HUBUNGAN HARGA DIRI DENGAN KEJADIAN DEPRESI PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI YAYASAN SADAR HATI MALANG TUGAS AKHIR Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan Oleh : Minchatul Fitri NIM 135070200111006 PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
94
Embed
HUBUNGAN HARGA DIRI DENGAN KEJADIAN DEPRESI PADA …repository.ub.ac.id/512/1/Minchatul Fitri.pdf · 2020. 6. 12. · HUBUNGAN HARGA DIRI DENGAN KEJADIAN DEPRESI PADA ORANG DENGAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HUBUNGAN HARGA DIRI DENGAN KEJADIAN DEPRESI
PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI YAYASAN
SADAR HATI MALANG
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
Oleh :
Minchatul Fitri
NIM 135070200111006
PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2017
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampul.......................................................................................... i
Halaman Persetujuan.................................................................................. ii
Kata Pengantar........................................................................................... iii
Abstrak........................................................................................................ v
Abstrack...................................................................................................... vi
Daftar Isi..................................................................................................... vii
Daftar Gambar........................................................................................... x
Daftar Tabel................................................................................................ xi
Daftar Lampiran.......................................................................................... xii
BAB I.......................................................................................................... 1
Lampiran 18 Curiculum Vitae ..................................................................... ...131
ABSTRAK
Fitri, Minchatul. 2017. Hubungan Harga Diri dengan Kejadian Depresi pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Yayasan Sadar Hati Malang. Tugas Akhir, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1) Ns. Lilik Supriati, S.Kep, M.Kep. (2) Ns. Ahmad Hasyim Wibisono, S.Kep, M.Kep, MN.
Depresi merupakan masalah psikologis yang umum terjadi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Depresi pada ODHA disebabkan oleh beberapa faktor, Salah satunya yaitu kurangnya penerimaan dan penghargaan terhadap diri sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan harga diri dengan kejadian depresi pada orang dengan HIV/AIDS di Yayasan Sadar Hati Malang. Desain penelitian menggunakan metode observasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel dipilih menggunakan purposive sampling dengan total responden 33 orang. Alat ukur yang digunakan adalah rosenberg self esteem scale (RSES) dan back depression inventory scale II (BDI-II) yang telah diubah ke dalam bahasa Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan angka kejadian depresi pada responden sebanyak 45% dimana sebanyak 27,3% merupakan depresi ringan. Harga diri responden sebagian besar adalah sedang (46%). Berdasarkan hasil uji spearman rank, didapatkan hasil p-value sebesar 0,000 (< 0,005) dan nilai r= - 0,728. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara harga diri dengan kejadian depresi pada orang dengan HIV/AIDS di Yayasan Sadar Hati Malang. Kedua variabel memiliki korelasi yang negatif yaitu, semakin tinggi harga diri ODHA, maka kejadian depresi semakin rendah. Dari hasil penelitian ini, disarankan agar perawat dapat melakukan pengkajian harga diri secara intensif pada ODHA untuk menurunkan kejadian depresi.
Kata kunci: kejadian depresi, harga diri, orang dengan HIV/AIDS
ABSTRACK
Fitri, Minchatul. 2017. Correlation between Self Esteem and Depression Incident Among People Living with HIV/AIDS (PLWHA) at Yayasan Sadar Hati Malang. Final Assigment, Nursing Program, Faculty of Medicine, University of Brawijaya. Supervisors: (1) Ns. Lilik Supriati, S.Kep, M.Kep. (2) Ns. Ahmad Hasyim Wibisono, S.Kep, M.Kep, MN.
Depression is a common psychological issue among people living with HIV/AIDS (PLWHA). Depression among PLWHA is caused by several factors, and one of them is lack of self acceptance and self worth. The purpose of this study is to seek correlation between self esteem and depression incident among people living with HIV/AIDS (PLWHA) at Yayasan Sadar Hati Malang. The design of this study was an observasional methode with cross sectional approach. The sample of the study was selected by using purposive sampling technique, with 33 respondent in total. The instruments used were rosenberg self esteem scale (RSES) and back depression inventory scale II (BDI-II). The instruments were translated in Indonesian. The result of the study showed the depression incident were 45% of total respondent, which 27,3% were mild depression. Most of respondent had moderate self esteem (46%). Based on Spearman rank test, it was found that p-value= 0.000 (< 0.005) and the correlation rank r= -0,728. Therefore, it can be concluded that there is a significant correlation between self esteem and depression incident among people living with HIV/AIDS at Yayasan Sadar Hati Malang. The two variables have a negative correlation in which an increase of self esteem can decrease depression incident among PLWHA. This study suggest that nurses can provide a self esteem assesment intensively among PLWHA to decrease number of depression incident.
Keywords: Depression incident, self esteem, people living with HIV/AIDS
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
HIV atau human immunodeficiency virus adalah sejenis virus yang
menyerang atau menginfeksi limfosit CD4 (salah satu sel darah putih) yang
menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS adalah
sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan karena infeksi HIV (Nursalam, 2007). Orang yang terinfeksi HIV
disebut ODHA/orang dengan HIV/AIDS. HIV diketahui telah menginfeksi 70 juta
orang sejak pertama kali munculnya virus tersebut (WHO, 2015). Menurut WHO
(2015), orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di dunia mencapai 36,7 juta pada akhir
tahun 2015 dengan jumlah mortalitas mencapai 1,1 juta orang. Prevalensi HIV
periode 1990-2015 yang tertinggi terdapat di benua Afrika, yaitu 4,4% dari
populasi, dengan prevalensi tertinggi di Afrika Selatan (19,2%).
Prevalensi infeksi HIV di Indonesia periode 1990-2015 yaitu 0,5%.
Jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia (ODHA) termasuk dalam kategori
yang tinggi (>200.000 jiwa) yaitu 690.000 jiwa dengan jumlah infeksi baru
mencapai 73.000. Kelompok usia yang paling banyak terjadi pada kelompok usia
produktif 25-49 tahun, diikuti kelompok usia 20-24 tahun. Rata-rata insiden HIV di
Indonesia pada orang dengan usia 15-49 tahun yaitu 0,05% (termasuk kategori
tertinggi ke-dua) (WHO, 2015). Menurut data dari Kemenkes (2014), jumlah
kasus AIDS menunjukkan kecenderungan meningkat sampai tahun 2013, dan
kemudian menurun di tahun 2014. Tetapi, jumlah kasus pada tahun 2014 masih
lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2012 dan sebelumnya. Jumlah kumulatif
1
2
penderita HIV dari tahun 1987 sampai September 2014 sebanyak 150.296
orang, sedangkan total kumulatif kasus AIDS sebanyak 55.799 orang.
Berdasarkan laporan provinsi, jumlah kumulatif kasus infeksi HIV yang dilaporkan
sejak 1987 sampai September 2014 yang terbanyak yaitu Provinsi DKI Jakarta
(32.782 kasus), Provinsi Jawa Timur (19.249 kasus), Papua (16.051 kasus), dan
Jawa Barat (13.507 kasus). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kumulatif kasus
HIV di provinsi Jawa Timur menempati urutan ke-dua tertinggi di Indonesia.
Infeksi HIV telah menjadi penyakit kronis. ODHA terbukti memiliki
kualitas hidup yang rendah karena penyakit kronis tersebut (Lowther, 2014)..
Berdasarkan penelitian Lowther (2014), kualitas hidup ODHA yang rendah
terutama pada domain psikologis dan sosial. Depresi mayor merupakan masalah
psikososial yang paling sering terjadi pada pasien HIV dan ditemukan pada
43,8% orang dengan HIV positif (Jagannath et al., 2011). Sebuah penelitian yang
dilakukan di empat negara berkembang tentang prevalensi depresi pada ODHA,
menemukan bahwa rata-rata kejadian depresi yaitu 6% pada partisipan
asymptomatik dan 17,8% pada partisipan symptomatik. Penelitian yang sama
menunjukkan depresi di Bangkok sejumlah 21% pada partisipan ODHA yang
symptomatik (Esposito et al., 2009). Hasil penelitian Yaunin (2014) tentang
Kejadian Gangguan Depresi pada Penderita HIV/AIDS yang Mengunjungi Poli
VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari - September 2013,
menemukan bahwa 55,8% dari penderita tersebut mengalami depresi dengan
prevalensi tertinggi pada rentang usia 30 - 39 tahun yaitu sebanyak 58,3%.
Penelitian terkait depresi pada ODHA yang dilakukan oleh Kusuma (2011) di RS
Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan lebih dari setengah pasien
mengalami depresi yaitu 51,1%.
3
Gejala depresi diantaranya adalah perasaan sedih, pesimis, tidak
berharga, kelelahan, perubahan pola tidur, kesulitan konsentrasi, menarik diri
(APA, 2013). Depresi pada ODHA dapat mengakibatkan rendahnya kepatuhan
pengobatan antiretroviral (ARV), memburuknya outcome klinis, serta tingginya
perilaku seksual yang beresiko (Pence et al., 2012). Sebuah penelitian meta-
analisis yang baru-baru ini dilakukan tentang depresi pada ODHA dan kepatuhan
terapi, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang konsisten dan kuat antara
depresi dan kepatuhan terapi, dimana semakin tinggi tingkat depresi, semakin
rendah kepatuhan terapi ARV pasien. Hal ini terjadi karena depresi akan
menurunkan perilaku self efficacy dan self care management ODHA sehingga
outcome klinis semakin memburuk (Pence et al., 2012).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi depresi pada ODHA, yaitu
faktor sosio-demografi, faktor psikososial, dan faktor klinik (Kinyanda et al.,
2011). Berdasarkan hasil penelitian Jagannath (2011) yang dilakukan di India,
faktor psikosoial, terutama harga diri telah terbukti menjadi faktor protektif paling
kuat dalam melawan depresi pada pasien HIV. Namun, pada penelitian tersebut
belum dijelaskan mengenai komponen-komponen yang ada dalam harga diri
yang dapat mempengaruhi tingkat depresi. Harga diri adalah salah satu
komponen yang lebih spesifik dari konsep diri, yang melibatkan unsur evaluasi
atau penilaian terhadap diri (Robinson dalam Aditomo, 2004). Komponen harga
diri yaitu perasaan mampu, perasaan diterima, dan perasaan berharga
(Handayani, 2008). Individu dengan harga diri yang tinggi adalah individu yang
menilai dirinya berharga dan berguna (Sa’diyah, 2012).
4
Harga diri yang positif merupakan kebutuhan manusia dan terbukti
menjadi faktor kebahagiaan psikososial yang paling penting (Kwong et al, 2016).
Individu dengan harga diri memiliki perasaan berharga, diterima di masyarakat,
dan perasaan mampu, sehingga individu dengan harga-diri (self-esteem) yang
tinggi memiliki inisiatif, resiliensi (kebahagiaan) dan kepuasan hidup (Myers,
2005). Pada ODHA, harga diri sering kali mengalami penurunan, hal ini karena
diagnosa HIV itu sendiri dapat mempengaruhi kekuatan internal seseorang
(Olesky, 2004).
Yayasan Sadar Hati (YSH) merupakan LSM yang didirikan dengan
tujuan untuk mencegah kejadian serta penularan HIV/AIDS terutama penyebaran
melalui narkoba suntik. Yayasan Sadar Hati berdiri berdasarkan pada kepedulian
dan keprihatinan terhadap permasalahan yang terjadi pada ODHA. Yayasan
Sadar Hati juga mendukung terbentuknya support group yang terdiri dari ODHA
di masing-masing wilayah di Malang yang bertujuan agar ODHA dapat saling
mendukung satu sama lain dalam mengatasi permasalahan yang ada.
Kelompok-kelompok tersebut biasanya berkumpul minimal 1 kali dalam sebulan.
Berdasarkan wawancara dengan pengurus YSH yang dilakukan pada
tanggal 06 November 2016, didapatkan informasi bahwa jumlah orang dengan
HIV/AIDS yang berada di naungan YSH kurang lebih 200 orang. Permasalahan
yang sering terjadi yaitu ODHA masih sering merasa minder dan takut
masyarakat mengetahui statusnya. Bahkan beberapa ODHA masih
menyembunyikan statusnya dari keluarga. Permasalahan yang kompleks pada
ODHA seperti takut terhadap stigma dan kurang dukungan tersebut sering
mengarah pada depresi. Gejala-gejala depresi yang sering terjadi pada ODHA
meliputi; penurunan nafsu makan, sering merasa khawatir terhadap kondisi dan
5
masa depannya, sulit tidur, merasa malu dan bersalah, mudah lelah, dan rasa
pesimis.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri tinggi
merupakan hal penting yang harus dimiliki ODHA. Perawat memiliki peranan
untuk menurunkan kejadian depresi pada ODHA dengan cara meningkatkan
penerimaan dan penghargaan diri ODHA melalui peningkatan harga diri.
Maka dari itu, peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian tentang hubungan
antara harga diri dengan kejadian depresi pada ODHA di Yayasan Sadar Hati di
kota Malang.
1.2 Rumusan masalah
Apakah ada hubungan antara harga diri dengan kejadian depresi pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) di Yayasan Sadar Hati Malang?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui adanya hubungan antara harga diri dengan tingkat depresi
pada ODHA
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui harga diri orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Yayasan
Sadar Hati Malang
2. Mengetahui kejadian depresi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di
Yayasan Sadar Hati Malang
3. Menganalisis hubungan antara harga diri dengan kejadian depresi
pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Yayasan Sadar Hati Malang
6
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
1. Sebagai landasan guna pengembangan ilmu pengetahuan serta
menambah data dan wacana mengenai harga diri dan depresi pada
orag dengan HIV AIDS
2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data awal dan pembanding
untuk penelitian sejenis dengan penyakit kronis lain di waktu yang
akan datang
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian dapat dipakai sebagai landasan rencana intervensi
psikososial yang menerapkan komponen harga diri seperti pelatihan
kemampuan koping dan terapi perilaku kognitif untuk menurunkan depresi
pada orang dengan HIV AIDS.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep HIV/AIDS dan ODHA
2.1.1 Definisi HIV/AIDS
HIV atau human immunodeficiency virus adalah sejenis virus yang
menyerang atau menginfeksi limfosit CD4 (salah satu sel darah putih) yang
menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS adalah
sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan karena infeksi HIV. Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh
terutama darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu. Virus tersebut
merusak kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya
daya tahan tubuh sehingga mudah terserang penyakit infeksi ( Nursalam, 2007).
Dalam bahasa inggris orang yang terkena HIV/AIDS disebut dengan
PLWHA (people living with HIV/AIDS), sedangkan di Indonesia, kategori ini
disebut ODHA dan OHIDA (orang yang hidup dengan HIV/AIDS) (Ardhiyanti,
2015). ODHA sebagai pengganti istilah penderita yang mengarah pada
pengertian bahwa orang tersebut sudah secara positif didiagnosa terinfeksi HIV.
2.1.2 Patogenesis HIV/AIDS
Virus HIV diklasifikasikan kedalam golongan lentivirus atau retroviridae.
Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim
reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia
dan menimbulkan patologi secara lambat. Virus HIV terdiri dari dua grup, yaitu
HIV-1 dan HIV-2. Diantara kedua grup tersebut, yang lebih ganas dan
menimbulkan kelainan adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
7
8
Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luar virion,
atau kapsul viral mengandung banyak tonjolan protein. Tonjolan protein yang
berbentuk seperti duri terdiri dari dua glikoprotein, yaitu gp120 dan gp41. Gp120
adalah selubung permukaan eksternal duri, sedangkan gp41 adalah bagian
transmembran. HIV adalah suatu retrovirus, sehingga materi genetik berada
dalam bentuk RNA. Di dalam kapsid, terdapat dua untai RNA identik dan molekul
preformed reverse transcriptase, integrase, dan protease.
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang
memiliki molekul reseptor membran CD4+, dalam hal ini adalah T helper positif
CD4/T4 (limfosit CD4+). Gp120 HIV berikatan dengan limfosit CD4+ sehingga
gp41 HIV dapat memerantarai fusi membran virus ke membran sel. Setelah
terjadi fusi sel virus, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma limfosit
CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas, maka terjadi transkripsi terbalik (reverse
transcription) dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai
ganda virus. Integrase HIV membantu insersi cDNA virus ke dalam inti sel
penjamu menghasilkan suatu provirus dan memicu transkripsi membentuk
mRNA. mRNA virus ditranslasikan menjadi enzim-enzim dan protein struktural
virus di sitoplasma. RNA virus dibebaskan ke sitoplasma dan bergabung
bergabung dengan protein inti dan membentuk tunas virus melalui membran sel.
Lalu virion baru tersebut dibebaskan dari limfosit T CD4+ yang terinfeksi/sel
penjamu dan bersiap untuk menyerang sel limfosit T lain (Price, 2005).
Limfosit CD4+ yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan
provirus atau mungkin mengalami siklus-siklus yang menghasilkan banyak virus.
Infeksi pada limfosit CD4+ juga dapat menimbulkan sipatogenesis melalui
beragam mekanisme, seperti apoptosis, anergi (pencegahan fusi sel lebih lanjut),
9
atau pembentukan sinsitium (fusi sel). Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode
latensi klinis, bahkan saat hanya terjadi aktivitas virus yang minimal di dalam
darah. HIV secara terus menerus terakumulasi dan bereplikasi di organ-organ
limfoid. Aktivitas ini menunjukkan bahwa terjadi pertempuran terus-menerus
antara virus dan sistem imun.
2.1.3 Fase Klinis HIV/AIDS
Setelah fase awal infeksi HIV, individu mungkin tetap seronegatif selama
beberapa bulan (masa jendela atau window period) saat ia mungkin menularkan
virus kepada orang lain. Fase klinis infeksi HIV (Nasronudin, 2007) adalah
sebagai berikut:
a. Fase jendela (window periode)
Periode masa jendela yaitu periode dimana pemeriksaan tes antibodi HIV
masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada dalam darah
pasien dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup
terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Antibodi terhadap HIV
biasanya muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah terinfeksi.
b. Fase infeksi akut (serokonversi)
Pada fase ini terjadi tahap serokonversi dari status antibodi negatif
menjadi positif. Selama infeksi primer, jumlah limfosit CD4+ menurun
dengan cepat. Target virus ini adalah CD4+ pada nodus limfa dan thymus,
sehingga membuat orang yang terinfeksi HIV mungkin akan terkena infeksi
oportunistik dan membatasi kemampuan thymus memproduksi limfosit T.
Jumlah limfosit T pada fase ini masih di atas 500 sel/mm3. Diperkirakan 70%
orang yang baru terinfeksi akan menunjukkan gejala retroviral akut. Gejala
tersebut meliputi; panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare,
10
berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan, dan timbul ruam. Tanda
dan gejala tersebut akan hilang atau menurun setelah 2-4 minggu dan sering
salah terdeteksi sebagai influenza karena gejalanya mirip influenza.
c. Fase infeksi laten (asimptomatik)
Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus
dalam sel dendritik folikuler (SDF) di pusat germinativum kelenjar limfe
menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang, dan mulai memasuki
fase laten. Pada fase ini jarang ditemukan virion di plasma karena sebagian
besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar
limfe. Sehingga penurunan limfosit terus terjadi. Jumlah limfosit T CD4+
menurun hingga sekitas 500 sampai 200 sel/mm3. Fase ini merupakan suatu
periode latensi klinis yang berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi pada
beberapa orang, progresnya sangat cepat, bisa hanya 2 tahun. Pada fase ini
sistem imun relatif utuh, namun replikasi HIV terus berlangsung, terutama di
jaringan limfoid.
d. Fase infeksi kronis
Selama berlangsung fase ini, di dalam kelenjar limfe terus terjadi
replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya
virus. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di
dalam sirkulasi sistemik. Respon imun tidak mampu meredam jumlah virion
yang berlebihan tersebut. Terjadi penurunan jumlah limfosit CD4+ hingga di
bawah 200 sel/mm3. Penurunan limfosit ini mengakibatkan sistem imun
menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam infeksi
sekunder. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah
AIDS. Fase ini ditandai oleh limfadenopati generalisata persisten (PGL),
11
dengan gejala konstitusi yang signifikan (misalnya, demam menetap,
keringat malam, diare, penurunan berat badan) dan mencerminkan
dimulainya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi virus, dan
awitan penyakit AIDS yang lengkap.
Menurut Nursalam (2007), pembagian stadium HIV yaitu:
a. Stadium pertama: HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan
serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif
menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai
tes antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut window periode. Lama
window period antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang dapat
berlangsung selama enam bulan.
b. Stadium kedua: asimptomatik (tanpa gejala)
Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh
tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung rata-rata
5-10 tahun.
c. Stadium ketiga: pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata
(persistent generalized lymphadenopathy), tidak hanya muncul pada satu
tempat saja, dan berlangsung lebih satu bulan. Jumlah CD4+ 200-500/µl.
d. Stadium keempat: AIDS
Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain
penyakit konstitusional, penyakit syaraf, dan penyakit infeksi sekunder.
Jumlah CD4+ <200/µl.
Gejala klinis pada stadium AIDS yaitu:
Gejala utama/mayor:
12
o Demam berkepanjangan lebih dari tiga bulan.
o Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus
menerus.
o Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam tiga bulan.
o TBC
Gejala minor:
o Batuk kronis lebih dari satu bulan.
o Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur Candida
albicans.
o Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh
tubuh.
o Munculnya Herpes zooster berulang dan bercak-bercak gatal di
seluruh tubuh.
2.1.4 Manifestasi HIV/AIDS
Orang dengan penyakit HIV/AIDS dapat mengalami infeksi oportunistik.
Infeksi oportunistik adalah infeksi akibat adanya kesempatan untuk muncul pada
kondisi - kondisi tertentu yang memungkinkan, yang bisa disebabkan oleh
organisme non patogen.
Menurut WHO (2009), klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa
adalah sebagai berikut:
Stadium Gambaran klinis Skala aktivitas
I 1. Asimptomatik
2. Limpadenopati generalisata
Asimptomatik,
aktivitas normal
II 1. Berat badan menurun < 10%
2. Kelainan kulit dan mukosa seperti
Simptomatik, aktivitas
normal.
13
dermatitis seoroik, prurigo,
onikomikosis, ulkus oral yang
rekuren, kheilitis angularis.
3. Herpes zoster dalam 5 tahun
terakhir
4. Infeksi saluran nafas bagian atas
seperti sinusitis bakterialis.
III 1. Berat badan menurun > 10%
2. Diare kronis yang berlangsung
lebih dari 1 bulan.
3. Demam berkepanjangan lebih dari
1 bulan.
4. Kandidiasis orofaringeal.
5. Oral hairy leukopenia.
6. TB paru dalam tahun terakhir
7. Infeksi bakterial yang berat seperti
pneumonia, piomiositis
Pada umumnya
lemah, aktivitas di
tempat tidur kurang
dari 50%
IV 1. HIV wasting syndrome
2. Pneumonia pneumocytis carinii
3. Toksoplasmosis otak
4. Diare kriptosporidiosis lebih dari 1
bulan
5. Kriptokokosis ekstrapulmonal
6. Retinitis virus sitomegalo
7. Herpes simpleks mukokutan >1
Pada umumnya
sangat lemah,
aktivitas di tempat
tidur >50%
14
bulan.
8. Leukoensefalopati multifokal
9. Mikosis diseminata seperti
histoplasmosis.
10. Kandidiasis di esofagus,
trakhea, bronkus, dan paru.
11. Mikobakteriosis atipikal
diseminata.
12. Septisemia salmonelosis non
typhoid.
13. Tuberkulosis di luar paru.
14. Limfoma.
15. Sarcoma kaposi.
16. Ensefalopati HIV.
2.1.5 Cara penularan HIV/AIDS
Menurut Evi (2008), human immunodeficiency virus dapat masuk ke
tubuh melalui tiga cara, yaitu melalui hubungan seksual, pajanan oleh darah,
produk darah, atau organ dan jaringan yang terinfeksi, dan melalui penularan
dari ibu ke anak. Penularan terjadi paling efisien melalui darah dan semen.
Penularan melalui darah yang paling sering adalah karena penggunaan jarum
suntik bersamaan. Transmisi infeksi HIV melalui hubungan seksual lewat anus
lebih mudah karena hanya terdapat membran mukosa rektum yang tipis dan
mudah robek, anus sering terjadi lesi. Pada kontak seks pravaginal,
kemungkinan transmisi HIV dari laki-laki ke perempuan diperkirakan sekitar 20
15
kali lebih besar daripada perempuan ke laki-laki. Hal ini disebabkan oleh paparan
HIV berkepanjangan pada mukosa vagina, serviks, serta endometrium dengan
semen yang terinfeksi. Pada transmisi vertikal, angka penularan selama
kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalinan 10-20%, dan saat pemberian ASI
10-20%. Namun, diperkirakan penularan ibu kepada janin terutama terjadi pada
masa perinatal (Nasronudin, 2007).
2.1.6 Masalah yang dihadapi ODHA
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dapat mengalami distres psikologis
sebagai fenomena independen maupun karena adanya faktor komorbid, antara
lain kecemasan, depresi, dan psychosis (Olagunju, 2012). Sebuah penelitian
membuktikan bahwa hampir setengah dari ODHA mengalami kecemasan dan
20-30% ODHA mengalami depresi (Sun et al., 2014). Distress psikologis yang
dialami ODHA dikarenakan oleh adanya stressor yang dihadapi ODHA. Stressor
spesifik yang dihadapi ODHA antara lain; adanya stigma, diskriminasi, gangguan
dalam hubungan pasangan dan keluarga, gangguan pola hidup, disfungsi
seksual, kehilangan pekerjaan, masalah status sosial dan ekonomi,
ketidakberdayaan, dan ketergantungan (Jankowska et al., 2015).
Stigma adalah bentuk prasangka (prejudice) yang menolak seseorang
atau kelompok karena mereka dianggap berbeda dengan diri kita atau
kebanyakan orang. Sedangkan deskriminasi adalah perilaku atau action yang
dilakukan. (Ardhiyanti, 2015). Stigma pada ODHA dapat dikarakteristikkan
menjadi dua, yaitu public stigma dan self stigma. Public stigma atau external
stigma, merujuk pada reaksi kognitif, afektif, dan perilaku yang negatif orang
lain terhadap ODHA. Sedangkan self stigma atau internal stigma, merujuk pada
persepsi ODHA terkait pandangan sosial terhadap dirinya, ketakutan ODHA akan
16
adanya penolakan sosial terhadap dirinya, perubahan identitas sosial yang
negatif terkait status HIV nya, dan penilaian negatif terhadap dirinya, meliputi
menyalahkan diri sendiri dan malu. Self stigma memiliki dampak negatif lebih
besar terhadap kualitas hidup ODHA dari pada public stigma (Li et al., 2014).
Faktor-faktor yang mempengaruhi stigma antara lain, pengetahuan tentang
HIV/AIDS, persepsi tentang ODHA, tingkat pendidikan, agama atau
kepercayaan.
Dampak stigma secara emosional yang paling sering dialami adalah
masalah depresi (Ardhiyanti, 2015). Berbagai macam efek self stigma pada
ODHA telah terbukti dapat menimbulkan keengganan untuk mengakui status HIV
nya dengan menarik diri dari hubungan sosial, menghambat akses ke pelayanan
kesehatan, dan menghalangi kepatuhan terapi antiretroviral, serta menghambat
penggunaan layanan preventif bagi individu yang beresiko HIV. Sedangkan
public stigma dan diskriminasi membuat ODHA merasa bersalah, takut
berinteraksi dengan orang lain, kehilangan dukungan sosial, dan tertolak dalam
kesempatan kerja (Li et al., 2014). Berbagai macam efek negatif dari stigma
menyebabkan tingginya level depresi, menolak untuk membuka status HIV nya
kepada orang lain dengan cara menarik diri dari hubungan sosial, penurunan
akses ke perawatan kesehatan, dan turunnya kepatuhan terapi ARV (Li et al.,
2014). Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ODHA mengalami
penurunan kualitas hidup dari semua aspek, terutama pada aspek psikologis dan
sosial yang disebabkan oleh stigma dan diskriminasi (Feng et al., 2015).
17
2.2 Konsep Depresi
2.2.1 Definisi Depresi
Depresi merupakan gangguan mental yang paling umum terjadi pada
setiap individu, yang ditandai dengan perasaan bersalah, rendah diri, kehilangan
minat atau kesenangan, terganggunya nafsu makan dan pola tidur, dan
konsentrasi yang buruk (WHO, 2012). Depresi normal merupakan periode
sementara dari kesedihan dan kelelahan yang umum terjadi ketika merespon
stressfull life events. Periode tersebut secara umum berlangsung tidak lebih dari
7-10 hari. Bila keadaan depresi terus berlanjut lebih lama dan gejala berkembang
menjadi lebih kompleks dan berat, maka keadaan depresi telah sampai pada
tingkatan klinis (Khan, 2012) .
Literatur psikologi dan psikiatri membedakan dua jenis depresi
abnormal, yaitu depresi mayor (unipolar) dan depresi mania (bipolar) (Lubis,
2009). Dalam kasus depresi mayor, individu akan mengalami kesedihan yang
mendalam, kehilangan gairah terhadap hal-hal yang menyenangkan atau yang
dulu diminati. Depresi mania adalah depresi mayor yang diselingi periode-
periode mania, yang ditandai dengan perasaan gembira, optimisme, dan gairah
meluap-luap yang berlebihan. Depresi yang terjadi pada ODHA adalah depresi
mayor.
Kata depresi digunakan dalam minimal 3 konteks yang berbeda yaitu
depressed mood, depressive syndrome, dan depresive disorder. Depressed
mood digunakan dalam mengungkapkan perasaan sedih, hilangnya harapan,
perasaan tertekan, serta perasaan sedih secara umum. Depressive syndrome
berkaitan dengan kumpulan perilaku dan emosi yang terjadi secara bersama-
sama. Sindrom ini biasanya terdiri dari merasa depresi, cemas, takut, khawatir,
18
merasa bersalah, dan tidak berharga. Sedangkan depressive disorder digunakan
dalam diagnosis klinis.
2.2.2 Tingkatan depresi
Adapun menurut Kusumawati (2010), tingkatan depresi dibagi menjadi tiga
tingkat, yaitu:
a. Depresi ringan
Gejalanya bersifat sementara, adanya rasa sedih, alamiah, adanya
perubahan proses pikir, adanya perubahan dalam komunikasi sosial, dan
perasaan tidak nyaman.
b. Depresi sedang
Afek: murung, cemas, kesal, marah, menangis, rasa bermusuhan, dan harga
diri menurun.
Proses pikir: perhatian sempit, berpikir lambat, ragu-ragu, bimbang,
konsentrasi menurun, putus asa, pesimis.
Sensasi somatik dan aktivitas motorik: bergerak lambat, tugas terasa berat,
sakit kepala, mual sampai muntah.
Pola komunikasi: berbicara lambat, komunikasi verbal kurang, komunikasi
non verbal meningkat.
Partisipasi sosial: menarik diri, tidak mau bekerja, mudah tersinggung, tidak
memperhatikan kebersihan diri.
c. Depresi berat
Gerakan afek: pandangan kosong, perasaan hampa, putus asa, kurang
inisiatif.
Gangguan proses pikir: halusinasi dan konsentrasi kurang, serta pikiran
merusak diri.
19
Somatik dan motorik: diam dalam waktu lama, tiba-tiba hiperaktif, kurang
merawat diri, tidak mau makan dan minum, berat badan turun, bangun pagi
dengan perasaan tidak nyaman.
Komunikasi dan peran sosial: komunikasi verbal kurang dan menarik diri.
2.2.3 Faktor yang mempengaruhi depresi
Lubis (2009) mengungkapkan bahwa terdapat dua faktor penyebab
depresi, yaitu faktor fisik dan faktor psikologis
a. Faktor fisik
Kimia otak dan tubuh
Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah
serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan
depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin
yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin
berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas
dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada
pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin,
dan penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson,
adalah disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi
dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan
gejala depresi (Kaplan, 2010).
Penyakit fisik
Beberapa penyakit menyebabkan depresi karena pengaruhnya
terhadap tubuh. Penyakit yang mempengaruhi hormon dapat
menyebabkan depresi, begitu juga penyakit yang disebabkan oleh virus.
Ada teori bahwa virus menggunakan suplai vitamin tubuh dan
20
melemahkannya (Lubis, 2009). Pada HIV, Virus dapat merusak daerah
subcortical otak yang terlibat dalam regulasi emosi dan mood (Lawler et
al., 2011). Selain itu, penyebaran penyakit yang luas dan progresnya
yang cepat akan menimbulkan gejala tertentu yang membuat individu
semakin tertekan.
Obat-obatan terlarang
Obat-obatan terlarang telah terbukti menimbulkan depresi karena
mempengaruhi kimia dalam otak dan menimbulkan ketergantungan.
Obat-obatan
Beberapa obat-obatan untuk pengobatan dapat menyebabkan
depresi. Menghentikan pengobatan dapat lebih berbahaya
menyebabkan depresi. Beberapa obat yang dapat menyebabkan
depresi yaitu:
a. Tablet antiepilepsy
b. Obat anti tekanan darah tinggi
c. Obat antimalaria-mefluquine (lariam)
d. Obat antiparkinson
e. Digitalis (jantung)
f. Diuretics (jantung dan tekanan darah tinggi)
g. Obat penenang
h. Terapi steroid (untuk asma, arthritis, dan lain-lain).
Gaya hidup
Tingginya tingkat stres dan kecemasan digabung dengan
makanan yang tidak sehat serta kebiasaan tidur, kurang olahraga untuk
jangka waktu yang lama dapat menjadi faktor beberapa orang
21
mengalami depresi. Pada lanjut usia, depresi lebih banyak berhubungan
dengan gaya hidup. Khususnya individu lansia di atas 70 tahun.
Aktivitas sosial memiliki hubungan dengan penurunan tingkat depresi.
Faktor usia
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa golongan usia muda
lebih banyak terkena depresi. Hal ini karena pada usia-usia tersebut,
terdapat tahap-tahap serta tugas perkembangan yang penting.
Gender
Wanita dua kali lebih sering terdiagnosis menderita depresi
daripada pria. Hal ini karena wanita lebih sering mengakui depresi dari
pada pria. Tekanan sosial pada wanita yang mengarah pada depresi,
misalnya seorang diri di rumah dengan anak-anak kecil, lebih jarang
ditemui pada pria dari pada wanita. Ada juga perubahan hormonal
dalam siklus menstruasi yang berhubungan dengan kehamilan dan
kelahiran dan juga menopause yang membuat wanita lebih rentan
depresi.
Genetik
Seseorang yang dalam keluarganya diketahui mengalami depresi
berat memiliki resiko lebih besar terkena gangguan depresi dari pada
masyarakat umumnya. Seseorang tidak akan menderita depresi hanya
karena orang tua ataupun saudaranya mengalami depresi, tetapi resiko
terkena depresi meningkat. Tidak semua orang bisa terkena depresi,
bahkan jika ada depresi dalam keluarga, biasanya diperlukan suatu
kejadian hidup yang memicu terjadinya depresi. Resiko terkena depresi
22
kemungkinan meningkat 50-75% bila kedua orangtuanya menderita
depresi (Idrus, 2007).
b. Faktor Psikologis
Keperibadian premorbid
Keperibadian premorbid/keperibadian yang khas seperti
keperibadian independen, obsesi kompulsif dan histrionik mempunyai
resiko lebih besar untuk menjadi depresi dibandingkan dengan
keperibadian anti sosial dan paranoid (Idrus, 2007).
Pola pikir
Pada akhir tahun 1967 psikiatri Amerika Aaron Beck
menggambarkan pola pemikiran yang umum pada depresi dan
dipercaya membuat seseorang rentan terkena depresi. Secara singkat,
dia percaya bahwa seseorang yang merasa negatif mengenai diri sendiri
rentan terkena depresi (Lubis, 2009). McWilliam dan Bloomfield (2008)
dalam Lubis (2009) mengatakan seseorang dengan pikiran negatif dapat
mengembangkan kebiasaan buruk dan perilaku yang merusak diri
sendiri.
Harga diri
Definisi harga diri yang paling banyak dipakai adalah Rosenberg
(1965), yang menggambarkan self esteem sebagai sikap suka atau tidak
suka terhadap diri sendiri. Harga diri merupakan salah satu faktor yang
menentukan perilaku individu. Setiap orang menginginkan penghargaan
yang positif terhadap dirinya, sehingga seseorang akan merasa dirinya
berguna atau berarti bagi orang lain meskipun dirinya memilki
kelemahan baik secara fisik maupun secara mental. Terpenuhinya
23
keperluan penghargaan diri akan menghasilkan sikap dan rasa percaya
diri, rasa kuat menghadapi sakit, rasa damai. Namun jika keperluan
penghargaan diri tidak terpenuhi, maka akan membuat seseorang
mempunyai mental yang lemah dan berpikir negatif. Brown dalam Lubis
(2009) mengemukakan bahwa harga diri merupakan objek dari
kesadaran diri dan merupakan penentu perilaku.
Stress atau peristiwa dalam hidup
Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering
mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya.
Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang
peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stress
akut misalnya kehilangan pasangan. Stressor lingkungan yang paling
berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan
pasangan (Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat akut,
seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya
kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan
interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi.
Sedangkan pada ODHA, faktor yang mempengaruhi adalah
adanya stressor kehidupan. Stressor yang dialami ODHA diantaranya
adanya stigma, penurunan harga diri, gangguan dalam hubungan
pasangan dan keluarga, gangguan pola hidup, disfungsi seksual,
kehilangan pekerjaan, masalah status sosial dan ekonomi,
ketidakberdayaan, dan ketergantungan (Jankowska et al., 2015).
Penyakit jangka panjang
24
Penyakit jangka panjang menyebabkan ketergantungan,
ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan yang membuat seseorang
menjadi depresi.
2.2.4 Gejala Depresi
Gejala khas yang terjadi pada seseorang yang mengalami depresi
adalah bila selama 1 minggu atau lebih, atau minimal 2 minggu seseorang
mengalami perasaan sedih (depressed mood) sepanjang hari dan terjadi hampir
setiap hari, sulit tidur atau tidur terlalu banyak yang terjadi hampir setiap hari,
merasa lelu, lelah, dan tidak bertenaga hampir setiap hari, gangguan nafsu
makan, tidak ada perhatian atau minat terhadap aktivitas. Gejala lainnya adalah
seringkali merasa hidupnya tidak berharga, merasa bersalah tanpa alasan, serta
kehilangan rasa percaya diri (Kusuma, 2011).
Gejala depresi menurut PPDGJ III yaitu:
a. Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat):
Afek depresif/perasaan tertekan
Kehilangan minat dan kegembiraan
Berkurangnya energi sehingga mudah merasa lelah dan
menurunnya aktivitas.
b. Gejala lainnya:
Konsentrasi dan perhatian kurang
Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
Gagasan tetang rasa bersalah dan tidak berguna
Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
25
Tidur terganggu
Nafsu makan kurang
Menurut Stanley (2006) gejala-gejala depresi yang tetap sama dalam
rentang kehidupan dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama, sering disebut
triad depresif, yaitu:
a. Gangguan alam perasaan
Gangguan alam perasaan meliputi adanya kesedihan, kehilangan
Berdasarkan tabel 5.3 di atas, dapat dinyatakan bahwa
karaktersitik responden ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang yang
berjumlah 33 orang sebagian besar memiliki pendidikan terakhir SMA
(57,6%).
Berdasarkan tabel 5.2 di atas, dapat dinyatakan bahwa karaktersitik
responden ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang yang berjumlah 33 orang
sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (72,7%)
Tabel 5.3 Hasil Analisa Tingkat Pendidikan pada ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang
63
Tabel 5.4 Hasil Analisa Jenis Pekerjaan pada ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang
Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%)
Pekerjaan
Tidak bekerja/IRT/Pensiun 5 15,2
Pegawai Swasta 16 27,3
Buruh 9 48,5
Lainnya 3 9,1
Total 33 100 %
Berdasarkan tabel 5.4 di atas, dapat dinyatakan bahwa
karaktersitik responden ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang yang
berjumlah 33 orang yang paling banyak memiliki pekerjaan sebagai
pegawai swasta (48,5%).
Tabel 5.5 Hasil Analisa Tingkat Pendapatan pada ODHA di Yayasan Sadar Hati
Malang
Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%)
Pendapatan
< UMR (< Rp. 2.300.000) 31 93,9%
> UMR (>Rp. 2.300.000) 2 6,1
Total 33 100 %
Berdasarkan tabel 5.5 di atas, dapat dinyatakan bahwa karaktersitik
responden ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang yang berjumlah 33 orang
sebagian besar memiliki pendapatan kurang dari UMR (<Rp. 2.300.000)
sebanyak 93%.
64
Tabel 5.6 Hasil Analisa Lama Terdiagnosa HIV ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang
Lama terdiagnosa HIV Jumlah Persentase
< 5 tahun 11 33,3
5 – 10 tahun 16 48,5
> 10 tahun 6 18,2
Total 33 100 %
Berdasarkan tabel 5.6 di atas, dapat dinyatakan bahwa karaktersitik
responden ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang yang berjumlah 33 orang
yang paling banyak telah terdiagnosa HIV selama 5-10 tahun (48,5%).
Tabel 5.7 Hasil Analisa Waktu Mulainya Terapi ARV pada ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang
Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%)
Waktu Mulainya Terapi
Di tahun yang sama saat terdiagnosa 17 51,5
1 tahun setelah terdiagnosa 5 15,2
2 tahun setelah terdiagnosa 7 21,2
3 tahun setelah terdiagnosa 1 3,0
>3 tahun setelah terdiagnosa 3 9,1
Total 33 100 %
Berdasarkan tabel 5.7 di atas, dapat dinyatakan bahwa karaktersitik
responden ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang yang berjumlah 33 orang
sebagian besar responden memulai terapi ARV di tahun yang sama saat
terdiagnosa (51,5%).
65
5.1.2 Analisa Data Harga Diri Responden ODHA
Tabel 5.8 Hasil Analisa Tingkat Harga Diri Responden Orang dengan HIV/AIDS di Yayasan Sadar Hati Malang
Variabel Frekuensi (n) Persentase(%)
Tingkat Harga Diri
Harga diri rendah
Harga diri sedang
Harga diri tinggi
9
15
9
27,27
45,46
27,27
Total 33 100
Berdasarkan tabel 5.8 di atas, dapat dinyatakan bahwa sebagian
besar responden ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang yang berjumlah
memiliki tingkat harga diri sedang (54,5%).
Tabel 5.9 Hasil Analisa Komponen pada Instrumen Harga Diri Responden Orang dengan HIV/AIDS di Yayasan Sadar Hati Malang
Indikator Kategori Harga diri
Jumlah (f) Presentase (%)
Rasa diterima (perasaan individu ketika ia dapat diterima sebagai dirinya oleh suatu kelompok)
Rendah 11 33,3
Sedang 20 60,6
Tinggi 2 6,1
Total 33 100
Rasa mampu (perasaan saat individu merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan).
Rendah 4 12,1
Sedang 22 66,7
Tinggi 7 21,2
Total 33 100
Rasa berharga (perasaan individu ketika individu tersebut merasa dirinya berharga dan dapat menghargai orang)
Rendah 7 21,2
Sedang 15 45,5
Tinggi 11 33,3
Total 33 100
Berdasarkan tabel 5.9 di atas, dapat sisimpulkan bahwa, tingkat
harga diri pada masing-masing indikator paling banyak yaitu harga diri
66
sedang, dengan rincian rasa mampu (66,7%), rasa diterima (60,6%), dan
rasa berharga (45,5%).
5.1.2 Analisa Data Kejadian Depresi Responden ODHA
Tabel 5.10 Hasil Analisa Kejadian Depresi Responden Orang dengan HIV/AIDS di Yayasan Sadar Hati Malang
Variabel Frekuensi (n) Persentase(%)
Kejadian Depresi
Tidak Depresi
Depresi Ringan
Depresi Sedang
Depresi Berat
18
9
5
1
54,5
27,3
15,2
3,0
Total 33 100
Berdasarkan tabel 5.10 di atas, dapat dinyatakan bahwa kejadian
depresi pada 33 responden ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang
sebanyak 54,5% responden tidak mengalami depresi dan sebanyak 27,3%
responden mengalami depresi ringan.
67
5.2 Analisa Data Bivariat
Tabel 5.11 Uji Spearman rho Harga Diri dan Depresi ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang
Harga diri
Kejadian depresi
p-
value
r Tidak depresi
Ringan Sedang Berat
n % N % N % n %
Rendah 0 0 5 55,6 3 33,3 1 11,1 0,000 -0,728
Sedang 9 60 4 26,7 2 13,3 0 0
Tinggi 9 100 0 0 0 0 0 0
Berdasarkan tabel 5.11 di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara variabel harga diri dengan depresi pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) di Yayasan Sadar Hati Malang, di mana p-value
sebesar ,000. Dari hasil diatas juga dapat diketahui bahwa korelasi kedua
variabel tinggi yaitu sebesar -0.728” dan arah hubungan kedua variabel yaitu
negatif, dimana semakin tinggi nilai harga diri individu maka nilai depresi semakin
rendah.
68
BAB VI
PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan pembahasan terkait hasil-hasil penelitian yang telah
diperoleh mengenai hubungan harga diri dengan kejadian depresi pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) di Yayasan Sadar Hati Malang. Pembahasan
diuraikan dengan membandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya
atau teori-teori yang mendukung atau berlawanan dengan hasil penelitian ini.
6.1 Harga Diri ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang
Berdasarkan penelitian pada ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang
dengan jumlah responden sebanyak 33 orang, didapatkan hasil bahwa sebanyak
27,27% responden memiliki harga diri rendah, 45,46% responden memiliki harga
diri sedang, dan 27,27% responden memiliki harga diri tinggi. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Iskandarsih (2015) bahwa
sebagian besar ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang memiliki harga diri sedang
(73%). ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang rata-rata memiliki harga diri
sedang, hal ini mungkin karena adanya kelompok yang memiliki nasib yang
sama sehingga mereka merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Kelompok
ODHA dari Yayasan Sadar Hati tersebut bernama Kelompok Dukungan Sosial
(KDS). Dalam kelompok ini, mereka saling mendukung dan rutin melakukan
pertemuan satu kali dalam sebulan.
Harga diri menurut Baron & Byrne (2012) merupakan evaluasi diri yang
dibuat oleh setiap individu, sikap orang terhadap dirinya sendiri dalam rentang
dimensi positif sampai negatif. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan
68
69
mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Individu yang memiliki
harga diri tinggi akan menerima dan menghargai dirinya sendiri apa adanya.
Felker (dalam Handayani, 2008) menjelaskan bahwa terdapat tiga komponen
yang terkandung dalam harga diri yaitu perasaan diterima, perasaan mampu,
dan perasaan berharga.
Perasaan diterima merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika ia
dapat diterima sebagai dirinya oleh suatu kelompok. Individu akan memiliki
penilaian yang positif akan dirinya jika ia merasa diterima dan menjadi bagian
dari suatu kelompok. Individu akan memiliki penilaian negatif akan dirinya jika ia
merasa ditolak atau tidak diterima oleh suatu kelompok (Handayani, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat tingkat harga diri pada masing-masing
indikator paling banyak yaitu harga diri sedang, dengan rincian rasa mampu
(66,7%), rasa diterima (60,6%), dan rasa berharga (45,5%). Namun, rasa
diterima memiliki indikator rendah paling banyak diantara dua indikator yang lain,
yaitu sebanyak 33,3%. Hal ini menunjukkan bahwa ODHA di Yayasan Sadar Hati
Malang masih memiliki perasaan belum diterima oleh masyarakat. Ini mungkin
berhubungan dengan adanya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Hal ini
sesuai dengan penelitian Lowther (2016) yang mengatakan bahwa stigma dapat
berdampak pada isolasi sosial dan keengganan mengungkap statusnya. Untuk
mengatasi hal tersebut, dalam KDS mereka juga memiliki anggota yang tidak
terdiagnosa ODHA. Hal ini bertujuan agar kedua kelompok saling memahami
sehingga stigma dan deskriminasi pada ODHA dapat dikurangi.
Perasaan mampu merupakan perasaan yang dimiliki individu saat dia
merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan. Jika ia berhasil mencapai
tujuan maka ia akan memberikan penilaian positif terhadap dirinya (Handayani,
70
2008). Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa komponen perasaan
mampu memiliki presentase kategori rendah yang paling kecil dibandingkan dua
indikator lainnya, yaitu sebesar 12,1%. Hal ini membuktikan bahwa ODHA di
Yayasan Sadar Hati Malang merasa bahwa mereka masih mampu melakukan
hal-hal sama baiknya dengan orang lain. Mereka memiliki pekerjaan dan mampu
melakukan pekerjaan seperti orang lain.
Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika
individu tersebut merasa dirinya berharga dan dapat menghargai orang lain
(Handayani, 2008). Berdasarkan hasil penelitian, bahwa perasaan berharga
memiliki persentase kategori tinggi yang paling besar dibandingkan dua indikator
lainnya, yaitu sebesar 33,3%. Hal ini menyatakan bahwa ODHA di Yayasan
Sadar Hati Malang memiliki penghargaan dan harapan terhadap dirinya,
dibuktikan dengan adanya kesadaran untuk terapi ARV.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi harga diri. Menurut
Coopersmith dalam Handayani (2008) faktor pertama yang mempengaruhi harga
diri, yaitu penghargaan dan penerimaan dari orang-orang yang signifikan.
Dukungan dari keluarga dan pasangan merupakan contoh orang yang
penghargaan dan penerimaan kepada individu. Berdasarkan uji tabel silang,
didapatkan hasil bahwa dari 9 responden yang memiliki harga diri rendah, 2
orang sudah memiliki pasangan, 4 orang belum memiliki pasangan, dan 3 orang
telah bercerai dari pasangannya. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa
responden yang memiliki resiko harga diri rendah adalah mereka yang tidak
memiliki pasangan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Khatib
(2013), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara harga diri dengan status
perkawinan seseorang (t = 3.30 p ≤ .001). Penerimaan keluarga dan pasangan
71
yang tinggi dapat memiliki harga diri yang lebih tinggi dimana peran keluarga
mempunyai pengaruh yang sangat tinggi dalam harga diri (Suparyanto, 2012).
Faktor kedua yang mempengaruhi harga diri adalah kedudukan kelas
sosial dan ekonomi. Kelas sosial dan ekonomi seseorang dapat dilihat dari
pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan (Campbel & Twenge, 2012). Individu
dengan kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari
orang lain. Berdasarkan hasil analisa tabulasi silang didapatkan hasil bahwa dari
9 orang yang mengalami harga diri rendah, 6 orang bekerja sebagai pegawai
swasta, 1 orang tidak bekerja, 1 orang bekerja sebagai buruh, dan 1 orang
bekerja sebagai tukang parkir. Hal ini terjadi karena penyebaran status pekerjaan
responden tidak merata, dimana 48,5% responden bekerja sebagai pegawai
swasta.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara harga diri dengan pendapatan
responden, diperoleh hasil bahwa dari 9 responden yang memiliki harga diri
rendah, 7 orang memiliki penghasilan di bawah UMR dan 2 orang memiliki
penghasilan di atas UMR. Sehingga berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa
responden dengan pendapatan yang lebih rendah memiliki resiko harga diri
rendah yang lebih tinggi.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara harga diri dengan pendidikan
responden, diperoleh hasil bahwa dari 9 responden yang memiliki harga diri
rendah, 7 orang tingkat pendidikannya SMA dan 2 orang tingkat pendidikannya
SMP. Hal ini mungkin terjadi karena sebagian besar responden (57,6%) tingkat
pendidikannya adalah SMA.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 3 faktor sosio-ekonomi
(pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan), hanya faktor pendapatan saja yang
72
memiliki pengaruh dengan harga diri pada responden. Hal ini dikarenakan
penyebaran jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan yang tidak merata. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Campbel & Twenge (2002), membuktikan bahwa
faktor sosio-ekonomi memiliki hubungan yang signifikan dengan harga diri
seseorang (d = .15, r = .08). Semakin tinggi status sosial dan ekonomi
seseorang, maka individu merasa lebih berharga dan berguna sehingga harga
diri semakin tinggi.
6.2 Kejadian Depresi ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang
Berdasarkan penelitian pada ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang
dengan jumlah responden sebanyak 33 orang, didapatkan hasil bahwa sebanyak
45,5% responden mengalami kejadian depresi dengan kriteria 27,3% mengalami
depresi ringan, 15,2% mengalami depresi sedang, dan 3% mengalami depresi
berat. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kejadian depresi di YSH masih
relatif tinggi, meskipun sebagian besar mengalami depresi ringan. Angka
kejadian depresi yang hampir mencapai 50% ini kebanyakan adalah karena
adanya persepsi masyarakat yang buruk terhadap ODHA sehingga ODHA takut
jika statusnya terungkap. Selain itu, masalah finansial dan rasa takut terhadap
penyakitnya juga menjadi faktor yang mendukung terjadinya depresi.
Ada beberapa faktor yang mempenaruhi terjadinya depresi pada ODHA.
Faktor yang mempengaruhi depresi pada ODHA yaitu faktor sosio-demografi,
faktor psikososial, dan faktor klinik atau biologis (Kinyanda et al., 2011). Faktor
sosio-demografi terdiri dari faktor jenis kelamin, usia, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Faktor psikososial terdiri dari faktor
kepribadian, pola pikir, harga diri, dukungan sosial, dan peristiwa hidup. Faktor
73
klinik terdiri dari riwayat genetik dan obat-obatan. Pada penelitian ini, faktor
psikososial yang diteliti adalah harga diri, sedangkan faktor klinik yaitu lamanya
terdiagnosa HIV dan mulai terapi ARV.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara jenis kelamin dengan kejadian
depresi pada ODHA didapatkan hasil bahwa dari 9 responden perempuan, 6
orang menagalami depresi, sedangkan dari 24 responden laki-laki, 9 orang
mengalami depresi. Dari hasil tersebut dapat nyatakan bahwa lebih dari
setengah responden perempuan mengalami depresi. Hal ini sesuai dengan
penelitian Eshetu (2015) yang menyebutkan bahwa kejadian depresi sedang
sampai berat 17,3% lebih signifikan terjadi pada responden perempuan yang
terinfeksi HIV dari pada responden laki-laki. Menurut Albert (2015), perempuan
merupakan kelompok yang lebih rentan dari pada laki-laki. Hal ini karena faktor
biologis, seperti variasi level hormon dan penurunan level estrogen
berkonstribusi dalam meningkatnya prevalensi depresi dan kecemasan pada
perempuan.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara usia dengan kejadian depresi
pada ODHA didapatkan hasil bahwa dari 15 kejadian depresi, 8 diantaranya
terjadi pada rentang usia 36-45 tahun. Menurut Depkes (2009) rentang usia 36-
45 tahun termasuk usia dewasa madya. Menurut Havighurst (dalam Monks,
Knoers & Haditono, 2001), menyatakan bahwa pada dewasa madya merupakan
tahap pematangan karir dan tanggung jawab penuh sebagai orang tua untuk
membimbing anak-anaknya. Apabila terdapat hambatan pada tahap ini, maka
akan menimbulkan stres. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Eshetu (2015) yang menyatakan bahwa ODHA yang berusia 30-39 tahun
mengalami kejadian depresi 2,761 kali lebih besar dari pada ODHA yang berusia
74
20-29 tahun. ODHA yang berusia 40-49 tahun mengalami kejadian depresi 3.867
kali lebih besar dari pada ODHA yang berusia 20-29 tahun.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara status pernikahan dengan
kejadian depresi pada ODHA didapatkan hasil bahwa dari 15 kejadian depresi, 9
responden belum atau tidak memiliki pasangan. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Khatib (2013), bahwa status perkawinan memiliki hubungan
negatif dengan depresi (p = -0.720). Hal ini berdasarkan teori bahwa dukungan
sosial dari keluarga, terutama pasangan dapat menjadi faktor penghambat
terjadinya depresi. Penemuan ini mendukung hasil yang mengemukakan bahwa
pernikahan dapat melindungi individu dari masalah psikologis (Galambos et al.,
2006).
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara tingkat pendidikan dengan
kejadian depresi pada ODHA didapatkan hasil bahwa dari 15 kejadian depresi,
11 orang memiliki tingkat pendidikan SMA. Hal ini berlawanan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Xiaouyou (2013) yang menyatakan bahwa pendidikan
memiliki hubungan negatif dengan kejadian depresi (p=0,04). Tingkat pendidikan
merupakan faktor perlindungan terhadap depresi, individu dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi cenderung menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan dan mereka cenderung untuk berperilaku lebih sehat (Palizgir,
2013).
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara pekerjaan dengan kejadian
depresi pada ODHA didapatkan hasil bahwa dari 15 kejadian depresi, 8
responden bekerja sebagai pegawai swasta. Berdasarkan hasil tabulasi silang
antara pendapatan dengan kejadian depresi pada ODHA didapatkan hasil bahwa
75
dari 15 kejadian depresi, 15 responden memiliki penghasilan kurang dari UMR (<
Rp. 2.300.000) dan tidak terdapat kejadian depresi pada responden yang
memiliki pendapatan lebih lebih dari UMR (> Rp. 2.300.000). Hal ini sesuai
dengan penelitian Eshetu (2015) yang menyatakan bahwa pendapatan yang
rendah secara signifikan berhubungan kejadian depresi pada ODHA (p=0,004),
namun jenis pekerjaan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian
depresi. Menurut Brandt (2009), masalah mental terjadi karena kemiskinan,tidak
memiliki pekerjaan, dan pendidikan yang rendah.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara lama terdiagnosa HIV dengan
kejadian depresi pada ODHA didapatkan hasil bahwa dari 15 kejadian depresi, 8
responden telah terdiagnosa HIV kurang dari 5 tahun. Sedangkan hasil tabulasi
silang antara waktu mulai terapi dan kejadian depresi, menunjukkan bahwa dari
15 kejadian depresi, 8 responden memulai terapi ARV di tahun yang sama saat
mereka terdiagnosa. Hal ini sesuai dengan penelitian Benoite (2010), yang
menyatakan bahwa lama terdiagnosa HIV dan waktu penggunaan ARV tidak
berpengaruh terhadap terjadinya depresi pada ODHA, namun jumlah sel CD4
yang kurang dari 250 sel/mm3 memiliki pengaruh terhadap terjadinya depresi.
Penurunan jumlah limfosit CD4+ hingga di bawah 200 sel/mm3 mengakibatkan
sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam
infeksi sekunder (Price, 2004). Perjalanan penyakit yang progresif ini mendorong
kearah terjadinya AIDS yang dapat mempengaruhi kondisi fisik dan mental
ODHA. Virus HIV dapat merusak daerah subcortical otak yang terlibat dalam
regulasi emosi dan mood (Lawler et al., 2011), sehingga dapat terjadi depresi.
Selain itu, kondisi fisik yang memburuk akibat gejala HIV menyebabkan masalah
seperti disfungsi sosial, kehilangan pekerjaan, ketergantungan, gangguan pola
76
hidup, serta masalah sosial dan ekonomi (Jankowska et al., 2015), sehingga
dapat menjadi stressor yang menyebabkan depresi.
6.3 Hubungan Harga Diri dengan Kejadian Depresi pada Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) di Yayasan Sadar Hati Malang
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa
sebagian besar responden ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang yang berjumlah
memiliki tingkat harga diri sedang (45%) dan kejadian depresi sebesar 45,46%.
Dari uji Spearman rank didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara variabel harga diri dengan depresi pada orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) di Yayasan Sadar Hati Malang, di mana p-value sebesar ,000.
Dari hasil diatas juga dapat diketahui bahwa korelasi kedua variabel tinggi yaitu
sebesar -0.728” dan arah hubungan kedua variabel yaitu negatif, dimana
semakin tinggi nilai harga diri individu maka nilai depresi semakin rendah.
Depresi yang terjadi pada ODHA di YSH kebanyakan terjadi karena
adanya rasa tidak diterima di masyarakat, apalagi sebagian besar dari ODHA
merupakan pengguna narkoba suntik. Sebagian besar reponden mengalami
depresi ringan, hal ini mungkin karena adanya kelompok dukungan sosial di
yayasan tersebut. Kelompok dukungan sosial (KDS) di yayasan menyediakan
program pengambilan obat bersama-sama di rumah sakit dan melakukan
pertemuan rutin untuk membahas masalah yang dihadapi anggota. Selain itu,
sebagian besar responden telah terdiagnosa HIV lebih dari 5 tahun sehingga
telah terjadi fase penerimaan diri. Harga diri pada ODHA di YSH sebagian besar
adalah sedang. Namun, mereka masih memiliki rasa tidak nyaman saat berada
di masyarakat dan lebih senang berkumpul dengan sesama ODHA. untuk itu,
77
KDS telah berinisiatif untuk mengikutsertakan kelompok non-ODHA sehingga
mereka bisa saling mengerti dan ODHA dapat merasa diterima di masyarakat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Castrighini (2013), yang
menyatakan bahwa harga diri yang rendah dapat mengarah pada terjadinya
depresi. Harga diri adalah evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap
orang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif sampai negatif
(Baron & Byrne, 2012). Komponen dalam harga diri meliputi rasa berharga, rasa
mampu, dan rasa diterima. Individu dengan harga diri rendah cenderung menilai
dirinya negatif, sehingga menimbulkan perasaan negatif terhadap dirinya. Pada
penelitian Jagannath (2011) membuktian bahwa harga diri memiliki hubungan
negatif dengan kejadian depresi pada ODHA (p=0,001), dimana semakin tinggi
harga diri maka kejadian depresi semakin rendah dan sebaliknya. Hal ini sesuai
dengan teori vulnerability yang menyatakan bahwa harga diri yang rendah
merupakan faktor resiko terjadinya depresi.
. Harga diri memiliki hubungan yang positif dengan kepuasan hidup dan
kebahagiaan hidup serta memiliki hubungan negatif dengan depresi (Furnham
and Cheng, 2000). Hal ini karena harga diri berperan sebagai evaluasi individu
terhadap dirinya. Individu yang memiliki pandangan positif terhadap dirinya lebih
jarang mengalami gangguan psikologis seperti depresi (Khan, 2012). Gejala
depresi seperti perasaan sedih, tidak berharga, kesulitan konsentrasi, menarik
diri, memandang diri secara inferior, pesimis terhadap masa depan, merasa
bersalah berlebihan, merupakan perasaan negatif yang apabila diabaikan akan
menjadi gejala depresi yang dapat mempengaruhi perubahan fungsi tubuh.
Sehingga diperlukan harga diri untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dan
meningkatkan kebahagian hidup ODHA. Menurut Lubis (2009), Setiap orang
78
menginginkan penghargaan yang positif terhadap dirinya, sehingga seseorang
akan merasa dirinya berguna atau berarti bagi orang lain meskipun dirinya
memilki kelemahan baik secara fisik maupun secara mental. Terpenuhinya
keperluan penghargaan diri akan menghasilkan sikap dan rasa percaya diri, rasa
kuat menghadapi sakit, rasa damai. Namun jika keperluan penghargaan diri tidak
terpenuhi, maka akan membuat seseorang mempunyai mental yang lemah dan
berpikir negatif.
6.4 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pada sesi pertama pengambilan data, pihak yayasan tidak
didampingi oleh peneliti sehingga tidak diketahui apakah
pengambilan data pada responden dilakukan dalam satu kali waktu.
6.5 Implikasi Keperawatan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data yang cukup signifikan antara
harga diri dengan kejadian depresi pada ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi perawat di lapangan untuk
lebih aktif dalam mengkaji harga diri ODHA dan melakukan intervensi untuk
meningkatkan harga diri ODHA sehingga mereka dapat menjalankan fungsi
sosial secara normal dan menurunkan kejadian depresi.
79
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Sebagian besar responden ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang
memiliki tingkat harga diri sedang (45,7%)
2. Kejadian depresi pada ODHA di di Yayasan Sadar Hati Malang sebesar
45%.
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara harga diri dengan kejadian
depresi pada ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang dengan arah
hubungan negatif.
7.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, saran dari peneliti adalah sebagai
berikut :
1. Bagi tenaga kesehatan
Diharapkan tenaga kesehatan, terutama perawat dalam komunitas dapat
mengkaji harga diri pada ODHA yang berada di yayasan atau lembaga
masyarakat serta memberikan edukasi terkait HIV/AIDS agar kejadian
depresi dapat berkurang.
2. Bagi penelitian selanjutnya
79
80
Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan agar peneliti dapat mendampingi
di setiap pengambilan data dan membangun hubungan saling percaya
dengan responden.
3. Bagi masyarakat
Diharapkan masyarakat dapat dapat memahami pentingnya harga diri
untuk mencegah kejadian depresi pada ODHA, sehingga masyarakat
tidak memberikan label negatif terhadap ODHA. Selain itu, bagi keluarga
maupun teman diharapkan dapat memberi dukungan terhadap ODHA.
81
Daftar Pustaka
Aditomo A & Retnowati S. Perfeksionisme, Harga Diri, dan Kecenderungan Depresi Pada Remaja Akhir. Jurnal Psikologi, 2004, 1: 1-14
American Psychiatric Association, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5)
Ardhiyanti, Y. 2015. Bahan Ajar AIDS pada Asuhan Kebidanan. Yogyakarta: Deepublish.
Aritonang A.N., Sutisna N., Hakim M.Z., Sakroni., Muryanto Y., Pribowo. 2014. Konsep Diri Orang dengan HIV/AIDS (ODHA): Studi Kasus ODHA Dampingan Kelompok Warga Peduli AIDS (WPA) di Kelurahan Kebon Pisang Kecamatan Sumur Bandung Kota Bandung. Penelitian Mandiri. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), Bandung.
Audrey T, Albert. (2015). Hubungan Antara Karakteristik Pasien dengan Adekuasi Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan pada tahun 2014. Diunduh pada tanggal 05 Mei 2017 dari:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/44743
Baron, Robert, A., & Byrne. D. (2012). Psikologi Sosial jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Beck, A. T. 1967. Depression: Clinical, Experimental, and Theoritical Aspects. Hoeber Medica Devision USA: Herper and Row Published Incorporated
Brandt, R. 2009. he mental health of people living with HIV/AIDS in Africa: a systematic review. African Journal AIDS Res. Jun;8(2):123-33
Castrighini, C., Reis, R.K., Neves, L.A.S., Brunini, S., Canini, S., Gir, E., 2013. Evaluation Of Self-Esteem in People Living With Hiv/Aids In the City Of Ribeirão Preto, State Of São Paulo, Brazil. Text Context Nursing, Out-Dez; 22(4): 1049-55.
Cichocki, M. 2009. Dealing with HIV & Depression when Sadness Takes Over. (online), (http://aids.about.com/es/condition/a/depression.htm. Diakses tanggal 5 November 2016. Pada pukul 20.00 WIB)
Clemes and Bean, How To Raise Children’s Self Esteem, terj. Meitasari Tjandrasa, Bagaimana Kita Meningkatkan Harga Diri Anak, (Jakarta : Binarupa Aksara, 2001),334.
Depkes RI. 2014. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI : HIV/AIDS. Jakarta Selatan.
Eshetu, D., et al. 2015. Prevalence of Depression and Associated Factors among HIV/ AIDS Patients Attending ART Clinic at Debrebirhan Referral Hospital, North Showa, Amhara Region, Ethiopia. Clinical Psychiatry, Vol. 1 No. 1: 3
Esposito C.A., Steel Z., Gioi T.M., Huyen T., Tarantola D. The Prevalence of Depression Among Men Living With HIV Infection in Vietnam. American Journal of Public Health, 2009, Vol 99, No. S2
Evi J. 2008. Deskripsi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian HIV. (Online), (http://www.lib.ui.ac.id/file?file=digital/125929-S-5471...pdf. Diakses pada tanggal 11 November 2016. Pada pukul 14.00 WIB)
Feng M-C., Feng J-Y., Yu C-T., Chen L-H., Yang P-H., Shih C-C., Lu P-L. Stress, Needs, and Quality of Life of People Living With Human Immunodeficiency Virus/AIDS in Taiwan. Kaohsiung Journal of Medical Sciences, 2015, 31: 485-492
Galambos, N.L., Barket, E.T., Krahn, H.J. 2006. Depression, self-esteem, and anger in emerging adulthood: seven-year trajectories. Dev Psychol. Mar;42(2):350-65.
Guindon, M. H. 2010. Self Esteem Across The Lifespan. Newyork: Routledge Taylor & Francis Group
Handayani, Ermanza. 2008. Hubungan Antara Harga Diri dan Citra Tubuh pada Remaja Putri yang Obesitas dari Sosial Ekonomi Menengah Atas. (Online), (http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/125199-155.533%20ERM%20h%20%20Hubungan%20Antara%20-%20Literatur.pdf. Diakses pada tanggal 3 November 2016. Pada pukul 14.00 WIB)
Iskandarsih. 2016. Hubungan Dukungan Sosial dengan Tingkat Harga Diri ODHA di Yayasan Sadar Hati Malang. Tugas Akhir. Tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang.
Jagannath V., Unnikrishnan B., Hegde S., Ramapuram J., Rao S., Achappa B., Madi D., Kotian M.S. Association of depression with social support and self-esteem among HIV positives. Asian Journal of Psychiatry, 2011, 4: 288-292
Jankowska M., Jasinska A., Lemanska M., Dreczewski M. Major Depression in HIV-Infected Patient. Significance of Cooperation With Psychologist in ART Therapy Team. Case Report. HIV & AIDS Review, 2015, 14: 49-51
Khan. Perilaku Asertif, Harga Diri, dan Kecenderungan Depresi. Jurnal Psikologi Indonesia, 2012, Vol. 1, No. 2, hal 143-154
Khatib, S. 2013. Satisfaction with life, Self-esteem, gender and maritalstatus as predictors of depressive symptoms among United Arab Emirates college students. International journal psychology counseling, Vol. 5(3), pp. 53-61
Kinyanda, E., Hoskins, S., Nakku, J., Nawaz, S, Patel, V. 2011. Prevalence and risk factors of major depressive disorder in HIV/AIDS as seen in semi-urban Entebbe district, Uganda. BMC Psychiatry, 11:205
Kusuma, H. 2011. Hubungan Antara Depresi dan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjalani Perawatan di RSUPN
Cipto Mangunkusumo Jakarta. (Online), (http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=20282772&lokasi=lokal. Diakses pada tanggal 3 November 2016. Pada pukul 10.00 WIB)
Kusumawati F. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Kwong K.L., Lama D., Tsui S., Ngana M., Tsang M., SumLai T., Lam Siu. Self-Esteem In Adolescents With Epilepsy: Psychosocial And Seizure-Related Correlates. Epilepsy & Behavior, 2016, 63: 118-122
Lailil M. 2012. Hubungan antara konsep diri dengan depresi pada santri yang menjadi pengurus pondok pesantren: Studi di Pondok Pesantren Putri Al-Lathifiyyah I Tambak Beras Jombang. Skripsi. Tidak diterbitkan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Lawler K., Mosepel M., Seloilwe E., Ratcliffe S., Steele K., Nthobatsang R., Steenhoff A. Depression Among HIV-Positive Individuals in Botswana: A Behavioral Surveillance. AIDS Behav, 2011, 15: 204-208
Li Zhen., Sheng Yu. Investigation Of Perceived Stigma Among People Living With Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome In Henan Province, China. International Journal of Nursing Science, 2014, 1: 385-388.
Lowther K., Selman L., Harding R., Higginson I.J. Experience Of Persistent Psychological Symptoms And Perceived Stigma Among People With HIV On Antiretroviral Therapy (ART): A Systematic Review. International Journal of Nursing Studies, 2014, 51: 1171-1189
Murk C. 2006. Self-Esteem Research, Theory and Practice Toward a Positive Psychology of Self Esteem (3rd editioned). Springer Publishing Company
Myers, D. 2005. Sosial Psychology. New York: McGraw-Hill.
Nasronudin. 2007. HIV dan AIDS: Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial. Surabaya: Airlangga University Press.
Noh M.S., Rueda S., Bekele T., Fenta H., Gardner S., Hamilton H., Hart T.A., Li A., Noh S., Rourke S.B. Depressive Symptoms, Stress and Resources Among Adult Immigrants Living with HIV. Journal of Immigrant Minority Health, 2012, 14: 405–412
Nursalam. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV. Jakarta : Salemba Medika.
Oktaviyanti R. 2013. Kualitas Hidup Seorang Penderita Tuberkulosis (TB). (Online), (http://www.digilib.uinsby.ac.id/11188/5/bab%202.pdf. Diakses pada tanggal 11 November 2016. Pada pukul 10.00 WIB)
Olagunju A.T., Adeyami J.D., Erinfolami A.R., Aina O.F. HIV/AIDS and Psychological Distress: The Experience of Outpatients in a West African HIV Clinic. HIV & AIDS Review, 2012, 11: 31-35
Olesky, E. 2004. Bio-Psychosocial Factors and Their Relationship to HIV/AIDS Symptomatology in HIV Positive Adult Males. Dissertation. Professional Psychology, Alliant International University, California.
Pence B.W., Gaynes B.N., Williams Q., Modi R., Adams J., Quinlivan E.B., Heine A., Thielman N., Mugavero M.J. Assessing the Effect of Measurement-Based Care Depression Treatment on HIV Medication Adherence and Health Outcomes: Rationale and Design of the Slam Dunc Study. Contemporary Clinical Trials, 2012, 33: 828-838.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan Analisis HIV AIDS, Jakarta. hal. 1-5.
Rahmania & Yuniar. Hubungan Antara Self-Esteem dengan Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder pada Remaja Putri. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 2012, Vol 1 No. 02
Rassart J., Luyckx K., Moons P., Weets I. Personality and Self-Esteem in Emerging Adults With Type 1 Diabetes. Journal of Psychosomatic Research, 2014, 76: 139–145
Sa’diyah. 2012. Hubungan Self Esteem dengan Kecenderungan Cindella Complex pada Mahasiswi Semester VI Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. (Online), (http://entheses.uin-malang.ac.id/cgi/oai2. Diakses tanggal 10 November 2016. Pada pukul 14.10 WIB).
Santrock, J.W. (2003). Adolescence: Perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga
Stanley M. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC
Sun W., Wu M., Qu P., Lu C., Wang L. Psychological Well-Being of People Living With HIV/AIDS Under The New Epidemic Characteristics in China and The Risk Factors: A Population-Based Study. International Journal of Infectious Diseases, 2014, 28: 147-152
Suparyanto. 2012. Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).[Online]. Tersedia: http//odha-orang-dengan-hiv-aids.html.[4 Oktober 2012]
Twenge, J. M & Campbell, W. K. 2002. Self-Esteem and Socioeconomic Status: A Meta-Analytic Review. Personality and Social Psychology Review, Vol. 6, No. 1, 59–71
Twenge, J. M., Campbell, W. K., & Gentile, B. 2012. Generational increases in agentic self- evaluations among American college students, 1966-2009. Self and Identity, 11, 409-427.
Widyarsono. 2013. Hubungan Antara Depresi dengan Kualitas Hidup Aspek Sosial pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). (Online)
World Health Organization (WHO). 2015. HIV/AIDS: Data and Statistic. (Online), (http://www.who.int/hiv/data/en/. Diakses tanggal 10 November 2016, pada pukul 14.00 WIB).
Xiaoyou, Su., et all. 2013. Prevalence and associated factors of depression among people living with HIV in two cities in China. Journal of Affective Disorders 149 (2013)108–115
Yaunin Y., Afriant R., Hidayat N.M. Kejadian Gangguan Depresi pada Penderita HIV/AIDS yang Mengunjungi Poli VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari-September 2013. Jurnal Kesehatan Andalas, 2014; 3(2)
Yulianti. 2015. Hubungan Tingkat Harga Diri dengan Tingkat Stress Akademik Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Keperawatan FKUB. Tugas Akhir. Tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang
Zein, U. 2006. 100 Pertanyaan Seputar HIV/AIDS yang Perlu Anda Ketahui. Medan: USU Press 1-44