-
Hukum, Moral, dan Politik
Materi Studium Generale untuk Matrikulasi Program Doktor
Bidang Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang,
tanggal
23 Agustus 2008
Studium Generale ini akan mengupas hubungan antara hukum,
moral,
dan politik. Masalah utama yang akan dibahas adalah sulitnya
pembuatan dan
penegakan hukum yang responsif di Indonesia karena, antara lain,
lemahnya
moralitas para pembuat dan penegaknya serta sistem politik yang
tidak kondusif.
Dasar etik dan moralitas hukum
Pembahasan mula-mula akan ditekankan pada hubungan hukum
dengan
etika dan moral terutama dalam kaitannya dengan hukum sebagai
kristalisasi
dari nilai-nilai etik dan moral yang diformalkan secara gradual
menjadi hukum.
Materi ini dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan para penstudi
hukum
bahwa dilihat dari sumber materiilnya hukum adalah kristalisasi
atau formalisasi
dari kaidah-kaidah atau norma lainnya di dalam masyarakat yang
kemudian
mempunyai sifat sendiri yakni bersifat memaksa dan dapat
dipaksakan dengan
kekuatan penegak hukum.
Salah satu masalah yang sekarang timbul adalah terlepasnya
sukma
hukum yakni keadilan dari banyak proses penegakan hukum karena
hukum
kemudian lebih banyak dihayati sebagai persoalan
teknis-prosedural semata.
Banyak sekali orang yang melanggar etika dan moral tetapi merasa
atau bersikap
seakan-akan tidak bersalah karena belum diproses secara hukum,
tepatnya
belum dibuktikan sebagai tindakan yang salah secara hukum oleh
pengadilan.
Padahal pada waktu yang bersamaan proses hukum di lembaga
peradilan juga
menghadapi masalah besar karena banyak dihinggapi oleh penyakit
judicial
corruption.
-
Akibatnya, hukum kemudian menjadi alat permainan untuk
mencari
kemenangan di dalam sengketa atau berperkara di pengadilan dan
bukan untuk
menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban di dalam
masyarakat.
Penegakan hukum kemudian bermain atau terjebak di dalam
permainan norma-
norma tanpa mempedulikan manusianya sebagai subyek yang harus
dilayani
dengan hukum yang bersukmakan keadilan serta berlandasan etika
dan moral.
Di sinilah letak perlunya upaya mendiagnosis letak etika dan
moral dalam
perkembangan hukum kita pada saat ini.
Hukum dan politik
Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber
dari
etika dan moral, masalah lain yang kita hadapi adalah hubungan
antara hukum
dan politik sebagai dua subsistem kemasyarakatan. Dalam hal-hal
penting
tertentu hukum lebih banyak didominasi oleh politik sehingga
sejalan dengan
melemahnya dasar etik dan moral, pembuatan dan penegakan hukum
banyak
diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik kelompok dominan
yang sifatnya
teknis, tidak subtansial, dan bersifat jangka pendek.
Secara teoritis hubungan antara hukum dan politik memang
dapat
dibedakan atas tiga model hubungan. Pertama, sebagai das Sollen,
hukum
determinan atas politik karena setiap agenda politik harus
tinduk pada aturan-
aturan hukum. Kedua, sebagai das Sein, politik determinan atas
hukum karena
dalam faktanya hukum merupakan produk politik sehingga hukum apa
pun yang
ada di depan kita tak lain merupakan kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik
yang saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum berhubungan
secara
interdeterminan karena politik tanpa hukum akan zalim sedangkan
hukum tanpa
pengawalan politik akan lumpuh.
Pembahasan kita dalam studium generale ini akan menyorot teori
atau
berangkat dari asumsi bahwa sebagai kenyataan politik determinan
atas
hukum. Pilihan kita pada fokus ini sejalan dengan masalah
terlepasnya keadilan
sebagai sukma hukum yang bersumber dari etika dan moral.
-
Dengan demikian di dalam studium generale ini kita akan
membedah
hubungan sebab akibat dan kait kelindan antara hukum, moral, dan
politik.
Perubahan politik dan perubahan hukum1
Meskipun reformasi yang berintikan penegakan supremasi hukum
sudah
berjalan lebih dari sepuluh tahun (sejak Mei tahun 1998) namun
sekarang ini
masih banyak keluhan bahwa supremasi hukum tak tegak-tegak.2
Mestinya
dengan adanya reformasi situasi penegakan hukum dapat lebih
baik, tetapi
nyatanya tidak juga. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih
merajalela,
mafia peradilan, tepatnya judicial corruption, ditengarai
semakin menggila.
Melihat situasi yang buruk itu seorang peserta program doktor di
Undip
Semarang pernah bertanya kepada penulis: mengapa hukum tetap
buruk meski
sudah ada reformasi? Bukankah kita melakukan reformasi karena
ingin
membangun demokrasi agar hukum bisa berjalan baik dan dapat
ditegakkan?
Apakah tesis Bapak bahwa hukum berubah jika politik berubah
tidak berlaku
untuk kasus Indonesia?3
Penulis menjawab bahwa hal itu terjadi karena perubahan politik
kita di
era reformasi ini bukan berubah dari otoriter ke demokratis
melainkan dari
otoriter ke oligarkis, meskipun pada awalnya agak demokratis
juga. Hukum
adalah produk politik sehingga jika politiknya tidak baik, maka
hukumnya pun
1 Bagian ini dan butir-butir berikutnya disunting dan ditulis
kembali dari beberapa makalah saya, antara lain, Sepuluh Tahun
Penegakan Hukum dalam Pemerintahan RI Pasca Reformasi,yang
dipresentasikan pada Seminar Nasional tentang Sepuluh Tahun
Pembangunan Hukum, Ekonomi, dan Kiprah Otonomi Daerah Bagi
Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat yang diselenggarakan dalam
rangka Pelantikan Pengurus Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam
Indonesia (IKA-UII) Propinsi Jambi tanggal 5 Juni 2008 di Jambi. 2
Pada bulan Mei tahun 2007 saya meluncurkan buku Hukum Tak Kunjung
Tegak (PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007) yang berisi kumpulan
artikel tentang betapa mandulnya hukum kita jika berhadapan dengan
politik. 3 Pada tahun 1993 saya menulis disertasi doktor di UGM
yang salah satu temuan tesisnya menyebutkan bahwa karena hukum
adalah produk politik maka jika politik berubah hukum pun akan
berubah; politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang
responsif sedangkan politik yang otoriter akan melahirkan hukum
yang ortodoks.
-
tidak akan baik. Demikianlah penulis menjawab kepada mahasiswa
program
doktor yang tampak sangat kecewa dengan perjalanan reformasi
kita itu.
Berdasar asumsi bahwa hukum adalah produk politik4 maka
tampaklah
fakta di depan kita bahwa begitu politik berubah hukum juga
berubah. Perubahan
itu akan sejalan dengan perubahan sistem politiknya. Kita
menyaksikan sendiri
betapa begitu rezim Orde Baru jatuh maka hampir semua hukum atau
UU produk
politik Orde Baru diganti. Begitu juga di masa yang lebih lampau
kita
menyaksikan penggantian hukum-hukum yang dibuat oleh Orde Lama
begitu
Orde Baru menggantikan rezim yang diperintah oleh Presiden
Soekarno itu.
Bahkan tampak jelas juga bahwa hukum-hukum lama segera harus
diganti begitu
politik kolonial (penjajahan) diganti dengan politik nasional
(kemerdekaan,
kebangsaan) pada tahun 1945.
Pada era reformasi penggantian hukum (terutama dalam arti
peraturan
perundang-undangan) itu mula-mula menyentuh level UU yang secara
lebih
khusus berbagai UU dalam bidang politik, sehingga kita melihat
terjadinya
penggantian UU kepartaian, UU lembaga perwakilan, UU pemilu,
UU
Pemerintahan Daerah, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Tindak Pidana
Korupsi,
Pencabutan UU Subversi, dan sebagainya. Sampai dengan tahun 2008
ini rezim
reformasi sudah melahirkan tidak kurang dari 200 UU yang lebih
dari 30 di
antaranya adalah UU yang lahir dari hak inisiatif DPR.
Perubahan itu kemudian (sejak tahun 1999) menyentuh level yang
lebih
tinggi daripada UU yakni Tap MPR dan UUD. Mula-mula beberapa Tap
MPR
dicabut dan diganti serta dibuat Tap-tap MPR yang baru yang
dianggap lebih
demokratis. Kemudian dilakukan perubahan (amandemen) terhadap
UUD yang
dikerjakan dalam empat tahap dan meniadakan Ketetapan MPR
sebagai bagian
dari peraturan perundang-undangan di dalam tata hukum kita.
Tentang ini pada
tahun 2003 MPR mengeluarkan Tap No. I/MPR/2003 yang oleh
masyarakat
dikenal sebagai Tap Sapu Jagat yang berisi pemosisian kembali
secara hukum
4 Secara ilmiah ada dua asumsi lain mengenai hubungan antara
politik dan hukum yaitu asumsi bahwa hukum determinan atas politik
dan asumsi bahwa politik dan hukum berhubungan secara interdependen
atau interdeterminan.
-
semua Tap MPR/S yang pernah ada sebagai peraturan
perundang-undangan
level kedua (di bawah UUD, di atas UU). Di dalam Tap Sapu Jagat
ini ada Tap
MPR yang dinyatakan masih berlaku, ada yang dinyatakan dicabut,
ada yang
dinyatakan berlaku sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu
tahun 2004,
ada yang dinyatakan masih berlaku sampai dibentuknya UU yang
menggantikannya, ada yang dinyatakan masih berlaku sampai
selesai isi
perintahnya (seperti Tap tentang Timtim) dan ada yang dinyatakan
tidak berlaku
dengan sendirinya karena sifatnya yang einmalig (sekali berlaku
dan selesai).
Menurut penulis, perubahan UUD kita setelah reformasi ini
hanyalah satu
kali tetapi disahkan dalam empat tahap. Mengapa? Karena
sebenarnya selama
empat tahun MPR tak berhenti membahas perubahan itu, hanya
saja
pengesahannya dilakukan setiap bulan Agustus sesuai dengan
capaian tahapan
perubahan itu. Antara bulan Agustus setelah pengesahan ke bulan
Agustus tahun
berikutnya MPR melalui Panitia Ad Hoc I tak pernah berhenti
membahas
perubahan UUD tersebut. Oleh sebab itu tidaklah benar kalau
dikatakan bahwa
MPR terlalu ceroboh karena dalam empat tahun mengubah UUD sampai
empat
kali. Yang benar selama empat tahun itu MPR hanya sekali
mengubah UUD
karena faktanya perubahan itu berkelanjutan dan bukan
mengamandemen
terhadap hasil amandemen tahun sebelumnya. Perubahan itu
didasarkan pada
kesepakatan dasar dengan satu konsepsi tertentu yang dipatok
sejak tahun 1999.
Namun karena proses pembahasan dan perdebatannya panjang
maka
pengesahannya dilakukan secara bertahap setiap Sidang Tahunan
MPR pada
bulan Agustus sesuai dengan capaian pembahasan dan kesepakatan
setiap
tahun.5 Bahwa hasilnya menimbulkan perdebatan dan kekecewaan di
kalangan
sebagian masyarakat itu adalah biasa, sebab, apa pun isi dan
hasil amandemen
itu merupakan kesepakatan politik yang pasti ada yang setuju dan
ada yang tak
5 Dalam makalah yang saya presentasikan 21 Nopember 2007 di
kampus UI, Depok Jakarta, saya membuat perbandingan tentang waktu
yang diperlukan serta keseriusan pembahasan antara UUD 1945 asli
oleh BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945 dan UUD 1945 hasil amandemen
oleh MPR yang ternyata UUD hasil amandemen jauh lebih lama dibahas
dan didiskusikan dengan serius jika dibandingkan dengan UUD 1945
yang asli yang menurut Bung Karno sendiri merupakan UUD kilat
sebagai produk situasi darurat agar segera merdeka. Lihat dalam
Moh. Mahfud MD, Penjajakan Materi dan Agenda Perubahan Kelima UUD
1945, makalah untuk Seminar Sehari Meninjau Kembali Prospek dan
Agenda Perubahan UUD 1945 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi
Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UI tanggal 21 Nopember 2007.
-
setuju. Yang penting prosedurnya benar dan demokratis, sebab
kata KC Wheare
konstitusi itu merupakan resultante atau kesepakatan-kesepakatan
politik sesuai
dengan situasi poleksosbud pada waktu dibuat. Sebagai
kesepakatan politik amat
sulit mengharapkan sebuah konstitusi disetujui oleh semua orang.
Bahwa hasil
perubahan yang ada sekarang itu secara struktur dan sistematika
terlihat kurang
baik, juga disebabkan oleh karena kesepakatan-kesepakatan yang
harus dibuat
dan kemudian tak dapat dihindari.
Hukum belum efektif
Jika kita amati dan rasakan, ternyata sampai saat ini hukum
belum efektif
memberantas korupsi, terlihat dari berita tentang korupsi
sehari-hari di media
massa kita dan dari hasil survei Transparency International
Indonesia (TII) yang
setiap menempatkan Indonesia sebagai negara yang indeks persepsi
korupsinya
selalu rendah, dalam arti selalu menjadi salah satu negara dari
lima negara yang
paling korup di dunia.
Mungkin banyak di antara kita yang kecewa ketika ternyata
setelah
sepuluh tahun reformasi KKN bukannya hilang, tetapi semakin
merebak dan
menjadi wabah menular termasuk kepada mereka yang dulu dikenal
sebagai
pejuang-pejuang reformasi. Kita dikejutkan oleh tragedi korupsi
di KPU yang
melibatkan mantan aktivis LSM penegakan hukum dan HAM serta
beberapa guru
besar yang dulunya menawarkan konsep-konsep reformasi.6 Kita
tersentak ketika
Menteri Agama dan salah seorang dirjennya dijatuhi hukuman
penjara karena
terbukti mengorupsi Dana Abadi Ummat. Bahkan kita bergidik
ketika Dirut
Bulog ditangkap dengan tuduhan korupsi ratusan miliar rupiah
yang diduga
melibatkan istri, anak, saudara, dan menantunya. Kita bergidik
dan geram ketika
ternyata ada jaksa dan beberapa anggota DPR ditangkap oleh KPK
karena nekat
melakukan korupsi pada saat kita (dan mereka) sedang berteriak
keras untuk
memberantas korupsi.
6 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Sudah Habis Teori di Gudang, dalam
harian KOMPAS, 11 Oktober 2005.
-
Yang paling spektakuler adalah kasus penyuapan Artalyta Suryani
(Ayin)
terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang megguncang dunia hukum pada
tahun
2008. Jaksa Urip Tri Gunawan digelandang ke pengadilan Tipikor
karena
tertangkap basah menerima suap lebih dari Rp 6.000.000.000,-
(enam miliar)
dari Artalyta Suryani yang didakwa mengurus perkara BLBI yang
melibatkan
Sjamsul Nursalim. Spektakulernya, karena ternyata selain uang
yang diurus
berjumlah triliunan rupiah, semula keduanya menyangkal uang yang
disita
karena tertangkap tangan itu sebagai suap. Tetapi
rekaman-rekaman penyadapan
telepon yang kemudian tidak dapat disangkal oleh keduanya telah
meyakinkan
majelis hakim Tipikor bahwa tindak pidana penyuapan itu adalah
benar atau
terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga Ayin dijatuhi
hukuman pidana
penjara maksimal sebagai penyuap yakni lima tahun penjara.
Korupsi telah menjadi penyakit yang sangat berbahaya yang
menyebar di
semua lini kehidupan masyarakat serta melibatkan banyak yang
tadinya tidak
kita sangka akan terlibat.
Dalam satu tulisan penulis pernah mengemukakan, akibat ranjau
korupsi
yang menggila dan melibatkan banyak tokoh seperti itu maka
banyak politisi dan
aparat penegak hukum yang kemudian melakukan politik kancil
pilek atau politik
sariawan. Para politisi yang tadinya galak kemudian menjadi
berperangai halus
dan arif dan meminta tak buru-buru memvonis orang korupsi serta
ber-
suudzdzan. Aparat penegak hukum jerih, saling lempar badan
karena tak mau
berbenturan dengan partai politik yang pimpinannya diindikasikan
terlibat
korupsi. Padahal semua aparat penegak hukum langsung dapat
bergerak untuk
memroses dugaan tindak pidana yang bisa dijerat dengan berbagai
kategori:
korupsi, pencucian uang, gratifikasi, dan lain-lain.
Mengapa KKN merajalela dan hukum tetap tak tegak? Jawabannya
dapat
diberikan dengan analisis dari sudut politik maupun dari sudut
pembangunan
hukum.
-
Penulis mencatat sekurang-kurangnya ada empat hal yang
menyebabkan
keadaan ironis terus berlanngsung. 7
1. Reformasi hanya memotong puncak
Ketika melakukan reformasi pada 1998 kita hanya
memberhentikan
presiden dan kabinetnya tanpa sekaligus melakukan reformasi
birokrasi, padahal
birokrasi yang mencakup sistem, prosedur dan para pejabatnya
merupakan
birokrasi yang sangat korup karena dibangun secara korup pula
selama puluhan
tahun.
Dalam upaya menangani kasus-kasus korupsi di dalam birokrasi
yang
masih korup ini yang terjadi adalah situasi saling blokade dan
saling ancam di
antara mereka yang harus ditindak dan harus melakukan tindakan
karena sama-
sama punya masalah korupsi. Seorang yang bertugas melakukan
tindakan hukum
terpaksa harus berhenti ketika pihak yang akan ditindak menunjuk
balik bahwa
dirinya pun sebagai aparat yang harus memeriksa juga punya
catatan tidak
bersih.
Orang-orang baru yang reformis bisa dikepung oleh kawanan
birokrat
lama untuk tidak dapat berdaya menghadapi korupsi yang terus
berjalan tanpa
takut, malah pejabat baru yang hadir dengan misi memberantas
korupsi itulah
yang dapat terlempar jika mau nekat membersihkan birokrasi.8
Dalam situasi
seperti ini maka seringkali, dan banyak sekali, kasus yang
menggegerkan
masyarakat tiba-tiba hilang dari pemberitaan yang ketika ditanya
ke mana kasus
itu jawabannya adalah tak cukup bukti. Padahal yang terjadi di
sini adalah saling
7 Ketika menjadi Presiden Megawati pernah mengatakan bahwa
dirinya bisa saja memegang leher para menteri untuk memberantas
korupsi tetapi karena birokrasinya korup maka para menteri itu pun
tak bisa berbuat apa-apa. Kata Megawati dirinya mewarisi birokrasi
tong sampah. Itu adalah pernyataan yang benar dan sangat mudah
dibuktikan. 8 Di awal reformasi ada seorang pejabat baru yang
menemukan pengeluaran uang negara oleh sebuah kementerian sampai
bermiliar-miliar rupiah di luar ketentuan yang harus dibayarkan
oleh negara kepada pihak ketiga. Ternyata kelebihan uang itu
dijadikan bancakan oleh kroni dan anak pejabat di kementerian itu.
Ketika dilapori Presiden setuju untuk diusut dan dilaporkan ke
kajaksaan agung. Ketika pelaporan itu sudah berproses sang pejabat
baru yang menemukan kasus itu tiba-tiba dipindah untuk menduduki
jabatan lain (disingkirkan secara halus) dan kasus itu jadi lenyap
dari peta korupsi.
-
menutupi dari borok korupsi masing-masing dan bukan benar-benar
tak cukup
bukti awal untuk terus diproses secara hukum.9
2. Masih dominannya pemain-pemain lama
Selain itu keadaan sekarang ini disebabkan juga oleh masih
leluasanya
pemain-pemain politik lama yang dulunya ikut membangun sistem
yang korup
untuk terus menguasai panggung politik. Semula, atas nama
demokrasi dan
perlindungan HAM, kita tidak punya alasan untuk melarang orang
tetap aktif di
panggung politik. Tapi justru itulah pula yang menyebabkan
banyaknya tokoh
lama yang tetap leluasa menjadi aktivis parpol. Ketika harus
terlempar dari
wadah yang lama mereka bisa berloncatan dari parpol lama ke
parpol lama yang
lain atau mendirikan parpol baru. Oleh sebab itu dalam keadaan
seperti sekarang
ini tidak dapatlah kita mengatakan ada parpol yang baik atau
jelek, sebab dalam
kenyataanya di setiap parpol ada orang-orang yang jelek dan ada
orang-orang
yang baik secara bercampur-baur dengan kecenderungan
institusional yang
korup. Oleh sebab itu cap reformis atau antireformasi tak dapat
dilekatkan
pada satu parpol mana pun melainkan pada orang-orang yang
mengendalikan
parpol yang dapat berada di parpol mana saja.10
3. Politisi baru yang tanpa visi
Banyak juga politisi baru yang hadir ke panggung politik melalui
parpol
tanpa visi dan misi untuk melakukan reformasi. Mereka hadir ke
panggung
9 Sebagai contoh kasus pembongkaran ijazah yang diperoleh secara
tidak wajar seperti membeli tanpa belajar atau mendapat ijazah
kehormatan tanpa kriteria yang jelas, seperti yang pernah ditulis
sebagai Doktor Kucing oleh mantan Rektor Undip Eko Budihardjo.
Semula diumumkan oleh Polri adanya puluhan ribu kasus seperti itu
namun ternyata sampai sekarang tak ada kabarnya lagi. Katanya sulit
mencari ketentuan itu di dalam hukum pidana; padahal kalau mau
bersungguh-sungguh hal itu bisa dijerat dengan ketentuan pidana
yang ada di dalam UU Sisdiknas maupun KUHP seperti berdasar hasil
kajian beberapa perguruan tinggi. Sebenarnya masalahnya bukan tidak
ada ketentuan hukum pidana yang mengancam itu melainkan karena
banyak perwira tinggi Polri, perwira TNI, dan mantan pejabat tinggi
yang disebut-sebut juga memiliki ijazah secara tidak wajar seperti
yang nama-namanya pernah dimuat di berbagai media massa.. 10 Ketika
oleh beberapa Penggugat saya diminta menjadi saksi untuk pembubaran
Golkar di Mahkamah Agung pada tahun 2001 saya menolak karena,
dengan bercampurbaurnya tokoh-tokoh parpol seperti sekarang, tak
mungkin kita menyalahkan satu parpol untuk dibubarkan sambil
mengatakan bahwa parpol lain bersih. Bagi saya yang penting untuk
diburu dan diadili bukanlah partai politiknya melainkan oknum-oknum
koruptornya yang itu bisa ada di partai mana pun, termasuk di dalam
partai yang meneriakkan adanya korupsi di partai lain.
-
politik karena tiba-tiba mendapat peluang atas wadah yang harus
mereka isi
tanpa syarat kualitas tertentu karena memiliki massa pendukung.
Bahkan jika
dilihat dari fakta banyaknya tokoh-tokoh parpol, terutama di
tingkat lokal, yang
bermasalah dengan hukum karena KKN, dapat dikatakan bahwa mereka
hadir ke
panggung politik bukan dengan misi untuk memperbaiki melainkan
ingin ikut
menikmati juga peluang-peluang KKN yang dulunya tak dapat mereka
peroleh.
Keadaan ini disebabkan oleh tidak adanya sumber daya manusia
yang
cukup berkualitas di kalangan parpol-parpol terutama di tingkat
lokal sebagai
akibat dari sistem politik Orde Baru yang puluhan tahun sangat
hegemonik.
4. Rekrutmen politik yang tertutup
Penyebab lainnya adalah sistem rekrutmen politik yang tertutup
baik
untuk legislatif maupun untuk eksekutif. Jika mengambil contoh
kabinet yang
memimpin eksekutif sekarang ini maka terlihat bahwa penempatan
pejabat-
pejabat puncak di eksekutif yang secara formal menjadi hak
prerogatif presiden,
dalam praktiknya harus dilakukan melalui negosiasi politik
antara presiden dan
elit parpol atau pendukung kampanye pilpres dalam rangka
kompensasi politik
sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan. Presiden yang
mempunyai niat baik
untuk mebentuk kabinet yang terdiri dari para ahli dan
profesional terjebak
dalam transaksi politik yang tak dapat dihindari. Akibatnya,
pembentukan
zaken kabinet (kabinet ahli dan profesional) yang dijanjikan tak
bisa dilakukan
dengan leluasa, bahkan fit and proper test yang semula dilakukan
untuk calon
pejabat pada saat terakhir pembentukan kabinet tidak lagi
menjadi pertimbangan
utama, lebih-lebih pada saat reshuffle.
Untuk lembaga legislatif rekrutmen politik yang tertutup ini
terutama
melekat pada sistem pemilu yang dipergunakan untuk merekrut
wakil-wakil
rakyat yakni sistem proporsional, dimana penentuan anggota
lembaga
perwakilan rakyat dapat dikatakan sepenuhnya tergantung pada
pimpinan partai,
rakyat hanya memilih gambar parpol sedangkan calon-calon
ditetapkan oleh
pengurus parpol berdasarkan nomor urut yang dapat disusun
berdasar posisi,
transaksi, atau kedekatan politik.
-
Dalam hal-hal yang penting situasi tersebut telah menimbulkan
sistem
politik yang oligarkis, bukan lagi demokratis, karena demokrasi
itu sendiri telah
dirampok oleh para elitenya. Maka jangan heran jika kemudian
hukum tidak
responsif dan dunia peradilan juga korup sebab tak mungkin hukum
dan
peradilan itu menjadi baik jika politik yang melatarbelakanginya
tidak
demokratis melainkan oligarkis seperti sekarang ini.
Peradilan yang korup
Selain lembaga legislatif dan eksekutif kita juga merasakan
bahwa judicial
corruption di lembaga yudikatif tak kalah maraknya. Kebebasan
lebih luas yang
diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang baru (mula-mula
dimuat di dalam
UU No. 35 Tahun 1999) kepada para hakim bukan hanya digunakan
oleh hakim
untuk bebas dari intervensi kekuatan luar dalam memutus perkara
tetapi juga
oleh sebagian hakim digunakan sebagai kebebasan untuk melakukan
korupsi
peradilan dengan berbagai variasinya. Ada kasus Herman
Alositandi dan ada
kasus Harini Wijoso yang semuanya sudah dihukum, dan ada kasus
penyuapan
jaksa Tri Urip Gunawan dan Artalyta Suryani yang kini penyuapnya
sudah
divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor karena telah terbukti
secara sah dan
meyakinkan bahwa yang bersangkutan memang menyuap.
Ini tragis, sebab lembaga peradilan adalah leading sector
dalam
pemberantasan KKN. Logikanya begini: Indonesia hancur dan
terperosok ke
dalam krisis karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas
karena lembaga
peradilan juga korup. Karena lembaga kekuasaan kehakiman yang
korup maka
lembaga-lembaga penegak hukum yang lain seperti kejaksaan,
kepolisian, dan
pengacara juga menjadi semakin korup.11
Kreativitas korupsi
11 Dua tahun lalu ini ada dua jaksa yang dipecat karena meminta
uang suap dalam satu kasus, sekarang banyak polisi (sampai tingkat
perwira) yang diadili karena korupsi. Kita tentu belum lupa ketika
seorang pengacara kondang dilaporkan telah merekayasa saksi untuk
memberi keterangan palsu dengan imbalan tertentu, tapi kasus ini
sekarang menguap mungkin karena kolusi juga.
-
Ada yang mengatakan bahwa keadaan ini adalah warisan budaya
Indonesia. Karena merupakan warisan budaya maka kita sangat
banyak akal
untuk selalu korupsi. Bagaimana pun kita mengatur hal-hal
penting agar
menjadi baik atau menjadi bersih dari KKN maka peraturan itu
menjadi tidak
efektif karena selalu dapat diakali untuk dikorupsi atau
dimanipulasi.12 Seperti
akan dikemukakan kemudian penulis sendiri tidak terlalu percaya
bahwa
keadaan buruk ini timbul dan berlangsung karena budaya kita
memang budaya
korup sehingga sangat kreatif untuk korupsi; namun marilah kita
lihat contoh
betapa memang kreatifnya banyak di antara kita untuk melakukan
korupsi.
1. Penyatuatapan pembinaan hakim
Dulu kita berteriak agar pembinaan hakim diletakkan di bawah
satu atap
Mahkamah Agung (MA). Asumsinya jika para hakim bebas dari
pengaruh atau
intervensi pemerintah maka kinerja hakim akan lebih baik karena
dia dapat
memutus perkara tanpa harus takut berefek pada status
kepegawaian dan
stabilitas finansialnya. Namun setelah penyatuatapan itu
dilakukan, seperti
dikemukakan di atas, dunia peradilan bukan menjadi lebih baik
sebab mafia
peradilan dan judicial corruption yang melibatkan hakim malah
semakin marak.
Kebebasan yang diberikan kepada hakim ternyata oleh sebagian
hakim
digunakan bukan sekedar untuk membebaskan diri dari intervensi
pemerintah
melainkan digunakan untuk berbuat berbagai hal yang tidak patut,
termasuk
melakukan korupsi.
2. Penghapusan recall anggota DPR/DPRD
Dulu kita juga selalu berteriak agar tidak ada recall
(pemberhentian di
tengah jalan) bagi anggota DPR/DPRD kecuali karena meninggal,
mengundurkan
diri, atau dijatuhi hukuman pidana dengan kualifikasi tertentu.
Maksudnya agar
para wakil rakyat bisa kritis dan tidak takut untuk menyuarakan
aspirasi rakyat.
12 Perlu ditekankan bahwa istilah korupsi tidak harus diartikan
menurut hukum yang mensyaratkan tiga unsur komulatif, yaitu:
1)melawan hukum, 2)memperkaya diri sendiri, orang lain atau
korporasi, 3)merugikan keuangan negara. Secara umum korupsi bisa
berupa tindakan memanfaatkan kedudukan untuk menguntungkan diri
sendiri yang dalam praktik dapat berupa korupsi konvensional dan
korupsi nonkonvensional.
-
Tetapi setelah tak bisa direcall banyak anggota lembaga
perwakilan rakyat yang
berperilaku korup dan amoral, banyak yang terlibat korupsi,
perjudian,
perbuatan asusila, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Ketika
disorot
mereka seakan menantang balik karena tidak bisa direcall kecuali
setelah ada
putusan pengadilan, padahal selain lama, proses peradilan itu
masih bisa
dikolusikan.
3. Otonomi luas bagi Daerah
Dulu kita juga meneriakkan agar sistem desentralisasi kita
menganut asas
otonomi luas dan DPRD diberi kedudukan politik yang kuat sebagai
lembaga
Legislatif Daerah yang sejajar dengan lembaga Eksekutif Daerah.
Tapi yang
terjadi sesudah itu adalah merebaknya korupsi di kalangan
oknum-oknum
anggota DPRD. Banyak anggota DPRD yang kemudian berkolusi atau
bahkan
memeras kepala daerah dengan ancaman halus LPJ-nya akan ditolak
dan/atau
akan dijatuhi mosi tak percaya jika permintaan itu tak dipenuhi.
Saat pemilihan
kepala daerah yang menurut UU No. 22 Tahun 1999 dipilih oleh
DPRD banyak
oknum anggota DPRD yang diberitakan menjual suaranya kepada
calon tertentu.
Yang kemudian muncul sebagai pemenang adalah kepala daerah yang
mampu
membeli suara terhadap lebih dari separoh dari seluruh anggota
DPRD, bukan
kepala daerah yang berkualitas dan amanah.
4. Penghidupan recall dan Pilkada langsung
Berdasar pengalaman buruk atau rapor anggota DPRD berdasar UU
No.
22 Tahun 1999 itu maka pada tahun 2002 UU tentang Parpol dan UU
tentang
Susduk MPR/DPR/DPD/DPRD diubah lagi dengan menghidupkan
kembali
lembaga recall yang diserahkan kepada Pimpinan Parpol. Pemilihan
kepala
daerah pun diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 menjadi pemilihan
langsung
sehingga anggota DPRD tak bisa lagi menjual suaranya kepada
calon kepala
daerah.
Tetapi lagi-lagi kreativitas korupsi muncul dari pintu lain.
Kalau dulu
anggota DPR/DPRD bisa melakukan manipulasi karena tak dapat
direcall,
-
sekarang gantian pengurus parpol yang dapat mengancam akan (dan
sudah
terbukti ada yang) merecall anggotanya dengan alasan yang masih
kontroversial.
Pada pihak lain setelah calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih
langsung dan anggota DPRD tak dapat menjual suaranya secara
eceran maka
giliran oknum pengurus parpol yang kini gencar diberitakan
memungut uang
yang tidak sedikit untuk keluarnya sebuah rekomendasi
pencalonan. Kasus
pilkada DKI dulu diramaikan oleh gugatan calon-calon yang gagal
diusung
karena mereka telah membayar uang kepada (oknum) parpol.13
Sungguh, orang
kita ini sangat kreatif untuk korupsi.
Apakah karena budaya?
Tampak dan terasalah bahwa berbagai peraturan
perundang-undangan
untuk membetrantas KKN dan menegakkan hukum selalu bisa diakali
untuk
dikorupsi. Itulah yang kemudian dijadikan salah satu argumen
untuk
mengatakan bahwa korupsi adalah budaya kita; sebab bagaimana pun
kita
mengatur untuk mengubah kebiasaan korup itu ternyata selalu
muncul
kreativitas untuk mengakalinya lagi.
Benarkah begitu? Sabastian Pompe, penulis buku The
Indonesian
Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, mengatakan
nonsens jika
dikatakan korupsi merupakan budaya bangsa Indonesia. Dalam
kaitannya
dengan dunia peradilan menurut Pompe judicial corruption baru
muncul setelah
peristiwa Malari tahun 1974 ketika lembaga peradilan dibina
dengan sistem (dan
mulai dimasuki oleh) kepemimpinan militer. Itu terjadi ketika
Soeharto mulai
melangkah untuk mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi
kekuasaan
13 Saat ini sudah ada UU No. 10 Tahun 2008 yang membuka pintu
bagi calon perseorangan (sering disebut sebagai calon i ndependen)
di dalam Pilkada. UU merupakan follow up atas putusan Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan bahwa calon perseorangan harus diberi
peluang mengikuti pilkada sebab banyak calon yang potensial tetapi
tidak mendapat parpol pendukung sebagai kendaraan untuk
berkompetisi di dalam pilkada.
-
kehakiman. 14Sejak itu, kata Pompe, terjadilah kebiasaan
melayani (pemberian
amplop atau upeti) di kalangan hakim.15
Penulis sependapat dengan Pompe. Hasil studi yang pernah
penulis
lakukan menujukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah
Indonesia, tepatnya
pada tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan dengan baik
melalui
pimpinan-pimpinan yang tegas dan penuh integritas. Pada periode
itu kita
mencatat nama harum Jaksa Agung Soeprapto yang tegas mengajukan
siapapun,
termasuk menteri, ke pengadilan karena melakukan tindak pidana;
begitu juga
pada saat itu terlihat munculnya hakim-hakim yang jujur dan
berani menghukum
pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana.
Dengan demikian pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa
tidak
dapat kita terima karena dua hal. Pertama, pandangan itu
bertentangan dengan
fakta sejarah; kedua, kalau kita mempercayai pandangan itu
berarti percaya pula
bahwa apa pun yang akan kita lakukan akan cenderung gagal sebab
budaya itu
sangat sulit untuk diubah.
Etika dan Moral Tak Landasi Penegakan Hukum16
Selanjutnya marilah kita lihat hubungan antara hukum,
khususnya
penegakan hukum, dengan etika dan moral. Seperti dikemukakan di
atas, banyak
sekali pelanggar hukum (termasuk penegak hukum yang sengaja
melanggar
hukum melalui judicial corruption) yang mempermainkan formalitas
hukum
untuk melemahkan hukum itu sendiri. Atas nama kepastian hukum
banyak
pelanggar hukum yang bersikap dan berlagak tidak salah hanya
karena belum
dibuktikan kesalahannya di pengadilan. Padahal secara etik dan
moral mereka
14 Pada era Orde Lama di bawah Bung Karno pengadilan juga
dikooptasi oleh eksekutif sehingga tak berdaya, tetapi ketika itu
ketidakberdayaan lembaga peradilan lebih merupakan ketidakberdayaan
politik yang kemudian dituangkan secara resmi di dalam UU bahwa
Presiden dapat mengintervensi Pengadilan. Buruknya dunia peradilan
sekarang bukan pada soal politik tetapi disinyalir lebih
dipengaruhi oleh jual beli perkara. 15 Lihat dalam majalah mingguan
GATRA No. 21 Tahun XII, tanggal 8 April 2006. 16 Bagian ini dan
beutir-butir berikutnya disunting dan ditulis ulang dari makalah
penulis yang disampaikan sebagai orasi ilmiah pada wisuda sarjana
Universitas Islam Kadiri (UNISKA) tanggal 15 Desember 2007 yang
kemudian ditulis ulang dan dipresentasikan dengan judul
Kepemimpinan Nasional yang Berbasis Konstitusi pada Seminar
Nasional tentang Kepemimpinan Nasional yang diselenggarakan oleh
Keluarga Alumni UII Wilayah Sulawesi Selatan dan CDLS Yogyakarta di
Palembang tanggal 5 Mei 2008.
-
ini nyata-nyata bersalah atau sekurang-kurangnya ada common
sense
(pandangan umum yang wajar) bahwa mereka bersalah. Mereka
bebas
berkeliaran kemana-mana sambil berorasi tentang pembangunan dan
penegakan
hukum. Mereka tidak mau mundur dari jabatannya dengan alasan
belum
dibuktikan oleh pengadilan dirinya bersalah, padahal pengadilan
selain
memakan waktu lama juga mengalami krisis kepercayaan. Akibatnya,
ada
guyonan agak sinis bahwa negara kita ini dipimpin oleh para
pelaku kriminal,
utamanya para koruptor, yang berlindung di bawah
formalitas-formalitas
hukum.
Hal ini ada kaitannya dengan pelaksanaan pendidikan kita yang
lebih
banyak berorientasi pada keahlian teknis bahkan lebih buruk dari
itu
berorientasi pada pengeluaran ijasah untuk dijadikan tiket
meraih kedudukan
tertentu di pemerintahan dan di tengah-tengah masyarakat.
Marilah kita fokuskan perhatian kita pada kinerja hukum sebagai
akibat
runtuhnya etika keilmuan dan integritas kecendekiawanan dari
konsepsi
pendidikan yang juga salah dalam bidang hukum.
Pada saat ini banyak sekali orang melakukan pelanggaran hak-hak
negara
dan hak masyarakat tetapi merasa tidak bersalah karena tidak
merasa melanggar
hukum formal. Mereka dengan senaknya merampok hak-hak masyarakat
tetapi
karena tidak salah secara hukum formal maka mereka merasa tak
melakukan
kesalahan apa pun. Hukum formal kemudian dijadikan alasan untuk
berlindung
dari kejahatan etik dan moral padahal hukum formal itu merupakan
legalisasi
dari etika dan moral. Artinya sebenarnya semua hukum formal itu
adalah etika
dan moral yang diformalkan. Oleh sebab itu seharusnya etika dan
moral itu lebih
diutamakan dari sekadar formalitas-formalitas hukum.
Dalam kaitan etika ini penulis pernah menyajikan artikel di
Harian Jawa
Pos berjudul Politik-Hukum Kancil Pilek,17 Di dalam cerita
fiktif ini dikisahkan
bahwa orang bisa menjadi tak jujur dan tidak berani berbicara
apa adanya karena
tersandera oleh keadaan, dihegemoni oleh kekuatan di luar
dirinya, dan takut
untuk mengatakan sesuatu yang salah karena dirinya sendiri
melakukan
17 Moh. Mahfud MD, Politik-Hukum Kancil Pilek, dalam harian Jawa
Pos, (tanggal, tak terlacak tapi sekitar Mei 2007).
-
kesalahan yang sama sehingga dia bersikap seperti kancil pilek
dalam cerita di
bawah ini.
Syahdan di sebuah hutan rimba hiduplah harimau si raja rimba
yang
memerintah rimba itu dengan sewenang-wenang dan kejam. Pada
suatu hari
sang harimau mendengar kabar, di kalangan rakyatnya beredar
gunjingan bahwa
badan sang raja bau, pesing, dan membuat mual binatang lain.
Merasa risih
dengan desas desus itu. Si raja rimba memanggil tiga pimpinan
binatang untuk
mendapat kepastian.
Mula-mula dia memanggil pimpinan binatang anjing, seekor herder
yang
besar. Menurutmu benarkah badan saya ini bau? tanya harimau
sambil
menyorongkan badannya kepada herder itu agar dibau. Ampun tuan
raja yang
mulia, memang benar badan tuan bau dan memualkan, jawab herder
tersebut
dengan jujur. Mendengar itu sang harimau jadi marah. Kurang
ajar, berani
benar kamu menghina raja di rimba ini, kata sang harimau sambil
menerkam
dan merobek-robek si herder sampai lumat.
Kemudian dipanggillah pimpinan rakyat kijang. Apakah
menurutmu
badanku ini bau? tanya harimau kepada pimpinan kijang itu.
Karena takut
dirobek-robek seperti herder maka, setelah membau badan harimau,
pimpinan
kijang itu berkata. Ampun yang mulia, ternyata badan yang mulia
harum
menyegarkan, katanya. Tapi tiba-tiba sang harimau menerkam
pimpinan kijang
sambil mengaum keras. Kurang ajar, munafik; berani benar kamu
membohongi
raja, teriaknya sambil mencabik-cabik tubuh pimpinan kijang.
Berikutnya dipanggillah pimpinan rakyat kancil yang kemudian
datang
dengan gelisah dan ketakutan. Bagaimana dirinya harus menjawab
pertanyaan
harimau si raja rimba? Kalau menjawab jujur seperti herder bisa
dirobek-robek
karena dianggap berani kurang ajar, kalau berbohong agar raja
senang bisa
dicabik-cabik seperti kijang.
Ketika membau tubuh harimau si kancil bersin (wahing) karena
tubuh
raja rimba itu baunya memang menyengat. Bagaimana menurutmu,
kancil? Apa
badan saya memang bau?, tanya harimau sambil membentak. Dengan
gemetar
kancil itu menjawab. Maaf raja rimba yang mulia, saya sedang
pilek, hidung lagi
mampet; jadi tak tahu apakah badan tuan bau atau tidak, jawab
sang kancil.
-
Kok, tadi kamu bersin? Apa karena badan saya bau? kejar sang
harimau. Ya,
saya bersin justru karena pilek itu, jawab kancil lebih berani.
Sang harimau
akhirnya melepaskan sang kancil yang cerdik itu.
Dari cerita itulah di dalam dunia politik kita sering mendengar
istilah
politik kancil pilek, yang biasa diartikan sebagai politik diam
meski melihat
kemungkaran karena ingin selamat dari kekejaman penguasa.
Politik kancil
pilek di Indonesia bukan hanya karena dalam posisi lemah dan
takut kepada
penguasa yang busuk (harimau bau) melainkan juga banyak
diantaranya yang
menjadi kancil pilek karena mereka sendiri menjadi bagian dari
kebusukan itu
(ikut bau). Oleh sebab itu mereka menjadi takut berbicara yang
sebenarnya dan
menjadi kancil pilek jika ditanya tentang korupsi karena mereka
sendiri ternyata
juga korupsi.
Jadi mereka takut pada perbuatannya sendiri, bukan takut pada
penguasa
yang kuat dan kejam. Lihat saja sekarang ini, banyak tokoh yang
semula galak
tiba-tiba menjadi pendiam dan menyerukan kearifan untuk
tidak
mempersoalkan sangkaan korupsi atas orang lain, padahal dulunya
galaknya
setengah mati meneriakkan pemberantasan korupsi. Mereka lalu
berpura-pura
pilek karena ternyata mereka juga terjerat kasus korupsi.
Mereka ini kemudian berbicara secara sangat normatif (tapi
palsu) agar
semua masalah dikembalikan kepada hukum. Padahal menurut teori
dan fakta,
hukum itu baru bisa ditegakkan kalau ada dukungan politik,
sekurang-kurangnya
kalau ada imbangan politik atas kekuatan politik lain yang
selalu menelikung
hukum.
Dalam pada itu lembaga penegak hukum sendiri juga terserang
penyakit
kancil pilek dan tidak berani melakukan tindakan hukum karena
takut pada
terkaman harimau jahat, takut dicopot. Yang menjadi harimau
jahat sekarang
ini adalah oligarki politik. Contoh paling aktual tentang ini
adalah tindak lanjut
hukum atas vonis kasus korupsi dana Departemen Kelautan dan
Perikanan
(DKP) yang telah menghukum (dan berhenti pada) mantan menteri
DKP
Rokhmin Dahuri. Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK sekarang ini
sering membuang
badan untuk menangani kelanjutan kasus korupsi yang menyangkut
tokoh-tokoh
politik kuat; padahal kasus itu sekurang-kurangnya dapat
dikaitkan dengan
-
empat tindak pidana pidana lain oleh para penerimanya seperti
penadahan,
(ikut) korupsi, gratifikasi, dan pencucian uang. Alasan yang
dikemukakan
bermacam-macam, seperti karena belum adanya bukti awal (padahal
bukti awal
sudah sangat jelas), karena tidak ada laporan atau pengaduan
(padahal kasusnya
bukan delik aduan), karena kasusnya secara administratif menjadi
domain
lembaga lain seperti KPU (padahal kasus itu bersifat concursus
atau gabungan
tindak pidana yang bisa diurus oleh beberapa lembaga dari aspek
hukumnya
masing-masing sehingga kasus pidananya bisa ditangani
kepolisian, kejaksaan,
dan KPK).
-
Persoalan Etika
Hal-hal tersebut pada saat ini menjadi problem besar di negara
kita.
Hukum bisa dipermainkan dengan formalitas-formalitas belaka dan
dilepaskan
dari ruh etiknya. Para penegak hukum bukan lagi mencari
kebenaran melainkan
bagaimana mencapai kemenangan riil sesuai dengan yang diinginkan
dirinya
maupun klien yang memesannya. Penyelesaian kasus-kasus hukum
di
pengadilan pun tidak lagi mengandalkan kekuatan argumen yang
murni hukum
melainkan diselesaikan melalui lobi-lobi politik dan negosiasi
tentang cara
penyelesaian atau materi putusan yang dapat dinilai dengan harga
uang tertentu.
Sekarang ini banyak orang melanggar hak-hak masyarakat, tetapi
tetap
bersikukuh tak bersalah hanya karena tidak atau belum dibuktikan
secara formal
melalui proses peradilan, padahal proses peradilan pun sudah
berjalan dengan
penuh judicial corruption. Orang yang bersalah kemudian
melenggang dengan
tenang dan tetap mengelabuhi masyarakat tanpa tahu malu dengan
selalu
berlindung di balik asas praduga tak bersalah. Sangat terasa
bahwa buruknya
kinerja penegakan hukum belakangan ini karena hukum sudah
dilepaskan dari
etika dan moral, orang yang melanggar etika merasa tidak
bersalah karena
merasa tak melanggar hukum padahal etika adalah dasar dari
adanya hukum;
atau hukum merupakan peningkatan gradual (legalisasi atau
formalisasi) dari
etika.
Sebenarnya sudah sejak lama kita mengidentifikasi masalah
tersebut
sebagai salah satu penyebab buruknya penegakan hukum di
Indonesia. Itulah
sebabnya pada tahun 2001 kita mengeluarkan Tap MPR No.
VI/MPR/2001
tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang menekankan pentingnya
etika dalam
kehidupan berbangsa agar kita tidak disandera oleh krisis yang
berkepanjangan.
Namun sampai sekarang Tap MPR tersebut masih tumpul dan seperti
tak
pernah dihiraukan termasuk oleh mereka yang dulu ikut
membuatnya. Tidaklah
heran jika kita melihat banyak orang yang terus bermain
pelesetan hukum dalam
kenyataan hidup yang sebenarnya sangat serius ini. Kalau
pelesetan kata di
dalam ketoprak humor atau di dalam parodi Republik Mimpi bisa
menggelikan
dan menghibur. Misalnya memlesetkan Yusuf Kalla menjadi Ucup
Kelik,
memlesetkan kepanjangan JK menjadi Jarwo Kuwat, memlesetkan
pepatah
-
hujan batu di negeri sendiri menjadi hujan babu di negeri
sendiri merupakan
contoh pelesetan kata yang lucu dan menggelikan.
Tetapi kalau pelesetan hukum bukanlah permainan kata
melainkan
pembelokan kasus hukum. Ada kasus yang berindikasi kuat sebagai
kasus pidana
tetapi prosesnya menjadi mandek karena diselesaikan secara adat.
Korupsi Dana
Abadi Umat yang fantastis berhenti pada penghukuman mantan
menteri agama
dan seorang dirjennya sebagai tumbal padahal dana itu mengalir
ke berbagai
pejabat. Ada juga orang yang ingin kembali ke jabatannya setelah
dihukum
karena kasus korupsi dengan alasan belum pernah menerima
surat
pemberhentian. Di sini ada dua pelesetan, yang pertama pelesetan
orang yang
tak tahu diri karena sudah merusak negara dengan korupsi tetapi
masih mau
menjabat, yang kedua pelesetan karena kelalaian pemerintah yang
ternyata tidak
segera mengeluarkan SK pemberhentian begitu yang bersangkutan
dinyatakan
bersalah dan vonis pengadilan tentang itu telah mempunyai
kekuatan hukum
yang tetap. Agak sejalan dengan ini, ada juga yang ingin atau
mau didudukkan di
dalam jabatan publik padahal yang bersangkutan sedang menjadi
tersangka
dalam kasus korupsi. Ini lebih banyak menyangkut etika dan
moral.
Ada contoh lain lagi dalam kasus ini, yakni, adanya pejabat
yang
menyalahgunakan wewenang dan terindikasi kuat melanggar hukum
tetapi
mengaku tak bersalah. Mereka mau bertahan pada jabatannya dengan
alasan, tak
ada putusan pengadilan bahwa dirinya bersalah. Padahal kita tahu
untuk pejabat
tinggi level tertentu aparat penegak hukum selalu tak berani
menyentuh sehingga
selama dia menjabat kecil kemungkinannya disentuh oleh
hukum.
Harus diingat, menurut Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa seorang pejabat publik harus berhenti dari
jabatannya jika
membuat kebijakan atau melakukan sesuatu yang menimbulkan
keresahan atau
sorotan publik. Menurut Tap MPR tentang Etika Kehidupan
Berbangsa itu
pejabat publik harus mengundurkan diri tanpa harus lebih dulu
terbukti bersalah
secara hukum jika membuat policy atau melakukan sesuatu yang
menimbulkan
sorotan atau ketidakpercayaan publik. Tegasnya, menurut Lampiran
Tap MPR
No. VI/MPR/2001 (Bab II butir 2) setiap pejabat harus jujur, dan
siap
mundur dari jabatannya apabila secara moral kebijakannya
bertentangan
-
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat; yang harus diwujudkan
dalam
bentuk tidak melakukan kebohongan publik. Ingat, di sini ada
soal moral,
rasa keadilan, dan kebohongan publik. Selain itu pada tahun yang
sama MPR
mengeluarkan Tap No. VIII/MPR/2001 tentang Arah Kebijakan
dan
Rekomendasi Pembarantasan KKN yang juga berisi ketentuan bahwa
pejabat
publik dapat dikenakan tindakan administratif jika terlibat
kasus hukum tanpa
harus menunggu vonis pengadilan lebih dulu. Oleh sebab itu agak
kurang tepat
ketika Presiden menyatakan bahwa para menterinya sudah
menandatangani
surat pernyataan bersedia mengundurkan diri apabila terbukti
melakukan
pelanggaran hukum. Kurang tepat, karena kalau sudah terbukti
melakukan
pelanggaran hukum mestinya tak perlu bersedia mengundurkan diri
melainkan
harus langsung diberhentikan meskipun tak bersedia mengundurkan
diri.
Tuntutan untuk bersedia mengundurkan diri itu bukannya setelah
terbukti
bersalah secara hukum atas putusan poengadilan, melainkan cukup
membuat
kebijakan atau melakukan kecerobohan atau kesalahan yang
mendapat sorotan
negatif dari publik karena sangat tidak wajar tanpa harus
dibuktikan lebih dulu
melalui putusan pengadilan. Ini adalah soal etika yang
dihukumkan melalui Tap
MPR No. VI/MPR/2001.
Perlu ditegaskan bahwa Tap MPR No. VI/MPR/2001 dan Tap No.
VIII/MPR/2008 itu menurut Tap MPR No. I/MPR/200318 masih berlaku
sampai
ada UU yang menggantikannya.19
Paradigma UUD 1945
Dari sudut konstitusi penekanan pada pentingnya pemenuhan
rasa
keadilan di negara hukum Indonesia sebenarnya sudah lama menjadi
landasan
resmi politik hukum kita. Adanya dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
dan kaidah
18 Sebenarnhya sejak amadnemen UUD 1945 tata hukum kita tidak
lagi mengenal Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan, tetapi
ada satu Tap terakhir yakni Tap No. I/MPR/2003 yang memosisikan
kembali untuk terakhir kali semua Tap MPRS/MPR yang sudah terlanjur
ada sehingga ada yang dinyatakan dicabut, ada yang dinyatakan
berlaku dengan ketentuan, ada yang dinyatakan berlaku sampai waktu
atau keadaan tertentu, ada yang dinyatakan berlaku sampai ada UU
yang menggantikannya, dan ada yang dinyatakan tidak memerlukan
tindakan hukum karena sudah selesai dengan sendirinya. 19 Lihat
dalam Moh. Mahfud MD, Paradoks Pelesetan Hukum, dalam Harian KOMPAS
tanggal 28 Agustus 2007; juga dalam Moh. Mahfud MD, Surat Terbuka
Kepada Presiden SBY, Masyarakat Risau Soal Syamsul Bahri, dalam
Harian Jawa Pos tanggal 15 Oktober 2007.
-
penuntun toleransi beragama yang berkeadaban dan berkeadilan
sebenarnya
harus dipahami sebagai landasan etika dan moral dalam
pembangunan hukum
kita. Pilihan landasan ini kemudian diperkuat ketika kita
melakukan amandemen
atas UUD 1945 (1999-2002) yang memindah ketentuan tentang negara
hukum
ke dalam pasal 1 ayat (3) dengan meniadakan istilah rechtsstaat.
Melalui
amandemen tersebut istilah rechtsstaat yang semula dimuat di
dalam Penjelasan
Umum UUD 1945 dihapuskan sehingga istilah negara hukum tidak
lagi
disambung dengan istilah rechtsstaat yang diletakkan di dalam
kurung. Melalui
amandemen tahap ke tiga (tahun 2001) istilah negara hukum itu
dipindahkan20
ke dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah
negara
hukum. Tampak jelas bahwa di dalam kalimat tersebut kata
rechtsstaat tidak
lagi dipergunakan karena sebenarnya negara kita tidak hanya
menganut
rechtsstaat tetapi juga menganut the Rule of Law dan sistem
hukum lainnya
dengan inti filosofinya masing-masing yang kemudian digabungkan
sebagai
paradigma negara hukum Pancasila. Paradigma yang penulis sebut
sebagai
prismatik (mengambil dari Fred W. Riggs) ini merajut nilai-nilai
baik semua
sistem hukum secara eklektis sehingga menjadi hukum nasional
Indonesia.
Secara lebih jelas dapat dikemukakan bahwa penghilangan
istilah
rechtsstaat dari UUD tersebut bukanlah masalah semantik semata
melainkan
juga menyangkut masalah yang substantif dan paradigmatik. Sebab,
seperti
diketahui, ada dua istilah yang berbeda yaitu rechtsstaat dan
the Rule of Law
(RoL). Kedua istilah tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia dalam
satu istilah yang sama, yaitu, negara hukum padahal kedua
istilah (rechtsstaat
dan RoL) meempunyai konsepsi dan pelembagaan secara berbeda.
Istilah rechtsstaat adalah istilah untuk negara hukum yang
dipakai
negara-negara kawasan Eropa Kontinental yang lebih menekankan
pada
pentingnya hukum tertulis (civil law) dan kepastian hukum.
Kebenaran dan
keadilan hukum di dalam rechtsstaat lebih berpijak atau
menggunakan ukuran
formal; artinya yang benar dan adil itu adalah apa yang ditulis
di dalam hukum
20 Pemindahan isi ini dilakukan juga sebagai konsekuensi dari
salah satu kesepakatan dasar dalam perubahan UUD 1945 yakni
meniadakan Penjelasan dan memindahkan isinya yang bersifat normatif
ke dalam pasal-pasal UUD.
-
tertulis. Titik berat penegakan hukum di dalam rechtsstaat
adalah kepastian
hukum sehingga hakim yang baik adalah hakim yang dalam membuat
putusan
dapat menemukan hukum-hukum tertulis yang pasti. Di dalam
rechtsstaat
hakim merupakan corong UU. Sedangkan the Rule of Law (RoL)
adalah istilah
untuk negara hukum di negara-negara kawasan Anglo Saxon yang
lebih
menekankan pada pentingnya hukum tak tertulis (common law)
demi
tegaknya keadilan substansial. Kebenaran dan keadilan hukum di
dalam RoL
lebih berpijak atau menekankan tegaknya substansi keadilan
daripada kebenaran
formal-prosedural semata; artinya yang benar dan adil itu belum
tentu tercermin
di dalam hukum tertulis melainkan bisa yang tumbuh di dalam
sanubari dan
hidup di dalam masyarakat; dan karenanya hukum tertulis (UU)
dapat
disimpangi oleh hakim jika UU itu dirasa tidak adil. Karena
titik berat RoL
adalah keadilan maka dalam membuat putusan hakim tidak harus
tunduk pada
bunyi hukum tertulis melainkan dapat membuat putusan sendiri
dengan
menggali rasa dan nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat.
Sejak perubahan tahap ketiga UUD 1945 konstitusi kita sudah
mengarahkan agar penegakan hukum di Indonesia secara prinsip
menganut
secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi rechtsstaat dan The
Rule of Law
sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan menegakkan
keadilan
substansial. Bahkan kalau kita telah lebih jauh UUD 1945 hasil
amandemen
bukan hanya menekankan pentingnya asas kepastian hukum dan
keadilan tetapi
juga menekankan pada pentingnya asas manfaat yakni asas yang
menghendaki
agar setiap penegakan hukum itu harus bermanfaat dan tidak
menimbulkan
kerusakan atau mudharat bagi masyarakat, bangsa, dan
negara.21
Penganutan lebih dari satu asas yang berasal dari konsepsi,
tradisi, dan
kawasan yang berbeda ini secara literatur penulis sebut sebagai
konsepsi
21 Baik asas keadilan maupun asas manfaat seringkali
diperdebatkan karena bisa selalu menjadi kontroversi karena
ukurannya tidak pasti, tetapi jika putusan itu jelas dasar argumen
keadilan dan kemanfaataannya yang didukung oleh suasana kebatinan
yang berkembang di dalam masyarakat maka hal itu dapat dilakukan
atau diformulasikan oleh para hakim; buktinya di negara-negara
Anglo Saxon hampir tak ada putusan hakim yang tidak dianggap
sebagai hukum yang final karena argumen untuk memunculkan keadilan
itu di sana dapat diurai dengan baik oleh para hakim.
-
prismatik. Istilah ini diambil dari Fred W. Riggs22 di dalam
bukunya,
Administration in Developing Countries, yang menunjukkan adanya
pemaduan
antara konsep-konsep yang sebenarnya tidak sama. Di dalam
prismatika sistem
hukum Pancasila saya melihat bahwa negara hukum kita memadukan
secara
harmonis unsur-unsur baik dari rechtsstaat (kepastian hukum) dan
the Rule of
Law (keadilan substansial). Di dalam konsepsi ini prinsip
rechtsstaat dan the
Rule of Law tidak diposisikan sebagai dua konsepsi yang bersifat
alternatif atau
kompilatif yang dalam penerapannya bisa dipilih berdasar selera
sepihak,
melainkan sebagai konsepsi yang kumulatif sebagai satu kesatuan
yang saling
menguatkan. Menurut penulis, pengambilan konsepsi prismatika ini
tepat karena
sesuai dengan nilai-nilai hukum yang memang akan kita tegakkan.
Tidaklah
mungkin kita hanya mengambil salah satunya secara
mutlak-kategoris, seperti
halnya tidak mungkinnya kita mengambil salah satu antara
individualisme dan
komunalisme atau antara negara agama dan negara sekuler.
Konsepsi
prismatik memungkinkan kita mengambil unsur-unsur yang baik dari
konsep-
konsep yang berbeda itu sebab sistem kemasyarakatan kita pun,
sejak dulu,
sebenarnya bersifat prismatik.
Penegasan konstitusi kita tentang pentingnya pengambilan asas
kepastian
hukum, keadilan, dan manfaat dalam penegakan hukum kita ini
bukan hanya
dapat dinukil dari ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
menetralkan negara
hukum kita dari istilah rechtsstaat atau istilah asing lainnya
melainkan juga
tertuang, sekurang-kurangnya, di dalam pasal 24 ayat (1), pasal
28D ayat (1), dan
pasal 28H ayat (2) yang selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24 ayat (1): Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan
keadilan.
Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di
hadapan hukum.
22 Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries, the
Theory of Prismatic Society, Houghton Mifflin Company, Boston,
1964.
-
Pasal 28 H ayat (2): Setiap orang berhak mendapat kemudahan
dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama
guna persamaan dan keadilan.23
Dari uraian itu penulis berpendapat bahwa kepastian hukum
haruslah
dibangun untuk memastikan bahwa keadilan itu dapat tegak sesuai
dengan
penegasan pasal 28D ayat (1) yang menegaskan perlunya kepastian
hukum yang
adil dan bukan kepastian sekedar kepastian. Oleh karena keadilan
itu selalu
dapat tercermin dan dipenuhi oleh hukum-hukum tertulis, maka di
sinilah letak
pentingnya etika sebagai sumber isi dan dasar penegakan hukum di
dalam
negara hukum Pancasila yang bersifat prismatik ini.
Sudah jelas bahwa salah satu persoalan pokok yang kita hadapi
dalam
penegakan hukum adalah tidak sinkronnya pelaksanaan etika dan
norma dengan
implementasi hukum di lapangan. Sekarang ini banyak sekali
terduga, terdakwa,
dan tertuduh pelanggar hukum tampil dan berargumen ke depan
publik bahwa
dirinya tidak bersalah karena belum ada putusan pengadilan yang
mengadili atau
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kalau
melanggar etika
dan moral mereka merasa tidak bersalah karena demi kepastian
hukum
pengadilan belum pernah memutus bahwa mereka bersalah; padahal
pengadilan
pun sangat kolutif dan dililit oleh judicial corruption. Kalau
diadili mereka dan
para pengacaranya berkelit-kelit di seputar pasal-pasal formal
tanpa peduli pada
rasa keadilan yang diteriakkan oleh nurani yang sehat. Kelitan
ini ditengarai
dapat pula dimainmatakan dengan hakim maupun jaksa sesuai dengan
transaksi
yang dapat dilakukan di dalam proses judicial corruption
itu.
Dengan demikian salah satu agenda penting dalam pembangunan
hukum
kita adalah, bagaimana meletakkan etika dan moral sebagai sumber
norma
23 Tanda petik dalam pasal-pasal yang dikutip berasal dari saya
(pengutip) untuk menunjukkan letak asas hukum kita.
-
hukum serta dasar implementasi atau penegakan hukum itu. Dalam
situasi
seperti ini diperlukan munculnya hakim, jaksa, dan pengacara
yang tidak
terbelenggu oleh hukum yang formal prosedural serta dapat
bersikap progresif
untuk menegakkan keadilan dan menjadikan etika dan moral sebagai
fondasi
penegakan hukum.
Etika dalam pendidikan hukum
Untuk jangka panjang, pendidikan hukum di negara kita haruslah
ditata
sedemikian rupa agar hukum tidak hanya dipandang sebagai
pasal-pasal yang
kaku dan harus dilaksanakan melainkan harus dikuatkan juga
dengan
pendidikan atau nilai-nilai moral dan etika sebagai sumber
kristalisasi dan
legalisasi hukum. Masalah ini tak dapat dilepaskan juga dari
orientasi pendidikan
hukum yang kita selenggarakan.
Terkait dengan ini perlu diingat bahwa salah satu landasan
filosofi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang kita
anut adalah
filosofi bahwa Iptek itu dalam pengembangannya tidak boleh
dinetralkan. Iptek
hanya dapat dikembangkan jika tidak merusak dan membahayakan
masyarakat.
Berdasarkan itu ada dua batas pengembangan Iptek; Pertama,
Iptek
dikembangkan dengan wawasan rasional tetapi tidak berdasar
rasionalisme,
sebab bagi bangsa yang bertuhan (menganut agama) sumber
kebenaran bukan
hanya yang rasional atau bisa diuji secara ilmiah dengan
berbagai metode dan
eksperimen melainkan juga mencakup hal-hal yang secara ilmiah
dan
rasionalitas manusia tidak dapat dijangkau (ghaib). Kedua, Iptek
hanya boleh
dikembangkan sejauh tidak membahayakan umat manusia dan alam
sehingga
Iptek, meski dasar teorinya dapat netral, tetapi penerapan
dan
pengembangannya tetaplah harus memihak bagi kemaslahatan ummat.
Itulah
dasar etik dan moral yang harus dikuatkan dalam proses
pendidikan dan
penguatan profesi hukum kita.
Ketentuan yang demikian kemudian menuntut munculnya
integritas
kecendekiawanan sehingga tugas universitas bukan hanya mencetak
ijasah
melainkan mendidik dan memanusiakan sivitas akademikanya agar
berakhlak
atau beretika di dalam kehidupannya. Sikap kecendekiawanan
adalah sikap
-
penuh tanggung jawab atas kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab
itu sarjana
dan cendekiawan itu berbeda, sebab sarjana lebih menekankan pada
kecerdasan
otak, sedangkan cendekiawan menekankan pada keseimbangan
antara
kecerdasan otak dan keluhuran watak.
Masalahnya sekarang ini banyak sekali lembaga pendidikan yang
tidak
lagi mengindahkan filosofi yang harus menjadi landasan etik dan
moral. Banyak
lembaga pendidikan, mulai dari tingkat SD sampai peruruan
tinggi, yang hanya
mengeluarkan ijazah untuk keperluan formalitas orang mencari
kerja dan
mengejar jabatan. Kedalaman ilmu dan landasan etik dan moral
tidak terlalu
diperhatikan sehingga banyak lulusan universitas yang bukan saja
tidak mampu
memajukan masyarakat tetapi sebaliknya merusak sendi-sendi
kehidupan
masyarakat.
Kita dapat mencatat adanya kesalahan pendidikan kita karena
dalam
praktiknya menekankan pada ijazah formal, bukan pada
substansinya untuk
memanusiakan manusia. Dengan praktik pendidikan yang menekankan
pada
ijazah sekolah formal yang dianut seperti sekarang, maka jabatan
seseorang di
tengah-tengah masyarakat ditentukan oleh ijazah sekolah yang
dimilikinya,
bukan ditentukan oleh kompetensi dan kualitas riilnya. Semakin
tinggi ijazah
formal yang dimiliki seseorang akan semakin tinggi kedudukannya
di dalam
masyarakat. Jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan
kedudukan bergengsi
di tengah-tengah masyarakat biasanya bisa dimasuki oleh
seseorang dengan
ukuran ijazah tertentu. Betapa pun seseorang bodoh, jika
memiliki ijazah sekolah
formal maka ia bisa meraih jabatan-jabatan penting. Sebaliknya
betapa pun
pandainya seseorang, biasanya sulit untuk menduduki jabatan
pemerintahan
kalau tak punya ijazah formal sekolah. Akibat konsepsi
pendidikan yang seperti
itu di negara kita banyak sekali orang memburu ijazah formal
hanya karena ingin
gengsi-gengsian dan mendapat jabatan resmi. Orang belajar ke
sekolah bukan
untuk mencari ilmu tetapi untuk mencari ijazah demi syarat
formal untuk
mendapat kedudukan. Mutu pendidikannya sendiri kemudian menjadi
tidak
terlalu penting.
Janganlah heran kalau ribuan orang beken dan penting di negara
kita
memburu ijazsah dengan cara haram. Pada penghujung tahun 2005
kita
-
diributkan oleh ditemukannya banyak pejabat, pengusaha, pegawai
negeri yang
ternyata menggunakan ijazah aspal. Bahkan ada orang yang
tiba-tiba menjadi
profesor, padahal profesor adalah jabatan akademik yang hanya
bisa diraih jika
seseorang mengajar di perguruan tinggi dalam minimal waktu dan
kompetensi
tertentu dengan mengumpulkan angka kredit prestasi minimal
tertentu pula
yakni angka kredit 850 untuk profesor madya dan 1000 kredit
untuk profesor.24
Bahaya praktik pendidikan yang seperti itu pernah juga
dikemukakan oleh
Ivan Illich melalui bukunya Deschooling Society yang
mengusulkan
pembentukan masyarakat bebas sekolah. Kata Illich, yang
diperlukan adalah
pendidikan yang membebaskan manusia, bukan sekolah yang
hanya
mengeluarkan ijazah. Sistem pendidikan formal dengan berbagai
jenis dan
jenjang sekolah, menurut Illich, hanya memproduksi ijazah yang
kemudian
menciptakan kasta-kasta dan ketidakadilan di dalam masyarakat
karena dengan
ijazah sekolah itulah kedudukan seseorang ditentukan. Ini
menyebabkan banyak
orang yang hanya ingin mendapat ijazah tetapi tidak ingin
mendapat, apalagi
mengembangkan, ilmunya. Dan untuk ini ijazah bisa dicari dengan
berbagai cara
termasuk dengan membeli, menyuap, dan memalsukannya yang
kemudian
dijadikan syarat untuk menduduki jabatan penting. Tentu kita
tidak harus
mengikuti Illich untuk membangun masyarakat yang bebas sekolah.
Sekolah
dengan berbagai jenjang dan jenisnya tetap harus ada. Ijazah
formal sekolah
tetap diperlukan untuk menunjukkan tingkat-tingkat kemampuan
dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya saja lembaga
pendidikan
harus dikontrol dan diarahkan sedemikian rupa agar tumbuh secara
bermutu
sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
tidak
sekedar menjadi tempat jual beli ijazah.
Ivan Illich benar sebab kesalahan praktik atau implementasi
pendidikan
yang seperti itu kemudian telah merusak etika dan menyuburkan
ketidakjujuran
ilmiah. Sekarang ini banyak bermunculan karya tulis ilmiah yang
tidak ilmiah
karena hanya dibuat secara formalitas untuk mendapat ijazah atau
untuk naik
pangkat. Yang lebih parah dari itu banyak karya ilmiah yang
merupakan hasil
24 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Pendidikan yang Tak Membebaskan,
dalam Harian Seputar Indonesia, tanggal 20 September 2007
-
jiplakan dari karya orang yang kemudian diklaim sebagai hasil
karya sendiri.
Ada yang asal tulis tapi bisa terbit karena mampu membayar
penerbit instant
yang mau menerbitkannya asal penulisnya mau membayar mahal.
Banyak juga politisi yang menulis buku atau artikel di media
massa, tetapi
dituliskan oleh orang lain alias ghost writer. Ada juga politisi
yang suka
mengomentari sesuatu di koran kemudian komentar-komentar itu
disuruhtuliskan kepada seorang wartawan agar diberi landasan
teori dan
analisis, padahal wartawan itu tak kompeten di bidang itu.
Seorang dirjen di satu departemen pernah dengan bangga
menyerahkan
buku kepada saya yang berisi masalah-masalah hukum. Ternyata
buku itu
merupakan himpunan pidatonya yang semula dituliskan oleh stafnya
untuk
kemudian disuruh menulis kepada seorang wartawan menjadi buku.
Karena
wartawan itu hanya bagus dalam menulis berita atau artikel pop
tapi jarang
menulis ilmiah, maka buku itu menjadi aneh dan sama sekali tidak
ilmiah.
Jangankan membuat sitasi rujukan, menulis daftar pustaka saja
tidak benar.
Tradisi keilmuan kita menjadi lebih buruk karena banyaknya
tulisan
sekarang ini jiplakan bukan hanya menjadi trend politisi atau
pejabat birokrasi
yang ingin gengsinya naik, tetapi juga banyak melanda kalangan
akademisi,
mahasiswa pascasarjana, bahkan dosen yang ingin menaikkan
jabatan
akademiknya. Mereka ini kerapkali menggunakan penulis hantu
(ghost writer),
misalnya wartawan pop atau mahasiswa, untuk menulis karya atas
namanya
guna dipublikasikan ke tengah-tengah masyarakat dalam bentuk
buku maupun
dalam bentruk artikel untuk dimuat di media massa. Si ghost
writer mendapat
uang, sedangkan si dosen atau figur publik yang sejatinya agak
bodoh mendapat
nama sebagai penulis.
Orang seperti ini sama sekali tidak punya integritas keilmuan
(kejujuran
ilmiah) dan tak mungkin dapat memberi sumbangan apa pun bagi
kemajuan
pendidikan. Malah dosen yang seperti ini membuat mutu perguruan
tinggi kita
jadi berantakan. Orientasinya hanya ingin naik jabatan akademik
tetapi tak mau
berpikir dan bekerja secara ilmiah sehingga dia suka menyewa
ghost writer atau
menjiplak.
-
Penulis pernah diminta menjadi penelaah sebuah disertasi yang
isinya
bagus, tetapi setelah diuji ternyata yang bersangkutan sama
sekali tak menguasai
isinya. Ternyata sebagian besar isinya menjiplak karya orang
lain. Penulis
memrotes keras dan menyatakan bahwa demi integritas ilmiah
dan
menyelamatkan dunia akademik yang bersangkutan harus di-drop out
atau
harus memulai dari awal lagi.
Berdasar hasil perbincangan penulis dengan banyak akademisi,
sekarang
ini memang banyak dosen yang menggunakan ghost writer baik untuk
menulis
disertasi maupun untuk menulis makalah, bahkan menulis
kolom-kolom di
koran. Untuk naik pangkat tak jarang ada dosen yang mencuri
karya temannya
bahkan ada yang mencuri data dan analisis karya mahasiswa yang
dibimbingnya
yang kemudian diklaim sebagai karyanya sendiri.25
Orang yang tak punya integritas keilmuan dengan mengaku-aku
dan
mencuri karya orang lain pasti tidak akan jujur kepada
masyarakat. Kalau ada
peluang korupsi, orang yang seperti ini akan korupsi juga
terhadap hak-hak
masyarakat. Malahan kalau tak ada peluang dia akan mencari-cari
dan membuat
peluang untuk korupsi. Menurut penulis, itulah salah satu
penjelasan mengapa
bangsa kita sekarang ini terjerembab ke dalam krisis
multidimensi, yakni, karena
banyak pengelola lembaga pendidikan dan lulusan perguruan tinggi
yang tidak
lagi memiliki integritas kecendekiawanan.
Dalam kaitan ini saya teringat ketika saya akan mengakhiri
pendidikan
doktor di UGM pada tahun 1993. Saat itu saya dinasehati oleh
Prof. Koesnadi
Hardjasoemantri dan Prof. Sri Soemantri agar saya dan para
sarjana hukum
menjaga integritas kecendekiawanan, yakni sikap untuk membangun
dan
memihak kepentingan masyarakat seperti meneriakkan dan berusaha
agar
politik selalu tunduk pada hukum. Kata kedua profesor itu, ilmu
bukanlah untuk
ilmu semata, tetapi untuk kebaikan bagi masyarakat. Ilmu jangan
hanya
mengandalkan logika tetapi juga harus berlandaskan moral dan
etika untuk
menyelamatkan masyarakat dari tindakan sewenang-wenang. Ilmuwan
harus
mempunyai integritas kecendekiawanan, yakni cerdas otaknya dan
luhur
25 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Ancaman Lunturnya Kejujuran
Ilmiah, dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat, tanggal 16 Oktober
2007
-
wataknya. Meminjam ungkapan Gus Dur, kita tak boleh menjadi
ilmuwan tukang
yang dapat membuat pandangan-pandangan yang seolah-olah ilmiah
berdasar
pesanan atau kepentingan politik.
Pesan ini sangat penting karena sekarang ini hukum banyak
diporakporandakan oleh demagogi politik seperti yang dicemaskan
oleh kedua
Soemantri itu. Itu disebabkan oleh lunturnya integritas
kecendekiawanan.
Ilmuwan kita banyak yang suka memanipulasi logika di atas etika
dan moral
karena kepentingan kue politik. Gubernur Lemhanas Muladi
pernah
mengemukakan bahwa sekarang ini banyak ilmuwan hukum yang
menjadi saksi
ahli di pengadilan dengan mendapat bayaran tinggi agar bersaksi
untuk
menyelamatkan koruptor; misalnya membelokkan kasus pidana
menjadi kasus
perdata atau administrasi.
Di kalangan akademisi sekarang ini banyak yang suka melacurkan
diri
dengan menjadi ilmuwan tukang yang siap memberi fatwa ilmiah
sesuai dengan
keinginan pemesan asal dibayar dengan harga (uang, proyek, atau
posisi)
tertentu.26
Itulah salah satu masalah serius yang kita hadapi, yakni,
membusuknya
integritas kecendekiawanan dan hilangnya kejujuran secara masif
yang kalau
dibiarkan dapat mengancam eksistensi bangsa dan negara
Indonesia.
Ranah pembangunan hukum kita
Jika kita menggunakan teori yang ditawarkan oleh Lawrence M.
Friedman maka kita akan dapat menemukan kerangka penjelasan
atas
berbagai persoalan tersebut. Seperti diketahui ranah pembangunan
hukum
menurut Lawrence M. Friedman sekurang-kurangnya harus
menyangkut
tiga hal yakni substance (isi atau materi hukum), structure
(aparat penegak
hukum), dan culture (budaya hukum).
26 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Integritas Kecendekiawanan, dalam
Koran Seputar Indonesia, tanggal 3 Oktober 2007; juga dalam Moh.
Mahfud MD, Aroma Busuk Dunia Akademik, dalam majalah GATRA, edisi
24 Januari 2007.
-
Perubahan yang terjadi pada era reformasi sebagian besar
menyangkut pada isi hukum, sedangkan pembangunan struktur
hukum
baru menyangkut struktur organisasi penegakan hukum tanpa
menyentuh
para penegak hukumnya. Begitu juga budaya hukum belum banyak
disentuh dalam proses reformasi.
Seperti kita ketahui begitu rezim Orde Baru runtuh maka
diubahlah
semua perundang-undangan yang dianggap tidak kondusif bagi
demokratisasi dan penegakan hukum, mulai dari undang-undang
bidang
politik, bidang HAM, bidang peradilan, korupsi, pencucian uang
dan
sebagainya.
Kita juga sudah mengubah bahkan menambah struktur lembaga
penegak hukum dengan tujuan agar penegakan hukum, terutama
untuk
memberantas KKN, bisa berjalan efektif. Pembinaan hakim
sudah
disatuatapkan di bawah Mahkamah Agung. Kita juga sudah
membentuk
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial melalui amandemen
konstitusi;
bahkan kita juga sudah membentuk Komisi Pemberantasan
Korupsi,
Peradilan HAM, Peradilan Tipikor, dan berbagai peradilan khusus
lainnya.
Namun dalam kaitan structure ini kita belum memperbaiki
birokrasi dalam
arti pejabat penegak hukum sehingga upaya pemberantasan KKN
mengalami komplikasi bahkan blokade dari dalam diri aparat
sendiri.
Pembangunan budaya hukum belum efektif karena tampaknya
belum dilakukan secara sungguh-sungguh. Pembangunan budaya hukum
di
sini harus diartikan sebagai upaya mengubah pemahaman,
penghayatan,
dan perilaku masyarakat dalam bidang hukum agar menjadi kondusif
bagi
penegakan hukum. Pembangunan budaya hukum harus dilakukan
bukan
karena budaya hukum kita merupakan budaya korup, melainkan
karena
kita perlu menghidupkan kembali budaya hukum yang baik yang
telah lama
kita miliki.
Belajar dari fakta sejarah, ketegasan dalam penegakan hukum
merupakan kunci penting untuk mengatasi berbagai problem yang
kita
-
hadapi terutama untuk membangun budaya disiplin dan ketaatan
hukum.
Selama ini kita sudah sangat banyak memproduk berbagai
undang-undang
untuk mengatur langkah mencapai tujuan reformasi, tetapi belum
banyak
pemimpin-pemimpin yang tegas dan berani menegakkan hukum.
Langkah-langkah
Mengingat berbagai persoalan yang dikemukakan pada awal
makalah
ini maka selain mencari penegak hukum yang tegas dan berani
ada
beberapa langkah lain yang juga perlu dilakukan secara serius
dan simultan.
Pertama, melakukan reformasi birokrasi agar segera bersih
dari
sistem, prosedur, dan pejabat-pejabat yang korup. Selama ini
kita selalu
menyatakan yakin bahwa salah satu kunci penting keberhasilan
reformasi
adalah reformasi birokrasi, tetapi langkah nyata dan tegas ke
arah itu belum
juga dilakukan.
Kedua, memutus hubungan secepatnya dengan
persoalan-persoalan
KKN yang diwariskan oleh Orde Baru agar kita keluar dari blokade
yang
mengepung dari berbagai lini. Pemutusan hubungan ini bisa dengan
radikal
(amputasi tanpa pandang bulu) dan bisa juga dengan kompromi
(ampuni
dan rekonsiliasi dengan permakluman) yang kemudian
ditindaklanjuti
dengan tindakan-tindakan tegas.
Ketiga, membangun sistem rekrutmen politik yang demokratis
dan
terbuka melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka.
Pemilu dengan
sistem proporsional terbuka dapat menyeimbangkan peran parpol
untuk
menyeleksi kader-kadernya dan peran rakyat pemilih untuk
menentukan
sendiri wakil-wakilnya yang akan duduk di legislatif sesuai
dengan yang
ditawarkan oleh parpol. Pemilu dengan sistem proporsional
terbuka juga
lebih sesuai dengan realitas bangsa Indonesia yang majemuk.
Untuk
lembaga eksekutif sistem pemilihan presiden secara langsung
harus disertai
dengan instrumen atau subsistem rekrutmen pejabat yang
mendorong
Presiden membentuk zaken kabinet (kabinet ahli, bersih, dan
profesional)
dengan membebaskan presiden dari belenggu untuk melakukan itu
karena
-
transaksi politik kompensasi dan dukungan. Adalah fakta sekarang
ini
presiden tidak sekuat yang dibayangkan ketika kita menetapkan
pemilihan
presiden langsung agar presiden lebih kuat. Sekarang ini
presiden tampak
tersandera oleh, dan karenanya selalu memberi kompensasi
politik, kepada
parpol-parpol agar kebijakannya tidak diganggu. Seleksi pejabat
kemudian
tidak lagi berdasar keahlian dan profesionalitas melainkan
berdasar hasil
kompromi dan pertimbangan kompensasi politik.27
Tak kalah penting dari semua itu, ada masalah yang lebih
mendasar
yang harus kita perhatikan secara sungguh-sungguh, yakni
memosisikan
kembali etika dan moral sebagai sumber materiil hukum yang
sekaligus
menjadi dasar tindakan dalam semua proses penegakan hukum dan
hukum
sukmanya, yakni keadilan.
27 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Presidensiil Bergaya Parlementer,
dalam majalah GATRA edisi 16 Maret 2007.
-
Daftar Pustaka
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu
Negara, CV
Mandar Maju, Bandung, 1995.
Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy:
Theory and
Practice in Europe and America, Weldham, Mass: Blaisdell
Publishing
Conmpany, 5th edition, 19673.
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta,
1978.
David kairys, The Politics of Law, A Progressive Critique,
Pantheon Books, New
York, 1982.
Edward S. Corwin dan JW Peltason, Understanding Constitution,
Holt, Rinehart
and Winston, Inc., New York, Chicago, San Fransisco,
Toronto,
London, 1967.
Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas, Tinjauan
Etis dan
Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987.
Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The
Thoery of
Prismatic Society, Houghton Mifflin Company, Boston, 1964.
Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, Cornell
University Press,
Ithaca-London, 1978.
Harsya W. Bachtiar, Percakapan dengan Sidney Hook tentang Empat
Masalah
Filsafat: Etika, Ideologi Nasional, Marxisme,
Eksistensialisme,
Djambatan, Jakarta, 1980.
James A. Curry, Ricard B. Railey, dan Richard M. Battistoni,
Constitutional
Government, The American Experince (1989),
Jason L. Finkle dan Richard W. Gable, Political Development and
and Social
Change, John Wiley & Sons, Inc. Second Edition 1970.
John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press,
London, 1973.
-
KC Wheare, the Modern Constitutions, Oxford University Press,
3rd Impression,
London-New York, Toronto, 1975.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan
Pemasyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Setjen MPR-RI, Cet. III, Juni 2007.
Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang
Pengaruh
Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum,
disertasi
Bidang Ilmu Hukum di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 1993.
Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi dalam Rangka Reformasi
Tata
Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
LP3ES,
Jakarta, 2006.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007.
Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, PT Citra Aditya
Bhkati,
Bandung, 2007.
RAB Kusumah, Lahirnya UUD 1945, Penerbit Fakultas Hukum UI,
Jakarta,
2004.
Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan
Kontrol,
Rajawali, Jakarta, 1985.
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan
Antardisiplin dalam
Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985.
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia,
Penerbit Buku
Kompas, Jakarta, 2003.
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Penjelasan Satu Gagasan,
dalam majalah
Newsletter, Kajian Hukum Ekonomi dan Bisnis, No. 59,
Desember
2004.
Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-Undang Dasar, Suatu
Pembahasan
dari Optik Ilmu Hukum Umum, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2007.
-
Thomas Paine, Rights of Man (1792), Constitution Society
http://www.constitution org/tp/rightsma2.htm 9 Maret 2003.