1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan secara umum bertujuan untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Tujuan ini tidak hanya dimiliki oleh perusahaan yang menjalankan bisnis domestik, tetapi juga perusahaan yang menjalankan bisnis internasional. Bahkan beberapa perusahaan telah mengembangkan bisnis internasional sebagai sarana untuk menambah nilai mereka. Hal ini disebabkan karena pasar asing dapat memberikan peluang untuk memperbaiki arus kas perusahaan. Sebagai akibatnya, banyak perusahaan telah berubah menjadi perusahaan multinasional (MNC), yang didefinisikan sebagai perusahaan yang terlibat dalam berbagai bentuk bisnis internasional. Perusahaan multinasional biasanya memperoleh dana jangka panjang dengan menarik dana dari investor asing dengan menjual saham di pasar modal. Investor yang memiliki kelebihan dana dapat menginvestasikan dananya pada berbagai sekuritas di pasar modal dengan harapan memperoleh pengembalian (return). Perkembangan harga saham perusahaan tertentu mencerminkan nilai perusahaan tersebut sesuai penilaian para investor, sedangkan return saham merupakan tingkat keuntungan yang dinikmati oleh pemodal atau investor atas suatu investasi yang dilakukannya. Para investor menggunakan berbagai cara untuk memperoleh return yang diharapkan, baik melalui analisis sendiri terhadap perilaku perdagangan saham maupun dengan memanfaatkan saran yang diberikan oleh
116
Embed
hubungan status gizi anak, status sosial ekonomi orang tua dan ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perusahaan secara umum bertujuan untuk memaksimalkan kekayaan
pemegang saham. Tujuan ini tidak hanya dimiliki oleh perusahaan yang
menjalankan bisnis domestik, tetapi juga perusahaan yang menjalankan bisnis
internasional. Bahkan beberapa perusahaan telah mengembangkan bisnis
internasional sebagai sarana untuk menambah nilai mereka. Hal ini disebabkan
karena pasar asing dapat memberikan peluang untuk memperbaiki arus kas
perusahaan. Sebagai akibatnya, banyak perusahaan telah berubah menjadi
perusahaan multinasional (MNC), yang didefinisikan sebagai perusahaan yang
terlibat dalam berbagai bentuk bisnis internasional.
Perusahaan multinasional biasanya memperoleh dana jangka panjang dengan
menarik dana dari investor asing dengan menjual saham di pasar modal. Investor
yang memiliki kelebihan dana dapat menginvestasikan dananya pada berbagai
sekuritas di pasar modal dengan harapan memperoleh pengembalian (return).
Perkembangan harga saham perusahaan tertentu mencerminkan nilai perusahaan
tersebut sesuai penilaian para investor, sedangkan return saham merupakan
tingkat keuntungan yang dinikmati oleh pemodal atau investor atas suatu investasi
yang dilakukannya. Para investor menggunakan berbagai cara untuk memperoleh
return yang diharapkan, baik melalui analisis sendiri terhadap perilaku
perdagangan saham maupun dengan memanfaatkan saran yang diberikan oleh
2
para analis pasar modal seperti broker, dealer, manajer investasi dan lain-lain.
Salah satu cara yang digunakan oleh investor ialah dengan mempelajari kinerja
saham yang dapat dilihat dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan.
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan yang meningkat, menunjukkan
kinerja saham yang semakin membaik. Hal tersebut akan memberikan peluang
pada investor untuk memperoleh return yang besar.
Sumber: Data diolah- www.idx.co.id
Gambar 1.1 Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan dalam Rupiah Juli 2009-Juli
2010
Pada Gambar 1.1 di atas, terlihat Indeks Harga Saham Gabungan yang
memiliki tren meningkat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami
peningkatan dari 2.549,03 pada bulan Februari 2009 menjadi 2.777,30 pada bulan
Maret 2009. Kemudian pada bulan April 2009, IHSG mencapai 2.971,25. Posisi
IHSG tertinggi dicapai pada bulan Juli 2010, yaitu pada posisi 3.069,28.
Pergerakan Indeks Harga Saham yang meningkat periode Juli 2009- Juli 2010
menunjukkan kondisi pasar modal yang membaik.
3
Tingkat keuntungan (return) yang diharapkan oleh investor berkaitan dengan
risiko. Hubungan return dan risiko searah dan linier, artinya semakin besar return
yang diharapkan, maka semakin besar pula risiko yang harus ditanggung. Dengan
kata lain investor yang berharap memperoleh tingkat keuntungan yang tinggi,
berarti bersedia menanggung risiko yang tinggi pula. Oleh karena itu tidak relevan
mengharapkan keuntungan yang sebesar-besarnya melalui investasi pada aset
yang menawarkan return paling tinggi, karena harus juga mempertimbangkan
tingkat risiko yang harus ditanggung. Investasi selalu mengandung unsur risiko,
karena perolehan (return) yang diharapkan baru akan diterima pada masa yang
akan datang. Risiko investasi yang paling perlu diperhatikan ialah risiko
sistematis. Hal ini dikarenakan risiko sistematis tidak dapat dikurangi dengan
mendiversifikasi investasi dan risiko sistematis berdampak pada semua jenis
saham.
Selain risiko sistematis, return saham perusahaan juga sangat dipengaruhi
oleh perubahan kondisi nilai tukar. Menurut Ross dalam detikcom (2010), dari
pandangan makro, kurs dolar AS yang terus melemah, memberikan kenaikan pada
sejumlah saham multinasional dan mendorong permintaan komoditas
berdenominasi Rupiah. Perubahan kondisi nilai tukar Rupiah per Dollar AS
memberikan pengaruh yang besar terutama pada harga saham perusahaan
multinasional (MNC) di Bursa Efek Indonesia.
Menurut Tandelilin (2010), salah satu faktor ekonomi makro yang
berpengaruh terhadap investasi di suatu negara ialah nilai tukar. Kondisi nilai
tukar Rupiah per Dollar AS digunakan sebagai sinyal oleh investor untuk
melakukan aktivitas menjual atau membeli saham. Perubahan nilai tukar Rupiah
4
per Dollar AS akan berpengaruh pada harga barang impor. Melemahnya nilai
tukar Rupiah terhadap Dollar AS akan mengakibatkan harga barang impor
meningkat. Kenaikan harga barang impor tersebut akan meningkatkan biaya
produksi perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan baku impor serta
mengurangi keuntungan atau laba yang akan diperoleh perusahaan berkurang.
Menurunnya laba suatu perusahaan merupakan sinyal bagi investor bahwa kinerja
perusahaan tersebut menurun. Menurunnya kinerja perusahaan akan menurunkan
kepercayaan investor untuk menginvestasikan dananya pada saham perusahaan
tersebut serta beralih ke saham perusahaan lain. Hal tersebut mengakibatkan harga
saham menurun, akibatnya return saham tersebut juga menurun.
Tabel 1.1 Perbandingan Kondisi Nilai Tukar USD dengan IHSG periode Juli 2009-
Juli 2010 Periode Nilai Tukar Rupiah per
USD (dalam Rupiah) IHSG
(dalam Rupiah) Juli 2009 9.920 2.323 Agustus 2009 10.060 2.342 September 2009 10.401 2.468 Oktober 2009 9.983 2.368 November 2009 9.970 2.416 Desember 2009 9.958 2.534 Januari 2010 9.775 2.611 Februari 2010 9.848 2.549 Maret 2010 9.674 2.777 April 2010 9.527 2.971 Mei 2010 9.683 2.797 Juni 2010 9.648 2.914 Juli 2010 9.550 3.069
Sumber: www.bi.go.id, www.idx.co.id
Pada Tabel 1.1, terlihat nilai tukar Rupiah per USD memiliki tren yang
meningkat atau dengan kata lain Rupiah menguat. Terlihat fenomena nilai tukar
Rupiah mengalami penguatan yang signifikan sebesar 418 pada periode Oktober
5
2009. Periode Februari 2010, Nilai tukar Rupiah per USD melemah sebesar 73
yang diikuti oleh penguatan hingga periode Juli 2010, sedangkan IHSG
mengalami peningkatan dari 2.323 pada periode Juli 2009 hingga puncaknya
sebesar 3.069 pada periode Juli 2010. Menguatnya kurs Rupiah terhadap mata
uang asing merupakan sinyal positif bagi perekonomian yang mengalami inflasi
(Tandelilin, 2010). Kurs Rupiah yang menguat akan menurunkan tingkat suku
bunga yang berlaku, sedangkan tingkat suku bunga memiliki hubungan negatif
terhadap return saham. Hal ini akan menyebabkan banyak investor yang
menanamkan modalnya di sekuritas terutama saham.
Faktor lain yang mempengaruhi return suatu saham adalah faktor internal
perusahaan, terutama kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya.
Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis perusahaan dalam hal ini Rasio
Solvabilitas. Rasio solvabilitas yang sering dikaitkan dengan return saham yaitu
Debt to Equity Ratio (DER). Debt to Equity Ratio (DER) mencerminkan
kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan
oleh berapa bagian dari modal sendiri yang digunakan untuk membayar utang.
Debt to Equity Ratio (DER) juga memberikan jaminan tentang seberapa besar
utang-utang perusahaan dijamin modal sendiri. Debt to Equity Ratio (DER) akan
mempengaruhi kinerja perusahaan dan menyebabkan apresiasi dan depresiasi
harga saham.
Semakin besar Debt to Equity Ratio (DER) menandakan struktur permodalan
usaha lebih banyak memanfaatkan utang-utang relatif terhadap ekuitas. Semakin
besar Debt to Equity Ratio (DER) mencerminkan risiko perusahaan yang relatif
6
tinggi akibatnya para investor cenderung menghindari saham-saham yang
memiliki nilai Debt to Equity Ratio (DER) yang tinggi.
Sofiati (2000) dalam Suwandi (2003) menyatakan bahwa penggunaan utang
oleh suatu perusahaan akan membuat risiko yang ditanggung pemegang saham
meningkat. Ketika terdapat penambahan jumlah utang secara absolut maka akan
menurunkan tingkat solvabilitas perusahaan. Menurunnya tingkat solvabilitas
perusahaan berarti kemampuan perusahaan untuk membayar kewajibannya kecil
atau dengan kata lain perusahaan tidak mampu membayar utang. Perusahaan yang
tidak mampu membayar utang memiliki risiko yang besar yaitu risiko
kebangkrutan. Investor akan menjauhi saham-saham perusahaan yang berisiko
tinggi. Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, permintaan terhadap
saham perusahaan tersebut berkurang mengakibatkan harga saham akan menjadi
turun yang selanjutnya akan berdampak dengan menurunnya return saham
perusahaan.
Berikut ini merupakan nilai DER dari saham-saham sektoral perusahaan
multinasional di Bursa Efek Indonesia periode Juli 2009- Juli 2010.
7
Tabel 1.2 DER Saham Sektoral Perusahaan Multinasional BEI Bulanan Periode Juli
2009- Juli 2010 Periode Mine BIC MI CGI PR IUT Fin TSI
Keterangan : Mine= Pertambangan, BIC= Basic Industry and Chemicals, MI= Miscellanious Industry, CGI= Consumer Goods Industry, PR= Property & Real Estate, IUT= Infrastructure, Utility & Transportation, Fin= Finance, TSI= Trade, Service & Investment
Pada Tabel 1.2 memperlihatkan ada tiga sektor yang nilai Debt to Equity
Ratio (DER) sahamnya sangat berfluktuatif, yaitu sektor Basic Industry and
Chemicals, sektor Finance, Sektor Trade, Service & Investment. Pada saham
Sektor Basic Industry and Chemicals, terlihat tingkat Debt to Equity Ratio (DER)
mulai dari periode Juli 2009 sampai dengan Juli 2010 mengalami penurunan, dari
3,54 pada periode Juli 2009 menjadi 2,06 pada periode Juli 2010 dengan rata-rata
2,60. Hal yang serupa juga terjadi pada saham sektor Finance dan Sektor Trade,
Service & Investment. Pada saham sektor Finance, tingkat Debt to Equity Ratio
(DER) mengalami penurunan, dari 6,04 pada periode Juli 2009 menjadi 5,84 pada
8
periode Juli 2010 dengan rata-rata 5,72. Demikian pula dengan saham sektor
Trade, Service & Investment, yang memiliki tingkat Debt to Equity Ratio (DER)
yang menurun dari 5,96 pada periode Juli 2009 menjadi 1,75 pada periode Juli
2010 dengan rata-rata 2,95. Menurut Solechan (2010), DER yang semakin tinggi
mengindikasikan return saham yang menurun.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara nilai
tukar, DER, risiko sistematis serta return saham, namun hasil yang diperoleh
masih menjadi perdebatan.
1) Ali et al. (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Causal Relationship
between Macro-Economic Indicatorsand Stock Exchange Prices in
Pakistan. Hasil yang diperoleh menyatakan tidak ada hubungan kausalitas
antara variabel makro ekonomi dengan harga saham yang dicerminkan
oleh Indeks harga saham di negara Pakistan.
2) Gay (2008) dalam jurnalnya yang berjudul Effect of Macroeconomic
Variables on Stock Market Returns for Four Emerging Economies: Brazil,
Russia, India,and China. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara nilai tukar, harga minyak
dengan harga saham di negara Brasil, Rusia, India dan Cina.
3) Sohail (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Long-Run and Short-Run
Relationship between Macroeconomic Variables and Stock Prices in
Pakistan the Case of Lahore Stock Exchange. Dalam penelitian ini
ditemukan bahwa dalam jangka panjang inflasi berpengaruh negatif
terhadap harga saham, sedangkan indeks produksi industri, nilai tukar riil,
dan peredaran uang berpengaruh positif terhadap harga saham.
9
4) Solechan (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Earning,
Manajemen Laba, IOS, risiko sistematis, Size dan Rasio Utang terhadap
Return Saham pada Perusahaan yang Go Public di BEI. Dalam penelitian
ini ditemukan bahwa earning berpengaruh signifikan positif terhadap
return saham, rasio utang (Debt to Equity Ratio) berpengaruh signifikan
negatif terhadap return saham, sedangkan menajemen laba, IOS, size,
risiko sistematis masing-masing tidak berpengaruh terhadap return saham.
5) Racelis (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Capital Structure and
Systematic Risk in the Philippine Setting. Dalam penelitian ini ditemukan
bahwa tingkat utang yang diwakili oleh DER berpengaruh signifikan
negatif terhadap risiko sistematis.
6) Haruman (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Faktor
Fundamental, Indikator Ekonomi Makro, dan Risiko Sistematis terhadap
Tingkat Pengembalian Saham di PT. Bursa Efek Jakarta. Dalam penelitian
ini ditemukan bahwa beta, faktor ekonomi makro (inflasi dan nilai tukar),
faktor fundamental berpengaruh secara parsial terhadap tingkat
pengembalian saham individu.
7) Prihantini (2009), dalam penelitiannya yang berjudul analisis Pengaruh
Inflasi, Nilai Tukar, ROA, DER, dan CR terhadap Return Saham. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa Inflasi, Nilai Tukar, DER memiliki
hubungan yang negatif terhadap return saham, sedangkan ROA dan CR
memiliki hubungan yang positif terhadap return saham industri properti
dan real estate.
10
8) Triayuningsih (2003), dalam penelitian yang berjudul analisis Pengaruh
Kinerja Keuangan Perusahaan dan Faktor Ekonomi Makro terhadap
Return Saham Perusahaan Industri Manufaktur di BEJ Periode 1999-2001.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa EPS memiliki pengaruh yang
paling kuat terhadap return saham, PBV, Total aset, Kurs, Suku Bunga
mempengaruhi variasi dalam return saham secara signifikan, sedangkan
DER dan Inflasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
variasi dalam return saham industri Manufaktur.
9) Sudiyatno (2010), dalam penelitiannya yang berjudul Peran Kinerja
Perusahaan Dalam Menentukan Pengaruh Faktor Fundamental
Makroekonomi, Risiko Sistematis dan Kebijakan Perusahaan terhadap
Nilai Perusahaan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa variabel-
variabel makroekonomi (inflasi, kurs, tingkat bunga, dan pertumbuhan
ekonomi) berpengaruh signifikan terhadap risiko sistematis. variabel-
variabel kebijakan perusahaan (insentif manajer dan leverage keuangan)
berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan, dan kinerja
perusahaan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan, terjadi
proses berjenjang dalam mempengaruhi nilai perusahaan, sehingga kinerja
perusahaan berperan sebagai variabel intervening, yaitu variabel yang
memediasi pengaruh variabel makroekonomi (kurs), risiko sistematis, dan
kebijakan perusahaan (insentif manajer) dalam mempengaruhi nilai
perusahaan.
10) Kartikasari (2007), dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Variabel
Fundamental terhadap Risiko Sistematik pada Perusahaan Manufaktur
11
yang Terdaftar di BEJ. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tingkat
utang operasional (leverage), ukuran perusahaan, dan profitabilitas
mempengaruhi risiko sistematik (beta), sedangkan utang finansial tidak
berpengaruh terhadap risiko sistematik (beta).
11) Auliyah (2006), dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Karakteristik
Perusahaan, Industri dan Ekonomi Makro terhadap Return dan Beta
Saham Syariah di Bursa Efek Jakarta. Dalam penelitian ini ditemukan
bahwa karakteristik perusahaan, industri dan ekonomi makro tidak
mempengaruhi Return Saham Syariah secara signifikan, tetapi nilai tukar
Rupiah serta PDB (Produk Domestik Bruto) berpengaruh secara signifikan
terhadap beta saham Syariah.
12) Rachmatika (2006.), dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pengaruh
Beta Saham, Growth Opportunities, Return On Asset dan Debt to Equity
Ratio terhadap Return Saham. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
variabel beta saham, ROA, dan DER secara parsial signifikan terhadap
return perusahaan LQ-45 di BEJ periode 2001- 2004 pada level of
significance kurang dari 5persen. Sedangkan variabel growth opprtunities
tidak signifikan terhadap return dengan level of significance lebih besar
dari 5 persen.
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggabungkan antara penelitian
Auliyah (2006), dalam penelitiannya yang berjudul Analisa Karakteristik
Perusahaan, Industri dan Ekonomi Makro terhadap Return dan Beta Saham
Syariah di Bursa Efek Jakarta dengan penelitian Sudiyatno (2010), yang berjudul
Peran Kinerja Perusahaan Dalam Menentukan Pengaruh Faktor Fundamental
12
Makroekonomi, Risiko Sistematis dan Kebijakan Perusahaan terhadap Nilai
Perusahaan. Dalam hal ini peneliti menggunakan fokus penelitian perusahaan
multinasional serta menggunakan metode analisis path.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan yaitu:
1) Apakah nilai tukar Rupiah per Dollar AS berpengaruh signifikan
terhadap risiko sistematis perusahaan multinasional di Bursa Efek
Indonesia?
2) Apakah DER berpengaruh signifikan terhadap risiko sistematis
perusahaan multinasional di Bursa Efek Indonesia?
3) Apakah nilai tukar Rupiah per Dollar AS berpengaruh signifikan
terhadap return saham perusahaan multinasional di Bursa Efek
Indonesia?
4) Apakah risiko sistematis berpengaruh signifikan terhadap return saham
perusahaan multinasional di Bursa Efek Indonesia?
5) Apakah DER berpengaruh signifikan terhadap return saham perusahaan
multinasional di Bursa Efek Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1) Mengetahui signifikansi pengaruh nilai tukar Rupiah per Dollar AS
terhadap risiko sistematis perusahaan multinasional di Bursa Efek
Indonesia.
13
2) Mengetahui signifikansi DER berpengaruh terhadap risiko sistematis
perusahaan multinasional di Bursa Efek Indonesia.
3) Mengetahui signifikansi pengaruh nilai tukar Rupiah per Dollar AS
terhadap return saham perusahaan multinasional di Bursa Efek
Indonesia.
4) Mengetahui signifikansi pengaruh risiko sistematis terhadap return
saham perusahaan multinasional di Bursa Efek Indonesia.
5) Mengetahui signifikansi pengaruh DER terhadap return saham
perusahaan multinasional di Bursa Efek Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis serta praktis
antara lain :
1) Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi para akademis
yang tertarik meneliti mengenai pengaruh nilai tukar Rupiah per Dollar
AS, DER terhadap risiko sistematis serta return saham dan memperkaya
pengetahuan yang sudah ada sehingga dapat menjadi tambahan referensi
bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian sejenis.
2) Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh investor untuk lebih memahami
pengaruh nilai tukar Rupiah per Dollar AS, DER terhadap risiko
sistematis serta return saham sebagai bahan pertimbangan dalam
melakukan investasi di pasar modal.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Return Saham
Return saham adalah tingkat keuntungan yang dinikmati oleh pemodal atas
suatu investasi yang dilakukannya. Tanpa adanya tingkat keuntungan yang
dinikmati dari suatu investasi, tentunya investor tidak akan melakukan investasi.
Secara praktis, tingkat pengembalian suatu investasi adalah persentase
penghasilan total selama periode inventasi dibandingkan harga beli investasi
tersebut.
Return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi yang berupa return
realisasi (realized return) dan return ekspektasi (expected return). Return realisasi
merupakan return yang telah terjadi yang dihitung berdasarkan data historis dan
digunakan sebagai salah satu pengukur kinerja perusahaan. Return realisasi ini
juga berguna sebagai dasar penentuan return ekspektasi (expected return) yang
merupakan return yang diharapkan oleh investor serta risiko di masa mendatang.
Return ekspektasi merupakan return yang diharapkan akan diperoleh investor di
masa mendatang (Pancawati et al, 2002).
Return yang diterima oleh investor pasar modal dibedakan menjadi dua jenis
yaitu current income (pendapatan lancar) dan capital gain (keuntungan selisih
harga). Current income adalah keuntungan yang didapat melalui pembayaran
yang bersifat periodik seperti dividen. Keuntungan ini biasanya diterima dalam
bentuk kas atau setara kas sehingga dapat dicairkan (diuangkan) secara cepat.
15
Misalnya dividen saham yaitu dibayar dalam bentuk saham yang bisa dikonversi
menjadi uang kas dengan cara menjual saham yang diterimanya (Ang, 1997).
Jenis kedua dari return adalah capital gain, yaitu keuntungan yang diterima
karena adanya selisih positif harga jual dan harga beli suatu instrumen investasi.
Tentunya tidak semua instrumen investasi memberikan komponen return berupa
capital gain. Capital gain ini sangat tergantung dari harga pasar instrumen
investasi yang bersangkutan yang berarti bahwa instrumen investasi tersebut harus
diperdagangkan di pasar. Karena dengan adanya perdagangan, maka akan timbul
perubahan nilai dari suatu instrumen investasi. Investasi yang dapat memberikan
capital gain seperti obligasi dan saham, sedangkan yang tidak memberikan
komponen return capital gain seperti sertifikat deposito, tabungan, dan
sebagainya.
Perubahan-perubahan return saham secara menyeluruh atau sektoral selalu
diukur dengan indeks harga saham. Indeks harga saham merupakan salah satu
indikator utama dalam setiap pergerakan saham, sehingga return saham dapat
menjadi pintu permulaan untuk melakukan investasi. Return saham yang tinggi
mengindikasikan bahwa saham tersebut aktif diperdagangkan.
Husnan (2000), mengatakan bahwa meskipun disebutkan sebagai return
saham atau tingkat keuntungan, sebenarnya tingkat keuntungan tersebut lebih
tepat dikatakan sebagai persentase perubahan harga saham. Harga saham di pasar
modal (sekunder) setiap saat bisa berubah (naik atau turun).
Berikut ini merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi return
saham:
16
1) Harapan investor terhadap tingkat keuntungan dividen untuk masa yang
akan datang. Jika pendapatan atau dividen suatu saham stabil, maka
harga saham cenderung stabil. Sebaliknya, jika pendapatan atau dividen
suatu saham berfluktuasi, maka harga saham tersebut cenderung
berfluktuasi pula.
2) Tingkat pendapatan perusahaan. Tingkat pendapatan perusahaan yang
tercermin dari Earning Per Share (EPS) juga berimplikasi dengan
peningkatan harga saham. Apabila fluktuasi EPS makin tinggi maka
makin tinggi pula perubahan harga pasarnya. EPS merupakan
perbandingan antara Earning After Tax (EAT) dengan jumlah saham
yang beredar. EPS merupakan rasio keuangan yang digunakan investor
untuk menganalisa kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba
berdasarkan saham yang dimiliki. EPS menunjukkan laba bersih
perusahaan yang siap dibagikan kepada semua pemegang saham.
3) Kondisi perekonomian. Apabila kondisi perekonomian stabil dan
mantap, maka investor optimis terhadap kondisi perekonomian yang
akan datang sehingga harga saham cenderung stabil dan sebaliknya.
Di samping faktor-faktor tersebut, return saham juga dipengaruhi oleh
kondisi perusahaan (laba perusahaan, kebijakan direksi), tingkat suku bunga,
harga komoditas, kondisi ekonomi, faktor investasi lain, kebijakan pemerintah,
inflasi, penawaran serta permintaan, dan lain-lain.
Menurut Koesno (2002), salah satu faktor penting yang mempengaruhi
pengharapan investor adalah kinerja keuangan dari tahun ke tahun. Kinerja
keuangan perusahaan dapat menjadi petunjuk arah naik turunnya return saham
17
suatu perusahaan. Oleh karena itu, harga saham lebih banyak ditentukan oleh
performance atau kinerja perusahaan itu sendiri dibandingkan faktor-faktor
lainnya. Secara umum kinerja keuangan perusahaan ditunjukkan dalam laporan
keuangan yang dipublikasikan, dimana dengan laporan keuangan tersebut dapat
dilakukan analisis berdasarkan rasio-rasio keuangan.
2.1.2 Risiko
Risiko merupakan kemungkinan perbedaan antara return aktual yang
diterima dengan return yang diharapkan. Semakin besar kemungkinan
perbedaannya, maka akan semakin besar pula risiko investasi tersebut. Menurut
Tandelilin (2001), dalam manajemen investasi modern, pembagian risiko total
investasi dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Risiko sistematis (risiko pasar)
Merupakan risiko yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi di
pasar secara keseluruhan. Jadi perubahan pasar akan mempengaruhi
variabilitas return suatu investasi (kondisi makro)
2) Risiko tidak sistematis (risiko perusahaan)
Merupakan risiko yang tidak terkait dengan perubahan pasar secara
keseluruhan. Jadi lebih terkait pada perubahan kondisi mikro
perusahaan emiten.
Dalam manajemen portofolio disebutkan bahwa risiko non sistematik
dapat diminimalkan dengan melakukan diversifikasi investasi. Risiko sistematis
berasal dari faktor-faktor yang secara sistematis mempengaruhi sebagian besar
perusahaan, seperti; perang, inflasi, resesi, perubahan kurs, dan suku bunga yang
tinggi (Brigham dan Houston, 1998). Risiko-risiko ini yang mempengaruhi surat
18
berharga secara keseluruhan, dan kebanyakan saham cenderung dipengaruhi
secara negatif oleh risiko ini, sehingga konsekuensinya tidak dapat didiversifikasi
(Brigham dan Houston, 1998).
Indeks untuk mengukur risiko sistematis adalah beta (β), koefisien beta ini
yang menggambarkan kecenderungan saham untuk bergerak naik atau turun
dalam pasar. Penggunaan beta (β) sebagai pengukur risiko sistematis mengacu
pada konsep single-index model (Sharpe, 1964). Model ini didasarkan pada
pengamatan bahwa harga dari sekuritas berfluktuasi searah dengan indeks harga
pasar (Jogiyanto, 2003).
Berdasarkan pengamatan secara khusus harga suatu sekuritas kebanyakan
bahwa harga saham cenderung mengalami kenaikan apabila indeks harga saham
gabungan (IHSG) naik. Demikian terjadi sebaliknya, bahwa kebanyakan harga
saham cenderung mengalami penurunan apabila indeks harga saham gabungan
(IHSG) turun.
Beta dapat dihitung dengan menggunakan data historis berupa data pasar
(return sekuritas dan return pasar), data akuntansi (laba perusahaan dan laba
indeks pasar) atau data fundamental (faktor internal perusahaan). Beta yang
dihitung dengan data pasar disebut dengan beta pasar, beta yang dihitung dengan
data akuntansi disebut dengan beta akuntansi, sedangkan beta yang dihitung
dengan menggunakan data fundamental disebut dengan beta fundamental.
Beta pasar dapat ditentukan dengan teknik grafik (Scatter Diagram) dan
teknik regresi. Teknik regresi dapat didasarkan atas metode indeks tunggal (model
pasar) atau model CAPM (Capital Asset Pricing Model).
19
Beta merupakan mekanisme kontrol terhadap risiko yang masih banyak
dipakai oleh para manajer portofolio karena sesuai dengan konsep hubungan
risiko dan return dalam CAPM, beta memiliki hubungan yang kuat dengan return
suatu investasi.
Menurut Barra dalam Ardiana (2006), peran beta dalam manajemen
portofolio pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 peran utama, yaitu:
1) Meramalkan risiko sistematis portofolio
2) Ukuran risiko sistematis yang terjadi
3) Meramalkan return yang diharapkan dari suatu portofolio
2.1.3 Nilai Tukar
Menurut Fabozzi dan Franco (1996) an exchange rate is defined as the amount of one currency that can be exchange per unit of another currency, or the price of one currency in items of another currency.
Nilai tukar merupakan indikator yang digunakan oleh para investor untuk
melakukan investasi di pasar modal. Para pelaku dalam pasar internasional amat
peduli terhadap penentuan kurs valuta asing (valas), karena kurs valas akan
mempengaruhi biaya dan manfaat ”bermain” dalam perdagangan barang, jasa dan
surat berharga (Mudrajad, 1996).
Faktor-faktor fundamental yang diduga kuat berpengaruh kuat terhadap kurs
valas adalah jumlah uang beredar, pendapatan riil relatif, harga relatif, perbedaan
inflasi, perbedaan suku bunga, dan permintaan serta penawaran asset di kedua
negara.
Gustav Cassel, seorang ekonom berkebangsaan Swedia pada tahun 1918
memperkenalkan teori Purchasing Power Parity (PPP) atau di Indonesia dikenal
dengan teori Paritas Daya Beli, teori Interest Rate Parity (IRP), dan teori
20
International Fisher Effect (IFE). Purchasing Power Parity (PPP)
menghubungkan kurs valas dengan harga-harga komoditi dalam mata uang lokal
di pasar internasional, yaitu bahwa kurs valas akan cenderung menurun dalam
proporsi yang sama dengan laju kenaikkan harga (Baillie and McMahon, 1990).
Menurunnya kurs karena laju kenaikan harga membuat biaya produksi naik,
terutama pada perusahaan yang menggunakan bahan baku impor. Akibatnya, daya
saing perusahaan-perusahaan tersebut menurun, karena perusahaan harus menjual
produknya dengan harga yang lebih tinggi.
Teori PPP (Purchasing Power Parity), juga menjelaskan bahwa kurs spot
suatu valas akan berubah sebagai reaksi terhadap perbedaan inflasi antara dua
negara. Akibatnya daya beli seorang konsumen ketika membeli barang di
negaranya sendiri akan sama dengan daya beli ketika mengimpor barang dari
negara lain (Mudrajad, 1996). Teori IRP (Interest Rate Parity), kurs forward suatu
mata uang yang mengandung premi (atau diskon) ditentukan oleh perbedaan suku
bunga antara dua negara. Akibatnya arbitrase suku bunga yang ditutup (covered
interest arbitrage) akan jauh lebih menguntungkan dibanding suku bunga
domestik (Mudrajad, 1996).
Demikian juga menurut teori IFE (International Fisher Effect), kurs spot
mata uang akan berubah sesuai dengan perbedaan suku bunga antara 2 negara.
Akibatnya rata-rata keuntungan dari sekuritas pasar uang internasional yang tidak
ditutup akan tidak lebih dari keuntungan yang diperoleh dari sekuritas pasar uang
domestik, terutama dari sudut pandang investor di negera asal (Mudrajad, 1996).
21
Menurunnya kurs Rupiah terhadap mata uang asing khususnya Dollar AS
memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal (Sitinjak dan
Kurniasari, 2003).
Apabila nilai tukar mata uang dalam negeri suatu negara tidak stabil atau
fluktuasinya sangat tinggi (semakin melemah) terhadap mata uang negara lain
(khususnya Dollar AS) maka berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat
karena dari sisi sektor bisnis berupaya melakukan efisiensi seketat mungkin.
Menurut Madura (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pergerakan nilai tukar, yaitu:
1) Faktor Fundamental
Faktor fundamental berkaitan dengan indikator-indikator ekonomi
seperti inflasi, suku bunga, perbedaan relatif pendapatan antar-negara,
ekspektasi pasar dan intervensi Bank Sentral.
2) Faktor Teknis
Faktor teknis berkaitan dengan kondisi penawaran dan permintaan
devisa pada saat-saat tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan,
sementara penawaran tetap, maka harga valas akan naik dan
sebaliknya.
3) Sentimen Pasar
Sentimen pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor atau berita-berita
politik yang bersifat insidentil, yang dapat mendorong harga valas naik
atau turun secara tajam dalam jangka pendek. Apabila rumor atau
berita-berita sudah berlalu, maka nilai tukar akan kembali normal.
22
2.1.4 Analisis Rasio
Laporan keuangan akan melaporkan posisi perusahaan pada satu titik
waktu tertentu maupun operasinya selama satu periode di masa lalu. Akan tetapi,
nilai sebenarnya dari laporan keuangan terletak pada kenyataan bahwa laporan
tersebut dapat digunakan untuk membantu meramalkan keuntungan dan dividen
di masa depan. Analisis laporan keuangan akan bermanfaat baik untuk membantu
mengantisipasi kondisi-kondisi di masa depan maupun yang lebih penting lagi
sebagai titik awal untuk melakukan perencanaan langkah-langkah yang akan
meningkatkan kinerja perusahaan di masa mendatang.
1) Rasio Likuiditas
Aktiva lancar merupakan aktiva yang diperdagangkan dalam suatu
pasar yang akan aktif sehingga akibatnya dapat dengan cepat diubah
menjadi kas dengan menggunakan harga pasar yang berlaku.
Aktiva lancar umumnya meliputi kas, sekuritas, piutang usaha dan
persediaan. Kewajiban lancar terdiri dari utang usaha, wesel tagih
jangka pendek, utang jatuh tempo yang kurang dari satu tahun,
akrual pajak dan beban-beban akrual lainnya terutama gaji.
Jika sesudah perusahaan mengalami kesulitan keuangan, perusahaan
akan membayar tagihan-tagihannya (utang usaha) secara lebih
lambat, meminjam dari bank dan seterusnya. Jika kewajiban lancar
meningkat secara lebih cepat dari aktiva lancar, rasio lancar akan
turun, dan hal ini pertanda adanya masalah. Rasio lancar merupakan
indikator tunggal terbaik dari sampai sejauh mana klaim dari
kreditor jangka pendek telah ditutupi oleh aktiva-aktiva yang
23
diharapkan dapat diubah menjadi kas dengan cukup tepat. Rasio ini
merupakan ukuran solvabilitas jangka pendek yang paling sering
digunakan.
2) Rasio Manajemen Aktiva
Rasio manajemen aktiva mengukur seberapa efektif perusahaan
mengelola aktivanya. Rasio-rasio ini dirancang untuk menjawab
pertanyaan sebagai berikut: apakah jumlah total dari tiap-tiap jenis
aktiva seperti yang dilaporkan dalam neraca terlihat wajar, terlalu
tinggi atau terlalu rendah jika dibandingkan dengan tingkat
penjualan yang diproyeksikan? Rasio perputaran persediaan
dinyatakan sebagai penjualan dibagi persediaan.
a) Mengevaluasi piutang (jumlah hari penjualan belum tertagih)
Jumlah hari penjualan belum tertagih (days sale outstanding),
digunakan untuk menilai piutang dan dihitung dengan membagi
piutang dengan jumlah hari penjualan rata-rata untuk menemukan
berapa hari penjualan masih dicatat dalam piutang. Jadi DSO
mencerminkan rata-rata rentang waktu perusahaan harus
menunggu untuk menerima kas setelah melakukan penjualan.
b) Mengevaluasi aktiva tetap (rasio perputaran aktiva tetap)
Rasio perputaran aktiva tetap mengukur seberapa efektif
perusahaan mempergunakan pabrik dan peralatannya. Ini
merupakan rasio dari penjualan aktiva bersih.
24
3) Rasio Manajemen Utang
Seberapa jauh perusahaan menggunakan pendanaan melalui utang
atau pengungkit keuangan (financial leverage).
Rasio manajemen utang memiliki tiga implikasi penting:
a) Dengan memperoleh dana melalui utang, para pemegang saham
dapat mempertahankan kendali mereka atas perusahaan tersebut
sekaligus membatasi investasi yang mereka berikan.
b) Kreditor akan melihat pada ekuitas atau dana yang diperoleh
sendiri sebagai satuan batasan keamanan, sehingga semakin tinggi
proporsi dari jumlah modal yang diberikan oleh pemegang saham,
maka semakin kecil risiko yang harus dihadapi kreditor.
c) Jika perusahaan mendapatkan hasil dari investasi yang didanai
dari hasil pinjaman yang lebih besar daripada bunga yang
dibayarkan, maka pengembalian dari modal pemilik akan
diperbesar atau diungkit.
Perusahaan-perusahaan memiliki rasio utang relatif tinggi ketika
perekonomian berada pada posisi normal, namun memiliki rasio
kerugian ketika ekonomi mengalami resesi. Oleh sebab itu,
keputusan akan penggunaan utang mengharuskan perusahaan
menyeimbangkan tingkat ekspektasi pengembalian yang lebih tinggi
dengan risiko yang meningkat. Rasio total utang terhadap total
aktiva yang umumnya disebut sebagai rasio utang, akan mengukur
persentase dari dana yang diberikan kreditor.
25
Total utang meliputi kewajiban lancar dan utang jangka panjang.
Kreditor lebih menyukai rasio utang yang lebih rendah karena
semakin rendah angka rasionya maka semakin besar peredaman dari
kerugian yang dialami kreditor jika terjadi likuidasi. Di lain pihak,
pemegang saham mungkin menginginkan lebih banyak leverage
karena akan memperbesar ekspektasi keuntungan.
(1) Kemampuan untuk membayar bunga (rasio kelipatan
pembayaran bunga)
Rasio kelipatan pembayaran bunga mengukur sejauh mana laba
operasi menurun sebelum perusahaan tidak mampu lagi
membayar bunga tahunannya. Kegagalan dalam memenuhi
kewajiban ini akan dapat mengakibatkan adanya tuntutan hukum
oleh kreditor perusahaan yang kemungkinan akan menyebabkan
kebangkrutan.
(2) Kemampuan untuk melayani utang (rasio cakupan EBITDA)
Rasio time interest earned akan berguna dalam menilai
kemampuan sebuah perusahaan memenuhi beban bunga atas
utangnya. Akan tetapi rasio ini memiliki dua kelemahan.
(a) Bunga bukanlah satu-satunya beban keuangan yang bersifat
tetap. Perusahaan juga harus mengurangi utangnya sesuai
jadwal dan banyak perusahaan menyewa aktivanya dan
akibatnya harus melakukan pembayaran sewa. Jika gagal
membayar kembali utang atau melunasi pembayaran
sewanya, perusahaan terpaksa harus menyatakan bangkrut.
26
(b) EBIT tidaklah mencerminkan seluruh arus kas yang tersedia
untuk melayani utang, terutama perusahaan yang memiliki
beban depresiasi dan amortisasi yang tinggi. Untuk
memasukkan kelemahan-kelemahan ini, para banker dan
pihak lainnya telah mengembangkan rasio kecukupan
EBITDA.
4) Rasio Profitabilitas
Menurut Brigham & Houston (2006), profitabilitas dapat diukur
dengan beberapa rasio keuangan (rasio profitabilitas) yaitu:
a) Margin laba atas penjualan (profit margin on sales), yang
dihitung dengan membagi laba bersih dengan penjualan, akan
menunjukkan laba per nilai penjualan.
b) Kemampuan dasar untuk menghasilkan laba (basic earning
power-BEP), dihitung dengan membagi keuntungan sebelum
beban bunga dan pajak (EBIT) dengan total aktiva.
c) Tingkat pengembalian total aktiva, rasio antara laba bersih
terhadap total aktiva mengukur tingkat pengembalian total aktiva
(return on assets-ROA) setelah beban bunga dan pajak.
d) Tingkat pengembalian ekuitas saham biasa, rasio laba bersih
terhadap ekuitas saham biasa, dimana mengukur tingkat
pengembalian atas investasi dari pemegang saham biasa.
5) Rasio Nilai Pasar
Rasio nilai pasar akan menghubungkan nilai saham perusahaan pada
laba, arus kas, dan nilai buku per sahamnya. Rasio-rasio ini dapat
27
memberikan indikasi kepada manajemen mengenai yang dipikirkan
oleh para investor tentang kinerja masa lalu dan prospek perusahaan
di masa mendatang. Jika rasio-rasio likuiditas, manajemen aktiva,
maajemen utang dan profitabilitas semuanya terlihat baik, maka
rasio-rasio nilai pasarnya juga akan tinggi, dan harga saham
kemungkinan juga akan tinggi sesuai harapan.
a) Rasio laba per harga (price earning ratio) menunjukkan seberapa
banyak uang yang rela dikeluarkan oleh investor untuk membayar
setiap Dollar laba yang dilaporkan.
b) Rasio laba per arus kas. Di beberapa industri, harga saham akan
lebih terikat pada arus kas daripada laba bersih.
c) Rasio nilai pasar per nilai buku. Rasio atas harga pasar saham
terhadap nilai bukunya juga akan memberikan indikasi yang lain
tentang bagaimana investor memandang perusahaan. Perusahaan
dengan tingkat pengembalian ekuitas yang relatif tinggi biasanya
menjual dengan perkaliannya rendah.
Menurut Ang (1997), salah satu rasio yang berpengaruh terhadap return
saham ialah rasio solvabilitas. Tingkat debt ratio yang kecil menunjukkan kinerja
yang semakin baik, karena menyebabkan tingkat pengembalian yang semakin
tinggi.
Rasio Debt to Equity Ratio (DER) digunakan untuk mengukur tingkat
leverage (penggunaan utang) terhadap total ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan.
Rasio ini diukur dengan cara membandingkan antara debts terhadap total equity.
Debt ratio yang tinggi mempunyai dampak yang buruk terhadap kinerja
28
perusahaan, karena tingkat utang semakin tinggi, yang berarti beban bunga akan
semakin besar sehingga dapat mengurangi keuntungan.
2.1.5 Perusahaan Multinasional (MNC)
Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang memiliki operasi-operasi
yang signifikan di dua atau lebih negara secara bersamaan, namun keputusan
utama dan kontrolnya dilakukan oleh perusahaan di negara asalnya (M. Fasal,
2001), sedangkan menurut Shapiro dalam M. Fasal, perusahaan multinasional
adalah perusahaan yang beroperasi (memproduksi dan menjual barang atau
jasanya) di lebih dari satu negara. Perusahaan ini terdiri dari perusahaan induk
(parent company) yang berlokasi di negara asalnya dan memiliki paling sedikit
lima atau enam perusahaan afiliasi / subsidiary (anak perusahaan) di luar negeri,
secara khas dengan suatu interaksi derajat yang tinggi atau saling terkait antara
suatu perusahaan dengan perusahaan yang lainnya.
Mamduh M. Hanafi (2003), mengatakan bahwa perusahaan multinasional
mempunyai beberapa ciri yang berlainan dengan perusahaan domestik. Salah satu
ciri yang menonjol adalah wilayah operasi yang mencakup beberapa wilayah
negara, dengan kondisi perekonomian, politik, sosial, budaya yang berbeda.
Perusahaan multinasional melakukan diversifikasi dalam pendanaan dan
operasinya karena memiliki anak perusahaan lebih dari satu. Manfaat dari
diversifikasi ini adalah menekan biaya modal karena biasanya pemodal asing mau
menerima tingkat keuntungan yang lebih rendah dari pemodal domestik. Manfaat
lainnya adalah karena perusahaan multinasional jaringan operasinya
terdiversifikasi di beberapa negara, akan lebih tahan menghadapi segala situasi
yang tidak menguntungkan di suatu negara, karena sumber aliran kasnya tidak
29
terkonsentrasi hanya di satu negara. Keuntungan ini tidak dinikmati oleh
perusahaan domestik yang lebih rentan terhadap perubahan, karena sumber aliran
kasnya hanya terkonsentrasi di satu negara. Kondisi ini membuat risiko
kebangkrutan perusahaan multinasional lebih rendah dari perusahaan domestik.
Dengan demikian biaya modal perusahaan multinasional relatif akan lebih rendah
dari perusahaan domestik (Yuliati dan Prasetyo, 1998).
Banyak keuntungan yang diperoleh perusahaan multinasional, tetapi ada
juga kerugian yang didapat dari perusahaan nasional. Kerugian tersebut menurut
Casson dalam Salamah (2002), muncul dari sifat perusahaan multinasional sejak
beberapa waktu yang lalu, yaitu:
1) Perusahaan multinasional sebagai kelompok, dapat menguasai sektor
perdagangan luar negeri.
2) Perusahaan multinasional umumnya tidak berhasil atau lebih tepat
dikatakan kurang bersedia mengalihkan pengetahuannya kepada
penduduk dan manajer-manajer di perusahaan mereka beroperasi.
3) Operasi perusahaan multinasional pada dasarnya bersifat monopoli,
memperoleh proteksi terhadap pesaing-pesaingnya berbentuk kendala-
kendala untuk turut serta (barrier to entry).
4) Perusahaan multinasional sering dapat menguasai industri-industri
penting (key industry) atau sektor-sektor ekonomi tertentu di negara-
negara mereka beroperasi karena kedudukannya yang monopolistis
tersebut.
30
Stoner dalam Salamah (2002), menyatakan bahwa dalam membuat
keputusan investasi, manajer perusahaan multinasional harus memperhatikan tiga
faktor, yaitu:
a) Ekonomi dari berbagai negara
Apakah negara tersebut cukup makmur untuk menyediakan fasilitas
yang diperlukan untuk mendukung aktivitas ekonomi seperti sistem
transportasi, sistem komunikasi, sekolah, rumah sakit, dan lain-lain.
b) Risiko politik
Mengacu pada kemungkinan apakah perubahan politik yang terjadi,
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang akan mempengaruhi
aktivitas di luar negeri.
c) Kecocokan teknologi pada budya yang berbeda
Teknologi produksi mungkin berhasil di suatu negara tetapi belum tentu
berhasil di negara lain.
2.1.6 Pengaruh Nilai Tukar Rupiah per Dollar AS terhadap Risiko
Sistematis
Menurut Sudiyatno (2010), meningkatnya nilai tukar berarti menurunnya
nilai mata uang domestik yang disebabkan karena inflasi di dalam negeri lebih
besar dari inflasi di luar negeri. Era globalisasi menyebabkan perubahan inflasi di
luar negeri akan berpengaruh terhadap perekonomian global maupun nasional
(domestik) akibat dari perubahan kondisi perekonomian tersebut, maka kegiatan
investasi di sektor riil menjadi tidak menentu. Oleh karena itu, investor akan
mencari alternatif investasi yang lebih menguntungkan, kemungkinan transaksi
31
valas akan menjadi pilihannya, akibatnya kinerja pasar modal menurun,
khususnya di sektor riil.
Jadi dengan melemahnya kurs Rupiah atau terdepresiasinya Rupiah
terhadap Dollar AS dapat menyebabkan risiko sistematis meningkat, karena
dengan melemahnya nilai kurs Rupiah terhadap Dollar AS berarti semakin tinggi
nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS.
Auliyah (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa nilai tukar
berpengaruh secara signifikan terhadap beta saham syariah di Bursa Efek Jakarta.
Namun Ardiana (2006), dalam penelitiannya menemukan exchange rate, leverage
ratio, price to book value dan earning variability tidak berpengaruh terhadap
risiko sistematis.
2.1.7 Pengaruh DER (Debt to Equity Ratio) terhadap Risiko Sistematis
Menurut Brigham (2009), sebuah perusahaan dapat mempengaruhi risiko
pasarnya, dan juga nilai betanya, melalui perubahan-perubahan dalam komposisi
aktivanya dan juga melalui penggunaan utang.
Semakin tinggi utang perusahaan dalam bentuk mata uang asing akan
meningkatkan risiko utang tersebut tidak terbayarkan. Apabila terjadi depresiasi
Rupiah terhadap Dollar AS, menyebabkan beban bunga serta utang perusahaan
meningkat. Perusahaan akan kesulitan dalam melunasi utangnya. Hal ini
mengakibatkan perusahaan akan kesulitan untuk meminjam dana untuk periode
berikutnya dan perusahaan akan dihadapkan pada suku bunga yang tinggi (karena
kreditur menghadapi risiko utang tak terbayarkan), sehingga risiko sistematis
menjadi semakin tinggi.
32
Menurut Racelis (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa DER
berpengaruh signifikan negatif terhadap beta. Penelitian tersebut menunjukkan
pada tingkat risiko operasi yang tinggi tidak seharusnya meningkatkan tingkat
utang. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Kapoor dan
Pope (1997) serta Utomo (2006).
Kapoor dan Pope (1997), dalam penelitiannya menemukan bahwa tingkat utang
tidak berpengaruh signifikan terhadap beta.
Utomo (2006), dalam penelitiannya menemukan bahwa Asset Growth, DER,
ROE, dan EPS tidak berpengaruh terhadap beta saham.
2.1.8 Pengaruh Nilai Tukar Rupiah per Dollar AS terhadap return saham
Menurunnya nilai tukar Rupiah (Rupiah menguat) terhadap mata uang
asing dalam hal ini Dollar AS, merupakan sinyal positif bagi perekonomian yang
mengalami inflasi. Menurunnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing akan
menurunkan biaya impor bahan baku untuk produksi dan akan menurunkan
tingkat suku bunga yang berlaku. Hal ini akan menyebabkan return saham
meningkat.
Menurut Sohail (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa indeks
produksi industri, nilai tukar riil, dan peredaran uang berpengaruh positif terhadap
harga saham. Hal ini menunjukkan meningkatnya nilai tukar akan menyebabkan
harga saham perusahaan yang berorientasi pada ekspor meningkat sehingga return
saham juga meningkat.
Suardani (2008), dalam penelitiannya menemukan bahwa kurs Dollar,
ROE dan tingkat suku bunga SBI, masing-masing berpengaruh positif terhadap
return saham.
33
Maysami et al. (2004), dalam penelitiannya menemukan bahwa nilai tukar
berpengaruh negatif terhadap return saham di pasar modal Singapura. Hal ini
menunjukkan pada tingkat ekspor dan impor yang tinggi dalam perekonomian
Singapura, mata uang domestik yang lebih kuat akan mengurangi biaya impor dan
memungkinkan produsen lokal untuk menjadi lebih kompetitif secara
internasional, sehingga perekonomian menjadi meningkat dan return saham juga
ikut meningkat.
Prihantini (2009), dalam penelitiannya menemukan bahwa Inflasi, Nilai
Tukar, DER memiliki hubungan yang negatif terhadap return saham. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi nilai tukar, maka return saham semakin menurun.
Pialang saham, investor, dan pelaku pasar modal sangat berhati-hati dlam
menentukan posisi beli atau jual jika nilai tukar mata uang tidak stabil.
Triayuningsih (2003), dalam penelitiannya menemukan bahwa Kurs berpengaruh
negatif terhadap return saham secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa
kenaikan nilai tukar akan menyebabkan naiknya biaya produksi akibat impor
bahan baku yang dilakukan. Biaya produksi yang tinggi akan mempengaruhi
harga jual barang sehingga akan menurunkan jumlah penjualan yang akan
berdampak juga pada tingkat keuntungan perusahaan. Penurunan tingkat
keuntungan perusahaan akan berakibat turunnya kepercayaan investor yang
terlihat dari penurunan return saham.
Ali et al. (2010), dalam penelitiannya menemukan bahwa tidak ada
hubungan kausalitas antara variabel makro ekonomi dengan harga saham yang
dicerminkan oleh Indeks harga saham di negara Pakistan.
34
Gay (2008), dalam penelitiannya menemukan bahwa nilai tukar berpengaruh
positif terhadap harga saham di negara Brasil, Rusia dan Cina. Hasil penelitian
Gay menunjukkan apresiasi mata uang domestik menguntungkan di pasar saham
domestik.
2.1.9 Pengaruh Risiko Sistematis Terhadap Return Saham
Investor perlu mempertimbangkan hubungan antara risiko dan return
sebelum mengambil keputusan investasi. Risiko dan return memiliki hubungan
positif. Semakin besar risiko suatu investasi, return yang diperoleh akan semakin
tinggi. Begitu juga dengan risiko sistematis yang diukur dengan beta memiliki
hubungan positif terhadap return saham.
Menurut Haruman (2005), dalam penelitiannya menemukan bahwa risiko
sistematis berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham, namun
pengaruhnya sangat lemah.
Theriou et al. (2010), dalam penelitiannya menemukan bahwa beta berpengaruh
positif terhadap return saham. Theriou et al. menyatakan bahwa saham dengan
beta yang tinggi akan menyebabkan return meningkat ketika premium risiko pasar
positif dan return yang lebih rendah ketika premium risiko pasar negatif.
Solechan (2010), dalam penelitiannya menemukan bahwa beta tidak berpengaruh
terhadap return saham. Solechan menyatakan bahwa besar kecilnya risiko
sistematik (beta) pada perusahaan tidak dapat digunakan untuk memprediksi
tingkat keuntungan saham (return).
2.1.10 Pengaruh DER (Debt to Equity Ratio) terhadap return saham
DER (Debt to Equity Ratio) merupakan istilah yang sering digunakan
perusahaan untuk mengukur kemampuan perusahaan di dalam memenuhi seluruh
35
kewajiban finansialnya apabila perusahaan dilikuidasi, secara umum DER dapat
dihitung dengan membagi total utang dengan total ekuitas.
DER (Debt to Equity Ratio) yaitu rasio untuk menghitung seberapa besar
dana disediakan oleh kreditur. Rasio yang tinggi berarti perusahaan menggunakan
leverage keuangan yang tinggi. Penggunaan leverage yang tinggi akan
meningkatkan modal perusahaan dengan cepat, tetapi sebaliknya apabila
penjualan menurun, modal perusahaan akan menurun dengan cepat pula. (Hanafi
dan Halim, 2000). Dengan semakin tinggi rasio utang perusahaan menunjukkan
bahwa tingginya utang perusahaan yang dibiayai oleh modal saham yang
ditanamkan pemegang saham (investor) akan memberikan beban tersendiri karena
investor merasa terbebani dengan besarnya utang yang dimiliki perusahaan.
Investor tidak ingin mengambil risiko yang besar dalam berinvestasi dengan
harapan bahwa investor nantinya memperoleh pengembalian (return) saham yang
menguntungkan bagi mereka.
Menurut Leland (1994), balancing theories membuktikan bahwa peningkatan
DER sesungguhnya menyebabkan peningkatan biaya yang berkaitan dengan
leverage dimana peningkatan nilai perusahaan pada akhirnya akan berhenti.
Masih dalam lingkup balancing theories, model optimal yang dinamik dari Fisher,
Heinkel, dan Zechner (1989), serta Mauer dan Triantis (1994) tidak mendukung
struktur modal yang statis. Meskipun demikian, kebijakan pendanaan dinamik
yang optimal masih dicirikan dengan trade off, antara manfaat corporate tax
shield dari utang dan biaya utang (Robert M. Hull, 1999).
Penggunaan utang yang semakin besar akan meningkatkan keuntungan
dari penggunaan utang tersebut, namun semakin besar pula biaya kebangkrutan
36
dan biaya keagenan bahkan lebih besar. Dengan memasukkan pertimbangan biaya
kebangkrutan dan biaya keagenan ke dalam model MM dengan pajak,
disimpulkan bahwa penggunaan utang akan meningkatkan nilai perusahaan tapi
hanya sampai titik tertentu. Setelah titik tersebut, penggunaan utang justru akan
menurunkan nilai perusahaan karena kenaikan keuntungan dari penggunaan utang
tidak sebanding dengan kenaikan biaya kebangkrutan dan biaya keagenan. Titik
balik tersebut disebut struktur modal yang optimal (Lukas S. Atmaja, 1999).
Menurut Solechan (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa rasio utang
(Debt to Equity Ratio) berpengaruh signifikan negatif terhadap return saham.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi rasio utang perusahaan
dapat digunakan untuk memprediksi menurunnya tingkat keuntungan saham
(return). Sebaliknya, semakin rendah rasio utang perusahaan dapat digunakan
untuk memprediksi meningkatnya tingkat keuntungan saham (return).
Juita (2007), dalam penelitiannya menemukan bahwa DER (Debt to Equity Ratio)
berpengaruh signifikan negatif terhadap return saham.
Prihantini (2009), dalam penelitiannya menemukan bahwa Inflasi, Nilai Tukar,
DER memiliki hubungan yang negatif terhadap return saham. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat DER yang tinggi menunjukkan komposisi total utang
(utang jangka pendek dan utang jangka panjang) semakin besar apabila
dibandingkan dengan total modal sendiri, sehingga hal ini akan berdampak pada
semakin besar pula beban perusahaan terhadap pihak eksternal (para kreditur)
dalam memenuhi kewajiban utangnya, yaitu membayar pokok utang ditambah
dengan bunganya. Peningkatan beban terhadap kreditur akan menunjukkan
37
sumber modal perusahaan sangat tergantung dari pihak eksternal, serta semakin
tingginya tingkat risiko suatu perusahaan.
Subalno (2009), dalam penelitiannya menemukan bahwa DER tidak berpengaruh
terhadap return saham. Hal ini disebabkan karena investor dalam melakukan
investasi tidak memandang penting penggunaan utang maupun pengembalian
bunga dan pokok utang yang pada akhirnya tidak mempengaruhi persepsi investor
terhadap keuntungan di masa yang akan datang.
38
BAB III
KERANGKA PIKIR, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1 Kerangka Pikir
Perusahaan multinasional (MNC) mengembangkan bisnis internasional
sebagai sarana untuk menambah nilai. Hal ini disebabkan karena pasar asing atau
internasional memberikan peluang untuk memperbaiki arus kas perusahaan.
Namun bisnis internasional menimbulkan risiko. Salah satunya ialah nilai tukar
yang dapat mempengaruhi kondisi ekonomi nasional maupun global.
Nilai tukar Rupiah per Dollar AS berpengaruh terhadap risiko sistematis.
Melemahnya nilai kurs berarti menurunnya nilai mata uang domestik yang
disebabkan karena inflasi di dalam negeri lebih besar dari inflasi di luar negeri.
Era globalisasi menyebabkan perubahan inflasi di luar negeri akan berpengaruh
terhadap perekonomian global maupun nasional (domestik). Akibat dari
perubahan kondisi perekonomian tersebut, maka kegiatan investasi di sektor riil
menjadi tidak menentu. Oleh karena itu, investor akan mencari alternatif investasi
yang lebih menguntungkan, kemungkinan transaksi valas akan menjadi
pilihannya, akibatnya kinerja pasar modal menurun, khususnya di sektor riil.
Jadi dengan melemahnya kurs Rupiah atau terdepresiasinya Rupiah terhadap
Dollar AS dapat menyebabkan risiko sistematis meningkat, karena dengan
melemahnya nilai kurs Rupiah terhadap Dollar AS berarti semakin tinggi nilai
tukar Rupiah terhadap Dollar
39
Menurut Sudiyatno (2010), dengan meningkatnya nilai tukar Rupiah atau
terdepresiasinya Rupiah terhadap Dollar AS dapat menyebabkan risiko sistematis
meningkat sehingga nilai tukar Rupiah per Dollar AS berpengaruh positif
terhadap risiko sistematis. Auliyah (2006) dalam penelitiannya menemukan
bahwa nilai tukar berpengaruh secara signifikan terhadap beta saham syariah di
Bursa Efek Jakarta. Namun Ardiana (2006), dalam penelitiannya menemukan
exchange rate tidak berpengaruh terhadap risiko sistematis.
DER (Debt to Equity Ratio) merupakan rasio untuk mengukur kemampuan
perusahaan di dalam memenuhi seluruh kewajiban finansialnya apabila
perusahaan dilikuidasi. Debt ratio yang tinggi mempunyai dampak yang buruk
terhadap kinerja perusahaan, karena tingkat utang semakin tinggi, yang berarti
beban bunga akan semakin besar sehingga dapat mengurangi keuntungan.
Menurut Brigham (2009), sebuah perusahaan dapat mempengaruhi risiko
pasarnya, dan juga nilai betanya, melalui perubahan-perubahan dalam komposisi
aktivanya dan juga melalui penggunaan utang.
Semakin tinggi utang perusahaan dalam bentuk mata uang asing akan
meningkatkan risiko utang tersebut tidak terbayarkan. Apabila terjadi depresiasi
Rupiah terhadap Dollar AS, menyebabkan beban bunga serta utang perusahaan
meningkat. Perusahaan akan kesulitan dalam melunasi utangnya. Hal ini
mengakibatkan perusahaan akan kesulitan untuk meminjam dana untuk periode
berikutnya dan perusahaan akan dihadapkan pada suku bunga yang tinggi (karena
kreditur menghadapi risiko utang tak terbayarkan), sehingga risiko sistematis
menjadi semakin tinggi.
40
Selain berpengaruh terhadap risiko sistematis, nilai tukar Rupiah per Dollar
AS juga berpengaruh terhadap return saham. Nilai tukar Rupiah per Dollar AS
berpengaruh negatif terhadap return saham.
Perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan baku impor akan lebih
besar menerima dampak dari melemahnya kurs. Kondisi ini akan memukul
industri di dalam negeri, banyak perusahaan yang mengurangi produksinya akibat
tidak mampu membeli bahan baku dan membayar biaya tenaga kerja yang besar.
Akibatnya kinerja perusahaan menurun, dan dengan menurunnya kinerja
perusahaan, maka harga sahamnya juga akan turun, sehingga return saham akan
turun.
Di sisi lain, para pelaku bursa (investor) akan mengalihkan investasinya pada
investasi di pasar uang untuk mengejar keuntungan jangka pendek. Akibatnya,
pasar modal banyak ditinggalkan oleh para pelaku bursa, sehingga kinerja pasar
modal menjadi menurun, dan harga-harga saham maupun indeks harga saham
menurun. Menurunnya kinerja pasar modal berdampak pada menurunnya return
saham.
Maysami et al. (2004), dalam penelitiannya menemukan bahwa nilai tukar
berpengaruh negatif terhadap return saham di pasar modal Singapura. Hal ini
menunjukkan pada tingkat ekspor dan impor yang tinggi dalam perekonomian
Singapura, mata uang domestik yang lebih kuat akan mengurangi biaya impor dan
memungkinkan produsen lokal untuk menjadi lebih kompetitif secara
internasional, sehingga perekonomian menjadi meningkat dan return saham juga
ikut meningkat.
41
Prihantini (2009), dalam penelitiannya menemukan bahwa Inflasi, Nilai
Tukar, DER memiliki hubungan yang negatif terhadap return saham. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi nilai tukar, maka return saham semakin menurun.
Pialang saham, investor, dan pelaku pasar modal sangat berhati-hati dalam
menentukan posisi beli atau jual jika nilai tukar mata uang tidak stabil.
Triayuningsih (2003), dalam penelitiannya menemukan bahwa Kurs berpengaruh
negatif terhadap return saham secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa
kenaikan nilai tukar akan menyebabkan naiknya biaya produksi akibat impor
bahan baku yang dilakukan. Biaya produksi yang tinggi akan mampengaruhi
harga jual barang sehingga akan menurunkan jumlah penjualan yang akan
berdampak juga pada tingkat keuntungan perusahaan. Penurunan tingkat
keuntungan perusahaan akan berakibat turunnya kepercayaan investor yang
terlihat dari penurunan return saham.
Risiko sistematis berpengaruh positif terhadap return saham. Hubungan
risiko dan return searah dan linier, artinya semakin besar risiko yang ditanggung,
maka return yang diharapkan semakin besar juga. Dengan kata lain investor yang
menanggung risiko yang tinggi berharap memperoleh tingkat keuntungan yang
tinggi pula.
Theriou et al. (2010), dalam penelitiannya menemukan bahwa beta
berpengaruh positif terhadap return saham. Theriou et al. menyatakan bahwa
saham dengan beta yang tinggi akan menyebabkan return meningkat ketika
premium risiko pasar positif dan return yang lebih rendah ketika premium risiko
pasar negatif.
42
DER berpengaruh terhadap return saham. Penggunaan utang akan
meningkatkan nilai perusahaan tapi hanya sampai titik tertentu. Setelah titik
tersebut, penggunaan utang justru akan menurunkan nilai perusahaan karena
kenaikan keuntungan dari penggunaan utang tidak sebanding dengan kenaikan
biaya kebangkrutan dan biaya keagenan.
Subalno (2009), dalam penelitiannya menemukan bahwa DER tidak
berpengaruh terhadap return saham. Hal ini disebabkan karena investor dalam
melakukan investasi tidak memandang penting penggunaan utang maupun
pengembalian bunga dan pokok utang yang pada akhirnya tidak mempengaruhi
persepsi investor terhadap keuntungan di masa yang akan datang.
3.2 Kerangka Konseptual
Berdasarkan kajian pustaka serta kerangka pikir, maka dirumuskan kerangka
konseptual sebagai berikut:
43
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual
3.3 Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka serta kerangka konseptual, dirumuskan hipotesa
sebagai berikut:
H1: Nilai tukar Rupiah per Dollar AS berpengaruh positif dan signifikan
terhadap risiko sistematis perusahaan multinasional di Bursa Efek
Indonesia.
H2: DER berpengaruh positif dan signifikan terhadap risiko sistematis
perusahaan multinasional di Bursa Efek Indonesia.
H1
H2
H4 RETURN SAHAM
PERUSAHAAN MULTINASIONAL
(MNC) (Y)
H3
RISIKO SISTEMATIS (β)
(X3)
H5
NILAI TUKAR RUPIAH PER DOLLAR AS
(X1)
DER (X2)
44
H3: Nilai tukar Rupiah per Dollar AS berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap return saham perusahaan multinasional di Bursa Efek
Indonesia.
H4: Risiko sistematis berpengaruh positif dan signifikan terhadap return
saham perusahaan multinasional di Bursa Efek Indonesia.
H5: DER berpengaruh negatif dan signifikan terhadap return saham
perusahaan multinasional di Bursa Efek Indonesia.
45
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kausalitas dengan menguji pengaruh nilai
tukar Rupiah per Dollar AS, DER terhadap risiko sistematis serta return saham
perusahaan multinasional di Bursa Efek Indonesia. Berdasarkan fenomena IHSG
yang semakin meningkat serta nilai DER yang besar pada periode Juli 2009- Juli
2010 di Bab I, maka penelitian ini menggunakan periode penelitian Juli 2009- juli
2010.
4.2 Variabel Penelitian
4.2.1 Identifikasi Variabel
Sebelum melakukan analisis data serta pengujian hipotesis, dilakukan
pengidentifikasian variabel-variabel dalam model penelitian. Berikut ini
merupakan variabel-variabel yang digunakan:
1) Variabel eksogen (exogenous variable) yang merupakan variabel yang
tidak dipengaruhi oleh variabel lain di dalam model. Variabel eksogen
dalam penelitian ini ialah Nilai tukar Rupiah per Dollar AS (X1) dan
DER (X2).
2) Variabel endogen (endogenous variable) yang merupakan variabel yang
dipengaruhi dan mempengaruhi variabel lain dalam model. Variabel
endogen meliputi variabel dependent endogenous dan variabel
intervening endogenous. Variabel dependent endogenous dalam
46
penelitian ini ialah return saham (Y). Variabel intervening endogenous
dalam penelitian ini ialah risiko sistematis (X3)
4.2.2 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Berikut ini merupakan definisi operasional dari variabel-variabel dalam
penelitian ini:
1) Return Saham yang meliputi return saham individual perusahaan.
Perhitungan return saham pada penelitian ini diukur dengan rumus:
Keterangan : Ri = Return saham Pt = Harga saham pada periode t Pt-1 = Harga saham pada periode t-1 Return saham dalam penelitian ini adalah return saham periode Juli
2009-Juli 2010 dengan satuan persen.
2) Nilai tukar Rupiah per Dollar amerika yang diukur dengan menggunakan
kurs tengah Dollar US terhadap Rupiah yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia setiap bulannya dalam satuan Rupiah periode Juli 2009-Juli
2010.
3) Risiko Sistematik yang ditunjukkan oleh beta. Variabel beta digunakan
untuk menggambarkan risiko sistematik yang dimasukkan dalam model
analisis. Semakin tinggi tingkat beta, maka semakin tinggi risiko
sistematik yang tidak dapat dikurangi dengan diversifikasi. Skala
pengukuran yang digunakan adalah skala rasio. Beta dapat dihitung
Keterangan: βi = Risiko sistematis = Sigma (Jumlah) X = Return Pasar X = Rata-rata Return Pasar Y = Return Saham Individual Y = Rata-rata Return Saham Individual n = Jumlah Periode Selain menggunakan rumus tersebut, beta juga dapat dihitung dengan
bantuan program Microsoft Office Excel, yaitu menggunakan perintah
SLOPE dengan memasukkan data return market dan return saham. Beta
juga dapat dihitung dengan bantuan program SPSS, dengan meregresi
data return market dan return saham, dimana return market dimasukkan
ke dalam dependent variable dan return saham dimasukkan ke dalam
independent variable.
4) DER (Debt to Equity Ratio) merupakan istilah yang sering digunakan
perusahaan untuk mengukur kemampuan perusahaan di dalam memenuhi
seluruh kewajiban finansialnya apabila perusahaan dilikuidasi, secara
umum DER dapat dihitung dengan membagi total utang dengan total
ekuitas. Rasio ini ditunjukkan dalam satuan persen. DER diukur dengan
rumus sebagai berikut:
..…………………(4.3)
DER = Total Utang
Total Ekuitas
∑
48
4.3 Prosedur Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data yang bersifat
kualitatif dan kuantitatif. Sugiyono (2008) mendefinisikan jenis data kuantitatif
adalah seluruh informasi yang dikumpulkan dari lapangan yang dapat dinyatakan
dalam angka-angka atau informasi yang diangkakan. Dalam penelitian ini, data
kuantitatif yang digunakan antara lain:
1) Data bulanan kurs nilai Rupiah terhadap Dollar AS dari Juli 2009 sampai
Juli 2010 dalam satuan Rupiah.
2) Data bulanan DER (Debt to Equity Ratio) Saham perusahaan multinasional
dari Juli 2009 sampai Juli 2010 dalam satuan persen.
3) Data bulanan harga penutupan (closing price) saham perusahaan
multinasional di Bursa Efek Indonesia periode Juli 2009 sampai Juli 2010
dalam satuan Rupiah.
4.4 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh saham perusahaan multinasional
di Bursa Efek Indonesia yang berjumlah 57 perusahaan yang secara terus menerus
disebarluaskan melalui media cetak maupun elektronik periode Juli 2009 - Juli
2010.
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu
pengambilan sampel berdasarkan kriteria tertentu.
Kriteria dalam pengambilan sampel dalam penelitian ini meliputi:
(1) Saham yang menjadi sampel merupakan saham perusahaan multinasional
yang perusahaan induknya (parent company) berada di Indonesia,
49
sedangkan perusahaan anaknya (subsidiary) berada di luar negeri pada
periode Juli 2009- Juli 2010.
(2) Saham yang menjadi sampel merupakan saham perusahaan yang aktif
melakukan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia periode Juli
2009- Juli 2010.
Berdasarkan kriteria pengambilan sampel tersebut, maka dari populasi saham
yang berjumlah 57 perusahaan, diambil sampel sebanyak 23 saham perusahaan
yang terdiri dari 13 saham sektor Basic Industry and Chemicals, 6 saham sektor
Finance, 4 saham Sektor Trade, Service & Investment di Bursa Efek Indonesia.
Saham-saham perusahaan yang menjadi sampel dapat dilihat pada Tabel 4.1:
Tabel 4.1 Daftar Saham Perusahaan Multinasional yang Menjadi Sampel Penelitian di
Bursa Efek Indonesia Periode Juli 2009- Juli 2010 No Nama Saham Kode 1 PT. Arwana Citramulia Tbk ARNA 2 PT. Asahimas Flat Glass Tbk AMFG 3 PT. Holcim Indonesia Tbk SMCB 4 PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk INTP 5 PT. Itamaraya Gold Industri Tbk ITMA 6 PT. JAPFA Tbk JPFA 7 PT. Jaya Pari Steel Tbk JPRS 8 PT. Lion Metal Works Tbk LION 9 PT. Keramika Indonesia Assosiasi Tbk KIAS
10 PT. Malindo Feedmill Tbk MAIN 11 PT. Tembaga Mulia Semanan Tbk TBMS 12 PT. Titan Kimia Nusantara Tbk FPNI 13 PT. Toba Pulp Lestari Tbk INRU 14 PT. Asuransi Bina Dana Arta Tbk ABDA 15 PT. Bank Nusantara Parahyangan Tbk BBNP 16 PT. Trimegah Securities Tbk TRIM 17 PT. Bank Ekonomi Raharja Tbk BAEK 18 PT. Bank Internasional Indonesia Tbk BNII 19 PT. BFI Finance Indonesia Tbk BFIN 20 PT. Asia Natural Resources Tbk ASIA 21 PT. Wicaksana Overseas International Tbk WICO 22 PT. Hexindo Adiperkasa Tbk HEXA 23 PT. Pioneerindo Gourmet International Tbk PTSP
Sumber: ICMD 2010
50
4.5 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini digunakan metode Path Analysis (analisis jalur) dalam
menganalisis datanya. Analisis jalur ialah suatu teknik untuk menganalisis
hubungan sebab akibat yang terjadi pada regresi berganda jika variabel bebasnya
mempengaruhi variabel tergantung tidak hanya secara langsung tetapi juga secara
tidak langsung. Metode analisis jalur digunakan untuk menguji dan menganalisis
hubungan kausal serta hubungan langsung atau tak langsung antara variabel
terikat dan bebas.
Solimun (2002), menyusun langkah-langkah dalam analisis jalur (Path
Analysis) sebagai berikut:
Langkah pertama ialah merancang model berdasarkan konsep dan teori.
Model tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan, sehingga membentuk
sistem persamaan.
Gambar 4.1 Gambar Hubungan Struktur X1, X2 terhadap X3 dan Y
Keterangan : Y = Return Saham X1 = Nilai Tukar Rupiah per Dollar AS
β3
β5
β4
ε2
β1
β2
ε1X1
X2
X3 Y
51
X2 = DER X3 = Risiko Sistematis β1 = Koefisien Jalur X1 terhadap X3 β2 = Koefisien Jalur X2 terhadap X3 β3 = Koefisien Jalur X1 terhadap Y β4 = Koefisien Jalur X3 terhadap Y β5 = Koefisien Jalur X2 terhadap Y ε1 & ε2 = Kesalahan Residual
Berdasarkan Gambar 4.1, dapat dirumuskan persamaan sebagai berikut:
Ali, I., Rehman, K. U., Yilmaz,a. K., Khan, M.a., danafsal, H. 2010. Causal Relationship between Macro-economic Indicators and Stock Exchange Prices in Pakistan, African Journal of Business Management 4. pp. 312-319.
Ang, R, 1997, Buku Pintar Pasar Modal Indonesia, Mediasoft, Jakarta.
Ardiana, Putu Agus. 2006. Pengaruh Faktor Makro Ekonomi dan Internal Perusahaan terhadap Risiko Sistematis Saham Emiten di Sektor Manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Tesis, Program Studi Magister Manajemen Universitas Udayana, dipublikasikan.
Auliyah, Robiatul dan Ardi Hamzah. 2006. Analisa Karakteristik Perusahaan, Industri dan Ekonomi Makro terhadap Return dan Beta Saham Syariah di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang. 23-26 Agustus 2006
Bailey, M.J. 1999. The Welfare Cost of Inflationary Finance. Journal of Political Economic 64. Hal. 93-110.
Bodie, Z., Kane, A., and Marcus, A. J. 2002. Essentials Investment. McGraw-Hill: New York.
Fabozzi, E.J.and Francis, J.C. 1996. Capital Markets and Institution and Instrument. Upper Saddle River New Jersey.
Gay, R. D. 2008. Effect of Macroeconomic Variables on Stock Market Returns for Four Emerging Economies: Brazil, Russia, India,and China. International Business & Economics Research Journal. March. Vol.7 No.3.
Gunsel, N. Cukur, S. 2007. The Effects of Macroeconomic Factors on the London Stock Returns: a Sectoral AppROAch. International Research Journal of Finance and Economics. ISSN 1450-2887. Issue 10 (2007).
Hanafi, Mamduh M. dan Halim, Abdul, 2000 Analisis Laporan Keuangan, Yogyakarta : UPPAMP YKPN.
Hardiningsih, Pancawati. Suryanto, Chariri, A, 2002, Pengaruh Faktor Fundamental dan Risiko Ekonomi terhadap Return Saham pada Perusahaan di Bursa Efek Jakarta: Studi Kasus Basic Industry & Chemical, Jurnal Strategi Bisnis, Vol, 8, Des. Tahun VI.
Haruman, Tendy. 2005. Pengaruh Faktor Fundamental, Indikator Ekonomi Makro, dan Risiko Sistematis terhadap Tingkat Pengembalian Saham di
88
PT. Bursa Efek Jakarta. Jurnal Ekonomi dan Manajemen. Volume 6, no. 3, Oktober 2005
Higgins, Robert C. 1990. Analysis for Financial Management, Illionis: Richard D Irwin, Inc
Husnan, Suad. 2000. Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas di Pasar Modal, UPP-AMP YKPN: Yogyakarta.
Jogiyanto. 2000. Teori Portofolio dan Analisis Investasi, BPFE, Yogyakarta
Juita, Dian Sukma dan Susi Retna C. 2007. Pengaruh Adanya Praktik Income Smoothing serta Tingkat Utang terhadap Return Saham Perusahaan-perusahaan Industri Barang Konsumsi dan Aneka Industri di Bursa Efek Jakarta Periode 2001 – 2006. Jurnal Riset Akuntansi. Volume 6, No. 1, Juni 2007.
Kapoor, Ajai K. dan Ralpha. Pope. 1997. The Relationship between Corporate Debt Issuance and Changes in Systematic Risk. Journal of Financial and Strategic Decisions. Volume 10 Number 3.
Koesno. 2002. Analisis dalam Pembelian Saham di Pasar Modal.
Kosim, Bellywati. 2006. Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Perubahan Harga Saham Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Jakarta. Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Palembang.
Madura, Jeff. 2006. International Corporate Finance Keuangan Perusahaan In-ternasional. Edisi8. Jakarta: Salemba Empat.
Maysami et al. (2004). Relationship between Macroeconomic Variables and Stock Market Indices: Cointegration Evidence from Stock Exchange of Singapore’s All-S Sector Indices. Jurnal Pengurusan. Vol: 24, Hal. 44-77.
Miller, K.D., dan Reuer, J.J. 1998. Firm Strategy and Economic Exposure of Foreign Exchange Movements. Journal of International Business Studies. Vol: 29, No.3, Hal. 493-513.
Nopirin, 1990, Ekonomi Moneter. BPFE, Yogyakarta.
Permana, Yogi. 2009. Pengaruh Fundamental Keuangan, Tingkat Bunga dan Tingkat Inflasi terhadap Pergerakan Harga Saham (studi kasus perusahaan semen yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia), Tesis, Program Studi Magister Manajemen Universitas Gunadarma dipublikasikan.
Prihantini, Ratna. 2009. Analisis Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar, ROA, DER, dan CR terhadap Return Saham, Tesis, Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro dipublikasikan.
89
Racelis, Aliza D. 2007. Capital Structure and Systematic Risk in the Philippine Setting. College of Business Administration University of the Philippines,Dillman,QuezonCity.(online),(http://www.upd.edu.ph/~cba/phd/docs/racelis2.pdf)
Ross, Stephena. 1976. The Arbitrage Theory of Capital Asset Pricing. Journal of Economic Theory, Vol. 13; pp. 341 – 360.
Salamah Nur. 2002. Perbandingan Kinerja Investasi dan Kinerja Keuangan Antara Perusahaan Multinasional dan Domestik, Tesis, Program Studi Ilmu Manajemen Universitas Indonesia dipublikasikan.
Sarwono, Jonathan. 2007. Analisis Jalur untuk Riset Bisnis dengan SPSS, Edisi Pertama. Yogyakarta : Andi
Sitinjak, Elyzabeth Lucky Maretha dan Widuri Kurniasari. 2003. Indikator-indikator Pasar Saham dan Pasar Uang yang Saling Berkaitan Ditijau dari Pasar Saham Sedang Bullish dan Bearish. Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen. Vol. 3 No. 3.
Sohail, Nadeem dan Zakir Hussain. 2009. Long-Runand Short-Run Relationship Between Macroeconomic Variablesand Stock Prices in Pakistan The Case of Lahore Stock Exchange. Pakistan Economicand Social Review, Vol. 47; no.2; pp. 183-198.
Solechan, Achmad.2010. Pengaruh Earning, manajemen Laba, IOS, Beta, Size dan Rasio Utang terhadap Return Saham pada Perusahaan yang Go Public di Bursa Efek Indonesia.
Solimun. 2002. Structural Equation Modelling (SEM) Lisrel dan Amos. Malang: Universitas Negeri Malang.
Suardani, Anak Agung Putri. 2008. Pengaruh Beberapa Variabel Ekonomi Makro terhadap Kinerja Keuangan dan Return Saham Perusahaan pada Industri Manufaktur di Pasar Modal Indonesia, Tesis, Program Studi Magister Manajemen Universitas Udayana, dipublikasikan.
Subalno. 2009. Analisis Pengaruh Faktor Fundamental dan Kondisi Ekonomi terhadap Return Saham., Tesis, Program Studi Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, dipublikasikan.
Sudiyatno, Bambang. 2010. Peran Kinerja Perusahaan Dalam Menentukan Pengaruh Faktor Fundamental Makroekonomi, Risiko Sistematis, dan Kebijakan Perusahaan Terhadap Nilai Perusahaan, Desertasi, Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro. dipublikasikan.
Sunyoto, Danang. 2009. Analisis Regresi dan Uji Hipotesis. Yogyakarta: MedPress.
Tandelilin, E.1997. Determinant of Systematic risk: Experience of some Indonesian Common Stock, Kelola, 16, IV: 101-115.
90
Tandelilin, Eduardus. 2010. Portofolio dan Investasi Teori dan Aplikasi, Edisi Pertama. Yogyakarta: Kanisius.
Theriou, Nikolaus, Dimitrios Maditinos, Vassilios Aggelidis dan Georgios Theriou. 2010. Testing the Relation between Beta and Returns in the Athens Stock Exchange: A Second Attempt. (online), (http://www.teikav.edu.gr/abd/articles_th/second_attempt.pdf)
Thobarry, A. 2009. Analisis Pengaruh Nilai Tukar, Suku Bunga, Laju Inflasi dan Pertumbuhan GDP terhadap Indeks Harga Saham Sektor Properti (Kajian Empiris pada Bursa Efek Indonesia Periode Pengamatan Tahun 2000-2008) , Tesis, Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro dipublikasikan.
Triayuningsih, Retno. 2003. Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Perusahaan dan Faktor Ekonomi Makro terhadap Return Saham Perusahaan Industri Manufaktur di BEJ Periode 1999-2001, Tesis, Program Magister Manajemen Universitas Diponegoro dipublikasikan.
Utomo, Denny Suryo. 2006. Pengaruh asset Growth, Debt to Equity Ratio, Return On Equity dan Earning Per Share terhadap Beta Saham pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta Periode 2002-2004. (online),(http://rac.uii.ac.id/server/document/Public/2008042510150900312041.pdf)
White et. al. 2003. Analysis on Financial Statementand Macro Economy.
www.bi.go.id
www.idx.co.id
Yulianti, Sri Handaru dan Prasetyo, Handoyo. 1998. Dasar-dasar Manajemen Keuangan Internasional. Andi. Yogyakarta. Edisi Pertama.
91
Lampiran 1
Daftar Saham Perusahaan Multinasional yang Menjadi Populasi Penelitian
No Nama Saham Perusahaan 1 ATPK Resouces Tbk 2 PT International Nickel Indonesia Tbk 3 PT Medco Energi International Tbk 4 PT Cita Mineral Investindo Tbk 5 PT Darma Henwa Tbk 6 PT Arwana Citramulia Tbk 7 PT Asahimas Flat Glass Tbk 8 PT Holcim Indonesia Tbk 9 PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk 10 PT Itamaraya Tbk 11 PT JAPFA Tbk 12 PT Jaya Pari Steel Tbk 13 PT Keramika Indonesia Assosiasi Tbk 14 PT Lion Metal Works Tbk 15 PT Malindo Feedmill Tbk 16 PT Tembaga Mulia Semanan Tbk 17 PT Titan Kimia Nusantara Tbk 18 PT Toba Pulp Lestari Tbk 19 PT Bentoel Internasional Investama Tbk 20 PT Delta Djakarta Tbk 21 PT Merck Tbk 22 PT Unilever Indonesia Tbk 23 PT Cahaya Kalbar Tbk 24 PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk 25 PT Multi Bintang Indonesia Tbk 26 PT Darya-Varia Laboratoria Tbk 27 PT Mandom Indonesia Tbk 28 PT Schering-Plough Indonesia Tbk 29 Asuransi Bina Dana Arta Tbk 30 PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk 31 PT Trimegah Securities Tbk 32 PT Bank Ekonomi Raharja Tbk 33 PT Bank Swadesi Tbk 34 PT Bank Internasional Indonesia Tbk 35 PT BFI Finance Indonesia Tbk
Sumber: Indonesian Capital Market Directory 2010
92
Lanjutan Lampiran 1
No Nama Saham Perusahaan 36 PT Rig Tenders Indonesia Tbk 37 PT Allbond Makmur Usaha Tbk 38 PT Goodyear Indonesia Tbk 39 PT Astra International Tbk 40 PT Gajah Tunggal Tbk 41 PT Sumi Indo Kabel Tbk 42 PT Voksel Electric Tbk 43 Sepatu Bata Tbk 44 PT Panasia Filament Inti Tbk 45 PT Century Textile Industry (CENTEX) Tbk 46 PT TIFICO Tbk 47 PT Eratex Djaja Tbk 48 PT Unitex Tbk 49 PT Bintang Mitra Semestaraya Tbk 50 PT Royal Oak Development Asia Tbk 51 PT Duta Anggada Realty Tbk 52 PT Suryamas Dutamakmur Tbk 53 PT Intiland Development Tbk 54 PT Asia Natural Resources Tbk 55 PT Wicaksana Overseas International Tbk 56 PT Hexindo Adiperkasa Tbk 57 PT Pioneerindo Gourmet International Tbk
Sumber: Indonesian Capital Market Directory 2010
93
Lampiran 2
Nilai Tukar Rupiah per Dollar AS Sampel Perusahaan Multinasional