BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transaksi-transaksi atau
hubungan dagang banyak bentuknya, dari berupa hubungan jual beli
barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa
berdasarkan suatu kontrak, dan lain-lain semua transaksi tersebut
sarat dengan potensi melahirkan sengketa. Umumnya sengketa-sengketa
dagang kerap didahului oleh penyelsaian negoisasi. Jika cara
penyelsaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh
cara-cara lainnya seperti penyelsaian melalui pengadilan atau
arbitrase.1 Penyelsaian sengketa baik kepada pengadilan maupun ke
arbitrase, kerap kali didassarkan pada suatu perjanjian diantara
para pihak. Langkah yang bisa di tempuh adalah dengan membuat suatu
perjanjian atau memasukan suatu klausula penyelsaian sengketa ke
dalam ko bisa di tempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau
memasukan suatu klausula penyelsaian sengketa ke dalam kontrak atau
perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan
arbitrase.2 Dasar hukum bagi forum atau badan penyelsaian sengketa
yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak.
Kesepakatan tersebut diletakan, baik pada waktu kontrak atau
setelah sengketa timbul
Gerald Cooke, Disputes Resolution in International Trading, in
jonathan Reuvid (ed)., the strategic Guide to international Trade
(london;kogan page, 1997), hlm 193. 2 Pada umumnya disamping
menyepakati lembaga atau forum yang akan menyelsaikan sengketa,
para pihak perlu juga menyepakati hukum apa yang akan diterapkan
oleh badan peradilan yang baru di sepakati para pihak.(Gerlad
cooke, op.cit., hlm 193).
1
1
B.Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah yang akan disajikan penulis dalam
karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana prosedur pelaksanaan penyelsaian sengketa
alternatif dalam perdagangan internasional menurut GATT? 2.
Bagaimana prosedur pelaksanaan penyelsaian sengketa alternatif
dalam perdagangan internasional menurut WTO ?
2
BAB II PENYELSAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI
HUBUNGKAN DENGAN GATT DAN WTO A. PARA PIHAK DALAM SENGKETA Memuat
beberapa stakeholders atau subjek hukum dalam hukum perdagangan
internasional, yaitu negara, perusahaan atau individu, dan
lain-lain. Dalam uraian berikut, para pihak yang menjadi pembahasan
dibatasi hanya antara pertama, pedagang dan pedagang, dan kedua
pedagang dan negara asing.3 1. Sengketa antara Pedagang dan
Pedagang Sengketa antara dua pedagang adalah sengketa yang sering
dan paling banyak terjadi. Sengketa seperti ini terjadi hampir
setiap hari. Sengketanyya diselsaikan melalui berbagai cara. Cara
tersebut semuanya bergantung pada kebebasan dan kesepakatan para
pihak Kesepakatan dan kebebasan akan pula menentukan forum
pengadilan apa yang akan menyelsaikan sengketa mereka. kesepakatan
kebebasan pula yang akan mnentukan hukum apa yang akan diberlakukan
dan diterapkan olleh badan pengadilan yang mengadili sengketanya.
Kesepakatan dan kebebasan para pihak merupakan hal yang esensial.
Hukum menghormati kesepakatan dan kebebasan tersebut. Sudah barang
tentu, kesepakatan dan kebebasan tersebut. Sudah barang tentu,
kesepakatan dan kebebasan tersebut ada batasbatasnya. Biasanyya
batas-batas tersebut adalah tidak melanggar undangundang dan
ketertiban umum.4
3 4
Haula Adolf, Hukum Perdagangan Internaional, Jakarta,
Rajagrafindo Persada, 2005. hlm 193. Ibid., hlm 194.
3
2.Sengketa antar Pedagang dan Negara Asing Sengketa antara
pedagang dan negara juga bukan merupakan kekecualian kontrakkontrak
dagang antara pedagang dan negara sudah lazim ditandatangani.
Kontrak-kontrak seperti ini biasanya dalam jumlah (nilai) yang
relatif besar. Termasuk didalamnya adalah kontrak-kontrak
pembangunan (development contracts), misalnya, kontrak di bidang
pertambangan.Yang menjadi masalah adanya konsep imunitas negara
yang diakui hukum internasional. Konsep imunitas ini paling tidak
berpengaruh terhadap keputusan pedagang untuk menentukan
penyelsaian sengketanya. Masalah utamanya adalah dengan adanya
konsep imunitas ini, suatu negara dalam situasi apa pun, tidak akan
pernah dapat diadili dihadapan badan-badan peradilan asing.5 Namun
demikian hukum internasional ternyata fleksibel. Hukum
internasional tidak semata-mata mengakui atribut negara sebagai
subjek hukum internasional yang sempurna (par excellence ). Hukum
internnasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subjek
hukum internnasional terbatas.Oleh karena itu, dalam hukum
internasional
berkembang pengertian jure imperi dan jure gestiones. Jeri
imperi adalah tindakan-tindakan negara di bidang publik dalam
kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulalt. Oleh karena itu,
tindakan-tindakan seperti itu tidak akan pernah dapat diuji atau
diadili di hadapan badan peradilan.6 Konsep kedua, jure gestiones,
yaitu tindakan-tindakan negara dibidang keperdataan atau dagang,
oleh karena itu, tindakan-tindakan seeperti itu, tidak lain adalah
tindakantindakan negara dalam kapasitasnya seperti orang-perorangan
(pedagang atau privat), sehingga tindakan-tindakan seperti itu
dapat dianggap sebagai tindakan-tindakan
sebagaimana layaknnya para pedagang biasa. Oleh karena itu,
tindakan-tindakan seperti itu5 6
Ibid. Ibid hlm 195.
4
yang kemudian menimbulkan sengketa dapat saja diselsaikan
dihadapan badan-badan peradilan umum, arbbitrase, dan
lain-lain.Sebaliknya, negara-negara yang mengajukkan bantahannya
bahwa suatu badan peradilan tidak memiliki juridiksi untuk
mengadili negara sebaggai pihak dalam sengketa bisnis, biasanya
ditolak. Badan peradilan umumnya menganut adanya konsep jure
gestionesini.7 B.PRINSIP-PRINSIP PENYELSAIAN SENGKETA Dalam hukum
perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini
prinsip-prinsiip mengenai penyelsaian sengketa perdagangan
internasional:8 1. Prinsip kesepakatan para pihak (konsensus)
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam
penyelsaian sengket perdagangan internasional. Prinsip inilah yang
menjadi dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu proses
penyelsaian sengketa. Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah
suatu proses penyelsaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri.
Jadi, prinsip ini sangat esensial. Badan-badan peradilan (termasuk
arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati.9
Termasuk dalam lingkup pengertian kesepakatan ini adalah:10 1)
Bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya
menipu, menekan atau menyesatkan pihak lainnya; 2) Bahwa perubahan
atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah pihak.
Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan
kesepakatan harus pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah
pihak.7 8
Ibid. Ibid. hlm 196 9 Ibid. 10 Ibid.
5
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelsaian Sengketa
Prinsip penting kedua adalah di mana para pihak memiliki kebebasan
penuh untuk menentukan dan memilih cara atau makanisme bagaimana
sengketanya diselsaikan (principle of free choice of means).
Prinsip ini termuat antara lain dalam pasal 7 The UNCITRAL Model
Law on International Commercial Arbitration. Pasal ini memuat
definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan
sengketa ke suatu badan arbitrase. Menurut Pasal ini, penyerahan
sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian
para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase
haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnyya.11
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum Prinsip penting lainnya adalah
prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa
yang akan diterapkan (bila sengketanya di selsaikan) oleh badan
peradilan (arbitrase) terhadap pokok sengketa. Kebebasan para pihak
untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih
kepatutan dan kelayakan(ex aequo et bono). Prinsip terakhir ini
adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan
prinsipprinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelsaian
sengketa. Contoh kebebasan memilih ini yang harus di hormati oleh
badan peradilan adalah Pasal 28 ayat (1) UNCITRAL Model Law on
International Commercial Arbitration adalah sebagai berikut:12 The
arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such
rules of law as are chosen by the parties as applicable to the
substance of the dispute. Any designation of the law or legal
system of a given state shall be constured, unless otheruise
expressed, as directly referring to the substantive law of that
state and not to its conflict of law rules.
11 12
Ibid. Ibid. hlm 197.
6
4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith) Prinsip itikad baik dapat
dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam
penyelsaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan
adanya itikad baik dari para pihak dalm menyelsaikan
sengketanya.Dalam penyelsaian sengketa, prinsip ini tercermin dalam
dua tahap. Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah
timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan baik
diantara negara.Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika
para pihak menyelsaikan sengketanya melalui cara-cara penyelsaian
sengketa yang dikenal dalam huukum (perdagangan) internasional,
yakni negoisasi, mediasi, konsoliasi, arbitrase, pengadilan atau
cara-cara pilihan para pihak lainnya.13 5. Prinsip Exhaustion of
local Remedies Prinsip Exhaustion of local remedies sebenarnya
semula lahir dari prinsip hukum kebiasaan internasional . dalam
upayanya merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini, komisi hukum
internasional PBB (international Law Comission ) memuat aturan
khusus mengenai prinsip ini dalam Pasal 22 mengenai ILC Draft
Article on State
Responsibility.Pasal 22 ini menyatakan sebagai berikkut:14 When
the conduct of a state has created a situation not in conformity
with the result of it by an international obligation concerning the
treatment too be accorded to aliens, whether natural or juridicial
persons, but the obligation allows that this or an equivalent
result may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the
state, there is a breach of the obligation only if the aliens
concerned have exhausted the efective local remedies available to
them without obtaining the treatment called for by the obligation
or, where that is not possible, an equivalent treatment Menurut
prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum
para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional,
langkah-langkah penyelsaian sengketa yang tersedia atau diberikan
oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih13 14
Ibid. hlm 198. Ibid. hlm 199.
7
dahuluu ditempuh (exhausted). Dalam sengketa the interhandle
case(1959), mahkamah internasional menegasskan:15 Before resort may
be had to an internatiional court the state where the violation
occured sholud have an opportunity to redress it by its owns means,
within the framework of its own domestic legal system. C.FORUM
PENYELSAIAN SENGKETA Forum penyelsaian sengketa dalam hukum
perdagangan internasional pada prinsipnya juga sama dengan forum
yang dikenal dalam hukum penyelsaian sengketa (internasional ) pada
umumnya. Forum tersebut adalah negoisasi, penyelidikan fakta-fakta
(inquiry), mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui
hukum atau melalui pengadilan, atau cara-cara penyelsaian sengketa
lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.16 Cara-cara
sengketa diatas telah dikenal dalam berbagai negara dan sistem
hukum di dunia. Cara-cara tersebut dipandang sebagai bagian
integral dari penyelsaian sengketa yang diakui dalam sistem
hukumnnya. Misalnya , hukum nasional RI yang dapat ditemukan dalam
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan
alternatif penyelsaian sengketa negara lainnya adalah amerika
serikat, Inggris, Australia.17 Berikut adala uraian singkat
mengenai forum-forum teersebut. Tidak semua forum dibahas, tetapi
pada tapi akan dibatasi pada negoisasi, konsiliasi, pengadilan dan
arbitrase. Sementara ini, penyelidikan fakta (inquiry) atau
cara-cara lainnya yang para pihak sepakati tidak termasuk dlam
bahasan.18
15 16
Ibid. Ibid. hlm 200 17 Ibid. hlm 201. 18 Ibid.
8
1. Negoisasi Negoisasi adalah cara penyelsaian sengketa yang
paling dasar dan yang paling tua digunakan. Penyelsaian melalui
negoisasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa
diselsaikan setiap harioleh negoisasi iini tanpa adanya publisitas
atau menarik perhatian publik.Alasan utamanya adalah karena dengan
cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelsaian
sengketanya. Setiap penyelsaiannya pun didasarkan pada kesepakatan
atau konsensus para pihak. Senada dengan itu, kohona mengatakan
bahwa negoisasin adalah an efficacious means of settling disputes
relating to an agreement because they enable parties to arrive at
conclusions baving regard to the wishes of all the disputants.19
Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelsaikan
sengketa adalah pertama, ketika para pihak berkedudukan tidak
seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain lemah. Dalam keadaan
ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak
lainnya. Hal ini acap kali terjadi ketika kedua pihak bernegoisasi
untuk menyelsaikan sengketa di antara mereka. Kelemahan kedua
adalah bahwa proses berlangsungnya negoisasi acap kali lambat dan
bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya per
masalahanpermasalahan yang timbul di antara para pihak. Selain itu,
jarang sekali ada persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak
untuk menyelsaikan sengketanya melalui negoisasi ini.20 Kelemahan
ketiga adalah ketika suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya.
Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negoisasi ini menjadi tidak
produktif.Mengenai pelaksanaan negoisasi, prosedur-prosedur yang
terdapat di dalamnya perlu dibedakan sebagai berikut. Pertama,
negoisasi digunakan ketika suatu sengketa belum lahir (disebut pula
sebgai19 20
Ibid. Ibid.
9
konsultasi). Dan kedua, negoisasi ini merupakan proses
penyelsaian sengketa oleh para pihak (dalam arti negoisasi).21 2.
Mediasi Mediasi adalah suatu cara penyelsaian melalui pihak ketiga.
Pihak ketiga tersebut bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau
organisasi profesi atau dagang. Mmediator ikut serta secara aktif
dalam proses negoisasi. Biasanya ia, dengan kapasitasnya sebagai
pihak yang netral, berupaya mendamaikkan para pihak dengan
memberikan saran penyelsaian seengketa.Usulan-usulan pennyelsaian
melalui mediasi dibuat agak tidak resmi (informal). Usulan ini
dibuat berdasarkan informasi-informasi yang dibeerikan oleh para
pihak, bukan atas penyelidikannya.22 jika usulan tersebut tidak
diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi mediasinya
dengan membuat usulan-usulan baru. Oleh karena itu, salah satu
fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelsaian),
mengidentifikasi hal-hal yang dapaat disepakati para pihak serta
membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa. Seperti
halnya dalam negoisasi, tidak ada prsedur-prosedur khusus yang
harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan
prosedurnya. Hal yang penting adalah kesepakatan para pihak mulai
dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima atau tidaknya
usulan-usulan yang diberikan oleh mediator, smpai kepada
pengakhiran tugas mediator.23 Gerlad cooke menggambarkan kelebihan
mediasi ini sebagai berikut:24 Where mediation is successfully
used, it generaly provides a quick cheap and effective result. It
is cleary appropriate, therefore, to consider providing for
mediation or other alternative dispute resolution clause.
21 22
Ibid hlm 202. Ibid hlm 203. 23 Ibid. 24 Ibid.
10
Cooke juga dengan benar mengingatkan bahwa penyelesaian melalui
mediasi ini tidaklah mengikat. Artinya, para pihak meski telah
sepakat untuk menyelsaikan sengketanya melalui mediasi, namun
mereka tidak wajib atau harus menyelsaikan sengketanya melalui
mediasi. Ketika para pihak gagal menyelsaikan sengketanya melalui
mediasi, mereka masih dapat menyerahkan ke forum yang mengikat
yaitu penyelsaian melalui hukum, yaitu pengadilan atau arbitrase.25
3.konsoliasi Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua
cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelsaikan
sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk
dibedakan. Istilahnya acap kali digunakan denggan bergantian. Namun
menurut Behrns, ada perbedaan antara kedua istilah ini yaitu,
konsiliasi lebih formal dari pada mediasi. Konsiliasi bisa juga
diselsaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut
dengan badan atau komisi konsilias. Komisi konsiliasi bisa yang
sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk
mmenetapkan persyaratan-persyaratan penyelsaian yang diterima oleh
para pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak.26
Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap
yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama sengketa (yang
diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi.
Kemudian, badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para
pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut,
tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta
yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan
menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan
dan usulan-usulan
25 26
Ibid. hlm 204. Ibid.
11
penyelsaian sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya
tidaklah mengikat. Oleh karena itu, diterima tidaknya usulan
tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.27 Contoh komisi
konsiliasi yang terlembaga adalah badan yang dibentuk oleh Bank
Dunia untuk menyelsaikan sengketa-sengketa penanaman modal asing,
yaitu the ICSID Rules or Procedur for Conciliatiion Proceeding
(Concilition Rules). Namun dalam praktiknya, penggunaan cara ini
kurang populer. Sejak berdiri (1966) badan konsiliasi ICSID hanya
menerima dua kasus. Kasus pertama diterima pada 5 Oktober 1982
.(jadi selama 16 tahun kosong) . namun, sebelum badan konsiliasi
terbentuk, para pihak sepakat mengakhiri persengketaannya. Kasus
kedua, yaitu Tesoro Petroleum Crop. V.Goverment of trinidad and
tobago diterima tahun 1983. Kasus ini berhasil diselsaikan pada
tahun 1985 setelah para pihak sepakat untuk menerima usulan-usulan
yang diberikan oleh konsilliator.28 4. Arbitrase a. Mengapa
Arbitrase dipilih Arbitrase adalah penyeraahan sengketa secara
sukarela kepada pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase
terlembaga atau arbitrase sementara (adhoc). Badan arbitrase dewasa
ini sudah semakin populer. Dewasa ini arbitrase semakin banyak
digunakan dalam menyelsaikan sengketa-sengketa dagang nasiional
maupun internasional. Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase
ini semakin banyak dimanfaatkan sebagai berikut:29 1) Kelebihan
penyelsaiann sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting
adalah penyelsaiannya yang relatif lebih cepat dari pada proses
berpekara melalui pengadilan. Dalam arbitrase tidak dikenal upaya
banding, kasasi atau peninjauan
27 28
Ibid hlm 205. Ibid. 29 Ibid hlm206.
12
kembali seperti yang kita dalam sistem peradilan kita. Putusan
arbitrase sifatnya final dan mengikat. Kecepatan penyelsaian ini
sangat dibutuhkan oleh dunia usaha. 2) Keuntungan lainnya dari
penyelsaian sengketa melalui arbitrase ini adalah sifat
kerahasiaannya, baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun
kerahasiaan putusan arbitrasenya. 3) Dalam penyelsaian melalui
arbitrase, para pihak memiliki kebebasan untuk memmilih hakimnya
(arbiter) yang menurut mereka netral dan ahli atau spesialis
mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan arbiter
sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbiter
yang dipilih adalah mereka yang tiddak saja ahli, tetapi ia juga
tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidangbidang
lainnya. Ia bisa insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli
asuransi ahli perbankan dan lain-lain. 4) Keunttungan lainnya dari
badan arbbitrase ini adalah dimungkinkannya para arbiter untuk
menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatuttan
(apabila memang para pihak menghendakinya). 5) Dalam hal arbitrase
internasional, putusan arbitrasenya relatif lebih dapat
dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut
diselsaikan melalui misalnya ppengadilan. Hal ini dapat terwujud
antara lain karena dalam lingkup arbitrase internasional ada
perjanjian khusus mengenai hal ini, yaitu konvensi New York 1958
mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. b.
Perjanjian Arbitrase dalam praktik, biasanya penyerahan sengketa ke
suatu badan peradilan tertentu, termasuk arbitrase, termuat dalam
klausula penyyelsaian sengketa dalam suatu kontrak. Biasanya judul
klausul tersebut ditulis secara langsung dengan arbitrase
kadang-kadang istilah lain yang digunakan adalah choice of forum
atau choice of jurisdiction. Kedua istilah13
tersebut mengandung pengertian yang agak berbeda. Istilah choice
of forum berarti pilihan cara untuk mengadili sengketa, dalam hal
ini pengadilan atau badan arbitrase. Istilah choice of jurisdiction
berarti pilihan tempat di mana pengadilan memiliki kewenangan untuk
menangani sengketa.tempat yang dimaksud Inggris, Belanda,
Indonesia, dan lain-lain.30 Penyerahan suatu sengketa kepada
arbitrase dapat dilakukan dengan pemmbuatan suatu submission
clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah
lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausula
arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul
arbitrase atau arbitration clause). Baik submission clause atau
arbitration clause harus tertuliis syarat ini sangat esensial.
Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai
suatu syarat utama untuk arbitrase. Dalam hukum nasional kita,
syarat ini tertuang dalam Pasal 1Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyellsaian sengketa.
Dalam iinstrumen hukum internasional, termuat dalam Pasal 7 Ayat2
UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985,
atau Pasal II Konvensi New York 1958. Hal yang perlu ditekankan
disini adalah bahwa klausul arbitrase melahirkan yuridiksi
arbitrase. Artinya, klausul tersebut memberi kewenangan kepada
arbitrator untuk menyelsaikan sengketa. Apabila pengadilan menerima
suatu sengketa yang di dalam kontraknya terdapat klausul arbitrase,
pengadilan harus menolak untuk menangani sengketa.31 c.
Lembaga-lembaga Arbitrase Peran arbitrase difasilitasi oleh adanya
lembaga-lembaga arbitrase internasional terkemuka. Badan-badan
tersebut misalnya adalah The London Court of International
Arbitration (LCIA), The Court of Arbitration of the International
Chamber of Commerce (ICC) dan the arbitratiion Institute of the
Stockholm Chamber of Commerce30 31
Ibid., hlm 208. Ibid. hlm 209
14
(SCC).Disamping kelembagaan, pengaturan arbitrase sekarang ini
ditunjang pula oleh adanya suatu aturan arbitrase yang menjadi
acuan bagi banyak negara di dunia, yaitu Model Law on international
Commercial Arbitration yang dibuat oleh the United Nations
Commission on International Trade law (UNCITRAL).32 5. Pengadilan
(Nasional dan Internasional) Metode yang memungkinkan untuk
menyelsaikan sengketa selain cara-cara tersebut diatas adalah
melalui pengadilan nasional atau internasional. Penggunaan cara ini
biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelsaian yang ada ternyata
tidak berhasil Peenyelsaian sengketa dagang melalui badan peradilan
biasanya hanya dimungkinkan ketika para pihak sepakat. Kesepakatan
ini tertuang dalam klausul penyelsaian sengketa dalam kontrak
dagang para pihak. Dalam klausul tersebut biasanya ditegaskan bahwa
jika timbul sengketa dari hubungan dagang mereka, mereka sepakat
untuk menyerahkan sengketanya kepada suatu pengadilan
(naegeri)suatu negara tertentu. Kemungkinan kedua, para pihak dapat
menyerahkan sengketanya kepada badan pengadilan internasional.
Salah satu badan peradilan yang menangani sengketa dagang ini
misalnya saja adalah WTO. Namun, perlu ditekankan disini bahwa WTO
hanya menangani sengketa antar negaraa anggota WTO. Nammun, perlu
ditekankan disini bahwaa WTO hanya menangani sengketa antar negara
anggota WTO.33 Umumnya pun sengketanya lahir karena adanya suatu
pihak (pengusaha atau negra) yang dirugikan karena adanya kebijakan
pperdagangan neggara lain anggota WTO yang merugikannya. Alternatif
badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional
(internationnal Court Of justice). Namun, penyerahan sengketa ke
Mahkamah Internasional, menurut hasil pengamatan beberapa sarjana,
kurang begitu diminati oleh negara-negara. Sebagai ilustrasi adalah
peranan Mahkamah Internasionanl (the international Court of32
33
Ibid. Ibid., hlm210
15
justice). Peranan Mahkamah Internasiional dalam menyelsaikan
sengketa-sengketa ekonomi (termasuk perdagangan ), menurut Mann,
sangatlah suram. Selama berdiri (sejak 1945) sampai tulisan ini
dibuat, Mahkamah Internasional hanya mengadili dua kasus di bidang
ekonomi internasional, yakni the ELSI case antara Amerika Serikat
melawan Italia, dan the Barcelona Traction Case antara Blegia
melawan Sepanyol.34 Sengketa The Barcelona Traction merupakan
sengketa terkenal. Dalam sengketa ini sebuah perusahaan Kanada,
Barcelona Traction, Light and power, Co., didirikan pada tahun
1911. Perusahaan ini mengoperasikan pembangunan dan pengadaan
tenaga listrik disepanyol. Pada tahun 1968, pengadilan sepanyol
memutuskan perusahaan tersebut pailit. Keputusan ini
ditindaklanjuti oleh serangkaian tindakan dalam rangka kepailitan
tersebut, pemerintah Kanada kemudian turut campur dalam sengketa
ini dalam upayanya melindungi kepentingan warga negaranya.
Masalahnya menjadi rumit karena ternyata pemegang saham mayoritas
dalam perusahaan tersebut dimiliki warga negara Belgia yaitu
sebesar 88%. Pemerintah Belgia dalam upaya melindungi warga
negaranya yang dirugikan oleh tindakan pemerintah Spanyol itu
membawa sengketanya ke Mahkamah Internasional. Sepanyol menolak
gugatan pemerintah Belgia dengan dalil bahwa Belgia tidak memiliki
dasar hukum yang sah (locus standi) untuk membawa kasus ini. Dallam
putusannya Mahkamah Internasional setuju dengan Spanyol.35 Alasan
F.A Mann menyatakan hasil kerja Mahkamah Internasional ini suram,
pada dasarnya karena dua alasan. Pertama, kurang adanya penghargaan
terhadap fakta-fakta spesifik mengenai duduk perkaranya. Kedua,
kurangnya keahlian atau kemampuan
Mahkamah pada permasalahan-permasalahan bidang (hukum) ekonomi
atau perdagangan internasional. Selain itu, pengadilan-pengadilan
permanen internasional ini yuridiksinya
34 35
Ibid. hlm 211 Ibid., hlm212.
16
kadangkala terbatas hanya kepada negara saja, misalnya Mahkamah
Internasional. Semantara itu, kegiatan-kegiatan atau
hubungan-hubungan perdagangan internasional dewasa ini peranan
subjek-subjek hukum perdagangan internasional nonnegara juga
penting. Bentuk kedua adalah pengadilan ad hoc atau pengadilan
khusus. Dibandingkan dengan pengadilan permanen, pengadilan ad hoc
atau khusus ini lebih populer, terutama dalam kerangka suatu
organisasi perdagangan internasional. Badan pengadilan ini
berfungsi cukup penting dalam menyelsaikan sengketa-sengketa yang
timbul dari perjanjian-perjanjian perdagangan internasional.36
Contoh yang menonjol adalah peranan badan-badan pengadilan khusus
dalam kerangka GATT (kemudian digantikan oleh WTO), yakni dengan
adanya badan-badan panel yang menyelsaikan sengketa-sengketa
ekonomi internasional antar negara-negara anggota GATT/WTO. Faktor
penting yang mendorong negara-negara untuk menyerahkan sengketanyaa
kepada badan-badan peradilan seperti ini adalah karena
hakim-hakimnya yang tidak harus seorang ahli hukum. Ia bisa saja
seorang ahli atau spessialis mengenai pokok sengketa. Kedua, adanya
perasaan dari sebagian besar negara yang kurang percaya kepada
suatu badan peradilan (Internasional) yang dianggap kurang tepat
untuk menyelssaikan sengketa-sengketa ekonomi internasional antar
negara-negara anggota GATT/WTO. Faktor penting yang mendorong
negara-negara untuk menyerahkan sengketanya kepada badanbadan
peradilan seperti ini adalah karena hakim-hakimnya yang tidak harus
seorang ahli hukum. Ia bisa saja seorang ahli atau spesialis
mengenai pokok sengketa. Kedua, adanya perasaan dari sebagian besar
negara yang kurang percaya kepada suatu badan peradilan
(internasional) yang dianggap kurang tepat untuk menyelsaikan
sengketa-sengketa dalam bidang perdagangan internasional.37
36 37
Ibid. Ibid. hlm 213.
17
a) Hukum yang Berlaku Masalah hukum yang akan diberlakukan atau
diterapkan oleh badan peradilan termasuk arbitrase adalah salah
satu masalah kursial dalam hukum kontrak internasional, termasuk
dalam hukum perdagangan internasional masalahnya adalah hukum yang
berlaku ini menjadi penentu kepastian hukum terutama bagi badan
peradilan bahwa ia telah menerapkan hukumnya dengan benar. Dalam
hal ini, badan peradilan tidak mengambiil jalan pintas daalam
menerapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa yang dibawa
kehadapannya. Perlu ditegaskan di sini bahwa pilihan hukum (choice
of law proper law atau applicable law) suatu hukum nasional dari
suatu negara tertentu tidak berarti bahwa badan peradilan negara
tersebut secara otomatis yang berwenang menyelsaikan sengkketanya.
Yang terakhir ini disebut juga choice of forum (pembahasan di
atas). Artinya, choice of law tidak sama dengan choice of forum.38
Peran choice of law disini adalah hukum yang akan digunakan oleh
badan peradilan (pengadilan atau arbitrase) untuk:39 a. Menentukan
keabsahan suatu kontrak dagang b. Menafsirkan suatu
kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak c. Menentukan telah
dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya ssuatu prestasi
(pelaksanaan suatu kontrak dagang) dan d. Menentukan akibat-akibat
hukum dari adanya pelanggaran terhadap kontrak.
38 39
Ibid hlm 214 Iibid.
18
Hukum yang akan berlaku ini dapat mencakup beberapa macam hukum.
Hukkumhukkum tersebut adalah :40 a. Hukum yang akan diterapkan
terhadap pokok sengketa (applicable substantive law atau lex cause)
b. Hukum yang akan berlaku untuk persidangan (procedural law).
Hukum yang akan berlaku akan sedikit banyak bergantung pada
kesepakatan para pihak. Hukum yang akan berlaku tersebut dapat
berupa hukum nasional suatu negara tertentu. Biasanya hukum
nasional tersebut ada atau terkaiit dengan nasionalitas salah satu
pihak. Cara pemilihan inilah yang lazim diterapkan dewasa ini.
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak sepakat
mengenai salah satu hukum nasional tersebut, biasanya kemudian
mereka akan berupaya mencari hukum nasional yang relatif lebih
netral. Alternatif lainnya yang memungkinkan dalam hukum
perdagangan internasional adalah menerapkan prinsip-prinsip
kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono). Namun demikian,
penerapan prinsiip ini pun harus berdasarkan pada kesepakatan para
pihak.41 Diatas telah dikemukakan bahwa menentukan hukum yang akan
berlaku, prinsip yang berlaku adalah kesepakatan para pihak yang
didasarkan pada kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian atau
kesepakatan (party automony). Kebebasan para pihak ini tampaknya
sudah menjadi prinsip hukum umum artinya, hampir setiap sistem
hukum di dunia, yaitu Common Law, CiviL Law, dan lain-lain,
mengakui eksistensinya. Bahkan dalam praktiknya, para pelaku bisnis
atau pedagang melihat prinsip kebebasan para pihak untuk menetapkan
aturan-aturan dagang yang berlaku di antara mereka sebagai suatu
prinsip yang telah
40 41
Ibid. hlm.215. Ibid
19
terkistralisasi. Prinsip inilah yang antara lain melahirkan
prinsip atau doktrin lex mercatoria.42 b) Kebebasan Para Pihak
Kebebasan dalam memilih hukum yang berlaku ini (lex causae) sudah
barang tentu ada batas-batasnya. Hal yang paling umum dikenal
adalah bahwa kebebasan memilih hukum tersebut adalah:43 a. Tidak
bertentangan dengan Undang-Undang atau ketertiban umum b. Kebebasan
tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik c. Hanya berlaku
untuk hubungan dagang d. Hanya berlaku dalam bidang hukum kontrak
(dagang) e. Tidak berlaku untuk menyelsaikan sengketa tanah; dan f.
Tidak untuk menyelundupkan hukum Menurut Cooke, kebebasan para
pihak ini pun akan banyak dipengaruhi oleh sistem hukum nasional
yang akan dipilih (baik oleh salah satu pihak atau kedua belah
pihak). Tidak sekedar hanya menentukan hukum suatu negara, tetapi
juga mempertimbangkan apakah hukum di negara tersebut konsisten
atau tidak. Artinya, apakah hukum disuatu negara tertentu sering
berubah-ubah tidak. Gerlad Cooke dengan tegas menyatakan sebagai
berikut44 The significance of needing to provide for the proper law
is that the parties will frequently prefer to have their disputes
dealt with by a legal system which is perhaps independent of each
of the parties or which is recognized to have highly sophisticated
and consistent trading laws. Dalam hukum nasional Indonesia
mengenai arbitrase, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
mengenai arbitrase dan alternatif penyelsaian sengketa, hukum yang
akan
42 43
Iibid. Hlm 216 Ibid. 44 Ibid hlm 217.
20
diberlakukan oleh para pihak diserahkan sepenuhnya kepada
mereka. Pasal 56 UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai
arbitrase dan alternatif penyelsaian sengketa menyatakan sebagai
berikut:45 (1) Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan
berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan
kepatutan (2) Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan
berlaku terhadap penyelsaian sengketa yang mungkin telah timbul
antar para pihak. Model Arbitration Law 1985 juga menghormati
kebebasan para pihak untuk memilih hukum yang akan berlaku. Pasal
28 Mode l aw menggariskan sebagai berrikut:46 (1) The arbital
tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of
law as are chosen by the parties as applicable to the substance of
the dispute. Any designation of the law or legal system of a given
state shall be constued, unles otherwise expressed, as directly
refering to the substantive law of that state and not to its
conflict of laws rules. (2) Failing any designation by the
parties,the arbital tribunal shall apply the law determined by the
conflict of laws rules which it considers applicable (3) The
arbitral tribnal shall decide ex aequo et bono or amiable
compisiteur only if the parties expressly authorized to do so (4)
In all cases, arbitral tribunal shall decide in accordance with the
terms of the contract and shall take into account the usages of the
trade applicable to the transaction. Dari kedua instrumen hukum
diatas, terdapat beberapa catatan pinggir yang cukup penting.
Pertama, yang menonjol adalah bahwa kedua instrumen berbeda di
dalam hal prioritas pengaturan mengenai hukum yang berlaku terhadap
kontrak Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai arbitrase dan
alternatif penyelsaian sengketa menekankan bahwa arbitrator atau
badan arbitrase harus menyandarkan pada hukum untuk mengambil
putusan. Pasal ini tidak menentukan atau mensyaratkan bahwa hukum
yang akan diterapkan tersebut haruslah pilihan hukum para pihak.
Sementara itu, model Laws dengan tegas
45 46
Ibid. Ibid.
21
menyatakan bahwa badan arbitrase harus menerapkan hukum yang
dipilih para pihak. Tampaknya, ketentuan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 mengenai arbitrase dan alternatif penyelsaian sengketa
ini perlu disempurnakan dengan mengacu atau mencantumkan klausula
Model Law ini.47 Kedua, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai
arbitrase dan alternatif penyelsaian sengketa membolehkan arbitrase
atau badan arbitrase untuk menerapkan ex aequo et bono (Pasal 56
Ayat 1). Ketentuan yang sama dalam Model Law tercantum dalam Pasal
28 Ayat 3. Bedanya adalah undang-undang Nasional kita tidsk tegas
bahwa penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan tegas bahwa
penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan
apabila para pihak dengan tegas diperintahkan oleh para pihak.
Penjelasan Pasal 56 hanya menyebut dalam hal arbiter diberi
kebebasan... rumusan ini tidak tegas siapa yang memberi kebebasan
untu memberikan putusan berdasarkan kkeadilan dan kepatutan.
Ketiga, adalah masalah ketika para pihak tiidak memilih hukum yang
akan berlaku terhadap kontrak. Dalam hal ini, undaang-undang
nasional kita dan Model Law memuat aturan yang berbeda.
Undang-undang nasional kita tampaknya menganut jalan pintas.
Penjelasan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai
arbitrase dan alternatif penyelsaian sengketa menyebutkan bahwa
apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbitrator
atau badan arbitrase harus menetapkan hukum tempat arbitrase
dilakukan.48 Sementara itu, model Law menyatakan bahwa apabila para
pihak tidak memilih hukum, badan arbitrase atau arbitrator harus
mengacu kepada hukum yang ditentukan
47 48
Ibid. hlm 218. Ibid hlm 219.
22
berdasarkan aturan-aturan hukum perdata Internasional (conflict
of law rules) yang dianggap berlaku oleh arbitrator atau badan
arbitrase.49 D. MEKANISME PENYELSAIAN SENGKETA GATT DAN WTO DI
TINJAU DARI SEGI HUKUM PENYELSAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
1.Mekanisme penyelsaian sengketa sebagai bagian dari pengawasan
internasional (international supervision) Persengketaan dan
bagaimana cara menyelsaikannya adalah inheren dalam setiap sistem
hukum, termasuk hukum internasional. Perbedaan pendepat, dan
bagaimana para subyek hukum mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat
ini untuk sampai pada suatu penyelsaian yang dapat diterima kedua
belah pihak, baik secara sukarela maupun karena dirasakan sebagai
kewajiban sebagai anggota masyarakat yang diatur sistem hukum yang
bersangkutan, akan memperkaya dan memperkuat sistem hukum yang
bersangkutan secara normatif maupun dalam implementasi. Seorang
sarjana menyatakan, dispute and controversy are the life blood of
international law (as of all law) without which international law
would degenerate simplly into an abstraction, unrelated what is
happening in the world50. Sebagai bagian dari sistem hukum
internasional norma-norma GATT juga telah berkembang dan diperkokoh
oleh pengalaman yang panjang dari sistem penyelsaian
sengketanya dalam menyelsaikan perselisihan perdagangan antar
negara anggota. Bberikut ini penulis akan mencoba mengkaji beberapa
aspek hukum GATT dalam kaitannya dengan hukum internasional pada
umumnya, dan khususnya hukum penyelsaian sengketa internasional
secaara damai. Namun terlebih dulu penulis akan mengetengahkan
suatu landasan teoritik tentang penyelsaian sengketa internasional
pada umumnya.49
Ibid. Shabtai Rossene, the role of Controversy in international
legal development, dalam R.SU Macdonald hlm.1160-1161.50
23
Salah satu fungsi penyelsaian sengketa adalah agar supaya
norma-norma hukum yang mengatur hubungan diantara anggota
masyarakat dipatuhi. Dengan perkataan lain di dalamnya terkandung
fungsi pengawasan. Dalam masyarakat nasional, pengawasan ini
dipercayakan pada suatu lembaga yaitu negara, sedangkan dalam
masyarakat internasional, yang tidak mempunyai kekuasaan sentral,
diserahkan pada para anggotanya sendiri. 51 Tentang pengawasan
(supervision)seorang sarjana memberikan pengertian sebagai berikut:
The supervisory function is an essential legal technique. It
performs a function which is absolutely necessary to the existence
and progress of any society, of any sociial organization. The main
object of this function is to ensure respect for law and the
realization of rules of law as well as the regular functioning of
public service within the limits laid down in these rules of law.
Supervision is an organic function which makes it possible for
errors either in the assessment of a situation or in taking action
which might jeopardize the stability and security of social
existance to be rectified. It there fore serves to ensure public
order.52 Menurut Van Hoof pengawasan internasiional mempunyai tiga
fungsi:53 1. Review function: pada umumnya, review diartikan
sebagai mengukur atau menelai sesuatu berdasarkan tolak ukur
tertentu. Dalam konteks hukum, ini berarti menilai sesuatu perilaku
untuk menentukkan kesesuaiannya dengan aturan hukum review function
dalam hubungannya dengan negara dilaksanakan apabila prilaku suatu
negara dinilai menurut hukum internasional oleh suatu lembaga
pengawasan yang mempunyai status internasional. Pengawasan ini
dilakukan oleh satu negara atau lebih atau oleh suatu lembaga yang
dibentuk menurut perjanjian internasional . hasil dari pengawasan
ini adlah suatu keputusan tentang sesuai tidaknya tindakan negara
tersebut dengan hukum internasional. 2. Correction function fungsi
iini dilaksanakan manakala telah timbul suatu keadaan yang
bertentangan dengan hukum internasional. Namun demikian, fungsi ini
dapatProf.Dr.H. Hata, S.H.,M.H. PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM
SISTEM GATT DAN WTO Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum, Refika
Aditama, Bandung 2006, hlm 181. 52 Kaasik, sebagaimana dikutip GJH
van Hoof & Kde vey Mestdgh, mechanism of international
supervision, Bahan penataran Hukum ekonomi UNPAD 1989 hlm7 53 Ibid
hlm 11.51
24
pula bersifat preventif, manakala negara-negara menyesuaikan
diri pada aturn-aturn hukum internasional sebagai akibat eksistensi
atau ancaman dari mekkanisme koreksi ini. Tujuan akhir dari
pengawasan internasional adalah untuk memastikan kepatuhan terhadap
aturan-aturan hukum intternasional. Oleh karena itu pelanggarannya
harus diperbaiki . terlepas dari kasus-kasus dimana negara yang
melakukan pelanggaran memperbaiki pelanggaran atas kehendak
sendiri, kepatuhan terhadap hukum internasional harus dipastikan
melalui persuasi atau paksaan dari luar. Ini merupakan fungsi
kkoreksi dari pengawasan internaional, yang biasa juga disebut
sebagai fungsi pemaksa (enfrocment function). Satu persoalan yang
terkait dengan hal ini adalah pengenaan sanksi dalam hukum
internasional. 3. Creative function sekalipun review dan creative
function merupakan bagian pokok dari pengawasan, namun pe ngawasan
juga dapat berfungsi kreatif, teralam utama dalam hukum
internasional. Hal ini disebabkan karena tidak adanya semacam
lembaga eksekutif dan judikatif tindakan-tindakan legislatif sering
kali abstrak atau tidak jelas. Oleh karena itu usaha untuk
memperjelas norma-norma huukum internasional ini merupakan bagian
dari fungsi pengawasan yaitu fungsi kreatif. Jadi fungsi kreatif
ini berupa fenapsiran atas aturan-aturan hukum internasional yang
belum jelas. Dalam kerangka teoritis diatas maka mekanisme
penyelsaian sengketa internasional merupakan salah satu bentuuk
dari mekanisme pengawasan dalam hukum internasional . sejauh mana
GATT dan WTO memberikan pengaturan tenttang pengawasan ini. Dalam
kedua sistem tersebut pengawasan dilakukan oleh berbagai badan yang
terdapat didalamnya. Dalam GATT oleh CONTRACTING PARTIES, council,
panel, Working Party, dan berbagai komite yang pernah dibentuknya
seperti anti-Dumping committee, textile surveillance body. Dalam
WTO terdapat Ministerail conference, general coouncil yang antara
lain25
melaksanakan tugas sebagai dispute settlement body atau trade
policy review body. Disamping itu WTO dilengkapi dengan berbagai
dewan (council) lain yang melakukan pengawasan di bidang
masing-masing sesuai dengan covvered agreement WTO seperti counciil
on Trade in Goods, council for trade in service dan sebagainya.
Selain itu masih terdapatt berbbagai komite dengan tugas-tugas yang
lebih spesifik, misalnnya committe on budget, finance and
administration, Committee on balance of payment restriction dan
sebagainya.54 Secara normatif GATT dan WTO menyediakan sejumlah
ketentuan pengawasan di dalamnya. Misalnya, dalam GATT Pasal X
mengandung ketentuan tentang pengawasan secara umum. Pasal ini
mewajibkan negara-negara menerbitkan aturan-aturan nasional yang
terkait dengan perdagangan internasional. Ini merupakan review
function dari pengawasan. Pada gilirannya ketentuan ini menjadi
dasar bagi mekanisme pengawasan yang lain seperti misalnya yang
diatur Pasal XXII dan XXIII. Ketentuan pengawasan secara khusus
dapat ditemukan dalam Pasal-Pasal yang lain misalnya Pasal XI dan
XIII yang mengatur pengawasan dalam hal hambatan perdaganagan
kuantitatif. Pasal XV menyerahkan pengawasan dibidang moneter
kepada IMF, Pasal XIX pengawasan jika timbul keadaan darurat yang
terkait dengan pengimporan produk tertentu. Dalam sistem WTO
ketentuanketentuan tadi disempurnakan dan diperluas cakupannya
sesuai dengan pengaturan bidangbidang yang semula tidak terdapat
dalam GATT 1947. Pasal XXII dan XXIII, misalnya dilengkapi dengan
understanding on rule and procedures governing the settlement of
disputes yang akan di bahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya
dari sub bab ini. Pasal III dari general agreement on trade in
services, misalnya mengandung ketentuan tentang
keharusan menerbitkan peraturan nasional yang terkait dengan
materi yang terdapat dalam perjanjian internasional ini demi
transparansi. Pasal VI mengharuskan penanganan yang54
Prof.Dr.H. Hata, S.H.,M.H. PERDAGANGAN INTERNASIONAL Op.Cit hlm
182.
26
obyektif dan tidak memihak dalam kaitannya dengan peraturan
nasional yang terkait dengan specific commitment yang telah dibuat.
Ketentuan pengawasan ini dipertegas lagi dalam annex yang
menyangkut pengaturan bidang-bidang jasa tertentu.55 Penulis tidak
akan membahas terlalu jauh tentang pengawasan karena dapat menjadi
satu bahan penelit ian tersendiri. Apa yang secraa umum dikemukakan
di penyelsaian sengketa dalam keranngka teoritis pengawsan
internsional sebagaimana dikemukankan srjana-sarjana tersebut
diatas. 2. Hubungan dengan Metoda-metode Penyelsaian Sengketa
Internasional Sebagaimana diketahui metoda penyelsaian sengketa
internasional secara dammai dalam garis besarnya dapat dibagi dua,
yakni secara diplomatik (negotiation, mediation,dan conciliation),
dan secara hukum (arbitation dan judicial settlement).Setelah pada
bab-bab sebelumnya penulis membahas prosedur penyelsaian sengketa
dalam GATT dann WTO maka kesimpulannya umum pertama ditarik adalah
bahwa pada dasarnya yang dipraktekan dalam penyelsaian sengketa
kedua sistem tersebut sudah dikenal dalam hukum internasional umum,
atau khususnya dalam hukum penyelsaian internasiional. Namun
disamping iitu ada beberapa keistimewaan yang perlu mendapatkan
pembahasan lebih lanjut.56 Pertama-tama Pasal XXII mengandung dua
ayat yang menunjuk pada penyelsaian sengketalewat konsultasi. Ayat
pertama konsultasi dilakukan sendiri oleh pihak-pihak bersangkutan.
Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan jika usaha konsultasi bilateral
tersebut pada ayat satu tidak menghasilkan penyelsaian, maka salah
satu pihak dapat meminta bantuan CONTRACTING PARTIES untuk
berkonsultasi dengan pihak yang lain Konsultasi yang diadakan
sesuai ketentuan pasal XXII tersebut tidak mengharuskan telah
terjadinya kerugian
55 56
Ibid,.hlm. 183 Ibid.
27
bagi salah satu pihak. Akan tetapi pihak yang dimintakan
koonsultasinyya oleh pihak lain harus memberikan symphatetic
consideration terhadapnya. Dalam salah satu persidangan CONTRACTING
PARTIES tahun 1960 dinyatakan bahwa perkataaan Symphatetic
consideration dalam pasal tersebut. Menurut perbaikan prosedur
konsultasi yang disepakati tahun 1958, yakni procedures under
article XXII on question affecting the interests of a number of
contracting parties. Dinyatakan bahwa setiap negara peserta yang
meminta konsultasi harus juga melaporkannya kepada Excekutive
Secretary untuk diiinformasikan kepada seluruh negara peserta.
Dalam 1989 decesiion immprovements to the GATT dispute settelement
rules and procedure permintaan konsultasi harus disampaikan kepada
council oleh pihak yang meminta konsultasi.57 Selain dalam Pasal
XXII, prosedur konsultasi diatur pula dalam Pasal XXIII, rujukan
pada Pasal XXIII : 1. Dilakukan oleh negara peserta yang merasa
keuntungan yang diperolehnya dari GATT baik secara langsung atau
tidak langsung dirugikan atau dihilangkan (nullified or impaired)
atau tujuan llain dari perjanjian tersebut terganggu sebagai akibat
kegagalan pihak lain untuk mematuhi kewajiban GATT 2) penerapan
suatu tindakan oleh pihak lain, baik yang bertentangan atau pun
tidak dengan GATT 3) adanya situasi-situasi lain.58 Apakah
konsultasi suatu metoda penyelsaian sengketa yang telah dikenal
dalam hubungan-hubungan internasional ? konsultasi sebenranya
adalah salah satu perwujudan dari negoisasi. Negoisasi merupakan
metoda utama untuk penyelsaian sengketa yang mengancam perdamaian
internasional atau pun sengketa-sengketa lain. Sebenarnya dalam
praktik, negoisasi lebih banyak digunaknn dibandingkan denagn
metoda-metoda lain sekali pun digabungkan bersama. Sering sekali
negoisasi merupakan satu-satunya cara, bukan semata57 58
Ibid. Hlm 184. Ibid.
28
mata karena ia yang biasanya pertama kali dicoba sering berhasil
akan tetapi karena banyak negara merasa yakin bahwa manfaatnya
sangat besar sehingga dapat mengecualikan metodametoda lain.
Negoisasi juga tidak sekedar dapat menyelsaikan perselisihan akan
tetapi juga dapat mencegah sengketa-sengketa yang akan timbul. Iini
terbukti dalam proses penyelsaian sengketa GATT.dengan adanya
ketentuan Pasal XXII dan XXIII : 1.konsultasi biasanya merupakan
langkah pertama dan sering merupakan yang terakhir, dan banyak
sengketa diselsaikan atau dicegah sebelum menjadi konflik yang
lebih parah. Suatu aspek penting dalam prosedur konsultasi GATT dan
WTO yang merupakan ciri khas yang berbeda dari prosedur negoisasi
pada umumnya adalah ciri transparansi yang melekat padanya dengan
adanya keharusan untuk melaporkannya kepada organisasi yang
berwenang di dalam organisasi tersebut (Executive secretary atau
council) yang pada gilirannyaakan diketahui oelhseluruh negara
peserta . dengan demikian negara-negara lain yang tidak terlibat
dalam konsultasi akan mengetahui hasil akhir dari konsultasi
tersebut, dan akan dapat mengambil langkah-langkah konkretnya
sendiri apabiila hasil konsultasi itu akan mengancam kepentingan
mereka.59 Satu aspek lain perlu penulis komentari yakni konsultasi
menurut Pasal XXII ayat 2 yang tidak hanya melibatkan kedua belah
pihak akan tetapi juga CONTRACTING PARTIES. Samakah praktek ini
dengan mediasi atau pemberian jasa-jasa baik oleh pihak ketiga ?
biasanya jika pihak-pihak yang melakuakn negoisasi tidak berhasil
mencapai penyelsaian jasa-jasa pihak ketiga dapat dipergunkan. Maka
dikenal mmetoda jasa-jasa baik (good office) dan mediasi. Perbedaan
antara pemberian jasa-jasa baik dan mediasi adalah bahwa yang
disebut terakhir ini menuntut partisipasi lebih aktif dari pihak
ketiga yang diharapkan mengajukan proposalnya sendiri, dan
menafsirkan. Mediasi atau jas-jasa baik biasanya diberikan oleh
individu, organisasi internasional atau negara. Sekjen PBB ,
misalnnya, atau59
Ibid., hlm185.
29
sejawatnya pada organisasi-organisasi regional, seringkali
dimintakan jasa-jasa baiknya atau sebagai mediator . Amerika
serikat yang diwakili oleh Alexander Haig pernah menawarkan diri
sebagai mediator dalam sengketa inggris argentina mengenai
kepaulauan Falkland, demikian juga ketika ancaman perang murncul
dalam perselisihan antara Chile dan
Argentina pada tahun 1978, Paus menawaarkan Cardinal Antonio
sebagai mediator, dan diterima kedua belah pihak. Penyelsaian
sengketa menurut Pasal XXII : 2 GATT sekalipun tampaknya melibatkan
pihak ke tiga sebagai mediator, sebenarnya tidak sama. Dengan
keterlibatan CONTRACTING PARTIES dalam proses kondultasi dalam
kenyataannya kedua belah pihak telah mengadakan konsultasi dengan
seluruh negara peserta. Pada waktu menyusun rancangan the
resolution on particular difficulties connected with trade in
primary commadities yang diterima pada persidangan kesebelas
tahun1956, laporan working party antara lain memuat penjelasan
sebagai berikut :60 There are specific provision in the general
agreement which afford an opportunity for contracting parties to
secure consideration of special problems arising in this field ...
dificulties of this kind would be approprite matters to bring
forward under article XXII, which when the revised text comes into
effect, will provide not only for bilateral consultation, but also
for consultations with the CONTRACTING PARTIES as a whole. Bahkan
dalam salah satu laporan Working Party yang terikat dengan masalah
yang sama pada tuhan 1958 telah diberikan penafsiran lebih luas
sebaagaimana terungkap dalam pernyataan sebagai berikut:61 Article
XXII provide for consultation betwen contracting parties any matter
affecting the operation of this agreement. At this session the
CONTRACTING PARTIES have adopted procedures where by these can be
boardened into multilateral consultation and it should be noted
that there is nothing in this article which would prevent the
participating governments from inviting non-contracting parties to
take part. Sebelum melibatkan CONTRACTING PARTIES masih ada satu
upaya yang dapat ditempuh pihak-pihak yang berkonsultasi yaitu
meminta jasa-jasa baik direktur jendral.
60 61
Ibid. Ibid., hlm 186.
30
Dalam decision of 5 April 1966 on procedures under article XXIII
dinyatakan jika konsultasi menurut Pasal XXIII melibatkan negara
maju dan negara berkembang maka jika tidak tercapai penyelsaian,
negara berkembang dapat meminta jasa-jasa baik direktur jendral
inni telah diperluas sehingga tidak terbatas pada hak negara
berkembang saja melainkan hak setiap negara yang berkonsultasi
(lihat butir No.8 dari understanding on notification. Consultation,
dispute settelement and surveillance of 28 November 1979 junto
butir (1) dari ministerial declaration of 29 November1982). Menurut
deklarasi tahun 1982 tersebut
permintaan jasa-jasa baik direktur jendral atau orang-orang yang
ditunjuk direktur jendral harus disetujui oleh kedua belah pihak.62
Pada bab terdahulu sudah diuraikan bahwa jika konsultasi tidak
berhasil, pihak yang bersengketa dapat mengajukan persoalannya
kepada CONTRACTING PARTIES GATT umtuk mrndapatkan rekomenddasi atau
keputusannya. Dalam praktek biasa digunakan prosedur panel. Pihak
yang menggugat meminta dibentuknya sebuah paanel oleh CONTRACTING
PARTIES yang akan membentu CONTRACTING PARTIES dalam menyelsaikan
sengketa. Tentang prosedur pembentukan panel, pembuatan laporan dan
penerimaan laporan panel oleh CONTRACTING PARTIES telah pula
penulis uraikan pada bab terdahulu dengan mengutip berbagai
persetujuan yang dicapai negara-negara anggota GATT dengan maksud
untuk memperbaiki prosedur penyelsaian sengketa dari waaktu ke
waktu. Pada bagian ini penulis hanya akan meninjau eksistensi dan
mekanisme kerja panel dilihat dari praktek-praktek atau metoda
penyelsaian sengketa yang dikenal dalam hukum internasional63 Panel
dibentuk oleh CONTRACTING PATIES dengan maksud untuk membantunya
dalam proses penyelsaian sengketa. Komposisi panel diusulkan
direktur jendaral setelah62 63
Ibid. Ibid.
31
mendapat persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan. Negara-
negara yang bersengketa tidak dapat mendudukan wakilnya dalam
keanggotaan panel. Panel berhak mendapatkan informasi dan nasihat
teknis dari individu atau organisasi yang dianggapnya perlu. Panel
yang keanggotaannya terdiri antara tiga sampai lima orang ini akan
membuat penilaian obyektif atas fakta-fakta yang didapatnya serta
konformitasnya dengan GATT, dan mencari CONTRACTING PARTIES yang
akan dapat membantu CONTRACTING PARTIES mengambil keputusan. Untuk
maksud ini panel akan berkonsultasi secara teratur dengan
pihak-pihak yang bersengketa, namun pada saat yang sama juga
memberi kesempatan
kepada mereka untuk menyelsaikan sendiri perselisihannya. Atas
dasar laporan panel tersebut CONTRACTING PARTIES mengambil tindakan
dalam waktu yang dianggapnya pantas.64 Jadi dalam hal ini fungsi
fanel adalah seperti suatu tim ahli yang berusaha mencari fakta
dari persengketaan, membuat penilaian atas dasar aturan-aturan yang
berlaku, serta membuat rekomeendasi tentang langkah yang diambil
CONTRACTING PARTIES (atau council dan menyerahkannya kepada
yang bertindaak atas nama CONTRACTING
PARTIES). Jika dibandingkan dengan berbagaai metoda penyelsaian
sengketa yang dikenal dalam literatur huukum internnasional, maka
sifat panel dalam GATT inii adalah seperti suatu commission of
inquiry sekali pun terdapat beberapa perbedaan yang akan penulis
kemukakan berikut ini65 Inquiry sebagai suatu istilah digunakan
dalam dua situasi yang berbeda. Pertama, dalam arti luas ia
menunjuk pada suatu proses yang dilaksanakan manakala suatu
pengadilan atau badan-badan lain yang berusaha menylsaikan
perselisihan atas fakta tertentu.
Dikarenakan setiap persengketaan internasional menimbulkan
persoalaan tentang fakta, sekalipun didalamnya juga ada
persengketaan hukum atau politik, jelas bahwa inquiry dalam64
65
Ibid. Hlm 187. Ibid.
32
artian operasional ini dapat merupakan komponen utama dari
arbitrase, konsiliasi, tindakan oleh organisasi internasional dan
cara-cara penyelsaian oleh pihak ke tiga lainnya. Dalam arti lain
inquiry adalah suatu pengaturan institusional yang dipilih oleh
negara dengan maksud untuk menyelidiki persoalan yang disengketakan
secara bebas dalam bentuk
kelembagaaannya dalam hukum internasional dikenal dengan nama
commission of inquiry dan mulai diperkenalkan dalam konvensi Den
Haag 189966 Inquiry dalam arti yang kedua yakni dalam bentuk suatu
komisi biasanya dibentuk oleh dua negara yang berselisih untuk
mencari kebenaran dari suatu fakta dalam suatu sengketa
internasional secara tidak memihak. Hasil-hasil temuan komisi
bersifat tidak mengikat keanggotaan koomisi biasanya terdiri dari
unsur-unsur pihak yang bersengketa ditambah dari beberapa negara ke
tiga. Dari kasus-kasus terkenal yang diserahkan kepada commision of
inquuiry seperti kasus the dogger bank innquiry yakni persengketaan
antara Rusia dan Inggris tahun 1905; the tavigano antara Prancis
dan Italia (1912)the tubantia antara Belanda dan Jerman (1916) the
red crusader inquiry antara inggris dan Denmark (1961), dapat
penulis simpulkan bahwa komisi dimintakan oleh pihak-pihak yang
bersengketa untuk menyelidiki fakta yang disengketakan, dan atas
temuan dasar komisi pihak yang merasa bersalah secara sukarela
memberikan gantirugi sejumlah uang. Dalam kasuskasus tersebut
diatas, yang kesemuanya bersangkut paut dengan kerugian yang
menimpa kapal laut, suatu perkembangan menarik telah terjadi yakni
dalam hal penempatan ahli hukum pada komisi. Jika sebelumnya tidak
terdapat ahli hukum dalam the tubantia salah seorang anggota komisi
adalah ahli hukum sekali pun tidak ada aspek hukum yang secara
spesifik harus dinilai dalam kasus ini. Perubahan besar terlihat
dalam The Red Crusader dimana tiga orang anggota komisi adalah para
ahli hukum internasional. Dalam kasus yang disebut terakhir ini,
sekalipun penyelidikan terutama ditujukan pada fakta, tapi
kesimpulan66
Ibid.
33
yang dihasilkan termasuuk sejumlah putusan hukum dengan bentuk
temuan seperti ini, dan mayoritas anggota komisi adalah ahli hukum,
patut dipertanyakan apa bedanya Commission of inquiry dalam Red
Crusader ini dengan arbitrase? Menurut Merrills pling tidak ada dua
hal penting yang membedakannya: pertama, komisi tidak terlalu
memfokuskan pada akibat hukum dari peristiwa tersebut sekali pun
persoalan-persoalan hukum yang penting dipertimbangkan. Kedua,
hasil temuan dalam bentuk laporan bukan awards. Sekalipun
kesimpulan pertama Merrills menyiratkan bahwa penyelsaian sengketa
melalui arbitrase lebih menekankan pada aspek hukum, dalam praktek
hal ini tidak selalu demikian. Ada kalanya negara-negara membuat
perjanjian yang menyerahkan persengketaan hukum ke mahkamah
judisial sedangkan sengketa non hukum ke mahkamah arbitrase.
Tentang kesimpulannya yang kedua dapat penulis tambahkan bahwa
berbeda dengan laporan komisi award suatu arbitrase itu mengikat
dan tidak dapat dibanding.67 Menuurut Merrils jika dibutuhkan
inquiry dewasa ini ada sejumlah carayang dapat ditempuh tanpa
merujuk pada konvensi Den Haag. Pada tahun 1982 misalnya, dewan
keamanan PBB telah membentuk suatu komisi pencari fakta untuk
menyelidiki usaha kudeta yang dimotori tentara bayaran aging di
seychelles, dan pada tahun 1983 dewan Lc.A.O.
mengirim suatu tim untuk menyelidiki penembakan jumbo jet Korea
Selatan yang tersasar ke wilayah Uni Soviet. Demikian juga
organisasi regional telah membentuk berbagai komisi serupa dari
waktu-kewaktu.68 Dari uraian diatas penulis melihat beberapa
persamaan dalam beberapa aspek panel GATT dan juga WTO dengan
Commision of inquiry yang dibentuk dalam kasus-kasus tersebut
diatas. Dalam keanggotaan, baik panel maupun kkomisi sama-sama
terdiri dari para ahli dibidangnya, dan tidak harus sarjana hukum.
Selanjutnya, yang menjadi obyek67 68
Ibid. Hlm 188. Ibid.
34
penyelidikan terutama adalah fakta, sekalipun aspek-aspek hukum
juga muncul dalam laporan. Baik laporan panel maupun komisi
sama-sama tidak mengikat melainkan hanya bahan pertimbangan yang
dapat digunakan dalam penyelsaian sengketa.Namun demikian dalam
sejumlah aspek penulis melihat perbedaan antara keduanya. Panel
tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu diantara kedua bentuk
inquiry yang disebutkan diatas karena sekalipun panel bertugas
untuk memberikan temuan bagi suatu badan lain, akan tetapi panel
itu sendiri sudah melembaga atau setengah melembaga dalam sistem
GATT. Selanjutnya panel tidak dibentuk oleh kedua belah pihak yang
berselisih commission of melainkan oleh CONTRACTING PARTIES GATT
atau WTO.69 Tampaknya dalam bentuk panel lebih merupakan perpaduan
antara kedua bentuk pengaturan inquiry tersebut diatas karena
sekalli pun tugas-tugas panel adalah membantu CONTRACTING PARTIES
atau WTO akan tetapi lembaga panel sendiri mirip dengan commission
of inquiry. Tentang putusan panel telah terjadi suatu perkembangan
sangat penting yaitu jika putusan panel GATT bersifat tidak
mengikat CONTRACTING PARTIES, maka putusan panel WTO harus diterima
DSB dalam waktu yang telah ditentukan kecuali jika DSB secara
konsensus memutuskan untuk tidak menerima panel, atau pihak yang
dir ugikan naik banding ke Applate Body yang pada akhirnya harus
diterima pula oleh DSB. Perkembangan ini membawa penulis pada
kesimpulan bahwa pada hakekatnya keputusan panel WTO bersifat
mengikat sekalipun dalam implementasinya dibutuhkan putusan DSB.
Hal ini menjadikan sifat pemeriksaan panel WTO berbeda dari sistem
pemeriksaan yang dikenal sebagai inquiry pada umumnya yang tidak
mengikat para pihak. Namun demikian prosedur penyelsaian sengketa
GATT dan WTO yang menggunakan jasa panel bukan suatu yang
benar-benar baru dalam hukum internasional perbedaan-perbedaan yang
ada hanya merupakan bukti bahwa negara-negara berdaulat selalu
berusaha untuk mencari penyelsaian69
inquiry,
Ibid hlm 189.
35
yang terbaik sesuai dengan sifat dan kerumitan persoalan yang
diaturnya. Substansi adalah lebih penting dibandingkan dengan
bentuk.70 Metoda-metoda penyelsaian sengketa lain yang sudah lama
dikenal dalam hhukum internasional dalam GATT demikian juga dalam
WTO dan sifatnya sukarela atas kesepakatan kedua belah pihak. Dalam
decision on improve ments to the GATT dispute settlement rules and
procedures of 12 April 1989 secara sukarela para pihak dimungkinkan
untuk menggunakan metoda good office, concilliation,mediation dan
arbitration.demikian juga dalam Understanding on rules and
procedures governing the settlement of disputes dalam sistem WTO,
good office,concilliation dan mediation dimungkinkan dan bersifat
sukarela (Pasal5).71 3. Sanksi (Remedies) Dalam kebiasaan GATT
tujuan utama penyelsaian sengketa adalah untuk tercapainya
penyelsaian rebilateral yang memuaskan kedua belah pihak. Jika ini
tidak tercapai maka yang menjadi tujuan utama CONTRACTING PARTIES
agar supaya tindakan yang merugikan dan bertentangan dengan GATT
tersebut ditarik kembali. Kompensasi (ganti rugi) adalah suatu
alternatif dan bersifat sementara sebelum ditariknya kembali
tindakan yang bersangkutan. Sanksi yang terakhir adalah memberikan
kewenangan kepada pihak yang menggugat untuk menangguhkan
kewajiban-kewajibannya menurut GATT secara sepihak terhadap pihak
yang merugikan itu (retalisal). Dalam sistem WTO ketentuan serupa
terdapat dalam Pasal 22:1,2, dari understanding on rules and
procedure governing the settlement of dispute.72
70 71
Ibid., hlm 190, Ibid., 72 Ibid.,
36
Sanksi yang diberikan oleh CONTRACTING PARTIES maupun Dispute
Settlement Body dengan tujuan utama penarikan kembali atau
penghentian tindakan-tindakan yang bertentangaan dengan perjanjian
tampaknya sudah sesuai dengan hukum internasional yakni dengan
menerapkan restitution in kind yang merupakan pemenuhan paling
sempurna dari kewajiban semula. Bahkan prosedur GATT dan WTO telah
memperluas perlindungan hukum dibandingkan dengan prosedur
penyelsaian sengketa tradisional yakni dengan menerima gugatan yang
tidak melanggar ketentuan perjanjian tetapi yang mengganggu
keuntungan yang secara wajar diharapkan dalam hukum GATT dan WTO.
Praktek-praktek dan case-law dalam hukum internasiional serta
doktrin tampaknya telah mengakui bahwa restutioin kind merupakan
principal remedy untuk memperbaiki tindakan melawan hukum dalam
hukum internasional. Sanksi kedua yakni kompensasi, rasanya tidak
perlu dikomentari karena merupakan remedy yang sudah umum dalam
penyelsaian kasus-kasus internasiional. Adapun retaliasi dalam GATT
dan WTO tidaklah sama dengan Unilateral Retaliation dalam hukum
internasional karena tindakan tersebut harus mendapat otoritas dari
lembaga yang berwenang dalam GATT atau WTO. Pengaturan GATT dan WTO
tentang retaliasi ini tampaknya sudah mendahului usaha yang
dilakukan negara-negara di forum PBB untuk melarang diambilnya
tindakan pembatasan sepihak (unilateral countermeasures) apabila
kepatuhan terhadap hukum dapat dicapai secara lebih efektif melalui
prosedur penyelsaian sengketa secara damai. Lebih dari 60 tahun
yang lalu institut de dorit international telah membahas hal ini,
dan pada tahun 1993 international law commission PBB mashi belum
mencapai kesepakatan tentang pengaturan tindakan batasan sepihak
tersebut. Salah satu keberatan terhadap dilakukannya tindakan
batasan sepihak adalah karena dalam pelaksanaannya terbuka
kemungkinan penyalahgunaan teruutama oleh negara-negara kuat. Dalam
laporan ILC tahun 1993 tercantum pernyataan sebagai berikut :73
73
Ibid hlm191.
37
The remained that countermeasure were an exercise in power,
wielded more often than not to the detriment of the principles of
equality and justice and that by sanctioning unilateral resort to
countermeasures, the commission was opening the door to many
possible abuses and would also cosecrate a rule capable of widely
differing interpretations. Namun demikian masih terdapat negara
yang tidak setuju tentang pembatasan atas hak mereka untuk
melakukan tindakan batasan jika dibutuhkan untuk mengamankan
kepentingannya.demikian juga ada negara yang tidak bersedia
melepaskan haknya untuk memilih cara penyelsaian sengketa yang
disukainya.74 4. Mekanisme Penyelsaian Sengketa WTO Persengketaan
dan bagaimana cara menyelsaikannya adalah inhern dalam setiap
sistem hukum, termasuk hukum internasional. Perbedaan pendapat ,
dan bagaimanaa para subyek hukum mengatasi perbedaan pendapat
tersebut untuk sampai pada suuatu penyelsaian yang dapat diterima
keduabelah pihak, baik secara sukarela maupun karena dirasakan
sebagai kewajiban sebagai anggota masyarakat internasional, akan
memperkaya dan memperkuat sistem hukum yang bersangkutan. Sahbtai
Rosene, seorang ahli hukum internasional menulis:dispute and
controversy are the life blood of international law (as of all law)
with out which international law would degenerate simply into an
abstraction, unrelated to what is happening in the world.75
Pengaturan penyelsaian sengketa WTO terdapat dalam understanding on
rule and procedures governing the settlement of disputes (disebut
juga dispute settlement understanding DSU), yakni salah satu dari
perjanjian dalam naungan WTO Agreement. Dalam perjanjian ditegaskan
kembali bahwa negara-negara anggota WTO mempertegas kembali
keyakinannya akan prinsip-prinsip penyelsaian sengketa GATT
sebagaimana
Ibid hlm 192 Prof.Dr.H. Hata, S.H.,M.H. Hukum internasional
dalam perkembangan , STHB pers, Bandung 2005, hlm 108.75
74
38
terdapat dalam Pasal XXII dan XXIII GATT 1947.Ada beberapa organ
penting dalam struktur penyelsaian sengketa WTO ini yakni Dispute
Settlement Body, Panel, Appeliate Boody (lembaga Banding).76
Dispute Settlement Body di bentuk oleh WTO Agreement dan berfungsi
melaksanakan peraturan-peraturan dan prosedur mengenai konsultasi
dan penyelsaian sengketa, termasuk juga dengan
perjanjian-perjanjian terkait jika tidak ada pengaturan lain. Oleh
karena itu DSB berwenang membentuk panel (sekelompok ahli yang akan
memeriksa persoalan yang disengketakan), menerima laporan panel dan
juga badan baru yakni Lembaga Banding, mengawasi implementasi
putusan dan rekomendasi, dan menguasakan
pennangguhan konsesi serta kewajiban kewajiban lain dalam
perjanjian yang terkait. Atas kesepakatan para pihak penyelsaian
sengketa juga dapat ditempuh dengan perantaraan jasajasa baik(good
office), konsiliasi dan mediasi atas dasar sukarela.dalam banyak
hal prosedur penyelsaian sengketa WTO telah membuat
perbaikan-perbaikan yang sifatnya lebih mengikat dibandingkan
dengan sistem penyelsaian sengketa dalam GATT 1947:77 Pertama:
sebagai salah satu norma dasar terpenting terdapat dalam Pasal 23
menyatakan bahwa anggota-anggota yang berusaha memulihkan kerugian
akibat pelanggaran GATT atau perjanjian terkait, diharuskan mengacu
kepada, dan memenuhi aturan-aturan dan prosedur dari understanding
ini (they shall have recouurse to, and abide by, the rules and
procedures of this understanding). Selanjutnya dinyatakan bahwa
mereka tidak boleh menentukan telah terjadinya pelanggaran atau
bahwa keuntungan telah dihilangkan atau tidak dibayar (nulified or
unpaid) except through recourse to the dispute sttlement in
accordance with the understanding.
76 77
Ibid., hlm 109 Ibid., hlm 110.
39
Selanjutnya understanding telah memperketat proses penyelsaian
hempir pada setiap tahapannya :78 Jadwal dan batas waktu : jika
salah satu anggota meminta berkonsultasi dengan anggota lain,
anggota lain yang dimintakan konsultasi harus memberikan respon
dalam wktu 10 hari konsultasi harus dilakukan dalam waktu 30 hari
sejak diajukannya permintaan, dan harus tuntas dalam waktu 60 hari
sejak diajukannya permintaan. Jika salah satu dari batas waktu itu
tidak terpenuhi, pihak yang mengadukan dapat langsung meminta
pembentukan panel (pasal 4;3,7 DSU). Panel harus dibentuk pada
pertemuan DSB berikutnya setelah menerima permintaan, dan atas
permintaan pihak yang mengadu suatu pertemuan khusus DSB harus
diadakan dallam tempo lima belas hari dengan tujuan membentuk suatu
panel untuk memeriksa perselisihan kecuali pada pertemuan tersebut
DSB secara konsensus memutuskan untuk tidak membentuk panel (Pasal
6;1 DSU) .79 ketentuan yang disebut terakhir ini merupakan suatu
perkembangan penting dilihat dari kecenderungan hukum GATT ke arah
hukum internasional yang lebih mengikat. Jika dalam praktek GATT
pembentukan panel harus didasarkan pada suara bulat (konsensus)
disana pihak yang merasa akan dirugikan selalu dapat merintangi
atau setidaknya menunda pembentukan panel, dengan sistem yang baru
dalam WTO pembentukan panel bersifat otomatis oleh DSB, kecuali
jika secara konsensus DSB memutuskan untuk tidak membentuk panel
tersebut, suatu hal yang sulit diilaksanakan mengingat kehadiran
pihak-pihak yang bersengketa sendiri sebagai anggota DSB.80 Setelah
terbentuk panel diharuskan menyelsaikan tugasnya dalam tempo 6
bulan, termasuuk untuk pertimbangan laporan panel oleh DSB, jika
diajukan banding, waktunya
78 79
Ibid. Ibid. 80 Ibid hlm 111.
40
ditambah 3 bulan lagi. Jika diperlukan dapat ditambahkan lagi
waktu tiga bulan yakni untuk kasus-kasus yang rumit. Selin itu
tidak ada perpanjang waktu lagi. Jadi, kecuali diajukan banding,
laporan panel harus diterima DSB dalam tempo enam bulan setelah
laporan itu diedarkan kepada para anggota kecuali secara konsensus
DSB memutuskan untuk tidak menerima laporan panel tersebut (Pasal
16;4 DSU). Ketentuan ini menunjukan bahwa laporan panel tersebut
pada dasarnya mengikat bagi DSB, kecuali jika secara konsensus DSB
memutuskan lain, sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi.
Selanjutnya laporan Appellate Body harus diterima DSB dalam tempo
30 hari sejak disirkulasikan kepada anggota, kecuali secara
konsensus DSB memutuskan untuk tidak menerimanya. Menurut penulis
adanya lembaga banding ini merupakan ciri legalistik dari sistem
penyelsaian sengketa WTO apalagi jika dibaca ketentuan Pasal 17:6
DSU yang berbunyi : an appeal shall be limited to issues of law
covered in a panel report and legal interpretation developed by the
panel. Selanjutnya salah satu persaratan pokok untuk menjadi
anggota Appliate Body disebutkan dalam Pasal 17:3 DSU yakni
...persons of recognized authority, with demonstrated expertise in
law, international trade and subject matter of the covered
agreement generally keahlian di bidang hukum dan perrdagangan
internasional merupakan syarat utama, selanjutnya pengatahuan
tentang materi-materi yang diatur perjanjian WTO.81 Tugas DSB tidak
selesai dengan memberikan rekkomendasi atau putusan akan tetapi
sampai pada pengawasan implementasi putusan atau rekomendasinya.
Jika laporan diterima DSB menyyebutkan bahwa tindakan yang
dikeluhkan adalah bertentangan dengan General Agreeement atau salah
satu perjanjian terkait, maka rekomendasi yang diberikan biasanya
adalah meminta negara yang bersangkutan untuk menyesuaikan kembali
tindakannya dengan perjanjian yang relevan. Sebagaimana dilakukan
pada masa GATT 1947 penyelsaian sengketa yang disukai adalah
menghentikan secara berangsur-angsur tindakan yang81
Ibid hlm 112.
41
dikeluhkan pihak lain, bukan lewat retalisasi atau ganti rugi.
Namun prosedur penyelsaian sengketa WTO melangkah lebih jauh. Dalam
tempo 30 hari smenjak diterimanya laporan panel, anggota yang
bersangkuutan diminta untuk memberi tahu DSB tentang niatnya untuk
mengimplementasikan laporan tersebut. Jika tidak dapat memenuhinya
dengan segera anggota yang bersangkutan akan diberi waktu yang
pantas (reasonable time) untuk melakukannya. Akan tetapi berbeda
dengan sistem GATT 1947, dalam sistem WTO penentuan waktu yangg
pantas tersebbut tidak dilakukan sendiri tetapi harus disetujui
DSB, atau disetujui para pihak dalam tempo empat puluh lima hari
sejak diterimanya laporan atau dengan suautu putusan arbitrase yang
mengikat. Ketentuan-ketentuan ini dengan jelas telah menutup
peluang atau celah-celah bagi negara yang dikalahkan untuk
mengulur-ulur pelaksanaan keputusan DSB.selanjutnya begitu putusan
diimplementasikan, DSB akan terus mengawasi pelaksanaan putusan
tersebut. Setiap anggota dapat mempersoalkan hal ini dalam rapat
DSB, dan masalah tersebut akan ditempatkan dalam agenda DSB enam
bulan setelah ditentukan waktu yang pantas, dan akan terus disana
sampai perselisihan diselsaikan.82 Jika cara tersebut gagal, ada
dua kemungkinan lain yang disodorkan dalam DSU, jika dalam waktu
yang pantas anggota WTO yyang bersangkutan gagal
mengimplementasikan putusan DSB untuk mengakhiri atau memodifikasi
tindakannya yang bertentangan dengan GATT, yang bersangkutan dapat
merundingkan denngan negara yang menggugat untuk menentukan ganti
rugi (kompensasi) yang dapat diterima bersama. Jika perundingan
tentang kompensasi tidak membuahkan hasil dalam tempo dua puluh
hari sejak berakhirnya waktu yang pantas, pihak yang dimenanngkan
dapat melakukan retalisasi dengan persetujuan DSB. Untuk
menangguhkan konsensinya atau kewajiban lain terhadap pihak yang
telah melakukan pelanggaran. Otorisasi diberikan DSB dalam waktu
tiga puluh hari sejak diajukannya permhonan kecuali jika DSB secara
konsensus menolak permohonan tersebut. Menurut DSU82
Ibd hlm 113.
42
tingkat retalisasi harus setara (equivalent) dengan kerugian
yang diderita, dan tidak boleh mengandung tindakan yang dilarang
salah satu perjanjian WTO, dan pertama-tama ditujukan pada sektor
kegiatan yang sama dengan yang diadukan. Jika tidak memungkinkan,
retalisasi ditujukan pada penangguhan konsensi disektor lain dalam
perjanjian yang sama, dan jikamasih tidak dimungkinkan dan keadaan
sudah dianggap cukup serius, penangguhan konsesnsi didalam
perjanjian WTO lain pun di izinkan.83 Apa yang dikemukakan diatas
memberikan gambaran tentang tekad para anggota WTO untuk
menciptakan suatu prosedur penyelsaian sengketa perdagangan yang
dapat dipraktekan dan efektip. Kaitanya sistem yang diterapkan
membuat pengamat dan praktisi GATT, Andreas F, Lowenfeld,
berkomentar tentang prosedur penyelsaian sengketa WTO ini : the
system was revised in a major way in uruguay roun, so that today it
appears...at leat on papers...to be the strongest system of binding
dispute resolution in the international arena...84 Secara
keseluruhan hasil-hasil putaran uruguay, khususnya mekanisme
penyelsaian sengketanya, telah memberikan kkontribusi yang sangat
penting terhadap perkembangan dan penegakan hukum internasional
koontemporer. Namun semua terpulang pada konsistensi para anggota
WTO terhadap komitmen tekadnya semula. Jika tetap yakin bahwa
perdagangan bebas adalah jalan yang harus ditempuh oleh seluruh
anggota masyarakat internasional demi terwujudnya kesejahtraan bagi
semua, hukum merupakam tiang penyangga utama yang harus ditegakan.
Sebagaimana dinyatakan manatan Dirjen WTO, Renato Ruggiero: the
rule of law in trade is essential to keep trade open with out it we
have the law of the jungle which in an interdependent world not
even the most powerful can afford. Sebagaimana juga ditegaskan
83 84
Ibid hlm 114 . Ibid.
43
para penandatanganan WTO Agreement bahwa:dispute settlement
system of the WTO is the central element in providing securty and
predictability to the multilateral trading system85. Bagaimana
realitanya? Selama berfungsinya DSU sejak tahun 1995 samapai dengan
17 September 2004 tercatat di sekertariat WTO tidak kurang dari 314
pengaduan anggota terhadap satu sama lain. Jumlah ini berarti
beberapa kali lipat yang diterima GATT 1947 selama hampir lima
puluh tahun eksistensinya. Dari satu sisi hal ini mencerminkan
perkembangan positif karena mencerminkan kepercayaan yang lebih
besar dari para anggota WTO terhadap sistem penyelsaian sengnketa
yang baru. Apalagi jika dilihat fakta bahwa pihak yang bersengketa
tidak hanya negara-negara maju atau sesama negara berkembang. Namun
masih menjadi pertanyaan apakah bertambahnya jumlah kasus
perselisihan dagang yang diajukan ke WTO mencerminkan efektivitas
sistem penyelsaian sengketa WTO atau hanya karena persoalan yang
diaturnya bertambah banyak. Satu hal yang tidak bisa dibantah
adalah bahwa lemabaga penyelsaian sengketa WTO telah menghasilkan
keputusan-keputusan yang telah memperkaya hukum GATT dengan tidak
kurang dari 27.000 halaman yurisprudensi. Ini merupakan pekerjaan
rumah yang berat bagi para ahli hukum terlebih bagi negara
berkembang yang miskin SDM dibidang ini. Ini berarti dalam memahami
aturan-aturan WTO ttidak cukup dengan membaca dan memahami
kesepakatan-kesepakatan internasional yang telah dicapai
wakil-wakil pemerintah dalam putaran-putaran perundingan akan
tettapi juga yurisprudensi ini.
85
Ibid hlm 115.
44
E.INDONESIA DALAM GATT DAN WTO 1. Keterlibatan Indonesia dalam
GATT Sebagai negara berkembang, Indonesia telah menunjukan sikap
positif terhadap pengaturan perdagangan multilateral. Hal ini
dibuktikan dengan keanggotaan indonesia dalam GATT sejak tanggal 24
Februari 1950, dan kemudian menjadi original member WTO serta
meratifikasi perjanjian perdagangan multilateral tersebut dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Indonesia menjadi anggota GATT
atas dasar ketentuan Pasal XXVI;S(c) yakni yang disebut
succession.negara-negara baru merdeka biasanya menjadi anggota GATT
lewat ketentuan ini. Salah satu konsekuensi terpenting adalah bahwa
negaranegara baru ini akan memikul hak dan kewajiban GATT dari
negara yang dahulu menjadi sponsornya sepanjang negara yang baru
merdeka tersebut tidak menolak hak-hak dan kewjiban tadi.86
Indonesia mengakui bahwa sejak tahun 1948 aturan-aturan GATT telah
terbukti mempunyai peranan besar dalam mengembangkan perdagangan
internasional. Manfaat yang dirasakan oleh indonesia dari
pengaturan GATT adalah keberhasilan dalam mengembangkan ekspornya,
terutama ekspor migas. Namun demikian sekalipun indonesia telah
menjadi anggota GATT sejak awal, sebagaimana negara-negara
berkembang lainnya, keterlibatan indonesia selama tujuh puturan
perundingan pertama sangat terbatas. Perhatian negara-negara
berkembanng pada masa yang lalu sangat terpusat pada perlakuan
khusus dan berbeda (special and differential treatment) yakni
karena negara-negara ini memiliki kondisi khusus maka mereka
meminta perlakuan berbeda. Secara umum ini berarti kewajiban yang
lebih lunak dalam membbuat konsensi disatu pihak dan hak atas
konsensi yang lebih akomodatif daari negara industri. Secara formal
perlakuan khusus dan diferenssial bagi negara86
Prof.Dr.H. Hata, S.H.,M.H. PERDAGANGAN INTERNASIONAL Op.Cit
hlm204.
45
berkembang adalah bagian dari GATT, khususnya bagian IV dari
GATT 1947. Tetapi secara material sistem prefensi umum adalah
satu-satunya produk konkret dalam kaitan ini. Sampai dewasa ini
indonesia telah menikmati fasilitasi sistem prefensi umum (GSP)
yang berupa pengurangan dan penghapusan bea masuk atas ribuan
produk ekspor oleh beberapa negara maju seperti Amerika Serikat,
MEE, Kanada, Australia, Selandia Baru dan Jepang. Namun sebagaimana
penulis nyatakan pada bab yang lalu sistem prefensi umum ini
diberikan negara maju secara unilateral dan dapat ditarik kembali
sewaktu-waktu sehingga dengan demikian posisi negara berkembang
sangat lemah. Menurut seorang pengamat keuntungan yang diperoleh
negara-negara berkembang dari liberalisasi perdagangan multilateral
adalah sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan yang diraihnya
dari GSP. Di samping itu keuntungan dari GSP ini dimentahkan lagi
dengan tindakan-tindakan proteksiionis yang dilakukan negara-negara
maju atas produk-produk negara berkembang yaang berhasil.87
Menghadapi sikap diskriminatif daari negara-negara maju terhadap
impor dari negaranegara berkembang, indonesia menekankan perlunya
pengatuuran negara-negara
menekankan perlunya pengaturan perdagangan multilateral
sebagaimana dimuat GATT. Mantan menteri muda perdagangan indonesia,
J.Soedradja Djiwandono pernah menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan
yang dimuuat di dalam GATT didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi,
yang dalam hal ini menunjukan bahwa kesejahteraan bangsa dapat
ditingkatkan melalui perdagangan bebas dan berlandaskan azas non
diskriminasi. Kendati masih jauh kenyataannya sistem ini semakin
berkembang, yaitu setelah melalui berbagai putaran perundingan
perdagangan multilateral, yang diadakan untuk meningkatkan
keterbukaan dan kebebasan perdagangan dunia. Menurut soedradja...
ekonnomi indonesia telah makin beragam dan berdaya saing. Dalam
keadaan seperti ini, kepentinngan utama ekonomi nasional adalah
tersedianya pasar yang bebas dan terbuka serta meluas oleh sebab
ituu dalam87
Ibid., hlm 205.
46
perdagangn internasional diperlukan sustu sistem penyelenggaraan
perdagangan antar bangsa yang dapat mendorong terwujudnya pasar
yang bebas, adil, dan terbuka baggi semua pelakunya.Dalam sistem
perdagangan dunia, perjuangan nasional harus dilakukan untuk
bersama negara lain ikut serta secara aktif mengusahaakan suksesnya
perundingan perdangangan multilateral dalam ykerangka GATT putaran
urugguay yang sasaran
uttamanya adalah untuk meningkkatkan keterbukaan dan kebebasan
perdagaangan dunia. Inilah yang mendasari peningkatan kegiatan
indonesia dalam perundinngan perdagangan multilateral.88 Lebih
lanjut Soedradja menegaskan keyakinannya sebagai berikut:89
Kegagalan penciptaan aturan mmain perdagangan antara bangsa yang
lebih terbuka, bebas dan adil untuk semua negara dan perekonomian
akan berarti merajalelanya proteksi dan fragmentasi perdagangan
dengan segala konsekuensinya. Perdagangan dunia akan menciut,
produksi dunia akan mmenciut, pengangguran akan membengkak dan
kemamuran akan menurun. Kiranya semua negara di dunia tidak
menghendaki hal ini terjadi. Karena itu segala upaya harus
dilakukan untuk tercapainya kesepakatan demi berhasilnya putaran
uruguay. Dukungan indonesia terhadap sistem perdagangan yang
terbuka telah diwujudkan oleh kebijakan deregulasi yang telah
berlangsung sejak tahun 1980-an. Menurut dua orang ekonom Djisman
S. Simanjuntak dan Meri E. Pangestu sepuluh tahun terakhir dalam
ekonomi indonesia dapat disebut sebagai dasawarsa reformasi. Paket
demi paket deregulasi diumumkan. Bisnis-bisnis yang tertutup atau
dibatasi bagi pendatang baru tinggal sedikit sekali. Cakupan
produksi dari tata niaga (proteksi tinggi terhadap impor melalui
tarif atau hambatan non tarif) sudah turun dari 41 % dalam tahun
1986 menjadi 22% dalam tahun 1992, dan khusus dalam industri
pengolahn turun dari 68% menjadi 31% dalam waaktu yang sama.
Reformasi tarif pada tahun 1985 telah menurunkan rangkaian tarif
dari 0-225% ke 0-60% berdampak menurunnya proteksi . Inpres Nomor 4
bulan Maret 1985 yang antara lain
88 89
Ibid., hlm 206. Ibid.
47
mengatur pemebnahan dan perombakan bea cukai untuk memproses
barang masuk telah mengakibatkan pengurangan waktu dalam memproses
barang baik untuk impor maupun ekspor. Kebijakan tanggal 6 Mei 1986
yang antara lain menghapuskan restriksi pemilikan saham asing untuk
PMA yang berorientasi ekspor (sampai dengan 95%) telah
mengakibatkan peningkatan PMA. Deregulasi di bidang pasar modal
pada bulan Desember 1987 yang antara lain membolehkan pihak asing
untuk membeli saham 49% telah menggariahkan pasar modal indonesia
karena kedudukan pihak asing dipastikan. Ini sekedar contoh dari
sekian banyak kebijakan deregulasi yang telah dilancarkan indonesia
dalam mendukung sistem perdagangan terbuka.90 Apa yang dikemukakan
kedua ekonom indonesiaa tersebut diatas didukung juga oleh
data-data yang dikemukakan Direktur Jendral GATT dalam laporan
tahunannya tahun 1993 sebagai berikut: reformasi perdagangan yang
dilancarkan (indonesia) terus menerus sejak 1985 mengakibatkan
turunnya tarif, tarfikasi yang lebih besar, dan dikendurkannya
hambatan-hambatan lisensi.. penurunan tarif yang dikenakan pada
bulan meii 1990 berakibat turunnya tarif rata-rata menjadi 22%
dibandingkan dengan 37% pada tahun 1984. Pada bulan juni 1991,
tingkat tarif dan bea tambahan dikurangi atas 860 item. Hambatan
non tarif atas impor 311 item telah dihapus. Subsidi ekspor
dikurangi dan pengecualian bea masuk serta rencana drawback
(catatan penulis : drawback adalah pembayaran kembali seluruh atau
sebagian bea masuk atau pajak dalam negeri oleh pemerintah atas
barang impor yang diekspor keembali setelah diolah lebih lanjut)
dilaksanakan sesuai ketenttuan GATT pada tanggal 8 juni 1992
larangan ekspor atas kulit mentah tertentu dan kayu tertentu serta
rotan diakhiri dan diganti dengan pajak ekspor.91
90 91
Ibid., hlm 207. Iibid hlm. 208
48
Sebagai seoranng yang mempelajari ilmu hhukum, penulis tidak
mungkin melibatkan diri dalam suatu perdebatan teoritis tentang
baik buruknya perdagangan bebas. Namun penulis menyadari bahwa
dikalangan para ahli, baik yang berasal dari negara lain maupun
dalam negeri sendiri kontroversi tentang perdagangan bebas masih
ada.92 Sri Edi Swasono, misalnya, menulis sebagai berkut:93 Pasar
bebas akan mengagalkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi
seluruh rakyat indonesia. Pasar bebas dapat mengganjal cita-citta
proklamasi kemerdekaan untuk melindungi segenaop bangsa dan seluruh
tumpah darah indonesia. Pasar bebas hanya akan netral-netral saja,
terhadap anak negeri (baca;pribumi). Pasar bebas tidak mampu
memihak kepada bekas kaum inlander (baca; kaum terjajah,terhina)
yang jauh di bawah martabat kaum eropa dan timur asing . pasar
bebas bahkan diiskriminatif terhadap yang miskin yang tidak
memiliki jaminan, tidak mampu memperoleh alokasi. Pasar bebas yang
menutup hak demokrasi ekonomi rakyat, yang miskin tanpa daya beli
hanya akan menjadi penonton beelaka, berada diluar pagar-pagar
transaksi ekonomi. Pasar bebas melahirkan swastanisasi yang
memberikan cabang-cabang ke tangan partikelir dan asing . pasar
bebas mencari keuntungan ekonomi, bukan manfaat ekonomi. Pasar
bebas menggeser, dan menggusurr rakyat dari tanah struktural,
lantas mendorong terbentuknya polarisasi sosial ekonomi subordinasi
yang eksploitatif dan dteiskriminatif terhadap yang lemah. Kemudian
pasar bebas mengacu pikiran kita, melumpuhkan misi-misi mulia dan
mendorong lidah kita bicara palsu membabibutta anti subsidi, anti
proteksi, demi efisiensi yang jarang memberi manfaat kepada si
lemah. Pendapat Edi Swasono tampaknya termasuk kedalam paham yang
tidak menyetujui negara-negara berkembang. Terlibat dalam
perdagangan bebas karena hanya akan lebih menyengsarakannya.
Pendapatnya juga sangat nasionalistik tanpa menghiraukan
hasil-hasiil konkret yang telah dicapai negara-negara dunia dengan
mengikuti perdagangan bebas sebagaimana dikemukakan hasil-hasilnya
oleh sekertariat GATTatau WTO. Pada saat bangsa lain, bahkan yang
berediologi komunis seperti RCC dan Vietnam dengan gencar melakukan
liberalisasi perdagangan dan swastanisasi, adalah tidak masuk akal
jika indonesia disarankan untuk menutup diri dari arus globalisasi
dan menjalankan ke