1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kesehatan masyarakat. Selain aspek kesehatan dan kandungan gizi, faktor yang menentukan kualitas pangan dapat ditinjau dari aspek kelezatan / cita rasa serta aspek kualitas bahan yang bersifat alami. Fermentasi makanan bertujuan untuk menambah zat gizi penting dalam suatu bahan makanan dan meminimalisasi zat gizi yang kurang bermanfaat. Fermentasi diharapkan dapat memberikan nilai tambah secara ekonomi maupun kesehatan pada suatu bahan makanan yang tadinya kurang diminati masyarakat. Fermentasi dapat menjadi salah satu cara untuk memperoleh sumber nutrisi alternatif saat ini. Salah satu makanan fermentasi yang paling dikenal adalah tempe. Masyarakat Indonesia telah dikenal gemar mengkonsumsi aneka makanan olahan dari kedelai seperti tempe dan tahu. Kedua jenis makanan tersebut sudah sangat dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat selain karena mudah didapat dan juga proses pembuatannya yang sederhana, harganya pun juga relatif murah. Meski masyarakat sejak lama terbiasa mengkonsumsi makanan dari kedelai, namun masih banyak yang belum mengetahui dan menyadari bahwa kedelai memiliki kegunaan yang sangat banyak, diantaranya adalah kandungan gizinya yang cukup tinggi. Tempe adalah produk fermentasi kapang golongan Rhizopus yang amat dikenal oleh masyarakat Indonesia dan mulai digemari pula oleh berbagai kelompok masyarakat Barat. Tempe dapat dibuat dari berbagai bahan, tetapi yang lazim dikenal oleh masyarakat adalah tempe kedelai. Tempe merupakan makanan sumber protein nabati serta kandungan gizinya pun lebih tinggi dibandingkan bahan bakunya yakni kedelai. Saat ini tempe merupakan makanan tradisional yang berpotensi sebagai makanan fungsional. Menurut Cahyadi (2006), tempe juga bermanfaat bagi kesehatan, antara lain menurunkan kolesterol, antidiare, antioksidan, antibiotik, serta meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi
38
Embed
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang/Kajian...serta aspek kualitas bahan yang bersifat alami. Fermentasi makanan bertujuan ... dalam makanan yang sebenarnya bukan merupakan zat gizi (non
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pangan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kesehatan
masyarakat. Selain aspek kesehatan dan kandungan gizi, faktor yang
menentukan kualitas pangan dapat ditinjau dari aspek kelezatan / cita rasa
serta aspek kualitas bahan yang bersifat alami. Fermentasi makanan bertujuan
untuk menambah zat gizi penting dalam suatu bahan makanan dan
meminimalisasi zat gizi yang kurang bermanfaat. Fermentasi diharapkan dapat
memberikan nilai tambah secara ekonomi maupun kesehatan pada suatu bahan
makanan yang tadinya kurang diminati masyarakat. Fermentasi dapat menjadi
salah satu cara untuk memperoleh sumber nutrisi alternatif saat ini. Salah satu
makanan fermentasi yang paling dikenal adalah tempe.
Masyarakat Indonesia telah dikenal gemar mengkonsumsi aneka
makanan olahan dari kedelai seperti tempe dan tahu. Kedua jenis makanan
tersebut sudah sangat dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat selain karena
mudah didapat dan juga proses pembuatannya yang sederhana, harganya pun
juga relatif murah. Meski masyarakat sejak lama terbiasa mengkonsumsi
makanan dari kedelai, namun masih banyak yang belum mengetahui dan
menyadari bahwa kedelai memiliki kegunaan yang sangat banyak, diantaranya
adalah kandungan gizinya yang cukup tinggi.
Tempe adalah produk fermentasi kapang golongan Rhizopus yang
amat dikenal oleh masyarakat Indonesia dan mulai digemari pula oleh
berbagai kelompok masyarakat Barat. Tempe dapat dibuat dari berbagai
bahan, tetapi yang lazim dikenal oleh masyarakat adalah tempe kedelai.
Tempe merupakan makanan sumber protein nabati serta kandungan gizinya
pun lebih tinggi dibandingkan bahan bakunya yakni kedelai. Saat ini tempe
merupakan makanan tradisional yang berpotensi sebagai makanan fungsional.
Menurut Cahyadi (2006), tempe juga bermanfaat bagi kesehatan, antara lain
menurunkan kolesterol, antidiare, antioksidan, antibiotik, serta meningkatkan
penyerapan kalsium dan zat besi
2
Selain tempe kedelai, ternyata juga ada jenis tempe non leguminosa,
salah satunya adalah tempe campuran beras dan kedelai (Hidayat, 2008).
Beras yang digunakan sebagai campuran ini dapat berasal dari berbagai jenis
beras yang ada, salah satunya adalah dari beras pera varietas C4. Pemanfaatan
beras dalam pembuatan tempe ini selain untuk mengurangi proporsi konsumsi
kedelai yang digunakan, juga dapat untuk meningkatkan nilai guna beras C4
kualitas rendah, dikarenakan kandungan nutrisinya cukup tinggi meskipun
dengan karakter fisiknya yang keras dan kurang enak, sehingga kurang
diminati oleh masyarakat. Beras C4 memiliki kandungan amilosa sekitar 24 %
(Indrisari, 2009).
Tempe kedelai merupakan makanan asli Indonesia. Melihat berbagai
manfaat tempe untuk kesehatan, sangat disayangkan bahwa sampai saat ini
ternyata negara kita masih belum dapat memenuhi sendiri kebutuhan akan
kedelai secara optimal dan masih mengimpor dari negara lain guna
mencukupinya. Menurut Widjang (2008), dari kebutuhan dalam negeri
terhadap kedelai sebesar 2 juta ton/th, sebanyak 1,4 juta ton dipenuhi dari
impor. Beberapa tahun terakhir, produksi nasional kedelai memang rendah,
berkisar antara 600-700 ribu ton/th. Dengan melihat permasalahan tersebut,
maka diperlukan suatu substitusi bahan lain, salah satunya dengan
pemanfaatan beras pera.
Untuk menambah kandungan gizi tempe, dapat pula dilakukan suatu
inovasi pengolahan yakni salah satunya dengan penambahan angkak untuk
meningkatkan kandungan antioksidannya. Angkak secara tradisional
diproduksi dengan menggunakan substrat beras yang difermentasi oleh kapang
Monascus sp. sehingga beras menjadi berwarna merah. Beras putih yang
bersifat pera merupakan substrat yang paling cocok dikarenakan kandungan
amilosanya lebih tinggi dibandingkan amilopektinnya (Tisnadjaja, 2006).
Meskipun beras ini sering disebut beras kualitas paling rendah, tetapi dengan
kandungan amilosa yang tinggi menyebabkan beras tersebut dapat bermanfaat
untuk kesehatan, diantaranya adalah kandungan indeks glikemiknya rendah
yang biasanya terdapat pada beras yang mempunyai tekstur nasi pera
3
(Indrasari, 2009). Pemakaian beras pera dalam pembuatan tempe ini dapat
pula diasumsikan sebagai substrat pertumbuhan spora Monascus sp. untuk
menghasilkan tempe-angkak sebagai tempe kedelai kaya antioksidan.
Dari berbagai hasil penelitian, ditemukan adanya berbagai senyawa
dalam makanan yang sebenarnya bukan merupakan zat gizi (non gizi), tetapi
diyakini aktif secara fisiologis yang disebut sebagai senyawa bioaktif pangan
nabati (phytochemicals) yang dapat meningkatkan kesehatan dan mencegah
atau mengurangi risiko penyakit. Komponen bioaktif ini umumnya terdapat
secara alami dalam makanan ataupun terbentuk selama proses pengolahan.
Kebanyakan dari kelompok phytochemicals ini berperan sebagai antioksidan
alami. Produk pangan yang mengandung senyawa ini dikategorikan sebagai
makanan fungsional (functional food), dengan fungsi sampingnya juga sebagai
sumber zat gizi (Silalahi, 2006). Tempe kedelai merupakan sumber isoflavon
potensial untuk menunjang kesehatan tubuh dikarenakan bermanfaat sebagai
antioksidan.
Dalam produk tempe, selain mengandung isoflavon sebagai senyawa
antioksidan, juga terdapat kandungan dietary fiber atau serat pangan yang
tinggi. Sekitar setengah dari kandungan karbohidrat dalam kedelai merupakan
serat. Kira-kira hanya sekitar sepertiga sampai setengah dari seluruh serat
kasar yang benar-benar berfungsi sebagai dietary fiber (Winarno, 1986). Serat
makanan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh
enzim-enzim pencernaan pada manusia (Piliang dan Djojosoebagio, 2002).
Selain isoflavonnya, serat pangan (dietary fiber) kedelai juga bersifat
antikanker. Serat melindungi tubuh dari jenis kanker pencernaan seperti
kanker usus dan kanker rektal (Winarsi, 2007).
Oleh sebab itu, diperlukan suatu studi atau penelitian untuk melakukan
modifikasi bahan baku dalam pembuatan tempe dengan menambahkan angkak
dan filler beras sebagai substrat penunjang pertumbuhan spora Monascus sp.
dalam angkak. Hal ini dilakukan guna menghasilkan produk tempe
kedelai – angkak yang memiliki karakteristik baik dan dapat diterima oleh
konsumen serta dapat menghasilkan tempe yang diperkaya kandungan
4
antioksidannya dari pemanfaatan angkak dan dapat menjadi sumber serat
pangan yang optimal. Produk yang dihasilkan dari penelitian ini selanjutnya
diharapkan dapat berperan dalam menyediakan alternatif pangan yang sehat
dan juga bergizi tinggi bagi masyarakat.
B. Perumusan Masalah
Tempe telah dikenal lama sebagai sumber protein, tetapi tempe juga
berpotensi sebagai pangan fungsional (functional food) yang kaya antioksidan.
Pemanfaatan angkak sebagai sumber antioksidan belum banyak diterapkan
pada bahan pangan hasil fermentasi, misalnya tempe. Penambahan angkak
dalam pembuatan tempe dengan filler beras ini perlu dikaji lebih lanjut untuk
mengetahui sinergi (interaksi) antara pertumbuhan miselium kapang tempe
dengan spora Monascus sp. yang terdapat dalam bubuk angkak untuk
menghasilkan tempe – angkak yang disukai dan bergizi. Dari percobaan
pendahuluan, telah didapatkan konsentrasi penggunaan angkak yang dapat
digunakan pada pembuatan tempe adalah 2 % sesuai dengan konsentrasi ragi
yang digunakan. Fermentasi dalam pembuatan tempe telah diketahui akan
meningkatkan kandungan antioksidannya (Retno dan Handayani, 2010),
sedangkan untuk tempe dari bahan baku kedelai – beras yang ditambah
angkak belum diketahui bagaimana pengaruh lama fermentasi terhadap
aktivitas antioksidan serta kandungan dietary fiber yang dihasilkan sebagai
senyawa fungsional dalam tempe. Dari uraian di atas, maka rumusan masalah
yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaruh variasi penambahan filler beras dan lama
fermentasi terhadap aktivitas antioksidan pada tempe – angkak yang
dihasilkan ?
2. Bagaimanakah pengaruh variasi penambahan filler beras dan lama
fermentasi terhadap kandungan dietary fiber / serat pangan pada
tempe – angkak yang dihasilkan ?
3. Berapakah formulasi yang sesuai dari variasi perlakuan tersebut, yang
mampu menghasilkan aktivitas antioksidan dan kandungan dietary fiber
yang optimal pada tempe ?
5
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pengaruh variasi penambahan filler beras dan lama fermentasi
terhadap aktivitas antioksidan pada tempe kedelai – angkak
2. Mengetahui pengaruh variasi penambahan filler beras dan lama fermentasi
terhadap kandungan dietary fiber pada tempe kedelai – angkak
3. Mengetahui formulasi perlakuan yang sesuai dan mampu menghasilkan
aktivitas antioksidan dan kandungan dietary fiber yang optimal pada
tempe yang dihasilkan
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini diantaranya adalah :
1. Meningkatkan pemanfaatan angkak dalam pembuatan produk makanan
fermentasi untuk meningkatkan kandungan antioksidannya.
2. Memperkenalkan variasi produk tempe kedelai dengan campuran beras
pera sebagai salah satu alternatif bahan campuran dalam pembuatan tempe
kedelai yang aman dan layak dikonsumsi.
3. Memberikan informasi ilmiah mengenai formulasi yang terbaik dalam
menentukan perbandingan filler beras dan kedelai dengan penambahan
angkak dalam pembuatan tempe – angkak yang disukai dan juga bergizi.
6
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kedelai
Kedelai atau Glycine max (L) Merr termasuk familia Leguminoceae,
sub famili Papilionaceae, genus Glycine max, berasal dari jenis kedelai
liar yang disebut Glycine unriensis (Samsudin, 1985). Menurut Ketaren
(1986), secara fisik setiap kedelai berbeda dalam hal warna, ukuran dan
komposisi kimianya. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh varietas dan
kondisi dimana kedelai tersebut dibudidayakan. Biji kedelai tersusun tiga
komponen utama, yaitu kulit, daging (kotiledon), dan hipokotil dengan
perbandingan 8:90:2. Bentuk fisik dari polong atau biji kedelai kuning dan
juga tanaman kedelai, dapat pula dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Tanaman dan Biji Kedelai (Anonim, 2009b)
Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua
spesies, yakni Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa
berwarna kuning, agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam
berbiji hitam). Glycine max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik
seperti RRC dan Jepang selatan. Menurut Tjitrosoepomo, G (1996)
kedudukan tanaman kedelai dalam sistematik tumbuhan (taksonomi)
diklasifikasikan sbb :
Kerajaan : Plantae
Filum : Magnoliophyta Famili : Fabaceae
Kelas : Magnoliopsida Genus : Glycine
Ordo : Fabales Spesies : Glycine max (L) (Martin dan Leonardo, 1962 dalam Tjitrosoepomo, 1996)
7
Kedelai merupakan sumber gizi yang penting. Menurut Astuti
(2003 dalam Anonim, 2009c), komposisi gizi kedelai bervariasi tergantung
varietas yang dikembangkan dan juga warna kulit maupun kotiledonnya.
Kandungan protein dalam kedelai kuning bervariasi antara 31-48%
sedangkan kandungan lemaknya bervariasi antara 11-21%.
Tabel 2.1 Komposisi Kimiawi Kedelai Kering per 100 gr Biji Komposisi Jumlah
Menurut Sutomo (2008), Tabel 2.5 menunjukkan bahwa
komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya
meningkat dibandingkan dengan kedelai. Karena adanya enzim
pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak,
dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam
tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Kandungan protein
pada tempe cukup tinggi yakni di atas 40 %. Proses fermentasi yang
terjadi pada tempe berfungsi untuk mengubah senyawa makromolekul
komplek yang terdapat pada kedelai (seperti protein, lemak, dan
karbohidrat) menjadi senyawa yang lebih sederhana. Selain itu,
kandungan vitamin B12 dalam tempe juga meningkat tajam
dibandingkan pada kedelai.
3. Kandungan Gizi Beras
Beras adalah butir padi yang telah dibuang kulit luar (sekam) atau
disebut epicarp. Beras merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian
besar masyarakat Indonesia. Beras (Oryza sativa) merupakan famili
Gramineae yang komposisi utamanya adalah pati (sekitar 80%).
21
Tabel 2.6 Nilai Nutrisi Beras Putih (100 gr) Kandungan Nutrisi Jumlah Kandungan Nutrisi Jumlah
Energi 370 kkal Riboflavin 0,055 mg Air 10,46 gr Niasin 2,145 mg Protein 6,81 gr Vitamin B6 0,824 mg Karbohidrat 81,68 gr Folate 0,107 mg Total lemak 0,55 gr Vitamin B12 7 mcg Serat 2,8 gr Asam lemak jenuh 0,111 gr Ampas 0,49 gr Tritophan 0,079 gr Kalsium 11 mg Threonin 0,244 gr Besi 1,6 mg Isoleucine 0,294 gr Magnesium 23 mg Leucine 0,563 gr Phosphor 71 mg Licine 0,246 gr Thiamin 0,18 mg Cystine 0,14 gr
Sumber : Anonim, 2000.
Dari Tabel 2.6, dapat dilihat bathwa kandungan nutrisi pada beras
putih yang paling dominan adalah kandungan karbohidratnya (lebih dari
80 %) sehingga beras sering pula disebut sebagai sumber karbohidrat.
Selain itu, terdapat pula kandungan nutrisi penting yang lain dalam beras
putih yaitu serat, dan beberapa mineral serta vitamin. Menurut Hanny
(2002), komposisi kimia beras berbeda-beda tergantung pada varietas dan
cara pengolahannya. Selain pati, karbohidrat beras juga terdiri dari
sebagian kecil pentosan, selulosa, hemiselulosa dan gula. Dengan
demikian sifat fisikokimia beras terutama ditentukan oleh sifat fisikokimia
patinya. Bentuk fisik berbagai macam beras dapat dilihat pada Gambar 2.4
Gambar 2.4 Komoditi Beras (Anonim, 2009d)
Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Hampir
90% berat kering beras adalah pati, yang terdapat dalam bentuk granula.
Pati beras terbentuk oleh dua jenis molekul polisakarida yang masing-
masing merupakan polimer glukosa. Kedua molekul pembentuk pati
tersebut adalah amilosa dan amilopektin. Cita rasa dan mutu masak dari
22
beras terutama ditentukan oleh kadar amilosa dan amilopektinnya.
Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi empat
golongan, yaitu ketan (2-9 %), beras beramilosa rendah (9-20 %), beras
beramilosa sedang (20-25 %), dan beras beramilosa tinggi (25-33 %).
Kadar amilosa berpengaruh terhadap rasa nasi. Perbandingan antara
amilosa dan amilopektin dapat menentukan tekstur pera atau tidaknya nasi,
cepat atau tidaknya mengeras, dan lengket atau tidaknya nasi. Makin
tinggi kadar amilosa dalam beras, makin keras dan pera nasi yang
dihasilkan. Beras dengan kadar amilosa tinggi umumnya kurang disukai
untuk dijadikan nasi, sehingga harganya pun lebih murah. Beras yang pera,
misalnya jenis PB, IR. Semeru, Asahan, Hongkong. Siam, dan Birma.
Beras pera mempunyai stabilitas dan tahan untuk tetap utuh dalam
pemanasan yang tinggi sehingga setelah dingin pasta yang terbentuk
menjadi kuat, tidak mudah hancur atau remuk. Jenis beras yang pulen akan
menghasilkan adonan yang lembek dan lengket (Astawan, 2009).
Beras mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi yaitu 77 %,
protein 8-9 %, lemak 2 %, serat 1-2 % dan lain-lain 11,1 %. Selain
mengandung berbagai zat makanan yang diperlukan oleh tubuh seperti
karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, abu, dan vitamin B, beras juga
mengandung unsur mineral seperti kalsium, magnesium, sodium, fosfor,
garam zink, dll (Nurmala, 1998). Selain itu beras juga termasuk sumber
serealia yang memiliki kandungan serat pangan yang relatif cukup baik
untuk kesehatan meskipun nilai seratnya masih lebih tinggi gandum
(Aminuddin, 2009). Beras patah atau yang biasa disebut dengan beras pera
memiliki kandungan amilosa lebih dari 27 % (beramilosa tinggi)
(Astawan, 2009).
Indeks glikemik bahan pangan dipengaruhi oleh kadar amilosa,
protein, lemak, serat, dan daya cerna pati. Daya cerna pati merupakan
kemampuan pati untuk dapat dicerna dan diserap dalam tubuh.
Karbohidrat yang lambat diserap menghasilkan kadar glukosa darah yang
rendah dan berpotensi mengendalikan kadar glukosa darah. Kandungan
23
pati dan komposisi amilosa/amilopektin berpengaruh terhadap daya cerna
pati beras atau nasi. Sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa amilosa
lebih lambat dicerna dibandingkan dengan amilopektin, karena amilosa
merupakan polimer dari gula sederhana dengan rantai lurus. Rantai yang
lurus ini menyusun ikatan amilosa yang solid sehingga tidak mudah
tergelatinasi. Oleh karena itu, amilosa lebih sulit dicerna dibandingkan
dengan amilopektin yang merupakan polimer gula sederhana, bercabang,
dan struktur terbuka. Berdasarkan karakteristik tersebut maka bahan
pangan yang mengandung amilosa tinggi memiliki aktivitas hipoglikemik
yang lebih tinggi dibanding bahan pangan yang mengandung amilopektin
tinggi. Oleh karena itu, beras dengan kandungan amilosa tinggi cenderung
memiliki indeks glikemik yang rendah dan cocok dikonsumsi oleh
penderita diabetes, contohnya adalah beras C4 dengan kandungan amilosa
± 24 % dan indeks glikemiknya masuk kategori sedang (Indrasari, 2009).
4. Angkak
a. Bahan Baku Pembuatan Angkak
Berbagai varietas beras dapat digunakan sebagai medium
pertumbuhan kapang M. purpureus. Bahan baku yang digunakan pada
proses pembuatan angkak adalah beras pera dengan intensitas amilosa
yang tinggi dan amilopektin yang rendah Beras pera merupakan
substrat yang baik untuk pembuatan angkak. Sedangkan pertumbuhan
kapang M. purpureus pada beras ketan akan terhalang oleh melekatnya
butiran ketan satu sama lain. Beras mempunyai kandungan amilosa
yang berkaitan erat dengan tingkat kepulenannya. Beras pera memiliki
intensitas amilosa yang tinggi yakni 25-30%. Kandungan protein pada
beras umumnya berkisar antara 6-10%. Di samping itu beras juga
mengandung vitamin B1, fosfat, kalium, asam amino, dan garam zinc.
Kandungan senyawa-senyawa ini dapat mempengaruhi produksi
pigmen. M. purpureus Jmba adalah isolat yang diketahui dapat
memproduksi lovastatin sampai 0,92 % ( Kasim, 2006 ).
24
Kandungan pati dalam beras pera yang paling dominan adalah
amilosa. Amilosa tersusun atas monomer-monomer glukosa yang
dihubungkan oleh ikatan α (1,4) glukosida. Kapang M. Purpureus
menghasilkan enzim amilase yang berfungsi menghidrolisis amilosa
menjadi glukosa dan maltosa melalui pemutusan ikatan α (1,4)
glukosida. Glukosa mudah digunakan untuk metabolisme mikroba
(Santosa, 1985).
Angkak dibuat dengan cara memasukkan sekitar 25 gr nasi ke
dalam cawan petri, yang kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf
pada suhu 1210C selama 15 menit. Tujuan sterilisasi adalah untuk
membunuh semua mikroba agar tidak mengkontaminasi dan
mengganggu proses pembuatan angkak. Setelah didinginkan hingga
suhu sekitar 360C, nasi tersebut diinokulasi dengan 2 gr inokulum
Monascus purpureus. Setelah itu, campuran tersebut diaduk hingga
rata dan diinkubasikan pada suhu 27-320C selama 14 hari. Monascus
memerlukan unsur baik karbon, nitrogen, vitamin, mineral dan faktor
lingkungan seperti pH, oksigen, kelembaban, cahaya dan suhu.
Rentang keasaman bagi produksi pigmen Monascus adalah 3-7,5 dan
kisaran suhu 20°C-370C dengan kondisi optimum 27°C (Vedder,
2008). Menurut Tisnadjaya (2006), beras yang akan diguanakan
sebaiknya direndam dahulu untuk meningkatkan kadar air yang
dibutuhkan sel kapang selama proses fermentasi. Kapang Monascus
sp. merupakan mikroba yang bersifat aerob sehingga persediaan
oksigen (udara) harus memadai.
b. Potensi dan Pemanfaatan Angkak
Angkak dapat dimanfaatkan untuk membuat arak merah yang
terbuat dari beras, sebagai bahan pengawet makanan, dan untuk obat.
Berdasarkan penelitian, angkak mampu menurunkan kadar kolesterol
darah. Kolesterol dikenal sebagai penyebab utama terjadinya
aterosklerosis. Akibatnya, saluran pembuluh darah, khususnya
pembuluh darah koroner, menjadi sempit dan menghalangi aliran darah
25
di dalamnya. Keadaan ini dapat meningkatkan risiko penyakit jantung
koroner (PJK) dan stroke (Priantono, 2009).
Gambar 2.5 Produk Angkak (Anonim, 2007)
Ekstrak angkak merah mengandung sterol, isoflavon, MUFA
(Mono Unsaturated Fatty Acid) dan Monacolin-K yang merupakan
lovastatin yaitu salah satu obat terapi penurun lipid (kadar kolesterol
dalam darah) (Liu J et al., 2006 dalam Anonim, 2007). Beras yang
semula putih berubah warna menjadi merah gelap (Fitriani, 2006).
Bentuk butiran beras angkak ini dapat dilihat pada Gambar 2.5. Produk
Monascus ini telah lama digunakan sebagai makanan sehat dan
makanan tambahan untuk penderita hiperkolesterolemia yang
penggunaannya telah di setujui oleh Food Drug Administration ( FDA)
sejak 1998 ( Dhanutirto, 2004 ).
Hasil uji toksisitas menunjukkan pigmen angkak cukup aman
digunakan dalam makanan, mengurangi penggunaan nitrit dalam
memperbaiki warna merah daging olahan seperti sosis dan ham daging
sapi, serta menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan perusak
berspora seperti Bacillus cereus dan Bacillus stearothermophilus.
Warna merahnya juga stabil dalam proses pengolahan (Ardiansyah,
2007a). Fungsi inilah yang kemudian menjadikan angkak sebagai
bahan tambahan alami pada produk olahan pangan yang
menguntungkan.
Angkak menghasilkan empat pigmen, dua pigmen utama
berwarna merah bernama monaskorubin dan monaskin. Dengan
fermentasi inilah, manfaat beras ternyata tidak cuma mengenyangkan.
Setelah diberi kapang jenis tertentu, beras berubah warna dan
26
bertambah senyawa aktifnya, salah satunya monakolin-K yang sifatnya
seperti lovastatin yaitu bisa menghambat produksi kolesterol dalam
tubuh. Jumlah lovastatin angkak merah bervariasi tergantung jenis
kapang yang digunakan. Beras yang telah berganti penampilan itu
ternyata juga menyehatkan tubuh (Fitriani, 2006). Hal inilah yang
menyebabkan angkak dapat berpotensi sebagai sumber antioksidan
alami.
Selain untuk pewarna pangan, angkak juga dapat digunakan
sebagai obat karena kandungan monakolin K-nya. Selain itu juga
memiliki daya antibiotik dan dapat untuk mencegah karsinogenik.
Monascus mampu menghasilkan antioksidan dalam bentuk asam
dimerumat (dimerumic acid) (Taira, et al., 2002).
5. Antioksidan
Senyawa antioksidan berfungsi untuk menangkal serangan radikal
bebas sehingga sangat berguna untuk pencegahan penuaan dini dan
berbagai penyakit degeneratif. Radikal bebas adalah molekul yang
kehilangan elektron sehingga molekul tersebut menjadi tidak stabil dan
selalu berusaha mengambil elektron dari molekul atau sel lain. Radikal
bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal
seperti asap rokok, hasil penyinaran UV, zat kimiawi dalam makanan dan
polutan lain. Penyakit yang disebabkan radikal bebas bersifat kronis
(Anonim, 2008a). Menurut Ardiansyah (2007b), sumber antioksidan dapat
dikelompokkan menjadi 2 yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang
diperolah dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami
(hasil ekstraksi bahan alami atau dalam makanan).
Karakter utama senyawa antioksidan adalah kemampuannya untuk
menangkap radikal bebas. Senyawa antioksidan yang dihasilkan dari
pangan nabati seperti vitamin C, vitamin E, karoten, golongan fenol
terutama polifenol, dan flavonoid diketahui berpotensi mengurangi risiko
penyakit degeneratif (Prakash, 2001). Radikal bebas adalah molekul yang
sangat reaktif karena memiliki elektron yang tidak berpasangan dalam
27
orbital luarnya sehingga dapat bereaksi dengan molekul sel tubuh dengan
cara mengikat elektron molekul sel tersebut (Wijaya, 1996). Menurut
Fennema (1985), antioksidan merupakan substansi kimia yang dapat
menghambat permulaan (inisiasi) atau memperlambat kecepatan oksidasi
pada bahan yang mudah teroksidasi sehingga dapat menetralkan senyawa
yang teroksidasi dengan cara menyumbangkan hydrogen atau elektron.
Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH
yang merupakan radikal sintetik yang larut dalam pelarut polar seperi
metanol dan etanol (Rohman dan Riyanto, 2005). Metode DPPH dipilih
karena sederhana, efektif, mudah, cepat, peka, dan hanya membutuhkan
sedikit sampel. Metode ini digunakan untuk pengujian pada senyawa
antioksidan yang bersifat free radical scavenger (penangkap radikal
bebas). Senyawa antioksidan akan bereaksi dengan radikal DPPH melalui
mekanisme donasi atom hidrogen dan menyebabkan terjadinya peluruhan
warna DPPH dari ungu ke kuning yang diukur pada panjang gelombang
517 nm (Blois, 1958 dalam Hanani dkk., 2005). Semakin pudar warna
yang dihasilkan, maka nilai absorbansi sampel semakin rendah dan
aktivitas antioksidannya semakin tinggi. Menurut Osawa (1981),
penurunan absorbansi terjadi karena penambahan elektron dari senyawa
antioksidan pada elektron yang tidak berpasangan pada gugus nitrogen
dalam struktur senyawa DPPH. Intensitas warna ungu akan menurun
ketika radikal DPPH tersebut berikatan dengan hidrogen.
Untuk memperoleh zat antioksidan alami, dapat dilakukan dengan
cara ekstraksi tanaman menggunakan pelarut organik seperti heksana,
benzena, etil eter, kloroform, etanol atau metanol. Metanol 90 %
merupakan pelarut optimum untuk mengekstrak isoflavon dari kedelai,
namun penggunaanya untuk skala komersial masih perlu dikaji lebih lanjut
karena bersifat toksik. Penelitian dengan menggunakan pelarut etanol
untuk ekstraksi diharapkan dapat mengganti metanol untuk menghasilkan
ekstrak antioksidan alami secara komersial, karena kepolaran etanol
28
mendekati metanol dan relatif tidak beracun, sehingga etanol dapat
digunakan untuk ekstraksi antioksidan (Ariani, 1997).
Flavonoid terdiri atas struktur dasar 2-fenil-benzo-δ-piran atau inti
flavan dimana dua cincin benzen dihubungkan oleh cincin piran yang
mengandung oksigen. Flavonoid dibagi atas flavanol, flavon, flavan, dan
isoflavon (antioksidan pada kedelai). Flavonoid memiliki sifat antioksidan.
Senyawa ini berperan sebagai penangkap radikal bebas (free radical
scavenger) karena mengandung hidroksil. Karena bersifat sebagai
reduktor, flavonoid dapat bertindak sebagai donor hidrogen terhadap
radikal bebas. Senyawa flavonoid ini termasuk kelompok senyawa
polifenol dengan berat molekul yang rendah yang terdistribusi luas dalam
tanaman (Silalahi, 2006).
Menurut Winarsi (2007), flavonoid merupakan salah satu contoh
senyawa antioksidan non-enzimatis / antioksidan primer yang bekerja
dengan cara menangkap radikal babas (free radical scavenger), kemudian
mencegah reaktivitas amplifikasinya. Salah satu jenisnya adalah isoflavon
yang terdapat pada kedelai dan produk olahannya seperti tempe. Dan
menurut hasil penelitian dari Sulistiani (2010), menjelaskan bahwa total
isoflavon dalam biji kedelai kuning mentah adalah sekitar 0,183 gr/100 gr
dan pada produk tempenya yaitu 1,8104 gr/100 gr setelah fermentasi 2 hari
yang merupakan lama fermentasi optimalnya.
Hubungan antara aktivitas antioksidan pada beberapa jenis legume
tidak selalu dipengaruhi oleh jumlah kandungan senyawa isoflavon yang
optimum. Ini menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan yang tinggi tidak
selalu mempunyai kandungan isoflavon yang optimum pula. Hal ini
kemungkinan dapat disebabkan adanya senyawa fenolik lain yang bukan
dalam golongan flavonoid/isoflavon tetapi memiliki aktivitas antioksidan.
Sebaliknya, ada beberapa jenis kandungan isoflavon yang tinggi tetapi
aktivitas antioksidannya rendah (Sulistiani, 2010).
Menurut Kumalaningsih (2006), atas dasar fungsinya antioksidan
dapat dibedakan menjadi 5 yaitu :
29
a. Antioksidan primer : mencegah terbentuknya radikal bebas baru
karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang
berkurang dampak negatifnya, yaitu sebelum sampai bereaksi.
Antioksidan primer yang ada dalam tubuh yang sangat terkenal adalah
enzim superoksida dismutase (SOD). Enzim ini sangat penting karena
dapat melindungi hancurnya sel-sel dalam tubuh akibat serangan
radikal bebas. Bekerjanya enzim ini sangat dipengaruhi oleh mineral-
mineral seperi mangan, seng, tembaga, dan selenium yang harus
terdapat dalam makanan dan minuman.
b. Antioksidan sekunder : menangkap radikal bebas serta mencegah
terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih
besar. Contoh yang popular dari antioksidan sekunder adalah vit.E,
vit.C, flavonoid dan betakaroten yang dapat diperoleh dari buah.
c. Antioksidan tersier : memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak
karena serangan radikal bebas. Biasanya yang termasuk kelompok ini
adalah jenis enzim misalnya metionin sulfoksidan reduktase yang
dapat memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat
untuk memperbaiki DNA pada penderita kanker
d. Oxygen Scavanger yang mengikat oksigen sehingga tidak mendukung
reaksi oksidasi, misalnya vitamin C.
e. Chelators atau Sequesstrants mengikat logam yang mampu
mengkatalisis reaksi oksidasi, misalnya asam sitrat dan asam amino
Mekanisme reaksi penangkapan radikal DPPH oleh antioksidan
adalah DPPH• + AH ® DPPH-H + A•. Reaksi yang cepat dari radikal
DPPH terjadi dengan beberapa fenol, misalnya α-tokoferol, tetapi reaksi
sekunder lambat menyebabkan penurunan absorbansi yang progresif,
sehingga keadaan steady state tidak akan dicapai untuk beberapa jam.
Kebanyakan penelitian yang menggunakan metode DPPH melaporkan
aktivitas scavengingnya setalah reaksi 15 atau 30 menit (Pokorny, 2001).
30
6. Dietary Fiber
Trowel (dalam Olson et al., 1987) mendefinisikan serat pangan
(dietary fiber) sebagai bagian jaringan tanaman yang tidak dapat dicerna
oleh sistem pencernaan manusia yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa,
pektin dan getah/gum, serta lignin. Selulosa dan lignin dikelompokkan
sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air (suhu 900C), sedangkan
hemiselulosa, pektin, gum dan modifikasinya dikategorikan sebagai serat
pangan yang dapat larut dalam air (suhu 900C). Serat pangan telah diakui
sebagai komponen bahan makanan/minuman yang mempunyai peranan
penting bagi pencernaan dan kesehatan manusia. Sumber utama serat
pangan bagi manusia berasal dari sayur, buah, dan serealia. Bagian utama
serat pangan adalah senyawa polisakarida bukan pati / lignin. Sifat umum
senyawa-senyawa tersebut antara lain adalah molekulnya berbentuk
polimer dengan ukuran besar, strukturnya kompleks, banyak mengandung
gugus hidroksil dan kapasitas pengikatan airnya besar. Banyaknya gugus
hidroksil bebas yang bersifat polar serta struktur yang tidak kompak
memberi peluang besar bagi terjadinya pengikatan air melalui ikatan
hidrogen.
Serat pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur molekul
kelarutannya. Serat pangan yang larut dalam air sangat mudah
difermentasi dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan lipid.
Sementara serat pangan yang tidak larut berperan memperbesar volume
feses dan mengurangi waktu transitnya dalam kolon (Silalahi, 2006).
Istilah serat pangan (dietary fiber) harus dibedakan dengan istilah
serat kasar (crude fiber) yang biasa digunakan dalam analisa proksimat
bahan pangan. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat
dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan
kadar serat kasar yaitu asam sulfat (H2SO4 1,25%) dan natrium hidroksida
(NaOH 1,25%). Sedang serat pangan adalah bagian dari bahan pangan
yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan pada manusia.
Serat yang tidak larut dalam air banyak terdapat pada sayuran,
31
buah-buahan dan kacang-kacangan. Sedangkan serat yang larut dalam air
banyak terdapat pada buah-buahan, sayuran dan sereal. Sekitar sepertiga
dari serat pangan total (Total Dietary Fiber, TDF) adalah serat pangan
yang larut (SDF), sedangkan kelompok terbesarnya merupakan serat yang
tidak larut (IDF) (Piliang dan Djojosoebagio, 2002).
Berbagai penelitian menemukan bahwa kandungan serat pangan
pada tempe akan meningkat selama fermentasi karena perkembangan serat
yang kaya pada miselium jamurnya (karena pertumbuhan miselia jamur)
dan sedikit pada padatan lainnya, sehingga akan menaikkan proporsi
kandungan seratnya. Steinkraus et al. (1960 dalam Shurtleff and Aoyagi,
1979), menemukan adanya kenaikan 58 % dari 3,7 % serat pada kedelai
yang tidak digiling atau kedelai yang sudah dikuliti, menjadi 5,85 % dalam
tempe. Apabila lapisan jamur bagian luar dihilangkan dari tempe, ternyata
ada penurunan kandungan serat kasar 2,8 %. Sedangkan miselium yang
dihilangkan mengandung serat kasar 7,1 %. Sedangkan menurut Murata
et al. (1967 dalam Shurtleff and Aoyagi, 1979), kenaikan maksimumnya
adalah 34 % pada kandungan seratnya. Perubahan kandungan dietary fiber
ini memang bervariasi pada saat kedelai sebelum diolah menjadi tempe
maupun pada saat berlangsungnya fermentasi tempe
(Shurtleff and Aoyagi, 1979).
Sedangkan Taguchi et al. (1986 dalam Kasmidjo, 1990), menyatakan
bahwa kandungan dietary fiber tempe sedikit menurun selama fermentasi.
Kandungan serat yang mudah larut meningkat selama fermentasi, tetapi
menurun kembali jika waktu fermentasinya berlanjut, sebaliknya kadar
serat yang tidak larut akan menurun selama 24 jam fermentasi tetapi
sesudahnya tidak menurun lagi.
Selain sumber protein berkualitas tinggi, tempe dikenal juga sebagai
sumber serat pangan (dietary fiber) yang baik. Kandungan serat dalam
tempe cukup tinggi yaitu sekitar 8-10 %. Hal ini berarti bahwa dalam
setiap 100 gr tempe akan menyumbangkan sekitar 30 % dari jumlah serat
yang dianjurkan dikonsumsi oleh National Center Research. Serat dalam
32
tempe kedelai merupakan komponen karbohidrat yang sulit dicerna
(Siswono, 2003). Kedelai mengandung karbohidrat sekitar 35 % dimana
hanya 13 % saja yang dapat dimanfaatkan tubuh. Komponen utama terdiri
dari hemiselulosa 15 %, selulosa 4 %, dan sisanya karbohidrat lain
(Wardhanu, 2009). Sedangkan menurut Aminuddin (2009), kadar serat
pangan tertinggi pada bahan serealia ada pada gandum (whole grain)
(15-30 %) dan sumber serealia lain yang dapat dipakai sebagai sumber
serat diantaranya adalah kacang, roti putih, sayur dan buah, umbi, serta
nasi putih (beras).
33
B. Kerangka Berpikir
TEMPE
KEDELAI
Campuran Kedelai + Beras
Ø Kandungan amilosa tinggi, cocok sebagai substrat pembuatan angkak
Tempe – Angkak ( alternatif functional food )
Terdapat senyawa fungsional yang bermanfaat untuk
kesehatan tubuh
Pengujian aktivitas antioksidan dan kandungan dietary fiber tempe
Variasi lama fermentasi
Variasi penambahan filler beras
ANGKAK
BERAS
Ditambahkan angkak bubuk dengan
% angkak = % ragi Untuk menghindari
persaingan antar jamur
Kaya akan zat gizi dan senyawa
bioaktif (isoflavon dan serat pangan)
Perlu alternatif bahan campuran kedelai
Kenaikan harga tiap tahun dan sebagian
besar impor
Kedelai sebagai bahan baku utamanya
Sbg filler tempe kedelai ® pemanfaatan beras
C4 kualitas rendah Sumber karbohidrat ®
terdapat komponen serat
Kand. Senyawa fungsional ® Antioksidan
Pemanfaatan angkak dalam produk fermentasi ® Tempe
34
C. Hipotesis
Perbedaan penambahan filler beras dengan variasi perlakuan lama
fermentasi pada pembuatan tempe kedelai – beras yang ditambahkan angkak,
akan berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan dan kandungan dietary fiber
tempe yang dihasilkan. Semakin banyak persentase filler beras yang
ditambahkan dan semakin lama waktu fermentasi, maka diduga akan dapat
meningkatkan aktivitas antioksidan dan kandungan dietary fiber tempe
kedelai-beras dengan penambahan angkak.
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses
Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan Laboratorium
CV. Chem-Mix Pratama, Bantul, Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan
dalam jangka waktu 5 bulan, mulai Maret – Juli 2010.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan
Bahan utama yang digunakan untuk membuat tempe dalam
penelitian ini adalah kedelai kuning dan beras C4 (kualitas rendah) yang
diperoleh dari pasar Legi Solo; air; ragi tempe merk ”RAPRIMA”; serta
angkak yang dibeli dari pasar Gede Solo. Sedangkan bahan – bahan yang
digunakan untuk analisis sampel antara lain :
a. Analisa Aktivitas Antioksidan : Ethanol dan larutan DPPH
(2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl)
b. Analisa Total Fenol : reagen Folin – Ciocalteau, aquades, Na2CO3
alkalis, standart fenol murni
c. Analisa Dietary Fiber : Reagen ADF dan NDF, larutan α – Amilase,
Aseton, aquades, Sodium Sulphite
2. Alat
35
Alat yang digunakan untuk pembuatan tempe antara lain panci,
tampah besar, ember, baskom, keranjang, rak bambu, pengaduk kayu,
pengukus, karung goni, kompor dan bahan bakarnya, daun pisang, kertas,
tali, timbangan mekanik, dll. Sedangkan peralatan untuk analisis sampel
antara lain :
a. Analisa Aktivitas Antioksidan : spektrofotometer UV-Vis, timbangan
analitik, erlenmeyer, pipet volume dan pro pipet, mikro pipet,
vortex mixer, sentrifuge, tabung reaksi, kuvet
b. Analisa Total Fenol : spektrofotometer UV-Vis, timbangan analitik,
labu takar 100 ml, pipet volume dan pro pipet, tabung reaksi, kuvet,