ICASERD WORKING PAPER No.15 DAYASAING KOMODITAS BAWANG MERAH DI JAWA TENGAH Masdjidin Siregar dan Saptana September 2003 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
23
Embed
ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_15_2003.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ICASERD WORKING PAPER No.15
DAYASAING KOMODITAS BAWANG MERAH DI JAWA TENGAH
Masdjidin Siregar dan Saptana
September 2003
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No.15
DAYASAING KOMODITAS BAWANG MERAH DI JAWA TENGAH
Masdjidin Siregar dan Saptana
September 2003
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Agus Suwito, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mai : [email protected]
No. Dok.024/15/1/03
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
1
DAYASAING KOMODITAS BAWANG MERAHDI JAWA TENGAH
Masdjidin Siregar dan Saptana
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl A. Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRACT
The major objective of this paper is to analyze the comparative advantage and the competitive advantage of shallot in Brebes as the major producing region. The results indicate that shallot has a particular level of comparative advantage in a sense that it may compete in global market when trade liberalization takes place. The values of domestic resource cost ratios(DRCR) as an indicator of economic efficiency are 0,770 for wet season and 0,502 for dry season. Shallot also can compete with other crops since the values of private cost ratios (PCR) as an indicator of financial efficiency are 0,518 for wet season and 0,381 for dry season. Since the competitiveness of any commodity in the future would depend on whether or not the production of the commodity is environmentally friendly, then field school on Integrated Pest Management (SLPHT) should be intensified in the region.
Key words : comparative and competitive advantages, integrated pest management
ABSTRAK
Tujuan utama makalah ini adalah untuk menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompatitif bawang merah di daerah produksi utama, yaitu di Brebes. Hasil analisis memperlihatkan bahwa bawang merah mempunyai keunggulan kompatitif dengan pengertian bahwa bawang merah dapat bersaing di pasar global apabila liberalisasi perdagangan diberlakukan. Hal itu ditunjukkan oleh tingkat efisiensi ekonomis bawang merah yang dinyatakan dalam nilai rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) sebesar untuk musim hujan dan untuk musim kemarau. Dari segi privat, bawang merah juga dapat bersaing dengan komoditas lainnya karena tingkat efisiensi finansialnya yang dinyatakan dalam nilai private cost ratio (PCR) sebesar untk musim hujan dan untuk musim kemarau. Karena keunggulan suatu komoditas pertanian pada masa yang akan datang akan ditentukan oleh keramahan lingkungan produksi bersangkutan, maka sekolah lapangan hama terpadu (SLPHT) perlu digalakkan untuk komoditas ini.
Kata kunci : keunggulan komparatif dan kompetitif, pengendalian hama terpadu.
PENDAHULUANLatar Belakang
Untuk masa mendatang, diversifikasi pertanian diharapkan menjadi fokus
pembangunan pertanian karena dapat menjadi tumpuan dalam peningkatan pendapatan
petani dan kesempatan kerja di pedesaan. Dalam program diversifikasi, kelompok
komoditas hortikultura dipandang sangat strategis karena permintaan domestik terus
meningkat dan potensi pengembangan komoditas hortikultura di Indonesia masih dapat
terus ditingkatkan.
2
Salah satu unsur lingkungan strategis dalam pengembangan hortikultura yang
perlu diperhatikan adalah libelarisasi perdagangan yang memberikan peluang-peluang
dan tantangan-tantangan baru. Liberalisasai perdagangan memberikan peluang-peluang
baru karena pasar semakin luas sejalan dengan penghapusan berbagai hambatan
perdagangan antar negara. Tetapi libelarisari perdagangan juga akan menimbulkan
masalah-masalah baru kalau komoditas yang dihasilkan tidak mampu bersaing di pasar
dunia.
Secara umum dapat dikatakan bahwa masalah pengembangan hortikultura
terletak pada kualitas, kuantitas dan kesinambungan pasokan dalam menghadapi
permintaan pasar. Hal ini berakar dari faktor-faktor berikut: (1) Pola kepemilikan lahan
yang sempit dan tersebar, tiadanya sistem pengwilayahan pengembangan, dan sistem
usahatani yang sporadis. (2) Rendahnya penguasaan teknologi oleh para petani dari
pembibitan, budidaya, dan pasca panen menyebabkan produktivitas dan mutu produk
yang dihasilkan rendah. (3) Harga produk hortikultura sangat berfluktuasi baik sebagai
akibat panen yang bersifat musiman maupun struktur pasar yang oligopsonistik. (4)
Lemahnya permodalan merupakan permasalahan pokok yang dihadapi petani, karena
budidaya hortikultura tergolong padat modal baik dalam penggunaan input produksi
maupun tenaga kerja yang dibutuhkan. (5) Kurangnya informasi bagi pengusaha swata
(investor) tentang kelayakan finansial dan ekonomi serta daya saing komoditas
hortikultura, khususnya bawang merah dan cabe merah.
Secara teoritis, keunggulan kompetitif suatu komoditas atau kelompok komoditas
merupakan determinan dari eksistensi produsen atau partisipan yang tercakup dalam
sistem komoditas tersebut. Keunggulan kompetitif merupakan resultante dari faktor-
faktor yang menentukan keunggulan komparatif suatu komoditas dengan faktor-faktor
kunci dari dimensi struktur, perilaku dan keragaan pasar komoditas. Disamping itu
intervensi pemerintah (kebijakan pemerintah) yang efisien atau tidak efisien akan turut
mempengaruhi keunggulan kompetitif dan komperatif suatu sistem komoditas.
Atas dasar pertimbangan bahwa keberhasilan dari sistem pengembangan
komoditas di suatu wilayah atau negara antara lain tergantung dari keberhasilan dalam
mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas dalam merumuskan kebijakan,
menyusun strategi pengembangan dan implementasi dari kebijakan tersebut dalam
kerangka pembangunan pertanian, maka dibutuhkan seperangkat data dan informasi
3
dari hasil penelitian yang secara apriori memang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
itu.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Melakukan analisis profitabilitas komoditas bawang merah.
2. Melakukan analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif komoditas
bawang merah.
3. Mengkaji dampak kebijakan pemerintah dalam sistem komoditas bawang merah.
4. Merumuskan kebijaksanaan dalam pengembangan komoditas bawang merah.
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Untuk waktu-waktu mendatang, setiap komoditas pertanian akan menghadapi
persaingan yang semakin ketat karena perdagangan bebas antar negara cenderung
menjadi bebas. Karena itu analisis keunggulan komparatif setiap komoditas pertanian
menjadi semakin penting untuk melihat kemungkinan apakah produksi komoditas di
dalam negeri dapat bertahan untuk memenuhi permintaan dalam negeri atau sebagai
substitusi impor atau untuk promosi ekspor. Untuk menjawab hal itu, Matriks Analisis
Kebijaksanaan (PAM) yang diusulkan oleh Monke dan Pearson (1989) dapat
memberikan kerangka analisis yang komprehensif.
Pada dasarnya analisis keunggulan komparatif berupaya mencari apakah harga-
harga input dan output yang berlaku terdistorsi oleh struktur pasar dan atau oleh
kebijaksanaan pemerintah berupa subsidi, pajak, kebijaksanaan harga dan sebagainya.
Untuk itu diperlukan penghitungan harga bayangan (shadow prices), yaitu harga yang
terjadi apabila semua distorsi tersebut tidak ada. Harga bayangan barang-barang yang
dapat diperdagangkan biasanya diperhitungkan dari harga batas (border price) berupa
FOB atau CIF ditambah dengan biaya transpor dan penanganan sampai titik tertentu,
misalnya sampai ke tingkat petani. Kalau harga bayangan ini berbeda dengan harga
yang berlaku (harga finansial) maka timbul pertanyaan distorsi mana yang membuat
perbedaaan itu.
Perbedaan antara harga finansial (harga privat) dan harga bayangan (harga
sosial) mungkin disebabkan oleh distorsi struktur pasar (seperti monopoli), tapi mungkin
pula karena distorsi berupa kebijaksanaan pemerintah atau kedua-duanya bekerja
4
bersama-sama. Karena itu pengaruh kebijaksanaan pemerintah (seperti subsidi, pajak,
kebijaksanaan harga, dll) terhadap harga perlu ditelaah, sedangkan struktur pasar dapat
dipelajari dengan pendekatan Structure, Conduct and Performance atau SCP (lihat
Cave, 1987; Dahl, 1977).
Struktur pasar (market structure) mempengaruhi perilaku pasar yang dapat
dipelajari dari market conduct (hubungan agregat antar semua pembeli dan/atau semua
penjual) dan market performance (kinerja atau hasil dari hubungan agregat tersebut).
Struktur pasar input yang oligopolis misalnya cenderung merugikan petani karena harga
pada struktur pasar tersebut cenderung lebih tinggi dari harga pada pasar bersaing
sempurna. Sebaliknya, struktur pasar output yang oligopsonis cenderung menekan
harga output yang juga merugikan produsen. Jika jumlah penjual relatif banyak dan
setiap penjual tidak dapat menciptakan keuntungan berlebihan (economic rent) maka
pasar tersebut cenderung bersaing dan ini berarti struktur pasar tidak merugikan petani.
Dalam keadaan demikian maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa struktur
pasar input atau output berpengaruh negatif terhadap produksi.
Metode Analisis
Analisis efisiensi finansial (keunggulan kompetitif) dan efisiensi ekonomi
(keunggulan komparatif) serta dampak perubahan kebijaksanaan pemerintah terhadap
sistem komoditas dalam tulisan ini dilakukan melalui Policy Analysis Matrix (PAM) yang
dikembangkan oleh Monkey and Person (1995). Dalam tulisan ini, PAM didasarkan
pada asumsi-asumsi sebagai berikut: (1) harga pasar yang berlaku dipergunakan untuk
analisis finansial; (2) harga bayangan yang dipandang mencerminkan kelangkaan
sumberdaya digunakan untuk analisis ekonomis; (3) output dapat diperdagangkan
(tradeable) dan input dapat dipisahkan ke dalam input yang dapat diperdagangkan dan
faktor domestik (domestic factor): eksternalitas positif dan negatif dianggap saling
meniadakan.
Pada dasarnya langkah perhitungan PAM terdiri dari empat tahap: (1) penentuan
masukan-keluaran fisik secara lengkap dari aktivitas ekonomi yang akan dianalisis; (2)
penaksiran harga bayangan (shadow price) dari masukan dan keluaran; (3) pemisahan
seluruh biaya kedalam komponen domestik dan asing, serta menghitung besarnya
penerimaan, dan (4) menghitung dan menganalisis berbagai indikator yang bisa
dihasilkan oleh PAM. Karena itu ada dua hal pokok yang perlu dijelaskan, yaitu
5
penaksiran harga bayangan dan pemisahan biaya kedalam komponen domestik dan
asing.
Untuk setiap keluaran dan masukan ditetapkan dua kelompok harga yaitu harga
riil di pasar dan harga bayangan. Harga bayangan merupakan harga yang terjadi dalam
keadaan persaingan sempurna dan keseimbangan (Harberger, 1972; Little dan Mirrlees,
1974; Squire dan van der Tak, 1975; Sugden dan Williams, 1978; United Nations, 1978;
Gittinger,1982; Schmid, 1989). Karena harga pasar sering tidak mencerminkan biaya
imbangan atau harga sosial maka penyesuaian perlu dilakukan untuk memperoleh
harga sosial.
Perhitungan harga bayangan dalam penelitian ini mengikuti penyesuaian seperti
yang dilakukan oleh Gittinger (1986). Harga bayangan secara umum ditentukan dengan
mengeluarkan distorsi akibat kegagalan pasar dan akibat kebijaksanaan pemerintah
(seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, kebijakan harga dan lain-lain). Dalam
penelitian ini untuk komoditas yang diperdagangkan akan didekati dengan harga batas
(border price). Untuk komoditas yang selama ini di ekspor digunakan harga f.o.b. (free
on board) dan untuk komoditi yang di impor digunakan harga c.i.f (cost insurance
freight). Selanjutnya dilakukan penyesuaian di tingkat mana analisis akan dilakukan.
Dalam PAM, input yang digunakan dalam proses produksi dipisahkan menjadi :
(a) tradable goods, dan (b) domestic factor (non tradable goods). Input kategori pertama
adalah input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional, sedangkan input
kategori kedua adalah input yang tidak dapat diperdagangkan di pasar internasional.
Menurut Kadariah et al. (1978) dalam Zulaiha (1997), yang disebut dengan tradable
goods adalah barang yang : (1) sekarang di ekspor atau diimpor; (2) bersifat pengganti
yang erat hubungannya dengan jenis lain yang di ekspor atau diimpor; (3) komoditi yang
dilindungi pemerintah tetapi sebenarnya dapat diperdagangkan secara internaional.
Menurut Pearson et.al. (1976) dalam Haryono (1991), ada dua pendekatan yang
digunakan untuk mengalokasikan biaya kedalam komponen domestik dan asing, yaitu
pendekatan total dan pendekatan langsung. Pendekatan total diasumsikan bahwa setiap
biaya input tradable produksi domestik dibagi kedalam komponen biaya domestik dan
asing. Pendekatan total lebih tepat digunakan apabila produsen lokal dilindungi
sehingga tambahan penawaran input tradable datang dari produksi lokal; jika
kemungkinan memproduksi input tradable tersebut memang ada. Pendekatan total lebih
sesuai digunakan dalam analisis dampak kebijaksanaan atau untuk memperkirakan
6
biaya ekonomi atau sosial dari struktur proteksi yang dilakukan pemerintah. Pendekatan
langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input tradable, baik diimpor maupun
produksi domestik, dinilai sebagai komponen biaya asing. Pendekatan ini dipergunakan
apabila tambahan permintaan input tradable baik barang yang diimpor maupun
produksi domestik dapat dipengaruhi oleh perdagangan internasional. Karena penelitian
ini ditujukan untuk menganalisis keunggulan kompetitif dan komparatif komoditas
bawang merah, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan langsung. Hal ini
dilandasi oleh beberapa argumen sebagai berikut: (1) analisis yang dilakukan adalah
analisis keunggulan kompetitif; (2) tidak adanya proteksi terhadap produsen domestik
baik produsen input maupun output; (3) kenyataan bahwa tambahan permintaan input
dan output hortikultura dapat dipenuhi dari perdagangan internasional.
Hasil analisis PAM akan memberikan informasi tentang profitabilitas daya saing
(keunggulan kompetitif), efisiensi ekonomi (keunggulan komparatif) suatu komoditas dan
dampak kebijaksanaan pemerintah terhadap sistem komoditi tersebut. Table PAM,
dapat disimak pada Tabel 1.
Tabel 1. Policy Analisys Matrix (PAM) yang digunakan untuk analisis
BiayaUraian Penerimaan Tradable
input costDomestic factor cost
Profit
Harga Privat A B C D
Harga Sosial E F G H
Dampak Struktur Pasar dan kebijaksanaan
I J K L
Keterangan: I = A – E; J = B – F; K = C – G; L = D – H.
Dari data pada tabel PAM di atas, kemudian dapat dianalisis dengan berbagai
indikator sebagai berikut : (1) Analisis Keuntungan atau Private Profitability (PP): D = A –
(B + C); (2) Analisis Keuntungan Sosial atau Social Profitability (SP): H = E – (F + G); (3)
Analisis Efisiensi Finansial (Keunggulan Kompetitif) dengan indikator Private Cost Ratio
Pada Tabel 4 terlihat bahwa tingkat efisiensi ekonomi pengusahaan bawang
merah di Brebes pada kedua musim relatif tinggi yang diperlihatkan oleh nilai DRC, yaitu
0,770 untuk MH dan 0,502 untuk MK. Besaran ini menunjukkan bahwa untuk
memperoleh nilai tambah satu satuan pada harga sosial hanya diperlukan kurang dari
satu-satuan penggunaan sumberdaya domestik. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa memproduksi bawang merah di Kabupaten Brebes lebih efisien daripada
mengimpor komoditas tersebut. Kesimpulan lain dari besaran tersebut adalah kunggulan
komparatif bawang merah pada MK lebih tinggi daripada MH. Hal ini terjadi karena
14
pengusahaan bawang merah di Brebes tidak dilakukan di lahan kering tetapi di sawah.
Pengusahaan bawang merah di sawah pada MK lebih baik jika dibandingkan dengan
pada MH karena kondisi pengairannya terjamin dan drainase dapat dilakukan dengan
baik dan serangan hama dan penyakit (terutama cendawan) lebih tinggi pada MH.
Seperti telah diungkapkan diatas, indikator private cost ratio (PCR dapat
digunakan untuk melihat keunggulan kompetitif suatu komoditas. Apabila PCR kurang
dari satu, maka dapat dikatakan bahwa usahatani komoditas tersebut secara finansial
memiliki keunggulan, karena untuk memperoleh satu satuan nilai tambah pada harga
yang berlaku diperlukan penggunaan sumberdaya domestik kurang dari satu satuan.
Seperti keunggulan komparatif, usahatani bawang merah di Brebes lebih mempunyai
keunggulan kompetitif pada MK (PCR=0,381) jika dibandingkan dengan pada MH
(PCR=0,518). Disamping alasan drainase yang lebih baik dan serangan penyakit yang
berkurang pada MK, keunggulan komparatif bawang merah yang lebih baik pada MK
juga disebabkan karena harga pupuk khususnya harga pupuk urea pada MH lebih tinggi
sebagai akibat dari karena permintaan yang meningkat pada MH.
DAMPAK STRUKTUR PASAR DAN KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH
Perbedaan antara keuntungan finansial dan sosial terjadi karena pengaruh
struktur pasar atau pengaruh kebijaksanaan pemerintah atau kombinasi antara
keduanya. Tetapi perlu diingat bahwa kebijaksanaan pemerintah berupa subsisdi input
yang pernah ada telah ditiadakan sejak awal 1989, sedangkan kebijaksanaan
pemerintah yang berkenaan dengan harga bawang merah selama ini juga belum pernah
ada. Kebijaksanaan pemerintah yang masih berlaku sampai saat ini adalah pajak
pertambahan nilai untuk barang-barang impor termasuk pupuk dan pestisida yang
diimpor. Karena itu kalau keuntungan finansial berbeda dengan keuntungan sosial,
perbedaan itu lebih disebabkan kebijaksanaan pemerintah tersebut dan oleh struktur
pasar. Struktur pasar yang tidak bersaing sempurna (seperti oligopoli atau monopsoni)
dan pasar yang tersegmentasi misalnya dapat menimbulkan perbedaan antara
keuntungan finansial dan keuntungan sosial.
Dalam PAM, dampak struktur pasar dan kebijaksanaan pemerintah dapat
dinyatakan dalam bentuk selisih atau rasio antara nilai finansial dan nilai sosial. Kriteria
yang berbentuk selisih dinyatakan sebagai transfer output, transfer input, transfer faktor
dan transfer bersih. Kriteria yang berbentuk rasio dinyatakan dalam bentuk proteksi
15
output nominal atau nominal protection coefficient on output (NPCO), proteksi input
nominal atau nominal protection coefficient on input (NPCI), proteksi efektif atau effectif
protection coefficient (EPC), koefisien profitabilitas atau profitability coeficient (PC) dan
rasio subsidi bagi produsen atau subsidy ratio to producers (SRP). Uraian berikut ini
ditujukan untuk menerangkan semua parameter tersebut.
Sejalan dengan waktu, kebijaksanaan pemerintah terutama yang berkaitan
dengan pengurangan subsidi pupuk dan deregulasi sistem distribusi pupuk mengalami
perubahan. Pada masa krisis ketika defisit anggaran pemerintah semakin meningkat,
pemerintah di satu sisi mengurangi subsidi input pertanian dan di sisi lain meningkatkan
penerimaan dari sektor pajak. Namun demikian, pada akhir-akhir tahun 2001 ada
beberapa kebijakan yang berhubungan dengan input, yaitu regulasi pada sistem
distribusi pupuk, setelah terjadi kelangkaan pupuk di beberapa daerah, sehingga
keragaan usaha tani bawang menjadi membaik, terutama pada daerah-daerah terpencil.
Dampak distorsi struktur pasar dan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan
dengan input dapat diukur dengan menggunakan beberapa parameter seperti Koefisien
Proteksi Input Nominal (NPCI), Transfer Input (IT), Transfer Factor (FT). Besaran NPCI
dan IT biasanya digunakan untuk melihat input tradable, sedangkan FT untuk input
domestik atau non tradable. Koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah selisih
antara nilai finansial dan nilai sosial semua input tradable, sedangkan input transfer (IT)
adalah rasio antara keduanya. Transfer faktor (FT) juga merupakan selisih antara nilai
finansial dan nilai sosial semua faktor domestik.
Hasil analisis memperlihatkan nilai koefisien proteksi nominal terhadap input
(NPCI) untuk kedua musim lebih besar dari satu, yaitu 1,53 untuk MH dan 1,78 untuk
MK. Ini menunjukkan bahwa struktur pasar input tradable secara umum tidak
menguntungkan usahatani bawang merah karena harga finansial lebih tinggi dari harga
sosial input tradable. Akibatnya petani harus membayar input tradable lebih tinggi dari
harga banyangannya (social price). Secara absolut petani harus membayar harga input
tradable lebih tinggi dari harga sosialnya sebesar Rp 2,95 juta pada MH dan Rp 4,32
juta pada MK per hektar.
16
Tabel 4. Koefisien Policy Analysis Matrix (PAM) Usahatani Bawang Merah di Brebes
Uraian MH 2000/2001 MK2001
1. Transfer Output (Rp.000)
2. Transfer Input (Rp.000)
3. Transfer Faktor (Rp.000)
4. Transfer Bersih (Rp.000)
5. Nisbah Biaya Privat (PCR)
6. Nisbah Biaya Sumberdaya Domestik (DRC)
7. Koefisien Proteksi Nominal (NPC)
a. Terhadap Output (NPCO)
b. Terhadap Input (NPCI)
8. Koefisien Proteksi Efektif (EPC)
9. Koefisien Keuntungan (PC)
10.Nisbah Subsisdi untuk Produsen (SRP)
9.904
2.949
265
6.690
0,518
0,770
1,528
1,535
1,077
3,202
0,357
10.127
4.319
389
5.420
0,381
0,502
1,492
1,777
1,386
1,724
0,263
Perbedaan nilai finansial dan nilai sosial dari faktor domestik yang disebut
sebagai transfer faktor (FT) relatif kecil, yaitu Rp 265 ribu pada MH dan dan Rp 389 ribu
pada MK (lihat Tabel 4). Perbedaan antara nilai finansial dan nilai sosial ini terjadi hanya
karena bunga modal kerja dianggap sebagi faktor domestik sedangkan tingkat suku
bunga finansial berbeda dengan tingkat suku bunga sosial, yaitu 27 persen per tahun
untuk suku bunga finansial dan sekitar 20 persen untuk suku bunga sosial.
Dampak struktur pasar (dan kebijaksanaan pemerintah) yang berkaitan dengan
output dapat diukur dengan menggunakan beberapa parameter seperti Transfer Output
(OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Output Transfer (OT) adalah
selisih antara nilai finansial dan nilai sosial output, sedangkan) Koefisien proteksi output
nominal (NPCO) adalah rasio antara keduanya. Tabel 4 memperlihatkan bahwa nilai OT
adalah Rp. 9,9 juta pada MH dan Rp.10,1 juta pada MK. Karena nilai OT tersebut positif
maka nilai NPCO bernilai lebih besar dari satu, yaitu 1,53 pada MH dan 1,49 pada MK
(Tabel 4). Ini berarti masih ada kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan harga
output yang berlaku lebih besar dari harga bayangannya. Kendatipun pemerintah
mendorong untuk melakukan eskpor non migas, namun pemerintah belum
menghilangkan subsidi negatifnya sampai betul-betul nol (seperti pajak pertambahan
nilai terhadap barang impor, pajak usaha peti kemas dll) yang pada gilirannya
17
memproteksi sistem komoditas bawang merah. Dari sisi petani sebagai produsen hal ini
menguntungkan, namun dari sisi konsumen terjadi sebaliknya.
Diatas telah dikemukakan bahwa struktur pasar dan kebijaksanaan pemerintah
tidak menguntungkan petani bawang merah di Brebes dalam hal input tetapi
menguntungkan dari segi output. Untuk melihat apakah struktur pasar dan
kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan input dan output secara simultan
menguntungkan atau tidak menguntungkan produksi bawang merah di Brebes,
diperlukan kriteria koefisien proteksi efektif (EPC), transfer bersih (NT), koefisien
keuntungan (PC), dan nisbah subsisdi untuk produsen (SRP).
Transfer bersih (NT) adalah selisih antara keuntungan pada harga finansial dan
keuntungan pada harga sosial, sedangkan koefisien keuntungan adalah rasio yang
disebut pertama terhadap yang kedua. Tabel 4 meperlihatkan bahwa nilai transfer bersih
(NT) adalah Rp 6,690 untuk MH dan Rp 5,420 untuk MK. Karena nilai NT untuk kedua
musim adalah positif maka niali PC lebih besar dari satu, yaitu 3,20 untuk MH dan 1,72
untuk MK. Kesemuanya ini berarti bahwa struktur pasar dan kebijaksanaan pemerintah
yang berkaitan dengan input dan output secara simultan menguntungkan produsen
bawang merah di Brebes. Hal ini diperkuat pula oleh nilai EPC yang lebih besar dari
satu (yaitu 1,077 untuk MH dan 1,386 untuk MK) yang berarti nilai tambah dalam harga
finansial masih lebih tinggi daripada nilai tambah pada harga sosial. Lebih jauh hal ini
dipertegas lagi oleh nilai rasio subsidi bagi produsen (SRP) yang relatif besar, yaitu
0,357 untuk MH dan 0,263 untuk MK.
KESIMPULAN DAN SARAN
Struktur pasar input bahan (material inputs) seperti pupuk dan pestisida serta
pasar bawang merah terlihat mendekati pasar sempurna dengan pengertian bahwa
jumlah pedagang input tersebut cukup banyak pada setiap tingkatan pemasaran sampai
ke tingkat desa. Ini berarti bahwa kalau terjadi distorsi maka distorsi tersebut lebih
banyak bersumber dari kebijaksanaan pemerintah (lihat kesimpulan 2 dan 3).
Adanya distorsi pada pasar input tradable terlihat dari koefisien proteksi nominal
terhadap input (NPCI) yang nilainya lebih besar dari satu, yaitu 1,53 untuk MH dan 1,78
untuk MK. Ini menunjukkan bahwa pasar input tradable secara umum tidak
menguntungkan usahatani bawang merah karena harga finansial lebih tinggi dari harga
sosial input tradable. Distorsi ini muncul karena pemerintah belum menghilangkan
18
subsidi negatifnya (seperti pajak pertambahan nilai terhadap barang impor, pajak usaha
peti kemas dll). Akibatnya petani harus membayar input tradable lebih tinggi dari harga
bayangannya (social price). Secara absolut petani harus membayar harga input tradable
lebih tinggi dari harga sosialnya sebesar Rp 2,95 juta pada MH dan Rp 4,32 juta pada
MK per hektar, yang pada gilirannya memproteksi sistem komoditas bawang merah.
Adanya distorsi pada pasar bawang merah terlihat dari koefisien proteksi output
nominal (NPCO) yang nilainya juga lebih besar dari satu, yaitu 1,53 pada MH dan 1,49
pada MK. Seperti pada pasar input tradable, hal ini disebabkan karena pemerintah
belum menghilangkan subsidi negatifnya seperti pajak pertambahan nilai terhadap impor
bawang merah, pajak usaha peti kemas dan lain-lain yang pada gilirannya memproteksi
sistem komoditas bawang merah. Perlu diingat bahwa Indoensia masih merupakan net
importer bawang merah. Proteksi tersebut menguntungkan bagi petani tatapi dari sisi
konsumen terjadi sebaliknya.
Pendapatan bersih privat dan sosial usahatani bawang merah relatif tinggi tetapi
dengan biaya yang juga relatif tinggi. Pendapatan bersih privat yang relatif tinggi
tersebut menunjukkan bahwa bawang merah mempunyai keunggulan kompetitif dengan
nilai koefisien efisiensi finansial (PCR) yang jauh dibawah satu, yaitu 0,518 untuk MH
dan 0,381 untuk MK.
Meskipun pendapatan bersih sosial lebih kecil dari pendapatan bersih privat
(finansial), namun pendapatan bersih sosial masih relatif tinggi. Ini menunjukkan bahwa
produksi bawang merah di Brebes masih menguntungkan jika liberalisasi perdagangan
diberlakukan. Bahwa bawang merah di Brebes mempunyai keunggulan komparatif
terlihat dari koefisiensi ekonomis (DRC) yang nilainya adalah 0,770 untuk MH dan
0,502 untuk MK.
Mengingat adanya kesadaran akan produk yang tidak saja bergizi tetapi
juga aman dikonsumsi, maka penerapan teknologi yang ramah lingkungan perlu
diterapkan, terutama teknologi budidaya dengan pupuk organik dengan
manajemen pengendalian hama terpadu dengan memanfaatkan musuh alami.
Penggunaan pestisida hanya dilakukan apabila serangan melampau ambang
ekonomi, namun karena serangan hama dan penyakit sering terjadi secara tiba-
tiba, maka peningkatan pemahaman tentang perilaku hama dan penyakit perlu
19
ditingkatkan melalui pendidikan Sekolah Lapang Pengendalian Hama dan
Penyakit Secara Terpadu (SLPHT).
DAFTAR PUSTAKA
Cave, R., 1987. American Industry: Structure, Conduct, Performance. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
Dahl, D. C., 1977. Market and Price Analysis: The Agricultural Industries. McGraw-Hill.
Gittinger, J.P. 1982. Economic Analysis of Agricultural Projects. The Johns Hopkins University Press, Baltimore dan London, dan UI Press, Jakarta.
Gittinger, J.P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian (Terjemahan). Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Hadi, P.U., H. Mayrowani, Supriati, dan Sumedi, 2000. Review dan Outlook. Pengembangan Komoditas Hortikultura. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2000 ke Depan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Harberger, A.C. 1972. Project Evaluation. The University of Chicago Press, Chicago.
Haryono, Dwi. 1991. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijaksanaan Pada Produksi Kedelai, Jagung dan Ubikayu di Propinsi Lampung. Tesis Magister Sains. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, bogor.
Kadariah, Lien Karlina dan Clive Gray. (1978). Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Little I.M.D. dan J.A. Mirrlees, 1974. Project Appraisal and Planning for Developing Countries. Oxford & IBH Publishing Co. New Delhi-Bombay-Calcutta.
Mishan, E.J., 1977. Cost-Benefit Analysis. George Allen & Unwin Ltd. London.
Monkey, E.A. dan S.R. Pearson, 1995. Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press. Ithaca dan London.
Schmid, A.A. 1989. Benefit-Cost Analysis: A Political Economy Approach. Westview Press, Boulder, San Francisco, & London.
Squire, L.S. dan van der Tak H.G., 1975. Economic Analysis of Projects. Published for the World Bank by The Johns Hopkins University Press, Baltomore dan London.
Sugden, R. dan A. Williams, 1978. The Principles of Practical Cost-Benefit Analysis. Oxford University Press. Oxford, New York, Toronto.
20
United Nations, 1978. Guide to Practical Project Appraisal: Sosial Benefit-Cost Analysis in Developing Countries. United Nations, New York.
Zulaiha, A.R. (1997). Efisiensi Finansial, Efisiensi Ekonomi dan Pengaruh Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Teh Hijau di Jawa Barat dengan Pendekatan Policy Analysis Matrix. Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
21
Tabel Lampiran 1: Input-output Usahatani Bawang (per hektar) di Kabupaten Brebesdan Simalungun, MH 2000/2001 dan MK 2001