7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
1/26
4 DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian
4.1.1. Batas Administrasi TNS
Lokasi TN Sembilang terletak sekitar 1o53 dari garis equator ke selatan dimana
hal ini akan menentukan suhu konstan (26-28oC) yang relatif tinggi terhadap kawasan.
Kedekatannya dengan garis equator akan sangat berpengaruh terhadap tingkat
kesuburan mangrove maupun kandungan biomassa pada habitat ini.
Secara geografis, wilayah TN Sembilang berada pada koordinat 104o11-
104o94 Bujur Timur dan 1o53-2o27 Bujur Selatan. Secara administratif berada pada
wilayah Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.
Luas kawasan TNS mencakup 202.896,31 ha (berdasarkan SK Menteri Kehutanan No
95/Kpts-II/2003, tanggal 19 Maret 2003) yang sebagian besar mencakup hutan
mangrove di sekitar sungai-sungai yang bermuara di teluk Sekanak dan teluk
Benawang, Pulau Betet, Pulau Alagantang, Semenanjung Banyuasin serta perairan di
sekitarnya.
Batas-batas kawasan Taman Nasional Sembilang adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Tanah Pilih dan Sungai Benu (sebagian
ruas sungainya dijadikan batas alam antara Provinsi Sumatera
Selatan dan Provinsi Jambi)
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Selat Bangka, Sungai Banyuasin dan Calon
Pelabuhan Tanjung Api-Api.
Sebelah Selatan: Berbatasan dengan Sungai Banyuasin, Sungai Air Calik, Sungai
Lalan, Desa Tabala Jaya, Desa Majuria, Desa Jatisari, Desa
Sungsang IV, Perkebunan PT. Citra Indo Niaga dan PT. Raja Palma.
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Hutan Produksi yang belum dibebani hak dan
yang sudah dibebani hak yakniPT. Rimba Hutani Mas, PT. Sumber
Hijau Permai, kawasan transmigrasi Karang Agung (KabupatenMusi Banyuasin).
4.1.2. Kondisi Biofisik
a. Sistem Pesisir
Kondisi geografis wilayah penelitian dianalisis diperoleh berdasarkan informasi
dari berbagai pustaka yang ada serta berdasarkan verifikasi tinjauan lapangan. Dari hasil
komparasi tersebut menunjukkan bahwa wilayah studi merupakan suatu sistem pesisir
yang didominasi arus pasang surut. Umumnya berasosiasi dengan situasi estuaria yang
mendapat pasokan sedimen dari aliran sungai ke pesisir kemudian diredistribusi oleh
arus pasang surut. Karaktersitik ini lebih dikenal sebagai estuarine delta. Oleh karena
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
2/26
104
104
itu untuk wilayah studi Taman Nasional Sembilang (TNS) dan sekitarnya dapat juga
dikatakan sebagai wilayah Delta Estuaria Sembilang.
Estuarine delta yaitu estuaria yang didominasi arus pasang surut dan semi
tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan
air tawar dari daratan. Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air, kawasan ini masuk
kategori estuaria berstratifikasi parsial. Kategori ini merupakan tipe umum dijumpai
pada hilir sungai-sungai yang berada pada kawasan TN Sembilang. Aliran air tawar dari
sungai-sungai di kawasan ini seimbang dengan air laut yang masuk melalui arus pasang.
Pencampuran air sungai dan air laut ini terjadi karena adanya turbulensi yang
berlangsung secara berkala oleh adanya gerakan pasang surut Selat Bangka.
Berdasarkan klasifikasi delta menurut Haslett (2001:112) serta berdasarkan
pengamatan lapangan menunjukkan bahwa kawasan TN Sembilang memiliki morfologi
estuarine delta yang mendapat pasokan sedimen dari aliran sungai ke pesisir kemudian
diredistribusi oleh arus pasang surut. Kanal-kanal di kawasan TN Sembilang relatif
tidak stabil, mengikuti pasokan arus pasang surut, sehingga untuk masuk ke dalam
kawasan ini harus menunggu arus pasang naik (pasang induk).
Terdapat banyak sungai yang mengalir ke kawasan TN Sembilang yang
memberikan kontribusi pada formasi habitat estuaria. Beberapa diantaranya yaitu : di
bagian selatan terdapat Sungai Lalan, Sungai Calik dan Sungai Bungin. Di bagian
tengah terdapat Sungai Sembilang, Sungai Benawang, Sungai Ngirawan dan Sungai
Terusandalam dan di bagian utara terdapat Sungai Benu dan Sungai Benu Kiri.
Terbesar adalah Sungai Sembilang dengan rata-rata lebar 777 m, kedalaman 18,56 m
dengan kecepatan 0,11 m s-1, dan debit rata-rata 2.335 m3 s-1. Substrat sungai adalah
organik pada bagian hulu, sedangkan pada bagian hilir substrat liat. Substrat pantai
terdiri atas partikel lumpur yang tersuspensi dalam air sungai dan sebagian adalahsubstrat pasir. Di daerah berarus deras, substrat yang tertinggal berupa substrat halus.
Salinitas air sungai pada kawasan ini rata-rata berkisar antara 1,5 24,33 ppt. Kondisi
tersebut akan membentuk tingkat kesuburan estuaria yang selanjutnya akan sangat
mempengaruhi tingkat kesuburan biota khususnya hutan mangrove.
Gerakan pasang surut seringkali antara 1,6 dan 2,8 meter bahkan dapat mencapai
3,5 meter selama pasang besar (Danielsen & Verheught 1990 in WIIP 2001). Dampak
pasang surut mencapai hingga jauh ke daratan, mempengaruhi hampir seluruh bagian
kawasan konservasi. Tipe pasang surut di sekitar Sembilang terjadi pada siang hari,
yaitu hanya satu terdiri dari satu kali pasang naik dan satu kali surut harian (tipe D).
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
3/26
105
105
Legenda
Tipe A Semi-diurnal
Tipe B Mixed tide, umumnya semi-diurnal
Tipe C Mixed tide, umumnya diurnal
Tipe D Diurnal
Gambar 23 Distribusi tipe pasang surut di sekitar Sumatera (WIIP 2001)
b. Kondisi Iklim
Kondisi iklim kawasan pesisir TNS merupakan iklim tropis dengan rata-rata
curah hujan per tahun sekitar 2.455 mm dengan jumlah bulan basah 6 bulan dan jumlah
bulan kering 6 bulan. Musim kering terjadi pada bulan Mei-Oktober, sedangkan musim
hujan dengan angin baratdaya yang kuat terjadi pada bulan November-April. Data iklim
dari Stasiun Badan Meterologi dan Geofisika terdekat (Statsiun Sungsang) dengan
kawasan TN Sembilang menunjukkan dimana rata-rata Curah Hujan bulanan sebesar
205 mm. Sementara itu rata-rata Hari Hujan adalah 11 dengan rata-rata suhu bulanan
sebesar 27,3 oC. Kondisi iklim di wilayah penelitian, secara rinci disajikan pada Tabel
12 dan Gambar 24.
Zona A
Zona B
Zona C
Zona D
Zona E
Gambar 24 Zona iklim Sumatera (menurut Oldeman dan Whitten in
WIIP 2001)
C
B
D
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
4/26
Tabel 12 Kondisi iklim di wilayah Taman Nasional Sembilang
CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH
1994 251 17 139 15 307 12 338 14 83 9 78 0 151 9 0 0 10 0 47 0 157 11 309 12 1870 99 156 8
1995 309 18 253 19 240 13 267 13 201 11 199 12 79 8 143 8 73 6 195 9 231 16 336 13 2526 146 211 12
1996 245 13 292 18 280 14 231 11 53 6 271 13 173 11 99 6 126 9 262 11 314 18 294 11 2640 141 220 12
1997 139 9 218 11 319 14 336 15 215 11 65 6 6 2 4 1 0 0 6 2 124 9 330 13 1762 93 147 8
1998 207 13 165 13 272 21 282 13 177 11 137 7 206 11 119 7 214 11 137 9 210 12 336 14 2462 142 205 12
1999 416 21 190 15 308 19 249 12 81 7 165 9 114 9 75 6 54 3 270 9 322 18 332 13 2576 141 215 12
2000 234 15 149 10 139 7 451 23 107 8 212 11 83 7 136 7 99 8 308 12 267 14 342 15 2527 137 211 11
2001 326 22 217 11 237 17 217 23 145 9 171 9 78 6 141 9 131 9 229 12 321 18 354 17 2567 162 214 14
2002 230 15 208 14 296 17 276 9 224 8 198 10 93 10 128 8 182 10 217 11 251 15 211 12 2514 139 210 12
2003 321 14 185 13 330 15 327 14 139 5 97 8 111 9 39 3 249 11 208 10 212 15 329 15 2547 132 212 11
2004 258 16 285 13 353 17 201 12 188 7 101 9 89 7 87 6 199 10 158 9 233 18 229 11 2381 135 198 11
2005 312 15 180 14 345 17 321 13 132 8 92 8 104 9 33 3 243 12 319 16 207 15 330 19 2618 149 218 12
2006 247 11 260 13 160 12 207 9 244 12 223 10 232 11 51 4 104 7 54 6 322 19 239 18 2343 132 195 11
2007 339 15 325 14 75 7 326 14 138 8 80 7 202 11 79 6 101 7 204 10 277 18 359 21 2505 138 209 12
2008 245 16 217 13 205 14 349 21 314 15 157 11 151 9 5 2 123 8 258 14 516 25 449 24 2987 172 249 14
Rerata 272 15 219 14 258 14 292 14 163 9 150 9 125 9 76 5 127 7 191 9 264 16 319 15 2455 137 205 11
B.Basah 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1
B.Kering 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0
Hasil Analisis : Keterangan :
Jumlah Bulan Basah : 6 CH : Curah Hujan (mm)
Jumlah Bulan Kering : 6 HH : Hari Hujan
Jml
CH
Jml
HH
Rerata
CH
Rerata
HHThn/Bln
SEPTEMBER OKTOBER NOPEMBERJANUARI FEBRUARI MARET APRIL DESEMBERMEI JUNI JULI AGUSTUS
Sumber : Stasiun Meteorologi dan Geofisika Sungsang, Tahun 2009.
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
5/26
107
Menurut Oldeman & Whitten in WIIP (2001) dimana kondisi iklim ini dapat
dikategorikan sesuai dengan Zona C : yaitu 5 hingga 6 bulan berturut-turut bulan basah
dan 4 bulan hingga 6 bulan berturut-turut bulan kering. Iklim ekstrim pernah terjadi
pada kawasan ini yaitu iklim El Nino pada tahun 1997. Kondisi iklim ini menyebabkan
kekeringan terutama pada wilayah bagian barat TNS, sehingga terjadi kebakaran hutan
pada beberapa spot di TNS.
c. Kondisi Geologi
Tinjauan pustaka geologis (WIIP 2001) menunjukan bahwa TN Sembilang
merupakan bagian dari lahan rawa yang lebih luas dengan formasi sedimen Palembang.
Selama era Pleistocene, kawasan tersebut terdapat pada tepi lempeng Sunda, dan pada
era Holocene kawasan tersebut mencerminkan propagasi deltaik setelah digenangi air
akibat naiknya muka air laut sebagai dampak dari temperatur bumi yang semakin
meningkat. Peta geologi Jambi dan Palembang skala 1:250.000 menunjukkan bahwa
kawasan TN Sembilang tergolong pada formasi kuarter yang terdiri dari endapan rawa
dan endapan alluvial.
Secara geomorfologis, kawasan TN Sembilang meliputi tiga satuan lahan, yaitu :
(1) satuan lahan marin yang terbentuk dari bahan-bahan yang dibawa oleh gerakan
pasang surut dan sungai, terdapat pada bagian timur kawasan, (2) satuan lahan alluvialyang terbentuk dari sedimen sungai dan tergenang secara musiman, terdapat pada
bagian tengah kawasan, dan (3) satuan lahan gambut yaitu wilayah rawa dengan bahan-
bahan organik pekat, terdapat di bagian barat kawasan.
Sistem satuan lahan marin pada kawasan TN Sembilang meliputi : (1) pantai
pesisir yang terdiri dari : pantai lumpur, pantai pasir, dan beting pasir, (2) dataran
pasang surut kearah tengah kawasan yang terdiri dari : dataran pasir pasang surut,
dataran lumpur pasang surut, dan rawa pasang surut bagian belakang. Sementara itu
wilayah rawa pada kawasan TN Sembilang kearah barat terdiri dari : zona pasang surut
payau, zona pasang surut air tawar, dan zona non pasang surut. Kawasan ini datar,
dengan ketinggian antara 0 dan 20 meter diatas permukaan laut. Variasi pasang surut
mencapai 3,5 meter (Danielsen & Verheught 1990, Verheught 1995 in WIIP 2001).
Saat ini, kawasan pesisir TN Sembilang didominasi arus pasang surut (tide-
dominated delta), tertutupi tanah liat marin muda dan sedimen sungai yang masuk pada
kawasan ini. Sebagian besar didominasi oleh sedimen alluvial, termasuk sedimen marin
dan sedimen organik di pesisir, dan deposit organik yang biasanya sebagai kubah
gambut jauh di daratan. Kubah gambut terdalam terdapat di dekat perbatasan provinsi
Jambi, tepatnya di antara Sungai Terusan Dalam dan Sungai Benu. Elevasi kawasan TN
Sembilang berkisar antara 0 hingga 20 m dpl, dengan variasi pasang surut hingga 3,5 m
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
6/26
108
(Danielsen & Verheught 1990 in WIIP 2001). Rendahnya elevasi ini menyebabkan
rendahnya kecepatan arus sungai yang mengalir pada kawasan ini. Tanah umumnya
terdiri dari histosol (termasuk typic haplohemists, typic hydraquents, typic sulfaquents,
histic sulfaquent, sodic psammaquents) dan inceptisol(termasuksulfic endoaquepts dan
typic sulfaquepts).
Tanah Histosol (gambut) dalam bahasa Yunani disebut histos (jaringan). Tanah
ini dibentuk dalam lingkungan jenuh dengan air, juga merupakan tanah yang terbentuk
dari pelapukan bahan organik dalam keadaan tergenang. Jika sistem drainase kurang
baik dan ekploitasi berlebih, cenderung menghilangkan bentuk asal jaringan tumbuhan
yang terdapat dalam bahan organik. Tanah gambut umumnya memiliki kesuburan yang
rendah, ditandai dengan pH rendah (masam), ketersediaan sejumlah unsur hara makro
(K, Ca, Mg, P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan Bo) yang rendah, mengandung asam-asam
organik yang beracun serta memiliki Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang tinggi tetapi
Kejenuhan Basa (KB) rendah.
Typic Haplohemist merupakan gambut dengan tingkat kematangan hemist
(setengah matang) sebagian bahan telah mengalami pelapukan dan sebagian lagi berupa
serat, memiliki pH rendah. Bila diperas dengan telapak tangan dalam keadaan basah,
gambut agak mudah melewati sela-sela jari dan kandungan serat yang tertinggal di
dalam telapak tangan pemerasan adalah antara kurang dari tiga perempat sampaiseperempat bagian atau lebih (1/4 dan < 3/4).
Tanah Inceptisol merupakan jenis tanah mineral muda, karena profilnya
mempunyai horison yang dianggap pembentukannya agak cepat sebagai hasil alterasi
bahan induk. Horison-horisonnya tidak memperlihatkan hasil hancuran ekstrim.
Horison timbunan liat dan besi dan almunium oksida tidak terdapat dalam golongan ini.
Tanah-tanah yang dulunya dikelaskan sebagai Hutan Coklat, Ando, dan Tanah Asam
Coklat merupakan wakil-wakil dari golongan ini. Beberapa tanah yang berguna bagi
pertanian digolongkan dengan tanah-tanah yang tingkat produktivitasnya terhambat,
karena faktor-faktor seperti drainase yang tidak sempurna. Produktivitas alamiah
Inceptisol sangat beragam. Sebagian besar tanah Inceptisol di Indonesia digunakan
untuk pertanian padi sawah. Fluvaquentic Endoaquepts merupakan jenis tanah
Inceptisol yang terbentuk dari endapan tanah sungai yang berair dengan rezim
kelembaban aquik (jenuh air > 30 hari), memiliki kedalaman firit > 50 cm dengan
kroma < 2.
d. Kondisi Ekosistem Mangrove
Kawasan mangrove di Sembilang ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap
dengan fungsi hutan konservasi sebagai Taman Nasional, berdasarkan Keputusan
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
7/26
109
Menteri Kehutanan No. 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, dengan luas
202.896,31 ha. Namun demikian berdasarkan Perda Provinsi Sumatera Selatan Nomor 5
tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), kawasan ini
memiliki luas 205.750 ha yang pada awalnya merupakan penggabungan dari kawasan
Suaka Margasatwa (SM) Terusan Dalam (29.250 ha), Hutan Suaka Alam (HSA)
Sembilang seluas 113.173 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) Sungai Terusan Dalam
seluas 45.500 ha dan kawasan perairan seluas 17.827 ha.
Kawasan TN sembilang didominasi ekosistem mangrove yang masih utuh
sekitar 87.000 ha (TNS 2009). Meluas ke arah darat hingga 35 km menjadikan
kawasan mangrove ini terluas di Indonesia bagian barat. Keseluruhannya terdapat
sekitar 17 spesies mangrove yang ditemukan, yaitu 43% dari seluruh spesies mangrove
yang ada di Indonesia, meliputi Sonneratia alba, Avicennia marina (langsung di garis
pantai); Rhizophora mucronata, R. apiculata, Bruguiera gymnorhiza, dan Xylocarpus
granatum (jauh ke daratan pada tanah dengan salinitas rendah dan padat).
Berdasarkan pengamatan lapangan dan tinjauan pustaka menunjukkan bahwa
secara umum tutupan vegetasi pada kawasan ini dapat dibedakan atas beberapa zonasi
sebagai berikut.
1) Zona Pedada (Sonneratia albaAvicennia sp)
Zona ini merupakan zona terluar dengan variasi ketebalan antara 100-500 meter.
Pada bagian terluar ditempati oleh perepat/pedada (Sonneratia alba), kemudian
disusul dengan api-api (Avicennia sp). Umumnya berada pada zona inti sekitar
Pulau Alanggantang, muara Sungai Benawang, muara Sungai Ngirang, terus
menyusuri ke utara pantai timur, muara Sungai Terusandalam dan Pulau Betet.
Populasi Sonneratia sp yang cukup besar dijumpai di daerah muara yang berlumpur
di Sungai Bakorendo hingga Sungai Tiram.
2) Zona Bakau (Rhizophora sp)
Zona ini terdapat pada sebagian besar sepanjang saluran-saluran sungai terutama di
Sungai Sembilang ke arah hulu sungai. Pada stratum tumbuhan bawah, daerah
sekitar Sungai Bungin dan sebagian besar daerah semenanjung ditumbuhi jenis
Acanthus illicifolius dan Achrostichum aureum. Sedangkan daerah Sungai
Sembilang dan sekitarnya sampai ke utara sangat sedikit dijumpai Acanthus
illicifolius.
3) Zona Peralihan Vegetasi
Zona peralihan vegetasi pada ekosistem mangrove dengan jenis vegetasi yang cukup
bervariasi antara api-api (Avicennia sp), pedada (Sonneratia sp), bakau (Rhizophora
sp), tancang (Bruguiera gymnorriza), Nyirih (Xylocarpus granatum), dan nipah
(Nypa fruticans).
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
8/26
110
4) Zona Nipah (Nypa fruticans)
Zona ini merupakan yang paling luas menempati ruang kawasan TN Sembilang,
yaitu pada daerah hulu sungai yang pengaruh pasangnya lebih kecil. Seringkali
populasi nipah menutupi area lebih dari 50%. Tumbuhan lain yang sering tumbuhbersama nipah antara lain lainExoecaria agallocha dan Xylocarpus granatum.
5) Zona Nibung (Oncosperma tigillarium)
Zona nibung merupakan zona mangrove air tawar dengan spesies indikator antara
lain Alstonia pneumatophora dan nibung (Oncosperma tigillarium). Komunitas
nibung merupakan ecotone antara komunitas mangrove (nipah) dengan komunitas
hutan rawa. Belum ada data ekologi kuantitatif untuk komunitas hutan rawa di
kawasan TN Sembilang. Studi oleh Samingan (1980) in WIIP (2001) menunjukkan
bahwa untuk komunitas swamp forest di sekitar Karang Agung, spesies yangdominan di strata pohon adalah Ganua motleyana, diikuti olehPolyalthia laterifolia,
Lophopetalum beccarianum danXylopia sp. Zona vegetasi dan spesies indikator di
kawasan TN Sembilang disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Zona vegetasi dan spesies indikator di kawasan TN Sembilang
NoZona Vegetasi Spesies indikator Lokasi
1 Pedada
(Sonneratia alba -Avicennia sp)
Sonneratia alba dan
Avicennia sp).
Pulau Alanggantang, muara Sungai
Benawang, muara Sungai Ngirang, muaraSungai Terusandalam dan Pulau Betet,
muara Sungai Bakorendo hingga Sungai
Tiram.
2 Zona Bakau
(Rhizophora sp)
Acanthus illicifolius dan
Achrostichum aureum
Daerah Sungai Bungin, Sungai Sembilang
dan sekitarnya
3 Zona PeralihanVegetasi
variasi antara api-api(Avicennia sp), pedada
(Sonneratia sp), bakau
(Rhizophora sp), tancang
(Bruguiera gymnorriza),
Nyirih (Xylocarpus
granatum), dan nipah (Nypa
fruticans).
Zona peralihan vegetasi pada ekosistemmangrove dengan jenis vegetasi yang
cukup bervariasi antara api-api (Avicennia
sp), pedada (Sonneratia sp), bakau
(Rhizophora sp), tancang (Bruguiera
gymnorriza), Nyirih (Xylocarpus
granatum), dan nipah (Nypa fruticans).
4 Zona Nipah (Nypa
fruticans)
Exoecaria agallocha dan
Xylocarpus granatum.
Daerah hulu-hulu Sungai Ngirang,
Benangun, Terusandalam, Bokorendo,
Bungin, Tiram dan Sungai Sembilang
pengaruh pasang surutnya sedikit
5 Zona Nibung Nibung (Oncospermatigillarium), Ganua
motleyana,Polyalthia
laterifolia,Lophopetalum
beccarianum danXylopia sp.
Daerahswamp forestdi sekitar KarangAgung
Sebanyak 53 spesies mammalia terdapat di TN Sembilang (TNS 2009)
diantaranya spesies Berang-Berang yang ada di kawasan Indo-Malaya (Lutra lutra),
spesies kucing besar diantaranya kucing bakau (Felis bengalensis), macan dahan
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
9/26
111
(Neofelis nebulosa), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), juga musang air
(Cyanogale bennettii), babi (Sus srofta). Setidaknya terdapat lima primata termasuk
ungko (Hylobates agilis), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (M.
nemestrina), dan lutung kelabu (Presbytis cristata).
Data di Balai TN Sembilang (2009) mencatat paling sedikit 213 spesies burung
berada di kawasan ini, termasuk banyak dari spesies residen yang berstatus genting.
Spesies burung ini meliputi spesies penetap (resident) yang terancam seperti pecuk-ular
asia (Anhinga melanogaster), koloni terakhir dari undan (Pelecanus philippensis) di
region Indo-Malaya, bangau storm (Ciconia stormi), lebih dari 1.000 ekor bangau
bluwok (Mycteria cinerea), lebih dari 300 ekor bangau tongtong (Leptoptilos
javanicus), cangak sumatera (Ardea sumatrana), rangkong badak (Buceros rhinoceros),
rangkong helm (Rhinoplax virgil), rangkong hitam (Antrhacoceros malayanus), serta
lebih dari 25 spesies burung air migran, termasuk 10.000-13.000 trinil-lumpur asia
(Limnodromus semipalmatus), 28 ekor trinil nordmann (Tringa guttifer), lebih dari
2.600 gajahan timur (Numenius madagascariensis), dan beberapa ribu individu spesies
dara laut (Sternidae).
Data lainnya di Balai TN Sembilang mencatat jumlah total burung air pantai
yang memanfaatkan dataran lumpur di kawasan ini sekitar 0.5-1 juta ekor dengan
sekitar 80.000 ekor dapat dijumpai setiap harinya di Delta Banyuasin. Dataran lumpur
Banyuasin juga merupakan tempat mencari makan bagi ratusan bangau bluwok
(Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), dan ibis-cucuk besi
(Threskiornis melanocephalus), dan juga lebih dari 2.000 spesies kuntul (Ardea alba)
(Silvius 1986 in TNS 2009). Kajian Tim Burung Migran Balai TN Sembilang Tahun
2008 mencatat 18 spesies burung migran mengunjungi dataran lumpur Banyuasin
dengan perkiraan jumlah 27.410 ekor.Di sungai-sungai dan muara dalam kawasan TN Sembilang, buaya muara
(Crocodylus porosus) dan spesies buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii) pernah
tercatat ditemukan di rawa-rawa air tawar di belakang hutan mangrove. Di samping
buaya, kawasan ini juga merupakan habitat bagi berbagai spesies ular seperti ular cincin
mas (Boiga dendrophila), ular sawah (Phyton sp.) dan species kura-kura air tawar.
Kawasan perairan TN Sembilang kaya akan keanekaragaman spesies ikan, baik
ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan laut. Sedikitnya terdapat 142 spesies ikan
dari 43 familia, 38 spesies kepiting dan sedikitnya 13 spesies udang dari 9 familia
(TNS 2009).
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
10/26
112
Beberapa spesies ikan, udang dan kepiting yang bernilai ekonomi antara lain
sembilang (Plotosus canius), kakap (Lutjanus sp.), kerapu (Epinephelus tauvina), toman
(Channa micropeltes), betutu (Ophiocara porocephala), bawal putih (Pampus
argenteus), tenggiri (Scomberomus sexfasciatus), belanak (Mugil voigiensis), udang
galah (Macrobrachium rosenbergii), udang lobster (Panulirus sp.), udang petak
(Oratosquilla sp.), udang tiger (Penaeus semisulcatus), kepiting bakau (Scylla serrata),
kepiting rajungan (Portunus pelagicus), dan sebagainya.
4.1.3. Kondisi Sosial Ekonomi
a. Kondisi Demografi
Kawasan TN Sembilang (TNS) berada pada wilayah Kecamatan Banyuasin II,
Kabupaten Banyuasin. Akan tetapi keberadaan TNS ini sangat dipengaruhi oleh
aktivitas dari masyarakat desa yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan
TNS. Sebagaimana wilayah pesisir yang bersifat terbuka, penduduknya merupakan
pencampuran antara etnis lokal dan pendatang terutama dari Bugis sekitar tiga puluhan
tahun yang lalu. Etnis ini tersebar di wilayah pesisir Sungsang, kawasan Sungai
Bungin dan Sungai Sembilang, Tanjung Birik dan Simpang Ngirawang Bakorendo,
Terusandalam, Sungai Benu dan daerah transmigrasi Karang Agung.
Data profil desa menunjukkan bahwa populasi di sekitar kawasan TN
Sembilang tercatat 18.028 jiwa (3.603 KK). Tersebar di 8 (delapan) desa/dusun yaitu
Desa Tanah Pilih, Dusun Sembilang (administrasi Desa Sungsang IV), Desa Tabalajaya,
Desa Jatisari, Desa Sri Agung, Desa Majuria, Desa Karang Sari, Desa Sumber Rejeki
dan Desa Tabala Jaya. Dua desa diantaranya terdapat di dalam kawasan TN Sembilang
berjumlah 4.330 jiwa (886 KK) terdiri dari Desa Tanah Pilih 1.850 jiwa (370 KK)
dan Dusun Sembilang 1.405 jiwa (281 KK). Sementara itu masyarakat di beberapa
tepian sungai dan muara berjumlah 1.075 jiwa (215 KK). Jumlah penduduk yang
berada di luar kawasan TNS sebesar 13.698 jiwa (2.717 KK) atau sekitar 28,72% dari
seluruh populasi penduduk Kecamatan Banyuasin II (47.696 jiwa). Data sebaran
pemukiman di dalam kawasan TNS disajikan pada Tabel 14.
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
11/26
113
Tabel 14 Sebaran pemukiman dan jumlah penduduk di dalam kawasan Taman Nasional Sembilang, Kecamatan Banyuasin II
No Kelompok Pemukiman Wilayah ResortJumlah
KK
Jumlah
Pddk
(Jiwa)
Sifat Pemukiman Aktifitas Ket.
1 Sungai Sarangelang Lalan SPTN 1 30 150 Sepanjang tahun Tuguk baris
2 Muara S.Bungin Lalan SPTN 1 25 125 Sepanjang tahun Tuguk baris, tuguk sungai3 Sungai Apung Lalan SPTN 1 20 100 Musiman Jaring blad, sondong
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
12/26
114
Kawasan Tanjung Birik dan Simpang Ngirawan Bakorendo berada di wilayah
Desa Sungsang IV. Warga di Tanjung Birik dan Simpang Ngirawan Bakorendo
biasanya berasal dari Desa Sungsang I dan Sungsang II. Di Desa Sungsang II terdapat
lorong Birik yang umumnya warga Tanjung Birik. Di Tanjung Birik terdapat pula
warga dari suku Bugis. Jumlah kepala keluarga di Simpang Ngirawan Bakorendo
terdapat sekitar 150 jiwa (30 KK) sedangkan di Tanjung Birik sekitar 100 jiwa (20
KK. Sebaran penduduk di dalam dan di sekitar kawasan TNS disajikan pada Tabel 15.
Table 15 Sebaran penduduk di dalam dan di sekitar kawasan Taman Nasional
Sembilang, Kecamatan Banyuasin II
No Desa/Dusun/Sungai LokasiJumlah
PendudukJumlah
Rmh TanggaKegiatan
Ekonomi
1 Desa Tanah PilihDi dalamTNS
1.850 370 Perikanan
2Dusun Sembilang (DesaSungsang IV)
Di dalamTNS
1.405 281Perikanan
3Tepian beberapaSungai/muara sungai
Di dalamTNS
1.075 215Perikanan
4 Desa Jatisari Di luar TNS 1.829 365 Pertanian5 Trans. Karang Agung
1) Desa Sri Agung Di luar TNS 2.676 535 Pertanian2) Desa Majuria Di luar TNS 2.142 428 Pertanian
3) Desa Karang Sari Di luar TNS 3.729 745 Pertanian4) Desa Sumber Rejeki Di luar TNS 1.610 322 Pertanian5) Desa Tabala Jaya Di luar TNS 1.712 342 Pertanian
Total 18.028 3.603Sumber: Diolah dari Monografi Kecamatan Banyuasin II (2009).
Masyarakat di sekitar kawasan TNS pada umumnya tinggal di atas rumah-rumah
panggung di tepi sungai di daerah pasang surut, dan sedikit masuk ke arah darat.
Ketersediaan air bersih/tawar merupakan kendala utama. Sampai saat ini masyarakat
masih mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersih/tawar.
Secara geografis, luas wilayah administrasi Kecamatan Banyuasin II adalah
2.681,35 Km2 (sekitar 268.135 ha) dengan jumlah penduduk 47.696 jiwa dan
kepadatannya sekitar 17,79 jiwa/ Km2. Berdasarkan data tata guna lahan, seluas
202.896 ha (2.028,96 Km2) dari luas kecamatan merupakan kawasan TN Sembilang,
berarti luas wilayah Kecamatan Banyuasin II di luar wilayah TN Sembilang adalah
652,39 Km2.
Aspek ketenagakerjaan merupakan aspek penting untuk memenuhi
perekonomian rumah tangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Tingkat partisipasi
angkatan kerja (TPAK) adalah proporsi penduduk usia kerja yang termasuk dalam
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
13/26
115
angkatan kerja, yaitu penduduk yang bekerja dan menganggur. Semakin tinggi angka
TPAK merupakan indikasi meningkatnya kecenderungan penduduk usia ekonomi aktif
untuk mencari pekerjaan atau melakukan kegiatan ekonomi. Jumlah penduduk usia
kerja, kebutuhan penduduk untuk bekerja, dan berbagai faktor sosial ekonomi dan
demografis merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi angka TPAK. Angka
pengangguran di seluruh wilayah kecamatan rata-rata relatif rendah yaitu sekitar
5,99% tahun 2007 dan pada tahun 2008 sekitar 2,34% dari seluruh populasi angkatan
kerja aktif 138.094 jiwa. Sementara itu total populasi penduduk angkatan kerja aktif di
Kecamatan Banyuasin adalah 30.485 jiwa (BPS Banyuasin 2009).
Proporsi jumlah penduduk Kecamatan Banyuasin II terhadap jumlah penduduk
Kabupaten Banyuasin sebesar 5,97% (47.696 jiwa). Populasi penduduk Kabupaten
Banyuasin mengalami pertumbuhan rata-rata 2,58 % per tahun. Saat ini populasinya
berjumlah 798.360 jiwa (BPS 2009), tersebar di 15 kecamatan dan 278 desa/kelurahan
dengan luas wilayah 11.832,99 km2 dan rata-rata kepadatan penduduk 67,47 jiwa per
km2. Kabupaten Banyuasin sampai saat ini masih merupakan daerah tujuan utama
transmigrasi di Sumatera Selatan. Oleh karena itu pertumbuhan penduduknya relatif
tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Sumatera Selatan.
Partisipasi penduduk perdesaan di Kecamatan Banyuasin II lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk perkotaan, hal ini tercermin pada jumlah penduduk
yang bekerja di sektor pertanian cukup tinggi. Berdasarkan lapangan usaha tercatat
jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian (termasuk perikanan) sangat dominan
(62%), kemudian diikuti perdagangan (12,44%), jasa-jasa (10,75%), industri
pengolahan (5,07%), transportasi dan komunikasi (4,75%).
Masalah sanitasi lingkungan khususnya sampah kurang mendapat perhatikan
dari masyarakat di dalam maupun di luar kawasan TN sembilang. Muara sungai dan
laut adalah tempat sampah utama. Hal ini sangat memprihatinkan, karena banyak
terdapat sampah anorganik berupa plastik. Pada umumnya tinja langsung dibuang ke
laut atau sungai, sehingga sangat logis jenis penyakit yang umum diderita adalah diare.
Masyarakat di sini belum memiliki kesadaran untuk membuat septic tank. Pengaruh
pasang surut yang besar, menyebabkan sampah tidak terbuang jauh dari pemukiman.
b. Kegiatan Ekonomi MasyarakatKegiatan perekonomian masyarakat setempat, baik di dalam maupun sekitar
TN Sembilang didominasi oleh perikanan (90%). Pertanian umumnya dikerjakan di luar
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
14/26
116
kawasan TNS terutama pada kawasan transmigrasi Karang Agung di bagian selatan
TNS. Pemanfaatan hutan seperti daun Nipah, Nibung, kayu bakar dan kayu bangunan
diambil dalam jumlah tertentu di dalam kawasan TNS. Data dan informasi yang
dihimpun pada saat survey lapangan maupun data dan informasi dari beberapa lembaga
seperti Balai TNS, Dinas Perikanan Banyuasin serta Wetland Indonesia memberikan
gambaran tentang dinamika kegiatan ekonomi masyarakat di sekitar TNS serta pola
penggunaan lahan (lihat Gambar 25).
1) Perikanan
Wilayah sebaran aktivitas masyarakat di sekitar TNS (Desa Sungsang I sampai
dengan Desa Sungsang IV) meliputi perairan sungai, kawasan perairan pesisir hingga
daerah di luar pesisir atau laut yang lebih dalam. Jarak tangkap ikan untuk wilayah TNS
khususnya daerah Kabupaten Banyuasin adalah sampai dengan 9 mil. Melewati batas
itu menjadi tanggung jawab provinsi.
Data hasil survey lapangan menunjukkan bahwa Desa Sungsang I banyak
menggunakan alat sondong, sedangkan jaring kantong, pukat harimau (trawl), togog
dan kelong relatif sedikit. Jumlah kapal motor untuk aktivitas perikanan dari desa ini
sekitar 500 buah dengan berat rata-rata 3-4 ton. Relatif hampir sama dengan kondisi dariketiga desa lainnya (Desa Sungsang II, III, dan IV. Di desa Sungsang II, alat tangkap
lebih bervariasi, yaitu jaring kantong, tangsi, tugu, rawai, lemparan dasar dan pukat
harimau. Jenis alat tangkap di Desa Sungsang III dan Sungsang IV adalahJaring Tangsi
danJaring Kantong. Produk perikanan yang tertangkap dengan alat tangkap utama di
TNS disajikan padaLampiran 1,Lampiran 2 danLampiran 3.
Alat tangkap pukat harimau pada umumnya diminati nelayan bermodal cukup
besar. Daya ekploitasinya cukup tinggi karena ukuran mata jaring yang besar di awal
dan semakin mengecil di ujungnya ditambah dengan daya jelajah kapal yang tinggi,
menyebabkan tidak adanya selektivitas produk yang ditangkap. Hal ini membahayakan
kelestarian sumberdaya perikanan. Banyak warga Sungsang yang memakai alat ini,
meskipun alat ini dilarang oleh pemerintah. Nelayan dari Jambi dan nelayan luar
lainnya pun demikian. Hal ini mengakibatkan turunnya produksi perikanan di daerah
Sungsang. Masyarakat nelayan di wilayah pesisir Sembilang pada umumnya tidak
menggunakan pukat harimau dan menggunakan alat tangkap yang legal. Apabila
kecenderungan penggunaan pukat harimau ini tidak segera diatur, maka keadaan
masyarakat pesisir Sembilang akan semakin termarjinalisasi.
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
15/26
117
Berdasarkan informasi bahwa biaya untuk melaut bervariasi tergantung kepada
jangkauan kapal dan kemampuan alat tangkap. Biaya melaut untuk daerah sungai dan
pesisir relatif lebih murah, seperti kapal sondong dan cedok kerang. Biaya melaut untuk
daerah perairan yang lebih jauh berkisar antara Rp 800.0000 - Rp 1.500.000,- untuk satu
kali trip di luar biaya alat tangkap. Harga alat tangkap trammel netatau jaring kantong
per unit berkisar antara Rp 150.000200.000, jaring tangsi sekitar Rp 250.000,- dan
jaring trawl sekitar Rp 3.000.000,-. Bagi nelayan bermodal kecil, menangkap dengan
jaring kantong lebih menguntungkan karena dikerjakan berdasarkan sistem bagi hasil.
Pada umumnya kerusakan alat tangkap ditanggung bersama dengan pemilik modal.
Masyarakat nelayan di kawasan Sembilang pada umumnya melaut pada setiap
bulan, kecuali pada bulan Desember, saat dimana terdapat angin barat. Pada bulan-
bulan terjadi angin barat, biasanya ombak laut relatif lebih besar, sehingga para nelayan
Gambar 25 Kegiatan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar
Taman Nasional Sembilang
Sumber: Balai TNS (2009), WIIP (2001)
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
16/26
118
mengalami kesulitan untuk melaut, terutama untuk para nelayan dengan kapal-kapal
kecil. Sementara itu untuk kapal-kapal bertonase besar dengan alat tangkap trawl,
mempunyai daya jelajah tinggi, sehingga bulan Desember dan bulan-bulan angin barat
tidak terlalu banyak berpengaruh.
Produksi tangkapan udang terbesar pada umumnya antara April-Oktober dan
mencapai puncaknya (peak seasons) antara Juni-Agustus. Produksi pada bulan-bulan
ini disebut oleh masyarakat Sembilang sebagai guyur udang. Di luar ketiga bulan
tersebut produk udang relatif sedikit, meskipun tetap berproduksi. Sementara itu,
produksi tangkapan ikan tidak mengenal musim, kecuali pada Desember dimana pada
bulan ini terjadi musim barat dengan ombak besar, sehingga sulit untuk melaut.
Produksi hasil tangkapan nelayan mencapai puncaknya pada bulan-bulan
Februari/Maret - Juli/Agustus.
Komoditas kepiting dan ubur-ubur mempunyai musim untuk penangkapan
selama 6-7 bln th-1. Musim penangkapan biasanya dimulai pada Mei-November.
Produksi terbesar terjadi pada September-Oktober. Para nelayan pada umumnya
menjual hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul di daerah Sungsang dan
Sembilang. Berbeda halnya dengan rajungan, kepiting bakau mulai banyak pada bulan
Juli. Kepiting ini lebih banyak ditangkap di daerah sungai, diantara vegetasi mangrove.
Komoditas ubur-ubur adalah salah satu produk yang berasal dari wilayah pesisir laut
Sembilang. Selama ini produk ubur-ubur lebih banyak dibuang daripada dijual. Hasil
terbanyak adalah di bulan November dan Desember. Komoditas kerang tidak mengenal
musim. Pada umumnya masyarakat nelayan di pesisir Sembilang akan mencari ke
daerah lain, apabila produksi di wilayahnya mulai menurun. Dalam selang waktu satu
bulan, daerah yang ditinggal tersebut dapat dikunjungi lagi untuk di panen. Habitat
kerang hanya terbatas di daerah-daerah pesisir.Kawasan TN Sembilang merupakan salah satu sentra kegiatan ekonomi yang
cukup penting, karena kawasan ini menghasilkan tangkapan perikanan utama yang
meliputi komoditas ikan, udang, rajungan dan kerang. Komoditas tersebut memiliki
nilai ekonomi cukup tinggi, sehingga dapat mempengaruhi perekonomian di wilayah
ini.
Data produksi hasil tangkapan di Dinas Perikanan Banyuasin menunjukkan
bahwa rata-rata hasil produksi udang dari wilayah Sembilang pada tahun 2008
mencapai 100 t th-1 untuk pasar lokal dan 600 t th-1 untuk pasar ekspor. Nilai hasil
tangkapan rata-rata mencapai Rp 7,5 milyar th-1 dari pasar lokal dan Rp 45 milyar th-1
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
17/26
119
dari pasar ekspor. Sementara itu data produksi berbagai jenis ikan dari kawasan
Sembilang mencapai rata-rata 109,2 t th-1 dengan nilai hasil tangkapan rata-rata Rp
568,5 juta th-1, sedangkan produksi berbagai jenis ikan dari kawasan Sungsang
mencapai 807 t th-1 dengan nilai produksi sekitar Rp 4 milyar th -1. Data produksi hasil
rajungan dari dua wilayah Sembilang dan Sungsang mencapai rata-rata 189 t th-1
dengan nilai produksi sekitar Rp 1,89 milyar th-1. Demikian halnya untuk produksi
kerang dari Sembilang dan Sungsang cukup tinggi, rata-rata mencapai 492 t th-1 dengan
nilai produksi rata-rata Rp 82 juta th-1. Dengan demikian total nilai produksi perikanan
dari wilayah TN Sembilang dan sekitarnya rata-rata mencapai Rp 59 milyar th-1.
2) Pola Pengunaan Lahan Masyarakat di luar TN Sembilang
Daerah Transmigrasi Karang Agung adalah salah satu areal yang direncanakan
oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai kawasan budidaya pertanian pasang surut
guna mendukung ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di
Kabupaten Banyuasin. Sistem pertanian dilakukan menggunakan irigasi pasang surut
dengan membuat saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier serta dilengkapi
dengan pintu air dan pompa. Pelaksanaan kegiatan pertanian di daerah transmigrasi ini
dilakukan setiap tahun dengan sistem bera (tidak tanam) selama satu kali. Areal
penggunaan lahan di daerah transmigrasi pada umumnya dibagi menjadi 3 (tiga) lokasi
pemanfaatan; antara lain Lahan Usaha ke-1, Lahan Usaha ke-2 dan Lahan Pekarangan.
Lahan Usaha I (LU I)
Lahan usaha ke-1 merupakan areal utama yang digunakan untuk pertanian
adalah LU I dengan mendapatkan areal yang direncanakan seluas 1 hektar dari jatah
yang didapat para transmigran. Jenis varietas pertanian (sawah pasang surut) yang
ditanam pada umumnya adalah varietas lokal dan IR42 (label biru). Ada beberapa
penduduk menggunakan areal LU I untuk penanaman palawija (bila musim hama
datang) seperti jagung, kedelai, kacang, tomat dan sayur-sayuran.
Lahan Usaha II (LU II)
Lahan usaha ke-2 di daerah transmigrasi merupakan areal yang diperuntukan
pengembangan wilayah pertanian bila di LU I sudah tidak mencukupi atau tidak
memungkinkan lagi untuk meningkatkan produksi pertanian. Akan tetapi sebagian areal
di lokasi transmigrasi masih merupakan alang-alang dan semak, hal ini disebabkan areal
tersebut berada di tepi hutan atau merupakan areal tergenang secara terus menerus. Di
samping itu, Lahan Usaha II juga merupakan batas antar desa di setiap kawasan
transmigrasi.
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
18/26
120
Lahan pekarangan
Areal ini terutama diperuntukan sebagai pemukiman penduduk. Di Lahan
Pekarangan ini, masyarakat transmigrasi menanam tanaman perkebunan guna
menunjang kehidupan antara lain, kelapa lokal, kopi, kakao, serta sayur-sayuran.
Areal penggunaan lain
Lahan yang diperuntukkan sebagai tempat sosial antara lain; sekolah (SD, SMP
dan Madrasah), kantor desa, lapangan olah raga, kuburan, pasar dan kantor penyuluh
lapangan. Masyarakat transmigrasi sebagian besar adalah petani padi pasang surut dan
sebagian merangkap sebagai guru, PNS, tukang ojek, pedagang dan lain-lain. Aktivitas
masyarakat dalam pemanfaatan lahan dan hutan adalah sebagian besar masyarakat
mengambil kayu bakar dari hutan terdekat (sebelah selatan TNS), mencari ikan disepanjang Sungai Sembilang dan sekitarnya. Disamping itu terdapat juga sebagian kecil
masyarakat yang melakukan perambahan hutan di bekas HPH PT. Sukses Sumatera
Timber (SST) dan membuka tambak tradisional di luar areal transmigrasi, terutama di
dalam kawasan TNS.
c. Kondisi Ekonomi Wilayah
Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu wilayah
dalam suatu periode tertentu adalah ditunjukkan oleh data produk domestik regional
bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB
merupakan jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di
wilayah domestik tanpa memperhatikan faktor kepemilikan apakah faktor produksinya
berasal atau dimiliki oleh penduduk setempat atau tidak.
Kondisi perekonomian Kabupaten Banyuasin dalam dua tahun terakhir
mengalami pertumbuhan ekonomi positif, yaitu 5,48% pada tahun 2008. Terjadi
perlambatanan pertumbuhan dibanding tahun 2007 (6,33%). Hal ini terjadi karena
tingkat harga minyak dunia mengalami fluktuasi. Pada tahun 2008 sektor perikanan di
kabupaten ini juga mengalami penurunan produksi akibat biaya operasional
penangkapan ikan di perairan umum cukup tinggi, demikian halnya biaya operasional di
sektor industri.
Berdasarkan data PDRB Kabupaten Banyuasin (BPS 2009) menunjukkan
dimana PDRB (termasuk migas) atas dasar harga berlaku tahun 2008 sebesar Rp 9.884
milyar mengalami perlambatan antara tahun 2005 (23,70%), tahun 2006 (19,78%) dan
tahun 2007 (16,07%). Kondisi ini terjadi karena harga minyak dunia yang terusmelonjak sehingga berpengaruh terhadap biaya produksi seluruh sektor ekonomi.
Namun demikian pertumbuhan kembali meningkat pada tahun 2008 sebesar 21,15%.
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
19/26
121
Sementara itu, PDRB tanpa migas relatif lebih fluktuatif dimana antara tahun 2005 dan
2006 mengalami peningkatan dari 14,26% menjadi 18,59%. Pada tahun 2007 kembali
mengalami penurunan menjadi 16,07%, kemudian pada tahun 2008 mengalami
pertumbuhan sebesar 17,45%. Secara diagramatik disajikan padaGambar 26.
9.884.3778.158.813
7.029.269
5.868.620
6.748.402
5.745.816
4.901.154
4.132.697
17,45
21,15
16,07
23,70
19,78 17,23
18,5914,26
2.000.000
3.000.000
4.000.000
5.000.000
6.000.000
7.000.000
8.000.000
9.000.000
10.000.000
2005 2006 2007 2008
PDRB(Rp)
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
P
ertumbuhanPDRB(%)
PDRB dgn migas
(Rp juta)
PDRB tanpa migas
(Rp juta)
Pertumbuhan
PDRB dgn migas
Pertumbuhan
PDRB tanpa migas
Melambatnya pertumbuhan ekonomi Banyuasin juga sebagai dampak krisisekonomi global tahun 2007/2008. Harga komoditas ekspor produksi sektor pertanian
seperti karet dan sawit mengalami kontraksi di pasar internasional. Kinerja
perekonomian sektoral ditandai oleh tumbuhnya beberapa sektor yang cukup tinggi
seperti sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor jasa-jasa dan sektor bangunan.
Secara grafik disajikan pada Gambar 27.
Sumber: BPS Banyuasin 2009. Data diolah
Gambar 26 Produk domestik regional bruto Kabupaten Banyuasin atas
dasar harga berlaku dan pertumbuhannya
0
2
4
6
8
10
12
14
16
2005 2006 2007 2008
Lajupertumbuhanekonomi(%
)
PertanianPertambangan
Industri pengolahan
Listrik, gas & air bersih
Bangunan
Perdagangan
Angkutan
Keuangan
Jasa-jasa
Sumber: BPS Banyuasin 2009. Data diolah
Gambar 27 Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuasin menurut
sektor
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
20/26
122
Berdasarkan kelompok sektor, PDRB Banyuasin tahun 2008 masih ditopang
oleh sektor primer 47,78% (sektor pertanian 30,46% dan sektor pertambangan 17,32%)
dan sektor sekunder 34,82% (sektor industri pengolahan 27,50%, listrik/gas/air 0,04%,
bangunan 7,27%). Sementara pangsa sektor tersier menyumbang 17,41% (terdiri dari:
perdagangan 11,4%, angkutan 0,54%, keuangan 0,71% dan jasa-jasa 4,72%). Pangsa
sektor primer tersebut sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat
48,57%. Penurunan pangsa di sektor primer ini terjadi pada sektor pertanian sebesar
32,27% menjadi 30,46%. Selengkapnya secara grafik disajikan pada Gambar 28.
32,2730,46
16,29 17,32
27,16 27,5
7,12 7,27
11,4 11,43
0,53 0,040,05 0,540,710,74
4,43 4,72
0
5
10
15
20
25
30
35
2007 2008
Kontribusisektor(%
)
Pertanian
Pertambangan
Industri pengolahan
Listrik, gas & air bersih
Bangunan
Perdagangan
Angkutan
Keuangan
Jasa-jasa
Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuasin tidak hanya menunjukkan
peningkatan output atau tingkat pendapatan secara makro, tetapi pertumbuhan ekonomi
juga menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan pendapatan per kapita masyarakat.
Angka pendapatan per kapita ini lazim digunakan sebagai indikator untuk mengukur
tingkat kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan data PDRB Kabupaten Banyuasin 2008/2009 (BPS Banyuasin
2009) menunjukkan pertumbuhan pendapatan per kapita atas dasar harga berlaku di
kabupaten ini mengalami peningkatan. PDRB per kapita dengan migas tahun 2005
sebesar Rp 7.997.269, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2006 sebesar Rp
9.280.812 (7,43%) dan pada tahun 2007 mengalami sedikit perlambatan 6,94% . Akan
tetapi pada tahun 2008 kembali mengalami kenaikan pertumbuhan PDRB per kapita
sebesar Rp 12.380.852 (8,32%). Kondisi ini mencerminkan bahwa masyarakat
Kabupaten Banyuasin relatif sejahtera. Namun data lapangan menunjukkan tekanan
penduduk terhadap lahan hutan relatif masih tinggi. Secara grafis pertumbuhan
pendapatan per kapita disajikan pada Gambar 29.
Sumber: BPS Banyuasin 2009. Data diolah
Gambar 28 Struktur ekonomi Kabupaten Banyuasin
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
21/26
123
10.478.462
733.828 757.398 778.627 798.360
12.380.852
9.280.8127.997.269 8.452.831
7.379.421
6.471.041
5.631.697
6,06
5,10
6,56 6,78
4,00
7,438,32
6,94
-
2.000.000
4.000.000
6.000.000
8.000.000
10.000.000
12.000.000
14.000.000
2005 2006 2007 2008
PDRB/kapita(Rp)danJmlpen
duduk(jiwa)
-
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
(%)
PDRB/kapita dgn migas (Rp juta)
PDRB/kapita tanpa migas (Rp juta)
Jumlah penduduk
Pertumbuhan pendapatan/kapita
dg migas
Pertumbuhan pendapatan/kapita
tanpa migas
4.2. Perkembangan Pengelolaan TN Sembilang
Dalam dokumen rencana pengelolaan TN Sembilang 2009-2028 (TNS 2009)
dijelaskan bahwa sejarah perkembangan pengelolaan TN Sembilang didasarkan pada
rekomendasi Gubernur Provinsi Sumatera Selatan melalui surat Gubernur No
522/5459/BAPPEDA-IV/1998, dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 76/Kpts-
II/2001 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Selatan tanggal 15
Maret 2001, yang didalamnya tercantum penunjukan kawasan Sembilang menjadi
Taman Nasional. Selanjutnya ditindaklanjuti oleh Gubernur Provinsi Sumatera Selatan
melalui Surat Gubernur No 522/5128/I tanggal 23 Oktober 2001 untuk meminta
penetapan kawasan Taman Nasional Sembilang dengan luas 205.750 ha.
Penilaian potensi yang dilakukan oleh Ditjen Bangda Departemen Dalam
Negeri, bekerjasama dengan Ditjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA)
Departemen Kehutanan tahun 1996/1997, juga menyimpulkan bahwa kawasan
Sembilang memenuhi kriteria sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan bentuk Taman
Nasional. Sehingga berdasarkan usulan, kajian dan rekomendasi tersebut, Kawasan
Sembilang kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan
konservasi sebagai Taman Nasional, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.
95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, dengan luas 202.896.31 ha
Pengelolaan kawasan TN Sembilang merupakan satu kesatuan pengelolaan dari
tata ruang dan rencana pembangunan daerah. Secara umum tata guna lahan di sekitar
kawasan TN Sembilang meliputi : (1) Kawasan hutan produksi, baik yang telah
dibebani hak maupun yang belum dibebani hak, (2) Areal Penggunaan Lain (APL)
Sumber: BPS Banyuasin 2009. Data diolah
Gambar 29 Pendapatan perkapita Kabupaten Banyuasin atas dasar
harga berlaku dan pertumbuhannya
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
22/26
124
berupa kawasan perkebunan, lahan transmigrasi dan lahan-lahan yang belum dibebani
hak, (3) kawasan pelestarian alam (TN Berbak di Provinsi Jambi), dan (4) Kelompok
Hutan Lindung Rimau dan Air Telang, serta (5) Calon pelabuhan domestik maupun
internasional Tanjung Api-Api.
Kebijakan optimalisasi pemanfatan ruang baik kawasan hutan produksi maupun
APL yang berbatasan langsung dengan TNS tidak terelakkan di masa mendatang.
Sampai tahun 2008 sudah diterbitkkan satu ijin prinsip IUPHHK-HTI yakni PT.
Sumber Hijau Permai, sedangkan lainnya masih dalam proses. Optimalisasi
pemanfaatan APL mengalami perkembangan cukup pesat. Sampai tahun 2008 tercatat
dua perusahaan perkebunan sudah beroperasi yaitu PT. Raja Palma dan PT Citra Indo
Niaga. Memperhatikan kondisi saat ini tidak menutup kemungkinan penerbitan ijin
prinsip tersebut akan terus bertambah .
Kawasan transmigrasi Karang Agung (Karang Agung Tengah dan Karang
Agung Ilir) dengan 31 desa terletak di sebelah selatan TN Sembilang. Kawasan ini
berdekatan langsung dengan taman nasional. Kawasan transmigrasi ini dimulai pada
tahun 1982 dan 1985. Dalam perkembangannya desa-desa tersebut ada yang telah
membuka tambak mendekati dan sebagian terindikasi berada dalam kawasan taman
nasional.
Di sebelah utara TN Sembilang terletak Taman Nasional Berbak, salah satuSitus Ramsar (lahan basah yang dianggap penting secara internasional) yang ada di
Indonesia. Di antara ke dua kawasan ini mengalir Sungai Benu yang juga merupakan
batas Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Kawasan di antara ke dua taman nasional
ini terdapat sebuah desa definitif yakni Desa Tanah Pilih (di dalam kawasan TN
Sembilang). Kondisinya telah terbuka dan hanya terdapat sedikit hutan rawa yang
tersisa yang berhubungan langsung dengan ke dua kawasan taman nasional tersebut.
Kebijakan Pemerintah Daerah mengharapkan adanya batas desa yang jelas dan
dikeluarkan dari taman nasional. Salah satu rencana pembangunan di Provinsi Sumatera
Selatan yang berada di dekat TN Sembilang adalah rencana pembangunan Pelabuhan
Samudera Tanjung Api-Api. Pelabuhan samudera ini diharapkan dapat memberikan
akses transportasi utama dari dan ke Sumatera Selatan melalui laut. Di sekitar kawasan
Tanjung Api-Api ini direncanakan dibangun kawasan industri.
Di sebelah barat kawasan juga merupakan wilayah konsesi minyak dan gas bumi
Jambi Merang (Joint Operating Body Pertamina-YPF Jambi Merang). Kegiatan
ekplorasi dan eksploitasi dilakukan di sekitar kawasan. Demikian juga halnya di
kawasan Semenanjung Banyuasin telah dibuka oleh masyarakat secara ilegal untuk
pengembangan usaha budidaya perikanan (tambak).
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
23/26
125
4.3 Isu dan Permasalahan Lingkungan Pesisir
Berdasarkan informasi dari Balai TN Sembilang menunjukkan bahwa isu dan
permasalahan yang mengancam upaya konservasi di TN Sembilang sangat kompleks.
Hasil identifikasi meliputi : konversi lahan (untuk tambak, kebun dan ladang),
pemanfaatan hutan ilegal (penebangan liar, eksploitasi sumber daya lain), kegiatan
perikanan yang tidak lestari (penggunaan jaring pukat harimau, sianida), polusi,
kebakaran hutan dan lahan, serta konflik sosial. Masalah kelembagaan seperti kurang
koordinasi, tata batas taman nasional yang belum jelas, serta sistem landtenurial di
sekitar kawasan dapat berpengaruh negatif.
Semua permasalahan memiliki hubungan dengan aktivitas antropogenik. Ada
kecenderungan dimana ancaman terhadap TN Sembilang akan semakin tinggi akibat
adanya migrasi masuk yang terus bertambah. Selain itu juga gagalnya sistem
penggunaan lahan pertanian di areal transmigrasi, adanya proyek kontroversial
terhadap lingkungan seperti pembangunan pelabuhan Tanjung Api-Api serta eksploitasi
minyak dan gas bumi di sebelah barat kawasan TN Sembilang. Isu dan permasalahan
lingkungan pesisir di Kabupaten Banyuasin secara ringkas disajikan pada Tabel 16.
Alat tangkap trawlbanyak diminati nelayan yang bermodal besar, karena daya
ekploitasinya yang tinggi. Ukuran mata jaring yang besar di awal dan semakin mengecil
di ujungnya ditambah dengan daya jelajah kapal yang tinggi, menyebabkan tidak
adanya selektivitas produk yang ditangkap. Dengan logam pemberat dibagian dasar
jaring, menyebabkan dasar perairan ikut terangkat, teraduk dan terbawa jaring bila
menangkap di perairan yang dangkal. Hal ini membahayakan kelestarian sumberdaya
perikanan. Warga Sungsang mulai terpengaruh memakai alat ini, meskipun alat ini
dilarang oleh pemerintah. Nelayan dari Jambi, Riau dan nelayan luar lainnya pun
demikian. Sejak maraknya pemakaian jaring pukat harimau, hasil perikanan terus
menurun. Kondisi ini akan semakin memperburuk keadaan bila dibiarkan, karena
mayoritas nelayan tidak menggunakan pukat harimau dan menggunakan alat tangkap
yang legal. Dari tahun 1998 hingga sekarang, hasil ikan terus mengalami penurunan.
Konflik nelayan tradisional dengan nelayan pukat harimau seperti pembakaran
kapal dan jaring sering terjadi di daerah Sungsang. Dampak pukat harimau telah
berpengaruh terhadap para nelayan di kawasan pesisir TN Sembilang. Umumnya
mengeluh karena hasil laut yang terus turun, sampai akhirnya mengambil keputusanuntuk membuka tambak di kawasan TN Sembilang.
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
24/26
126
Tabel 16 Isu dan permasalahan lingkungan pesisir di kawasan TN Sembilang
NoIsu dan
permasalahanFaktor penyebab
1 Konversi lahan a.Pembuatan tambak-tambak. Saat ini masih ada sekitar 2.013 ha tambak illegal di
dalam TN Sembilangb.Pembuatan lahan pertanian, terutama untuk kebun kelapac.Spekulasi tanah terutama untuk mengantisipasi dibangunnya Pelabuhan Tanjung
Api-api
2 Pemanfaatan hasilhutan yang tidak
lestari
a.Pemanfaatan daun Nipah (Nypa fruticans) sangat intensifb.Penggunaan pohon Nibung (Oncosperma tigillarium) untuk tiang bangunanc.Pemanfaatan hasil hutan yang ilegal (seperti penebangan liar, perburuan,
pemanfaatan sumberdaya yang tidak lestari). Kegiatan penebangan liar telah terjadidi kawasan sekitar bekas areal HPH PT Riwayat Musi Timber dan PT Bumi RayaUtara, Sungai Bakorendo, dan Sungai Sembilang/Simpang I. Dampak negatifpenebangan liar mengancam habitat hidupan liar, seperti Buaya Sinyulong
(Tomistoma schlegelii). Di luar/sekitar kawasan, penebangan liar terjadi di sekitar
Sungai Merang, dan hutan gambut sekitar Sungai Kepahiang.Perburuan/penangkapan satwa juga mengancam spesies harimau, buaya dan hidupan
liar lainnnya.3 Kegiatan
perikanan yangtidak lestari
a.Penggunaan pukat harimaub.Penangkapan ikan dengan menggunakan sianida
4 Polusi a.Sampah plastik dan tumpahan minyak dari mesin kapal merupakan ancaman bagikehidupan biota.
b.Rencana eksploitasi gas bumi oleh JOB antara Pertamina dan YPF Jambi-Merangdiprediksi dapat menimbulkan polusi air di beberapa sungai di sekitar TN
Sembilang, terutama di Sungai Bakorendo. Meskipun konsesi ini tidak dilanjutkan,
karena tidak mendapat ijin dari Kementerian Kehutanan, sebaiknya rencana ini tetapperlu diantisipasi dan diwaspadai.
c.Jika pelabuhan samudra di Tanjung Api-Api dibangun, polusi tumpahan minyak darikapal-kapal akan meningkat. Polusi dari penggunaan pestisida dan antibiotik juga
terjadi di kawasan tambak
5 Kebakaran hutandan lahan a.Beberapa kebakaran yang telah terjadi berhubungan langsung dengan kegiatanpembukaan lahan yang luas (contoh : transmigrasi dan kebun kelapa sawit), yang
lainnya disebabkan oleh pendudukb.Penyebab utama dari kebakaran ini adalah kegiatan penebang liar untuk budidaya
pertanian, nelayan yang melakukan pembukaan vegetasi untuk mencari ikan sertapengembangan kawasan transmigrasi.
6 Konflik sosial a.Di dalam kawasan TN Sembilang dan sekitarnya terdapat tiga kelompok komunitas:(1) para petambak yang relatif baru, (2) mayoritas masyarakat nelayan tangkap, dan(3) para transmigran di Karang Agung yang pada umumnya petani. Jika terjadiperubahan dalam penggunaan lahan dari ke tiganya akan dapat menyulut konflik
sosial yang lebih besar.
b.Sedikitnya tiga macam konflik dapat terjadi: (1) Konflik antara nelayan setempatdan petambak, sebagai akibat kecemburuan sosial. Konflik ini dimulai saatmasyarakat setempat tidak diperbolehkan untuk membuka tambak, sementara para
petambak yang umumnya pendatang dapat melakukannya. (2) Konflik antara
nelayan tradisional dengan para nelayan pukat harimau. (3) Konflik lain terjadiantara nelayan tangkap tradisional setempat dengan nelayan pukat harimau yangmenangkap ikan di sekitar Sungsang. Nelayan pukat harimau ini mengeksploitasi
sumberdaya laut sehingga meninggalkan sedikit hasil tangkapan bagi nelayantradisional. Sebagai satu dampak, beberapa nelayan setempat cepat atau lambat akanmerubah cara pemanfaatan sumberdaya ke arah budidaya tambak
c.Konflik antara transmigran dan penduduk setempatd.Jika situasi ekonomi di kawasan transmigrasi Karang Agung semakin buruk,
perubahan kegiatan bertani ke arah pemanfaatan sumberdaya hutan dan rawa akanmeningkat. Ini dapat menuju pada situasi kompetisi antara para transmigran danpenduduk setempat.
7 MasalahKelembagaan
a.Koordinasi antar instansi masih lemah.b.Masalah eksploitasi minyak dan gas bumi di sekitar TN Sembilang
c.Dampak rencana pembangunan pelabuhan samudera Tanjung Api-Api, jugamerupakan kurangnya koordinasi antara instansi pemerintah
Sumber : Hasil identifikasi lapangan dan sumber data lainnya (2010)
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
25/26
127
Adanya perbedaan perspektif daerah dan nasional serta internasional dalam hal
mengelola sumberdaya alam, sering menimbulkan konflik kepentingan antara
konservasi dan konversi. Perspektif nasional lebih mengedepankan isu-isu lingkungan
untuk kelangsungan sumberdaya alam bagi generasi mendatang, sementara perspektif
daerah karena berbagai tuntutan ekonomi terkadang lebih mengedepankan konversi
menjadi budidaya intensif (contoh: konversi untuk kebun sawit, transmigrasi, tambak
dan sebagainya). Meskipun prospek TN Sembilang memberikan manfaat bagi
masyarakat dengan menjaga habitat pemijahan, sumber nutrisi dan pengasuhan
(spawning ground) bagi ikan dan udang, hal ini tidak secara luas diketahui dan disadari.
Walaupun pendapatan dari perikanan seluruhnya masuk ke pemerintah daerah (70%
untuk Kabupaten, 30% untuk Desa), bahkan lebih banyak dana dari perikanan
diredistribusi melalui sistem pajak.
Penyebab utama permasalahan dan ancaman di sekitar kawasan TN Sembilang
meliputi tiga isu utama, yaitu; (1) Konflik antara TN Sembilang dan masyarakat
setempat mengenai strategi yang menyangkut matapencaharian dan penghidupan, (2)
Konflik antara TN Sembilang dan rencana-rencana pembangunan yang ada, (3) Konflik
antara TN Sembilang dan kegiatan-kegiatan bisnis ilegal dalam skala besar. Masih
lemahnya koordinasi antar stakeholder serta masih adanya perbedaan perspektif dalam
hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga ketiga isu utama tersebut
masih dominan di kawasan ini. Sebagai contoh adanya rencana eksploitasi gas bumi di
dalam TN Sembilang, meskipun konsesi ini pada akhirnya tidak dilanjutkan karena
tidak mendapat ijin dari Kementerian Kehutanan. Namun ke depan, praktek-praktek
seperti ini perlu diantisipasi. Hal lain adalah antisipasi dampak rencana pembangunan
pelabuhan Samudera Tanjung Api-Api di sebelah Selatan TNS. Hal ini juga merupakan
produk kurangnya koordinasi antara instansi pemerintah. Ketiga isu utama inimerupakan ancaman terhadap eksistensi TN Sembilang di masa yang akan datang.
7/22/2019 hutan lindung sungai sembilang
26/26
152
bahan bangunan (kayu nibung), sedangkan yang dilakukan masyarakat luar kabupaten
umumnya dijual ke Palembang.
Penebangan liar ini diprediksi berdampak negatif pada struktur hutan secara
umum di kawasan TN Sembilang. Hal lain juga dapat mengancam habitat tersisa dari
buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii) di sepanjang Sungai Merang. Berdasarkan
informasi dari TN Sembilang serta pengamatan langsung di lapangan menunjukkan
bahwa saat ini terdapat peningkatan aktivitas masyarakat yang cukup signifikan di
Sungai Merang. Disamping dampak langsung pada habitat buaya sinyulong,
peningkatan gangguan terhadap habitat dan sarang buaya jenis ini juga disebabkan oleh
meningkatnya populasi manusia di daerah tersebut, seperti kapal-kapal motor dan
penggunaan chainsaw di hulu-hulu sungai. Kecenderungan lain penggerak emisi CO2
yang tidak direncanakan adalah masalah kebakaran hutan dan lahan yang telah berulang
kali terjadi di kawasan TN Sembilang.