Top Banner
ICASERD WORKING PAPER No.15 DAYASAING KOMODITAS BAWANG MERAH DI JAWA TENGAH Masdjidin Siregar dan Saptana September 2003 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
23

ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

Mar 11, 2019

Download

Documents

truongxuyen
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

ICASERD WORKING PAPER No.15

DAYASAING KOMODITAS BAWANG MERAH DI JAWA TENGAH

Masdjidin Siregar dan Saptana

September 2003

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian

Page 2: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

ICASERD WORKING PAPER No.15

DAYASAING KOMODITAS BAWANG MERAH DI JAWA TENGAH

Masdjidin Siregar dan Saptana

September 2003

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Agus Suwito, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mai : [email protected]

No. Dok.024/15/1/03

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian

Page 3: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

1

DAYASAING KOMODITAS BAWANG MERAHDI JAWA TENGAH

Masdjidin Siregar dan Saptana

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl A. Yani No.70 Bogor 16161

ABSTRACT

The major objective of this paper is to analyze the comparative advantage and the competitive advantage of shallot in Brebes as the major producing region. The results indicate that shallot has a particular level of comparative advantage in a sense that it may compete in global market when trade liberalization takes place. The values of domestic resource cost ratios(DRCR) as an indicator of economic efficiency are 0,770 for wet season and 0,502 for dry season. Shallot also can compete with other crops since the values of private cost ratios (PCR) as an indicator of financial efficiency are 0,518 for wet season and 0,381 for dry season. Since the competitiveness of any commodity in the future would depend on whether or not the production of the commodity is environmentally friendly, then field school on Integrated Pest Management (SLPHT) should be intensified in the region.

Key words : comparative and competitive advantages, integrated pest management

ABSTRAK

Tujuan utama makalah ini adalah untuk menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompatitif bawang merah di daerah produksi utama, yaitu di Brebes. Hasil analisis memperlihatkan bahwa bawang merah mempunyai keunggulan kompatitif dengan pengertian bahwa bawang merah dapat bersaing di pasar global apabila liberalisasi perdagangan diberlakukan. Hal itu ditunjukkan oleh tingkat efisiensi ekonomis bawang merah yang dinyatakan dalam nilai rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) sebesar untuk musim hujan dan untuk musim kemarau. Dari segi privat, bawang merah juga dapat bersaing dengan komoditas lainnya karena tingkat efisiensi finansialnya yang dinyatakan dalam nilai private cost ratio (PCR) sebesar untk musim hujan dan untuk musim kemarau. Karena keunggulan suatu komoditas pertanian pada masa yang akan datang akan ditentukan oleh keramahan lingkungan produksi bersangkutan, maka sekolah lapangan hama terpadu (SLPHT) perlu digalakkan untuk komoditas ini.

Kata kunci : keunggulan komparatif dan kompetitif, pengendalian hama terpadu.

PENDAHULUANLatar Belakang

Untuk masa mendatang, diversifikasi pertanian diharapkan menjadi fokus

pembangunan pertanian karena dapat menjadi tumpuan dalam peningkatan pendapatan

petani dan kesempatan kerja di pedesaan. Dalam program diversifikasi, kelompok

komoditas hortikultura dipandang sangat strategis karena permintaan domestik terus

meningkat dan potensi pengembangan komoditas hortikultura di Indonesia masih dapat

terus ditingkatkan.

Page 4: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

2

Salah satu unsur lingkungan strategis dalam pengembangan hortikultura yang

perlu diperhatikan adalah libelarisasi perdagangan yang memberikan peluang-peluang

dan tantangan-tantangan baru. Liberalisasai perdagangan memberikan peluang-peluang

baru karena pasar semakin luas sejalan dengan penghapusan berbagai hambatan

perdagangan antar negara. Tetapi libelarisari perdagangan juga akan menimbulkan

masalah-masalah baru kalau komoditas yang dihasilkan tidak mampu bersaing di pasar

dunia.

Secara umum dapat dikatakan bahwa masalah pengembangan hortikultura

terletak pada kualitas, kuantitas dan kesinambungan pasokan dalam menghadapi

permintaan pasar. Hal ini berakar dari faktor-faktor berikut: (1) Pola kepemilikan lahan

yang sempit dan tersebar, tiadanya sistem pengwilayahan pengembangan, dan sistem

usahatani yang sporadis. (2) Rendahnya penguasaan teknologi oleh para petani dari

pembibitan, budidaya, dan pasca panen menyebabkan produktivitas dan mutu produk

yang dihasilkan rendah. (3) Harga produk hortikultura sangat berfluktuasi baik sebagai

akibat panen yang bersifat musiman maupun struktur pasar yang oligopsonistik. (4)

Lemahnya permodalan merupakan permasalahan pokok yang dihadapi petani, karena

budidaya hortikultura tergolong padat modal baik dalam penggunaan input produksi

maupun tenaga kerja yang dibutuhkan. (5) Kurangnya informasi bagi pengusaha swata

(investor) tentang kelayakan finansial dan ekonomi serta daya saing komoditas

hortikultura, khususnya bawang merah dan cabe merah.

Secara teoritis, keunggulan kompetitif suatu komoditas atau kelompok komoditas

merupakan determinan dari eksistensi produsen atau partisipan yang tercakup dalam

sistem komoditas tersebut. Keunggulan kompetitif merupakan resultante dari faktor-

faktor yang menentukan keunggulan komparatif suatu komoditas dengan faktor-faktor

kunci dari dimensi struktur, perilaku dan keragaan pasar komoditas. Disamping itu

intervensi pemerintah (kebijakan pemerintah) yang efisien atau tidak efisien akan turut

mempengaruhi keunggulan kompetitif dan komperatif suatu sistem komoditas.

Atas dasar pertimbangan bahwa keberhasilan dari sistem pengembangan

komoditas di suatu wilayah atau negara antara lain tergantung dari keberhasilan dalam

mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas dalam merumuskan kebijakan,

menyusun strategi pengembangan dan implementasi dari kebijakan tersebut dalam

kerangka pembangunan pertanian, maka dibutuhkan seperangkat data dan informasi

Page 5: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

3

dari hasil penelitian yang secara apriori memang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan

itu.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan analisis profitabilitas komoditas bawang merah.

2. Melakukan analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif komoditas

bawang merah.

3. Mengkaji dampak kebijakan pemerintah dalam sistem komoditas bawang merah.

4. Merumuskan kebijaksanaan dalam pengembangan komoditas bawang merah.

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Untuk waktu-waktu mendatang, setiap komoditas pertanian akan menghadapi

persaingan yang semakin ketat karena perdagangan bebas antar negara cenderung

menjadi bebas. Karena itu analisis keunggulan komparatif setiap komoditas pertanian

menjadi semakin penting untuk melihat kemungkinan apakah produksi komoditas di

dalam negeri dapat bertahan untuk memenuhi permintaan dalam negeri atau sebagai

substitusi impor atau untuk promosi ekspor. Untuk menjawab hal itu, Matriks Analisis

Kebijaksanaan (PAM) yang diusulkan oleh Monke dan Pearson (1989) dapat

memberikan kerangka analisis yang komprehensif.

Pada dasarnya analisis keunggulan komparatif berupaya mencari apakah harga-

harga input dan output yang berlaku terdistorsi oleh struktur pasar dan atau oleh

kebijaksanaan pemerintah berupa subsidi, pajak, kebijaksanaan harga dan sebagainya.

Untuk itu diperlukan penghitungan harga bayangan (shadow prices), yaitu harga yang

terjadi apabila semua distorsi tersebut tidak ada. Harga bayangan barang-barang yang

dapat diperdagangkan biasanya diperhitungkan dari harga batas (border price) berupa

FOB atau CIF ditambah dengan biaya transpor dan penanganan sampai titik tertentu,

misalnya sampai ke tingkat petani. Kalau harga bayangan ini berbeda dengan harga

yang berlaku (harga finansial) maka timbul pertanyaan distorsi mana yang membuat

perbedaaan itu.

Perbedaan antara harga finansial (harga privat) dan harga bayangan (harga

sosial) mungkin disebabkan oleh distorsi struktur pasar (seperti monopoli), tapi mungkin

pula karena distorsi berupa kebijaksanaan pemerintah atau kedua-duanya bekerja

Page 6: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

4

bersama-sama. Karena itu pengaruh kebijaksanaan pemerintah (seperti subsidi, pajak,

kebijaksanaan harga, dll) terhadap harga perlu ditelaah, sedangkan struktur pasar dapat

dipelajari dengan pendekatan Structure, Conduct and Performance atau SCP (lihat

Cave, 1987; Dahl, 1977).

Struktur pasar (market structure) mempengaruhi perilaku pasar yang dapat

dipelajari dari market conduct (hubungan agregat antar semua pembeli dan/atau semua

penjual) dan market performance (kinerja atau hasil dari hubungan agregat tersebut).

Struktur pasar input yang oligopolis misalnya cenderung merugikan petani karena harga

pada struktur pasar tersebut cenderung lebih tinggi dari harga pada pasar bersaing

sempurna. Sebaliknya, struktur pasar output yang oligopsonis cenderung menekan

harga output yang juga merugikan produsen. Jika jumlah penjual relatif banyak dan

setiap penjual tidak dapat menciptakan keuntungan berlebihan (economic rent) maka

pasar tersebut cenderung bersaing dan ini berarti struktur pasar tidak merugikan petani.

Dalam keadaan demikian maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa struktur

pasar input atau output berpengaruh negatif terhadap produksi.

Metode Analisis

Analisis efisiensi finansial (keunggulan kompetitif) dan efisiensi ekonomi

(keunggulan komparatif) serta dampak perubahan kebijaksanaan pemerintah terhadap

sistem komoditas dalam tulisan ini dilakukan melalui Policy Analysis Matrix (PAM) yang

dikembangkan oleh Monkey and Person (1995). Dalam tulisan ini, PAM didasarkan

pada asumsi-asumsi sebagai berikut: (1) harga pasar yang berlaku dipergunakan untuk

analisis finansial; (2) harga bayangan yang dipandang mencerminkan kelangkaan

sumberdaya digunakan untuk analisis ekonomis; (3) output dapat diperdagangkan

(tradeable) dan input dapat dipisahkan ke dalam input yang dapat diperdagangkan dan

faktor domestik (domestic factor): eksternalitas positif dan negatif dianggap saling

meniadakan.

Pada dasarnya langkah perhitungan PAM terdiri dari empat tahap: (1) penentuan

masukan-keluaran fisik secara lengkap dari aktivitas ekonomi yang akan dianalisis; (2)

penaksiran harga bayangan (shadow price) dari masukan dan keluaran; (3) pemisahan

seluruh biaya kedalam komponen domestik dan asing, serta menghitung besarnya

penerimaan, dan (4) menghitung dan menganalisis berbagai indikator yang bisa

dihasilkan oleh PAM. Karena itu ada dua hal pokok yang perlu dijelaskan, yaitu

Page 7: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

5

penaksiran harga bayangan dan pemisahan biaya kedalam komponen domestik dan

asing.

Untuk setiap keluaran dan masukan ditetapkan dua kelompok harga yaitu harga

riil di pasar dan harga bayangan. Harga bayangan merupakan harga yang terjadi dalam

keadaan persaingan sempurna dan keseimbangan (Harberger, 1972; Little dan Mirrlees,

1974; Squire dan van der Tak, 1975; Sugden dan Williams, 1978; United Nations, 1978;

Gittinger,1982; Schmid, 1989). Karena harga pasar sering tidak mencerminkan biaya

imbangan atau harga sosial maka penyesuaian perlu dilakukan untuk memperoleh

harga sosial.

Perhitungan harga bayangan dalam penelitian ini mengikuti penyesuaian seperti

yang dilakukan oleh Gittinger (1986). Harga bayangan secara umum ditentukan dengan

mengeluarkan distorsi akibat kegagalan pasar dan akibat kebijaksanaan pemerintah

(seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, kebijakan harga dan lain-lain). Dalam

penelitian ini untuk komoditas yang diperdagangkan akan didekati dengan harga batas

(border price). Untuk komoditas yang selama ini di ekspor digunakan harga f.o.b. (free

on board) dan untuk komoditi yang di impor digunakan harga c.i.f (cost insurance

freight). Selanjutnya dilakukan penyesuaian di tingkat mana analisis akan dilakukan.

Dalam PAM, input yang digunakan dalam proses produksi dipisahkan menjadi :

(a) tradable goods, dan (b) domestic factor (non tradable goods). Input kategori pertama

adalah input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional, sedangkan input

kategori kedua adalah input yang tidak dapat diperdagangkan di pasar internasional.

Menurut Kadariah et al. (1978) dalam Zulaiha (1997), yang disebut dengan tradable

goods adalah barang yang : (1) sekarang di ekspor atau diimpor; (2) bersifat pengganti

yang erat hubungannya dengan jenis lain yang di ekspor atau diimpor; (3) komoditi yang

dilindungi pemerintah tetapi sebenarnya dapat diperdagangkan secara internaional.

Menurut Pearson et.al. (1976) dalam Haryono (1991), ada dua pendekatan yang

digunakan untuk mengalokasikan biaya kedalam komponen domestik dan asing, yaitu

pendekatan total dan pendekatan langsung. Pendekatan total diasumsikan bahwa setiap

biaya input tradable produksi domestik dibagi kedalam komponen biaya domestik dan

asing. Pendekatan total lebih tepat digunakan apabila produsen lokal dilindungi

sehingga tambahan penawaran input tradable datang dari produksi lokal; jika

kemungkinan memproduksi input tradable tersebut memang ada. Pendekatan total lebih

sesuai digunakan dalam analisis dampak kebijaksanaan atau untuk memperkirakan

Page 8: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

6

biaya ekonomi atau sosial dari struktur proteksi yang dilakukan pemerintah. Pendekatan

langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input tradable, baik diimpor maupun

produksi domestik, dinilai sebagai komponen biaya asing. Pendekatan ini dipergunakan

apabila tambahan permintaan input tradable baik barang yang diimpor maupun

produksi domestik dapat dipengaruhi oleh perdagangan internasional. Karena penelitian

ini ditujukan untuk menganalisis keunggulan kompetitif dan komparatif komoditas

bawang merah, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan langsung. Hal ini

dilandasi oleh beberapa argumen sebagai berikut: (1) analisis yang dilakukan adalah

analisis keunggulan kompetitif; (2) tidak adanya proteksi terhadap produsen domestik

baik produsen input maupun output; (3) kenyataan bahwa tambahan permintaan input

dan output hortikultura dapat dipenuhi dari perdagangan internasional.

Hasil analisis PAM akan memberikan informasi tentang profitabilitas daya saing

(keunggulan kompetitif), efisiensi ekonomi (keunggulan komparatif) suatu komoditas dan

dampak kebijaksanaan pemerintah terhadap sistem komoditi tersebut. Table PAM,

dapat disimak pada Tabel 1.

Tabel 1. Policy Analisys Matrix (PAM) yang digunakan untuk analisis

BiayaUraian Penerimaan Tradable

input costDomestic factor cost

Profit

Harga Privat A B C D

Harga Sosial E F G H

Dampak Struktur Pasar dan kebijaksanaan

I J K L

Keterangan: I = A – E; J = B – F; K = C – G; L = D – H.

Dari data pada tabel PAM di atas, kemudian dapat dianalisis dengan berbagai

indikator sebagai berikut : (1) Analisis Keuntungan atau Private Profitability (PP): D = A –

(B + C); (2) Analisis Keuntungan Sosial atau Social Profitability (SP): H = E – (F + G); (3)

Analisis Efisiensi Finansial (Keunggulan Kompetitif) dengan indikator Private Cost Ratio

(PCR) = C/(A – B); (4) Analisis Efisiensi Ekonomis (Keunggulan Komparatif) dengan

indikator Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G / (E – F); (5) Output Transfer : OT

= A – E; (6) Nominal Protection Coefficient on Tradable Output : NPCO = A / E; (7)

Transfer Input : IT = B – F; (8) Nominal Protection Coefficient on Tradable Input : NPCI =

B / F; (9) Factor Transfer: FT = C – G; (10) Effective Protection Coefficient :

Page 9: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

7

EPC = (A – B) / (E – F); (11) Net Transfer : NT = D – H; (12) Profitability Coefficient: PC

= D / H; dan (13) Subsidy Ratio to Producer : SRP = L / E.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan mewawancarai petani di daerah

sentra produksi bawang merah (Kecamatan Wanasari di Kabupaten Brebes) sebanyak

30 petani yang dipilih secara acak pada tahun 2001. Pengumpulan data primer terfokus

pada data struktur input dan output, biaya dan pendapatan finansial dan sosial, margin

pemasaran, opportunity costs dari berbagai input non-tradable (lahan, tenaga kerja

keluarga, dan modal sendiri), struktur pasar (input, tenaga kerja, modal, dan output) dan

eksistensi kelembagaan pedesaan yang mempengaruhi mekanisme pasar. Wawancara

juga dilakukan dengan usaha pembibitan, pedagang input dan output dan eksportir.

HASIL PENELITIAN

Gambaran Usahatani, Pasar Input dan Output

Sebagian besar lahan yang ditanami bawang merah berstatus hak milik yang

berasal dari warisan dan pembelian. Luas pemilikan lahan relatif sempit dengan kisaran

0,12-0,36 hektar, sementara kisaran luas garapan adalah 0,25-0,50 hektar. Disamping

lahan milik, status garapan yang banyak dijumpai adalah status bagi hasil merdelapan

(1/8) dan mersepuluh (1/10), artinya satu bagian produksi untuk pemilik lahan dan 8

atau 10 bagian untuk penggarap. Dalam perjanjian bagi hasil ini hampir semua biaya

produksi ditanggung oleh penggarap. Status garapan yang lain adalah status sewa

dengan kisaran nilai sewa sebesar Rp 5,0-Rp6,7 juta/hektar/tahun pada tahun 2001.

Pola tanam yang berkembang di lokasi penelitian (Kecamatan Wanasari,

Kabupaten Brebes) adalah (1) padi - bawang merah - bawang merah (60%), (2) padi -

bawang merah - cabe merah (10%), (3) bawang merah – cabe merah – bawang merah

(10%), (4) padi – bawang merah – sayuran (mentimun, pare, waluh, dll) (10%), (5) padi

– bawang merah – bera (5%), dan bawang merah – padi – bawang merah (5%).

Bawang merah di Brebes diusahakan secara monokultur dan diusahakan tiga kali dalam

setahun, yaitu pada bulan Mei-Juli (Musim Kemarau I), Juli-September (Musim Kemarau

II), dan September-November (Musim Hujan) dengan pola tanam yang berbeda antar

petakan dan hamparan sawah. Dari segi produksi, Hadi et al. (2000) mengemukakan

bahwa perubahan produksi bawang merah sepanjang tahun bersifat siklikal dengan

pengertian bahwa produksi tertingi terjadi pada bulan Juni-Juli dan produksi terendah

Page 10: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

8

terjadi pada bulan Desember-Januari. Pola siklikal ini berkaitan dengan pola tanam pada

areal persawahan dataran rendah.

Informasi tentang saluran pemasaran, margin pemasaran, dan struktur pasar

diperlukan untuk mempelajari apakah struktur pasar bersaing atau tidak bersaing

sempurna karena struktur pasar menentukan harga input yang dibayar petani. Keragaan

pasar input-input bahan (material inputs) untuk usahatani bawang merah di Brebes

nampaknya berjalan relatif sempurna karena pedagang besar cukup menyebar dan

kios-kios sarana produksi berkembang hingga ke pelosok desa. Disamping itu

kecenderungan monopoli atau distorsi struktur pasar lainnya tidak terlihat. Input bahan

(seperti pupuk dan pestisida) di daerah penelitian relatif tersedia dengan baik

Petani bawang merah umumnya mengusahakan sendiri benih bawang merah

mereka walaupun kualitasnya tidak sebaik kualitas benih dari penangkar. Kalau benih

lokal kurang tersedia, petani yang memiliki modal dengan skala usaha yang relatif

besar menggunakan benih impor dari Pilipina. Pada tahun 2000/2001, harga benih lokal

adalah Rp.5.000-6.000/kg sedangkan harga benih impor mencapai Rp.8.000-10000/kg.

Kisaran jumlah penggunaan benih adalah 1,0-1,2 ton per hektar untuk benih lokal atau

0,7-1,1 ton per hektar untuk benih impor.

Dilihat dari segi margin pemasaran, pasar-pasar input bahan nampaknya tidak

terdistorsi. Marjin pemasaran pupuk (Urea, SP36, KCL,ZA, NPK) di tingkat pedagang

besar misalnya adalah sekitar 4-8 persen dari harga beli sementara margin pemasaran

pestisida lebih kecil lagi, yaitu 2-6 persen dari harga beli. Karena margin tersebut tidak

lain dari selisih antara harga beli dan harga jual maka dapat dikatakan bahwa

keuntungan pedagang besar sangat kecil karena di dalam margin tersebut sudah

termasuk biaya pengangkutan, bongkar muat, susut, dan lain-lain. Tingkat margin

sekecil itu menggambarkan kesempurnaan pasar dengan pengertian bahwa para

pedagang tidak mempunyai peluang untuk memperoleh keuntungan berlebihan

(economic rent) diatas keuntungan normal (normal profit).

Karena Kabupaten Brebes merupakan sentra produksi bawang merah, pusat

pedagang besar bawang merah juga terdapat di Brebes. Pada saat penen berkurang,

bawang merah bahkan didatangkan dari daerah lain seperti dari Cirebon, Tegal dan

bahkan dari Sumatera Utara (Pulau Samosir dan Simalungun). Rantai pemasaran

bawang merah dari petani ke konsumen bervariasi. Untuk pasar-pasar induk di kota lain,

pedagang pengumpul tingkat desa biasanya membawa bawang merah ke pasar di

Page 11: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

9

Klampon. Dari pasar Klampon para pedagang pasar mengirim bawang merah dengan

menggunakan ekspedisi ke pasar-pasar diluar kota setelah menerima telpon untuk

pengiriman barang.

Tidak seperti pasar input yang relatif stabil, pasar komoditi bawang merah yang

dihadapi petani berubah dari bulan ke bulan. Pada saat panen raya yang terjadi pada

bulan April-Mei dan Juli-Agustus, harga bawang merah di tingkat petani jatuh sampai Rp

2000/kg. Untuk menghindari hal ini para petani melakukan penyimpanan atau menjual

bawang merah untuk bibit ke daerah lain. Petani yang bermodal melakukan penanaman

bawang merah pada musim hujan karena harga pada musim hujan diyakini akan tinggi

meskipun biaya tenaga kerja dan pestisida lebih tinggi. Pada saat diluar panen besar,

harga bawang merah adalah Rp.3400/kg. Pada saat penelitian, harga pada tingkat

tersebut nampaknya cukup baik karena telah mencapai 78 persen dari harga pedagang

besar di Jakarta.

Biaya dan Pendapatan Finansial dan Sosial

Pendapatan bersih biasanya didefinisikan sebagai penerimaan kotor dikurangi

biaya. Masalah dalam definisi ini biasanya terletak pada definisi biaya, sedangkan

pendapatan kotor tidak lain dari nilai produksi atau sama dengan jumlah produksi

dikalikan dengan harganya. Masalah definisi biaya tersebut dapat dipecahkan dengan

memberikan tiga macam definisi tentang penerimaan bersih sebagai berikut:

(i) Penerimaan bersih bagi sumberdaya keluarga petani pemilik penggarap (returns to

household family resources), yaitu nilai produksi dikurangi semua biaya tunai

(pembelian pupuk dan pestisida/herbisida, sewa alat pertanian, tenaga kerja luar

keluarga dan bunga modal kerja). Bunga modal kerja dianggap sebagai unsur

biaya karena banyak petani pemilik penggarap meminjam modal kerja dari

berbagai sumber, walaupun sebagian petani menggunakan dana sendiri yang

bukan berasal dari pinjaman tetapi berupa simpanan dari hasil panen yang lalu.

Tenaga kerja keluarga dan sewa lahan tidak dianggap sebagai unsur-unsur biaya

dalam definisi ini.

(ii) Penerimaan bersih untuk keluarga petani penyewa (returns to tenant). Dalam hal

ini, sewa lahan menjadi satu komponen biaya. Dengan demikian bunga modal

kerja dalam definisi ini termasuk bunga untuk sewa lahan disamping bunga untuk

Page 12: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

10

biaya tunai lainnya. Seperti pada (i), tenaga kerja keluarga dan sewa lahan tidak

dianggap sebagai unsur-unsur biaya dalam definisi ini.

(iii) Penerimaan bersih untuk petani pengelola (returns to management). Semua input

termasuk tenaga kerja dalam keluarga dan sewa lahan diperhitungkan sebagai

komponen biaya. Dengan demikian komponen bunga modal kerja dalam hal ini

adalah bunga modal kerja semua input, kecuali tenaga petani sebagai pengelola

(selanjutnya disebut petani pengelola dalam makalah ini).

Dengan definisi tersebut diatas terlihat bahwa pendapatan bersih bagi pemilik

penggarap, petani penyewa lahan dan petani pengelola pada MH 2000/2001 berturut-

turut adalah Rp 14,5 juta, Rp 13,5 juta dan Rp 9,7 juta per hektar (Tabel 2). Karena

produktivitas bawang merah pada MK lebih tinggi dari produktivitas pada MH maka

pendapatan bersih tersebut lebih tinggi pada MK 2001, yaitu Rp16,7 juta/ha untuk

pemilik penggarap, Rp 15,7 juta/ha untuk petani penyewa dan Rp 12, juta/ha untuk

petani pengelola. Kalau pendapatan bersih tersebut dihitung berdasarkan luas garapan

rata-rara yaitu 0,3 ha, maka pendapatan bersih bagi pemilik penggarap, petani penyewa

lahan dan petani pengelola berturut-turut adalah Rp 4,35 juta, Rp 4,05 juta dan Rp 2,9

juta per musim pada MH, sedangkan pada MK adalah Rp 5,01 juta untuk pemilik

penggarap, Rp 4,71 juta/musim untuk petani penyewa dan Rp 3,87 juta/musim untuk

petani pengelola.

Berdasarkan definisi tersebut diatas, penerimaan bersih usahatani ditentukan

oleh kombinasi antara tingkat produktivitas, harga output dan harga-harga input.

Sebenarnya harga output pada musim panen MH biasanya lebih tinggi, namun karena

curah hujan pada musim ini lebih tinggi dari biasanya maka produktivitas turun menjadi

8,6 ton per ha. Di sisi lain biaya faktor produksi pada MH lebih tinggi jika dibandingkan

dengan pada MK, terutama biaya untuk pestisida dan tenaga kerja. Pada musim MK,

meskipun harga output relatif lebih rendah, namun produktivitas lebih baik daripada

musim sebelumnya, yaitu bisa mencapai 9,5 ton per ha. Di samping itu jumlah biaya

produksi pada MK relatif lebih rendah karena serangan hama berkurang jika dibanding

dengan serangan hama pada MH.

Meskipun penerimaan bersih per hektar tersebut kelihatannya cukup tinggi, perlu

diingat bahwa biaya yang diperlukan juga cukup besar. Karena itu diperlukan kriteria

yang dapat diartikan sebagai kekuatan daya pengembalian modal dari usahatani

bawang merah, yaitu kriteria rasio penerimaan kotor terhadap total biaya (R/C). Pada

Page 13: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

11

MH nilai R/C untuk petani pemilik penggarap, petani penyewa lahan, dan petani

pengelola berturut-turut adalah 2,0, 1,9, dan 1,5. Pada MK urutan tersebut adalah 2,2,

2,0, dan 1,7. ini berarti bahwa kekuatan daya pengembalian modal dari pemilik

penggarap, petani penyewa dan petani pengelola pada MH berturut-turut adalah 200,

290 dan 150 persen, dan pada MK adalah 220, 200 dan 170 persen. Meskipun

penerimaan bersih dan daya pengembalian modal usahatani bawang merah relatif

tinggi, usahatani bawang merah sangat rentan terhadap perubahan harga output,

karena baik penawaran maupun permintaan bersifat musiman. Pada hari-hari besar

keagamaan, misalnya, harga bawang merah sangat tinggi, namun pada saat panen

raya terjadi sebaliknya.

Persentase komponen biaya terhadap nilai produksi (factor share) untuk bibit

adalah 17 persen untuk MH dan 20 persen untuk MK. Persentase komponen biaya

untuk bibit tersebut relatif tinggi karena jumlah bibit yang digunakan per satuan luas

cukup besar dan harga bibit meningkat pada saat diperlukan sebagai akibat dari

ketersediaan bibit yang terbatas. Bibit bawang merah bahkan sering didatangkan dari

Philipina. Komponen biaya lainnya yang relatif masih tinggi adalah biaya pestisida,

upah tenaga kerja wanita dan bunga modal. Angka proporsi komponen-kompenen

tersebut berturut-turut adalah 4,65; 11,17 dan 4,36 persen untuk MH dan 4,51; 7,58 dan

4,05 persen untuk MK.

Untuk melihat tingkat keuntungan sosial atau tingkat keuntungan yang dicapai

kalau pasar tidak terdistorsi oleh struktur pasar dan kebijaksanaan pemerintah maka

harga-harga input dan output yang dipergunakan dalam analisis adalah harga bayangan

(shadow price). Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat penerimaan bersih sosial

usahatani bawang merah pada kedua musim tanam untuk ketiga klasifikasi petani

tesebut diatas masih menguntungkan tetapi masih lebih rendah dari tingkat keuntungan

finansial. Dengan perkataan lain, usaha bawang merah masih akan menguntungkan

apabila berbagai pengaruh intervensi/distorsi terhadap komoditas tersebut dihilangkan.

Lebih jauh dapat dikatakan bahwa usahatani bawang merah masih akan

menguntungkan apabila globalisasi perdagangan diberlakukan.

Page 14: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

12

Tabel 2. Biaya dan Penerimaan Usahatani Bawang Merah di Brebes (Rp.000)

MH 2000/2001 MK 2001Uraian*)

Privat Sosial Privat SosialTradeble input : Benih/Bibit 5036 2800 6224 2637 Urea 235 213 329 312 SP-36 640 460 460 331 SP-27 0 0 0 0 KCL 274 185 318 215 ZA 188 131 238 175 NPK 78 46 148 87 ZPT 20 19 23 21 Insektisida Cair 1332 1110 1385 1154 Insektisida Padat 653 544 742 619 Herbisida Cair 8 7 9 8 Biaya Traktor 0 0 0 0Faktor Domestik : Pupuk Kandang 0 0 0 0 Tenaga kerja (TK): Traktor 0 0 0 0 Ternak 0 0 0 0 Pria DK 2745 2745 1980 1980 Wanita DK 744 744 560 560 Pria LK 1290 1290 690 690 Wanita LK 3200 3200 2328 2328 Sewa lahan 917 917 917 917 Total biaya tunai untuk: Pemilik penggarap 12954 10005 12895 8576 Petani penyewa 13871 10922 13812 9493 Petani pengelola 17360 14411 16352 12033Bunga modal untuk: Pemilik penggarap 1166 680 1161 583 Petani penyewa 1248 983 1243 854 Petani pengelola 1562 1297 1472 1083Nilai Produksi 28650 18746 30727 20600Rasio R/C untuk : Pemilik penggarap 2.0 1.8 2.2 2.2 Petani penyewa 1.9 1.6 2.0 2.0 Petani pengelola 1.5 1.2 1.7 1.6Penerimaan bersih : Pemilik penggarap 14530 8061 16672 11440 Petani penyewa 13531 6842 15672 10253 Petani pengelola 9728 3039 12904 7484*) Penggunaan input disajikan pada Lampiran Tabel 1.

Page 15: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

13

Urutan proporsi biaya terhadap nilai produksi pada analisis sosial hampir sama

dengan yang terdapat dalam analisis finansial yaitu dengan urutan mulai dari yang

tertinggi adalah untuk biaya bibit, insektisida, tenaga kerja (dalam keluarga dan luar

keluarga) dan tingkat bunga modal. Hal itu berlaku untuk kedua musim. Perbandingan

antar musim menunjukkan bahwa baik proporsi maupun nilai absolut biaya, pendapatan

dan penerimaan bersih sosial pada MK lebih rendah jika dibanding dengan pada MH

(Tabel 2).

Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Policy analysis matrix yang disajikan pada Tabel 3 diperlukan untuk menghitung

berbagai kriteria yang disajikan pada Tabel 4. Biaya dalam Tabel 3 dirinci atas biaya

tradable dan domestik. Penerimaan bersih dalam hal ini tidak lain dari penerimaan

bersih untuk petani sebagai pengelola karena semua input termasuk sewa lahan, tenaga

kerja keluarga dan bunga modal kerja diperhitungkan (lihat Tabel 2 diatas).

Tabel 3. Policy Analysis Matrix Bawang Merah, Brebes MH 2000/2001 (Rp.000/ha)

BiayaUraian

Nilai produksi Input

TradableFaktor

domestik

Penerimaan bersih

MH 2000/2001

Privat 28,650 8,464 10,458 9,728Sosial 18,746 5,515 10,193 3,039Perbedaan 9,904 2,949 265 6,690

MK 2001Privat 30,727 9,877 7,946 12,904Sosial 20,600 5,558 7,558 7,484Perbedaan 10,127 4,319 389 5,420

Pada Tabel 4 terlihat bahwa tingkat efisiensi ekonomi pengusahaan bawang

merah di Brebes pada kedua musim relatif tinggi yang diperlihatkan oleh nilai DRC, yaitu

0,770 untuk MH dan 0,502 untuk MK. Besaran ini menunjukkan bahwa untuk

memperoleh nilai tambah satu satuan pada harga sosial hanya diperlukan kurang dari

satu-satuan penggunaan sumberdaya domestik. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa memproduksi bawang merah di Kabupaten Brebes lebih efisien daripada

mengimpor komoditas tersebut. Kesimpulan lain dari besaran tersebut adalah kunggulan

komparatif bawang merah pada MK lebih tinggi daripada MH. Hal ini terjadi karena

Page 16: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

14

pengusahaan bawang merah di Brebes tidak dilakukan di lahan kering tetapi di sawah.

Pengusahaan bawang merah di sawah pada MK lebih baik jika dibandingkan dengan

pada MH karena kondisi pengairannya terjamin dan drainase dapat dilakukan dengan

baik dan serangan hama dan penyakit (terutama cendawan) lebih tinggi pada MH.

Seperti telah diungkapkan diatas, indikator private cost ratio (PCR dapat

digunakan untuk melihat keunggulan kompetitif suatu komoditas. Apabila PCR kurang

dari satu, maka dapat dikatakan bahwa usahatani komoditas tersebut secara finansial

memiliki keunggulan, karena untuk memperoleh satu satuan nilai tambah pada harga

yang berlaku diperlukan penggunaan sumberdaya domestik kurang dari satu satuan.

Seperti keunggulan komparatif, usahatani bawang merah di Brebes lebih mempunyai

keunggulan kompetitif pada MK (PCR=0,381) jika dibandingkan dengan pada MH

(PCR=0,518). Disamping alasan drainase yang lebih baik dan serangan penyakit yang

berkurang pada MK, keunggulan komparatif bawang merah yang lebih baik pada MK

juga disebabkan karena harga pupuk khususnya harga pupuk urea pada MH lebih tinggi

sebagai akibat dari karena permintaan yang meningkat pada MH.

DAMPAK STRUKTUR PASAR DAN KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH

Perbedaan antara keuntungan finansial dan sosial terjadi karena pengaruh

struktur pasar atau pengaruh kebijaksanaan pemerintah atau kombinasi antara

keduanya. Tetapi perlu diingat bahwa kebijaksanaan pemerintah berupa subsisdi input

yang pernah ada telah ditiadakan sejak awal 1989, sedangkan kebijaksanaan

pemerintah yang berkenaan dengan harga bawang merah selama ini juga belum pernah

ada. Kebijaksanaan pemerintah yang masih berlaku sampai saat ini adalah pajak

pertambahan nilai untuk barang-barang impor termasuk pupuk dan pestisida yang

diimpor. Karena itu kalau keuntungan finansial berbeda dengan keuntungan sosial,

perbedaan itu lebih disebabkan kebijaksanaan pemerintah tersebut dan oleh struktur

pasar. Struktur pasar yang tidak bersaing sempurna (seperti oligopoli atau monopsoni)

dan pasar yang tersegmentasi misalnya dapat menimbulkan perbedaan antara

keuntungan finansial dan keuntungan sosial.

Dalam PAM, dampak struktur pasar dan kebijaksanaan pemerintah dapat

dinyatakan dalam bentuk selisih atau rasio antara nilai finansial dan nilai sosial. Kriteria

yang berbentuk selisih dinyatakan sebagai transfer output, transfer input, transfer faktor

dan transfer bersih. Kriteria yang berbentuk rasio dinyatakan dalam bentuk proteksi

Page 17: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

15

output nominal atau nominal protection coefficient on output (NPCO), proteksi input

nominal atau nominal protection coefficient on input (NPCI), proteksi efektif atau effectif

protection coefficient (EPC), koefisien profitabilitas atau profitability coeficient (PC) dan

rasio subsidi bagi produsen atau subsidy ratio to producers (SRP). Uraian berikut ini

ditujukan untuk menerangkan semua parameter tersebut.

Sejalan dengan waktu, kebijaksanaan pemerintah terutama yang berkaitan

dengan pengurangan subsidi pupuk dan deregulasi sistem distribusi pupuk mengalami

perubahan. Pada masa krisis ketika defisit anggaran pemerintah semakin meningkat,

pemerintah di satu sisi mengurangi subsidi input pertanian dan di sisi lain meningkatkan

penerimaan dari sektor pajak. Namun demikian, pada akhir-akhir tahun 2001 ada

beberapa kebijakan yang berhubungan dengan input, yaitu regulasi pada sistem

distribusi pupuk, setelah terjadi kelangkaan pupuk di beberapa daerah, sehingga

keragaan usaha tani bawang menjadi membaik, terutama pada daerah-daerah terpencil.

Dampak distorsi struktur pasar dan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan

dengan input dapat diukur dengan menggunakan beberapa parameter seperti Koefisien

Proteksi Input Nominal (NPCI), Transfer Input (IT), Transfer Factor (FT). Besaran NPCI

dan IT biasanya digunakan untuk melihat input tradable, sedangkan FT untuk input

domestik atau non tradable. Koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah selisih

antara nilai finansial dan nilai sosial semua input tradable, sedangkan input transfer (IT)

adalah rasio antara keduanya. Transfer faktor (FT) juga merupakan selisih antara nilai

finansial dan nilai sosial semua faktor domestik.

Hasil analisis memperlihatkan nilai koefisien proteksi nominal terhadap input

(NPCI) untuk kedua musim lebih besar dari satu, yaitu 1,53 untuk MH dan 1,78 untuk

MK. Ini menunjukkan bahwa struktur pasar input tradable secara umum tidak

menguntungkan usahatani bawang merah karena harga finansial lebih tinggi dari harga

sosial input tradable. Akibatnya petani harus membayar input tradable lebih tinggi dari

harga banyangannya (social price). Secara absolut petani harus membayar harga input

tradable lebih tinggi dari harga sosialnya sebesar Rp 2,95 juta pada MH dan Rp 4,32

juta pada MK per hektar.

Page 18: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

16

Tabel 4. Koefisien Policy Analysis Matrix (PAM) Usahatani Bawang Merah di Brebes

Uraian MH 2000/2001 MK2001

1. Transfer Output (Rp.000)

2. Transfer Input (Rp.000)

3. Transfer Faktor (Rp.000)

4. Transfer Bersih (Rp.000)

5. Nisbah Biaya Privat (PCR)

6. Nisbah Biaya Sumberdaya Domestik (DRC)

7. Koefisien Proteksi Nominal (NPC)

a. Terhadap Output (NPCO)

b. Terhadap Input (NPCI)

8. Koefisien Proteksi Efektif (EPC)

9. Koefisien Keuntungan (PC)

10.Nisbah Subsisdi untuk Produsen (SRP)

9.904

2.949

265

6.690

0,518

0,770

1,528

1,535

1,077

3,202

0,357

10.127

4.319

389

5.420

0,381

0,502

1,492

1,777

1,386

1,724

0,263

Perbedaan nilai finansial dan nilai sosial dari faktor domestik yang disebut

sebagai transfer faktor (FT) relatif kecil, yaitu Rp 265 ribu pada MH dan dan Rp 389 ribu

pada MK (lihat Tabel 4). Perbedaan antara nilai finansial dan nilai sosial ini terjadi hanya

karena bunga modal kerja dianggap sebagi faktor domestik sedangkan tingkat suku

bunga finansial berbeda dengan tingkat suku bunga sosial, yaitu 27 persen per tahun

untuk suku bunga finansial dan sekitar 20 persen untuk suku bunga sosial.

Dampak struktur pasar (dan kebijaksanaan pemerintah) yang berkaitan dengan

output dapat diukur dengan menggunakan beberapa parameter seperti Transfer Output

(OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Output Transfer (OT) adalah

selisih antara nilai finansial dan nilai sosial output, sedangkan) Koefisien proteksi output

nominal (NPCO) adalah rasio antara keduanya. Tabel 4 memperlihatkan bahwa nilai OT

adalah Rp. 9,9 juta pada MH dan Rp.10,1 juta pada MK. Karena nilai OT tersebut positif

maka nilai NPCO bernilai lebih besar dari satu, yaitu 1,53 pada MH dan 1,49 pada MK

(Tabel 4). Ini berarti masih ada kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan harga

output yang berlaku lebih besar dari harga bayangannya. Kendatipun pemerintah

mendorong untuk melakukan eskpor non migas, namun pemerintah belum

menghilangkan subsidi negatifnya sampai betul-betul nol (seperti pajak pertambahan

nilai terhadap barang impor, pajak usaha peti kemas dll) yang pada gilirannya

Page 19: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

17

memproteksi sistem komoditas bawang merah. Dari sisi petani sebagai produsen hal ini

menguntungkan, namun dari sisi konsumen terjadi sebaliknya.

Diatas telah dikemukakan bahwa struktur pasar dan kebijaksanaan pemerintah

tidak menguntungkan petani bawang merah di Brebes dalam hal input tetapi

menguntungkan dari segi output. Untuk melihat apakah struktur pasar dan

kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan input dan output secara simultan

menguntungkan atau tidak menguntungkan produksi bawang merah di Brebes,

diperlukan kriteria koefisien proteksi efektif (EPC), transfer bersih (NT), koefisien

keuntungan (PC), dan nisbah subsisdi untuk produsen (SRP).

Transfer bersih (NT) adalah selisih antara keuntungan pada harga finansial dan

keuntungan pada harga sosial, sedangkan koefisien keuntungan adalah rasio yang

disebut pertama terhadap yang kedua. Tabel 4 meperlihatkan bahwa nilai transfer bersih

(NT) adalah Rp 6,690 untuk MH dan Rp 5,420 untuk MK. Karena nilai NT untuk kedua

musim adalah positif maka niali PC lebih besar dari satu, yaitu 3,20 untuk MH dan 1,72

untuk MK. Kesemuanya ini berarti bahwa struktur pasar dan kebijaksanaan pemerintah

yang berkaitan dengan input dan output secara simultan menguntungkan produsen

bawang merah di Brebes. Hal ini diperkuat pula oleh nilai EPC yang lebih besar dari

satu (yaitu 1,077 untuk MH dan 1,386 untuk MK) yang berarti nilai tambah dalam harga

finansial masih lebih tinggi daripada nilai tambah pada harga sosial. Lebih jauh hal ini

dipertegas lagi oleh nilai rasio subsidi bagi produsen (SRP) yang relatif besar, yaitu

0,357 untuk MH dan 0,263 untuk MK.

KESIMPULAN DAN SARAN

Struktur pasar input bahan (material inputs) seperti pupuk dan pestisida serta

pasar bawang merah terlihat mendekati pasar sempurna dengan pengertian bahwa

jumlah pedagang input tersebut cukup banyak pada setiap tingkatan pemasaran sampai

ke tingkat desa. Ini berarti bahwa kalau terjadi distorsi maka distorsi tersebut lebih

banyak bersumber dari kebijaksanaan pemerintah (lihat kesimpulan 2 dan 3).

Adanya distorsi pada pasar input tradable terlihat dari koefisien proteksi nominal

terhadap input (NPCI) yang nilainya lebih besar dari satu, yaitu 1,53 untuk MH dan 1,78

untuk MK. Ini menunjukkan bahwa pasar input tradable secara umum tidak

menguntungkan usahatani bawang merah karena harga finansial lebih tinggi dari harga

sosial input tradable. Distorsi ini muncul karena pemerintah belum menghilangkan

Page 20: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

18

subsidi negatifnya (seperti pajak pertambahan nilai terhadap barang impor, pajak usaha

peti kemas dll). Akibatnya petani harus membayar input tradable lebih tinggi dari harga

bayangannya (social price). Secara absolut petani harus membayar harga input tradable

lebih tinggi dari harga sosialnya sebesar Rp 2,95 juta pada MH dan Rp 4,32 juta pada

MK per hektar, yang pada gilirannya memproteksi sistem komoditas bawang merah.

Adanya distorsi pada pasar bawang merah terlihat dari koefisien proteksi output

nominal (NPCO) yang nilainya juga lebih besar dari satu, yaitu 1,53 pada MH dan 1,49

pada MK. Seperti pada pasar input tradable, hal ini disebabkan karena pemerintah

belum menghilangkan subsidi negatifnya seperti pajak pertambahan nilai terhadap impor

bawang merah, pajak usaha peti kemas dan lain-lain yang pada gilirannya memproteksi

sistem komoditas bawang merah. Perlu diingat bahwa Indoensia masih merupakan net

importer bawang merah. Proteksi tersebut menguntungkan bagi petani tatapi dari sisi

konsumen terjadi sebaliknya.

Pendapatan bersih privat dan sosial usahatani bawang merah relatif tinggi tetapi

dengan biaya yang juga relatif tinggi. Pendapatan bersih privat yang relatif tinggi

tersebut menunjukkan bahwa bawang merah mempunyai keunggulan kompetitif dengan

nilai koefisien efisiensi finansial (PCR) yang jauh dibawah satu, yaitu 0,518 untuk MH

dan 0,381 untuk MK.

Meskipun pendapatan bersih sosial lebih kecil dari pendapatan bersih privat

(finansial), namun pendapatan bersih sosial masih relatif tinggi. Ini menunjukkan bahwa

produksi bawang merah di Brebes masih menguntungkan jika liberalisasi perdagangan

diberlakukan. Bahwa bawang merah di Brebes mempunyai keunggulan komparatif

terlihat dari koefisiensi ekonomis (DRC) yang nilainya adalah 0,770 untuk MH dan

0,502 untuk MK.

Mengingat adanya kesadaran akan produk yang tidak saja bergizi tetapi

juga aman dikonsumsi, maka penerapan teknologi yang ramah lingkungan perlu

diterapkan, terutama teknologi budidaya dengan pupuk organik dengan

manajemen pengendalian hama terpadu dengan memanfaatkan musuh alami.

Penggunaan pestisida hanya dilakukan apabila serangan melampau ambang

ekonomi, namun karena serangan hama dan penyakit sering terjadi secara tiba-

tiba, maka peningkatan pemahaman tentang perilaku hama dan penyakit perlu

Page 21: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

19

ditingkatkan melalui pendidikan Sekolah Lapang Pengendalian Hama dan

Penyakit Secara Terpadu (SLPHT).

DAFTAR PUSTAKA

Cave, R., 1987. American Industry: Structure, Conduct, Performance. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.

Dahl, D. C., 1977. Market and Price Analysis: The Agricultural Industries. McGraw-Hill.

Gittinger, J.P. 1982. Economic Analysis of Agricultural Projects. The Johns Hopkins University Press, Baltimore dan London, dan UI Press, Jakarta.

Gittinger, J.P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian (Terjemahan). Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Hadi, P.U., H. Mayrowani, Supriati, dan Sumedi, 2000. Review dan Outlook. Pengembangan Komoditas Hortikultura. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2000 ke Depan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Harberger, A.C. 1972. Project Evaluation. The University of Chicago Press, Chicago.

Haryono, Dwi. 1991. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijaksanaan Pada Produksi Kedelai, Jagung dan Ubikayu di Propinsi Lampung. Tesis Magister Sains. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, bogor.

Kadariah, Lien Karlina dan Clive Gray. (1978). Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Little I.M.D. dan J.A. Mirrlees, 1974. Project Appraisal and Planning for Developing Countries. Oxford & IBH Publishing Co. New Delhi-Bombay-Calcutta.

Mishan, E.J., 1977. Cost-Benefit Analysis. George Allen & Unwin Ltd. London.

Monkey, E.A. dan S.R. Pearson, 1995. Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press. Ithaca dan London.

Schmid, A.A. 1989. Benefit-Cost Analysis: A Political Economy Approach. Westview Press, Boulder, San Francisco, & London.

Squire, L.S. dan van der Tak H.G., 1975. Economic Analysis of Projects. Published for the World Bank by The Johns Hopkins University Press, Baltomore dan London.

Sugden, R. dan A. Williams, 1978. The Principles of Practical Cost-Benefit Analysis. Oxford University Press. Oxford, New York, Toronto.

Page 22: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

20

United Nations, 1978. Guide to Practical Project Appraisal: Sosial Benefit-Cost Analysis in Developing Countries. United Nations, New York.

Zulaiha, A.R. (1997). Efisiensi Finansial, Efisiensi Ekonomi dan Pengaruh Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Teh Hijau di Jawa Barat dengan Pendekatan Policy Analysis Matrix. Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Page 23: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

21

Tabel Lampiran 1: Input-output Usahatani Bawang (per hektar) di Kabupaten Brebesdan Simalungun, MH 2000/2001 dan MK 2001

Brebes SimalungunInput UnitMH2000/01 MK2001 MH2000/01 MK2001

Tradeble input:Benih/BibitUreaSP-36SP-27KCLZANPKZPTInsektisida Cair Insektisida PadatHerbisida CairHerbisida PadatBiaya Traktor

Faktor Domestik:Pupuk KandangBahan Tenaga kerja (TK): Traktor Ternak Pria DK Wanita DK Pria LK Wanita LKSewa lahanModal

Produksi

kg/hakg/hakg/hakg/hakg/hakg/hakg/hakg/haRp/haRp/haRp/haRp/haRp/ha

kg/haunit/ha

Rp/haRp/hahok/hahok/hahok/hahok/haRp/haRp/ha

kg/ha

1,259214400

-152179311

1,332 653

8 --

--

--

1839386

400917

13,871

9,604

1,186313288

-177238591

1,385742

9--

--

--

1327046

291917

13,812

9,454

1,049133163

-651500500

4894617219

-233

8-

11791

20820773

233417

18,362

8,036

1,160154180

-600500500

51,341747130

--

3,008-

-111184171150297417

21,061

9,267