Page 1
HUBUNGAN SELF-ESTEEM DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA
PENYINTAS ERUPSI GUNUNG SINABUNG DI POSKO
MARDINGDING TERONG PEREN, KECAMATAN
TIGA NDERKET, KABUPATEN KARO,
SUMATERA UTARA
OLEH
EUNIKE SABRINA KARINA SINGARIMBUN
802013030
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
Page 7
HUBUNGAN SELF-ESTEEM DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA
PENYINTAS ERUPSI GUNUNG SINABUNG DI POSKO
MARDINGDING TERONG PEREN, KECAMATAN
TIGA NDERKET, KABUPATEN KARO,
SUMATERA UTARA
Eunike Sabrina Karina Singarimbun
Krismi Diah Ambarwati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
Page 8
i
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara self-esteem dengan
resiliensi pada remaja penyintas erupsi Gunung Sinabung. Responden dalam penelitian ini
berjumlah 45 orang yang berusia 13-16 tahun. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif
dan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan 2 skala, yaitu Skala Self-Esteem yang
dibuat oleh Heatherton & Polivy (1991), dan yang kedua ialah skala CD-RISC 25-item yang
dibuat oleh Connor & Davidson (2003) sebagai skala resiliensi. Teknik analisa data yang
dipakai adalah teknik korelasi Pearson. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r)
0,118 dengan nilai signifikansi 0,221 (p>0,05) yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan
yang positif signifikan antara self-esteem dengan resiliensi. Hal ini bermakna bahwa self-
esteem tidak berkontribusi terhadap resiliensi.
Kata kunci : Resiliensi, Self-Esteem
Page 9
ii
Abstract
This study aims to determine whether there is a relationship between self-esteem with the
resilience of adolescent survivors eruption of Mountain Sinabung disaster. The respondents
in this research were 45 people aged 13-16 years old. The research that used in quantitative
method and collected data is used with two scale that is Self-Estem Scale that composed by
Heatherton & Polivy (1991) as the self esteem scale and CD-RISC (Connor Davidson
Resilience Scale) that composed by Connor & Davidson (2003) as the resilience scale. The
data analysis technique that we used is Pearson technique. From the data analysis, we found
that correlation coeficient (r) 0,118 with significance value at 0,221 (p>0,05), which means
that there is no significant positive relationship between the self esteem and resilience. It
means that the low of self esteem is not contribute to resilience.
Keywords : Resilience, Self Esteem
Page 10
1
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki letak geografis yang menjadi
tempat pertemuan dua rangkaian gunung berapi aktif (Ring of Fire), dimana terdapat
puluhan patahan aktif di wilayah Indonesia. Indonesia memiliki lebih dari 400 gunung
berapi dan 130 diantaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung
berapi terletak di dasar laut dan tidak terlihat dari permukaan laut. Oleh sebab itu,
Indonesia rawan akan terjadinya musibah bencana alam. Akhir-akhir ini Indonesia
sering mengalami bencana alam yang tak terduga, salah satunya ialah letusan Gunung
Sinabung yang menimbulkan erupsi hingga saat ini. Gunung Sinabung adalah gunung
api yang terletak di Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Karo, Sumatera
Utara, Indonesia. Gunung Sinabung bersama Gunung Sibayak di dekatnya adalah dua
gunung berapi aktif di Sumatera Utara dan menjadi puncak tertinggi ke 2 di provinsi
itu. Ketinggian gunung ini adalah 2.451 meter. Gunung ini tercatat tidak pernah
meletus sejak tahun 1600, namun tiba-tiba aktif kembali dan meletus pada tahun
2010. Letusan Gunung Sinabung sudah terjadi selama 6 tahun, sejak tahun 2010
hingga saat ini.
Akibat dari letusan ini, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) yang dilansir dalam Tribun Medan kerugian erupsi Gunung Sinabung
mencapai Rp 1,49 Triliun lebih. Kerugian dan kerusakan terbesar ada di sektor
ekonomi produktif meliputi pertanian, perkebunan, peternakan, perdagangan,
pariwisata, perikanan, UKM, dan industri yang diperkirakan mencapai Rp 896,64
miliar. Sedangkan kerugian dan kerusakan lain meliputi sektor permukiman mencapai
Rp 501 miliar, infrastruktur mencapai Rp 23,65 miliar, sosial mencapai Rp 53,43
miliar, dan lintas sektor mencapai Rp 18,03 miliar. Selain itu, korban erupsi Gunung
Page 11
2
Sinabung mengalami dampak psikologis khususnya pada anak-anak dan perempuan
yang merasakan dampak psikologis yang kuat dari bencana tersebut mengingat
mereka sudah lama di tempat pengungsian dan penanganan dampak bencananya juga
terlalu berlarut-larut. Dampak yang ditimbulkan akibat erupsi Gunung Sinabung ini
baik fisik, sosial, maupun psikologis yang besar dan keadaan dimana mereka telah
mengungsi selama 6 tahun lamanya di pengungsian, terlebih lagi para penyintas
Gunung Sinabung tidak dapat memperkirakan kapan bencana ini akan berhenti,
menimbulkan situasi yang sangat sulit yang harus dihadapi oleh penyintas Gunung
Sinabung khususnya remaja untuk dapat bertahan hidup dan bangkit dari keadaan ini.
Masa remaja adalah masa yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Hurlock (1999), membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal
dan masa remaja akhir. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari usia 13–16
tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia
yang dianggap matang secara hukum. Adapun ciri-ciri remaja yaitu masa remaja
sebagai periode yang penting, masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja
sebagai usia bermasalah dan masa remaja sebagai masa mencari identitas. Stanley
Hall (dalam Muti’ah, 2011) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa
badai dan tekanan (storm and stress).
Saat seorang individu menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidupnya,
individu yang memiliki resiliensi dapat mengatasinya dengan lebih baik. Oleh karena
kondisi ini tentunya pada saat ini, para penyintas Gunung Sinabung khususnya remaja
harus dapat memiliki resiliensi guna menghadapi keadaan yang sulit ini. Connor dan
Davidson (2003) mengatakan bahwa resiliensi merupakan kualitas personal seseorang
dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan. Connor dan Davidson (2003)
juga menyatakan bahwa resiliensi dipandang sebagai suatu karakteristik
Page 12
3
multidimensional yang bervariasi terhadap konteks, waktu, usia, jenis kelamin, dan
budaya asal, serta karakteristik dalam diri individual dalam berbagai kejadian hidup.
Dengan kualitas personal yang dimiliki individu, diharapkan individu yang
mengalami kesulitan dalam hidup dapat bangkit dan tidak kalah dengan keadaan.
Menurut Reivich dan Shatte yang dituangkan dalam bukunya “The Resiliency
Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi
terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan
dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau
trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich & Shatte, 2002).
Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit
kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Block & Kreman (dalam Yu &
Zhang, 2007) menyatakan bahwa resiliensi digunakan untuk menyatakan kapabilitas
individual untuk bertahan/survive dan mampu beradaptasi dalam keadaan stres dan
mengalami penderitaan.
Connor & Davidson (2003), memaparkan bahwa terdapat lima aspek dari
resiliensi yaitu, kompetensi personal, standar yang tinggi, dan keuletan yaitu dimana
memperlihatkan bahwa seseorang merasa sebagai orang yang mampu mencapai
tujuan dalam situasi kemunduran atau kegagalan; percaya pada diri sendiri, memiliki
toleransi terhadap afek negatif, dan kuat/tegar dalam menghadapi stres dimana aspek
ini berhubungan dengan ketenangan, cepat melakukan coping terhadap stres, berpikir
secara hati-hati dan tetap fokus sekalipun sedang dalam menghadapi masalah;
menerima perubahan secara positif dan dapat membuat hubungan yang aman dengan
orang lain, dimana aspek ini berhubungan dengan kemampuan beradaptasi atau
kemampuan beradaptasi jika menghadapi perubahan; kontrol/pengendalian diri yaitu
Page 13
4
bagaimana meminta atau mendapatkan bantuan dari orang lain; dan pengaruh spiritual
yaitu yakin pada Tuhan atau nasib.
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu internal protective
factor dan external protective factor. Internal protective factor merupakan faktor
protektif yang bersumber dari diri individu seperti harga diri, efikasi diri, kemampuan
mengatasi masalah, regulasi emosi dan optimism. Sedangkan external protective
factor merupakan faktor protektif yang bersumber dari luar individu, misalnya
support dari keluarga dan lingkungan (McCubbin, 2001).
Salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi ialah harga diri. Menurut
Rosenberg, harga diri adalah sikap yang dimiliki tentang dirinya sendiri, baik positif
maupun negatif (dalam Mualfiah & Indrijati, 2014). Menurut Coopersmith (dalam
Ekasari & Andriyani, 2013) harga diri merupakan penilaian diri yang dilakukan oleh
seorang individu dan biasanya berkaitan dengan dirinya sendiri, penilaian tersebut
mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa jauh
individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil dan berharga. Heatherton &
Polivy (1991) mengatakan self-esteem (harga diri) adalah suatu tingkah laku evaluasi
diri sendiri sebagai relisasi kepercayaan pribadi yang mencakup keahlian,
kemampuan, dan relasi sosial, dengan komponen berupa performance, social,
physical.
Masa remaja yang merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan
masa dewasa yang ditandai dengan timbulnya perubahan fisik dan psikis, keinginan
bebas dari kekuasaan, rasa ingin tahu, mencari dan menemukan identitas diri,
pembentukan kelompok sebaya dan sebagainya, merupakan masa yang paling
menentukan terjadinya perkembangan self-esteem. Self-esteem merupakan salah satu
dimensi dari konsep diri, serta merupakan salah satu aspek kepribadian yang
Page 14
5
mempunyai peran penting dan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku individu.
Pada masa ini juga seseorang akan mengenali dan mengembangkan seluruh aspek
dalam dirinya, sehingga menentukan apakah ia akan memiliki self-esteem yang positif
atau negatif. Perkembangan self-esteem pada seorang remaja akan menentukan
keberhasilan maupun kegagalannya dimasa mendatang (Kamila & Mukhlis, 2013).
Menurut Heatherton & Polivy (1991), terdapat tiga aspek dalam self-esteem
individu, yaitu: Performance Self-Esteem, Sosial Self-Esteem, Physical Appearance
Self-Esteem. Performance Self-Esteem mengacu pada kompetensi umum seseorang
meliputi kemampuan intelektual, performa hasil sekolah, kapasitas diri, percaya diri,
self-efficacy, dan self-agency. Sosial Self-Esteem mengacu pada bagaimana seseorang
mempercayai pandangan orang lain menurut mereka. Physical Appearance Self-
Esteem mengacu pada bagaimana seseorang melihat fisik mereka meliputi skills,
penampilan menarik, body image, dan juga stigma mengenai ras dan etnis.
Orang yang memiliki harga diri yang tinggi akan menilai dirinya secara
positif. Mereka mampu menerima dan mengenal diri sendiri dengan keterbatasannya.
Kompetensi personal, percaya pada diri sendiri, menerima perubahan secara positif,
kontrol/pengendalian diri, dan pengaruh spiritual yang dimiliki seseorang akan
mampu membentuk resiliensi seseorang. Maka dari itu seseorang yang memiliki
harga diri yang tinggi akan memiliki resiliensi yang tinggi pula. Hasil penelitian
Margareth (2016) menyebutkan bahwa self-esteem memberikan kontribusi terhadap
resiliensi, sehingga self-esteem mempunyai hubungan yang positif signifikan dengan
resiliensi. Hal serupa juga dikatakan oleh Munauwarah & Mukaddimatul (2008)
bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara harga diri dengan resiliensi
trauma. Tingginya harga diri seseorang berkontribusi terhadap kemampuan seseorang
menghadapi atau beradaptasi terhadap tantangan dan tekanan hidup. Synder & Lopez
Page 15
6
(2007) mengatakan bahwa self-esteem merupakan faktor internal yang mempengaruhi
pembentukan resiliensi seseorang.
Dampak-dampak yang ditimbulkan akibat erupsi Gunung Sinabung membuat
keadaan yang dihadapi oleh penyintas menjadi sulit dan para penyintas harus tetap
bertahan hidup dan menghadapi masalah yang sedang dihadapinya khususnya remaja.
Dengan keadaan dimana Gunung Sinabung terus mengeluarkan abu vulkanik selama
bertahun-tahun sejak erupsi pertama yaitu tahun 2010 sampai saat ini dan tidak dapat
diprediksi kapan akan berakhir, hal ini membuat peneliti ingin melihat apakah harga
diri (self-esteem) seseorang yang mengalami bencana berkepanjangan akan
mempengaruhi resiliensinya.
Berdasarkan tinjauan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian
ini ialah peneliti ingin mengetahui hubungan antara harga diri (self-esteem) dengan
resiliensi pada remaja penyintas erupsi Gunung Sinabung di Posko Mardingding di
Terong Peren, Kecamatan Tiga Nderket, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
II. Hipotesis
Ada hubungan positif antara harga diri (self-esteem) dengan resiliensi pada
remaja penyintas erupsi Gunung Sinabung di Posko Mardingding di Terong Peren,
Kecamatan Tiga Nderket, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Page 16
7
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian
korelasional. Variabel bebas (X) dalam penelitian ini adalah self-esteem dan variabel
terikat (Y) adalah resiliensi.
B. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini ialah seluruh remaja penyintas erupsi Gunung
Sinabung yang berusia 13-16 tahun, berjumlah 76 orang yang berada di Posko Desa
Mardingding di Terong Peren, Kecamatan Tiga Nderket, Kabupaten Karo, Sumatera
Utara. Sampel dalam penelitian ini ialah 45 orang dikarenakan pada saat pengambilan
data sebanyak 31 orang dari 76 orang tersebut sedang tidak berada di posko
pengungsian sehingga data yang terkumpul hanya 45 orang. Teknik dalam penelitian
ini menggunakan teknik purposive sampling.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala pengukuran
psikologi, yang terdiri dari 2 skala, yaitu skala Skala Self-Esteem yang dibuat oleh
Heatherton & Polivy (1991), yang mencakup tiga aspek dalam self-esteem individu,
yaitu: performance self-esteem, social self-esteem, physical appearance self-esteem;
dan yang kedua ialah skala resiliensi yang menggunakan skala CD-RISC 25-item
yang dibuat oleh Connor & Davidson (2003) yang mencakup lima aspek yaitu:
kompetensi personal, percaya pada diri sendiri, menerima perubahan secara positif,
kontrol diri, pengaruh spiritual.
Page 17
8
Berdasarkan hasil uji analisa item diperoleh bahwa dari 25 item pada skala
resiliensi 16 item dinyatakan valid dengan reliabilitas sebesar 0,818, dan dari 20 item
pada skala self-esteem 10 item dinyatakan valid dengan reliabilitas sebesar 0,847.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisa Data
Berdasarkan data yang diperoleh didapatkan bahwa dari 45 orang remaja
penyintas erupsi Gunung Sinabung yang mengungsi di Posko di Desa Mardingding di
Terong Peren, Kecamatan Tiga Nderket, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, 27 orang
(60%) memiliki resiliensi yang tinggi, dan 18 orang (40%) memiliki resiliensi pada
taraf sedang. Sedangkan self-esteem diperoleh 4 orang (8,89%) memiliki self-esteem
yang tinggi, 36 orang (80%) memiliki self-esteem pada taraf sedang, dan 5 orang
(11,11%) memiliki self-esteem yang rendah.
Tabel 1: Kategorisasi Resiliensi
Interval Kategori N Persentase
48 ≤ x ≤ 64 Tinggi 27 60%
32 ≤ x < 48 Sedang 18 40%
16 ≤ x < 32 Rendah 0 0%
Jumlah 45 100%
Tabel 2: Kategorisasi Self-Esteem
Interval Kategori N Persentase
31 – 40 Tinggi 4 8,89%
21 – 30 Sedang 36 80%
10 – 20 Rendah 5 11,11%
Jumlah 45 100%
Page 18
9
B. Uji Asumsi
Sebelum melakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang
meliputi uji normalitas dan uji linearitas. Uji asumsi dilakukan untuk memenuhi
syarat dipergunakan analisis korelasi.
1. Uji Normalitas
Pengujian normalitas menggunakan teknik analisis One Sample
Kolmogorov-Smirnov Test dengan bantuan SPSS for Windows versi 16.0.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa taraf signifikansi pada variabel
resiliensi sebesar 0,408 (p>0,05) dan variabel self-esteem sebesar 0,322
(p>0,05). Hal tersebut mengindikasikan bahwa data resiliensi dan data harga
diri berdistribusi normal.
2. Uji Linearitas
Uji linearitas dalam penelitian ini menggunakan SPSS for Windows
versi 16.0. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kedua variabel yaitu
variabel resiliensi dan variabel self-esteem memiliki Fbeda sebesar 1,159
dengan signifikansi sebesar 0,354 (p>0,05). Dengan demikian variabel
resiliensi dan variabel self-esteem memiliki hubungan yang linear.
3. Uji Korelasi
Uji korelasi dilakukan dengan teknik Pearson dengan menggunakan
SPSS for Windows versi 16.0. berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi
diperoleh koefisien korelasi antara resiliensi dengan self-esteem sebesar
0,118 dengan signifikansi 0,221 (p>0,05) yang berarti bahwa tidak terdapat
Page 19
10
hubungan yang positif signifikan antara self-esteem dengan resiliensi. Hasil
pengujian dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3: Uji Korelasi
C. Pembahasan
Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara self-esteem dengan
resiliensi pada penyintas Gunung Sinabung dimana subjek penelitian ini ialah remaja
berusia 13-16 tahun, didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara self-esteem
dengan resiliensi pada remaja penyintas erupsi Gunung Sinabung yang mengungsi di
Posko Desa Mardingding di Terong Peren, Kecamatan Tiga Nderket, Kabupaten
Karo, Sumatera Utara. Namun, didapatkan bahwa 60% remaja penyintas erupsi
Gunung Sinabung tersebut memiliki resiliensi yang tinggi dan 80% remaja tersebut
memiliki self-esteem yang berada pada taraf sedang.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian-penelitian lain yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara self-esteem dengan
resiliensi. Terdapat penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini, penelitian
Correlations
RESILIENSI HARGADIRI
RESILIENSI Pearson
Correlation 1 .118
Sig. (1-tailed) .221
N 45 45
HARGADIRI Pearson
Correlation .118 1
Sig. (1-tailed) .221
N 45 45
Page 20
11
yang dilakukan oleh Aryani (2014) menunjukkan adanya korelasi yang tidak
signifikan antara harga diri dengan resiliensi pada odapus.
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat mengatakan bahwa self-esteem
remaja penyintas erupsi Gunung Sinabung yang mengungsi pada Posko di Desa
Mardingding di Terong Peren, Kecamatan Tiga Nderket, Kabupaten Karo, Sumatera
Utara, tidak berkontribusi terhadap resiliensinya meskipun remaja penyintas erupsi
Gunung Sinabung tersebut memiliki resiliensi yang tinggi dan memiliki self-esteem
yang berada pada taraf sedang.
Perbedaan hasil yang ditemukan dapat terjadi diperkirakan oleh faktor-faktor
eksternal lainnya yang berpengaruh terhadap resiliensi seperti keluarga, lingkungan,
dan kebudayaan; karena resiliensi bukan sebagai atribut tetap atau hasil tertentu tetapi
lebih sebagai proses dinamis yang berkembang dari waktu ke waktu (Hollister-
Wagner, dkk, dalam Everall, dkk, 2006). Begitupun self-esteem dikarenakan self-
esteem juga sebagai proses perkembangan yang dinamis yang dapat berkembang
seiring dengan perkembangan individu tersebut. Masa remaja dimana masa dalam
pencarian jati diri dapat membuat self-esteem remaja akan terus berkembang dan
belum stabil. Self-esteem cenderung menurun dimasa remaja, meningkat diusia 20-an,
mendatar diusia 30-an, dan meningkat diusia 50-an dan 60-an, kemudian menurun
diusia 70-an dan 80-an (Kamila & Mukhlis, 2013). Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa self-esteem belum tentu selalu berkontribusi terhadap resiliensi.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi resiliensi. Everall, et al., (2006)
memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi, yaitu faktor individual yang
meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, dan kompetensi sosial; faktor
keluarga meliputi dukungan orangtua; dan faktor komunitas meliputi kemiskinan dan
keterbatasan kesempatan kerja yang terkait dengan gender, dan keterikatan dengan
Page 21
12
kebudayaan. Menurut Everall, et al., (dalam Ifdil & Taufik, 2012) keterikatan para
anggota keluarga amat berpengaruh dalam pemberian dukungan terhadap anggota
keluarga yang mengalami musibah untuk dapat pulih dan memandang kejadian
tersebut secara objektif. Begitu juga dalam menumbuhkan dan meningkatkan
resiliensi. Beuf (dalam Holaday, 1997) mengungkapkan bahwa kebudayaan, yang
berisikan sikap-sikap yang diyakini dalam suatu budaya, nilai-nilai, dan standar
kebaikan dalam suatu masyarakat juga sangat mempengaruhi kemampuan resiliensi
seseorang. Connor dan Davidson (dalam Oktaviani, 2012) mengatakan bahwa
resiliensi juga mempertimbangkan kemampuan beradaptasi dan kemampuan sosial, di
luar self-esteem dan kualitas individual lainnya.
Keadaan dimana sepanjang awal Mei sejak tanggal 1 Mei hingga 3 Mei 2017,
seperti yang dilansir dalam VIVA.co.id dan Liputan6.com, Medan, yaitu Gunung
Sinabung kembali mengeluarkan abu vulkanik dengan ketinggian 1.500 meter disertai
gempa selama 319 detik, pada hari berikutnya abu vulkanik dengan ketinggian 1.800
meter disertai gempa ringan selama 694 detik, dan pada hari ketiga tercatat sudah
empat kali mengalami erupsi. Berdasarkan wawancara relawan yang tergabung dalam
kegiatan Gathering Nasional Turun Tangan 2016 kepada para pengungsi dan Kepala
Desa Mardingding, Jepri Sangapta Singarimbun mengharapkan segera mendapatkan
kepastian dari pemerintah. Para pengungsi yang berada di Posko di Terong Peren
membutuhkan sebuah kepastian, kepastian akan adanya hunian baru yang layak untuk
mereka tempati, pekerjaan untuk para orang tua dan pendidikan untuk anak anak
mereka di masa depan dikarenakan sampai saat ini mereka belum mendapatkan
hunian baru seperti yang telah dijanjikan oleh pemerintah. Individu yang merasa
berada pada suatu kondisi yang tidak jelas akan menimbulkan kecemasan (Kartono,
1981). Kecemasan ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut. Branca
Page 22
13
(dalam Kusumastuti & Andrianto, 2006), mendefinisikan kecemasan sebagai perasaan
yang tidak menyenangkan yang menyertai rasa frustasi dan ketidakpastian tentang apa
yang terjadi dimasa yang akan datang, dan pengharapan tentang rasa sakit, kegagalan
atau ancaman kegagalan. Ketidakpastian yang dialami ini menimbulkan sebuah
kecemasan akan masa depan para pengungsi khususnya anak-anak dan remaja terlebih
lagi kondisi erupsi Gunung Sinabung yang terus berkepanjangan tanpa diketahui
kapan akan berakhir.
Sembari menunggu kepastian akan masa depan mereka, para pengungsi
khususnya remaja tetap menjalani kehidupan mereka dengan menjalani aktivitas
seperti bersekolah meskipun harus menumpang di sekolah lain dan terkadang mereka
juga ikut membantu orangtuanya untuk berladang. Kondisi ini memperlihatkan bahwa
para remaja berusaha untuk tetap bertahan hidup dengan kondisi yang sedang
dihadapinya.
Tuntutan akan masa depan membuat remaja mengalami masa kritis. Menurut
Hurlock (dalam Purnomo dan Astuti, 2005) pada usia 15-17 tahun remaja mengalami
masa kritis. Remaja banyak mengalami tuntutan khususnya untuk dapat bersikap dan
berperilaku agar dapat bertahan hidup. Masa remaja merupakan masa dengan
idealisme yang ditandai dengan harapan, keinginan dan cita-cita yang tinggi akan
tetapi penuh juga oleh berbagai hambatan dan tantangan. Remaja dituntut untuk dapat
menyesuaikan diri dengan realita dan berusaha mengatasi segala tantangan yang
dihadapi. Dilihat dari hasil penelitian bahwa remaja penyintas erupsi Gunung
Sinabung memiliki resiliensi yang tinggi, hal tersebut dapat dikatakan bahwa remaja
berusaha untuk menyesuaikan diri dengan realita dan berusaha mengatasi masalah
yang sedang dihadapinya dengan tetap menjalankan aktivitas apapun yang dapat
mereka lakukan saat ini.
Page 23
14
Pada usia remaja mereka juga berusaha untuk mencari jati diri mereka agar
dapat diterima di lingkungan mereka. Dengan keadaan seperti ini remaja mencoba
untuk mencari jati diri mereka dengan cara menunjukkan resiliensi mereka dimana
mereka mampu menghadapi masalah yang sedang terjadi. Namun berdasarkan hasil
penelitian harga diri pada remaja penyintas erupsi Gunung Sinabung tergolong sedang
dan terdapat beberapa penelitian mengatakan bahwa harga diri pada masa kanak-
kanak cenderung tinggi, menurun pada masa remaja, dan meningkat selama masa
dewasa awal sampai dewasa akhir, kemudian pada suatu saat harga diri juga bisa
menurun (Robins dkk dalam Shaffer, 2005).
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah dipaparkan, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara self-esteem dengan resiliensi pada
remaja penyintas erupsi Gunung Sinabung yang mengungsi di Posko di Desa
Mardingding di Terong Peren, Kecamatan Tiga Nderket, Kabupaten Karo, Sumatera
Utara. Namun, didapatkan hasil bahwa 60% remaja penyintas erupsi Gunung
Sinabung di Terong Peren memiliki resiliensi yang tinggi dan 80% remaja tersebut
memiliki self-esteem yang berada pada taraf sedang.
Saran
Setelah peneliti melakukan penelitian dan pengamatan langsung serta melihat
hasil penelitian yang ada pada remaja penyintas Gunung Sinabung di Posko di Desa
Page 24
15
Mardingding di Terong Peren, Kecamatan Tiga Nderket, Kabupaten Karo, Sumatera
Utara, maka berikut ini beberapa saran yang peneliti ajukan:
1. Bagi pihak pemerintah, masyarakat, dan relawan
Disarankan agar pemerintah, masyarakat dan relawan dapat lebih
memperhatikan dan memberikan bantuan penanganan mengenai trauma
healing karena bantuan trauma healing yang telah dilakukan cukup
membantu para pengungsi khususnya anak-anak dan remaja menjadi lebih
ceria dari sebelumnya dan juga dapat meningkatkan resiliensi mereka.
2. Bagi Pihak Posko
Disarankan agar pihak posko tetap semangat untuk memperjuangkan
bantuan yang telah direncanakan oleh pemerintah untuk para pengungsi serta
dapat memberikan semangat dan kegiatan yang menyenangkan untuk para
pengungsi khususnya remaja dan anak-anak di pengungsian agar mereka
tidak merasa tertekan dan takut, sehingga mereka dapat menjalani aktivitas
mereka dengan perasaan aman dan baik.
3. Bagi Orangtua
Disarankan kepada orangtua agar dapat selalu memberikan semangat
dan dukungan pada anak-anak mereka dikarenakan anak-anak dan remaja
lebih rentan mengalami trauma pasca bencana. Semangat dan dukungan dari
setiap orangtua diharapkan dapat memberikan motivasi kepada anak-anak
mereka untuk dapat menjalani hidup pasca bencana yang terjadi dan
meningkatkan resiliensi mereka.
Page 25
16
4. Bagi Subjek Penelitian
Diharapkan kepada remaja di pengungsian agar dapat mengikuti
program yang telah di berikan oleh para relawan dengan baik dan tetap
semangat dalam menjalani kehidupan dan saling mendukung dan memotivasi
satu dengan yang lainnya, khususnya kepada keluarga masing-masing agar
tetap tegar menjalani kehidupan.
5. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti lebih lanjut
mengenai resiliensi para penyintas dan juga faktor-faktor lain seperti
kemampuan kognitif individu, konsep diri, kompetensi sosial, kemampuan
mengatasi masalah, optimism, dukungan orangtua, kemiskinan, dan
kebudayaan yang mempengaruhi resiliensi pada penyintas, khususnya
penyintas Gunung Sinabung dikarenakan penelitian-penelitian mengenai para
penyintas masih minim. Peneliti selanjutnya juga dapat mengecek lagi alat
ukurnya terutama skala self-esteem dikarenakan dalam pnelitian ini item dari
skala tersebut banyak yang gugur.
Page 26
17
DAFTAR PUSTAKA
Aryani, F. (2014). Hubungan Harga Diri dengan Resiliensi Pada Orang dengan Lupus.
Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka.
Campbell-Sills, L. & Stein, M. B. (2007). Psychometric Analysis and Refinement of the
Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC): Validation of a 10-item measure of
resilience. Journal of Traumatic Stress 20(6), 1019-1028.
Connor & Davidson. (2003). Development of The New Resilience Scale: The Connor-
Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Journal of Depression and Anxiety. 18, 76-
83
Effendi, R. (2017). Abu vulkanik Gunung Sinabung Menyembur 4 Kali Hari Ini. Diakses
pada tanggal 5 Mei 2017 dari http://news.liputan6.com/read/2939932/abu-vulkanik-
gunung-sinabung-menyembur-4-kali-hari-ini.
Ekasari, A. & Andriyani, Z. (2013). Pengaruh Peer Group Support dan Self-Esteem
Terhadap Resilience Pada Siswa SMAN Tambun Utara Bekasi. Jurnal Soul. 6(1)
Everall, R. D., Altrows, K. J., & Paulson, B. L. (2006). Creating a Future: A Study of
Resilience in Suicidal Female Adolescents. Journal of Counseling & Development.
84(4), 461-470
Fara, E. (2012). Resiliensi Pada Dewasa Awal Berlatar Belakang Budaya Aceh yang
Mengalami Bencana Tsunami 2004. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Program
Studi Sarjana Reguler Universitas Indonesia.
Heatherton, T. F. & Polivy, J. (1991). Development and Validation of a Scale fo
Measuring State Self-Esteem. Journal of Personality and Social Psychology 60,
895-910.
Holaday, Morgot. (1997). Burns. Journal of Counseling and Development. 75, 346-357
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Edisi 5. Jakarta: Erlangga.
Ifdil & Taufik. (2012). Urgensi Peningkatan dan Pengembangan Resiliensi Siswa di
Sumatera Barat. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan. 12,2.
Inilah Kondisi Korban Erupsi Sinabung Di Posko Terong Peren. Diakses pada tanggal 8
mei 2017 dari http://video.metrotvnews.com//play/2017/01/27/649224/inilah-
kondisi-korban-erupsi-sinabung-di-posko-terong-peren.
Kamila, I. I. & Mukhlis. (2013). Perbedaan Harga Diri (Self-Esteem) Remaja Ditinjau dari
Keberadaan Ayah. Jurnal Psikologi. 9(2)
Kartono, K. (1981). Gangguan-Gangguan Psikis. Bandung: Sinar Baru.
Page 27
18
Kusumastuti, R. K. & Andrianto, S. (2006). Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan
Kecemasan Menjelang Batas Akhir Masa Studi. Naskah Publikasi. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
Mabruri, M. I. (2007). Hubungan Antara Kepribadian Tangguh (Hardiness) dan
Religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada
Korban Bencana Alam di Yogyakarta. Tesis. (Tidak dipublikasikan). Yogyakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Margareth, V. T. (2016). Hubungan Self-Esteem dengan Resiliensi Pada Siswa Sekolah
Menengah Pasca Bencana Banjir dan Tanah Longsor di Daerah Batu Gajah Ambon.
Skripsi. Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
McCubbin, L. (2001). Chalange to The Definition of Resilience. Paper presented at The
Annual Meeting of The American Psychological Association in San Francisco, 9
Mualfiah, R. & Indrijati, H. (2014). Hubungan Antara Tingkat Harga Diri dengan
Kecenderungan Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Pondok Pesantren Assalafi
Alfitrah Surabaya. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. 3(3)
Munauwarah & Mukaddimatul, S. (2008). Tipe kepribadian tanggung, harga diri,
dukungan sosial dan resiliensi pada remaja penyintas bencana gempa bumi di
Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Magister Sains Psikologi Universitas Gajah Mada.
Muti’ah, T. (2011). Studi Hubungan Antara Identitas Diri Dan Kecenderungan
Homoseksual Remaja di Yogyakarta. Jurnal Spirits. 1(2), 97-224
Oktaviani, D. (2012). Resiliensi Remaja Aceh yang Mengalami Tsunami. Skripsi. Depok:
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Paramitha, T & Nasution, P. (2017). Sinabung Kembali Semburkan Abu Vulkanik
Setinggi 1500 meter. Diakses pada tanggal 5 Mei 2017 dari
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/910853-sinabung-kembali-semburkan-
abu-vulkanik-setinggi-1-500-meter.
Priadmojo, D & Nasution, P. (2017). Gunung Sinabung Semburkan Abu Vulkanik 1800
meter. Diakses pada tanggal 5 Mei 2017 dari
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/911053-gunung-sinabung-semburkan-abu-
vulkanik-1-800-meter.
Purnomo, B. & Astuti, Y. D. (2005). Hubungan Harga Diri dengan Tingkat Depresi Pada
Remaja Santri Pondok Pesantren. Naskah Publikasi.Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Islam Indonesia.
Reivich, K & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor. New York: Broadway Books.
Shaffer, R, David. (2005). Social and personality development (5 th ediion). USA:
Thomson Learning Inc.
Page 28
19
Sinabung Yang Terlupakan. (2017). http://blog.turuntangan.org/sinabung-yang-
terlupakan/. Diakses pada tanggal 8 Mei 2017 pukul 08.46
Snyder, C. R., & Lopez, C. S. (2007). Positive psychology in scientic and practical
exploration of strenght. London: Sage Publication
Sulistyawan, Y. (2015). Kerugian Erupsi Gunung Sinabung Mencapai 1,49 Triliun.
Diakses pada tanggal 27 September 2016 dari http://medan.tribunnews.com/.
Yu, X & Zhang. J. (2007) Factor Analysis and Psychometric Evaluation of The Connor-
Davidson Resilience Scale (CD-RISC) with Chinese People. Journal of Social
Behavior and Personality. 35(1), 19-30.