Sumaryanto, dkk., 2002): (a) Kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya legalitas formal kepemilikan lahan masih rendah, hal ini nampak nyata di
wilayah Luar Jawa; (b) Biaya administrasi lahan di pandang masih mahal; (c) Lembaga
yang berwenang menangani sistem administrasi tanah kurang pro-aktif, dan (d)
Kesulitan dalam membrantas berkembangnya rent seeking activity dalam transaksi
tanah. Di samping faktor di atas, dalam kontek otonomi daerah juga menunjukkan
adanya perebutan antara pemerintah pusat (instansi vertikal) dengan pemerintah daerah
tentang hak pengelolaannya terhadap sumberdaya lahan, tanpa menyadari kompleksitas
permasalahan yang dihadapi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Saptana dkk. (2002) menunjukkan adanya
variasi penataan lahan antar daerah. Untuk meningkatkan perencanaan penataan ruang
sampai tingkat paling bawah atau tingkat desa di Kabupaten Klaten sudah disusun Pola
Tata Ruang Desa (PTRD) yang berlaku 1989-2008. Penyusunan PTRD didasarkan pada
RTRWP dan RTRWK, serta melibatkan partisipasi masyarakat (perencanaan,
10
pelaksanaan, serta dalam melakukan revisi). Nampak bahwa partisipasi masyarakat
pada desa-desa yang aksessibilitasnya baik dan sektor non pertanian telah berkembang
pesat, menunjukkan partisipasi masyarakat yang tinggi (Kasus Kecamatan Trucuk,
Polanharjo, Wedi, Kebonarum dan Manisrenggo), sedangkan untuk desa-desa yang
aksessibilitasnya kurang baik dan sektor non pertanian belum berkembang partisipasi
masyarakatnya masih rendah (Kecamatan Tulung, Jatinom, Karangnongko, dan
Kemalang). PTRD ditujukan sebagi pedoman atau acuan dalam mengatur pemanfaatan
ruang dalam suatu desa serta sebagai monitoring dan pengendalian perubahan status
penggunaan tanah.
Dari hasil kajian yang dilakukan Saptana et.al., 2002 diperoleh gambaran bahwa:
(1) pada desa-desa yang aksessibilitasnya baik PTRD mengalami perubahan yang
begitu dinamis, di mana dalam periode (1989–2001) terjadi perubahan 2–3 kali; (2)
sosialisasi dan partisipasi masyarakat sudah cukup baik pada daerah-daerah yang
aksessibilitasnya baik dan kegiatan non pertaniannya sudah berkembang, namun masih
sangat kurang pada daerah yang aksessibilitasnya kurang baik dan kegiatan sektor non
pertaniannya belum berkembang; dan (3) PTRD mampu meningkatkan efisiensi
penggunaan sumberdaya khususnya tanah melalui pengembangan sentra-sentra
kegiatan ekonomi di tingkat desa, serta telah meningkatkan nilai jual lahan khususnya
pada lokasi yang diperuntukkan untuk sentra industri. Kelemahan mendasar dari PTRD
tersebut adalah belum didasarkan peta AEZ dengan skala yang detail, sehingga
pembangunan pertanian di pedesaan belum memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Dalam upaya mempertahankan hak-hak dan kepentingan masyarakat adat
Kalimantan Barat terhadap ruang atas wilayah adatnya, maka dilakukanlah Pemetaan
partisipatif2 (participatory mapping), sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap klaim
tanah ulayat masyarakat adat Dayak oleh pemerintah dan perusahaan swasta atau
investor.
Untuk Kabupaten Landak, Kalimantan Barat telah dilakukan pemetaan partisipatif
(PPSDAK, 1998). Di Propinsi Kalimantan Barat, kegiatan pemetaan partisipatif telah
dikembangkan sejak tahun 1995 oleh Yayasan Pancur Kasih, dalam hal ini oleh unit
Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK). Adapun jenis-
jenis peta yang dihasilkan adalah peta: (1) tata guna lahan, (2) pemukiman penduduk,
(3) daerah aliran sungai, (4) penyebaran pohon, (5) penyebaran binatang, (6)
perencanaan tanah kampung, (7) tempat keramat dan kuburan, dan lain-lain.
2 Pemetaan partisipatif adalah sebuah metodologi pembuatan peta yang menggabungkan peta-peta modern (peta topografi, peta udara, peta satelit) dengan peta-
peta mental tata ruang tradisional dengan melibatkan seluruh masyarakat di kampung.
11
Implikasi kebijakan penting dalam penataan lahan dari aspek penataan ruang
dan peta AEZ adalah terdapat peluang mengintegrasikan antara Rencana Tata Ruang
wilayah Propinsi, Kabupaten, dan Desa dengan peta AEZ di masing-masing lokasi
penelitian, terutama pada kabupaten yang telah melakukan pemetaan AEZ secara detail
dengan skala 1 : 50.000. Sehingga PTRD yang yang membagi desa ke dalam sentra-
sentra kegiatan ekonomi, untuk pengembangan sentra produksi pertanian dapat bersifat
spesifik komoditas. Dalam kontek ini kebijakan operasional nantinya adalah
pengembangan sentra-sentra komoditas unggulan yang dilandasi pemetaan partisipatif
dan peta AEZ pada skala detail. Akibat semakin terpecahnya pemilikan lahan akibat
pola pewarisan dan longgarnya peraturan dalam pembatasan minimal pemilikan lahan
maka perlu adanya konsolidasi lahan. Di sarankan konsolidasi lahan dan usahatani ini
di prioritaskan untuk komoditas-komoditas komersial yang mempunyai tujuan pasar yang
luas, seperti tembakau. Sementara itu, untuk daerah Luar Jawa pilihan komoditas tetap
pada komoditas perkebunan bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa sawit, kakao, dan
komoditas karet unggul.
Kelembagaan Penguasaan dan Penggunaan Lahan
Hasil penelitian Saptana et.al., 2003 di tujuh kabupaten contoh, di lima propinsi
contoh (Kabupaten Indramayu dan Majalengka, Klaten, Ngawi dan Kediri serta di
Kabupaten Agam dan Sidrap) serta Saptana et.al., 2002 di tiga propinsi (Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah, Landak, Kalimantan Barat, dan Pasaman, Sumatera Barat)
menunjukkan bahwa, sistem kelembagaan lahan yang menonjol adalah sistem bagi-
hasil (share cropping), sewa-menyewa (land rent) dan sistem gadai (mortage system).
Sistem gadai jarang ditemukan di pedesaan Jawa dan masih banyak ditemukan di
pedesaan Luar Jawa. Di pedesaan Jawa ada kecenderungan pergeseran dari sistem
gadai dan bagi hasil ke sistem sewa-menyewa lahan, sedangkan di pedesaan Luar
Jawa masih dominan sistem bagi hasil, sistem sewa menyewa terbatas pada komoditas
komersial yaitu komoditas perkebunan dan hortikultura. Secara ringkas dapat dikatakan
dinamika pasar lahan yang terjadi di pedesaan makin mengarah berlakunya mekanisme
pasar lahan di pedesaan, hal ini tidak terlepas dari cara pandang para pengambil
kebijakan dan pelaku ekonomi bahwa lahan sebagai barang ekonomi (faktor produksi).
Penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat Minangkabau adalah dalam
bentuk tanah ulayat yang dikuasai sebagai milik bersama atau komunal oleh semua
anggota kerabat matrilenealnya (LKAAM, 2000). Hubungan kerabat yang diikat oleh
keberadaan kaum laki-laki dan perempuan di dalam garis keturunan matrilineal. Dalam
12
sistem penguasaan tanah, laki-laki ditempatkan sebagai penguasa dalam pengelolaan
tanah dan perempuan sebagai pemilik tanah. Hubungan demikian oleh (Hermayulis,
1999) dinamakan “Dwi Tunggal dalam Penguasaan Tanah” pada masyarakat hukum
adat Minangkabau.
Lembaga KAN sebagai lembaga musyawarah untuk mufakat dari pemuka-
pemuka masyarakat terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, dan cerdik pandai yang
dikenal dengan sebutan Tali Tigo Sapilin atau Tigo Tungku Sarangan. Lembaga KAN
bertugas antara lain (LKAAM, 2000) : (1) mengurus hal-hal yang berkaitan dengan adat
sehubungan dengan sako dan pusako, (2) menyelesaikan perkara-perkara perdata adat
dan istiadat, (3) mengusahakan perdamaian menurut adat, (4) mengembangkan
kebudayaan adat nagari, (5) menginventarisasi, menjaga, memelihara dan mengurus
serta memanfaatkan kekayaan nagari untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
(6) membina dan mengkoordinir masyarakat hukum adat; (7) mewakili nagari dan
bertindak atas nama dan untuk nagari atau masyarakat hukum adat nagari dalam segala
perbuatan hukum.
Beberapa Ketetapan Pokok dalam pemanfaatan tanah ulayat masyarakat
Minangkabau (LKAAM, 2000): (1) dalam pemanfaatan tanah ulayat oleh masyarakat
hukum adat harus seizin terlebih dahulu dari penguasa ulayat yang bersangkutan;
(2) pemanfaatan tanah ulayat bagi kepentingan umum, dilaksanakan dengan cara
pelepasan hak oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan; (3) pemanfaatan tanah
ulayat untuk kepentingan Badan Hukum Swasta dilaksanakan dengan cara perjanjian
pelepasan hak penguasan dan perjanjian penggunaan tanah.
Dari jenis tanah ulayat yang disebutkan pada bagian atas, yakni tanah ulayat
nagari, tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum secara empirik terdapat bermacam-
macam sengketa tanah ulayat, antara lain (LKAAM, 2000) : (1) sengketa internal nagari;
perpecahan dan perpencaran (fragmentation) lahan dan akumulasi lahan, (7)
keterbukaan ekonomi suatu wilayah, masuknya pihak luar (investor) dan introduksi
komoditas baru benilai ekonomi tinggi; (8) dinamika harga masukan dan keluaran, (9)
persepsi petani terhadap lahan, (10) kelembagaan petani, dan (11) pengembangan
sistem informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1992. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992: Tentang Penataan Ruang Wilayah Indonesia. Departemen Dalam Negeri. Jakarta.
Anonim. 1999. Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penerbit : PARIBA. Jakarta.
BPTP Jawa Tengah. Laporan Analisis Zona Agroekologi atau Analysis Agroecological Zone. Balai Penelitian dan Pengkajian Pertanian Propinsi Jawa Tengah. Ungaran.
BPTP Kalbar. Laporan Analisis Zona Agroekologi atau Analysis Agroecological Zone. Balai Penelitian dan Pengkajian Pertanian Propinsi Kalimantan Barat. Pontianak.
BPTP Sumatera Barat. Laporan Analisis Zona Agroekologi atau Analysis Agroecological Zone. Balai Penelitian dan Pengkajian Pertanian Propinsi Sumatera Barat. Solok.
Fauzi, N. 2001. Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial, dalam Prinsip-Prinsip Reforma Agraria. Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta.
27
Fauzi, N. 2002. Land Reform Sebagai Variabel Sosial : Perkiraan Tentang RintanganPolitik dan Finansial Pelaksanaan Land Reform. Makalah disampaikan dalam Seminar “ Mengkaji Kembali Land Reform di Indonesia”, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Land Law Initiative (LLI) dan Rural Development Intitute (RDI), Jakarta 8 Mei – 2002.
Hermayaulis, 2000. Status Tanah Ulayat Menurut Hukum Adat Minangkabau dan Hukum Tanah Nasional dalam Tanah Ulayat di Sumatera Barat (Sofyan Jalaluddin Penghimpun). Workshop yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Barat, pada tanggal 23-24 Oktober 2000 di Padang.
Jamal, E., T. Pranadji, A. M. Hurun, A. Setyanto, Roosganda, dan M. Y. Napiri. 2001. Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan Pada Komunitas Lokal. Pusat Penelitian dan pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Kamal, Miko, 2000. Sengketa Tanah dan Alternatif Pemecahannya dalam Tanah Ulayat di Sumatera Barat (Sofyan Jalaluddin Penghimpun). Workshop yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Barat, pada tanggal 23-24 Oktober 2000 di Padang.
Karama, A. S., 2000. Pemanfaatan Lahan Untuk Produksi Tanaman Pangan. Prosiding : Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Cipayung-Bogor, 31 Oktober – 2 November 2000 Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
LKAAM, 2000. Rancangan Peraturan Daerah Sumatera Barat Tentang : Pemanfaatan Tanah Ulayat. Ranperda Fersi Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Provinsi Sumatera Barat. Padang.
PPSDAK, Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih, Peran Masyarakat Dalam Tata Ruang, 1998.
PPSDAK, Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih, Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat, 1998.
Pranadji, T., 2002. Reformasi Aspek Sosio-Budaya Untuk Kemandirian Perekonomian Pedesaan dalam Seminar Nasional : Menggalang Masyarakat Indonesia Baru Yang Berkemanusiaan. Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI), Tanggal 28-29 Agustus 2002 di Bogor-Jawa Barat.
Rasyid, M. R., 2001. Kegagalan Memahami Otonomi Daerah. Harian Media Indonesia, Senin, 10 Desember 2001, hal. 41.
Rasyid, M. R., 2003. Pemerintah Pusat Sumber Distorsi Otonomi Daerah. Harian Kompas, Rabo, 5 Februari 2003, hal. 11. Reksohadiprodjo, S. dan Pradono. 1994. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Energi (Edisi-2). BPFE. Yogyakarta
Rusastra, I W. dan T. Sudaryanto. 1998. Dinamika Ekonomi Pedesaan Dalam Perspektif Pembangunan Nasional. Prosiding: Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian (Buku I). Puslit Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
28
Saptana, I. W. Rusastra, Supriyati, A. M. Hurun, R. Hendayana, dan Y. Supriatna. Struktur dan Aspek Penataan Lahan Serta Implikasinya Terhadap Pembangunan Ekonomi Pertanian di Pedesaan. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Saptana, Handewi P. S. R., dan Tri Bastuti P., 2003. Struktur Penguasaan Lahan dan Kelembagaan Pasar Lahan di Pedesaan. Kerjasama BAPPENAS dengan DAI serta Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sinaga, R.S. 1987. Pembangunan Pertanian Sistem Agribisnis dan Perusahaan Inti–Rakyat. Bahan Kuliah pada Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sudaryanto, T. dan P. Simatupang, 1993. Arah Pengembangan Agribisnis. Suatu Catatan Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sumarno, 2000. Konsep Pendayagunaan Sumberdaya Lahan Untuk Pengembangan Tanaman Hortikultura. Cipayung-Bogor, 31 Oktober – 2 November 2000 Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Sumaryanto, Syahyuti, Saptana, B. Irawan, A.M. Hurun. 2002. Dimensi Sosial Ekonomi Masalah Pertanahan di Indonesia. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Inovasi Agribisnis, Bogor 21-22 Mei 2002. Tantangan dan Peluang Komunikasi, Sumberdaya Lahan, dan Sosial Ekonomi Pertanian. Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Sutiknjo, I., 1982. Politik Agraria Nasional: Hubungan Antara Tanah dan Manusia Yang Berdasarkan Pancasila. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.