ICASERD WORKING PAPER No. 13 DAYA SAING USAHATANI JAGUNG DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS Masdjidin Siregar dan Sumaryanto September 2003 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
22
Embed
ICASERD WORKING PAPER No. 13 - pse.litbang.pertanian.go.id · Tujuan utama makalah ini adalah untuk ... dan biaya sumberdaya domestik ... saing usahatani jagung yang tinggi ini juga
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ICASERD WORKING PAPER No. 13
DAYA SAING USAHATANI JAGUNG DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS
Masdjidin Siregar dan Sumaryanto
September 2003
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 13
DAYA SAING USAHATANI JAGUNG DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS
Masdjidin Siregar dan Sumaryanto
September 2003
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Agus Suwito, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mai : [email protected]
No. Dok.023/13/1/03
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
1
DAYA SAING USAHATANI JAGUNG DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS
Masdjidin Siregar dan Sumaryanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl A. Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRACT
The major objective of this paper is to analyze the competitiveness of maize production using the data collected from 480 maize farmers in Brantas River Basin. The values of nominal protection coefficient on input (NPCI) and nominal protection coefficient on output (NPCO) indicates that farmers pay more than the shadow prices for tradable inputs and receive less than the shadow price for maize. Nevertheless, maize production in this region has a relatively high competitive advantage and comparative advantage which are shown respectively by the values of Private Cost Ratio (PCR) and domestic resource costs (DRC); both are noticeably lower than one. This conclusion is also supported by the results of break even analysis indicating that maize production in this region remains competitive even if its productivity declines 26-27 percent, or the border price of maize (CIF) decreases 31 percent, or the exchange rate of US dollar to domestic currency decreases 55 percent, ceteris paribus. To improve the competitiveness of maize, it seems that the improvement in seed distribution system, the use of hybrid maize, and elimination of all trade barriers are more feasible to implement than imposing such trade policies as tariff and non tariff barriers.
Key words : competitive advantage, international trade, and efficiency.
ABSTRAK
Tujuan utama makalah ini adalah untuk menganalisis keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif komoditas jagung dengan menggunakan data yang diperoleh dari 480 petani jagung di Daerah Aliran Sungai Brantas. Nilai koefisien proteksi nominal terhadap input (NPCI) dan nilai proteksi nominal terhadap output (NPCO) menunjukkan bahwa petani jagung membayar input tradable lebih mahal dari harga bayangannya dan memperoleh harga jagung yang lebih rendah dari harga bayangannya. Meskipun tanpa proteksi, usahatani jagung di DAS Brantas memiliki daya saing relatif tinggi. Hal ini diperlihatkan oleh nilai rasio biaya finansial (PCR) dan biaya sumberdaya domestik (DRC) yang masing-masing lebih kecil dari satu. Daya saing usahatani jagung yang tinggi ini juga terlihat dari hasil analisis titik impas yang menunjukkan bahwa usahatani jagung di daerah ini masih mempunyai daya saing meskipun produktivitas turun sampai 26-27 persen, atau harga jagung perbatasan (CIF) turun 31 percen, atau nilai tukar dolar terhadap rupiah turun 55 persen, ceteris paribus. Untuk meningkatkan daya saing komoditas jagung maka perbaikan sistem perbenihan, perluasan penggunaan jagung hibrida, dan penghapusan hambatan-hambatan perdagangan nampaknya merupakan langkah yang lebih mungkin dilakukan untuk meningkatkan daya saing komoditas jagung dari pada menciptakan kebijakan perdagangan dalam bentuk hambatan tarif dan non-tarif.
Kata kunci : keunggulan kompetitif, perdagangan internasional, dan efisiensi.
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung merupakan salah satu tanaman pangan utama disamping padi dan
kedelai. Bahwa jagung merupakan tanaman pangan kedua setelah padi tidak hanya
terlihat dari segi luas dan produksinya, tetapi juga dari segi pertumbuhan produksinya
yang ternyata tertinggi diantara ketiga tanaman pangan tersebut. Pertumbuhan luas
panen dan produksi jagung yang tinggi tersebut disebabkan karena kebutuhan terhadap
jagung terus meningkat dan teknologi produksi yang relatif maju terutama dalam
penggunaan jagung hibrida (Simatupang, 2002).
Menurut Kasryno (2002), peningkatan kebutuhan terhadap jagung terutama
berasal dari industri pakan ternak yang dalam periode 1982-2001 tumbuh dengan laju 8
persen per tahun. Pertumbuhan ayam ras dan petelor dalam periode tersebut berturut-
turut adalah 13 persen dan 5,5 persen per tahun Sebelum tahun 1976 Indonesia
mengekspor lebih banyak dari mengimpor jagung (net exporter), tetapi kemudian
menjadi net importer jagung sejak tahun 1977 sampai sekarang. Net import jagung
semakin besar dari tahun ke tahun karena perkembangan indusrtri pakan yang pesat
terutama sejak tahun 1990.
Pemerintah Indonesia pada saat ini tidak melakukan intervensi dalam bentuk
hambatan tarif atau kuota terhadap komoditas jagung sehingga dapat dikatakan bahwa
komoditas jagung diperdagangkan secara bebas. Perdagangan bebas dapat
menimbulkan masalah kalau komoditas jagung Indonesia tidak mampu bersaing di
pasar dunia. Secara teoritis, keunggulan kompetitif suatu komoditas merupakan
resultante dari berbagai faktor termasuk (i) keadaan pasar jagung dunia, (ii) struktur,
perilaku, dan keragaan pasar jagung dalam negeri, dan (iii) kebijakan pemerintah. Atas
dasar pertimbangan bahwa keberhasilan pengembangan komoditas di suatu wilayah
antara lain tergantung pada keberhasilan dalam mempertimbangkan faktor-faktor
tersebut, maka seperangkat data dan informasi dari hasil penelitian dibutuhkan untuk
kebijakan pengembangan komoditas jagung Indonesia.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama makalah ini adalah untuk mengestimasi efisiensi teknis yang
dapat dicapai termasuk bagaimana sebaran tingkat efisiensi diantara petani jagung di
DAS Brantas. Sebelum membahas tujuan tersebut, makalah ini menyajikan deskripsi
3
usahatani jagung di lokasi penelitian petani. Deskripsi tersebut mencakup penguasaan
lahan, pola tanam, penggunaan input, serta biaya dan penerimaan produksi jagung.
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Untuk waktu mendatang, setiap komoditas pertanian akan menghadapi
persaingan yang semakin ketat karena perdagangan antar negara cenderung menjadi
semakin bebas. Karena itu analisis keunggulan komparatif setiap komoditas pertanian
menjadi semakin penting untuk melihat kemungkinan apakah produksi komoditas di
dalam negeri dapat bertahan untuk memenuhi permintaan dalam negeri atau sebagai
substitusi impor atau untuk promosi ekspor. Untuk menjawab hal itu, Matriks Analisis
Kebijakan (PAM) yang diusulkan oleh Monke dan Pearson (1989) dapat memberikan
kerangka analisis yang komprehensif.
Pada dasarnya analisis keunggulan komparatif berupaya mencari apakah
harga-harga input dan output yang berlaku terdistorsi oleh struktur pasar dan atau oleh
kebijakan pemerintah berupa subsidi, pajak, kebijakan harga dan sebagainya. Untuk itu
diperlukan estimasi harga bayangan (shadow prices), yaitu harga yang terjadi apabila
semua distorsi tersebut tidak ada. Harga bayangan barang-barang yang dapat
diperdagangkan biasanya diperhitungkan dari harga batas (border price) berupa FOB
atau CIF ditambah dengan biaya transpor dan penanganan sampai titik tertentu,
misalnya sampai ke tingkat petani. Kalau harga bayangan ini berbeda dengan harga
yang berlaku (harga finansial) maka timbul pertanyaan tentang distorsi mana yang
membuat perbedaaan itu.
Perbedaan antara harga finansial (harga privat) dan harga bayangan (harga
sosial) mungkin disebabkan oleh distorsi struktur pasar (seperti monopoli), tapi mungkin
pula disebabkan oleh kebijakan pemerintah atau kedua-duanya bekerja bersama-sama.
Karena itu pengaruh kebijakan pemerintah (seperti subsidi, pajak, kebijakan harga, dll)
terhadap harga perlu ditelaah, sedangkan struktur pasar dapat ditelaah melalui
pendekatan Structure, Conduct dan Performance atau SCP (lihat Cave, 1987; Dahl,
1977).
Struktur pasar (market structure) dapat dipelajari dari perilaku pasar (market
conduct) dan kinerja pasar (market performance). Perilaku pasar adalah hubungan
agregat antar semua pembeli dan atau semua penjual, sedangkan kinerja pasar adalah
4
hasil dari hubungan agregat tersebut. Struktur pasar input yang oligopolis misalnya
cenderung merugikan petani karena harga pada struktur pasar tersebut cenderung lebih
tinggi dari harga pada pasar bersaing sempurna. Jika jumlah penjual relatif banyak dan
setiap penjual tidak dapat menciptakan keuntungan berlebihan (economic rent) maka
pasar tersebut dapat dikatakan bersaing sempurna dan ini berarti struktur pasar tersebut
tidak merugikan petani. Dengan analogi serupa, struktur pasar output yang oligopsonis
juga cenderung menekan harga output yang merugikan produsen.
Struktur pasar input bahan (material inputs) seperti pupuk dan pestisida serta
struktur pasar jagung terlihat mendekati pasar sempurna dengan pengertian bahwa
jumlah pedagang input dan output tersebut cukup banyak pada setiap tingkatan
pemasaran sampai ke tingkat desa. Ini berarti bahwa kalau terjadi distorsi maka distorsi
tersebut lebih banyak bersumber dari kebijakan pemerintah, misalnya dalam bentuk
pajak pertambahan nilai.
Metode Analisis
Analisis efisiensi finansial (keunggulan kompetitif) dan efisiensi ekonomis
(keunggulan komparatif) serta dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap
sistem komoditas dalam tulisan ini dilakukan melalui kerangka kerja Matrik Analisis
Kebijakan (PAM) yang dikembangkan oleh Monkey and Pearson (1995). Dalam tulisan
ini, PAM didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut: (1) Harga pasar yang berlaku
dipergunakan untuk analisis finansial; (2) harga bayangan yang dipandang
mencerminkan kelangkaan sumberdaya digunakan untuk analisis ekonomis; (3) input
yang dapat diperdagangkan (tradable) dapat didekomposisikan menjadi input tradable
dan faktor domestik (domestic factors); dan (4) eksternalitas positif dan negatif dianggap
saling meniadakan.
Penyusunan PAM dilakukan melalui empat langkah: (i) mengumpulkan data
lengkap tentang input dan output; (ii) mengestimasi harga bayangan (shadow prices)
input dan output; (iii) memisahkan biaya-biaya ke dalam komponen domestik and
tradable; and dan (iv) menghitung serta menganalisis semua indikator dalam PAM.
Karena itu, pemisahan semua biaya kedalam komponen domestik dan Tradable serta
pengestimasian harga bayangan perlu dibahas lebih lanjut.
Ada dua pendekatan dalam pengalokasikan biaya ke dalam komponen asing
dan domestik, yaitu pendekatan total dan pendekatan langsung (Pearson et al., 1976).
5
Di dalam pendekatan total, setiap biaya input dipecah menjadi biaya asing dan
domestik, sedangkan di dalam pendekatan langsung, semua input tradable (yang
diimpor atau domestik) dipandang sebagai komponen biaya asing. Pendekatan total
lebih tepat digunakan untuk mengevaluasi dampak ekonomi dari kebijakan proteksi yang
diberikan pemerintah, sedangkan pendekatan langsung dipergunakan jika harga-harga
input tradable dipengaruhi oleh perdagangan internasional. Karena itu untuk tulisan ini
dipergunakan pendekatan langsung terutama karena proteksi terhadap input dan output
relatif kecil.
Untuk setiap keluaran dan masukan ditetapkan dua kelompok harga yaitu
harga riil di pasar dan harga bayangan. Harga bayangan merupakan harga yang terjadi
dalam keadaan persaingan sempurna dan keseimbangan (Harberger, 1972; Little dan
Mirrlees, 1974; Squire dan Van Der Tak, 1975; Sugden dan Williams, 1978;
Gittinger,1982; Schmid, 1989). Karena harga pasar sering tidak mencerminkan biaya
imbangan atau harga sosial maka penyesuaian perlu dilakukan untuk memperoleh
harga sosial.
Perhitungan harga bayangan dalam penelitian ini mengikuti penyesuaian
seperti yang dilakukan oleh Gittinger (1986). Harga bayangan secara umum ditentukan
dengan mengeluarkan distorsi akibat kegagalan pasar dan akibat kebijakan pemerintah
(seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, kebijakan harga dan lain-lain). Dalam
penelitian ini, harga bayangan komoditas yang diperdagangkan didekati dengan harga
batas (border price). Untuk komoditas yang selama ini di ekspor digunakan harga f.o.b.
(free on board) dan untuk komoditi yang di impor digunakan harga c.i.f (cost insurance
and freight). Selanjutnya dilakukan penyesuaian di tingkat mana analisis dilakukan
dengan meperhitungkan biaya transpor, penanganan dan pengolahan.
Harga bayangan tradable goods pada umumnya dapat ditarik dari harga-
harga batas (border prices) dengan memperhitungkan semua biaya pengangkutan,
pananganan dan pengolahan serta meniadakan semua distorsi sebagai akibat dari
kebijakan pemerintah (seperti pajak, subsisdi, dan kebijakan harga). Di dalam kerangka
kerja PAM, setiap input dapat dikelompokkan ke dalam barang yang dapat
diperdagangkan (tradable goods) dan faktor domestik (non-tradable goods). Tradable
goods adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan di pasar internasional,
sedangkan faktor domestik tidak dapat diperdagangkan di pasar internasional. Menurut
Kadariah (1978) dalam Zulaiha (1997), yang disebut dengan Tradable goods adalah
6
barang yang: (i) barang-barang yang diimpor atau diekspor; (ii) semua subsitusi barang-
barang yang diimpor atau diekspor; (iii) semua barang yang dilindungi tetapi
kenyataannya dapat diperdagangkan di pasar internasional.
Harga bayangan beberapa faktor produksi domestik seperti lahan dan tenaga
kerja dalam tulisan ini dianggap sama dengan harga yang berlaku (harga finansial)
karena tidak ada kebijakan pemerintah yang mendistorsi pasar dan pasar faktor
produksi lahan dan tenaga kerja dipandang cukup bersaing sempurna. Harga bayangan
komoditas jagung ditarik dari harga FOB menjadi harga CIF, kemudian dikonversikan ke
rupiah, ditambah dengan bea masuk, biaya prosesing, biaya penanganan dan transpot
sampai ke tingkat petani.
Harga bayangan pupuk ditarik dari harga batas (FOB atau CIF). Meskipun
sibsidi pupuk dan pestisida masing-masing telah dihapuskan pada Desember 1998 dan
Januari 1999, namun harga bayangan pupuk TSP, SP-36, KCL dan ZA masih lebih
rendah dari harga finansialnya, hal ini menunjukkan masih ada ruang untuk
memperbaiki effisiensi pemasaran pupuk-pupuk tersebut. Pemasaran pupuk urea
nampaknya sudah lebih efisien karena harga bayangan urea mendekati harga yang
berlaku.
Jasa traktor dan pompa irigasi dirinci menjadi beberapa komponen, yaitu
komponen traktor/pompa, bahan bakar, pelumas dan suku cadang (sebagai komponen
tradable) dan tenaga mekanik dan operator (sebagai komponen domestik). Harga
bayangan traktor/pompa per hektar diestimasi melalui capital recovery factor yang
ditarik dari harga FOB.
Semua benih, pupuk dan pestisida dianggap sebagai komponen trabable,
sedangkan lahan dan tenaga kerja dipandang sebagi komponen domestik. Modal kerja
juga dipandang sebagai komponen domestik dengan suku bunga finansial sebesar 25
persen per tahun dan suku bunga bayangan (shadow interest rate) sebesar 20 persen
per tahun.
Tabel 1. Policy Analisys Matrix (PAM) yang Digunakan Untuk Analisis
BiayaUraian
Penerimaankotor
(Gross Returns)Input
tradableFaktor
domestik
Penerimaanbersih
(Profits)Harga Privat A B C DHarga Sosial E F G HPerbedaan I J K L
Keterangan: I = A – E; J = B – F; K = C – G; L = D – H.
7
Matrik Analysis Kebijakan (Tabel 1) dapat memberikan informasi tentang
profitabilitas, daya saing (keunggulan kompetitif), efisiensi ekonomi (keunggulan
komparatif) suatu komoditas serta dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem
komoditi tersebut. Dari informasi pada tabel PAM di atas berbagai indikator dapat
dianalisis sebagai berikut : (1) Analisis Keuntungan atau Private Profitability (PP): D = A
– (B + C); (2) Analisis Keuntungan Sosial atau Social Profitability (SP): H = E – (F + G);
(3) Analisis Efisiensi Finansial (Keunggulan Kompetitif) dengan indikator Private Cost
Karena usahatani jagung di DAS Brantas memiliki kemampuan daya saing
yang cukup tinggi maka pertanyaan berikutnya adalah pada tingkat produktivitas
terendah manakah jagung di daerah ini masih mempunyai daya saing. Titik impas
produktivitas terendah tidak lain dari hasil bagi antara biaya total dengan harga seperti
dinyatakan pada persamaan (7) diatas. Dengan mengestimasi persaman itu diperoleh
bahwa titik impas produktivitas jagung adalah sekitar 4,2-4,3 ton per hektar (Tabel 6). Ini
berarti bahwa kalau faktor-faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus) maka jagung
masih dapat bersaing meskipun produktivitas jagung di DAS Brantas turun sekitar 26-27
persen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Bahwa kebijakan pemerintah tidak memihak kepada petani jagung di DAS
Brantas terlihat dari koefisien proteksi efektif (EPC) yang berada sekitar 0,80 - 0,82;
artinya nisbah (ratio) nilai tambah finansial terhadap nilai tambah sosial kurang dari satu.
Temuan ini dipertegas oleh nilai proteksi nominal terhadap input (NPCI) dan terhadap
output (NPCO). Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (1,05-1,06) menunjukkan bahwa
kebijakan pemerintah terhadap input tradable secara umum masih belum
menguntungkan petani dan akibatnya petani jagung harus membayar input tradable
lebih tinggi Rp.54-Rp.56 ribu dari harga bayangannya untuk setiap hektar. Dari segi
harga output, pemerintah juga tidak memberikan proteksi kepada komoditas jagung
karena nilai proteksi nominal terhadap output (NPCO) ternyata kurang dari satu, yaitu
0,85 - 0,86. Ini berarti bahwa petani menerima harga jagung 14-15 persen lebih rendah
dari harga bayangannya.
18
Meskipun pemerintah tidak melakukan proteksi terhadap komoditas jagung,
usahatani jagung di DAS Brantas relatif menguntungkan ketiga status petani. Petani
pemilik penggarap, petani penyewa, dan petani pengelola berturut-turut memperoleh
pendapatan bersih sekitar Rp 2,5 juta, Rp 1,9 juta dan Rp1 ,3 juta per hektar pada MT-II
atau MT-III. Karena rataan luas garapan hanya sekitar 0,4 hektar maka tingkat
penerimaan bersih per rumah tangga petani jagung pada masing-masing musim hanya
Rp 1,0 juta untuk petani pemilik penggarap, Rp. 760 ribu untuk petani penyewa dan
Rp.520 ribu untuk petani pengelola. Informasi ini menunjukkan bahwa untuk
meningkatkan pendapatan keluarga petani diperlukan perluasan rataan luas garapan.
Perluasan tanaman jagung di luar Jawa nampaknya merupakan keharusan.
Meskipun pendapatan bersih usahatani jagung per keluarga petani relatif kecil
karena rataan luas garapan yang kecil, usahatani jagung di DAS Brantas memiliki daya
saing yang dapat diandalkan. Bahwa komoditas jagung di daerah ini memiliki
keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif terlihat dari nilai PCR dan nilai DRC
yang berturut-turut adalah 0,66 dan 0,52 untuk kedua musim. Ini berarti bahwa untuk
menghasilkan satu satuan nilai tambah diperlukan kurang dari satu satuan biaya faktor
domestik (baik dengan mempergunakan harga-harga privat atau dengan harga-harga
sosial). Daya saing jagung dapat ditingkatkan kalau sistem perbenihan jagung dan
penggunaan varietas jagung hibrida terus dikembangkan.
Dari analisis titik impas diperoleh bahwa usahatani jagung di DAS Brantas masih
dapat bersaing meskipun harga jagung internasional (CIF) turun sampai US $ 75 / ton,
ceteris paribus, atau sekitar 31 persen dibawah harga CIF pada waktu penelitian ini
dilakukan. Usahatani jagung di DAS Brantas juga masih dapat bersaing kalau nilai tukar
dolar terhadap rupiah turun paling banyak sekitar 55 persen dari Rp.8500/US$, ceteris
paribus, atau kalau produktivitas turun paling banyak 26-27 persen (dari 5,6-5,8 ton/ha
menjadi 4,2-4,3 ton per hektar), ceteris paribus.
DAFTAR PUSTAKA
Cave, R., 1987. American Industry: Structure, Conduct, Performance. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
Dahl, D. C., 1977. Market and Price Analysis: The Agricultural Industries. McGraw-Hill.
19
Gittinger, J.P. 1982. Economic Analysis of Agricultural Projects. The Johns Hopkins University Press, Baltimore dan London, dan UI Press, Jakarta.
Gittinger, J.P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian (Terjemahan). Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Gonzales, Leonardo A., Faisal Kasryno, Nocostrato D. Perez, dan Mark W. Rosegrant, 1993. Economic Incentives and Comparative Advantage in Indonesian Food Crop Production. Research Report, International Food Policy Research Institute, Washington D.C.
Harberger, A.C. 1972. Project Evaluation. The University of Chicago Press, Chicago.
Kadariah, Lien Karlina dan Clive Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Kasryno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia Selama Empat Dekade Yang Lalu dan Implikasinya Bagi Indonesia. Makalah pada Diskusi Agribisnis Jagung. Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Little I.M.D. dan J.A. Mirrlees, 1974. Project Appraisal and Planning for Developing Countries. Oxford & IBH Publishing Co. New Delhi-Bombay-Calcutta.
Mishan, E.J., 1977. Cost-Benefit Analysis. George Allen & Unwin Ltd. London.
Monkey, E.A. dan S.R. Pearson, 1995. Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press. Ithaca dan London.
Nippon Koei CO, Ltd. and Nikken Consultants, Inc. 1998. The Study on Comprehensive Management For The Water Resources Of The Brantas River Basin in The Republic Of Indonesia (Final Report, Vol. IV).
Rosegrant, Mark W., Faisal Kasryno, Leonardo A. Gonzales, Chairil Rasahan, dan Yusuf Saefudin, 1987. Price and Investment Policies in the Indonesian Food Crop Sector. IFPRI, Washington D.C., dan CASER, Bogor.
Schmid, A.A. 1989. Benefit-Cost Analysis: A Political Economy Approach. Westview Press, Boulder, San Francisco, & London.
Squire, L.S. dan Van Der Tak H.G., 1975. Economic Analysis of Projects. Published for the World Bank by The Johns Hopkins University Press, Baltomore dan London.
Sugden, R. dan A. Williams, 1978. The Principles of Practical Cost-Benefit Analysis. Oxford University Press. Oxford, New York, Toronto.
United Nations, 1978. Guide to Practical Project Appraisal: Sosial Benefit-Cost Analysis in Developing Countries. United Nations, New York.
Simatupang, P., 2002. Daya Saing dan Efisiensi Usahatani Jagung Hibrida Indonesia. Makalah pada Diskusi Agribisnis Jagung. Badan Litbang Pertanian, Bogor.
20
Zulaiha, A.R., 1997. Efisiensi Finansial, Efisiensi Ekonomi dan Pengaruh Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Teh Hijau di Jawa Barat dengan Pendekatan Policy Analysis Matrix. Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.