HUBUNGAN SIKAP, NORMA SUBJEKTIF, PERSEPSI KONTROL PERILAKU DAN PENGETAHUAN TERHADAP INTENSI PELAPORAN KECELAKAAN KERJA PERAWAT RAWAT INAP TULIP DAN MELATI DI RUMAH SAKIT X KOTA BEKASI TAHUN 2016 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.K.M) Disusun Oleh : SEKAR WIGATI SUPRAPTO 1112101000062 PEMINATAN KELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H / 2017 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HUBUNGAN SIKAP, NORMA SUBJEKTIF, PERSEPSI KONTROL
PERILAKU DAN PENGETAHUAN TERHADAP INTENSI PELAPORAN
KECELAKAAN KERJA PERAWAT RAWAT INAP TULIP DAN MELATI
DI RUMAH SAKIT X KOTA BEKASI TAHUN 2016
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.K.M)
Disusun Oleh :
SEKAR WIGATI SUPRAPTO
1112101000062
PEMINATAN KELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H / 2017 M
i
ii
iii
iv
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Maret 2017
Sekar Wigati Suprapto, NIM: 1112101000062
Hubungan Sikap, Norma Subjektif, Persepsi kontrol perilaku, dan
Pengetahuan Terhadap Intensi Pelaporan Kecelakaan Kerja Perawat Rawat
Inap Tulip dan Melati Di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun 2016
(xxi + 120 halaman, 6 tabel, 3 bagan, 4 lampiran)
ABSTRAK
Pelaporan kecelakaan kerja merupakan upaya untuk mengetahui kejadian kecelakaan kerja beserta penyebabnya sehingga dapat digunakan untuk melakukan pencegahan kecelakaan berulang. Kecenderungan pekerja dalam melaporkan kecelakaan kerja masih rendah. Hal ini juga dijumpai di Rumah Sakit X Kota Bekasi tercatat hanya 2 dari 20 perawat yang melaporkan kecelakaan kerja yang dialami. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional bertujuan untuk mengetahui hubungan sikap, norma subjektif, persepsi kontrol perilaku, dan pengetahuan terhadap intensi pelaporan kecelakaan kerja. Sampel pada penelitian ini berjumlah 52 perawat di rawat inap tulip dan melati Rumah Sakit X Kota Bekasi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober – Desember 2016 dengan menggunakan instrumen kuesioner. Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 46,2% perawat memiliki intensi pelaporan kecelakaan kerja lemah dan diketahui bahwa variabel sikap, norma subjektif, persepsi kontrol perilaku, dan pengetahuan memiliki hubungan dengan intensi pelaporan kecelakaan kerja. Untuk meningkatkan intensi perawat, pihak rumah sakit sebaiknya melakukan evaluasi dan pengembangan prosedur pelaporan kecelakan kerja yang berlaku, serta memberikan sosialisasi dan pelatihan prosedur pelaporan kecelakaan kerja.
Kata Kunci : Intensi Pelaporan Kecelakaan Kerja, Sikap, Norma Subjektif,
Persepsi kontrol perilaku, Pengetahuan
Daftar Bacaan : 78 (1969 – 2015)
v
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTEMENT OF PUBLIC HEALTH
OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH CONCENTRATION
Undergraduate Thesis, March 2017
Sekar Wigati Suprapto, ID Number: 1112101000062
The Associations of Attitude, Subjective Norm, Perceived Behavioral Control
and Knowledge toward Nurses Work Accident Report Intention in Inpatient
Rooms Tulip and Melati X Hospital Bekasi City Year 2016
dan terkena percikan cairan tubuh pasien adalah kejadian kecelakaan yang sering
terjadi pada perawat. Namun, berdasarkan data dari latar belakang diketahui
intensi pelaporan kecelakaan kerja pada perawat di Indonesia masih rendah. Di
ruang rawat inap tulip Rumah Sakit X Kota Bekasi diketahui dari 9 orang yang
pernah mengalami kecelakaan kerja baik tertusuk jarum suntik, terluka saat
mengampul obat maupun terkena percikan cairan tubuh pasien, 8 orang tidak
melaporkan kejadian kecelakaan kepada manajemen dan di ruang rawat inap
melati Rumah Sakit X Kota Bekasi diketahui dari 11 orang yang pernah
mengalami kecelakaan kerja baik tertusuk jarum suntik, terluka saat mengampul
obat maupun terkena percikan cairan tubuh pasien, 10 orang tidak melaporkan
kejadian kecelakaan kepada manajemen.
Masih sedikitnya perawat yang melaporkan kecelakaan kerja yang dialami
karena tidak mengetahui jenis kecelakaan kerja yang harus dilaporkan,
menganggap luka kecil/ringan, menganggap sebagai sesuatu hal yang biasa dan
luka tidak terasa perih/sakit diduga menjadi alasan perawat tidak melaporkan.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait hubungan
sikap, norma subjektif, persepsi kontrol perilaku, dan pengetahuan terhadap
8
intensi pelaporan kecelakaan kerja perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah
Sakit X Kota Bekasi Tahun 2016.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran intensi pelaporan kecelakaan kerja perawat rawat inap
tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun 2016 ?
2. Bagaimana gambaran sikap pelaporan kecelakaan kerja perawat rawat inap
tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun 2016 ?
3. Bagaimana gambaran norma subjektif pelaporan kecelakaan kerja perawat
rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun 2016 ?
4. Bagaimana gambaran persepsi kontrol perilaku pelaporan kecelakaan kerja
perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun
2016 ?
5. Bagaimana gambaran pengetahuan pelaporan kecelakaan kerja perawat
rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun 2016 ?
6. Apakah ada hubungan sikap dengan intensi pelaporan kecelakaan kerja
perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun
2016 ?
7. Apakah ada hubungan norma subjektif dengan intensi pelaporan kecelakaan
kerja perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi
Tahun 2016 ?
8. Apakah ada hubungan persepsi kontrol perilaku dengan intensi pelaporan
kecelakaan kerja perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X
Kota Bekasi Tahun 2016 ?
9
9. Apakah ada hubungan pengetahuan dengan intensi pelaporan kecelakaan
kerja perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi
Tahun 2016 ?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan sikap, norma subjektif, persepsi kontrol perilaku,
dan pengetahuan terhadap intensi pelaporan kecelakaan kerja perawat rawat inap
tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun 2016.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran intensi pelaporan kecelakaan kerja perawat rawat
inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun 2016.
2. Diketahuinya gambaran sikap pelaporan kecelakaan kerja perawat rawat
inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun 2016.
3. Diketahuinya gambaran norma subjektif pelaporan kecelakaan kerja
perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun
2016.
4. Diketahuinya gambaran persepsi kontrol perilaku pelaporan kecelakaan
kerja perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi
Tahun 2016.
5. Diketahuinya gambaran pengetahuan pelaporan kecelakaan kerja perawat
rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun 2016.
10
6. Diketahuinya hubungan sikap dengan intensi pelaporan kecelakaan kerja
perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun
2016.
7. Diketahuinya hubungan norma subjektif dengan intensi pelaporan
kecelakaan kerja perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X
Kota Bekasi Tahun 2016.
8. Diketahuinya hubungan persepsi kontrol perilaku dengan intensi pelaporan
kecelakaan kerja perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X
Kota Bekasi Tahun 2016.
9. Diketahuinya hubungan pengetahuan dengan intensi pelaporan kecelakaan
kerja perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi
Tahun 2016.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat bagi Rumah Sakit X Kota Bekasi
1. Dapat dijadikan bahan masukan terkait pelaksanaan pelaporan kecelakaan
kerja.
2. Dapat dijadikan bahan masukan untuk evaluasi pelaksanaan pelaporan
kecelakaan kerja.
3. Dapat dijadikan bahan masukan untuk perencanaan dalam peningkatan
pelaksanaan pelaporan kecelakaan kerja.
11
1.5.2 Manfaat bagi Perawat Rumah Sakit X Kota Bekasi
1. Sebagai masukan dalam pencegahan terjadinya kecelakaan kerja berulang.
2. Sebagai masukan dalam meningkatkan kesadaran pelaporan kecelakaan
kerja.
3. Sebagai masukan dalam meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja.
1.5.3 Manfaat bagi Peneliti Selanjutnya
1. Sebagai data dasar untuk referensi penelitian selanjutnya yang berkaitan
dengan pelaporan kecelakaan kerja.
2. Sebagai bahan perbandingan dalam melakukan penelitian yang terkait
dengan intensi pelaporan kecelakaan kerja.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi peminatan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) program studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta untuk mengetahui determinan intensi pelaporan kecelakaan
kerja perawat rawat inap tulip dan melati Rumah Sakit X Kota Bekasi. Penelitian
ini merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif analitik cross
sectional yang bertujuan untuk menggambarkan variabel-variabel penelitian dan
melihat hubungan variabel dependen dan variabel independen dalam penelitian.
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Penelitian ini akan
dilaksanakan di Rumah Sakit X Kota Bekasi pada bulan Oktober – Desember
2016.
12
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Intensi
Intensi merupakan prediktor utama dalam menentukan perilaku. Intensi
adalah jembatan antara sikap, norma subjektif dan kontrol perilaku terhadap
perilaku sebenarnya. Menurut Ajzen (2005) intensi merupakan indikai seberapa
keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk
menampilkan suatu perilaku. Menurut Schiffman dan Kanuk (2007) intensi adalah
hal yang berkaitan dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu
tindakan atau berperilaku tertentu. Hal ini diperjelas oleh Warshaw dan Davis
(dalam Landry, 2003) yang menyatakan bahwa intensi adalah tingkatan dimana
seseorang memformulasikan rencana untuk menunjukkan suatu tujuan masa
depan yang spesifik atau tidak, secara sadar. Berdasarkan beberapa pegertian
intensi diatas, dapat disimpulkan bahwa intensi adalah kecenderungan seseorang
untuk melakukan suatu perilaku atas dasar kepercayaan dan keyakinan terhadap
suatu hal maupun kemampuan diri sendiri.
2.1.1 Teori Intensi
A. Teori Reasoned Action
Menurut teori Reasoned Action (Ajzen dan Fishbein, 1969), pembentukan
intensi merupakan fungsi dari dua determinan yang menjadi prediktor penentu
dalam memunculkan intensi berperilaku, yaitu determinan pertama adalah faktor
yang bersifat pribadi dan determinan kedua adalah faktor yang bersifat sosial.
Faktor yang bersifat pribadi yaitu sikap terhadap perilaku tertentu yang
13
merupakan sikap terhadap keyakinan-keyakinan dan evaluasi positif atau negatif
individu terhadap perilaku yang diminati atau yang akan dipilih untuk
ditampilkan. Faktor yang bersifat sosial yaitu norma subjektif yang merupakan
persepsi seseorang terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perilaku (Rosdiana, 2011).
Teori Reasoned Action merupakan model yang memfokuskan pada
variabel-variabel sosial-kognitif sebagai determinan-determinan perilaku
kesehatan. Teori ini menegaskan peran dari “niat” seseorang dalam menentukan
apakah sebuah perilaku akan terjadi. Perilaku mengikuti niat dan tidak akan
terjadi perilaku tanpa adanya niat. Teori Reasoned Action merupakan teori yang
menghubungkan keyakinan (belief), sikap (attitude), kehendak (intension) dan
perilaku (behavior) (Taylor, 1999).
B. Teori Planned Behavior
Teori tindakan yang direncanakam (Theory of Planned Behavior)
mengemukakan bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh tiga macam faktor,
yaitu keyakinan berperilaku, keyakinan tentang harapan normatif dari orang lain,
dan keyakinan persepsi untuk berperilaku dengan yang memfasilitasi atau
menghambat perilaku (Ajzen, 2005). Berdasarkan perspektif tersebut, maka
keyakinan perilaku menimbulkan sikap positif atau negatif terhadap perilaku
tertentu, keyakinan normatif mengakibatkan terbentuknya persepsi adanya
tekanan sosial untuk melakukan tindakan atau norma subjektif dan persepsi atas
persepsi kontrol perilaku. Kombinasi dari sikap terhadap perilaku, norma
subjektif, dan persepsi kontrol perilaku mengakibatkan terbentuknya intensi
14
perilaku. Sebagai suatu kaidah umum bahwa sikap yang positif disertai dengan
norma subjektif yang sesuai dan dengan adanya persepsi kontrol perilaku yang
memadai, maka akan menyebabkan kuatnya intensi untuk berperilaku tertentu.
(Machrus dan Purwono, 2010)
Intensi merupakan penentu terpenting dalam perilaku seseorang. Intensi
merupakan indikasi kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu perilaku
dan menjadi anteseden langsung dari perilaku tersebut (Ajzen, 2005). Intensi
merupakan aspek motivasional individu yang mempengaruhi terlaksananya suatu
perilaku. Intensi adalah indikasi mengenai besarnya usaha yang dikeluarkan
individu untuk melakukan suatu perilaku (Ayuningtyas dan Santoso, 2007).
Dalam teori Planned Behavior, ada tiga faktor yang saling berkaitan dalam
membentuk intensi individu untuk bertingkah laku, yaitu sikap (Fishbein & Ajzen,
1980), norma subjektif (Fishbein & Ajzen, 1980), serta perceived behavior
control (Ajzen, 2005). Ketiga faktor ini akan dipengaruhi oleh belief masing-
masing individu. Belief merujuk kepada semua informasi yang dimiliki individu
mengenai suatu objek, yang dalam hal ini adalah suatu perilaku (Fishbein &
Ajzen, 1980). Dalam intensi untuk melakukan tingkah laku, belief berperan
sebagai pembentuk sikap, norma subjektif dan persepsi kontrol perilaku. Fishbein
& Ajzen (1980) mengatakan bahwa individu akan melakukan suatu perilaku jika
ia memiliki intensi untuk melakukan perilaku tersebut.
15
Teori Planned Behavior dapat digambarkan sebagai berikut.
Intensi dapat berubah karena waktu. Intensi individu untuk menampilkan
suatu perilaku tergantung pada hasil pengukuran sikap dan norma subjektif. Hasil
yang positif mengindikasikan intensi berperilaku. Intensi adalah informasi yang
penting mengenai kecenderungan bahwa menampilkan suatu perilaku tertentu
akan mengarahkan pada suatu hasil yang spesifik. Jika keinginan untuk
bertingkah laku dikatakan sebagai tujuan (goal), maka intensi dianggap sebagai
rencana untuk mencapai tujuan, yaitu melakukan suatu tingkah laku (Ajzen,
2005). Namun memiliki intensi tidak menjamin tujuan akan tercapai (Heckhausen
dan Gollwitzer dalam Gillholm, Erdeus & Garling, 1996).
Neal dan Griffin (2002) berpendapat bahwa hanya ada tiga faktor yang
menentukan perbedaan individu dalam berperilaku yaitu pengetahuan,
kemampuan, dan motivasi. Jika seseorang tidak memiliki cukup motivasi untuk
patuh terhadap peraturan keselamatan atau terlibat dalam aktivitas keselamatan,
Bagan 2.1 Theory Planned Behavior
16
maka dia tidak akan memilih untuk melakukan tindakan tersebut. Jika seseorang
tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk patuh dengan
peraturan keselamatan dan terlibat dalam aktivitas keselamatan, maka dia tidak
akan mampu bertindak atau beniat untuk mematuhi prosedur keselamatan.
Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan merupakan dasar dalam mengerjakan
sesuatu atau bertindak. Jika pekerja memiliki pengetahuan dan sikap terhadap
iklim keselamatan pada lingkungan kerja, maka pekerja tersebut akan berniat
untuk mematuhi kebijakan prosedur keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan.
2.1.2 Aspek-Aspek Intensi
Intensi memiliki 4 aspek yang mendasarinya yaitu target, action, context,
dan time (Surbakti, 2015). Target merupakan sasaran yang ingin dicapai jika
menampilkan suatu perilaku. Misalnya, perilaku melaporkan kecelakaan kerja
untuk tercatatnya kejadian kecelakaan kerja dan pencegahan terjadinya
kecelakaan berulang. Action yang merupakan suatu tindakan yang mengiringi
munculnya perilaku. Misalnya menghubungi bagian K3L untuk melaporkan
kecelakaan kerja yang dialami. Context mengacu pada situasi yang akan
memunculkan perilaku. Misalnya, terdapat prosedur yang mengatur alur
pelaporan kecelakaan kerja. Dan yang terakhir adalah time yaitu waktu munculnya
perilaku. Misalnya, menghubungi bagian K3L saat mengalami kecelakaan kerja.
2.1.3 Pengukuran Intensi
Intensi dapat diukur secara langsung dengan menanyakan subjek untuk
mengindikasikan apakah ia akan menampilkan perilaku yang positif atau negatif
terhadap objek sikap tertentu, situasi dan waktu dimana perilaku tersebut
17
diwujudkan (Ajzen, 2005). Beberapa cara yang digunakan untuk mengukur
intensi seperti terlihat pada contoh berikut “Saya berniat untuk datang tepat waktu
di kantor, untuk kedisiplinan dalam memenuhi aturan kerja”, “Saya akan mencoba
untuk datang tepat waktu di kantor, untuk kedisiplinan dalam memenuhi aturan
kerja”, atau “Saya merencanakan (plan), untuk datang tepat waktu di kantor,
untuk kedisiplinan dalam memenuhi aturan kerja”. Dari contoh di atas
menunjukkan bahwa pengukuran intensi hendaknya berisikan niat melakukan,
usaha mencoba, dan merencanakan suatu tindakan yang bertujuan (Machrus dan
Purwono, 2010).
Dari hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa intensi, sikap, norma
subjektif, dan persepsi kontrol perilaku memiliki prediksi yang akurat, terkait
dengan perilaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari intensi, sikap,
norma subjektif, persepsi atas persepsi kontrol perilaku akan dapat
berpengaruh/ada hubungan dengan perilaku (Ajzen, 2005).
2.2 Determinan Intensi
2.2.1 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2012). Newcomb, salah seorang
ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu
sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Fitriani, 2011).
18
Sikap (attitude) adalah istilah yang mencerminkan rasa senang, tidak
senang atau perasaan biasa-biasa saja (netral) dari seseorang terhadap sesuatu.
“Sesuatu” itu bisa benda, kejadian, situasi, orang-orang atau kelompok. Kalau
yang timbul terhadap sesuatu itu adalah perasaan senang, maka disebut sikap
positif, sedangkan kalau perasaan tidak senang, disebut sikap negatif. Kalau tidak
timbul perasaan apa-apa berarti sikapnya netral (Sarwono, 2012).
Sikap dinyatakan dalam tiga domain ABC yaitu Affect, Behavior, dan
Cognition. Affect adalah perasaan yang timbul (senang, tidak senang), behavior
adalah perilaku yang mengikuti perasaan itu (mendekat, menghindar), dan
cognition adalah penilaian terhadap objek sikap (bagus, tidak bagus) (Sarwono,
2012).
Sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai
objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan
memberikan dasar pada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku
dalam cara tertentu yang dipilihnya (Walgito, 2010). Dengan kata lain bahwa
sikap itu belum merupakan tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan suatu
kecenderungan (predisposisi) untuk bertindak terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut (Sunaryo, 2014).
Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, akan tetapi harus
ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang masih tertutup. Secara
operasional pengertian sikap menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap kategori stimulus tertentu dan dalam penggunaan praktis sikap sering
kali dihadapkan dengan rangsangan sosial dan reaksi yang bersifat emosional.
19
Sikap merupakan kesiapan atau kecenderungan seseorang untuk bertindak secara
tertentu, bersifat relatif menetap dan tidak berubah yang menggambarkan rasa
suka atau tidak suka terhadap suatu objek, diperoleh dari hasil belajar atau
pengalaman sendiri maupun orang lain.
Ciri-ciri sikap sebagaimana dikemukakan oleh para ahli, seperti Gerungan
(2009), Ahmadi (2009), Sarwono (2012), Walgito (2010), pada intinya sama,
yaitu :
a. Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk berdasarkan
pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan individu dalam
hubungan dengan objek.
b. Sikap dapat berubah-ubah dalam situasi yang memenuhi syarat untuk itu
sehingga dapat dipelajari.
c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan dengan objek sikap.
d. Sikap dapat tertuju pada satu objek ataupun dapat tertuju pada
sekumpulan/banyak objek.
e. Sikap dapat berlangsung lama atau sebentar.
f. Sikap mengandung faktor perasaan dan motivasi sehingga membedakan
dengan pengetahuan.
Allport dalam Notoatmodjo (2012) menyatakan bahwa sikap mempunyai 3
komponen pokok yaitu :
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
20
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini pengetahuan, berpikir, keyakinan,
dan emosi memegang peranan penting.
Sikap merupakan suatu pandangan, tetapi dalam hal itu masih berbeda
dengan suatu pengetahuan yang dimiliki orang. Pengetahuan mengenai suatu
objek tidak sama dengan sikap terhadap objek itu. Pengetahuan mengenai suatu
objek baru menjadi sikap apabila pengetahuan itu disertai kesiapan untuk
bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap objek itu (Mastini, 2013).
Hasil penelitian Arum dkk (2010) menyatakan bahwa variabel sikap secara
signifikan memprediksi niat seseorang. Hasil penelitian Cheng dkk (2011)
menunjukkan bahwa sikap secara positif mempengaruhi niat berperilaku. Hasil
penelitian Hartoni dan Riana (2015) menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif
dan signifikan antara sikap pekerja proyek kontruksi terhadap intention to comply
pada kebijakan K3L yang diterapkan oleh pihak manajemen konstruksi HK pada
proyek watermark hotel, berupa patuh pada penggunaan APD.
A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Pembentukan sikap tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses
tertentu, melalui kontak sosial terus menerus antara individu dengan individu-
individu lain di sekitarnya. Dalam hal ini Azwar (2011) menjelaskan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi sikap adalah:
1. Faktor Internal
Faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan, seperti
selektifitas rangsangan dari luar yang dapat ditangkap melalui persepsi. Ada
21
proses-proses memilih rangsangan, rangsangan mana yang akan didekati dan
rangsangan mana yang harus dijauhi. Pilihan ini ditentukan oleh motif-motif
dan kecenderungan yang berasal dari diri seseorang. Bila mempunyai
kecenderungan memilih maka akan terbentuk sikap positif atau terbentuk
sikap negatif bila kecenderungan itu menolak.
2. Faktor Eksternal
Faktor-faktor yang menentukan seseorang untuk bersikap, terdiri dari:
a) Sifat objek yang dijadikan sasaran.
b) Kewajiban orang yang mengemukakan suatu sikap.
c) Sifat-sifat orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut.
d) Media komunikasi yang di gunakan dalam menyampaikan situasi pada
saat sikap itu terbentuk.
Menurut Walgito (2010) ada 4 hal penting yang menjadi determinan
(faktor penentu) sikap individu, yaitu:
1. Faktor fisiologis
Faktor yang penting adalah umur dan kesehatan, yang menentukan sikap
individu.
2. Faktor pengalaman langsung terhadap objek sikap
Pengalaman langsung yang dialami individu terhadap objek sikap,
berpengaruh terhadap sikap individu terhadap objek sikap tersebut.
3. Faktor kerangka acuan
Kerangka acuan yang tidak sesuai dengan objek sikap, akan menimbulkan
sikap yang negatif terhadap objek sikap tersebut.
22
4. Faktor komunikasi sosial
Informasi yang diterima individu akan dapat menyebabkan perubahan
sikap pada diri individu tersebut.
B. Pengukuran Sikap
Menurut beberapa ahli, sikap dapat diukur dengan menggunakan suatu alat
yang dinamakan skala sikap. Di antara banyak skala sikap yang dikenal yang
cukup banyak digunakan, yaitu skala sikap dari R. Likert (1932). Skala likert
adalah skala yang dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang suatu gejala. Ada dua bentuk
pernyataan yang menggunakan skala likert yaitu bentuk pernyataan positif untuk
mengukur sikap positif, dan bentuk pernyataan negatif untuk mengukur sikap
negatif. Pernyataan positif diberi skor 5,4,3,2, dan 1, sedangkan untuk pernyataan
negatif diberi skor 1,2,3,4, dan 5. Bentuk jawaban skala likert ialah sangat setuju,
setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
2.2.2 Norma Subjektif
Norma subjektif diasumsikan sebagai suatu fungsi dari kepercayaan atau
keyakinan yang secara spesifik seseorang setuju atau tidak setuju untuk
menampilkan suatu perilaku. Kepercayaan-kepercayaan yang termasuk dalam
norma-norma subjektif disebut juga kepercayaan normatif. Seorang individu akan
berniat menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia mempersepsi bahwa orang-
orang lain yang penting berpikir bahwa ia seharusnya melalukan hal itu. Orang
lain yang penting tersebut bisa pasangan, sahabat, dokter dsb. Hal ini diketahui
dengan cara menanyai responden untuk menilai apakah orang-orang lain yang
23
penting tadi cenderung akan setuju atau tidak setuju jika ia menampilkan perilaku
yang dimaksud (Achmat, 2010).
Hasil penelitian Arismunandar (2011) menunjukkan bahwa semakin
meningkat norma-norma subjektif, maka akan semakin meningkatkan niat pekerja
untuk berperilaku. Hasil penelitian Cheng dkk (2011) menunjukkan bahwa norma
subjektif adalah pengaruh paling kuat terhadap terbentuknya niat-niat dari seorang
individu. Hasil penelitian Andika dan Madjid (2012) menunjukkan bahwa sikap,
norma subjektif secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap niat
berperilaku. Hasil penelitian Triastity dkk (2013) menunjukkan bahwa niat-niat
dipengaruhi secara signifikan oleh sikap individu dan norma subjektif. Hasil
penelitian Hartoni dan Riana (2015) menyatakan bahwa norma subjektif
berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat untuk patuh pada objek kebijakan
K3L, berupa penggunaan APD. Semakin tinggi dorongan pihak manajemen untuk
mengharuskan pekerja menggunakan APD, maka pekerja akan semakin berniat
patuh dalam melaksanakan kebijakan K3L berupa penggunaan APD. Semakin
baik keyakinan pekerja dalam menggunakan APD, agar terhindar dari kecelakaan,
maka pekerja proyek akan semakin berniat patuh pada kebijakan K3L dalam
penggunaan APD, di proyek watermark hotel Jimbaran ini.
A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Norma Subjektif
Dalam Theory of Planned Behavior Ajzen (2005), norma subjektif
ditentukan oleh adanya keyakinan normatif dan keinginan untuk mengikutinya.
Adapun yang dimaksud dengan keyakinan normatif yaitu keyakinan seseorang
bahwa individu atau kelompok tertentu setuju atau tidak setuju bila dia melakukan
24
tingkah laku tersebut. Individu dan kelompok tertentu ini disebut juga referent.
Referent adalah orang atau kelompok sosial yang berpengaruh bagi individu, baik
itu orangtua, pasangan (suami/istri), teman dekat, rekan kerja atau yang lain,
tergantung pada tingkah laku yang dimaksud. Norma subjektif tidak hanya
ditentukan oleh adanya keyakinan normatif yang dipengaruhi orang yang
dianggap penting tetapi juga kekuatan yang dimiliki orang yang dianggap penting
tersebut terhadap individu dan seberapa jauh individu akan mengikuti pendapat
orang yang dianggap penting tersebut.
B. Pengukuran Norma Subjektif
Norma subjektif dapat diukur secara langsung dengan meminta responden
untuk mengukur bagaimana kebanyakan orang yang penting bagi mereka akan
setuju terhadap perilaku yang dilakukan. Beberapa pertanyaan yang dapat
dirumuskan, untuk mendapatkan pengukuran norma subjektif. Ilustrasinya adalah
sebagai berikut “Kebanyakan orang yang penting bagi saya, berpikir bahwa saya
sebaiknya datang tepat waktu di kantor, untuk kedisiplinan dalam memenuhi
aturan kerja” atau “Saya menyetujui bahwa orang (penting) dalam hidup saya
mempunyai pendapat, bahwa saya lebih bernilai jika datang tepat waktu di kantor,
untuk kedisiplinan dalam memenuhi aturan kerja” (Machrus dan Purwono, 2010).
2.2.3 Persepsi kontrol perilaku
Persepsi merupakan proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian
objektif dengan bantuan indera (Chaplin, 2002). Persepsi kontrol perilaku adalah
persepsi mengenai kemudahan atau kesulitan dalam melakukan perilaku dan
diasumsikan merefleksikan pengalaman di masa lalu dan antisipasi mengenai
25
halangan (Ajzen, 2005). Persepsi kontrol perilaku adalah fungsi dari control
beliefs, yaitu beliefs mengenai faktor-faktor yang mempermudah atau
mempersulit dilaksanakannya suatu perilaku dan persepsi mengenai kekuatan
faktor-faktor tersebut.
Persepsi kontrol perilaku ditentukan oleh dua faktor yaitu control beliefs
(kepercayaan mengenai kemampuan dalam mengendalikan) dan perceived power
(persepsi mengenai kekuatan yang dimiliki untuk melakukan suatu perilaku).
Persepsi kontrol perilaku mengindikasikan bahwa motivasi seseorang dipengaruhi
oleh bagaimana ia mempersepsi tingkat kesulitan atau kemudahan untuk
berperilaku tertentu. Jika seseorang memiliki control beliefs yang kuat mengenai
faktor-faktor yang ada akan memfasilitasi suatu perilaku, maka seseorang tersebut
memiliki persepsi yang tinggi untuk mampu mengendalikan suatu perilaku.
Sebaliknya, seseorang tersebut akan memiliki persepsi yang rendah dalam
mengendalikan suatu perilaku jika ia memiliki control beliefs yang lemah
mengenai faktor-faktor yang menghambat perilaku. Persepsi ini dapat
mencerminkan pengalaman masa lalu, antisipasi terhadap situasi yang akan
datang, dan sikap terhadap norma-norma yang berpengaruh disekitar individu
(Achmat, 2010).
Persepsi kontrol perilaku menunjukkan suatu derajat dimana seorang
individu merasa bahwa tampil atau tidaknya suatu perilaku yang dimaksud adalah
di bawah pengendaliannya. Orang cenderung tidak akan membentuk suatu intensi
yang kuat untuk menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia tidak percaya bahwa
ia memiliki sumber atau kesempatan untuk melakukannya meskipun ia memiliki
26
sikap yang positif dan ia percaya bahwa orang-orang lain yang penting baginya
akan menyetujuinya. Persepsi kontrol perilaku dapat mempengaruhi perilaku
secara langsung atau tidak langsung melalui intensi (Achmat, 2010).
Hasil penelitian Ajzen (2002) dan Andreanto (2013) menyatakan bahwa
persepsi kontrol perilaku yang dirasakan memiliki implikasi motivasional pada
niat. Individu yang percaya bahwa dirinya tidak memiliki sumber daya untuk
melaksanakan perilaku tertentu, cenderung tidak membentuk intensi yang kuat
untuk melaksanakannya, walaupun individu tersebut memiliki sikap yang
menyenangkan terhadap perilaku tersebut. Hasil penelitian Arum dkk (2010)
menyatakan bahwa persepsi kontrol perilaku yang dirasakan, secara signifikan
memprediksi intensi. Menurut Huda dkk (2012), persepsi kontrol perilaku
memiliki sebuah pengaruh yang positif dan signifikan terhadap variabel intensi.
Hasil penelitian Abadi dkk (2012) menunjukkan bahwa intensi secara positif
sangat dipengaruhi oleh persepsi kontrol perilaku yang dirasakan oleh individu
tersebut.
Hasil penelitian Hartoni dan Riana (2015) menyatakan bahwa persepsi
kontrol perilaku berpengaruh positif dan signifikan terhadap intention of comply.
Persepsi kontrol perilaku yang mengacu pada persepsi individu pekerja proyek
konstruksi terhadap kemudahan atau kesulitan dalam melaksanakan kebijakan
prosedur K3L, seperti kemampuan pekerja menggunakan APD dan adanya
ketersediaan fasilitas APD bagi pekerja. Semakin pekerja merasa mampu untuk
menggunakan APD, maka pekerja tersebut akan semakin berniat untuk patuh
dalam menggunakan APD di proyek tersebut. Semakin meningkat atau cukup
27
ketersediaan fasilitas APD di proyek tersebut, maka pekerja akan semakin berniat
untuk patuh dalam menggunakan APD.
A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi kontrol perilaku (Persepsi
kontrol perilaku)
Persepsi kontrol perilaku dibentuk oleh dua aspek, yaitu : keyakinan
individu tentang kehadiran kontrol yang berfungsi sebagai pendukung atau
penghambat individu dalam bertingkah laku dan persepsi individu terhadap
seberapa kuat kontrol tersebut untuk mempengaruhi dirinya dalam bertingkah
laku, apakah kontrol tersebut dapat memfasilitasi atau menghalangi timbulnya
perilaku (Surbakti, 2015). Persepsi kontrol perilaku biasanya juga dipengaruhi
oleh informasi dari orang kedua tentang perilaku, dengan mengobservasi
pengalaman dari rekan-rekan dan teman, serta faktor lainnya yang meningkatkan
atau menurunkan persepsi tentang kesulitan dalam perwujudan perilaku tertentu.
Semakin banyak sumber yang dibutuhkan dan kesempatan yang ia miliki, dan
lebih sedikit penghalang atau penghambat yang mereka antisipasi, semakin baik
perceived behavioral control (Rosdiana, 2011).
B. Pengukuran Persepsi kontrol perilaku (Persepsi kontrol perilaku)
Menurut Ajzen (2005), persepsi kontrol perilaku dapat diukur melalui dua
cara, yaitu dengan mengukur keyakinan-keyakinan individu tentang kemampuan
dan kesempatan yang dimiliki untuk menampilkan tingkah laku tertentu. Cara
kedua adalah dengan mengukur secara langsung kontrol yang dimiliki individu
dalam menampilkan tingkah laku tertentu. Untuk mengetahui pengaruh persepsi
kontrol perilaku terhadap tingkah laku secara tidak langsung, yaitu melalui
28
intensi, maka yang akan digunakan adalah pengukuran dengan cara pertama
melalui keyakinan-keyakinan individu tentang faktor-faktor yang menghambat
dan mendorong untuk melakukan tingkah laku. Pengukuran langsung persepsi
kontrol perilaku dapat dilakukan dengan cara lain, yaitu menanyakan responden
apakah mereka yakin bahwa mereka sanggup untuk mewujudkan perilaku yang
diminatinya.
Pengukuran persepsi kontrol perilaku harus dapat menangkap kepercayaan
orang/subjek penelitian, bahwa ia mampu melakukan suatu tindakan tertentu
disebabkan memiliki faktor internal dan eksternal yang memadai. Beberapa cara
memang disadari dibuat atau dikerjakan dengan cukup sulit, yaitu untuk dapat
mencerminkan bahwa subjek mampu atau dapat melakukan tindakan. Cara
semacam ini diharapkan dapat menangkap persepsi responden tentang
kemampuannya melakukan suatu tindakan (Machrus dan Purwono, 2010). Dalam
hal ini Ajzen menyatakan responden meyakini bahwa ia memiliki kemampuan
untuk melakukan tindak tertentu (Ajzen, 2005). Contoh pernyataan sebagai
berikut “Bagi saya datang tepat waktu di kantor, untuk kedisiplinan dalam
memenuhi aturan kerja, dalam satu bulan, adalah tidak mungkin” atau “Jika saya
mau, saya dapat datang tepat waktu di kantor, untuk kedisiplinan dalam
memenuhi aturan kerja tiap hari dalam satu bulan”.
Sangat mungkin atau tidak mungkin bagi subjek, untuk melakukan
tindakan tertentu (terkait dengan personal resources and environment). Sangat
benar, jika subjek mau, subjek dapat melakukan tindakan tertentu (terkait
personal resources and environment). Cara yang lain berisikan kemampuan
29
kontrol perilaku yaitu kemampuan mengontrol perilaku atau mengendalikan
perilaku untuk mencapai tujuan. Seberapa besar kontrol/pengendalian diri, agar
perilaku terfokus pada perilaku tertentu, seberapa tinggi pengendalian diri, agar
suatu perilaku tertentu tidak terlewatkan, dan subjek dapat melakukan tindakan
(Machrus dan Purwono, 2010).
2.2.4 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu terutama melalui mata dan
telinga. Bila seseorang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai suatu
bidang tertentu dengan lancar, baik secara lisan maupun tertulis maka dapat
dikatakan mengetahui bidang tersebut. Sekumpulan jawaban verbal yang
diberikan orang tersebut dinamakan pengetahuan (Notoatmodjo, 2012).
Sebagaimana uraian diatas dapat dikatakan bahwa pengetahuan adalah
informasi yang dimiliki seseorang sebagai hasil proses penginderaan mengenai
suatu objek tertentu dengan cara mengingat atau mengenal informasi yang ada
pada objek tersebut, merupakan bagian tingkah laku yang termasuk domain
kognitif tingkat pertama.
Pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Pada waktu penginderaan sampai
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian
dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Fitriani, 2011)
30
A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012) menjelaskan bahwa pengetahuan
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor internal
a. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai suatu usaha dasar untuk
menjadi kepribadian dan kemampuan didalam maupun diluar sekolah
dan berlangsung seumur hidup.
b. Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang
tinggi terhadap sesuatu dengan adanya pengetahuan yang tinggi
didukung minat yang cukup dari seseorang sangatlah mungkin untuk
berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan.
c. Pengalaman adalah suatu peristiwa yang dialami seseorang (Middle
Brook, 1974 dalam Azwar, 2011)
d. Usia individu terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang
tahun. Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.
2. Faktor eksternal
a. Ekonomi dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang tentang
berbagai hal. Dalam memenuhi kebutuhan primer ataupun sekunder,
keluarga dengan status ekonomi baik lebih mudah tercukupi dibanding
dengan keluarga dengan status ekonomi rendah, hal ini akan
mempengaruhi kebutuhan akan informasi termasuk kebutuhan
sekunder.
31
b. Informasi adalah keseluruhan makna, dapat diartikan sebagai
pemberitahuan seseorang adanya informasi baru mengenai suatu hal
memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap
hal tersebut.
c. Kebudayaan/lingkungan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pengetahuan kita.
B. Pengukuran Pengetahuan
Dari pengertian pengetahuan yang dikemukakan Bloom dan Skinner,
menunjukkan tingkat pengetahuan yaitu dengan cara orang yang bersangkutan
mengungkapkan apa-apa yang diketahuinya dalam bentuk bukti atau jawaban baik
secara lisan atau tertulis. Bukti atau jawaban tersebut merupakan reaksi dari suatu
stimulus yang dapat berupa pernyataan lisan maupun tertulis. Seseorang memiliki
pengetahuan yang tinggi apabila mampu mengungkapkan sebagian besar
informasi dari suatu objek dengan benar. Demikian juga bila seseorang hanya
mampu mengungkapkan sedikit informasi dari suatu objek dengan benar maka
dikategorikan berpengetahuan rendah tentang objek tersebut (Dahlawy, 2008).
Pertanyaan yang dapat digunakan untuk pengukuran pengetahuan secara
umum menurut Wawan dan Dewi (2015) dapat dikelompokkan menjadi dua jenis
yaitu :
1. Pertanyaan subjektif misalnya pertanyaan esai.
Pertanyaan esai disebut pertanyaan subjektif karena penilaian untuk
pertanyaan ini melibatkan faktor subjektif dari penilai sehingga hasilnya akan
berbeda untuk masing-masing penilai dari suatu waktu ke waktu lainnya.
32
2. Pertanyaan pilihan ganda.
Pertanyaan pilihan ganda, betul salah, menjodohkan, disebut pertanyaan
objektif karena pertanyaan-pertanyaan itu dapat dinilai secara pasti oleh
penilai tanpa melibatkan faktor-faktor subjektif dari penilai.
Pengetahuan dapat dilihat dan dinilai dengan menggunakan kuesioner
maupun wawancara. Penilaian berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ada.
Menurut Nursalam (2013) menjelaskan tentang penilaian tingkatan pengetahuan
berdasarkan nilai :
a. Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai 76–100%
b. Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75%
c. Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai < 55%
2.3 Pelaporan Kecelakaan Kerja
Laporan kecelakaan merupakan media komunikasi formal tentang fakta-
fakta penting untuk diketahui oleh orang-orang yang berkepentingan terhadap
peristiwa kecelakaan yang terjadi. Laporan merupakan catatan peristiwa
kecelakaan yang akan digunakan didalam program pengendalian kerugian.
Pencatatan kecelakaan dan cidera penting untuk program pencegahan kecelakaan
yang berhasil dan efisien. Data ini sangat penting guna pencegahan kecelakaan
dengan pendekatan sains (Widhiyastuti, 2009).
Pelaporan kecelakaan kerja harus dicatat dan dilaporkan karena
merupakan persyaratan peraturan perundang-undangan, bukti keabsahan data,
mengukur kinerja, mengenal bahaya di tempat kerja, tindakan koreksi, mengelola
33
pelaksanaan K3 di tempat kerja, penghargaan K3, penentuan tingkat premi
asuransi, dan bukti otentik dalam pengajuan proses verbal.
Dalam manajemen kerugian menyeluruh, sistem laporan memainkan
peranan penting. Tidak ada suatu kejadian atau kecelakaan yang dapat diabaikan
begitu saja, betapa pun kecilnya. Laporan kecelakaan menyeluruh adalah kegiatan
manajemen yang peka terhadap kerugian. Mungkin akibat sesuatu kecelakaan
dapat di kategorikan “kecil”, “sedang”, atau “parah”. Namun kecelakaan dari
kategori apapun harus dianggap penting oleh manajemen. Kejadian atau
kecelakaan yang tidak dilaporkan akan berkembang seperti kanker dalam tubuh
manusia (Wardhani, 2008).
Menurut Kode Praktis ILO, pelaporan adalah suatu prosedur yang
diterapkan didalam hukum dan peraturan nasional dan praktik di perusahaan, agar
para pekerja melaporkan kepada penyelia mereka, orang yang berkompeten, atau
badan lain yang ditetapkan tentang informasi mengenai setiap kecelakaan kerja
atau gangguan kesehatan yang muncul selama melakukan atau dalam hubungan
dengan pekerjaan, kasus yang diduga penyakit akibat kerja, kecelakaan selama
perjalanan pulang-pergi dan peristiwa atau kejadian berbahaya. Para pekerja dan
wakil mereka harus diberi informasi yang tepat oleh pengusaha mengenai
peraturan untuk pencatatan, pelaporan, dan pemberitahuan informasi tentang
kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Wardhani, 2008).
Peraturan perundang-undangan yang terkait pelaporan kecelakaan kerja
dan penyakit akibat kerja sebagai berikut :
1. Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
34
2. Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 44 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan
Kematian
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER.03/MEN/1998 tentang Tata
Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan
5. Peraturan Menteri Nomor : PER.01/MEN/1981 tentang Kewajiban
Melapor Penyakit Akibat Kerja
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2016
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit
7. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul
Karena Hubungan Kerja
8. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.25/MEN/XII/2008
tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan
Penyakit Akibat Kerja
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.432/MENKES/SK/IV/2007 tentang Pedoman Manajemen Kesehatan
dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit
2.3.1 Tujuan Pelaporan Kecelakaan Kerja
Menurut kode praktis ILO (dalam Dewanti, 2012) pelaporan adalah suatu
prosedur yang ditetapkan didalam hukum dan peraturan nasional dan praktik di
35
perusahaan agar para pekerja melaporkan kepada penyelia mereka, orang yang
berkompeten, atau badan lain yang ditetapkan tentang informasi mengenai :
1. Setiap kecelakaan kerja atau gangguan kesehatan yang muncul selama
melakukan atau ada hubungan dengan pekerjaan.
2. Kasus yang diduga penyakit akibat kerja.
3. Kecelakaan selama perjalanan pulang-pergi.
4. Peristiwa dan kejadian berbahaya.
Para pekerja dan wakil dari mereka harus diberi informasi yang tepat oleh
pengusaha mengenai peraturan untuk pelaporan, pencatatan, dan pemberitahuan
informasi tentang kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Wardhani, 2008). Catatan
wajib atas kejadian yang dipersyaratkan undang-undang dan laporan kecelakaan
harus setiap saat diperiksa dan disimpan untuk jangka waktu sedikitnya selama 3
tahun (Ridley, 2009). Pelaporan kecelakaan kerja bertujuan untuk mengevaluasi
secara objektif kasus kecelakaan kerja, mengevaluasi efektivitas program K3,
menentukan tingkat permasalahan K3 pada unit kerja, analisis kecelakaan kerja
dan PAK (Penyakit Akibat Kerja) terhadap kasus yang spesifik, mendorong
supervisor agar lebih tertarik terhadap K3, menyediakan data dan fakta tentang
masalah K3 kepada P2K3, dan mengukur efektivitas penggunaan alat-alat K3.
Tujuan utama dilakukan pencatatan dan pelaporan kecelakaan kerja adalah
untuk menemukan mengapa kecelakaan terjadi, penyebabnya, dimana terjadinya,
kapan, siapa atau apa yang menjadi korban dan sebagainya, selanjutnya dapat
diupayakan agar tidak terjadi kecelakaan yang sama atau yang lebih parah
(Dewanti, 2012).
36
2.3.2 Manfaat Pelaporan Kecelakaan Kerja
Sistem pelaporan kecelakaan memiliki peranan penting. Manfaat laporan
kecelakaan adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya keselamatan dengan
lengkapnya data kecelakaan, menjelaskan sumber kecelakaan dan memberikan
informasi pada safety committee baik unsafe action maupun unsafe condition,
menilai keefektifan program keselamatan, memperbaiki prosedur operasi,
memperbaiki kerugian yang lebih besar, mengetahui kesalahan manajemen, dan
mencegah terulang lagi (Dewanti, 2012).
2.3.3 Prosedur Pelaporan Kecelakaan Kerja
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per.03/MEN/1998
tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kesehatan pasal 2 menyebutkan
bahwa pengurus atau pengusaha wajib melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi di
tempat kerja dipimpinnya dan wajib melaporkan tertulis kepada Kepala Kantor
Departemen Tenaga Kerja setempat dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 jam
(Pasal 3). Disamping itu pengurus diwajibkan memberitahukan kecelakaan.
Pekerja mempunyai tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan ke arah pencegahan
kecelakaan, harus melaporkan kepada supervisor dan meminta pertolongan
pertama dari supervisor untuk setiap luka betapa pun kecilnya, melaporkan
kondisi/peralatan/perbuatan yang kurang selamat dan menganggap rapat-rapat K3
sebagai bagian dari tugasnya.
Setiap perusahaan memiliki alur dan prosedur masing-masing terkait
pelaporan kecelakaan kerja namun secara umum alur dan prosedur pelaporan
kecelakaan kerja sebagai berikut jika terjadi kecelakaan kerja segera melapor ke
37
unit kerja, departemen SDM dan departemen K3, selanjutnya membuat laporan
kecelakaan kerja secara menyeluruh lalu disampaikan ke manajemen perusahaan,
dinas tenaga kerja, dan perusahaan asuransi.
2.3.4 Tata Cara Pelaporan Kecelakaan Kerja
Pengurus atau pengusaha wajib melaporkan setiap kasus kecelakaan yang
terjadi di tempat kerja. Jenis kecelakaan yang dilaporkan antara lain kecelakaan
kerja yang menimbulkan kematian, sakit akibat kerja, cidera (memerlukan
perawatan dan pengobatan, hilang kesadaran, mengalami hambatan
kerja/gerakan), kebakaran, peledakan, keracunan, pencemaran lingkungan, dan
kejadian bahaya lainnya. Semua kecelakaan dan kejadian-kejadian yang
berbahaya perlu dilaporkan kepada pihak supervisor dan supervisor harus
mengambil langkah-langkah antara lain: memberikan bantuan pengobatan bagi
yang terluka atau cedera, memperbaiki kondisi yang berbahaya, dan mengisi
laporan kecelakaan. Selanjutnya pihak supervisor memberikan laporan singkat
kepada pihak manager secepat mungkin, laporan disampaikan kepada dinas
tenaga kerja setempat dalam waktu 2 x 24 jam, dan laporan dapat disampaikan
secara lisan sebelum dilaporkan secara tertulis. Setelah kejadian kecelakaan
serius, kondisi dibiarkan untuk tidak disentuh (bila memungkinkan), sambil
menunggu penyelidikan selanjutnya.
38
2.4 Kerangka Teori
Berdasarakan teori yang telah dijelaskan pada bab tinjuan pustaka, maka
kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori Ajzen
(2005) yaitu Theory of Planned Behavior dapat digambarkan seperti pada Bagan
2.2
Sumber : Ajzen, 2005
Bagan 2.2 Kerangka Teori
39
3 BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sikap, norma
subjektif, persepsi kontrol perilaku, dan pengetahuan terhadap intensi pelaporan
kecelakaan kerja perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota
Bekasi Tahun 2016, sehingga variabel yang diteliti dalam penelitian adalah
intensi, sikap, norma subjektif, persepsi kontrol perilaku dan pengetahuan.
Penelitian ini menggunakan teori Planned Behavior, hal ini dikarenakan teori
Planned Behavior sudah mengalami pengembangan dari teori sebelumnya yaitu
teori Reasoned Action dengan ditambahkan persepsi kontrol perilaku sehingga
dapat menggambarkan proses pembentukan niat. Niat dibentuk oleh sikap, norma
subjektif, persepsi kontrol perilaku dan pengetahuan. Persepsi kontrol perilaku
mengindikasikan keyakinan seseorang tentang kesulitan atau kemudahan untuk
berperilaku. Niat tidak akan terbentuk jika tidak ada keyakinan tentang kesulitan
atau kemudahan untuk melakukannya meskipun mempunyai sikap positif dan
dukungan positif norma subjektif.
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Sikap
Norma Subjektif
Persepsi kontrol perilaku
Pengetahuan
Intensi Pelaporan Kecelakaan Kerja
40
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur Skala
Variabel Dependen 1. Intensi
Pelaporan Kecelakaan Kerja
Niat atau kecenderungan perawat untuk melaporkan jika mengalami kecelakaan kerja
Penyebaran kuesioner
Kuesioner 1. Lemah : total skor < 30 (median) 2. Kuat : total skor > 30 (median)
Ordinal
Variabel Independen 1. Sikap Tanggapan atau respon perawat terhadap pelaporan
kecelakaan kerja Penyebaran kuesioner
Kuesioner 1. Negatif : total skor < 79 (median) 2. Positif : total skor > 79 (median)
Ordinal
2. Norma Subjektif
Keyakinan dukungan dari orang lain yang dianggap penting yaitu kepala ruangan, pj shift, teman, dan petugas instalasi K3L untuk melaporkan kecelakaan kerja
Penyebaran kuesioner
Kuesioner 1. Negatif : total skor < 44 (median) 2. Positif : total skor > 44 (median)
Ordinal
3. Persepsi kontrol perilaku
Keyakinan perawat mengenai kemudahan atau kesulitan dalam melaporkan kecelakaan kerja
Penyebaran kuesioner
Kuesioner 1. Negatif : total skor < 64 (median) 2. Positif : total skor > 64 (median)
Ordinal
4. Pengetahuan Segala sesuatu yang diketahui perawat terkait pelaporan kecelakaan kerja meliputi pengertian kecelakaan kerja, jenis kecelakaan kerja, bagaimana cara melaporkan kecelakaan kerja, waktu pelaporan kecelakaan kerja, siapa yang melaporkan kecelakaan kerja, tujuan pelaporan kecelakaan kerja, manfaat pelaporan kecelakaan kerja, dan dampak tidak melaporkan kecelakaan kerja
Penyebaran kuesioner
Kuesioner 1. Kurang : total skor < 54,5 (median) 2. Baik : total skor > 54,5 (median)
Ordinal
41
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep penelitian, maka rumusan hipotesis dalam
penelitian ini sebagai berikut :
1. Ada hubungan antara sikap dengan intensi pelaporan kecelakaan kerja
perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun
2016.
2. Ada hubungan antara norma subjektif dengan intensi pelaporan kecelakaan
kerja perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi
Tahun 2016.
3. Ada hubungan antara persepsi kontrol perilaku dengan intensi pelaporan
kecelakaan kerja perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X
Kota Bekasi Tahun 2016.
4. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan intensi pelaporan
kecelakaan kerja perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X
Kota Bekasi Tahun 2016.
42
4 BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriftif
analitik cross sectional karena pengumpulan data dan pengukuran variabel
penelitian dilakukan dalam satu waktu tertentu dan mengambarkan variabel
dependen dan variabel independen dalam waktu yang bersamaan. Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah intensi pelaporan kecelakaan kerja dan
varibel independen dalam penelitian ini adalah sikap, norma subjektif, persepsi
kontrol perilaku dan pengetahuan. Desain ini cukup sederhana sehingga sesuai
dengan waktu, dana dan kemampuan peneliti.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di rawat inap tulip dan melati Rumah Sakit X
Kota Bekasi pada bulan Oktober – Desember Tahun 2016.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat di rawat inap tulip
dan melati Rumah Sakit X Kota Bekasi berjumlah 52 perawat yang terdiri dari 29
perawat rawat inap tulip dan 23 perawat rawat inap melati.
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah semua anggota populasi dijadikan
objek penelitian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampling
jenuh yaitu total populasi perawat di rawat inap tulip dan melati.
43
Perhitungan besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus
sampling uji beda dua proporsi sebagai berikut.
Keterangan :
n : Besar sampel minimal
P : (P1 + P2) : 2
P1 : Proporsi kejadian kesadaran pelaporan kecelakaan kerja rendah dengan
pengetahuan dan sikap kurang baik
P2 : Proporsi kejadian kesadaran pelaporan kecelakaan kerja rendah dengan
pengetahuan dan sikap baik
Z1-α/2 : CI 95% dengan α = 5% (1,96)
Z1-β : 1-β 80% (0,84)
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Besar Sampel Variabel Sumber P1 P2 n n x 2
Wardhani, RR Ambar Sih. (2008). Studi Tentang Kesadaran Pekerja Terhadap
Pelaporan Kecelakaan Kerja di PT Astra Nissan Diesel Indonesia Periode
Juni-Juli Tahun 2008. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia: Tidak diterbitkan
Wawan, A., dan Dewi M. (2015). Teori & Pengukuran, Sikap, dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika (Numed)
Widhiyastuti, Aryani. (2009). Investigasi dan Pelaporan Kecelakaan Kerja
Sebagai Upaya Untuk Meminimalisir Angka Kecelakaan Kerja di PT
Cola-Cola Bottling Indonesia Central Java Semarang. Laporan Khusus.
Program Diploma III Hiperkes dan Keselamatan Kerja Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret: Tidak diterbitkan
93
Yogatama, Leo Agung Manggala. (2013). Analisis Pengaruh Attitude, Subjective
Norm, dan Persepsi kontrol perilaku Terhadap Intensi Penggunaan Helm
Saat Mengendarai Motor Pada Remaja Dan Dewasa Muda Di Jakarta
Selatan. Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur &
Teknik Sipil) Vol.5
Yuliana, Citra. (2012). Kepatuhan Perawat Terhadap Kewaspadaan Standar Di
RSKO Jakarta Tahun 2012. Skripsi. Departemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia:
Tidak diterbitkan
Yulita, Yenni. (2013). Pengaruh Supervisi Model Reflektif Interaktif Terhadap
Perilaku Keselamatan Perawat Pada Bahaya Agen Biologik Di RSUD
Provinsi Kepulauan Riau Tanjung Uban. Tesis. Program Studi Magister
Ilmu Keperawatan Kekhususan Kepemimpinan Dan Manajemen
Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia: Tidak
diterbitkan
94
LAMPIRAN
95
LAMPIRAN I HUBUNGAN SIKAP, NORMA SUBJEKTIF, PERSEPSI KONTROL
PERILAKU DAN PENGETAHUAN TERHADAP INTENSI PELAPORAN KECELAKAAN KERJA PERAWAT RAWAT INAP TULIP DAN MELATI
DI RUMAH SAKIT X KOTA BEKASI TAHUN 2016
Bekasi, Desember 2016 Kepada Yth. Bapak/Ibu/Saudara/i Responden penelitian di Rumah Sakit X Kota Bekasi Dengan Hormat Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah mahasiswi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Kesehatahan Masyarakat Nama : Sekar Wigati Suprapto NIM : 1112101000062 Yang mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Sikap, Norma Subjektif, Persepsi kontrol perilaku dan Pengetahuan terhadap Intensi Pelaporan Kecelakaan Kerja Perawat Rawat Inap Tulip dan Melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun 2016”. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan sikap, norma subjektif, persepsi kontrol perilaku, dan pengetahuan terhadap intensi pelaporan kecelakaan kerja perawat rawat inap tulip dan melati di Rumah Sakit X Kota Bekasi Tahun 2016. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. Penelitian ini dilakukan tidak menimbulkan akibat yang merugikan bapak/ibu/saudara/i sebagai responden, segala informasi yang diberikan akan dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian dan tidak akan mempengaruhi penilaian kinerja responden. Dengan segala kerendahan hati peneliti memohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan memberikan informasi terkait variabel-variabel penelitian yang terdapat dalam kuesioner ini. Atas perhatian dan kerja sama yang baik saya sebagai peneliti mengucapkan terima kasih. Dengan ini, Saya BERSEDIA ikut serta dalam penelitian ini.
Peneliti Responden
Sekar Wigati Suprapto ( ) NIM. 1112101000062
96
A. IDENTITAS RESPONDEN No. Responden : ......... (diisi oleh peneliti) Nama : Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan Usia : Tahun Lama Kerja sebagai Perawat : Tahun No. Telepon / HP : Unit Kerja : 1. Rawat Inap Tulip
2. Rawat Inap Melati Pendidikan Terakhir : 1. SMA
2. D3 3. S1 4. S2
Pernah mengikuti pelatihan K3RS : 1. Tidak Pernah 2. Pernah
B. INTENSI PELAPORAN KECELAKAAN KERJA Petunjuk pengisian : Berilah tanda silang (X) pada setiap pernyataan yang anda anggap paling sesuai dengan anda !
No. Pernyataan Tidak (1)
Ya (2)
Diisi oleh peneliti
B1. Saya ingin melaporkan kejadian tertusuk jarum suntik sebagai bentuk partisipasi dalam mencegah kejadian berulang
1 2
B2. Saya ingin melaporkan kejadian terluka saat mengampul obat sebagai bentuk partisipasi dalam mencegah kejadian berulang
1 2
B3. Saya ingin melaporkan kejadian terkena urine pasien sebagai bentuk partisipasi dalam mencegah kejadian berulang
1 2
B4. Saya ingin melaporkan kejadian terkena darah pasien sebagai bentuk partisipasi dalam mencegah kejadian berulang
1 2
B5. Saya tidak ingin melaporkan kejadian tertusuk jarum suntik karena bukan kewajiban
1 2
B6. Saya tidak ingin melaporkan kejadian terluka saat mengampul obat karena bukan kewajiban
1 2
B7. Saya tidak ingin melaporkan kejadian terkena urine pasien karena bukan kewajiban
1 2
B8. Saya tidak ingin melaporkan kejadian terkena darah pasien karena bukan kewajiban
1 2
B9. Saya tidak ingin melaporkan kejadian tertusuk jarum suntik karena hanya mengakibatkan luka ringan
1 2
B10. Saya tidak ingin melaporkan kejadian terluka saat mengampul obat karena hanya mengakibatkan luka ringan
1 2
B11. Saya hanya ingin melaporkan ketika kejadian tertusuk jarum suntik sampai harus ditangani dokter
1 2
97
No. Pernyataan Tidak (1)
Ya (2)
Diisi oleh peneliti
B12. Saya hanya ingin melaporkan ketika kejadian terluka saat mengampul obat sampai harus ditangani dokter
1 2
B13. Saya ingin melaporkan kejadian tertusuk jarum suntik sekecil apapun
1 2
B14. Saya ingin melaporkan kejadian terluka saat mengampul obat sekecil apapun
1 2
B15. Saya ingin melaporkan kejadian tertusuk jarum suntik karena hal tersebut tidak wajar
1 2
B16. Saya ingin melaporkan kejadian terluka saat mengampul obat karena hal tersebut tidak wajar
1 2
B17. Saya tidak ingin melaporkan kejadian terkena urine pasien karena hal tersebut wajar
1 2
B18. Saya ingin melaporkan kejadian terkena darah pasien karena hal tersebut tidak wajar
1 2
C. SIKAP Petunjuk pengisian : Berilah tanda silang (X) pada setiap pernyataan yang anda anggap paling sesuai dengan anda !
- Sangat Tidak Setuju (1) - Tidak Setuju (2) - Setuju (3) - Sangat Setuju (4)
No. Pernyataan
Sangat Tidak Setuju
(1)
Tidak Setuju
(2)
Setuju (3)
Sangat Setuju
(4)
Diisi oleh
peneliti
C1. Kejadian tertusuk jarum suntik harus selalu dilaporkan
1 2 3 4
C2. Kejadian terluka saat mengampul obat harus selalu dilaporkan
1 2 3 4
C3. Kejadian terkena urine pasien tidak perlu dilaporkan
1 2 3 4
C4. Kejadian terkena darah pasien tidak perlu dilaporkan
1 2 3 4
C5. Pelaporan kejadian tertusuk jarum suntik dapat dilakukan secara lisan
1 2 3 4
C6. Pelaporan kejadian terluka saat mengampul obat tidak dapat dilakukan secara lisan
1 2 3 4
C7. Pelaporan kejadian terkena urine pasien tidak dapat dilakukan secara lisan
1 2 3 4
98
No. Pernyataan
Sangat Tidak Setuju
(1)
Tidak Setuju
(2)
Setuju (3)
Sangat Setuju
(4)
Diisi oleh
peneliti
C8. Pelaporan kejadian terkena darah pasien tidak dapat dilakukan secara lisan
1 2 3 4
C9. Pelaporan kejadian tertusuk jarum suntik dapat dilakukan secara tertulis
1 2 3 4
C10. Pelaporan kejadian terluka saat mengampul obat dapat dilakukan secara tertulis
1 2 3 4
C11. Pelaporan kejadian terkena urine pasien dapat dilakukan secara tertulis
1 2 3 4
C12. Pelaporan kejadian terkena darah pasien dapat dilakukan secara tertulis
1 2 3 4
C13. Pelaporan tidak dilakukan pada kejadian yang mengakibatkan luka ringan
1 2 3 4
C14. Pelaporan hanya dilakukan pada kejadian yang mengakibatkan luka parah
1 2 3 4
C15. Melaporkan kejadian tertusuk jarum suntik kewajiban seluruh pekerja
1 2 3 4
C16. Melaporkan kejadian terluka saat mengampul obat kewajiban seluruh pekerja
1 2 3 4
C17. Melaporkan kejadian terkena urine pasien bukan kewajiban seluruh pekerja
1 2 3 4
C18. Melaporkan kejadian terkena darah pasien bukan kewajiban seluruh pekerja
1 2 3 4
C19. Melaporkan kejadian tertusuk jarum suntik dapat mencegah hal tersebut terjadi kembali
1 2 3 4
C20. Melaporkan kejadian terluka saat mengampul obat dapat mencegah hal tersebut terjadi kembali
1 2 3 4
C21. Melaporkan kejadian terkena urine pasien dapat mencegah hal tersebut terjadi kembali
1 2 3 4
C22. Melaporkan kejadian terkena darah pasien dapat mencegah hal tersebut terjadi kembali
1 2 3 4
C23. Melaporkan kejadian tertusuk jarum suntik menambah beban kerja
1 2 3 4
C24. Melaporkan kejadian terluka saat mengampul obat menambah beban kerja
1 2 3 4
C25. Melaporkan kejadian terkena urine pasien menambah beban kerja
1 2 3 4
C26. Melaporkan kejadian terkena darah pasien menambah beban kerja
1 2 3 4
99
No. Pernyataan
Sangat Tidak Setuju
(1)
Tidak Setuju
(2)
Setuju (3)
Sangat Setuju
(4)
Diisi oleh
peneliti
C27. Alur pelaporan mudah dilakukan 1 2 3 4 C28. Alur pelaporan hanya membutuhkan waktu