-
HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN
KECENDERUNGAN INSOMNIA PADA PASIEN RAWAT
INAP DI RSUD DR. SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Program Studi
Strata I
pada Jurusan Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Oleh:
HASAN AL ASY’ARI
J 210 150 049
PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
-
i
-
ii
PENGESAHANSKRIPSI
Berjudul:
HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN KECENDERUNGAN INSOMNIA
PADA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN
Oleh:
HASAN AL ASY’AR
Dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada tanggal : 7 Agustus 2019
Pembimbing:
Dian Hudiyawati, S.Kep., Ns., M.Kep
NIK. 1775
Penguji:
1. Dian Hudiyawati, S.Kep., Ns., M.Kep
(…………………………)
2. Ns. Beti Kristinawati, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.M.B
(…………………………)
3. Abi Muhlisin, SKM., M.Kep
(…………………………)
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dr. Mutalazimah, SKM., M.Kes
NIK. 786
-
1
HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN KECENDERUNGAN
INSOMNIA PADA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD DR. SOEHADI
PRIJONEGORO SRAGEN
Abstrak
Kecemasan atau ansietas timbul sebagai respon tehadap stres,
baik stres fisiologis
maupun stres psikologis.Rasa cemas dianggap sebagai ketegangan
mental yang
disertai dengan gangguan tubuh yang menyebabkan rasa tidak
waspada terhadap
ancaman, kecemasan berhubungan dengan stress fisiologis maupun
psikologis.
Gangguan tidur atau insomnia merupakan salah satu tanda gangguan
kecemasan
menyeluruh.Insomnia yang dialami oleh orang yang cemas adalah
sulit masuk
tidur, mimpi yang menakutkan, sering terkejut saat bangun, dan
tidur tidak
nyenyak. Penelitian inibertujuan untukmenganalisis hubungan
tingkat kecemasan
dengan kecenderungan insomia pada pasien rawat inap RSUD dr.
Soehadi
Prijonegoro Sragen.Penelitianinimerupakan penelitiankuantitatif
denganrancangan
deskriptif korelasional.Populasi pada penelitian ini adalah
seluruh pasien remaja
dan dewasa yang rawat inap di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
Sragenbulan
Februari 2019.Sampel penelitiansebanyak112pasienmenggunakan
tekniktotal
sampling.Analisis data menggunakan uji korelasi Product
Moment.Hasil
Penelitian ini menunjukan bahwa pasien sebanyak 82 orang
(73,22%) termasuk
dalam tingkat kecemasan sedang dan sebanyak 80 orang (71,43%)
termasuk
dalam kategori insomnia berat. Hasil uji korelasi Product
Momentmenunjukkan p-
value0,00 < 0,05 yang memiliki makna bahwa terdapat hubungan
yang signifikan
antara tingkat kecemasandengan kecenderungan insomnia pada
pasien rawat inap.
Saran bagi rumah sakit untuk bisa menciptakan lingkungan yang
nyaman terutama
memberi batasan sekat atau korden di ruang pasien dan memberi
batasan waktu
kunjung pasien agar pasien tidurnya tidak terganggu.
Kata Kunci : Kecemasan, Kecenderungan Insomnia, Pasien Rawat
Inap.
Abstrack
Anxiety or anxiety arises as a response to stress, both
physiological stress and
psychological stress. Anxiety is considered as mental tension
accompanied by
bodily disorders that cause a feeling of being wary of threats,
anxiety associated
with physiological and psychological stress. Sleep disturbance
or insomnia is one
sign of overall anxiety disorder. Insomnia experienced by
anxious people is
difficult to get to sleep, a frightening dream, often surprised
when you wake up,
and not sleeping soundly. This study aims to analyze the
relationship between the
level of anxiety and the tendency of insomnia in inpatients at
the dr. Soehadi
Prijonegoro SragenRegional Hospital. This research is a
quantitative study with a
descriptive correlational design. The population in this study
were all adolescent
and adult patients who were hospitalized in dr. Soehadi
Prijonegoro
SragenRegional Hospital in February 2019. The study sample
consisted of 112
patients using the total sampling technique. Data analysis using
Product Moment
correlation test. The results of this study indicate that
patients as many as 82
-
2
people (73.22%) included in the level of moderate anxiety and as
many as 80
people (71.43%) included in the category of severe insomnia.
Product Moment
correlation test results showed p-value 0.00
-
3
Gangguan tidur atau insomnia merupakan salah satu tanda
gangguan
kecemasan menyeluruh. Gejala insomnia baru diketahui setelah
diadakan
anamnesis yang lebih rinci. Terjadinya insomnia merupakan
sindrom gangguan
tidur pada kecemasan (Nasution, 2017). Insomnia yang dialami
oleh orang yang
cemas adalah sulit masuk tidur, mimpi yang menakutkan, sering
terkejut saat
bangun, dan tidur tidak nyenyak (Maramis, 2015).
Gangguan tidur dialami oleh setidaknya 50-80% pasien yang
menjalani
rawat inap (Merlino, et al, 2006). Sabry dkk (2010) mengatakan
dalam
penelitiannya mengenai Sleep disorders in hospitalitation
patient menjelaskan
bahwa prevalensi gangguan tidur pada 88 pasien kronis selama 4
bulan adalah
79,5%, dan gangguan tidur yang paling umum adalah insomnia
(65,9%), diikuti
oleh RLS/Restless Leg Syndrom (42%), obstructive sleep apnea
syndrome/OSAS
(31,8%), mendengkur (27,3%), excessive daytime sleepiness/EDS
(27,3%),
narkolepsi (15,9 %), dan tidur berjalan (3,4%).Penelitian
sebelumnya yang
dilakukan oleh Aziz dan Sudiro (2017) tentang frekuensi tingkat
kecemasan
pasien di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro menunjukkan bahwa dari
tingkat
kecemasan ringan 10 (18,5%), tingkat kecemasan sedang 5 (9,3%)
dan tingkat
kecemasan berat 1 (1,9%).
Berdasarkan dokumentasi Asuhan Keperawatan di Bangsal Tulip,
Bangsal
Sakura, Bangsal Mawar, Bangsal Teratai, Bangsal Wijaya Kusuma
dan Bangsal
Anggrek RSUD dr. Soehadi Prijonegoro sepanjang tahun 2018,
rata-rata jumlah
pasien per bulan adalah 250 orang dan didapatkan 60% pasien
rawat inap dewasa
mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur atau yang
dikenal
dengan insomnia dengan frekuensi kurang dari 6 jam per hari.
Berdasarkan studi
pendahuluan yang dilaksanakan terhadap 10 pasienmengalami
gangguan istirahat
tidur (insomnia)dengan karakteristik yang bervariatif. Dari
hasil wawancara
didapatkan bahwa 80% mengeluh cemas dengan proses rawat inap
yang dijalani.
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif yaitu berbentuk
angka-angka hasil
perhitungan atau pengukuran. Penelitian kuantitatif adalah
pendekatan penelitian
yang banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan
data,
-
4
penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan hasilnya.
Rancangan
penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasional yaitu
rancangan yang
menggambarkan hubungan antara dua variabel atau lebih (Arikunto,
2006).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
total sampling. Menurut Arikunto (2006), total sampling adalah
penggambilan
sampel yang sama dengan jumlah populasi yang ada. Dalam
penelitian ini,
populasi penelitian berjumlah 112 orang, sehingga jumlah sampel
yang dijadikan
dalam penelitian ini yaitu 112 orang.
Analisis data menggunakan uji korelasi Product Moment, dengan
kriteria
jika nilai p value < 0,05 maka terdapat hubungan antara
variabel independen
terhadap variabel dependen, sebaliknya jika p value > 0,05
maka tidak terdapat
hubungan antara variabel independen terhadap variabel
dependen.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Karakteristik Responden
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden
Variabel Frekuensi (n) Presentase (%)
Usia 18-25 tahun 53 47.32
26-35 tahun 37 33.03
> 35 tahun 22 19.65
Jenis Kelamin Laki-laki 48 42.85
Perempuan 64 57.15
Berdasarkan tabel 4.1 bahwa responden dengan rentang usia 18-25
tahun
terdapat 53 orang (47.32%). Sedangkan untuk rentang usia 26-35
tahun terdapat
37 orang (33.03%) dan rentang usia > 35 tahun terdapat 22
orang (19,65%).
Responden yang berjenis kelamin laki-laki terdapat 48 orang
(42.85%) dan yang
berjenis perempuan terdapat 64 orang (57.15%).Data diatas
menunjukkan
distribusi frekuensi responden berdasarkan Jenis kelamin
didapatkan sebagian
-
5
besar responden berjenis kelamin perempuan dengan 87 responden
(82,1%) dan
responden berjenis kelamin laki-laki berjumlah 19 responden
(17,9%).
3.1.2 Hasil Analisa univariate
Tabel 2. Tingkat Kecemasan Pasien
No Kategori Frekuensi (n) Presentase (%)
1 Berat 4 3,57
2 Sedang 82 73,22
3 Ringan 26 23,21
Jumlah 112 100
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dari 112 responden yang
diteliti,
sebagian besar dari responden dalam penelitian ini yaitu
sebanyak 82 orang
(73,22%) termasuk dalam tingkat kecemasan sedang. Responden
dengan
kecemasan ringan terdapat 26 orang (23,21%) dan responden dengan
kecemasan
berat terdapat 4 orang (3,57%).
Tabel 3. Kecenderungan Insomnia Pasien
No Kategori Frekuensi (n) Presentase (%)
1 Ringan 25 22,32
2 Sedang 7 6,25
3 Berat 80 71,43
Jumlah 112 100
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dari 112 responden
yang
diteliti, sebagian besar dari responden dalam penelitian ini
yaitu sebanyak
80 orang (71,43%) termasuk dalam kategori insomnia berat.
Selanjutnya
terdapat 25 orang (22,32%) termasuk dalam kategori insomnia
ringan, dan
sisanya 7 orang (6,25%) termasuk dalam kategori insomnia
sedang.
3.1.3 Hasil Analisa bivariat
Tabel 4. Analisis bivariat
Tingkat
Kecemasan
Kecenderungan Insomnia Coeffisient
Corelation P value Ringan Sedang Berat Total
f % f % f % f %
Ringan 11 44 2 28,5 13 14,66 26 23,21
0,889 0,000 Sedang 14 66 5 71.5 63 88,4 82 73,22
Berat 0 0 0 0 4 6,31 4 3,57
-
6
Total 25 22,32 7 6,25 80 71,43 112 100
Berdasarkan tabel 4.4 di atas, besarnya nilai Coeffisient
Corelation atau
nilai tingkat keeratan hubungan antara tingkat kecemasan dengan
kecenderungan
insomnia yaitu sebesar 0,889. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan yang sangat
kuat antara tingkat kecemasan dengan kecenderungan insomnia pada
pasien rawat
inap.
Dari hasil analisa data diketahui bahwa p-value 0,00 < 0,05
yang memiliki
makna bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
kecemasan
dengan kecenderungan insomnia pada pasien rawat inap. Hal
tersebut berarti
semakin pasien memiliki tingkat kecemasan yang tinggi, semakin
tinggi juga
kecenderungan insomnia pasien tersebut.
3.2 Pembahasan
Distribusi responden berdasarkan usia menunjukkan sebagian besar
responden
berada dalam rentang usia 18-25 tahun yaitu sebanyak 53
responden (47,32%).
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan
sebagian besar
responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 64 responden
(57,15%).
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Erawan (2013), yang
menyatakan bahwa
prevalensi tingkat kecemasan menunjukkan bahwa perempuan di usia
remaja
akhir lebih banyak dibandingkan laki-laki disebabkan oleh
perbedaan siklus hidup
dan struktur sosial yang sering menempatkan perempuan sebagai
subordinat
lelaki. Perempuan lebih banyak menderita kecemasan karena adanya
karakteristik
khas perempuan, seperti siklus reproduksi. Faktor sosial seperti
terbatasnya
komunitas sosial, kurangnya perhatian keluarga, tanggung jawab
perempuan
untuk urusan rumah tangga (memasak, mencuci, dan lain-lain) dan
mengurus
suami yang harus dilakukan sampai usia lanjut.
Berkaitan dengan kecemasan pada pria dan wanita, Myers
menyatakan
bahwa perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya dibanding
dengan laki-
laki, laki-laki lebih aktif, eksploratif, sedangkan perempuan
lebih sensitif
-
7
(Erawan, 2013). Hal tersebut diperkuat oleh ungkapkan Bhatia MD
yang
menyatakan kriteria kecemasan adalah sama untuk semua jenis
kelamin. Akan
tetapi, wanita lebih mudah merasakan perasaan bersalah, cemas,
peningkatan
bahkan penurunan nafsu makan, gangguan tidur, serta gangguan
makan (Buysse,
2008).
Menurut Olagunju (2015) dalam konteks insomnia, penderita
mayoritas
terdapat pada perempuan di usia 17-24 tahun ketika berada dalam
posisi di rawat
di lingkungan rumah sakit. Hal ini ditandai dengan kesulitan
untuk memulai dan
mempertahankan tidur. Misalnya waktu tidur yang terganggu selama
satu minggu
terjadi selama 4-5 malam, diikuti dengan tidur yang tidak
terganggu selama 1-2
malam.mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak
pula
pengetahuanyang dimilikinya.
Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb kecemasan adalah respon
terhadap
situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal
terjadi
menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang
belum pernah
dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup.
Kecemasan
adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang
berlebihan,
apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi
seseorang dalam
kehidupannya (Fauziah & Widuri, 2007).
Berdasarkan tingkat kecemasan responden, sebagian besar dari
responden
dalam penelitian ini yaitusebanyak 82 orang (73,22%) termasuk
dalam tingkat
kecemasan sedang dan kecemasan ringan terdapat 26 orang
(23,21%). Hal
tersebut disebabkan kondisi dari ruang rawat inap yang nyaman
sehingga pasien
bisa konsentrasi terhadap penyembuhan penyakitnya. Mayoritas
responden
merasa depresi terhadap kondisi yang dialaminya pada saat rawat
inap. Kondisi
responden rata-rata dalam taraf stabil karena terdapat beberapa
kerabat dan
keluarga yang menemani, sehingga kecemasan yang dialami sedikit
mampu
dihilangkan oleh kerabat dan keluarga dari pasien.
Kecenderungan insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam
hal
kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur
non-restoratif yang
berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan
signifikan atau
-
8
gangguan dalam fungsi individu (Merlino et, al, 2006). Insomnia
adalah
ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik kualtias
maupun
kuantitas.
Berdasarkan hasil analisis, sebagian besar dari responden dalam
penelitian
ini yaitusebanyak 80 orang (71,43%) termasuk dalam kategori
insomnia berat.
Selanjutnya terdapat 25 orang (22,32%) termasuk dalam kategori
insomnia
ringan, dan sisanya 7 orang (6,25%) termasuk dalam kategori
insomnia sedang.
Berdasarkan pengujian statistik dalam uji bivariat, dinyatakan
terdapat
hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan
kecenderungan
insomnia pada pasien rawat inap yang ditunjukan dengan nilai p
Value sebesar
0,00 atau kurang dari 0,05, pada taraf signifikan 5%, sehingga
hipotesis yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan tingkat kecemasan dengan
kecenderungan
insomnia pada pasien rawat inap terbukti atau diterima. Keeratan
hubungan antara
kecemasan dan kecenderungan insomnia bisa ditunjukkan dengan
nilai koefisien
kontingensi dengan nilai 0,889 yang berarti hubungan itu sangat
kuat.
Secara teoritis, diketahui bahwa suatu periode singkat insomnia
paling
sering disebabkan oleh kecemasan yang merupakan gejala sisa
suatu pengalaman
yang mencetuskan kecemasan dan respon asosiatif, seperti ujian
yang akan
berlangsung (Ramadhani, 2014). Secara empiris yang ditemukan
dalam penelitian
yang telah dilakukan ini, diketahui bahwa pasien yang mengalami
kecemasan
selalu disertai dengan insomnia, bahkan pasien yang tidak cemas
bisa saja
mengalami insomnia tersebut secara tunggal dan jumlahnya lebih
banyak daripada
pasien yang mengalami kecemasan dan kecenderungan insomnia
secara
bersamaan.
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan dengan
rentang usia 16-25
tahun.Mayoritas responden dalam penelitian ini termasuk dalam
tingkat
kecemasan sedang. Hal tersebut disebabkan responden merasa
depresi terhadap
kondisi yang dialaminya pada saat rawat inap. Kondisi responden
rata-rata dalam
taraf stabil karena terdapat beberapa kerabat dan keluarga yang
menemani,
-
9
sehingga kecemasan yang dialami sedikit mampu dihilangkan oleh
kerabat dan
keluarga dari pasien.Mayoritas responden dalam penelitian ini
termasuk dalam
kategori insomnia berat. Hal tersebut disebabkan oleh pasien
yang memiliki
perubahan pola tidur pada saat menjalani rawat inap dan
terganggunya waktu
tidur karena suasana lingkungan rumah sakit yang terlalu ramai
serta kondisi
pasien sebelahnya mengerang kesakitan.Terdapat hubungan yang
signifikan
antara tingkat kecemasan dengan kecenderungan insomnia pada
pasien rawat inap
RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
4.2 Saran
Bagi pihak rumah sakit untuk bisa menciptakan lingkungan yang
nyaman
terutama memberi batasan sekat atau korden di ruang pasien dan
memberi batasan
waktu kunjung pasien agar pasien tidurnya tidak terganggu.Bagi
peneliti lain yang
melakukan penelitian serupa diharapkan mengaitkan tingkat
kecemasan dan
kecenderungan insomnia dengan karakteristik responden sehingga
dapat diketahui
hubungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2006).Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktis. Jakarta:
Rineka Cipta.
Buysse, D.J. (2008). “Chronic Insomnia”. Journal
Psychiatry,16(5): 678–686.
Erawan, W. (2013). “Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pasien
Laki-laki dan
Perempuan pada Pre Operasi Laparatomi di RSUP. Dr. R.D.
Kandao
Manado”. Journal e-Biomedik (eBM),(1)1:17-31.
Fauziah, F& Widuri, J. (2007). Psikologi Abnormal Klinis
Dewasa. Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press).
Maramis, W.F. (2015). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.
Surabaya:
Airlangga University Press
Merlino, P.G., et al. (2006). “Sleep disorders in patients with
end stage renal
disease undergoing dialysis theraphy”. Nephrol Dial Tranplant,
21(3):184-
190.
Nasution, I.N. (2017). “Hubungan Kontrol Diri dengan Perilaku
Sulit Tidur
(Insomnia)”. Psychopolytan-Jurnal Psikologi, 1(1): 39-48.
-
10
Olagunju. AT. (2015).“Interplay of Anxiety and Depression With
Quality of Life
in Endstage Renal Disease”. Psychosomatics, 56(1):67-77
Tamsuri, A. (2010). Teori Dan Aplikasi Komunikasai Terapeutik
Bagi Perawat Di
Rumah Sakit. Kediri: Pamenang Press.
Utami, R.B dan Chafifah. (2014).“Pengaruh Terapi Musik New Age
Terhadap
Kualitas Tidur Pada Pasien Rawat Inap di Ruang Mawar RSUD
Dolopo
Kabupten Madiun”.Jurnal Kesehatan, 5: 61-76.