-
i
HUBUNGAN POLA ASUH DENGAN STATUS GIZI BALITA DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS BATU ANAM KABUPATEN
SIMALUNGUN TAHUN 2018
TESIS
OLEH:
SARI SARASWATI PURBA
1602011159
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN 2019
-
ii
HUBUNGAN POLA ASUH DENGAN STATUS GIZI BALITA DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS BATU ANAM KABUPATEN
SIMALUNGUN TAHUN 2018
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kesehatan Masyarakat
(M.K.M) Pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi
Gizi Kesehatan
Keluarga Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Institut
Kesehatan Helvetia Medan
OLEH:
SARI SARASWATI PURBA
1602011159
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN 2019
-
iii
-
iv
Telah diuji pada tanggal: 1 April 2019
Panitia Penguji Tesis
Ketua : Prof.,Dr.,Ir., Evawany Yunita Aritonang, M.Si
Anggota : 1. Dr.Ir., Zuraidah Nasution, M.kes
Anggota : 2. Dr. Hj.Razia Begum Suroyo, M.Sc, M.Kes
Anggota : 3. Dr. Nur Aini, MS
-
v
-
vi
-
vii
ABSTRAK
HUBUNGAN POLA ASUH DENGAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH
KERJA
PUSKESMAS BATU ANAM KABUPATEN SIMALUNGUN 2018
SARI SARASWATI PURBA
1602011159
Pengasuhan berasal dari kata asuh yang mempunyai makna menjaga,
merawat dan
mendidik anak yang masih kecil. Status gizi merupakan salah satu
indikator kesehatan anak.
Masa lima tahun (masa balita) adalah periode penting dimana anak
membutuhkan kecukupan
gizi untuk menunjang pertumbuhan fisiknya. Anak bergantung pada
ibu yang berperan dalam
pengasuhan dan perawatan anak. Kab Simalungun terdapat 10
puskemas yang memilik anak
dengan kasus gizi buruk. Jumlah anak mengalami gizi buruk dan
penyakit penyerta pada 2017
sebanyak 73 anak. Status gizi balita diukur dengan indikator
berat badan/tinggi badan dan
diinterpretasikan berdasarkan klasifikasi status gizi WHO. Pada
tahun 2013 kabupaten
simalungun memiliki 12.1% penderita gizi buruk dan 8,2% gizi
kurang. Pada tahun 2017
kasus gizi buruk dan gizi kurang sebanyak 13 anak.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian
survei analitik dengan
menggunakan pendekatan cross sectional. Jumlah populasi ibu dan
anak balita berjumlah
1800 balita dan sampel nya 95 ibu anak dan balita.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50% balita memiliki status
gizi normal dan
23.8% balita memiliki status gizi sangat kurus. Pola asuh
berdasarkan pola asuh makan
terbanyak pada kategori baik yaitu 60,9% berdasarkan pola asuh
kesehatan terbanyak pada
kategori baik sebanyak 53,7% dan pola asuh diri terbanyak pada
kategori baik sebanyak
49,4%. Terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh makan
(P= 0,001), terdapat
hubungan yang tidak signifikan antara pola asuh kesehatan dengan
status gizi (P=0,237) dan
Pola asuh diri tidak terdapat adanya hubungan signifikan dengan
status gizi (P=0,724). Hasil
analisis multivariat didapatkan terdapat satu variabel yang
berpengaruh denga pola asuh
makan yang baik (OR=2.542).
Kesimpulan studi ini menyarankan kepada ibu-ibu agar
memperhatikan asupan makan
serta perawatan kesehatan anak. Ibu juga seharusnya membawa anak
secara rutin ke posyandu
atau pelayanan kesehatan terdekat.
Kata Kunci: Pola Asuh, Status Gizi, Balita
Daftar Pustaka : 17 Buku dan 26 Internet (2010 – 2018)
-
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat–Nya
sehingga penulis dapat meyelesaikan Tesis yang berjudul “
Hubungan Pola Asuh Terhadap
Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Batu Anam
Kabupaten Simalungun Tahun
2018”
Penulisan Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk melengkapi
tugas dan
memenuhi syarat dalam menyelesaikan Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat di
Institut Kesehatan Helvetia Medan. Penulis menyadari bahwa Tesis
ini masih banyak
kekurangan. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima saran
dan kritik yang bersifat
membangun demi kesempunaan Tesis ini.
Pada kesempatan ini, penulis secara khusus menucapkan terima
kasih kepada
Bapak/Ibu:
1. Dr. Hj.Razia Begum Suroyo, M.sc, M.Kes selaku Ketua Yayasan
Helvetia Medan dan selaku penguji I yang telah meluangkan banyak
waktu , tenaga serta fikiran dalam
memberikan masukan dan arahan dalam penulisan tesis ini.
2. Iman Muhammad, SE, S Kom, MM, M.Kes, selaku Ketua Yayasan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia
Medan.
3. Dr. Drs Ismail Efendi, M.Si, selaku Rektor Institut Kesehatan
Helvetia Medan 4. Dr. Asriwati, S.Kep., Ns., M.kes selaku Dekan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Institut
Kesehatan Helvetia Medan
5. Anto,S.K.M., M.Kes., M.M., selaku Ketua Program Studi S2
Kesehatan Helvetia Medan
6. Prof., Dr., Ir., Evawany Yunita Aritonang, M.Si, selaku
pembimbing I yang telah banyak membant memberi masukan, serta
motivasi yang membangun dalam proses
pengerjaan penulisan Tesis ini.
7. Dr., Ir., Zuraidah Nasution M.Kes, selaku pembimbing II yang
telah banyak memberi masukan dan bimbingan dalam proses penulisan
Tesis ini.
8. Dr. Nur Aini, MS selaku penguji II yang telah meluangkan
banyak waktu , tenaga serta fikiran dalam memberikan masukan dan
arahan dalam penulisan tesis ini.
9. Seluruh staf pengajar di Program Studi S-2 Kesehatan
Masyarakatt Institut Kesehatan Helvetia yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan bimbingan kepada penulis
selama masa pendidikan.
10. Teristimewa untuk Mama tercinta yang mendukung ku dalam
moril, kasih sayang dan motivasi selama pengerjaan Tesis dan Alm
Bapak Tercinta, juga Kakak dan adik-
adik ku juga orang spesial di hidupku yang mendukung dalam
pengerjaan Tesis ini
11. Terimakasih juga untuk suami ku tercinta yang selalau
mendukung ku dan selalu membantu ku dalam penyelesaian Tesis
ini.
-
ix
12. Rekan – Rekan Mahasiswa/i Program S-2 Kesehatan Masyarkat
Institut Kesehatan Helvetia yang saling memberikan dukungan dalam
menyelesaikan Tesis ini.
Akir kata penulis mengucapakn semoga Tesis ini bermanfaat bagi
pembaca dan semua
pihak serta bagi penulis khususnya, semoga Tuhan Yang Maha Esa
memberikan rahmat dan
karunia- Nya dan melindugi kita semua.
Medan, April 2019
Peneliti
Sari Saraswati Purba
1602011159
-
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRACT
...............................................................................................
i
ABSTRAK
...............................................................................................
ii
KATA PENGANTAR
.............................................................................
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
...............................................................
v
DAFTAR ISI
............................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR
..............................................................................
ix
DAFTAR TABEL
...................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN
..........................................................................
x
BAB 1 PENDAHULUAN
.........................................................................
1
1.1. Latar Belakang
.....................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah
................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian
.................................................................
6
1.3.1. Tujuan
Umum.............................................................
6
1.3.2. Tujuan Khusus
............................................................ 6
1.4. Manfaat Penelitian
...............................................................
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
.................................................................
8
2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
............................................. 8
2.2. Telaah Teori
.........................................................................
10
2.2.1. Pola Asuh Makan
....................................................... 10
2.2.2. Pola Asuh Kesehatan
.................................................. 22
2.2.3. Pola Asuh Diri
............................................................ 24
2.2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pola Asuh ...........
26
2.2.5. Hubungan Pola Asuh Makan dengan Status Gizi ...... 29
2.2.6. Status Gizi
..................................................................
31
2.3. Landasan Teori
....................................................................
41
2.4. Kerangka Konsep
.................................................................
42
2.5. Hipotesis
..............................................................................
42
BAB III METODE PENELITIAN
..............................................................
43
3.1. Jenis Penelitian
....................................................................
43
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
............................................... 43
3.2.1. Lokasi Penelitian
........................................................ 43
3.2.2. Waktu Penelitian
........................................................ 43
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
........................................... 43
3.3.1. Populasi Penelitian
..................................................... 43
3.3.2. Sampel Penelitian
....................................................... 44
-
xi
3.4. Teknik Pengumpulan Data
................................................... 45
3.4.1. Jenis Data
...................................................................
45
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data
......................................... 46
3.4.3 Validitas dan
Realibilitas............................................ 47
3.5. Defenisi Operasional Penelitian
........................................... 47
3.6. Metode Pengukuran
.............................................................
47
3.7. Teknik Analisa Data
............................................................ 49
3.7.1. Analisa Univariat
........................................................ 50
3.7.2. Analisa Bivariat
.......................................................... 50
3.7.3. Analisa Multivariat
..................................................... 50
BAB IV HASIL
PENELITIAN...................................................................
51
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
.................................... 51
4.2. Karakteristik Ibu dan Anak
.................................................. 51
4.2.1. Umur Ibu
....................................................................
51
4.2.2. Pendidikan Ibu
............................................................ 52
4.2.3. Umur Balita
...............................................................
52
4.2.4. Jenis Kelamin Balita
.................................................. 52
4.2.5. Gizi
Balita...................................................................
53
4.2.6. Distribusi Jawaban Responden Tentang Pola Asuh Makan
53
4.2.7. Distribusi Jawaban Responden Tentang Pola Asuh
Kesehatan
................................................................................
54
4.3. Analisis Bivariat
..................................................................
56
4.3.1. Hubungan Pola Asuh Makan dengan Status Gizi Balita 56
4.3.2. Hubungan Pola Asuh Kesehatan dengan Status Gizi
Balita
................................................................................
57
4.3.3. Hubungan Pola Asuh Diri dengan Status Gizi Balita. 58
4.4. Hasil Multivariat
..................................................................
59
4.4.1. Hasil Uji Regresi Berganda Hubungan Pola Asuh Makan,
Pola
asuh kesehatan dengan status gizi balita. ...................
59
4.4.2. Pemodelan tahap 1 (Enter)
......................................... 59
4.4.3. Pemodelan Tahap 2 (Forward)
................................... 59
4.4.4. Interprestasi Analisis Regresi Logistik Model Summary
60
BAB V PEMBAHASAN
..............................................................
62
5.1. Gambaran Karakteristik Keluarga
....................................... 62
5.2. Gambaran Status Gizi Balita
................................................ 64
5.3. Hubungan Pola Asuh Makan dengan Status Gizi Balita .....
65
5.4. Hubungan Pola Asuh Kesehatan dengan Status Gizi Balita
70
5.5. Hubungan Pola Asuh Diri dengan Status Gizi Balita
.......... 72
5.6. Keterbatasan Penelitian
........................................................ 74
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
...................................... 75
6.1. Kesimpulan
..........................................................................
75
6.2. Saran
....................................................................................
75
-
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Teori
.....................................................................
40
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Pola Asuh dengan
Status Gizi
Balita
...................................................................................
42
-
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
Tabel2.1 Angka Kecukupan Gizi
Balita..................................................... 21
Tabel 2.2. Penilaian Status Gizi berdasarkan Ideks BB/U,TB/U,
BB/TB Standart
Baku antropmetri WHO NCHS 2010
.................................. 34
Tabel 3.1. Defenisi Operasional
............................................................ 49
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Ibu di Puskesmas
Batu Anam
..............................................................................................
51
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Ibu di
Puskesmas Batu
Anam
....................................................................................
52
Tabel4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Balita di
Puskesmas Batu Anam
Kabupaten Simalungun 2018
............................................... 52
Tabel4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin di
Puskesmas Batu
AnamKabupaten Simalungun
.............................................. 52
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Gizi di
Puskesmas Batu
Anam Kabupaten Simalungun
............................................. 53
Tabel 4.6 Distribusi Jawaban Responden Tentang Pola Asuh Makan
.
Tabel 4.7. Distribusi Jawaban Responden Tentang Pola Asuh
Kesehatan
..............................................................................................
55
Tabel 4.8. Distribusi Jawaban Responden Tentang Pola Asuh Diri
.... 56
Tabel 4.9. Distribusi Responden Menurut Pola Asuh Makan dengan
Status Gizi
Balita
....................................................................................
57
Tabel 4.10 Distribusi Responden Menurut Pola Asuh Kesehatan
dengan Status
Gizi Balita
............................................................................
57
Tabel 4.11 Distribusi Responden Menurut Pola Asuh Diri dengan
Status Gizi
..............................................................................................
58
Tabel 4.12 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Berganda
..................... 59
Tabel 4.13 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Berganda
.................... 60
Tabel 4.14 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Model Summary
.......... 61
-
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
tingkat
kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan
baik apabila
terdapat keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik
dan
perkembangan mental orang tersebut. Tingkat status gizi optimal
akan tercapai
apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Status gizi
merupakan salah satu
indikator dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status gizi
yang baik dapat
membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk
menggapai
kematangan yang optimal (1).
Status gizi menggambarkan keadaan keseimbangan antara asupan
makanan dan kebutuhan zat gizi yang dibutuhkan tubuh dan dapat
di lihat melalui
petumbuhan fisik, ukuran tubuh, dan antropometri (2). Status
gizi merupakan
gambaran kelebihan atau kekurangan asupan makanan. Salah satu
bentuk
kekurangan gizi yaitu stunting (1).
Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang
pesat,
pada masa ini otak balita telah siap menghadapi berbagai
stimulant seperti belajar
berjalan dan berbicara lebih lancar. Masa balita juga disebut
dengan masa emas
sehingga perlunya perhatian pemenuhan gizi yang seimbang karena
pada masa ini
balita sangat rentan terhadap masalah gizi dan dapat berdampak
pada kualitas
hidupnya di usia remaja, dewasa dan usia lanjut (2).
-
2
Proses tumbuh kembang balita dapat berjalan dengan optimal
jika
kebutuhan nutrisinya terpenuhi, seorang anak harus mendapatkan
pemenuhan
gizi sesuai kebutuhannya yaitu kebutuhan akan nutrisi yang
seimbang, kebersihan
fisik serta kebersihan lingkungan disekitarnya. Kebutuhan balita
tersebut
merupakan kebutuhan pokok yang saling terkait, oleh sebab itu
kebutuhan
tersebut harus terpenuhi untuk mencapai perkembangan dan
pertumbuhan otak
yang optimal (2).
Penyebab langsung masalah gizi pada balita adalah ketidak
sesuaian
antara jumlah gizi yang dikonsumsi dengan jumlah gizi yang
diperlukan oleh
tubuh balita. Hal ini menyebabkan gizi tidak terpenuhi dan dapat
menyebabkan
berbagai macam gangguan seperti malnutrisi maupun obesitas pada
balita.Selain
itu penyakit infeksi juga menjadi penyebab langsung masalah
gizi, infeksi dapat
menyebabkan anak tidak merasa lapar dan tidak ingin makan
(2).
Berdasarkan data WHO bahwa secara global jumlah kematian balita
telah
berkurang dari setengah dalam periode antara 1990-2013, dari 84
kematian per
1000 kelahiran hidup (KH) menjadi 29 per 1000 KH. Penurunan
terjadi terutama
di Negara – Negara maju, namun di Negara- Negara tertinggal
seperti Afrika dan
di Negara- Negara Asia dan Amerika Latin angka kematianbalita
terus bertambah
yang disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya tidak
terpenuhnya kebutuhan
gizi (2).
Angka kematian bayi di Indonesia sebesar 32 per 1000 KH, masih
lebih
tinggi dibandingkan Negara – Negara Asia Tenggara lainnya
seperti Malaysia
yaitu 10/1000 KH, Brunei Darusalam yaity 7/1000 KH, dan
Singapore yaitu
-
3
5/1000 KH. Sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita di
Indonesia
adalah masalah yang terjadi pada bayi baru lahir/neonatal (umur
0-28 hari).
Masalah nenonatal ini melputi asfiksia, BBLR dan infeksi. Diare
dan peneumonia
merupakan penyebab kematian berikutnya pada bayi dan balita dan
penyakir
lainnya serta di kontribusi oleh masalah kekurangan gizi
(3).
Menurut data Riskedas pada tahun 2013, terdapar 19,6% balita
kekurangan gizi yang terdiri dari 5,7 % balita gizi buruk dan
13,9% berstatus gizi
kurang. Sebesar 4,5% balita dengan gizi lebih. Jika dibandingkan
dengan angka
prevalensi nasional tahun 2007 (18.4%) dan tahun 2010 (17.9%)
prevalensi
kekurangan gizi pada balita tahun 2013 terlihat meningkat.
Balita kekurangan gizi
tahun 2010 terdiri dari 13 % balita berstatus gizi kurang dan
4.9% berstatus gizi
buruk (4).
Diantara 33 propinsi di Indonesia, 19 propinsi memiliki
prevalensi balita
kekurangan gizi di atas angka prevalensi nasional yaitu sebesar
antara 19.7%
sampai dengan 33.3%. Berdasarkan MDGs 2015, terdapat tiga
propinsi yang
memiliki prevalensi balita kekurangan gizi sudah mencapai
sasaran yaitu: 1) Bali
(13.2%), DKI Jakarta (14%), Kepulauan Bangka Belitung (15.1%)
(4).
Pada Profil Kesehatan Sumatera Utara tahun 2013 balita dengan
status gizi
buruk di Sumatera Utara pada tahun 2013 sebesar 22.4% yang
terdiri dari 8.3%
gizi buruk dan 14.1% gizi kurang. Angka ini lebih tinggi 2.8%
dengan angka
prevalensi gizi berat nasional yaitu 19.6%. Jika di bandingkan
angka provinsi
tahun 2010 (21.3%) tidak ada penurunan yang signifikan. Dengan
angka sebesar
-
4
22.4% prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Sumatera Utara
termasuk tinggi
dari kategori WHO: 5-95 rendah, 10-19 % medium dan tinggi >
40% (5).
Hasil penelitian dari Amy Prahesti dengan judul Hubungan Pola
Asuh gizi
dengan gangguan pertumbuhan (Growth Faltering) pada anak 0 – 12
bulan di
Kabupaten Semarang diketahui bahwa ada hubungan amtara pola asuh
gizi yang
meliputi praktek pemberian makan dan minum: prelaktal terhadap
gangguan
pertumbuhan (6).
Pola pengasuhan berkaitan dengan kemampuan keluarga untuk
menyediakan waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak agar
dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik maupun mental
sosial. Faktor
tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan pengetahuan
dan keterampilan
keluarga. Semakin tinggi tingkat ketahanan keluarga, maka
semakin baik pola
pengasuhan anak dan keluarga dan semakin banyak memanfaatkan
pelayanan
keshatan yang ada (6).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniati dengan judul
Hubungan
Pola Asuh Gizi dengan perkembangan bayi usia 6-12 bulan di
wilayah kerja
puskesmas Pagar Agung Sumatera Selatan diketahui memiliki
hubungan
pemberian makanan/minumana prelaktal dengan perkembangan bayi,
ada
hubungan riwayat pemberian kolostrum terhadap perkembangan bayi,
ada
hubungan pola pemberian ASI dengan perkembangan bayi, ada
hubungan
pemberian MP ASI terhadap perkembangan bayi (7).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun
terdapat
10 Puskemas yang memilik anak dengan kasus gizi buruk. Jumlah
anak yang
-
5
mengalami gizi buruk dan penyakit penyerta pada 2017 sebanyak 73
anak. Pada
tahun 2013 Kabupaten Simalungun memiliki 12.1% penderita gizi
buruk dan
8,2% gizi kurang (8). Berdasarkan survey awal yang telah
dilakukan peneliti di
Puskesmas Batu Anam, didapatkan data cakupan bahwa balita yang
menderita
gizi buruk dan gizi kurang masih tinggi. Jumlah balita yang
menderita gizi kurang
pada tahun 2017 sebanyak 2 orang yang mengalami gizi buruk dan
gizi kurang
sebanyak 13 orang. Dari data yang diterima dari Puskesmas Batu
Anam, jumlah
kehadiran ibu dan balita belum memenuhi standard. Hal ini
sejalan dengan
penelitian yang di lakukan PSG di Indonesia mengenai kehadiran
ibu dan balita
dalam membawakan anak nya ke posyandu.
Berdasarkan latar belakang di atas, terjadinya peningkatan
status gizi
kurang mempengaruhi derajat kesehatan pada balita yang berdampak
pada
perkembangan dan pertumbuhan balita, peningkatan terjadinya
gangguan status
gizi adalah akibat ketidaktahuan tentang konsumsi gizi, pola
asuh makan sesuai
umur balita. Hasil wawancara diawal peneliti dengan responden
diketahui bahwa
ibu yang memiliki anak gizi buruk, umumnya bekerja serabutan,
tidak memiliki
penghasilan tetap dan lebih banyak bekerja diluar sehinga balita
kurang mendapat
asuhan dari ibunya. Selain itu responden mengatakan bahwa
anaknya tidak nafsu
makan, tidak memakan makanan yang bervariasi, tidak minum susu
dan jarang
diperiksa ke posyandu.Oleh karena itu, maka penulis tertarik
untuk melakukan
penelitian yang berjudul “Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi
Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Batu Anam Kabupaten Simalungun”.
-
6
1.2. Rumusan Masalah
Wilayah kerja Puskesmas Batu AnamKabupaten Simalungun
memiliki
kasus gizi buruk. Dari kasus tersebut masih terdapat balita gizi
buruk yang tidak
mengalami kesembuhan walaupun sudah ditangani tenaga kesehatan
melalui
pemberia PMT, penyuluhan dan pemantauan. Orangtua balita pun
tidak terlalu
merasa khawatir dengan keadaan yang demikian, mereka beranggapan
hal ini
dapat pulih seiring berjalan nya waktu. Upaya menanggulangi
keadaan balita gizi
buruk tentunya memerlukan perhatian khusus, sebab itu jika sudah
salah dalam
menanganinya bisa berakibat fatal. Oleh sebab itu upaya yang
dilakukan adalah
dengan pengasuhan yang optimal. Berdasarkan hal tersebut maka
rumusan
masalah dalam penelitian adalah:
1.2.1. Apakah ada hubungan pola asuh makan dengan status gizi
balita
1.2.2. Apakah ada hubungan pola asuh kesehatan dengan ststus
gizi balita
1.2.3. Apakah ada hubungan pola asuh diri dengan status gizi
balita
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk menganalisa hubungan pola asuh dengan status gizi balita
di
wilayah kerja Puskesmas Batu Anam Kabupaten Simalungun
1.3.2. Tujuan Khusus
1) Untuk menganalisa hubungan pola asuh makan dengan status gizi
balita
wilayah kerja Puskesmas Batu Anam Kabupaten Simalungun.
2) Untuk menganalisa hubungan pola asuh Kesehatan dengan status
gizi
balita wilayah kerja Puskesmas Batu Anam Kabupaten
Simalungun.
-
7
3) Untuk menganalisahubungan pola asuh diri dengan status gizi
balita
wilayah kerja Puskesmas Batu Anam Kabupaten Simalungun.
4) Untuk menganalisa faktor dominan pola asuh dengan status gizi
balita
wilayah kerja Puskesmas Batu Anam.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1.4.1 Bagi masyarakat diharapkan dapat memperoleh penyuluhan
yang
maksimal tentang pola asuh pada anak balita.
1.4.2 Bagi Puskesmas Batu Anam Kabupaten Simalungun, diharapkan
dari hasil
penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam promosi
kesehatan
yang berkaitan dengan pola pengasuhan orang tua.
1.4.3 Bagi peneliti lain sebagai studi perbandingan untuk
dijadikan pengkajian
yang lebih mendalam terhadap hubungan pola asuh dengan status
gizi
balita.
-
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Sri
Subekti peneliti
pengetahuan gizi dan kesehatan ibu balita lebih dari setengahnya
berada pada
kategori sedang. Pola asuh makan lebih dari setengah dari ibu
balita termasuk
dalam kategori cukup baik. Sedangkan untuk pola asuh kesehatan
ibu balita
berada pada kategori baik. Status gizi anak balita yang diukur
dengan
antropometri, umumnya berada pada kategori normal. Uji korelasi
spearman
mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang positif dan
signifikan dan dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi skor pengetahuan gizi ibu maka
pola asuh
makan yang diberikan ibu kepada anak balitanya akan semakin baik
pula (9).
Berdasarkan hasil penelitian, status gizi balita usia 4-12 bulan
di wilayah
kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora 45,59% kurang. Sedang
praktek pola
asuh gizi yang terdiri dari praktek pemberian makanan/minuman
prelaktal 36,76%
kurang, praktek pemberian kolostrum 44,12% tidak diberikan,
praktek pemberian
ASI 47,06% sedang, praktek pemberian makanan pendamping ASI
57,35%
sedang, dan praktek penyapihan 79,41% belum disapih. Hasil
perhitungan
menunjukkan ada hubungan positif antara praktek pemberian
makanan/minuman
prelaktal(p=0,001,C=0,572), praktek pemberian kolostrum
(p=0,001, φ =0,556),
praktek pemberian ASI (p=0,001,C=0,499), praktek pemberian
MP-ASI
(p=0,001,C=0,515) dengan status gizi. Adapun praktek penyapihan
tidak
menunjukan adanya hubungan dengan status gizi balita (p=0,115)
(10).
-
9
Penelitian yang dilakukan oleh Cut Husein penyebab kurang
gizi
dipengaruhi oleh factor langsung makanan dan penyakit infeksi,
tidak langsung
ketahanan pangan keluarga, perawatan kesehatan, pola asuh dan
praktek
kebersihan lingkungan. Gempa Bumi dan gelombang Tsunami di
provinsi NAD
berdampak sangat besar pada status gizi masyrakat Aceh terutama
balita. Dari 6
Kecamatan di Kabupaten Pidie Jaya yang terparah terkena Tsunami
terdapat
angka gizi buruk 2.4 % dan gizi kurang 18.8% meningkat sebelum
terjadi
Tsunami (11).
Penelitian yang dilakukan oleh Julita Nainggolan mengenai
Pengetahuan
gizi Ibu dan sikap gizi Ibu sangat berhubungan dengan status
gizi balita.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
pengetahuan dan sikap
gizi ibu dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas
Rajabasa Indah
Kelurahan Rajabasa Raya Bandar Lampung. Penelitian dilakukan
dengan metode
observasional dengan pendekatan cross-sectional. Populasi dalam
penelitian ini
seluruh Ibu dari balita yang menjadi responden di wilayah kerja
Puskesmas
Rajabasa Indah kelurahan Rajabasa Raya yang berjumlah 264
respoden. Sampel
yang digunakan sebanyak 159 responden dengan teknik pengambilan
sampel
secara Accidental sampling. Data dianalisis secara univariat,
bivariat dan
multivariat. Hasil penelitian penelitian terdapat 100 (46,9%)
yang memiliki status
gizi kurang, 59 (37,1%) siswa dengan status gizi baik, 87
(54,7%) responden yang
pengetahuan kurang, 72 (45,3%) responden dengan baik, 82 (51,6%)
responden
yang memiliki sikap kurang, 77 (48,4%) responden dengan sikap
baik (12).
-
10
2.2. Telaah Teori
2.2.1. Pola Asuh Makan
Pola asuh makan orangtua kepada anak atau parental feeding
adalah
perilaku orangtua yang menunjukkan bahwa mereka memberikan makan
pada
anaknya baik dengan pertimbangan atau tanpa pertimbangan. Pola
asuh makan
sebagai praktek – praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu
kepada anak balita
dengan cara dan situasi makan (13).
Pentingnya seorang ibu terutama terlihat sejak kelahiran
anaknya. Agar
pola hidup anak sesuai dengan standar kesehatan, mengatur pola
asuh yang benar
tidak kalah penting dibandingkan dengan mengatur pola makan yang
benar. Pola
asuh yang benar bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang
penuh serta
kasih sayang pada anak, memberinya waktu yang cukup untuk
menikmati
kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga (14).
Dalam masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan
dengan
anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan berkembang di bawah
asuhan dan
perawatan orang tua. Oleh karena itu orang tua merupakan dasar
pertama bagi
pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak beradaptasi
mengenal
lingkungan dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang
berlaku di
lingkungannya. Dengan demikian dasar pengembangan dari seorang
individu
telah diletakkan oleh orang tua melalui praktek pengasuhan anak
sejak masih bayi
(14).
Pengasuhan berasal dari kata asuh (to rear) yang mempunyai
makna
menjaga, merawat dan mendidik anak yang masih kecil. Wagnel dan
Funk
-
11
menyebutkan bahwa mengasuh itu meliputi menjaga serta memberi
bimbingan
menuju pertumbuhan ke arah kedewasaan. Pengertian lain
diutarakan oleh
Webster yang mengatakan bahwa mengasuh itu membimbing menuju
ke
pertumbuhan ke arah kedewasaan dengan memberikan pendidikan,
makanan dan
sebagainya terhadap mereka yang di asuh. Dari beberapa
pengertian tentang batas
asuh, menurut Whiting dan Child dalam proses pengasuhan anak
yang harus
diperhatikan adalah orang-orang yang mengasuh dan cara penerapan
larangan atau
keharusan yang dipergunakan. Larangan maupun keharusan terhadap
pola
pengasuhan anak beraneka ragam. Tetapi pada prinsipnya cara
pengasuhan anak
mengandung sifat: pengajaran (instructing), pengganjaran
(rewarding) dan
pembujukan (13).
Di negara timur seperti Indonesia, keluarga besar masih lazim
dianut dan
peran ibu seringkali di pegang oleh beberapa orang lainnya
seperti nenek,
keluarga dekat atau saudara serta dapat juga di asuh oleh
pembantu. Kerangka
konseptual yang dikemukan oleh UNICEF yang dikembangkan lebih
lanjut oleh
Engle et al menekankan bahwa tiga komponen makanan – kesehatan –
asuhan
merupakan faktor-faktor yang berperan dalam menunjang
pertumbuhan dan
perkembangan anak yang optimal. Engle et al mengemukakan bahwa
pola asuh
meliputi 6 hal yaitu: (1) perhatian/dukungan ibu terhadap anak,
(2) pemberian ASI
atau makanan pendamping pada anak, (3) rangsangan psikososial
terhadap anak,
(4) persiapan dan penyimpanan makanan, (5) praktek kebersihan
atau higiene dan
sanitasi lingkungan dan (6) perawatan balita dalam keadaan sakit
seperti pencari
pelayanan kesehatan. Pemberian ASI dan makanan pendamping pada
anak serta
-
12
persiapan dan penyimpanan makanan tercakup dalam praktek
pemberian makanan
(13).
1. Perhatian/Dukungan Ibu terhadap Anak dalam Praktek Pemberian
Makanan
Semua orangtua harus memberikan hak anak untuk tumbuh. Semua
anak
harus memperoleh yang terbaik agar dapat tumbuh sesuai dengan
apa yang
mungkin dicapainya dan sesuai dengan kemampuan tubuhnya. Untuk
itu maka
diperlukan perhatian/dukungan orangtua. Untuk tumbuh dengan baik
tidak cukup
dengan memberinya makan, asal memilih menu makanan dan asal
menyuapi anak
nasi. Akan tetapi anak membutuhkan sikap orangtuanya dalam
memberi makan.
Semasa bayi, anak hanya menelan apa saja yang diberikan ibunya.
Sekalipun yang
ditelannya itu tidak cukup dan kurang bergizi. Demikian pula
sampai anak sudah
mulai disapih. Anak tidak tahu mana makanan terbaik dan mana
makanan yang
boleh dimakan. Anak masih membutuhkan bimbingan seorang ibu
dalam memilih
makanan agar pertumbuhannya tidak terganggu. Bentuk
perhatian/dukungan ibu
terhadap anak meliputi perhatian ketika makan, mandi dan sakit
(15).
Wanita yang berstatus sebagai ibu rumah tangga memiliki peran
ganda
dalam keluarga, terutama jika memiliki aktivitas di luar rumah
seperti bekerja
ataupun melakukan aktivitas lain dalam kegiatan sosial. Wanita
yang bekerja di
luar rumah biasanya dalam hal menyusun menu tidak terlalu
memperhatikan
keadaan gizinya, tetapi cenderung menekankan dalam jumlah atau
banyaknya
makanan. Sedangkan gizi mempunyai pengaruh yang cukup atau
sangat berperan
bagi pertumbuhan dan perkembangan mental maupun fisik anak.
Selama bekerja
ibu cenderung mempercayakan anak mereka diawasi oleh anggota
keluarga
-
13
lainnya yang biasanya adalah nenek, saudara perempuan atau anak
yang sudah
besar bahkan orang lain yang diberi tugas untuk mengasuh anaknya
(15).
1) Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping Pada
Anak
Bila ibu dan bayi sehat, ASI hendaknya secepatnya diberikan
karena ASI
merupakan makanan terbaik dan dapat memenuhi kebutuhan gizi
selama 3 – 4
bulan pertama. ASI yang diproduksi pada 1-5 hari pertama
dinamakan kolostrum,
yaitu cairan kental yang berwarna kekuningan. Kolostrum ini
sangat
menguntungkan bayi karena mengandung lebih banyak antibodi,
protein, mineral
dan vitamin A. Pemberian ASI tidak dibatasi dan dapat diberikan
setiap saat.
Produksi ASI dirangsang oleh isapan bayi dan keadaan ibu yang
tenang.
Disamping itu perlu diperhatikan kesehatan ibu pada umumnya,
status gizi dan
perawatan payudara. Pemberian ASI tidak dibatasi dan dapat
diberikan setiap saat
terutama ASI eksklusif.
ASI eksklusif adalah bayi yang diberi ASI saja tanpa tambahan
cairan lain
seperti susu formula, madu, air teh, air putih dan tanpa
tambahan makanan padat
seperti pisang, pepaya, bubur, biskuit dan tim. Pemberian ASI
secara eksklusif ini
dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi
bila mungkin
sampai 6 bulan.
Setelah bayi berumur 6 bulan harus mulai diperkenalkan dengan
makanan
padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun
atau bahkan
lebih dari 2 tahun. Pada keadaan-keadaan khusus dibenarkan untuk
mulai
memberi makanan padat setelah bayi berumur 4 bulan tetapi belum
mencapai 6
bulan. Misalnya karena terjadi peningkatan berat badan bayi yang
kurang dari
-
14
standar atau didapatkan tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa
pemberian
ASI eksklusif tidak berjalan dengan baik. Namun, sebelum diberi
makanan
tambahan sebaiknya coba diperbaiki dahulu cara menyusuinya.
Cobalah hanya
memberi bayi ASI saja tanpa memberi minuman atau makanan lain.
Selain itu,
bayi harus sering disusui, perhatikan posisi menyusui. Secara
umum usahakan
dahulu agar cara pemberian ASI dilakukan sebaik mungkin. Apabila
setelah 1 – 2
minggu ternyata upaya perbaikan tersebut tidak menyebabkan
peningkatan berat
badan, maka pemberian makanan tambahan atau padat diberikan bagi
bayi berusia
diatas 4 bulan.
Menurut Sulistjani, seiring bertambahnya usia anak, ragam
makanan yang
diberikan harus bergizi lengkap dan seimbang yang mana penting
untuk
menunjang tumbuh kembang dan status gizi anak (15). Dalam hal
pengaturan pola
konsumsi makan, ibu mempunyai peran yang sangat penting dalam
memilih jenis
makanan yang bergizi seimbang. Setelah berumur 6 bulan, bayi
memerlukan
makanan pendamping karena kebutuhan gizi bayi meningkat dan
tidak seluruhnya
dapat dipenuhi oleh ASI. Pemberian makanan pendamping harus
bertahap dan
bervariasi, dari mulai bentuk bubur cair kebentuk bubur kental,
sari buah, buah
segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan
padat.
Pemberian pertama cukup 2 kali sehari, satu atau dua sendok teh
penuh.
Pada usia 6-9 bila oleh suatu sebab (misalnya ibu bekerja atau
hamil lagi) bayi
tidak memperoleh ASI, maka kepada bayi diberikan PASI (Pengganti
Air Susu
Ibu). PASI dibuat dari susu sapi yang susunan gizinya sudah
diubah menjadi
hampir sama dengan susunan gizi ASI, sehingga dapat diberikan
kepada bayi
-
15
tanpa menyebabkan akibat sampingan. Akan tetapi belum ada PASI
yang tepat
menyerupai susunan AS (16).
Proses penyapihan dimulai pada saat yang berlainan. Pada
beberapa
kelompok masyarakat (budaya) tertentu, bayi tidak akan disapih
sebelum berusia
6 bulan. Bahkan ada yang baru memulai penyapihan setelah bayi
berusia 2 tahun.
Sebaliknya, pada masyarkat urban bayi disapih terlalu dini yaitu
baru beberapa
hari lahir sudah diberi makanan tambahan bayi setidak-tidaknya
membutuhkan
empat porsi.
Menginjak usia 9 bulan bayi telah mempunyai gigi dan mulai
pandai
menguyah makanan. Sekitar usia 1 tahun bayi sudah mampu memakan
makanan
orang dewasa. Anak usia 2 tahun memerlukan makanan separuh
takaran orang
dewasa. Makanan sapihan yang ideal harus mengandung makanan
pokok, lauk
pauk, sayur-sayuran, buah-buahan dan minyak atau lemak. Makanan
sapihan baru
boleh diberikan setelah bayi disusui atau diantara dua jadwal
penyusunan. Sebab,
diawal masa penyapihan, ASI masih merupakan makanan pokok.
Sementara
makanan sapihan hanyalah sebagai pelengkap (17).
Kemudian secara berangsur ASI berubah fungsi sebagai makanan
tambahan, sementara makanan sapihan menjadi santapan utama.
Pemberian
makanan padat atau tambahan yang terlalu dini dapat mengganggu
pemberian ASI
eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan pada bayi. Selain
itu, tidak
ditemukan bukti yang menyokong bahwa pemberian makanan padat
atau
tambahan pada usia 4 – 6 bulan lebih menguntungkan. Bahkan
sebaliknya, hal ini
akan mempunyai dampak yang negatif terhadap kesehatan bayi
(18).
-
16
2) Persiapan dan Penyimpanan Makanan
Pada saat mempersiapkan makanan, kebersihan makanan perlu
mendapat
perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar
dapat
menyebabkan diare atau cacingan pada anak. Begitu juga dengan si
pembuat
makanan dan peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok,
gelas, piring dan
sebagainya sangat menentukan bersih tidaknya makanan. Hal-hal
yang perlu
diperhatikan dalam mempersiapkan dan menyimpan makanan adalah
:
1. Simpan makanan dalam keadaan bersih, hindari pencemaran dari
debu dan
binatang.
2. Alat makan dan memasak harus bersih.
3. Ibu atau anggota keluarga yang memberikan makanan harus
mencuci
tangan dengan sabun sebelum memberi makan.
4. Makanan selingan sebaiknya dibuat sendiri.
2. Praktek Pemberian Kolostrum
1) Batasan Kolostrum
Kolostrum (susu pertama) adalah ASI yang keluar pada hari-hari
pertama
setelah bayi lahir (4-7 hari) berwarna kekuning-kuningan dan
lebih kental karena
mengandung banyak vitamin, protein, dan zat kekebalan yang
penting untuk
kesehatan bayi dari penyakit infeksi Menurut Anik Maryunani
cairan yang
dikeluarkan dari buah dada ibu selama beberapa hari pertama
setelah bayi
dilahirkan merupakan suatu cairan yang menyerupai air, agak
kuning yang
dinamakan kolostrum. Cairan tersebut mengandung lebih banyak
protein dan
mineral serta sedikit karbohidrat dari pada susu ibu sesudahnya.
Kolostrum juga
-
17
mengandung beberapa bahan anti penyakit yang dialihkan melalui
susu dari tubuh
ibu kepada bayi yang diteteki. Bahan anti tersebut membantu bayi
menyediakan
sedikit kekebalan terhadap infeksi penyakit, selama bulan-bulan
pertama dari
hidupnya. Kolostrum berfungsi sebagai perlindungan terhadap
infeksi pada bayi
(6).
2) Hal – hal yang berpengaruh terhadap pemberian kolostrum
Meskipun kolostrum sangat penting untuk meningkatkan daya tahan
bayi
terhadap penyakit, namun masyarakat terutama ibu-ibu masih
banyak yang tidak
memberikan kolostrum kepada bayinya. Hal ini sebagian besar
disebabkan oleh
ketidaktahuan mereka akan manfaat kolostrum bagi bayinya.
Kebanyakan ibu-ibu
di pedesaan yang persalinannya ditolong oleh dukun bayi belum
terlatih selalu
membuang kolostrum dengan alasan bahwa ASI tersebut mengandung
bibit
penyakit. Biasanya kolostrum tersebut dikubur bersama plasenta
bayi. Selain
karena kepercayaan tersebut di beberapa daerah memang terdapat
tradisi yang
mengharuskan untuk membuang kolostrum. Sedangkan sedikitnya
penyuluhan
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk meningkatkan
pengetahuan gizi
masyarakat semakin memperburuk keadaan ini.
3. Praktek Pemberian ASI
Pada minggu bulan terakhir kehamilan, kelenjar kelenjar pembuat
ASI
mulai menghasilkan ASI. Pertumbuhan dan perkembangan bayi
sebagian besar
ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh termasuk energy dan
zat gizi lainnya
yang terkandung di dalam ASI tersebut. ASI tanpa bahan makanan
lain dapat
mencukupi kebutuhan pertumbuhan sampai usia bayi 6 bulan
(19).
-
18
1) Batasan ASI eksklusif dan non eksklusif
ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sejak lahir
sampai
usia 4 bulan tanpa diberi makanan pendamping ataupun makanan
pengganti ASI. Sedangkan ASI non eksklusif adalah pola pemberian
ASI
yang ditambah dengan makanan lain baik berupa MP-ASI maupun
susu
formula.
2) Alasan pemberian ASI eksklusif antara lain adalah
a) Pada periode usia bayi 0–4 bulan kebutuhan gizi bayi baik
kualitas
maupun kuantitas terpenuhi dari ASI saja tanpa harus
diberikan
makanan/minuman lainya.
b) Pemberian makanan lain akan mengganggu produksi ASI dan
mengurangi kemampuan bayi untuk mengisap.
c) Zat kekebalan dalam ASI maksimal dan dapat melindungi bayi
dari
berbagai penyakit infeksi.
Asam lemak essensial dalam ASI bermanfaat untuk pertumbuhan
otak
sehingga merupakan dasar perkembangan kecerdasan bayi dikemudian
hari.
Penelitian menunjukan bahwa IQ pada bayi yang diberi ASI
memiliki IQ point
4,3 point lebih tinggi pada usia 18 bulan, 4-6 point lebih
tinggi pada usia 3 tahun,
dan 8,3 point lebih tinggi pada usia 8,5 tahun, dibanding dengan
bayi yang tidak
diberi ASI.
3) Kebutuhan ASI Bayi
Rata-rata bayi memerlukan 150 ml susu per kilogram BB
perhari,
sehingga bayi dengan BB 3,5 Kg memerlukan 525 ml sehari, bayi 5
Kg
-
19
memerlukan 750 ml, dan bayi 7 Kg memerlukan 1 L per hari.
Apabila bayi
mengikuti garis pertumbuhan normalnya selama 6 bulan pertama
maka kebutuhan
susu 15 L.
4) Lama Menyusui
Ibu selalu dinasehati untuk menyusui selama 3-5 menit
dihari-hari pertama
dan 5–10 menit dihari-hari selanjutnya. Namun demikian,
pengisapan oleh bayi
biasanya berlangsung lebih lama antara 15–25 menit.
5)Hal-hal yang berpengaruh terhadap pola pemberian ASI.
Hal-hal yang mendasar yang sangat berhubungan dengan pola
pemberian
ASI adalah pengetahuan ibu mengenai ASI eksklusif, baik maksud
maupun
manfaat pemberian ASI tersebut bagi bayi. Pengetahuan ini dapat
ditingkatkan
dengan penyuluhan oleh petugas kesehatan. Dengan sedikitnya
frekuensi
penyuluhan yang dilakukan maka pengetahuan ini akan sulit
ditingkatkan dan
perubahan kearah praktek yang diharapkan akan sulit diwujudkan.
Selain itu
sedikitnya ASI yang dihasilkan juga mendorong praktek pemberian
ASI
dilakukan secara parsial dimana ASI tetap diberikan dengan
ditambah dengan
susu formula. Sedangkan faktor yang secara tidak langsung
berpengaruh terhadap
pemberian ASI ini antara lain keterlibatan sosial orang tua,
pekerjaan orang tua,
serta pendidikan orang tua. Hal ini lebih bisa dimaklumi sebab
interaksi orang tua
dengan lingkungannya akan menambah pengalaman yang berguna
untuk
melakukan praktek yang lebih baik (20).
-
20
4. Praktek pemberian MP-ASI
1) Batasan MP-ASI
Makanan pendamping ASI merupakan makanan tambahan yang
diberikan
pada bayi setelah bayi berusia 4-6 bulan sampai bayi berusia 24
bulan. Selain MP-
ASI, ASI pun harus tetap diberikan kepada bayi, paling tidak
sampai usia 24
bulan. MP-ASI merupakan makanan tambahan bagi bayi, makanan ini
harus
menjadi pelengkap dan dapat memenuhi kebutuhan bayi. Jadi MP-ASI
berguna
untuk menutupi kekurangan zatzat gizi yang terkandung didalam
ASI. Dengan
demikian, cukup jelas bahwa peranan MP-ASI bukan sebagai
pengganti ASI
tetapi untuk melengkapi atau mendampingi ASI (20).
2) Tujuan pemberian MP-ASI
Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk menambah energi dan zat
gizi
yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat mencukupi kebutuhan
bayi yang
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan berat
badan.
Gangguan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal
dapat
terjadi ketika kebutuhan energi dan zat gizi bayi tidak
terpenuhi. Hal ini dapat
disebabkan asupan makanan bayi yang hanya mengandalkan ASI saja
atau
pemberian makanan tambahan yang kurang memenuhi syarat.
Disamping itu
faktor terjadinya infeksi pada saluran pencernaan memberi
pengaruh yang cukup
besar.
3) Hal-hal yang berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI
Menurut Hery Winarsi faktor utama yang berpengaruh terhadap
praktek
pemberian MP-ASI adalah pengetahuan dan pendidikan ibu. Dengan
pendidikan
-
21
yang cukup ditunjang pengetahuan gizi modern akan menjadikan
praktek
pemberian MP-ASI kepada bayi semakin baik. Selain itu ternyata
lingkungan
sosial juga tidak lepas pengaruhnya pada hal ini. Dalam
kebudayaan tertentu
adanya kebiasaan makan bagi bayi yang khas dengan berbagai
pantangan yang
ada sangat mempengaruhi baik tidaknya praktek penberian MP-ASI
oleh ibu bagi
bayinya (20).
5. Kebutuhan Gizi Anak Balita
1. Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi dan protein pada bayi dan anak per kg BB lebih
besar
dari pada kebutuhan energi dan protein orang dewasa karena anak
tumbuh dan
berkembang. Kebutuhan energi dan protein per kg berat badan per
hari menurun
seiring dengan bertambahnya umur, sedangkan kebutuhan zat gizi
mikro semakin
meningkat sesuai dengan umur. Kebutuhan zat gizi dipengaruhi
oleh berbagai
keadaan seperti status gizi, status pertumbuhan, aktivitas dan
ada tidaknya
penyakit (21).
Angka Kecukupan Energi dan Protein yang dianjurkan untuk Bayi
dan
Anak (per orang per hari)
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi Balita
Umur BB (kg) TB
(cm)
Energi
(kkal)
Energi
(kkal/kg BB) Protein
Protein
(9/kg BB)
1-3 Tahun 13 91 1125 86,5 26 2
4-6 Tahun 19 112 1600 84,2 35 1,8
Sumber : Permenkes RI 2013
-
22
2. Kebutuhan Protein
Kebutuhan protein didefenisikan sebagai kebutuhan secara
biologis protein
atau asam amino minimal yang secara individual dapat digunakan
untuk
mempertahankan kebutuhan fungsional individu. Kebutuhan protein
pada saat
lahir sampai usia 1 tahun sangat tinggi sehubungan dengan
kecepatan
pertumbuhan anak. Protein merupakan sumber asam amino essensial
yang
diperlukan sebagai zat pembangun.
3. Kebutuhan Lemak
Lemak merupakan sumber energy paling besar selain
karbohidrat.
Disamping itu lemak juga dibutuhkan dalam penerapan vitamin A,
D, E, K dan
sumber asam lemak essensial. Kekurangan asam lemak essensial
dapat
mengakibatkan hambatan perkembangan dan pertumbuhan. Kebutuhan
lemak
bagi bayi adalah 40 -50% dari energy total. Balita sekitar
30-35%, anak > 3 tahun
25 -30 % dari energy total.
4. Kebutuhan Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energy yang terdapat dalam
berbagai
makanan. Setiap 1 gram karbohidrat menghasilkan 4kkal. Bayi yang
menyusu
kepada ibunya mendapat 40% kalori dari laktosa. Kebutuhan
karbohidrat pada
anak 55-65% dari total kalori.
2.2.2. Pola Asuh Kesehatan
Pola asuh kesehatan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
status
kesehatan anak balita. Pola asuh kesehatan adalah cara dan
kebiasaan orang tua/
keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak balita. Engle et al
mengemukakan
-
23
bahwa salah satu pola asuh yang berhubungan dengan kesehatan dan
status gizi
anak balita adalah pola asuh kesehatan. Pola asuh ini meliputi
pola asuh yang
sifatnya preventif seperti pemberian imunisasi, pemberian kapsul
vitamin A,
pencegahan muntah dan mencret, pencegahan ISPA, Posyandu. Range
et al
mengemukakan bahwa dalam pola asuh kesehatan tidak terlepas juga
dari praktek
higiene yang diterapkan oleh ibu. Praktek higiene yang mendukung
dalam pola
asuh kesehatan diantaranya adalah kebiasan buang air besar,
kebiasaan mencuci
tangan, kebersihan makanan dan akses terhadap fasilitas
kesehatan yang modern.
Balita adalah anak yang berusia di bawah lima tahun. Biasanya
anak balita belum
bersekolah sehingga sering disebut juga dengan istilah anak usia
pra sekolah.
Masa balita merupakan masa terpenting dalam kehidupan. Azwar
mengemukakan
bahwa masa balita merupakan periode emas, karena pada masa ini
terjadi
pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal terlebih lagi
pada periode dua
tahun pertama kehidupan seorang anak (21).
Kebersihan lingkungan yang kurang akan memudahkan terjadinya
penyakit-penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare dan
cacingan.
Sedangkan kebersihan lingkungan erat hubungannya dengan penyakit
saluran
pernafasan, saluran pencernaan, serta penyakit akibat nyamuk.
Oleh karena itu
penting membuat lingkungan menjadi layak untuk tumbuh kembang
anak
sehingga meningkatkan rasa aman bagi ibu atau pengasuh anak
dalam
menyediakankesempatan bagi anaknya untuk mengeksplorasi
lingkungan keadaan
perumahan yang layak menyatakan kondisi lingkungan anak harus
benar-benar
diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan
-
24
berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah,
kebutuhan
ruang (bermain anak), pergantian udara, sinar matahari,
penerangan, air bersih,
pembuangan sampah/limbah, kamar mandi dan jamban/ WC dan halaman
rumah
(19).
Kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang
peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan
dengan
konstruksi bangunan yang tidak membahayakan penghuninya akan
menjamin
keselamatan dan kesehatan penghuninya yaitu ventilasi dan
pencahayaan yang
cukup, tidak sesak, cukup leluasa bagi anak untuk bermain dan
bebas polusi.
2.2.3. Pola Asuh Diri
Pola Asuh Diri adalah tindakan yang dilakukan ibu dalam membantu
anak
untuk memberikan dukungan sosial sehingga berpengaruh positif
terhadap status
gizi, pertumbuhan dan perkembangan balita. Konsep ini selaras
dengan penelitian
sebelumnya yang meniliti anak-anak yang tetap tumbuh dan
berkembang dengan
baik dalam keterbatasan lingkungan dimana sebagian besar anak
lainnya
mengalami kekurangan gizi. Dalam penelitian tersebut terungkap
bahwa kondisi
dan asuhan psikososial seperti keterikatan antara ibu dan anak
merupakan salah
satu faktor penting yang menjelaskan mengapa anak-anak tersebut
tumbuh dan
berkembang dengan baik (17).
Diperkirakan bahwa kondisi psikososial yang buruk dapat
berpengaruh
negatif terhadap penggunaan zat gizi didalam tubuh, sebaliknya
kondisi
psikososial yang baik akan merangsang hormon pertumbuhan
sekaligus
merangsang anak untuk melatih organ-organ perkembangannya.Selain
itu, asuhan
-
25
psikososial yang baik berkaitan erat dengan asuhan gizi dan
kesehatan yang baik
pula sehingga secara tidak langsung berpengaruh positif terhadap
status gizi,
pertumbuhan dan perkembangan merawat anak, mulai dari
memandikan,
menyuapi sampai mengasuh hampir semuanya dilakukan oleh ibu.
Merawat anak
dan menyediakan keperluan makan dan minum anak merupakan tugas
sehari-hari
yang sudah melekat pada diri seorang ibu. Akan tetapi, tugas itu
tidak hanya itu
saja bila ibu bekerja diluar rumah. Ibu juga harus mengingatkan
tugas anak-
anaknya mengenai pekerjaan yang harus dilakukan atau belum
dilakukan seperti
mengingatkan anak supaya mandi, makan dan mengingatkan waktu
bila anaknya
bermain. Anak memerlukan berbagai variasi permainan untuk
kebutuhan fisik,
mental dan perkembangan emosinya. Bermain bukan berarti
membuang-buang
waktu, juga bukan berarti membuat anak menjadi sibuk sementara
orangtuanya
mengerjakan pekerjaannya sendiri. Anak harus mempunyai cukup
waktu untuk
bermain. Untuk bermain diperlukan alat permainan yang sesuai
dengan umur dan
taraf perkembangannya (17).
Kebersihan lingkungan yang kurang akan memudahkan terjadinya
penyakit-penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare dan
cacingan.
Sedangkan kebersihan lingkungan erat hubungannya dengan penyakit
saluran
pernafasan, saluran pencernaan, serta penyakit akibat nyamuk.
Oleh karena itu
penting membuat lingkungan menjadi layak untuk tumbuh kembang
anak
sehingga meningkatkan rasa aman bagi ibu atau pengasuh anak
dalam
menyediakankesempatan bagi anaknya untuk mengeksplorasi
lingkungan keadaan
perumahan yang layak menyatakan kondisi lingkungan anak harus
benar-benar
-
26
diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan
berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah,
kebutuhan
ruang (bermain anak), pergantian udara, sinar matahari,
penerangan, air bersih,
pembuangan sampah/limbah, kamar mandi dan jamban/ WC dan halaman
rumah
(19).
Kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang
peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan
dengan
konstruksi bangunan yang tidak membahayakan penghuninya akan
menjamin
keselamatan dan kesehatan penghuninya yaitu ventilasi dan
pencahayaan yang
cukup, tidak sesak, cukup leluasa bagi anak untuk bermain dan
bebas polusi.
2.2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pola Asuh
1. Tingkat pendapatan keluarga
Keadaan ekonomi keluarga relatif lebih mudah diukur dan
berpengaruh
besar pada konsumsi pangan, dimana konsumsi pangan pada balita
ditentukan dari
pola asuh gizi, terutama pada keluarga golongan miskin. Hal ini
disebabkan
karena penduduk golongan miskin menggunakan sebagian besar
pendapatannya
untuk memenuhi kebutuhan makanan. Dua peubah ekonomi yang cukup
dominan
sebagai determinan pola asuh gizi adalah pendapatan keluarga dan
harga (baik
harga pangan maupun harga komoditas kebutuhan dasar). Perubahan
pendapatan
dapat mempengaruhi perubahan pola asuh gizi yang secara
langsung
mempengaruhi konsumsi pangan pada balita. Meningkatnya
pendapatan berarti
memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan
kuantitas yang
-
27
lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan
penurunan
dalam hal kualitas dan penurunan kuantitas pangan yang dibeli
(22).
2. Tingkat pendidikan ibu
Menurut Kunaryo Hadikusumo yang dikutip oleh Hardianto
tingkat
pendidikan adalah jenjang aktifitas dan usaha manusia untuk
meningkatkan
kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya,
yaitu rohani
(pikir, rasa, karsa, cipta dan budi nurani) dan jasmani (panca
indera dan
keterampilan keterampilan) melalui pendidikan formal. Adapun
tingkat
pendidikan di negara kita meliputi: pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan
pendidikan tinggi. Pendidikan orang tua merupakan salah satu
faktor yang penting
dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik,
maka orang
tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang
cara pengasuhan
anak yang baik/cara mempraktekkan pola asuh dalam kehidupan
sehari-hari,
bagaimana cara menjaga kesehatan anak, pendidikannya dan
sebagainya (23).
3. Tingkat pengetahuan ibu
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan
gizi
didasarkan pada tiga kenyataan:
1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan
kesejahteraan.
2) Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang
dimakannya
mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan
yang
optimal, pemeliharaan dan energi.
3) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk
dapat
belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan
gizi.
-
28
Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan
pangan dan
nilai pangan adalah umum disetiap negara di dunia. Kemiskinan
dan
kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor
penting
dalam masalah kurang gizi. Lain sebab yang penting dari gangguan
gizi
adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan
untuk
menerapkan informasi, dengan pengetahuan yang kurang dapat
menentukan pola asuh gizi yang dilaksanakan sehari-hari
(24).
4. Jumlah anggota keluarga
Besar kecilnya jumlah anggota keluarga akan berpengaruh
terhadap
pembagian pangan pada masing-masing anggota keluarga. Pada
keluarga yang
memiliki balita, dengan jumlah anggota keluarga yang besar bila
tidak didukung
dengan seimbangnya persediaan makanan di rumah maka akan
berpengaruh
terhadap pola asuh yang secara langsung mempengaruhi konsumsi
pangan yang
diperoleh masing-masing anggota keluarga terutama balita yang
membutuhkan
makanan pendamping ASI. Program Keluarga Berencana telah
mencanangkan
bahwa jumlah anggota keluarga yang paling ideal adalah 4 orang.
Program
pemerintah ini bertujuan agar anggota keluarga dengan jumlah
sekian diharapkan
dapat lebih memudahkan keluarga tersebut mencukupi semua
kebutuhan anggota
keluarganya, tanpa menanggung beban kebutuhan anggota
keluarganya yang
banyak. Namun program pemerintah ini belum 100 % berhasil.
Terbukti dengan
masih banyaknya keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga
yang banyak.
Hal ini lebih banyak dilihat pada keluarga yang tinggal di
pedesaan.
-
29
2.2.5. Hubungan Pola Asuh Makan dengan Status Gizi
Pola asuh gizi anak adalah sikap dan perilaku ibu atau pengasuh
lain
dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat,
menjaga
kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya itu
sangat
berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Pola asuh yang tidak
memadai
dapat menyebabkan anak tidak suka makan atau tidak diberikan
makanan
seimbang, dan juga dapat memudahkan terjadinya penyakit infeksi
yang
kemudian dapat berpengaruh terhadap status gizi anak. Pola asuh
gizi pada balita
terdiri dari praktek pemberian makanan/minuman prelaktal,
pemberian kolostrum,
pemberian ASI, pemberian MP-ASI dan penyapihan menjelaskan
adanya
hubungan antara praktek pemberian makanan/minuman prelaktal
dengan status
gizi, yang mana makanan/minuman prelaktal tersebut memang tidak
seharusnya
diberikan karena saluran pencernaan bayi belum cukup kuat untuk
mencerna
makanan selain ASI dan apabila dipaksakan dapat menimbulkan
terjadinya
penyakit infeksi yang dapat mempengaruhi status gizi bayi
(25).
Menurut Suhardjo kolostrum dapat mempengaruhi status gizi
balita,
karena kolostrum mengandung lebih banyak protein, mineral serta
sedikit
karbohidrat dari pada susu ibu sesudahnya. Kolostrum juga
mengandung beberapa
bahan anti penyakit yang dapat membantu bayi menyediakan
kekebalan terhadap
penyakit infeksi yang mempengaruhi status gizi. Konsumsi makanan
yang
diperoleh bayi umur 0-12 bulan berasal dari pola asuh gizi yang
salah satunya
adalah praktek pemberian ASI. ASI merupakan makanan yang terbaik
bagi bayi
dan anak bibawah umur 2 tahun. ASI mengandung zat gizi yang
lengkap dalam
-
30
jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi sampai dengan umur 4 bulan,
sehingga
ASI adalah makanan tunggal yang seharusnya diberikan kepada bayi
umur 0- 4
bulan. Selain itu ASI mengandung zat kekebalan yang dapat
melindungi bayi dari
berbagai penyakit infeksi. ASI juga merupakan makanan yang
bersih, praktis
dengan suhu yang sesuai dengan bayi/anak serta dapat
meningkatkan hubungan
psikologis serta kasih sayang antara ibu dan anak. Dengan
demikian jelas bahwa
ASI mempunyai hubungan terhadap status gizi, semakin baik
praktek pemberian
ASI maka semakin baik pula status gizi bayi. Selain ASI konsumsi
makanan yang
diperoleh bayi dibawah umur 2 tahun adalah makanan pendamping
ASI (MP-
ASI).
Makanan ini diberikan dengan tujuan untuk melengkapi kebutuhan
gizi
bayi yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya umur
bayi.
Sebagaimana dijelaskan oleh Soekirman bahwa salah satu faktor
langsung dari
status gizi adalah konsumsi makanan, maka secara tidak langsung
praktek
pemberian MP-ASI merupakan salah satu faktor langsung dari
status gizi pada
bayi. Pengaruh praktek penyapihan terhadap status gizi bayi
dijelaskanoleh
Depkes bahwa bayi yang sehat pada usia penyapihan akan tumbuh
dengan pesat
dan sehat, sehingga kekawatiran terjadinya gizi kurang akibat
penyakit infeksi
dapat dihindari. Sedangkan menurut masa penyapihan adalah proses
dimana
seorang bayi secara perlahan-lahan memakan makanan keluarga
ataupun makanan
orang dewasa sehingga secara bertahap bayi semakin kurang
ketergantungannya
pada ASI dan perlahan-lahan proses penyusuan akan terhenti.
Dengan demikian
-
31
praktek penyapihan secara langsung mempengaruhi konsumsi makanan
pada bayi
dimana konsumsi makanan tersebut merupakan faktor langsung dari
status gizi.
2.2.6. Status Gizi
1. Pengertian Status gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat interaksi antara
asupan
energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan
keadaan kesehatan
tubuh. Status gizi adalah kondisi tubuh sebagai akibat
penyerapan zat-zat gizi
esensial. Status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan zat
gizi dengan
kebutuhan tubuh, yang diwujudkan dalam bentuk variabel
tertentu.
Ketidakseimbangan (kelebihan atau kekurangan) antara zat gizi
dengan kebutuhan
tubuh akan menyebabkan kelainan patologi bagi tubuh manusia.
Keadaan
demikian disebut malnutrition (gizi salah atau kelainan gizi).
Secara umum,
bentuk kelainan gizi digolongkan menjadi 2 yaitu overnutrition
(kelebihan gizi)
dan under nutrition (kekurangan gizi). Overnutrition adalah
suatu keadaan tubuh
akibat mengkonsumsi zat-zat gizi tertentu melebihi kebutuhan
tubuh dalam waktu
yang relative lama. Undernutrition adalah keadaan tubuh yang
disebabkan oleh
asupan zat gizi sehari-hari yang kurang sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan
tubuh (25).
2. Penilaian Status Gizi
Secara umum, status gizi dapat dikatakan sebagai fungsi
kesenjangan gizi,
yaitu selisih antara konsumsi zat gizi dengan kebutuhan zat gizi
tersebut.
Kesenjangan gizi bermanifestasi menurut tingkatannya, sebagai
berikut:
-
32
a. mobilisasi cadangan zat gizi, yaitu upaya menutup kesenjangan
yang
masih kecil dengan menggunakan cadangan gizi dalam tubuh;
b. deplesi jaringan tubuh yang terjadi jika kesenjangan tersebut
tidak dapat
ditutupi dengan pemakaian cadangan;
c. perubahan biokimia, suatu kelaian yang terlihat dalam cairan
tubuh;
d. perubahan fungsional, yaitu kelaianan yang terjadi dalam tata
kerja faali
e. perubahan anatomi. Suatu perubahan yang bersifat lebih
menetap (24).
Metode penilaian status gizi dapat dikelompokkan berdasarkan
tingkat
perkembangan kekurangan gizi, yaitu metode konsumsi, metode
laboratorium, metode antropometri dan metode klinik.
Menurut Supariasa penentuan status gizi dapat dikelompokkan
dalam
metode langsung dan metode tidak langsung. Metode penilaian
status gizi secara
langsung meliputi metode biokimia, antropometri, klinik dan
biofisik. Sedangkan
metode tidak langsung adalah metode konsumsi makanan, statistik
vital dan
faktor-faktor ekologi (25).
3. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri
1. Umur
Umur sangat memegang peranan penting dalam penentuan status
gizi,
kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi
yang salah. Hasil
penimbangan berat badan maupun tinggi bada yang akurat, menjadi
tidak berarti
bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan
yang sering
muncul adalah adanya kecenderunga utuk memiih angka yang mudah
seperti 1
-
33
tahunn; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak
perlu dihitung
dengan cermat.
2. Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan
gambaran
massa jaringan termasuk massa cairan tubuh. Berat badan sangat
peka terhadap
perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun
konsumsi
makanan yang menurun. Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk
indeks BB/U
(Berat Badan menurut umur ) atau melakukan penilaian dengan
melihat
perubahan berat badan pada saat penguukuran dilakukan, yang
dalam
penggunaannya, memberikan gambaran keadaan kini. Berat badan
paling banyak
digunakan karena hanya memerlukan pengukuran satu pengukuran,
hanya saja
tergantung pada ketepatan umur, tetapi kurang dapat
menggambarkan
kecenderugan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu.
3. Tinggi Badan
Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat
dari
keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik
utuk melihat
keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan
berat badan lahir
rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan
dalam bentuk
index TB/U (Tinggi badan menurut umur ) atau jugga indeks BB/TB
(Berat badan
menurut tinggi badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi
badan yang
lambat dan biasanya hanya dilakukan settahun sekali (26).
-
34
4. Klasifikasi Status Gizi
Berdasarkan kesepakatan pada Temu Pakar bidang gizi
merekomendasikan penggunaan baku rujukan WHO sebagai standar
atau rujukan
dalam penentuan status (26).
Tabel 2.2. Penilaian Status Gizi berdasarkan Ideks BB/U,TB/U,
BB/TB
Standart Baku antropmetri WHO NCHS 2010
No Indeks yang dipakai Batas
Pengelompokan
1 BB/ U < -3sd
-3 s/d +2 SD
Gizi Buruk
Giz Kurang
Gizi Baik
Gizi Lebih
2 TB/U
-
35
pendapat mengenai faktor determinan yang dapat menyebabkan
timbulnya
masalah gizi pada bayi di antaranya menyatakan bahwa kekurangan
gizi
dipengaruhi oleh functional outcome (mis.kognitif), status gizi
/ pertumbuhan
kematian, intake makanan, perawatan / pola asuh, ketersediaan
makanan,
sedangkan penyebab mendasar adalah makanan, perawatan (pola
asuh) dan
pelayananan kesehatan (20). Interaksi dari berbagai faktor
sosial ekonomi dapat
menyebabkan jatuhnya seorang anak pada keadaan kekurangan gizi
perlu
dipertimbangkan. Status ekonomi mempengaruhi pertumbuhan bayi,
melalui
konsumsi makan dan kejadian infeksi.
6. Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan dapat diartikan sebagai suatu rangkaian alat
pencernaan
yang berfungsi untuk mengolah makanan dan menghasilkan energi.
Untuk
menjadi energi, makanan harus dicerna terlebih dahulu. ada 2
jenis pencernaan
yakni :
a) Mekanik
Adalah proses mengubah makanan dari ukuran besar menjadi lebih
kecil,
misalnya penghancuran makanan dengan menggunakan gigi
dimulut.
b) Kimiawi
Adalah proses pencernaan makanaan dari molekul kompleks
menjadi
molekul yang lebih sederhana dengan bantuan enzim, seperti
pencernaan
amilum oleh amilase menjadi maltosa.Makanan yang dimakan
oleh
manusia akan melalui saluran pencernaan.
-
36
1. Cavumoris
Makanan dirongga mulut dihaluskan oleh gigi. Dalam mulut,
terdapat lidah
yang tersusun atas otot lurik yang diselubungi lapisan mukosa.
Pada lidah
terdapat paipla/tonjolan yang berfungsi sebagai indera pengecap.
Lidah
berfungsi juga sebagai pengatur letak makanan, mendorong makanan
ke
esofagus serta mencampur makanan dengan saliva (ludah).Saliva
dimulut
terdiri atas air, ludah dan enzim amilase (ptialin). Amilase
bekerja pada pH
normal, menyebabkan tidak bekerja di lambung.
2. Esofagus
Setelah melalui rongga mulut, makanan menuju ke Esofagus
(kerongkongan).
Dikerongkongan, makanan terdorong menuju lambung oleh gerakan
otot
memanjang dan sehingga terjadi gerak peristaltik. Waktu makanan
dari
kerongkongan mencapai waktu kurang lebih sekitar enam detik
.
3. Ventrikulus
Dari Kerongkongan, makanan bergerak menuju lambung. Lubang
lambung
sellau dalam keadaan tertutup, tetapi apabila ada makanan masuk,
secara
reflex sfingter kardial akan membuka. Dilambung, makanan dicerna
dengan
menggunakan enzim HCl yang berfungsi untuk membunuh bibit
kuman
penyakit yang ikut terbawa bersama makanan, Renin yang
berfungsi
mengendapkan protein susu (kasein) derta pepsin yang berfungsi
mengubah
protein menjadi pepton. Pepsin dihasilkan dalam bentuk belum
aktif, yakni
pepsinogen, tetapi kemudian diaktifkan oleh HCl. selain
mengalami
pencernaan kimiawi, dilambung terjadigerakan meremas oleh otot
dinding
-
37
lambung sehingga terjadi pencernaan mekanik. Setelah ±3jam,
makanan
berubang menjadi bubur halus (kim). Setelah beberapa lama,
berkat gerak
peristaltik lambung, makanan terdorong keusus halus melalui
sfingter pylorus
sedikit.
4. Intestinum
Usus halus manusia terbagi menjadi 3 bagian, yaitu duodenum
(usus 12 jari),
jejunum (usus kosong) dan ileum (usus penyerapan). Duodenum
merupakan
muara saluran empedu, disana terjadi pengemulsian lem ak oleh
empedu
sehingga lebih mudah dicerna oleh enzim lipase yang dihasilkan
Pankreas.
Pankreas menghasilkan beberapa enzim yakni lipase, Tripsinogen
dan
amilase. Selain itu, usus halus juga menghasilkan beberapa enzim
yakni
sakarase, maltase, erepsinogen dan laktase. Lipase berfungsi
mencerna lemak
menjadi asam lemak dan gliserol. Tripsinogen diaktifkan oleh
enterokinase
menjadi tripsin yang berfungsi mencerna pepton menjadi asam
amino.
Amilase berfungsi mengubah amilum menjadi glukosa. Sakarase
berfungsi
mengubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Maltase
berfungsi
mengubah maltosa menjadi glukosa. Erepsinogen diaktifkan
oleh
enterokinase menjadi erepsin yang berfungsi mengubah pepton
menjadi asam
amino. Laktase berfungsi mengubah Laktosa menjadi
glukosa.Berdasarkan
jumlah gugus, karbohidrat dibagi menjadi 3 jenis yaitu mono
sakarida,
disakarida dan pilosakarida. Monosakarida terdiri atas glukosa,
fruktosa dan
galaktosa. Disakarida terdiri atas sukrosa, laktosa dan maltosa.
Polisakarida
terdiri atas amilum dan glikogen. Monosakarida adalah yang dapat
diserap
-
38
tubuh. Pada usus halus terdpaat jonjot usus (vili) yang
berfungsi memperluas
permukaan usus halus. vili tersusun atas pembuluh darah,
pembuluh limfa
dan sel goblet. Panjang usus halus (intestinum) ±6-8m. Duodenum
±25cm,
jejunum ±2,5cm, ileum ±3,6m
5. Kolon
Setelah melalui usus halus, makanan masuk ke usus besar. Didalam
usus
besar terdapat bakteri E.Coli yang hidup pada zat makanan yang
tidak dapat
dicerna manusia seperti selulosa dan menghasilkan vitamin K dan
H (biotin)
yang kemudian diserap tubuh. Didalam usus besar tidak terjadi
proses
pencernaan mekanik maupun kimiawi, tetapi terjadi penyerapan
air,
pembentukan massa feses dan pembentukan lender untuk melumasi
mukosa.
Proses pengeluaran feses melalui anus disebut defekasi. Disaat
lambung dan
usus halus kembali terisi oleh makanan, terjadi rangsangan pada
kolon untuk
melakukan defekasi yang disebut reflex gastrokolik yang secara
sadar dapat
dirasakan. usus besar terdiri atas bagian yang naik (asenden),
mendatar
(transversum) dan menurun (desenden). Selain alat pencernaan,
sistem
pencernaan terdiri pula atas kelenjar pencernaan diantaranya
hati, kelenjar
endokrin, kelenjar saliva, paotis, submaksilaris, sublingualis
dan pankreas.
Hati dan pankreas bekerjasama dalam mengatur kadar gula dalam
darah.
ketika kadar gula tinggi, pankreas mensekresikan hormon insulin
yang
merangsang hati mengubah glukosa menjadi glikogen sedangkan pada
saat
guladarah rendah, pankreas mengeluarkan hormon glucagon yang
merangsang hatu mengubah glikogen menjadi glukosa. Pada
sistem
-
39
pencernaan manusia dapat terjadi beragam gangguan diantaranya
sebagai
berikut:
1. Kolik
2. Malabsopsi (kelainan kemampuan lambung dan usus untuk
menyerap sari
makanan menurun)
3. Keracunan makanan (dikarenakan zat aditif pada makanan)
(27).
-
40
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Dikutip dari : Engle, et alModifikasi dari Endang Suwiji
2013
STATUS GIZI
POLA ASUH
KESEHATAN
POLA ASUH
MAKAN
POLA ASUH DIRI
1. Perhatian dan dukungan pada ibu
2. Perkembangan Anak
3. Persiapan dan penyimpanan makanan
4. Praktik kebersihan dan Sanitasi
5. Perawatan anak dalam keadaan sakit dan praktik kesehatan
Sumber
Ekonomi/Makanan
1. Produksi Makan
2. Pendapatan
3. Lapangan
Pekerjaan
Sumber Daya
Kesehatan
1. Pemenuhan air
bersih
2. Ketersediaan
Pelayanan Kesehatan
Sumber Pengasuhan
1. Pengetahuan
2. Kesehatan Mental
3. Pekerjaan
4. Waktu
5. Dukungan Sosial
Konteks sosial, politik, budaya
-
41
2.3. Landasan Teori
Kesehatan balita merupakan indikator dalam menentukan masa
depannya.
Unsur gizi merupakan faktor penting dalam membentuk SDM yang
berkualitas.
Tigginya prevalensi kejadian kurang gizi berpengaruh terhadap
rendahnya
kualitas SDM. Kekurangan gizi dapat mengakibatkan beberapa efek
serius seperti
kegagalan pertumbuhan fisik serta tidak optimalnya proses
perkembangan dan
kecerdasan anak . Apabila masalah kekurangan gizi terus terjadi
maka hal ini
dapat menjadi faktor penghambat pembangunan.
Kelompok yang paling rentan terhadap gangguan kesehaan dan gizi
adalah
anak balita. Status gizi balita merupakan hal penting yang harus
diketahui oleh
setiap orang tua. Hal ini di dasarkan fakta bahwa kurang gizi
yang terjadi pada
massa emas bersifat irreversible (tidak dapat pulih). Rentang
usia 1-5 tahun
merupakan masa kritis bagi anak karena pada usia ini terjadi
pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat cepat.
-
42
2.4. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
v
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Pola Asuh
Dengan Status Gizi Balita
2.5. Hipotesis
Ho1: Ada hubungan pola asuh makan dengan status gizi balita
Ho2: Ada hubungan pola asuh kesehatan dengan status gizi
balita
Ho3: Ada hubungan pola asuh diri dengan status gizi balita
POLA ASUH MAKAN
POLA ASUH KESEHATAN
POLA ASUH DIRI
STATUS GIZI BALITA
-
43
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitiansurvei analitik dengan menggunakan pendekatan cross
sectional, yaitu
penelitian dimana cara pengukuran variabel bebas dan variabel
terikat dalam
waktu yang bersamaan yang bertujuan untuk menganalisahubungan
pola asuh
dengan status gizi balita pada wilayah kerja Puskesmas Batu Anam
Kabupaten
Simalungun (28).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Batu
Anamyang
berlokasi di Kabupaten Simalungun dengan alasan bahwa hasil
laporan 2018
penderita balita gizi buruk sebanyak 6 anak .
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama bulan Juni 2018- Agustus 2018
yang
dimulai dari bulan februari sebagai survey awal.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu dan balita umur
24 - 59
bulan yang bertempat tinggal diwilayah kerja Puskesmas Batu Anam
yang
berjumlah 1.800 orang.
-
44
3.3.2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalalah bagian dari populasi yang digunakan
dalam
penelitian. Penentuan besar sampel minimal pada penelitian ini
dihitung
berdasarkan rumus slovin sebagai berikut:
Keterangan:
n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan
N= Jumlah populasi
d = Kesalahan (absolut) yang dapat ditolelir yaitu sebesar
0.1
N = 94,7 pembulatan 95 orang
Berdasarkan karakteristik sampel maka sampel minimal yang
diambil
sebanyak 95 anak dengan menggunakan teknik simple random
sampling.
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah :
1) Balita yang mempunyai KMS dengan catatan hasil penimbangan
lengkap
minimal 3 bulan terakhir sampai dilaksanakannya penelitian.
2) Bayi lahir normal/tidak prematur.
3) Balita dalam keadaan sehat (Tidak dalam keadaan sakit)
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Balita yang diasuh selain ibunya
2) Subyek tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian.
3) Tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap sehingga sulit
dihubungi.
-
45
3.4. Teknik Pengumpulan Data
3.4.1. Jenis Data
1. Data Primer
Data primer adalah: Data yang di kumpulkan langsung oleh
peneliti
meliputi :
a. Data umum responden: Data balita yang meliputi nama, umur,
jenis
kelamin, dan BB balita. Data keluarga meliputi nama ibu, umur
ibu,
pendidikan ibu, pekerjaaan, penghasilan keluarga dan alamat.
b. Data berat badan anak diperoleh melalui pengukuran dengan
menggunakan timbangan Dacin yang mempunyai kapasitas 25 kg
dengan
tingkat ketelitian 0,1 kg.
c. Data tinggi badan anak diperoleh melalui pengukuran
dengan
menggunakan mikrotoa dan pengukur panjang badan.
d. Data tentang pola asuh diperoleh melalui pengukuran kuesioner
yang
meliputi :
(1) Pola Asuh Makan
(2) Pola Asuh Kesehatan
(3) Pola Asuh Diri
(4) Data tentang status gizi diperoleh dengan menggunakan
index
antropometri berdasarkan BB/TB
-
46
2. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari wilayah kerja
Puskesmas
Batu Anam Kabupaten Simalungun Tahun 2018, meliputi data jumlah
anak balita
yang berhubungan dengan penelitian.
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data penelitian dilakukasn dengan mengisi
lembar
kuesioner yang telah disiapkan oleh peneliti dan menimbang berat
badan balita
kemudian menggunakan tabel standart baku berdasarkan World
Health
Organization untuk menentukan status gizi balita berdasarkan
berat badan dengan
usia balita di Puskesmas Batu Anam Kabupaten Simalungun.
3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas
a. Uji Validitas
Validitas berarti alat ukur suatu penelitian dapat mengukur apa
yang
hendak diukur. Suatu instrument kuesioner dikatakan valid jika
nilai r-
hitung lebih besar dari r-tabel atau r hitung > r-tabel. Uji
validitas
kuisioner dilakukan pada ibu yang memiliki anak usia 23 - 59
bulan
sebanyak 95 responden. Pengambilan responden harus
berdasarkan
kesamaan karakteristik dengan responden dalam penelitian
maka
peneliti mengambil lokasi uji validitas kuesioner di Puskesmas
Batu
Anam Kabupaten Simalungun.
-
47
b. Uji Reliabilitas
Menentukan derajat konsistensi dari instrument penelitian
berbentuk
kuesioner, tingkat reliabilitas dapat dilakukan dengan
menggunakan
SPSS melalui uji cronchbach alpa yang dibandingkan dengan tabel
r .
3.5. Defenisi Operasional Penelitian
1) Pola Asuh Makan adalah Sebagai praktek – praktek pengasuhan
yang
diterapkan oleh ibu kepada anak balita dengan cara dan situasi
makan.
2) Pola Asuh Kesehatan adalah Kegiatan keluarga melayani
kebutuhan
kesehatan anak yang meliputi pemberian imunisasi, kapsul vitamin
A,
penimbangan di posyandu dan hygiene priadi.
3) Pola Asuh Diri adalah Tindakan yang dilakukan ibu dalam
membantu
anak untuk memberikan dukungan sosial sehingga berpengaruh
positif
terhadap status gizi, pertumbuhan dan perkembangan balita
4) Balita adalah : Anak yang berusia 2 -5 tahun.
5) Status gizi adalah: Keadaan kesehatan anak balita yang
diukur
menggunakan index BB/TB dengan membandingkan Antropometri
WHO
NCHS 2010.
3.6. Metode Pengukuran
1. Variabel Independen
1) Pola Asuh Makan diukur berdasarkan jawaban kuesioner dari
keseluruhan
semua item pertanyaan dalam perhatian/dukungan ibu dalam pola
asuh
-
48
makan, yang terdiri dari 25 pertanyaan dengan skor 50.
Dikategorikan
menjadi:
a. Baik apabila nilai > 50%
b. Tidak baik apabila nilai 50%)
b. Tidak baik: apabila nilai yang diperoleh 0-14 (50%)
b. Tidak baik apabila nilai yang diperoleh 0-9 (
-
49
Uraian diatas dapat dilihat dalam bentuk tabel seperti dibawah
ini.
Tabel 3.1 Defenisi Operasional
Nama
Variabel
Jumlah
Pertanyaan
Cara dan
Alat Ukur
Skala
Pengukuran
Value Jenis
Skala
Ukur
Pola Asuh
Makan
25 Menghitung
skor pola
asuh makan
Skor 0-25
Skor 25-50
Kurang
Baik
Ordinal
Pola Asuh
Kesehatan
15 Menghitung
skor pola
asuh
kesehatan
Skor 0-15
Skor 15-30
Kurang
baik
Baik
Ordinal
Pola Asuh
Diri
10 Menghitung
skor pola
asuh diri
Skor 0-10
Skor 10-20
Kurang
baik
Baik
Ordinal
Status Gizi
Balita
4 Menilai
Status Gizi
balita
berdasarkan
Tabel baku
rujukan
WHO
Jika BB/TB
< -3SD
-3 s/d +2 SD
Sangat
Kurus
Kurus
Normal
Gemuk
3.7. Teknik Analisa Data
Setelah semua data dikumpulkan, dilakukan tahap-tahap pengolahan
data
yang meliputi:
1) Editing, merupakan langkah untuk meneliti kelengkapan data
yang
diperoleh melalui wawancara.
2) Koding, merupakan langkah memberikan kode pada
masing-masing
jawaban untuk memudahkan pengolahan data.
3) Tabulasi, merupakan pengelompokan data berdasarkan variabel
yang
diteliti yang disajikan dalam tabel frekuensi.
-
50
3.7.1. Analisa Univariat
Analisa ini diperlukan untuk mendeskripsikan usia balita, usia
ibu,
pendidikan ibu praktek pola asuh gizi, pola asuh diri dan pola
asuh kesehatan pada
wilayah kerja Puskesmas Batu Anam Kabupaten Simalungun.
3.7.2. Analisa Bivariat
Analisa ini diperlukan untuk menguji